Anda di halaman 1dari 24

Dukungan dan Beban Keluarga dengan Kemampuan Keluarga Merawat Pasien Resiko Perilaku Kekerasan

PENURUNAN PERILAKU KEKERASAN PADA KLIEN SKIZOPRENIA


DENGAN ASSERTIVENESS TRAINING (AT)

Dyah Wahyuningsih1,2*,Budi Anna Keliat3, Sutanto Priyo Hastono4


1. Poltekkes Kemenkes Semarang, Jawa Tengah 50268, Indonesia
2. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
3. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
4. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*Email: dya.ning@yahoo.co.id

Abstrak
Perilaku kekerasan adalah perilaku mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Ini menjadi alasan utama klien dirawat di
rumah sakit. Salah satu terapi klien dengan perilaku kekerasan yaitu Assertiveness Training. Penelitian ini bertujuan mengetahui
pengaruh Assertiveness Training terhadap perilaku kekerasan pada klien skizoprenia. Desain penelitian ini kuasi eksperimen pre
post tes with control group. Sampel sebesar 72, diambil secara random sampling. Perilaku kekerasan meliputi respon perilaku,
sosial dan fisik diukur melalui observasi, serta kognitif dengan kuesioner. Perbedaan perilaku kekerasan dianalisis dengan t test.
Hasil penelitian menunjukkan perilaku kekerasan pada respon perilaku, kognitif, sosial dan fisik pada kelompok yang mendapatkan
Assertiveness Training dan terapi generalis menurun secara bermakna (p= 0,00, α= 0,05). Assertiveness Training terbukti
menurunkan perilaku kekerasan klien Skizoprenia. Penelitian tentang penerapan Assertiveness Training pada kasus selain
perilaku kekerasan diperlukan untuk melengkapi informasi tentang manfaat terapi ini.

Kata Kunci: assertiveness training, perilaku kekerasan, skizoprenia

Abstract

Violent behavior is the behavior of injuring self, others and the environment. This is the main reason for the client hospitalized.
One of client with violent behavior therapy is assertiveness training. This study aimed determine the effect of assertiveness
training for violent behavior on the client Schizophrenia. The study design was quasi-experimental pre-post test with control
group. Samples of 72, selected at random sampling. Violent behavior includes behavioral responses, socially and physically
measured through observation, and cognitive through questionnaires. Differences in violent behavior were analyzed by t test.
The results showed violent behavior on behavioral responses, cognitive, social and physical in the group who received
assertiveness training and generalist treatment decreased significantly (p= 0,00, α= 0,05). Training assertiveness shown to
decrease violent behavior Schizophrenia clients. Research on the application of assertiveness training in other case is required
to furnish information on the benefits of this therapy.

Keywords: assertiveness training, violence behavior, schizophrenia

Pendahuluan penduduk dunia menderita gangguan jiwa berupa


Penggolongan gangguan jiwa berdasarkan The Skizoprenia, jumlahnya tiap tahun makin bertam- bah
Diagnostic and Statistical Manual of Mental dan menimbulkan dampak bagi keluarga dan
Disorders IV (DSM-IV) adalah perubahan perilaku atau masyarakat berupa ketergantungan (Sadock, Sadock,
sindrom psikologi dihubungkan dengan adanya & Kaplan 2005).
distress seperti respon negatif terhadap sti- mulus atau
perasaan tertekan, ketidakmampu- an (disability) Laporan WHO tahun 2001, menyebutkan bahwa
seperti gangguan pada satu atau beberapa fungsi, dan Skizoprenia menyebabkan tingkat ketergantung- an
meningkatnya resiko un- tuk mengalami penderitaan, klien yang tinggi yaitu sebesar 2,5%. Per- ubahan
kematian, atau kehi- langan kebebasan (Varcarolis, perilaku merupakan salah satu gejala yang dijumpai
Carson, & Shoe- maker, 2006). Data American pada Skizoprenia. Angka kejadian peri- laku sering
Psychiatric Asso- ciation tahun 1995 menyebutkan 1% bertengkar dijumpai sekitar yaitu 47 % pada klien
dari populasi Skizoprenia (Stuart & Laraia, 2005).

46 JURNAL PSIKOLOGI JAMBI


Penurunan perilaku kekerasan pada klien skizoprenia (Dyah Wahyuningsih, Budi Anna Keliat, Sutanto Priyo Hastono) 52

fase krisis terlewati dilakukan Terapi Aktifitas


Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku Kelompok (TAK). Terapi spesialis belum diterap- kan,
agresi atau kekerasan yang ditunjukkan secara verbal, fisik termasuk terapi asertif (komunikasi personal dengan
atau keduanya kepada suatu objek, orang atau diri perawat ruang psikiatri).
sendiri yang mengarah pada potensial untuk destruktif
atau secara aktif menyebabkan kesakitan, bahaya dan Pertanyaan penelitian yang akan dijawab adalah
penderitaan (Djatmiko, 2008; Bernstein & Saladino , apakah Assertiveness Training berpengaruh ter- hadap
2007). terhadap perilaku kekerasan pada klien skizoprenia.
Penelitian ini dilakukan untuk me- ngetahui perbedaan
Strategi preventif untuk mencegah terjadi perilaku perilaku kekerasan pada klien skizoprenia sebelum dan
kekerasan berupa peningkatan kesadaran diri pe- sesudah diberikan per- lakuan berupa Assertive-ness
rawat, edukasi klien, dan Assertiveness Training Training.
(Stuart & Laraia, 2005). Assertiveness Training adalah
salah satu terapi spesialis melatih kemampu- an Metode
komunikasi interpersonal dalam berbagai situasi (Stuart
&Laraia, 2005). Desain penelitian ini adalah kuasi eksperimen pre- post
test with control group” dengan intervensi
Penelitian oleh Vinick (1983), menyatakan bahwa Assertiveness Training (AT). Sampel penelitian yaitu
pemberian assertiveness training berpengaruh klien skizoprenia dengan kriteria inklusi usia 18 – 60
menurunkan perilaku agresif, sehingga perilaku asertif tahun, bersedia jadi responden (kesedia- an menjadi
meningkat. Survei yang pada 18 klien risiko perilaku responden, ditandatangani oleh orangtua atau
kekerasan di Ruang Utari RS Marzoeki Mahdi Bogor penanggung jawab klien), diagnosa keperawat- an
oleh Sulastri (2008) dan menerapkan Assertiveness perilaku kekerasan dan klien merupakan klien baru
Training pada 13 orang (72,2%). Hasil yang didapatkan yang sudah melewati fase krisis dengan tanda tidak
yaitu dari 13 orang klien risiko perilaku kekerasan yang gelisah atau sudah tenang dan tidak diikat.
mendapatkan Assertive- ness Training dipadu dengan
terapi kognitif, token economy, logo therapy, psiko- Perhitungan besar sampel berdasarkan hasil per-
edukasi keluarga, triangle therapy menunjukkan hitungan uji pendugaan perbedaan antara dua rerata
peningkatan kemampuan berkomunikasi, perilaku berpasangan dengan derajat kemaknaan 5%, ke-
yang baik, peningkatan kemampuan mencari kuatan uji 95% dan uji hipotesis satu sisi (Lemeshow, et al.,
pemecahan masalah dan perubahan pikiran menjadi 1997) didapat 36. Besar sampel kelompok intervensi
positif, serta 10 orang klien berhasil pulang. dan kontrol yaitu 72. Metoda pengambilan sampel dengan
cara random sampling.
Klien gangguan jiwa di ruang psikiatri pada bulan
Januari 2009, terdiagnosis skizoprenia 80 orang Penelitian dilakukan di ruang rawat sebuah Rumah
dari jumlah total 90 orang (90%) dan sebanyak 62 Sakit di Banyumas selama lima minggu. Alat pe-
kasus (68%) alasan masuk klien skizoprenia yaitu ngumpul data perilaku kekerasan berupa kuesioner
dengan perilaku kekerasan (RSUDBanyumas, 2009). Klien untuk respon kognitif dan lembar observasi untuk
perilaku kekerasan pada fase krisis (4 - 5 hari), respon perilaku, sosial dan fisik.
diberikan tindakan ECT (Electro Convulsive Therapy),
Kelompok intervensi diberikan perlakuan berupa terapi
psikofarmaka, pengekangan dan terapi generalis.
generalis dan Assertiveness Training se- banyak lima
sesi. Kelompok kontrol hanya diberikan perlakuan terapi
Terapi generalis yang dilakukan menggunakan generalis. Analisis data dilakukan secara univariat,
pendekatan Nursing Intervention Criteria (NIC), bivariat (chi square, uji t-paired, uji t independent, uji
namun belum dilakukan secara optimal. Setelah anova) dan multivariat (regresi linier ganda).

46 JURNAL PSIKOLOGI JAMBI


Penurunan perilaku kekerasan pada klien skizoprenia (Dyah Wahyuningsih, Budi Anna Keliat, Sutanto Priyo Hastono) 53

Penurunan skor respon sosial kelompok yang men-


Hasil dapatkan terapi generalis dan Assertiveness Train- ing
Hasil penelitian menunjukkan bahwa klien skizo- prenia lebih rendah secara bermakna sebesar 8,86 (p< 0,05).
dengan perilaku kekerasan lebih dominan laki- laki Sedangkan, pada kelompok yang hanya mendapatkan
sebanyak 50 responden (69%), frekuensi di- rawat 3 terapi generalis penurunan lebih ren- dah secara tidak
kali atau lebih sebanyak 30 responden (41,7%). bermakna sebesar 0,16 (p> 0,05).
Sedangkan tipe skizoprenia paranoid di- peroleh
sebanyak 51 responden (70,8%) dan me- miliki riwayat Penurunan skor respon kognitif kelompok yang
kekerasan, baik sebagai pelaku, kor- ban atau saksi lebih mendapatkan terapi generalis dan Assertiveness
banyak yaitu 45 responden (62,5%). Training lebih rendah secara bermakna sebesar 7,50 (p=
0,00, α= 0,05). Pada kelompok yang hanya
Rerata total skor perilaku kekerasan sebelum respon- den mendapatkan terapi generalis dengan penurunan
mendapatkan Assertiveness Training yang me- liputi sebesar 0,17 (p= 0,00, α= 0,05).
respon perilaku 14,81 (sedang), respon sosial 15,19
(tinggi mendekati sedang), respon kognitif 15,31 Penurunan skor respon fisik kelompok yang men-
(tinggi mendekati sedang), dan rerata total respon fisik dapatkan terapi generalis dan Assertiveness Training lebih
yaitu 8,76 (tinggi). Rerata total kom- posit perilaku rendah secara bermakna sebesar 3,39 (p= 0,00, α= 0,05).
kekerasan 45,54 (tinggi mendekati sedang). Pada kelompok yang hanya mendapat- kan terapi
generalis dengan penurunan sebesar 2,69 (p= 0,00, α=
Penurunan skor respon perilaku kelompok yang 0,05). Penurunan skor komposit pe- rilaku kekerasan
mendapatkan terapi generalis dan Assertiveness kelompok yang mendapatkan terapi generalis dan
Training lebih rendah secara bermakna sebesar 8,52 (p< Assertiveness Training lebih rendah secara bermakna
0,05). Sedang pada kelompok yang hanya sebesar 25,78 (p= 0,00, α= 0,05) dan pada kelompok
mendapatkan terapi generalis dengan penurunan yang hanya mendapatkan terapi generalis dengan
sebesar 2,20 (p< 0,05). penurunan sebesar 2,56 (p= 0,00, α= 0,05).

Tabel 1. Perilaku Kekerasan sesudah Assertiveness Traning pada Kelompok Intervensi dan Kontrol Berdasarkan Respon
Perilaku, Sosial, Kognitif dan Komposit Perilaku Kekerasan

Variabel N Mean SD SE p
Respon perilaku
1. Intervensi 36 6,19 2,70 0,45 0,005
2. Kontrol 36 12,28 2,07 0,34
Respon sosial
1. Intervensi 36 6,25 2,19 0,37 0,005
2. Kontrol 36 15,11 1,83 0,31
Respon kognitif
1. Intervensi 36 7,81 2,51 0,40 0,005
2. Kontrol 36 15,61 1,71 0,29
Komposit perilaku kekerasan
1. Intervensi 36 20,25 5,51 0,90 0,005
2. Kontrol 36 43,00 4,14 2,69
Respon fisik
1. Intervensi 36 5,31 0,67 0,11 0,005
2. Kontrol 36 6,14 0,87 0,14

46 JURNAL PSIKOLOGI JAMBI


Penurunan perilaku kekerasan pada klien skizoprenia (Dyah Wahyuningsih, Budi Anna Keliat, Sutanto Priyo Hastono) 54

pemahaman tentang perilaku kekerasan, afektif berupa


Hasil analisis perilaku kekerasan sesudah Asser- kemauan untuk mengontrol perilaku ke- kerasan yang
tiveness Traning pada kelompok intervensi dan dilatih dan psikomotor berupa cara mengontrol
kontrol berdasarkan respon perilaku, sosial, kog- nitif, perilaku kekerasan yang konstruktif. Pemberian terapi
fisik dan komposit perilaku kekerasan ditampil- kan dalam generalis dan Assertiveness Training lebih efektif
tabel 1. Respon perilaku, sosial, kognitif, fisik dan untuk menurunkan respon perilaku dari pada hanya
komposit perilaku kekerasan setelah mendapatkan dengan terapi generalis.
terapi generalis dan Assertiveness Training lebih
rendah secara bermakna daripada yang hanya
Metode pelaksanaan Assertiveness Training dengan
mendapatkan terapi generalis (p< 0,05). tahapan describing (menggambarkan perilaku baru
yang akan dipelajari), learning (mempelajari
Pembahasan perilaku baru melalui petunjuk dan demonstrasi),
practicing atau role play (mempraktekan perilaku baru
Hasil penelitian yang menunjukkan rentang skor dengan memberikan umpan balik dan trans- ferring
keempat subvariabel perilaku kekerasan sebelum (mengaplikasikan perilaku baru dalam situasi nyata
Assertiveness Training baik respon perilaku, kog- nitif, akan memotivasi klien untuk lebih ber- peran aktif berfikir
sosial dan fisik berada pada rentang sedang dan tinggi. dan berlatih terhadap kemampuan perilaku yang diajarkan.
Hasil ini sesuai dengan fenomena yang ada di sebuah
bangsal psikiatri rumah sakit, bahwa sebagian besar Penurunan bermakna skor respon sosial klien ski-
alasan masuk klien gangguan jiwa dengan perilaku zoprenia setelah pemberian terapi generalis dan
kekerasan 62%. Assertiveness Training dari skor tinggi ke rendah,
menunjukkan adanya pengaruh Assertiveness
Keluarga membawa klien ke rumah sakit karena Training terhadap respon sosial. Kelompok yang
melakukan perilaku kekerasan seperti mengamuk, hanya mendapatkan terapi generalis terdapat
melukai orang lain, merusak lingkungan dan marah- penurunan tidak bermakna skor respon sosial klien
marah. Penelitian yang dilakukan oleh Keliat (2003) skizoprenia dengan skor tetap berada pada rentang
menyebutkan bahwa perilaku kekerasan merupa- kan tinggi.
salah satu gejala yang menjadi alasan bagi ke- luarga
untuk merawat klien di rumah sakit jiwa karena beresiko Penelitian yang dilakukan Bregman (1984, dalam
membahayakan bagi diri sendiri dan orang lain. Forkas (1997) menyatakan bahwa Assertiveness
Training berpengaruh positif terhadap kemampu- an
Penurunan bermakna respon perilaku terjadi pada berkomunikasi secara asertif dengan melibat- kan
kedua kelompok. Namun, secara substansi penurun- an aspek nonverbal. Metode pelaksanaan Asser- tiveness
skor perilaku lebih besar terjadi pada kelom- pok Training akan memotivasi klien untuk lebih berperan
intervensi yang mendapatkan Assertiveness Training aktif berfikir dan berlatih terhadap kemampuan sosial
(skor tinggi ke rendah) dari pada kelompok yang tidak atau verbal yang diajarkan.
mendapatkan Assertiveness Training (skor tinggi ke
sedang). Hal ini sesuai dengan pe- nelitian yang Penurunan bermakna skor respon kognitif klien
dilakukan oleh Keliat (2003), bahwa pemberian terapi skizoprenia setelah Assertiveness Training dari skor
generalis perilaku kekerasan meng- hasilkan kemampuan tinggi ke rendah, menunjukkan adanya pengaruh
mencegah perilaku kekeras- an secara mandiri sebesar Assertiveness Training terhadap respon kognitif. Keliat
86,6% dan secara signifi- kan menurunkan perilaku dan Sinaga (1991), menyatakan bahwa latihan asertif
kekerasan. akan melatih individu menerima diri sebagai orang yang
mengalami marah dan membantu meng- eksplorasi diri
Pemberian terapi generalis perilaku kekerasan ini dalam menemukan alasan marah.
melatih kemampuan klien secara kognitif berupa

46 JURNAL PSIKOLOGI JAMBI


Penurunan perilaku kekerasan pada klien skizoprenia (Dyah Wahyuningsih, Budi Anna Keliat, Sutanto Priyo Hastono) 55

lain menimbulkan respon fisik lebih komplek, be- rupa


Penelitian oleh Lange dan Jakubowski (1976, dalam tremor dan berkeringat. Marah dapat menye- babkan
Vinick, 1983) menyatakan bahwa Assertiveness muka kemerahan dan keringat berlebihan pada
Training menurunkan hambatan kognitif dan afektif seseorang, tapi tidak pada orang lain.
untuk berperilaku asertif seperti kecemasan, marah, dan
pikiran tidak rasional. Skizoprenia tipe paranoid berkontribusi secara ber-
makna terhadap respon sosial dan kognitif perilaku
Penurunan bermakna skor respon kognitif klien kekerasan. Penelitian yang dilakukan oleh Keliat (2003)
skizoprenia juga terjadi pada kelompok yang hanya menyatakan bahwa skizoprenia tipe paranoid
mendapatkan terapi generalis dan tidak mendapat berpengaruh terhadap perilaku kekerasan dan jarak
Assertiveness Training. Terapi generalis perilaku kekambuhan (p= 0,00, α= 0,05).
kekerasan memberikan kemampuan pada klien be- rupa
pengetahuan tentang marah baik penyebab marah,
tanda dan gejala marah, perilaku meng- ekspresikan Kesimpulan
marah yang dilakukan klien dan akibat- nya serta
menjelaskan cara ekspresi marah yang lebih konstruktif Karakteristik klien perilaku kekerasan lebih domi- nan
(Keliat, et al., 2006). yaitu laki-laki, memiliki riwayat kekerasan
sebelumnya, tipe skizoprenia paranoid dan frekuensi
Penurunan bermakna skor respon fisik klien ski- dirawat 3 (tiga) kali atau lebih. Perilaku kekerasan yang
zoprenia pada kelompok yang mendapat terapi dilakukan baik respon perilaku, sosial, kognitif, dan fisik
generalis dan Assertiveness Training serta pada ke- sebelum Assertiveness Training berada pada rentang
lompok yang hanya mendapatkan terapi generalis. tinggi. Assertiveness Training dan terapi generalis
Perbedaan penurunan skor fisik pada dua kelompok yang berpengaruh signifikan menurunkan respon perilaku,
tidak begitu besar, menunjukkan bahwa pem- berian sosial, kognitif, fisik, dan komposit perilaku kekerasan.
terapi generalis tanpa Assertiveness Training pada Terapi generalis berpengaruh signifi- kan menurunkan
kelompok kontrol, serta pemberian terapi generalis respon perilaku, kognitif, fisik dan komposit perilaku
dan Assertiveness Training berpengaruh terhadap kekerasan.
respon fisik dengan penurunan mendekati skor minimal
yaitu 5 (lima). Perilaku kekerasan pada kelompok yang mendapat
terapi generalis dan Assertiveness Training meng-
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Assertive- ness alami penurunan lebih rendah secara bermakna dari pada
Training hanya berkontribusi terhadap respon perilaku, kelompok yang hanya mendapat terapi gene- ralis.
sosial, kognitif dan komposit perilaku ke- kerasan tidak Selisih penurunan perilaku kekerasan kelompok yang
berkontribusi pada respon fisik. Tipe skizoprenia mendapat terapi generalis dan Assertiveness Training
berkontribusi terhadap respon sosial dan kognitif, tapi berbeda secara bermakna dari pada kelompok yang
tidak pada respon fisik. hanya mendapat terapi generalis.

Respon fisik dipengaruhi penilaian individu terhadap Karakteristik tipe skizoprenia paranoid berkontri- busi
situasi, bersifat otomatis dan tidak berada dibawah terhadap perilaku kekerasan respon sosial dan kognitif.
kontrol. Locus Cerelus diotak mengawali respon stres Penelitian kualitatif perlu dilakukan sebagai tindak lanjut
dengan melepaskan stimulus ke saraf simpatik yang penelitian ini untuk melengkapi infor- masi tentang
disebut reaksi fight atau flight dan mening- katkan penurunan respon perilaku kekerasan setelah pemberian
aktifitas kelenjar pituitari serta adrenal (Boyd & Nihart, terapi generalis dan Assertiveness Training. Penelitian
1998). penerapan Assertiveness Training pada kasus selain
perilaku kekerasan di- perlukan untuk melengkapi
Respon simpatik yang mengikuti emosi bersifat unik, informasi tentang man- faat terapi ini (DN, AY, INR).
artinya bahwa marah mungkin secara otomatis
menyebabkan tremor pada seseorang tapi pada orang

46 JURNAL PSIKOLOGI JAMBI


Penurunan perilaku kekerasan pada klien skizoprenia (Dyah Wahyuningsih, Budi Anna Keliat, Sutanto Priyo Hastono) 29
Referensi
Bernstein, K.S. & Saladino, J.P. (2007). Clinical assessment and management of psychiatric patients’ violent
and aggressive behaviors in general hospital. Medsurg Nurs, 16 (5), 301-9,
331. (PMID: 18072668).

Boyd, M.A., & Nihart, M.A. (1998). Psychiatric nursing contemporary practice. Philadelphia: Lippincott.

Djatmiko, P. (2008). Berbagai indikator taraf kesehatan jiwa masyarakat. Diperoleh dari http://pdskjijaya.com.

Forkas, W.M. (1997). Assertiveness training with individuals who are moderately and mildly retarded
(Theses master, University of the Pacific). University of the Pacific, Stockton - California, United Stated.

Keliat, B.A. & Sinaga. (1991). Asuhan keperawatan pada klien marah. Jakarta: EGC.

Keliat, B. A. (2003). Pemberdayaan klien dan keluarga dalam perawatan klien skizoprenia dengan perilaku
kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Pusat Bogor (Disertasi, Tidak dipublikasi- kan). Program Doktor Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta.

Keliat, B.A., dkk. (2006). Modul model praktek keperawatan profesional jiwa (MPKP) Jiwa. Jakarta: WHO-
FIK UI.

29
Penurunan perilaku kekerasan pada klien skizoprenia (Dyah Wahyuningsih, Budi Anna Keliat, Sutanto Priyo Hastono) 30
Lemeshow, et al. (1997). Besar dan metode sampel pada penelitian kesehatan. Yogyakarta: UGM Press.

RSUD Banyumas. (2009). Sistem informasi rumah sakit. Banyumas, Jawa Tengah.

Sadock, B.J., Sadock, V.A., & Kaplan, H.I. (2005). Kaplan and Sadock’s comprehensive text- book of
psychiatry (8th Ed.). Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins.

Stuart, G.W., & Laraia, M.T. (2005). Principles and practice of psychiatric nursing (7th Ed.). St. Louis: Mosby
Year B.

Sulastri. (2008). Manajemen asuhan keperawat- an jiwa spesialis pada pasien dengan risiko perilaku
kekerasan di Ruang Utari RSMM Bogor (KTI, tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok.

Varcarolis, E.M., Carson, V.B., & Shoemaker,


N.C. (2006). Foundations of psychiatric mental health nursing: A clinical approach (5th Ed.). St. Louis:
Elsevier.

Vinick, B. A. (1983). The effects of assertiveness training on aggression and self-concept in conduct
disordered adolescents (Dissertations master, Memphis State University). The Doctoral program
Memphis State University, Memphis, Tennessee - United States.

30
Penurunan perilaku kekerasan pada klien skizoprenia (Dyah Wahyuningsih, Budi Anna Keliat, Sutanto Priyo Hastono) 31
Jurnal Keperawatan Volume 6 No 1, Hal 29 - 35, Mei 2018 ISSN 2338-2090 (Cetak)
Jurnal Keperawatan Jiwa, Volume 6 No 1 Hal 29- 35, Mei 2018
FIKKesUniversitas
FIKKes Universitas Muhammadiyah
Muhammadiyah Semarang
Semarang bekerjasama
bekerjasama dengan
dengan PPNI
PPNI Jawa
Jawa Tengah
Tengah

STUDI FENOMENOLOGI : STRATEGI PELAKSANAAN YANG EFEKTIF


UNTUK MENGONTROL PERILAKU KEKERASAN MENURUT PASIEN
DI RUANG RAWAT INAP LAKI LAKI

Sujarwo1, Livana PH2


1
RSJD Dr Amino Gondhohutomo Semarang
2
Program studi Ners, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal
jarfafafin@gmail.com

ABSTRAK
Hemodialisis (cuci darah) merupakan suatu tindakan terapi pengganti ginjal yang telah rusak. Pasien yang
menjalani hemodialisis mengalami masalah psikologis salah satunya yaitu ansietas. Ansietas terjadi
dikarenakan kurangnya pengetahuan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat ansietas, pasien
dan keluarga pasien hemodialisis di RS Kendal. Metode penelitian menggunakan survey deskriptif
kuantitatif.Alat ukur menggunakan 14 pertanyaan terkait ansietas pada kuesioner DASS (Depression Anxiety
Stress Scale).Sampel penelitian berjumlah 60 pasien dan 60 keluarga pasien.Hasil penelitian menunjukkan
bahwa mayoritas pasien dan keluarga pasien mengalami ansietas pada tingkat berat. Hasil penelitian ini
direkomendasikan kepada peneliti selanjutnya agar dapat memberikan intervensi yang efektif untuk mengatasi
ansietas pasien dan keluarga pasien hemodialisis.

Kata kunci: Ansietas, Pasien dan Keluarga pasien hemodialisis

DESCRIPTION OF PATIENT ANSIETAS LEVELS AND FAMILY OF HEMODIALYSIS


PATIENTS

ABSTRACT
Hemodialysis (dialysis) is an action therapy for kidney replacement that has been damaged. Patients who
undergo hemodialysis experience psychological problems, one of which is anxiety. Anxiety occurs due to lack
of knowledge. The study aims to describe the level of anxiety, patients and families of hemodialysis patients in
Kendal Hospital. The research method used a quantitative descriptive survey. Measuring instruments used 14
questions related to anxiety on the DASS questionnaire (Depression Anxiety Stress Scale). The research
samples were 60 patients and 60 patient families. The results showed that the majority of patients and families
of patients experienced anxiety at a severe level. The results of this study were recommended to future
researchers in order to be able to provide effective interventions to overcome the anxiety of patients and
families of hemodialysis patients.

Keywords: Anxiety, Patients and Families of hemodialysis patients


mengganggu fungsi sosial, pekerja, dan fisik
PENDAHULUAN
Gangguan jiwa adalah suatu sindrom atau pola
psikologis atau perilaku yang penting secara klinis
yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan
adanya distress atau disabilitas disertai
peningkatan resiko kematian yang menyakitkan,
nyeri, disabilitas, atau kehilangan kebebasan
(American Psychiatric Association 2000 dalam
Varcarolis, 2006). Menurut (Townsend, 2005)
mengungkapkan gangguan jiwa adalah respon
maladaptive terhadap stressor dari lingkungan
internal dan eksternal yang ditunjukkan dengan
pikiran, perasaan, tingkah laku yang tidak sesuai
dengan norma local dan budaya setempat, dan
31
Penurunan perilaku kekerasan pada klien skizoprenia (Dyah Wahyuningsih, Budi Anna Keliat, Sutanto Priyo Hastono) 32
individu. Salah satu gangguan jiwa yang menjadi
penyebab penderita dibawa ke rumah sakit adalah
perilaku kekerasan. Peilaku kekerasan (PK)
adalah suatu bentuk perilaku agresi atau
kekerasan yang ditunjukkan secara verbal, fisik,
atau keduanyakepada suatu subyek, orang atau
diri sendiri yang mengarah pada potensial untuk
destruktif atau secara aktif menyebabkan
kesakitan, bahaya, dan penderitaan (Bernstein &
Saladino, 2007).

Menurut rekam medic RSJD Dr. Amino


Gondohutomo Semarang tahun 2015 , presentase
penderita gangguan jiwa selama tahun 2014 yaitu
klien rawat inap laki-laki sebanyak 65,3% dan

32
Jurnal Keperawatan Jiwa, Volume 6 No 1, Hal 29 - 35, Mei 2018
FIKKes Universitas Muhammadiyah Semarang bekerjasama dengan PPNI Jawa Tengah
keempat SP yang digunakan untuk mengontrol
34,7% perempuan. Sedangkan pada bulan Januari
perilaku kekerasan, peneliti ingin mengetahui SP
sampai Juli 2016 sebanyak 2294 orang,
nomor berapa yang paling efektif digunakan pada
diantaranya 1162 halusinasi (50,65%), menarik
pasien perilaku kekerasan.
diri 462 orang (20,13%), harga diri rendah 374
orang (5,66%), perilaku kekerasan 128 orang
(5,58%), defisit perawatan diri 21 orang (0,91%), METODE
kerusakan komunikasi verbal 16 orang (0,70%), Penelitian ini menggunakan pendekatan
percobaan bunuh diri 1 orang (0,40%). kualititatif, penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan
Pasien gangguan jiwa skizofrenia paranoid dan dari orang-orang dan perilaku yang diamati
gangguan psikotik dengan gejala curiga berlebihan, (Meloang, 2007). Penelitian ini dilakukan untuk
galak, dan bersikap bermusuhan. Gejala ini mengetahui SP perilaku kekerasan yang paling
merupakan tanda dari pasien yang mengalami efektif menurut pendapat responden. Populasi
perilaku kekerasan (Medikal Record, 2009). dalam penelitian ini adalah semua pasien dengan
Masalah yang sering muncul pada klien gangguan masalah resiko perilaku kekerasan di ruang Rawat
jiwa khususnya dengan kasus perilaku kekerasan Inap Laki laki RSJD Dr. Amino Gondhutomo
salah satunya adalah tindakan marah. Tindakan Semarang. Adapun kriteria inklusi dari penelitian
yang dilakukan perawat dalam mengurangi resiko ini antara lain pasein sehat secara fisik, pasien
perilaku kekerasan salah satunya adalah dengan dengan resiko perilaku kekerasan, mampu
menggunakan strategi pelaksanaan (SP). SP berkomunikasi dengan baik, pasien kooperatif dan
merupakan pendekatan yang bersifat membina dapat mengungkapkan perasannya secara verbal
hubungan saling percaya antara klien dengan dengan baik. Teknik pengambilan sampel dalam
perawat, dan dampak apabila tidak diberikan SP penelitian ini menggunakan teknik purposive
akan membahayakan diri sendiri maupun sampling (judgment sampling). Peneliti mengkaji
lingkungannya. Dari hasil observasi yang telah faktor predisposisi, kondisi fisik dan status mental
dilakukan oleh perawat, kami tertarik untuk klien dengan resiko perilaku kekerasan dan
melakukan studi kasus mengenai penerapan stategi menetapkan sampel berdasarkan kriteria inklusi.
pelaksanaan (SP) perilaku kekerasan yang paling Jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini
efektif di ruang rawat inap laki laki RSJD Dr. sebanyak 6 penderita skizofrenia dengan resiko
Amino Gondohuttomo Semarang. perilaku kekerasan di ruang rawat inap laki laki
RSJD Dr. Amino Gondohutomo. Alat penelitian
Strategi pelaksanaan (SP) yang dilakukan oleh yang digunakan meliputi, lembar observasi, kertas
klien dengan perilaku kekerasan adalah diskusi dan recorder. Cara pengumpulan data pada
mengenai cara mengontrol perilaku kekerasan penelitian dilakukan dengan melakukan kontrak
secara fisik, obat, verbal, dan spiritual. Mengontrol waktu, melakukan indeept interview, menvalidasi
perilaku kekerasan secara fisik dapat dilakukan dan menyimpulkan jawaban informan informan,
dengan cara nafas dalm, dan pukul bantal atau mendokumentasikan respon informan, dan
kasur. Mengontrol secara verbal yaitu dengan cara mengakhiri dengan penutupan serta salam.
menolak dengan baik, meminta dengan baik, dan
mengungkapkan dengan baik. Mengontrol perilaku HASIL
kekerasan secara spiritual dengan cara shalat dan Hasil penelitian berupa transkip wawancara yang
berdoa. Serta mengontrol perilaku kekerasan telah peneliti buat kemudian dikategorikan sesuai
dengan minum obat secara teraturdengan prinsip dengan kata kunci yang telah disajikan dalam
lima benar (benar klien, benar nama obat, benar tabel dan skema berikut :
cara minum obat, benar waktu minum obat, dan
benar dosis obat). Dari

30
Jurnal Keperawatan Jiwa, Volume 6 No 1 Hal 29- 35, Mei 2018
FIKKes Universitas Muhammadiyah Semarang bekerjasama dengan PPNI Jawa Tengah

Tabel 1. Kategori dan kata kunci


Kategori Kata Kunci
Marah Marah secara verbal seperti berbicara kasar dan keras
Marah secara tindakan seperti mengamuk, memukul, merusak barang
Penyebab marah Diri sendiri : merasa curiga ada yang ingin jahat pada dirinya
Orang lain : kata-kata yang menyinggung dan membuat marah, diacuhkan dan
diabaikan orang lain, dikhianati
Yang dilakukan Secara verbal : berbicara kasar dan ngomel-ngomel
ketika marah Secara fisik :berkelahi, membanting barang, membakar barang

Kategori Kata Kunci


Marah berhenti jika Secara verbal : ketika dimarahin orang lain, ketika lelah sendiri
Secara tindakan : ketika merasa uas dengan tindakan yang dilakukan seperti
membacok, menghancurkan barang
Mengontrol PK Sudah : sudah pernah diajarkan SP minimal SP 1
Belum : belum diajarkan SP sama sekali
Efektivitas SP Nafas dalam
Pukul bantal
Verbal dengan menolak dan meminta sesuatu secara baik
Spiritual : berdoa, dzikir, calming teknique,
Obat
Perassaan Lega : tidak ada beban didalam hati
Tenang : hati adem
Pelaksanaan SP Mandiri : dilakukan secara mandiri
Diingatkan : harus ada orang yang mengingatkan saat pelaksanaan SP
Selalu : >3x sehari
Jarang : 2x sehari
Kuantitas
Kadang : 1x sehari
Tidak pernah : 0

31
Jurnal Keperawatan Jiwa, Volume 6 No 1, Hal 29 - 35, Mei 2018
FIKKes Universitas Muhammadiyah Semarang bekerjasama dengan PPNI Jawa Tengah

Tabel 2.
Tema, Sub tema dan Kategori
Tema Sub tema Kategori
1. Tindakan : mengamuk
2. Verbal : marah-marah
Penyebab masuk RSJ
3. Tindakan : memukul
4. Tindakan : merusak barang
1. Orang lain : Tersinggung
2. Orang lain : Tidak diperhatikan
Penyebab mengamuk
3. Diri sendiri : Curiga
4. Orang lain : Dikhianati
1. Fisik : Berkelahi
2. Fisik : Membanting barang-barang
Yang dilakukan ketika marah
3. Verbal : Bicara kasar
4. Fisik : Membakar
Marah berhenti, jika melakukan 1. Tindakan : membacok
Pengetahuan pasien 2. Verbal : dimarahin
tentang perilaku 3. Verbal : ketika klien merasa lelah
kekerasan
4. Tindakan : menghancurkan barang
Diajarkan cara mengontrol 1. Sudah : SP1-SP 4
Perilaku Kekerasan 2. Sudah : SP1-SP 4
3. Sudah : SP1-SP 4
4. Sudah : SP1-SP 4
1. Spiritual : Berdoa dan ikhlas
Paling efektif mengontrol 2. Napas dalam dan berdoa / shalat
marah 3. Nafas dalam
4. Nafas dalam dan Pukul bantal
Perasaan setelah melakukan 1. Lega
cara mengontrol marah 2. Tenang
3. Tenang
4. Lega
Melakukan SP secara mandiri 1. Mandiri
atau diingatkan 2. Mandiri
3. Mandiri
4. Mandiri
Kuantitas 1. Kadang-kadang : 1x sehari
2. Kadang-kadang : 1x sehari
3. Kadang-kadang : 1x sehari
4. Kadang-kadang : 1x sehari

Masing-masing tema yang didapat dari hasil Saya dibawa kesini karena suka ngamuk-
penelitian akan dijelaskan sebagai berikut : ngamuk mbak, suka marah juga sama mukul-
1. Pengetahuan pasien tentang perilaku kekerasan mukul orang”
Tema ini terdari dari sub tema antara lain : 4) Merusak barang : 1 dari 6 informan dibawa
a. Penyebab masuk RSJ ke RSJ karena merusak barang
1) Marah : 5 dari 6 informan “Saya dibawa kesini karena suka ngamuk-
menyatakan dibawa ke RSJ karena marah- ngamuk mbak, suka mukul kaca jendela juga.
marah Ya kaca jendelanya sampai pecah gitu.”
“Marah-marah”
2) Mengamuk : 4 dari 6 informan menyatakan
dibawa ke RSJ karena mengamuk. b. Penyebab prilaku kekerasan
“Mengamuk” 1) Tersinggung : 5 dari 6 informan menyatakan
3) Memukul : 2 dari 6 informan menyatakan mengamuk karena tersinggung
dibawa RSJ karena memukul orang “Biasanya karena saya nggak tidur, terus
pusing terus ada yang menyinggung atau
32
Jurnal Keperawatan Jiwa, Volume 6 No 1 Hal 29- 35, Mei 2018
FIKKes Universitas Muhammadiyah Semarang bekerjasama dengan PPNI Jawa Tengah

membuat saya marah, itu saya langsung f. Perasaan setelah melakukan cara mengontrol
ngamuk” marah
2) Tidak diperhatikan : 4 dari 6 informan 1) Lega : 5 dari 6 informan mengatakan merasa
mengatakan mengamuk karena tidak lega setelah melakukan cara mengontrol marah
diperhatikan keluarganya “Ya perasaan saya sedikit lega, soalnya bisa
“Soalnya saya kesel sama ibu saya, yang ga marah tanpa melukai orang lain. saya kalau
merhatiin saya” ngontrol PK itu sendiri mbak”
3) Curiga : 2 dari 6 informan mengatakan 2) Tenang : 3 dari 6 informan mengatakan
mengamuk karena curiga terhadap orang yag merasa tenang setelah melakukan cara
berniat jahat padanya mengontrol marah
“Saya merasa ada orang yang ingin jahat “Ya perasaan saya lebih tenang mba setelah
kepada saya, yang akan membunuh saya” nafas dalam. Jadi lebih adem aja hatinya.
4)Dikhianati / tidak dihargai : 4 dari 6
informan mengatakan mengamuk karena telah PEMBAHASAN
dikhianati “Saya ngamuk kayak gini gara-gara Hasil penelitian diatas didapatkan dari 6 informan
diselingkuhi istri mbak. Dia selingkuh coba menyatakan melakukan Prilaku kekerasan karena
dengan teman kerjanya” tersinggung 5, karena tidak dihargai / diperhatikan
4, dan hanya 2 informan curiga terhadap orang yag
c. Yang dilakukan ketika marah berniat jahat padanya. Faktor pencetus terjadinya
1) Berkelahi : 2 dari 6 informan mengatakan perilaku kekerasan terbagi dua yaitu dari dalam diri
ketika marah akan berperang (bertengkar). klien sendiri dan dari lingkungan. Faktor di dalam
“Perang, tawuran sama orang kecamatan lain, diri seperti kelemahan fisik, keputusasaan,
bacok-bacokan” ketidakberdayaan, dan kurang percaya diri. Selain
2) Membanting barang-barang :3 itu faktor lingkungan yang menjadi penyebab
dari 6 informan mengatkan ketika marah akan perilaku kekerasan seperti kehilangan orang atau
membanting barang-barang objek yang berharga dan konflik interaksi sosial
“Kadang mbanting barang juga.”, saya (Yosep, 2007).
membakar sepeda”
3)Berbicara kasar : 5 dari 6 informan Hasil penelitian diatas menunjukkan dari 6
mengatakan ketika marah bicara kasar informan menyatakan yang paling efektif
“Ya saya biasanya ngomel gitu mbak,” mengontrol marah adalah : dengan berdoa dan
ikhlas menerima kenyataan yang sudah terjadi 5.
d.Diajarkan cara mengontrol marah Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang
1) Sudah : Semua informan menyatakan sudah mengatakan bahwa mengontrol marah dapat
pernah diajari cara mengontrol marah dilakukan dengan menggunakan pendekatan
“Sholat dan berdoa, iklas menerima” spiritual melalui calming
technique dan saling memaafkan pada pasien
e.Paling efektif mengontrol marah skizofrenia dengan resiko perilaku kekerasan
1) Berdoa dan iklas menerima kenyataan : 5 (Padma,S & Dwidiyanti, M, 2014).Selain itu
dari 6 informan mengatakan yang paling efektif penelitian psikiatrik membuktikan bahwa ada
mengontrol marah adalah dengan berdoa atau hubungan yang signifikan antara komitmen agama
sholat dan menerima semuanya dengan iklas dan kesehatan, yaitu seseorang yang taat
“Sholat dan berdoa, iklas menerima” menjalankan ajaran agama relatif lebih sehat dan
mampu mengatasi penyakitnya sehingga proses
2) Nafas dalam : 5 dari 6 informan mengatakan
penyembuhan penyakit lebih cepat (Zainul, 2007).
yang paling efektif mengontrol marah adalah
dengan nafas dalam Menurut (Sulistyowati & Prihantini, 2015)
menunjukkan bahwa adanya pengaruh terapi
“Kadang juga nafas dalam sambil istigfar”
3) Pukul bantal : 2 dari 6 informan mengatakan psikoreligius terhadap penurunan perilaku
yang paling efektif mengontrol marah adalah kekerasan pada pasien skizofrenia di RSJD
Surakarta.
dengan pukul bantal
“Saya sering melakukan pukul bantal mba.
Saya latihan pukul bantal 10-15 menit.” Hasil penelitian juga menunjukkan 5 informan
menyatakan yang paling efektif untuk mengontrol
perilaku kekerasan adalah dengan nafas dalam.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Zelianti (2011)

33
Jurnal Keperawatan Jiwa, Volume 6 No 1, Hal 29 - 35, Mei 2018
FIKKes Universitas Muhammadiyah Semarang bekerjasama dengan PPNI Jawa Tengah
DAFTAR PUSTAKA
tentang pengaruh tehnik relaksasi nafas dalam
Bernstein, K.S & Saladino, J.P. 2007. Clinical
terhadap tingkat emosi klien perilaku kekerasan di
assessment and management of psychiatric
Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino
patient’s violent and aggressive behaviors in
Gondohutomo yang menyatakan ada pengaruh
general hospital. Medsurg, 16 (5), 301-9,
yang signifikan antara tehnik relaksasi nafas dalam
331. PMID: 18072668.
terhadap tingkat emosi klien perilaku kekerasan.
Selain itu penelitian lain menyebutkan bahwa, ada Carpenito, Lynda Juall. 2000. Buku Diagnosa
pengaruh pemberian tehnik relaksasi nafas dalam Keperawatan. Editor Monica Ester. EGC :
terhadap kemampuan pasien mengendalikan Jakarta.
perilaku kekerasan di Ruang Bratasena RSJ
Provinsi Bali. Dossey, M. 2008. Holistic nursing: a handbook for
practice. Janes & Bartlitt publisher, Canada:
Melihat hasil diatas dengan dilakukannya Missisauga.
pendekatan Spiritual dan Napas
Dalama dapat memberikan efek menenangkan dan Keliat, B.A. 1998. Proses Keperawatan Jiwa.
merelaksasi pikiran , sehingga klien dapat Jakarta: EGC
mengontrol emosiny, bahkan 5 informan
menyatakan lega setelah melakukan cara Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian
mengontrol emosi yang dilakukannya sedangkan Kualitatif, Penerbit PT Remaja Rosdakarya
3 lainnya menyatakan merasa lega dan tenang Offset, Bandung
setelah mengontrol emosinya.
Padma,Sri & Dwidiyanti, Meidiana. 2014. Studi
Cara mengontrol perilaku kekerasan yang menurut kasus: mindfulness dengan pendekatan
informan efektif adalah pukul bantal. Beberapa spiritual pada pasien skizofrenia dengan
penelitian tentang aktivitas fisik dan terapi resiko perilaku kekerasan. Program studi
olahraga terhadap gangguan kejiwaan ilmu keperawatan, fakultas kedokteran
membuktikan, bahwa aktivitas fisik tersebut dapat Universitas Diponegoro. Konas Jiwa XI
meningkatkan kepercayaan pasien terhadap orang Riau: Hal 290-294.
lain (Campbell & Foxcroft, 2008), dan juga
membantu mengontrol kemarahan pasien Pramudaningsih I, Soekarno C, Susilowati Y.
(Hassmen, Koivula & Uutela, 2000). Oleh karena Pemberian Strategi pelaksanaan pada klien
itu klien perlu dilatih mengontrol amarahnya gangguan jiwa dengan perilaku kekerasan di
dengan melakukan kegiatan fisik sehingga dapat ruang citro anggodo RSJD Dr. Amino
berperilaku lebih adaptif dalam situasi-situasi Gondohutomo Semarang. 2014. Jurnal
dalam hidupnya berikutnya. profesi keperawatan: vol 1 no.1, hal 1-116,
ISSN 2355-8040
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Sulistyowati, D & Prihantini. 2015. Pengaruh
1. Penerapan stategi pelaksanaan (SP) perilaku terapi psikoreligi terhadap penurunan
kekerasan yang paling efektif menurut pasien perilaku kekerasan pada pasien skizofrenia
perilaku kekerasan di ruang rawat inap laki laki di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.
RSJD Dr. Amino Gondohuttomo Jurnal terpadu ilmu kesehatan, Vol 4, No. 1,
Semarangadalah dengan cara Spiritual dan Hal: 72-77. Kementrian kesehatan
Napas Dalam. politeknik kesehatan Surakarta jurusan
2. Penerapan strategi pelaksanaan (SP) spiritual keperawatan.
yang paling efektif tersebut menurut menurut
pasien perilaku kekerasan di ruang rawat inap Sumirta, Nengah I, Githa, Wayan I & Sariasih,
laki laki RSJD Dr. Amino Gondohuttomo Nengah Ni. 2013. Relaksasi Nafas Dalam
Semarang karena memberikan ketenangan dan Terhadap Marah Klien Dengan Perilaku
rasa lega. Kekerasan. Denpasar

Saran Townsend, C.M. 2005. Essentials of psychiatric


Perawat dapat lebih melatih kemampuan pasien mental health nursing. Philadelphia: F.A
perilaku kekerasan mengotrol perilaku kekerasan Davis Company.
dengan mengajari Relaksasi Napas Dalam dan cara
spiritual seperti sholat, mengaji dan berdzikir.

34
Jurnal Keperawatan Jiwa, Volume 6 No 1 Hal 29- 35, Mei 2018
FIKKes Universitas Muhammadiyah Semarang bekerjasama dengan PPNI Jawa Tengah

35
Jurnal Keperawatan Jiwa, Volume 6 No 1 Hal 29- 35, Mei 2018
FIKKes UniversitasE.M.
Varcarolis, Muhammadiyah Semarangnursing
2006. Psychiatric bekerjasama dengan
clinical PPNI Jawa
assament Tengah
tools and diagnosis. Philadelphia: W.B
Sounders Co.

36
Jurnal Keperawatan Jiwa, Volume 6 No 1 Hal 29- 35, Mei 2018
FIKKes Universitas
Zelianti. 2011.Muhammadiyah Semarang
Pengaruh Tehnik bekerjasama
Relaksasi dengan
Nafas PPNI Jawa
Dalam TengahTingkat
Terhadap Emosi Klien Perilaku
Kekerasan di RSJD Dr Amino Gondohutomo Semrang.
Jurnal Keperawatan dan Kebidanan Aisyiyah ISSN 2477-8184
Vol 14, No. 1, Juni 2018, pp.83-90 83

Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi berhubungan dengan


kemampuan pasien dalam mengontrol perilaku kekerasan

Activity therapy of perception stimulation groups are related with


patient ability to control violence behavior
Widya Arisandy1,*, Sunarmi2
12
Program Studi DIII Keperawatan

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah Palembang Indonesia


1
widya_arisandy@yahoo.com*, 2sunarmiiswandi82@gmail.com

* corresponding author
Tanggal Submisi: 30 Oktober 2017, Tanggal Penerimaan: 5 Maret 2018

Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi dengan
kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasan di Rumah Sakit Ernaldi Bahar, Sumatera Selatan
tahun 2017. Jenis penelitian adalah kuantitatif yang bersifat observasional analitik dengan metode study
cross-sectional. Variabel independen adalah terapi aktivitas kelompok dan variabel dependen adalah
kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasan. Sampel sebanyak 23 orang adalah pasien dengan
perilaku kekerasan yang dirawat di ruang rawat inap Kenanga, Merpati dan Bangau. Pengambilan sampel
dengan cara purposive sampling. Distribusi frekuensi terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi
perilaku kekerasan secara lengkap 13 orang (56,5%). Berdasarkan uji statistik didapatkan nilai p-
value=0,01>α (α=0,05) yang artinya ada hubungan yang bermakna antara terapi aktivitas kelompok
stimulasi persepsi dengan kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasan.

Kata kunci: terapi aktivitas kelompok; mengontrol perilaku kekerasan

Abstract
The study aimed to identify the group activities stimulation therapy perception by ability to pay control
violent behavior in the hospital Ernaldi Bahar South Sumatera Province in 2017. The kind of research is
observational analytic quantitative designed, cross-sectional study where the independent variable is
therapeutic activities dependent variable groups and control and the ability to pay. violent behavior the
population of this research is patients with violent behavior hospitalized inpatient rooms of
reconnoitering, the pigeons and the sample. Stork with 23 The sample collection by means of purposive.
A frequency distribution of stimulation therapy group activities to a complete 13 the violent behavior (
56.5 % ). Based on statistical tests found the P Value 0.01 < 0,05 meaningful relationship between therapy
group activities stimulation perception by ability to pay control.

Keywords: therapy; control group activities to violent behavior

Doi : http://dx.doi.org/10.31101/jkk.553 This is an open access article under the CC–BY-SA license.

37
ISSN 2477-8184 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Aisyiyah 84
Vol. 14, No. 1, Juni 2018, pp. 83-90

PENDAHULUAN
Kesehatan jiwa adalah kemampuan individu dalam kelompok dan lingkungan untuk berinteraksi
dengan yang lain sebagai cara untuk mencapai kesejahteraan, perkembangan yang optimal, dengan
menggunakan kemampuan mental (kognisi, afeksi, relasi), memiliki prestasi individu serta kelompok,
konsisten dengan hukum yang berlaku. Berbagai karakteristik yang positif yang menggambarkan
keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadiannya (Yosep,
2013). Gangguan jiwa saat ini telah menjadi masalah kesehatan global bagi setiap negara, tidak hanya di
Indonesia. Gangguan jiwa yang dimaksud tidak hanya gangguan jiwa spikotik atau skizofrenia, tetapi
kecemasan, depresi dan penggunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA) juga menjadi
masalah kesehatan jiwa (Depkes RI, 2012).
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2012 ada sekitar 450 juta orang di dunia
yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Setidaknya ada satu dari empat orang di dunia mengalami
masalah kesehatan jiwa yang secara keseluruhan menjadi masalah serius. Orang yang mengalami
gangguan jiwa sepertiganya tinggal di negara berkembang. Sebanyak 8 dari 10 penderita gangguan
mental tidak mendapat perawatan (Yosep, 2013).
Ciri khas dari penderita skizophrenia adalah menarik diri dari lingkungan social dan hubungan
personal serta hidup dalam dunianya sendiri, lalu diikuti dengan delusi dan halusinasi yang berlebihan.
Pada penderita skizophrenia 70% diantaranya mengalami halusinasi (Purba, Wahyuni, Nasution &
Daulay, 2008).
Indonesia mengalami peningkatan jumlah penderita gangguan jiwa cukup banyak. Prevalensi
gangguan jiwa berat pada tahun 2012 dengan usia di atas 15 tahun mencapai 0,46% dan ini berarti bahwa
terdapat lebih dari 1 juta jiwa di Indonesia menderita gangguan jiwa berat. Berdasarkan data tersebut
diketahui 11,6% penduduk Indonesia mengalami masalah gangguan mental emosional. Pada tahun 2013
jumlah penderita gangguan jiwa mencapai 1,7 juta orang (Riskesdas, 2013).
Berdasarkan data medical record di RS Ernaldi Bahar kasus gangguan jiwa pada tahun 2013
berjumlah 5.600 jiwa dan pada tahun 2014 mengalami penurunan menjadi 5.236 jiwa. Setelah dilakukan
studi awal terdapat 2.417 jiwa yang mengalami gangguan jiwa terhitung dari bulan Januari sampai bulan
Desember 2015. Gangguan jiwa yang umum terjadi adalah perilaku kekerasan. Menurut Benkowitz,
perilaku kekerasan merupakan respons terhadap stressor yang dihadapi oleh seseorang yang ditunjukkan
dengan perilaku aktual melakukan kekerasan, baik pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan,
secara verbal maupun nonverbal, bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikologis
(Direja, 2011).
Perilaku kekerasan biasanya disebabkan oleh situasi berduka yang berkepanjangan dari seseorang
karena ditinggal oleh seseorang yang dianggap penting. Jika hal ini tidak berhenti, maka akan
menyebabkan perasaan harga diri rendah yang sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila
ketidakmampuan bergaul dengan orang lain terus berlanjut, maka akan timbulnya halusinasi yang
menyuruh untuk melakukan tindakan kekerasan. Dukungan keluarga yang kurang baik pun mampu
mempengaruhi perkembangan perilaku kekerasan dan ini berdampak pada diri sendiri, orang lain dan
lingungan sekitar (Yosep, 2013).
Upaya dalam penanganan pasien dengan gangguan jiwa yang merupakan asuhan keperawatan
jiwa spesialistik, namun tetap dilakukan secara holistik pada saat melakukan

Widya Arisandy et.al (Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi berhubungan..)


ISSN 2477-8184 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Aisyiyah 85
Vol. 14, No. 1, Juni 2018, pp. 83-90

asuhan keperawatan pada klien. Berbagai macam terapi pada keperawatan yang dikembangkan dan
difokuskan kepada klien secara individu, kelompok, keluarga maupun kognisi. Salah satunya yaitu terapi
aktivitas kelompok (Direja, 2011).
Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu terapi modalitas yang dilakukan perawat kepada
sekelompok klien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama. Terapi aktivitas kelompok dibagi
menjadi empat, yaitu terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi, terapi aktivitas kelompok stimulasi
sensoris, terapi aktivitas kelompok sosialisasi dan terapi aktivitas kelompok orientasi realitas (Yosep,
2013). Aktivitas digunakan sebagai terapi dan kelompok digunakan sebagai target asuhan. Di dalam
kelompok terjadi dinamika interaksi yang sering bergantung, saling membutuhkan dan menjadi tempat
klien berlatih perilaku baru yang adiktif untuk memperbaiki perilaku lama yang maladaptif. Terapi
Aktivitas Kelompok (TAK) adalah terapi non farmakologi yang diberikan oleh perawat terlatih terhadap
pasien dengan masalah keperawatan yang sama. Terapi diberikan secara berkelompok dan
berkesinambungan dalam hal ini khususnya Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) stimulasi persepsi
perilaku kekerasan (Keliat & Akemat, 2012).
Terapi aktivitas kelompok sering dipakai sebagai terapi tambahan. Lancester mengemukakan
beberapa aktivitas digunakan pada terapi aktivitas kelompok, yaitu menggambar, membaca puisi,
mendengarkan musik, mempersiapkan meja makan dan kegiatan sehari-sehari lainnya. Birckhead (1989)
menyatakan bahwa beberapa keuntungan yang diperoleh individu untuk klien melalui terapi yang dapat
diperoleh individu oleh klien melalui terapi aktivitas kelompok meliputi dukungan (support), pendidikan
meningkat pemecahan masalah, meningkatkan hubungan interpersonal dan juga meningkatkan uji
realitas (reality testing) pada klien dengan gangguan orientasi realitas (Direja, 2011).
Menurut Wibowo (2013) dalam penelitian yang telah dilakukannya menunjukkan bahwa ada
pengaruh signifikan setelah pelaksanaan TAK stimulasi persepsi dalam mengontrol perilaku kekerasan
pasien. Pelaksanaan TAK stimulasi persepsi tidak akan bisa berjalan dengan baik, jika tanpa peran
perawat yang mendasarinya. Kemampuan dan keterampilan yang dimiliki seorang perawat menjadi titik
keberhasilan dalam pelaksanaan TAK stimulasi persepsi terutama pada pasien perilaku kekerasan.
Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian mengenai hubungan terapi aktivitas
kelompok stimulasi persepsi dengan kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasan di RS Ernaldi
Bahar, Sumatera Selatan tahun 2016.

METODE PENELITIAN
Desain penelitian merupakan penelitian yang disusun sedemikian rupa sehingga peneliti dapat
memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitian. Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif yang
bersifat observasional analitik dengan rancangan study cross- sectional. Variabel independent dalam
penelitian ini adalah terapi aktivitas kelompok, hasil ukurnya lengkap jika sesi 1-5 ≥75% lengkap
dilakukan dan tidak lengkap jika sesi 1-5 <75% tidak lengkap dilakukan. Variabel dependen dalam
penelitian adalah kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasan, hasil ukurnya mampu jika strategi
pelaksana 1-5 ≥75% lengkap dilakukan dan tidak mampu jika strategi pelaksana 1-5 <75% tidak lengkap
dilakukan, kemudian dikumpulkan secara bersama-sama (Setiadi, 2012).

Widya Arisandy et.al (Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi berhubungan..)


ISSN 2477-8184 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Aisyiyah 86
Vol. 14, No. 1, Juni 2018, pp. 83-90

Populasi penelitian ini adalah pasien yang mengalami perilaku kekerasan yang dirawat di ruang
Kenanga, Merpati dan Bangau RS Ernaldi Bahar, Sumatera Selatan. Pengambilan sampel menggunakan
teknik purposive sampling diperoleh 23 responden. Kriteria inklusi pada sampel penelitian ini adalah
pasien dengan gangguan perilaku kekerasan yang sudah kooperatif, tidak sedang mengalami perilaku
kekerasan, bersedia menjadi responden, tidak sedang mengalami gaduh gelisah, dan sedang dirawat di
ruangan Kenanga, Merpati, dan Bangau RS Ernaldi Bahar, Sumatera Selatan. Uji statistik yang digunakan
adalah uji chi-quare (X2) yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan proporsi antara variabel dependen
dengan variabel independen, dan tingkat kemaknaan α=0,05.
Hasil uji statistik dikatakan berbeda secara bermakna (signifikan) apabila nilai p-value
≤ α (α=0,05) maka Ho ditolak, sehingga kesimpulan kedua variabel tersebut berhubungan secara
signifikan. Sebaliknya, dikatakan tidak bermakna apabila p-value > α (α=0,05) maka Ho diterima,
sehingga kesimpulannya kedua variabel tersebut tidak berhubungan secara signifikan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Distribusi frekuensi pendidikan ibu Distribusi frekuensi responden berdasarkan terapi aktivitas
kelompok stimulasi persepsi di Rumah Sakit Ernaldi Bahar, Sumatera Selatan Tahun 2017

TAK Stimulasi Presentase


Frekuensi (F)
Persepsi (%)

Tidak Lengkap 5 21,7


Lengkap 18 78,3
Jumlah 23 100
Sumber: Data primer
Hal ini juga sesuai dengan penelitian Wibowo (2013) bahwa sebelum dan sesudah diberikan
intervensi keperawatan didapatkan p-value=0,000 dan kemampuan mengontrol perilaku kekerasan
sebelum dan sesudah diberikan intervensi didapatkan hasil p-value=0,000, dimana pemberian TAK
stimulasi persepsi yang dilakukan secara intensif dan efektif dapat meningkatkan kemampuan klien
dalam mengenal dan mengontrol perilaku kekerasan. Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang ada
maka peneliti berpendapat bahwa TAK stimulasi persepsi lebih banyak dilakukan oleh responden yang
sudah mendapatkan TAK dibandingkan responden yang tidak melakukan TAK stimulasi persepsi. Terapi
aktivitas kelompok merupakan terapi atau metode pengobatan yang sering dipakai dan salah satu terapi
keperawatan jiwa yang terbukti efektif untuk mengatasi gejala gangguan pada pasien.

Tabel 2. Distribusi frekuensi responden berdasarkan kemampuan pasien mengontrol perilaku


kekerasan di Rumah Sakit Ernaldi

Kemampuan Mengontrol Frekuensi


Presentase (%)
Perilaku Kekerasan (F)

Tidak Mampu 10 43,5


Mampu 13 56,5
Jumlah 23 100
Sumber: Data primer
Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa distribusi frekuensi responden yang mampu
mengontrol perilaku kekerasan lebih banyak yaitu 13 responden (56,5%), dibandingkan dengan pasien
yang tidak mampu mengontrol perikalu kekerasan berjumlah 10 responden (43,5%).

Widya Arisandy et.al (Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi berhubungan..)


ISSN 2477-8184 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Aisyiyah 87
Vol. 14, No. 1, Juni 2018, pp. 83-90

Hal ini sesuai dengan teori Rusdi (2014) yang menyatakan bahwa kemampuan adalah kesanggupan,
kecakapan, kekuatan manusia untuk berusaha dengan diri sendiri. Kemampuan (ability) adalah
kecakapan atau potensi seseorang individu untuk menguasai keahlian dalam melakukan atau
mengerjakan beragam tugas dalam suatu pekerjaan, atau penilaian atas tindakan seseorang individu untuk
menguasai keahlian dalam melakukan atau mengerjakan beragam tugas dalam suatu pekerjaan atau
penilaian atas tindakan seseorang.
Penelitian Sri Wahyuni, dkk (2013) menyatakan bahwa kemampuan dalam mengontrol perilaku
kekerasan tiap pasien selalu dipengaruhi keadaan individu yang mengalami suatu gangguan dalam
aktivitas mental seperti berfikir sadar, orientasi realitas, pemecahan masalah, penilaian dan pemahaman
yang berhubungan dengan koping. Dengan gejala tidak akuratnya interprestasi tentang stimulus eksternal
dan internal dari tiap individu yang mengalami gangguan jiwa maka kemampuan untuk mengontrol
perilaku kekerasan juga akan mempengaruhi. Dalam penelitiannya tersebut didapatkan distribusi
kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasan yaitu sebanyak 17 orang dari 34 responden.
Sedangkan dari hasil penelitian Widyastini, et.al (2014) pada pengaruh TAK stimulasi persepsi
sesi I-IV terhadap kemampuan mengontrol dan mengekspresikan marah pada pasien risiko kekerasan di
RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang, hasil yang didapatkan ada pengaruh yang signifikan antara
TAK stimulasi persepsi I-IV terhadap kemampuan mengontrol dan mengekspresikan marah dengan p-
value=0,000.
Peneliti berpendapat bahwa kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasan lebih besar
dibandingkan pasien yang tidak mampu mengontrol perilaku kekerasan, dikarenakan pasien yang mampu
mengontrol perilaku kekerasan yaitu pasien yang mengikuti dan pasien yang sering terpapar kegiatan
terapi aktivitas kelompok. Kemampuan pasien dalam mengontrol halusinasi dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, salah satunya yaitu kemampuan mengingat atau menerima informasi (Wahyuni, 2011).
Hasil penelitian yang dilakukan membuktikan bahwa hipotesa alternatif diterima, bahwa ada
pengaruh TAK stimulasi persepsi sesi I-V terhadap kemampuan mengontrol dan mengekspresikan marah
pada pasien resiko perilaku kekerasan. Alasan mengapa 2 responden tidak mampu mengontrol marah, 2
responden tidak pernah mengekspresikan marah dan 1 responden jarang mengekspresikan marah setelah
diberi TAK stimulasi persepsi sesi I-V adalah responden tidak dapat menjawab pertanyaan sesuai topik
yang dibahas (Perwiranti, 2013). TAK stimulasi persepsi modifikasi berpengaruh terhadap pengendalian
halusinasi dengar yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor dimana klien lebih terkendali
dalam menanggapi setiap halusinasi yang muncul. Pemberian TAK stimulasi persepsi modifikasi dapat
merubah perilaku klien dalam mengendalikan halusinasi yaitu dengan timbulnya kemampuan
membedakan realita dan non realita serta memilih dan menggunakan cara untuk mengendalikan
halusinasi (Yusuf, H, 2007).
Hubungan Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi Dengan Kemampuan Pasien
Mengontrol Perilaku Kekerasan
Berdasarkan uji statistik didapatkan p-value=0,01. Hasil tersebut menunjukkan adanya hubungan yang
bermakna antara terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi dengan kemampuan pasien mengontrol
perilaku kekerasan.

Widya Arisandy et.al (Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi berhubungan..)


ISSN 2477-8184 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Aisyiyah 88
Vol. 14, No. 1, Juni 2018, pp. 83-90

Tabel 3. Hubungan Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi Dengan Kemampuan Pasien
Mengontrol Perilaku Kekerasan di Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan

TAK Simulasi Persepsi


Kemampuan Total p-value
Mengontrol Tidak Lengkap Lengkap
Perilaku Kekerasan
N % N % N %

Tidak Mampu 5 12,7 5 12,7 10 25,4 0,01


Mampu 0 0 13 56,6 13 56,6
Jumlah 23 100
Sumber : Data primer
Keterangan :
N : Jumlah responden

Tabel 3 meunjukkan hasil yang tidak sesuai dengan penelitian Wibowo (2013), dengan judul
pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) stimulasi persepsi terhadap kemampuan pasien mengontrol
perilaku kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Medan, dengan hasil sampel yang diteliti 52 responden
didapatkan hasil p-value=0,000 <α (0,05) sehingga ada hubungan bermakna antara Terapi Aktivitas
Kelompok (TAK) stimulasi persepsi terhadap kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasan.
Sedangkan menurut Hidayati (2012) berupa pengaruh TAK suportif terhadap kemampuan mengatasi
perilaku kekerasan pada klien skizofrenia di RSJ Dr. Amino Gondohutomo Semarang, hasil
penelitiannya didapatkan ada perbedaan yang signifikan antara kemampuan klien yang mengatasi
perilaku kekerasan sebelum dan sesudah diberikan terapi aktivitas kelompok suportif.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Isnaeni, Wijayanti, dan Upoyo (2008), dengan judul
Efektivitas Terapi Aktivitas Kelompok stimulasi persepsi halusinasi terhadap penurunan kecemasan
klien halusinasi pendengaran di ruang Sakura RSUD Banyumas terhadap 30 pasien halusinasi,
didapatkan perbedaan tingkat kecemasan sebelum dilakukan TAK dan sesudah dilakukan TAK.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Sihotang (2010), dengan judul Pengaruh Terapi aktivitas
kelompok stimulasi persepsi terhadap kemampuan mengontrol halusinasi di rumah sakit jiwa Medan
Provinsi Sumatera Utara, menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan setelah pelaksanaan TAK
stimulasi persepsi dalam mengontrol halusinasi pasien. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Masdelita
(2013), dengan judul Pengaruh TAK sosialisasi terhadap kemampuan kerjasama pada pasien dengan
masalah isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Tampan Provinsi Riau, menunjukkan adanya pengaruh TAK
sosialisasi terhadap kemampuan kerjasama pada pasien dengan masalah isolasi sosial.

Peneliti berpendapat bahwa terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi sangat efektif untuk
dijadikan salah satu terapi yang utama sehingga pasien dapat mempersepsikan stimulus yang dirasakan
dan pasien dapat memanfaatkan media dalam pelaksanaan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) sehingga
pasien dapat mengungkapkan perilaku kekerasannya. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa ada pasien
yang mengikuti kegiatan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) stimulasi persepsi tetapi belum mampu
mengontrol perilaku kekerasannya. Ada beberapa pasien yang belum pernah mengikuti kegiatan Terapi
Aktivitas Kelompok TAK) dan belum mampu mengontrol perilaku kekerasan, dan ada juga pasien yang
sudah mengikuti

Widya Arisandy et.al (Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi berhubungan..)


ISSN 2477-8184 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Aisyiyah 89
Vol. 14, No. 1, Juni 2018, pp. 83-90

kegiatan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) tetapi tidak mampu mengontrol perilaku kekerasan. Hal ini
dapat terjadi karena pasien merasa bosan dengan seringnya terpapar kegiatan Terapi Aktivitas Kelompok
(TAK) sedangkan responden yang baru mengikuti TAK namun belum mampu mengontrol perilaku
kekerasan dikarenakan baru terpapar.

SIMPULAN
Sebagian besar responden yang mengikuti Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) stimulasi persepsi
secara lengkap sebesar 18 responden (78,3%), sebagian besar responden dengan kemampuan pasien
mengontrol perilaku kekerasan sebesar yaitu 13 responden (56,5%). Ada hubungan bermakna antara
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) dengan kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan p-
value=0,01 >α (α=0,05).

SARAN
Penelitian selanjutkan diharapkan bisa menambahkan ruangan yang akan diteliti, sehingga data
hasil penelitian lebih akurat dengan menjadi lebih besarnya sampel penelitian, dan dapat lebih
menganalisis pengaruh penerapan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) ke metode kuantitatif sampai ke
mulitivariat, serta agar perawat lebih meningkatkan penerapan strategi pelaksanaan secara rutin dan
terjadwal sebagai salah satu target asuhan keperawatan jiwa.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI. (2012). Profil Kesehatan Indonesia: Masalah Gangguan Jiwa Indonesia.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Direja, Ade Herman. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika
Hidayati, Eni. (2012). Pengaruh Aktivitas Kelompok Suportif Terhadap Kemampuan Mengatasi
Perilaku Kekerasan Pada Klien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Dr.Amino Gondohutomo
Semarang. Prosiding Seminar Hasil Penelitian. Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang
Isnaeni, J., Wijayanti, R & Upoyo, A,S. (2008). Efektivitas terapi aktivitas kelompok
stimulasi persepsi halusinasi terhadap penurunan kecemasan halusinasi
pendengarandiruangSakuraRSUDBanyu
mas.Diperolehtanggal13Januari2013darihttp://jurnalonline.unsoed.ac.id/index.php/
keperawatan/article/download/289/131.
Keliat, Budi Anna., Akemat. (2012). Keperawatan Jiwa: Terapi Aktivitas Kelompok. Jakarta: EGC
Masdelita. (2013). Pengaruh TAK sosialisasi terhadap kemampuan kerjasama pada pasien dengan
masalah isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru. Skripsi PSIK UR. Tidak
dipublikasikan.
Perwiranti, D.G. (2013). Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi Sesi 2 Terhadap
Kemampuan Mengontrol Emosi Pada Klien Perilaku Kekerasan Di RSJD Dr.Amino
Gondohutomo
Purba, J. M., Wahyuni, S.E., Nasution M.L & Daulay,W. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan
Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan : USU Press.

Widya Arisandy et.al (Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi berhubungan..)


ISSN 2477-8184 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Aisyiyah 81
Vol. 14, No. 1, Juni 2018, pp. 83-90 0

Riskesdas. (2013). Profil Kesehatan: Gangguan Jiwa Indonesia Rusdi.


(2010). Pengertian Kemampuan. Jakarta: Salemba Empat
Setiadi. (2012). Konsep dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu
Sihotang, L.G. (2010). PengaruhTerapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi terhadap kemampuan
mengontrol halusinasi di rumah sakit jiwa Provsu Medan. Diperoleh tanggal 1 Juni 2013 dari
http://repository.usu.ac.id/6/Abstract.pdf
Wahyuni, dkk. (2011). Hubungan Lama Rawat dengan Kemampuan Pasien dalam Mengontrol
Halusinasi. Jurnal Ners Indonesia, Vol.1, No. 2
Wibowo, Ferry. (2013). Hubungan Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi dengan Kemampuan
Pasien Mengontrol Perilaku Kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Medan Tahun 2013
Widyastini, Benita Irma., Rochmawati, Dwi Heppy., Purnomo. (2014). Pengaruh Terapi Aktivitas
Kelompok: Stimulasi Persepsi Sesi I Terhadap Kemampuan Mengontrol dan Mengekspresikan
Marah Pada Pasien Risiko Perilaku Kekerasan di RSJD. Dr. Amino Gondohutomo Semarang,
Jurnal Ilmiah S.1 Keperawatan, 2014
Yosep, Iyus. (2013). Keperawatan Jiwa. Cetakan ke-5. Bandung: PT. Re

Anda mungkin juga menyukai