REKO RINALDO
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Life Cycle
Assessment Produksi Crude Palm Oil (CPO) (Studi Kasus: PT X Provinsi Bengkulu”
adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Reko Rinaldo
F3501201005
RINGKASAN
REKO RINALDO. Life Cycle Assessment Produksi Crude Palm Oil (CPO) (Studi
Kasus: PT X Provinsi Bengkulu). Dibimbing oleh SUPRIHATIN dan MOHAMAD
YANI.
Kata kunci: asidifikasi, eutrofikasi, gwp, life cycle assessment, produksi cpo
SUMMARY
REKO RINALDO. Life Cycle Assessment of Crude Palm Oil (CPO) Production
(Case Study: PT X Bengkulu Province). Supervised by SUPRIHATIN and
MOHAMAD YANI.
Oil palm (Elaeis guinensis Jacq) is the leading commodity in the most widely
produced plantation sector in Indonesia. The development of Indonesia's oil palm
plantations has increased rapidly every year, in 2021 the area of oil palm plantations
in Bengkulu Province increased by 4,642 ha from the previous year's area. The
increase also occurred in the CPO production sector, Bengkulu Province recorded
that in 2021 CPO production increased to 30,052 tons of CPO from the total
production in 2020 of 1,063,404 tons of CPO. Oil palm plantation activities as well
as activities in industry and high CPO production can cause various problems with
environmental impacts such as waste, changes in the quality of water, soil, air, and
improvements to emissions. The environmental impact comes from the use of
material materials in the form of raw materials, additional materials in the form of
chemicals, the use of energy, and waste produced by process units.
The method that can be used to analyze the environmental impact is life cycle
assessment (LCA). LCA is a method for assessing the potential environmental
impact of a product or service system at all stages in the product lifecycle cycle.
The purpose of this LCA study is to identify the inputs used and outputs produced
from the stages of the CPO production life cycle; calculate the value of
environmental impacts resulting from the stages of the CPO production life cycle
as well as formulate improvement scenarios to reduce environmental impacts.
The stages of the LCA study are carried out based on SNI ISO 14040: 2016
framework, which consists of four stages, namely goal and scope definition,
inventory analysis, environmental impact analysis, and interpretation of results for
improvement efforts. The environmental impact studied consists of three categories,
namely GWP, acidification, and eutrophication using the SimaPro software CML-
IA baseline method. The scope limitation studied was cradle-to-gate, starting from
the subsystem of the plantation process including process units (seedling and seed
maintenance, maintenance of plant produces (TM), and transportation of industrial
FFB), CPO production process subsystems in industry, water treatment plan
subsystem, and wastewater treatment plan subsystem. Inventory analysis shows that
the CPO production life cycle requires inputs in the form of FFB raw materials both
from the community and FFB from PT X's core plantations, additives such as
fertilizers, herbicides, fungicides and insecticides, chemicals Al2(SO4)3, Na2CO3,
PAC and bio treatment 0168, water and energy sources such as steam (hot steam),
electricity, diesel, and gasoline. The output produced is in the form of main products,
namely CPO, solid waste empty fruit bunch, shells, and fiber as well as liquid waste,
and emissions to air, water and soil.
Based on the results of the analysis of the LCA study of the CPO production life
cycle, it is known that 1 ton of CPO production produces the environmental impacts of
GWP, acidification and eutrophication are 698,7 kg-CO2eq/ton-CPO; 2,68 kg-
SO2eq/ton-CPO dan 1,18 kg-PO43-eq/ton-CPO. The primary source of emission
(hotspot) in the category of GWP impact, acidification and eutrophication is
Community FFB in the CPO production process subsystem, followed by steam
production in the CPO production process subsystem.
Recommendations for improvement scenarios are implemented to reduce the
resulting environmental impact. The scenario for improvement in the plantation process
subsystem is replacing the use of NPK 12:12:17 fertilizer with EFB organic fertilizer
which can reduce the impact of GWP impact (30,02%), acidification (27,39%) and
eutrophication (33%). Improvement scenarios in the wastewater treatment plan
subsystem are by utilizing liquid waste into biogas (methane Capture), the
implementation of this improvement scenario can reduce the impact of GWP (60.86%),
acidification (78.85%) and eutrophication (95.98%). Scenarios of improvements to the
clean water treatment plan subsystem are by substituting Al2(SO4)3 with PAC as a water
purification chemical, the implementation of this improvement scenario can reduce the
impact of GWP (30.12%), acidification (59.81%) and eutrophication (26.19%).
Improvement scenarios in the CPO process subsystem in the industry is by reducing
steam turbine generator electricity with liquid waste biogas electricity, the application
of this improvement scenario can reduce the impact of GWP (27.81%), acidification
(25.82%) and eutrophication (2.97%).
REKO RINALDO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Teknik pada
Program Studi Teknik Industri Pertanian
Disetujui oleh
Pembimbing 1:
Prof. Dr. Ing. Ir. Suprihatin
Pembimbing 2:
Prof. Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Eng
Diketahui oleh
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanaahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2021 sampai
Desember 2021 ini ialah penilaian dampak lingkungan, dengan judul “Life Cycle
Assessment Produksi Crude Palm Oil (CPO) (Studi Kasus: PT X Provinsi
Bengkulu”.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada Bapak Prof. Dr. Ing. Ir. Suprihatin selaku ketua komisi pembimbing dan
Bapak Prof. Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Eng selaku anggota komisi pembimbing
yang telah memberikan banyak bimbingan, arahan, saran, dan motivasi dalam
penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Dr.
Endang Warsiki, S.TP, M.Si selaku moderator seminar, Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi
Indrasti selaku Penguji Luar Komisi Pembimbing dan Prof. Dr. Eng. Taufik Djatna,
STP, MSi selaku moderator sidang tesis yang memberikan saran dan masukan
untuk penyempurnaan Tesis ini. Penulis juga mengungkapkan terima kasih dan
penghargaan kepada Bapak Imanuel Manurung selaku direktur utama PT X, Bapak
Nainggolan selaku staf KTU dari PT X, Bapak Rudy dari divisi perkebunan
afdeling 3 PT X, Bapak Antonius dari Mill Manager PT X dan Bapak Anton
Tumanggor dari staf lingkungan PT X yang telah memberikan kesempatan penulis
untuk melakukan penelitian dan membantu penulis selama penelitian di lapangan.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Siti Aminatu Zuhria dan Silmi
Azmi yang telah membantu memberi pemahaman terkait LCA maupun penggunaan
software SimaPro.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah Bairin S, Ibu
Witininsih, kakak Iis Gustin Herlena, Wiche Oktavia dan Rahma Safitri serta
seluruh keluarga besar yang telah memberikan motivasi, dukungan, semangat,
kasih sayang, dan senantiasa tanpa henti selalu mendoakan dalam setiap sujud dan
doanya. Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan Penghuni Sekretariat
Formatip TIP IPB, atas kebersamaan, semangat, doa, motivasi, serta diskusi berbagi
ilmu yang sangat membantu dalam menyelesaikan tesis ini. Teman-teman
seperjuangan Program Studi TIP IPB angkatan 2020 dan teman-teman
seperjuangan sesama penelitian LCA atas kebersamaan, semangat, doa, dan
dukungannya selama kuliah sampai penyelesaian tesis ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan dan
memberikan kontribusi bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Semoga Allah SWT
senantiasa memberkahi dan meridhoi nilai kebaikan ini. Aamiin.
Reko Rinaldo
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 Diagram hasil nilai dampak subsistem perkebunan kelapa sawit 69
2 Diagram hasil nilai dampak subsistem proses produksi CPO 70
3 Diagram hasil nilai dampak subsistem pengolahan air bersih (WTP) 72
4 Diagram hasil nilai dampak subsistem pengolahan air limbah 74
5 Kategori Dampak LCA Produksi CPO 76
1
I PENDAHULUAN
dilakukan didua kasus pabrik kelapa sawit atau palm oil mill (POM). Hasil
menunjukkan dampak GWP dalam kasus POM 1 dan kasus POM 2 masing-masing
adalah 1463 dan 624 kg-CO2-eq/ton CPO. Peluang yang paling potensial untuk
meningkatkan efisiensi energi dan mengurangi emisi adalah pemanfaatan biogas
dari proses dekomposisi anaerobik air limbah sebagai sumber energi pembangkit
listrik. Skenario ini dapat mengurangi emisi sekitar 970 kg-CO2- eq/ ton CPO (POM
2) menghasilkan peningkatan NER dan NEV hingga 5,7 dan NEV hingga 33,83 GJ
/ ton CPO. Peningkatan lebih lanjut dari proses produksi CPO dapat dicapai melalui
integrasi perkebunan kelapa sawit dengan peternakan sapi dan pemanfaatan limbah
padat sebagai pupuk organik.
Harimurti et al. (2021) mengevaluasi sumber utama emisi gas rumah kaca
yang ditimbulkan untuk menghasilkan TBS pada setiap klasifikasi umur dari fase
tanaman belum menghasilkan (TBM) (umur tanaman 0-3 tahun) hingga tanaman
menghasilkan (TM) (umur tanaman 3-20 tahun). Aktivitas yang dilakukan untuk
menghasilkan TBS meliputi aktivitas pemeliharaan tanaman, pemupukan, panen
dan transportasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak GWP yang
ditimbulkan dalam kegiatan perkebunan kelapa sawit selama 1 siklus berbeda-beda.
Dampak GWP yang ditimbulkan pada fase TM (umur tanaman >3 tahun) menjadi
yang terbesar dengan rata-rata 1887,64 kg-CO2-eq/Ha, sementara dampak GWP
pada fase TBM (umur tanaman 0-3 tahun) sebesar 989,63 kg-CO2-eq/Ha. Sumber
terbesar penyumbang emisi berasal dari kegiatan pemupukan. Pada fase TM,
kegiatan pemupukan menyumbang GWP sebesar 920,22 kg-CO2-eq/Ha dengan
jenis pupuk paling dominan adalah pupuk urea dan MOP yaitu sebesar 369,67 kg-
CO2-eq/Ha dan 179,56 kg-CO2-eq /Ha.
Berdasarkan uraian diatas Metode LCA dapat menilai aspek lingkungan
pada keberlanjutan suatu produk. Penelitian LCA pada industri produksi CPO di
Provinsi Bengkulu perlu dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengurangi
dampak lingkungan yang ditimbulkan dari proses budidaya kelapa sawit, proses
produksi CPO di industri, pengolahan air bersih dan pengolahan air limbah,
sehingga proses produksi yang dilakukan menjadi ramah lingkungan. Hasil
penelitian ini diharapkan bisa digunakan sebagai pembanding pada penelitian
kajian LCA pada produksi CPO dan memberikan manfaat bagi pelaku industri
untuk mengelola lingkungan, serta mampu mewujudkan industri produksi CPO
yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
dalam penurunan emisi dan dampak lingkungan yang dihasilkan dari siklus hidup
proses produksi CPO.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas maka dapat dirumuskan beberapa
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apa saja input dan output yang dihasilkan dari tahapan siklus hidup proses
produksi CPO?
2. Berapa nilai dampak lingkungan yang dihasilkan dari tahapan siklus hidup
proses produksi CPO?
3. Apa saja rekomendasi skenario perbaikan yang dapat diterapkan untuk
menurunkan dampak lingkungan pada siklus hidup proses produksi CPO?
II TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 1. Luas areal dan status pengusahaan kelapa sawit Provinsi Bengkulu
Perkebunan Rakyat Perkebunan Negara Perkebunan Swasta Jumlah
Tahun Luas Produksi Luas Produksi Luas Produksi Luas Produksi
(ha) (Ton) (ha) (Ton) (ha) (Ton) (ha) (Ton)
2019 209.178 748.222 829 1.769 100.665 282.066 310.627 1.032.056
2020 211.979 757.879 830 1.209 112.442 304.316 325.251 1.063.404
2021 214.816 778.540 845 1.238 114.231 313.678 329.893 1.093.456
Data peningkatan luas areal dan produksi kelapa sawit Provinsi Bengkulu
memberikan gambaran bahwa kelapa sawit merupakan anugrah untuk rakyat dan
bangsa Indonesia, karena dengan kesesuaian iklim dan lahan, kelapa sawit dapat
tumbuh dan ditanam hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Varietas tanaman kelapa sawit dapat dibedakan berdasarkan tebal cangkang
atau tempurung dan daging buah, rendemen minyak serta warna kulit buahnya.
Berdasarkan ketebalan cangkang/tempurung dan daging buah varietas kelapa sawit
dibedakan menjadi varietas dura, pasifera dan tenera. Setiap jenis kelapa sawit
memiliki keunggulan yang berbeda-beda terhadap lingkungan dan perlakuan tanam.
Kelapa sawit jenis Tenera memiliki kemampuan yang luas terhadap media tanam
yang digunakan dibandingkan dengan jenis Dura dan Pasifera (Sirait et al. 2021).
Taksonomi dari tanaman kelapa sawit adalah sebagai berikut:
Divisi : Embryophyta Siphonagama
Kelas : Angiospermae
Ordo : Monocotyledoneae
Famili : Aracaceae
Subfamili : Cocoideae
Genus : Elaeis
Spesies : Elaeis gueineensis jacq
Nugroho (2019) menyebutkan buah kelapa sawit pada dasarnya terdiri dari
empat bagian utama, yaitu eksokarp, mesokarp, endokarp, dan endosperma.
Eksokarp merupakan bagian terluar dari buah kelapa sawit yang berupa kulit buah
yang bertekstur licin dan berwarna merah jingga pada buah yang matang. Mesokarp
adalah bagian penting dari buah kelapa sawit, karena bagian inilah sebagian besar
minyak (CPO) tersimpan, bagian ini adalah daging buah yang berserabut dan
berwarna kuning terang. Sementara itu, endokarp adalah bagian lebih dalam setelah
mesokarp yang berupa cangkang atau tempurung yang melindungi bagian dalam
yang berupa inti sawit atau kernel (endosperm). Pada kernel inilah embrio sawit
berada, yang mana merupakan bagian yang menghasilkan minyak inti sawit (PKO).
Gambar bagian buah kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 2.
6
Kelapa sawit mulai berbuah setelah 2,5 tahun dan masak 5,5 bulan setelah
penyerbukan. Kelapa sawit dapat dipanen jika tanaman telah berumur 31 bulan,
sedikitnya 60% buah telah matang panen, dari 5 pohon terdapat 1 tandan buah
matang panen. Suhatman et al. (2016) menyatakan kelapa sawit berbuah ditandai
dengan ciri-ciri morfologi tanaman diameter batang 50 dan 100 cm dari atas tanah
sebesar 62 – 74 cm dan 56 – 68 cm, jumlah pelepah 40 – 56 pelepah/tanaman,
memiliki bunga jantan & bunga betina suhu minimum 20, 10 oC dan suhu
maksimum 28, 90 oC. sedangkan kelapa sawit tidak berbuah ditandai dengan ciri-
ciri morfologi tanaman diameter batang 50 dan 100 cm dari atas tanah sebesar 56 –
65 cm dan 46 – 56 cm jumlah pelepah 5 – 9, tidak memiliki bunga jantan dan bunga
betina dan suhu minimum 19, 70 oC, suhu maksimum 30, 60 oC.
demand (BOD) yang tinggi. POME mengandung sejumlah besar nitrogen, fosfat,
kalium, magnesium, dan kalsium. POME akan memproduksi gas metan (CH 4) yang
merupakan salah satu sumber GRK yang berdampak pada pemanan global (Wijono
2017). Industri kelapa sawit membutuhkan air bersih baik untuk air proses maupun
sebagai air umpan boiler, pengolahan air pada industri kelapa sawit untuk
memenuhi kualitas air umpan boiler yang di syaratkan untuk mencegah terjadinya
kerak, korosiden deposit pada boiler. Air baku yang digunakan pada industri kelapa
sawit bersumber dari waduk, sungai, dan kolam penampungan air hujan. Sektor
industri saat ini dituntut untuk lebih serius dalam memperhatikan dampak
lingkungan akibat aktivitasnya. Hal ini seiring bertambah buruknya kualitas
lingkungan baik itu udara, air, tanah, dan sebagainya. Indonesia memiliki bahan
baku yang melimpah, namun perkembangan industri kelapa sawit Indonesia masih
kalah dibandingkan dengan Malaysia yang kapasitas produksinya mencapai dua
kali lipat dari Indonesia. Sebagai gambaran, Indonesia menguasai 6 juta metrik ton
per tahun (12%), sedangkan Malaysia menguasai sekitar 9,3 jutra metrik ton
(18,6%) permintaan oleochemical dunia. Industri hilir Malaysia mampu mengolah
CPO menjadi lebih dari 120 jenis produk bernilai tambah tinggi, sedangkan
Indonesia baru mencapai 47 produk turunan CPO (Azahari 2018). Kebijakan
hilirisasi kelapa sawit diharapkan dapat memberi manfaat dalam peningkatan
pendapatan petani dan pelaku usaha, menciptakan nilai tambah di dalam negeri,
penyerapan tenaga kerja, pengembangan kawasan industri, proses alih teknologi,
dan untuk ekspor dalam bentuk produk olahan sebagai penghasil devisa.
Hambali (2005) menyatakan, dari segi nilai tambah, semakin jauh
diversifikasi produk dilakukan akan memberikan nilai tambah yang semakin
banyak dan beragam sehingga dampaknya sangat signifikan. Produk tingkat
pertama kelapa sawit berupa CPO akan memberikan nilai tambah sekitar 30% dari
nilai tandan buah segar (TBS). Pengolahan selanjutnya akan memberikan masing-
masing nilai tambah berbasis TBS sebagai berikut: minyak goreng (50%), asam
lemak/fatty acid (100%), ester (150 – 200%), surfaktan atau emulsifier (300 –
400%), dan kosmetik (600 - 1000%). Pohon industri turunan minyak kelapa sawit
dapat dilihat pada Gambar 3.
8
CPO sebagai produk hasil ekstraksi buah kelapa sawit tentu saja memiliki
karakter yang identik dengan produk hasil pertanian lainnya. CPO dengan
komponen utama berupa trigliserida mudah mengalami degradasi mutu melalui
adanya reaksi hidrolisis yang menyebabkan terurainya trigliserida menjadi asam
lemak bebas (free fatty acid) yang dicirikan dengan munculnya aroma tengik.
Selain hidrolisis juga dapat terjadi reaksi oksidasi pada ikatan rangkap asam lemak
yang menyebabkan berubahnya komposisi asam lemak dari CPO (Nugroho 2019).
Produk minyak kelapa sawit sebagai bahan baku makanan mempunyai dua aspek
kualitas. Aspek pertama berhubungan dengan kadar dan kualitas asam lemak,
kelembaban dan kadar kotoran. Aspek kedua berhubungan dengan rasa, aroma dan
kejernihan serta kemurnian produk. Kelapa sawit bermutu prima SQ (Special
quality) mengandung asam lemak FFA (Free fatty acid) tidak lebih dari 2% pada
saat pengapalan. Kualitas standar minyak kelapa sawit mengandung tidak lebih dari
5% FFA, setelah pengolahan kelapa sawit bermutu akan menghasilkan rendemen
minyak 22,1% - 22,2% (tertinggi) dan kadar asam lemak bebas 1,7% - 2,1%
(terendah).
Limbah cair yang dihasilkan industri CPO berasal dari air kondensat, air
cucian pabrik, air hidrocyclone atau claybath. Limbah cair tersebut berasal dari
beberapa sumber, meliputi; a) Hasil kondensasi uap air pada unit pelumatan
(digester) dan unit pengempaan (pressure), b) Kondensat dari depericarper, yaitu
untuk memisahkan sisa minyak yang terikut bersama batok/cangkang, c) Hasil
kondensasi uap air pada unit penampung biji/inti, d) Kondensasi uap air yang
berada pada unit penampung atau penyimpan inti, e) Penambahan air pada
hydrocyclone yang bertujuan mempermudah pemisahan serat dari cangkang, dan f)
Penambahan air panas dari saringan getar, yaitu untuk memisahkan sisa minyak
dari ampas (Agustina et al. 2008). Limbah cair selama ini ditangani hanya dengan
cara relatif sederhana, yaitu dengan mengalirkan dan membiarkan terdekomposisi
di dalam sistem kolam (pond system). Di dalam sistem ini, bahan organik sebagian
besar terdegrasi secara anaerobik dan menyebabkan bau busuk serta menimbulkan
emisi gas metana. Emisi metana berkontribusi terhadap pemanasan global karena
merupakan GRK dengan kekuatan 20 - 30 kali lebih kuat dibandingkan dengan gas
karbon dioksida.
yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan manusia adalah jenis air baku yang
diolah sebagai air minum dan kebutuhan rumah tangga.
Industri CPO memiliki dua stasiun yang mendukung keberhasilan dalam
pengolahan yaitu stasiun utama dan stasiun pendukung. Stasiun utama adalah
stasiun pengolahan air yang akan digunakan untuk proses pengolahan TBS, dari
mulai diterima hingga menjadi crude palm oil (CPO) dan palm kernel (PK). Stasiun
pendukung juga sangat berperan penting dalam keberhasilan pengolahan karena
steam yang digunakan berasal dari air dan air pada pengolahan harus memiliki
standar mutu yang sesuai dengan parameter baku mutu air pada proses pengolahan
(Pahan 2013). Instalasi pengolahan air di PKS terdiri dari external water treatment
dan internal water treatment. External water treatment digunakan untuk
menjernihkan air baku, yakni menghilangkan padatan-padatan tersuspensi (tanah,
pasir, dan lumpur) dengan cara diendapkan dan disaring. Sementara, internal water
treatment digunakan untuk mengikat padatan-padatan terlarut (Ca2+; Mg2+; SO42-)
dan gas terlarut (O2; H2S; dll). Pengolahan untuk air permukaan lebih
dititikberatkan di eksternal water treatment, sedangkan air tanah di internal water
treatment. Proses koagulasi-flokulasi-sedimentasi di clarifier tank dan filtrasi
adalah proses yang biasa digunakan pada external water treatment dalam proses
pengolahan minyak kelapa sawit (Schutte 2006).
1. Perbaikan produk: LCA dapat mengidentifikasi pilihan biaya paling efisien dan
efektif bagi pengurangan dampak lingkungan dari produk atau jasa. Perbaikan
ini dapat membuat produk lebih diinginkan oleh konsumen.
2. Perbaikan proses: LCA dapat diterapkan untuk mengevaluasi operasi atau
proses produksi perusahaan. Hal ini merupakan metode yang berguna untuk
menghitung sumberdaya dan penggunaan energi. Manfaat LCA dapat
menawarkan pilihan bagi perbaikan efisiensi seperti meminimalkan limbah,
penggunaan sumberdaya lebih sedikit, dan memperbaiki kualitas proses.
3. Perencanaan strategis: LCA dapat digunakan sebagai perencanaan strategis.
Jika peraturan lingkungan dan harapan lingkungan meningkat, akan
mengakibatkan peningkatan tekanan terhadap perusahaan untuk memperbaiki
kinerja operasinya.
Berdasarkan Principles and Framework LCA pada SNI ISO 14040 (2016)
ada empat tahapan dalam kajian LCA yaitu:
1. Tahap definisi tujan dan ruang lingkup, yaitu ruang lingkup dalam LCA
termasuk batasan sistem dan tingkat perincian dari LCA yang disesuaikan pada
subjek dan tujuan pemanfaatan dari kajian tersebut, Hal penting yang harus
diperhatikan dalam tahap ini yaitu: tujuan penelitian, produk yang akan
dianalisis, dan ruang lingkup penelitian.
2. Tahap analisis inventori, yaitu mencakup pengumpulan data yang diperlukan
sesuai batasan sistem yang sedang dikaji untuk mencapai tujuan dari kajian
yang ditetapkan, terdapat empat subtahap dalam analisis inventori, yaitu: a)
membuat diagram alir proses atau pohon proses, b) mengumpulkan data, c)
menghubungkan data ke unit fungsional yang dipilih (alokasi), dan d)
mengembangkan keseimbangan seluruh energi dan materi (semua input dan
output dalam suatu siklus hidup).
3. Tahap penilaian dampak, yaitu memberikan informasi tambahan untuk
membantu dalam menilai sistem produk hasil tahapan sebelumnya sehingga
dapat lebih memahami arti pentingnya terhadap lingkungan. Kategori dampak
lingkungan yang dapat dianalisis antara lain asidifikasi, efek gas rumah kaca,
penipisan ozon, pengurangan sumber daya, pembentukan ozon, penggunaan
lahan, eutrofikasi, ekotoksisitas, dan human toxicity (Klopffer dan Grahl 2014).
4. Interpretasi daur hidup, yaitu tahap terakhir dari prosedur LCA untuk
mendapatkan hasil akhir kajian berdasarkan hasil analisis inventori dan
penilaian dampak sebagai dasar untuk pengambilan kesimpulan, rekomendasi
dan keputusan sesuai dengan definisi tujuan dan ruang lingkup. Alternatif
perbaikan yang diperoleh dengan membandingkan hasil analisis dampak
sebelum dan sesudah adanya penerapan metode LCA. Hasil analisis yang telah
dilaksanakan dalam tahap inventarisasi dan penilaian dampak diwujudkan
dalam tindakan yang akan memberikan keuntungan bagi industri dan
lingkungan. Hubungan antar tahapan LCA tersebut dapat dilihat pada Gambar
4.
13
Kegiatan industri
Analisis inventori
3.5.1 Penentuan Tujuan dan Ruang Lingkup LCA (Goal and Scope Definition)
Goal and scope definition merupakan tahap awal dalam melakukan
analisis LCA. Tahap ini ditentukan tujuan dari penelitian LCA yang akan
dilakukan serta menentukan batasan atau ruang lingkup yang akan dikaji dalam
pelaksanaan analisis LCA. Dengan menentukan goal and scope definition,
kajian LCA yang dilakukan akan lebih sistematis karena hanya mengacu pada
batasan yang telah ditentukan. Pada tahap ini, juga dilakukan penetuan satuan
unit fungsional yang akan digunakan pada penelitian LCA.
Penentuan ruang lingkup dalam penelitian LCA ini adalah dengan
pendekatan cradle to gate meliputi analisis dari ekstraksi bahan baku, proses
produksi hingga pengolahan air besih dan air limbah. Tujuan kajian LCA dari
penelitian ini adalah untuk melakukan penilaian daur hidup produksi CPO
dengan mengukur nilai dampak lingkungan dan memberikan alternatif
rekomendasi perbaikan untuk menurunkan dampak lingkungan. Unit fungsional
dalam penelitian LCA ini yaitu 1 ton produksi CPO. Ruang lingkup kajian LCA
meliputi subsistem perkebunan kelapa sawit, subsitem proses produksi CPO di
industri, subsistem instalasi pengolahan air limbah dan subsitem pengolahan air
bersih.
(N dan P) atau bahan organik yang dibutuhkan oleh tumbuhan untuk hidup dan
berkembang. Pengayaan unsur hara menyebabkan terjadinya ledakan populasi
fitoplankton dan zooplankton yang menyebabkan kekeruhan air sehingga
mengganggu ekosistem perairan. Sumber polutan penyebab eutrofikasi pada
industri CPO adalah NOx, NO3- dan PO43-. Sumber polutan NOx dihasilkan dari
penggunaan listrik dan bahan bakar (solar). NH3 dan PO3- dihasilkan dari Pupuk
(urea), air limbah dan pestisida.
Penilaian daur hidup (LCA) produksi CPO dimulai dari proses perkebunan
kelapa sawit yang terdiri dari berbagai kegiatan diantaranya pembibitan dan
pemeliharaan bibit, pemeliharaan tanaman menghasilkan (TM), panen dan
transportasi ke industri. Output yang dihasilkan pada proses perkebunan berupa
tandan buah segar (TBS) yang selanjutnya ditransportasikan ke proses produksi
CPO di industri. Proses produksi di industri akan menghasilkan produk berupa CPO
dan juga menghasilkan limbah padat maupun limbah cair. Limbah cair yang
dihasilkan selanjutnya akan dialirkan ke kolam penampungan dan dilakukan proses
pengolan air limbah sebelum di alirkan ke sungai. Proses produksi juga
memerlukan pengolahan air bersih untuk menunjang keperluan air proses. data hasil
penelitian diperoleh dari hasil wawancara dengan manager, asissten manager dan
karyawan di PT X.
pengolahan air bersih dan proses pengolahan air limbah. Hasil penilaian diperoleh
dari pengolahan data primer dan sekunder dengan metode wawancara kepada
beberapa pihak terkait dengan list pertanyaan yang sudah disiapkan. Hasil
wawancara pada masing-masing unit proses diantaranya:
a. Penyiraman
Penyiraman bibit dilakukan dua kali sehari (pagi dan sore), kecuali
apabila turun hujan lebih dari 7 – 8 mm pada hari yang sama. Air untuk
menyiram bibit harus bersih dan cara menyiramnya harus dengan semprotan
halus agar bibit dalam polybag tidak rusak dan tanah tempat tumbuhnya tidak
padat, penyemprotan bibit pada tahap main nursery menggunakan bantuan
sprinkler dan tahap pre nursery menggunakan pipa paralon. Tahap main nursery
kebutuhan air siraman ± 1 L/polybag/1x siram, sementara tahap pre nursery
kebutuhan air siraman ± 0,5 L/polybag/1x siram, disesuaikan dengan umur bibit.
Sumber air penyiraman menggunakan air sungai yang telah ditampung dikolam
seluas 0,7 ha. Mesin pompa air menggunakan mesin yanmar ps100, dalam 1 hari
pengoperasianya mesin pompa dapat menghabiskan 18 L bahan bakar solar.
b. Penyiangan
Gulma yang tumbuh dalam polybag dan di tanah antara polybag harus
dibersihkan, tahap pre nursery penyiangan gulma dilakukan secara manual yaitu
dengan cara dikored dengan bantuan arit rumput. Tahap main nursery
penyiangan gulma dilakukan dengan manual atau disemprot dengan herbisida.
Penyiangan gulma harus dilakukan 2 – 3 kali dalam sebulan, atau disesuaikan
dengan pertumbuhan gulma.
c. Pengendalian Hama dan Penyakit
Salah satu permasalahan dalam tahap pembibitan pre nursery dan main
nursery adalah serangan hama dan penyakit. apabila tidak diberantas dengan
cepat, pertumbuhan bibit akan terganggu, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Pengendalian hama dan penyakit pada pre nursery dan main nursery dilakukan
setiap 2 minggu sekali dengan menggunakan insektisida dan fungisida.
Insektisida yang digunakan dengan merk dagang matador dengan bahan
aktif lamda silahotrin untuk membasmi hama ulat. Hama yang sering muncul
adalah ulat, kumbang/belalang dan tungau merah. Sedangkan fungisida yang
digunakan dengan merk dagang Dithane m-45 dengan bahan aktif difenokonazol
dan azoksistrobin yang berfungsi untuk membasmi jamur. Jamur yang biasa
muncul pada tahapan pre nursery dan main nursery ini adalah Curvularia sp
yang menyebabkan bercak pada daun. Insektisida dan Fungisida yang digunakan
diaplikasikan dengan cara di semprotkan pada daun. Konsentrasi insektisida dan
fungisida yang digunakan yakni 0,2%.
d. Pengawasan dan Seleksi
Pengawasan bibit dilakukan untuk mengamati pertumbuhan bibit dan
perkembangan gangguan hama dan penyakit. Bibit yang tumbuh kerdil,
abnormal, berpenyakit dan mempunyai kelainan genetis harus dibuang.
Pembuangan bibit (thinning out) dilakukan pada saat pemindahan ke main
nursery, yaitu pada saat bibit berumur 3 bulan dan 9 bulan, serta pada saat
pemindahan bibit ke lapangan.
e. Pemupukan
Pemupukan bibit sangat penting untuk memperoleh bibit yang sehat,
tumbuh cepat dan subur. Pupuk yang diberikan adalah NPK 15-15-6-4, NPK 12-
12-17-2 dan pupuk urea. Pemupukan dilakukan dalam bentuk larutan dan pupuk
majemuk. Tahap pre nursery pupuk urea diberikan dua minggu sekali dengan
23
dosis 8 g urea dalam 5 L air/100 bibit, sementara untuk pupuk NPK juga
diberikan dua minggu sekali dengan dosis 8 g urea dalam 5 L air/100 bibit. Tahap
main nursery pemupukan dilakukan dua minggu sekali dengan dosis pupuk yang
diberikan berbeda-beda tergantung dari umur bibit tanaman.
3. Pemeliharaan Tanaman Menghasilkan (TM)
Kelapa sawit mulai berbunga pada umur 12 bulan dan panen pertama dapat
dilakukan secara ekonomis setelah tanaman berumur 2,5 tahun atau 35 bulan.
Periode inilah yang menjadi batas dimulainya pemeliharaan periode tanaman
menghasilkan (TM). Umur tanam kelapa sawit di PT X rata-rata sekitar 25 – 32
tahu, adapun pemeliharaan TM di PT X meliputi:
a. Pengendalian Gulma
Pemeliharaan pengendalian gulma bertujuan untuk menghilangkan
persaingan antara tanaman kelapa sawit dengan gulma dan menjaga kebersihan
lahan. pengendalian gulma dilakukan secara khemis dan mekanis, bergantung
pada jenis gulma tiap blok areal afdeling. Pengendalian gulma secara mekanis,
yaitu perawatan gawangan dan rawat piringan menggunakan mesin potong
rumput serta dongkel anak kayu. Sedangkan, pengendalian gulma secara khemis
antara lain penyemprotan alang-alang yang berupa penyemprotan secara spot
dan wiping. Selain itu juga dialakukan perawatan piringan secara kimia.
Penyemprotan herbisida gramoxon dengan konsentrasi 40 - 50 mL / 15
L air. Nozzle yang digunakan adalah nozzle V. Pengendalian gulma khemis untuk
luas lahan satu hektar membutuhkan 30 tanki (15 L/tanki). Pengendalian gulma
di piringan tanaman bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pemupukan dan
memudahkan pada saat pengutipan brondolan, sementara untuk pengendalian
gulma pada gawangan memiliki tujuan untuk mengurangi persaingan dalam
penyerapan air, unsur hara, serta dalam rangka menjaga kelembaban kebun.
b. Pemupukan Tanaman
Pemupukan PT X menggunakan mulsa dari tandan kosong kelapa sawit
(TKKS) dan dolomit. Pengaplikasian pupuk TKKS dilakukan dengan cara
menebar pupuk TKKS pada gawangan dengan jarak 4 – 5 m dari batang.
Penebaran pupuk tidak boleh menumpuk, diusahakan setipis mungkin dan
merata sementara untuk pupuk dolomit pengaplikasian pupuk dilakukan dengan
cara menebar pupuk pada piringan dengan jarak 2 – 3 m dari batang pohon.
c. Penunasan
Penunasan merupakan kegiatan memotong atau membuang pelepah tua
dan pelepah kering. kegiatan penunasan dilakukan saat proses panen mulai
dilakukan yaitu dengan cara menyisakan dua pelepah di bawah buah yang akan
dipanen. Setelah buah tersebut dipanen maka pelepah yang menyangganya dapat
dibuang. Jumlah pelepah perpohon dapat mempengaruhi produksi TBS, bobot
TBS, dan juga pertumbuhan akar.
d. Pemanenan
Tujuan panen adalah memanen tandan buah segar (TBS) dengan standar
kematangan optimal, mengumpulkan brondolan dan mengirimkan ke industri
pengolahan selambatnya 24 jam setelah panen. Pemanenan dilakukan dengan
cara berdiri dan menggunakan egrek (alat arit bergagang panjang atau dengan
bantuan viber) untuk memudahkan pemanenan, pelepah daun yang menyangga
24
buah dipotong terlebih dahulu dan kemudian tandan buah yang telah dipotong di
biarkan jatuh ke tanah. Tandan buah yang telah jatuh dipotong sedekat mungkin
dengan pangkalnya, maksimal 2,5 cm dari baru terluar dari tandan dan
diusahakan berbentuk huruf V. Pelepah daun ditebas menjadi tiga bagian agar
mudah terurai dan disusun rapi di gawangan mati sehingga tidak menghalangi
saat pemanenan dan lahan menjadi bersih. Kemudian pemanen mengangkut
hasil panen TBS diletakkan berbaris di TPH kecil dan diangkut ke TPH besar
dengan dengan alat bantu gerobak sapi.
4. Transportasi TBS ke Industri
Proses transportasi TBS inti ke industri pengolahan dengan menggunakan
truk dan triton. Transportasi dilakukan dari setiap TPH afdeling yang berbeda –
beda, sehingga kebutuhan bahan bakar disesuaikan dengan jarak dan kapasitas
muatan truk yang digunakan. Perhitungan jarak dari setiap TPH afdeling ke
industri menggunakan aplikasi google maps dan kebutuhan bahan bakar untuk
transportasi diasumsikan sebesar 9,6 km/L. Asumsi transportasi dihitung untuk
sekali perjalanan.
3. Loading Ramp
Loading ramp merupakan tempat penimbunan sementara TBS setelah
disortasi sebelum dimasukkan ke dalam lori-lori untuk dibawa ke dalam
sterilizer. Sudut kemiringan loading ramp yaitu 15o. Pemindahan TBS ke dalam
lori ini dilakukan secara otomatis oleh pintu-pintu loading ramp yang
digerakkan secara hidrolik oleh operator secara manual. Pintu loading ramp
yang beroperasi di PT X berjumlah 14 pintu. Kapasitas untuk setiap lori yaitu 3
ton. Jumlah lori yang digunakan di PT X adalah 60 unit. Lori yang telah terisi
penuh TBS kemudian dipindahkan ke lintasan loading ramp menuju lintas rel
sterilizer dengan menggunakan gantry crane. Gantry crane yang digunakan di
PT X sebanyak 3 unit. Selanjutnya untuk menarik dan mendorong lori dengan
menggunakan tali dapat menggunakan capstand. Capstand yang digunakan di
PT X sebanyak 6 unit.
4. Stasiun Perebusan (Sterilizer)
Sterilizer berfungsi untuk merebus TBS dengan memakai media uap panas
yang berasal dari uap yang bertekanan tinggi. Kapasitas Sterilizer dapat
menampung 10 unit lori dengan bermuatan 3 ton/lori. PT X memiliki 4 unit
sterilizer. Proses perebusan dilakukan selama 90 menit. Media pemanasnya
adalah steam dari BVP (Back Pressure Vessel) yang bertekanan 2,8 - 3 bar dan
26
dan temperature uap (Steam) 140 oC dan uap yang dibutuhkan adalah 280-290
kg/ton TBS. Metode yang digunakan untuk perebusan ada dua yaitu
pembuangan uap steam sebanyak 2 kali pada tekanan yang sudah dicapai (double
peak) dan pembuangan steam sebanyak 3 kali dengan tekanan yang sudah
dicapai (triple peak). Hal ini disesuaikan dengan kondisi TBS yang diterima
(kematangan buahnya). Namun umumnya digunakan metode triple peak karena
lebih memudahkan proses selanjutnya Pengaturan uap dalam sterilizer
menggunakan sistem kontrol valve otomatis. Buah yang telah selesai direbus
akan dikeluarkan dari sterilizer menggunaan transfer handmove dan ditarik
menggunakan capstand untuk di angukut menggunakan holsting crane. Proses
perebusan ini menghasilkan condensate yang mengandung 0,5% minyak ikutan
pada temperature tinggi. Air kondensat hasil perebusan TBS tersebut dialirkan
ke dalam bak fit untuk digunakan dalam stasiun pressan sebagai delution water.
5. Stasiun Penebahan (Threshing)
Stasiun ini mengolah buah sawit yang sudah direbus tersebut untuk
dipisahkan antara biji sawit dan tandannya, pada stasiun ini terdapat beberapa
unit alat dan mesin pengolahan yang dilalui oleh buah sawit tersebut diantaranya:
a. Holsting Crane
Holsting Crane merupakan alat yang digunakan untuk memindai lori
yang berisi cook fruit bunch dan menuangkannya ke dalam hopper menuju
automatic feeder dan menurunkan lori kosong ke posisi semula. Holsting crane
yang digunakan di PT X sebanyak 2 unit.
b. Hopper
Hopper merupakan tempat penuangan cook fruit bunch dan tempat
penampungan sementara cook fruit bunch sebelum memasuki tresher. Cook fruit
bunch akan memasuki tresher melalui auto feeder secara kontinuitas. Hopper
yang digunakan di PT X sebanyak 2 unit dengan kapasitas maksimal 2 lori atau
40 ton.
c. Automatic Feeder
Automatic feeder merupakan lantai berjalan yang memiliki sekat-sekat
yang berfungsi untuk mendorong buah masuk perlahan-lahan ke thresher top
dan mengatur jarak buah ke thresher agar tidak terjadi penumpukan. Setelah
cook fruit bunch masuk ke hopper, buah akan perlahan-lahan turun ke automatic
feeder dan bergerak menuju ke thresher top. Kecepatan automatic feeder
disesuaikan sebesar 0,55 rpm. Automatic feeder yang digunakan di PT X
sebanyak 2 unit.
d. Thresher
Thresher merupakan drum silinder panjang yang berputar secara
horizontal dengan kecepatan putar 23 rpm. Cook fruit bunch yang masuk ke
dalam thresher akan mengalami bantingan dan gesekan sehingga buah akan
lepas dari janjangan nya. Buah atau brondolan akan jatuh melalui kisi-kisi
thresher sedangkan janjangan nya akan masuk ke dalam bunch crusher untuk
mengutip kembali brondolan yang masih menempel pada janjangan. Thresher
yang digunakan di PT X sebanyak 2 unit. satu unit thresher memiliki kapasitas
masing-masing 10 ton/jam dengan panjang thresher 4,80 m, diameter 1,97 m,
jarak antar kisi 5 cm, kemiringan plat pembawa 10,89 o, motor penggerak TECO
27
Induction 20 Hp 3 phase. Berondolan yang jatuh dari kisi-kisi dibawa oleh Under
thresher conveyor dan bottom cross conveyor kemudian menuju ke fruit elevator
untuk di masukkan ke digester dan janjang kosong dibawa oleh horizontal empty
bunch conveyor yang selanjutnya akan dimasukkan ke dalam truk dan menuju
areal kebun untuk ditaburkan pada pohon sawit sebagai pupuk.
6. Stasiun Press
Stasiun press merupakan stasiun pengolahan berondolan sawit yang
bertujuan untuk dilumatkan dan diekstraksi guna memisahkan antara minyak
sawit kasar, serabut biji serta biji sawit (nut). Pada stasiun ini terdiri dari dua unit
pengolahan, yaitu unit pelumatan (Digesting) serta unit pengepresan (Pressing).
Buah hasil pemipilan thresher selanjutnya diangkut oleh fruit elevator dengan
menggunakan timba-timba kemudian dijatuhkan ke fruit distributing conveyor.
Fruit akan didistribusikan ke masing-masing digester dan diujung fruit
distributing conveyor terdapat over flow conveyor yang berfungsi sebagai
membawa fruit yang lebih dari fruit distributing conveyor menuju cross bottom
conveyor kemudian diangkut oleh fruit elevator. Beberapa alat yang terdapat
pada stasiun pengepresan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Unit Pelumatan (Digesting)
Pelumatan buah dilakukan dengan menggunakan digester yang
memiliki kapasitas 3 ton per unit digester. PT X memiliki 8 unit digester, namun
untuk satu kali beroperasi hanya digunakan 4 unit digester. Digester merupakan
silinder yang berdiri tegak dengan pisau-pisau pengaduk (stiring arms) yang
terdiri dari 5 set pisau pencacah dan 1 set pisau pelempar dari digester. Fungsi
pisau-pisau ini untuk mencacah daging buah hingga homogen antara daging
buah dengan biji dan juga memisahkan fibre dari nut. Kecepatan putaran pisau
pencacah tersebut 30 rpm, lama adukan lebih kurang 20 menit agar mesocraft
benar-benar hancur. Selama pengadukan berlangsung, temperatur dalam
digester atau peralatan pengaduk dijaga agar tetap stabil 90 – 95 oC, pemanasan
dilakukan dengan menggunakan uap (steam). Setiap digester dibagian bawahnya
dilengkapi dengan pipa drain yang berfungsi sebagai tempat mengalirkan
minyak yang keluar akibat proses pencacahan. Dari pipa drain inilah minyak
akan dibawa menuju stasiun pemurnian minyak (klarifikasi) melalui oil gutter.
b. Unit Pengepressan (Pressing)
Presser adalah alat yang digunakan untuk mengekstraksi biji sawit yang
sudah dilumatkan dari digester. Setelah buah lumatan keluar dari digester secara
kontinyu masuk ke dalam screw press untuk dilakukan pengepresan sehingga
diperoleh minyak sawit kasar. Screw press berfungsi memeras serat dan inti,
sehingga minyak mentah (CPO) akan diperoleh.
Screw press mempunyai dua buah ulir (double warmscrew) dengan
putaran yang berlawanan arah. Buah yang sudah lumat atau yang telah
dihancurkan oleh digester didorong ke depan screw press dan sebelum keluar
screw press akan ditahan oleh cone press secara continue sehingga minyak akan
terlepas dari serat dan inti akhirnya jatuh mengalir melalui strainer (presscake)
atau crude oil gutter ke sand trap tank, sedangkan Serat dan inti hasil dari
pengepresan di screw press akan dialirkan ke cake breaker conveyor (CBC)
untuk diproses lebih lanjut dan selanjutnya biji akan diolah pada stasiun
pengolahan kernel dan fiber menuju ke boiler sebagai bahan bakar.
28
6. Softener Tank
Softener tank berfungsi untuk menangkap padatan terlarut dalam air. Air
dari water tower dipompakan ke dalam tanki softener dan dilewatkan pada
nozzle yang kemudian melewati lapisan resi penukar ion. Tanki softener
digunakan untuk mengurangi kadar TDS, Agnes, Magnesium dalam air dengan
menggunakan asam sulfat sebanyak 470 L dan resin. Tanki softener yang
digunakan di PT X sebanyak 1 unit.
7. Tangki Reverse Osmosis (RO Tank)
Dari tanki softener air kemudian dipompakan ke RO tank. RO tank berfungsi
sebagai tempat penampungan air dari tangki softener, selanjutnya air
dipompakan ke proses pengolahan RO. RO tank yang digunakan di PT X
sebanyak 1 unit.
8. Reverse Osmosis (RO)
Sebelum dipompakan ke boiler air terlebih dahulu melewati proses
pengolahan RO. RO merupakan proses yang dikendalikan oleh tekanan.
Membran RO dapat meningkatkan tekanan air pada bagian TDS (Total Disolved
Solid) yang tinggi menjadi dia atas tekanan osmotik nya dan mendorong air
untuk melewati membrane hingga sisi dengan TDS rendah. Kapasitas air mesin
RO yang dimiliki PT X yaitu 15 ton/jam.
dengan baku mutu kualitas air limbah industri CPO. Karakteristik limbah cair
PT X dapat dilihat pada Tabel 5.
Limbah cair dari proses pengolahan dipompa dari sludge waste tank menuju
kolam pendingin (cooling pond). Kolam limbah PT X terdiri dari 5 tipe kolam
dan digunakan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Kolam Pendingin (Cooling Pond)
Kolam ini bertujuan untuk mendinginkan air limbah yang kemungkinan
masih panas, sehingga diperoleh suhu air limbah dibawah 40 °C untuk
mendukung kehidupan bakteri anaerobik pada seri kolam pengolahan limbah
berikutnya. PT X memiliki kolam pendinginan sebanyak 3 kolam.
2. Kolam Pengasaman (Acidification Pond)
PT X memiliki 2 kolam pengasaman. Pada kolam ini terjadi perombakan
bahan organik majemuk yang terkandung dalam limbah cair seperti minyak dan
lemak bersamaan dengan itu bakteri-bakteri aktif (anaerobic liquar). Pada
proses ini akan terjadi penurunan pH, kenaikan Volatile Fatty Acid (VFA), serta
pembentukan carbon dioksida.
3. Kolam Anaerob (Anaerobic Pond)
Fase ini disebut juga sebagai fase pembentukan gas metan. Limbah cair
yang sudah bercampur dengan bakteri, setelah di kolam pengasaman dialirkan
ke kolam anaerob. Pada fase ini terjadi pembentukan gas metan, karbon dioksida,
kenaikan pH mencapai VFA dibawah 1.000 ppm, serta kenaikan alkalinity
mencapai 2.000 ppm. PT X kolam anaerob ini terbagi menjadi dua macam yaitu
anaerob primer sebanyak 2 kolam dan anaerob sekunder sebanyak 2 kolam yang
mempunyai fungsi yang sama.
4. Kolam Aerob (Aerobic Pond)
Setelah mengalami proses metan, maka limbah yang sudah mengalami dua
kali perlakuan selanjutnya dialirkan ke kolam aerobic. Pada fase ini cairan
sebanyak mungkin kontak dengan udara agar BOD dan COD serta Nitrogen
34
turun kadarnya dan mencapai standar yang diizinkan. PT X kolam aerob terdapat
2 kolam yang mana memiliki fungsi yang sama.
5. Kolam Sedimen (Pengendapan)
Setelah melewati beberapa tahap penguraian limbah kemudian dialirkan ke
kolam seedimen ini dengan tujuan untuk mengendapkan sisa-sisa limbah padat
yang belum terurai dengan mikroba. Kolam sedimen PT X terbagi menjadi dua
bagian yaitu kolam sedimen primer dan kolam sedimen sekunder (final pond).
Seluruh kolam pengolahan limbah cair PT X disajikan pada Tabel 6.
Bibit, Pupuk,
air, insektisida, Perkebunan
herbisida, solar, Emisi
fungisida
Kelapa Sawit
Transportasi
TBS
Proses Perkebunan
Air bersih
Air sungai dan air CPO
hujan, listrik, Pengolahan air TBS masyarakat, Proses produksi
listrik, solar, air, Emisi
flokulan, aluminium bersih steam
CPO Limbah
sulfat, Na2CO3 Lumpur dan padat
kotoran
lainnya
Proses Produksi Limbah cair
Pengolahan air bersih
Emisi
Pengolahan air
limbah
herbisida sistemik yang biasa digunakan adalah herbisida reaktif 490 SL dan
herbisida wintag. Penyemprotan herbisida dengan konsentrasi 40 - 50 mL/15 L
air. Nozzle yang digunakan adalah nozzle v. Pengendalian gulma khemis untuk
luas lahan 1 ha membutuhkan 30 tanki (15 L/tanki) atau sekitar 1.200 mL
herbisida.
Pemupukan TM merupakan hal penting untuk perkembangan pertumbuhan
generatip tanaman. Teknis pelaksanaan pemupukan perkebunan PT X adalah
dengan menebarkan pupuk dipiringan dan gawangan tanaman kelapa sawit.
Pemupukan TM memerlukan input pupuk dolomit dan tandan kosong kelapa
sawit, dosis yang digunakan untuk pupuk dolomit 1,5 kg/phn/thn,
pengaplikasian pupuk dolomit dilakukan dengan cara menebar pupuk pada
piringan dengan jarak 2 - 3 m dari batang pohon, sedangkan kebutuhan tandan
kosong kelapa sawit untuk TM 35 – 40 ton/ha. Pengaplikasian mulsa tandan
kosong dilakukan dengan cara menebar pupuk tandan kosong pada gawangan
dengan jarak 4 - 5 m dari batang pohon. Output dari pemeliharaan TM yaitu
tandan buah segar (TBS). Produktivitas TBS yang dihasilkan perkebunan PT X
yaitu sebanyak 17.725,69 ton TBS.
TBS Transport
(17.725,69 ton)
lain sebagainya, sedangkan output meliputi hasil produksi CPO, limbah padat
yang dihasilkan, dan potensi dampak lingkungan. Energi listrik untuk
mengoperasikan mesin berasal dari steam turbin yang memanfaatkan uap dari
pembakaran pada boiler. Pemenuhan energi listrik industri pengolahan PT X
selain menggunakan steam turbin, ditunjang dengan adanya diesel genset yang
berjumlah 2 unit. Energi listrik berperan penting untuk menjamin berlangsungya
proses sebagai penggerak mesin dan kebutuhan listrik lain yang menunjang
sistem di industri produksi CPO. Solar selain digunakan untuk bahan bakar
genset, digunakan juga untuk bahan bakar alat berat JCB loader dan bahan bakar
transportasi industri untuk menggangkut limbah tandan kosong ke afdeling
perkebunan. Air digunakan sebagai bahan utama untuk proses pemasakan pada
boiler untuk menghasilkan steam dan air digunakan untuk proses kebersihan
industri. Data inventori proses produksi CPO menggunakan data tahun 2021
yang dapat dilihat pada Tabel 8.
Timbangan
Sortasi
Loading ramp
TBS lori
TBS masyarakat Sterilizer
(44.380,31 Ton)
TBS sterilizer
TBS kebun inti Afdeling
(17.725,69 Ton) Threshing Truk
Limbah tankos (13.663,32 Ton) perkebunan
Brondolan
Solar (248.470 L)
Digesting
Listrik
(1.071.539,45 kWh) Brondolan terpisah dari biji
Air Proses
Pressing Boiler
(99.993,60 m3) Limbah fibre
Steam Minyak kasar (8.073,78 Ton)
(29.500.331 kg) Stasiun
Oli Pemurnian
Limbah cangkang
(5,427 L)
(3.805,24 Ton)
Sand trap tank
Minyak kasar
Minyak kasar
Continous minyak
settling tank
Sludge+minyak
minyak
Oil purifier
Sludge tank
Decanter
CPO
Oil storage tank
(11.617,82 Ton)
air non domestik meliputi kebutuhan air untuk kantin, kamar mandi, dan
kebersihan industri. Sedangkan untuk kebutuhan air domestik meliputi
kebutuhan air untuk penunjang proses produksi CPO dan untuk proses umpan
air boiler. WTP PT X membutuhkan input bahan baku berupa air baku yang
berasal dari air sungai. Selain air baku, bahan pendukung yang wajib digunakan
dalam WTP dan yang mempengaruhi kualitas hasil air bersih adalah bahan kimia.
Bahan kimia yang digunakan adalah Al₂(SO₄)₃ (aluminium sulfat), Na₂CO₃ (soda
ash) dan poly aluminium chloride (PAC). Pengoperasian WTP juga memerlukan
input energi listrik untuk menghidupkan pompa air dan mensirkulasikan air ke
tangka penampungan yang lainnya. Output dari WTP yaitu air bersih yang siap
digunakan untuk kebutuhan air domestik dan non domestik. Data inventori
pengolahan air bersih menggunakan data tahun 2021 yang dapat dilihat pada
Tabel 9. Neraca massa subsistem pengolahan air bersih dapat dilihat pada
Gambar 10.
Kolam tandon
Clarifier Water Carbon Kotoran air
Kolam 1 Kolam 2 Kolam 3 tank settling filter (63 kg)
Reverse Water
Reverse Softener
osmosis tower
osmosis tank
tank tank
Air proses
(99.993,60 m3) Emisi
(aluminium sulfat) sebanyak 2.972,9 kg, Na₂CO₃ (soda ash) sebanyak 1.462,4
dan PAC sebanyak 101,7 kg. Selama pengoperasiannya kebutuhan listrik WWT
sebesar 627,93 kWh.
Listrik
Limbah Cair (6.372 kwh) BIo treatment 0168
(37.263,57 m3) (110 kg)
Gambar 12. Kontribusi relatif dampak GWP, asidifikasi dan eutrofikasi perunit
proses subsistem perkebunan
Tabel 12. Perbandingan hasil penelitian nilai dampak perkebunan kelapa sawit
Penelitian Topik GWP Asidifikasi Eutrofikasi
(kg- (kg- (kg-PO43-
CO2eq) SO2eq) eq)
Hasil LCA perkebunan PT 106,9 0,533 0,09
perhitungan X Provinsi Bengkulu
Siregar et al. LCA perkebunan
(2013) kelapa sawit untuk 440,78 0,774 1,93E-06
produksi 1 ton BDF
Harsono et Emisi perkebunan
al. (2012) kelapa sawit di 391,27 - -
Sumatera
Paminto et Emisi dari
al. (2022) perkebunan kelapa
2492,1 24,8 0,84
sawit untuk produksi
biodiesel
46
Tabel 14. Besaran nilai dampak input bahan subsistem proses produksi CPO
Kategori Dampak (emisi/ton-CPO)
Input Bahan GWP Asidifikasi Eutrofikasi
(kg-CO2eq) (kg-SO2eq) (kg-PO43-eq)
solar 2,3 0,0248 0,00252
air proses 0,0806 0,00057 7,23E-5
TBS masyarakat 264 0,901 0,824
Oli 0,141 0,000881 9,11E-5
TBS transport 8,31 0,0154 0,0015
Listrik 13,5 0,0293 0,00572
Steam 168 0,545 0,0396
Total 453 1,51 0,873
Tabel 15. Perbandingan hasil penelitian nilai dampak proses CPO di industri
GWP Asidifikasi Eutrofikasi
Peneliti Topik (kg- (kg- (kg-PO43-
CO2eq) SO2eq) eq)
Penilaian dampak
Hasil
proses produksi PT X 453 1,51 0,873
Perhitungan
Provinsi Bengkulu
Espino et al. LCA industri kelapa
(2019) sawit North Cotabato 1.150 0,0138 -
(Philippines)
Sacayón et LCA dan perhitungan
al. (2018) jejak air Pabrik Kelapa 595 3,34 3,35
Sawit Guatemala
Stichnothe Penilaian siklus daur
dan hidup dua sistem
460,98 2,86 2,05
Schuchardt produksi minyak sawit
(2011)
Siregar et al. Penilaiaan dampak
(2013) industri CPO untuk 588,34 0,98 6,4E-05
produksi 1 ton BDF
Tabel 17. Besaran nilai dampak input bahan subsistem pengolahan air bersih
Kategori dampak (emisi/ton air bersih)
GWP Asidifikasi Eutrofikasi
Input bahan
(kg-CO2eq/ton- (kg-SO2eq/ton- (kg-PO43-eq/ton-
CPO) CPO) CPO)
AL2(SO4)3 24,2 0,264 0,0159
Na2CO3 15,4 0,0504 0,0245
PAC 1,77 0,0116 9,88E-4
Listrik 5,46 0,0051 6,65E-4
Total 46,8 0,331 0,042
air limbah PT X dapat dilihat pada Tabel 18. Perbandingan hasil penelitian
dampak pengolahan air limbah industri CPO dengan beberapa penelitian
terdahulu dapat dilihat pada Tabel 19. Perhitungan nilai dampak GWP,
asidifikasi dan eutrofikasi subsistem pengolahan air limbah dengan
menggunakan software Simapro dapat dilihat pada Lampiran 4.
Tabel 19. Perbandingan hasil penelitian nilai dampak pengolahan air limbah
GWP Asidifikasi Eutrofikasi
Peneliti Topik (kg- (kg-SO2eq) (kg-PO43-
CO2eq) eq)
Penilaian dampak
Hasil pengolahan air
92 0,307 0,177
perhitungan limbah PT X Provinsi
Bengkulu
Mcnamara Life cycle assessment
et al. (2016) pengolahan air 18,7E+01 6,14E-02 8,02E-01
limbah di Ireland
Nasution et Emisi dari
al. (2018) pengolahan air
limbah (Open 371,19 0,19 7,73
lagoon) industri CPO
Sumatera Utara
Tabel 21. Nilai dampak GWP LCA produksi CPO berdasarkan sumber emisi
Jenis polutan (kg-CO2eq/ton-CPO)
Sumber emisi
CO2 CH4 N2O
NPK 15-15-6-4 12,35 0,74 4,009
Fungisida Dithane M-45 0,74 0,05 0,011
Insektisida Decis 1,64 0,10 0,018
Herbisida Wintag 2,21 0,14 0,017
NPK 12-12-17-2 46,39 2,78 15,061
Pemakaian Air 0,03 1,76E-03 1,57E-04
Solar perkebunan 3,91 0,35 0,032
Dolomite 2,60 0,23 0,030
Herbisida 490 SL 2,64 0,16 0,024
gramoxon 276 SL 0,61 0,04 8,17E-03
Herbisida winson 20 WG 0,012 8,02E-04 1,60E-04
Herbisida wintag 1,14 0,072 9,18E-03
BBM Mesin Rumput 0,043 0,014 7,92E-05
Oli mesin rumput 0,039 4,01E-03 2,91E-04
Solar transport TBS 0,68 0,062 0,0057
TBS panen 7,10 0,072 0,526
Solar proses 1,87 0,17 0,015
Air proses 0,072 7,19E-03 5,0E-04
TBS masyarakat 225,04 3,64 37,71
Lubricating oil 0,11 0,011 8,4E-04
TBS transport 2,39 0,18 0,023
Listrik proses 12,46 0,98 0,058
Steam (uap panas) 158,09 9,86 0,418
Al2(SO4)3 22,04 1,84 0,188
Na2CO3 13,42 1,89 0,065
PAC 1,61 0,13 0,011
Listrik WTP 5,12 0,30 0,024
Limbah cair 7,72 82,27 3,004
Listrik WWTP 3,85E-01 3,04E-02 1,80E-03
Bio treatment 0168 1,69E-05 2,22E-05 4,48E-06
8%
15%
76%
Gambar 13. Persentase jenis polutan penyebab GWP LCA produksi CPO
53
2. Asidifikasi
Merupakan permasalahan lingkungan akibat adanya pengasaman pada
tanah maupun perairan, senyawa sulfur dan nitrat yang dihasilkan oleh aktivitas
manusia teroksidasi di udara, akan menyebabkan kerusakan pada tanah, air,
makhluk hidup, dan bangunan. beberapa polutan utama yang dapat
menyebabkan asidifikasi yaitu SO2, NOX, NH3, NO dan SO3 (Mason 2022).
Sektor perindustrian di bidang pertanian seperti industri CPO merupakan salah
satu penyumbang emisi yang berdampak terhadap asidifikasi. Polutan seperti
SO2, NOx, dan NH3 banyak dihasilkan selama siklus daur hidup produksi CPO.
Besaran nilai dampak asidifikasi daur hidup produksi CPO berdasarkan sumber
emisi dapat dilihat pada Tabel 22. Persentase masing-masing jenis polutan
penyebab emisi asidifikasi dapat dilihat pada Gambar 14.
Tabel 22. Nilai dampak asidifikasi LCA produksi CPO berdasarkan sumber
emisi
Jenis polutan (kg-SO2eq/ton-CPO)
Sumber emisi
NH3 NOX SO2 NO SO3
NPK 15-15-6-4 0,023034 0,016981 0,037443 3,60E-08 6,10E-06
Fungisida Dithane M-45 9,83E-05 2,67E-05 0,003477 4,49E-09 1,94E-10
Insektisida Decis 1,62E-04 3,50E-05 0,007964 8,40E-09 2,54E-10
Herbisida Wintag 8,63E-05 2,06E-05 0,010917 1,04E-08 1,49E-10
NPK 12-12-17-2 0,086530 0,063791 0,140659 1,35E-07 2,29E-05
Pemakaian Air 3,33E-06 5,79E-05 6,81E-05 5,97E-10 7,98E-09
Solar perkebunan 1,65E-04 8,68E-03 0,037612 1,38E-08 7,09E-07
Dolomite 6,52E-04 5,13E-03 0,011298 9,30E-10 6,10E-10
Herbisida 490 SL 1,94E-04 3,87E-05 0,011308 1,61E-08 2,81E-10
gramoxon 276 SL 6,65E-05 1,78E-05 2,72E-03 3,78E-09 1,29E-10
Herbisida winson 20 WG 1,30E-06 3,49E-07 5,36E-05 7,09E-11 2,54E-12
Herbisida wintag 4,45E-05 1,06E-05 5,63E-03 5,37E-09 7,73E-11
BBM Mesin Rumput 3,89E-06 1,72E-04 2,35E-04 0 0
Oli mesin rumput 2,32E-06 6,14E-05 2,12E-04 4,96E-10 1,32E-08
Solar transport TBS 2,91E-05 1,52E-03 6,60E-03 2,43E-09 1,24E-07
TBS panen 9,66E-04 5,43E-03 0,031471 2,67E-08 1,43E-08
Solar proses 7,96E-05 4,17E-03 0,018061 6,67E-09 3,40E-07
Air proses 1,83E-05 9,89E-05 4,50E-04 3,85E-10 3,11E-06
TBS masyarakat 0,697646 0,080872 0,121196 1,27E-07 8,85E-04
Lubricating oil 6,71E-06 1,77E-04 6,12E-04 1,43E-09 3,81E-08
TBS transport 3,04E-04 2,18E-03 0,011631 6,32E-05 4,23E-08
Listrik proses 2,04E-05 0,021278 7,95E-03 3,61E-09 1,18E-07
Steam 2,15E-03 0,107646 0,434778 2,55E-07 2,79E-06
Al2(SO4)3 2,92E-03 0,041365 0,218132 1,3E-07 0,001792
Na2CO3 7,60E-03 0,011225 0,031599 2,96E-08 1,73E-06
PAC 1,38E-04 2,61E-03 8,79E-03 6,28E-08 1,38E-05
Listrik WTP 1,42E-05 2,26E-03 2,89E-03 1,28E-09 7,08E-08
Limbah cair 0,141548 0,043749 0,120205 1,29E-05 1,8E-04
Listrik WWTP 6,33E-07 6,57E-05 2,46E-04 1,12E-10 3,67E-09
Bio treatment 0168 5,47E-08 3,6E-08 7,84E-08 9,82E-14 1,61E-10
54
SO3 0,1
NO 0,002
SO2
48,06%
NOx
15,73%
NH3 36,09%
0 10 20 30 40 50 60
NH3 NOx SO2 NO SO3
Gambar 14. Persentase jenis polutan penyebab asidifikasi daur hidup produksi
CPO
Tabel 23. Nilai dampak eutrofikasi LCA produksi CPO berdasarkan sumber
emisi
Jenis polutan (kg-PO43-eq/ton-CPO)
Sumber emisi 3-
PO4 P NO3- NH3 NOx
NPK 15-15-6-4 0,001062 8,64E-04 1,18E-04 0,005039 0,004415
Fungisida Dithane M-45 5,31E-05 3,48E-05 0,00018 5,79E-05 6,95E-06
Insektisida Decis 6,67E-05 4,56E-05 2,36E-04 7,43E-05 9,11E-06
Herbisida Wintag 4,49E-05 2,68E-05 1,41E-04 5,18E-05 5,36E-06
NPK 12-12-17-2 0,003991 0,003247 4,44E-04 0,018928 0,016586
Pemakaian Air 2,81E-06 9,78E-08 3,56E-07 7,29E-07 1,51E-05
Solar perkebunan 1,09E-04 4,97E-05 7,49E-06 3,63E-05 0,002261
Dolomite 4,44E-04 1,05E-05 9,17E-06 1,43E-04 0,001336
Herbisida 490 SL 7,95E-05 5,03E-05 2,62E-04 8,92E-05 1,01E-05
gramoxon 276 SL 2,9E-05 2,32E-05 1,2E-04 3,26E-05 4,64E-06
Herbisida winson 20 WG 5,98E-07 4,55E-07 2,35E-06 6,66E-07 9,09E-08
Herbisida wintag 2,32E-05 1,38E-05 7,27E-05 2,67E-05 2,77E-06
BBM Mesin Rumput 0 0 1,53E-16 3,77E-06 4,48E-05
Oli mesin rumput 3,6E-06 4,55E-07 1,92E-07 5,09E-07 1,6E-05
Solar transport TBS 1,91E-05 8,73E-06 1,31E-06 6,37E-06 3,97E-04
TBS panen 5,8E-04 9,88E-05 4,67E-04 2,96E-04 0,001414
Solar proses 5,22E-05 2,39E-05 3,59E-06 1,74E-05 0,001086
Air proses 9,18E-06 2,08E-07 8,39E-07 4,02E-06 2,57E-05
TBS masyarakat 0,007599 0,044767 0,550381 0,15261 0,021027
Lubricating oil 1,04E-05 1,31E-06 5,55E-07 1,47E-06 4,61E-05
TBS transport 1,83E-04 3,28E-05 1,43E-04 9,27E-05 5,68E-04
Listrik proses 3,16E-05 5,35E-06 2,27E-06 4,48E-06 0,005532
Steam 0,007156 2,5E-04 1,29E-04 4,71E-04 0,027988
AL2(SO4)3 0,003616 7,55E-05 1,68E-04 6,4E-04 0,010755
Na2CO3 0,001488 3,74E-05 3,02E-04 0,001664 0,002918
Flokulan 2,16E-04 5,85E-06 1,46E-05 3,01E-05 6,81E-04
Listrik WTP 1,53E-05 2,32E-06 2,22E-06 3,1E-06 5,88E-04
Limbah cair 3,04E-03 0,009113 0,111313 0,030969 0,011375
Listrik WWTP 9,76E-07 1,65E-07 7E-08 1,38E-07 1,71E-04
Bio treatment 0168 3,06E-09 5,1E-09 1,18E-08 1,2E-08 9,37E-09
NOx 10,17
NH3 19,66
NO3-
61,9%
P 5,47%
PO43- 2,78%
0 10 20 30 40 50 60 70
PO43- P NO3- NH3 NOx
Gambar 15. Persentase jenis polutan penyebab eutrofikasi daur hidup produksi
CPO
60%
64,83 56,32 73,85
40%
20% 19,88
15,29 7,61
0%
GRK Asidifikasi Eutrofikasi
Perkebunan Proses produksi CPO Pengolahan air bersih Pengolahan air limbah
Gambar 16. Persentase kontribusi setiap subsistem terhadap dampak lingkungan
Hotspot sumber utama dampak emisi asidifikasi yaitu pada proses produksi
CPO dengan kontribusi 56,32%, karena aktivitas dari kegiatan di perkebunan
masyarakat (produksi TBS masyarakat) dengan kontribusi sebesar 59,5%. Hotspot
sumber utama dampak emisi eutrofikasi yaitu pada proses produksi CPO dengan
kontribusi 73,85%. Siklus daur hidup produksi CPO PT X, dampak GWP
merupakan dampak lingkungan terbesar dari tiga kategori dampak yang dikaji.
57
Penangkapan gas CH4 dan pengubahan biogas menjadi salah satu alternatif
bagi industri CPO untuk mengurangi dampak lingkungan sekaligus menghasilkan
energi pembangkit listrik. Penelitian Wijono (2017) melaporkan bahwa
pemanfaatan pome menjadi biogas (methane capture) mampu mengurangi potensi
dampak GWP sebesar 67% dalam kawasan industri kelapa sawit. Aplikasi methane
capture dari POME sebagai biogas yang dijadikan alternatif sumber energi listrik
menurut Giandadewi et al. (2017) dapat memberikan pengaruh positif terhadap
59
Tabel 26. Perubahan besaran nilai dampak lingkungan dari pemanfaatan POME
Menjadi biogas (methane capture)
Skenario perbaikan
GWP Asidifikasi Eutrofikasi
Pemanfaatan POME
(kg-CO2eq/ton- (kg-SO2eq/ton- (kg-PO43-
menjadi biogas (methane
CPO) CPO) eq/ton-CPO)
capture)
Sebelum perbaikan 92 0,307 0,177
Penerapan perbaikan 36 0,0649 0,0071
Perubahan dampak 56 0,2421 0,1699
Persentase % 60,86 78,85 95,98
penjernihan air dapat dilihat pada Tabel 27. Rekomendasi substitusi penggunaan
Al2(SO4)3 dengan PAC merupakan alternatif rekomendasi yang dapat diterapkan
PT X untuk mengurangi dampak lingkungan pada Subsistem pengolahan air bersih.
Perubahan dampak lingkungan yang dihasilkan dari substitusi penggunaan
Al2(SO4)3 dengan PAC dapat dilihat pada Tabel 28.
Tabel 27. Perbandingan emisi yang dihasilkan dari bahan kimia penjernihan air
Emisi bahan Total emisi WTP CPO
Bahan material
(kg-CO2eq/ton-CPO) (kg-CO2eq/ton-CPO)
Aluminium sulfat 24,2 46,8
Calsium karbonat 11,6 34,2
PAC 11,9 32,7
Lime hydrated 28,6 51,2
Tabel 28. Persentase nilai dampak lingkungan dari substitusi Al2(SO4)3 dengan
PAC
Skenario perbaikan GWP Asidifikasi Eutrofikasi
mengganti penggunaan (kg-CO2eq/ton- (kg-SO2eq/ton- (kg-PO43-
Al2(SO4)3 dengan PAC CPO) CPO) eq/ton-CPO)
Sebelum perbaikan 46,8 0,331 0,042
Penerapan perbaikan 32,7 0,133 0,031
Perubahan dampak 14,1 0,198 0,011
Persentase % 30,12 59,81 26,19
Tabel 29. Perubahan besaran nilai dampak lingkungan dari mereduksi listrik Steam
turbin generator dengan listrik biogas POME
Skenario perbaikan
GWP Asidifikasi Eutrofikasi
mereduksi listrik steam
(kg-CO2eq/ton- (kg-SO2eq/ton- (kg-PO43-
turbin generator dengan
CPO) CPO) eq/ton-CPO)
listrik biogas POME
Sebelum perbaikan 453 1,51 0,873
Penerapan perbaikan 327 1,12 0,847
Perubahan dampak 126 0,39 0,026
Persentase % 27,81 25,82 2,97
62
5.1 Simpulan
Hasil dari analisis inventori diperoleh bahwa daur hidup produksi CPO
memerlukan input berupa bahan baku TBS baik dari masyarakat dan TBS dari
kebun inti PT X. Bahan tambahan seperti pupuk, herbisida, fungisida dan
insektisida, bahan kimia Al2(SO4)3, Na2CO3, PAC dan bio treatment 0168, air dan
sumber energi seperti steam (uap panas), listrik, solar dan bensin. Output yang
dihasilkan berupa produk utama yaitu CPO, limbah padat tankos, cangkang dan
fibre serta juga limbah cair, dan emisi ke udara, air dan tanah. Identifikasi input dan
output dilakukan dari tahap subsistem proses perkebunan meliputi (pembibitan dan
pemeliharaan bibit, pemeliharaan TM, panen dan transportasi ke industri),
subsistem proses produksi CPO di industri, subsistem proses pengolahan air bersih
dan subsistem proses pengolahan air limbah.
Hasil analisis dampak daur hidup proses produksi CPO dengan ruang
lingkup cradle to gate menghasilkan dampak GWP, asidifikasi dan eutrofikasi
masing-masing sebesar 698,7 kg-CO2eq/ton-CPO; 2,68 kg-SO2eq/ton-CPO; dan
1,18 kg-PO43-eq/ton-CPO. Sumber utama emisi (hotspot) pada kategori dampak
GWP, asidifikasi dan eutrofikasi adalah TBS masyarakat pada subsistem proses
produksi CPO, disusul dengan produksi steam pada subsistem proses produksi CPO.
Rekomendasi skenario perbaikan diterapkan untuk mengurangi dampak
lingkungan yang dihasilkan. Skenario perbaikan pada subsistem proses perkebunan
yaitu mereduksi penggunaan pupuk NPK 12:12:17 dengan pupuk organik tankos
yang dapat menurunkan dampak emisi GWP (30,02%), asidifikasi (27,39%) dan
eutrofikasi (33%). Skenario perbaikan pada subsistem pengolahan air limbah yaitu
dengan pemanfaatan limbah cair menjadi biogas (Methane Capture), penerapan
skenario perbaikan ini dapat menurunkan dampak GWP (60,86%), asidifikasi
(78,85%) dan eutrofikasi (95,98%). Skenario perbaikan pada subsistem pengolahan
air bersih yaitu dengan substitusi Al2(SO4)3 dengan PAC sebagai bahan kimia
penjernihan air, penerapan skenario perbaikan ini dapat menurunkan dampak GWP
(30,12%), asidifikasi (59,81%) dan eutrofikasi (26,19%). Skenario perbaikan pada
subsistem proses produksi CPO di industri yaitu dengan mereduksi listrik steam
turbin generator dengan listrik biogas limbah cair, penerapan skenario perbaikan
ini dapat menurunkan dampak GWP (27,81%), asidifikasi (25,82%) dan eutrofikasi
(2,97%).
5.2 Saran
Perlu dilakukan perhitungan kajian LCA CPO dengan cakupan yang luas
dengan batasan sistem cradle to grave, dimulai dari pengadaan bahan baku (TBS
inti dan TBS luar), transportasi produk CPO sampai tahap konsumsi akhir produk,
sehingga dampak lingkungan dapat teridentifikasi secara menyeluruh. Upaya
interpretasi perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam mengurangi dampak yang
ditimbulkan. Selain itu alternatif rekomendasi perbaikan yang diusulkan masih
belum mempertimbangkan aspek perhitungan ekonomi sehingga perlu adanya
perhitungan lebih lanjut untuk pertimbangan penerapan alternatif yang diberikan.
63
DAFTAR PUSTAKA
Gupta D, Singh SK. 2012. Greenhouse Gas Emissions from Wastewater Treatment
Plants: A Case Study of Noida. J Water Sustain. 2(2):131–139.
doi:10.7862/rb.2013.51.
Hambali E. 2005. Kontribusi Perguruan Tinggi dan Litbang pada Pengembangan
Pemanfaatan Surfaktan. Semin Nas Pemanfaat Surfaktan Berbas Miny Sawit
untuk Ind Bogor, 4 Agustus 2005., siap terbit.
Harahap YP, Junaedi A. 2017. Manajemen Panen Kelapa Sawit (Elaeis guineensis
Jacq.) Berdasarkan Kriteria ISPO dan RSPO di Kebun Sei Batang Ulak,
Kabupaten Kampar, Riau. Bul Agrohorti. 5(2):187–195.
Harihastuti N, Widiasa IN, Djayanti S, Harsono D, Sari IRJ. 2010. Pengurangan
Emisi CO2 pada Gas Buang Boiler dengan Teknologi Absorpsi Melalui
Membran Serat Berpori. Ris Ind. 4(1):57–66.
Harimurti D, Hariyadi H, Noor E. 2021. Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca pada
Perkebunan Kelapa Sawit dengan Pendekatan Life Cycle Assessment.
Pengelolaan Sumberd Alam dan Lingkung. 11(1):1–9.
doi:10.29244/jpsl.11.1.1-9.
Harsono SS, Prochnow A, Grundmann P, Hansen A, Hallmann C. 2012. Energy
balances and greenhouse gas emissions of palm oil biodiesel in Indonesia.
GCB Bioenergy. 4(2):213–228. doi:10.1111/j.1757-1707.2011.01118.x.
Hasibuan S, Thaheer H. 2017. Life Cycle Impact Assessment Produksi Biodiesel
Sawit Untuk Mendukung Keberlanjutan Hilirisasi Industri. Semin Nas Inov
Dan Apl Di Ind., siap terbit.
Hidayatno A, Zagloel TYM, Purwanto WW, Carissa, Anggraini L. 2011. Cradle To
Gate Simple Life Cycle Assessment of Biodiesel Production in Indonesia.
MAKARA Technol Ser. 15(1):9–16. doi:10.7454/mst.v15i1.851.
Indonesia MKR. 1990. Peraturan Menteri Kesehatan No. 416 Tahun 1990 Syarat-
syarat dan Pengawasan Kualitas Air. www.ptsmi.co.id.
Irawati DY, Andrian D. 2018. Analisa Dampak Lingkungan Pada Instalasi
Pengolahan Air Minum ( IPAM ) Dengan Metode Life Cycle Assessment
( LCA ). Tek Ind. 19(2):166–177.
Ji CM, Eong PP, Ti TB, Seng CE, Ling CK. 2013. Biogas from palm oil mill ef fl
uent (POME ): Opportunities and challenges from Malaysia’s perspective.
Renew Sustain Energy Rev. 26:717–726. doi:10.1016/j.rser.2013.06.008.
Karnaningroem N, Anggraeni DR. 2021. Study of Life Cycle Assessment (LCA)
on Water Treatment. IOP Conf Ser Earth Environ Sci. 799(1):1–11.
doi:10.1088/1755-1315/799/1/012036.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2012. Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi
Gas Rumah Kaca Nasional, Buku I Pedoman Umum.
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&
cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwilnYmHp4LQAhWFpY8KHUzQBY4QFg
gfMAA&url=http://www.kemenperin.go.id/download/11221&usg=AFQjCN
H_FvQz7x1j9DhfxepLnzSERTxKwg&bvm=bv.136811127,d.c2I.
KLHK. 2021. Peraturan Mentri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia No. 1 tahun 2021. Kementrian LHK RI., siap terbit.
Klopffer W, Grahl B. 2014. Life Cycle Asssesment: A Guide to Best Practice.
Weinheim, Germany: Wiley-VCH Verlag&Co.
Kumar SA dan NS. 2008. Production and Operations Management. Second Edi.
New Delhi, India.
65
https://www.researchgate.net/publication/269107473_What_is_governance/li
nk/548173090cf22525dcb61443/download%0Ahttp://www.econ.upf.edu/~re
ynal/Civil wars_12December2010.pdf%0Ahttps://think-
asia.org/handle/11540/8282%0Ahttps://www.jstor.org/stable/41857625.
Lam MK, Lee KT. 2011. Renewable and Sustainable Bioenergies Production from
Palm Oil Mill Effluent (POME): Win-win Strategies Toward Better
Environmental Protection. Biotechnol Adv. 29(1):124–141.
doi:10.1016/j.biotechadv.2010.10.001.
Mahajoeno E, Lay BW, Sutjahjo SH. 2008. Potensi Limbah Cair Pabrik Minyak
Kelapa Sawit untuk Produksi Biogas. Biodiversitas. 9(1):48–52.
Maharjan S, Wang WC, Teah HY. 2016. Life cycle assessment of palm-derived
biodiesel in Taiwan. Clean Technol Environ Policy. 19(4):959–969.
doi:10.1007/s10098-016-1290-0.
Masykur. 2013. Pengembangan Industri Kelapa Sawit Sebagai Penghasil Energi
Bahan Bakar Alternatif dan Mengurangi Pemanasan Global (Studi di Riau
Sebagai Penghasil Kelapa Sawit Terbesar di Indonesia). J Reformasi. 3(2):96–
107.
Mba OI, Dumont M, Ngadi M. 2018. Characterization of Tocopherols, Tocotrienols
and Total Carotenoids in Deep- fat Fried French Fries. J Food Compos Anal.
69 January:78–86. doi:10.1016/j.jfca.2018.02.011.
Mcnamara G, Horrigan M, Phelan T, Fitzsimons L, Delaure Y, Corcoran B,
Doherty E, Clifford E. 2016. Life Cycle Assessment of Waste Water
Treatment Plants in Ireland. South East Eur Conf Sustain Dev Energy, Water
Environ Syst. 4 May 1991:216–233.
http://www.researchgate.net/publication/264895663_Life_Cycle_Assessment
_of_Waste_Water_Treatment_Plants_in_Ireland.
Megasari K, Swantomo D, Putri MC. 2008. Penakaran Daur Hidup Pembangkit
Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara Kapasitas 50 MWatt. Semin Nas IV
SDM Teknol Nukl Yogyakarta 25 – 26 Agustus., siap terbit.
Merchan A, Combelles A. 2012. Comparison of Life Cycle Impact Assessement
Methods in a Case of Crop in Northern France. 4th Int Conf Life Cycle
approaches.(1):3–6. http://orbi.ulg.ac.be//handle/2268/179975.
Mumtaz T, Yahaya NA, Abd-Aziz S, Abdul Rahman N, Yee PL, Shirai Y, Hassan
MA. 2010. Turning Waste to Wealth-biodegradable Plastics
Polyhydroxyalkanoates from Palm Oil Mill Effluent-a Malaysian Perspective.
J Clean Prod. 18(14):1393–1402. doi:10.1016/j.jclepro.2010.05.016.
Nasional BS. 2016. SNI ISO 14004 Sistem manajemen lingkungan – Pedoman
umum dalam penerapan Environmental management systems – General
guidelines on implementation.
Nasution MA, Wibawa DS, Ahamed T, Noguchi R. 2018a. Comparative
environmental impact evaluation of palm oil mill effluent treatment using a
life cycle assessment approach: A case study based on composting and a
combination for biogas technologies in North Sumatera of Indonesia. J Clean
Prod. 184:1028–1040. doi:10.1016/j.jclepro.2018.02.299.
Nasution MA, Wibawa DS, Ahamed T, Noguchi R. 2018b. Comparative
Environmental Impact Evaluation of Palm Oil Mill Effluent Treatment Using
A Life Cycle Assessment Approach: A Case Study Based On Composting and
a Combination For Biogas Technologies In North Sumatera of Indonesia. J
66
RIWAYAT HIDUP