Anda di halaman 1dari 84

LIFE CYCLE ASSESSMENT PRODUKSI CRUDE PALM OIL

(CPO) (STUDI KASUS: PT X PROVINSI BENGKULU)

REKO RINALDO

TEKNIK INDUSTRI PERTANIAN


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2023
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Life Cycle
Assessment Produksi Crude Palm Oil (CPO) (Studi Kasus: PT X Provinsi Bengkulu”
adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2023

Reko Rinaldo
F3501201005
RINGKASAN
REKO RINALDO. Life Cycle Assessment Produksi Crude Palm Oil (CPO) (Studi
Kasus: PT X Provinsi Bengkulu). Dibimbing oleh SUPRIHATIN dan MOHAMAD
YANI.

Kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq) merupakan komoditas unggulan di


sektor perkebunan yang paling banyak diproduksi di Indonesia. Perkembangan
perkebunan kelapa sawit Indonesia mengalami peningkatan pesat disetiap tahunya,
tahun 2021 luas areal perkebunan kelapa sawit Provinsi Bengkulu meningkat 4.642
ha dari luas areal tahun sebelumnya. Peningkatan juga terjadi di sektor produksi
CPO, Provinsi Bengkulu mencatatkan tahun 2021 produksi CPO naik menjadi
30.052 ton CPO dari total produksi tahun 2020 sebesar 1.063.404 ton CPO.
Aktivitas kegiatan perkebunan kelapa sawit serta kegiatan di industri dan tingginya
produksi CPO dapat menimbulkan berbagai permasalahan terhadap dampak
lingkungan seperti limbah, perubahan kualitas air, tanah, udara, serta peningkatan
terhadap emisi. Dampak lingkungan berasal dari penggunaan bahan material berupa
bahan baku, bahan tambahan berupa bahan kimia, penggunaan energi dan limbah
yang dihasilkan oleh unit proses.
Metode yang dapat digunakan untuk menganalisis dampak lingkungan dari
siklus daur hidup produk adalah Life Cycle Assessment (LCA). LCA adalah metode
untuk menilai potensi dampak lingkungan dari sistem produk atau jasa pada semua
tahap dalam siklus daur hidup produk. Tujuan dari kajian LCA ini untuk
mengidentifikasi input yang digunakan dan output yang dihasilkan dari tahapan
siklus daur hidup produksi CPO; menghitung nilai dampak lingkungan yang
dihasilkan dari tahapan siklus daur hidup produksi CPO serta merumuskan skenario
perbaikan untuk mengurangi dampak lingkungan.
Tahapan kajian LCA dilakukan berdasarkan framework SNI ISO 14040 :
2016, yang terdiri dari empat tahapan, yaitu penentuan tujuan dan ruang lingkup,
analisis inventori, analisis dampak lingkungan dan interpretasi hasil untuk upaya
perbaikan. Dampak lingkungan yang dikaji terdiri dari tiga kategori yaitu
pemanasan global (GWP), asidifikasi dan eutrofikasi dengan menggunakan
software SimaPro metode CML-IA baseline. Batasan sistem kajian LCA ini adalah
cradle-to-gate, dimulai dari subsistem proses perkebunan meliputi unit proses
(pembibitan dan pemeliharaan bibit, pemeliharaan tanaman menghasilkan (TM),
dan transportasi TBS industri), subsitem proses produksi CPO di industri, subsistem
pengolahan air bersih (WTP), dan subsistem pengolahan air limbah (WWTP).
Analisis inventori menunjukkan bahwa siklus daur hidup produksi CPO
memerlukan input berupa bahan baku TBS baik dari masyarakat dan TBS dari
kebun inti PT X, bahan tambahan seperti pupuk, herbisida, fungisida dan
insektisida, bahan kimia Al2(SO4)3, Na2CO3, PAC dan bio treatment 0168, air dan
sumber energi seperti steam (uap panas), listrik, solar dan bensin. Output yang
dihasilkan berupa produk utama yaitu CPO, limbah padat tankos, cangkang dan
fibre serta juga limbah cair, dan emisi ke udara, air dan tanah
Berdasarkan hasil analisis kajian LCA siklus daur hidup produksi CPO
diketahui bahwa 1 ton produksi CPO menghasilkan dampak lingkungan GWP,
asidifikasi dan eutrofikasi masing-masing sebesar 698,7 kg-CO2eq/ton-CPO; 2,68
kg-SO2eq/ton-CPO dan 1,18 kg-PO43-eq/ton-CPO. Sumber utama emisi (hotspot)
pada kategori dampak GWP, asidifikasi dan eutrofikasi adalah TBS masyarakat
pada subsistem proses produksi CPO, disusul dengan produksi steam pada
subsistem proses produksi CPO.
Rekomendasi skenario perbaikan diterapkan untuk mengurangi dampak
lingkungan yang dihasilkan. Skenario perbaikan pada subsistem proses perkebunan
yaitu mereduksi penggunaan pupuk NPK 12:12:17 dengan pupuk organik tankos
yang dapat menurunkan dampak GWP (30,02%), asidifikasi (27,39%) dan
eutrofikasi (33%). Skenario perbaikan pada subsistem pengolahan air limbah yaitu
dengan pemanfaatan limbah cair menjadi biogas (methane Capture), penerapan
skenario perbaikan ini dapat menurunkan dampak emisi GWP (60,86%), asidifikasi
(78,85%) dan eutrofikasi (95,98%). Skenario perbaikan pada subsistem pengolahan
air bersih yaitu dengan substitusi Al2(SO4)3 dengan PAC sebagai bahan kimia
penjernihan air, penerapan skenario perbaikan ini dapat menurunkan dampak emisi
GWP (30,12%), asidifikasi (59,81%) dan eutrofikasi (26,19%). Skenario perbaikan
pada subsistem proses CPO di industri yaitu dengan mereduksi listrik steam turbin
generator dengan listrik biogas limbah cair, penerapan skenario perbaikan ini dapat
menurunkan dampak GWP (27,81%), asidifikasi (25,82%) dan eutrofikasi (2,97%).

Kata kunci: asidifikasi, eutrofikasi, gwp, life cycle assessment, produksi cpo
SUMMARY
REKO RINALDO. Life Cycle Assessment of Crude Palm Oil (CPO) Production
(Case Study: PT X Bengkulu Province). Supervised by SUPRIHATIN and
MOHAMAD YANI.

Oil palm (Elaeis guinensis Jacq) is the leading commodity in the most widely
produced plantation sector in Indonesia. The development of Indonesia's oil palm
plantations has increased rapidly every year, in 2021 the area of oil palm plantations
in Bengkulu Province increased by 4,642 ha from the previous year's area. The
increase also occurred in the CPO production sector, Bengkulu Province recorded
that in 2021 CPO production increased to 30,052 tons of CPO from the total
production in 2020 of 1,063,404 tons of CPO. Oil palm plantation activities as well
as activities in industry and high CPO production can cause various problems with
environmental impacts such as waste, changes in the quality of water, soil, air, and
improvements to emissions. The environmental impact comes from the use of
material materials in the form of raw materials, additional materials in the form of
chemicals, the use of energy, and waste produced by process units.
The method that can be used to analyze the environmental impact is life cycle
assessment (LCA). LCA is a method for assessing the potential environmental
impact of a product or service system at all stages in the product lifecycle cycle.
The purpose of this LCA study is to identify the inputs used and outputs produced
from the stages of the CPO production life cycle; calculate the value of
environmental impacts resulting from the stages of the CPO production life cycle
as well as formulate improvement scenarios to reduce environmental impacts.
The stages of the LCA study are carried out based on SNI ISO 14040: 2016
framework, which consists of four stages, namely goal and scope definition,
inventory analysis, environmental impact analysis, and interpretation of results for
improvement efforts. The environmental impact studied consists of three categories,
namely GWP, acidification, and eutrophication using the SimaPro software CML-
IA baseline method. The scope limitation studied was cradle-to-gate, starting from
the subsystem of the plantation process including process units (seedling and seed
maintenance, maintenance of plant produces (TM), and transportation of industrial
FFB), CPO production process subsystems in industry, water treatment plan
subsystem, and wastewater treatment plan subsystem. Inventory analysis shows that
the CPO production life cycle requires inputs in the form of FFB raw materials both
from the community and FFB from PT X's core plantations, additives such as
fertilizers, herbicides, fungicides and insecticides, chemicals Al2(SO4)3, Na2CO3,
PAC and bio treatment 0168, water and energy sources such as steam (hot steam),
electricity, diesel, and gasoline. The output produced is in the form of main products,
namely CPO, solid waste empty fruit bunch, shells, and fiber as well as liquid waste,
and emissions to air, water and soil.
Based on the results of the analysis of the LCA study of the CPO production life
cycle, it is known that 1 ton of CPO production produces the environmental impacts of
GWP, acidification and eutrophication are 698,7 kg-CO2eq/ton-CPO; 2,68 kg-
SO2eq/ton-CPO dan 1,18 kg-PO43-eq/ton-CPO. The primary source of emission
(hotspot) in the category of GWP impact, acidification and eutrophication is
Community FFB in the CPO production process subsystem, followed by steam
production in the CPO production process subsystem.
Recommendations for improvement scenarios are implemented to reduce the
resulting environmental impact. The scenario for improvement in the plantation process
subsystem is replacing the use of NPK 12:12:17 fertilizer with EFB organic fertilizer
which can reduce the impact of GWP impact (30,02%), acidification (27,39%) and
eutrophication (33%). Improvement scenarios in the wastewater treatment plan
subsystem are by utilizing liquid waste into biogas (methane Capture), the
implementation of this improvement scenario can reduce the impact of GWP (60.86%),
acidification (78.85%) and eutrophication (95.98%). Scenarios of improvements to the
clean water treatment plan subsystem are by substituting Al2(SO4)3 with PAC as a water
purification chemical, the implementation of this improvement scenario can reduce the
impact of GWP (30.12%), acidification (59.81%) and eutrophication (26.19%).
Improvement scenarios in the CPO process subsystem in the industry is by reducing
steam turbine generator electricity with liquid waste biogas electricity, the application
of this improvement scenario can reduce the impact of GWP (27.81%), acidification
(25.82%) and eutrophication (2.97%).

Keywords: acidification, cpo production, eutrophication, global warming


© Hak Cipta milik IPB, tahun 2023
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
LIFE CYCLE ASSESSMENT PRODUKSI CRUDE PALM OIL
(CPO) (STUDI KASUS: PT X PROVINSI BENGKULU)

REKO RINALDO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Teknik pada
Program Studi Teknik Industri Pertanian

TEKNIK INDUSTRI PERTANIAN


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2023
Penguji pada Ujian Tesis:
Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti
Judul Tesis : Life Cycle Assessment Produksi Crude Palm Oil (CPO) (Studi Kasus:
PT X Provinsi Bengkulu)
Nama : Reko Rinaldo
NIM : F3501201005

Disetujui oleh

Pembimbing 1:
Prof. Dr. Ing. Ir. Suprihatin

Pembimbing 2:
Prof. Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Eng

Diketahui oleh

Ketua Program Studi:


Prof. Dr. Ir. Illah Sailah, MS __________________
NIP 19580521198112001
Dekan Fakultas Teknologi Pertanian:
Prof. Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr __________________
NIP 196105021986031002

Tanggal Ujian: 15 Desember 2022 Tanggal Lulus: 20 JAN 2023


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanaahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2021 sampai
Desember 2021 ini ialah penilaian dampak lingkungan, dengan judul “Life Cycle
Assessment Produksi Crude Palm Oil (CPO) (Studi Kasus: PT X Provinsi
Bengkulu”.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada Bapak Prof. Dr. Ing. Ir. Suprihatin selaku ketua komisi pembimbing dan
Bapak Prof. Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Eng selaku anggota komisi pembimbing
yang telah memberikan banyak bimbingan, arahan, saran, dan motivasi dalam
penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Dr.
Endang Warsiki, S.TP, M.Si selaku moderator seminar, Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi
Indrasti selaku Penguji Luar Komisi Pembimbing dan Prof. Dr. Eng. Taufik Djatna,
STP, MSi selaku moderator sidang tesis yang memberikan saran dan masukan
untuk penyempurnaan Tesis ini. Penulis juga mengungkapkan terima kasih dan
penghargaan kepada Bapak Imanuel Manurung selaku direktur utama PT X, Bapak
Nainggolan selaku staf KTU dari PT X, Bapak Rudy dari divisi perkebunan
afdeling 3 PT X, Bapak Antonius dari Mill Manager PT X dan Bapak Anton
Tumanggor dari staf lingkungan PT X yang telah memberikan kesempatan penulis
untuk melakukan penelitian dan membantu penulis selama penelitian di lapangan.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Siti Aminatu Zuhria dan Silmi
Azmi yang telah membantu memberi pemahaman terkait LCA maupun penggunaan
software SimaPro.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah Bairin S, Ibu
Witininsih, kakak Iis Gustin Herlena, Wiche Oktavia dan Rahma Safitri serta
seluruh keluarga besar yang telah memberikan motivasi, dukungan, semangat,
kasih sayang, dan senantiasa tanpa henti selalu mendoakan dalam setiap sujud dan
doanya. Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan Penghuni Sekretariat
Formatip TIP IPB, atas kebersamaan, semangat, doa, motivasi, serta diskusi berbagi
ilmu yang sangat membantu dalam menyelesaikan tesis ini. Teman-teman
seperjuangan Program Studi TIP IPB angkatan 2020 dan teman-teman
seperjuangan sesama penelitian LCA atas kebersamaan, semangat, doa, dan
dukungannya selama kuliah sampai penyelesaian tesis ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan dan
memberikan kontribusi bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Semoga Allah SWT
senantiasa memberkahi dan meridhoi nilai kebaikan ini. Aamiin.

Bogor, Januari 2023

Reko Rinaldo
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii


DAFTAR GAMBAR xiii
DAFTAR LAMPIRAN xiv
I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 3
1.4 Manfaat Penelitian 3
1.5 Ruang Lingkup Penelitian 3
II TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 Kelapa Sawit 4
2.2 Industri Kelapa Sawit 6
2.3 Crude Palm Oil (CPO) 8
2.4 Pengolahan Air Limbah Industri CPO 9
2.5 Pengolahan Air Bersih Industri CPO 10
2.6 Life Cycle Assessment (LCA) 11
2.7 Penelitian LCA Berbasis CPO 13
III METODE PENELITIAN 15
3.1 Kerangka Pemikiran 15
3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian 16
3.3 Jenis dan Sumber Data 16
3.4 Metode Pengumpulan Data 16
3.5 Tahapan Penelitian 17
3.6 Pengolahan dan Penyajian Data 19
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20
4.1 Gambaran Umum Industri 20
4.2 Penilaian Daur Hidup Produksi CPO 20
4.3 Tujuan dan Ruang Lingkup LCA CPO 34
4.4 Analisis Inventori (LCI) 35
4.5 Analisis Dampak (Impact Assessment) 43
4.6 Interpretasi Hasil LCA 56
V SIMPULAN DAN SARAN 62
5.1 Simpulan 62
5.2 Saran 62
DAFTAR PUSTAKA 63
LAMPIRAN 68
RIWAYAT HIDUP 72
DAFTAR TABEL

1 Luas areal dan status pengusahaan kelapa sawit Provinsi Bengkulu 5


2 Karakteristik limbah cair industri CPO 10
3 Penelitian terkait LCA berbasis CPO 14
4 Kriteria TBS yang Digunakan PT X 25
5 Karakteristik limbah cair industri CPO PT X 33
6 Kolam Pengolahan Limbah Cair di PT X 34
7 Data inventori subsistem perkebunan PT X tahun 2021 37
8 Data iventori subsistem proses produksi CPO tahun 2021 39
9 Data inventori subsistem pengolahan air bersih (WTP) 41
10 Data inventori subsistem pengolahan air limbah (WWTP) 42
11 Besaran nilai dampak perunit proses subsistem perkebunan 44
12 Perbandingan hasil penelitian nilai dampak perkebunan kelapa sawit 45
13 Besaran nilai dampak subsistem proses produksi CPO 46
14 Besaran nilai dampak input bahan subsistem proses produksi CPO 47
15 Perbandingan hasil penelitian nilai dampak proses CPO di industri 48
16 Besaran nilai dampak subsistem pengolahan air bersih 48
17 Besaran nilai dampak input bahan subsistem pengolahan air bersih 49
18 Besaran nilai dampak subsistem pengolahan air limbah 50
19 Perbandingan hasil penelitian nilai dampak pengolahan air limbah 50
20 Besaran nilai dampak 1 ton produksi CPO PT X 51
21 Nilai dampak GWP LCA produksi CPO berdasarkan sumber emisi 52
22 Nilai dampak asidifikasi LCA produksi CPO berdasarkan sumber emisi 53
23 Nilai dampak eutrofikasi LCA produksi CPO berdasarkan sumber emisi
55
24 Skenario perbaikan penurunan dampak Subsistem Perkebunan 58
25 Persentase pengurangan emisi dari penerapan methane capture 58
26 Perubahan besaran nilai dampak lingkungan dari pemanfaatan POME 59
27 Perbandingan emisi yang dihasilkan dari bahan kimia penjernihan air 60
28 Persentase nilai dampak lingkungan dari substitusi Al 2(SO4)3 dengan
PAC 60
29 Perubahan besaran nilai dampak lingkungan dari mereduksi listrik
Steam turbin generator dengan listrik biogas POME 61

DAFTAR GAMBAR

1 Tanaman kelapa sawit (Elaeis Guinensis Jacq) 4


2 Bagian buah kelapa sawit (Nugroho 2019) 6
3 Pohon industri kelapa sawit (Azahari 2018) 8
4 Tahapan LCA (ISO 14040 2016) 13
5 Kerangka pemikiran penelitian 15
6 PT X Provinsi Bengkulu 20
7 Batasan sistem penelitian LCA produksi CPO 35
8 Neraca massa subsistem proses perkebunan kelapa sawit 38
9 Neraca massa subsistem proses produksi CPO 40
10 Neraca massa subsistem pengolahan air bersih (WTP) 41
11 Neraca massa subsistem pengolahan air limbah (WWTP) 42
12 Kontribusi relatif emisi GWP, asidifikasi dan eutrofikasi perunit proses
subsistem perkebunan 45
13 Persentase jenis polutan penyebab GWP LCA produksi CPO 52
14 Persentase jenis polutan penyebab asidifikasi daur hidup produksi CPO 54
15 Persentase jenis polutan penyebab eutrofikasi daur hidup produksi CPO 56
16 Persentase kontribusi setiap subsistem terhadap dampak lingkungan 56

DAFTAR LAMPIRAN
1 Diagram hasil nilai dampak subsistem perkebunan kelapa sawit 69
2 Diagram hasil nilai dampak subsistem proses produksi CPO 70
3 Diagram hasil nilai dampak subsistem pengolahan air bersih (WTP) 72
4 Diagram hasil nilai dampak subsistem pengolahan air limbah 74
5 Kategori Dampak LCA Produksi CPO 76
1

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq) merupakan salah satu komoditas
unggulan di sektor perkebunan yang memiliki beragam manfaat dan yang paling
banyak diproduksi di Indonesia. Konsumsi minyak sawit dunia dari tahun ke tahun
terus menunjukkan tren yang meningkat. Pertumbuhan akan permintaan CPO dunia
dalam lima tahun terakhir, rata-rata tumbuh sebesar 9,92 persen (Masykur 2013).
Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia mengalami peningkatan
pesat. Bengkulu merupakan salah satu provinsi dengan luas lahan perkebunan
kelapa sawit terbesar di Indonesia, tahun 2021 luas areal perkebunan kelapa sawit
Provinsi Bengkulu meningkat 4.642 ha dari luas areal tahun sebelumnya.
Peningkatan juga terjadi di sektor produksi CPO, Provinsi Bengkulu mencatatkan
tahun 2021 produksi CPO naik menjadi 30.052 ton CPO dari total produksi tahun
2020 sebesar 1.063.404 ton CPO (DITJENBUN 2022). Peningkatan luas lahan dan
produksi CPO dapat menimbulkan berbagai permasalahan terhadap dampak
lingkungan seperti limbah, perubahan kualitas air, tanah, udara, serta peningkatan
terhadap emisi.
PT X merupakan salah satu industri produksi CPO dengan kapasitas
produksi 30 ton TBS/jam. Aktivitas kegiatan industri mulai dari proses budidaya
kelapa sawit, pemupukan serta perawatan di kebun, proses pengolahan CPO di
industri, penggunaan energi, listrik, air bersih, pengolahan limbah dan lainnya
memiliki potensi yang berdampak terhadap lingkungan. Kegiatan proses
produksinya memerlukan beberapa bahan atau material yang bisa menghasilkan
dampak terhadap lingkungan serta peningkatan terhadap emisi (Nugroho 2014).
RSPO (2009) menyebutkan bahwa total dampak pemanasan global (GWP) per satu
ton minyak sawit (CPO) yaitu 3.930 – 30.240 kg-CO2-eq/ton CPO. Suprihatin et al.
(2015) menyebutkan bahwa GWP salah satu perusahaan sawit di Indonesia yaitu
1.500 kg-CO2-eq/ton CPO. Hal ini menandakan bahwa perhitungan GWP berbeda
di setiap tempat dan kondisi industri. Besarnya dampak lingkungan dari proses
produksi CPO PT X Provinsi Bengkulu perlu diketahui. Pendekatan metode yang
dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan menganalisa dampak lingkungan
adalah dengan metode Life Cycle Assessment (LCA).
LCA adalah metode untuk menilai potensi dampak lingkungan dari sistem
produk atau jasa pada semua tahap dalam siklus hidup mulai dari ekstraksi sumber
daya, kegiatan produksi hingga daur ulang atau pembuangan akhir. Seluruh sistem
unit yang diproses termasuk dalam siklus hidup produk yang disebut dengan sistem
produk (Hidayatno et al. 2011). Metode LCA membutuhkan beberapa data
diantaranya data input dan data output secara lengkap meliputi data bahan baku,
proses produksi, distribusi, transportasi, konsumsi, hasil samping, dan dampak
lingkungan. Metode LCA terdiri atas empat fase, yaitu penentuan tujuan dan ruang
lingkup, analisis inventori, analisis dampak dan interpretasi hasil (ISO 14040 2016).
Metode LCA mampu mengidentifikasi, menghitung keberlanjutan penggunaan
sumber daya alam, pembuangan beban pencemaran pada lingkungan serta
mengevaluasi dan menerapkan kemungkinan perbaikan lingkungan.
Kajian LCA industri minyak sawit mentah (CPO) telah dilakukan dengan
fokus pada efisiensi energi dan emisi gas rumah kaca Suprihatin et al. (2015) kajian
2

dilakukan didua kasus pabrik kelapa sawit atau palm oil mill (POM). Hasil
menunjukkan dampak GWP dalam kasus POM 1 dan kasus POM 2 masing-masing
adalah 1463 dan 624 kg-CO2-eq/ton CPO. Peluang yang paling potensial untuk
meningkatkan efisiensi energi dan mengurangi emisi adalah pemanfaatan biogas
dari proses dekomposisi anaerobik air limbah sebagai sumber energi pembangkit
listrik. Skenario ini dapat mengurangi emisi sekitar 970 kg-CO2- eq/ ton CPO (POM
2) menghasilkan peningkatan NER dan NEV hingga 5,7 dan NEV hingga 33,83 GJ
/ ton CPO. Peningkatan lebih lanjut dari proses produksi CPO dapat dicapai melalui
integrasi perkebunan kelapa sawit dengan peternakan sapi dan pemanfaatan limbah
padat sebagai pupuk organik.
Harimurti et al. (2021) mengevaluasi sumber utama emisi gas rumah kaca
yang ditimbulkan untuk menghasilkan TBS pada setiap klasifikasi umur dari fase
tanaman belum menghasilkan (TBM) (umur tanaman 0-3 tahun) hingga tanaman
menghasilkan (TM) (umur tanaman 3-20 tahun). Aktivitas yang dilakukan untuk
menghasilkan TBS meliputi aktivitas pemeliharaan tanaman, pemupukan, panen
dan transportasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak GWP yang
ditimbulkan dalam kegiatan perkebunan kelapa sawit selama 1 siklus berbeda-beda.
Dampak GWP yang ditimbulkan pada fase TM (umur tanaman >3 tahun) menjadi
yang terbesar dengan rata-rata 1887,64 kg-CO2-eq/Ha, sementara dampak GWP
pada fase TBM (umur tanaman 0-3 tahun) sebesar 989,63 kg-CO2-eq/Ha. Sumber
terbesar penyumbang emisi berasal dari kegiatan pemupukan. Pada fase TM,
kegiatan pemupukan menyumbang GWP sebesar 920,22 kg-CO2-eq/Ha dengan
jenis pupuk paling dominan adalah pupuk urea dan MOP yaitu sebesar 369,67 kg-
CO2-eq/Ha dan 179,56 kg-CO2-eq /Ha.
Berdasarkan uraian diatas Metode LCA dapat menilai aspek lingkungan
pada keberlanjutan suatu produk. Penelitian LCA pada industri produksi CPO di
Provinsi Bengkulu perlu dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengurangi
dampak lingkungan yang ditimbulkan dari proses budidaya kelapa sawit, proses
produksi CPO di industri, pengolahan air bersih dan pengolahan air limbah,
sehingga proses produksi yang dilakukan menjadi ramah lingkungan. Hasil
penelitian ini diharapkan bisa digunakan sebagai pembanding pada penelitian
kajian LCA pada produksi CPO dan memberikan manfaat bagi pelaku industri
untuk mengelola lingkungan, serta mampu mewujudkan industri produksi CPO
yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

1.2 Perumusan Masalah


Industri kelapa sawit memerlukan bahan baku, bahan tambahan dan energi
untuk menghasilkan produk CPO. Siklus hidup proses produksi CPO menghasilkan
dampak lingkungan, dimulai dari aktivitas budidaya tanaman kelapa sawit, proses
produksi di industri, pengolahan air bersih, pengolahan air limbah dan lainnya.
Output berupa CPO, limbah dan emisi yang ditimbulkan berpengaruh terhadap
bahan dan sumber energi yang digunakan. Berdasarkan hal tersebut, maka
dilakukan penelitian menggunakan metode LCA untuk mengetahui kebutuhan
bahan baku, bahan tambahan dan energi, emisi dan limbah yang dihasilkan, serta
mengidentifikasi potensi dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan dalam
tahapan proses produksi CPO. Kajian LCA yang digunakan dalam penelitian ini
juga diharapkan dapat memberikan rekomendasi perbaikan dan menjadi solusi
3

dalam penurunan emisi dan dampak lingkungan yang dihasilkan dari siklus hidup
proses produksi CPO.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas maka dapat dirumuskan beberapa
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apa saja input dan output yang dihasilkan dari tahapan siklus hidup proses
produksi CPO?
2. Berapa nilai dampak lingkungan yang dihasilkan dari tahapan siklus hidup
proses produksi CPO?
3. Apa saja rekomendasi skenario perbaikan yang dapat diterapkan untuk
menurunkan dampak lingkungan pada siklus hidup proses produksi CPO?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis daur hidup produksi
CPO menggunakan metode Life Cycle Assessment (LCA) dengan persepktif cradle
to gate. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi input (sumber daya) yang digunakan dan output (produk,
produk samping, limbah dan emisi) yang dihasilkan dari tahapan siklus hidup
proses produksi CPO.
2. Menghitung nilai dampak lingkungan yang dihasilkan dari tahapan siklus
hidup proses produksi CPO.
3. Menentukan alternatif rekomendasi perbaikan untuk mengoptimalkan proses
produksi dan mengurangi dampak lingkungan yang dihasilkan.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan informasi dan gambaran
mengenai LCA proses produksi CPO dan dapat dijadikan sebagai pembanding
dengan kajian LCA berbasis proses produksi CPO yang lainnya. Hasil perhitungan
LCA yang didapat dapat memberikan informasi kepada industri yang bersangkutan
mengenai input dan output dari proses produksinya serta dampak yang ditimbulkan
terhadap lingkungan dan perbaikan yang bisa dilakukan agar proses produksi
menjadi lebih optimal dan mengurangi kerusakan lingkungan. Hasil perhitungan
LCA dapat digunakan sebagai acuan untuk perbaikan penilaian proper.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini dibatasi mulai dari proses perkebunan meliputi (pembibitan dan
pemeliharaan bibit, pemeliharaan TM, panen dan transportasi ke industri),
proses produksi CPO di industri, proses pengolahan air bersih dan proses
pengolahan air limbah.
2. Kategori dampak lingkungan yang dikaji yaitu GWP, asidifikasi dan
eutrofikasi.
3. Perumusan rekomendasi skenario perbaikan didasarkan pada hasil kajian LCA
yang sudah dilakukan dan menggunakan metode studi literatur dari beberapa
penelitian terdahulu.
4. Perhitungan dampak lingkungan dilakukan dengan menggunakan software
SimaPro versi 9.3.0.3 Faculty metode CML 2001-IA baseline V3.06.
4

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelapa Sawit


Kelapa sawit (Elaeis Guinensis Jacq) merupakan tumbuhan tropis golongan
plasma yang termasuk tanaman tahunan. Kelapa sawit menjadi spesies tanaman dan
komoditas penting di Indonesia sebagai salah satu sumber bahan baku minyak
nabati dan sumber penghasil devisa bagi Negara terbesar di sektor nonmigas.
Kelapa sawit merupakan tanaman yang berasal dari Nigeria, Afrika Barat. Tanaman
ini berkeping satu yang termasuk family palmae, genus elais berasal dari bahasa
Yunani, sedangkan nama spesies gunensis berasal dari kata guinea, yaitu tempat
dimana seorang ahli bernama Jacquin menanam tanaman kelapa sawit pertama kali
di pantai Guinea (Nugroho 2019). Tanaman kelapa sawit tersebar di sepanjang
daerah tropis, terutama di kawasan yang terletak Antara 15 o lintang utara sampai
15o lintang selatan dengan suhu rata-rata 24 oC sampai 30 oC, dimana fluktuasi suhu
kurang dari 10 oC. Tanaman kelapa sawit menghendaki keadaan topografi
berbentuk dataran landai, dengan ketinggian sampai sekitar 500 m di atas
permukaan laut, pH tanah sekitar 4 – 6. Curah hujan yang diperlukan berkisar 2000
mm sampai 3000 mm per tahun. Kelapa sawit dapat tumbuh tegak lurus mencapai
ketinggian Antara 15 meter – 20 m. Tanaman kelapa sawit dapat dilihat pada
Gambar 1.

Gambar 1. Tanaman kelapa sawit (Elaeis Guinensis Jacq)

Perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang di 22 provinsi dari 33


provinsi di Indonesia. Dua pulau utama sentra perkebunan kelapa sawit di Indonesia
adalah Sumatra dan Kalimantan. Sekitar 90% perkebunan kelapa sawit di Indonesia
berada di kedua pulau sawit tersebut, dan kedua pulau itu menghasilkan 95%
produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia (Purba dan Sipayung 2017).
Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2022) perkebunan Indonesia tentang
kelapa sawit pada tahun 2019 sampai 2021 luas areal status pengusahan Provinsi
Bengkulu dapat dilihat pada Tabel 1.
5

Tabel 1. Luas areal dan status pengusahaan kelapa sawit Provinsi Bengkulu
Perkebunan Rakyat Perkebunan Negara Perkebunan Swasta Jumlah
Tahun Luas Produksi Luas Produksi Luas Produksi Luas Produksi
(ha) (Ton) (ha) (Ton) (ha) (Ton) (ha) (Ton)
2019 209.178 748.222 829 1.769 100.665 282.066 310.627 1.032.056
2020 211.979 757.879 830 1.209 112.442 304.316 325.251 1.063.404
2021 214.816 778.540 845 1.238 114.231 313.678 329.893 1.093.456

Data peningkatan luas areal dan produksi kelapa sawit Provinsi Bengkulu
memberikan gambaran bahwa kelapa sawit merupakan anugrah untuk rakyat dan
bangsa Indonesia, karena dengan kesesuaian iklim dan lahan, kelapa sawit dapat
tumbuh dan ditanam hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Varietas tanaman kelapa sawit dapat dibedakan berdasarkan tebal cangkang
atau tempurung dan daging buah, rendemen minyak serta warna kulit buahnya.
Berdasarkan ketebalan cangkang/tempurung dan daging buah varietas kelapa sawit
dibedakan menjadi varietas dura, pasifera dan tenera. Setiap jenis kelapa sawit
memiliki keunggulan yang berbeda-beda terhadap lingkungan dan perlakuan tanam.
Kelapa sawit jenis Tenera memiliki kemampuan yang luas terhadap media tanam
yang digunakan dibandingkan dengan jenis Dura dan Pasifera (Sirait et al. 2021).
Taksonomi dari tanaman kelapa sawit adalah sebagai berikut:
Divisi : Embryophyta Siphonagama
Kelas : Angiospermae
Ordo : Monocotyledoneae
Famili : Aracaceae
Subfamili : Cocoideae
Genus : Elaeis
Spesies : Elaeis gueineensis jacq
Nugroho (2019) menyebutkan buah kelapa sawit pada dasarnya terdiri dari
empat bagian utama, yaitu eksokarp, mesokarp, endokarp, dan endosperma.
Eksokarp merupakan bagian terluar dari buah kelapa sawit yang berupa kulit buah
yang bertekstur licin dan berwarna merah jingga pada buah yang matang. Mesokarp
adalah bagian penting dari buah kelapa sawit, karena bagian inilah sebagian besar
minyak (CPO) tersimpan, bagian ini adalah daging buah yang berserabut dan
berwarna kuning terang. Sementara itu, endokarp adalah bagian lebih dalam setelah
mesokarp yang berupa cangkang atau tempurung yang melindungi bagian dalam
yang berupa inti sawit atau kernel (endosperm). Pada kernel inilah embrio sawit
berada, yang mana merupakan bagian yang menghasilkan minyak inti sawit (PKO).
Gambar bagian buah kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 2.
6

Gambar 2. Bagian buah kelapa sawit (Nugroho 2019)

Kelapa sawit mulai berbuah setelah 2,5 tahun dan masak 5,5 bulan setelah
penyerbukan. Kelapa sawit dapat dipanen jika tanaman telah berumur 31 bulan,
sedikitnya 60% buah telah matang panen, dari 5 pohon terdapat 1 tandan buah
matang panen. Suhatman et al. (2016) menyatakan kelapa sawit berbuah ditandai
dengan ciri-ciri morfologi tanaman diameter batang 50 dan 100 cm dari atas tanah
sebesar 62 – 74 cm dan 56 – 68 cm, jumlah pelepah 40 – 56 pelepah/tanaman,
memiliki bunga jantan & bunga betina suhu minimum 20, 10 oC dan suhu
maksimum 28, 90 oC. sedangkan kelapa sawit tidak berbuah ditandai dengan ciri-
ciri morfologi tanaman diameter batang 50 dan 100 cm dari atas tanah sebesar 56 –
65 cm dan 46 – 56 cm jumlah pelepah 5 – 9, tidak memiliki bunga jantan dan bunga
betina dan suhu minimum 19, 70 oC, suhu maksimum 30, 60 oC.

2.2 Industri Kelapa Sawit


Pengolahan tandan buah segar di industri bertujuan untuk memperoleh
minyak kelapa sawit (CPO) yang berkualitas baik. TBS dari hasil pemanenan harus
segera diangkut ke industri untuk diolah lebih lanjut, sebab kandungan asam lemak
pada buah yang tidak segera diolah akan semakin meningkat. Untuk menghindari
hal tersebut TBS harus diolah maksimal delapan jam setelah panen. Pembangunan
industri kelapa sawit selain bermanfaat dalam bidang ekonomi, industri ini juga
menghasilkan limbah dalam jumlah yang besar (Ji et al. 2013). Proses pengolahan
minyak kelapa sawit menghasilkan limbah padat, cair dan gas. Limbah yang
dihasilkan dari proses pengolahan akan menimbulkan dampak negatif bagi
lingkungan, baik kuantitas sumber daya alam, kualitas sumber daya alam, maupun
lingkungan hidup (Susilawati dan Supijatno 2015).
Limbah padat yang dihasilkan antara lain limbah tandan kosong, cangkang
atau fiber, abu boiler, solid decanter, sampah loading ramp dan shell. Limbah cair
merupakan sisa dari proses pembuatan minyak kelapa sawit berbentuk cair yang
disebut POME (palm oil mill effluent). Sedangkan limbah gas berasal dari gas
buangan pabrik kelapa sawit pada proses produksi CPO. Masalah lingkungan telah
menjadi isu global, termasuk dalam lingkungan industri kelapa sawit. Diperkirakan
pabrik kelapa sawit telah menciptakan masalah lingkungan karena besarnya bahan
limbah tercemar yang dibuang ke lingkungan (Roslan et al. 2014). Industri kelapa
sawit menghasilkan sekitar 0,6 – 1 m3 POME untuk setiap ton TBS yang diolah.
POME yang baru dihasilkan umumnya panas (suhu 60 oC – 80 oC), bersifat asam
(pH 3,4 – 4,6), larutan kental, berwarna kecoklatan dengan kandungan padatan,
minyak dan lemak, chemical oxygen demand (COD), dan biological oxygen
7

demand (BOD) yang tinggi. POME mengandung sejumlah besar nitrogen, fosfat,
kalium, magnesium, dan kalsium. POME akan memproduksi gas metan (CH 4) yang
merupakan salah satu sumber GRK yang berdampak pada pemanan global (Wijono
2017). Industri kelapa sawit membutuhkan air bersih baik untuk air proses maupun
sebagai air umpan boiler, pengolahan air pada industri kelapa sawit untuk
memenuhi kualitas air umpan boiler yang di syaratkan untuk mencegah terjadinya
kerak, korosiden deposit pada boiler. Air baku yang digunakan pada industri kelapa
sawit bersumber dari waduk, sungai, dan kolam penampungan air hujan. Sektor
industri saat ini dituntut untuk lebih serius dalam memperhatikan dampak
lingkungan akibat aktivitasnya. Hal ini seiring bertambah buruknya kualitas
lingkungan baik itu udara, air, tanah, dan sebagainya. Indonesia memiliki bahan
baku yang melimpah, namun perkembangan industri kelapa sawit Indonesia masih
kalah dibandingkan dengan Malaysia yang kapasitas produksinya mencapai dua
kali lipat dari Indonesia. Sebagai gambaran, Indonesia menguasai 6 juta metrik ton
per tahun (12%), sedangkan Malaysia menguasai sekitar 9,3 jutra metrik ton
(18,6%) permintaan oleochemical dunia. Industri hilir Malaysia mampu mengolah
CPO menjadi lebih dari 120 jenis produk bernilai tambah tinggi, sedangkan
Indonesia baru mencapai 47 produk turunan CPO (Azahari 2018). Kebijakan
hilirisasi kelapa sawit diharapkan dapat memberi manfaat dalam peningkatan
pendapatan petani dan pelaku usaha, menciptakan nilai tambah di dalam negeri,
penyerapan tenaga kerja, pengembangan kawasan industri, proses alih teknologi,
dan untuk ekspor dalam bentuk produk olahan sebagai penghasil devisa.
Hambali (2005) menyatakan, dari segi nilai tambah, semakin jauh
diversifikasi produk dilakukan akan memberikan nilai tambah yang semakin
banyak dan beragam sehingga dampaknya sangat signifikan. Produk tingkat
pertama kelapa sawit berupa CPO akan memberikan nilai tambah sekitar 30% dari
nilai tandan buah segar (TBS). Pengolahan selanjutnya akan memberikan masing-
masing nilai tambah berbasis TBS sebagai berikut: minyak goreng (50%), asam
lemak/fatty acid (100%), ester (150 – 200%), surfaktan atau emulsifier (300 –
400%), dan kosmetik (600 - 1000%). Pohon industri turunan minyak kelapa sawit
dapat dilihat pada Gambar 3.
8

Gambar 3. Pohon industri kelapa sawit (Azahari 2018)

2.3 Crude Palm Oil (CPO)


Minyak sawit (CPO) yang diekstrak dari bagian mesokarp buah tanaman
kelapa sawit mengandung senyawa fitonutrien meliputi karoten 500-700 ppm,
tokoferol 500-600 ppm, tokotrienol 1000-1200 ppm, fitosterol 326-527 ppm,
fosfolipid 5-130 ppm, squalene 200-500 ppm, ubiquinone 10-80 ppm, alifatik
alkohol 100-200 ppm, triterpen alkohol 40-80 ppm, metil sterol 40-80 ppm dan
alifatik hidrokarbon 50 ppm (Mba et al. 2018). Pignitter et al. (2016) menyatakan
senyawa fitonutrien bermanfaat untuk kesehatan seperti karoten (pro-vitamin A)
berfungsi untuk mengurangi radikal bebas yang ada ditubuh manusia. Tokoferol
dan tokotrienol (vitamin E) memiliki aktivitas sebagai hypochloesterolemic, anti-
inflamatory, antikanker, antioksidan, neuroprotective, proteksi kulit dan kesehatan
tulang (Qureshi et al. 2018). Namun, senyawa fitonutrien terdegradasi selama
pengolahan minyak sawit menjadi minyak goreng. Selain minyak sawit (CPO),
buah tanaman kelapa sawit juga menghasilkan minyak inti sawit yang diperoleh
dari bagian inti sawit. Minyak ini mengandung asam laurat tinggi, berbentuk cair
pada suhu ruang dan berwarna kuning kecokelatan. Minyak inti sawit memiliki
karakteristik yang mirip dengan minyak kelapa.
9

CPO sebagai produk hasil ekstraksi buah kelapa sawit tentu saja memiliki
karakter yang identik dengan produk hasil pertanian lainnya. CPO dengan
komponen utama berupa trigliserida mudah mengalami degradasi mutu melalui
adanya reaksi hidrolisis yang menyebabkan terurainya trigliserida menjadi asam
lemak bebas (free fatty acid) yang dicirikan dengan munculnya aroma tengik.
Selain hidrolisis juga dapat terjadi reaksi oksidasi pada ikatan rangkap asam lemak
yang menyebabkan berubahnya komposisi asam lemak dari CPO (Nugroho 2019).
Produk minyak kelapa sawit sebagai bahan baku makanan mempunyai dua aspek
kualitas. Aspek pertama berhubungan dengan kadar dan kualitas asam lemak,
kelembaban dan kadar kotoran. Aspek kedua berhubungan dengan rasa, aroma dan
kejernihan serta kemurnian produk. Kelapa sawit bermutu prima SQ (Special
quality) mengandung asam lemak FFA (Free fatty acid) tidak lebih dari 2% pada
saat pengapalan. Kualitas standar minyak kelapa sawit mengandung tidak lebih dari
5% FFA, setelah pengolahan kelapa sawit bermutu akan menghasilkan rendemen
minyak 22,1% - 22,2% (tertinggi) dan kadar asam lemak bebas 1,7% - 2,1%
(terendah).

2.4 Pengolahan Air Limbah Industri CPO


Industri CPO tergolong industri yang menghasilkan limbah padat dan
limbah cair dalam jumlah besar dengan kandungan bahan organik tinggi.
Karakteristik limbah cair yang dihasilkan industri CPO bervariasi tergantung pada
karakteristik bahan baku, jenis teknologi proses, praktek operasi dan pemeliharaan
pabrik. Nasution et al. (2018) menyatakan, setiap ton TBS akan menghasilkan
limbah cair sekitar 0,75-0,9 m3 atau setiap ton CPO menghasilkan 3,33 ton limbah
cair. Satu unit industri CPO berkapasitas olah 60 ton TBS/jam menghasilkan limbah
cair sebanyak 45-54 m3. Limbah cair industri CPO mengandung bahan organik
seperti minyak/lemak, karbohidrat, serat dan padatan tersuspensi. Mahajoeno et al.
(2008) melaporkan hasil analisis limbah cair pabrik kelapa sawit menunjukkan
bahwa limbah cair industri kelapa sawit memiliki nilai pH 4,4 – 5,4, COD 49,0 –
63,6 g/L, BOD 23,5 – 29,3 g/L, total padatan 26,5 – 45,4 g/L dan padatan terlarut
17,1 – 35,9 g/L. Limbah cair ini juga mengandung unsur hara (N, P dan K) terlarut
dalam konsentrasi cukup tinggi. Tabel 2 menunjukkan karakteristik limbah cair
industri CPO dari berbagai sumber.
10

Tabel 2. Karakteristik limbah cair industri CPO


Nilai, dalam mg/L kecuali pH
Parameter GTZ (1997) Morad et al. (2008) Mahajoeno et al.
(2008)
pH - 4,7 4,4 – 5,4
Minyak dan 8000 4000 -
lemak
BOD 30000 25000 23500 – 29300
COD 90000 50000 49000 – 63600
Total solid (TS) - 40500 26500 – 45400
Total suspended 34000 18000
solid (TSS)
Padatan terlarut - - 17100 – 35900
Total Nitrogen 200 – 1000 750 -
(N)
Fosfor (P) 100 – 300 - -
Kalium (K) 2000 - -
Magnesium (Mg) 500 - -

Limbah cair yang dihasilkan industri CPO berasal dari air kondensat, air
cucian pabrik, air hidrocyclone atau claybath. Limbah cair tersebut berasal dari
beberapa sumber, meliputi; a) Hasil kondensasi uap air pada unit pelumatan
(digester) dan unit pengempaan (pressure), b) Kondensat dari depericarper, yaitu
untuk memisahkan sisa minyak yang terikut bersama batok/cangkang, c) Hasil
kondensasi uap air pada unit penampung biji/inti, d) Kondensasi uap air yang
berada pada unit penampung atau penyimpan inti, e) Penambahan air pada
hydrocyclone yang bertujuan mempermudah pemisahan serat dari cangkang, dan f)
Penambahan air panas dari saringan getar, yaitu untuk memisahkan sisa minyak
dari ampas (Agustina et al. 2008). Limbah cair selama ini ditangani hanya dengan
cara relatif sederhana, yaitu dengan mengalirkan dan membiarkan terdekomposisi
di dalam sistem kolam (pond system). Di dalam sistem ini, bahan organik sebagian
besar terdegrasi secara anaerobik dan menyebabkan bau busuk serta menimbulkan
emisi gas metana. Emisi metana berkontribusi terhadap pemanasan global karena
merupakan GRK dengan kekuatan 20 - 30 kali lebih kuat dibandingkan dengan gas
karbon dioksida.

2.5 Pengolahan Air Bersih Industri CPO


Kebutuhan air untuk seluruh kegiatan industri CPO sama dengan banyaknya
tandan buah segar (TBS) yang diolah, namun tidak 100% air digunakan untuk
kegiatan operasional. Sebanyak 60% – 65% air digunakan untuk kebutuhan boiler
menghasilkan steam, 20% – 24% air digunakan sebagai pengencer dalam
operasional (biasanya hanya 10% – 15%, sisanya didapatkan dari air kondensat),
5% – 10% air digunakan untuk keperluan regenerasi softener/demint plant dan
sisanya untuk keperluan domestik (Rahardja 2019). Berdasarkan kegunaannya, air
digolongkan menjadi 4 golongan yaitu (1) air untuk keperluan pertanian sekaligus
usaha perkotaan, industri, pembangkit listrik, (2) air untuk keperluan perikanan dan
peternakan, (3) air baku untuk diolah sebagai air minum dan kebutuhan rumah
tangga, dan (4) air yang diminum secara langsung. Dari keempat jenis air, air bersih
11

yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan manusia adalah jenis air baku yang
diolah sebagai air minum dan kebutuhan rumah tangga.
Industri CPO memiliki dua stasiun yang mendukung keberhasilan dalam
pengolahan yaitu stasiun utama dan stasiun pendukung. Stasiun utama adalah
stasiun pengolahan air yang akan digunakan untuk proses pengolahan TBS, dari
mulai diterima hingga menjadi crude palm oil (CPO) dan palm kernel (PK). Stasiun
pendukung juga sangat berperan penting dalam keberhasilan pengolahan karena
steam yang digunakan berasal dari air dan air pada pengolahan harus memiliki
standar mutu yang sesuai dengan parameter baku mutu air pada proses pengolahan
(Pahan 2013). Instalasi pengolahan air di PKS terdiri dari external water treatment
dan internal water treatment. External water treatment digunakan untuk
menjernihkan air baku, yakni menghilangkan padatan-padatan tersuspensi (tanah,
pasir, dan lumpur) dengan cara diendapkan dan disaring. Sementara, internal water
treatment digunakan untuk mengikat padatan-padatan terlarut (Ca2+; Mg2+; SO42-)
dan gas terlarut (O2; H2S; dll). Pengolahan untuk air permukaan lebih
dititikberatkan di eksternal water treatment, sedangkan air tanah di internal water
treatment. Proses koagulasi-flokulasi-sedimentasi di clarifier tank dan filtrasi
adalah proses yang biasa digunakan pada external water treatment dalam proses
pengolahan minyak kelapa sawit (Schutte 2006).

2.6 Life Cycle Assessment (LCA)


Drive (2006) menyatakan life cycle assessment (LCA) atau penilaian siklus
hidup merupakan metode yang digunakan untuk mengevaluasi akibat jangka
panjang dan jangka pendek terhadap lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas
produksi dan siklus hidup produk. Produk yang dimaksud dapat terdiri dari barang
dan jasa. LCA memiliki sebuah siklus yang dapat dimulai dari kegiatan ekstrasi
bahan mentah, proses produksi, transportasi, operasi dan sampai pada proses daur
ulang (Finnveden et al. 2009). Siklus hidup suatu produk dimulai dari bahan baku
yang diambil dari alam, diproses di pabrik, digunakan oleh konsumen sampai
menjadi limbah yang dibuang kembali ke alam. Pada setiap tahapan siklus hidup
akan mengkonsumsi sumber daya dan menghasilkan emisi atau limbah, dan
dampak lingkungan tiap tahapan dalam siklus hidup produk tersebut perlu diketahui.
Tahun 2006 telah diterbitkan dua standar baru yang berkaitan dengan LCA
yaitu ISO 14040 dan ISO 14044. Kedua standar ini menggantikan empat standar
yang telah ada sebelumnya yaitu ISO 14040:1997, ISO 14041:1999, ISO
14042:2000 dan ISO 14043:2000 (Finkbeiner et al. 2006). ISO 14040 (2016)
menyebutkan bahwa LCA membahas aspek lingkungan dan dampak lingkungan
potensial (misalnya penggunaan sumber daya dan konsekuensi lingkungan dari
lepasan) sepanjang daur hidup produk dari akuisisi bahan baku, produksi,
penggunaan, pengolahan akhir, daur ulang dan pembuangan akhir (yaitu cradle-to-
grave). Metode LCA dilakukan dengan melakukan identifikasi secara kuantitatif
dari semua aliran input dan output dari sistem terhadap lingkungan dalam setiap
tahap daur hidup (life cycle). LCA dapat digunakan untuk menangani dampak
lingkungaan dari produk, proses, atau aktifitas dalam seluruh siklus hidup mulai
dari ekstraksi material mentah, pemrosesan, transportasi, penggunaaan, dan
pembuangan akhir. Megasari et al. (2008) menyebutkan manfaat penerapan konsep
LCA adalah sebagai berikut:
12

1. Perbaikan produk: LCA dapat mengidentifikasi pilihan biaya paling efisien dan
efektif bagi pengurangan dampak lingkungan dari produk atau jasa. Perbaikan
ini dapat membuat produk lebih diinginkan oleh konsumen.
2. Perbaikan proses: LCA dapat diterapkan untuk mengevaluasi operasi atau
proses produksi perusahaan. Hal ini merupakan metode yang berguna untuk
menghitung sumberdaya dan penggunaan energi. Manfaat LCA dapat
menawarkan pilihan bagi perbaikan efisiensi seperti meminimalkan limbah,
penggunaan sumberdaya lebih sedikit, dan memperbaiki kualitas proses.
3. Perencanaan strategis: LCA dapat digunakan sebagai perencanaan strategis.
Jika peraturan lingkungan dan harapan lingkungan meningkat, akan
mengakibatkan peningkatan tekanan terhadap perusahaan untuk memperbaiki
kinerja operasinya.
Berdasarkan Principles and Framework LCA pada SNI ISO 14040 (2016)
ada empat tahapan dalam kajian LCA yaitu:
1. Tahap definisi tujan dan ruang lingkup, yaitu ruang lingkup dalam LCA
termasuk batasan sistem dan tingkat perincian dari LCA yang disesuaikan pada
subjek dan tujuan pemanfaatan dari kajian tersebut, Hal penting yang harus
diperhatikan dalam tahap ini yaitu: tujuan penelitian, produk yang akan
dianalisis, dan ruang lingkup penelitian.
2. Tahap analisis inventori, yaitu mencakup pengumpulan data yang diperlukan
sesuai batasan sistem yang sedang dikaji untuk mencapai tujuan dari kajian
yang ditetapkan, terdapat empat subtahap dalam analisis inventori, yaitu: a)
membuat diagram alir proses atau pohon proses, b) mengumpulkan data, c)
menghubungkan data ke unit fungsional yang dipilih (alokasi), dan d)
mengembangkan keseimbangan seluruh energi dan materi (semua input dan
output dalam suatu siklus hidup).
3. Tahap penilaian dampak, yaitu memberikan informasi tambahan untuk
membantu dalam menilai sistem produk hasil tahapan sebelumnya sehingga
dapat lebih memahami arti pentingnya terhadap lingkungan. Kategori dampak
lingkungan yang dapat dianalisis antara lain asidifikasi, efek gas rumah kaca,
penipisan ozon, pengurangan sumber daya, pembentukan ozon, penggunaan
lahan, eutrofikasi, ekotoksisitas, dan human toxicity (Klopffer dan Grahl 2014).
4. Interpretasi daur hidup, yaitu tahap terakhir dari prosedur LCA untuk
mendapatkan hasil akhir kajian berdasarkan hasil analisis inventori dan
penilaian dampak sebagai dasar untuk pengambilan kesimpulan, rekomendasi
dan keputusan sesuai dengan definisi tujuan dan ruang lingkup. Alternatif
perbaikan yang diperoleh dengan membandingkan hasil analisis dampak
sebelum dan sesudah adanya penerapan metode LCA. Hasil analisis yang telah
dilaksanakan dalam tahap inventarisasi dan penilaian dampak diwujudkan
dalam tindakan yang akan memberikan keuntungan bagi industri dan
lingkungan. Hubungan antar tahapan LCA tersebut dapat dilihat pada Gambar
4.
13

Gambar 4. Tahapan LCA (ISO 14040 2016)

Kajian LCA membutuhkan batasan sistem kajian untuk menetapkan unit


proses yang akan menjadi bagian dari sistem produk yang dikaji. Menurut GaBi
(2009) ada empat pilihan utama untuk menentukan batas sistem yang akan
digunakan pada kajian LCA yaitu:
a. Cradle to Grave: mencakup semua proses dari mulai proses ekstraksi bahan
baku (termasuk bahan, energi dari semua proses) melalui tahap produksi,
transportasi dan penggunaan hingga produk akhir dalam siklus hidupnya.
b. Cradle to Gate: mencakup semua proses dari mulai proses ekstraksi bahan
baku hingga tahap produksi (proses di industri), digunakan untuk
menentukan dampak lingkungan dari proses produksi suatu produk.
c. Gate to Grave: mencakup semua proses dari penggunaan setelah proses
produksi hingga tahap akhir siklus hidup suatu produk, digunakan untuk
menentukan dampak lingkungan suatu produk setelah keluar dari pabrik.
d. Gate to Gate: mencakup proses dari tahap produksi saja, digunakan untuk
menentukan dampak lingkungan dari suatu langkah atau proses produksi.
Sektor industri saat ini dituntut untuk lebih serius dalam memperhatikan
dampak lingkungan akibat aktivitasnya. Hal ini seiring bertambah buruknya
kualitas lingkungan baik itu udara, air, tanah, dan sebagainya. LCA merupakan
sebuah metode yang tepat untuk mengetahui seberapa besar dampak lingkungan
yang disebabkan pada tahap daur hidup mulai dari pengambilan material sampai
dengan produk itu selesai digunakan oleh konsumen. Upaya untuk mencegah dan
mengurangi timbulnya limbah, dimulai sejak pemilihan bahan, teknologi proses,
penggunaan material dan energi, serta pemanfaatan produk samping pada suatu
sistem produksi.

2.7 Penelitian LCA Berbasis CPO


Metode LCA mampu memberikan gambaran terperinci mengenai dampak
lingkungan yang ditimbulkan dari suatu industri yang hasilnya dapat dijadikan
pertimbangan untuk memilih penggunaan bahan baku maupun proses yang
digunakan sehingga dapat mengurangi dampak lingkungan yang ditimbulkan dari
pelaksanaan di industri tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan LCA menunjukkan
bahwa 1 ton produksi CPO PT X menghasilkan dampak GWP, asidifikasi dan
eutrofikasi sebesar 698,7 kg-CO2eq/ton-CPO, 2,681 kg-SO2eq/ton-CPO dan 1,182
kg-PO43-eq/ton-CPO. Proses produksi CPO di industri merupakan subsistem yang
14

paling berkontribusi tinggi terhadap total dampak pemanasan global (GWP),


asidifikasi dan eutrofikasi karena produksi steam (uap panas) dan konsusmsi listrik.
Kajian dan penelitian terkait LCA berbasis CPO telah banyak dilakukan oleh
peneliti terdahulu dengan ruang lingkup dan variabel pengamatan yang berbeda
yang dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Penelitian terkait LCA berbasis CPO


Batasan sistem Nilai dampak (per unit fungsi)
1 2 3 4 GWP Asidifikasi Eutrofikasi
Peneliti Negara
(kg- (kg- (kg-PO43-
CO2eq) SO2eq) eq)
Hasil Indonesia √ √ √ √ 698,7 2,681 1,182
penelitian
Siregar et Indonesia √ √ - - 1.029 1,75 6,59E-05
al. (2013)
Ahmadi et Indonesia √ √ - - 178,01 - -
al. (2020)
Paminto et Indonesia √ √ - - 2.762 24,8 1,16
al. (2022)
Stichnothe Jerman - √ - - 460,98 2,86 2,05
dan
Schuchardt
(2011)
Zutphen Malaysia √ √ - √ 1.228 - -
dan
Wijbrans
(2011)
Chuen dan Malaysia - √ - - 1.581 0,86 -
Sumiani
(2012)
Espino et Filipina - √ - - 1.150 0,0138 -
al. (2019)
Anyaoha Nigeria - √ - - 468 0,2 -
dan Lulu
(2022)
Sacayón et Guatemala - √ - - 595 3,34 3,35
al. (2018)
Mcnamara Ireland - - - √ 187 6,14E-02 8,02E-01
et al. (2016)
Maharjan et Taiwan √ √ - - 287,13 - -
al. (2016)
Kaewmai et Thailand √ √ - - 1.198 - -
al. (2012)
Saswattecha Thailand - √ - √ 625,01 - -
et al. (2015)
Batasan sistem: 1 = Perkebunan kelapa sawit; 2 = Proses produksi CPO; 3 = Pengolahan air bersih;
4 = Pengolahan air limbah
15

III METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran


Kegiatan produksi CPO telah meningkat seiring dengan bertambahnya luas
areal perkebunan kelapa sawit sejak beberapa tahun terakhir. Proses produksi CPO
harus terus dikembangkan untuk mendapatkan produk terbaik, diantaranya dari segi
kualitas produk, kuantitas produk yang memadai dan kontinuitas produk tanpa
mengabaikan aspek ekologis atau lingkungan. Hal ini juga sesuai dengan kebijakan
pemerintah pada (PERMEN LHK No 1 2021) terkait “Program Penilaian Peringkat
Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (PROPER)”. Aktivitas
kegiatan siklus daur hidup produksi CPO mulai dari perkebunan kelapa sawit,
proses pengolahan CPO di industri, pengolahan air bersih, serta pengolahan limbah
dan lainnya menghasilkan dampak lingkungan berupa limbah dan emisi. Oleh
karena itu, diperlukan metode penilaian dampak lingkungan dan analisis efisiensi
penggunaan energi dari produksi CPO, sehingga dapat diidentifikasi peluang dan
penyusunan rekomendasi skenario perbaikan.
Life Cycle Assessment (LCA) merupakan metode yang digunakan untuk
mengevaluasi dampak produksi CPO terhadap lingkungan. Hal ini disebabkan
karena metode LCA merupakan metode yang mampu memberikan gambaran
dampak lingkungan yang dapat ditimbulkan dari suatu siklus hidup produk dan
menghasilkan alternatif atau rekomendasi perbaikan berdasarkan hasil dari analisis
inventori dan analisis dampak lingkungan. Untuk menghasilkan alternatif perbaikan
yang tepat, baik produk maupun proses, upaya perbaikan yang dilakukan didasari
pada hasil analisis LCA terhadap data inventori dan analisis dampak, serta
disesuaikan dengan kondisi tempat penelitian. Kerangka pemikiran dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Kegiatan industri

LCA produksi CPO

Penetapan tujuan dan ruang lingkup

Analisis inventori

Analisis dampak lingkungan

Interpretasi hasil dan rekomendasi


alternatif perbaikan

Penurunan dampak lingkungan


poduksi CPO

Gambar 5. Kerangka pemikiran penelitian


16

3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan bulan April 2022.
Lokasi penelitian di laksanakan di perkebunan PT X dan industri pengolahan PT X
di Provinsi Bengkulu.

3.3 Jenis dan Sumber Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang didapat dari hasil wawancara langsung
dengan orang yang ahli dibidang budidaya kelapa sawit, proses produksi CPO,
proses pengolahan air bersih dan proses pengolahan air limbah, serta observasi
secara langsung dilapangan perkebunan kelapa sawit dan di industri produksi CPO
PT X Provinsi Bengkulu. Data sekunder berasal dari dokumen perusahaan berupa
data penggunaan bahan baku, bahan tambahan, energi, mesin dan peralatan pada
setip tahapan proses produksi dan beberapa refrensi hasil dari penelitian yang sudah
dipublikasikan sebelumnya.

3.4 Metode Pengumpulan Data


Penelitian ini menggunakan jenis data primer dan data sekunder untuk
menjawab tujuan dari penelitian. Metode pengumpulan data dilakukan dengan tiga
metode yaitu sebagai berikut:
1. Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan dan menganalisis data
sekunder yang diperoleh dari pihak-pihak terkait penelitian, buku-buku acuan,
jurnal, dan literatur lainnya. Studi pustaka pada penelitian dilakukan untuk
mengetahui pemodelan perhitungan emisi serta menentukan alternatif perbaikan
untuk mengurangi dampak lingkungan dari proses produksi CPO. Serta referensi
alternatif perbaikan dalam mereduksi emisi yang dihasilkan produksi CPO. Studi
pustaka dilakukan untuk mendapatkan informasi berupa nilai faktor emisi dan nilai
kalor.
2. Observasi lapangan
Observasi lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer dengan
mengobservasi secara langsung rangkaian kegiatan atau proses yang berkaitan
dengan data yang dibutuhkan. Observasi dilakukan di perkebunan PT X, industri
CPO PT X, pengolahan air bersih dan pengolahan air limbah PT X. Observasi juga
dilakukan untuk mendapatkan data primer yang tidak terdapat pada data sekunder
dari hasil studi pustaka terkait.
3. Wawancara
Wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi dari stakeholder terkait,
untuk memperoleh informasi tambahan terkait daur hidup produksi CPO serta
mengkonfirmasikan hasil temuan penelitian. Wawancara dilakukan kepada pihak-
pihak terkait seperti pegawai industri divisi perkebunan, direktur PT X, asisten
manager PT X, supervisor produksi, pegawai divisi produksi, pegawai bagian
pengolaan air bersih dan pegawai di bagian pengolaan air limbah. Pada wawancara
juga dilakukan pengisian kuesioner untuk pemilihan skenario perbaikan sebagai
upaya penurunan dampak lingkungan.
17

3.5 Tahapan Penelitian


Metodologi penelitian untuk mengetahui dampak lingkungan yang
ditimbulkan dari produksi CPO dapat dinilai menggunakan metode LCA. Metode
LCA dilakukan dengan identifikasi secara kuantitatif dan memperhitungkan semua
aliran input-output (exchange flow) dari sistem ke lingkungan di dalam tahapan
daur hidup produk yang telah ditetapkan batasannya. Pelaksanaan metode LCA ini
mengacu pada pedoman pelaksanaan LCA menurut Framework SNI ISO 14040
(2016) yang terdiri dari 4 tahap, yaitu definisi penentuan tujuan dan ruang lingkup
(goal and scope definition), analisis inventori (inventory analysis), analisis dampak
lingkungan (impact assessment), dan interpretasi hasil (interpretation and
improvement analysis).

3.5.1 Penentuan Tujuan dan Ruang Lingkup LCA (Goal and Scope Definition)
Goal and scope definition merupakan tahap awal dalam melakukan
analisis LCA. Tahap ini ditentukan tujuan dari penelitian LCA yang akan
dilakukan serta menentukan batasan atau ruang lingkup yang akan dikaji dalam
pelaksanaan analisis LCA. Dengan menentukan goal and scope definition,
kajian LCA yang dilakukan akan lebih sistematis karena hanya mengacu pada
batasan yang telah ditentukan. Pada tahap ini, juga dilakukan penetuan satuan
unit fungsional yang akan digunakan pada penelitian LCA.
Penentuan ruang lingkup dalam penelitian LCA ini adalah dengan
pendekatan cradle to gate meliputi analisis dari ekstraksi bahan baku, proses
produksi hingga pengolahan air besih dan air limbah. Tujuan kajian LCA dari
penelitian ini adalah untuk melakukan penilaian daur hidup produksi CPO
dengan mengukur nilai dampak lingkungan dan memberikan alternatif
rekomendasi perbaikan untuk menurunkan dampak lingkungan. Unit fungsional
dalam penelitian LCA ini yaitu 1 ton produksi CPO. Ruang lingkup kajian LCA
meliputi subsistem perkebunan kelapa sawit, subsitem proses produksi CPO di
industri, subsistem instalasi pengolahan air limbah dan subsitem pengolahan air
bersih.

3.5.2 Analisis Inventori (Inventory Analysis)


Analisis inventori merupakan bagian dari LCA yang berisi satu set data
aliran bahan dan energi yang mengkuantifikasikan input dan output dari daur
proses produksi CPO. Data yang akan diambil dan diolah pada tahap ini
disesuaikan dengan goal dan scope LCA yang telah ditentukan sebelumnya.
Pada tahapan analisis inventori dilakukan beberapa hal di antaranya:
a. Pengumpulan Data.
Data yang dibutuhkan pada penelitian ini yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer bisa didapatkan dengan cara observasi secara langsung di
lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh berdasarkan data dokumen milik
perusahaan, database Ecoinvent 3 dan Agrifoot-print 5 dalam software SimaPro.
b. Pendeskripsian input, proses dan output.
Siklus hidup produk yang diperoleh digambarkan menggunakan diagram
alir untuk mendapatkan gambaran sistem produksi CPO secara jelas dan
terperinci, baik dari segi input, proses dan output. Pendeskripsian diagram alir
digambarkan dari ekstraksi bahan baku hingga melalui proses produksi.
18

c. Perhitungan data secara kuantitatif.


Proses perhitungan data secara kuantitatif dilakukan dengan
mengidentifikasi input, proses dan output yang sudah dilakukan, yang kemudian
dilakukan perhitungan terkait neraca massa dan neraca energi. Hal ini bertujuan
untuk mendapatkan gambaran aliran bahan secara jelas dan terperinci yang akan
digunakan pada tahapan LCA selanjutnya yaitu tahpan analisis dampak
lingkungan.

3.5.3 Analisis Dampak Lingkungan (Life Cycle Impact Assesment)


Analisis dampak lingkungan (Life Cycle Impact Assessment) dilakukan
untuk mengevaluasi dampak lingkungan yang dihasilkan berdasarkan hasil
analisis inventori. Tujuan pada tahap ini untuk menghitung beban lingkungan
berdasarkan data dari inventori (Siregar et al. 2013). Analisis dampak
menggunakan bantuan software SimaPro versi 9.3.0.3 Faculty. SimaPro
merupakan salah satu software pengolahan data LCA yang berisi sekumpulan
database dan metode penilaian dampak dari suatu produk. Metode perhitungan
dampak yang digunakan dalam software SimaPro 9.3.0.3 adalah Centre of
Environmental Science of Leiden University Impact Assessment (CML-IA
baseline). Metode ini dipilih karena merupakan metode perhitungan dampak
yang paling banyak digunakan dalam kajian LCA pada sektor pertanian dan
produk pangan (agri-food) (Merchan dan Combelles 2012). Kategori dampak
yang dikaji pada penelitian LCA ini yaitu ada tiga kategori dampak diantaranya
pemanasan global (kg-CO2eq), asidifikasi (kg-SO2eq) dan eutrofikasi (kg-PO43-
eq).
a. Global Warming Potential (GWP)
Industri produksi CPO yang menggunakan energi berupa bahan bakar fosil
maupun biomassa berpotensi menghasilkan emisi GRK dan turut berpartisipasi
dalam terjadinya pemanasan global. Dampak GWP yang dihasilkan oleh industri
produksi CPO terdiri atas tiga gas utama diantara karbondioksida (CO2), metana
(CH4) dan dinitrogen oksida (N2O). Sumber penyebab pemanasan global (GWP)
sebagian besar berasal dari pemakaian solar sebagai bahan bakar baik solar IDO
(Industrial Diesel Oil) maupun solar ADO (Automotive Diesel Oil), penggunaan
listrik, kandungan gas metan dari limbah cair yang dibuang kekolam
penampungan, penggunaan pestisida diperkebunan dan penggunaan pemakaian
pupuk organik maupun anorganik. Hasil yang didapat dari masing-masing
perhitungan dampak GWP kemudian dihitung menjadi jumlah CO2-eq.
b. Asidifikasi
Asidifikasi merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang terjadi
akibat adanya proses pengasaman air. Polutan utama yang dapat menyebabkan
asidifikasi pada siklus daur hidup produksi CPO adalah sulfur dioksida (SO 2)
dan nitrogen oksida (NOx). Sumber emisi penyebab asidifikasi sebagian besar
berasal dari penggunaan bahan kimia tambahan berupa NaOH, listrik dan pupuk.
Hasil perhitungan dari setiap jenis polutan, selanjutnya dikonversikan menjadi
SO2-eq untuk mengetahui potensi asidifikasinya.
c. Eutrofikasi
Eutrofikasi merupakan fenomena yang dapat mempengaruhi ekosistem
darat serta air. Eutrofikasi merupakan pengayaan air dengan nutrien/unsur hara
19

(N dan P) atau bahan organik yang dibutuhkan oleh tumbuhan untuk hidup dan
berkembang. Pengayaan unsur hara menyebabkan terjadinya ledakan populasi
fitoplankton dan zooplankton yang menyebabkan kekeruhan air sehingga
mengganggu ekosistem perairan. Sumber polutan penyebab eutrofikasi pada
industri CPO adalah NOx, NO3- dan PO43-. Sumber polutan NOx dihasilkan dari
penggunaan listrik dan bahan bakar (solar). NH3 dan PO3- dihasilkan dari Pupuk
(urea), air limbah dan pestisida.

3.5.4 Interpretasi Hasil (Life Cycle Interpretation)


Interpretasi hasil merupakan tahapan terakhir kajian LCA, dengan
berdasarkan evaluasi terhadap analisis dampak yang dilakukan kemudian
diidentifikasi tahapan proses mana yang memberikan dampak siginifikan
terhadap perubahan lingkungan. Setelah diketahui tahapan proses tersebut
kemudian dianalisis dengan beberapa alternatif perbaikan untuk melihat
perubahan dampak lingkungan yang terjadi dari hasil LCA. Skenario perbaikan
diharapkan dapat mengurangi dampak pemanasan global, asidifikasi, dan
eutrofikasi, serta mampu meningkatkan efisiensi dan kinerja di industri
pengolahan rumput laut baik dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan.

3.6 Pengolahan dan Penyajian Data


Pengolahan dan penyajian data dilakukan untuk dapat lebih mudah
dipahami dan dilakukan dengan menggunakan bantuan software Microsoft Excel.
Data-data yang digunakan dalam kajian LCA dimasukkan ke dalam data inventori
sebagai data kuantitatif untuk melihat hasil input dan output yang dihasilkan. Data
inventori kemudian dilakukan analisis dampak yang dikelompokkan berdasarkan
kategori dampak berupa pemanasan global (GWP), asidifikasi, dan eutrofikiasi.
Data yang dimasukkan dalam analisis kategori dampak dilakukan secara kuantitatif
untuk melihat besar dampak yang dihasilkan. Pengolahan data dilakukan dengan
menggunakan software SimaPro versi 9.3.0.3 dengan metode Centere of
Environmental Science of Leiden Universitu Impact Assessment (CML-IA)
baseline. Hasil dari kajian LCA dianalisis secara deksriptif dengan penyajian data
menggunakan tabel dan grafik untuk lebih mudah dipahami dan bersifat informatif.
20

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Industri


Penelitian daur hidup (LCA) dilakukan di industri produksi CPO PT X
Provinsi Bengkulu. PT X terletak 6 km dari jalan lintas Barat-Sumatera, akses
sarana transportasi cukup terjangkau untuk dapat dilalui oleh container atau truk
pembawa bahan baku dan bahan penunjang produksi lainnya, sehingga dapat
dikatakan lokasi industri terletak sangat strategis. PT X merupakan industri swasta
yang bergerak pada bidang perkebunan dan pengolahan kelapa sawit, memiliki
lahan perkebunan seluas 8.902 ha yang terbagi kedalam 12 afdeling perkebunan.
PT X memiliki jumlah karyawan 1.300 orang karyawan yang diantaranya 160 orang
adalah karyawan industri pengolahan. Topografi lahan PT X tidak mendatar
melainkan bergelombang, kandungan mineral asam dengan kejenuhan basa < 35%,
berarti tanah tersebut termasuk tanah jenis podzolic merah kuning (Ordo ultisol)
atau Grossarenic Kandiudult (Fiantis 2015). Industri pengolahan CPO didirikan
dekat dengan sungai sebagai sumber air untuk keperluan air industri dan lain
sebagainya.

Gambar 6. PT X Provinsi Bengkulu

Penilaian daur hidup (LCA) produksi CPO dimulai dari proses perkebunan
kelapa sawit yang terdiri dari berbagai kegiatan diantaranya pembibitan dan
pemeliharaan bibit, pemeliharaan tanaman menghasilkan (TM), panen dan
transportasi ke industri. Output yang dihasilkan pada proses perkebunan berupa
tandan buah segar (TBS) yang selanjutnya ditransportasikan ke proses produksi
CPO di industri. Proses produksi di industri akan menghasilkan produk berupa CPO
dan juga menghasilkan limbah padat maupun limbah cair. Limbah cair yang
dihasilkan selanjutnya akan dialirkan ke kolam penampungan dan dilakukan proses
pengolan air limbah sebelum di alirkan ke sungai. Proses produksi juga
memerlukan pengolahan air bersih untuk menunjang keperluan air proses. data hasil
penelitian diperoleh dari hasil wawancara dengan manager, asissten manager dan
karyawan di PT X.

4.2 Penilaian Daur Hidup Produksi CPO


Penilaian daur hidup produksi CPO terdiri dari 4 sub-sistem proses yaitu
proses perkebunan kelapa sawit, proses produksi CPO di industri, proses
21

pengolahan air bersih dan proses pengolahan air limbah. Hasil penilaian diperoleh
dari pengolahan data primer dan sekunder dengan metode wawancara kepada
beberapa pihak terkait dengan list pertanyaan yang sudah disiapkan. Hasil
wawancara pada masing-masing unit proses diantaranya:

4.2.1 Perkebunan Kelapa Sawit


Perkebunan PT X secara struktur dikepalai oleh seorang manajer kebun
dan dibantu oleh assisten manager dan staf karyawan perkebunan. PT X
memiliki luas lahan perkebunan seluas 8.902 ha yang terbagi kedalam 12
afdeling perkebunan, tiap afdeling memiliki luasan lahan yang berbeda-beda. 1
ha kebun kelapa sawit umumnya ditanaman 130 – 136 pohon kelapa sawit. Jenis
varietas kelapa sawit yang ditanam di kebun PT X menggunakan varietas jenis
tenera dan dura dengan rata-rata umur tanam 20 – 27 tahun. Jarak tanam yang
digunakan adalah 9,09 m x 9,09 m x 9,09 m dengan pola tanam segitiga sama
sisi. Ruang lingkup penelitian daur hidup pada proses perkebunan meliputi:
1. Pembibitan kelapa sawit
Bibit yang digunakan berasal dari bibit lokal dengan kualitas terbaik. Proses
pembibitan kelapa sawit dilakukan dengan 2 tahap yaitu pre nursery (pembibitan
awal) dan main nursery (pembibitan utama). Tahap pre nursery diawali dengan
persiapan media tanam, penanganan kecambah, pelaksanaan persemaian,
program pemupukan, penyiraman dan pengendalian gulma, pengendalian hama
dan penyakit, dan seleksi bibit. Luas lahan pembibitan tahap pre nursery seluas
5,5 ha dengan jumlah bibit sebanyak 200.000 bibit. Umur tanam tahap pre
nursery 0 – 3 bulan. Media tanam tahap pre nursery menggunakan polybag
berukuran 7 cm x 14 cm.
Tahap main nursery diawali dengan persiapan areal, persiapan media
tanam, teknis pengisian dan pengaturan polybag, program pemupukan,
penyiraman dan pengendalian gulma, pengendalian hama dan penyakit, dan
seleksi bibit. Umur tanam tahap main nursery 5 – 12 bulan, luas lahan pada tahap
main nursery seluas 30 ha dengan jumlah 130.000 bibit kecambah. Tahap main
nursery memerlukan lahan yang lebih luas karena bibit ditanam dengan jarak
tanam yang lebih lebar. Lokasi pembibitan harus tersedia sumber air untuk
mencukupi kebutuhan air pembibitan. bibit diletakkan dengan jarak tanam 90 x
90 x 90 cm atau dalam satu ha bersisi sebanyak 12.000 bibit. Bibit yang sudah
melewati umur 3 bulan selanjutnya dipindahkan ke polybag yang lebih besar,
berukuran 40 cm x 50 cm atau 45 cm x 60 cm (lay flat), tebal 0,11 mm dan diberi
lubang pada bagian bawahnya untuk drainase.
2. Pemeliharaan bibit (pre nursery dan main nursery)
Kegiatan pemeliharaan tanaman kelapa sawit merupakan proses bagian
yang penting dilakukan untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang lebih
baik. Pada bagian pemeliharaan tanaman dilihat dari tahap pre nursery dan main
nursery serta pemeliharaan tanaman menghasilkan (TM) di afdeling perkebunan.
Bibit yang telah ditanam di polybag dipelihara dengan baik supaya
pertumbuhannya sehat dan subur, sehingga bibit akan dapat dipindahkan ke
lahan sesuai dengan umur tanam yang tepat. Pemeliharaan bibit PM dan MN
meliputi penyiraman, penyiangan, pengawasan dan seleksi, serta pemupukan.
22

a. Penyiraman
Penyiraman bibit dilakukan dua kali sehari (pagi dan sore), kecuali
apabila turun hujan lebih dari 7 – 8 mm pada hari yang sama. Air untuk
menyiram bibit harus bersih dan cara menyiramnya harus dengan semprotan
halus agar bibit dalam polybag tidak rusak dan tanah tempat tumbuhnya tidak
padat, penyemprotan bibit pada tahap main nursery menggunakan bantuan
sprinkler dan tahap pre nursery menggunakan pipa paralon. Tahap main nursery
kebutuhan air siraman ± 1 L/polybag/1x siram, sementara tahap pre nursery
kebutuhan air siraman ± 0,5 L/polybag/1x siram, disesuaikan dengan umur bibit.
Sumber air penyiraman menggunakan air sungai yang telah ditampung dikolam
seluas 0,7 ha. Mesin pompa air menggunakan mesin yanmar ps100, dalam 1 hari
pengoperasianya mesin pompa dapat menghabiskan 18 L bahan bakar solar.
b. Penyiangan
Gulma yang tumbuh dalam polybag dan di tanah antara polybag harus
dibersihkan, tahap pre nursery penyiangan gulma dilakukan secara manual yaitu
dengan cara dikored dengan bantuan arit rumput. Tahap main nursery
penyiangan gulma dilakukan dengan manual atau disemprot dengan herbisida.
Penyiangan gulma harus dilakukan 2 – 3 kali dalam sebulan, atau disesuaikan
dengan pertumbuhan gulma.
c. Pengendalian Hama dan Penyakit
Salah satu permasalahan dalam tahap pembibitan pre nursery dan main
nursery adalah serangan hama dan penyakit. apabila tidak diberantas dengan
cepat, pertumbuhan bibit akan terganggu, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Pengendalian hama dan penyakit pada pre nursery dan main nursery dilakukan
setiap 2 minggu sekali dengan menggunakan insektisida dan fungisida.
Insektisida yang digunakan dengan merk dagang matador dengan bahan
aktif lamda silahotrin untuk membasmi hama ulat. Hama yang sering muncul
adalah ulat, kumbang/belalang dan tungau merah. Sedangkan fungisida yang
digunakan dengan merk dagang Dithane m-45 dengan bahan aktif difenokonazol
dan azoksistrobin yang berfungsi untuk membasmi jamur. Jamur yang biasa
muncul pada tahapan pre nursery dan main nursery ini adalah Curvularia sp
yang menyebabkan bercak pada daun. Insektisida dan Fungisida yang digunakan
diaplikasikan dengan cara di semprotkan pada daun. Konsentrasi insektisida dan
fungisida yang digunakan yakni 0,2%.
d. Pengawasan dan Seleksi
Pengawasan bibit dilakukan untuk mengamati pertumbuhan bibit dan
perkembangan gangguan hama dan penyakit. Bibit yang tumbuh kerdil,
abnormal, berpenyakit dan mempunyai kelainan genetis harus dibuang.
Pembuangan bibit (thinning out) dilakukan pada saat pemindahan ke main
nursery, yaitu pada saat bibit berumur 3 bulan dan 9 bulan, serta pada saat
pemindahan bibit ke lapangan.
e. Pemupukan
Pemupukan bibit sangat penting untuk memperoleh bibit yang sehat,
tumbuh cepat dan subur. Pupuk yang diberikan adalah NPK 15-15-6-4, NPK 12-
12-17-2 dan pupuk urea. Pemupukan dilakukan dalam bentuk larutan dan pupuk
majemuk. Tahap pre nursery pupuk urea diberikan dua minggu sekali dengan
23

dosis 8 g urea dalam 5 L air/100 bibit, sementara untuk pupuk NPK juga
diberikan dua minggu sekali dengan dosis 8 g urea dalam 5 L air/100 bibit. Tahap
main nursery pemupukan dilakukan dua minggu sekali dengan dosis pupuk yang
diberikan berbeda-beda tergantung dari umur bibit tanaman.
3. Pemeliharaan Tanaman Menghasilkan (TM)
Kelapa sawit mulai berbunga pada umur 12 bulan dan panen pertama dapat
dilakukan secara ekonomis setelah tanaman berumur 2,5 tahun atau 35 bulan.
Periode inilah yang menjadi batas dimulainya pemeliharaan periode tanaman
menghasilkan (TM). Umur tanam kelapa sawit di PT X rata-rata sekitar 25 – 32
tahu, adapun pemeliharaan TM di PT X meliputi:
a. Pengendalian Gulma
Pemeliharaan pengendalian gulma bertujuan untuk menghilangkan
persaingan antara tanaman kelapa sawit dengan gulma dan menjaga kebersihan
lahan. pengendalian gulma dilakukan secara khemis dan mekanis, bergantung
pada jenis gulma tiap blok areal afdeling. Pengendalian gulma secara mekanis,
yaitu perawatan gawangan dan rawat piringan menggunakan mesin potong
rumput serta dongkel anak kayu. Sedangkan, pengendalian gulma secara khemis
antara lain penyemprotan alang-alang yang berupa penyemprotan secara spot
dan wiping. Selain itu juga dialakukan perawatan piringan secara kimia.
Penyemprotan herbisida gramoxon dengan konsentrasi 40 - 50 mL / 15
L air. Nozzle yang digunakan adalah nozzle V. Pengendalian gulma khemis untuk
luas lahan satu hektar membutuhkan 30 tanki (15 L/tanki). Pengendalian gulma
di piringan tanaman bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pemupukan dan
memudahkan pada saat pengutipan brondolan, sementara untuk pengendalian
gulma pada gawangan memiliki tujuan untuk mengurangi persaingan dalam
penyerapan air, unsur hara, serta dalam rangka menjaga kelembaban kebun.
b. Pemupukan Tanaman
Pemupukan PT X menggunakan mulsa dari tandan kosong kelapa sawit
(TKKS) dan dolomit. Pengaplikasian pupuk TKKS dilakukan dengan cara
menebar pupuk TKKS pada gawangan dengan jarak 4 – 5 m dari batang.
Penebaran pupuk tidak boleh menumpuk, diusahakan setipis mungkin dan
merata sementara untuk pupuk dolomit pengaplikasian pupuk dilakukan dengan
cara menebar pupuk pada piringan dengan jarak 2 – 3 m dari batang pohon.
c. Penunasan
Penunasan merupakan kegiatan memotong atau membuang pelepah tua
dan pelepah kering. kegiatan penunasan dilakukan saat proses panen mulai
dilakukan yaitu dengan cara menyisakan dua pelepah di bawah buah yang akan
dipanen. Setelah buah tersebut dipanen maka pelepah yang menyangganya dapat
dibuang. Jumlah pelepah perpohon dapat mempengaruhi produksi TBS, bobot
TBS, dan juga pertumbuhan akar.
d. Pemanenan
Tujuan panen adalah memanen tandan buah segar (TBS) dengan standar
kematangan optimal, mengumpulkan brondolan dan mengirimkan ke industri
pengolahan selambatnya 24 jam setelah panen. Pemanenan dilakukan dengan
cara berdiri dan menggunakan egrek (alat arit bergagang panjang atau dengan
bantuan viber) untuk memudahkan pemanenan, pelepah daun yang menyangga
24

buah dipotong terlebih dahulu dan kemudian tandan buah yang telah dipotong di
biarkan jatuh ke tanah. Tandan buah yang telah jatuh dipotong sedekat mungkin
dengan pangkalnya, maksimal 2,5 cm dari baru terluar dari tandan dan
diusahakan berbentuk huruf V. Pelepah daun ditebas menjadi tiga bagian agar
mudah terurai dan disusun rapi di gawangan mati sehingga tidak menghalangi
saat pemanenan dan lahan menjadi bersih. Kemudian pemanen mengangkut
hasil panen TBS diletakkan berbaris di TPH kecil dan diangkut ke TPH besar
dengan dengan alat bantu gerobak sapi.
4. Transportasi TBS ke Industri
Proses transportasi TBS inti ke industri pengolahan dengan menggunakan
truk dan triton. Transportasi dilakukan dari setiap TPH afdeling yang berbeda –
beda, sehingga kebutuhan bahan bakar disesuaikan dengan jarak dan kapasitas
muatan truk yang digunakan. Perhitungan jarak dari setiap TPH afdeling ke
industri menggunakan aplikasi google maps dan kebutuhan bahan bakar untuk
transportasi diasumsikan sebesar 9,6 km/L. Asumsi transportasi dihitung untuk
sekali perjalanan.

4.2.2 Proses Produksi CPO


Proses produksi merupakan kegiatan mengolah input dengan berbagai
proses tertentu dengan hasil akhirnya berupa output (Kumar dan Suresh 2008).
Tujuan dari proses produksi industri minyak kelapa sawit adalah mengupayakan
proses pengolahan TBS yang baik untuk menghasilkan CPO yang memiliki
mutu sesuai dengan Standar Internasional. Dalam sub bab ini akan dibahas
beberapa hal antara lain adalah diagram alir proses, material balance, penjelasan
tiap tahapan proses, informasi input, informasi output atau produk. Bahan baku
pada pengolahan CPO di PT X adalah berupa TBS yang berasal dari kebun inti
dan TBS dari luar/kebun masyarakat. Kapasitas mesin yang terpasang dalam
pengolahan TBS PT X sebesar 30 ton/jam. Diagram alir proses produksi CPO
disajikan pada Gambar 9. Pengolahan kelapa sawit dilakukan melalui beberapa
tahapan yang cukup panjang dimulai dari penerimaan TBS hingga menjadi
produk yang siap jual. Oleh karena itu, pengawasan dan kontrol harus dilakukan
secermat mungkin untuk memperoleh hasil produksi yang maksimal.
1. Jembatan Timbang (Weight Bridge)
Proses pertama pengolahan TBS adalah stasiun timbangan (Weighing
Bridge station). Tujuan penimbangan untuk mendapatkan berat bersih TBS yang
masuk di industri dan untuk menghitung rendemen yang dihasilkan. Rendemen
pengolahan dapat diketahui dari perbandingan antara bahan baku yang diterima
dengan bahan yang diolah. PT X memiliki 2 unit jembatan timbangan dengan
kapasitas masing-masing 60 ton dengan ukuran luas masing-masing timbangan
yaitu 12 m x 3,5 m. Jembatan timbang yang digunakan oleh PT X dilengkapi
dengan alat timbangan digital (Avery Weight Tronix) dan jenis alat timbangan
(Avery Berkel L = 225) yang selanjutnya dicatat pada komputer dan langsung
diprint sebagai tanda bukti transaksi proses penimbangan. Area timbangan juga
dilengkapi CCTV sebagai pemantau jika nantinya terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.
2. Sortasi
25

Sortasi merupakan tahapan yang harus dilalui untuk memisahkan dan


mendapatkan TBS yang memiliki mutu sesuai dengan standar industri. Proses
sortasi dilakukan dengan cara menyeleksi TBS setiap janjangnya dari masing-
masing kendaraan (truk dan pickup) oleh karyawan sortasi dengan bantuan
tenaga bongkar. Alat yang digunakan untuk membantu dalam penyortiran ini
yaitu tojok, gancu. Alat berat JCB Loader sebagai alat bantu pendorong buah
masuk ke pintu loading ramp. Kriteria TBS yang digunakan di PT X dapat dilihat
pada Tabel 4.

Tabel 4. Kriteria TBS yang Digunakan PT X


No Deskripsi Standar Limit
1 Mentah (unripe), tidak ada brondolan (loose fruit) Maks. 0%
2 Mengkal atau kurang masak (under ripe), kurang dari 2 Maks. 2%
brondolan setiap kg berat tandan
3 Masak normal (normal ripe), dua brondolan tiap kg Maks. 95%
berat TBS. Jika berat TBS 20 kg, maka harus terdapat
paling sedikit 40 lubang bekas brondolan. Berat TBS <
10 kg = 1 brondolan per kg. Berat TBS > 10 kg = 2
brondolan per kg
4 Terlampau masak (over ripe), lebih dari 50% lubang Maks. 3%
bekas brondolan dalam janjangan
5 Janjangan kosong (rotten), tandan > 95% membrondol Maks. 0%
6 Gagang panjang (long stalk), tangkai buah lebih dari 2 Max 0%
cm.
7 TBS kecil yang beratnya kurang dari 5 kg Low
8 Berondolan (loose fruit), persentase semua brondolan (8-10%)
yang dikirim
Sumber data: PT X Provinsi Bengkulu (2021)

3. Loading Ramp
Loading ramp merupakan tempat penimbunan sementara TBS setelah
disortasi sebelum dimasukkan ke dalam lori-lori untuk dibawa ke dalam
sterilizer. Sudut kemiringan loading ramp yaitu 15o. Pemindahan TBS ke dalam
lori ini dilakukan secara otomatis oleh pintu-pintu loading ramp yang
digerakkan secara hidrolik oleh operator secara manual. Pintu loading ramp
yang beroperasi di PT X berjumlah 14 pintu. Kapasitas untuk setiap lori yaitu 3
ton. Jumlah lori yang digunakan di PT X adalah 60 unit. Lori yang telah terisi
penuh TBS kemudian dipindahkan ke lintasan loading ramp menuju lintas rel
sterilizer dengan menggunakan gantry crane. Gantry crane yang digunakan di
PT X sebanyak 3 unit. Selanjutnya untuk menarik dan mendorong lori dengan
menggunakan tali dapat menggunakan capstand. Capstand yang digunakan di
PT X sebanyak 6 unit.
4. Stasiun Perebusan (Sterilizer)
Sterilizer berfungsi untuk merebus TBS dengan memakai media uap panas
yang berasal dari uap yang bertekanan tinggi. Kapasitas Sterilizer dapat
menampung 10 unit lori dengan bermuatan 3 ton/lori. PT X memiliki 4 unit
sterilizer. Proses perebusan dilakukan selama 90 menit. Media pemanasnya
adalah steam dari BVP (Back Pressure Vessel) yang bertekanan 2,8 - 3 bar dan
26

dan temperature uap (Steam) 140 oC dan uap yang dibutuhkan adalah 280-290
kg/ton TBS. Metode yang digunakan untuk perebusan ada dua yaitu
pembuangan uap steam sebanyak 2 kali pada tekanan yang sudah dicapai (double
peak) dan pembuangan steam sebanyak 3 kali dengan tekanan yang sudah
dicapai (triple peak). Hal ini disesuaikan dengan kondisi TBS yang diterima
(kematangan buahnya). Namun umumnya digunakan metode triple peak karena
lebih memudahkan proses selanjutnya Pengaturan uap dalam sterilizer
menggunakan sistem kontrol valve otomatis. Buah yang telah selesai direbus
akan dikeluarkan dari sterilizer menggunaan transfer handmove dan ditarik
menggunakan capstand untuk di angukut menggunakan holsting crane. Proses
perebusan ini menghasilkan condensate yang mengandung 0,5% minyak ikutan
pada temperature tinggi. Air kondensat hasil perebusan TBS tersebut dialirkan
ke dalam bak fit untuk digunakan dalam stasiun pressan sebagai delution water.
5. Stasiun Penebahan (Threshing)
Stasiun ini mengolah buah sawit yang sudah direbus tersebut untuk
dipisahkan antara biji sawit dan tandannya, pada stasiun ini terdapat beberapa
unit alat dan mesin pengolahan yang dilalui oleh buah sawit tersebut diantaranya:
a. Holsting Crane
Holsting Crane merupakan alat yang digunakan untuk memindai lori
yang berisi cook fruit bunch dan menuangkannya ke dalam hopper menuju
automatic feeder dan menurunkan lori kosong ke posisi semula. Holsting crane
yang digunakan di PT X sebanyak 2 unit.
b. Hopper
Hopper merupakan tempat penuangan cook fruit bunch dan tempat
penampungan sementara cook fruit bunch sebelum memasuki tresher. Cook fruit
bunch akan memasuki tresher melalui auto feeder secara kontinuitas. Hopper
yang digunakan di PT X sebanyak 2 unit dengan kapasitas maksimal 2 lori atau
40 ton.
c. Automatic Feeder
Automatic feeder merupakan lantai berjalan yang memiliki sekat-sekat
yang berfungsi untuk mendorong buah masuk perlahan-lahan ke thresher top
dan mengatur jarak buah ke thresher agar tidak terjadi penumpukan. Setelah
cook fruit bunch masuk ke hopper, buah akan perlahan-lahan turun ke automatic
feeder dan bergerak menuju ke thresher top. Kecepatan automatic feeder
disesuaikan sebesar 0,55 rpm. Automatic feeder yang digunakan di PT X
sebanyak 2 unit.
d. Thresher
Thresher merupakan drum silinder panjang yang berputar secara
horizontal dengan kecepatan putar 23 rpm. Cook fruit bunch yang masuk ke
dalam thresher akan mengalami bantingan dan gesekan sehingga buah akan
lepas dari janjangan nya. Buah atau brondolan akan jatuh melalui kisi-kisi
thresher sedangkan janjangan nya akan masuk ke dalam bunch crusher untuk
mengutip kembali brondolan yang masih menempel pada janjangan. Thresher
yang digunakan di PT X sebanyak 2 unit. satu unit thresher memiliki kapasitas
masing-masing 10 ton/jam dengan panjang thresher 4,80 m, diameter 1,97 m,
jarak antar kisi 5 cm, kemiringan plat pembawa 10,89 o, motor penggerak TECO
27

Induction 20 Hp 3 phase. Berondolan yang jatuh dari kisi-kisi dibawa oleh Under
thresher conveyor dan bottom cross conveyor kemudian menuju ke fruit elevator
untuk di masukkan ke digester dan janjang kosong dibawa oleh horizontal empty
bunch conveyor yang selanjutnya akan dimasukkan ke dalam truk dan menuju
areal kebun untuk ditaburkan pada pohon sawit sebagai pupuk.
6. Stasiun Press
Stasiun press merupakan stasiun pengolahan berondolan sawit yang
bertujuan untuk dilumatkan dan diekstraksi guna memisahkan antara minyak
sawit kasar, serabut biji serta biji sawit (nut). Pada stasiun ini terdiri dari dua unit
pengolahan, yaitu unit pelumatan (Digesting) serta unit pengepresan (Pressing).
Buah hasil pemipilan thresher selanjutnya diangkut oleh fruit elevator dengan
menggunakan timba-timba kemudian dijatuhkan ke fruit distributing conveyor.
Fruit akan didistribusikan ke masing-masing digester dan diujung fruit
distributing conveyor terdapat over flow conveyor yang berfungsi sebagai
membawa fruit yang lebih dari fruit distributing conveyor menuju cross bottom
conveyor kemudian diangkut oleh fruit elevator. Beberapa alat yang terdapat
pada stasiun pengepresan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Unit Pelumatan (Digesting)
Pelumatan buah dilakukan dengan menggunakan digester yang
memiliki kapasitas 3 ton per unit digester. PT X memiliki 8 unit digester, namun
untuk satu kali beroperasi hanya digunakan 4 unit digester. Digester merupakan
silinder yang berdiri tegak dengan pisau-pisau pengaduk (stiring arms) yang
terdiri dari 5 set pisau pencacah dan 1 set pisau pelempar dari digester. Fungsi
pisau-pisau ini untuk mencacah daging buah hingga homogen antara daging
buah dengan biji dan juga memisahkan fibre dari nut. Kecepatan putaran pisau
pencacah tersebut 30 rpm, lama adukan lebih kurang 20 menit agar mesocraft
benar-benar hancur. Selama pengadukan berlangsung, temperatur dalam
digester atau peralatan pengaduk dijaga agar tetap stabil 90 – 95 oC, pemanasan
dilakukan dengan menggunakan uap (steam). Setiap digester dibagian bawahnya
dilengkapi dengan pipa drain yang berfungsi sebagai tempat mengalirkan
minyak yang keluar akibat proses pencacahan. Dari pipa drain inilah minyak
akan dibawa menuju stasiun pemurnian minyak (klarifikasi) melalui oil gutter.
b. Unit Pengepressan (Pressing)
Presser adalah alat yang digunakan untuk mengekstraksi biji sawit yang
sudah dilumatkan dari digester. Setelah buah lumatan keluar dari digester secara
kontinyu masuk ke dalam screw press untuk dilakukan pengepresan sehingga
diperoleh minyak sawit kasar. Screw press berfungsi memeras serat dan inti,
sehingga minyak mentah (CPO) akan diperoleh.
Screw press mempunyai dua buah ulir (double warmscrew) dengan
putaran yang berlawanan arah. Buah yang sudah lumat atau yang telah
dihancurkan oleh digester didorong ke depan screw press dan sebelum keluar
screw press akan ditahan oleh cone press secara continue sehingga minyak akan
terlepas dari serat dan inti akhirnya jatuh mengalir melalui strainer (presscake)
atau crude oil gutter ke sand trap tank, sedangkan Serat dan inti hasil dari
pengepresan di screw press akan dialirkan ke cake breaker conveyor (CBC)
untuk diproses lebih lanjut dan selanjutnya biji akan diolah pada stasiun
pengolahan kernel dan fiber menuju ke boiler sebagai bahan bakar.
28

7. Stasiun Pemurnian (Clarification)


Minyak yang berasal dari stasiun press melalui oil gutter masuk ke dalam
stasiun pemurnian untuk diolah karena minyak yang keluar masih berupa
minyak sawit kasar yang merupakan campuran minyak, air, kotoran dan solid,
yang disebut juga crude oil. Stasiun pemurnian ini minyak sawit akan dipisahkan
dari sludge serta air untuk menghasilkan crude palm oil (CPO) yang memiliki
kualitas baik. Untuk itu minyak kasar akan melalui berbagai proses pengolahan
seperti: penyaringan dengan pemisahan dari kotoran, pengendapan, sentrifugasi,
dan pengurangan kadar air dari minyak. Secara umum fungsi dari klarifikasi ini
ialah:
1. Mengendapkan, pemisahan dan pembersihan minyak dari kotoran dan
uap air dengan tingkat kehilangan minyak yang kecil
2. Memperoleh oil contents semaksimal mungkin
3. Pencapaian oil losses pada heavy phase dan final effluent seminimal
mungkin
4. Untuk mendapatkan kualitas CPO agar sesuai dengan syarat-syarat
penjualan sebelum di simpan di tangki timbun.
Stasiun pemurnian ini merupakan tahapan akhir untuk mendapatkan CPO
dan pada stasiun ini pula sangat mempengaruhi kualitas CPO yang akan
dihasilkan. Setiap alat yang ada pada stasiun ini diusahakan tidak ada yang rusak
atau bocor agar tidak banyak kehilangan minyak, yang paling diutamakan adalah
kondisi minyak atau sludge selalu pada suhu 90 – 95 oC yang bertujuan untuk
memudahkan pemisahan minyak dengan sludge atau kotoran, karena pada suhu
rendah akan kental yang mengakibatkan pengendapan minyak bersama kotoran.
Peralatan yang digunakan pada stasiun pemurnian minyak dan proses
pengolahannya adalah sebagai berikut:
a. Sand Trap Tank
Minyak kasar hasil pengepressan melalui oil gutter ditampung dalam
sand trap tank yang berbentuk kerucut sehingga memudahkan dalam pemisahan
minyak dari pasir dan kotoran yang terikut dengan cara pengendapan secara
gravitasi. Minyak akan berada di atas permukaan dan pasir akan berada di bagian
bawah. Untuk mempermudah pemisahan di dalam sand trap tank ditambahkan
steam dengan suhu mencapai 90 – 95 oC. Sand trap tank yang digunakan di PT
X menggunakan kapasitas tampung 10 ton. Setelah melalui sand trap tank
minyak kasar akan dialirkan ke vibrating screen dan pasir akan dibuang setiap 5
jam sekali dengan membuka katup drain diujung kerucut di bawah tangki.
b. Vibrating Screen
Minyak kasar dari sand trap tank akan masuk ke vibrating screen.
Vibrating screen merupakan saringan bergetar yang terdiri dari dua buah
saringan kawat kasa yang bergerak secara horizontal seperti ayakan dengan
getaran yang timbul oleh gerakan atau putaran motor yang digunakan untuk
memisahkan non oil solid (NOS) yang terdiri dari kotoran, serat fiber, dan pasir
yang masih terikut. Selanjutnya minyak yang lolos dari saringan dialirkan ke
crude oil tank. Fungsi dari penyaringan ini adalah menurunkan
viskositas/kekentalan sehingga pada proses selanjutnya dapat efisien. PT X
terdapat 2 unit vibrating screen yang digunakan. Vibrating ini memiliki 2
saringan untuk memisahkan ampas dengan crude oil antara lain:
29

1. Bagian atas ukuran 30 mesh yaitu untuk memisahkan kotoran yang


lebih kecil dari 30 mesh, berdiameter 1,5 meter.
2. Bagian bawah ukuran 40 mesh yaitu untuk memisahkan kotoran yang
kecil dari 40 mesh, screen ini terbuat dari stainlessteel.
c. Crude Oil Tank (COT)
Crude oil tank (COT) merupakan tangki berbentuk segi empat yang
digunakan untuk mengendapkan crude oil yang berasal dari vibrating
screen. Crude oil tank berfungsi untuk mengendapkan partikel-partikel yang
tidak larut dan masih lolos dari vibrating screen. Tangki ini juga dilengkapi
dengan pipa pemanas, dengan adanya pipa pemanas tersebut maka pada crude
oil tank pun dilakukan pemanasan dengan tujuan agar mempermudah proses
pemisahan minyak pada proses selanjutnya dan agar tidak terjadi pembekuan
atau mengental yang menyebabkan FFA naik.
Suhu yang digunakan dalam crude oil tank berkisar antara 90 oC – 95 oC.
Jika suhu dibawah rata-rata maka butiran minyak akan susah terpisah dan jika
suhu diatas maka akan terjadi pembekuan. Crude oil tank yang digunakan di PT
X sebanyak 1 unit dengan kapasitas 10 ton. Tangki COT juga dilengkapi pompa
sebanyak dua unit yang berfungsi untuk mengalirkan minyak ke tangki
pengendapan (Continous Settling Tank).
d. Continous Settling Tank (CST)
Alat ini berbentuk tabung silinder yang terbuat dari baja dengan bagian
luarnya diberi lapisan agar suhu tidak turun dan bagian bawahnya berbentuk
kerucut yang dilengkapi dengan coil-coil berisi steam. Alat ini tujuannya untuk
memisahkan minyak dan slugde serta air dengan cara proses pengendapan dan
perbedaan berat jenis dari masing-masing komponen crude oil. Crude oil
(minyak kasar) yang memiliki berat jenis lebih ringan akan menuju ke atas
(permukaan) dan keluar menuju clean oil tank dengan bantuan oil skimmer,
sedangkan sludge akan berada di bawah minyak dan keluar melalui under flow.
Sludge bisa dikeluarkan karena ada tekanan sludge itu sendiri (tinggi sludge) dan
lapisan diatasnya. Tebal oil layer dijaga tetap stabil antara 30 – 40 cm, bila
kurang dari itu akan banyak emulsi kedepan oil tank dan bila terlalu tebal maka
kandungan minyak akan banyak terikut ke sludge tank. Suhu di dalam CST harus
dijaga agar tetap berkisar 90 – 95 oC, sehingga perlu diperhatikan dalam
pemberian steam. Hal ini dimaksudkan agar pengutipan minyak berlangsung
secara optimal. Pemanasan dengan pemberian steam ini dilakukan secara injeksi
(saat mulai processing mencapai temperatur kerja lebih cepat) dan pemanasan
steam di dalam coil (sampai temperatur kerja akhir proses produksi).
e. Sludge Tank
Sludge Tank berfungsi untuk menampung sementara lumpur yang akan
diolah di sludge separator. Sludge tank hampir sama dengan COT yaitu
menimbun sludge dengan steam panas dipertahankan 90 – 95 oC diberikan secara
kontinyu untuk mempermudah pemisahan minyak dan pasir pada sludge.
f. Decanter / Sludge Separator
Decanter bertujuan untuk mengutip minyak dengan cara memisahkan
lumpur, heavy phase dan cairan yang masih mengandung minyak dengan gaya
sentrifugal. Alat ini memiliki kapasitas 25 ton/jam dan berjumlah 1 unit. Baik
30

Lumpur/sludge maupun Heavy Phase hasil pemisahan tersebut akan dialirkan ke


selokan munuju kolam fat pit yang selanjutnya akan dipompakan ke recovery
tank untuk dilakukan pengolahan lebih lanjut, sedangkan cairan (Light Phase)
yang masih mengandung minyak akan dipompakan ke CST untuk diolah
kembali karena masih mengandung banyak minyak.
g. Oil Purifier (oil separator)
Oil Purifier bertujuan untuk memurnikan/memisahkan minyak dari air
dan kotoran-kotoran ringan yang terkandung dalam minyak dengan cara
sentrifugal dan kecepatan putar sentrifugal pada alat ini mencapai kurang lebih
7500 rpm. Pada proses ini harus diperhatikan kinerja dari alat ini karena tahapan
ini merupakan tahapan akhir proses perlakuan untuk membuat CPO yang di
produksi benar-benar mencapai kualitas yang dikehendaki pasar terutama
keberhasilan mencapai kriteria kualitas air dan kotorannya yang seminimal
mungkin.
h. Vacuum Dryer
Alat ini berbentuk silinder yang tujuannya untuk mengurangi kadar air
dalam minyak sehingga diperoleh minyak sesuai dengan standar mutu yang
ingin dicapai/ditetapkan yaitu 0,1%. Caranya yaitu minyak dipompa dan
disemprotkan melalui nozel-nozel yang ada dalam pengering vacum, kemudian
injektor akan menghisap air yang terkandung dalam minyak sawit tersebut.
8. Oil Storage Tank
Oil storage tank adalah alat yang berbentuk silinder dan terbuat dari besi.
Alat ini tujuannya untuk tempat penyimpanan/penimbunan CPO yang dihasilkan
sebelum dijual. Prinsip kerja dalam alat storage tank minyak tetap dikondisikan
dalam keadaan hangat dengan suhu 45 – 50 oC untuk mempertahankan mutu
minyak. Untuk menjaga agar tetap panas, storage tank dialiri dengan steam
sistem coil.

4.2.3 Water Treatment Plant


Industri produksi CPO membutuhkan air bersih untuk proses pengolahan,
sebagai air umpan boiler dan proses lainnya yang ada di dalam industri.
Permenkes RI nomor 416 (1990) tentang persyaratan dan pengawasan kualitas
air mengatakan air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari
yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah
dimasak. Proses pengolahan air bersih bertujuan untuk meninjau kualitas air
sebelum digunakan agar memenuhi persyaratan yang ditentukan. Sumber air
dengan kualitas yang diinginkan jarang ditemui sehingga perlu adanya
pengolahan air agar didapatkan air dengan kualitas yang diinginkan. Zat padat
yang telarut tersebut harus dihilangkan atau paling tidak diturunkan kadarnya.
Untuk mendapatkan mutu air yang sesuai dengan yang diinginkan, diperlukan
proses pemurnian dengan penambahan chemical agar padatan dapat diendapkan.
Proses pengolahan air di setiap industri berbeda karena dipengaruhi oleh
kesesuaian kualitas air yang digunakan. Sumber air yang digunakan oleh PT X
diperoleh dari Sungai yang berada didekat industri pengolahan, air sungai
diambil dengan menggunakan bantuan pompa air (water pump). Unit
pengolahan air bersih PT X terdiri dari:
31

1. Kolam Tandon (kolam 1)


Kolam tandon merupakan proses pertama dalam pengolahan air bersih,
kolam tandon berfungsi sebagai tempat penampungan air dari sungai sebelum di
pompakan ke proses selanjutnya. Kolam tandon PT X ada 3 dengan kedalaman
2,5 meter dan luas 10 x 13 meter, pada kolam tandon 1 dan 2 terjadi proses
pengendapan lumpur, pasir dan kotoran dengan gaya gravitasi. Air dari kolam
tandon 3 kemudian dialirkan ke clarifier tank untuk proses selanjutnya. Air dari
kolam tandon 3 diinjeksikan bahan kimia ke dalam pipa air sebelum masuk ke
dalam clarifier tank. Pompa ini dijalankan secara terus menerus dengan bahan
kimia yang telah ditentukan dengan kondisi air sungai.
2. Tangki penjernihan (Clarifier tank)
Tangki ini merupakan tempat untuk memisahkan padatan yang tersuspensi
dalam air dengan cara flokulasi. Air dari kolam tandon diambil dengan
menggunakan raw water pump yang kemudian dialirkan pada clarifier tank
dengan kecepatan 80 m3. Lalu air di dalam clarifier tank akan ditambahkan
chemical pump yang terdiri dari aluminium sulfat sebanyak 50 kg, pengatur PH
yaitu soda ash sebanyak 25 kg dan poly aluminium chloride (PAC) sebanyak 500
g yang kemudian dilarutkan masing-masing ke dalam 600 L air dan diinjeksikan
dalam 1.800 L air menggunakan dosing pump.
Bahan kimia berfungsi untuk meningkatkan gesekan partikel kecil agar
dapat menjadi partikel besar agar mudah diendapkan dalam air, sehingga jumlah
flock yang tidak terendapkan atau melayang berkurang. Clarifier tank terdapat
flock yang kemudian akan mengendap pada dasar tangki dan air yang mengalir
secara overflow atau lebih jernih. Dari clarifier tank air akan mengalir menuju
water settling yang akan mengalami proses pengendapan selanjutnya.
3. Water Settling
Water settling adalah kolam yang mengendapkan lumpur atau padatan yang
telah terbentuk di clarifier tetapi belum sempat mengendap. Air dari clarifier
masuk kedalam kolam pengendapan dan langsung dipompa ke carbon filter.
Water settling PT X sebanyak 4 unit dengan ukuran masing-masing 16 x 6 x 6
meter dan dapat menampung 576 m3.
4. Carbon Filter
Saringan karbon dipakai untuk menghilangkan atau menyaring endapan
yang masih terdapat pada air setelah tangki pengendapan. Alat ini terdiri dari
tabung silinder yang didalamnya berisi karbon sebagai alat penyaring. Air dari
clarifier di pompakan mrnggunakan carbon filter pump masuk ke bak
sedimentasi kemudian masuk ke dalam saringan karbon (carbon filter) bagian
atas dan melalui pasir keluar dari bagian bawah tangki, kotoran atau sisa endapan
tertahan oleh saringan. carbon filter yang digunakan di PT X sebanyak 3 unit.
5. Water Tower Tank
Water tower tank digunakan Sebagai tempat cadangan air untuk keperluan
industri dan juga kebersihan industri. Air dari carbon filter dipompa masuk ke
water tower, air dari water tower tank akan dibagi untuk langsung ke kran-kran
di industri. Air yang digunakan untuk boiler harus dimurnikan terlebih dahulu,
sehingga akan melalui beberapa tahap proses dan akan masuk ke dalam softener
tank. Water tower tank yang digunakan di PT X 1 unit dengan kapasitas 280 m 3.
32

6. Softener Tank
Softener tank berfungsi untuk menangkap padatan terlarut dalam air. Air
dari water tower dipompakan ke dalam tanki softener dan dilewatkan pada
nozzle yang kemudian melewati lapisan resi penukar ion. Tanki softener
digunakan untuk mengurangi kadar TDS, Agnes, Magnesium dalam air dengan
menggunakan asam sulfat sebanyak 470 L dan resin. Tanki softener yang
digunakan di PT X sebanyak 1 unit.
7. Tangki Reverse Osmosis (RO Tank)
Dari tanki softener air kemudian dipompakan ke RO tank. RO tank berfungsi
sebagai tempat penampungan air dari tangki softener, selanjutnya air
dipompakan ke proses pengolahan RO. RO tank yang digunakan di PT X
sebanyak 1 unit.
8. Reverse Osmosis (RO)
Sebelum dipompakan ke boiler air terlebih dahulu melewati proses
pengolahan RO. RO merupakan proses yang dikendalikan oleh tekanan.
Membran RO dapat meningkatkan tekanan air pada bagian TDS (Total Disolved
Solid) yang tinggi menjadi dia atas tekanan osmotik nya dan mendorong air
untuk melewati membrane hingga sisi dengan TDS rendah. Kapasitas air mesin
RO yang dimiliki PT X yaitu 15 ton/jam.

4.2.4 Waste Water Treatment Plant (WWTP)


Seiring dengan perkembangan perkebunan kelapa sawit yang diikuti
dengan pembangunan industri yang cukup pesat, akan mempengaruhi
lingkungan sekitarnya terutama badan penerimaan limbah. Untuk mengurangi
dampak negatif dari pengolahan kelapa sawit yang mengacu pada Undang-
Undang No 4 tahun 1982 dan Peraturan Pemerintah mengenai pengendalian
limbah, maka limbah pabrik minyak kelapa sawit (PMKS) harus dilakukan
dengan baik. Pengelolaan limbah cair PMKS umumnya dilakukan dengan cara
konvensional dengan menggunakan teknologi kolam terbuka, limbah cair yang
dihasilkan industri pengolahan sekitar 2,9 – 3,5 m3 dalam setiap ton CPO
(Nasution et al. 2018). Pengendalian limbah industri CPO dapat dilakukan
dengan cara pemanfaatan limbah, pengurangan volume limbah, dan pengawasan
mutu limbah. Adapun tempat yang menghasilkan limbah cair pada industri
pengolahan kelapa sawit di PT X adalah:
a. Air kondensat dari kegiatan merebus TBS di stasiun sterilizer
b. Buangan air yang bercampur sludge pada stasiun pemurnian minyak
c. Buangan larutan kalium sisa pemakaiannya pada stasiun pengolahan biji
sawit
d. Air kebersihan dari PMKS.
Penanganan limbah cair dilakukan secara biologis dengan sistem kolam.
Pemantauan pada limbah cair dengan cara melakukan pengukuran debit dan
pengujian outlet IPAL yang ada. Pengujian pada outlet IPAL dilakukan oleh
laboratorium Badan Lingkungan Hidup. Pemantauan kualitas air dilakukan
terhadap aliran air limbah dari kolam pengolahan air limbah ke sungai.
Parameter yang dipantau meliputi : pH, TSS, BOD, COD, Nitrogen Total
(amoniak, nitrat, nitrit), minyak dan lemak. Hasil pemantauan dibandingkan
33

dengan baku mutu kualitas air limbah industri CPO. Karakteristik limbah cair
PT X dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Karakteristik limbah cair industri CPO PT X


Parameter Satuan Baku Mutu Hasil Pengujian
Bulan
Mei Juni Juli
Fisika
Padatan tersusupensi total, mg/L 250 201 209 219
TSS
Kimia Anorganik
pH pH 6-9 8,6 8,7 8,3
BOD5 mg/L 100 89 90 93
COD mg/L 350 297 293 304
Nitrogen Total mg/L 40 21,78 20,14 25,01
Kimia Organik
Minyak dan Lemak mg/L 25 11 13 14
Sumber data: PT X Provinsi Bengkulu (2021)

Limbah cair dari proses pengolahan dipompa dari sludge waste tank menuju
kolam pendingin (cooling pond). Kolam limbah PT X terdiri dari 5 tipe kolam
dan digunakan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Kolam Pendingin (Cooling Pond)
Kolam ini bertujuan untuk mendinginkan air limbah yang kemungkinan
masih panas, sehingga diperoleh suhu air limbah dibawah 40 °C untuk
mendukung kehidupan bakteri anaerobik pada seri kolam pengolahan limbah
berikutnya. PT X memiliki kolam pendinginan sebanyak 3 kolam.
2. Kolam Pengasaman (Acidification Pond)
PT X memiliki 2 kolam pengasaman. Pada kolam ini terjadi perombakan
bahan organik majemuk yang terkandung dalam limbah cair seperti minyak dan
lemak bersamaan dengan itu bakteri-bakteri aktif (anaerobic liquar). Pada
proses ini akan terjadi penurunan pH, kenaikan Volatile Fatty Acid (VFA), serta
pembentukan carbon dioksida.
3. Kolam Anaerob (Anaerobic Pond)
Fase ini disebut juga sebagai fase pembentukan gas metan. Limbah cair
yang sudah bercampur dengan bakteri, setelah di kolam pengasaman dialirkan
ke kolam anaerob. Pada fase ini terjadi pembentukan gas metan, karbon dioksida,
kenaikan pH mencapai VFA dibawah 1.000 ppm, serta kenaikan alkalinity
mencapai 2.000 ppm. PT X kolam anaerob ini terbagi menjadi dua macam yaitu
anaerob primer sebanyak 2 kolam dan anaerob sekunder sebanyak 2 kolam yang
mempunyai fungsi yang sama.
4. Kolam Aerob (Aerobic Pond)
Setelah mengalami proses metan, maka limbah yang sudah mengalami dua
kali perlakuan selanjutnya dialirkan ke kolam aerobic. Pada fase ini cairan
sebanyak mungkin kontak dengan udara agar BOD dan COD serta Nitrogen
34

turun kadarnya dan mencapai standar yang diizinkan. PT X kolam aerob terdapat
2 kolam yang mana memiliki fungsi yang sama.
5. Kolam Sedimen (Pengendapan)
Setelah melewati beberapa tahap penguraian limbah kemudian dialirkan ke
kolam seedimen ini dengan tujuan untuk mengendapkan sisa-sisa limbah padat
yang belum terurai dengan mikroba. Kolam sedimen PT X terbagi menjadi dua
bagian yaitu kolam sedimen primer dan kolam sedimen sekunder (final pond).
Seluruh kolam pengolahan limbah cair PT X disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Kolam Pengolahan Limbah Cair di PT X


Kolam Nama Kolam Luas (ha) Volume (m3)
I Cooling Pond 0,145 1,440
II Acidification Pond I 0,149 3,600
III Seeding pond 0,1 2,880
IV Anaerobic Pond I (Primer) 0,264 57,600
V Anaerobic Pond II (Primer) 0,265 57,600
VI Anaerobic Pond I (Sekunder) 0,407 28,800
VII Anaerobic Pond II (Sekunder) 0,329 28,800
VIII Aerobic I 0,184 10,600
IX Aerobic II 0,153 10,600
X Sedimentation pond 0,174 1,440
XI Final pond 0,127 1,440
Sumber data: PT X Provinsi Bengkulu (2021)

4.3 Tujuan dan Ruang Lingkup LCA CPO


Tujuan dan ruang lingkup merupakan tahap awal penentuan penelitian LCA
untuk menentukan data yang diamati dan diolah untuk menjelaskan tentang produk,
proses atau aktivitas yang dilakukan, penetapan batasan yang akan dikaji dan
mengetahui dampak lingkungan dari daur hidup produksi CPO. Tujuan dari
penelitian LCA ini adalah menganalisis daur hidup produksi CPO melalui
identifikasi input yang digunakan dan output yang dihasilkan dari proses produksi
CPO (inventory analysis) dan menganalisis potensi dampak lingkungan diantaranya
berupa GWP, asidifikasi, dan eutrofikasi, serta memberikan rekomendasi alternatif
perbaikan dalam upaya penurunan dampak lingkungan. Ruang lingkup atau batasan
LCA produksi CPO ini adalah cradle to gate yaitu dimulai dari subsistem proses
perkebunan meliputi (pembibitan dan pemeliharaan bibit, pemeliharaan TM, panen
dan transportasi ke industri), subsistem proses produksi CPO di industri, subsistem
proses pengolahan air bersih dan subsistem proses pengolahan air limbah. Unit
fungsional dalam penelitian LCA produksi CPO ini yaitu 1 ton produksi CPO.
Batasan sistem penelitian LCA produksi CPO dapat dilihat pada Gambar 7.
35

Bibit, Pupuk,
air, insektisida, Perkebunan
herbisida, solar, Emisi
fungisida
Kelapa Sawit

Transportasi
TBS
Proses Perkebunan

Air bersih
Air sungai dan air CPO
hujan, listrik, Pengolahan air TBS masyarakat, Proses produksi
listrik, solar, air, Emisi
flokulan, aluminium bersih steam
CPO Limbah
sulfat, Na2CO3 Lumpur dan padat
kotoran
lainnya
Proses Produksi Limbah cair
Pengolahan air bersih
Emisi

Listrik, biocenica Pengolahan air limbah Emisi

Pengolahan air
limbah

Air limbah terolah

Gambar 7. Batasan sistem penelitian LCA produksi CPO

4.4 Analisis Inventori (LCI)


Analisis inventori (LCI) merupakan tahap kedua dari penelitian LCA,
analisis inventori dilakukan untuk mengidentifikasi aliran input/masukan (bahan
baku, bahan tambahan dan energi) serta output/keluaran (produk, produk samping,
limbah dan emisi) pada setiap unit proses sesuai ruang lingkup penelitian LCA
produksi CPO yang sudah ditentukan. Pembuatan analisis inventori harus
menyesuaikan pada ruang lingkup yang telah dibuat, karena analisis inventori harus
sesuai dengan kebutuhan pada penilaian dampak lingkungan yang telah ditentukan
(Rosmeika et al. 2014). Pengumpulan data analisis inventori dilakukan secara
kuantitatif yang diperoleh dari PT X berdasarkan data dan perhitungan yang
dilakukan. Analisis inventori terdiri dari 4 subsistem. Subsitem 1 yaitu subsistem
perkebunan kelapa sawit meliputi proses pembibitan kelapa sawit (pembibitan dan
pemeliharaan bibit), proses pemeliharaan TM dan proses panen dan transportasi
TBS ke industri pengolahan. Subsistem 2 yaitu proses produksi CPO PT X, proses
pengolahan kernel tidak termasuk dalam perhitungan dampak. Subsistem 3 yaitu
proses pengolahan air bersih (Water treatment plant) dan subsistem 4 yaitu proses
pengolahan air limbah (waste water treatment plant).

4.4.1 Data Inventori Subsistem Perkebunan Kelapa Sawit


Subsistem perkebunan kelapa sawit meliputi beberapa tahap proses yaitu
proses pembibitan dan pemeliharaan bibit, proses pemeliharaan TM serta proses
panen dan transportasi TBS ke industri pengolahan. Keseluruhan Data inventori
subsistem perkebunan dapat dilihat pada Tabel 7. Neraca massa subsistem
proses perkebunan kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 8.
1. Data inventori pembibitan dan pemeliharaan bibit
Proses pembibitan kelapa sawit dalam 1 siklus pembibitan dilakukan selama
satu tahun lamanya. Proses pembibitan dibagi menjadi dua tahap (pre nursery
dan main nursery). Luas lahan pembibitan yang telah disiapkan seluas 35,5 ha.
Luas lahan pembibitan pada tahap pre nursery seluas 5,5 ha dan jumlah bibit
kelapa sawit sebanyak 250.000 bibit, dengan umur tanam 0 – 3 bulan, media
36

tanam tahap pre nursery menggunakan polybag berukuran 7 cm x 14 cm. Luas


lahan pembibitan tahan main nursery seluas 30 ha dengan jumlah bibit sebanyak
130.000 bibit, Umur tanam tahap main nursery 5 – 12 bulan dengan media tanam
polybag yang lebih besar, berukuran 40 cm x 50 cm atau 45 cm x 60 cm (lay
flat), tebal 0,11 mm. Umur tanam pembibitan pada PT X berumur 6 bulan.
Selama masa pembibitan dilakukan penyiraman bibit dengan menggunakan
bantuan sprinkler dan pipa paralon, air yang digunakan berasal dari sungai yang
dialirkan ke kolam penampungan dan cara menyiramnya harus dengan
semprotan halus agar bibit dalam polybag tidak rusak dan tanah tempat
tumbuhnya tidak padat. Mesin pompa air menggunakan mesin yanmar ps100,
selama pengoperasianya mesin pompa menghabiskan 8.462 L bahan bakar solar
dan menghasilkan 362.173,6 MJ daya. Total kebutuhan air selama masa
pembibitan mencapai 154.400 m3.
Pemberian pupuk pada bibit dilakukan dua minggu sekali, pupuk yang
digunakan adalah pupuk NPK 15-15-6-4 dan NPK 12-12-17-2. Pemberian
pupuk diberikan dengan dosis 8 g NPK dalam 5 L air/100 bibit untuk tahap pre
nursery, sementara untuk tahap main nursery pupuk NPK diberikan dengan
dosis yang berbeda-beda tergantung dari umur bibit tanaman. Pengendalian
hama dan penyakit pada pre nursery dan main nursery dilakukan setiap 2
minggu sekali dengan menggunakan insektisida dan fungisida, insektisida yang
digunakan yaitu insektisida decis dan matador sedangkan fungisida yang
digunakan dengan merk dagang dithane m-45. Tahap pre nursery penyiangan
gulma dilakukan secara manual yaitu dengan cara dikored dengan arit rumput.
Tahap main nursery penyiangan gulma dilakukan dengan manual dan chemis
atau disemprot dengan herbisida. Output dari pembibitan dan pemeliharaan bibit
yaitu bibit kelapa sawit yang siap dipindahkan kelahan atau diaplikasikan ke
afdeling perkebunan. Pembibitan kelapa sawit PT X tahun 2021 mengadakan
pembibitan kelapa sawit sebanyak 380.000 bibit, terdapat sebanyak 358 bibit
yang mati atau rusak dan diganti dengan bibit yang baru. Dari 380.000 bibit
kelapa sawit ini nanti menghasilkan juga pohon sawit sebanyak 380.000 pohon.
2. Data inventori pemeliharaan tanaman menghasilkan (TM)
Pemeliharaan TM PT X terbagi menjadi dua proses diantaranya
pemeliharaan pengendalian gulma dan pemupukan tanaman. Pengendalian
gulma perkebunan PT X dilakukan secara khemis dan mekanis, bergantung pada
jenis gulma tiap blok areal afdeling. Pengendalian gulma dilakukan secara rutin
dengan pertimbangan cuaca untuk mengupayakan agar areal lahan selalu dalam
keadaan bebas gulma. Pengendalian gulma secara mekanis dilakukan dengan
menggunakan mesin potong rumput dan memerlukan input bahan bakar pertalite
dan oli mesin rumput untuk menghidupkan mesin. Pengendalian gulma secara
mekanis untuk luas 1 ha memerlukan 3 orang pekerja dengan produktivitas 0,35
ha/pekerja. Peralatan lain yang biasa digunakan pekerja untuk pengendalian
gulma secara mekanis yaitu parang panjang. Satu kali pemakaian mesin potong
rumput dapat menghabiskan 2 L bensin dan untuk pemakaian oli digunakan 0,7
L oli/unit mesin potong rumput, sementara pengendalian gulma secara khemis
(kimia) menggunakan alat tangki semprot (herbicide sprayer), proses ini
memerlukan input berupa herbisida. Herbisida yang biasa digunakan ada yang
bersifat kontak muapun sistemik. Herbisida kontak yang digunakan di afdeling
PT X adalah campuran gramoxon 276 SL dan winson 20 WG, sedangkan
37

herbisida sistemik yang biasa digunakan adalah herbisida reaktif 490 SL dan
herbisida wintag. Penyemprotan herbisida dengan konsentrasi 40 - 50 mL/15 L
air. Nozzle yang digunakan adalah nozzle v. Pengendalian gulma khemis untuk
luas lahan 1 ha membutuhkan 30 tanki (15 L/tanki) atau sekitar 1.200 mL
herbisida.
Pemupukan TM merupakan hal penting untuk perkembangan pertumbuhan
generatip tanaman. Teknis pelaksanaan pemupukan perkebunan PT X adalah
dengan menebarkan pupuk dipiringan dan gawangan tanaman kelapa sawit.
Pemupukan TM memerlukan input pupuk dolomit dan tandan kosong kelapa
sawit, dosis yang digunakan untuk pupuk dolomit 1,5 kg/phn/thn,
pengaplikasian pupuk dolomit dilakukan dengan cara menebar pupuk pada
piringan dengan jarak 2 - 3 m dari batang pohon, sedangkan kebutuhan tandan
kosong kelapa sawit untuk TM 35 – 40 ton/ha. Pengaplikasian mulsa tandan
kosong dilakukan dengan cara menebar pupuk tandan kosong pada gawangan
dengan jarak 4 - 5 m dari batang pohon. Output dari pemeliharaan TM yaitu
tandan buah segar (TBS). Produktivitas TBS yang dihasilkan perkebunan PT X
yaitu sebanyak 17.725,69 ton TBS.

Tabel 7. Data inventori subsistem perkebunan PT X tahun 2021


Proses Inventori Satuan Jumlah/Tahun
Input
Pembibitan kecambah Sawit Bibit 380.000
Pemeliharaan bibit NPK 15-15-6-4 kg 11.850
NPK 12-12-17-2 kg 15.300
Fungisida Dithane M-45 kg 105
Insektisida Decis L 125
Herbisida Wintag L 82
Pemakaian Air m3 154.400
Solar L 8.462
380.000
Output Bibit kelapa sawit Bibit (+358)
Input
Pemeliharaan TM Herbisida reaktif 490 SL L 2.841,67
gramoxon 276 SL L 955,15
Herbisida wintag L 789,74
Herbisida winson 20 WG kg 20,23
BBM Mesin Rumput L 2.508,50
Oli mesin rumput L 204,4
Dolomit Ton 1.155
Tandan kosong Ton 13.663,32
Output TBS panen Ton 17.725,69
Input
Transportasi Kebun Solar angkut L 27.705,3
TBS panen Ton 17.725,69
Total jarak tempuh km 124
Output TBS transport Ton 17.725,69
Sumber data: PT X Provinsi Bengkulu (2021)
38
Air
(154.400 m3)
Kecambah sawit Solar
(380.000) (8.462 L)

NPK 15-15-6-6 (11.850 kg)


NPK 12-12-17-2 (15.300 kg)
Pembibitan dan Pemeliharaan
Dithane M-45 (105 kg) Emisi
bibit
Insektisida decis (125 L)
Herbisida wintag (82 L)
bibit sawit (380.000)
Dolomit (1.155 ton)
Herbisida reaktif 490 SL (2.841,67 L)
Herbisida gramoxon 276 SL (955,15 L) Pemeliharaan Tanaman
Herbisida wintag ( 789,74 L) Emisi
Menghasilkan
Herbisida winson 20 WG (20,23 kg)
BBM mesin rumput (2.508,50 L)
Oli mesin rumput (718,63 L)
TBS Panen
(17.725,69 ton)

Panen dan Transportasi ke


Solar angkut (27.705,3 L) Emisi
industri

TBS Transport
(17.725,69 ton)

Industri Pengolahan kelapa


Energi Emisi
sawit

Gambar 8. Neraca massa subsistem proses perkebunan kelapa sawit

3. Data inventori panen dan transportasi panen


Panen merupakan suatu kegiatan memotong tandan buah yang sudah
matang kemudian mengutip tandan dan brondolan yang tercecer didalam dan
diluar piringan, selanjutnya menyusun TBS di tempat pengumpulan hasil (TPH)
(Harahap dan Junaedi 2017). TBS yang dipanen kemudian diangkut ke industri
pengolahan CPO dengan menggunakan truk dengan kapasitas angkut 8 ton dan
triton dengan kapasitas angkut 3 ton, masing – masing alat transportasi yang
digunakan menggunakan bahan bakar solar. TBS dan brondolan yang dikirim ke
industri maksimum dalam kurun waktu 24 jam setelah panen. Transportasi TBS
kebun berasal dari 12 afdeling perkebunan, lokasi dan jarak tempuh TPH
afdeling ke industri pengolahan berbeda – beda. Perhitungan data inventori
transportasi dilakukan dengan software Simparo menggunakan satuan ton.km
(tkm). Perhitungan data inventori dengan satuan tkm diperoleh dari data beban
berat muatan dalam satuan ton pada kendaraan dikalikan dengan jarak yang
ditempuh dalam satuan kilometer (km). Penentuan jarak dari 12 afdeling kebun
ke industri berdasarkan aplikasi google maps dan dihitung untuk sekali
perjalanan.

4.4.2 Data Inventori Subsistem Proses Produksi CPO


Kapasitas produksi CPO PT X yaitu 30 ton/jam, industri produksi CPO
umumnya beroperasi 16 – 24 jam per hari tergantung kondisi dan kebijakan
operasional perusahaan. Umumnya proses yang dilakukan meliputi proses
sterilisasi, perontokan, pencacahan, dan pengepresan untuk mendapatkan
minyak sawit (Hasibuan dan Hermawan 2017). Proses produksi CPO diperlukan
berbagai macam input mulai dari material bahan baku berupa TBS baik dari
masyarakat dan TBS dari kebun inti PT X, energi listrik, steam, air, solar dan
39

lain sebagainya, sedangkan output meliputi hasil produksi CPO, limbah padat
yang dihasilkan, dan potensi dampak lingkungan. Energi listrik untuk
mengoperasikan mesin berasal dari steam turbin yang memanfaatkan uap dari
pembakaran pada boiler. Pemenuhan energi listrik industri pengolahan PT X
selain menggunakan steam turbin, ditunjang dengan adanya diesel genset yang
berjumlah 2 unit. Energi listrik berperan penting untuk menjamin berlangsungya
proses sebagai penggerak mesin dan kebutuhan listrik lain yang menunjang
sistem di industri produksi CPO. Solar selain digunakan untuk bahan bakar
genset, digunakan juga untuk bahan bakar alat berat JCB loader dan bahan bakar
transportasi industri untuk menggangkut limbah tandan kosong ke afdeling
perkebunan. Air digunakan sebagai bahan utama untuk proses pemasakan pada
boiler untuk menghasilkan steam dan air digunakan untuk proses kebersihan
industri. Data inventori proses produksi CPO menggunakan data tahun 2021
yang dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Data iventori subsistem proses produksi CPO tahun 2021


Data Satuan Jumlah/Tahun
Input
TBS masyarakat Ton 44.380,31
TBS transport Ton 17.725,69
Solar L 248.470
Listrik kWh 1.071.539,45
Air proses m3 99.993,60
Steam/uap kg 29.500.331
Oli L 5,427
Output
CPO Ton 11.617,82
Limbah tankos Ton 13.663,32
Limbah fibre Ton 8.073,78
Cangkang Ton 3.805,24
Solid kg 931.590
Limbah cair m3 37.263,57
Sumber data: PT X Provinsi Bengkulu (2021)

Data inventori pengolahan TBS PT X tahun 2021 sebanyak 62.106 ton


TBS/tahun, kebutuhan energi listrik untuk proses produksi yang bersumber dari
steam turbin dan diesel genset sangat besar. Dermawan (2012) menyatakan
parameter umum kebutuhan energi listrik di industi produksi CPO yaitu sebesar
17-19 kWh/ton TBS, untuk proses produksi 1 ton TBS memerlukan air bersih
sebanyak 1,6 m3. Konsumsi energi listrik dan air proses PT X selama 1 tahun
sebesar 1.071.539,45 kWh dan 99.993,60 m3. Boiler berfungsi untuk
menghasilkan steam atau uap panas yang digunakan untuk proses produksi CPO,
proses produksi 1 ton TBS memerlukan steam sebanyak 475 kg. untuk
menghasilkan 1 ton CPO dengan rendemen 20% memerlukan 5 ton TBS. Neraca
massa subsistem proses produksi CPO dapat dilihat pada Gambar 9.
40

TBS (kebun inti dan


masyarakat)
Proses Produksi
CPO

Timbangan

Sortasi

TBS lolos sortasi

Loading ramp

TBS lori
TBS masyarakat Sterilizer
(44.380,31 Ton)
TBS sterilizer
TBS kebun inti Afdeling
(17.725,69 Ton) Threshing Truk
Limbah tankos (13.663,32 Ton) perkebunan
Brondolan
Solar (248.470 L)
Digesting
Listrik
(1.071.539,45 kWh) Brondolan terpisah dari biji
Air Proses
Pressing Boiler
(99.993,60 m3) Limbah fibre
Steam Minyak kasar (8.073,78 Ton)
(29.500.331 kg) Stasiun
Oli Pemurnian
Limbah cangkang
(5,427 L)
(3.805,24 Ton)
Sand trap tank

Minyak kasar

Vibrating screen Ampas saringan Limbah cair


(37.263,57 m3)
Minyak kasar

Crude oil tank

Minyak kasar
Continous minyak
settling tank
Sludge+minyak
minyak

Oil purifier

Sludge tank

Sludge+minyak Vacuum dryer

Decanter
CPO
Oil storage tank
(11.617,82 Ton)

Solid (931.590 kg)


Gambar 9. Neraca massa subsistem proses produksi CPO

4.4.3. Data Inventori Subsistem Pengolahan Air Bersih (WTP)


Proses pengolahan air bersih merupakan salah satu sarana infrastruktur
yang memiliki peran cukup penting dalam memenuhi kebutuhan air bersih di
suatu kawasan industri. Pasra dan Faisal (2015) menyatakan water treatment
plant (WTP) merupakan proses pengolahan air baku menjadi air proses bebas
mineral atau demineral, dengan menerapkan sitem WTP yang dilakukan secara
terpadu dapat mencakup segala kebutuhan air bersih baik untuk kegiatan industri
dan kelancaran proses yang lainya. Kebutuhan air bersih PT X dibagi menjadi
dua, yaitu kebutuhan air non domestik dan kebutuhan air domestik. Kebutuhan
41

air non domestik meliputi kebutuhan air untuk kantin, kamar mandi, dan
kebersihan industri. Sedangkan untuk kebutuhan air domestik meliputi
kebutuhan air untuk penunjang proses produksi CPO dan untuk proses umpan
air boiler. WTP PT X membutuhkan input bahan baku berupa air baku yang
berasal dari air sungai. Selain air baku, bahan pendukung yang wajib digunakan
dalam WTP dan yang mempengaruhi kualitas hasil air bersih adalah bahan kimia.
Bahan kimia yang digunakan adalah Al₂(SO₄)₃ (aluminium sulfat), Na₂CO₃ (soda
ash) dan poly aluminium chloride (PAC). Pengoperasian WTP juga memerlukan
input energi listrik untuk menghidupkan pompa air dan mensirkulasikan air ke
tangka penampungan yang lainnya. Output dari WTP yaitu air bersih yang siap
digunakan untuk kebutuhan air domestik dan non domestik. Data inventori
pengolahan air bersih menggunakan data tahun 2021 yang dapat dilihat pada
Tabel 9. Neraca massa subsistem pengolahan air bersih dapat dilihat pada
Gambar 10.

Tabel 9. Data inventori subsistem pengolahan air bersih (WTP)


Data Satuan Jumlah/Tahun
Input
Pemakaian air sungai m3 171.723
AL2(SO4)3 kg 2.972,9
Na2CO3 kg 1.462,4
PAC kg 101,7
Listrik kWh 627,93
Output
Pemakaian air proses m3 99.993,60
kotoran (pasir, lumpur) kg 63
Sumber data: PT X Provinsi Bengkulu (2021)

Aluminium sulfat PAC


(2.972,9 kg) (101,7 kg)
Air sungai Listrik
(171.723 m3) Na2CO3 (9627,93 kwh)
(1.462,4 kg)

Kolam tandon
Clarifier Water Carbon Kotoran air
Kolam 1 Kolam 2 Kolam 3 tank settling filter (63 kg)

Reverse Water
Reverse Softener
osmosis tower
osmosis tank
tank tank

Air proses
(99.993,60 m3) Emisi

Gambar 10. Neraca massa subsistem pengolahan air bersih (WTP)

Kebutuhan air PT X tahun 2021 sebanyak 99.993,60 m3 yang air bakunya


berasal dari sungai, penggunaan air proses untuk pengolahan 1 ton TBS
memerlukan air sebanyak 1,6 m3. Kebutuhan bahan kimia berupa Al₂(SO₄)₃
42

(aluminium sulfat) sebanyak 2.972,9 kg, Na₂CO₃ (soda ash) sebanyak 1.462,4
dan PAC sebanyak 101,7 kg. Selama pengoperasiannya kebutuhan listrik WWT
sebesar 627,93 kWh.

4.4.4. Data Inventori Subsistem Pengolahan Air Limbah (WWTP)


Proses pengolahan kelapa sawit di industri selain menghasilkan output
berupa produk, juga menghasilkan limbah cair. Industri pengolahan kelapa sawit
termasuk industri yang menghasilkan limbah cair dalam jumlah yang relatif
besar dengan kandungan bahan organik yang tinggi. Proses pengolahan limbah
cair industri kelapa sawit pada umumnya selama ini dilakukan dengan cara
konvensional dan ditangani dengan mengalirkan dan membiarkan
terdekomposisi di dalam sistem kolam (pond). Pengelolaan dengan sistem kolam
ini menggunakan kolam anaerobik, kolam fakultatif dan kolam aerobik, dimana
sebagian besar bahan organik terdekomposisi secara anaerobik yang
menyebabkan bau busuk serta emisi gas rumah kaca (metana) dan berkontribusi
terhadap pemanasan global. Karakteristik limbah cair yang dihasilkan industri
pengolahan kelapa sawit bervariasi tergantung pada karakteristik bahan baku,
jenis teknologi proses, praktek operasi dan pemeliharaan pabrik. Limbah cair
yang dihasilkan PT X untuk 1 ton proses pengolahan TBS yaitu 0,6 m 3, dalam
pengolahan air limbah juga memerlukan input berupa listrik yang digunakan
untuk mengoperasi alat aerator dan juga input bakteri bio treatment 0168 yang
digunakan sebagai penyeimbang kadar asam dan basa pada POME (Palm Oil
Mill Effluent) agar memiliki pH yang netral. Data inventori pengolahan air
limbah menggunakan data tahun 2021 yang dapat dilihat pada Tabel 10. Neraca
massa subsistem pengolahan air limbah dapat dilihat pada Gambar 11.

Tabel 10. Data inventori subsistem pengolahan air limbah (WWTP)


Data Satuan Jumlah/Tahun
Input
Limbah cair m3 37.263,57
bio treatment 0168 kg 110
listrik kWh 6.372
Output
Limbah cair terolah m3 11.179,07
Sumber data: PT X Provinsi Bengkulu (2021)

Listrik
Limbah Cair (6.372 kwh) BIo treatment 0168
(37.263,57 m3) (110 kg)

Limbah cair Cooling Acidification Seeding Anaerobic Anaerobic


industri pond pond I pond pond I (primer) pond II (primer)

Sedimentation Aerobic Aerobic Anaerobic Anaerobic


Final pond
pond pond II pond I pond I (sekunder) pond I (sekunder)

Air limbah terolah Lumpur


(11.179,07 m3) Emisi

Gambar 11. Neraca massa subsistem pengolahan air limbah (WWTP)


43

4.5 Analisis Dampak (Impact Assessment)


Analisis dampak merupakan tahap ketiga penelitian LCA yang bertujuan
untuk mengidentifikasi dampak kegiatan produksi CPO terhadap lingkungan
berdasarkan hasil analisis inventori pada tahap sebelumnya. Kategori dampak
lingkungan yang dikaji adalah GWP, asidifikasi, dan eutrofikasi. Perhitungan
dampak pada software SimaPro menggunakan metode penilaian dampak CML-IA
Baseline. Perhitungan nilai dampak lingkungan dilakukan dengan unit fungsi 1 ton
produksi CPO pada unit proses. Penilaian dampak dibagi menjadi 2 yaitu penilaian
dampak berdasarkan sumber emisi dan berdasarkan unit proses. Dampak
berdasarkan unit proses dihitung berdasarkan subsistem proses produksi CPO,
dimulai dari proses produksi bahan baku di perkebunan (pembibitan dan
pemeliharaan bibit, pemeliharaan TM dan transportasi TBS ke industri), proses
produksi CPO PT X, proses pengolahan air bersih dan proses pengolahan air limbah.
Dampak berdasarkan sumber emisi berdasarkan bahan-bahan atau kegiatan yang
menghasilkan emisi sepanjang siklus produk.

4.5.1 Analisis Dampak Berdasarkan Unit Proses


Berdasarkan analisis inventori dan batasan ruang lingkup cradle to gate,
untuk satu siklus produksi CPO ditemukan bahwa produksi 1 ton CPO
membutuhkan proses pengolahan 5 ton TBS. Setiap kegiatan akan menghasilkan
emisi baik dari penggunaan material bahan baku dan bahan tambahan,
penggunaan energi, transportasi, maupun limbah. Siklus daur hidup produksi
CPO yang dikaji terbagi menjadi empat subsistem proses yaitu perkebunan
kelapa sawit, proses produksi CPO di industri, proses pengolahan air bersih dan
proses pengolahan air limbah. Keempat subsistem proses akan diperhitungkan
masing-masing dampaknya.
1. Analisis dampak subsistem perkebunan kelapa sawit
Perhitungan dampak subsistem perkebunan kelapa sawit dihitung sebagai
jumlah emisi yang dihasilkan selama aktivitas kebun dalam satu tahun produksi.
Total emisi pada setiap proses merupakan total emisi yang terjadi selama proses
kegiatan. Luas lahan perkebunan PT X seluas 8.902 ha yang terbagi kedalam 12
afdeling perkebunan. Subsistem perkebunan kelapa sawit terdiri dari beberapa
unit proses yaitu pembibitan dan pemeliharaan bibit, pemeliharaan TM, panen
dan transportasi TBS ke industri. Pembibitan kelapa sawit dilakukan dengan 2
tahap yaitu pre nursery dan main nursery. Selama masa pembibitan dilakukan
penyiraman, pemupukan dan perawatan terhadap bibit. Proses penyiraman bibit
digunakan solar sebagai bahan bakar mesin pompa air. Proses pemupukan pada
bibit menggunakan pupuk NPK dan untuk proses perawatan menggunakan
herbisida, fungisida dan insektisida. Pembibitan kelapa sawit menghasilkan
dampak GWP berasal dari kegiatan pemupukan, pupuk NPK dapat melepaskan
emisi gas rumah kaca karena pupuk NPK terdapat kandungan N yang akan
bereaksi dan menghasilkan emisi GRK N2O. Sedikit penggunaan pupuk NPK
dapat menimbulkan dampak GWP karena nilai radiasi emisi N2O lebih besar 298
kali lipat dibanding CO2 (IPCC 2007).
Proses perawatan TM kelapa sawit meliputi pemeliharaan pengendalian
gulma dan pemupukan tanaman. Pengendalian gulma dilakukan secara rutin
dengan pertimbangan cuaca untuk mengupayakan agar areal lahan selalu dalam
44

keadaan bebas gulma. Pengendalian gulma luas lahan 1 ha membutuhkan


herbisida paraquat sekitar 0,6 – 1,25 kg/ha setiap kali pengaplikasian dan
glyposfat 1.875 – 3,125 kg/ha, sementara pengendalian gulma secara mekanis
untuk luas lahan 1 ha membutuhkan 6 L bensin. Pemupukan TM PT X
menggunakan pupuk dolomit, pemakaian pupuk dolomit untuk luas 1 ha sekitar
204 kg/ha/thn. Kebun sawit mulai dipanen setelah 6 – 8 tahun setelah tanam
dengan frekuensi panen 10 – 15 hari atau 2 – 3 kali sebulan. Proses transportasi
bahan baku TBS mencakup semua transportasi bahan baku dari afdeling kebun
ke industri pengolahan PT X. Proses transportasi TBS menghasilkan dampak
lingkungan. Proses pengangkutan TBS dari afdeling kebun menggunakan truk
dengan kapasitas angkut TBS 8 ton dan triton dengan kapasitas angkut TBS 3
ton, masing – masing alat angkut yang digunakan menggunakan bahan bakar
solar, solar yang digunakan yaitu B20 dengan komposisi pencampuran 20%
biodiesel dan 80% bahan bakar minyak jenis solar. TBS dimuat oleh 2 – 4 orang
tenaga bongkar muat. Rata-rata pengangkutan TBS ke industri adalah 3 – 4 kali
dalam sehari (tergantung jarak afdeling kebun dan kondisi jalan). Perhitungan
dampak proses transportasi TBS dihitung menggunakan software Simapro
dengan satuan ton.km (tkm) dan asumsi satu kali perjalanan. Hasil perhitungan
besaran nilai dampak perunit proses subsistem perkebunan dapat dilihat pada
Tabel 11. Hasil kontribusi relatif dampak GWP, asidifikasi dan eutrofikasi
perunit proses subsistem perkebunan dapat dilihat pada Gambar 12.

Tabel 11. Besaran nilai dampak perunit proses subsistem perkebunan


Kategori dampak Unit proses Nilai dampak
GWP Pembibitan dan pemeliharaan bibit 90,7
(kg-CO2eq/ton Perawatan TM 7,7
CPO) Transportasi TBS industri 8,5
Total 106,9
Asidifikasi Pembibitan dan pemeliharaan bibit 0,442
(kg-SO2eq/ton Perawatan TM 0,041
CPO) Transportasi TBS industri 0,050
Total 0,533
Eutrofikasi Pembibitan dan pemeliharaan bibit 0,083
3-
(kg-PO4 eq/ton Perawatan TM 0,003
CPO) Transportasi TBS industri 0,004
Total 0,09
45

7,9 9,3 4,4


100% 3,3
7,2 7,6
80%
60%
84,8 83 92,2
40%
20%
0%
GWP Asidifikasi Eutrofikasi
Pembibitan dan pemeliharaan Perawatan TM Trasnportasi TBS

Gambar 12. Kontribusi relatif dampak GWP, asidifikasi dan eutrofikasi perunit
proses subsistem perkebunan

Hasil perhitungan dampak dari Tabel 11 menunjukkan bahwa setiap


kegiatan proses subsistem perkebunan menghasilkan dampak GWP, asidifikasi,
maupun eutrofikasi. Dampak GWP subsistem perkebunan PT X yaitu 106,9 kg-
CO2eq/ton-CPO dengan kontribusi unit proses pembibitan dan pemeliharaan
bibit sebesar 84,8% (90,7 kg-CO2eq/ton-CPO), unit proses perawatan TM
sebesar 7,2% (7,7 kg-CO2eq/ton-CPO), dan unit transportasi TBS ke industri
sebesar 7,9% (8,5 kg-CO2eq/ton-CPO). Dampak asidifikasi subsistem
perkebunan yaitu 0,533 kg-SO2eq/ton-CPO dengan kontribusi unit proses
pembibitan dan pemeliharaan bibit sebesar 83% (0,442 kg-SO2eq/ton-CPO), unit
proses perawatan TM sebesar 7,6% (0,041 kg-SO2eq/ton-CPO) dan unit
transportasi TBS ke industri sebesar 9,3% (0,050 kg-SO2eq/ton-CPO). Dampak
eutrofikasi subsistem perkebunan sebesar 0,09 kg-PO43-eq/ton-CPO dengan
kontribusi unit proses pembibitan dan pemeliharaan bibit sebesar 92,2% (0,083
kg-PO43-eq/ton-CPO), disusul unit proses perawatan TM sebesar 3,3% (0,003
kg-PO43-eq/ton-CPO), dan unit proses transportasi TBS sebesar 4,4% (0,004 kg-
PO43-eq/ton-CPO). Perbandingan hasil penelitian dampak perkebunan kelapa
sawit dengan beberapa penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Perbandingan hasil penelitian nilai dampak perkebunan kelapa sawit
Penelitian Topik GWP Asidifikasi Eutrofikasi
(kg- (kg- (kg-PO43-
CO2eq) SO2eq) eq)
Hasil LCA perkebunan PT 106,9 0,533 0,09
perhitungan X Provinsi Bengkulu
Siregar et al. LCA perkebunan
(2013) kelapa sawit untuk 440,78 0,774 1,93E-06
produksi 1 ton BDF
Harsono et Emisi perkebunan
al. (2012) kelapa sawit di 391,27 - -
Sumatera
Paminto et Emisi dari
al. (2022) perkebunan kelapa
2492,1 24,8 0,84
sawit untuk produksi
biodiesel
46

Penelitian terdahulu yang dilakukan Siregar et al. (2013) menyebutkan


dampak GWP, asidifikasi dan eutrofikasi dari perkebunan kelapa sawit
(gabungan dari unit proses pembibitan, proteksi dan pemanenan) yaitu sebesar
440,78 kg-CO2eq, 0,774 kg-SO2eq, 1.93E-06 kg-PO43-eq. Harsono et al. (2012)
menyebutkan dampak GWP perkebunan kelapa sawit di Sumatera sebesar
391,27 kg-CO2eq/ha. Paminto et al. (2022) menyebutkan nilai dampak GWP,
asidifikasi dan eutrofikasi dari perkebunan kelapa sawit Indonesia untuk
produksi biodiesel sebesar 2492,1 kg-CO2eq, 24,8 kg-SO2eq dan 0,84 kg-PO43-
eq. Dampak GWP, asidifikasi, dan eutrofikasi perkebunan PT X lebih kecil
dibanding emisi yang dihasilkan dari penelitian sebelumnya, hal ini dikarenakan
perbedaan batasan ruang lingkup dalam penilaian dan perbedaan jumlah
pemakaian utilitas bahan baku, bahan tambahan dan lainnya dalam perhitungan
penilaian dampak. Unit proses pembibitan dan pemeliharaan bibit menjadi
penyumbang terbesar dampak GWP, asidifikasi, dan eutrofikasi karena
tingginya pemakaian dan emisi yang dihasilkan dari penggunaan pupuk,
pestisida dan herbisida selama proses pembibitan dan pemeliharaan bibit serta
dari penggunaan bahan bakar solar pada proses penyiraman bibit. Besarnya
dampak GWP dikarenakan oleh kandungan N yang tinggi dalam pupuk yang
digunakan untuk proses pemupukan pada bibit, kandungan N dalam pupuk akan
bereaksi dan menghasilkan emisi gas rumah kaca N 2O (Rajaniemi et al. 2011).
Penggunaan bahan bakar solar pada transportasi TBS ke industri serta sebagai
bahan bakar mesin pompa air pada proses penyiraman bibit akan menghasilkan
emisi CO2, CH4 dan N2O sebagai penyebab dampak GWP. Perhitungan software
simapro nilai dampak GWP, asidifikasi dan eutrofikasi subsistem perkebunan
kelapa sawit dapat dilihat pada Lampiran 1.
2. Analisis dampak subsistem proses produksi CPO
Analisis penilaian dampak subsistem proses produksi CPO mencakup
penggunaan material bahan baku (TBS kebun inti dan TBS masyarakat), air
proses, steam, energi, limbah yang dihasilkan dan output produk. Sumber energi
industri CPO berasal dari listrik dan steam. Listrik dihasilkan dari steam turbine
generator dari uap panas boiler sebagai penggerak turbinya. Berdasarkan
perhitungan neraca massa untuk memproduksi 1 ton CPO dengan rendemen 20%
dibutuhkan 5 ton TBS, kebutuhan energi listrik PT X untuk proses produksi CPO
yaitu sebesar 17 kWh/ton TBS. Siklus satu daur hidup produksi CPO
berkontribusi dalam menghasilkan dampak GWP, asidifikasi dan eutrofikasi
baik pada proses di perkebunan, proses produksi diindustri, pengolahan air
bersih, dan pengolahan air limbah. Besaran nilai dampak GWP, asidifikasi dan
eutrofikasi subsistem proses produksi 1 ton CPO PT X dapat dilihat pada Tabel
13. Besaran nilai dampak input bahan yang digunakan dari proses produksi 1 ton
CPO PT X dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 13. Besaran nilai dampak subsistem proses produksi CPO


Kategori dampak Satuan Nilai dampak
GWP kg-CO2eq/ton-CPO 453
Asidifikasi kg-SO2eq/ton-CPO 1,51
Eutrofikasi kg-PO43-eq/ton-CPO 0,873
47

Tabel 14. Besaran nilai dampak input bahan subsistem proses produksi CPO
Kategori Dampak (emisi/ton-CPO)
Input Bahan GWP Asidifikasi Eutrofikasi
(kg-CO2eq) (kg-SO2eq) (kg-PO43-eq)
solar 2,3 0,0248 0,00252
air proses 0,0806 0,00057 7,23E-5
TBS masyarakat 264 0,901 0,824
Oli 0,141 0,000881 9,11E-5
TBS transport 8,31 0,0154 0,0015
Listrik 13,5 0,0293 0,00572
Steam 168 0,545 0,0396
Total 453 1,51 0,873

Berdasarkan Tabel 13 hasil perhitungan dampak menunjukkan bahwa 1


ton produksi CPO PT X menghasilkan dampak GWP, asidifikasi dan eutrofikasi
sebesar 453 kg-CO2eq/ton-CPO, 1,51 kg-SO2eq/ton-CPO, 0,873 kg-PO43-
eq/ton-CPO. Nilai dampak GWP, asidifikasi, dan eutrofikasi yang dihasilkan
lebih rendah dari penelitian Sacayón et al. (2018); Espino et al. (2019);
Stichnothe dan Schuchardt (2011); Siregar et al. (2013), hal ini dikarenakan
perbedaan kapasitas produksi dari industri CPO. Diketahui bahwa kapasitas
produksi PT X sebesar 30 ton TBS/jam. Sumber utama emisi yang dihasilkan
subsistem proses produksi CPO berasal dari input bahan baku TBS masyarakat
dengan kontribusi sebesar 266 kg-CO2eq/ton-CPO (58,7%), 0,901 kg-
SO2eq/ton-CPO (59,3%), 0,824 kg-PO43-eq/ton-CPO (94,3%) disusul input
bahan steam sebesar 168 kg-CO2eq/ton-CPO (37,1%), 0,545 kg-SO2eq/ton-CPO
(35,9%), 0,0396 kg-PO43-eq/ton-CPO (4,5%). Emisi yang dihasilkan dari bahan
baku TBS berasal dari proses untuk memproduksi TBS itu sendiri, seperti emisi
dari proses pemupukan dan perawatan dikebun serta transportasi TBS ke industri.
Produksi steam berasal dari boiler. Selain menghasilkan steam, boiler juga
menghasilkan emisi gas buang SO2, NO2, CO, CO2 dan fly ash. Emisi CO2
merupakan kandungan emisi tertinggi dari hasil pembakaran pada boiler
(Harihastuti et al. 2010). Perbandingan hasil penelitian dampak industri produksi
CPO dengan beberapa penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 15.
Perhitungan nilai dampak GWP, asidifikasi dan eutrofikasi subsistem proses
produksi CPO dengan menggunakan software Simapro dapat dilihat pada
Lampiran 2.
48

Tabel 15. Perbandingan hasil penelitian nilai dampak proses CPO di industri
GWP Asidifikasi Eutrofikasi
Peneliti Topik (kg- (kg- (kg-PO43-
CO2eq) SO2eq) eq)
Penilaian dampak
Hasil
proses produksi PT X 453 1,51 0,873
Perhitungan
Provinsi Bengkulu
Espino et al. LCA industri kelapa
(2019) sawit North Cotabato 1.150 0,0138 -
(Philippines)
Sacayón et LCA dan perhitungan
al. (2018) jejak air Pabrik Kelapa 595 3,34 3,35
Sawit Guatemala
Stichnothe Penilaian siklus daur
dan hidup dua sistem
460,98 2,86 2,05
Schuchardt produksi minyak sawit
(2011)
Siregar et al. Penilaiaan dampak
(2013) industri CPO untuk 588,34 0,98 6,4E-05
produksi 1 ton BDF

3. Analisis dampak subsistem pengolahan air bersih (WTP)


Proses pengolahan air bersih di industri akan mengakibatkan dampak
emisi terhadap lingkungan karena pada proses pengolahan tersebut
menggunakan zat kimia seperti bahan Al2(SO4)3, Na2CO3, flokulan dan energi
listrik guna menunjang aktivitas proses produksinya. Zat kimia yang digunakan
akan meninggalkan zat residu didalam air olahan dan limbah yang dihasilkan,
hal ini berdampak pada lingkungan. Selain itu semakin banyak jumlah air sungai
yang digunakan, keruh, dan semakin jauh jarak pengambilan air maka akan
membutuhkan energi listrik dan zat kimia yang lebih besar, sehingga dampak
yang dihasilkan juga semakin besar. Air baku yang digunakan PT X untuk
memenuhi kepentingan kegiatan industri bersumber dari air sungai yang terletak
dekat dengan industri. Berdasarkan neraca massa diketahui bahwa sekitar 1,6 m3
air dibutuhkan untuk memproses satu ton TBS, setengah dari jumlah air ini akan
berakhir sebagai POME (Mumtaz et al. 2010). Besaran nilai dampak GWP,
asidifikasi dan eutrofikasi subsistem pengolahan air bersih PT X dapat dilihat
pada Tabel 16. Besaran nilai dampak input bahan pengolahan air bersih PT X
dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 16. Besaran nilai dampak subsistem pengolahan air bersih


Kategori dampak Satuan Nilai dampak
GWP kg-CO2eq/ton-CPO 46,8
Asidifikasi kg-SO2eq/ton-CPO 0,331
Eutrofikasi kg-PO43-eq/ton-CPO 0,042
49

Tabel 17. Besaran nilai dampak input bahan subsistem pengolahan air bersih
Kategori dampak (emisi/ton air bersih)
GWP Asidifikasi Eutrofikasi
Input bahan
(kg-CO2eq/ton- (kg-SO2eq/ton- (kg-PO43-eq/ton-
CPO) CPO) CPO)
AL2(SO4)3 24,2 0,264 0,0159
Na2CO3 15,4 0,0504 0,0245
PAC 1,77 0,0116 9,88E-4
Listrik 5,46 0,0051 6,65E-4
Total 46,8 0,331 0,042

Berdasarkan Tabel 16 hasil perhitungan dampak menunjukkan bahwa 1


ton pengolahan air bersih PT X menghasilkan dampak GWP sebesar 46,8 kg-
CO2eq dengan kontribusi terbesar yaitu pada input bahan kimia Al2(SO4)3 51,6%,
Na2CO3 32,9%, PAC 3,8% diikuti input listrik 11,7%, asidifikasi sebesar 0,331
kg-SO2eq dengan kontribusi terbesar emisi asidifikasi pada input bahan kimia
AL2(SO4)3 79,7%, Na2CO3 15,2%, PAC 3,5% diikuti input listrik 1,6% dan
eutrofikasi sebesar 0,042 kg-PO43-eq dengan kontribusi terbesar emisi
eutrofikasi pada input bahan kimia Al2(SO4)3 37,8%, Na2CO3 58,3%, PAC 2,3%
diikuti input listrik 1,6%. Penelitian terdahulu yang dilakukan Karnaningroem
dan Anggraeni (2021) menyebutkan dampak GWP dan eutrofikasi yang
dihasilkan dari water treatment plant (WTP) dengan sistem konvensional
menggunakan pompa yang bekerja selama 24 jam yaitu sebesar 23.697.275 kg-
CO2eq/tahun, 287.644,1 kg-PO43-eq/tahun. Perhitungan nilai dampak GWP,
asidifikasi dan eutrofikasi subsistem pengolahan air bersih dengan menggunakan
software Simapro dapat dilihat pada Lampiran 3.
4. Analisis dampak subsistem pengolahan air limbah (WWTP)
Kegiatan operasional industri kelapa sawit menghasilkan produk samping
(By-Product) salah satunya POME (palm oil mill effluent) atau limbah cair,
limbah cair berwujud cair dengan warna kecoklatan, suhu 60 o – 80oC, bersifat
asam (pH 3,4 – 4,6) dengan nilai BOD (Biochemical Oxygen Demand) dan COD
(Chemical Oxygen Demand) yang tinggi dan berpotensi mencemari lingkungan.
Proses pengolahan air limbah industri PT X dilakukan dengan metode biologis
dengan sistem kolam terbuka (Biological Ponding System) dengan 11 kolam dan
pembuangan akhir ke sungai. Total limbah cair yang dihasilkan PT X selama 1
tahun produksi sebesar 37.263,57 m3/tahun. Pengolahan air limbah dengan
sistem kolam terbuka selain menghasilkan bau busuk juga menghasilkan gas
CO2, CH4, dan N2O yang disebabkan oleh penguraian alamiah oleh bakteri
anaerob. Emisi gas ini merupakan salah satu sumber emisi GRK yang
berdampak pada pemanasan global (Gupta dan Singh 2012).
Pengolahan air limbah selain menghasilkan dampak GWP juga berpotensi
menghasilkan dampak eutrofikasi, dimana kondisi perairan mengalami
peningkatan kadar bahan organik dan nutrien. Konsentrasi nutrien salah satunya
nitrat dan ortofosfat yang tinggi dapat memicu eutrofikasi dan ledakan populasi
fitoplankton (Tungka et al. 2016). Limbah cair yang dihasilkan dari proses
produksi juga menyumbang emisi NH3 yang menyebabkan dampak emisi
asidifikasi. Besaran nilai dampak emisi 1 ton limbah cair subsistem pengolahan
50

air limbah PT X dapat dilihat pada Tabel 18. Perbandingan hasil penelitian
dampak pengolahan air limbah industri CPO dengan beberapa penelitian
terdahulu dapat dilihat pada Tabel 19. Perhitungan nilai dampak GWP,
asidifikasi dan eutrofikasi subsistem pengolahan air limbah dengan
menggunakan software Simapro dapat dilihat pada Lampiran 4.

Tabel 18. Besaran nilai dampak subsistem pengolahan air limbah


Kategori dampak Satuan Nilai dampak
GWP kg-CO2eq/ton-CPO 92
Asidifikasi kg-SO2eq/ton-CPO 0,307
Eutrofikasi kg-PO43-eq/ton-CPO 0,177

Tabel 19. Perbandingan hasil penelitian nilai dampak pengolahan air limbah
GWP Asidifikasi Eutrofikasi
Peneliti Topik (kg- (kg-SO2eq) (kg-PO43-
CO2eq) eq)
Penilaian dampak
Hasil pengolahan air
92 0,307 0,177
perhitungan limbah PT X Provinsi
Bengkulu
Mcnamara Life cycle assessment
et al. (2016) pengolahan air 18,7E+01 6,14E-02 8,02E-01
limbah di Ireland
Nasution et Emisi dari
al. (2018) pengolahan air
limbah (Open 371,19 0,19 7,73
lagoon) industri CPO
Sumatera Utara

Berdasarkan Tabel 18 hasil perhitungan dampak menunjukkan bahwa


pengolahan air limbah untuk 1 ton produksi CPO PT X menghasilkan dampak
GWP, asidifikasi dan eutrofikasi sebesar 92 kg-CO2eq/ton-CPO, 0,307 kg-
SO2eq/ton-CPO, 0,177 kg-PO43-eq/ton-CPO. Nilai dampak GWP, asidifikasi,
dan eutrofikasi yang dihasilkan lebih rendah dari penelitian Mcnamara et al.
(2016) dan Nasution et al. (2018). hal ini dikarenakan perbedaan kapasitas olah
produksi dari industri CPO yang menghasilkan limbah cair yang berbeda juga
disetiap industri.
Siklus daur hidup produksi CPO terbagi menjadi 4 subsistem proses yaitu
subsistem perkebunan, subsistem proses produksi CPO, subsistem pengolahan
air bersih dan subsistem pengolahan air limbah. Total emisi 1 ton CPO
merupakan penjumlahan nilai emisi dari masing-masing subsistem proses. Total
emisi satu siklus daur hidup semua subsistem proses produksi 1 ton CPO dapat
dilihat pada Tabel 20. 10 kategori dampak dari LCA produksi CPO dapat dilihat
pada Lampiran 5.
51

Tabel 20. Besaran nilai dampak 1 ton produksi CPO PT X


Kategori dampak Subsistem proses Nilai dampak
GWP Perkebunan 106,9
(kg-CO2eq/ton-CPO) Proses produksi CPO 453
Pengolahan air bersih 46,8
Pengolahan air limbah 92
Total 698,7
Asidifikasi Perkebunan 0,533
(kg-SO2eq/ton-CPO Proses produksi CPO 1,51
Pengolahan air bersih 0,331
Pengolahan air limbah 0,307
Total 2,681
Eutrofikasi Perkebunan 0,09
3-
(kg-PO4 eq/ton-CPO) Proses produksi CPO 0,873
Pengolahan air bersih 0,042
Pengolahan air limbah 0,177
Total 1,182

4.5.2 Analisis dampak berdasarkan sumber emisi


Tahap selanjutnya merupakan analisis dampak berdasarkan sumber emisi.
Tahap ini untuk mengetahui sumber emisi terbesar dan jenis polutan terbesar
dalam satu siklus daur hidup produksi CPO. Perhitungan dampak dilakukan
berdasarkan sumber pada input dan output data inventori setiap unit proses.
1. Global Warming Potential (GWP)
GWP merupakan suatu bentuk ketidakseimbangan ekosistem di bumi
akibat terjadinya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan
di bumi. GWP dipicu oleh kegiatan manusia terutama berkaitan dengan
penggunaan bahan fosil dan kegiatan alih guna lahan. Kementerian Lingkungan
Hidup (2012) menyatakan gas-gas utama mempunyai potensi tinggi
menyebabkan pemanasan global adalah karbondioksida (CO2), metana (CH4),
dan dinitrogenoksida (N2O). Disamping tiga gas utama ini, emisi dari gas
perfluorkarbon (PFC), hidrofluorkarbon (HFC), dan sulfurheksfluorida (SF6)
juga berkontribusi terhadap pemanasan global. Besaran nilai dampak GWP daur
hidup produksi CPO berdasarkan sumber emisi dapat dilihat pada Tabel 21.
Berdasarkan perhitungan dampak tingkat GWP terbesar yaitu dari jenis polutan
CO2 dan N2O yang berasal dari TBS masyarakat dan aktivitas selama proses
produksi TBS tersebut, sedangkan jenis polutan CH4 berasal dari pengolahan
limbah PT X berupa limbah cair. Potensi pemanasan global dinyatakan dalam
satuan CO2-eq. Persentase masing-masing jenis polutan penyebab dampak GWP
dapat dilihat pada Gambar 13.
52

Tabel 21. Nilai dampak GWP LCA produksi CPO berdasarkan sumber emisi
Jenis polutan (kg-CO2eq/ton-CPO)
Sumber emisi
CO2 CH4 N2O
NPK 15-15-6-4 12,35 0,74 4,009
Fungisida Dithane M-45 0,74 0,05 0,011
Insektisida Decis 1,64 0,10 0,018
Herbisida Wintag 2,21 0,14 0,017
NPK 12-12-17-2 46,39 2,78 15,061
Pemakaian Air 0,03 1,76E-03 1,57E-04
Solar perkebunan 3,91 0,35 0,032
Dolomite 2,60 0,23 0,030
Herbisida 490 SL 2,64 0,16 0,024
gramoxon 276 SL 0,61 0,04 8,17E-03
Herbisida winson 20 WG 0,012 8,02E-04 1,60E-04
Herbisida wintag 1,14 0,072 9,18E-03
BBM Mesin Rumput 0,043 0,014 7,92E-05
Oli mesin rumput 0,039 4,01E-03 2,91E-04
Solar transport TBS 0,68 0,062 0,0057
TBS panen 7,10 0,072 0,526
Solar proses 1,87 0,17 0,015
Air proses 0,072 7,19E-03 5,0E-04
TBS masyarakat 225,04 3,64 37,71
Lubricating oil 0,11 0,011 8,4E-04
TBS transport 2,39 0,18 0,023
Listrik proses 12,46 0,98 0,058
Steam (uap panas) 158,09 9,86 0,418
Al2(SO4)3 22,04 1,84 0,188
Na2CO3 13,42 1,89 0,065
PAC 1,61 0,13 0,011
Listrik WTP 5,12 0,30 0,024
Limbah cair 7,72 82,27 3,004
Listrik WWTP 3,85E-01 3,04E-02 1,80E-03
Bio treatment 0168 1,69E-05 2,22E-05 4,48E-06

8%
15%

76%

CO2 CH4 N2O

Gambar 13. Persentase jenis polutan penyebab GWP LCA produksi CPO
53

2. Asidifikasi
Merupakan permasalahan lingkungan akibat adanya pengasaman pada
tanah maupun perairan, senyawa sulfur dan nitrat yang dihasilkan oleh aktivitas
manusia teroksidasi di udara, akan menyebabkan kerusakan pada tanah, air,
makhluk hidup, dan bangunan. beberapa polutan utama yang dapat
menyebabkan asidifikasi yaitu SO2, NOX, NH3, NO dan SO3 (Mason 2022).
Sektor perindustrian di bidang pertanian seperti industri CPO merupakan salah
satu penyumbang emisi yang berdampak terhadap asidifikasi. Polutan seperti
SO2, NOx, dan NH3 banyak dihasilkan selama siklus daur hidup produksi CPO.
Besaran nilai dampak asidifikasi daur hidup produksi CPO berdasarkan sumber
emisi dapat dilihat pada Tabel 22. Persentase masing-masing jenis polutan
penyebab emisi asidifikasi dapat dilihat pada Gambar 14.

Tabel 22. Nilai dampak asidifikasi LCA produksi CPO berdasarkan sumber
emisi
Jenis polutan (kg-SO2eq/ton-CPO)
Sumber emisi
NH3 NOX SO2 NO SO3
NPK 15-15-6-4 0,023034 0,016981 0,037443 3,60E-08 6,10E-06
Fungisida Dithane M-45 9,83E-05 2,67E-05 0,003477 4,49E-09 1,94E-10
Insektisida Decis 1,62E-04 3,50E-05 0,007964 8,40E-09 2,54E-10
Herbisida Wintag 8,63E-05 2,06E-05 0,010917 1,04E-08 1,49E-10
NPK 12-12-17-2 0,086530 0,063791 0,140659 1,35E-07 2,29E-05
Pemakaian Air 3,33E-06 5,79E-05 6,81E-05 5,97E-10 7,98E-09
Solar perkebunan 1,65E-04 8,68E-03 0,037612 1,38E-08 7,09E-07
Dolomite 6,52E-04 5,13E-03 0,011298 9,30E-10 6,10E-10
Herbisida 490 SL 1,94E-04 3,87E-05 0,011308 1,61E-08 2,81E-10
gramoxon 276 SL 6,65E-05 1,78E-05 2,72E-03 3,78E-09 1,29E-10
Herbisida winson 20 WG 1,30E-06 3,49E-07 5,36E-05 7,09E-11 2,54E-12
Herbisida wintag 4,45E-05 1,06E-05 5,63E-03 5,37E-09 7,73E-11
BBM Mesin Rumput 3,89E-06 1,72E-04 2,35E-04 0 0
Oli mesin rumput 2,32E-06 6,14E-05 2,12E-04 4,96E-10 1,32E-08
Solar transport TBS 2,91E-05 1,52E-03 6,60E-03 2,43E-09 1,24E-07
TBS panen 9,66E-04 5,43E-03 0,031471 2,67E-08 1,43E-08
Solar proses 7,96E-05 4,17E-03 0,018061 6,67E-09 3,40E-07
Air proses 1,83E-05 9,89E-05 4,50E-04 3,85E-10 3,11E-06
TBS masyarakat 0,697646 0,080872 0,121196 1,27E-07 8,85E-04
Lubricating oil 6,71E-06 1,77E-04 6,12E-04 1,43E-09 3,81E-08
TBS transport 3,04E-04 2,18E-03 0,011631 6,32E-05 4,23E-08
Listrik proses 2,04E-05 0,021278 7,95E-03 3,61E-09 1,18E-07
Steam 2,15E-03 0,107646 0,434778 2,55E-07 2,79E-06
Al2(SO4)3 2,92E-03 0,041365 0,218132 1,3E-07 0,001792
Na2CO3 7,60E-03 0,011225 0,031599 2,96E-08 1,73E-06
PAC 1,38E-04 2,61E-03 8,79E-03 6,28E-08 1,38E-05
Listrik WTP 1,42E-05 2,26E-03 2,89E-03 1,28E-09 7,08E-08
Limbah cair 0,141548 0,043749 0,120205 1,29E-05 1,8E-04
Listrik WWTP 6,33E-07 6,57E-05 2,46E-04 1,12E-10 3,67E-09
Bio treatment 0168 5,47E-08 3,6E-08 7,84E-08 9,82E-14 1,61E-10
54

SO3 0,1

NO 0,002

SO2
48,06%
NOx
15,73%
NH3 36,09%

0 10 20 30 40 50 60
NH3 NOx SO2 NO SO3
Gambar 14. Persentase jenis polutan penyebab asidifikasi daur hidup produksi
CPO

Berdasarkan Tabel 22 terdapat lima jenis polutan yang memberikan


dampak asidifikasi terbesar pada daur hidup produksi CPO yaitu SO2, NOx, NH3,
NO dan SO3. Produksi CPO di industri menghasilkan polutan SO2, NH3 dan
NOx terbesar berasal dari penggunaan bahan baku TBS masyarakat dan produksi
steam. Hasil perhitungan untuk jenis polutan NO dan SO3 relatif cukup rendah
dan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap dampak emisi asidifikasi.
Gambar 14 dapat dilihat emisi SO2 merupakan kategori polutan asidifikasi
tertinggi yang dihasilkan dari produksi CPO di industri. Polutan kedua dan
ketiga terbesar yang memberikan kontribusi dampak emisi asidifikasi dalam
daur hidup produksi CPO adalah NH3 dan NOx.
3. Eutrofikasi
Eutrofikasi merupakan proses pencemaran yang disebabkan oleh adanya
nutrien yang berlebihan ke dalam ekosistem air, hal ini dapat menyebabkan
terjadinya ledakan populasi fitoplankton dan zooplankton yang menyebabkan
kekeruhan air sehingga mengurangi penetrasi cahaya matahari (Clark et al.
2013). Nitrogen (N) dan fosfor (P) adalah dua nutrisi yang paling terlibat dalam
eutrofikasi (Davis dan Klaus 2006). Beberapa jenis polutan yang menyebabkan
dampak emisi eutrofikasi adalah NO3- (nitrat), P (fosforus), NOx (nitrogen
oksida), NH3 (amonia), dan PO43- (fosfat). Besaran nilai dampak eutrofikasi daur
hidup produksi CPO berdasarkan sumber emisi dapat dilihat pada Tabel 23.
55

Tabel 23. Nilai dampak eutrofikasi LCA produksi CPO berdasarkan sumber
emisi
Jenis polutan (kg-PO43-eq/ton-CPO)
Sumber emisi 3-
PO4 P NO3- NH3 NOx
NPK 15-15-6-4 0,001062 8,64E-04 1,18E-04 0,005039 0,004415
Fungisida Dithane M-45 5,31E-05 3,48E-05 0,00018 5,79E-05 6,95E-06
Insektisida Decis 6,67E-05 4,56E-05 2,36E-04 7,43E-05 9,11E-06
Herbisida Wintag 4,49E-05 2,68E-05 1,41E-04 5,18E-05 5,36E-06
NPK 12-12-17-2 0,003991 0,003247 4,44E-04 0,018928 0,016586
Pemakaian Air 2,81E-06 9,78E-08 3,56E-07 7,29E-07 1,51E-05
Solar perkebunan 1,09E-04 4,97E-05 7,49E-06 3,63E-05 0,002261
Dolomite 4,44E-04 1,05E-05 9,17E-06 1,43E-04 0,001336
Herbisida 490 SL 7,95E-05 5,03E-05 2,62E-04 8,92E-05 1,01E-05
gramoxon 276 SL 2,9E-05 2,32E-05 1,2E-04 3,26E-05 4,64E-06
Herbisida winson 20 WG 5,98E-07 4,55E-07 2,35E-06 6,66E-07 9,09E-08
Herbisida wintag 2,32E-05 1,38E-05 7,27E-05 2,67E-05 2,77E-06
BBM Mesin Rumput 0 0 1,53E-16 3,77E-06 4,48E-05
Oli mesin rumput 3,6E-06 4,55E-07 1,92E-07 5,09E-07 1,6E-05
Solar transport TBS 1,91E-05 8,73E-06 1,31E-06 6,37E-06 3,97E-04
TBS panen 5,8E-04 9,88E-05 4,67E-04 2,96E-04 0,001414
Solar proses 5,22E-05 2,39E-05 3,59E-06 1,74E-05 0,001086
Air proses 9,18E-06 2,08E-07 8,39E-07 4,02E-06 2,57E-05
TBS masyarakat 0,007599 0,044767 0,550381 0,15261 0,021027
Lubricating oil 1,04E-05 1,31E-06 5,55E-07 1,47E-06 4,61E-05
TBS transport 1,83E-04 3,28E-05 1,43E-04 9,27E-05 5,68E-04
Listrik proses 3,16E-05 5,35E-06 2,27E-06 4,48E-06 0,005532
Steam 0,007156 2,5E-04 1,29E-04 4,71E-04 0,027988
AL2(SO4)3 0,003616 7,55E-05 1,68E-04 6,4E-04 0,010755
Na2CO3 0,001488 3,74E-05 3,02E-04 0,001664 0,002918
Flokulan 2,16E-04 5,85E-06 1,46E-05 3,01E-05 6,81E-04
Listrik WTP 1,53E-05 2,32E-06 2,22E-06 3,1E-06 5,88E-04
Limbah cair 3,04E-03 0,009113 0,111313 0,030969 0,011375
Listrik WWTP 9,76E-07 1,65E-07 7E-08 1,38E-07 1,71E-04
Bio treatment 0168 3,06E-09 5,1E-09 1,18E-08 1,2E-08 9,37E-09

Berdasarkan Tabel 23 dampak emisi eutrofikasi terbesar dihasilkan dari


jenis polutan NO3- dan NH3. Penggunaan pupuk dan pestisida di kebun
masyarakat akan menghasilkan polutan NO3- dan PO43- yang dapat
mengakibatkan dampak emisi eutrofikasi, sedangkan pengolahan air limbah
dapat menghasilkan polutan NO3- dan NH3 tertinggi penyebab eutrofikasi.
Penggunaan energi listrik, solar dan steam juga berkontribusi menghasilkan
polutan NOx penyebab eutrofikasi. Persentase masing-masing jenis polutan
penyebab emisi asidifikasi dapat dilihat pada Gambar 15.
56

NOx 10,17

NH3 19,66

NO3-
61,9%
P 5,47%
PO43- 2,78%
0 10 20 30 40 50 60 70
PO43- P NO3- NH3 NOx
Gambar 15. Persentase jenis polutan penyebab eutrofikasi daur hidup produksi
CPO

4.6 Interpretasi Hasil LCA


Interpretasi hasil LCA merupakan tahap akhir dari metode analisis LCA.
Tahapan ini bertujuan untuk mengetahui dampak emisi tertinggi (hotspot) dan
memberikan upaya perbaikan yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak
yang ditimbulkan dari siklus daur hidup produksi CPO. Gambar 16 menunjukkan
persentase kontribusi setiap subsistem terhadap dampak GWP, asidifikasi dan
eutrofikasi. Proses produksi CPO di industri menjadi hotspot sumber utama dampak
GWP dengan kontribusi 64,83%. Hotspot utama potensi dampak GWP pada proses
produksi CPO adalah produksi TBS masyarakat dengan kontribusi sebesar 58,8%,
dampak GWP pada produksi TBS masyarakat karena adanya proses pemupukan
dan perawatan di perkebunan kelapa sawit masyarakat dan disusul oleh hotspot
produksi steam dengan kontribusi sebesar 37,2%, hal ini karena PT X mempunyai
pembangkit listrik tersendiri. Pembangkit utama yang digunakan berupa
pembangkit listrik gas turbin (gas turbine generator) yang berbahan bakar gas alam.

100% 13,16 11,45 14,97


6,69 12,34 3,55
80%

60%
64,83 56,32 73,85
40%

20% 19,88
15,29 7,61
0%
GRK Asidifikasi Eutrofikasi

Perkebunan Proses produksi CPO Pengolahan air bersih Pengolahan air limbah
Gambar 16. Persentase kontribusi setiap subsistem terhadap dampak lingkungan

Hotspot sumber utama dampak emisi asidifikasi yaitu pada proses produksi
CPO dengan kontribusi 56,32%, karena aktivitas dari kegiatan di perkebunan
masyarakat (produksi TBS masyarakat) dengan kontribusi sebesar 59,5%. Hotspot
sumber utama dampak emisi eutrofikasi yaitu pada proses produksi CPO dengan
kontribusi 73,85%. Siklus daur hidup produksi CPO PT X, dampak GWP
merupakan dampak lingkungan terbesar dari tiga kategori dampak yang dikaji.
57

Berdasarkan interpretasi hasil penelitian LCA dapat diidentifikasi bahwa


masih terdapat peluang perbaikan dalam upaya untuk menurunkan dampak
lingkungan siklus daur hidup produksi CPO. Pengurangan dampak lingkungan
dilakukan dengan cara mengurangi atau mengganti material pada setiap subsistem
proses tanpa mengganggu aktivitas produksi. Hasil analisis LCA diketahui bahwa
secara umum yang menjadi hotspot baik untuk dampak GWP, asidifikasi maupun
eutrofikasi adalah aktifitas pada proses produksi TBS masyarakat, yang disusul oleh
produksi steam pada proses produksi di industri. Skenario perbaikan untuk dapat
mengurangi dampak GWP, asidifikasi dan eutrofikasi yang dihasilkan dapat dilihat
pada Tabel 24, Tabel 26 dan Tabel 28.

Skenario 1: Mereduksi penggunaan pupuk NPK 12:12:17 dengan pupuk


organik tankos
Skenario upaya perbaikan untuk mengurangi dampak emisi dapat dimulai
dari perbaikan pada subsistem perkebunan. Kegiatan pemupukan unit proses
pembibitan dan pemeliharaan bibit memberikan kontribusi yang sangat besar
terhadap timbulnya dampak GWP yaitu sebesar 84.8%. Pupuk yang digunakan
selama masa pembibitan yaitu pupuk NPK (15-15-6-4 dan 12-12-17). Pupuk NPK
merupakan jenis pupuk yang kompleks dengan memiliki kandungan seperti
nitrogen (N), fosfat (P) dan kalium (K). Pupuk yang mengandung nitrogen memiliki
potensi mengakibatkan polusi udara. Pemakaian pupuk yang berlebih menghasilkan
gas N2O. N2O merupakan merupakan salah satu jenis polutan terbesar ketiga
penyebab dampak pemanasan global setelah CO2 dan CH4. Berdasarkan neraca
massa PT X diketahui bahwa dalam memproduksi 1 ton CPO dihasilkan 1100 kg
tandan kosong.
Penelitian terdahulu yang dilakukan Harimurti et al. (2021) menyatakan
potensi pengurangan dampak GWP dengan menggunakan pupuk organik tankos
sebesar 33,98%. Wieddya et al. (2017) juga menyatakan dengan pemanfaatan
tankos menggunakan composting dan diaplikasikan di perkebunan dapat
menurunkan emisi yang dihasilkan sebesar 55,22%. Lubis (2008) menyebutkan
bahwa setiap ton tankos mengandung unsur hara N, P, K dan mg berturut-turut
setara dengan 3 kg urea, 0.6 kg RP, 12 kg MOP, dan 2 kg kieserite sehingga dapat
mengurangi penggunaan pupuk sintetik. Penggunaan pupuk organik tankos
menjadi skenario perbaikan yang dapat dilakukan PT X. Kandungan nitrogen pupuk
organik tankos yang lebih kecil dari kandungan nitrogen pada pupuk NPK,
diasumsikan memberikan dampak lingkungan yang lebih kecil dan kebutuhan
nutrisi untuk bibit tanaman tetap tercukupi, dengan pemanfaatan tankos menjadi
pupuk organik dapat menurunkan perubahan dampak lingkungan yang dihasilkan.
Perubahan besaran nilai dampak lingkungan dari penggunaan jenis pupuk NPK 12-
12-17 menjadi pupuk organik tankos dapat dilihat pada Tabel 24.
58

Tabel 24. Skenario perbaikan penurunan dampak Subsistem Perkebunan


Skenario perbaikan
GWP Asidifikasi Eutrofikasi
Mereduksi pupuk NPK
(kg-CO2eq/ton- (kg-SO2eq/ton- (kg-PO43-
12:12:17 dengan pupuk
CPO) CPO) eq/ton-CPO)
organik tankos
Sebelum perbaikan 106,9 0,533 0,09
Penerapan perbaikan 74,8 0,387 0,06
Perubahan dampak 32,1 0,146 0,03
Persentase % 30,02 27,39 33

Skenario 2: Pemanfaatan limbah cair menjadi biogas (Methane Capture)


Sebagian besar industri produksi CPO di Indonesia dalam pengolahan
limbah cair menggunakan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dengan sistem
kolam terbuka yang terdiri dari kolam anerob, fakultatif dan aerob. Komposisi
limbah cair terdiri dari 90 – 95% air, 4 – 5% bahan-bahan terlarut dan tersuspensi
(selulosa, protein, lemak) dan 0,5 – 1% residu minyak yang sebagian besar berupa
emulsi (Lam dan Lee 2011). Limbah cair yang dihasilkan akan memproduksi gas
metana (CH4) yang merupakan salah satu sumber emisi GRK yang berdampak pada
pemanan global (GWP) (Wieddya et al. 2017). Jumlah gas CH4 yang dihasilkan
dari limbah cair cukup besar. PT X menghasilkan limbah cair sebanyak 0,6 m3
limbah cair/ton TBS yang diolah. Yacob et al. (2006) menyatakan pengolahan
limbah cair sistem kolam terbuka akan menghasilkan sekitar 12,36 kg CH 4/ton
limbah cair. setiap 1 m3 limbah cair akan menghasilkan 21,8 m3 biogas dengan nilai
kalor biogas yang dihasilkan berkisar 4740 – 6560 kcal/m3, dan dengan konversi
energi sekitar 35%, maka nilai 1 m 3 biogas akan dapat menghasilkan listrik setara
dengan 1,8 kWh/m3 biogas (Febijanto 2010). Tabel perbandingan persentase
perbaikan yang dihasilkan dari penerapan methane capture dapat dilihat pada Tabel
25.

Tabel 25. Persentase pengurangan emisi dari penerapan methane capture


Persentase
Penelitian Topik
Perbaikan
Prasetya et al. (2013) Peran penangkapan metana untuk 70%
produksi biodiesel berkelanjutan dari
minyak sawit
Giandadewi et al. Pengurangan nilai dampak dengan 68%
(2017) methane capture dari POME sebagai
biogas
(Wijono 2017) Pemanfaatan pome menjadi biogas 67%
dengan metode (methane capture)

Penangkapan gas CH4 dan pengubahan biogas menjadi salah satu alternatif
bagi industri CPO untuk mengurangi dampak lingkungan sekaligus menghasilkan
energi pembangkit listrik. Penelitian Wijono (2017) melaporkan bahwa
pemanfaatan pome menjadi biogas (methane capture) mampu mengurangi potensi
dampak GWP sebesar 67% dalam kawasan industri kelapa sawit. Aplikasi methane
capture dari POME sebagai biogas yang dijadikan alternatif sumber energi listrik
menurut Giandadewi et al. (2017) dapat memberikan pengaruh positif terhadap
59

pengurangan nilai dampak lingkungan hingga 68%. Santoso et al. (2017)


menyatakan ada 2 keuntungan sekaligus yang diperoleh dari inovasi methane
capture yaitu adanya tambahan energi terbarukan dan penyelamatan gas karbon
dioksida. Emisi gas karbon yang diselamatkan adalah sebesar 126,4 kg/FU atau
mengurangi emisi karbon sekitar 8,2% dari nilai yang biasanya. Oleh karena itu,
merujuk pada beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, maka pemanfaatan
limbah cair menjadi biogas (methane capture) memungkinkan untuk bisa
diterapkan oleh PT X. Perubahan dampak lingkungan yang dihasilkan dari
pemanfaatan POME menjadi biogas (methane capture) dapat dilihat pada Tabel 26.

Tabel 26. Perubahan besaran nilai dampak lingkungan dari pemanfaatan POME
Menjadi biogas (methane capture)
Skenario perbaikan
GWP Asidifikasi Eutrofikasi
Pemanfaatan POME
(kg-CO2eq/ton- (kg-SO2eq/ton- (kg-PO43-
menjadi biogas (methane
CPO) CPO) eq/ton-CPO)
capture)
Sebelum perbaikan 92 0,307 0,177
Penerapan perbaikan 36 0,0649 0,0071
Perubahan dampak 56 0,2421 0,1699
Persentase % 60,86 78,85 95,98

Skenario 3: Mengganti aluminium sulfat Al2(SO4)3 dengan poly aluminium


chloride (PAC).
Air merupakan kebutuhan penting dalam proses produksi dan kegiatan lain
dalam suatu industri. Salah satu parameter fisik air yang memberikan pengaruh
dalam kegiatan proses yaitu tingkat kekeruhan. Irawati dan Andrian (2018)
menyatakan penyebab kekeruhan air karena adanya pertikel tersuspensi yang
menyebabkan air menjadi berwarna dan kotor, partikel tersuspensi itu antara lain
adalah tanah liat, lumpur, dan bahan organik. Proses penjernihan air dapat
dilakukan dengan menggunakan bahan tertentu yang bisa disebut sebagai flokulan.
PT X menggunakan bahan kimia aluminium sulfat (Al 2(SO4)3) sebagai koagulan
untuk proses penjernihan air. Penggunaan Al2(SO4)3 menjadi sumber penghasil
emisi tertinggi pada proses pengolahan air bersih PT X, maka dari itu perlu
mengganti bahan material lain yang bisa digunakan untuk proses penjernihan
pengolahan air bersih. Alternatif pengolahan lain adalah dengan menggunakan poly
aluminium chloride (PAC). PAC merupakan polimer aluminium sejenis tawas yang
mempunyai kandungan klorida. PAC dapat digunakan karena koagulan ini
mempunyai kemampuan koagulasi yang kuat, cocok digunakan untuk pengolahan
air bersih yang keruh. Segi positif penggunaan PAC adalah rentang pH untuk PAC
adalah 6 – 9. Daya koagulasi PAC lebih baik dan flok yang dihasilkan relatif lebih
besar.
Rosariawari dan Mirwan (2013) menyatakan presentase penyisihan
kekeruhan air dengan koagulan PAC yaitu sebesar 58,52%, hasil tersebut diperoleh
untuk waktu tinggal 120 menit, sementara penelitian Darnoto dan Astuti (2009)
menyatakan persentase penurunan parameter kekeruhan setelah diberi perlakuan
dengan PAC yaitu sebesar 75,88%. Berdasarkan perhitungan SimaPro pemilihan
bahan PAC juga menghasilkan emisi yang rendah dibandingkan dengan bahan
kimia yang lainnya. Tabel perbandingan emisi yang dihasilkan dari bahan kimia
60

penjernihan air dapat dilihat pada Tabel 27. Rekomendasi substitusi penggunaan
Al2(SO4)3 dengan PAC merupakan alternatif rekomendasi yang dapat diterapkan
PT X untuk mengurangi dampak lingkungan pada Subsistem pengolahan air bersih.
Perubahan dampak lingkungan yang dihasilkan dari substitusi penggunaan
Al2(SO4)3 dengan PAC dapat dilihat pada Tabel 28.

Tabel 27. Perbandingan emisi yang dihasilkan dari bahan kimia penjernihan air
Emisi bahan Total emisi WTP CPO
Bahan material
(kg-CO2eq/ton-CPO) (kg-CO2eq/ton-CPO)
Aluminium sulfat 24,2 46,8
Calsium karbonat 11,6 34,2
PAC 11,9 32,7
Lime hydrated 28,6 51,2

Tabel 28. Persentase nilai dampak lingkungan dari substitusi Al2(SO4)3 dengan
PAC
Skenario perbaikan GWP Asidifikasi Eutrofikasi
mengganti penggunaan (kg-CO2eq/ton- (kg-SO2eq/ton- (kg-PO43-
Al2(SO4)3 dengan PAC CPO) CPO) eq/ton-CPO)
Sebelum perbaikan 46,8 0,331 0,042
Penerapan perbaikan 32,7 0,133 0,031
Perubahan dampak 14,1 0,198 0,011
Persentase % 30,12 59,81 26,19

Skenario 4: Mereduksi penggunaan listrik steam turbin generator dengan


listrik biogas limbah cair
Proses pengolahan kelapa sawit menjadi CPO melalui beberapa tahapan
yang memerlukan konsumsi energi listrik. Semakin besar kapasitas produksi,
kompleksitas proses dan automation konsumsi energi listrik yang di perlukan
semakin tinggi. Parameter umum konsumsi energi listrik (power consumption) di
pabrik pengolahan kelapa sawit yakni sebesar 17-19 kWh/ton TBS. Penggunaan
energi listrik untuk proses pengolahan industri PT X lebih dominan sebesar 77,62%.
Beban domestik menempati urutan kedua mencapai 16,75%. Sedangkan beban lain
berupa head office, kantor PKS, workshop, dan penerangan jalan memiliki nilai
yang kecil berkisar 0,5-3%. Besarnya total kebutuhan listrik PT X Provinsi
Bengkulu berdasarkan data inventori selama 1 tahun adalah sebesar 1.071.539,45
kWh. Besarnya komsumsi energi listrik dari steam turbin generator menjadi
sumber penghasil emisi pada proses pengolahan industri PT X, maka dari itu perlu
mereduksi energi alternatif lain yang bisa digunakan untuk kelangsungan proses
pengolahan di industri. Alternatif lain yang dapat digunakan yaitu dengan
menggunakan listrik dari biogas limbah cair.
Limbah cair yang dihasilkan selama produksi kelapa sawit merupakan
sumber energi besar yang belum dimanfaatkan PT X Provinsi Bengkulu. Mengubah
limbah cair menjadi biogas untuk dibakar dapat menghasilkan energi listrik
sekaligus mengurangi dampak GWP, asidifikasi dan eutrofikasi dari proses
produksi CPO. Potensi biogas untuk dikonversi menjadi energi listrik mempunyai
prospek yang menjanjikan. Parinduri (2018) menyatakan dengan menggunakan
teknologi covered lagoon, akan dihasilkan biogas sebanyak ±20 m3/ton TBS, jika
61

kapasitas industri pengolahan sebesar 30 ton TBS/jam akan menghasilkan biogas ±


600 m3/jam, atau setara dengan energi sebesar 3.720 kWh, jika energi tersebut
digunakan untuk membangkitkan listrik dengan menggunakan gas engine (efisiensi
35%) maka akan dapat dibangkitkan listrik sebesar 1.303 kWh atau 1,3 MW. Di
sisi lain, keputusan untuk memanfaatkan gas metana menjadi energi listrik
pengganti steam turbin generator merupakan langkah strategis menuju
pembangunan berkelanjutan (sustainable growth) dan upaya perbaikan terus-
menerus (continuous improvement). Perubahan dampak lingkungan yang
dihasilkan dari mereduksi listrik steam turbin generator dengan listrik biogas dapat
dilihat pada Tabel 29.

Tabel 29. Perubahan besaran nilai dampak lingkungan dari mereduksi listrik Steam
turbin generator dengan listrik biogas POME
Skenario perbaikan
GWP Asidifikasi Eutrofikasi
mereduksi listrik steam
(kg-CO2eq/ton- (kg-SO2eq/ton- (kg-PO43-
turbin generator dengan
CPO) CPO) eq/ton-CPO)
listrik biogas POME
Sebelum perbaikan 453 1,51 0,873
Penerapan perbaikan 327 1,12 0,847
Perubahan dampak 126 0,39 0,026
Persentase % 27,81 25,82 2,97
62

V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
Hasil dari analisis inventori diperoleh bahwa daur hidup produksi CPO
memerlukan input berupa bahan baku TBS baik dari masyarakat dan TBS dari
kebun inti PT X. Bahan tambahan seperti pupuk, herbisida, fungisida dan
insektisida, bahan kimia Al2(SO4)3, Na2CO3, PAC dan bio treatment 0168, air dan
sumber energi seperti steam (uap panas), listrik, solar dan bensin. Output yang
dihasilkan berupa produk utama yaitu CPO, limbah padat tankos, cangkang dan
fibre serta juga limbah cair, dan emisi ke udara, air dan tanah. Identifikasi input dan
output dilakukan dari tahap subsistem proses perkebunan meliputi (pembibitan dan
pemeliharaan bibit, pemeliharaan TM, panen dan transportasi ke industri),
subsistem proses produksi CPO di industri, subsistem proses pengolahan air bersih
dan subsistem proses pengolahan air limbah.
Hasil analisis dampak daur hidup proses produksi CPO dengan ruang
lingkup cradle to gate menghasilkan dampak GWP, asidifikasi dan eutrofikasi
masing-masing sebesar 698,7 kg-CO2eq/ton-CPO; 2,68 kg-SO2eq/ton-CPO; dan
1,18 kg-PO43-eq/ton-CPO. Sumber utama emisi (hotspot) pada kategori dampak
GWP, asidifikasi dan eutrofikasi adalah TBS masyarakat pada subsistem proses
produksi CPO, disusul dengan produksi steam pada subsistem proses produksi CPO.
Rekomendasi skenario perbaikan diterapkan untuk mengurangi dampak
lingkungan yang dihasilkan. Skenario perbaikan pada subsistem proses perkebunan
yaitu mereduksi penggunaan pupuk NPK 12:12:17 dengan pupuk organik tankos
yang dapat menurunkan dampak emisi GWP (30,02%), asidifikasi (27,39%) dan
eutrofikasi (33%). Skenario perbaikan pada subsistem pengolahan air limbah yaitu
dengan pemanfaatan limbah cair menjadi biogas (Methane Capture), penerapan
skenario perbaikan ini dapat menurunkan dampak GWP (60,86%), asidifikasi
(78,85%) dan eutrofikasi (95,98%). Skenario perbaikan pada subsistem pengolahan
air bersih yaitu dengan substitusi Al2(SO4)3 dengan PAC sebagai bahan kimia
penjernihan air, penerapan skenario perbaikan ini dapat menurunkan dampak GWP
(30,12%), asidifikasi (59,81%) dan eutrofikasi (26,19%). Skenario perbaikan pada
subsistem proses produksi CPO di industri yaitu dengan mereduksi listrik steam
turbin generator dengan listrik biogas limbah cair, penerapan skenario perbaikan
ini dapat menurunkan dampak GWP (27,81%), asidifikasi (25,82%) dan eutrofikasi
(2,97%).

5.2 Saran
Perlu dilakukan perhitungan kajian LCA CPO dengan cakupan yang luas
dengan batasan sistem cradle to grave, dimulai dari pengadaan bahan baku (TBS
inti dan TBS luar), transportasi produk CPO sampai tahap konsumsi akhir produk,
sehingga dampak lingkungan dapat teridentifikasi secara menyeluruh. Upaya
interpretasi perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam mengurangi dampak yang
ditimbulkan. Selain itu alternatif rekomendasi perbaikan yang diusulkan masih
belum mempertimbangkan aspek perhitungan ekonomi sehingga perlu adanya
perhitungan lebih lanjut untuk pertimbangan penerapan alternatif yang diberikan.
63

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Mahidin, Muhamad F, Hamdani, Kiman S, Erdiwansyah. 2020. Cradle to


Gate Life Cycle Assessment of Palm Oil Industry. IOP Conference Series:
Materials Science and Engineering. doi:10.1088/1757-899X/1143/1/012044
Agustina S, Sri P, Widianto T, Trisni A. 2008. Penggunaan Teknologi Membran
pada Pengolahan Air Limbah Industri Kelapa Sawit. Work Ind Kim dan
Kemasan. 2:46–61. doi:10.2307/j.ctt46nrzt.12.
Azahari DH. 2018. Hilirisasi Kelapa Sawit : Kinerja, Kendala, dan Prospek. Forum
Penelit Agro Ekon. 36(2):81–95.
Clark CM, Bai Y, Bowman WD, Cowles JM, Fenn ME, Gilliam FS, Phoenix GK,
Siddique I, Stevens CJ, Sverdrup HU, et al. 2013. Nitrogen Deposition and
Terrestrial Biodiversity. Encycl Biodivers Second Ed. 5:519–536.
doi:10.1016/B978-0-12-384719-5.00366-X.
Darnoto S, Astuti D. 2009. Pengaruh Penambahan Poly Aluminium Chloride (PAC)
Terhadap Tingkat Kekeruhan, Warna, dan Total Suspended Solid (TSS) pada
Leachate air. J Kesehat. 2(2):179–184.
Davis JR, Koop K. 2006. Eutrophication in Australian Rivers, Reservoirs and
Estuaries - A southern Hemisphere Perspective on the Science and its
Implications. Hydrobiologia. 559(1):23–76. doi:10.1007/s10750-005-4429-2.
Dermawan Y. 2012. Identifikasi Konsumsi Energi Listrik di Pabrik Pengolahan
Kelapa Sawit Manis Mata (Studi Kasus di PT Harapan Sawit Lestari
Kalimantan Barat). Citra Widya Edukasi. 4(2):1–23.
DITJENBUN. 2022. Statistik Perkebunan Unggulan Nasional 2019-2021. Jakarta,
Indonesia: Kementerian Pertanian.
Drive RB. 2006. Life Cycle Assessment: Principles and Practice. USA: U.S
Environmental Protection Agency.
Espino MTM, De Ramos RMQ, Bellotindos LM. 2019. Life cycle assessment of
the oil palm production in the Philippines: A cradle to gate approach. Nat
Environ Pollut Technol. 18(3):709–718.
Febijanto I. 2010. Potensi Penangkapan Gas Metana dan Pemanfaatannya Sebagai
Bahan Bakar Pembangkit Listrik di PTPN VI Jambi. Ilmu Teknol Energi.
1(10):30–47.
Fiantis D. 2015. Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Sumatera Barat, Indonesia.
Finkbeiner M, Inaba A, Tan RBH, Christiansen K, Klüppel H. 2006. The New
International Standards for Life Cycle Assessment : ISO 14040 and ISO 14044.
Int J Life Cycle Assess. 11(2):80–85.
Finnveden G, Hauschild MZ, Ekvall T, Guinée J, Heijungs R, Hellweg S, Koehler
A, Pennington D, Suh S. 2009. Recent Developments in Life Cycle
Assessment. J Environ Manage. 91(1):1–21.
GaBi. 2009. Handbook for Life Cycle Assessment (LCA) Using the GaBi Education
Software Package. Leinfelden-Echterdingen, Germany: PE International.
Giandadewi DS, Andarani P, Nugraha WD. 2017. Potensi Dampak Lingkungan
Dalam Sistem Produksi Minyak Kelapa Sawit Mentah (Crude Palm Oil-CPO)
Dengan Menggunakan Metode Life Cycle Assessment (Eco-Indicator 99)
(Studi Kasus: PT. Sinar Mas Agro Resources and Technology TBK). Tek
Lingkung. 6(1):1–10.
64

Gupta D, Singh SK. 2012. Greenhouse Gas Emissions from Wastewater Treatment
Plants: A Case Study of Noida. J Water Sustain. 2(2):131–139.
doi:10.7862/rb.2013.51.
Hambali E. 2005. Kontribusi Perguruan Tinggi dan Litbang pada Pengembangan
Pemanfaatan Surfaktan. Semin Nas Pemanfaat Surfaktan Berbas Miny Sawit
untuk Ind Bogor, 4 Agustus 2005., siap terbit.
Harahap YP, Junaedi A. 2017. Manajemen Panen Kelapa Sawit (Elaeis guineensis
Jacq.) Berdasarkan Kriteria ISPO dan RSPO di Kebun Sei Batang Ulak,
Kabupaten Kampar, Riau. Bul Agrohorti. 5(2):187–195.
Harihastuti N, Widiasa IN, Djayanti S, Harsono D, Sari IRJ. 2010. Pengurangan
Emisi CO2 pada Gas Buang Boiler dengan Teknologi Absorpsi Melalui
Membran Serat Berpori. Ris Ind. 4(1):57–66.
Harimurti D, Hariyadi H, Noor E. 2021. Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca pada
Perkebunan Kelapa Sawit dengan Pendekatan Life Cycle Assessment.
Pengelolaan Sumberd Alam dan Lingkung. 11(1):1–9.
doi:10.29244/jpsl.11.1.1-9.
Harsono SS, Prochnow A, Grundmann P, Hansen A, Hallmann C. 2012. Energy
balances and greenhouse gas emissions of palm oil biodiesel in Indonesia.
GCB Bioenergy. 4(2):213–228. doi:10.1111/j.1757-1707.2011.01118.x.
Hasibuan S, Thaheer H. 2017. Life Cycle Impact Assessment Produksi Biodiesel
Sawit Untuk Mendukung Keberlanjutan Hilirisasi Industri. Semin Nas Inov
Dan Apl Di Ind., siap terbit.
Hidayatno A, Zagloel TYM, Purwanto WW, Carissa, Anggraini L. 2011. Cradle To
Gate Simple Life Cycle Assessment of Biodiesel Production in Indonesia.
MAKARA Technol Ser. 15(1):9–16. doi:10.7454/mst.v15i1.851.
Indonesia MKR. 1990. Peraturan Menteri Kesehatan No. 416 Tahun 1990 Syarat-
syarat dan Pengawasan Kualitas Air. www.ptsmi.co.id.
Irawati DY, Andrian D. 2018. Analisa Dampak Lingkungan Pada Instalasi
Pengolahan Air Minum ( IPAM ) Dengan Metode Life Cycle Assessment
( LCA ). Tek Ind. 19(2):166–177.
Ji CM, Eong PP, Ti TB, Seng CE, Ling CK. 2013. Biogas from palm oil mill ef fl
uent (POME ): Opportunities and challenges from Malaysia’s perspective.
Renew Sustain Energy Rev. 26:717–726. doi:10.1016/j.rser.2013.06.008.
Karnaningroem N, Anggraeni DR. 2021. Study of Life Cycle Assessment (LCA)
on Water Treatment. IOP Conf Ser Earth Environ Sci. 799(1):1–11.
doi:10.1088/1755-1315/799/1/012036.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2012. Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi
Gas Rumah Kaca Nasional, Buku I Pedoman Umum.
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&
cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwilnYmHp4LQAhWFpY8KHUzQBY4QFg
gfMAA&url=http://www.kemenperin.go.id/download/11221&usg=AFQjCN
H_FvQz7x1j9DhfxepLnzSERTxKwg&bvm=bv.136811127,d.c2I.
KLHK. 2021. Peraturan Mentri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia No. 1 tahun 2021. Kementrian LHK RI., siap terbit.
Klopffer W, Grahl B. 2014. Life Cycle Asssesment: A Guide to Best Practice.
Weinheim, Germany: Wiley-VCH Verlag&Co.
Kumar SA dan NS. 2008. Production and Operations Management. Second Edi.
New Delhi, India.
65

https://www.researchgate.net/publication/269107473_What_is_governance/li
nk/548173090cf22525dcb61443/download%0Ahttp://www.econ.upf.edu/~re
ynal/Civil wars_12December2010.pdf%0Ahttps://think-
asia.org/handle/11540/8282%0Ahttps://www.jstor.org/stable/41857625.
Lam MK, Lee KT. 2011. Renewable and Sustainable Bioenergies Production from
Palm Oil Mill Effluent (POME): Win-win Strategies Toward Better
Environmental Protection. Biotechnol Adv. 29(1):124–141.
doi:10.1016/j.biotechadv.2010.10.001.
Mahajoeno E, Lay BW, Sutjahjo SH. 2008. Potensi Limbah Cair Pabrik Minyak
Kelapa Sawit untuk Produksi Biogas. Biodiversitas. 9(1):48–52.
Maharjan S, Wang WC, Teah HY. 2016. Life cycle assessment of palm-derived
biodiesel in Taiwan. Clean Technol Environ Policy. 19(4):959–969.
doi:10.1007/s10098-016-1290-0.
Masykur. 2013. Pengembangan Industri Kelapa Sawit Sebagai Penghasil Energi
Bahan Bakar Alternatif dan Mengurangi Pemanasan Global (Studi di Riau
Sebagai Penghasil Kelapa Sawit Terbesar di Indonesia). J Reformasi. 3(2):96–
107.
Mba OI, Dumont M, Ngadi M. 2018. Characterization of Tocopherols, Tocotrienols
and Total Carotenoids in Deep- fat Fried French Fries. J Food Compos Anal.
69 January:78–86. doi:10.1016/j.jfca.2018.02.011.
Mcnamara G, Horrigan M, Phelan T, Fitzsimons L, Delaure Y, Corcoran B,
Doherty E, Clifford E. 2016. Life Cycle Assessment of Waste Water
Treatment Plants in Ireland. South East Eur Conf Sustain Dev Energy, Water
Environ Syst. 4 May 1991:216–233.
http://www.researchgate.net/publication/264895663_Life_Cycle_Assessment
_of_Waste_Water_Treatment_Plants_in_Ireland.
Megasari K, Swantomo D, Putri MC. 2008. Penakaran Daur Hidup Pembangkit
Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara Kapasitas 50 MWatt. Semin Nas IV
SDM Teknol Nukl Yogyakarta 25 – 26 Agustus., siap terbit.
Merchan A, Combelles A. 2012. Comparison of Life Cycle Impact Assessement
Methods in a Case of Crop in Northern France. 4th Int Conf Life Cycle
approaches.(1):3–6. http://orbi.ulg.ac.be//handle/2268/179975.
Mumtaz T, Yahaya NA, Abd-Aziz S, Abdul Rahman N, Yee PL, Shirai Y, Hassan
MA. 2010. Turning Waste to Wealth-biodegradable Plastics
Polyhydroxyalkanoates from Palm Oil Mill Effluent-a Malaysian Perspective.
J Clean Prod. 18(14):1393–1402. doi:10.1016/j.jclepro.2010.05.016.
Nasional BS. 2016. SNI ISO 14004 Sistem manajemen lingkungan – Pedoman
umum dalam penerapan Environmental management systems – General
guidelines on implementation.
Nasution MA, Wibawa DS, Ahamed T, Noguchi R. 2018a. Comparative
environmental impact evaluation of palm oil mill effluent treatment using a
life cycle assessment approach: A case study based on composting and a
combination for biogas technologies in North Sumatera of Indonesia. J Clean
Prod. 184:1028–1040. doi:10.1016/j.jclepro.2018.02.299.
Nasution MA, Wibawa DS, Ahamed T, Noguchi R. 2018b. Comparative
Environmental Impact Evaluation of Palm Oil Mill Effluent Treatment Using
A Life Cycle Assessment Approach: A Case Study Based On Composting and
a Combination For Biogas Technologies In North Sumatera of Indonesia. J
66

Clean Prod. 184:1028–1040. doi:10.1016/j.jclepro.2018.02.299.


Nugroho A. 2019. Teknologi Agroindustri Kelapa Sawit.
https://www.researchgate.net/profile/Agung-Nugroho-
13/publication/337315913_Buku_Teknologi_Agroindustri_Kelapa_Sawit/lin
ks/5dd1694792851c382f469b34/Buku-Teknologi-Agroindustri-Kelapa-
Sawit.pdf.
Nugroho AW. 2014. Life Cycle Assessment (LCA) Industri Pengolahan Crude
Palm Oil (CPO) (Studi Kasus di PTPN V (Persero) Provinsi Riau). Institut
Pertanian Bogor.
Paminto A, Karuniasa M, Frimawaty E. 2022. Potential Environmental Impact of
Biodiesel Production from Palm Oil using LCA (Life Cycle Assessment) in
Indonesia. J Nat Resour Environ Manag. 12(1):64–71.
doi:10.29244/jpsl.12.1.64-71.
Pasra N, Hakim F. 2015. Pengoperasian Water Treatment Plant di PT PJB Unit
Pembangkitan Paiton. Energi & Kelistrikan. 7(1):41–49.
Pignitter M, Hernler N, Zaunschirm M, Kienesberger J, Somoza MM, Kraemer K,
Somoza V. 2016. Evaluation of Palm Oil as a Suitable Vegetable Oil for
Vitamin A Fortification Programs. Nutrients. 8(1):1–13.
doi:10.3390/nu8060378.
Prasetya H, Arkeman Y, Hambali E. 2013. Role of Methane Capture for Sustainable
Biodiesel Production from Palm Oil: A Life Cycle Assessment Approach. Int
J Adv Sci Eng Inf Technol. 3(5):17–20. doi:10.18517/ijaseit.3.5.345.
Purba JH V, Sipayung T. 2017. Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia dalam
Perspektif Pembangunan Berkelanjutan. Masy Indones. 43(1):81–94.
http://jmi.ipsk.lipi.go.id/index.php/jmiipsk/article/view/717/521.
Qureshi AA, Khan DA, Mushtaq S, Ye SQ, Xiong M, Qureshi N. 2018. δ -
Tocotrienol feeding modulates gene expression of EIF2 , mTOR , protein
ubiquitination through multiple-signaling pathways in chronic hepatitis C
patients. Lipids Health Dis. 17(167):1–34.
Rahardja IB. 2019. Perhitungan Jumlah Bahan Kimia pada External Water
Treatment (Studi Kasus di PMKS XYZ, Kalimantan Tengah). Citra Widya
Edukasi. 9(1):77–82.
Rajaniemi M, Mikkola H, Ahokas J. 2011. Greenhouse Gas Emissions from Oats,
Barley, Wheat and Rye Production. Agron Res. 9 SPPL. ISS. 1:189–195.
Reay D, Sabine C, Smith P, Hymus G. 2007. Climate Change 2007-Synthesis
Report. Geneva, Switzerland: Intergovernmental Panel on Climate Change.
Rosariawari F, Mirwan M. 2013. Untuk Menurunkan Kekeruhan Pada Air
Permukaan. J Ilm Tek Lingkung. 5(1):1–10.
Roslan A, Mior A, Mohd A, Yoshihito S. 2014. Investigation of Oil Palm Frond
Properties for Use as Biomaterials and Biofuels. Trop Agric Dev. 58(1):26–29.
Rosmeika R, Yuwono AS, Tambunan AH. 2014. Comparison of Biodiesel
Production By Conventional and Superheated Methanol Vapor Technologies
Using Life Cycle Assessment Method. Environ Eng Sci. 31(3):107–116.
doi:10.1089/ees.2013.0228.
RSPO. 2009. Greenhouse Gas Emissions from Palm Oil Production Literature
review and proposals from the RSPO Working Group on Greenhouse Gases.
Sacayón EE, Vionnet S, Rodriguez L. 2018 Nov. Life Cycle and Water Footprint
Assessment of A Palm Oil Company in Guatemala: Pilot Study. United
67

Nations Environ., siap terbit.


Santoso ADWI, Suwedi N, Anindyajati R, Dan P, Prayitno J. 2017. Energi
Terbarukan dan Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Palm Oil Mill
Effluent. Teknol Lingkung. 18(1):88–95.
Sirait BA, Imelda Man A, Samosir OM, Marpaung RG, . N, Manalu C. 2021.
Growth Palm Oil Seedling (Elaeis guineensis Jacq.) via NPK Fertilization and
Different Frequency of Watering. J Agron. 20(1):1–8. doi:10.3923/ja.2021.1.8.
Siregar K, Tambunan AH, Irwanto AK, Wirawan SS, Araki T. 2013. Perbandingan
Penilaian Siklus Hidup (Life Cycle Assessment) Produksi Biodiesel Secara
Katalis dari Crude Palm Oil dan Crude Jatropha Curcas Oil. J Teknol Ind
Pertan. 23(2):129–141.
Stichnothe H, Schuchardt F. 2011. Life cycle assessment of two palm oil production
systems. Biomass and Bioenergy. 35(9):3976–3984.
doi:10.1016/j.biombioe.2011.06.001.
Suhatman Y, Suryanto A, Setyobudi L. 2016. Studi Kesesuaian Faktor Lingkungan
dan Karakter Morfologi Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq .).
Produksi Tanam. 4(3):192–198.
Suprihatin, Nugroho AW, Suparno O, Sarono. 2015. Life Cycle Assessment of
Integrated Palm Oil Industry with Scenarios of Liquid and Solid Wastes
Utilization and Integration with Cattle Farm. Proc 5th Environ Technol Manag
Conf “Green Technol Towar Sustain Environ., siap terbit.
https://www.researchgate.net/publication/336304598.
Susilawati, Supijatno. 2015. Pengelolaan Limbah Kelapa Sawit (Elaeis guineensis
Jacq.) di Perkebunan Kelapa Sawit, Riau. Bul Agrohorti. 3(2):203–212.
Tungka AW, Haeruddin H, Ain C. 2016. Konsentrasi Nitrat dan Ortofosfat di
Muara Sungai Banjir Kanal Barat dan Kaitannya dengan Kelimpahan
Fitoplankton Harmful Alga Blooms (HABs). Saintek Perikan. 12(1):40–46.
doi:10.14710/ijfst.12.1.40-46.
Wieddya, Nugraha WD, Andarani P. 2017. Potensi Penurunan Emisi Gas Rumah
Kaca dan Penggunaan Energi dalam Sistem Produksi Minyak Kelapa Sawit
Mentah (Crude Palm Oil-CPO) Studi Kasus: PT. Sinarmas Agro Resources
and Technology TBK. Tek Lingkung. 6(1):1–11.
Wijono A. 2017. Dampak Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca Pada Pemanfaatan
POME untuk Pembangkit. Pros Semnastek.(1-2 November):1–9.
https://jurnal.umj.ac.id/index.php/semnastek/article/view/1946%0Ahttps://jur
nal.umj.ac.id/index.php/semnastek/article/download/1946/1596.
Yacob S, Hassan MA, Shirai Y, Wakisaka M, Subash S. 2006. Baseline Study Of
Methane Emission From Anaerobic Ponds Of Palm Oil Mill Effluent
Treatment. Sci Total Environ. 366(1):187–196.
doi:10.1016/j.scitotenv.2005.07.003.
77

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Manna Bengkulu Selatan pada tanggal 26


November 1997 sebagai anak keempat dari empat bersaudara pasangan bapak
Bairin S, S.Pd dan ibu Witininsi, S.Pd. Pendidikan Sekolah Dasar ditempuh di SDN
10 Bengkulu Selatan lulus tahun 2009, Pendidikan Sekolah Menengah Pertama
ditempuh di SMPN 02 Bengkulu Selatan lulus tahun 2012, dan melanjutkan
Pendidikan ke SMAN 02 Bengkulu Selatan lulus tahun 2015. Penulis menempuh
Pendidikan sarjana (S-1) di Universitas Bengkulu melalui jalur SNMPTN (Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) pada Program Studi Teknologi Industri
Pertanian, Fakultas Pertanian, dan lulus tahun 2020. Tahun 2020, penulis diterima
sebagai mahasiswa program Magister (S-2) di Program Studi Teknik Industri
Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB University dan menamatkannya pada tahun
2022. Selama mengikuti program S-2, penulis aktif menjadi pengurus organisasi di
Forum Mahasiswa Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian (Formatip) divisi
Kominfo pada tahun 2021 – 2022. Karya ilmiah berjudul Life Cycle Assessment
Produksi Crude Palm Oil (CPO) (Studi Kasus: PT X Provinsi Bengkulu) telah
disajikan pada Seminar Nasional Agroindustri 2022 dan telah dipublikasi pada
Jurnal Agrointek.

Anda mungkin juga menyukai