Anda di halaman 1dari 12

Nama : Nashwa Qausar

Nim : 2004101010060
MK : Konstruksi Bangunan Gedung

2.1. STRATEGI PERANCANGAN

Dalam perancangan bangunan tinggi, terdapat tiga strategi utama untuk mencapai integrasi
sistem bangunan sambil memenuhi kebutuhan fungsional bangunan tanpa mengabaikan
kekuatannya dan kenyamanan. Tiga strategi tersebut didasarkan pada pertimbangan
lingkungan, penghematan energi, dan integrasi sistem bangunan seperti ventilasi,
pengkondisian udara, sirkulasi vertikal, sistem listrik, dan pipa.

2.2. LUAS BANGUNAN EFEKTIF


Banyak program arsitektural hanya menghitung luas lantai bangunan yang dibutuhkan
bagi kegiatan penghuni/pengguna bangunan (luas netto) dan tidak memperhatikan luas lantai
yang dibutuhkan untuk sirkulasi (horizontal dan vertical), penempatan perlengkapan/peralatan
bangunan baik berupa peralaatan mekanikal maupun elektrikal, dan luas lantai yang ditempati
oleh struktur bangunan, baik berupa kolom maupun dinding geser/inti bangunan. Perbandingan
antara luas efektif (luas netto) dan luas bruto (luas tipikal) dapat dilihat pada table 2.1
Tabel 2.1. Nisbah Luas Netto terhadap Luas Lantai Bruto

Fungsi Bangunan Koefisien


Apartemen 0.64
Asrama 0.65
Auditorium 0.70
Balai Pertemuan Umum 0.58
Bank 0.72
Bangunan Institusional/Administrasi 0.67
Gedung Parkir 0.85
Gudang 0.93
Hotel 0.63
Museum 0.80
Pengadilan 0.61
Perbelanjaan/Pertokoan 0.81
Perkantoran 0.80
Perpustakaan 0.76
Restoran 0.70
Rumah Sakit 0.55
Sekolah (Laboratorium) 0.59
Sekolah (Ruang Peragaan Biologi) 0.62
Sekolah (Ruang Kelas) 0.66

1
Kadang-kadang luas lantai bruto ditentukan berdasarkan unit okupansi dari fungsi bangunan,
sebagaimana tercantum dalam table 2.2.
Tabel 2.2. Rancangan Luas Bruto sesuai Fungsi per Unit Okupansi

Fungsi Bangunan Unit Luas Brutto (m2)


Apartemen Unit 80,0
Asrama Tempat Tidur 18,5
Auditorium Kursi 2,5
Bioskop/Teater Kursi 1,5
Gedung Parkir Mobil 33,5
Hotel Kamar 88,5
Rumah Sakit Tempat Tidur 30,0
Restoran Kursi 3,0
Sekolah Dasar Murid 7,0
Sekolah Lanjutan Pertama Murid 10,0
Sekolah Menengah Umum Murid 12,0

2.2.1. Bangunan Hotel


Mengingat bangunan hotel terbagi dalam beberapa kategori, maka satuan luas kamar
hotel, luas lantai bruto dan jumlah minimal kamar ditentukan berdasarkan table 2.3.
Tabel 2.3 Ketentuan Dasar Hotel

Klasifikasi Luas Kamar Luas Lantai Bruto per Jumlah Kamar


Hotel 2
(m ) Kamar (m )2 Minimal
Bintang 5 36 (4,5 x 8) 150 500
Bintang 4 32 (4 x 8) 120 400
Bintang 3 30 (4 x 7,5) 100 300
Bintang 2 28 (4 x 7) 80 200
Bintang 1 24 (4 x 6) 60 100
Selanjutnya, kamar dalam hotel dibagi dalam beberapa jenjang, sebagaimana tertera dalam
Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Jenjang Jenis Kamar Hotel

Jenis Kamar Koefisien terhadap Kamar


Standar
Junior Suite 1,50 x
Standard Suite 2,00 x
Deluxe Suite 4,00 x
Super Deluxe Suite 4,00 x
Presidential Suite 6,00 x

2
Dalam perhitungan kebutuhan luas bruto untuk hotel, dapat pula digunakan pendekatan
lain. Dengan menganggap luas yang diperlukan untuk sirkulasi horizontal (10% luas bruto) dan
sirkulasi vertical (25% luas bruto), maka luas brutto untuk kamar:

Lkm-bruto = ,
+ ,
. (∑kamar) . (Lkamar) Persamaan
2.1.
di mana: ∑ kamar adalah jumlah kamar yang akan disediakan
Lkamar adalah luas netto kamar tidur (Tabel 6.3)
Di samping kebutuhan luas lantai untuk kamar tidur, diperlukan pula ruangan-ruangan bagi
kebutuhan penunjang kegiatan produktif (restoran, bangquete, took, dan lain-lain):
Lpenj-prod = 40% Lkm-bruto Persamaan
2.2.
Dengan demikian jumlah luas lantai produktif menjadi:
Lprod = Lkm-bruto + Lpenj-prod Persamaan
2.3.
Selanjutnya, kebutuhan lantai non-produktif (ruangan pengelolaan hotel, mekanikal &
elektrikal, dan lain-lain) mengikuti:
Lprod : Lnon-prod = 60% : 40% Persamaan
2.4.
Atau

Lnon-prod = Lpord Persamaan


2.5.
Jadi, luas lantai bruto untuk hotel adalah:
Lbruto = Lprod + Lnon-prod Persamaan
2.6.
Luasan yang diperlukan untuk kamar (Lkm-bruto) biasanya menempati lantai tipikal,
sedang sisanya (Lbruto-Lkm-bruto) ditempatkan pada bangunan podium. Adapun luas dan
jumlah lantai podium disesuaikan dengan ketentuan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan
jumlah lantai tipikal harus memenuhi ketentuan Koefisien Lantai Bangunan (KLB). Untuk
bangunan hotel yang berbentuk menara (tower), jumlah kamar per lantainya biasanya
berkisaran antara 24-36 kamar, sedangkan untuk hotel yang berbentuk memanjang (slab)
jumlahnya disesuaikan dengan fasilitas layanan dan persyaratan keamanan (jarak ke lift dan
tangga kebakaran, dilatasi dan lain-lain).
2.2.2. Bangunan Rumah Sakit
Sebagaimana halnya bangunan hotel, Rumah Sakit juga terbagi atas beberapa
klasifikasi, seperti yang tertera dalam Tabel 2.5.

3
Tabel 2.5. Ketentuan Dasar Rumah Sakit

Klasifikasi Rumah Luas Lantai Bruto per tempat tidur (m2) Kapasitas Tempat
Sakit Tidur
Kelas A 30 1000
Kelas B 20 800
Kelas C 10 500

2.3. BATASAN DAN KETENTUAN PERUNTUKAN


Dalam ketentuan ijin mendirikan bangunan, setiap bangunan harus memenuhi
persyaratan peruntukan tata guna lahan, Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Lantai
Bangunan (KLB), Koefisien Dasar Hijau (KDH), Koefisien Tapak Basement (KTB),
maksimum ketinggian lantai, Garis Sepadan Bangunan (GSB), Garis Sepadan Jalan (GSJ) dan
Jarak bebas antar bangunan.

KDB = Persamaan 2.7.

KLB = Persamaan
2.8.
Dimana : LDP adalah luas Daerah Perencanaan luas tanah di belakang GSJ
Ltotal adalah luas total lantai bangunan

Menurut Peraturan Daerah (Perda) Pemerintah Propinsi DKI Jakarta nomor 4 tahun
1975, Perda nomor 7 DKI tahun 1991, dan Surat keputusan Gubernur Pemerintah Propinsi DKI
Jakarta nomor 678 tahun 1994, ketentuan tentang jarak bebas dan lantai-lantai bangunan
disyaratkan sebagaimana terlihat dalam gambar 2.3.

4
Untuk Jarak bebas antar massa bangunan dalam satu Daerah Perencanaan (DP), ketentuannya
adalah sebagai berikut:
a. Kedua Dinding Berjendela/Transparan
Jarak Bebas Minimum = YA + YB

b. Satu Dinding Transparan dan Satu Dinding Masif


Jarak Bebas Minimum = YA + 0,5 YB

c. Kedua Dinding Masif


Jarak Bebas Minimum = (YA + YB) x 0,5

5
d. Jika nilai Jarak GSB – GSJ kurang dari Y
Untuk ketinggian lebih dari 4 lapis, jarak Bebas minimum bidang terluar massa
bangunan dengan GSJ = Yn (lihat gambar 2.3)

Untuk ketinggian bangunan empat lapis, Jarak bebas minimum bidang terluar massa
bangunan dengan GSJ = nilai GSB

e. Denah dari Lantai Dasar sampai Denah Lantai Tertinggi sama


Jika denah lantai dasar suatu bangunan sampai dengan denah lantai tertinggi
membentuk bidang vertikal (yang lurus), maka jarak bebas minimum dikurangi sebesar
10% dari ketentuan.

f. Denah Bangunan berbentuk U atau H


Apabila suatu massa bangunan mempunyai denah berbentuk U atau H (dengan lekukan)
dan bila kedalaman lekukan melebihi Y, maka bangunan tersebut dianggap dua massa
bangunan dan antara kedua massa tersebut harus ada lebar minimum lekukan = Y

Ketentuan lainnya adalah menyangkut jarak lantai ke lantai, sebagaimana terlihat pada
gambar di bawah ini :

6
Jika pada bangunan terdapat basemen, maka:
1) Jarak basemen tidak boleh kurang dari 3,00 meter dari pagar perkarangan,
2) Lantai dasar tidak boleh lebih tinggi dari 1,20 meter
3) Kemiringan (ramp) tidak boleh melebihi 1 : 7
4) Jarak ketinggian bebas basemen minimum 2,10 meter

2.4. STANDAR PARKIR


Pengaturan parkir pada ruang terbuka antara Garis Sepadan Bangunan (GSB) dan Garis
Sepadan Jalan (GSJ) bisa dilihat di Tabel 2.6
Tabel 2.6 Pengaturan Parkir

Lebar Rencana Jalan Luas maksimum lahan


(m) parkir
L < 30 meter Diizinkan s/d 100%
30 meter < L < 50 meter Diizinkan s/d 50%
L > 50 meter Ruang Terbuka Hijau

3.1. SISTEM STRUKTUR BANGUNAN TINGGI


Fungsi utama dari sistem struktur adalah untuk memikul secara aman dan efektif beban
yang bekerja pada bangunan, serta menyalurkannya ke tanah melalui fondasi. Beban yang
bekerja pada bangunan terdiri dari beban vertikal, horizontal, perbedaan temperatur, getaran,
dan sebagainya.
Dalam berbagai sistem struktur, baik yang menggunakan bahan beton bertulang, baja
maupun komposit, selalu ada komponen (subsistem) yang dapat dikelompokkan dalam sistem

7
yang digunakan untuk menahan gaya gravitasi dan sistem untuk menahan gaya lateral (Gambar
3.1).

3.2. SISTEM PENAHAN GAYA GRAVITASI


Beban gravitasi merupakan beban yang berasal dari beban mati struktur dan beban
hidup yang besarnya disesuaikan dengan fungsi bangunan. Struktur lantai merupakan bagian
terbesar dari struktur bangunan, sehingga pemilihannya perlu dipertimbangkan secara
seksama, diantaranya:
a. Perimbangan terhadap berat sendiri lantai, makin ringan beban lantai makin
berkurang dimensi kolom dan fondasinya serta makin dimungkinkan menggunakan
bentang yang lebih besar.
b. Kapasitas lantai untuk memikul beban pada saat pekerjaan konstruksi.
c. Dapat menyediakan tempat/ruang bagi saluran utilitas yang diperlukan.
d. Memenuhi persyaratan bagi ketahanan terhadap api.
e. Memungkinkan bagi kesinambungan pekerjaan konstruksi, jika pelaksanaan
pembangunannya membutuhkan waktu yang panjang.
f. Dapat mengurangi penggunaan alat bantu pekerjaan dalam pembuatan pelat lantai
(perancah – steiger).

Sistem struktur lantai biasanya merupakan kombinasi dari pelat dengan balok induk (girder)
atau anak balok (beam) atau rusuk (rib atau joist), yang ketebalannya tergantung pada bentang,
beban, dan kondisi tumpuannya (Gambar 3.2).

8
Pelat satu arah (one way slab) ditumpu oleh balok anak yang ditempatkan sejajar satu
dengan lainnya, dan perhitungan pelat dapat dianggap sebagai balok tipis yang ditumpu oleh
banyak tumpuan.
Pelat rusuk satu arah (one way rib/joist slab) ditumpu oleh rusuk anak, anak balok yang
jarak satu dengan lainnya sangat berdekatan, sehingga secara visual hamper sama dengan plat
satu arah.
Pelat yang keempat sisinya ditumpu oleh balok dengan perbandingan Ix/Iy  2, disebut
pelat dua arah, sehingga perhitungan pelat perlu dilakukan dengan pendekatan dua arah.
Pelat lantai ditumpu langsung oleh kolom tanpa penebalan di sekeliling kolom (drop
panel) dan/atau kepala kolom (coloumn capital), sehingga beban vertical langsung dipikul oleh
kolom dari segala arah (flat plate). Sedangkan pada Flat slab terdapat penebalan pelat lantai
pada puncak kolom, sehingga dapat memikul gaya geser atau momen lentur yang lebih besar.
Pelat wafel adalah pelat dua arah yang ditumpu oleh rusuk dua arah. Pelat ini
memberikan kekakuan yang cukup besar, sehingga dapat memikul beban vertical atau dapat
digunakan untuk bentang lantai yang lebih besar.

9
3.3. SISTEM PENAHAN GAYA LATERAL
Hal yang penting pada struktur bangunan tinggi adalah stabilitas dan kemampuannya
untuk menahan gaya lateral, baik yang disebabkan oleh angina tau gempa bumi. Beban angin
terkait pada dimensi ketinggian bangunan, sedangkan beban gempa lebih terkait dengan massa
bangunan.
Kolom pada bangunan tinggi perlu diperkokoh dengan sistem pengaku untuk dapat
menahan gaya lateral, Pengaku gaya lateral yang lazim digunakan adalah portal penahan
momen, dinding geser atau rangka pengaku.
Portal penahan momen terdiri dari komponen (subsistem) horizontal berupa balok dan
komponen (subsistem) vertikal berupa kolom yang dihubungkan secara kaku (rigid joints).
Kekakuan portal tergantung pada dimensi balok dan kolom, serta proporsional terhadap jarak
lantai ke lantai dan jarak kolom ke kolom.
Dinding geser (Shear wall) didefinisikan sebagai komponen struktur vertikal yang
relatif sangat kaku. Dinding geser pada umumnya hanya boleh mempunyai bukaan sedikit
(sekitar 5 %) agar tidak mengurangi kekakuannya. Fungsi dinding geser berubah menjadi
dinding penahan beban (bearing wall), jika dinding geser menerima beban tegak lurus dinding
geser.
Rangka pengaku (braced frame) terdiri dari balok dan kolom yang ditambahkan pengaku
diagonal. Adanya pengaku diagonal ini akan berpengaruh pada fleksibilitas
perpanjangan/perpendekan lantai dimana pengaku tersebut ditempatkan.
Pada bangunan tinggi sering digunakan gabungan antara portal penahan momen dengan
dinding geser, terutama pada bangunan tinggi yang dibangun di daerah yang terkena pengaruh
gempa bumi. Hal ini dapat memberikah hasil yang baik untuk memperoleh daktilitas dan
kekakuan sistem struktur.

3.4. PEMBEBANAN PADA BANGUNAN


3.4.1. Beban Mati (BM)
Beban mati adalah berat dari semua bangunan yang bersifat tetap, termasuk segala
unsur tambahan, mesin-mesin serta peralatan tetap yang merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari bangunan itu (perlengkapan/peralatan bangunan).
3.4.2. Beban Hidup (BH)
Beban hidup adalah semua beban yang terjadi akibat penghunian atau penggunaan
suatu bangunan, dan di dalamnya termasuk beban-beban pada lantai yang berasal dari barang-
barang yang dapat berpindah, mesin-mesin serta peralatan yang tidak merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari bangunan dan dapat diganti selama masa hidup dari bangunan itu, sehingga
mengakibatkan perubahan dalam pembebanan lantai dan atap bangunan tersebut. Khusus untuk
atap yang dianggap beban hidup termasuk beban yang berasal dari air hujan, baik akibat

10
genangan maupun akibat tekanan jatuh (energi kinetik) butiran air. Beban hidup tidak termasuk
beban angin dan beban gempa.
3.4.3. Beban Angin (BA)
Beban angin adalah semua beban yang bekerja pada bangunan, atau bagian bangunan,
yang disebabkan oleh selisih dalam tekanan udara. Tekanan tiup harus diambil minimal 25
kg/m2, dan di tepi laut sampai sejauh 5 km dari pantai harus diambil minimum 40 kg/m2. Jika
ada kemungkinan kecepatan angin mengakibatkan tekanan tiup yang lebih besar, maka tekanan
tiup harus dihitung menurut rumus:

P= (kg/m2)

Dimana : v adalah kecepatan angin dalam m/det.


3.4.4. Beban Gempa
Beban gempa adalah semua beban statik ekivalen yang bekerja pada bangunan atau
bagian bangunan yang menirukan pengaruh dari Gerakan tanah akibat gempa itu. Ketika
pengaruh genpa pada struktur bangunan ditentukan berdasarkan suatu analisa dinamik, maka
yang diartikan dengan beban gempa disini adalah gaya-gaya di dalam struktur tersebut yang
terjadi oleh Gerakan tanah akinat gempa itu.
Setiap struktur bangunan menurut Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk
Bangunan Gedung (SNI 03-1726-2002), harus direncanakan untuk menahan suatu beban geser
dasar akibat gempa (V) dalam arah-arah yang ditentukan menurut rumus:
. .
V=

Dimana: C adalah koefisien gempa dasar


I adalah faktor keutamaan
R adalah Reduksi Gempa
Wt adalah kombinasi dari beban mati dan beban hidup
Wt = 1,05 (BM + 0,3 BH)
a. Koefisien Gempa Dasar
Koefisien gempa harus ditentukan dari gambar 3.5 dan 3.4 untuk wilayah
gempa. Dengan memakai waktu getar alami (T) struktur seperti ditentukan:

11
T = 0,085 H3/4 Untuk Poratl Baja
T = 0,06 H3/4 Untuk Portal Beton
,
T= Untuk struktur lainnya.

Dimana: H adalah tinggi bangunan


B adalah panjang bangunan pada daerah yang ditinjau

12

Anda mungkin juga menyukai