PENDAHULUAN
Tuberkulosis resistan obat (TB RO) masih menjadi ancaman dalam pengendalian
TB dan merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat utama di dunia. Secara
global pada tahun 2019, diperkirakan 3,3% dari pasien TB baru dan 17,7% dari
pasien TB yang pernah diobati merupakan pasien TB RO. Tahun 2019,
diperkirakan terdapat 9,96 juta insidens TB di seluruh dunia, 465.000 diantaranya
merupakan Tuberkulosis Multidrug Resistant/ Tuberkulosisn Resistant Rifampisin
TB MDR/TB RR. Perkiraan 465.000 pasien TB RO tersebut, hanya 206.030 yang
berhasil ditemukan dan 177.099 (86%) diobati, Angka keberhasilan pengobatan
global 57%. Di Indonesia, estimasi TB RO adalah 2,4% dari seluruh pasien TB baru
dan 13% dari pasien TB yang pernah diobati dengan total perkiraan insiden kasus
TB RO sebesar 24.000 atau 8,8/100.000 penduduk. Tahun 2019, sekitar 11.500
pasien TB RR ditemukan dan dilaporkan, sekitar 48% pasien memulai pengobatan
TB lini kedua, dengan angka keberhasilan pengobatan 45%.1,2
Infeksi TB dapat menyebabkan penurunan berat badan. Status gizi pasien diketahui
memiliki peran yang penting dalam pengobatan TB. Pasien dengan status gizi baik
memiliki respon pengobatan yang lebih baik. Salah satu ukuran praktis dan murah
1
yang dapat digunakan untuk menggambarkan status gizi adalah indeks massa tubuh
(IMT). Pada pasien TB, diketahui lebih dari 50% pasien memiliki IMT rendah (IMT
<18,5 kg/m2) dan lebih dari 10% memiliki IMT sangat rendah (IMT < 16,0 kg/m2).
Pasien TB paru BTA positif dengan IMT <18,5 kg/m2 membutuhkan waktu yang
lebih lama untuk mengalami konversi. Pasien TB paru BTA positif dengan IMT <
18,5 kg/m2 berisiko mengalami gagal konversi sebesar 1,32-8,86 kali dibandingkan
dengan pasien yang IMT-nya >18,5 kg/m2. Sebagian besar pasien TB yang resisten
OAT memiliki status gizi kurang sebesar 61,5%.4,5,6
Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Provinsi Riau sebagai salah satu rumah
sakit pendidikan dan rumah sakit rujukan di wilayah Riau memiliki pelayanan
pengobatan TB RO. Jumlah pasien TB yang ditangani setiap tahunnya cenderung
mengalami peningkatan. Identifikasi terjadinya gagal konversi penting dilakukan
untuk mengetahui respon pengobatan dan memprediksi terjadinya gagal
pengobatan. Selain itu, hubungan peningkatan berat badan dengan konversi sputum
pada pasien TB RO di RSUD Provinsi Riau belum diketahui. Oleh karena itu, studi
ini dilakukan untuk mengetahui hubungan peningkatan berat badan dengan
konversi sputum pasien TB MDR di RSUD Provinsi Riau.
Terdapat hubungan peningkatan berat badan dengan konversi sputum basil tahan
asam pada pasien TB MDR di RSUD Arifin Achmad Propinsi riau.
1. Apakah ada pengaruh peningkatan berat badan dengan konversi sputum BTA
pada pasien TB MDR?
2. Berapakah proporsi peningkatan berat badan pada saat terjadi konversi sputum
BTA pada pasien TB MDR?
3. Adakah hubungan usia, jenis kelamin dengan peningkatan berat badan
terhadap konversi sputum BTA pada pasien TB MDR?
2
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan peningkatan berat badan dengan konversi sputum basil tahan
asam pada pasien TB MDR di rsud arifin achmad propinsi Riau.
3
3. Sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya.
1. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar dan bahan
masukan informasi baru oleh RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau tentang
hubungan pada peningkatan berat badan dengan konversi sputum BTA pada
pasien TB MDR di Provinsi Riau sehingga penatalaksanaan menjadi lebih
optimal dan komprehensif.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi TB RO
Resistansi pasien yang pernah diobati adalah resistansi terjadi pada pasien yang
pernah mendapatkan pengobatan TB lebih 1 bulan, termasuk pasien gagal
pengobatan, pasien kambuh atau kembali setelah putus berobat. Pasien ini
mendapatkan kuman resistan selama pengobatan atau mengalami
reinfeksi/terinfeksi secara primer dari orang dengan kuman TB resistan. Acquired
resistance muncul karena mutasi kromosom bakteri meskipun tidak ada kontak
dengan OAT. Angka mutasi isoniazid adalah 108–109, rifampisin 108–1010,
etambutol 106–107, streptomisin 105–108, resistansi ganda isoniazid dan rifampisin
adalah 1016. Penyebab resistansi rifampisin adalah mutasi gen rpoB yang
merupakan gen pengkode β-subunit Ribonucleic Acid (RNA) polymerase yang
menghambat elongasi messenger RNA. Resistansi isoniazid akibat mutasi gen katG
dan inhA, gen katG mengkode catalase/peroxidase enzyme KatG yang berfungsi
mengaktifkan isoniazid, sedangkan inhA mengkode nicotinamide adenine
dinucleotide reduction (NADH) - dependent enoyl-acyl carrier protein (ACP)-
5
reductase yang berfungsi menghambat sintesis asam mikolat. Perubahan bentuk
molekul menyebabkan penurunan afinitas obat dan menghasilkan pengembangan
resistansi. Resistansi pirazinamid disebabkan oleh mutasi gen pncA yang
merupakan gen pengkode enzim pyrazinamidase/nicotinamidase yang
mengkonversi pirazinamid.7,8,9
Beberapa jenis resistansi terhadap OAT antara lain monoresistansi yaitu resistansi
terhadap salah satu OAT lini pertama. Poliresistansi yaitu resistansi terhadap lebih
dari satu OAT lini pertama selain dari kombinasi isoniazid (H) dan rifampisin (R).
Multidrug resistance adalah resistansi terhadap isoniazid dan rifampisin dengan
atau tanpa OAT lini pertama. Extensively drug resistance (XDR) yaitu MDR TB
disertai resistansi terhadap fluorokuinolon dan salah satu dari grup A (bedaquiline
atau linezolid). Pre XDR adalah MDR TB disertai resistansi terhadap
fluorokuinolon. Tuberkulosis resistansi rifampisin yaitu resistan terhadap
rifampisin (monoresistan, poliresistan, MDR TB, XDR TB) dengan atau tanpa
resistansi terhadap OAT lain.1,7,8
2.1.2 Epidemiologi TB RO
Secara global pada tahun 2019, diperkirakan 3,3% dari pasien TB baru dan 17,7%
dari pasien TB yang pernah diobati merupakan pasien TB resistan obat. Pada tahun
2019, diperkirakan terdapat 9,96 juta insidens TB di seluruh dunia, sekitar 465.000
diantaranya merupakan TB MDR/TB RR. Dari perkiraan 465.000 pasien TB RO
tersebut, hanya 206.030 yang berhasil ditemukan dan 177.099 (86%) diobati,
dengan angka keberhasilan pengobatan global 57%. Estimasi TB RO di Indonesia
adalah 2,4% dari seluruh pasien TB baru dan 13% dari pasien TB yang pernah
diobati dengan total perkiraan insiden kasus TB RO sebesar 24.000 atau
8,8/100.000 penduduk. Pada tahun 2019, sekitar 11.500 pasien TB RR ditemukan
dan dilaporkan, sekitar 48% pasien yang memulai pengobatan TB lini kedua,
dengan angka keberhasilan pengobatan 45%.1,9
6
Kasus TB RO pada 10 negara menyebabkan 70% insidens dari semua kasus pada
tahun 2020 yaitu Cina, Republik Kongo, India, Indonesia, Nigeria, Pakistan,
Filipina, Rusia, Afrika selatan dan Vietnam. Kasus TB sensitif obat di Pekanbaru
berjumlah 279 kasus pada tahun 2020 dan menurun menjadi 251 kasus pada tahun
2021. Kasus TB RO yang tercatat di Pekanbaru sebanyak 29 kasus pada tahun 2020
dan 23 kasus pada tahun 2021. Perbandingan yang didapat dari data tersebut pada
tahun 2020 yaitu 10,4 % dari jumlah kasus TB sensitif obat adalah jumlah kasus
TB RO sehingga harus diwaspadai karena pengobatan TB RO lebih kompleks
dibandingkan pengobatan TB sensitif obat. 10
2.1.3 Diagnosis TB RO
7
melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan
mediastinum.4,12,13
8
pertama dan lini kedua. Paduan OAT tersebut dapat disesuaikan bila terjadi
perubahan hasil uji kepekaan M. Tuberculosis. Keputusan penggantian tersebut
ditetapkan oleh tim ahli klinis TB RO. Semua pasien TB RO perlu menjalani
pemeriksaan awal, pemeriksaan selama pengobatan berlangsung sampai selesai
pengobatan, dan pemeriksaan setelah selesai masa pengobatan. Persiapan awal
pengobatan meliputi pemeriksaan penunjang yang bertujuan untuk mengetahui
kondisi awal berbagai fungsi organ (ginjal, hati, jantung), pemeriksaan elekrolit,
dan berbagai pemeriksaan laboratorium lain. Pemeriksaan selama pasien dalam
masa pengobatan TB RO bertujuan untuk memantau perkembangan pengobatan
dan efek samping obat.1,16
Pengobatan TB RO harus bisa dimulai dalam waktu 7 hari setelah diagnosis pasien
ditegakkan. Pengobatan untuk pasien TB RO diberikan dengan rawat jalan sejak
awal dan diawasi setiap hari secara langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
Sesuai dengan rekomendasi WHO tahun 2020, pengobatan TB RO di Indonesia
saat ini menggunakan paduan tanpa obat injeksi, yang terbagi menjadi dua, yaitu
paduan pengobatan jangka pendek (9–11 bulan) dan jangka panjang (18–20 bulan).
Penentuan paduan pengobatan pasien TB resistan obat didasarkan pada berbagai
kriteria dan kondisi pasien.2,16
Tatalaksana TB RO tanpa obat injeksi terdiri dari tiga obat grup A dan satu dari
obat grup B karena pengobatan dimulai paling sedikit dengan lima obat di fase
intensif dan empat obat di fase lanjutan. Pengobatan tanpa obat injeksi terbagi
menjadi tiga grup, grup A golongan fluorokuinolon yaitu levofloksasin dan
moksifloksasin, bedaquiline dan linezolid dianggap sangat efektif dan sangat
direkomendasikan sebagai rejimen kecuali terdapat kontraindikasi, grup B yaitu
klofazimin dan sikloserin atau terizidone direkomendasikan dengan syarat sebagai
agen pilihan kedua, obat grup C digunakan saat obat grup A dan B tidak dapat
digunakan. Obat pada grup C yaitu etambutol, delamanid, pirazinamid, imipenem-
cilastatin, meropenem, amikasin, streptomisin, etionamid atau protionamid dan
para-amino salicylic acid.1,17
9
Paduan jangka pendek tanpa obat injeksi untuk pengobatan TB RO yaitu 4-6 Bdq
(6 bulan)-Lfx-Cfz-Z-E-Hh-Eto/ 5 Lfx-Cfz-Z-E. Pengobatan menggunakan paduan
jangka pendek membutuhkan waktu sembilan sampai dengan sebelas bulan. Contoh
untuk paduan jangka panjang tanpa obat injeksi yaitu 4-6 Bdq-Lfx atau Mfx-Lzd-
Cfz-Cs/ 14 Lfx atau Mfx-Lzd-Cfz-Cs. Pengobatan dengan paduan jangka panjang
membutuhkan waktu delapan belas bulan sampai dengan dua puluh empat bulan.
Durasi pengobatan TB RO menggunakan paduan jangka panjang berdasarkan
waktu terjadinya konversi biakan.1
10
TB RO rujukan. Apabila pasien tidak membutuhkan rawat inap di awal, maka
pengobatan dapat dimulai di klinik TB RO (instalasi rawat jalan). 1
Gizi sangat penting bagi tubuh untuk meningkatkan sistem imun di dalam tubuh
sehingga agen infeksi dapat dengan cepat diseleksi oleh sel-sel proinflamasi dari
tubuh. Apabila pasien memiliki gizi yang kurang maka dapat merusak cell mediated
immunity dan meningkatkan aktivitas mikroba dalam tubuh. Status gizi pasien TB
sering mengalami penurunan, bahkan terjadi status gizi yang kurang bila tidak
diimbangi secara tepat. Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap
daya tahan tubuh dan respon imun terhadap penyakit. Mekanisme perlindungan
kekebalan host dari infeksi Mtb bergantung pada makrofag-monosit, limfosit T, dan
sitokin. Apabila keadaan gizi kurang dapat memperburuk respon imunitas tubuh,
memperparah penyakit infeksi yang diderita seseorang, bahkan terjadi masa
penyembuhan yang lama.4.5
11
Pengukuran status gizi dapat diukur dengan menggunakan metode antopometri.
Beberapa skala antopometri yang diukur yaitu berat badan, tinggi badan, lingkar
kepala, dan lingkar lengan atas. Indeks massa tubuh merupakan salah satu indikator
penentuan status gizi pasien yang meliputi pengukuran tinggi badan dan berat
badan. Hasil pengukuran tinggi badan dinyatakan dalam meter (m), dan berat badan
dinyatakan dalam satuan kilogram (kg). Dirumuskan sebagai berikut
Salah satu ukuran praktis dan murah yang dapat digunakan untuk menggambarkan
status gizi adalah Indeks Massa Tubuh (IMT). Dari hasil penelitian Tama et al
(2016) menemukan bahwa Pasien TB paru BTA positif dengan IMT < 18,5 kg/m2m
memiliki probabilitas kumulatif gagal konversi yang lebih besar dibandingkan
pasien yang memiliki IMT > 18,5 kg/m2. Kecepatan terjadinya konversi sputum
(hazard rate) pada pasien dengan IMT < 18,5 kg/m2 lebih rendah dibandingkan
dengan pasien dengan IMT > 18,5 kg/ m2. Waktu konversi sputum akan semakin
lama jika peningkatan berat badan yang dialami oleh pasien di akhir tahap intensif
< 1 kg. Oleh karena itu, pasien TB yang memiliki IMT rendah di awal pengobatan
perlu dimonitoring perkembangan status gizinya. Perbaikan status gizi pasien
selama masa pengobatan harus menjadi fokus perhatian, mengingat peningkatan
berat badan di akhir tahap intensif memiliki kontribusi yang cukup penting dalam
terjadinya konversi sputum.5
Pada penderita tuberkulosis cenderung memiliki indeks massa tubuh kurang dari
normal, dikarenakan pasien dengan infeksi MTB mengalami perubahan
metabolisme di dalam tubuh seperti peningkatan katabolisme untuk mengaktifasi
kerja sistem imun, terjadi anabolic block, asam amino tidak dapat dibangun menjadi
susunan protein yang lebih komplek sehingga tubuh kekurangan energi dan
mengambil simpanan lemak dalam tubuh yang dapat berdampak pada sel dan
jaringan, serta terjadi penurunan hormon leptin di dalam darah sehingga nafsu
makan pasien menurun.4
12
Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa kekurangan gizi yang diukur dengan
berat badan dikaitkan dengan hasil pengobatan TB-MDR yang buruk, mungkin
karena hubungan yang kompleks antara kebutuhan energi yang berkurang dan
penurunan asupan gizi, dan menyarankan bahwa penurunan berat badan merupakan
biomarker potensial dari respon pengobatan. Selain itu, studi longitudinal
menunjukkan bahwa variasi berat badan selama 6 bulan pertama berbeda menurut
hasil pengobatan, hasil yang buruk terkait dengan penurunan berat badan dari waktu
ke waktu.8
Faktor yang berpengaruh terhadap konversi sputum BTA terdiri dari atas faktor
internal dan faktor eksternal. Pendidikan, pendapatan, jenis kelamin, kepatuhan
minum obat, kebiasaan merokok, status gizi dan penyakit penyerta merupakan
faktor interal yang mempengaruhi konversi sputum BTA, sedangkan faktor
eksternal seperti ketersediaan obat, kondisi lingkungan, pengawas minum obat
(PMO) dan aspek bakteriologis. Konversi sputum merupakan prediktor kuat dan
awal keberhasilan terapi pada TB paru. 4 Pendidikan erat kaitanya dengan
13
pengetahuan pasien mengenai penyakit yang ia alami dan dapat berpengaruh
terhadap kesuksesan pengobatannya. Tingkat pengetahuan pasien yang rendah
memiliki resiko lebih tinggi terjadi kegagalan pengobatan. 5
Resiko terjadi TB lebih tinggi pria dibandingkan dengan wanita, ini dikarenakan
oleh faktor lain yang dapat mempengaruhi keadaan tersebut. Pada saat melakukan
pengobatan wanita lebih mungkin mengakses fasilitas kesehatan dibandingkan
dengan pria dan dapat mendorong kepatuhan pengobatannya. Studi lain dikaitkan
dengan faktor konsumsi alkohol dan merokok pada pria yang dapat memperlambat
kejadian konversi sputum BTA di akhir pengobatan fase intensif. Faktor hormonal
dapat pula mempengaruhi keadaan imunitas seseorang, pada wanita terdapat
estrogen yang dapat meningkatkan sekresi INF-γ dan mengaktifkan makrofag
sehingga respon imun meningkat dan terjadi konversi BTA sedangkan pada laki-
laki terdapat testosteron yang menghambat respon imun.5,19
Kepatuhan pengobatan adalah tingkat kesediaan serta sejauh mana upaya dan
perilaku seorang pasien dalam mematuhi instruksi, aturan atau anjuran medis yang
diberikan oleh seorang dokter atau profesional kesehatan lainnya untuk menunjang
kesembuhan pasien tersebut, Merokok akan merusak mekanisme pertahanan paru
yang disebut mucocilliary clearance. Pada perokok aktif saat terinfeksi
Mycobacterium tuberculosisterjadi kerusakan fungsional pada makrofag alveolar
sehingga gagal memproduksi sitokin yang berperan penting dalam mengeliminasi
bakteri TB. Gizi sangat penting bagi tubuh untuk meningkatkan sistem imun di
dalam tubuh sehingga agen infeksi dapat dengan cepat diseleksi oleh sel-sel
proinflamasi dari tubuh. Pada pasien yang memiliki penyakit penyerta seperti
diabetes melitus dan HIV memiliki imunitas seluler yang rendah sehingga respon
tubuh terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis menjadi berkurang. 5,15,19
Beberapa faktor eksternal pada pasien yang berperan dalam konversi sputum BTA.
Ketersediaan obat anti tuberculosis di sarana kesehatan merupakan salah satu
komponen penting dalam keberhasilan pengobatan TB. Kondisi lingkungan seperti
kebersihan yang kurang dapat memberikan ruang untuk perkembangan
14
Mycobacterium tuberculosis. PMO berperan penting untuk mengingatkan
kepatuhan minum obat dan teratur terhadap pengobatan sehingga dapat
menurunkan jumlah MTB dan terjadi perubahan hasil BTA. Aspek bakteriologis
merupakan hasil awal sputum yang menggambarkan tentang jumlah bakteri dan
tingkat kepositifan pasien pada awal terdiagnosis, seperti BTA + atau BTA +2, dan
sebagainya. Beban basil yang semakin tinggi pada awal pengobatan mencerminkan
keberadaan kavitasi paru yang berhubungan dengan keparahan penyakit, yang telah
terbukti dikaitkan dengan kegagalan dan kambuhan pengobatan TB, dan
pengembangan resistensi obat TB. 5,19
Gizi kurang menurunkan imunitas tubuh karena terjadi penurunan limfosit dan
kemampuan perkembangan sel-sel imun dalam tubuh, keadaan ini disebabkan oleh
penurunan IL-2 dan Interferon gamma yang mengakibatkan peningkatan aktivitas
Mycobacterium tuberculosis sehingga pasien mengalami kegagalan konversi atau
keterlambatan konversi sputum BTA pada fase intensif. Pasien yang gagal konversi
memiliki rasio 4,2-20,63 kali untuk mengalami gagal pengobatan, terjadi
kekambuhan, bahkan dapat menjadi kasus TB RO. Sejumlah penelitian telah
menunjukkan bahwa kekurangan gizi yang diukur dengan berat badan dikaitkan
15
dengan hasil pengobatan TB-MDR yang buruk, karena berhubungan antara
kebutuhan energi yang berkurang dan penurunan asupan gizi. Penurunan berat
badan merupakan biomarker potensial dari respon pengobatan. Selain itu, studi
longitudinal menunjukkan bahwa variasi berat badan selama pengobatan, memiliki
hubungan hasil yang buruk terkait dengan penurunan berat badan dari waktu ke
waktu.4,8,20
Seseorang yang memiliki tubuh sehat karena daya tahan yang tinggi dan gizi yang
baik, penyakit TB dan infeksi lain tidak akan muncul dan kuman TB akan tertidur.
Namun pada mereka yang mengalami kekurangan gizi, daya tahan tubuh menurun
atau buruk, terus menerus menghirup udara yang mengandung kuman TB akibat
lingkungan yang buruk akan lebih mudah terinfeksi TB paru (menjadi TB aktif)
atau dapat juga mengakibatkan kuman TB yang tertidur didalam tubuh dapat aktif
kembali. Keadaan status gizi dan penyakit infeksi adalah pasangan yang terkait.
Status gizi merupakan faktor atau variabel yang sangat berperan dalam kejadian
penyakit TB Paru, walau hal ini juga masih dipengaruhi oleh adanya variabel lain
yaitu kuman TB pada paru. Seperti diketahui, sifat kuman TB salah satunya dapat
tidur bertahun-tahun (dormant), penurunan gizi atau gizi kurang akan memiliki
daya tahan tubuh yang rendah sehingga mempunyai kesempatan untuk bangun dan
menimbulkan penyakit. 4,5,21
Pada keadaan gizi yang buruk, maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun
sehingga kemampuan dalam mempertahankan diri terhadap infeksi menjadi
menurun. Orang dengan TB aktif sering kekurangan gizi dan menderita defisiensi
mikronutrien serta penurunan berat badan dan nafsu makan menurun. Asupan gizi
makro dari penderita Tuberkulosis Paru sangat kurang yang akan berpengaruh pada
peningkatan kesembuhan dan status gizi penderita adanya peningkatan asupan
makanan pada penderita Tuberkulosis Paru akan meningkatkan status gizi. Adanya
peran penting asupan makan yang dikonsumsi erat kaitanya dengan faktor
kesembuhan. Melalui cara pemilihan makanan yang disesuaikan dengan kualitas
dan kuantitas yang dibutuhkan, yang akan menunjang penyembuhan. 4,5,22
16
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.3. Populasi, Sampel, Kriteria Inklusi dan Eksklusi dan Besar Sampel
Penelitian
3.3.1. Populasi
Populasi target dari penelitian ini adalah pasien didiagnosis dengan TB RO yang
melakukan pemeriksaan awal dalam persiapan pengobatan TB RO di poli MDR
RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau mulai Januari 2020 sampai februai 2023.
3.3.2. Sampel
Sampel penelitian ini adalah pasien TB RO yang mendapatkan terapi rejimen di
poli MDR RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. Teknik pemilihan sampel
menggunakan teknik konsekutif, yaitu peneliti memasukkan populasi yang
memenuhi kriteria inklusi dan tidak memasukkan yang memenuhi kriteria eksklusi
ke dalam penelitian. Sampel diambil mulai dari Januari tahun 2020 sampai februari
2023.
17
3.3.3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.3.3.1. Kriteria Inklusi
1. Pasien TB RO yang mendapat rejimen LTR dan STR di RSUD Arifin Achmad
Provinsi Riau dan memiliki hasil sputum BTA baseline positif,
18
2 Jenis kelamin Tanda fisik SITB Laki-laki, Nominal
yang Perempuan
terident ifikasi
pada pasien
3 Berat badan Identifikasi SITB BB naik, Nominal
berdasarkan BB tetap,
berat badan awal BB turun
dibandingkan
berat badan saat
konversi sputum
BTA
Pemilihan sampel
Eksklusi
Analisa data
19
3.7 Teknik Pengambilan Sampling
Penelitian ini menggunakan teknik total sampling, dimana semua sampel yang
memenuhi kriteria inklusi dikumpulkan selama periode penelitian.
3.8 Teknik Pengumpulan data
Data diolah secara manual kemudian disajikan dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi yang dihitung dalam persentase.
20
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Total sampel 127 pasien TB RO yang terdaftar dalam SITB, namun hanya 29 pasien
yang memenuhi kriteria inklusi. Tabel 4.1.1 menunjukkan karakteristik responden
pada penelitian ini.
21
Berdasarkan Tabel 4.1 Karakteristik responden penelitian ini yaitu laki-laki
(68,9%) lebih banyak daripada perempuan (31,1%) dengan rentang usia terbanyak
usia 26-65 tahun.
4.2 Hubungan Berat Badan Dengan Konversi Sputum BTA Pada Pasien TB
MDR
Selama periode bulan Januari 2019 sampai Februari 2023, terdapat 29 pasien TB
MDR yang pemeriksaan Sputum BTA positif sebagai baseline. Dari 29 pasien yang
diteliti, didapatkan hubungan peningkatan berat badan dengan konversi Sputum
BTA sebagai berikut:
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Berat Badan Dengan Konversi Sputum BTA
pada pasien TB MDR (N = 29)
Berat Badan Frekuensi (n) Presentase (%)
BB naik 18 62,1
BB tetap 6 20,7
BB turun 5 17,2
Jumlah 29 100
Menunjukkan bahwa pasien yang mengalami konversi sputum BTA terbanyak pada
berat badan naik sebanyak 18 pasien (62,1%). Dengan demikian menunjukkan
terdapat hubungan peningkatan berat badan dengan konversi Sputum BTA pada
pasien TB MDR RSUD Arifin Achmad periode januari 2019 – februari 2023.
22
BAB 5
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa mayoritas penderita TB MDR yang
konversi sputum BTA dengan berat badan naik 186 pasien (62,1%) dan berat badan
tetap sebanyak 6 pasien (20,7%) serta 5 pasien (17,2%) dengan berat badan kurang.
Pada keadaan gizi yang kurang bahkan buruk, reaksi kekebalan tubuh akan
menurun sehingga kemampuan dalam mempertahankan diri terhadap infeksi
menjadi menurun. Infeksi TB dapat menyebabkan penurunan berat badan, status
gizi yang buruk meningkatkan risiko infeksi dan penyebaran penyakit TB. Selain
itu, gizi kurang akan menyebabkan daya tahan tubuh rendah sehingga pertahanan
tubuh terhadap kuman TB akan berkurang. 4,5,19
Perubahan berat badan selama masa pengobatan juga memiliki kontribusi terhadap
kecepatan terjadinya konversi sputum. Adanya perubahan berat badan selama
pengobatan dapat mempengaruhi perubahan ukuran status gizi pasien TB. RO
Peningkatan berat badan menunjukkan adanyaperbaikan status gizi dan
berkontribusi terhadapperbaikan daya tahan tubuh pasien TB. Fungsi selfagosit
maupun sistem komplemen yang ada dalam sistem imunitas dapat berfungsi
menjadi lebih baik sehingga MTB dapat dibunuh dan dihambat pertumbuhannya.
23
Dengan demikian, jumlah bakteri menjadi berkurang sehingga konversi sputum
menjadi lebih cepat. Pasien TB yang mengalami peningkatanberat badan memiliki
probabilitas keberhasilan pengobatan yang lebih baik dan risiko kekambuhan yang
lebih rendah.5,20,21
Studi yang dilakukan di India Selatan menunjukkan bahwa pemberian OAT saja
tidak cukup untuk membunuh bakteri yang ada pada tubuh pasien TB dengan
malnutrisi. Bakteri akan semakin sulit dibunuh jika pasien tersebut tidak mengalami
peningkatan berat badan pada bulan pertama pengobatan. Peningkatan berat badan
selama masa pengobatan dapat mempercepat perbaikan status gizi pasien sehingga
menunjang terjadinya konversi sputum yang lebih cepat, perbaikan gambaran
radiologis, dan peningkatan fungsi tubuh. Pasien TB dengan hasil pengobatan baik,
rata-rata mengalami peningkatan 1 kg berat badan pada 2 bulan pertama dan 3 kg
setelah 4 bulan pengobatan, sedangkan pasien TB yang hasil pengobatannya buruk,
mengalami penurunan berat badan sebesar 1 kg pada 2 bulan pertama dan hanya
bertambah 0.2 kg setelah 4 bulan pengobatan.5
Pasien TB BTA positif yang mengalami peningkatan berat badan kurang dari 5%
di akhir tahap intensif dan di akhir pengobatan memiliki risiko yang lebih besar
untuk mengalami hasil pengobatan buruk (gagal pengobatan maupun kekambuhan)
dibandingkan dengan pasien yang mengalami peningkatan berat badan lebih dari
5% (18,4%dan 10,3%). Selain itu, di antara semua pasien TB dewasa, peningkatan
berat badan sebesar 1 kg setelah menjalani 1 bulan pengobatan juga ditemukan
berhubungan dengan keberhasilan pengobatan. Adanya peningkatan berat badan
merupakan predictor independen terhadap terjadinya konversi sputum.5
24
BAB 6
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
1. Penyakit TB MDR cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dari pada
perempuan.
2. Penderita TB MDR mayoritas terjadi antara usia ≥45 tahun dan penelitian ini
yaitu terbanyak usia 26- 65 tahun
4. Adanya peran penting asupan makan yang dikonsumsi memiliki erat kaitanya
dengan peningkatan berat badan yang akan mempengaruhi konversi sputum
BTA pada pengobatan pasien TB MDR .
6.2 Saran
25
DAFTAR PUSTAKA
26
12. Frediani JK, Sanikidze E, Kipiani M. Macronutrient intake and body
composition changes during anti-tuberculosis therapy in adults. Clin Nutr.
2016; 35(1): 205–212.
13. Sharma N, Khanna A, Chandra S. Trends & treatment outcomes of multidrug-
resistant tuberculosis in Delhi, India: A retrospective record-based study.
Indian J Med Res. 2020; 151: 598-603.
14. Van LH, Phu TP, Vinh DN. Risk factors for poor treatment outcomes of 2266
multidrug-resistant tuberculosis cases in Ho Chi Minh City: a retrospective
study. BMC Inf Dis. 2020; 20: 164-74.
15. Ncha R, Variava E, Otwombe K, Kawonga M, Martinson NA. Predictors of
time to sputum culture conversion in multi-drug-resistant tuberculosis and
extensively drug-resistant tuberculosis in patients at Tshepong-Klerksdorp
Hospital. Southern African J of Inf Dis. 2019; 34: 111-9.
16. Diarra B, Cisse AB, Kodio O, Sanogo M. Screening new tuberculosis patients
in Mali for rifampicin resistance at 2 months. International J of
Mycobacteriology. 2016; 5: 142-57.
17. Forson A, Kwara A, Kudzawu S, Omari M. A cross-sectional study of
tuberculosis drug resistance among previously treated patients in a tertiary
hospital in Accra, Ghana: public health implications of standardized regimens.
BMC Inf Dis. 2018; 18:149-55.
18. Chien JY, Chen YT, Shu CC, Lee JJ. Outcome Correlation of Smear-Positivity
for Acid-Fast Bacilli at the Fifth Month of Treatment in Non-Multidrug–
Resistant TB. Chest Infections. 2013; 143: 1725–32.
19. Ferrian S, Manca C, Lubbe S, Conradie F, Ismail N, Kaplan G, et all. A
combination of baseline plasma immune markers can predict therapeutic
response in multidrug resistant tuberculosis. J Plos One. 2017; 12: 1-5.
20. Alia M, Howadya F, Munira W, Karima H, Al-Suwaidib Z. Drug-resistant
tuberculosis: an experience from Qatar. Libyan j of medicine. 2020; 15: 1-6.
21. Udwadia ZF, Mohari G. Multidrug‑resistant‑tuberculosis treatment in the
Indian private sector: Results from a tertiary referral private hospital in
Mumba. Lung India. 2014; 31: 213-9.
22. Singh A, Prasad R, Kushwaha RAS, Srivastava R, Giridhar BH. Treatment
outcome of multidrug‑resistant tuberculosis with modified DOTS‑plus
strategy: A 2 years’ experience. Indian Chest Society. 2019; 33: 157-67.
27