Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KOMUNIAKSI

PADA ORANG BERKELAHI

DOSEN PEMBIMBING :
DODI AFLIKA FARAMA. SKM

DISUSUN OLEH :
NATASYA FIORENTINA

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


PRODI D III KEPERAWATAN LAHAT TAHUN 2022/2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hubungan dengan saudara merupakan jenis hubungan yang berlangsung

dalam jangka panjang. Pola hubungan yang terbangun pada masa kanak-kanak dapat

bertahan hingga dewasa. Hubungan dengan saudara dapat mempengaruhi

perkembangan individu, secara positif maupun negatif tergantung pola hubungan

yang terjadi. Pola hubungan antara saudara kandung juga dipengaruhi oleh cara orang

tua dalam memperlakukan mereka.

Persaingan untuk merebut kasih sayang orang tua seringkali hadir dalam

khasanah keluarga. Sejak kehadiran adik pertama dapat terus berlangsung sampai

dewasa.Kelahiran adik baru yang menimbulkan rasa cemburu merupakan emosi yang

biasa ditemukan dan dialami oleh anak. Sebelum adik lahir, anak merasa orang tua

menjadi miliknya sepenuhnya dan tidak perlu bersaing dengan orang lain untuk

mendapatkan kasih sayang dan perhatian orang tua (Thompson, 2003).

Perkelahian antar saudara tersebut apabila dipupuk secara terus menurus,

dikhawatirkan akan berdampak sampai dewasa, diantaranya yaitu remaja awal akan

memupuk kebencian sampai seumur hidup dan dapat memutuskan tali persaudaraan,

bahkan ada kejadian dimana saudara kandung ada yang saling membunuh karena

memperebutkan harta warisan. Priatna dan Yulia ( dalam Novijar, 2012) persaingan

1
2

yang terus menerus dipupuk sejak kecil akan terus meruncing saat anak-anak

beranjak dewasa, mereka akan terus bersaing dan terus mendengki, bahkan ada

kejadian dimana saudara kandung saling membunuh karena memperebutkan warisan.

Data di lapangan, terjadi di salah satu sekolah menyebutkan ada beberapa

anak yang di rumahnya memiliki saudara dan orang tua sibuk bekerja dengan

tuntutan yang tinggi pada anak-anak, membuat anak di sekolah suka berkelahi, dan

ternyata dari hasil pemantauan guru BP di sekolah dengan memanggil orang tua

murid dari salah satu anak yang suka berkelahi tersebut, orang tua mengatakan bahwa

perkelahian tersebut juga sering terjadi dengan saudaranya di rumah. Sebuah

penelitian dari Bank, Burraston, & Snyder (dalam Santrock, 2004) mengungkapkan

perpaduan antara pengasuhan yang tidak effektif, konflik orang tua dan remaja, dan

konflik antar saudara seperti memukul dan berkelahi dapat terjadi di rentang usia 10-

12 tahun dan usia 12-16 tahun terkait dengan perilaku antisosial hubungan dengan

teman sebaya yang buruk.

Sibling Rivalry terjadi karena anak merasa perhatian orang tua padanya

berkurang, sementara perhatian pada saudaranya berlebih yang menimbulkan rasa iri

dan persaingan antar saudarapun terjadi. Berbagai cara dilakukan anak untuk

mendapatkan kembali perhatian dari kedua orangtuanya, akan tetapi cara yang

digunakan seringkali tidak sesuai dengan tuntutan prilaku yang diharapkan di

lingkungan sosialnya. Perkelahian antar saudara tersebut apabila dipupuk secara terus

menurus, dikhawatirkan akan berdampak sampai dewasa. Persaingan yang terus


3

menerus dipupuk sejak kecil akan terus meruncing saat anak-anak beranjak dewasa,

mereka akan terus bersaing dan terus mendengki.

Persaingan saudara kandug adalah suatu hal yang normal terjadi dalam suatu

keluarga dengan berbagai macam bentuk persaingan di antara kakak dan adik. Selama

persaingan tersebut tidak ada kebencian dalam hati dan tidak ada motif-motif negatif

lainnya (Priatna & Yulian, 2006). Perlakuan orang tua yang berbeda terhadap anak

dapat berpengaruh pada kecemburuan, gaya kelekatan, dan harga diri yang pada

gilirannya bisa menimbulkan distres pada hubungan romantis dikemudian hari (Rauer

& Volling, 2007). Dalam hal ini, biasanya orang tua lebih merasa nyaman dengan

salah satu anak dibanding anaknya yang lain. Secara emosional, ikatan mereka

biasanya lebih kuat. Kalau mau berpergian atau meminta bantuan, anak

kesayangannya itu yang menjadi prioritas utamanya, sehingga seakan anak

kesayangan ini memiliki “nilai lebih” dibanding anak yang lain.

Rasa bersaing itu muncul pada anak-anak yang merasa diperbandingkan oleh

orang tuanya dan adanya perasaan diabaikan ketika orang tua menganak emaskan

saudaranya. Sikap orang tua yang seperti ini yang dapat menciptakan suasana

persaingan pada anak-anaknya. Sebab kasih sayang orang tua biasanya lebih tertuju

pada siapa yang di anggap memenuhi harapan orang tua. Dalam kondisi ini, peran

kedua orang tua sangat penting, walaupun pada hakekatnya semua orang tua pasti

merasa dirinya telah bersikap adil pada semua anak-anaknya, dengan cara memenuhi

permintaan anaknya secara merata. Namun demikian, disadari atau tidak, rasa sayang
4

pada salah satu anak akan selalu ada di dalam sebuah keluarga, apalagi jika keluarga

itu terdiri dari dua anak atau lebih. Biasanya bapak memiliki anak kesayangan

sendiri, begitu pula dengan ibu. (Cholid, 2004)

Jika kondisi itu terjadi, maka sebenarnya orang tua telah membuat konflik,

pertengkaran dan persaingan yang negatif antar anak-anaknya. Sang kakak mungkin

akan merasa cemburu dan iri pada adiknya, karena telah berhasil merenggut seluruh

kenikmatan yang dia terima selama ini dari orang tuanya. Demikian pula sebaliknya,

sang adik merasa iri dan cemburu pada kakaknya karena selalu dibandingkan dalam

setiap tingkah lakunya, sehingga orang tua seakan tak pernah memperhatikan

anaknya yang lebih muda meskipun memiliki prestasi yang jauh lebih bagus dari

kakaknnya.

Sikap orang tua terhadap anak dipengaruhi oleh sejauh mana anak

mendekati keinginan dan harapan orang tua. Sikap orang tua juga dipengaruhi oleh

sikap dan prilaku anak terhadap anak yang lain dan terhadap orang tuanya. Bila

terdapat rasa pesaingan atau permusuhan, sikap orang tua terhadap semua anak

kurang menguntungkan dibanding bila mereka satu sama lain bergaul cukup baik.

Oleh karena itu, sikap yang baik dan bijaksana adalah orang tua bersikap netral dan

objektif, yaitu orang tua tidak memihak salah satu anaknya dan tidak menyalahkan

prilaku anak yang lainnya. Orang tua menjadi penengah dan berusaha untuk

menyadarkan anak-anak bahwa konflik yang tidak dapat diselesaikan hanya akan

menyebabkan kehancuran hubungan keluarga. Anak yang mmenyadari kesalahan dan


5

meminta maaf sedangkan anak yang lain mengampuni kesalahan tersebut maka akan

tercipta kedamaian, kerukunan, dan keharmonisan hubungan antara anak-anak yang

satu dengan yang lain di keluarga.

Kehidupan remaja tidak terlepas dari berbagai macam permasalahan yang

ada dalam setiap tahap perkembangannya. Permasalahan yang ada tersebut dapat

bersumber dari berbagai macam faktor seperti dari dalam diri sendiri, keluarga, teman

sepergaulan atau lingkungan sosial. Masalah-masalah yang dihadapi memberikan

suatu bentuk ujian bagi para remaja agar mampu menyesuaikan diri dengan

lingkungan sekitar mereka. Hal ini dikarenakan oleh berbagai macam pertimbangan

pada masa remaja sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak

dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan sosio-

emosional (Santrock, 2007).

Lembaga keluarga tidak selalu menjadi tempat yang baik bagi

perkembangan anak. Apabila keluarga dapat menjalankan fungsinya dengan baik,

maka dimungkinkan tumbuh generasi yang berkualitas. Sebaliknya, bila keluarga

tidak dapat berfungsi dengan baik, bukan tidak mungkin akan menghasilkan generasi-

generasi yang bermasalah yang dapat menjadi beban sosial masyarakat. (Lestari,

2012).

Keluarga adalah tempat yang penting dimana anak memperoleh dasar dalam

membentuk kemampuannya agar kelak menjadi orang yang berhasil dimasyarakat


6

(Gunarsa, 2001). Oleh karena itu pendidikan awal yang didapat anak dalam

keluarganya sangat mempenngaruhi tumbuh kembang anak pada usia selanjutnya.

Hal tersebut mau tidak mau orang tua dituntut untuk mengajarkan dan membimbing

anaknya sebaik mungkin. Namun ternyata hal tersebut terbentur oleh jenis pola asuh

apa yang diterapkan oleh masing-masing orang tua untuk menciptakan keluarga yang

ideal. Karena terkadang bentuk pola asuh yang diterapkan malah munculkan hal-hal

negatif pada diri anak dengan timbulnya berbagai macam masalah pada hubungan

keluarga tesebut.

Santrock (2002), menjelaskan bahwa keluarga adalah system individu yang

berinteraksi dengan subsistem yang didalamnya terjadi proses sosialisasi antara anak

dengan orang tua. Namun, seorang anak itu tidak hanya berinteraksi dengan orang

tuanya saja, tapi juga berinteraksi dengan saudara-saudaranya, bahkan hubungan

antar saudara itu juga memegang peranan penting dalam keluarga itu, baik bagi

perkembangan anak maupun bagi hubungan keluarga itu sendiri. Buktinya, apabila

hubungan antar saudarabaik, maka hubungan keluarga pun akan cenderung baik pula.

Begitu juga sebaliknya, apabila hubungan antar saudara kurang baik, maka akan

mengganggu hubungan sosial dan pribadi anggota keluarga lainnya, sehingga

menimbulkan konflik di dalam keluarga tersebut.

Menurut Hurlock (1992) secara umum ada tiga macam pola asuh orangtua

terhadap anak yaitu, tipe pola asuh pertama demokratis, tipe pola asuh kedua adalah

permisif, tipe pola asuh ketiga adalah otoriter. Ketiga pola asuh orangtua tersebut
7

memiliki karakteristik yang berbeda-beda Gaya pengasuhan yang berbeda-beda

terhadap anak akan menghasilkan sikap dan perilaku berbeda-beda pula. Pada

umumnya pola pengasuhan orangtua dibedakan menjadi tiga. pertama pola asuh

demoktratis; kedua pola asuh otoriter; ketiga pola asuh permisif. (Kartono, 1992)

Menurut Hurlock (1992) pola asuh demokrasi adalah salah satu teknik atau

cara mendidik dan membimbing anak, di mana orangtua bersikap terbuka terhadap

tuntutan dan pendapat yang dikemukakan anak, kemudian mendiskusikan hal tersebut

bersama sama. Pola ini lebih memusatkan perhatian pada aspek pendidikan daripada

aspek hukuman, orangtua memberikan peraturan yang luas serta memberikan

penjelasan tentang sebab diberikannya hukuman serta imbalan tersebut. pola asuh

demokrasi ditandai dengan sikap menerima, responsif, berorientasi pada kebutuhan

anak yang disertai dengan tuntutan, kontrol dan pembatasan. Jadi penerapan pola

asuh demokrasi dapat memberikan keleluasaan anak untuk menyampaikan segala

persoalan yang dialaminya tanpa ada perasaan takut, keleluasaan yang diberikan

o`rangtua tidak bersifat mutlak akan tetapi adanya kontrol dan pembatasan

berdasarkan norma-norma yang ada.

Berlawanan dengan pola asuh demokratis, terdapat pola asuh otoriter.

Menurut Kartono (1992) pola asuh otoriter ditandai dengan ciri-ciri sikap orangtua

yang kaku dan keras dalam menerapkan peraturan-peraturan maupun disiplin.

Orangtua bersikap memaksa dengan selalu menuntut kepatuhan anak, agar

bertingkah laku seperti yang dikehendaki oleh orangtuanya. Karena orangtua tidak
8

mempunyai pegangan mengenai cara bagaimana mereka harus mendidik, maka

timbullah berbagai sikap orang tua yang mendidik menurut apa yang dinggap terbaik

oleh mereka sendiri, diantaranya adalah dengan hukuman dan sikap acuh tak acuh,

sikap ini dapat menimbulkan ketegangan dan ketidak nyamanan, sehingga

memungkinkan kericuhan di dalam rumah.

Pola asuh yang sering diterapkan selain pola asuh demokratis dan otoriter

yaitu pola asuh permisif. Menurut Kartono (1992) dalam pola asuh permisif, orangtua

memberikan kebebasan sepenuhnya dan anak diijinkan membuat keputusan sendiri

tentang langkah apa yang akan dilakukan, orangtua tidak pernah memberikan

pengarahan dan penjelasan kepada anak tentang apa yang sebaiknya dilakukan anak,

dalam pola asuh permisif hampir tidak ada komunikasi antara anak dengan orangtua

serta tanpa ada disiplin sama sekali.

Nadeak (1991) berpendapat bahwa untuk membina hubungan timbal-balik

yang harmonis diantara orangtua dan anak remajanya, orangtua perlu menciptakan

suasana agar remaja itu merasa terbuka untuk menyelesaikan masalah mereka dengan

baik. Suasana yang kondusif bagi orangtua dan anak dapat tercipta jika orangtua

mampu menerapkan pola asuh yang positif bagi perkembangan anak. Sebagai

pengasuh dan pembimbing dalam keluarga, orangtua sangat berperan dalam

meletakkan dasar-dasar perilaku bagi anak-anaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan

orangtua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang kemudian semua itu

secara sadar atau tak sadar diresapinya dan kemudian menjadi kebiasaan pula bagi
9

anak-anaknya. Hal demikian disebabkan karena anak mengidentifikasikan diri pada

orangtuanya sebelum mengadakan identifikasi dengan orang lain (Bonner dalam

Tarmudji, 2001).

Milevsky, dkk (dalam Suryawardhani dan Paramita 2015) menjelaskan

bahwa orangtua memberikan kontribusi dalam membentuk kualitas sibling

relationship yaitu dengan pola asuh yang digunakan. Pola asuh orang tua sangat

penting dalam menghadapi masalah pada anak yang sangat mengganggu yang

disebabkan oleh ikatan-ikatan kebersamaan dan ikatan emosional yang

mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari keluarga. Pola asuh orang tua pada

kehidupan anak tidak hanya mempengaruhi kehidupan tiap individu anak, tetapi juga

hubungan antar saudara. Persaingan saudara terutama merupakan masalah peka

karena anak tidak hanya membandingkan dirinya dengan saudara kandungnya yang

lain melainkan ia juga menilai bagaimana orangtuanya membandingkan dengan

saudaranya yang lain. Ini merupakan beban yang berat bagi anak. Kompetisi antar

saudara bisa menghasilkan manfaat,

Banyak permasalahan yang timbul oleh karena pola asuh yang kurang tepat

misalnya memberikan perhatian yang lebih pada anak yang lain sehingga akan

menimbulkan reaksi sibling rivalry. Tidak ada orang tua yang menerapkan salah satu

macam pola asuh dengan murni, dalam mendidik anak-anaknya. Orang tua

menerapkan berbagai macam pola asuh dengan memiliki kecenderungan kepada salah

satu macam pola.


10

Berdasarkan latar belakang di atas diketahui bahwa pola asuh orang tua

berkorelasi dengan sibling rivalry pada anak. Dari penelitian Suryawardhani (2015),

juga menunjukkan adanya hubungan pola asuh orang tua dengan sibling rivalry.

Maka dari situlah peneliti ingin meninjau kembali dari hubungan itu pada tiap pola

asuh yang diterapkan orang tua apakah menunjukkan perbedaan tingkat sibling

rivalry. Dalam penelitian ini, peniliti memilih SMA Wachid Hasyim 2 karena

mayoritas siswa disana tergolong pada usia remaja yang sesuai dengan apa yang

diharapkan pada penelitian ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti tertarik meneliti tentang

Hubungan Pola Asuh Demokratis dengan tingkat Sibling Rivalry pada Remaja,

Sehingga, rumusan masalahnya sebagai berikut :

Apakah terdapat Perbedaan tingkat Sibling Rivalry pada Remaja Ditinjau dari Pola

Asuh Orang Tua?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Perbedaan Tingkat Sibling

Rivalry pada Remaja Ditinjau dari Pola Asuh Orang Tua.


11

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi

mengenai sibling rivaalry dan pola asuh orang tua dalam pengembangan

ilmu psikologi, khususnya paikologi perkembangan.

2. Manfaat Praktis

Dari hasil penelitian ini diharapkan :

a. Bagi orang tua, dapat menjadikaan hasil penelitian sebagai bahan

evaluasi untuk lebih dalam melihat prilaku anak dengan saudaranya.

b. Bagi peneliti lain, dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk

peneliti selanjutnya, khususnya mengenai tingkat Sibling Rivalry pola

asuh Demokratis.

E. Keaslia Penelitian

Untuk mendukung penelitian ini, peneliti menemukan beberapa kajian riset

terdahulu mengenai variabel Sibling Rivalry dan pola asuh untuk dijadikan sebagai

pedoman dalam penelitian ini. Di antaranya yaitu :

1. Penelitian oleh Cucuh Sopiah, dkk (2013). Hasil dari penelitian tersebut

adalah terdapat hubungan negatif antara pola asuh authoritarian dengan


12

Sibling Rivalry. Besarnya pengaruh pola asuh authoritarian dan

kecerdasan emosi degan Sibling Rivalry remaja awal pada subjek

penelitian ini adalah 1,8% yang berarti 98,2% dan sisanya di pengaruhi

oleh faktor-fator lain selain pola asuh otoriter.

2. Penelitian Intan Setiawati dan Anita Zulkaida (2007). Meneliti tentang

anak sibling rivalry pada anak sulung yang diasuh oleh single father, dan

dari dua subjek, semuanya mengalami sibling rivalry, namun kadar sibling

rivalry antara kedua subjek berbeda, dimana perilaku sibling rivalry pada

subjek pertama bersifat lebih agresif dibandingkan subjek kedua. Hal ini

terlihat dari perilaku-perilaku subjek ketika sedang marah terhadap

adiknya. Faktor yang mempengaruhi perilaku sibling rivalry subjek

bersifat internal maupun eksternal.

3. Penelitian Novijar (2012), menunjukkan bahwa subjek yang ditelitinya

mengalami sibling rivalry terhadap saudara kembar laki-lakinya. Hal ini

dapat dilihat dari intensitas pertengkaran subjek, baik secara fisik maupun

secara verbal dengan saudara kembarnya tersebut yang terjadi hampir

setiap saat mereka bertemu. Sering terjadi perselisihan diantara mereka,

saling mengejek dan memaki dengan kata-kata kasar, sering tidak saling

berteguran satu sama lain, serta saling mencari perhatian lebih dari orang

tua mereka, dijelaskan dalam penelitian tersebut bahwa faktor yang

menyebabkan sibling rivalry adalah perasaan favoritisme orang tua

terhadap salah satu anak, perhatian orang tua yang terbagi, penolakan
13

terhadap saudara kandung lain, serta sikap membandingkan orang tua dan

orang-orang sekitar terhadap saudara kembar.

4. Penelitian Nur Agustin (2013), Dengan hasil Hasil penelitian ada

hubungan pola asuh dominan orang tua dengan sibling rivalry anak usia

pra sekolah dan Pola asuh yang diterapkan orang tua sangat erat

hubungannya dengan kepribadian pada anak. Orang tua yang salah

menerapkan pola asuh akan membawa akibat buruk bagi perkembangan

jiwa anak. Untuk itu, orang tua janganlah selalu memberikan yang

diinginkan anak namun berikanlah yang sesuai dengan kebutuhan anak.

5. Penelitian oleh Media Sari (2012), Faktor Peyebab Dan Dampak

Psikologis Persaingan Antar Saudara Kandung Pada Mahasiswa Yang

Tinggal Satu Kost. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor

penyebab persaingan antar saudara kandung ada dua faktor

6. Penelitian Annisa Suryawardhani dan Pramesti Pradna Paramita (2015).

Hubungan antara Persepsi Terhadap Pola Asuh Orangtua dengan Sibuling

Rivalry pada Remaja Awal. Dengan hasil, Terdapat hubungan antara

persepsi pola asuh orangtua (permisif) dengan sibling rivalry pada remaja

awal dengan arah negatif, dimana mengindikasikan bahwa ketika dimensi

pola asuh permisif tinggi, akan diikuti dengan rendahnya sibling rivalry

pada anak, begitu juga sebaliknya. Terdapat hubungan antara persepsi pola

asuh orangtua (otoriter) dengan sibling rivalry pada remaja awal yang

menghasilkan arah positif dengan kekuatan hubungan yang lemah, dimana


14

semakin orangtua menerapkan pola asuh otoriter, semakin tinggi

persaingan yang ditunjukkan oleh anak. Terdapat hubungan antara

persepsi pola asuh orangtua (otoritatif) dengan sibling rivalry pada remaja

awal dan menghasilkan arah yang positif dengan kekuatan hubungan yang

lemah, dimana semakin orangtua menerapkan pola asuh otoritatif,

semakin tinggi persaingan yang ditunjukkan oleh anak. Hasil penelitian

menyebutkan orangtua yang permisif memiliki sibling rivalry yang

rendah. Pola asuh permisif dicirikan dengan tidak menuntut banyak dari

anak namun mereka cukup responsif terhadap anak. Orangtua tidak

menuntut kedewasaan perilaku dari anak serta memberikan sedikit

standar, aturan, dan larangan yang jelas yang dapat mendorong anak untuk

bertanggung jawab dan menghormati orang lain, sehingga orangtua

disarankan untuk memberikan penerimaan yang cukup kepada anak

dengan pemberian tuntutan yang rendah. Berdasarkan hasil penelitian,

subyek mengalami sibling rivalry dalam tingkat yang berbeda-beda.

Hasil review beberapa jurnal penelitian tentang variabel pola asuh orang tua

dan sibling rivalry menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut telah menjadi tema

penelitian yang umum dan banyak dikembangkan. Namun, penelitian ini memiliki

perbedaan dengan penelitian sebelumnya, yaitu terletak pada setting, dasar teori,

subjek penelitian, instrumen, serta analisis data. Pada penelitian ini, peneliti ingin
15

melihat apakah ada perbedaan tingkat sibling rivalry pada remaja dari tiap-tiap pola

asuh yang diterapkan oleh orang tua berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya

yang menunjukkan adanya hubungan pola asuh orang tua dengan sibling rivalry.

Anda mungkin juga menyukai