Pernikahan Dini di
Usia Remaja
Psikolog Utami Trie. W. Singgih, S.Psi, M.Psi
UTAMI TRIE W. SINGGIH, M.PSI, PSIKOLOG
PENDIDIKAN
• S1 Sarjana Psikologi dari Fakultas Psikologi
UNIKA Soegijapranata Semarang , Tahun 2003 – 2007
• S2 Psikolog Klinis dari Magister Profesi Psikologi UNIKA
Soegijapranata Semarang , Tahun 2007 – 2009
Riwayat Pekerjaan
Masa Dewasa
PEREMPUAN LAKI-LAKI
• Kelompok belajar
• Pergaulan berolahraga dengan
teman sebaya
• Pergaulan keagamaan
• Pergaulan sosial kemasyarakatan
• Pergaulan pecinta alam
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB
• Meningkatnya Libido Seksualitas
• Penundaan Usia Perkawinan
• Tabu – Larangan
• Kurangnya informasi tentang seks
• Pergaulan yang makin bebas
Hal – hal baru yang terjadi dimulai dari masa remaja yaitu
menstruasi, keputihan, mimpi basah.
Seks Pranikah meliputi Berfantasi, Berpegangan tangan, Ciu
m kering, Cium basah, Meraba, Berpelukan, Masturbasi, Oral,
Petting, Intercource (hubungan seksual).
Pasal (1), Bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal (2) ayat 1, Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal (7) ayat 1, pada pasal tersebut dijelaskan batasan umur bahwa, Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun
Menurut data yang dikeluarkan UNICEF, sekitar 21% perempuan dan 4% laki-laki di
dunia yang menikah sebelum 18 tahun.
Dari data tersebut di dapatkan sekitar 650 juta perempuan yang menikah ketika masih
dalam kategori anak-anak dengan angka 12 juta dibawah 18 yang menikah pertahunnya
(Unicef, 2018).
Satgas Perlindungan Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia, menuturkan perkawinan anak
memberikan dampak negatif tidak hanya pada kesehatan fisik ibu yang masih remaja tapi
juga kesehatan mental seperti baby blues, depresi, ansietas, sulit bonding dengan bayinya,
hingga berpikir bunuh diri atau menyakiti bayinya.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA)
mengungkapkan upaya mencegah terjadinya perkawinan anak turut mendukung
percepatan penurunan angka stunting, dan peningkatan setinggi mungkin derajat
kesehatan anak Indonesia, sesuai dengan amanat Konvensi Hak Anak dan peraturan
perundang-undangan di Indonesia.
Hal itu di antaranya yaitu stunting, tingginya angka kematian ibu dan bayi, tingginya
angka putus sekolah, tingginya angka pekerja anak yang rentan diberi upah rendah
sehingga turut meningkatkan angka kemiskinan, serta dampak lainnya.
Untuk itu, semua pihak perlu bersinergi mencegah perkawinan anak demi kepentingan
terbaik 80 juta anak Indonesia.
PENDIDIKAN
Putus sekolah KESEHATAN FISIK DAN MENTAL
Membatasi kemampuan FISIK
belajar Ibu :
Memperburuk kemiskinan Tingginya morbiditas dan mortalitas maternal
lintas generasi Terganggunya kesehatan reproduksi
Kanker serviks atau kanker leher Rahim
Anak :
EKONOMI Stunting
Upah rendah
Kemiskinan
Pekerja anak di bawah MENTAL
umur Baby blues
Depresi
LAINNYA Anxiety
Risiko KDRT Sulit bonding dengan bayinya
Trauma Pola asuh salah ke anak
Merampas Hak Bermain
Trustworthiness / Kepercayaan
– Kita percaya dengan para remaja.
– Para remaja harus percaya kepada orang yang mau menolongnya.
Genuineness / tidak pura-pura
– Membantu tanpa syarat
Empathi
– Kemampuan untuk ikut merasakan perasaan-perasaan remaja.
– Melihat segala persoalan dari sudut pandang remaja
Honesty / Kejujuran
– Menyampaikan apa adanya termasuk yang kurang menyenangkan.
– Salah ya salah, benar ya benar.
Membangun komunikasi yang baik dan efektif antara orangtua dan anak
--- >>> Kepercayaan
• Remaja tidak perlu bergantung kepada orang lain untuk mendapatkan perhatian dari
lingkungannya.
PERAN ORANGTUA
Menjadi tokoh panutan bagi anak, baik verbal maupun tingkah laku.
Menjadi teman berbagi sehingga membantu remaja untuk mengetahui tentang sifat
dan karakteristik diri sendiri seperti (kelebihan dan kelemahan), mengembangkan
potensi diri, mengetahui batas diri dan mengembangkan sikap percaya diri,
mengetahui apa yang kita inginkan atau tujuan hidup.
Menjadi tokoh panutan bagi anak, baik dari perilaku maupun dalam
hal menjaga lingkungan yang sehat.
Proaktif atau libatkan diri dalam kegiatan keluarga, sosial kemasyarakatan dan
keagamaan.
Aktif, kembangkan minat dan bakat sesuai hobi dan keterampilan kita.