Menyerahnya Jepang
2. Kekalahan Jepang
Pada tahun 1945, Jepang telah hampir dua tahun berturut-turut mengalami
kekalahan berkepanjangan di Pasifik Barat Daya, kampanye militer Mariana,
dan kampanye militer Filipina. Pada Juli 1944 setelah Saipan jatuh, Jenderal Hideki
Tōjō diangkat sebagai perdana menteri oleh Jenderal Kuniaki Koiso yang
menyatakan Filipina sebagai tempat pertempuran berikutnya yang menentukan.
[1] Setelah Filipina jatuh, giliran Koiso yang diganti oleh Laksamana Kantarō Suzuki.
Pada paruh pertama tahun 1945, Sekutu berhasil merebut Iwo Jima dan Okinawa.
Setelah diduduki Sekutu, Okinawa dijadikan daerah singgahan untuk menyerbu
ke pulau-pulau utama di Jepang.[2] Pasca kekalahan Jerman, Uni Soviet diam-diam mulai
mengerahkan kembali pasukan tempur Eropa-nya ke Timur Jauh, di samping sekitar
empat puluh divisi yang telah ditempatkan di sana sejak tahun 1941, sebagai
penyeimbang kekuataan jutaan Tentara Kwantung.[3]
Operasi kapal-kapal selam Sekutu dan penyebaran ranjau di lepas pantai Jepang telah
menghancurkan sebagian besar armada dagang Jepang. Sebagai negara dengan
sedikit sumber daya alam, Jepang bergantung kepada bahan mentah yang diimpor
dari daratan Asia dan dari wilayah pendudukan Jepang di Hindia Belanda, terutama
minyak bumi.[4] Penghancuran armada dagang Jepang, ditambah
dengan pengeboman strategis kawasan industri di Jepang telah meruntuhkan ekonomi
perang Jepang. Produksi batu bara, besi, besi baja, karet, dan pasokan bahan mentah
lainnya hanya tersedia dalam jumlah kecil dibandingkan pasokan sebelum perang. [5]
[6]
Sebagai akibat kerugian yang dialami, kekuatan Angkatan Laut Kekaisaran
Jepang secara efektif sudah habis. Setelah serangkaian pengeboman Sekutu
di galangan kapal Jepang di Kure, Prefektur Hiroshima, kapal-kapal perang Jepang
yang tersisa hanyalah enam kapal induk, empat kapal penjelajah, dan satu kapal
tempur. Namun, semua kapal tersebut tidak memiliki bahan bakar yang cukup.
Walaupun masih ada 19 kapal perusak dan 38 kapal selam yang masih dapat
beroperasional, pengoperasian mereka menjadi terbatas akibat kekurangan bahan
bakar.[7][8]
Negosiasi
Perang melawan Jepang merupakan salah satu dari berbagai isu yang dibicarakan di
Potsdam. Truman mendapat berita tentang suksesnya percobaan Trinity pada awal
konferensi, dan menyampaikan informasi tersebut ke delegasi Inggris. Kesuksesan
percobaan bom atom menyebabkan delegasi Amerika Serikat mempertimbangkan
kembali mengenai perlunya partisipasi Soviet (seperti yang dijanjikan di Yalta).
[68] Prioritas teratas Sekutu adalah mempersingkat perang dan mengurangi korban di
pihak Amerika Serikat. Kedua hal tersebut mungkin dapat dibantu dengan adanya
campur tangan Uni Soviet, namun kemungkinan harus dibayar
dengan memperbolehkan Soviet mencaplok wilayah-wilayah di luar wilayah yang
dijanjikan untuk mereka di Yalta, dan mungkin Jepang akan terbagi dua seperti
Jerman.[69]
Deklarasi Potsdam
Pada 26 Juli 1945, Amerika Serikat, Inggris, dan Cina merilis Deklarasi Potsdam yang
berisi syarat-syarat kapitulasi Jepang dengan peringatan, "Kami tidak akan
menyimpang dari ketentuan-ketentuan ini. Tidak ada alternatif. Kami tidak
membolehkan adanya penundaan." Bagi Jepang, deklarasi menetapkan syarat-syarat
sebagai berikut:
Penghapusan "selama-lamanya dari kekuasaan dan pengaruh tokoh-tokoh yang telah menipu
dan menyesatkan rakyat Jepang ke arah dimulainya penaklukan dunia"
Pendudukan "titik-titik dalam wilayah Jepang yang akan ditentukan oleh Sekutu"
"Kedaulatan Jepang akan dibatasi pada pulau-pulau Honshu, Hokkaido, Kyushu,
dan Shikoku, serta pulau-pulau kecil seperti yang kami tetapkan." Seperti telah diumumkan
dalam Deklarasi Kairo 1943, wilayah-wilayah Jepang akan disita hingga wilayah sebelum
perang, termasuk Korea dan Taiwan, begitu pula wilayah-wilayah taklukkannya baru-baru ini.
"Kekuatan militer Jepang harus sepenuhnya dilucuti"
"Keadilan yang keras harus dijatuhkan kepada semua penjahat perang, termasuk semua yang
telah melakukan kekejaman terhadap orang kita yang ditawan".
Di lain pihak, deklarasi menegaskan bahwa:
"Kami tidak bermaksud memperbudak Jepang sebagai suatu ras atau menghancurkannya
sebagai suatu bangsa, ... Pemerintah Jepang harus menghapus semua penghalang bagi
kebangkitan dan makin menguatnya kecenderungan demokrasi di antara rakyat
Jepang. Kebebasan berbicara, beragama, dan berpikir, begitu pula peghormatan bagi hak asasi
manusia yang fundamental harus ditegakkan."
"Jepang harus dibolehkan memiliki industri-industri yang akan menunjang ekonomi dan
memungkinkan untuk membayar tuntutan pampasan yang serupa dan adil, ... Partisipasi
Jepang dalam hubungan dagang internasional harus dibolehkan."
"Kesatuan pendudukan Sekutu akan ditarik dari Jepang segera setelah tujuan-tujuan tersebut
dicapai dan telah berdirinya sebuah pemerintahan yang bertanggung jawab dan bertujuan
damai sesuai dengan keinginan rakyat Jepang yang diungkapkan secara bebas."
Satu-satunya pasal yang menyebut tentang "penyerahan tanpa syarat" dicantumkan
pada akhir deklarasi:
"Kami mengimbau pemerintah Jepang untuk menyatakan sekarang juga kapitulasi tanpa
syarat dari semua angkatan bersenjata Jepang, dan untuk memperlihatkan jaminan yang
cukup dan layak atas maksud baik mereka terhadap hal tersebut. Pilihan lain bagi Jepang
adalah "penghancuran sepenuhnya dan segera."
Tidak disebutkan tentang Kaisar Hirohito apakah termasuk ke dalam salah satu dari
tokoh yang "menyesatkan rakyat Jepang", atau juga seorang penjahat perang,
bahkan sebaliknya bagian dari "pemerintah yang bertanggung jawab dan
berkeinginan damai". Pasal "penghancuran sepenuhnya dan segera" kemungkinan
adalah peringatan terselubung soal kepemilikan bom atom oleh Amerika Serikat
(yang telah dicobakan dengan sukses pada hari pertama konferensi). [72]
4. Reaksi Jepang
Pada 27 Juli, pemerintah Jepang menimbang-nimbang cara menanggapi Deklarasi
Potsdam. Empat tokoh militer dari Dewan Penasihat Militer bermaksud menolaknya,
tetapi Tōgō membujuk kabinet untuk tidak melakukannya hingga ia mendapat reaksi
dari Uni Soviet. Dalam sebuah telegram, Duta Besar Jepang untuk Swiss Shunichi
Kase berpendapat bahwa penyerahan tanpa syarat hanya berlaku untuk militer dan
bukan untuk pemerintah atau rakyat, dan ia minta agar dimengerti bahwa pemilihan
bahasa yang hati-hati dalam Deklarasi Potsdam sepertinya "telah mengalami
pemikiran yang mendalam" dari pihak pemerintah-pemerintah yang
menandatanganinya--"mereka kelihatannya telah bersusah payah berusaha
menyelamatkan muka kita pada berbagai pasal-pasal."[73] Pada hari berikutnya,
surat-surat kabar Jepang melaporkan bahwa Jepang telah menolak isi Deklarasi
Potsdam yang sebelumnya telah disiarkan dan dijatuhkan sebagai selebaran udara di
atas Jepang. Dalam usaha mengatasi persepsi publik, Perdana Menteri Suzuki
bertemu dengan pers, dan memberi pernyataan,
Saya menganggap Proklamasi Bersama sebagai pengulangan kembali Deklarasi di
Konferensi Kairo. Mengenai hal tersebut, Pemerintah tidak menganggapnya
memiliki nilai penting sama sekali. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah
mengabaikannya (mokusatsu). Kami tidak akan melakukan apa-apa kecuali
menanggungnya hingga akhir untuk mendatangkan akhir perang yang sukses.[74]
Arti kata mokusatsu adalah mengabaikan atau tidak menanggapi.[74] Walaupun
demikian, pernyataan Suzuki, terutama kalimat terakhir hanya menyisakan sedikit
ruang untuk interpretasi yang salah. Pers Jepang dan pers luar negeri
mengartikannya sebagai penolakan, dan tidak ada pernyataan lebih lanjut yang
disampaikan ke muka umum atau saluran diplomatik untuk mengubah
kesalahpahaman ini.
Pada 30 Juli, Duta Besar Satō menulis bahwa Stalin kemungkinan sedang
berbicara dengan Sekutu Barat mengenai transaksinya dengan Jepang. Menurut
Satō, "Tidak ada alternatif selain penyerahan tanpa syarat dengan segera bila kita
ingin mencegah partisipasi Rusia dalam perang." [75] Pada 2 Agustus, Tōgō
menulis kepada Satō, "Sulit bagi Anda untuk mewujudkan hal itu ... waktu kita
terbatas untuk berlanjut ke persiapan mengakhiri perang sebelum musuh
mendarat di pulau-pulau utama Jepang, di lain pihak sulit untuk memutuskan
syarat-syarat damai yang nyata di tanah air secara sekaligus." [76]
Nagasaki dibom atom.
Kejutan ganda berupa Hiroshima yang dijatuhi bom atom dan invasi Soviet langsung
mengubah sikap Perdana Menteri Suzuki dan Menteri Luar Negeri Tōgō Shigenori
secara drastis. Keduanya sepakat pemerintah harus segera mengakhiri perang.
[83] Namun, pemimpin senior Angkatan Darat Kekaisaran Jepang menanggapi
pengeboman Hiroshima dan invasi Soviet secara tenang, dan sangat meremehkan
skala serangan. Mereka memulai persiapan untuk memberlakukan darurat
militer dengan dukungan Menteri Perang Korechika Anami dengan maksud
menghentikan siapa pun yang mencoba berdamai.
[84] Hirohito memerintahkan Kido untuk "mengendalikan situasi dengan cepat" karena
"Uni Soviet sudah menyatakan perang dan hari ini telah memulai peperangan
terhadap kami."[85]
Dewan Penasihat Militer bertemu pada pukul 10.30. Suzuki yang baru tiba dari
pertemuan dengan Kaisar berkata bahwa melanjutkan perang sudah tidak mungkin.
Tōgō Shigenori mengatakan bahwa mereka dapat menerima syarat-syarat Deklarasi
Postdam, tetapi mereka perlu jaminan mengenai posisi Kaisar. Menteri Angkatan
Laut Yonai berkata bahwa mereka harus membuat beberapa proposal diplomatik.
Mereka tidak dapat lagi menunggu kesempatan yang lebih baik.
Di tengah-tengah rapat, tidak lama setelah pukul 11.00 datang berita Nagasaki di pesisir barat
Kyushu telah dijatuhi bom atom kedua ("Fat Man") oleh Amerika Serikat. Hingga rapat
berakhir, pendapat enam anggota Dewan Penasihat Militer terbelah menjadi 3 lawan 3.
Suzuki, Tōgō, dan Admiral Yonai memilih usulan Tōgō untuk menambah satu syarat
tambahan di Deklarasi Potsdam. Sebaliknya Jenderal Anami, Umezu, dan Laksamana
Toyoda bersikeras untuk menambah tiga syarat-syarat lebih lanjut yang merevisi Potsdam:
Jepang mengurusi pelucutan diri sendiri, Jepang mengurusi semua penjahat perang Jepang,
dan tidak boleh ada pendudukan atas Jepang.[86]
Setelah pengeboman atom Nagasaki, Truman memberikan pernyataan lain:
Produksi dan penggunaannya tidak dianggap enteng oleh Pemerintah ini. Tapi kita
tahu bahwa musuh-musuh kita mencarinya. Sekarang kita tahu mereka nyaris
mendapatkannya. Dan kita tahu bencana yang akan menimpa Bangsa ini, dan semua
bangsa yang cinta damai, semua peradaban, jika mereka telah menemukannya terlebih
dahulu.
Itulah sebabnya kita merasa terdorong untuk melakukan upaya penemuan dan
produksi yang panjang dan tidak pasti dan memakan biaya.
6. Kapitulasi
Musuh kita telah mulai memakai sebuah bom baru yang kejam, membunuh dan
melukai banyak orang tidak berdosa, kekuatannya dalam menimbulkan kerusakan,
sungguh, tak terkira. Selain itu, bila kita terus berperang, tidak hanya akan berakhir
dengan kemusnahan bangsa Jepang namun juga akan membawa kepunahan total
peradaban manusia.
Pada 17 Agustus 1945, Perdana Menteri Suzuki digantikan oleh paman Kaisar
yang bernama Pangeran Higashikuni Naruhiko. Pergantian ini mungkin untuk
mencegah kudeta lebih lanjut atau usaha pembunuhan; [138] Mamoru
Shigemitsu menggantikan Tōgō sebagai menteri luar negeri.
Sementara itu, tentara Jepang masih bertempur melawan tentara Soviet dan juga
tentara Cina, dan sulit mengatur soal gencatan senjata dan penyerahan mereka.
Pertempuran udara terakhir oleh penyerang Jepang melawan pengebom pengintai
Amerika berlangsung pada tanggal 18 Agustus.[139] Uni Soviet terus menyerang
hingga awal September dan merebut Kepulauan Kuril. Upacara resmi kapitulasi
berlangsung pada 2 September 1945 ketika wakil-wakil dari Kekaisaran
Jepang menandatangani Dokumen Kapitulasi Jepang di Teluk Tokyo di atas
USS Missouri. Shigemitsu membubuhkan tanda tangan sebagai wakil pemerintah
sipil, sementara Jenderal Umezu membubuhkan tanda tangan sebagai wakil militer.
Di atas kapal Missouri pada hari itu dipasang bendera Amerika Serikat yang pernah
dikibarkan di USS Powhatan oleh Komodor Matthew C. Perry pada tahun 1853 ketika
pertama kali tiba di Jepang dalam dua kali ekspedisinya. Kedatangan Perry telah
menyebabkan ditandatanganinya Konvensi Kanagawa yang memaksa Jepang
membuka pelabuhan terhadap kapal-kapal asing.[143][144]
Selain 14 Agustus dan 15 Agustus, tanggal 2 September 1945 juga dirayakan sebagai
Hari Kemenangan atas Jepang (V-J Day).[145] Di Jepang, tanggal 15 Agustus
diperingati sebagai Hari Peringatan Berakhirnya Perang (Shuusen-kinenbi) dengan
nama resmi "Hari Nasional Berkabung untuk Korban Tewas dalam Perang dan
Berdoa untuk Perdamaian".[147] Di Korea, 15 Agustus diperingati
sebagai Gwangbokjeol, dan Australia memperingati Hari Kemenangan di Pasifik (V-P
Day). Presiden Truman menyatakan 2 September sebagai V-J Day, tetapi memberi
catatan "Bukanlah hari untuk menyatakan proklamasi resmi berakhirnya perang atau
penghentian permusuhan."