Anda di halaman 1dari 7

Tugas PAI

Sejarah Salahuddin Al-Ayyubi

Nama Kelompok

[ SALAHUDDIN AL -AYYUBI ]

1. Ahmad Manan Musofi


2. Iqbal Kurniawansyah
3. Irfan Maulana
4. Muhammad Diki Setiawan
5. Wahyu Rianza

UPTD SMK NEGERI 1 BUMIJAWA

Jl. Wreda Meta No. 379 Bumijawa – Kab. Tegal

Tahun Ajaran 2014/2015


Shalahuddin al-Ayyubi

Kali ini kita akan bercerita tentang seorang laki-laki mulia dan memiliki
peranan yang besar dalam sejarah Islam, seorang panglima Islam, serta
kebanggaan suku Kurdi, ia adalah Shalahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub
bin Syadi atau yang lebih dikenal dengan Shalahuddin al-Ayyubi atau juga
Saladin. Ia adalah seorang laki-laki yang mungkin sebanding dengan seribu
laki-laki lainnya.

Asal dan Masa Pertumbuhannya

Shalahuddin al-Ayyubi adalah laki-


laki dari kalangan ‘ajam (non-
Arab), tidak seperti yang
disangkakan oleh sebagian orang
bahwa Shalahuddin adalah orang
Arab, ia berasal dari suku Kurdi. Ia
lahir pada tahun 1138 M di Kota
Tikrit, Irak, kota yang terletak
antara Baghdad dan Mosul. Ia
melengkapi orang-orang besar
dalam sejarah Islam yang bukan
berasal dari bangsa Arab, seperti
Imam Bukhari, Imam Muslim,
Imam Tirmidzi, dan lain-lain.
Karena suatu alasan, kelahiran Shalahuddin memaksa ayahnya untuk
meninggalkan Tikrit sehingga sang ayah merasa kelahiran anaknya ini
menyusahkan dan merugikannya. Namun kala itu ada orang yang
menasihatinya, “Engkau tidak pernah tahu, bisa jadi anakmu ini akan
menjadi seorang raja yang reputasinya sangat cemerlang.”

Dari Tikrit, keluarga Kurdi ini berpindah menuju Mosul. Sang ayah,
Najmuddin Ayyub tinggal bersama seorang pemimpin besar lainnya yakni
Imaduddin az-Zanki. Imaduddin az-Zanki memuliakan keluarga ini, dan
Shalahuddin pun tumbuh di lingkungan yang penuh keberkahan dan kerabat
yang terhormat. Di lingkungan barunya dia belajar menunggang kuda,
menggunakan senjata, dan tumbuh dalam lingkungan yang sangat mencintai
jihad. Di tempat ini juga Shalahuddin kecil mulai mempelajari Alquran,
menghafal hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mempelajari
bahasa dan sastra Arab, dan ilmu-ilmu lainnya.

Diangkat Menjadi Mentri di Mesir

Sebelum kedatangan Shalahuddin al-Ayyubi, Mesir merupakan wilayah


kekuasaan kerajaan Syiah, Daulah Fathimiyah. Kemudian pada masa
berikutnya Dinasti Fathimiyah yang berjalan stabil mulai digoncang
pergolakan di dalam negerinya. Orang-orang Turki, Sudan, dan Maroko
menginginkan adanya revolusi. Saat itu Nuruddin Mahmud, paman
Shalahuddin, melihat sebuah peluang untuk menaklukkan kerajaan Syiah ini,
ia berpandangan penaklukkan Daulah Fathimiyyah adalah jalan lapang
untuk membebaskan Jerusalem dari kekuasaan Pasukan Salib.

Nuruddin benar-benar merealisasikan cita-citanya, ia mengirim pasukan dari


Damaskus yang dipimpin oleh Asaduddin Syirkuh untuk membantu
keponakannya, Shalahuddin al-Ayyubi, di Mesir. Mengetahui kedatangan
pasukan besar ini, sebagian Pasukan Salib yang berada di Mesir pun lari
kocar-kacir sehingga yang dihadapi oleh Asaduddin dan Shalahuddin
hanyalah orang-orang Fathimyah saja. Daulah Fathimiyah berhasil
dihancurkan dan Shalahuddin diangkat menjadi mentri di wilayah Mesir.
Namun tidak lama menjabat sebagai menteri di Mesir, dua bulan kemudian
Shalahuddin diangkat sebagai wakil dari Khalifah Dinasti Ayyubiyah.

Selama dua bulan memerintah Mesir, Shalahuddin membuat kebijakan-


kebijakan progresif yang visioner. Ia membangun dua sekolah besar
berdasarkan madzhab Ahlussunnah wal Jamaah. Hal ini ia tujukan untuk
memberantas pemikiran Syiah yang bercokol sekian lama di tanah Mesir.
Hasilnya bisa kita rasakan hingga saat ini, Mesir menjadi salah satu negeri
pilar dakwah Ahlussunnah wal Jamaah atau Sunni. Kebijakan lainnya yang
ia lakukan adalah mengganti penyebutan nama-nama khalifah Fathimiyah
dengan nama-nama khalifah Abbasiyah dalam khutbah Jumat.

Menaklukkan Jerusalem

Persiapan Shalahuddin untuk


menggempur Pasukan Salib di
Jerusalem benar-benar matang. Ia
menggabungkan persiapan
keimanan (non-materi) dan
persiapan materi yang luar biasa.
Persiapan keimanan ia bangun
dengan membersihkan akidah
Syiah bathiniyah dari dada-dada
kaum muslimin dengan
membangun madrasah dan
menyemarakkakn dakwah,
persatuan dan kesatuan umat
ditanamkan dan dibangkitkan
kesadaran mereka menghadapi
Pasukan Salib. Dengan
kampanyenya ini ia berhasil
menyatukan penduduk Syam,
Irak, Yaman, Hijaz, dan Maroko
di bawah satu komando. Dari
persiapan non-materi ini
terbentuklah sebuah pasukan dengan cita-cita yang sama dan memiliki
landasan keimanan yang kokoh.

Dari segi fisik Shalahuddin mengadakan pembangunan makas militer,


benteng-benteng perbatasan, menambah jumlah pasukan, memperbaiki
kapal-kapal perang, membangun rumah sakit, dll.

Pada tahun 580 H, Shalahuddin menderita penyakit yang cukup berat,


namun dari situ tekadnya untuk membebaskan Jerusalem semakin membara.
Ia bertekad apabila sembuh dari sakitnya, ia akan menaklukkan Pasukan
Salib di Jerusalem, membersihkan tanah para nabi tersebut dari kesyirikan
trinitas.
Dengan karunia Allah, Shalahuddin pun sembuh dari sakitnya. Ia mulai
mewujudkan janjinya untuk membebaskan Jerusalem. Pembebasan
Jerusalem bukanlah hal yang mudah, Shalahuddin dan pasukannya harus
menghadapi Pasukan Salib di Hathin terlebih dahulu, perang ini dinamakan
Perang Hathin, perang besar sebagai pembuka untuk menaklukkan
Jerusalem. Dalam perang tersebut kaum muslimin berkekuatan 63.000
pasukan yang terdiri dari para ulama dan orang-orang shaleh, mereka
berhasil membunuh 30000 Pasukan Salib dan menawan 30000 lainnya.

Setelah menguras energy di Hathin, akhirnya kaum muslimin tiba di al-


Quds, Jerusalem, dengan jumlah pasukan yang besar tentara-tentara Allah
ini mengepung kota suci itu. Perang pun berkecamuk, Pasukan Salib sekuat
tenaga mempertahankan diri, beberapa pemimpin muslim pun menemui
syahid mereka –insya Allah- dalam peperangan ini. Melihat keadaan ini,
kaum muslimin semakin bertambah semangat untuk segera menaklukkan
Pasukan Salib.

Untuk memancing emosi kaum muslimin, Pasukan Salib memancangkan


salib besar di atas Kubatu Shakhrakh. Shalahuddin dan beberapa pasukannya
segera bergerak cepat ke sisi terdekat dengan Kubbatu Shakhrakh untuk
menghentikan kelancangan Pasukan Salib. Kemudian kaum muslimin
berhasil menjatuhkan dan membakar salib tersebut. Setelah itu, jundullah
menghancurkan menara-menara dan benteng-benteng al-Quds.

Pasukan Salib mulai terpojok, merek tercerai-berai, dan mengajak berunding


untuk menyerah. Namun Shalahuddin menjawab, “Aku tidak akan
menyisakan seorang pun dari kaum Nasrani, sebagaimana mereka dahulu
tidak menyisakan seorang pun dari umat Islam (ketika menaklukkan
Jerusalem)”. Namun pimpinan Pasukan Salib, Balian bin Bazran,
mengancam “Jika kaum muslimin tidak mau menjamin keamanan kami,
maka kami akan bunuh semua tahanan dari kalangan umat Islam yang
jumlahnya hampir mencapai 4000 orang, kami juga akan membunuh anak-
anak dan istri-istri kami, menghancurkan bangunan-bangunan, membakar
harta benda, menghancurkan Kubatu Shakhrakh, membakar apapun yang
bisa kami bakar, dan setelah itu kami akan hadapi kalian sampai darah
penghabisan! Satu orang dari kami akan membunuh satu orang dari kalian!
Kebaikan apalagi yang bisa engkau harapkan!” Inilah ancaman yang
diberikan Pasukan Salib kepada Shalahuddin dan pasukannya.
Dome of The Rock atau Kubatu Shakhrakh

Shalahuddin pun mendengarkan dan menuruti kehendak Pasukan Salib


dengan syarat setiap laki-laki dari mereka membayar 10 dinar, untuk
perempuan 5 dinar, dan anak-anak 2 dinar. Pasukan Salib pergi
meninggalkan Jerusalem dengan tertunduk dan hina. Kaum muslimin
berhasil membebaskan kota suci ini untuk kedua kalinya.

Shalahuddin memasuki Jerusalem pada hari Jumat 27 Rajab 583 H / 2


Oktober 1187, kota tersebut kembali ke pangkuan umat Islam setelah selama
88 tahun dikuasai oleh orang-orang Nasrani. Kemudian ia mengeluarkan
salib-salib yang terdapat di Masjid al-Aqsha, membersihkannya dari segala
najis dan kotoran, dan mengembalikan kehormatan masjid tersebut.

Masjid al-Aqsha
Wafatnya Sang Pahlawan

Sebagaimana manusia sebelumnya, baik dari kalangan nabi, rasul, ulama,


panglima perang dan yang lainnya, Shalahuddin pun wafat meninggalkan
dunia yang fana ini. Ia wafat pada usia 55 tahun, pada 16 Shafar 589 H
bertepatan dengan 21 Febuari 1193 di Kota Damaskus. Ia meninggal karena
mengalami sakit demam selama 12 hari. Orang-orang ramai menyalati
jenazahnya, anak-anaknya Ali, Utsman, dan Ghazi turut hadir
menghantarkan sang ayah ke peristirahatannya. Semoga Allah meridhai,
merahmati, dan  membalas jasa-jasa engkau wahai pahlawan Islam, sang
pembebas Jerusalem.

Anda mungkin juga menyukai