Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

APPENDISITIS STASE PPKMB DI RUANG IBS RSUD dr.SOBIRIN

FIOLA DESTA SAFITRI, S.KEP


22260061

Preseptor Akademi Preseptor Klinik

( ) ( )

PROGRAM STUDI PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS DEHASEN BENGKULU
TAHUN AKADEMIK 2022
A. KONSEP DASAR APPENDIKSITIS

1. PENGERTIAN
Appendiks adalah ujung seperti jari-jari yang kecil panjangnya kira-kira
10 cm (4 inchi), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal
(Smeltzer, Suzanne, C., 2001).
Appendisitis adalah peradangan dari appendiks
vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering.
Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan,
tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun
(Mansjoer, 2000).
Menurut Smeltzer C. Suzanne (2001), apendisitis adalah penyebab
paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen
dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.
Berdasarkan defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa apendisitis
adalah kondisi dimana terjadi infeksi pada umbai apendiks dan merupakan
penyakit bedah abdomen yang paling sering terjadi.
Menurut Sjamsuhidayat (2004), apendisitis terdiri dari lima bagian
antara lain  :
a. Apendisitis akut
Adalah peradangan apendiks yang timbul meluas dan mengenai peritoneum
pariental setempat sehingga menimbulkan rasa sakit di abdomen kanan
bawah.
b. Apendisitis infiltrat (Masa periapendikuler)
Apendisitis infiltrat atau masa periapendikuler terjadi bila apendisitis
ganggrenosa  di tutupi pendinginan oleh omentum.
c. Apendisitis perforata
Ada fekalit didalam lumen, Umur (orang tua atau anak muda) dan
keterlambatan  diagnosa merupakan faktor yang berperan  dalam terjadinya
perforasi apendiks.
d. Apendisitis rekuren
Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh
spontan, namun apendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena
terjadi fibrosis dan jaringan parut. Resikonya untuk terjadinya serangan lagi
sekitar 50%.
e. Apendisitis kronis
Fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen
apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan infiltrasi sel
inflamasi kronik.
Apendektomi adalah pembedahan untuk mengangkat apendiks dilakukan
sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. (Smeltzer Suzanne, C,
2001).

2. ETIOLOGI
a. Menurut Syamsyuhidayat, 2004 :
1) Fekalit/massa fekal padat karena konsumsi diet rendah serat.
2) Tumor apendiks.
3) Cacing ascaris.
4) Erosi mukosa apendiks karena parasit E. Histolytica.
5) Hiperplasia jaringan limfe.
b. Menurut Mansjoer , 2000 :
1) Hiperflasia folikel limfoid.
2) Fekalit.
3) Benda asing.
4) Striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya.
5) Neoplasma.
c. Menurut Markum, 1996 :
1) Fekolit.
2) Parasit.
3) Hiperplasia limfoid.
4) Stenosis fibrosis akibat radang sebelumnya.
5) Tumor karsinoid.
3. PATOFISIOLOGI
Apendiksitis biasa disebabkan oleh adanya penyumbatan lumen
apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena
fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Feses yang
terperangkap dalam lumen apendiks akan menyebabkan obstruksi dan akan
mengalami penyerapan air dan terbentuklah fekolit yang akhirnya sebagai
kausa sumbatan. Obstruksi yang terjadi tersebut menyebabkan mukus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus semakin
banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan tersebut
akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis
bakteri, dan ulserasi mukus. Pada saat ini terjadi apendisitis akut fokal yang
ditandai oleh nyeri epigastrium. Sumbatan menyebabkan nyeri sekitar
umbilicus dan epigastrium, nausea, muntah. invasi kuman E Coli dan
spesibakteroides dari lumen ke lapisan mukosa, submukosa, lapisan
muskularisa, dan akhirnya ke peritoneum parietalis terjadilah peritonitis lokal
kanan bawah.Suhu tubuh mulai naik.Bila sekresi mukus terus berlanjut,
tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi
vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan
yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri di area kanan bawah. Keadaan ini yang kemudian disebut
dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan
terjadi infark diding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini
disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh pecah,
akan menyebabkan apendisitis perforasi. Bila proses tersebut berjalan lambat,
omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga
timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan
apendiks tersebut akan menyebabkan abses atau bahkan menghilang. Pada
anak-anak karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding
apendiks lebih tipis. Keadaan demikian ditambah dengan daya tahan tubuh
yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang
tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah
(Mansjoer, 2000)

4. PATHWAY

Fekalit, benda asing, jaringan parut, tumor apendiks


dan cacing askaris

Obstruksi lumen apendiks

Ketidakseimbangan produksi & Migrasi bakteri dari


ekskresi mucus colon ke apendiks

Peningkatan intra lumen

Terhambatnya aliran Obstruksi vena


Arteri
limfe
terganggu
Edema & peningkatan
Edema dan ulserasi tekanan intral umen

Terjadi infark pada


usus Nyeri epigastrium
Peradangan dinding
apendiks
Nekrosis Nyeri akut
apendiks

Hambatan Peradangan Mual dan Mekanisme


Gangren mobilitas fisik meluas ke muntah kompensasi tubuh
peritonium

Apendiks Absorbsi Peningkatan


gangrenosa
Rencana makanan tidak leukosit dan suhu
pembedahan adekuat, tubuh
pengeluaran
cairan aktif
Ansietas Hipertermi

Kekurangan Nutrisi kurang


volume cairan dari kebutuhan
tubuh tubuh
5. MANIFESTASI KLINIK
Keluhan apendiks biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilicus
atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam
nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, yang akan menetap dan
diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia,
malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat
konstipasi, tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual, dan muntah. Pada
permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap.
Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen bawah akan semakin progresif,
dan dengan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan satu titik dengan
nyeri maksimal. Perkusi ringan pada kuadran kanan bawah dapat membantu
menentukan lokasi nyeri. Nyeri lepas dan spasme biasanya juga muncul.
Bila tanda Rovsing, psoas, dan obturatorpositif, akan semakin meyakinkan
diagnosa klinis. Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang
terdiri dari : Mual, muntah dan nyeri yang hebat di perut kanan bagian
bawah. Nyeri bisa secara mendadak dimulai di perut sebelah atas atau di
sekitar pusar, lalu timbul mual dan muntah. Setelah beberapa jam, rasa mual
hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan bagian bawah. Jika dokter
menekan daerah ini, penderita merasakan nyeri tumpul dan jika penekanan
ini dilepaskan, nyeri bisa bertambah tajam. Demam bisa mencapai 37,8-
38,8°C. Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua
bagian perut. Pada orang tua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat
dan di daerah ini nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila usus buntu
pecah, nyeri dan demam bisa menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk
bisa menyebabkan syok.

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan pada pasien yang
diduga appendicitis akut adalah pemeriksaan darah lengkap dan test
protein reaktive (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap sebagian besar
pasien biasanya ditemukan jumlah leukosit di atas 10.000 dan neutrofil
diatas 75 %. Sedangkan pada pemeriksaan CRP ditemukan jumlah serum
yang mulai meningkat pada 6-12 jam setelah inflamasi jaringan.
b. Pemeriksaan urine
Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin.
pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis
banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai
gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.
c. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi yang biasa dilakukan pada pasien yang diduga
appendicitis akut antara lain adalah Ultrasonografi, CT-scan. Pada
pemeriksaan ultrasonogarafi ditemukan bagian memanjang pada tempat
yang terjadi inflamasi pada appendiks. Sedang pada pemeriksaan CT-scan
ditemukan bagian yang menyilang dengan apendicalith serta perluasan dari
appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran dari saekum.
d. Pemeriksaan USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan
USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan
USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti
kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya.
e. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab
appendisitis. pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.

7. PENATALAKSANAAN
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah
ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk
membatasi aktivitas fisik sampai pembedahan dilakukan. Analgetik dapat
diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan
untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk
menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah
anestesi umum atau spinal, secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi
yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi
terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah. Pada
penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu.
Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam
observasi masih terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan
laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan
akan dilakukan operasi atau tidak (Smeltzer C. Suzanne, 2002).
Menurut Arief Mansjoer (2000), penatalaksanaan apendisitis adalah
sebagai berikut:
a. Tindakan Medis
1) Observasi terhadap diagnosa
Dalam 8 – 12 jam pertama setelah timbul gejala dan tanda
apendisitis, sering tidak terdiagnosa, dalam hal ini sangat penting
dilakukan observasi yang cermat. Penderita dibaringkan ditempat
tidur dan tidak diberi apapun melalui mulut.  Bila diperlukan maka
dapat diberikan cairan aperviteral. Hindarkan pemberian narkotik
jika memungkinkan, tetapi obat sedatif seperti barbitural atau
penenang tidak karena merupakan kontra indikasi. Pemeriksaan
abdomen dan rektum, sel darah putih dan hitung jenis di ulangi
secara periodik. Perlu dilakukan foto abdomen dan thorak posisi
tegak pada semua kasus apendisitis, diagnosa dapat jadi jelas dari
tanda lokalisasi kuadran kanan bawah dalam waktu 24 jam setelah
timbul gejala.
b. Intubasi
Dimasukkan pipa naso gastrik preoperatif jika terjadi peritonitis
atau toksitas yang menandakan bahwa ileus pasca operatif yang
sangat menggangu. Pada penderita ini dilakukan aspirasi kubah
lambung jika diperlukan. Penderita dibawa kekamar operasi
dengan pipa tetap terpasang.
c. Antibiotik
Pemberian antibiotik preoperatif dianjurkan pada reaksi
sistematik dengan toksitas yang berat dan demam yang tinggi .
d. Terapi bedah
Pada apendisitis tanpa komplikasi, apendiktomi dilakukan
segera setelah terkontrol ketidakseimbangan cairan dalam tubuh
dan gangguan sistematik lainnya. Biasanya hanya diperlukan
sedikit persiapan. Pembedahan yang direncanakan secara dini baik
mempunyai  praksi mortalitas 1 % secara primer  angka morbiditas
dan mortalitas penyakit ini tampaknya disebabkan oleh komplikasi
ganggren dan perforasi yang terjadi akibat yang tertunda.
e. Terapi pasca operasi
Perlu dilakukan obstruksi tanda-tanda vital untuk mengetahui
terjadinya perdarahan didalam, syok hipertermia, atau gangguan 
pernapasan angket sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga
aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam
posisi fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi
gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi
lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum, puasa
diteruskan sampai fungsi usus kembali normal. Kemudian berikan
minum mulai  15 ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30
ml/jam.  Keesokan harinya diberikan makan saring, dan hari
berikutnya diberikan makanan lunak. Satu hari pasca operasi
pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur selama 2 x 30
menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk  diluar
kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien
diperbolehkan pulang. 

8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Diagnosis berdasarkan klinis, namun sel darah putih (hampir selalu
leukositosis) dan CRP (biasanya meningkat) sangat membantu
b. Ultrasonografi untuk massa apendiks dan jika masuh ada keraguan untuk
menyingkirkan kelainan pelvis lainnya (misalnya kista ovarium)
c. Laparoskopi biasanya digunakan untuk menyingkirkan kelainan ovarium
sebelum dilakukan apendisektomi pada wanita muda
d. CT scan (heliks) pada pasien usia lanjut atau di mana penyebab lain
masih mungkin (Grace, & Borley, 2006, h. 107).

9. KOMPLIKASI
Komplikasi yang terjadi pasca oprasi menurut Mansjoer arif (2000, h. 309)
a. Perforasi apendiks
b. Peritonitis
c. Abses

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
a. Pengkajian pasien apendisitis menurut Edi,2011 yaitu :
1) Identitas
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, tanggal atau jam
masuk rumah sakit, nomer register, diagnosa, nama orang tua, umur,
pendidikan, pekerjaan, agama dan suku bangsa.
2) Riwayat penyakit sekarang
Riwayar penyakit sekarang klien dengan post appendiktomi
mempunyai keluhan utama nyeri yang disebabkan insisi abdomen.
3) Riwayat penyakit dahulu
Meliputi penyakit apa yang pernah diderita oleh klien seperti
hipertensi, operasi abdomen yang lalu, apakah klien pernah masuk
rumah sakit, obat-obatan yang pernah digunakan apakah mempunyai
riwayat alergi dan imunisasi apa yang pernah didapatkan.
4) Riwayat keperawatan keluarga
Adalah keluarga yang pernah menderita penyakit diabetes mellitus,
hipertensi, gangguan jiwa atau penyakit kronis lainnya upaya yang
dilakukan dan bagaimana genogramnya.
5) Pola fungsi kesehatan
a) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Adakah kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan, alkohol
dan kebiasaan olahraga (lama frekuensinya), bagaimana status
ekonomi keluarga kebiasaan merokok dalam mempengaruhi
penyembuhan luka.
b) Pola tidur dan istirahat
Insisi pembedahan dapat menimbulkan nyeri yang sangat
sehingga dapat menggganggu kenyamanan pola tidur klien.
c) Pola aktivitas
Aktivitas dipengaruhi oleh keadaan dan malas bergerak karena
rasa nyeri luka operasi, aktivitas biasanya terbatas karena harus
badrest berapa waktu lama seterlah pembedahan.
d) Pola hubungan dan peran.
Dengan keterbatasan gerak kemungkinan penderita tidak bisa
melakukan peran baik dalam keluarganya dan dalam
masyarakat. Penderita mengalami emosi yang tidak stabil.
e) Pola sensorik dan kognitif
Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan, peran serta
pendengaran, kemampuan, berfikir, mengingat masa lalu,
orientasi terhadap orang tua, waktu dan tempat.
f)Pola penanggulangan stres
Kebiasaan klien yang digunakan dalam mengatasi masalah.
g) Pola tata nilai dan kepercayaan
Bagaimana keyakinan klien pada agamanya dan bagaimana cara
klien mendekatkan diri dengan tuhan selama sakit.
6) Pemerikasan fisik.
a)Status kesehatan umum.
Kesadaran biasanya compos mentis, ekspresi wajah menahan sakit
ada tidaknya kelemahan.
b)Integumen
Ada tidaknya oedema, sianosis, pucat, pemerahan luka
pembedahan pada abdomen sebelah kanan bawah.
c)Kepala dan Leher
Ekspresi wajah kesakitan, pada konjungtiva apakah ada warna
pucat.
d)Thorak dan paru
Apakah bentuknya simetris, ada tidaknya sumbatan jalan nafas,
gerakan cuping hidung maupun alat bantu nafas, frekwensi
pernafasan biasanya normal ( 16-20 kali permenit). Apakah ada
ronchi , whezing, stidor.
e)Abdomen
Pada post operasi biasanya sering terjadi ada tidaknya pristaltik
pada usus ditandai dengan distensi abdomen, tidak flatus dan mual,
apakah bisa kencing spontan atau retensi urine, distensi supra
pubis, periksa apakah menglir lancar, tidak ada pembuntuan serta
terfiksasi dengan baik.
f)Ekstermitas
Apakah ada keterbatasan dalam aktivitas karena adanya nyeri yang
hebat dan apakah ada kelumpuhan atau kekakuan.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Nyeri akut b.d agen
pencedera fisiologis
b. Ansietas b.d krisis situasional
3. PERENCANAAN KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA SLKI SIKI RASIONAL


1. Nyeri akut b.d Setelah dilakukan intervensi SIKI: Manajemen Nyeri 1. Megetahui lokasi,
agen pencedera selama……..........diharapkan 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, karakteristik, durasi,
fisiologis …. durasi, frekuensi, kualitas, intensitas frekuensi, kualitas,
SLKI: Tingkat Nyeri nyeri intensitas nyeri
Dipertahankan pada…. 2. Identifikasi skala nyeri 2. Mengetahui skala nyeri
Ditingkatkan ke…. 3. Identifikasi respon non verval 3. Mengetahui respon nyeri
1. Meningkat 4. Berikan teknik non farmakologis non verbal
2. Cukup meningkat untuk mengurangi nyeri (mis. TENS, 4. Mengurangi intensitas
3. Sedang hypnosis, akupresur, terapi music, nyeri
4. Cukup menurun biofeedback, terapi pijat, 5. Lingkungan yang nyaman
5. Menurun aromaterapi, teknik imajinasi akan membuat klien lebih
Dengan kriteria hasil: terbimbing, kompres hangat,/dingin, rileks
- Keluhan Nyeri terapi bermain) 6. Terapi non farmakologis
- Meringis 5. Kontrol lingkungan yang kurang efektif untuk skala
- Sikap protektif memperberat rasa nyeri (mis. Suhu nyeri tinggi
- Gelisah ruangan, pencahayaan, kebisingan)
- Berfokus pada diri 6. Kolaborasi pemberian analgetik, jika
sendiri perlu
2. Ansietas b.d Setelah dilakukan intervensi SIKI: Reduksi Ansietas 1. Mengetahui adanya
krisis situasional selama……..........diharapkan 1. Monitor tanda-tanda ansietas ansietas pada pasien
…. 2. Ciptakan suasana terapeutik untuk 2. Rasa tidak percaya dapat
SLKI: Tingkat Ansietas menumbuhkan kepercayaan memperburuk ansietas
Dipertahankan pada…. 3. Temani pasien untuk mengurangi 3. Merasa sendiri dapat
Ditingkatkan ke…. kecemasan, jika diperlukan memperburuk ansietas
6. Meningkat 4. Jelaskan prosedur, termasuk sensasi 4. Ketidaktahuan pasien akan
7. Cukup meningkat yang mungkin dialami mencipatakan rasa takut
8. Sedang 5. Anjurkan keluarga untuk tetap yang berlebihan
9. Cukup menurun bersama pasien, jika perlu 5. Dampingan dan dukungan
10. Menurun 6. Latih teknik relaksasi keluarga akan mengurangi
Dengan kriteria hasil: rasa cemas dan takut
- Verbalisasi khawatir 6. Agar pasien dapat lebih
akibat tenang dan rileks
- Perilaku gelisah perilaku
tegang
- Frekuensi nadi
- Tremor
- Pucat
DAFTAR PUSTAKA

Barbara C, Long. (1996), Perawatan Medical Bedah, Yayasan Ikatan


Alumni Keperawatan Pejajaran, Bandung.
Carpenito, L.J. (1996), Rencanan Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan,
Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Cameron, (1997), Ilmu Bedah Muthakhir, EGC, Jakarta, Penerbit Buku
kedokteran.
Doenges Marilym E, (1996), Asuhan Keperawatan Dalam Aplikasi Rencana
dan Dokumentasi Proses keperawatan, Edisi 9. EGC,  Jakarta
Darma Adji, (1993), Ilmu Beda, Edisi 7, EGC, Jakarta
Jones DJ dan Irving, MH, (1997), Petunjuk Penting Penyakit Kolorektal,
EGC, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran.
Mansjoer Arif, (1999), Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Media
Aesculapius, Jakarta.
Oswari E, (1993), Bedah dan Perawatannya, Gramedia Jakarta
Suzanne C. Smeltzer, Brenda G Bare (2000), Buku Ajar Keperawatan
Medical Bedah Edisi 8, EGC, Jakarta Penerbit Buku Kedokteran.
Syaifuddin (1997), Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawat, edisi 2 EGC,
Jakarta
Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017), Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia, Edisi 1, Dewan Pengurus Pusat Pesatuan Perawat Nasional Indonesia,
Jakarta Selatan
Tim Pokja SLKI DPP PPNI (2017), Standar Luaran Keperawatan
Indonesia, Edisi 1, Dewan Pengurus Pusat Pesatuan Perawat Nasional Indonesia,
Jakarta Selatan
Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2017), Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia, Edisi 1, Dewan Pengurus Pusat Pesatuan Perawat Nasional Indonesia,
Jakarta Selatan

Anda mungkin juga menyukai