Anda di halaman 1dari 42

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Appendicitis

2.1.1 Definisi

Appendicitis merupakan inflamasi akut pada appendicitis verniformis dan

merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.

(Brunner&Suddarth, 2014). Appendicitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus

buntu atau umbai cacing ( appendiks ). Usus buntu sebenarnya adalah sekum

(caecum). Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan

tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya. (Wim

de Jong et al, 2010).

Peradangan appendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ, dimana

patogenis utamanya diduga karena obstruksi pada lumen yang disebabkan oleh fekalit

(feses keras yang terutama disebabkan oleh serat) (Wim de Jong et al, 2010).

Usus buntu atau apendis merupakan bagian usus yang terletak dalam pencernaan.

Untuk fungsinya secara ilmiah belum diketahui secara pasti, namun usus buntu ini

terkadang banyak sekali sel-sel yang berfungsi untuk mempertahankan atau imunitas

tubuh. Dan bila bagian usus ini mengalami infeksi akan sangat terasa sakit yang luar

biasa bagi pasiennya (Say dam Gozali, 2011)


2.1.2 Anatomi dan Fisiologis Appendicitis

a. Anatomi Appendicitis

Appendiks vermiformis atau yang sering disebut sebagai appendiks adalah

organ berbentuk tabung dan sempit yang mempunyai otot dan banyak mengandung

jaringan limfoid. Panjang appendiks vermiformis bervariasi dari 3-5 inci (8-13 cm).

Dasarnya melekat pada9 permukaan aspek posteromedial caecum, 2,5 cm dibawah

juncture iliocaecal dengan lainnya bebas. Lumennya melebar di bagian distal dan

menyempit di bagian proksimal (S. H. Sibuea, 2014). Appendiks vermiformis

terletak pada kuadran kanan bawah abdomen di region iliaca dextra. Pangkalnya

diproyeksikan ke dinding anterior abdomen pada titik sepertiga bawah yang

menghubungkan spina iliaca anterior superior dan umbilicus yang disebut titik

McBurney (Siti Hardiyanti Sibuea, 2014).

Hampir seluruh permukaan appendiks dikelilingi oleh peritoneum dan

mesoappendiks (mesenter dari appendiks) yang merupakan lipatan peritoneum

berjalan kontinue disepanjang appendiks dan berakhir di ujung appendiks.

Vaskularisasi dari appendiks berjalan sepanjang mesoappendiks kecuali di ujung

dari appendiks dimana tidak terdapat mesoappendiks. Arteri apendikular, derivate

cabang inferior dari arteri ileocoli yang merupakan trunkus mesentrik superior.

Selain arteri apendikular yang memperdarahi hampir seluruh appendiks, juga

terdapat kontribusi dari arteri asesorius. Untuk aliran balik, vena apendiseal cabang

dari vena ileocolic berjalan ke vena mesentrik superior dan kemudian masuk ke

sirkulasi portal (Eylin, 2009).

6
b.Fisiologi Appendicitis

Secara fisiologis, appendiks menghasilkan lendir 1 – 2 ml per hari. Lendir

normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalirkan ke sekum.

Hambatan aliran lendir di muara appendiks berperan pada patogenesis appendiks.

Immunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lympoid

Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran pencerna termasuk appendiks ialah IgA.

Immunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi.

Namun demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh

karena jumlah jaringan limfa isini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya

disaluran cerna dan diseluruh tubuh (Arifin, 2014)

2.1.2 Etiologi

Penyebab terjadinya apendisitis dapat terjadi karena adanya makanan keras

yang masuk ke dalam usus buntu dan tidak bisa keluar lagi. Setelah isi usus

tercemar dan usus meradang timbulah kuman-kuman yang dapat memperparah

keadaan tadi (Saydam Gozali, 2011). Apendisitis akut merupakan infeksi bakteri.

berbagai hal sebagai faktor pencetusnya:

a. Sumbatan lumen appendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor

pencetus disamping hyperplasia jaringan limfe, tumor appendiks dan cacing

askaris.

b. Penyebab lain penyebab appendiks karena parasit seperti E. hystolitica.

c. Penelitian Epidemiologi mengatakan peran kebiasaan makan makanan yang

rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.

7
Konstipasi akan menarik bagian intrasekal, yang berakibat timbulnya tekanan

intrasekal dan terjadi penyumbatan sehingga meningkatnya pertumbuhan

kuman flora kolon (R Tsamsuhidajat & Wim De jong, 2010).

2.1.3 Manifestasi Klinis

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang di dasari dengan

radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun

tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis adalah:

a. Nyeri visceral epigastrium.

b. Nafsu makan menurun.

c. Dalam beberapa jam nyeri pindah ke kanan bawah ke titik Mc

Burney.

d. Kadang tidak terjadi nyeri tapi konstipasi.

e. Pada anak biasanya rewel, nafsu makan turun karena focus pada

nyerinya, muntah-muntah, lemah, latergik, pada bayi 80-90%

apendisitis terjadi perforasi (Tsamsuhidajat & Wong de jong, 2010).

Manisfestasi klinis lainya adalah:

a. Nyeri dikuadran kanan bawah disertai dengan demam ringan, dan terkadang

muntah kehilangan nafsu makan kerap dijumpai konstipasi dapat terjadi.

b. Pada titik Mc Burney (terletak diantara pertengahan umbilicus dan spina

anterior ileum), terasa nyeri tekan local dan kekakuan otot bagian bawah rektus

kanan.

8
c. Nyeri pantul dapat dijumpai lokasi appendiks menentukan kekuatan nyeri

tekan, spasme otot dan adanya diare atau konstipasi.

d. Jika appendiks pecah, nyeri lebih menyebar abdomen menjadi lebih terdistensi

akibat ileus paralitik dan kondisi memburuk. (Brunner & Suddarth, 2014).

Jadi berdasarkan referensi diatas, manisfestasi yang sering muncul pada kasus

apendisitis adalah nyeri namun kadang bisa juga tanpa nyeri namun terjadinya

konstipasi. Pada anak-anak biasanya ditemukan data yaitu nafsu makan menurun,

terjadinya penurunan kesadaran hingga terjadinya perforasi.

2.1.4 Patofisiologi

Appendicitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang

disebabkan oleh feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai dengan

pengamatan epidemiologi bahwa appendicitis berhubungan dengan asupan serat

dalam makanan yang rendah (Burkitt, 2007).

Pada stadium awal dari appendicitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi

mukosa. Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan

muskular dan serosa (peritoneal). Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada

permukaan serosa dan berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang

bersebelahan, seperti usus atau dinding abdomen, menyebabkan peritonitis lokal

(Burkitt, 2007).

Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam lumen,

yang menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai appendiks

menjadi bertrombosit dan appendiks yang kurang suplai darah menjadi nekrosis

9
atau gangren. Perforasi akan segera terjadi dan menyebar ke rongga peritoneal. Jika

perforasi yang terjadi dibungkus oleh omentum, abses lokal akan

terjadi(Burkitt,2007).

10
Invasi & Multiplikasi

2.1.5 Pathway
APPENDICITIS

Peradangan pada Mual Muntah Sekresi mucus berlebih


jaringan pada lumen appendiks

Kerusakan control suhu Resiko Hipovolemia


terhadap inflamasi Appendik teregang

Hipertermia Nyeri Akut

operasi

Luka insisi Defisit Anestesi

Kerusakan Peristaltic usus menurun


Ansetias
jaringan

Ujung saraf terputus Distensi abdomen

Pelepasan prostagladin
Mual muntah

Spinal cord Nyeri akut


Resiko Hipovolemia

Cortex serebri Nyeri dipersepsikan Sumber : Nurarif & Kusuma, 2016


Gambar 2.1 pathway appendicitis

2.1.6 Penatalaksanaan

Menurut (Wijaya & Putri, 2013) penatalaksanaan medis pada

appendicitis meliputi :

a. Sebelum operasi

1. Observasi

Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan

gejala appendicitis seringkali belum jelas, dalam

keadaan ini observasi ketat perlu dilaksanakan. Klien

diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan.

Pemeriksaan abdomen dan rektal serta pemeriksaan

darah (leukosit dan hitung jenis) diulang secara

periodik, foto abdomen dan toraks tegak dilakukan

untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain.

Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan dengan

lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam

setelah timbulnya keluhan.

2. Antibiotik

Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya

infeksidan abses intra abdominal luka operasi pada

klien apendiktomi.Antibiotik diberikan sebelum, saat,

hingga 24 jam pasca operasi dan melalui cara

pemberian intravena (IV) (Sulikhah, 2014).

12
b. Operasi

Tindakan operasi yang dapat dilakukan adalah

apendiktomi. Apendiktomi adalah suatu tindakan pembedahan

dengan cara membuang appendiks (Wiwik Sofiah, 2017).

Indikasi dilakukannya operasi apendiktomi yaitu bila diagnosa

appendicitis telah ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Pada

keadaan yang meragukan diperlukan pemeriksan penunjang

USG atau CT scan.

Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anastesi umum atau

spinal dengan insisi pada abdomen bawah. Anastesi diberikan

untuk memblokir sensasi rasa sakit. Efek dari anastesi yang

sering terjadi pada klien post operasi adalah termanipulasinya

organ abdomen sehingga terjadi distensi abdomen dan

menurunnya peristaltik usus. Hal ini mengakibatkan belum

munculnya peristaltik usus (Mulya, 2015) .

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Kiik, 2018)

dalam 4 jam pasca operasi klien sudah boleh melakukan

mobilisasi bertahap, dan dalam 8 jam pertama setelah perlakuan

mobilisasi dini pada klien pasca operasi abdomen terdapat

peningkatan peristaltik usus bahkan peristaltik usus dapat

kembali normal. Kembalinya fungsi peristaltic usus akan

memungkinkan pemberian diet, membantu pemenuhan

kebutuhan eliminasi serta mempercepat proses penyembuhan.

13
Sedangkan pada laparaskopi apendiktomi dilakukan dengan

membuat 3 sayatan kecil di perut sebagai akses, lubang pertama

dibuat dibawah pusar, fungsinya untuk memasukkan kamera

super mini yang terhubung ke monitor ke dalam tubuh, melalui

lubang ini pula sumber cahaya dimasukkan. Sementara dua

lubang lain di posisikan sebagai jalan masuk peralatan bedah

seperti penjepit atau gunting. Ahli bedah mengamati organ

abdominal secara visual dan mengidentifikasi appendiks.

Appendiks dipisahkan dari semua jaringan yang melekat,

kemudian appendiks diangkat dan dikeluarkan melalui salah

satu sayatan (Hidayatullah, 2014).

Jika appendiks mengalami perforasi bebas, maka abdomen

dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika.Tindakan

pembedahan dapat menimbulkan luka insisi sehingga pada

klien post operasi apendiktomi dapat terjadi resiko infeksi luka

operasi.

c. Pasca operasi

Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui

terjadinya perdarahan di dalam, syok, hipertermia atau

gangguan pernapasan. Klien dibaringkan dalam posisi

terlentang. Klien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi

gangguan. Puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali

normal. Operasi apendiktomi dapat dilakukan dengan 2 teknik,

14
yaitu operasi apendiktomi terbuka dan laparaskopi

apendiktomi. Apendiktomi terbuka dilakukan dengan cara

membuat sebuah sayatan dengan panjang sekitar 2 – 4 inci pada

kuadran kanan bawah abdomen dan appendiks dipotong

melalui lapisan lemak dan otot appendiks. Kemudian appendiks

diangkat atau dipisahkan dari usus (Dewi, 2015).

2.1.7 Komplikasi

Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan appendicitis.Adapun

jenis komplikasi menurut (Sulekale, 2016) adalah :

a. Abses

Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus.

Teraba massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah

pelvis. Massa ini mulamula berupa flegmon dan

berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini

terjadi apabila appendicitis gangren atau mikroperforasi

ditutupi oleh omentum. Operasi appendektomi untuk

kondisi abses appendiks dapat dilakukan secara dini

(appendektomi dini) maupun tertunda (appendektomi

interval). Appendektomi dini merupakan appendektomi

yang dilakukan segera atau beberapa hari setelah

kedatangan klien di rumah sakit. Sedangkan appendektomi

interval merupakan appendektomi yang dilakukan setelah

15
terapi konservatif awal, berupa pemberian antibiotika

intravena selama beberapa minggu.

b. Perforasi

Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus

sehingga bakteri menyebar ke rongga perut. Perforasi

jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi

meningkat tajam sesudah 24 pergerakan lebih lanjut atau

kebocoran dari isi lambung ke rongga perut. Mengatasi

peritonitis dapat dilakukan oprasi untuk memperbaiki

perforasi, mengatasi sumber infeksi, atau dalam beberapa

kasus mengangkat bagian dari organ yang terpengaruh .

c. Peritonitis

Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum. Bila infeksi

tersebar luas pada permukaan peritoneum dapat

menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas

peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus

meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan

dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oliguria. Peritonitis

disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri

abdomen, demam, dan leukositosis. Pasien peritonitis akan

disarankan untuk menjalani rawat inap di rumah sakit.

Beberapa penanganan bagi pasien peritonitis adalah

16
a. Pemberian obat-obatan. Pasien akan diberikan

antibiotik suntik atau obat antijamur bila dicurigai

penyebabnya adalah infeksi jamur, untuk mengobati

serta mencegah infeksi menyebar ke seluruh tubuh.

Jangka waktu pengobatan akan disesuaikan dengan

tingkat keparahan yang dialami klien.

b. Pembedahan. Tindakan pembedahan dilakukan untuk

membuang jaringan yang terinfeksi atau menutup

robekan yang terjadi pada organ dalam.

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Fisik

1) Inspeksi: Akan tampak adanya tanda pembengkakan (swelling),

rongga perut dimana dinding perut tampak mengencang

(distensi).

2) Palpasi: Dibagian perut kanan bawah akan terasa nyeri

(Blumbeng Sign) yang mana merupakan kunci dari diagnosis

apendsitis akut.

3) Dengan tindakan tungkai dan paha kanan ditekuk kuat / tungkai

di angkat tingi-tinggi, maka rasa nyeri akan semakin parah

(Psoas Sign).

4) Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin parah

apabila pemeriksaan dubur dan vagina terasa nyeri.

17
5) Suhu dubur atau rectal yang lebih tinggi dari suhu ketiak, lebih

menunjang lagi adanya radang usus buntu.

2. Pemeriksaan Laboratorium

Kenaikan dari sel darah putih hingga sekitar 10.000-

18.000/mm3. Jika terjadi peningkatan lebih dari itu, maka

kemungkinan appendiks telah mengalami perforasi (pecah).

3. Pemeriksaan Radiologi

1) Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit (jarang

membantu).

2) Ultrasonografi USG

3) CT-Scan.

Berdasarkan referensi diatas, yang menjadi kunci tata

laksana penentuan diagnosa apendisitis yaitu dengan dilakukan

pemeriksaan fisik yaitu salah satunya dengan mempalpasi

bagian perut bagian

2.2 Konsep Masalah Keperawatan Nyeri

2.2.1 Definisi

IASP International Association for the Study of Pain

mendefinisikan nyeri merupakan suatu sensori yang tidak menyenangkan

dan pengalaman emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan

aktual atau potensial. Nyeri akut merupakan pengalaman sensorik yang

berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual dengan onset mendadak dan

18
berintensitas ringan hingga berat dan berlangsung kurang dari tiga bulan (

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016 ).

2.2.2 Etiologi

Penyebab nyeri akut salah satunya adalah agen pencedera fisik

(prosedur operasi) (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017). Nyeri merupakan

suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi tunggal yang disebabkan

oleh stimulus tertentu. Nyeri bersifat subjektif dan individual (Potter &

Perry, 2010). Nyeri juga merupakan pengalaman sensori dan emosional

yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau

potensial (Smeltzer & Bare, 2001).

Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit

atau intervensi bedah, dan memiliki awitan bedah yang cepat, dengan

intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat) serta berlangsung singkat

(kurang dari enam bulan) dan menghilang dengan atau tanpa pengobatan

setelah keadaan pulih pada area yang rusak. Nyeri akut biasanya

berlangsung singkat, misalnya nyeri pada fraktur. Klien yang mengalami

nyeri akut biasanya menunjukkan gejala perspirasi meningkat, denyut

jantung dan tekanan darah meningkat.

Nyeri ini biasanya berlangsung tidak lebih dari enam bulan.

Awitan gejalanya mendadak dan biasanya penyebab serta lokasi nyeri

sudah diketahui. Nyeri akut ditandai dengan peningkatan tegangan otot

dan kecemasan yang keduanya meningkatkan persepsi nyeri.

19
Terdapat tiga komponen fisiologis dalam nyeri yaitu resepsi,

persepsi, dan reaksi. Stimulus penghasil nyeri mengirimkan impuls

melalui serabut saraf perifer. Serabut nyeri memasuki medula spinalis dan

menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya sampai di dalam

masa berwarna abu-abu di medula spinalis. Terdapat pesan nyeri dapat

berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri

sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke korteks

serebral, maka otak menginterpretasi kualitas nyeri dan memproses

informasi tentang pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki serta

asosiasi kebudayaan dalam upaya mempersiapkan nyeri (Potter & Perry,

2010).

2.2.3 Tanda dan gejala

Menurut Tim Pokja SDKI PPNI (2017), data mayor dan data minor pada

nyeri akut antara lain:

Tabel 2.1 Tanda dan Gejala Mayor Minor Nyeri Akut

Gejala dan Tanda Mayor

Subjektif Objektif

1. Mengeluh nyeri 1. Tampak meringis

2. Bersifat protektif

(misalnya waspada, posisi

menghindari nyeri)

3. Gelisah

20
4. Frekuensi nadi meningkat

5. Sulit tidur

Gejala dan Tanda Minor

Subjektif Objektif

1. Tidak ditemukan data 1. Tekanan darah meningkat

subjektif 2. Pola nafas berubah

3. Nafsu makan berubah

4. Proses berpikir terganggu

5. Menarik diri

6. Berfokus pada diri sendiri

7. Diaforesis

(Sumber : TIM POKJA SDKI DPP PPNI, Standar Diagnosis

Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator diagnostic. 2017)

2.2.4 Patofisiologi

Nyeri timbul akibat adanya rangsangan oleh zat-zat algesik pada

reseptor nyeri yang banyak dijumpai pada lapisan superficial kulit dan pada

beberapa jaringan di dalam tubuh, seperti periosteum, permukaan sendi,

otot rangka dan pulpa gigi. Zat-zat algesik yang mengaktifkan reseptor

nyeri adalah ion K, H, asam laktat, serotonin, bradikinin, histamin dan

prostaglodin.

Respon terhadap stimulus untuk stimulus nyeri disebut nosiseptor

yang merupakan ujung-ujung saraf bebas tidak bermielin yang mampu

21
mengubah berbagai stimulus menjadi impuls saraf, yang diinterpretasikan

oleh otak sebagai sensasi nyeri. Badan-badan sel saraf tersebut terdapat

pada ganglia radiks dorsalis, atau saraf trigeminal pada ganglia trigeminal,

dan badan-badan sel saraf tersebut mengirimkan satu cabang serat saraf

menuju ke perifer, serta cabang lainnya menuju medula spinalis atau batang

otak.

Nosiseptor diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu saraf-saraf

tidak bermielin dan berdiameter kecil yang mengkonduksikan impuls saraf

dengan lambat, yaitu serabut saraf C dan saraf-saraf bermielin berdiameter

lebih besar yang mengkonduksikan impuls-impuls saraf lebih cepat yaitu

serabut saraf Aδ. Impuls-impuls saraf yang dikonduksikan oleh serat

nosiseptor Aδ menghasilkan sensasi nyeri yang tajam dan cepat, sedangkan

serat nosiseptor C menghasilkan sensasi nyeri yang tumpul dan terlambat.

Kebanyakan nosiseptor beujung bebas yang mendeteksi adanya kerusakan

jaringan.

Selama proses inflamasi, nosiseptor menjadi lebih peka dan

mengakibatkan nyeri yang terus menerus. Rangkaian proses yang

menyertai antara kerusakan jaringan sebagai sumber stimuli nyeri sampai

dirasakannya persepsi nyeri adalah suatu proses elektrofisiologik yang

disebut sebagai nosisepsi. Terdapat empat proses dalam nosisepsi, yakni :

transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi.

a. Transduksi

22
Transduksi merupakan proses pengubahan stimuli nyeri (noxious

stimuli) menjadi suatu impuls listrik pada ujung-ujung saraf. Proses

transduksi dimulai ketika nociceptor yaitu reseptor yang berfungsi

untuk menerima rangsang nyeri teraktivasi. Aktivasi reseptor ini

(nociceptors) merupakan sebagai bentuk respon terhadap stimulus

yang datang seperti kerusakan jaringan atau trauma. Trauma tersebut

kemudian menghasilkan mediatormedator nyeri perifer sebagai hasil

dari respon humoral dan neural. Prostaglandin beserta ion H+ dan K+

berperan penting sebagai activator primer nosiseptor perifer serta

menginisiasi respon inflamasi dan sensitisasi perifer yang

menyebabkan pembengkakan jaringan dan nyeri pada lokasi cedera.

b. Transmisi

Transmisi merupakan serangkaian kejadian-kejadian neural yang

membawa impuls listrik melalui sistem saraf ke area otak. Proses

transmisi melibatkan saraf aferen yang terbentuk dari serat saraf

berdiameter kecil ke sedang serta yang berdiameter besar. Saraf

aferen akan ber-axon pada dorsal horn di spinalis. Selanjutnya

transmisi ini dilanjutkan melalui sistem contralateral spinalthalamic

melalui ventral lateral dari thalamus menuju cortex serebral. Proses

penyaluran impuls melalui saraf sensoris setelah proses transduksi.

Impuls ini akan disalurkan oleh serabut Aδ fiber dan C fiber sebagai

neuron pertama dari perifer ke medula spinalis. Proses tersebut

23
menyalurkan impuls noxious dari nosiseptor primer menuju ke sel di

dorsal horn medulla spinalis.

c. Modulasi

Modulasi adalah proses yang mengacu kepada aktivitas neural dalam

upaya mengontrol jalur transmisi nociceptor tersebut. Proses

modulasi melibatkan sistem neural yang komplek. Impuls nyeri

ketika sampai di saraf pusat akan dikontrol oleh sistem saraf pusat

dan mentransmisikan impuls nyeri ini kebagian lain dari system saraf

seperti bagian cortex. Selanjutnya impuls nyeri ini akan

ditransmisikan melalui saraf-saraf descend ke tulang belakang untuk

memodulasi efektor.

d. Persepsi

Persepsi adalah proses yang subjective. Persepsi merupakan hasil

akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari

proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya

menghasilkan suatui perasaan yang subjektif yang dikenal sebagai

persepsi nyeri. Proses persepsi ini tidak hanya berkaitan dengan

proses fisiologis atau proses anatomis saja, akan tetapi juga meliputi

cognition (pengenalan) dan memory (mengingat). Oleh karena itu,

faktor psikologis, emosional, dan berhavioral (perilaku) juga muncul

sebagai respon dalam mempersepsikan pengalaman nyeri tersebut.

24
Proses persepsi ini jugalah yang menjadikan nyeri tersebut suatu

fenomena yang melibatkan multidimensional.

Beberapa traktus asenden berperan dalam mentransmisikan impuls

nosisepsi dari dorsal horn ke target supraspinal, yaitu traktus

spinomesencephalic, spinoreticular dan spinotalamikus, dimana traktus

spinotalamikus merupakan traktus yang utama untuk jalur persepsi. Akson

dari sel dorsal horn bersinaps dengan sel thalamus, yang mengubah

transmisi impuls nosiseptif langsung ke korteks somatosensoris.

2.2.5 Respon Tubuh Terhadap Nyeri

Nyeri sebagai suatu pengalaman sensoris dan emosional tentunya

akan menimbulkan respon terhadap tubuh. Respon tubuh terhadap nyeri

merupakan terjadinya reaksi endokrin berupa mobilisasi hormon-hormon

katabolik dan terjadinya reaksi imunologik, yang secara umum disebut

sebagai respon stres.

Efek nyeri terhadap psikologi Pasien yang menderita nyeri akut

yang berat akan mengalami gangguan kecemasan, rasa takut dan gangguan

tidur. Hal ini disebabkan karena ketidaknyamanan pasien dengan

kondisinya, dimana pasien menderita dengan rasa nyeri yang dialaminya

kemudian pasien juga tidak dapat beraktivitas. Bertambahnya durasi dan

intensitas nyeri, pasien dapat mengalami gangguan depresi, kemudian

pasien akan frustasi dan mudah marah terhadap orang sekitar dan dirinya

sendiri. Kondisi pasien seperti cemas dan rasa takut akan membuat

pelepasan kortisol dan katekolamin, dimana hal tersebut akan merugikan

25
pasien karena dapat berdampak pada sistem organ lainnya, gangguan

sistem organ yang terjadi kemudian akan membuat kondisi pasien

bertambah buruk dan psikologi pasien akan bertambah parah.

Tabel 2.2 Konsekuensi Fisiologis terhadap Nyeri

Sistem Tubuh Respon terhadap nyeri Manifestasi klinis

Gangguan sekresi Penurunan berat badan

Endokrin/Metabolik hormon ACTH, kortisol, Demam Peningkatan laju

katekolamin, insulin napas dan laju jantung

Peningkatan laju jantung Unstable Angina Infark

Kardiovaskular Peningkatan resistensi miokardial DVT

vaskular Peningkatan

tekanan darah

Respirasi Keterbatasan usaha Pneumonia

respirasi Atelektasis

Penurunan laju Anoreksia

Gastrointestinal pengosongan lambung Konstipasi

Penurunan motilitas Ileus

usus

Muskuloskeletal Muscle spasm Imobilitas Lemah

Imun Gangguan fungsi imun Infeksi

Abnomalitas hormon Gangguan elektrolit

Genitourinari yang mengatur jumlah Hipertensi

26
urin, volume cairan dan

elektrolit

Tennant F. The Physiologic Effects of Pain on the Endocrine

System. Spinger Healthcare. 2013. 2:75-86.

2.2.6 Pengukuran Intensitas Nyeri

Derajat nyeri dapat diukur dengan berbagai macam cara yang sering

digunakan untuk menilai intensitas nyeri pasien sebagai berikut:

a. Visual Analog Scale

Skala Analog Visual (Visual Analog Scale/VAS) adalah cara

yang paling banyak digunakan untuk menilai nyeri. (Metode ini

paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri.

Metode ini menggunakan garis sepanjang 10 cm yang

menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat

hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan

intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan

metode ini adalah sensitif untuk mengetahui perubahan

intensitas nyeri, mudah di mengerti dan dikerjakan, dan dapat

digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah

tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan

mungkin sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam

nyeri hebat.

27
Gambar 2.2 Visual Analog Scale

b. Numeric rating scale (NRS)

Skala numeric merupakan alat bantu pengukur intensitas nyeri

pada pasien yang terdiri dari skala horizontal yang dibagi secara

rata menjadi 10 segmen 19 dengan nomor 0 sampai 10. Pasien

diberi pengertian yang menyatakan bahwa angka 0 bermakna

intensitas nyeri yang minimal (tidak ada nyeri sama sekali) dan

angka 10 bermakna nyeri yang sangat (nyeri paling parah yang

dapat mereka bayangkan). Pasien kemudian dimintai untuk

menandai angka yang menurut mereka paling tepat dalam

mendeskripsikan tingkat nyeri yang dapat mereka rasakan pada

suatu waktu.

28
Gambar 2.3 Numeric Rating Scale

Skala penilaian numeric lebih digunakan sebagai pengganti alat

pendeskripsian kata. Dalam hal ini, pasien meniai nyeri dengan

menggunakan skala 0-10. Skala ini paling efektif digunakan saat

mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah intervensi.

Keterangan:

0 : tidak nyeri

1-2 : nyeri ringan secara obyektif pasien dapat berkomunikasi

dengan baik

3-4 : nyeri sedang secara obyektif pasien mendesis,

menyeringai, dan menunjukkan lokasi nyeri, dapat

mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.

6-7 : nyeri berat secara obyektif pasien terkadang tidak dapat

mengikuti perintah tetapi masih respon terhadap tindakan, dapay

menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak

dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi.

29
8-10 : nyeri sangat berat pasien sehingga sudah tidak mampu

lagi berkomunikasi.

c. Verbal descriptive scale (VDS)

Verbal Descriptive Scale merupakan pengukuran derajat nyeri yang

sering digunakan. Verbal Descriptive scale merupakan sebuah garis

yang terdiri dari tiga sampai lima kata yang mendeskripsikan

perasaan nyeri, tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis.

Kata-kata yang digunakan untuk mendeskripsikan tingkat nyeri di

urutkan dari “tidak terasa nyeri”sampai nyeri yang tidak

tertahankan.

Gambar 2.4 Verbal descriptive scale (VDS)

2.3 Konsep Deep Breathing Exercise

2.3.1 Pengertian Slow deep Breathing

Slow deep breathing ialah salah satu bagian dari latihan relaksasi dengan

teknik latihan pernapasan yang dilakukan secara sadar. Slow deep

breathing merupakan relaksasi yang dilakukan secara sadar untuk

mengatur pernapasan secara dalam dan lambat. Relaksasi secara umum

30
merupakan keadaan menurunnya kognitif, fisiologi, dan perilaku

(Andarmoyo, 2013).

2.3.2 Tujuan Latihan

Slow deep Breathing Tujuan latihan slow deep breathing antara lain untuk

memelihara pertukaran gas, meningkatkan ventilasi alveoli, mencegah

terjadinya antelektasis paru, membantu meningkatkan efisiensi batuk dan

mengurangi stress fisik maupun psikologis (Smeltzer & Bare, 2008).

2.3.3 Prosedur Pelaksanaan

Latihan Slow deep Breathing Prosedur yang dilakukan saat latihan slow

deep breathing dengan melakukan pernafasan diafragma dan purse lip

breathing selama inspirasi mengakibatkan pembesaran abdomen bagian

atas sejalan dengan desakan udara yang masuk selama inspirasi.

Langkah-langkah latihan slow deep breathing Tarwoto (2011) adalah

sebagai berikut:

a. Atur pasien dengan posisi duduk

b. Kedua tangan pasien letakkan diatas perut

c. Anjurkan pasien untuk melakukan tarikan nafas secara perlahan

dan dalam melalui hidung.

d. Tarik nafas selama 3 detik dan rasakan abdomen mengembang

selama menarik nafas.

e. Tahan nafas selama 3 detik.

f. Kerutkan bibir dan keluarkan nafas melalui mulut, hembuskan

31
secara perlahan selama 6 detik. Rasakan abdomen bergerak

kebawah.

g. Ulangi langkah 1 sampai 5 selama 15 menit, lakukan latihan

slow deep breathing dengan frekuensi 3 kali sehari

2.4 Konsep Masalah Keperawatan

2.4.1 Definisi

Masalah keperawatan merupakan label diagnosis keperawatan yang

menggambarkan inti dari respon klien terhadap kondisi kesehatan atau

proses kehidupannya(PPNI,2017).

2.4.2 Kriteria Mayor & Minor

Kriteria mayor adalah tanda dan gejala yang ditemukan sekitar 80%-100%

untuk validasi diagnosa. Sedangkan kriteria minor adalah tanda dan gejala

yang tidak harus ditemukan, namun dapat mendukung penegakan

diagnosis (PPNI, 2017).

2.4.3 Faktor Yang Berhubungan

Kondisi atau situasi yang berkaitan dengan suatu masalah yang dapat

menunjang kelengkapan data untuk menegakan suatu diagnosis atau

masalah keperawatan(PPNI,2017).

a. Masalah keperawatan yang akan muncul pada kasus pre operasi

appendicitis yaitu :

1. Nyeri akut (D.0077).

Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan

kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset

32
mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat

yang berlangsung kurang dari 3 bulan.

Penyebab :

a) Agen pencedera fisiologis (mis. inflamasi, iskemia,

neoplasma).

b) Agen pencedera kimiawi (mis. terbakar, bahan kimia

iritan).

c) Agen pencedera fisik (mis. abses, amputasi, terbakar,

terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan

fisik berlebihan).

Gejala dan Kriteria :

a) Mayor :

(1) Subjektif : Mengeluh nyeri.

(2) Objektif : Tampak meringis, bersikap protektif (mis.

Waspada posisi menghindari nyeri), gelisah, frekuensi nadi

meningkat, sulit tidur.

(3) Minor :

(1) Subjektif :

(2) Objektif : Tekanan darah meningkat, pola nafas berubah,

nafsu makan berubah, proses berfikir terganggu, menarik diri,

berfokus pada diri sendiri, diaphoresis

2. Resiko Hipovolemia (D.0034)

Beresiko mengalami penurunan volume cairan intravaskuler,

33
interstisiel, dan atau intraseluler.

Factor resiko :

1) Kehilangan cairan secara aktif.

2) Gangguan absorsi cairan.

3) Usia lanjut.

4) Kelebihan berat badan.

5) Status hipermetabolik.

6) Kegagalan mekanisme regulasi.23

7) Evaporasi.

8) Kekurangan intake dan output cairan.

9) Efek agen farmakologi.

b. Masalah keperawatan yang akan muncul pada kasus post operasi

appendicitis yaitu:

1. Nyeri akut (D.0077) .

Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan

kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset

mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang

berlangsung kurang dari 3 bulan.

Penyebab :

ii. Agen pencedera fisiologis (mis. inflamasi, iskemia,

neoplasma).

iii. Agen pencedera kimiawi (mis. terbakar, bahan kimia

iritan). Agen pencedera fisik (mis. abses, amputasi,

34
terbakar terpotong, mengangkat berat, prosedur

operasi, trauma, latihan fisik berlebihan).

Gejala dan Kriteria :

a. Mayor :

Subjektif : Mengeluh nyeri.

Objektif : Tampak meringis, bersikap protektif

(mis. Waspada posisi menghindari nyeri),

gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit tidur.

b. Minor :

Subjektif :

Objektif : Tekanan darah meningkat, pola nafas

berubah, nafsu makan berubah, proses berfikir

terganggu, menarik diri, berfokus pada diri

sendiri, diaphoresis.

2.5 Konsep Asuhan Keperawatan

2.5.1 Pengkajian Keperawatan

a. Data demografi

Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status

perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat,

nomor register.

b. Riwayat kesehatan

1) Keluhan utama

Nyeri pada daerah abdomen kanan bawah.

35
2) Riwayat kesehatan sekarang

Klien mengatakan nyeri pada daerah abdomen kanan bawah

yang menembus kebelakang sampai pada punggung dan

mengalami demam tinggi

3) Riwayat kesehatan dahulu

Apakah klien pernah mengalami operasi sebelumnya pada

colon.

4) Riwayat kesehatan keluarga

Apakah anggota keluarga ada yang mengalami jenis penyakit

yang sama.

c. Pemeriksaan fisik ROS (review of system)28

1) Kedaan umum : kesadaran composmentis, wajah tampak

menyeringai, konjungtiva anemis.

2) Sistem kardiovaskuler : ada distensi vena jugularis, pucat,

edema, TD >110/70mmHg; hipertermi.

3) Sistem respirasi : frekuensi nafas normal (16-20x/menit), dada

simetris, ada tidaknya sumbatan jalan nafas, tidak ada gerakan

cuping hidung, tidak terpasang O2, tidak ada ronchi, whezing,

stridor. Sistem hematologi : terjadi peningkatan leukosit yang

merupakan tanda adanya infeksi dan pendarahan.

4) Sistem urogenital : ada ketegangan kandung kemih dan

keluhan sakit pinggang serta tidak bisa mengeluarkan urin

secara lancer.

36
5) Sistem muskuloskeletal : ada kesulitan dalam pergerakkan

karena proses perjalanan penyakit.

6) Sistem Integumen : terdapat oedema, turgor kulit menurun,

sianosis, pucat.

7) Abdomen : terdapat nyeri lepas, peristaltik pada usus ditandai

dengan distensi abdomen.

d. Pola fungsi kesehatan menurut Gordon.

1) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat

Adakah ada kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan,

alcohol dan kebiasaan olahraga (lama frekwensinya), karena

dapat mempengaruhi lamanya penyembuhan luka.

2) Pola nutrisi dan metabolism.

Klien biasanya akan mengalami gangguan pemenuhan

nutrisi akibat pembatasan intake makanan atau minuman sampai

peristaltik usus kembali normal.

3) Pola Eliminasi.

Pada pola eliminasi urine akibat penurunan daya konstraksi

kandung kemih, rasa nyeri atau karena tidak biasa BAK ditempat

tidur akan mempengaruhi pola eliminasi urine. Pola eliminasi

alvi akan mengalami gangguan yang sifatnya sementara karena

pengaruh anastesi sehingga terjadi penurunan fungsi.

4) Pola aktifitas.

37
Aktifitas dipengaruhi oleh keadaan dan malas bergerak

karena rasa nyeri, aktifitas biasanya terbatas karena harus

bedrest berapa waktu lamanya setelah pembedahan.

5) Pola sensorik dan kognitif.

Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan serta

pendengaran, kemampuan berfikir, mengingat masa lalu,

orientasi terhadap orang tua, waktu dan tempat.

6) Pola Tidur dan Istirahat.

Insisi pembedahan dapat menimbulkan nyeri yang sangat

sehingga dapat mengganggu kenyamanan pola tidur klien.30

7) Pola Persepsi dan konsep diri.

Pasien menjadi ketergantungan dengan adanya kebiasaan gerak

segala kebutuhan harus dibantu. Klien mengalami kecemasan

tentang keadaan dirinya sehingga pasien mengalami emosi yang

tidak stabil.

8) Pola hubungan.

Dengan keterbatasan gerak kemungkinan pasien tidak bias

melakukan peran baik dalam keluarganya dan dalam

masyarakat. pasien mengalami emosi yang tidak stabil.

9) Pemeriksaan diagnostic.

a) Ultrasonografi adalah diagnostik untuk apendistis akut.

b) Foto polos abdomen : dapat memperlihatkan distensi

sekum, kelainan non spesifik seperti fekalit dan pola gas dan

38
cairan abnormal atau untuk mengetahui adanya komplikasi

pasca pembedahan.

c) Pemeriksaan darah rutin : untuk mengetahui adanya

peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi.

d) Pemeriksaan Laboratorium.

Darah : Ditemukan leukosit 10.000 – 18.0000 µ/ml.

Urine : Ditemukan sejumlah kecil leukosit dan eritrosit.31

2.5.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosis keperawatan merupakan penilaian klinis mengenai respon

klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya

baik yang berlangsung aktual maupun potensial (PPNI, 2017). Berdasarkan

pada semua data pengkajian diagnosa keperawatan utama yang dapat

muncul pada kl appendicitis, antara lain :

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologi (inflamasi

appendicitis).(D.0077)

b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (Prosedur

operasi). (D.0077)

c. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (Infeksi pada

appendicitis). (D.0130)

d. Risiko Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan secara

aktif (muntah). (D.0034)

e. Resiko hipovolemia ditandai dengan efek agen farmakologi. (D.0034)

f. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi (D.0080)

39
g. Resiko Infeksi ditandai dengan efek prosedur infasive (D.0142).

2.5.3 Perencanaan Keperawatan

Perencanaan keperawatan atau intervensi keperawatan adalah

perumusan tujuan, tindakan dan penilaian rangkaian asuhan keperawatan

pada klien berdasarkan analisa pengkajian agar masalah kesehatan dan

keperawatan klien dapat diatasi (Nurarif, A. H., & Kusuma, 2016).

Table 2.3 Intervensi Keperawatan Pre Operasi

NO Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi


Manajemen nyeri (I.08238).
Observasi :
1.1 Identifikasi lokasi ,
karakteristik, durasi,
Setelah dilakukan
frekuensi, kulaitas nyeri,
tindakan keperawatan
skala
diharapkan tingkat nyeri
nyeri, intensitas nyeri
(L.08066) dapat
1.2 Identifikasi respon nyeri
Nyeri akut berhubungan menurun dengan Kriteria
non
dengan agen pencedera Hasil :
1. verbal.
fisiologi (inflamasi 1. Keluhan nyeri
1.3 Identivikasi factor yang
appendicitis).(D.0077) menurun.
memperberat dan
2. Meringis menurun
memperingan nyeri.
3. Sikap protektif
Terapeutik :
menurun.
1.4 Berikan teknik
4. Gelisah menurun.
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
1.5 Fasilitasi istirahat dan
tidur.

40
1.6 Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri.
Edukasi :
1.7 Jelaskan strategi
meredakan
nyeri
1.8 Ajarkan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri .
Kolaborasi :
1.9 Kolaborasi pemberian
analgetik jika perlu
Manajemen hypovolemia
Setelah dilakukan
(I.03116).
tindakan keperawatan
Observasi :
Status cairan (L.0328)
3.1 Periksa tanda dan gejala
membaik dengan
hipovolemia.
Kriteria Hasil :
3.2 Monitor intake dan
1 Kekuatan nadi
Risiko Hipovolemia output
meningkat.
berhubungan dengan cairan.
2 2 Membrane mukosa
kehilangan cairan secara Terapeutik :
lembap.
aktif 3.3 Berikan asupan cairan
3 Frekuensi nadi
(muntah). (D.0034) oral
membaik.
Edukasi :
4 Tekanan darah
3.4 Anjurkan
membaik.
memperbanyak
5 Turgor kulit
asupan cairan oral.
membaik.
3.5 Anjurkan menghindari

41
perubahan posisi mendadak.
Kolaborasi :

Tabel 2.4 Intervensi keperawatan post operasi


NO Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
Manajemen nyeri (I.08238)
Observasi :
1.1 Identifikasi lokasi ,
karakteristik, durasi,
frekuensi, kulaitas nyeri,
intensitas nyeri, skala nyeri.
Setelah dilakukan 1.2 Identifikasi respon nyeri
tindakan keperawatan non
tingkat nyeri (L.08066) verbal.
menurun dengan Kriteria 1.3 Identivikasi factor yang
Hasil : memperberat dan
Nyeri akut berhubungan
1. Keluhan nyeri memperingan nyeri.
dengan agen pencedera
1. menurun. Terapeutik :
fisik(Prosedur oprasi).
2. Meringis menurun. 1.4 Berikan teknik non
(D.0077)
3. Sikap protektif farmakologis untuk
menurun. mengurangi rasa nyeri.
4. Gelisah menurun. 1.5 Kontrol lingkungan yang
5. Frekuensi nadi memperberat rasa nyeri.
membaik. 1.6 Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan
nyeri.
Edukasi :
1.7 Jelaskan penyebab,

42
periode,
dan pemicu nyeri.
1.8 Jelaskan strategi
meredakan
nyeri
1.9 Ajarkan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
1.10 Kolaborasi pemberian
analgetik bila perlu.
Manajemen hypovolemia
(I.03116)
Setelah dilakukan Observasi :
tindakan keperawatan 2.1 Periksa tanda dan gejala
Status cairan (L.0328) hipovolemia.
membaik dengan 2.2 Monitor intake dan
Kriteria Hasil : output
6 Kekuatan nadi cairan.
Risiko hipovolemia ditandai
meningkat. Terapeutik :
dengan efek agen
7 Membrane mukosa 2.3 Berikan asupan cairan
farmakologis (D.0034)
lembap. oral
8 Frekuensi nadi Edukasi :
membaik. 2.4 Anjurkan
9 Tekanan darah memperbanyak
membaik. asupan cairan oral.
10 Turgor kulit 2.5 Anjurkan menghindari
membaik. perubahan posisi mendadak.
Kolaborasi :

43
2.6 Kolaborasi peberian
cairan IV.

2.4.4 Pelaksanaan Tindakan keperawatan

Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang

dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status

kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang baik yang

menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Potter, P., & Perry, 2014).

Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan

dimana rencana keperawatan dilaksanakan melaksanakan

intervensi/aktivitas yang telah ditentukan, pada tahap ini perawat siap

untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas yang telah dicatat dalam

rencana perawatan klien. Agar implementasi perencanaan dapat tepat

waktu dan efektif terhadap biaya, pertama-tama harus mengidentifikasi

prioritas perawatan klien, kemudian bila perawatan telah dilaksanakan,

memantau dan mencatat respons klien terhadap setiap intervensi dan

mengkomunikasikan informasi ini kepada penyedia perawatan kesehatan

lainnya. Kemudian, dengan menggunakan data, dapat mengevaluasi dan

merevisi rencana perawatan dalam tahap proses keperawatan berikutnya

(Wilkinson.M.J, 2012).38

Komponen tahap implementasi :

1. Tindakan keperawatan mandiri.

2. Tindakan keperawatan edukatif.

44
3. Tindakan keperawatan kolaboratif.

4. Dokumentasi tindakan keperawatan dan respon klien terhadap asuhan

keperawatan.

2.4.5 Evaluasi Keperawatan

Menurut (Setiadi, 2012) dalam buku konsep dan penulisan asuhan

keperawatan tahapan penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang

sistematis dan terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah

ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan

klien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya. Terdapa dua jenis evaluasi:

a. Evaluasi Formatif (Proses)

Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan

hasil tindakan keperawatan. Evaluasi formatif ini dilakukan segera

setelah perawat mengimplementasikan rencana keperawatan guna

menilai keefektifan tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.

Perumusan evaluasi formatif ini meliputi 4 komponen yang dikenal

dengan istilah SOAP :

S (subjektif) : Data subjektif dari hasil keluhan klien, kecuali pada

klien yang afasia.

O (objektif) : Data objektif dari hasi observasi yang dilakukan

oleh perawat.

A (analisis) : Masalah dan diagnosis keperawatan klien yang

dianalisis atau dikaji dari data subjektif dan data objektif.

45
P (perencanaan) : Perencanaan kembali tentang pengembangan

tindakan keperawatan, baik yang sekarang maupun yang akan

datang dengan tujuan memperbaiki keadaan kesehatan klien.

b. Evaluasi Sumatif (Hasil)

Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua

aktivitas proses keperawatan selesi dilakukan. Evaluasi sumatif ini

bertujuan menilai dan memonitor kualitas asuhan keperawatan yang

telah diberikan. Ada 3 kemungkinan evaluasi yang terkait dengan

pencapaian tujuan keperawatan (Setiadi, 2012), yaitu:

1) Tujuan tercapai atau masalah teratasi jika klien menunjukan

perubahan sesuai dengan standar yang telah ditentukan.

2) Tujuan tercapai sebagian atau masalah teratasi sebagian atau klien

masih dalam proses pencapaian tujuan jika klien menunjukkan

perubahan pada sebagian kriteria yang telah ditetapkan.

3) Tujuan tidak tercapai atau masih belum teratasi jika klien hanya

menunjukkan sedikit perubahan dan tidak ada kemajuan sama

sekali

46

Anda mungkin juga menyukai