Anda di halaman 1dari 83

MENGGALI KEMBALI KISAH SEJARAH,

BUDAYA, PARA TOKOH DAN


TEMPAT IBADAH BERSEJARAH
SEBAGAI CAGAR BUDAYA BATAVIA
DI KAMPUNG ARAB PEKOJAN
Kisah Kampung Arab Pekojan Batavia

Sejarah
Para Tokoh

Perjuangan Pemuda

Cagar Budaya

2
SEKAPUR SIRIH

MENGGALI DESTINASI RELIGI WARISAN SEJARAH BUDAYA BANGSA

“Bismillahirohmannirohim”

Mengingat kembali kata-kata Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno, yaitu “Jas
Merah” atau Jangan Sampai Melupakan Sejarah, dari pesan tersebut saya mencoba
membuat rangkuman tulisan kisah sejarah kampung Arab Pekojan Batavia ini.

Banyak hal yang kita dapatkan dari masa lalu bukan hanya saja kenangan tetapi juga nilai-
nilai kehidupan yang dapat dijadikan arah kita untuk menjalani kehidupan saat ini dan
menjadi dasar untuk kehidupan di masa depan.

Saya memang bukan dari keturunan masyarakat Arab atau India yang menetap di
kampung Arab Pekojan, namun saya adalah asli putra daerah kampung Arab Pekojan,
karena saya dilahirkan, dibesarkan, dan menetap hingga saat ini di kawasan kampung Arab
Pekojan tersebut, karena kedua orang tua saya sudah menetap dari tahun 1954 M di
kawasan tersebut.

Pada mulanya orang tua saya yaitu ibunda tercinta sering menceritakan kenangan beliau
mengenai sejarah dan budaya tempo dulu yang ada di kawasan Pekojan. Saat saya remaja
masih banyak tokoh dan sesepuh kampung Arab Pekojan yang sering bercerita mengenai
sejarah hebat dan budaya kampung arab Pekojan, namun seiring waktu berjalan satu
persatu mereka semua telah tiada dan perlahan kisah sejarah tersebut jarang kembali
terdengar dan bahkan mungkin para penerus warga kampung Arab Pekojan melupakan
kisah sejarah hebat tersebut dikarenakan banyak yang sudah berpindah tempat tinggal ke
wilayah lain.

Dengan berbekal referensi dari beberapa pustaka dan beberapa nara sumber yaitu tokoh
masyarakat (sesepuh) yang masih ada serta sahabat-sahabat saya yang masih menyimpan
catatan sejarah kampung Arab Pekojan, photo-photo tempo dulu serta informasi lainnya
untuk melengkapi tulisan ini, saya mencoba merangkum dan menuliskan kembali kisah
sejarah lahirnya kawasan kampung Arab Pekojan di Batavia, kultur budayanya, para
pejuang, serta tokoh masyarakat kampung Arab Pekojan tempo dulu, yang tak lain adalah
kampung kelahiran saya sendiri, agar tak hilang ditelan waktu, dan sebagai cerita mendidik
menjelang tidur untuk anak cucu kita.

Jakarta, Awal Agustus 2019

Usman, SE
Putra Daerah Pemerhati Sejarah dan Budaya
Kampung Arab Pekojan Batavia

3
Daftar isi

Sekapur Sirih …………………………………………………………………………….. 3


Daftar isi …………………………………………………………………………………… 4

Bab I KISAH SEJARAH KAWASAN KAMPUNG ARAB PEKOJAN BATAVIA

1. Lahirnya Nama Pekojan ………………………………………………………….. 7


2. Kelompok Mayoritas Yang Menjadi Kaum Minoritas …………………… 10
3. Enam Bangunan Tua Tempat Ibadah Umat Muslim Sebagai Cagar
Budaya Peninggalan Sejarah Batavia ………………………………………… 11
4. Kultur Budaya Masyarakat Pekojan Batavia …………………………........ 12
5. Keberagaman Perpaduan Tiga Unsur Etnis Budaya di Pekojan Batavia
Yaitu ; Budaya Arab, Betawi dan Cina ………………………………………... 14
6. Kampung Arab Pekojan Batavia Dijaman Kolonialisme ………………… 16
7. Jabatan Para Tokoh Dijaman Kolonialisme ………………………………… 17
8. Kisah Sejarah Jembatan Kambing, Pejagalan dan Kapiten Arab …….. 18

Bab II KISAH SEJARAH PARA TOKOH KAMPUNG ARAB PEKOJAN BATAVIA 19

1. Tokoh Kampung Arab Pekojan Batavia Sebelum Kemerdekaan ……… 20


2. Kisah Para Tokoh Kampung Arab Pekojan Batavia ………………………. 21
3. Photo Tokoh Sejarah Kampung Arab Pekojan Sebelum Kemerdekaan 24
4. Tokoh Kampung Arab Pekojan Setelah Kemerdekaan ………………….. 25
5. Photo Tokoh Sejarah Kampung Arab Pekojan Setelah Kemerdekaan 30
6. Para Penerus Tokoh Kampung Arab Pekojan Batavia Saat Ini ……….. 31

Bab III KISAH HEBAT PARA TOKOH KAMPUNG ARAB PEKOJAN BATAVIA
TEMPO DOLOE 32

1. Mengenal Tokoh Pekojan Syeikh Junaid Al Betawi …………………..……. 33


2. Mengenal Tokoh Pekojan Sayyid/Al Habib Ustman Bin Yahya sang
Mufti Betawi ……………………………………………………………………………… 37
3. Mengenal Tokoh Pekojan Sayyid/Al Habib Ali Bin Ahmad Shahab
Sang Pejuang Yang Terlupakan ……………………………….………………….. 43
4. Mengenal Tokoh Pekojan Sayyid/Al Habib Abubakar Bin Ali Shahab
Pendiri Perkumpulan Jamiat Kheir………………………………………..…….. 45

4
Daftar isi

Bab IV KISAH PERJUANGAN PEMUDA PEKOJAN TEMPO DULU DALAM


MENENTANG PENJAJAH KOLONIAL DAN SIMBOL PERGERAKAN
PERJUANGAN PEMUDA UNTUK KEMERDEKAAN INDONESIA DARI
KAWASAN KAMPUNG ARAB PEKOJAN BATAVIA 46

1. Kisah Sejarah Berdirinya Yayasan Pendidikan Islam Modern Pertama


Di Indonesia, Jamiat Kheir atau Perkumpulan Kebaikan di Kampung
Arab Pekojan Batavia ………………………………………………………………. 47
2. Jamiat Kheir Banyak Melahirkan Pahlawan Nasional Pergerakan
Kemerdekaan Indonesia …………………………………………………………… 49
3. Jamiat Kheir Dianggap Berbahaya Oleh Pemerintah Kolonial Belanda 51
4. Kegiatan Sosial Jamiat Kheir ……………………………………………………… 52

Bab V KISAH DELAPAN BANGUNAN TEMPAT IBADAH WARISAN SEJARAH


SEBAGAI CAGAR BUDAYA DIKAWASAN PEKOJAN BATAVIA 53

1. Masjid Jami Al Ansor ………………………………………………………………. 55


2. Masjid Jami Kampung Baru ……………………………………………………… . 59
3. Masjid Jami An Nawier …………………………………………………………….. 61
4. Masjid Ar Raudah …………………………………………………………………….. 66
5. Mushola Az Zawiyah ……………………………………………………………….. . 68
6. Masjid Langgar Tinggi …………………………………………………………….. . 71
7. Vihara Dewi Samudra ……………………………………………………………… . 74
8. Vihara Padi Lapa …………………………………………………………………….. . 75

Bab VI KAMPOENG ARAB PEKOJAN BATAVIA DALAM GAMBAR 76

Kampoeng Arab Pekojan Batavia Dalam Gambar …………………………….. 77


Penutup Kata …………………………………………………………………………….. . 81
Daftar Nara Sumber …………………………………………………………………… . 82
Daftar Pustaka ..………………………………………………………………… ………. 82
Kita Adalah Bagian Dari Sejarah, Budaya dan Tokoh Bangsa ……………. 83

5
Bab I

KISAH SEJARAH KAWASAN


KAMPUNG ARAB PEKOJAN BATAVIA

Menggali Kembali Kisah Kampung Arab Pekojan


Yang Memiliki Sejarah Panjang Dan Tidak Dapat
Terpisahkan Dari Terbentuknya Kota Jakarta.

6
1. Lahirnya Nama Pekojan Sebagai Kampung Arab.

Kawasan Pekojan merupakan salah satu tempat perkampungan kini menjadi nama
Kelurahan di Kecamatan Tambora, Kota Administrasi Jakarta Barat, yang memiliki sejarah
panjang yang tidak terpisahkan dari terbentuknya Kota Jakarta, yang dahulunya bernama
Batavia, dan Jayakarta.

Peta Kawasan Kelurahan Pekojan

Pekojan pada masa Hindia Belanda adalah suatu kawasan atau tempat tinggal khusus bagi
komunitas masyarakat keturunan Arab dan masyarakat keturunan India yang beragama
Islam (Muslim) yang disebut “KOJA” oleh Pemerintah Kolonial Belanda, lalu kemudian
ditambah banyak masyarakat menyebut tempat tersebut dengan sebutan PE KOJA AN
(PEKOJAN) atau Kampung Arab dan nama PEKOJAN lahir menjadi nama tempat atau
kawasan hingga saat ini, sama halnya seperti sebutan dikawasan GLODOK / PANCORAN
yang nama lainnya disebut dengan nama kawasan PE CINA AN (PECINAN) atau Kampung
Cina, yang kebetulan letaknya tidak jauh dari kampung Arab Pekojan.

Pemerintahan Hindia Belanda pada saat itu , memisahkan setiap orang berdasarkan suku
dan etnis serta agama tertentu dengan membentuk kelompok pada saat itu, selain ingin
lebih mudah untuk dapat mengatur suatu kawasan / wilayah dan untuk lebih mudah pula
untuk mendata jumlah penduduk baik yang sudah lama menetap ataupun bagi pendatang
baru di sebuah kawasan itu maka dibentuklah zona kawasan-kawasan tersebut.

Pekojan tempo dulu memang tenar sebagai kampung Arab. Sebagai tempat dengan
populasi Arab terbesar di Indonesia, nama Pekojan juga dipakai untuk masyarakat
keturunan Arab yang berada di Semarang dan Kudus.

7
A. Keturunan India Muslim (Moor) Adalah Kelompok Awal Masyarakat Kawasan
Kampung Arab Pekojan Batavia.

Menurut Susan Blackburn dalam bukunya “Jakarta Sejarah 400 Tahun (2012),
“KOJA” adalah orang-orang Moor, yakni orang Muslim India Barat yang kebanyakan
berasal dari pelabuhan Surat yang ramai di Gujarat, suatu tempat atau Pos pemerintah
Hindia Belanda ada di sana.

Pada awalnya, orang-orang keturunan India Muslim inilah yang menetap di


kawasan Pekojan untuk berdagang. Namun, saat India ditaklukkan oleh Inggris,
perdagangan mereka berkurang dan komunitasnya semakin mengecil. Mereka yang masih
tersisa memutuskan berjualan sutra di Pasar baru, salah satu pusat komersial di dekat
Weltevreden atau sekarang dikenal sebagai daerah Gambir dan sekitarnya.

Pekojan kemudian dihuni oleh orang Arab dari Hadramaut atau Yaman Selatan yang datang
sekitar awal abad ke-19. Blackburn menambahkan, meskipun pada mulanya orang Arab
yang tinggal di Batavia hanya sekitar beberapa ratus orang saja, tapi kehadiran mereka
sangat terasa. Karena terdapat sejumlah Sayyid dan Syeikh di kalangan mereka, karena
itulah orang Indonesia sangat menghargai mereka sebagai tokoh pemuka agama Islam di
Batavia,” tulisnya.

Batavia pada abad ke 18-19 menjadi tempat terbesar bagi populasi masyarakat keturunan
Arab yang hijrah dari Hadramaut, yaitu sebuah lembah di Yaman Selatan. Menurut dosen
dan peneliti di Departemen Antropologi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Yasmine Zaki
Shahab, Belanda memisahkan setiap orang berdasarkan suku dan etnis tertentu dengan
membentuk kelompok dan menempatkan mereka dalam satu tempat atau kawasan, tidak
terkecuali bagi etnis keturunan Arab yang menempati beberapa wilayah di Nusantara. Salah
satunya adalah kawasan kampung Arab di Pekojan, Jakarta Barat.

Keturunan Arab datang ke Indonesia sudah sejak lama, yakni sejak Islam masuk ke
Nusantara. Ada tiga gelombang masuknya keturunan Arab ke Indonesia, yaitu;
1. Gelombang pertama pada abad ke 7,
2. Gelombang kedua pada abad ke 14, yaitu abad kedatangan Wali Songo di Nusantara,
3. Gelombang ketiga pada abad ke 18-19.

Pemerintah kolonial pada saat itu menetapkan kawasan Pekojan sebagai kampung Arab,
karena kawasan Pekojan memang berada tidak jauh dari Pelabuhan Sunda Kelapa, kira-kira
hanya berjarak 1,6 kilometer, dahulu transportasi dapat melalui sungai yang menghubungi
Pelabuhan Sunda Kelapa ke Kampung Arab Pekojan atau kawasan Pecinaan (Glodok
Pancoran) yaitu Kampung Cina, melalui jalur sungai yang dikenal sekarang dengan sebutan
kali Angke, yaitu sungai disamping Jl. Gedong Panjang, Jl. Pejagalan Raya dan Jl. KH. Mas
Mansur - Jakarta Barat.

8
Kedatangan bangsa Arab ke Nusantara selain untuk berdagang, juga melakukan misi untuk
berdakwah, berdakwah yang dilakukan oleh orang Arab, yaitu dengan cara mendirikan
surau / langgar dan masjid, mengajar mengaji, membuka majelis taklim di tempat mereka
berdomisili, berhijrah dari tempat satu ke tempat lainnya atau mendirikan pondok
pesantren. Banyak murid mereka dikemudian hari menjadi ulama-ulama besar baik di
Batavia maupun wilayah-wilayah lainya di Nusantara.

L.W.C Van Den Berg dalam bukunya “Orang Arab di Nusantara (2010)” mengungkapkan,
orang-orang dari Jazirah Arab merantau atau berhijrah untuk mengadu nasib. Pepatah Arab
mengatakan, para keturunan Arab ini merantau demi mencari “Cincin Nabi Sulaiman” yang
kaya raya.

Menurut Prof. Yasmien, tujuan mereka berdagang, mereka sama seperti perantau pada
umumnya, yaitu karena tujuan ekonomi, sama seperti orang Minangkabau misalnya, sambil
berdagang mereka menyebarkan agama Islam seperti dengan cara berdakwah.

B. Perbedaan Habaib Keturunan Sayyid dan Keturunan Syeikh.

Hijrahnya keturunan Arab dari Hadramaut, ke Nusantara, didominasi oleh para Habaib
keturunan Sayyid dan keturunan Syeikh. Ada perbedaan mendasar antara kalangan Sayyid
dengan kalangan Syeikh. Menurut Habib Zein bin Umar bin Smith, Ketua Umum Dewan
Pimpinan Pusat Rabithah Alawiyah, dalam suatu wawancara dengan salah satu situs online,
perbedaan tersebut adalah :

1. Keturunan Arab yang bergelar Habaib belum tentu seorang Sayyid mereka memberi
julukan Syeikh kepada Habaib yang bukan keturunan dari Rasulullah SAW.

2. Namun, seorang yang bergelar Sayyid sudah tentu adalah Habaib yaitu adanya garis
keturunan langsung dari Baginda Nabi Muhammad Rasulullah SAW.

Pendapat lain dikemukakan oleh Quraish Shihab dalam bukunya “Mistik, Seks dan
Ibadah (2004)”. Quraish Shihab berujar, siapa pun boleh pakai nama habib selama ia
dicintai. Sebab, Habib dalam bahasa Arab artinya “di Cintai”. Namun, bagi masyarakat
Muslim di Indonesia, gelar habib diberikan kepada Alim Ulama (orang saleh dan berbudi
luhur) serta memiliki garis keturunan hingga ke Rasulullah SAW.

9
2. Kelompok Mayoritas yang menjadi Minoritas di Kampung Arab Pekojan Batavia.

Kini keturunan Arab di kampung Arab Pekojan kota tua Jakarta mulai sedikit ditemukan.
Mereka hijrah dari Pekojan ke Condet, Jakarta Timur. Masyarakat keturunan Arab di Condet
saat ini, menggantikan posisi masyarakat keturunan Arab yang semula berada di Pekojan
pada masa jaman kolonial.

"Sekarang orang Arab menyebar ke Jakarta Timur, yaitu Kampung Melayu, Cawang, sampai
yang paling banyak orang Arab adalah di Condet," ucap Prof.Yasmine.

Data yang ada di dalam buku “Orang Arab di Nusantara” (L.W.C.Van Den Berg–2010)
menyebutkan, populasi keturunan Arab tahun 1859 M sebanyak 4.922 orang. Populasi
tersebut mengalami peningkatan hingga mencapai 10.888 orang pada tahun 1885M.
Namun, populasi keturunan Arab berangsur-angsur menurun sejak tahun 1970 M.

Pada tahun 1996 M, keturunan Arab Hadramaut mulai menetap di Condet, Jakarta Timur.
Tidak hanya dari Pekojan, mereka datang dari berbagai daerah. Di antaranya Jawa Tengah
dan Jawa Timur, Lampung, Palembang, Kalimantan, dan Sulawesi.

Kedatangan orang Arab ke Nusantara sebagai pedagang dibuktikan dari kawasan Condet
yang memiliki toko-toko minyak wangi. Kebanyakan keturunan Arab mempunyai usaha
seperti buka toko, buka perusahaan jasa umrah dan haji, warung makan Arab, butik, dan
jual beli kendaraan bemotor.

Zeffry Alkatiri dalam bukunya “Jakarte Punya Cara” menyebutkan sepinya Pekojan dari
penghuni keturunan Arab karena beberapa faktor. Di antaranya banjir yang rutin
merendam kawasan tersebut, konflik antar keluarga Arab lainnya, perpecahan warisan
yang menyebabkan generasi berikutnya menjual rumah warisan peninggalan orang tuanya,
dan lain sebagainya.

Kelompok Marga Masyarakat Keturunan Arab di kawasan Pekojan kota tua Jakarta
saat ini.

Hingga saat ini masih ada masyarakat keturunan Arab baik yang keturunan Sayyid maupun
keturunan Syeikh walau sudah menjadi kelompok Minoritas di kampung mereka sendiri,
mereka adalah :

1. Keturunan Sayyid (keturunan Rasulullah SAW) yang masih bertahan di Pekojan, mereka
adalah bermarga : Al Attas, Shahab, Alaydrus, Al Jufri, Al Habsyi, Al Aidid, Assegaf dan
Al Hadi.

2. Sedangkan keturunan Syeikh (bukan keturunan Rasulullah SAW) di antaranya adalah


bermarga : Al Aziz, Al Amrie, Azzubaidi, Basandid, Busab‟ah, Badhawi, Zaidan, Bajere,
Basyaib, Bayasud, Basawad, Zandan, Huraybi, Marbasy, Habani, Basalamah, Hablil,
Bazamal, Baghayil, Bachtir dan Baiti.
3. Enam Bangunan Tua Tempat Ibadah Umat Muslim Sebagai Cagar Budaya
Peninggalan Sejarah Batavia.
10
Beberapa bangunan tua tempat ibadah peninggalan keturunan Arab di Pekojan yang masih
dipertahankan dan dijaga oleh masyarakat Pekojan saat ini dan telah menjadi cagar
budaya, yaitu :
1. Masjid Jami An-Nawier (1760 M),
2. Masjid Ar Raudoh (1770 M),
3. Mushola Az Zawiyah (1812 M) dan
4. Masjid Langgar Tinggi (1829 M),
Dan jarak antara masjid satu dengan masjid lainnya saling berdekatan.

Masjid Jami An Nawier berdiri tahun 1760 M Masjid Ar Raudoh berdiri tahun 1770 M

Mushollah Az Zawiyah berdiri tahun 1812 M Masjid Langgar Tinggi berdiri tahun 1829 M

Adapula bangunan tua tempat ibadah peninggalan keturunan India Muslim di Pekojan yang
juga masih dipertahankan dan dijaga oleh masyarakat Pekojan dan telah menjadi cagar
budaya, yaitu :
1. Masjid Al-Anshor (1648 M), masjid tertua di Pekojan, dan
2. Masjid Jami Kampung Baru (1743 M), masjid kedua tertua di Pekojan.

Masjid Al Anshor berdiri tahun 1648 M Masjid Jami Kampung Baru berdiri tahun 1743 M

11
4. Kultur Budaya Masyarakat keturunan Arab di kawasan Pekojan Batavia.

Kultur budaya masyarakat keturunan Arab di kawasan Pekojan kota tua Jakarta dari dulu
sampai saat itu masih sangat kental mengikuti tradisi masyarakat Timur Tengah atau
budaya Arab, dari pakaian yang dipakai, kuliner dan kesenian baik musik dan tarian, serta
aturan lainnya dan sampai saat ini kultur budaya tersebut masih terlihat dan terjaga pada
masyarakat keturunan Arab di kawasan Pekojan, seperti yang dikatakan oleh Habib
Muhammad bin Hasan Al Jufri, tradisi tersebut adalah;

1. Pakaian khas Timur Tengah atau pakaian Muslim yang kita kenal yaitu:
a. Baju Gamis,
b. Baju Koko Putih,
c. Kain sarung Madras (sarung kotak-kotak warna coklat cerah),
d. Sorban Putih dan
e. Peci Bundar ala Timur Tengah
untuk para kaum lelaki dan pakaian Muslimah Hijab untuk kaum wanitanya.

2. Kuliner khas Timur Tengah yang masih tersaji saat ini pada saat acara-acara tertentu
yaitu ;
a. Nasi Kebuli,
b. Dadar Jala Gulai Kambing,
c. Sayur Marak,
d. Zalatoh,
e. Hallluah,
f. Asidah,
g. Harrisah,
h. Kue Kaak, dan
i. Minuman Khas Pekojan yaitu Zanzabil atau Kopi Jahe.
j. Minuman Khas Pekojan lainnya Susu Zanzabil atau Susu Kopi Jahe.

3. Kesenian Musik dan Tarian di kampung Arab Pekojan beragam warna yaitu,
a. Musik Gambus,
b. Musik Hadroh,
c. Musik Marawis,
d. Tarian Sufi dan,
e. Tarian Timur Tengah : Zafin, Zahefa dan Sarah.

4. Tradisi Masyarakat Pekojan lainnya yang masih terjaga sampai saat ini adalah :
a. Pernikahan dengan mengikuti ajaran Salaf Solihin yaitu membaca Maulid Nabi, Ijab
Kobul harus oleh wali pengantin serta undangan pria dan wanita yang terpisah baik
tempat atau waktunya.
b. Jika ada yang meninggal dunia kaum wanita dilarang ikut mengantar ke makam /
kuburan.
c. Acara Halal Bihalal atau biasa disebut Uwad.
d. Acara mengenang wafatnya orang tua atau seorang tokoh biasa disebut Houl.
12
e. Sholat Tarawih malam 19 Ramadahan di Masjid An Nawier dan Sholat Tarawih
malam 27 Ramadhan di Mushola Az Zawiyah atau disebut sebagai malam Khatam
Qur‟an.
f. Mengadakan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.
g. Mengadakan perayaan Isra Mi‟raj Nabi Muhammad SAW.
h. Pengajian disaat selesai sholat Magrib di mushola atau masjid.
i. Buka puasa bersama Ramadhan di surau atau masjid.
j. Pemberian Zakat Fitrah di pusatkan di mushola dan masjid.
k. Santunan anak yatim dan dhuafa dihari besar Islam.
l. Berbagi takjil atau makanan di hari Raya dengan tetangga non muslim.

Kisah unik tradisi kampung Arab Pekojan Batavia tempo dulu.

Kisah tradisi kampung Arab Pekojan tempo dulu tepatnya didepan Masjid Langgar Tinggi
semarak dengan diadakannya berbagai kergiatan pesta tahunan, seperti yang diceritakan
oleh Habib Ahmad bin Alwi Assegaf beliau adalah cucu dari seorang Godi Arab tempo dulu
dan juga pendiri yayasan Jamiatul Khair, yaitu Sayyid Abdurahman Assegaf.

Setidaknya ada empat kegiatan pesta tahunan yang diselenggarakan di sana, yakni
1. Pesta Khitanan bagi anak yatim piatu,
2. Pesta Mauludan / Maulid Nabi (Kelahiran Nabi Muhammad SAW),
3. Pesta Mikrajan / Isra Mi‟raj Nabi (Perintah Allah SWT kepada Nabi Muhammad untuk
mendirikan sholat lima waktu), dan
4. Pesta Khatam Qur‟an.

Saat acara kegiatan pesta Khitanan tiba, warga sekitar Pekojan, yakni dari etnik Betawi,
Jawa, Bali, dan Tionghoa, baik Muslim maupun non-Muslim, urunan atau patungan istilah
bahasa betawi mengumpulkan bantuan untuk ikut membiayai acara tersebut.

Sementara ketika acara kegiatan pesta Mauludan dan Mikrajan digelar, berbagai hiasan dan
makanan disajikan untuk memeriahkannya. Panggung yang didirikan di depan Langgar
Tinggi dihias dengan janur, bunga kertas, dan lampu lampion.

“Lampu lampionnya minyak kelapa bercampur minyak tanah. Kaum lelakinya memakai
sarung Madras (sarung kotak-kotak warna coklat cerah) berkopiah, dan baju koko putih,
alas kakinya terompah.”

Sejumlah makanan yang dihidangkan antara lain nasi ulam, tempe goreng, emping, sayur
semur dengan ikan bandeng pesmol, dan bandeng acar kuning.

Dan pada saat acara kegiatan pesta Khatam Qur‟an, hidangan yang disajikan berupa bubur
gandum surba bumbu gulai dengan tebaran daging kambing, kurma, rambutan, nangka,
duren, dan mangga. Pesta Khatam Qur‟an di Langgar Tinggi merupakan pembacaan
Alquran oleh anak-anak yang biasanya berlangsung selama dua jam. Setelah itu
dilaksanakan shalat Isya, lalu salawatan, kasidahan, dan berbagai rangkaian acara lainnya.

13
5. Keberagaman Perpaduan Tiga Unsur Etnis Budaya di Kampung Arab Pekojan
Batavia yaitu ; Budaya Arab, Betawi dan Cina.

Pekojan memang kampung Arab dan mayoritas masyarakatnya adalah didominasi oleh
keturunan Arab dan India Muslim, pemerintahan Hindia Belanda yang pada saat itu
mengatur zonaisasi suatu tempat atau kawasan adalah untuk mempermudah mengatur dan
mendata masyarakat di kawasan Batavia tempo dulu.

Namun Kawasan Batavia sendiri telah ada masyarakat Pribuminya yaitu masyarakat Betawi
yang juga mempunyai kultur budayanya sendiri baik kesenian dan tradisi Betawi.

Dan juga ada kultur budaya lainnya yang tidak dapat dipisahkan di kawasan kampung Arab
Pekojan adalah kultur budaya Cina, dimana tidak jauh dari kawasan kampung Arab Pekojan
ada pula kawasan Pecinaan atau kampung Cina dimana masyarakatnya adalah keturunan
Tionghoa dengan Budaya dan Tradisi mereka pula, yaitu di kawasan Pecinan Glodok
Pancoran kurang lebih berjarak 300 meter dari kawasan kampung Arab Pekojan.

Menariknya di kawasan kampung Arab Pekojan bisa menerima dua unsur budaya lainnya
yaitu unsur budaya Betawi dan unsur budaya Cina, dan ini tidak terlihat di kawasan
kampung Pecinaan Glodok Pancoran yang hanya terlihat unsur budaya Betawi dan budaya
mereka sendiri yang terasa kental dikawasan tersebut.

Hingga saat ini keberagaman perpaduan tiga unsur etnis budaya Arab, Betawi dan Cina
masih terjaga keharmonisan dalam perbedaan budaya dikawasan kampung Arab Pekojan,
dan ini merupakan manifestasi keberagaman, toleransi serta kerukunan budaya antar etnis
Arab, Pribumi (Betawi) dan Cina, juga antar agama yaitu agama Islam dan agama Budha
serta Khonhucu sudah terbentuk dan terjaga dari dahulu di kampung Arab Pekojan, terbukti
dengan adanya beberapa tempat ibadah klenteng / Vihara di Pekojan.

Toleransi keberagaman budaya antar etnis dan agama sudah terjaga dan terpelihara di
kampung Arab Pekojan dari tempo dulu, antara lain berbagi takjil (jajanan) atau makanan
disetiap masing-masing hari raya, umat Islam di hari raya iedul Fitri dan iedul Adha
memberikan makanan kepada tetangga yang non muslim baik dari etnis Cina ataupun
lainnya, begitu pula kaum etnis Cina di hari raya Imlek memberikan takjil (jajanan) dan
minuman sirop kepada tetangganya yang beragama Muslim.

14
Dari dulu dikampung Arab Pekojan selalu menjalin tali silaturahmi baik tali silaturahmi
ukhwah Islamiyah diantara sesame Muslim maupun tali silaturahmi antar agama yang ada
dikawasan tersebut hingga saat ini.

Saat ini jika ada kegiatan hari besar nasional, kesenian ketiga unsur etnis budaya tersebut
akan ditampilakan di acara kegiatan seperti tari Sufi, tari Betawi dan tari Barongsai,
sebagai symbol toleransi keberagaman budaya antar etnis dan agama masih tetap terjaga
dan terpelihara.

Menampilkan budaya etnis Cina sempat terhenti pada saat dijaman Orde Baru dikarenakan
pemerintah Orde Baru sempat melarang menampilakan kegiatan budaya dan taradisi
kesenian etnis Cina pada saat itu, terkait dengan peristiwa Gerakan 30 September Partai
Komunis Indonesia pada tahun 1965 M, dimana PKI saat itu menjalin hubungan mesra
dengan pemerintah Komunis Cina.

15
6. Kampung Arab Pekojan Batavia di jaman Pemerintahan Kolonialisme.

Rumah keluarga syeikh Abdullah bin Awab Bayasut, Jl.Kostapel-Pekojan.

Kampung Arab Pekojan merupakan salah satu tempat bersejarah di Batavia tempo dulu,
nama Pekojan menurut “Van den Berg” berasal dari kata “Koja”, istilah yang masa itu
digunakan untuk menyebut penduduk keturunan Arab dan India yang beragama Islam
(Muslim).

Daerah Pekojan pada era kolonial Belanda dikenal sebagai kampung Arab, dikarenakan
pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-18 menetapkan Pekojan sebagai zona kawasan
kampung Arab. Kala itu, para imigran yang datang dari Hadramaut (Yaman Selatan) dan
India yang beragama Islam ini diwajibkan lebih dulu tinggal di sini, barulah kemudian dari
kawasan Pekojan ini mereka menyebar ke berbagai kota dan daerah.

Di Pekojan, Belanda pernah mengenakan sistem Passen stelsel yaitu, menempatkan


mereka dalam pemukiman khusus, dan sistem Wijken stelsel yaitu, mengharuskan mereka
memiliki pas atau surat jalan bila bepergian ke luar wilayah.

Sistem ini diberlakukan pemerintah Hindia Belanda pasca terjadinya peristiwa


pembatantaian masal etnis Tionghoa / Cina pada tahun 1740 M dan sistem seperti ini
berlaku di Kampung Ampel, Surabaya dan sejumlah perkampungan Arab lainnya, dan juga
berlaku pada kawasan Pecinaan atau kampung Cina di Nusantara.

Kampung Pekojan merupakan cikal bakal dari sejumlah Perkampungan Arab yang
kemudian berkembang di Batavia. Dari kawasan Pekojan inilah mereka kemudian menyebar
ke wilayah lainnya seperti ;
1. Krukut dan Sawah Besar (Jakarta Barat),
2. Jati Petamburan, Tanah Abang, dan Kwitang (Jakarta Pusat),
3. Jatinegara, Cawang, dan Condet (Jakarta Timur).

Dan dari kawasan kampung Arab Pekojan ini pulalah asal mulanya penyebaran agama
Islam di Batavia dimulai, ke wilayah-wilayah lainnya di Batavia.

16
7. Jabatan Para Tokoh Masyarakat di Jaman Pemerintah Kolonial.

Pada Jaman Kolonial Belanda ini pula banyak para tokoh-tokoh Pekojan yang diberikan
tugas oleh pemerintah Hindia Belanda sesuai dengan keahlian dibidangnya untuk
membantu pemerintah mengatur masyarakat di wilayahnya atau kawasannya.

Karena pemerintahan Hindia Belanda pada saat itu selain ingin lebih mudah untuk dapat
mengatur dan mengawasi suatu kawasan, juga agar lebih mudah pula untuk mendata
jumlah penduduk baik yang sudah lama menetap ataupun bagi pendatang baru di kawasan
tersebut dengan dibantu oleh para tokoh atau yang ditokohkan oleh masyarakat kawasan
tersebut.

Para tokoh masyarakat disuatu kawasan akan diberikan jabatan atau sebutan untuk tugas-
tugas mereka dalam membantu pemerintah Kolonial Belanda seperti :

1. MUFTI yang bertugas untuk menetapkan unsur-unsur Hari Besar Agama, Perayaan
keagamaan mayoritas masyarakat dikawasan tersebut, saat ini seperti MUI.

2. KAPITEN yang bertugas untuk mengurus ketertiban dan keamanan masyarakat


dikawasan tersebut, saat ini seperti POLISI.

3. GODI yang bertugas untuk mengurus kemaslahatan keagamaan, seperti pernikahan,


warisan, harta peninggalan, kasta / kelas serta Hakim dikawasan tersebut, saat ini
seperti KUA dan Advokat.

Mereka akan mendapat sebutan seperti Kapiten Arab, Godi / Hakim Arab yang bertugas
dikawasan Kampung Arab tersebut.

Sedangkan tidak jauh dari Kampung Arab Pekojan juga ada Kampung Cina (Pecinan) yang
kita kenal dengan nama kawasan Glodok Pancoran, Pemerintah Hindia Belanda juga
menunjuk Kapiten Cina, Godi / Hakim Cina, mereka juga yang akan bertanggung jawab di
Kampung Cina (Pecinan).

Dan saat ini, mayoritas penghuni kawasan Pekojan adalah keturunan Tionghoa / Cina, ini
dikrenakan banyak para penerus keturunan Arab dan India dikawasan Pekojan ini yang
pindah ketempat lain baik di wilayah lain di Jakarta maupun ke wilayah luar Jakarta dan
mereka kemudian menjual rumah – rumah mereka kepada kaum pendatang yang
umumnya etnis Tionghoa / Cina.

Ada beberapa alasan kaum keturunan Arab di Pekojan menjual rumah warisan orang tua
mereka dan pindah ke wilayah lain, di antaranya adalah banjir yang rutin merendam
kawasan tersebut, konflik antar keluarga Arab lainnya, perpecahan warisan yang
menyebabkan generasi berikutnya menjual rumah warisan peninggalan orang tuanya, dan
lain sebagainya.

17
8. Kisah Sejarah Jembatan Kambing, Pejagalan dan Kapiten Arab.

Beberapa meter tepat di depan Masjid Jami An Nawier Pekojan dan diantara tempat tinggal
yang sebagian sudah berubah fungsi menjadi gudang, terdapat sebuah rumah yang sudah
sangat tua letaknya di Jl. Pekojan Raya. Rumah ini dulunya kediaman Kapiten Arab “Syeikh
Hammud bin Abdul Aziz”. Kini rumah tersebut ditempati oleh generasi ke empat dari
keturunan Arab itu. Syeikh Hammud bin Abdul Azis mempunyai putra yaitu “Syeikh Abdul
Habib bin Hammud bin Abdul Aziz” dan mepunyai cucu bernama “Syeikh Salim bin Abdul
Habib bin Hammud bin Abdul Azis” yang meneruskan pekerjaan orang tua mereka sehingga
kini generasi ke empat sebagai supplier kambing di Jembatan Kambing tersebut.

Putra dan Cucu Syeikh Hammud bin Salim Al Abdul Azis

Dinamakan Jembatan Kambing, karena di kawasan ini dari dahulu sudah ramai sekali
dengan jual beli / pasar hewan kambing. sebelum dibawa ke Pejagalan atau tempat
pemotongan hewan yang berada di seberang kali Angke, kambing-kambing yang akan
dipotong mau tak mau harus menyeberangi Kali Angke dan melewati Jembatan itu.

Nama Pejagalan hingga kini masih menjadi nama jalan di dekat Pekojan yaitu Jl.Pejagalan
Raya. Di muka Jembatan Kambing, hingga kini masih dijumpai sejumlah warga keturunan
Arab yang menjual daging kambing. menurut seorang penduduk setempat, para pedagang
kambing ini sudah turun-temurun. Ketika penduduk masih didominasi keturunan Arab,
mereka umumnya senang mengkonsumsi daging kambing.

18
Bab II

KISAH SEJARAH PARA TOKOH


KAMPUNG ARAB PEKOJAN BATAVIA

Menggali Kembali Lahirnya dan Keberadaan


Para Tokoh Pejuang Kampung Arab Pekojan
Baik Di Masa Lalu Sebelum Kemerdekaan
Dan Sesudah Kemerdekaan.

19
Didalam suatu wilayah atau tempat pasti kita mendengar nama-nama tokoh atau yang
ditokohkan (sesepuh) diwilayah tersebut. Sangatlah bijaksana kita mau mengenal dan
mengetahui para tokoh yang sudah banyak berbuat untuk kemajuan dan kemaslahatan
masyarakat diwilayah tersebut, dan banyak sekali tokoh-tokoh hebat baik dari keturunan
Arab yang lahir di kampung Arab Pekojan maupun dari yang bukan keturunan Arab dalam
perjalanan kurun waktu pada masa lalu, baik sebelum masa kemerdekaan, setelah masa
kemerdekaan dan sampai saat ini. Mereka adalah Alim Ulama, Cendikiawan Muslim, Aktivis
Muslim dan Saudagar Kaya keturunan Arab dan India, menurut beberapa nara sumber
mereka adalah :

1. Mengenal Para Tokoh Pekojan Batavia Sebelum Kemerdekaan Republik


Indonesia.

1. Syeikh Abu Bakar (India) Pendiri Masjid Jami Kampung Baru Bandengan.
2. Sayyid Abdullah bin Husein Aiaydrus (Hadramaut) Pendiri Masjid Jami An Nawier.
3. Sayyid Ahmad bin Muhammad bin Hamzah Al Athas (Hadramaut) Pendiri Mushola Az
Zawiyah.
4. Syeikh Said Naum (Hadramaut) Pendiri Masjid Langgar Tinggi.
5. Syeikh Junaid Al Betawi, Imam Besar Masjidil Haram Makkah Almukaromah.
6. Sayyid Ustman bin Yahya Sang Mufti Betawi.
7. Sayyid Ahmad Assegaf Godi Kampung Arab Pekojan dan Pengurus Masjid Langgar
Tinggi.
8. Sayyid Abubakar bin Ali Shahab Pendiri dan Ketua Jamiat Kheir Pertama.
9. Sayyid Ali bin Ahad Shahab Pendiri Jamiat Kheir.
10.Sayyid Idrus bin Ahmad Shahab Pendiri Jamiat Kheir.
11.Syeikh Said bin Ahmad Basandid Pendiri Jamiat Kheir dan juga sebagai Kapiten
Kampung Arab Pekojan.
12.Syeikh Muhammad Al Mashur Pendiri Jamiat Kheir.
13.Syeikh Hammud bin Abdul Azis Kapiten Kampung Arab Pekojan.
14.Bek / Kepala Kampung kawasan kampung Arab Pekojan tahun 1890 M yaitu Syeikh
Mukhsin bin Alwi Al Aidid.
15.Syeikh Abdul Habib bin Hammud bin Abdul Azis Kapiten Putra Syeikh Hammud bin Abdul
Azis yang meneruskan usaha orang tuanya menjadi supplier hewan Kambing di kawasan
kampung Arab Pekojan.
16.Syeikh Umar bin Abdullah Bagharib tokoh Jamiat Kheir
17.Syeik Muhammad bin Ali Hamidun Basandid tokoh Jamiat Kheir beliau adalah saudara
sepupu Syeik Said bin Ahmad Basandid Pendiri Jamiat Kheir.
18.Syeikh Muhammad bin Awad bin Fadl Bafadhol, beliau sesepuh Pekojan (1931 M).
19.Syeikh Abdul Kadir bin Abdullah Haddad Bek (Kepala Kampung) kawasan kampung Arab
Pekojan Tahun 1938 M.
20.Syeik Abdullah bin Hasyim bin Agil Bagayil Bawajir Ketua Marbot Masjid dan Mushola se
Batavia.

20
2. Kisah Para Tokoh Kampung Arab Pekojan Batavia Tempo Doloe.

Kisah para tokoh kampung Arab Pekojan tempo dulu sebelum kemerdekaan membawa
banyak arti dalam perkembangan agama Islam di Batavia pada masa lalu, karena kampung
Arab Pekojan dahulu merupakan sebagai pusat kawasan para Auliya dan alim ulama dari
Hadramaut (Yaman Selatan) dan India berkumpul dan berdakwah.

Dan tak kalah pentingya adalah kisah sejarah pergerakan pemuda Awliyyin Pekojan pada
saat itu menentang penjajahan Kolonial Belanda dengan symbol gerakan pemuda untuk
kemerdekaan Indonesia bersama para pemuda yang mencari ilmu agama di kawasan
kampung Arab Pekojan dan peduli dengan arti kemerdekaan negerinya yang kini menjadi
Pahlawan Nasional yaitu KH. Ahmad Dahlan, Husein Omar Syarif (HOS) Cokroaminoto, KH.
Agus Salim, H.Samanhudi, Husen Jayadiningrat serta banyak lagi yang lainnya didalam
sebuah organisasi perkumpulan kebaikan atau Jamiat Kheir.

Dikampung Arab Pekojan inilah mereka membuat beberapa tempat ibadah yaitu masjid dan
langgar (mushola) sebagai tempat beribadah dan berdakwah, sehingga tak heran jika di
kampung Arab Pekojan banyak bangunan tua tempat ibadah bersejarah warisan para tokoh
kampung Arab Pekojan terdahulu.

Dan dari kawasan inilah murid-murid para Auliya dan alim ulama kampung Arab Pekojan
berdakwah menyebarkan agama Islam kewilayah lainnya di Batavia, selain di wilayah
Jakarta Barat sendiri, mereka menyebar kewilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Timur.

Berikut adalah kisah para tokoh sejarah kampung Arab Pekojan Batavia tempo
doloe ;

1. Syeik Abu Bakar merupakan salah satu saudagar muslim dari India pendiri Masjid Jami
Kampung Baru Pekojan dan beliau dahulu tinggal di kawasan tersebut.

2. Sayyid Abdullah bin Husein Alaydrus dari Hadramaut (Yaman Selatan) beliau adalah
pendiri Masjid Jami An Nawier Pekojan.

3. Di Pekojan ada satu orang Wali Besar (Wali Kutub) di zamannya dari Hadramaut (Yaman
Selatan) beliau adalah “Sayyid Ahmad Bin Muhammad Bin Hamzah Al Athas”, beliau
pendiri Musholla Az Zawiyah dan sumur yang ada di mushola Az Zawiyah.

Menurut cerita para tokoh terdahulu setiap malam Nisfu Syaban dari mulai sore hingga
Fajar sumur yang berada di Mushola Az Zawiyah tersebut disambungkan oleh beliau ke
Sumur Zam-zam yang ada di Mekah. Dan menurut cerita pula pada saat beliau
mengajar atau Ta‟lim di Musholla Az Zawiyah beliau telah di datangi Nabi Khidir AS
hingga tiga kali, wallahualam bisowab.

4. Seorang Kapiten Arab bernama “Syeikh Said Naum”, Pendiri Masjid Langgar Tinggi
Sebelum tinggal di Pekojan, ia tinggal di Palembang, memiliki sejumlah Armada kapal
dan menjadi tuan tanah. Banyak tanahnya itu yang diwakafkan sebagai masjid – masjid
di Batavia.

21
5. Sang Imam Masjidil Haram Makkah Almukaromah, yang juga seorang Ulama Besar dan
Guru Besar “Syeikh Junaid Al Betawi”, beliau adalah keturunan Betawi yang lahir di
kampung Arab Pekojan sekitar tahun 1740 M, beliau wafat tahun 1840 M, dan beliau
mencapai usia 100 tahun lebih.

6. Sang Mufti Betawi yaitu seorang Ulama besar dan Guru Besar “Sayyid Usman Bin Aqil
bin Abdurahman bin Ahmad bin Yahya” yang lahir di kampung Arab Pekojan, beliau
tinggal di Jl. Masjid Pekojan dahulunya bernama Jl. Kostapel, lalu kemudian beliau
menetap di wilayah Petamburan Jakarta Pusat hingga akhir hayatnya.

7. Di Pekojan pada tahun 1901 ada dua bersaudara Shahab, beliau adalah “Sayyid Ali bin
Ahmad Shahab” dan “Sayyid Idrus bin Ahmad Shahab”, mereka adalah pendiri Yayasan
Pendidikan Islam Jamiat Kheir, beliau dahulu tinggal di Jl. Masjid Pekojan / Jl.Kostapel
No.8 RW 01 Kelurahan Pekojan.

8. Adapula Pendiri dan Ketua Pertama Yayasan Pendidikan Islam Jamiat Kheir yaitu “Sayyid
Abubakar bin Ali Shahab”,beliau lahir di Pekojan pada tahun 1870 M. Beliau adalah cucu
dari Syeikh Said Naum pendiri Masjid Langgar Tinggi, karena ibunda beliau adalah putri
dari Syeikh Said Naum.

9. Di Pekojan ada pula Kapiten Arab yang bernama “Syeik Said Bin Ahmad Basandid”,
beliau yang mengurus ketertiban dan keamanan masyarakat Arab yang juga pendiri
Jamiat Kheir beliau adalah salah satu kakek dari “Ustad Dikky bin Abubakar Basandid”,
Ketua Najir / Pengurus Masjid An Nawier saat ini, beliau tinggal di Jl. Masjid
Pekojan/Jl.Kostapel No.31 RW 01 Kelurahan Pekojan.

10. Ada Pula Kapiten Arab yang bernama “Syeikh Hammud bin Salim Al Abdul Aziz”, beliau
adalah ayah dari “Syeikh Abdul Habib bin Hammud bin Salim Al Abdul Azis” dan kakek
dari “Syeikh Salim bin Abdul Habib bin Hammud Al Abdul Azis” yang lahir di Pekojan
pada tahun 1885 M, beliau juga saudagar Arab suplyer hewan kambing di Pekojan pada
saat itu dan kini masih berlanjut kepada keturunannya menyuplai hewan kambing di
Pekojan, beliau tinggal di Jl. Masjid Pekojan / Jl. Kostapel No.71 RW 01 Kelurahan
Pekojan.

11. Bek atau Kepala Kampung kawasan kampung Arab Pekojan saat itu yang bernama
“Sayyid Mukhsin bin Alwi Al Aidid”, disekitar tahun 1890 M.

12. Godi Arab yang bernama “Sayyid Abdurahman Assegaf”, beliau adalah Kakek dari
“Habib Ahmad Bin Alwi Assegaf”, beliau diangkat oleh Belanda untuk mengurus
kemaslahatan keagamaan, seperti pernikahan, warisan, harta peninggalan, dan kasta
Arab serta hakim Arab, dan menjadi pengurus Masjid Langgar Tinggi pada saat itu,
beliau tinggal di Jl.Pekojan Raya RW 01 Keluran Pekojan.

13. Ada pula Godi Arab kampung Arab Pekojan lainnya yaitu “Syeikh Ali bin Hasan Bahreis”.

22
14. “Syeikh Muhammad bin Awad bin Fadl Bafadhol”, beliau adalah sesepuh Pekojan, beliau
wafat pada tahun 1931, beliau tinggal di Jl. Masjid Pekojan dahulu bernama Jl. Kostapel
No.28 RW 01 Kelurahan Pekojan.

15. “Syeik Abdullah bin Hasyim bin Agil Bagayil Bawajir”. beliau adalahi Ketua Marbot
Masjid dan Mushola se Batavia, beliau wafat pada tahun 1934 M di Pekojan

16.“Syeikh Abdul Kadir bin Abdullah Haddad”, beliau adalah Bek atau Kepala Kampung
dikawasan kampung Arab Pekojan tahun 1938 M, beliau tinggal di“Kampung Aer”
sekarang bernama Jl. Pengukiran 3 RW 03 Kel.Pekojan, dan beliau wafat pada tahun
1950 M.

23
3. Photo Para Tokoh Sejarah Kampung Arab Pekojan Batavia Masa Lalu.

24
4. Para Tokoh Pekojan Batavia Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia.

Para tokoh keturunan Arab dikawasan Pekojan pada era setelah kemerdekaan lebih fokus
meneruskan perjuangan dan menjaga warisan sejarah dan budaya kampung Arab Pekojan
selain menjadi Guru Besar, Alim ulama yakni berjuang dengan jalan berdakwah, adapula
yang menjadi aktivis sosial/kemanusiaan, mengajar ilmu bela diri, serta menjadi sesepuh
(ditokohkan) karena disegani.

Berikut adalah para tokoh kampung Arab Pekojan setelah masa kemerdekaan ;
4.1. Para Tokoh Pekojan yang meneruskan berdakwah.

1. Syeikh Abdullah bin Muhammad Arfan Baraja, beliau adalah adalah Alim ulama dan Guru
besar dibidang Akhlaq, Tauhid, Fiqih Syafi‟i dan Hadist. Beliau dahulu pernah menjadi
Kepala Madrasah Jamiat Khaer serta berdakwah mengajar majelis ilmu di Masjid Jami
An Nawier, Mushola Az Zawiyah dan tempat lainnya di Jakarta, beliau dahulu tinggal di
Jl, Pengukiran 4 RW 02 kel. Pekojan saat itu, dan banyak para muridnya kini menjadi
ulama besar.

2. Sayyid Abdurahman bin Idrus bin Hasan Al Jufri, beliau seorang Alim ulama dan guru
besar dibidang Fiqih As Syafi‟I, sesepuh Pekojan yang berdakwah mengajar majelis ilmu
di Masjid An Nawier dan Masjid Ar Raudoh dan tinggal di Jl. Masjid Pekojan No.1 RW 01
Kel. Pekojan, sampai saat ini keturunan beliau masih menetap di sana.

3. Syeikh Awad bin Said Badhawi adalah sesepuh Pekojan dan juga berdakwah mengajar
majelis ilmu di masjid Jami An Nawier dan di Mushola Az Zawiyah serta dirumahnya, Jl.
Masjid Pekojan Gg I RW 01 Kelurahan Pekojan.

4. Syeikh Saleh bin Abdullah bin Muhammad Arfan Baraja, beliau adalah putra dari Syeikh
Abdullah bin Muhammad Arfan Baraja yang meneruskan perjuangan ayahnya
berdakwah mengajar majelis ilmu di rumah beliau, wilayah Jl. Pengukiran 4 RW 02
Kelurahan Pekojan.

5. Syeikh Saleh Bajere adalah sesepuh Pekojan, beliau pernah menjadi pengurus masjid
Jami An Nawier dan mengajar majelis ilmu di masjid Jami An Nawier serta menjadi
Ketua KUA Kecamatan Tambora sekitar tahun 1960 M.

25
6. Sayyid Muhammad Assegaf adalah sesepuh Pekojan, beliau mengajar majelis ilmu di
Masjid Jami An Nawier dan Masjid Langgar Tinggi, beliau juga pernah menjabat sebagai
pengurus Masjid Langgar Tinggi sekitar tahun 1960 M.

7. Sayyid Idrus Assegaf, beliau berdakwah mengajar majelis ilmu dirumahnya, Jl. Gg Toto
RW 05 Kelurahan Pekojan.

8. Syeikh Ahmad bin Umar Hablil, beliau adalah murid dari Syeikh Abdullah bin Muhammad
Arfan Baraja, berdakwah mengajar di majelis ilmu Mushollah Az Zawwiyah.

9. Syeikh Ahmad Bajere, beliau berdakwah mengajar majelis ilmu dirumahnya Jl,
Pengukiran I RW 03 Kelurahan Pekojan.

10.Syeikh Abdillah bin Ali Basandid, beliau berdakwah mengajar majelis ilmu dirumahnya
dan juga aktif dikegiatan soisal kemasyarakatan.

4.2. Para Tokoh Pekojan yang ditokohkan / menjadi sesepuh Pekojan.

1. Syeik Fadel bin Muammad bin Awad Fadl Bafadhol Sesepuh Pekojan, beliau anak dari
Syeikh Muhammad bin Awad Fadl Bafadhol yang juga sesepuh yang disegani.

2. Syeikh Husein bin Abdullah bin Agil Bajri, beliau Aktivis kemanusiaan yang gigih
berjuang dengan tulisan-tulisannya membela keturunan Arab yang masih WNA agar
dapat menjadi WNI, beliau dahulu tinggal di Jl. Masjid Pekojan No.82 RW 02 Kel.
Pekojan saat ini rumahnya telah menjadi RS Budi Kemuliaan Pekojan.

3. Sayyid Husein Al Aidid, beliau seniman / pelaku seni pimpinan Orkes Melayu Kenangan
yang cukup tekenal pada era tahun 1970 M.

4. Syeikh Ali bin Muhammad bin Ali Hamidun Basandid adalah sesepuh Pekojan, beliau
juga anak dari Syeikh Muhammad bin Ali hamidun tokoh Jamiatul Khair yang juga
saudara sepupu Syeikh Said bin Ahmad Basandid, Kapiten Arab dan pendiri Jamiat
Khaer.

5. Syeikh Nasar bin Ahmad Attamimi adalah sesepuh Pekojan, beliau dulu adalah Marbot
masjid Jami An Nawier Pekojan dan mengajar ilmu bela diri Cingkrik.

6. Syeikh Salim bin Abdul Habib bin Hammud Al Abdul Azis adalah sesepuh Pekojan, beliau
adalah cucu dari Syeikh Hammud Al Abdul Azis, salah satu Kapiten Arab dikampung
Arab Pekojan tempo dulu, dan meneruskan usaha kakek dan ayahnya menjadi supplier
hewan Kambing di kawasan Pekojan yakni di Jembatan Kambing, hingga kini keturunan
beliau generasi ke empat, masih meneruskan usaha tersebut di tempat yang sama.

7. Sayyid Ali bin Hasyim bin Ali bin Ahmad bin Zein Al Aidid sesepuh Pekojan, beliau
mengajar bela diri Kung Fu (Say Kun Pay), beliau juga ayah Habib Qurais yang saat ini

26
berdakwah mengajar taklim di majelis ilmu Maula Aidid kepulauan seribu dan
dirumahnya.

8. Syeikh Ali bin Umar Al Amrie, beliau adalah sesepuh Pekojan dan seniman/pelaku seni
Orkes Melayu Aktif, serta aktif di kegiatan sosial kemasyarakatan sebagai ketua RW.

9. Syeikh Umar bin Salim Al Amri adalah sesepuh Pekojan beliau adalah ayah dari Syeikh
Ali bin Umar Al Amrie.

10.Syeikh Abdullah bin Ali bin Abdullah Barkat Zaidan (Ami Uwo) adalah sesepuh Pekojan,
beliau tiada hentinya menceritakan kisah sejarah hebat yang ada di kampung Arab
Pekojan semasa hidupnya.

11. Sayyid Abdullah bin Hasan bin Husen Al Aidid (Ami Enjo) adalah sesepuh Pekojan,
mengajar beladiri Betsi dirumahnya.

12. Sayyid Abdul Kadir bin Muhammad bin Hasan Al Jufri (Ami Ading), adalah sesepuh
Pekojan dan mengajar ilmu bela diri dirumahnya.

13. Sayyid Hasan bin Muhammad Al Jufri (Ami Dadang) adalah sesepuh Pekojan.

14. Sayyid Abdul Kadir bin Idrus Al Jufri adalah sesepuh Pekojan.

15. Sayyid Muhammad bin Hasan Alaydrus adalah sesepuh Pekojan.

16. Sayyid Abdurahman bin Muhammad Al Athas adalah sesepuh Pekojan.

17. Syeikh Ali bin Abdullah Habani Bahreis adalah sesepuh Pekojan.

18. Syeikh Said bin Agil Bayaghil adalah sesepuh Pekojan.

19. Syeikh Abdul Kadir bin Idrus Al Amrie adalah sesepuh Pekojan.

20. Syeikh Said Bazamal adalah sesepuh Pekojan.

21. Syeikh Abubakar bin Ali Basandid adalah sesepuh Pekojan.

27
4.3. Para Tokoh Pekojan yang ditokohkan / menjadi sesepuh Pekojan yang bukan
dari keturunan Arab.

Seperti halnya tokoh kampung Arab Pekojan yang bukan keturunan Arab Syeikh Junaid Al
Betawi, banyak pula tokoh-tokoh Pekojan dari kalangan bukan keturunan Arab pasca
kemerdekaan yang banyak berjasa dalam memelihara dan menjaga kawasan kampung
Arab Pekojan, karena mereka telah lama menetap dikawasan tersebut.

Berikut nama-nama yang mewakili para tokoh kampung Arab Pekojan yang bukan dari
keturunan masyarakat Arab, mereka adalah :

1. KH, Muhammad Rojiun beliau adalah Alim Ulama keturunan Betawi yang berdakwah
mengajar majelis ilmu di Masjid Jami An Nawier pada tahun 1960 M.

2. Bp. Baihaki, beliau adalah sesepuh dan tokoh masyarakat Madura Pekojan.

3. Bp. Yahya Sirath, beliau adalah sesepuh dan seniman Orkes Melayu Kenangan.

4. Bp. Mashur, beliau adalah sesepuh Pekojan dan berdakwah mengajar majelis ilmu di
masjid Jami An Nawier dan Guru di Sekolah SD Jame Pekojan.

5. Bp. Muhammad Jaelani, beliau sesepuh Pekojan dan aktif dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan.

6. Bp. H.Mansuri, beliau adalah sesepuh Pekojan dan berdakwah mengajar majelis ilmu
dirumahnya.

7. Bp. Tuyam Rachbar, beliau adalah sesepuh Pekojan dan mengajar ilmu beladiri dan
berdakwah mengajar majelis ilmu dirumahnya.

8. Bp. H. Jihad beliau adalah sesepuh Pekojan dan juga berdakwah mengajar majelis ilmu
di Masjid Al Ansor dan dirumahnya.

9. Bp. TB. Mansur adalah sesepuh Pekojan dan pernah menjadi kepala kampung.

10. Bp. Muslim adalah sesepuh Pekojan dan pernah menjadi kepala kampung.

11. Bp. Supandi adalah sesepuh dan pernah menjadi Lurah Pekojan.

12. Bp.H. Arsali adalah sesepuh dan pernah menjadi Lurah Pejagalan.

13. Bp. H. Abdullah sesepuh Pekojan dan mengajar majelis ilmu di masjid Al Anshor serta
menjadi pengurus masjid Al Anshor.

14. Bp. H. Sarbini, beliau adalah sesepuh Pekojan

15. Bp. H. Payumi, beliau adalah sesepuh Pekojan.

28
16. Bp. H.Nunung, beliau adalah sesepuh Pekojan.

17. Bp, Muhammad Suaib Badelly, beliau adalah tokoh masyarakat Madura Pekojan, dan
mengajarkan ilmu bela diri dirumahnya.

18. Bp. H.Sapri, beliau sesepuh Pekojan dan aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan.

19. Bp. Paridjo HS, beliau sesepuh Pekojan dan aktif di kegiatan sosial kemasyarakatan.

20. Bp. H. Sodri, beliau sesepuh Pekojan dan mengajar majelis ilmu dirumahnya.

Itulah nama-nama tokoh kampung Arab Pekojan yang dapat kami himpun dan tuliskan
mewakili para tokoh-tokoh kampung Arab Pekojan lainnya yang tidak dapat kami tuliskan
karena keterbatasan mengingat nama- nama semua tokoh-tokoh dikawasan kampung
Arab Pekojan. (Mohon maaf jika terjadi kasalahan dalam penulisan baik nama, nama ayah
dan marga keturunan).

Semoga kaum muda sebagai asset penerus kawasan kampung Arab Pekojan kota tua
Jakarta, dapat banyak belajar dan meneruskan perjuangan yang sudah dilakukan oleh para
tokoh-tokoh tersebut untuk dapat menjaga dan memelihara semua warisan peninggalan
sejarah dan budaya kota Batavia di kawasan kampung Arab Pekojan kawasan kota tua
Jakarta ini.

29
5. Photo Para Tokoh Sejarah Kampung Arab Pekojan Setelah Kemerdekaan.

30
6. Para Penerus Tokoh Kampung Arab Pekojan Kota tua Jakarta Saat ini.

Alhamdulillah sampai saat ini masih ada dan lahir tokoh-tokoh muda dari baik keturunan
Arab dan juga yang bukan keturunan Arab di kampung Arab Pekojan yang masih menjaga,
memelihara warisan sejarah dan budaya serta meneruskan perjuangan para pendahulunya
baik dengan berdakwah serta menjadi aktivis sosial kemasyarakatan, walau jumlah
mereka kini menjadi minoritas dikampungnya sendiri, mereka adalah :

1. Habib Muhammad bin Hasan bin Muhammad Al Jufri Pengurus Mushola Az Zawiyah yang
juga Ketua RW 01 Kelurahan Pekojan.

2. Habib Ahmad bin Alwi Assegaf Pengurus Masjid Langgar Tinggi, cucu dari Al Habib Alwi
Assegaf dahulunya selaku Godii Pekojan, Pengurus Langgar Tinggi dan Pendiri Jamiatul
Khaer.

3. Ustad Dikky bin Abubakar bin Ali bin Muhammad Basandid selaku Ketua Najir / Pengurus
Masjid Jami An Nawier, salah satu cucu dari Syeikh Said bin Ahmad Basandid Kapiten
Pekojan dan Pendiri Jamiatul Khaer, beliau berdakwah mengajar majelis ilmu di masjid
Jami An Nawier dan tempat lainnya.

4. Habib Qurais bin Ali bin Hasyim Aidid, beliau berdakwah mengajar majelis ilmu Maula
Aidid di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu - Jakarta Utara dan di rumahnya di Pekojan,
beliau masih tinggal di Jl. Pengukiran Raya RW 02 Kelurahan Pekojan.

5. Habib Muhammad Amin bin Saleh Al Habsyi, beliau berdakwah mengajar majelis ilmu
Abdurahman Al Habsyi di Cikini Jakarta Pusat, keluarga besar beliau tinggal di Jl. Masjid
Pekojan GG 1 RW 01 Kelurahan Pekojan.

6. Ustadz Fahmi Salim, beliau berdakwah mengajar majelis ilmu di masjid Jami An Nawier
dan tempat lainnya diwilayah Jakarta, beliau lulusan Universitas Kairo – Mesir dibidang
Agama Islam.

7. Ustadz Kholid bin Amru Azzubaidi beliau berdakwah mengajar majelis ilmu di Mushola
Az Zawiyah dan masjid lainnya diwilayah Jakarta.

Semoga akan ada banyak lagi para penerus tokoh muda lahir di kampung Auliya ini (Orang
tua saya menyebutnya seperti itu), dan meneruskan perjuangan para Auliya dan Pejuang
terdahulu untuk menyebarkan dakwah dan ilmu kebaikan untuk agama Allah, agama Islam
Rahmatan Lilalamin.

31
Bab III

KISAH HEBAT PARA TOKOH


KAMPUNG ARAB PEKOJAN BATAVIA
TEMPO DOLOE.

Menggali Kembali Kisah Hebat


Para Tokoh Kampung Arab Pekojan
Yang Terkenal Di Dunia Karena Reputasi
Perjuangannya Terhadap
Agama, Bangsa Dan Negara

32
1. Mengenal Lebih Dekat Tokoh Pekojan Syeikh Junaid Al Betawi, Orang Pertama
Indonesia yang Menjadi Imam Besar dan Guru Besar di Masjidil Haram Kota
Makkah Almukaromah.

Syeikh Junaid Al-Betawi adalah Ulama Besar dan Guru Besar di Masjidil Haram kota Makkah
keturunan asli Betawi yang lahir di kampung Arab Pekojan - Batavia, berkisar ditahun 1740
M (karena belum ada kepastian tentang tahun kelahirannya).

Syeikh Junaid Al- Betawi sangatlah berpengaruh di kota Makkah Al Mukaromah. Beliau
menjadi Imam Besar Masjidil Haram, Syaikhul Masyaikh yang terkenal di seantero dunia
Islam sunni dan mazhab Syafi`i sepanjang abad ke-18 dan 19. Menurut Alwi Shahab,
Syeikh Junaid Al-Betawi wafat pada tahun 1840 M, usia beliau pada saat wafat mencapai
100 tahun lebih.

Satu-satunya ulama Betawi yang memiliki pengaruh di dunia Islam pada awal ke-19 serta
menjadi pongkol, poros atau ujung puncak utama silsilah ulama Betawi masa kini adalah
Syeikh Junaid Al-Betawi.

Mengenai tanggal lahirnya,dan tahun wafatnya pun belum diketahui dengan pasti dan jelas.
Alwi Shahab menuliskan tahun 1840 M sebagai tahun wafat Syeikh Junaid. Padahal
menurut Sejarawan dan Budayawan Ridwan Saidi, pada tahun 1894-1895 M ketika Snouck
Hurgronje menyusup ke Makkah, diketahui Syeikh Junaid masih hidup dalam usia yang
sangat lanjut.

Khusus mengenai murid-murid Betawinya yang kemudian menjadi ulama terkemuka, belum
banyak diketahui kecuali Syeikh Mujitaba (Syeikh Mujitaba bin Ahmad Al-Betawi) dari
Kampung Mester yang dinikahkan dengan putri Syaikh Junaid Al Betawi. Muridnya yang lain
adalah Guru Mirshod, Ayah dari Guru Marzuki Cipinang Muara.

Kiprah Syeikh Junaid Al-Betawi sedikit banyak terungkap dari catatan perjalanan Snouck
Hurgronje, seorang orientalis terkemuka asal Belanda saat menyusup ke kota Makkah yang
perjalanannya ditulis dan dibukukan dengan judul “Mecca in the latter part of 19th
Century.”

33
Saat Snouck Hurgronje ingin bertemu dengan Syeikh Junaid ia ditolak oleh beliau. Menurut
Hurgronje, saat ia menyusup ke Makkah diketahui bahwa Syeikh Junaid telah bermukim di
Makkah selama 60 (enam puluh) tahun, tepatnya sejak tahun 1834 M, Syeikh Junaid
membawa istri dan keempat putra-putrinya saat beliau berusia antara 35-40 tahun.

Ketika Hurgronje berada di Makkah, usia Syeikh Junaid mendekati 90 tahun.Namun


demikian, di usia yang sudah lanjut tersebut, ulama Makkah masih meminta beliau
memimpin zikir dan membaca do`a penutup dalam setiap pertemuan ulama.

Syeikh Junaid memilki empat orang anak, dua laki-laki, yaitu As`ad dan Said dan dua
perempuan. Seorang putrinya dinikahkan dengan Imam Mujtaba, asal Bukit Duri, Kampung
Melayu, Jakarta dan yang seorang lagi dinikahkan dengan Abdurrahman Al-Mishri.

Dari perkawinan putrinya dengan Sheikh Abdurrahman Al-Mishri lahir seorang perempuan,
Aminah, yang kemudian dinikahkan dengan Sayyid Aqil bin Yahya yang melahirkan Sayyid
Usman bin Yahya. Sayyid Usman bin Yahya kemudian menjadi mitra Snouck Hurgronje,
sebagai Mufti Batavia.

Murid-murid Syeikh Junaid juga berhasil menjadi tokoh agama terkemuka

Saat mengajar di Masjidil Haram, ternyata Syeikh Junaid memiliki murid yang merupakan
bibit-bibit unggul penyebar agama islam. Menurut Ridwan Saidi, Syeikh Junaidi Al Betawi
mempunyai banyak murid yang kemudian menjadi ulama terkemuka di tanah air bahkan di
dunia Islam, yaitu ;

Syeikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi pengarang Tafsir Al-Munir dan 37 kitab lainnya yang
masih diajarkan di berbagai pesantren di Indonesia dan di luar negeri

Ada juga Syeikh Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi yang juga sebaga khatib,
Imam, serta Guru besar Masjidil Haram. Syeikh Ahmad Khatib juga dikenal sebagai Mufti
Mazhab Syafi‟i di abad ke 19 dan 20, sekaligus pengarang kitab-kitab terkenal.

34
Syeikh Junaid juga memiliki beberapa murid berdarah Betawi yang menjadi pemuka agama
fenomenal seperti Syeikh Mujitaba yang kemudian menjadi menantunya, ada pula Guru
Mirshod yang tak lain merupakan ayah dari Guru Marzuki Cipinang Muara.

Orang-orang Betawi berguru kepadanya ketika ia bermukim di Makkah selama 40 tahun.


Pernikahan puteri Syekh Junaid dengan Guru Mujtaba melahirkan Guru Marzuki, tokoh
ulama Betawi dari Cipinang Muara, Jakarta Timur.

Almarhum Guru Marzuki kini memiliki perguruan di Rawa bunga, Jakarta Timur, dan
mendapat gelar birulwalidain karena khidmatnya kepada kedua orang tuanya. Guru Marzuki
memiliki murid yang kemudian menjadi ulama terkemuka di Indonesia, seperti KH Abdullah
Syafi‟i dari perguruan Assyafiiyah dan KH Tohir Rohili dari perguruan Tohiriah di Bukitduri
Tanjakan, Jakarta Timur. Kedua perguruan Islam (Assyafiiyah dan Tahiriah) itu kini
berkembang pesat.

Menurut Alwi Shahab, salah seorang murid Syeikh Junaid yang menjadi ulama terkemuka,
yaitu Syeikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, sangat dekat dengan gurunya. Karenanya, setiap
haul Syeikh Nawawi, selalu dibacakan Fatihah untuk arwah Syeikh Junaid.

Syekh Junaid mengenakan marga Al-Betawi saat menetap di Makkah

Mungkin belum banyak yang tahu bahwa sejak abad ke 18 ada banyak sekali orang
Indonesia menjalankan ibadah haji ke Makkah. Masyarakat Betawi termasuk salah satu
kelompok dengan jumlah jamaah haji terbajak di kala itu.

Tentu saja pergi ke tanah suci bukanlah hal mudah untuk nenek moyang kita. Itulah
mengapa kemudian banyak sekali dari mereka yang memutuskan untuk menetap di
Makkah dan tak kembali ke Indonesia.

Untuk masyarakat yang bermukim di Makkah, sudah menjadi kebiasaan menjadikan nama
daerah asalnya sebagai marga atau nama keluarga. Misalnya saja untuk masyarakat Betawi
yang tinggal di sana akan secara seragam menggunakan marga Al-Betawi.

Itulah mengapa kemudian ulama kenamaan Syeikh Junaid dikenal dengan sebutan Syekh
Junaid Al-Betawi di berbagai majelis dalam negeri maupun luar negeri.

Syeikh Junaid juga sangat dihormati di Tanah Hijaz. Pada 1925, ketika Syarif Ali (putra
Syarif Husin) ditaklukkan oleh Ibnu Saud, kata Buya Hamka, di antara syarat
penyerahannya adalah, ”Agar keluarga Syeikh Junaid tetap dihormati setingkat dengan
keluarga Raja Ibnu Saud.

Persyaratan yang diajukan Syarif Ali ini diterima oleh Ibnu Saud.” (Buya Hamka dalam
„Diskusi Perkembangan Islam di Jakarta,‟ pada 27-30 Mei 1987). Karenanya hingga
sekarang, keturunan Syeikh Junaid ada yang menjadi pengusaha hotel dan pedagang.
Mereka bukan berdagang di Pasar Seng, Mekkah, melainkan membuka toko-toko
dikawasan hotel-hotel kota Makkah.

35
Konon, sebutan „Siti Rohmah…. Siti Rohmah‟…. yang dilontarkan oleh para pedagang di
Mekkah dan Madinah untuk para haji perempuan dikarenakan istri Syeikh Junaid Al-Betawi
bernama Siti Rohmah. (Sumber: Genealogi Intelektual Ulama Betawi, Jakarta Islamic
Center.)

SYEIKH JUNAID AL BETAWI IMAM BESAR MASJIDIL HARAM MEKKAH

36
2. Mengenal Lebih Dekat Tokoh Pekojan Sayyid Ustman Bin Aqil Bin Abdullah Bin
Abdurahman Bin Yahya Sang Mufti Betawi, Ulama Besar dan Guru Besar
Agama Islam Batavia.

Menggali kiisah sejarah dari kampung Arab Pekojan ini ternyata telah banyak lahir tokoh-
tokoh agama dari etnis Arab, salah satunya adalah “Sang Mufti Betawi” yaitu Sayyid
Ustman Bin Yahya yang lahir di kampung Arab Pekojan, beliau tinggal di Jl. Masjid Pekojan
dahulunya bernama Jl. Kostapel, lalu kemudian beliau menetap di wilayah Petamburan
Jakarta Pusat hingga akhir hayatnya.

Kisah perjalanan sang Mufti Betawi Sayyid Ustman Bin Yahya ini di tulis dalam sebuah buku
yang ditulis oleh Nico J.G. Kaptein berjudul “Islam, Kolonialisme dan Zaman Modern di
Hindia Belanda.”

Sekilas Sejarah Perjalanan Sang Mufti Betawi Sayyid Ustman bin Yahya.

Siapa yang tak kenal Sayyid Utsman bin Yahya. Seorang sosok Ulama besar dan Guru
besar yang menjadi guru dari semua guru agama, khususnya bagi masyarakat Betawi.

Sayyid Ustman bin Yahya lahir di kampung Arab Pekojan, Batavia pada tanggal 17 Rabi‟ul
Awwal 1238 H atau tahun 1822 M. Ayahnya adalah Abdullah bin Aqil bin Umar bin Aqil bin
Syech bin Abdul Rahman bin Aqil bin Ahmad bin Yahya, sedangkan ibunya adalah Aminah
binti Syeikh Abdurahman Al-Mishri, cucu dari Syeikh Junaid Al Betawi ( Ibunda dari Aminah
binti Syeikh Abdurahman Al-Misri atau Nenek Sayyid Ustman bin Yahya adalah Putri Syeikh
Junaid Al Betawi yang dinikahkan Syeikh Abdurahman Al-Mishri ).

Murid-Murid Sayyid Ustman Bin Yahya.

Sayyid Ustman bin Yahya dahulu mengajar di Masjid Jami An Nawier Pekojan. Beliau juga
pengarang sekitar 50 buku (kitab kuning) berbahasa Melayu Arab gundul, salah seorang
muridnya adalah seorang Ulama Besar Batavia yaitu “Sayyid Ali bin Abdurrahman Al
Habsyi” atau dikenal dengan sebutan Habib Ali Kwitang (meninggal 1968 M) yang
mendirikan Majelis Taklim Kwitang, yang menjadi guru dari Kiyai Abdullah Syafi'i
(Perguruan Asy-Syafi'iyah) dan KH Thahir Rahili (Perguruan At-Thahiriyah), maka

37
ketahuilah bahwa guru keduanya, Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang ini, adalah
salah satu murid dari sekian banyak murid Sayyid Utsman bin Yahya.

Murid-murid Sayyid Ustman bin Yahya yang lain yang menjadi tokoh dan ulama terkenal
adalah KH Mansyur (1878-1967), Jembatan Lima. Guru Mansyur, begitu panggilan
akrabnya, merupakan seorang ilmuwan Betawi di zaman penjajahan Belanda, lalu ada Sayid
Abu Bakar Al-Habsyi Kebun Jeruk Jakarta, Sayyid Muhammad bin Abdurrahman Pekojan,
Kiyai Makruf Kampung Petunduan Senayan, Tuanku Raja Kemala Aceh, Kiyai Muhammad
Thabarani, penghulu Pekojan Jakarta dan banyak lagi lainnya.

Dahulu sebelum Indonesia Merdeka Sayyid Utsman bin Yahya, menetapkan unsur-unsur
Hari Besar Islam seperti menetapkan jatuhnya awal Ramadhan, jatuhnya Hari Raya Idul
Fitri, jatuhnya Hari Raya Idul Adha, Hari Besar Yatim dan Hari Besar Islam lainnya.

Kalender Astrologi dengan teks Arab ini diterbitkan oleh sang Mufti Betawi Sayyid / Al Habib
Ustman bin Yahya untuk menetapkan Hari – Hari Besar Islam, Batavia 1890 M.

Guru–Guru Sayyid Ustman Bin Yahya.


Beliau pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah Haji, tetapi kemudian bermukim di sana
selama 7 tahun dengan maksud memperdalam ilmunya. Guru utama beliau adalah ayahnya
sendiri. Sedangkan ketika berada di Mekah beliau belajar/berguru pada Sayyid Ahmad Zaini
Dahlan ( Mufti Mekah ).
Pada tahun 1848 beliau berangkat pula ke Hadramaut untuk balajar pada guru-gurunya
yaitu, Syekh Abdullah bin Husein bin Thahir, Habib Abdullah bin Umar bin Yahya, Habib Alwi
bin Saggaf Al-Jufri dan Habib Hasan bin Shaleh Al-Bahar.
Dari Hadramaut beliau berangkat pula ke Mesir dan belajar di Kairo walaupun hanya untuk
8 bulan, kemudian meneruskan perjalanan lagi ke Tunisia berguru pada Syekh Abdullah
Basya , Aljazair belajar pada Syekh Abdurahman Al-Magribhi , Istanbul, Persia dan Syiria.
Maksud beliau berpergian dari satu negeri ke negeri lain adalah untuk memperoleh dan
mendalami bermacam-macam ilmu seperti ilmu fiqh, tasawuf, tarikh, falak, dan lain-lain.
Setelah itu beliau kembali ke Hadhramaut
Tercatat dalam Suluh Zaman yaitu sejarah hidup beliau, disusun putranya Sayyid Abdullah
bin Usman bin Yahya dan Dzikru Masyayikh al-Muallif yaitu karya beliau tentang guru-
gurunya, mendokumentasikan sejumlah nama gurunya, termasuk yang di Hadhramaut.

38
Inilah nama-nama guru Sayyid Ustman bin Yahya, diantaranya adalah; Sayyid Abdullah bin
Husein bin Thahir, Sayyid Abdullah bin Umar bin Yahya, Sayyid Hasan bin Shalih al-Bahr,
Sayyid Muhammad bin Husein bin Thahir dan Sayyid „Alwi bin Saqqaf al-Jufri.

Selain itu disebutkan juga Sayyid Muhsin bin Alwi al-Saqaf, Sayyid Alwi bin Zein al-Habsyi,
Sayyid Abdullah bin Husein bin Syihabuddin, dan Sayyid Ahmad Junaid. Sekitar 8 tahun ia
habiskan waktu di Hadhramaut, dan dimasa ini pula ia berhasil membuat “Peta
Hadhramaut”, bidang yang juga menjadi keahliannya.

Selanjutnya, ia pergi belajar ke Mesir selama 8 bulan, bahkan ia sampai menikah dengan
seorang perempuan Mesir disana. Di Tunisia, ia belajar kepada Syaikh Muhammad Abdul
Jawad dan Syakh Muhammad bin Manshur.

Ia sempat ke Aljazair, lalu meneruskan ke Fes, salah kota di Maroko dan belajar mendalam
seputar ilmu tasawuf. Syiria, Turki, dan Palestina adalah negara-negara yang dituju setelah
itu untuk belajar. Di Palestina, ia berguru kepada Syaikh Abu Bakar al-Jazairi, seorang
ulama dan raja Aljazair yang terusir dari negaranya, setelah dikuasai Prancis .

Selama 22 Tahun Sayyid Ustman bin Yahya menghabiskan masa usianya di luar negeri
untuk belajar, sebelum akhirnya pulang ke Batavia diusianya yang ke 40 tahun. Pada tahun
1279 H / 1862 M, beliau kembali ke Batavia dan menetap di Batavia hingga beliau wafat
pada tahun 1331 H / 1913 M.

Sayyid Ustman Bin Yahya Diangkat Menjadi Mufti Batavia.

Kiprah dan pergaulannya yang luas menjadikannya dilirik Pemerintah Hindia Belanda saat
itu. Ia sering dimintai fatwa oleh masyarakat tentang berbagai macam masalah keislaman,
tapi umumnya tentang urusan ibadah.

Atas rekomendasi “Snouck Hourgronje” yang kala itu menjadi Penasehat Urusan Pribumi di
Hindia Belanda dan menurut pengakuan Snouck Hourgronje, telah mengenal Sayyid
Ustman dan keluarganya selama berada di Mekkah, Sayyid Usman ditawarkan posisi
sebagai Penasihat Kehormatan (Honorary Advisor) urusan Keislaman.

Mufti Batavia Sayyid Ustman bin Yahya Snouck Hourgronje

39
Menurut penelitian Nico J.Kaptein, Sayyid Usman tidak langsung menerima posisi itu, tapi
pada akhirnya ia menerima dengan tujuan agar keberlangsungan kehidupan beragama
masyarakat muslim di Hindia Belanda bisa tertata rapi.

Sayyid Ustman diangkat menjadi Mufti Batavia pada tahun 1279 H atau bertepatan
tahun1862 M, menggantikan Mufti sebelumnya, Syekh Abdul Gani yang telah lanjut
usianya, dan diangkat sebagai Adviseur Honorer untuk urusan Arab pada tahun 1899 M –
1912 M di kantor Voor Inlandsche Zaken.

Sebelum menjadi Mufti Batavia, Sayyid Ustman Bin Yahya mengajar majelis ilmu di masjid
tempat tinggalnya di kampung Arab Pekojan yaitu masjid Jami An Nawier dan pada tahun
1825-1830 M, beliau bersama dengan Syeik Imam Nawawi Albantani, memperbaiki dan
memerluas masjid Jami An Nawier, dari 400 meter persegi, menjadi 800 meter persegi.

Selain membangun dan memperluas masjid ini, Habib Ustman bin Yahya dan Syeikh Imam
Nawawi Albantani kemudian memperbaiki pula arah kiblat masjid yang terjadi perubahan
sedikit menjadi menyerong bukanlah lurus seperti bentuk bangunan gedung masjid atau
sejajar dengan pilar asli yang terdapat di dalam gedung.

Buku dan Kitab Karangan Ustman Bin Yahya.

Sebagai seorang Ulama, Sayyid Ustman ini sangat produktif mengarang buku. Walaupun
buku-buku karangannya pendek-pendek, sekitar 20 halaman saja, tetapi banyak mengenai
pertanyaan yang sering timbul dalam masyarakat Muslim tentang syariat Islam.

Selain mengajar, Sayyid Ustman bin Yahya juga seorang penulis yang produktif di bidang
agama, juga pengusaha penerbitan dan lebih dikenal dengan sebutan percetakan Batu. Dari
berbagai sumber, menyebutkan kalau karangannya mencapai 144 buah dalam berbagai
topik keislaman.

Beberapa buku karangannya, yaitu; Taudhih Al-Adillati „ala Syuruthi Al-Abillah, Al-Qawanin
Asy-Syar‟iyah li Ahl Al-Majalisi Al-Hukmiyah wal Iftaiyah , Ta‟bir Aqwa „adillah, Jam Al-
Fawaid, Sifat Dua Puluh, Irsyad Al-Anam, Zahr Al-Basyim, Ishlah Al-Hal, Al-Tuhfat Al-
Wardiah, Silsilah Alawiyah, Al-Thariq Al-Shahihah, Taudhih Al-Adillah, Masalik Al-Akhyar,
Sa‟adat Al-Anam, Nafais Al-Ihlah, Kitab Al-Faraid, Saguna Sakaya, Muthala‟ah, Soal Jawab
Agama, Tujuh Faedah, Al-Nashidat Al-Aniqah, Khutbah Nikah, Al-Qu‟an Wa Al-Dua,
Ringkasan Ilmu Adat Istiadat, Ringkasan seni membaca Al-Qur‟an, Membahasa Al-Qur‟an
dan Kesalahan Dalam Berdo‟a, Perhiasan, Ringkasan Unsur-unsur Do‟a, Ringkasan Tata
Bahasa Arab, Al-Silisilah Al-Nabawiyah, Atlas Arabi, Gambar Mekah dan Madinah,
Ringkasan Seni Menentukan Waktu Sah Untuk Shalat, Ilmu kalam, Hukum Perkawinan,
Ringkasan Hukum Pengunduran Diri Istri Secara Sah, Ringkasan Undang-Undang Saudara
Susu, Buku Pelajaran Bahasa dan Ukuran Buku, Adab Al-Insan, Kamus Arab Melayu,
Cempaka Mulia, Risalah Dua Ilmu, Bab Al-Minan, Hadits Keluarga, Khawariq Al-Adat, Kitab
Al-Manasik dan Ilmu Falak.

40
Dalam bukunya Risalah Dua Ilmu beliau membagi Ulama menjadi 2 macam yaitu Ulama
Dunia dan Ulama Akhirat,

1. Ulama Dunia itu tidak Ikhlas, materialistis, berambisi dengan kedudukan, sombong dan
angkuh.
2. Sedangkan Ulama akhirat adalah orang yang ikhlas, tawadhu‟, yang berjuang
mengamalkan ilmunya tanpa pretensi apa-apa, lillahi ta‟ala, hanya mencari Ridho Allah
semata.

Beberapa Buku/Kitab Karangan Sayyid Ustman bin Yahya

Anggapan orang bahwa Habib Ustman bin Yahya seorang yang anti tarekat adalah tidak
benar, sebab beliau belajar tasawuf dan Ilmu Tarekat di Hadramaut dan Mekah.

Kalau memang Habib Ustman menentang itu, tentulah tarekat yang menyimpang dari
Agama. Habib Ustman belajar ke Mesir, Tunis, Aljazair, Yordania dan Turki, selain ke Mekah
dan Hadramaut. Karena itu kalau dikatakan bahwa beliau berpakaian modern itu bisa
diterima karena banyak pergaulannya.. (Sumber dari buku Menelusuri Silsilah Suci Bani
Alawi – Idrus Alwi Almasyhur).

Jasad Sang Mufti Batavia Sayyid Ustman bin Yahya Berpindah sendiri saat
maqamnya dibongkar.

Sayyid Ustman bin Yahya meninggal dunia pada tahun 1913 M, pada usia lebih dari 93
tahun. Sebelum menghadap Ilahi, Beliau pernah berwasiat agar jangan dimakamkan di
pemakaman khusus (tersendiri). Beliau meminta dimakamkan di pemakaman umum Karet,
Tanah Abang, Jakarta. Namun di tahun 1970-an, dimasa Gubernur Ali Sadikin, karena
adanya perluasan jalan kemudian makamnya dipindahkan ke Pondok Bambu, Jakarta
Timur. Dan, kini disana berdiri Masjid al-Abidin.

Perluasan jalan di Jakarta, terjadi di zaman Gubernur Ali Sadikin dan itu sebelumnya
diminta pendapatnya kepada para ulama dan habaib. Pada waktu itu banyak yang
menentang dan pasang badan di depan maqam sang Mufti Betawi yang kuburannya
terkena perluasan jalan, dan bukan hanya makam Mufti Betawi saja, banyak juga maqam
auliya dan ulama yang terkena perluasan jalan.

41
Karna banyak yang menentang akhirnya diputuskan bernegoisasi antara Gubernur dan para
habaib, diantaranya al-Habib Muhammad bin Ali al-Habsyi Kwitang dan beberapa para
pembesar ulama pada waktu itu.

Pada akhirnya disepakati, seluruh makam yang ada dipindahkan dan itu termasuk makam
al-Habib Utsman bin Yahya Mufti Betawi. Namun pihak keluarga memutuskan
memindahkan sendiri dan itu dilakukan di malam hari sebelum hari pembongkaran. Pada
waktu dipindahkan oleh keluarga yang dipimpin oleh al-Habib Umar bin Utsman Banahsan
dan keluarga besarnya serta al-Habib Utsman bin Alwi bin Utsman bin Yahya dan keluarga
Habib Utsman lainnya.

Saat makam beliau digali, keluarlah bau yang wangi dan itu tidak umum, sampai pada
dingding ari-arinya pun masih utuh. Namun setelah dinding ari-arinya dibuka yang nampak
hanya bau wangi, tanah yang bersih dan jasadnya tidak ada serta tidak ada bekasnya
termasuk kafannya pun tidak ada. Lalu pihak keluarganya pun memutuskan tanah yang
sekitar dinding ari-ari dikeruk dan itu yang dipindahkan di Sawah Barat, Pondok Bambu –
Jakarta Timur.

Banyak para wali waktu itu mengatakan bahwa Habib Utsman bin Yahya pindah sendiri, dan
KH. Zaini Abdul Ghani (Guru Ijai) dari Martapura Kalimantan mengatakan bahwa Habib
Utsman jasadnya pindah dengan sendirinya ke Sawah Barat. Dan sekarang saksi-saksi
sejarah tentang itu hanya tinggal beberapa saja. Peristiwa itu sudah menjadi rahasia umum
di kalangan para orang tua terdahulu, dan peristiwa tersebut bisa dikonfirmasikan kepada
pihak keluarga Habib Utsman bin Yahya.

Maqam Sayyid Usman bin Yahya di Sawah Barat, Pondok Bambu – Jakarta Timur

42
3. Mengenal Lebih Dekat Tokoh Pekojan Sayyid Ali Bin Ahmad Shahab Sang
Pahlawan Dan Pejuang Yang Terlupakan dari Kampung Arab Pekojan Batavia.

Dalam sejarah ada pejuang yang dikenal, tapi ada juga pejuang yang tidak dikenal,
disamping ada juga yang dilupakan. Ada kalanya karena terlupakan atau luput dari
perhatian maupun penulisan. Padahal tidak jarang terjadi justru pejuang tesebut tidak
sedikit mempunyai andil dalam perjuangan kemerdekaan. Salah seorang pejuang yang
besar jasanya dalam melawan penjajah, akan tetapi namanya terlupakan dalam sejarah,
ialah Ali Ahmad Shahab, yang dikalangan masyarakat Jakarta lebih dikenal dengan
panggilan “Ali Menteng”, menurut Solichin Salam sang penulis buku “Ali Shahab Pejuang
Yang Terlupakan” menuliskannya dalam alinea pertama dalam bukunya tersebut.

Beliau adalah seorang pengusaha yang kaya raya juga seorang wartawan dimasanya,
Sayyid Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Shahabuddin, lahir tahun 1860 M, di Kampung
Arab Pekojan, Batavia,dari seorang ayah ulama besar di waktunya yang juga seorang
pedagang kaya raya, Habib Ahmad bin Muhammad bin Shahabuddin yang tinggal di
rumahnya yang luas di bilangan kampung Arab Pekojan, Kecamatan Tambora, Jakarta
Barat.

Habib Ali bin Ahmad dikenal dengan julukan Habib Ali Menteng, yang membangun masjid di
jalan Tangkuban Perahu, Menteng, dan pencetus berdirinya sekolah Islam modern pertama
di Indonesia, Jamiat Khaer.

Akan tetapi, berdasarkan narasi cucu beliau, yaitu Prof. Tariq bin Abdulmuttalib bin Ali bin
Ahmad bin Shahabuddin yang disampaikan oleh putranya Chefik bin Thariq, dikarenakan
ketegasan beliau (Habib Ali Menteng) dalam melawan kolonialisme Belanda di Nusantara,
terutama perjuangan di Aceh, Tasikmalaya dan Cilegon, dan relasi beliau dengan
Kesultanan Utsmaniyyah (Otoman) (Turki) dan Syarif Husin dari Hijaz, maka pemerintah
kolonial Belanda waktu itu, yaitu di awal berdirinya Jamiat Khaer di tahun 1901 M, tidak
mengeluarkan izin untuk sekolah tersebut. (Penyunting Awal: M. Ghazi Alaidrus)

43
Sampai pada akhirnya beliau menyerahkan kepengurusan sekolah tersebut kepada Habib
Abubakar bin Ali bin Shahabuddin, yang di masanya pemerintah kolonial Belanda
mengeluarkan surat izin resmi atas sekolah tersebut di tahun 1905 M, namun dengan
syarat Jamiatul Khair tidak boleh membuka cabang di luar Jakarta.

Seperti juga ditulis di dalam buku “Ali Ahmad Shahab Pejuang Yang Terlupakan‟ (Solichin
Salam), Hubungan Sayyid Ali bin Ahmad Shahab sangat luas, banyak tokoh-tokoh nasional
dimasa itu termasuk sahabat dekatnya yang seringkali diajak bertukar pikiran, yaitu HOS
Cokroaminoto, KH. Agus Salim, Mohammad Husni Thamrin, Mohammad Hatta, Ahmad
Djajadiningrat, A.M Sangaji dan tokoh Serikat Islam yaitu Raden Goenawan. Dalam hal ini
Husni Thamrin sering mendapat dorongan dan motivasi perjuangan dari Sayyid Ali bin
Ahmad Shahab.

Dijaman Jepang, Soekarno dan Hatta sering bertemu dengan Sayyid Ali bin Ahmad Shahab,
Soekarno pernah meminta didoakan oleh beliau. Selain itu hubungannya dengan tokoh-
tokoh luar negeri erat sekali. Beliau pernah mengusahakan melalui Sultan Abdul Hamid dari
Ustmaniyah Turki dan Imam Yahya (1890-1904 M) dari Yaman, untuk memasukkan senjata
ke Indonesia, guna membatu perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah Kolonial
Belanda. Disamping itu juga beliau member dukungan bagi diadakannya suatu
pemberontakan di Hadramaut melawan Inggris.

Pada bulan Juli tahun 1945 M sang pejuang yang terlupakan Sayyid Ali bin Ahmad Shahab
wafat di Jakarta, beliau meninggalkan banyak putra dan putri, di antaranya: Abdulmuttalib,
Kazhim, Jamal, Anis, Dhia, Asad, Sidah, Budur, Faiq, Zaki, Wardah, dan lain-lain.

44
4. Mengenal Lebih Dekat Tokoh Pekojan Sayyid Abubakar Bin Ali Shahab Pendiri
dan Ketua Pertama Yayasan Pendidikan Islam Jamiat Kheir.

Habib Abubakar bin Ali Shahab lahir di Pekojan pada tanggal 28 Rajab 1288 H, dari seorang
ayah bernama Ali bin Abubakar bin Umar Shahab, kelahiran Damun, Tarim, Hadramaut.
Ibunya bernama Muznah binti Syeikh Said Naum. Syeikh Said Naum adalah salah seorang
keturunan Arab pendiri masjid Langgar Tinggi dan yang mewakafkan tanahnya yang luas di
kawasan Kebon Kacang, Tanah Abang, untuk pemakaman.

Dalam usia 10 tahun, pada tahun 1297 H, Habib Abubakar bersama ayahnya serta
saudaranya Muhammad dan Sidah, berangkat ke Hadramaut. Di Hadramaut, ia
mengabiskan waktunya untuk menuntut ilmu dari berbagai guru terkenal di sana, baik di
Damun, Tarim, maupun Seywun. Tidak puas dengan hanya dengan berguru, ia mendatangi
tempat-tempat pengajian dan mengadakan pertemuan-pertemuan dengan sejumlah ulama
terkemuka.

Habib Abubakar kembali ke Indonesia melalui Syihir, Aden, Singapura, dan tiba di Jakarta
pada tanggal 3 Rajab 1321 H. Mendapat gemblengan selama tiga belas tahun di
Hadramaut, ia lalu mendirikan Jamiat Kheir bersama pemuda-pemuda sebayanya.

Pendirian Perkumpulan Jamiat Kheir.

Dalam situasi dan tekanan kolonial yang keras, Habib Abubakar tampil untuk mendirikan
sebuah perguruan Islam, yang bukan hanya mengajarkan agama, tapi juga pendidikan
umum. Pada tahun 1901 M, bersamaan dengan maraknya kebangkitan Islam di tanah air,
berdirilah perguruan Islam Jamiat Kheir. Pada saat pertama kali berdiri, perguruan ini
membuka sekolah di kawasan Pekojan yang saat itu penghuninya banyak keturunan Arab.

Selain Habib Abubakar, turut serta mendirikan perguruan ini sejumlah pemuda Alawiyyin
yang mempunyai kesamaan pendapat dan tekad untuk memajukan Islam di Indonesia,
sekaligus melawan propaganda-propaganda Belanda yang anti Islam. Mereka antara lain
adalah Muhammad bin Abdurrahman Shahab, Idrus bin Ahmad Shahab, Ali bin Ahmad
Shahab, Syechan bin Ahmad Shahab, Abubakar bin Abdullah Alatas, Muhammad Al-Mashur,
Syekh Said bin Ahmad Basandid dan Abubakar bin Muhammad Alhabsyi.
45
Bab IV

KISAH PERJUANGAN PEMUDA PEKOJAN


TEMPO DULU DALAM MENENTANG PENJAJAH
KOLONIAL DAN PERGERAKAN PERJUANGAN
PEMUDA UNTUK KEMERDEKAAN INDONESIA
DARI KAMPUNG ARAB PEKOJAN BATAVIA

Menggali Kembali Kisah Perkumpulan Kebaikan


Pemuda Pekojan Dalam Membangun Sarana
Pendidikan Modern Pertama Di Indonesia
Untuk Kemajuan Anak Bangsa

46
1. Kisah Sejarah Berdirinya Yayasan Pendidikan Islam Modern Pertama Di
Indonesia, Jamiat Kheir atau Perkumpulan Kebaikan di Kampung Arab Pekojan
Batavia.

Di kampung Arab Pekojan Batavia, pada awal abad ke-20 tepatnya pada tahun 1901 M,
berdiri organisasi Pendidikan Islam Jamiat Kheir, yang dibangun oleh para pemuda
Alawiyyin antara lain adalah Muhammad bin Abdurrahman Shahab, Idrus bin Ahmad
Shahab, Ali bin Ahmad Shahab, Syechan bin Ahmad Shahab, Abubakar bin Abdullah Alatas,
Muhammad Al-Mashur, Syekh Said bin Ahmad Basandid dan Abubakar bin Muhammad
Alhabsyi. Mereka berkumpul dan berdiskusi pada saat itu di Masjid Ar Raudoh, untuk
membentuk sebuah perkumpulan yaitu yayasan pendidikan Islam Jamiat Kheir
(Perkumpulan Kebaikan)

Di tempat inilah diperkirakan timbulnya ide-ide para pemuda Islam kala itu untuk
mendirikan Jamiat Kheir, Masjid Ar Raudoh letaknyai di Jl. Masjid Pekojan I GG 3, RW 03
Kel.Pekojan atau masyarakat setempat menyebutnya dengan sebutan Jl. Gang Kayu dan
lokasinya memang sangat berdekatan dengan tempat tinggal para pendiri Jamiat Kheir
tersebut.

Menurut kisah, peresmian perkumpulan Jamiat Khaer dilakukan di rumah Syeikh Abid bin
Said Attamimi di Jl. Pengukiran Raya RW 03 Kelurahan Pekojan, dan kini rumah tersebut
sudah menjadi tempat pertemuan/rumah pesta Chau Ling.

47
Dan kantor kesekretariatan Jamiat Kheir pertama kali berada di Jl. Masjid Pekojan atau
Jl.Kostapel, Pekojan-Batavia waktu itu adalah sebuah Bangunan Madrasah dan mereka juga
mengadakan pertemuan dibeberapa tempat di wilayah Pekojan.

Keberadaan Jamiat Kheir tidak dapat dipisahkan dari pencetus awal dan pendirinya,
seorang pengusaha kaya raya dan juga seorang wartawan, Sayyid Ali bin Ahmad Shahab,
kelahiran Pekojan, pada 1282 H / 1860 M.

Dalam usia 29 tahun, Sayyid Ali bin Ahmad Shahab mengadakan lawatan ke Turki dan
Mesir, diteruskan ibadah haji. Di kedua negara Islam ini, terutama ketika berada di Turki,
hatinya tergerak melihat sistem pendidikan di Kesultanan Ustmaniyah / Ottoman.Para
murid disana sudah duduk di bangku dan mereka memakai celana. Padahal kala itu, siswa-
siswa di sekolah Islam di Indonesia duduk di lantai dan masih memakai kain.

Pada tahun 1903 M Jamiat Kheir mengajukan surat permohonan kepada pemerintah
Kolonial Belanda untuk diakui sebagai sebuah organisasi atau perkumpulan, surat tersebut
ditandatangani oleh Sayyid Ali bin Ahmad Shahab selaku ketua umum, Syeikh Said bin
Ahmad basandid selaku ketua satu, Sayyid Muhammad bin Abdullah Shahab selaku ketua
dua, Sayyid Muhammad Al Fakir selaku sekretaris dan Sayyid Idrus bin Ahmad Shahab
selaku bendahara.

Pemerintah Kolonial Belanda sengaja menunda-nunda permohonan pengesahannya, baru


pada tahun 1905 M permohonan itu dikabulkan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Itu pun
dengan syarat tidak boleh membuka cabang di luar Batavia. Meski kenyataannya
perkumpulan ini kemudian tersebar ke berbagai daerah, sekalipun dengan nama lain.

Pada tahun 1905 M (1323 H) Pemerintah Kolonial Belanda baru memberikan ijin berdirinya
Jamiat Kheir, pada tanggal 17 Juli 1905 M setelah Sayid Ali bin Ahmad Shahab
menyerahkan Jamiat Kheir kepada Sayyid Abubakar bin Ali Shahab menjadi ketua
umumnya. yang sebelumnya ketua umum Jamiat Khaer dipegang oleh Sayyid Ali bin
Ahmad Shahab, namun pemerintah Kolonial Belanda tidak memberikan ijin perkumpulan
tersebut untuk diakui keberadaanya.

Pada tahun 1912 M, Jamiat Kheir turut ambil bagian dalam membantu para pejuang Libya
melawan penjajah Italia di bawah pimpinan Omar Mochtar. Jamiat Khaer turut aktif pula
dalam aksi boikot produk Italia di Indonesia.

Solichin Salam, penulis “Ali Ahmad Shahab Pejuang yang Terlupakan”, menuturkan, Sayid
Ali Ahmad Shahab pernah mengusahakan melalui Sultan Abdul Hamid dari Turki dan Imam
Yahya dari Yaman untuk memasukkan senjata ke Indonesia guna membantu perjuangan
rakyat melawan Belanda.

Di samping itu, dia juga ikut memberi dukungan bagi diadakannya suatu pemberontakan di
Hadramaut (kini bagian dari Yaman) melawan Inggris. Di samping menjadi koresponden Al-
Muayyad di Kairo, Mesir dan koresponden Samarat al-Funun di kota yang sama, tulisannya
juga sering dimuat dalam surat kabar Utusan Hindi.

48
2. Jamiat Kheir Melahirkan Banyak Pahlawan Nasional Pergerakan Perjuangan
Indonesia Merdeka Dan Sebagai Simbol Pergerakan Perjuangan Indonesia
Merdeka.

Menurut buku “Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi” yang diterbitkan Dinas
Kebudayaan dan Permuseuman DKI (1988), perkumpulan ini telah melahirkankan Pahlawan
Nasional, Tokoh Pergerakan Perjuangan Indonesia Merdeka yaitu :
1. KH Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah),
2. HOS Tjokroaminoto (Pendiri Sarekat Islam),
3. KH. Agus Salim (Tokoh Konfrensi Meja Bundar),
4. H. Samanhudi (Pendiri Sarekat Dagang Islamiyah).
5. Pangeran Ario Hussein Jayadiningrat (Bupati Serang).

Mereka semua adalah pencetus berdirinya Perkumpulan “Boedi Oetomo” pada tahun 1908
dan kita mengenal pergerakan pemuda perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia itu
dengan “Soempah Pemoeda” pada tahun 1928 M.

KH. AHMAD DAHLAN HOS TJOKROAMINOTO KH. AGUS SALIM H. SAMANHUDI

Menurut Solichin Salam dalam bukunya “Ali Ahmad Shahab Pejuang Yang Terlupakan”,
setelah Jamiat Khaer lahir dan ada tanda kemajuan, maka lahir dan bermunculanlah
berbagai Jamiat (Perkumpulan) di berbagai daerah di Indonesia, seperti Jamiat Al Tujaar Al
Muslim di Solo tahun 1905, yang diketuai oleh H. Samanhudi. Organisasi ini lahir
disebabkan adanya persaingan yang cukup tajam antara orang Pribumi dengan golongan
entnis Cina di Solo pada masa itu.

Pada tahun 1912 organisasi yang semula bernama Sarekat Dagang Islamiyah ini berganti
menjadi organisasi politik dan diberi nama Sarekat Islam dibawah pimpinan Haji Omar
Sarief (HOS) Cokroaminoto. Sarekat Islam adalah adalah partai politik pertama kaum
Muslimin Indonesia.

Kemudian lahir organisasi Budi Utomo di Yogyakarta pada tanggal 20 Mei 1908 M oleh Dr.
Sutomo dan para mahasiswa STOVIA, lalu lahir organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta
pada tanggal 18 November 1912 M, yang diketuai oleh KH. Ahmad Dahlan.

49
Ada pula Jamiat At Tamrin Al Adab di Makasar (Ujung Pandang), Jamiat Makarim Al Akhlaq
di Jakarta, Jamiat Al Islah, Jamiat Al Irsad dan banyak lagi bermunculan organisasi atau
perkumpulan pergerakan perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia.

SAREKAT ISLAM 1905 M BOEDI OETOMO 1908 M MUHAMMADIYAH 1912 M

Keberadaan Jamiat Kheir merupakan wujud atau perlawanan terhadap pendidikan di


sekolah-sekolah Belanda yang tidak dapat dipisahkan dengan Kristenisasi pada saat itu.
Sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah Kolonial Belanda, salah satu kurikulum di
Jamiat Kheir tidak diajarkan bahasa Belanda, tapi mengajarkan bahasa Inggris.

Kondisi umat pada masa kolonial memang sungguh memprihatinkan. Mereka tidak diberi
kesempatan sedikitpun untuk mengembangkan kemampuan. Sementara itu, kita pun tidak
dapat memungkiri ada sebagian kecil orang Islam terutama orang-orang Islam yang hijrah
dari Hadramaut justru mampu bersaing dan berhasil menjadi pedagang dan pengusaha
yang handal, mereka inilah yang kemudian berinisiatif membuat perkumpulan yang diberi
nama Jamiat Kheir (Perkumpulan Kebaikan) dengan motivasi dan tujuan sebagaimana
disebutkan diatas.

Terlebih bila dilihat dari para anggota yang ikut berperan dalam tubuh organisasi Jamiat
Kheir saat itu yang terdiri dari orang-orang pergerakan, baik dari kalangan ulama maupun
dari kalangan cendikiawan muslim yang kemudian mereka ditetapkan sebagai Pahlawan
Nasional, seperti misalnya Haji Omar Said (HOS) Tjokroaminoto, Husein Jayadiningrat,
Ahmad Dahlan dan lain-lain, dimana mereka adalah pemuda-pemuda Islam Indonesia yang
mempunyai garis keturunan ulama yang berasal dari negeri Arab.

Lahirnya perkumpulan Jamiat Kheir seperti melahirkan Ghiroh atau sebuah symbol
pergerakan perjuangan para pemuda Muslim saat itu untuk melakukan pergerakan
perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia melepas jeratan penjajah dari pemerintah
Kolonial Belanda.

Dalam hubungannya untuk mengadakan pembaruan dan reformasi, terutama dalam bidang
pendidikan, Ali bin Ahmad Shahab telah memasukkan guru-guru modernis pengikut Sayyid
Jamaluddin Al Afghani ke Indonesia. Di antaranya Syeikh Al Hasyimi yang didatangkan dari
Tunisia dan Shyeikh Ahmad Syurkati dari Sudan.

50
Setelah berhenti dari Jamiat Kheir Syeikh Ahmad bin Muhammad Asyurkati Al Anshorri Al
Ahajrazi dari Sudan, mendirikan perguruan Islam Al Irsyad. Syeik Ahmad Asyurkati juga
pernah tinggal di Pekojan.

Rumah Syeikh Abdullah bin Salim bin Abubakar Basyaib Al Anshori Al Hajrazi

Dirumah ini Syeik Ahmad Assyurkati dijamu dan menetap selama beberapa bulan tinggal di
Pekojan yaitu dirumah Syeikh Abdullah bin Salim bin Abubakar Basyaib Al Ashori Al Hajri
yang letaknya di Jl. Pengukiran 4 RW 02 Kelurahan Pekojan, dan kini rumah tersebut
sudah menjadi Ruko diwilayah tersebut.

3. Jamiat Kheir Dianggap Berbahaya Oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Jamiat Kheir juga ikut menyebarkan Panji Islam dari Syaid Jamaluddin Al Afghani, Syeikh
Muhammad Abduh, dan Syayid Rashid Ridha. Karena organisasi ini punya kaitan dengan
organisasi-organisasi Islam di Timur Tengah.

Dengan demikian negara-negara tersebut mendapatkan informasi mengenai Indonesia,


termasuk kekejaman Belanda. Snouck Hurgronye menuding Jamiat Kheir membahayakan
Belanda.

Melalui Jamiat Kheir, para pemimpin gerakan Islam ini punya hubungan yang luas dengan
negara-negara Islam terkenal maju, seperti Mesir dan Turki. Mereka membaca majalah-
majalah dan surat-surat kabar yang membangkitkan semangat kebangsaan dan
kemerdekaan pada rakyat Indonesia.

Dalam buku yang diterbitkan Dinas Museum dan Sejarah Pemda DKI terbitan 1988,
Sagimun MD menyebutkan, Jamiat Khaer dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial
Belanda karena pengaruhnya dapat membangkitkan semangat kebangsaan dan semangat
Jihad fi sabilillah di kalangan kaum Muslimin Indonesia. Tak heran kalau pemerintah
kolonial mengawasi dengan ketat perkumpulan ini.

Keberadaan Jamiat Kheir tentu saja membuat Belanda geram. Dengan terang-terangan
orientalis Belanda, Snouck Hurgronje, menurut Mr Hamid Algadri, meminta agar
51
pemerintah waspada terhadap Sayyid Ali bin Ahmad Shahab, yang dituduh sebagai salah
satu tokoh penggeraknya.

Sedangkan, menurut Solichin Salam, karena tulisan-tulisannya di berbagai surat kabar dan
hubungannya dengan Konsul Turki dan Jepang di Jakarta, dia pun dicurigai dan dituduh
terlibat dalam pemberontakan melawan Belanda.

Alhasil, Sayyid Ali bin Ahmad Shahab sering diinterogasi dan ditahan pemerintah Belanda.
Itulah sebabnya pemerintah kolonial bertindak dan mengadakan konspirasi sehingga
seluruh harta bendanya berupa tanah ataupun gedung di daerah Jakarta (seperti di
kawasan Imam Bonjol, Menteng sampai Setiabudi dan Kebon Melati seluas dua ribu
hektare) diambil dengan jual paksa melalui kasirnya seorang Armenia, yang menjadi kaki
tangan Belanda.

Robert van Niel dalam The Emergence of the Modern Indonesian Elite berpendapat, Jamiat
Kheir adalah organisasi politik yang berjubah pendidikan dan sosial keagamaan. Karena
banyak anggota Syarekat Islam pada saat itu menjadi anggotanya.

4. Kegiatan Sosial Jamiat Kheir.

Disamping itu, aktivitas Jamiat Kheir kala itu lebih mengarah pada masalah sosial
kemasyarakatan, yang menitik-beratkan pada masalah penanggulangan kemiskinan dan
kebodohan yang diderita oleh umat Islam akibat penjajahan kolonial Belanda.

Kegiatan santunan orang yang tidak mampu, yatim, orang jompo sangat mendominasi
program Jamiat Khaer dibuktikan kemudian oleh pengurus dengan membuat panti asuhan
Daarul Aitam, yang secara khusus merawat dan mendidik anak-anak yatim yang hingga
saat ini masih aktif.

Dan yang tiak kalah pentingnya untuk diketahui adalah bahwa Jamiat Kheir ketika itu
memiliki reputasi internasional melalui hubungan dengan kaum muslimin di timur tengah.
Dengan dasar ukhuwah Islamiyah, Jamiat Khaer banyak membantu secara finansial untuk
korban perang di Tripoli (Libya), membantu pembangunan jalan kereta api di Hijaz yang
menghubungkan kota Madinah Almunawwarah dengan daerah-dearah disekitar Syam
(Yordania, Palestina, Syria, Iraq) dan lain-lain.

Jamiat Kheir hingga kini diakui oleh pemerintah RI dan ahli sejarah Islam Indonesia sebagai
organisasi Islam yang banyak melahirkan tokoh-tokoh perjuangan Indonesia. Mereka
antara lain seperti KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), HOS. Tjokroaminoto
(Pendiri Sarikat Islam), H. Samanhudi (Tokoh Sarikat Dagang Islamiyah), H. Agus Salim
(Tokoh Konferensi Meja Bundar), dan tokoh-tokoh perintis kemerdekaan lainnya yang
merupakan anggota atau setidak-tidaknya mempunyai hubungan dekat dengan Jamiat
Kheir.

52
Bab V

KISAH DELAPAN BANGUNAN TEMPAT IBADAH


WARISAN SEJARAH SEBAGAI CAGAR BUDAYA
BATAVIA DIKAWASAN KAMPUNG ARAB PEKOJAN

Menggali Kembali Kisah Enam Bagunan Tua


Cagar Budaya Tempat Ibadah Umat Muslim
Dan Dua Bangunan Tua Cagar Budaya
Tempat Ibadah Umat Budha (Tionghoa)

53
Kawasan Pekojan di Jakarta memang sejak awal merupakan salah satu pemukiman muslim
pertama di Batavia, tak mengherankan bila kini di kawasan ini dapat ditemui masjid-masjid
peninggalan dari masa lalu yang meski sudah melewati rentang waktu berabad abad
masjid-masjid tersebut tetap terpelihara dan tetap dengan fungsinya sebagai tempat
ibadah bagi kaum muslimin sekaligus menjadi saksi bisu masuk dan berkembangnya Islam
di Batavia.

Saat ini di kampung Arab Pekojan sendiri masih banyak tersisa bangunan tua bersejarah
diantaranya tempat peribadatan yang dianggap menjadi cagar budaya warisan sejarah
yaitu ada 8 Bangunan Cagar Budaya, 6 Masjid atau tempat peribadatan Muslim, dan 2
tempat peribadatan Cina yaitu Tepekong atau Vihara, serta bangunan – bangunan tua
sebagai tempat tinggal warga Pekojan yang masih ada dan terjaga kondisinya, dan inilah 8
bangunan tua tempat ibadah yang menjadi cagar budaya warisan sejarah di kampung Arab
Pekojan.

54
1. MASJID AL ANSHOR 1648 M
SEJARAH PERJALANAN MASJID MOOR TERTUA DI KAMPUNG ARAB PEKOJAN

MASJID AL ANSOR TAHUN 1910 MASJID AL ANSOR SAAT INI

Foto Tua Masjid Al Anshor Pekojan tahun 1910 M, saat lingkungan di sekitarnya belum
sepadat saat ini. Kini sangat tidak memungkinkan untuk mendapatkan foto masjid ini
dengan kondisi penuh seperti foto diatas karena sudah terjepit dengan bangunan hunian
disekitarnya.

Salah satu penginggalan dari era masuk dan berkembangnya agama Islam di Batavia
adalah Masjid Al-Anshor yang berlokasi di jalan pengukiran II, RT 006 RW 04, Kelurahan
Pekojan, Kecamatan Tambora Jakarta Barat. Masjid Al-Anshor dibangun pada tahun 1648
M, oleh orang-orang Islam yang berasal dari Malabar (India) pada waktu VOC sedang
berkuasa , kurang dari 30 tahun setelah Belanda Membungihanguskan Jayakarta dan
mendirikan Batavia.

Masjid Al Anshor menjadikannya sebagai masjid tertua di kawasan Pekojan, lebih tua dari
Masjid Jami Kampung Baru (1743 M), Masjid Jami‟ Annawier (1760 M), Masjid Ar Raudah
(1770 M), Masjid Azzawiyah (1812) Masjid Langgar Tinggi (1829 M) yang semuanya
merupakan masjid masjid tua Batavia di Kawasan Pekojan.

Masjid Al Anshor lebih rendah dari halaman maka pada tahun 1955 M masjid ini ditinggikan
oleh masyarakat. Kemudian pada tahun 1973 diadakan renovasi dengan mengganti bagian-
bagian yang rusak seperti jendela sisi selatan diganti dengan jendela kaca nako. Selain itu,
pada tahun yang sama bangunan ditambah pada bagian depan yaitu ruangan serambi.

Tahun 1981/1982 M, Masjid Al Anshor dipugar kembali oleh Proyek Pemugaran dan
Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala DKI Jakarta. Beberapa tahun lalu
sepertinya mesjid ini mengalami perubahan pada struktus bangunan. Kini masjid menjadi
lebih kokoh dan tinggi dari asalnya.

55
Masjid Al Anshor Makin Tua Makin Terjepit

Masjid Al Anshor atau Masjid Pengukiran II masyarakat menyebutnya, karena lokasinya


berada di Jl.Pengukiran II atau GG Koja. Jalan ke arah masjid ini merupakan gang kecil
yang hanya bisa di lalui motor. Masjid itu sendiri terletak diantara rumah-rumah penduduk.

Setelah melewati rentang waktu lebih dari 3 abad, masjid Al-Anshor kini sulit untuk dapat
dikenali fisik bangunannya karena sudah terhimpit diantara bangunan bangunan hunian
yang semakin rapat disekitarnya. Jalan akses menuju ke masjid ini hanya berupa gang kecil
untuk pejalan kaki. Kondisi yang cukup memprihatinkan untuk salah satu situs tapak
sejarah di ibukota negara.

Atas dasar perlindungan sejarah, masjid ini masih dipertahankan hingga kini. Hanya saja,
perawatan dan renovasi mengakibatkan pudarnya jejak sejarah dari Kampung Arab,
ditambah lagi dengan lokasi pemukiman yang kian padat, membuat masjid tak terlihat dari
luar. Meski jejak arsitektur sejarahnya sudah tak terlihat namun masjid ini tetap dicatat
sebagai masjid tertua di Jakarta.

Masjid Al Anshor saat dalam pemugaran

Sejarah Masjid Al Anshor Pekojan Batavia.

Nama masjid ini diambil dari bahasa Arab, kata “Al Anshor” berarti “Pendatang”, penamaan
yang pas sekali mengingat masjid ini memang didirkan oleh kaum pendatang muslim dari
India (Moor) sekitar tahun 1684 M. Lahan tempat berdirinya merupakan wakaf dari seorang
muslim keturunan India. menurut Adolf HeukeN SJ, sejarawan yang meneliti tentang
masjid-masjid tua di Jakarta, menyebutkan bahwa Masjid Al Anshor adalah masjid tertua
dibandingkan masjid-masjid lainnya dikawasan kampung Arab Pekojan.

Keberadaan masjid ini diketahui dari laporan seorang pendeta di pertengahan abad ke 17,
yang menyatakan adanya sebuah masjid dan sekolah agama untuk belajar mengaji di
Kampung Pekojan. Adanya sebuah “Masigit” tersebut dilaporkan kepada Dewan Gereja
pada tahun 1648 M. Inilah Masjid Al-Anshor, yang kini masih berdiri di Kampung Arab
Pekojan, daerah yang paling banyak masjid-nya semasa kekuasan Kompeni di Batavia.

Masjid ini disebut lagi pada tahun 1686-an oleh Abdul Rachman. Masjid sederhana serta
polos, tiangnya balok kayu lurus tanpa hiasan. Inilah tanda umumya dan didirikan kurang
dari tiga puluh tahun sesudah Masjid Jayakarta terbakar (atau lebih tepatnya dibakar)
56
dalam serbuan J.P. Coen yang menyerbu Sunda Kelapa. Setelah VOC, atau kompeni
menaklukkan Jayakarta pada tahun 1619 M, JP Coen, memporak-porandakan masjid
kesultanan Jayakarta yang terletak di Kawasan Kali Besar Timur. Pangeran Jayakarta
beserta pengikutnya kemudian hijrah ke Kawasan Jatinegara dan membangun Masjid Jami‟
Assalafiyah.

Seiring dengan semakin berkembangnya Jemaah masjid ini dan juga mulai diramaikan oleh
kaum muslim dari berbagai etnis sedangkan ukuran masjidnya terlalu kecil untuk
menampung lonjakan jamaah, maka pada tahun 1743 M, orang orang Moor dari keturunan
Muslim India ini mendirikan masjid kedua mereka yakni Masjid Jami Kampung Baru di
Jalan Bandengan Selatan, masih di kawasan kampung Arab Pekojan.

Sejarah masjid Al-Anshor ini juga merupakah asal muasal dari sejarah kedatangan orang
India muslim ke daerah Pekojan, sekaligus asal muasal dari terbentuknya Kampung Arab
dahulu. Meski orang keturunan India muslim sudah tidak ada lagi di lingkungan
tersebut,namun nama Koja masih tetap ada disana sebagai nama jalan yaitu Jl. Gg Koja.

Jejak Arsitektur Masjid Al-Anshor

Agak sulit menemukan masjid ini, karena terletak di gang kecil, Jl. Pengukiran II, tak jauh
dari Jl. Pejagalan Raya. Dahulu di sekitar masjid ini terdapat pemakaman. Tidak ada lagi
yang tersisa dari pekarangan di sekitar masjid, sehingga kini hampir menyatu dengan
rumah-rumah penduduk di sekitarnya. Ukuran bagian tertua masjid ini tidak lebih dari 10 x
10 m2 berdiri di atas lahan seluas 1.705 meter persegi.

Di bagian depan masjid, masih terdapat pemakaman kuno yang berkaitan dengan etnis
India di Indonesia. Menurut Van Den Berg, sejarawan Islamologi asal Belanda, dahulunya
makam ini ada tiga nisan namun kini hanya ada dua nisan yang terlihat. Namun jika
ditanyakan kepada warga sekitar maka mereka hanya akan menjawab bahwa disana
memang hanya ada dua makam.

Sukar menentukan bagian mana dari bangunan masjid yang sekarang ini, yang masih asli
dari tahun 1648. Setelah diperbaharui pada tahun 1973 dan 1985 tidak meninggalkan
bekas arsitektur dari masa pembangunannya. Dari tampak luar, bangunan masjid tidak

57
terlihat sebagai masjid. Tidak ada gerbang, hanya dua buah pintu layaknya pintu di rumah
biasa saja. Sebelah kanan terdapat kamar mandi dan tempat berwudhu.

Lantai ruang shalat sudah ditutup dengan ubin keramik yang masih tampak baru. Ruangan
berikutnya sedikit menjorok ke bawah menuruni tangga, merupakan ruangan sisa dari
Masjid Al Anshor tempo dulu. Tidak banyak yang tersisa, selain jendela masjid berkayu dan
empat tiang kokoh penyanggah yang berada di tengah-tengah ruangan serta atap masjid
yang masih diasrikan.

Masjid Al Anshor Masjid Bersejarah yang dilindungi

Status hokum masjid ini dibuktikan dengan sertifikat bangunan bernomor M. 166 tanggal
18-03-92 AIW/PPAIW : W3/011/c/4/1991 tanggal 8-5-1991. Keudian diperkuat lagi dengan
pemasangan papan peringatan Undang Undang Monumen oleh Dinas Musium dan Sejarah
Pemerintah DKI Jakarta yang berbunyi: Perhatian: SK Gubernur No.Cb.11/1/12/72 tanggal
10 Januari 1972 (Lembaran Daerah no.60/1972). Gedung ini dilindungi oleh Undang
Undang (UU) Monumen ST BL 1931 No: 238. Segala tindakan berupa pembongkaran,
perubahan, pemindahan diatas bangunan ini hanya dapat dilakukan seizin Gubernur Kepala
Daerah. Setiap pelanggaran akan dituntut sesuai Undang Undang.***

2. MASJID JAMI KAMPUNG BARU BANDENGAN SELATAN 1743 M.

58
MASJID MOOR KEDUA TERTUA PENINGGALAN INDIA MUSLIM DI KAMPUNG
ARAB PEKOJAN BATAVIA.

MASJID JAMI KAMPUNG BARU TEMPO DOLOE MASJID JAMI KAMPUNG BARU SAAT INI

Masjid Jami Kampung Baru yang berada di Jl. Bandengan Selatan, RW 05 Kelurahan
Pekojan ini dibangun oleh Syeik Abubakar yang merupakan salah satu saudagar muslim
dari India yang tinggal di kawasan tersebut, pembangunannya dimulai tahun 1743 dan
selesai tahun 1748. Sumber lain menyebutkan pembangunannya dimulai tahun 1748 dan
selesai tahun 1817.

Masjid Jami‟ Kampung Baru bukanlah masjid pertama yang dibangun oleh muslim India di
Batavia, pasca perisitiwa berdarah Pembunuhan Masal orang Tionghoa oleh pasukan VOC
Belanda tahun 1740 M di Batavia atas perintah Jenderal Adrian Valckenier (1737-1741 M).

Sebelumnya mereka telah membangun masjid di Kawasan Jalan Pengukiran II, para
pedagang India di Batavia ini mendapatkan kesempatan dagang yang lebih leluasa
sehingga jumlah mereka pun bertambah banyak, sehingga masjid di Pengukiran II tidak
lagi mampu menampung Jemaah sehingga kemudian dibangunlah masjid di Kampung Baru
ini.

59
Dalam sebuah karangan Belanda pada tahun 1829 M masjid Kampung Baru ini disebut juga
sebagai Moorsche Tempel (Kuilnya orang orang Moor). Kemungkinan dari sanalah asal
muasal sejarah yang menyebut masjid ini dibangun oleh Muslim Moor, yang kemudian
Istilah Moor diidentikan dengan Muslim India.

Meskipun terminologi Moor sesungguhnya merupakan nama kelompok etnis Muslim di


Afrika Utara (Maroko dan sekitarnya), yang pada masanya berhasil menaklukkan Eropa dan
mendirikan Emperium Islam di Andalusia (Spanyol).

Arsitektural Masjid Jami Kampung Baru

Denah dasar masjid ini berbentuk persegi dengan atap limas bertumpuk (tumpang), Bentuk
mesjid semacam ini menyerupai bentuk-bentuk bangunan tradisional Jawa, di mana
biasanya terdapat 4 tiang soko guru pada bagian tengah bangunan sebagai penyangga atap
berbentuk limas tersebut. Luas masjid ini sekitar 1.050 meter2. Di langit langit masjid
menggantung satu lampu antic yang sudah ada disana sejak masjid ini berdiri.

Jembatan si Pitung di Kali Bandengan tempo dulu Masjid Jami Kampung Baru tempo dulu

60
3. MASJID JAMI AN NAWIER 1760 M.

MASJID JAMI AN NAWIER TEMPO DOLOE MASJID JAMI AN NAWIER SAAT INI

Masjid Jami An Nawier yang terletak di Jl. Pekojan Raya, RW 01 Kelurahan Pekojan ini
merupakan salah satu masjid terbesar di Jakarta Barat. Masjid yang dibangun pada tahun
1180 H / 1760 M oleh Ulama yang bernama "Sayyid Abdullah bin Husein Alaydrus" dari
Hadramaut ini, dapat menampung pengunjung sekitar 1000 jemaah. Sayid Abdullah bin
Husein Alaydrus, beliau merupakan seorang muslim kaya raya yang namanya diabadikan
menjadi nama Jalan Alaydrus di Jl Gajah Mada, Jakarta Pusat. Semasa hidupnya ia ikut
menyelundupkan senjata untuk para pejuang Acehsaat melawan Belanda.

Masjid ini lebih dikenal dengan sebutan Masjid Pekojan, ketimbang Masjid Jami An Nawier.
Arsitektur Masjid Jami An Nawier merupakan perpaduan gaya Timur Tengah, Cina, Eropa
dan Jawa. Didalam masjid terdapat 33 pilar atau tiang penyanggah dan lampu antic
tergantung diatas plafon masjid yang terbuat dari papan kayu jati serta menara masjid
setinggi 17 meter yang menjadi ikon atau ciri khas masjid Jami An Nawier Pekojan.

Di belakang mesjid ini terdapat sebuah makam Syarifah Fatmah binti Husein Alaydrus,
yang oleh masyarakat dikenal dengan sebutan “Jide (nenek) kecil”. Hingga kini makamnya
masih banyak dijiarahi orang dari berbagai daerah di Indonesia. Beliau yang
menyumbangkan lahan untuk membangun masjid tersebut dan makam tokoh tokoh Islam
lainnya. Masjid ini pada abad ke 18 diperluas kembali oleh Sayid Abdullah Bin Hussein
Alaydrus.

Di masjid inilah tempat Habib Ustman Bin Yahya, sang Mufti Islam Batavia berdakwah
mengajarkan majelis ilmu. Habib Ustman bin Yahya kelahiran Pekojan 17 Rabi‟ul Awwal
1238 H atau 1822 M dikenal produktif menulis buku buku agama. Diantara 50 buku
karangannya masih digunakan di pengajian pengajian. Salah satu muridnya yang terkenal
adalah Habib Ali bin Abdurahman Al Habsyi atau lebih dikenal dengan nama Habib Ali
Kwitang, yang kurang lebih seabad lalu mendirikan majelis taklim Kwitang.

61
Sejarah Masjid An Nawier Pekojan Batavia.

Nama An Nawier yang menjadi nama Masjid ini memiliki makna “Cahaya”, Bisa jadi para
pendirinya dulu berharap agar masjid yang berada ditengah perkampungan Pekojan ini
diharapkan bisa memberi cahaya bagi umat Islam di tanah air. Masjid tua dan bersejarah
ini kini masuk dalam daftar bangunan bersejarah yang dilindungi dengan pengesahan
berupa SK. Mendikbud R.I. No. 0128/M/1988

Menurut kisah pada saat terjadi perang Dipenogoro pada tahun 1825-1830 M, seorang
ulama besar bernama Habib Ustman Bin Yahya, bersama Syeik Imam Nawawi Albantani,
memperbaiki dan memerluas masjid Jami An Nawier, dari 400 meter persegi, sampai 800
meter persegi. Selain membangun dan memperluas masjid, Habib Ustman bin Yahya dan
Syeikh Imam Nawawi Albantani kemudian memperbaiki arah kiblat masjid Jami An Nawier
ini yang terjadi sedikit menjadi menyerong bukanlah lurus seperti bentuk bangunan gedung
masjid atau sejajar dengan pilar yang terdapat di dalam gedung.

Masjid Jami An Nawier ini merupakan salah satu masjid tempat mengajar Sang Mufti
Batavia Habib Ustman Bin Yahya, pengarang sekitar 50 buku (kitab kuning) berbahasa
Melayu Arab gundul. Beliau diangkat sebagai Mufti Betawi pada tahun 1862 M (1279 H).
Salah seorang muridnya adalah Habib Ali Alhabsji, beliau wafat tahun 1968 M yang
mendirikan Majelis Taklim Kwitang serta Masjid Arriyadh di Kwitang, Jakarta Pusat.

Arsitektural Masjid An-Nawier

Masjid An-Nawier mempunyai arsitektur indah dan khas. Kekhasan terlihat dari perpaduan
gaya Timur Tengah, Cina, Eropa, dan Jawa. Tidak terdapatnya kubah merupakan bentuk
pengaruh masjid di Timur Tengah, tepatnya Hadramaut (Yaman Selatan). Kita dapat
menyaksikan ornamen khas Cina menempel di pintu-pintu masjid dan bentuk konstruksi
daun jendela beraksen Jawa. Sangat menarik karena pembangunan masjid ini melibatkan
kontraktor China dan Moor di Batavia.

Pintu Gerbang Masjid Jami An Nawier Pekojan

62
Memasuki ruang utama, terlihat jelas pada tiang penyangga berbentuk silinder bercat putih
khas Eropa. Dalam ruang utama berbentuk huruf L tersebut berdiri kokoh 33 pilar besar.
Jumlah pilar sesuai jumlah dzikir yang biasa dibaca umat Islam setelah selesai shalat.
Sebelum diperluas, masjid di pinggir kali Angke itu hanya memiliki 11 tiang. Jika dilihat dari
dalam, masjid tua di perkampungan padat penduduk tersebut berbentuk huruf L. Yang
diperluas itu bagian belakang dan samping untuk disesuaikan dengan bentuk dan luas
tanah masjid.

Pilar pilar besar di dalam masjid An-Nawier

Bagian depan ruang utama terdapat dua mimbar tempat berkotbah. Salah satunya hadiah
dari Sultan Pontianak pada abad 18 Masehi. Di dinding dekat mimbar terdapat tulisan Arab
dengan arti: “Inilah mimbar tempat menyampaikan penerangan-penerangan agama dan
nasihat yang benar”.

Luas bangunannya sekitar 1.983 meter persegi berdiri di atas areal tanah seluas 2.520 m2,
dan dapat menampung sekitar 2.000 jamaah. Hingga saat ini, Masjid An-Nawier merupakan
masjid terbesar di Jakarta Barat. Karena terkenal paling besar dan tua di daerah Pekojan,
maka masjid ini juga dikenal dengan sebutan Masjid Pekojan. Masjid mempunyai menara
mirip mercusuar dengan tinggi 17 meter, berdiri kokoh di bagian luar. Konon, pada masa
perjuangan kemerdekaan, menara ini sering dijadikan tempat bersembunyi para pejuang
dari kejaran tentara penjajah.

Menara masjid Jami An Nawier yang khas mirip sebuah Mercusuar

63
Dahulu saat belum ada pengeras suara, Muazin mengumandangkan Azan dari atas menara
masjid tersebut. Bagian depan ruang utama terdapat Mimbar Kayu berukiran tempat
berkotbah, Mimbar tersebut hadiah dari Sultan Pontianak pada abad 18 Masehi. Di dinding
dekat mimbar terdapat tulisan Arab dengan arti: “Inilah mimbar tempat menyampaikan
penerangan-penerangan agama dan nasihat yang benar”.

Mimbar tua di masjid Jami’ Annawier, hadiah dari Sultan Pontianak

Secara umum, hampir semua bangunan masjid mempunyai jumlah sesuai perhitungan
dalam ibadah umat Islam. Misalnya, tiang di ruang serambi masjid berjumlah 17,
melambangkan jumlah rakaat dalam shalat. Didalam masjid terdapat 33 pilar Lima pintu
dari arah barat ke timur melambangkan rukun Islam, sedangkan enam jendela pada bagian
selatan melambangkan rukun Iman. Secara keseluruhan jumlah pilar di masjid An Nawier
ini ditopang oleh 99 pilar, melambangkan jumlah asmaul husna (nama-nama baik)
kepunyaan Allah SWT.

Pintu-pintu tua dari kayu di dalam masjid An Nawier Pekojan

Kepengurusan Masjid Jami An Nawier Pekojan.


64
Berdasarkan catatan sejarah yang ada di Masjid Jami An Nawier, disebutkan bahwa Masjid
Jami An Nawier pertama kali berdiri tahun 1760 M bertepatan dengan tahun 1180 H berupa
sebuah surau kecil yang diketuai oleh Daeng Usman Bin Rohaeli sampai tahun 1825 M,
Daeng Usman, adalah salah seorang pedagang yang menggunakan sungai / kali Angke di
kawasan kampung Arab Pekojan sebagai jalur transportasi dagangnya.

Kemudian diteruskan oleh Sayyid Ustman bin Yahya, sebelum menjadi Mufti Batavia
bersama Komandan Dahlan tahun 1825-1860 M, yang kemudian Sayyid Usman bin Yahya
dengan Sheikh Imam Nawawi Al bantani memperluas bangunan masjid dari 400 meter
persegi menjadi 800 meter persegi pada tahun 1825-1830 M. Komandan Dahlan berasal
dari Kesultanan Banten yang tidak pernah mengakui kekuasaan Belanda atas Jayakarta
(Batavia). Selanjutnya kisah kepengurusan masjid An Nawier terputus setelah tahun 1860
M dipegang oleh siapa ?, karena Sayyid Usman bin Yahya kemudian dilantik menjadi Mufti
Batavia pada tahun 1862. (menarik untuk ditelusuri).

Kepengurusan masjid ini berlanjut pada tahun 1943 dipegang oleh Syeikh Abdurrahman bin
Muhammad Baktsir, Sayid Alwi Bin Abdullah Alaydrus, H. Abdul Mu‟thi bin H. Musyaffa‟,
Sayid Hasym bin Abdullah Alaydrus, H. Muhammad Tosim, Sayid Muhammad bin Achmad
Alaydrus.

Pada periode tahun 1945-1967 kepengurusan masjid dipegang oleh H. Saleh Bajere, A.
Somad Bachtiar, Muhana Bin Idan, H. Usman (Banjar), H. Abdul Karim dan Sa‟iyan. Periode
tahun 1967-1974 dipegang oleh H. Roji‟un, Sayyid Abdurrahman bin Idrus AlJufrie dan
Mahmud Samandi. Periode tahun 1974-2000 dipegang oleh Sayyid Abdurrahman Bin Idrus
Al-Jufrie dan H. Mahmud Samandi.

Periode tahun 2001-2013 dipegang oleh H. Torik Saleh Bajere, Ahmad Hasan, Abdul Azi
Ahmad dan H. Solihin, Sedangkan kepengurusan sejak tahun 2013 hingga saat ini dipegang
oleh Ustad Dikky bin Abubakar Basandid, Said bin Amru Azzubaidi, Faisal bin Abdullah
Jandan dan Faray bin Muhammad Al Amrie.

Masjid Jami An Nawier telah mengalami dua kali pemugaran. Pemugaran pertama
dilaksanakan pada tahun 1970-1971 M oleh Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta dengan
kegiatan pemasangan porselen pada bagian bawah dinding mesjid, tempat wudhu, dan
tiang-tiang yang berada di dalam mesjid. Pelaksanaan pemugaran tahap kedua oleh Proyek
Pelestarian dan Pemanfaatan Peninggalan Sejarah kota Jakarta pada tahun 1991- 1992 M.
Kegiatannya meliputi pemasangan tegel pada serambi Timur dan Utara, serta pemugaran
kolam.

Hingga kini Masjid Jami An Nawier masih terus melakukan pemugaran dengan memasang
marmer dilantai dan dingding masjid serta pemugaran ditempat-tempat lainnya, ini
dilakukan oleh Najir/pengurus masjid yang diketuai oleh anak muda Pekojan Ustadz Dikky
bin Abubakar Basandid salah satu cucu Syekh Said bin Ahmad Basandid pendiri Jamiatul
Khaer.

6. MASJID AR RAUDOH 1770 M


65
DAN SEJARAH BERDIRINYA JAMIAT KHEIR 1901 M

Masjid Ar Raudoh berdiri pada tahun 1770 M, tepatnya 28 Rajab 1304 H, masjid Ar Raudoh
adalah masjid peninggalan saudagar Arab dari Hadramaut (Yaman Selatan) yang
merupakan salah satu masjid sejarah dalam melahirkan tokoh Nasional pergerakan
perjuangan kemerdekaan pencetus berdirinya Organisasi Boedi Oetomo. Masjid Ar Raudoh
dijadikan tempat berkumpulnya pemuda Awliyyin / pemuda-pemuda Islam saat itu untuk
membentuk sebuah organisasi atau perkumpulan.

Didalam masjid Ar Raudoh seperti umumnya masjid tempo dulu ada kolam untuk
mengambil air wudhu dan sumur yang selalu mengalir mata airnya walaupun dimusim
kemarau sumur tersebut tidak pernah kering.

Tidak ada banyak perubahan berarti dengan bangunan masjid Ar Raudoh baik dari struktur
bangunan yang masih kokoh juga didalam masjid masih kental terlihat bangunan tua
peninggalan sejarah, jendela, pintu dan tempat Imam masih terjaga keasliannya, hanya
pagar didepan yang mengelilingi masjid saja perubahan yang terlihat jelas.

Pada tahun 1901 M di kampung Arab Pekojan berdiri suatu organisasi pendidikan Islam
Jamiat Kheir. Organisasi ini dibangun oleh para pemuda Awliyyin mereka adalah
Muhammad bin Abdurrahman Shahab, Idrus bin Ahmad Shahab, Ali bin Ahmad Shahab,
Syechan bin Ahmad Shahab, Abubakar bin Abdullah Alatas, Muhammad Al-Mashur, Syekh
Said bin Ahmad Basandid dan Abubakar bin Muhammad Alhabsyi.

Adanya organisasi ini menimbulkan simpati dari tokoh-tokoh Islam kala itu, seperti KH
Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadyah), HOS. Tjokroaminoto (Pendidi Syarikat Islam), KH.
Agus Salim (Tokoh Konfrensi Meja bundar) dan H. Samanhudi (Pendiri Syarikat Dagang
Islamiyah), mereka semua adalah tokoh Nasional ini adalah pendiri Organisasi Boedi
Oetomo tahun 1908.

Selengkapnya lihat pada tulisan “Berdirinya Yayasan Pendidikan Islam Modern Pertama di
Indonesia Jamiat Kheir” (Halaman 47-52).

66
Lokasi tempat berdiskusi untuk mendirikan perkumpulan Jamiat Kheir saat ini berada di Jl.
Masjid Pekojan I Gg 3 / Gg. Kayu, RW 03 Kelurahan Pekojan. Di sini, masuk gang kecil,
terdapat sebuah mesjid yang disebut “Ar Raudoh”. Di tempat inilah diperkirakan timbulnya
ide-ide para pemuda Islam kala itu untuk mendirikan Jamiat Kheir, 7 tahun sebelum
beridirinya Perkumpulan Budi Utomo.

PARA PENDIRI JAMIAT KHEIR DI DEPAN MADRASAH JAMIAT KHEIR


DI JALAN KOSTAPEL KAMPUNG ARAB PEKOJAN, BATAVIA TEMPO DOLOE
67
5. MUSHOLA AZ ZAWIYAH 1812 M
DAN YAYASAN WAKAF ZAWIYAH ALHABIB AHMAD BIN HAMZAH AL ATTAS

Mushola Az Zawiyah yang berada di Jl. Pengukiran Raya, RW 01 Kelurahan Pekojan yang
didirikan pada tahun 1812 M ini tampak bagus dan kekar, Mushola ini dahulunya
merupakan sebuah surau / langgar kecil.

Satu abad yang lalu Mushola Az Zawiyah didirikan oleh seorang Wali Besar (Wali Kutub),
Guru besar dan Ulama besar di saat itu, beliau adalah "Sayyid Ahmad bin Hamzah Al Attas"
yang lahir di Tarim, Hadramaut (Yaman Selatan), dan menurut cerita sumur yang ada di
mushola Az Zawiyah setiap malam Nisfu Syaban dari mulai sore hingga Fajar dengan
Karomahnya disambungkan oleh beliau ke Sumur Zam-zam yang ada di Mekah.

Dan hingga saat ini para masyarakat setempat dan jamaah Mushollah Az Zawiyah masih
mengambil “Karomah sang Auliya” dari sumur tersebut, baik untuk mandi membersihkan
diri disana atau membawa air umur tersebut di setiap malam Nisfu Sya‟ban menjelang
bulan Ramadhan.

Pada saat mengajar atau Ta‟lim di Musholla Az Zawiyah beliau telah di datangi Nabi Khidir
As hingga tiga kali, wallahualam bisowab.

Mushola yang dibangunnya itu kemudian diwakafkan hingga kini. Ketika masih mengajar di
mushola itu sang Auliya Sayyid Ahmad bin Hamzah Alatas, menyebarkan sebuah kitab
“Fathul Mu‟in” yaitu kitab kuning yang hingga kini masih dijadikan rujukan di kalangan
kaum tradisonal. Beliau adalah guru dari Habib Abdullah Bin Muhsin Alatas, yang kala itu
memimpin pengajian di Empang Bogor.

Dan setiap malam 27 Ramadhan mushollah Az Zawiyah ramai dikunjungi jamaah tidak
hanya dari wilayah Jakarta tetapi juga dari berbagai daerah untuk melaksanakan sholat
tarawih khatam qur‟an, hal ini sudah dilakukan dari dahulu.

Selain itu di Mushola Az Zawiyah ini biasa digunakan untuk pertemuan dihari ke tiga setiap
hari raya Iedul Fitri dan hari raya Iedul Adha oleh kalangan keluarga besar Al Attas dan
Muhibbin, dimana pada hari tersebut berkumpulnya para Alim ulama dan Habaib untuk

68
membaca Maulid Nabi Muhammad SAW yang, mendengarkan nasihat / tausiah, dan
dilanjutkan denga acara silaturahmi.

Sampai saat ini mushollah Az Zawiyah rutin mengadakan pengajian untuk orang dewasa
dan anak - anak, baik untuk kaum pria maupun kaum wanita.

Dalam perjalanannya mushollah Az Zawiyah telah mengalami beberapa kali perbaikan,


dimana bentuknya sudah berubah tidak seperti aslinya lagi, perbaikan yang dilakukan oleh
pengurus mushollah adalah untuk menambah dan memperluas fasilitas mushola guna
berbagai kegiatan pengajian dan pengkajian majelis ilmu bagi para jamaah Az Zawiyah
yang semakin terus bertambah jumlahnya.

Yayasan Wakaf Zawiyyah Al Habib Ahmad Bin Hamzah Al Attas

Tepatnya pada tanggal 1 September tahun 1967 M, didirikan yayasan Wakaf Zawiyyah Al
Habib Ahmad Bin Hamzah Al Attas, sesuai surat yayasan wakaf Azzawiyah Al Habib Achmad
Bin Hamzah Al Attas (Azawiyah) No 1 tanggal 01 September 1967, notaris Ali Harsojo dan
surat akte pendirian yayasan wakaf Azawiyah Al Habib Achmad Bin Hamzah Al Attas,
notaris Fauzah Askar. SH Nomor 37 tanggal 17 Juli 2013.

Adapun maksud dan tujuan berdirinya yayasan wakaf Al Habib Ahmad Bin Hamzah Al Attas
ini adalah untuk mendorong generasi muda bertakwa kepada Allah SWT dengan
menjalankan kehidupan dijalan agama Islam, bermasyarakat Islam, bersosial, berderma
menuju masyarakat sejahtera dengan memakmurkan masjid yaitu dengan mendirikan
madrasah yang berkwalitas, mengisi beberapa kegiatan pendidikan agama Islam yang
modern yang tidak menyimpang dari toriqoh salaf yang bermazhab Syafi‟i dan mendorong
masyarakat untuk mengeluarkan zakat, infaq, sadakoh dan qurban agar dapat disalurkan
kepada yan berhak serta mendirikan poliklinik agar masyarakat memperoleh pelayanan
kesehatan.

Yayasan Wakaf Zawiyah Al Habib Ahmad Bin Hamzah Al Attas ini terus dikembangkan dari
mulai berdirinya hingga saat ini dengan membangun madrasah dan pendidikan islam yang
modern sesuai dengan tujuan awal pendiriannya.

69
Musholah Azzawiyah dan Yayasan Wakaf Zawiyah Al Habib Ahmad bin Hamzah Al Attas
menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan, musholah Az Zawiyah memang tidak
diperuntukkan untuk sholat Jum‟at, namun tetap dapat diperuntukkan untuk melaksanakan
sholat lima waktu, intinya mushollah Az Zawiyah lebih menjalankan fungsinya sebagai
sebuah yayasan pendidikan Islam modern untuk mengajarkan majelis ilmu seperti yang
dijalankan oleh pendirinya dahulu yaitu Sayyid / Al Habib Ahmad Bin Hamzah Al Attas, bagi
masyarakat Pekojan maupun wilayah lainnya di wilayah Jakarta.

Perluasan yayasan wakaf Zawiyah Al Habib Ahmad Bin Hamzah Al Attas ini adalah dengan
membangun sebuah gedung madrasah berlantai dua,di belakang mushollah Az
Zawiyah,dan ini diperuntukkan untuk tujuan pendirian yayasan seperti tersebut diatas.

Kepengurusan Yayasan Wakaf Zawiyah Al Habib Ahmad Bin Hamzah Al Attas.

Adapun susuna kepengurusan yayasan wakaf Zawiyah Al Habib Ahmad Bin Hamzah Al Attas
saat ini adalah sebagai berikut :

Isa (Ketua Umum), Faiq Al Attas (Ketua 1), Hasan Al Attas (Ketua 2), Abdurahman
(Sekretaris Umum), Ibrahim Lutfi (Sekretaris), Muhammad (Bendahara), H.Abdurahman
Habib (Ketua Pembina), Abdullah Alatas (Pembina), Mochamad (Pembina). Umar
(Pembina), Achmad Salim (Ketua Pengawas), Idrus (Pengawas), Muhammad (Pengawas),
dan Salim Saleh Abdullah Al Attas (Pengawas).

Di samping kanan Mushola Az Zawiah / Yayasan Wakaf Zawiyah Al Habib Ahmad Bin
Hamzah Al Attas yaitu di Jl. Masjid Pekojan GG 5, terdapat sebuah rumah tua dengan gaya
arsitektur Moor, yang kini ditempati oleh keluarga besar Habib Muhammad Al Jufri dan
keluarga Habib Al Habsyi.

RUMAH KELUARGA AL JUFRI TEMPO DOLOE RUMAH KELUARGA AL JUFRI SAAT INI

70
6. MASJID LANGGAR TINGGI 1829 M

MASJID LANGGAR TINGGI TEMPO DOLOE MASJID LANGGAR TINGGI SAAT INI

Masjid Langgar Tinggi yang dibangun pada tahun 1249 H / 1829 M itu berada di Jl. Pekojan
Raya, RW 01 Kelurahan Pekojan dinamakan demikian karena masjid ini berlantai dua.
Dahulu bangunan ini menyatu dengan Kali Angke, hingga para pedagang dan tukang
perahu dapat langsung mengambil wudhu di kali Angke ini.

Mesjid ini dibangun oleh seorang kapiten Arab, “Syeikh Said Naum”. Sebelum tinggal di
Pekojan, ia tinggal di Palembang, memiliki sejumlah Armada kapal dan menjadi tuan tanah.
Banyak tanahnya itu yang diwakafkan untuk dijadikan masjid di Batavia.

Syeikh Said Naum memberikan bantuan untuk perbaikan dan perluasan Masjid Langgar
Tinggi pada November 1833 M. Kala itu di langgar ini tiap Kamis malam diadakan
pembacaan Maulid Nabi, dan tiap Senin malam pembacaan Burdah diiringi Rebana.

Setiap malam 29 Ramadhan di Masjid Langgar Tinggi diadakan malam khatam Al Qur‟an
seperti kebiasaan di Kota Tarim, Hadramaut (Yaman Selatan).

Keberadaan orang-orang Arab asal Hadramaut yang menggantikan orang-orang Moor di


Pekojan, sering menggunakan Langgar Tinggi untuk sekadar berkumpul dan melaksanakan
salat. Langgar ini sebagaimana namanya, lantai atasnya dijadikan tempat salat, sementara
lantai bawah ditempati sejumlah keluarga untuk tinggal dan berdagang.
71
“Terdapat di situ sebuah masjid Arab yang cukup luas, yang diurus oleh seorang ulama
bangsa mereka yang juga berlaku sebagai guru agama. Sebuah ruang di tingkat bawah
khusus digunakan untuk itu. Bangunan itu dinamakan langgar dan berupa wakaf dengan
modal yang cukup besar,” tulis L.W.C. van den Berg berjudul Le Hadramout et les colonies
arabes de l‟Archipel Indien seperti dikutip Jacques Dumarcay dan Henri Chambert-Loir.

Ia juga menambahkan, langgar tersebut tidak dipakai untuk shalat Jumat, sehingga orang-
orang Arab melaksanakan shalat Jumat di masjid besar yang letaknya tidak jauh dari
Langgar Tinggi yang dinamakan masjid Jami An Nawier. Pada papan yang terpasang di atas
sebuah pintu langgar, tertulis titimangsa pendiriannya, yakni pada tahun 1249 H/1829 M.
Namun, pada tahun masehi itu keliru, mestinya tahun 1833.

Titimangsa lain terdapat pada prasasti yang terukir di bagian atas mimbar yang terbuat dari
kayu yang indah yang terukir dengan halus dan tertutup cat lak Palembang. Prasasti
berbahasa Arab pada mimbar tersebut berisi permohonan rahmat kepada Allah atas Syeikh
Sa‟id bin Salim Na‟um, yang pernah menghadiahkan mimbarnya pada bulan Rajab 1275
H/Februari 1859 M.

Gaya Arsitektur dan Keriaan di Langgar Tinggi Langgar Tinggi di Pekojan dibangun dengan
gaya arsitektur campuran, di antaranya unsur gaya Eropa, Tiongkok, Jawa, dan India.
Menurut catatan Jacques Dumarcay dan Henri Chambert-Loir, gaya Eropa meliputi pilar
batu, anjung masuk, dan kasau tengah pada kuda-kuda kerangka atap. Sementara
penyangga luar untuk menyandarkan rangka balok-balok luar menyerap unsur Tiongkok.

72
Sementara penyangga luar untuk menyandarkan rangka balok-balok luar menyerap unsur
Tiongkok. Dan balok-nalok rangka payung di sudut-sudut, juga usuk penerus di sisi barat
menggunakan unsur Jawa.

“Pendampingan beberapa unsur Eropa dan Tionghoa di atas dasar Jawa asli yang telah
menyerapkan sebuah unsur India merupakan tanda khas arsitektur Jawa pada abad ke-19.
Campuran gaya serupa, meskipun lain peran masing-masing unsurnya, ditemukan baik di
Jakarta maupun di Cirebon dan Pasuruan,” tulis mereka.

Kali Angke tempo dulu seperti ditulis Windoro Adi dalam Kompas edisi 31 Mei 2007,
merupakan jalur pengangkutan barang niaga dan hasil bumi dari Tangerang dengan
menyusuri Sungai Cisadane menuju pusat kota lama. Barang-barang tersebut di antaranya
bahan bangunan, kain, rempah-rempah, duren, nangka, dan kelapa. “Sebelum masuk kota,
perahu dan rakit-rakit itu biasanya sandar di belakang langgar.”

73
7. VIHARA DEWI SAMUDRA 1784 M

VIHARA DEWI SAMUDRA TEMPO DOLOE VIHARA DEWI SAMUDRA SAAT INI

Vihara Dewi Samudra yang sering disebut Klenteng Tian Hou Gong. Klenteng yang berada
di Bandengan Selatan No.38, Kel.Pekojan. Klenteng ini dibangun pada Tahun 1784 M dan
dewa yang paling dikenal adalah dewa Ma Co Po.

Pada periode 1812-1847 M, pembangunan kelenteng (Taois) dan wihara (Buddhis)


umumnya dilakukan kongsi dagang dan lebih banyak ditujukan menghormati dewa dagang
atau yang berhubungan dengan perdagangan. Lingkungan kelenteng pun sering dijadikan
tempat pertemuan untuk membahas rencana bisnis.

Sebelum era ini, kelenteng di Kota Tua dibangun dengan berbagai tujuan. Dewa yang
diletakkan di altar pun beragam, tidak didominasi dewa dagang. Kegiatan sosial
kemasyarakatan di lingkungan kelenteng lebih sering dilakukan daripada pertemuan-
pertemuan dagang.

Kelenteng Li Tie-guai atau Wihara Budhidharma di Jalan Perniagaan Selatan, yang menjadi
tempat beribadah orang China terpopuler di kawasan Glodok, adalah salah satu kelenteng
yang dibangun untuk dua di antara ”Delapan Hyang Mulia”, pelindung kongsi dagang.

74
8. VIHARA PADI LAPA 1823 M

Viihara Kelenteng Da Bo Gong di Pekojan, Tambora, DKI Jakarta Barat merupakan klenteng
persekutuan pedagang. Klenteng yang dibangun tahun 1823 M, pada mulanya yaitu akhir
abad ke-19, terletak di kawasan Pasar Pagi lalu dipindahkan dan dibangun lagi di Jl.
Pejagalan II RW 05 Kelurahan Pekojan, Kecamatan Tambora - Jakarta Barat. Nama
klenteng berganti menjadi Vihara Padi Lapa atau Vihara Padi dan Kelapa. Klenteng ini
berhubungan dengan perniagaan yaitu sebagai klenteng persekutuan pedagang minyak dan
beras di Pasar Pagi yang berasal dari suku Hakka yang merupakan pendiri utamanya.

Klenteng ini merupakan manifestasi pertama suatu golongan etnis yang peranannya makin
meningkat hingga abad ke-20. Penjaganya seorang anak pedagang beras. Kelenteng Da Bo
Gong terdiri atas dua halaman yang masing-masing diberi pagar. Pagar pertama yaitu
bagian luar yang mengelilingi kompleks kelenteng secara keseluruhan berupa tembok
setinggi kurang lebih 1 meter dan di atasnya terdapat jeruji besi setinggi sekitar 50
sentimeter.

Sedangkan, pagar yang kedua terdapat di dalam kompleks yang memisahkan bagian
tempat bangunan ruang sembahyang dengan kebun. Klenteng Da Bo Gong tidak memiliki
gapura dan hanya memiliki pintu masuk di bagian utara yang merupakan bagian dari pagar
klenteng.

75
Bab VI

KAMPOENG ARAB PEKOJAN DALAM GAMBAR

Gambar-Gambar Bangunan Tua Serta Jalan


Di Kawasan Kampung Arab Pekojan
Tempoe Doloe Dan Saat Ini

76
KAMPOENG ARAB PEKOJAN BATAVIA DAHULU DAN KINI DALAM GAMBAR

TEMPODOLOE

Huizen en winkels aan de Pekodjan Rumah Tua di Jl. Pekojan Raya


te Batavia 1938 M Jakarta Tahun 2015 M

77
KAMPOENG ARAB PEKOJAN BATAVIA TEMPO DOLOE DALAM GAMBAR

Keterangan Gambar :
Pabrik Arak di Jl.Pengarakan RW 10, Aktifitas di Kali Angke (Gambar Atas),
Bangunan di Jl. Jalan Pekojan Raya (Gambar Tengah), dan Masjid Jami Kampung
Baru - Jembatan si Pitung Bandengan Selatan (Gambar Bawah).

78
KAMPOENG ARAB PEKOJAN BATAVIA TEMPO DOLOE GAMBAR

Keterangan Gambar :
Bagunan dan Jalan di kawasan Kampung Arab Pekojan tempoe doloe yaitu, Jl.
Pekojan Raya, Jl.Pejagalan Raya (Gambar Atas), Bangunan tempo dulu Kali
Bandengan Selatan di Jl. Bandengan Selatan (Gambar Tengah), dan suasana Kali
Angke di Jl. Pangeran Tubagus Angke (Gambar Bawah).

79
KAMPOENG ARAB PEKOJAN BATAVIA DAHULU DAN KINI DALAM GAMBAR

RUMAH KELUARGA HABIB MUHAMMAD AL JUFRI BANGUNAN TUA GAYA MOOR


LOKASI JL.MASJID PEKOJAN GG 1 NO.1 RW 01 KELURAHAN PEKOJAN

RUMAH KELUARGA HABIB ABDURAHMAN AL ATHAS BANGUNAN TUA GAYA BETAWI


LOKASI JL.PENGUKIRAN RAYA NO. RW 01 KELURAHAN PEKOJAN

GEDUNG SEKOLAH SMPN 32 JAKARTA BARAT


LOKASI JL.PEJAGALAN RAYA RW 04 KELURAHAN PEKOJAN

80
PENUTUP KATA

“Alhamdulillahirobbilalamin”

Tak ada gading yang tak retak begitu pula dengan rangkuman tulisan yang saya buat ini
masih banyak kekurangan disana sini, kebijakan pembaca untuk mengoreksi dan
memberikan kritik dan saran yang membangun sangatlah saya butuhkan untuk
mengevaluasi kembali rangkuman tulisan saya ini.

Demikianlah rangkuman tulisan Menggali Kembali Kisah Sejarah, Budaya, Para Tokoh Dan
Tempat Ibadah Besejarah Batavia di Kampung Arab Pekojan, Delapan bangunan tempat
ibadah bersejarah dan bangunan-bangunan tua lainya sebagai Cagar Budaya ini yang harus
di lindungi dan dijaga baik lingkungannya dan bangunan-bangunan tua tersebut untuk
menjadi bukti kawasan Pekojan adalah bagian dan tidak lepas dari sejarah terbentuknya
kota Jakarta.

Sampai saat ini pihak terkait khususnya Pemerintah Kota Provinsi DKI Jakarta telah
melakukan upaya dan melaksanakan agenda Exploring atau menggali dan melindungi
kembali nilai-nilai sejarah dan budaya di kampung Arab Pekojan diantaranya adalah Unit
Pengawasan Kawasan (UPK) Kota Tua Jakarta dan Lembaga Perlindungan, Pelestarian
Sejarah dan Budaya DKI Jakarta serta Suku Dinas Pariwisata dan Budaya DKI Jakarta.

Selama dua tahun ini pihak UPK Kota Tua Jakarta telah melaksanakan agenda
Pengembangan Destinasi Wisata Religi Kawasan Pekojan dengan mengadakan acara
Festival Kampung Arab 2018 dan Festival Kampung Arab 2019.

Semoga tulisan ini dapat menjadikan referensi dan juga sumber pengetahuan bagi kita,
umumnya masyarakat Jakarta tentang warisan sejarah dan budaya Batavia dikawasan Kota
Tua Jakarta, dan khususnya masyarakat kawasan Pekojan tentang sejarah hebat di
kampung Arab Pekojan tempo dulu.

Terima kasih yang tak terhingga kepada para nara sumber yang sudah membimbing dan
memberikan informasi baik kisah sejarah maupun masukan lainnya kepada saya untuk bisa
menyelesaikan tulisan saya ini, semoga Allah SWT membalas amal kebaikan kalian semua
para sesepuh, tokoh masyarakat dan sahabat - sahabat saya di kampung Arab Pekojan,
Aamiin Allahuma Aamiin.

Jazakallahu Khaeron … Barakallahu Fikum Waiyakum.

Wasalamualaikum WR WB,
Jakarta, Awal Agustus 2019

Penulis : Usman, SE
Putra Daerah Pemerhati Sejarah dan Budaya
Kampung Arab Pekojan Batavia.

81
Ucapan Terima Kasih Kepada :
1. Allah SWT dengan ijinNya dan dimudahkanNya saya dapat menyelesaikan tulisan ini.
2. Istri tercinta yang selalu mendukung dan memberi motivasi kepada saya.
3. Tokoh Sesepuh Masayarakat Pekojan.
4. Tokoh Muda Pekojan yang memberi Inspirasi kepada saya.
5. Para Nara Sumber yang telah membimbing saya.
6. Sahabat-sahabat saya di Pekojan yang selalu mendukung dan membimbing saya.
7. Para Ketua RW, LMK, LKMD dan PKK Kelurahan Pekojan.
8. Bapak Noprie S Husodo, Ketua UPK Kota Tua Jakarta.
9. Elemen Kepemudaan Pekojan, kalian adalah asset dan penerus perjuangan.
10.Seluruh Masyarakat Kampung Arab Pekojan.

Daftar Nara Sumber :


1. Habib Muhammad bin Hasan bin Muhammad Al Jupri Ketua RW 01 Kelurahan Pekojan.
2. Habib Ahmad bin Alwi bin Abdurahman Assegaf.
3. Syeikh Taufik bin Salim bin Abdul Habib bin Hammud bin Salim Al Abdul Aziz.
4. Habib Qurais bin Ali bin Hasyim Al Aidid, sahabat masa kecil saya.
5. Ustadz Dikky bin Abubakar bin Ali Basandid.
6. Bapak Parijo, HS , Sesepuh Pekojan.
7. Habib Husin bin Saleh Al Habsyi.
8. Bapak Saleh Al Amrie.
9. Bapak Yulizar Ketua RW 05 Kelurahan Pekojan.
10.Ibu Diana Ketua RW 06 Kelurahan Pekojan.
11.Kisah Pekojan Tempo Dulu di semua Media Online.

Daftar Pustaka :
1. Jakarta Sejarah 400 Tahun - Susan Blackburn – 2012.
2. Orang Arab di Indonesia - L.W.C. Van Den Berg – 2010.
3. Le Hadramout et les colonies Arabes de l‟Archipel Indien - L.W.C. Van Den Berg.
4. The Emergence of the Modern Indonesian Elite - Robert Van Niel.
5. Islam, Kolonialisme dan Zaman Modern di Hindia Belanda - Nico J.G. Kaptein.
6. Menelusuri Silsilah Suci Bani Alawi – Idrus Alwi Almasyhur
7. Mistik, Seks dan Ibadah - Quraish Shihab – 2004.
8. Jakarte Punye Cara - Zeffry Alkatiri.
9. Ali Ahmad Shahab Pejuang Yang Terlupakan - Solichin Salam – 1992.
10.Genealogi Intelektual Ulama Betawi - Jakarta Islamic Center.
11.Jakarta Dari Tepian ke Kota Proklamasi -Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI –
1988.

82
“Kita Adalah Bagian Dari Sejarah, Budaya Dan Tokoh Bangsa Ini”

Kita Lahir Karena Sejarah … Kita Dikenang Karena Sejarah


Kita Mengetahui Karena Sejarah … Kita Berhasil Karena Sejarah
Maka Jangan Sampai Melupakan Sejarah Bangsa Ini

Kita Dikenal Karena Budaya … Kita Dihormati Karena Budaya


Kita Disegani Karena Budaya … Kita Menjadi Besar Karena Budaya
Maka Jangan Sampai Meninggalkan Budaya Bangsa Ini

Kita Merdeka Karena … Tokoh Bangsa Berkorban Nyawa


Kita Berdaulat Karena … Tokoh Bangsa Angkat Senjata, Pena Dan Suara
Kita Bersatu Karena … Tokoh Bangsa Menyatukan Negeri Ini
Maka Jangan Sampai Melupakan Dan Meninggalkan Jasa Para Tokoh Bangsa Ini

Karena Kita Adalah Bagian Dari Sejarah, Budaya Dan Tokoh Bangsa Ini

Catatan Kecil Usman,SE


Batavia, 01 Agustus 2019

83

Anda mungkin juga menyukai