Anda di halaman 1dari 11

NASKAH DRAMA

UJIAN PRAKTIK BAHASA INDONESIA


PERANG BUBAT

Di Susun Oleh :
Kelompok 7
Kelas 9

SMP PONDOK MODERN SELAMAT BATANG


TAHUN PELAJARAN 2022/2023
NASKAH DRAMA BAHASA INDONESIA
PERANG BUBAT
KELOMPOK 7 :
1. Juli Juandani
2. Farros Azmi .M
3. M. Restu Maulana .P
4. M. Adam Khadavi
5. Galang Dwi Andhika
6. Brian Alif Maulana
7. Habib Irfan Maulana
8. M. Nashir Muafaqo
9. Habibi Riski Usdiqo
10. Khouzama Alfi Sabrina Safari
11. Difa Ayu Puspita
12. Gadis Tariza
13. Ajda Aufa Afiyah
14. Lutfi Cinta Mentari
15. Delyana Karisa Putri
16. Akifah Nayla
17. Nasywa Anindya
18. Esika Hassya
19. Ragil Ainul
20. Rohmatus Salsabila
NASKAH DRAMA B.INDONESIA

Judul : PERANG BUBAT


Alur : Maju
Narator : Akifah Nayla
Operator : Esika Hassya
Tokoh : - Hayam Wuruk = Juli Juandani
- Tribhuwana = Adja Aufa Afiyah
- Sungging Pranbangkara = M. Restu Maulana Pratama
- Saniscara = M. Adam Khadavi
- Dyah Pitaloka = Khouzama Alvi Sabrina Safari
- Pritaya = Gadis Tariza
- Gajah Mada = Galang Dwi Andhika
- Patih Madu = Habib Irfan Maulana
- Gajah Enggon = Brian Alif Maulana
- Maharaja Linggabuana = M. Nashir Muafaqo
- Dewi Lara Linsing = Lutfi Cinta Mentari
- Patih Suradipati = Farros Azmi Muhammad
- Sri Sudewi = Difa Ayu Puspita
-Pemeran pasif/Tritagonis = Ragil Ainul,Rohmatus
Salsabila,Nasywa Anindya,Delyana
Karisa Putri

PROLOG :
Pada tahun 1357, Prabu Hayam Wuruk, raja termahsyur sepanjang sejarah Majapahit
telah berusia 23 tahun dan telah memasuki usia ideal untuk memiliki pasangan hidup. Apalagi
Prabu Hayam Wuruk sangat tampan, berbudi luhur, serta telah mencapai tingkatan yang begitu
tinggi dalam usianya yang masih begitu muda. Namun hingga kini, belum ada satu-pun gadis
yang menarik hati Sang Prabu, baik dari golongan bangsawan maupun golongan pribumi.
Padahal, pelukis kerajaan sudah bepergian ke berbagai daerah di nusantara untuk mencari sosok
wanita yang kiranya memenuhi kriteria untuk menjadi permaisuri Sang Prabu. Ibunda Sang
Prabu, Tribhuwanatunggadewi memutuskan untuk bersikap tegas pada keadaan yang sedang
terjadi.
Alur Cerita :
Suatu pagi di pendopo istana Majapahit
Tribhuwana : ”Anakku, usiamu sudah menginjak angka 23. Bukankah sekarang adalah waktu
yang tepat ?”
Hayam Wuruk: “Waktu yang tepat untuk apa, wahai ibunda?”
Ibu Suri Tribhuwana menjawab seraya tersenyum.(kamu nanya2,kamu bertanya2 waktu
yang tepat untuk apa?)
Tribhuwana :”Tentu saja untuk mencari permaisuri untukmu. Seorang raja sudah tentu
membutuhkan seorang pendamping. Terlebih lagi sebuah kerajaan pasti
membutuhkan penerus tahta.”
Hayam Wuruk:“Untuk seorang pendamping, Paman Gajah Mada sudah lebih dari cukup.
Lihatlah, Majapahit begitu besar karena kerja keras Paman Mahapatih. Akan
tetapi ibunda, aku kerap kali merasa kesepian dan sedih.”
Tribhuwana: “Oleh karena itu anakku, ibu telah memanggil pelukis istana kita. Sungging
Prabangkara !!!”
Seru Tribhuwana memanggil Sungging Prabangkara, juru gambar istana yang baru saja
pulang dari berkeliling nusantara, mencari sosok gadis impian untuk dilukis. Sungging
Prabangkara mendekat kepada Sri Baginda dengan menyembah.
Sungging Prabangkara: “Paduka, hamba telah berusaha untuk mendapat gambar gadis yang
kiranya Paduka berkenan untuk menjadikannya sebagai seorang permaisuri.”
Hayam Wuruk: ”Tak usah bersusah-susah seperti itu, Paman. Kalaupun jodoh pun nanti juga
akan datang dengan sendirinya. Boleh aku lihat hasil lukisan Paman?”
Sungging Prabangkara: “Tentu-tentu, Tuanku. Ini hasil karya hamba, lihatlah.”
Prabu Hayam Wuruk mengamati lukisan-lukisan yang dibawa oleh Sungging.Prabangkara
secara satu persatu. Gadis-gadis yang ada dalam lukisan itu cantiknya bukan main. Ada yang
berasal dari Mataram, ada pula dari Melayu, serta dari Dompo. Seusai melihat lukisan-lukisan
tadi, Hayam Wuruk bungkam. Namun ia segera tersenyum.
Hayam Wuruk : ” Paman, aku ingin minta maaf. Sejujurnya, tak ada satupun gadis dalam
lukisan paman yang menarik hatiku. Tapi terhadap apa yang telah Paman lakukan,
aku mengucapkan banyak terimakasih.”
Sungging Prabangkara : “Tak bisa begitu, Paduka. Hamba akan berkeliling nusantara lagi,
mencari gadis cantik untuk hamba lukis.”
Tiba-tiba Tribhuwanatunggadewi menyela pembicaraan. Sepertinya ia punya
rencana sendiri.
Tribhuwana: “Tak perlu repot-repot, pergilah ke Sunda Galuh. Yang aku dengar, putri raja
Sunda Galuh sangat cantik. Anakku tak mungkin tidak tertarik. Sungging
Prabangkara, berangkatlah ke Sunda Galuh siang ini juga. Akan kusertakan Gajah
Enggon dan Patih Madu untuk mengawalmu.”
Sungging Prabangkara: “Baik, Ibu Suri. Hamba akan berangkat siang ini juga.”
Tribhuwana: “Tolong cari Gajah Mada, aku perlu berbicara dengannya.”
Sungging Prabangkara: “Siap!”
Sungging Prabangkara meninggalkan pendopo untuk berkemas pergi ke Sunda Galuh.
Prabu Hayam Wuruk hanya termangu sembari geleng-geleng kepala. Sementara itu Mahapatih
Gajah Mada yang diminta untuk bertemu dengan Tribhuwanatunggadewi melakukan pertemuan
di istana Ibu Suri. Gajah Mada datang dan menyembah.
Gajah Mada: “Hamba menghaturkan sembah, Tuan Putri. Ada apa Ibu Suri memanggil hamba
kemari?”
Tribhuwana: “Ada ingin minta pendapatmu, Kakang Mahapatih.”
Gajah Mada: “Utarakan saja.”
Tribhuwana: “Gajah Mada, aku telah memerintahkan Patih Madu dan Gajah Enggon untuk
mengawal kepergian Sungging Prabangkara ke Sunda Galuh siang ini.
Bagaimana pendapatmu ?”
Gajah Mada: “Hamba tidak mengerti apa maksud Tuan Putri, mohon Tuan Putri jelaskan
dengan lebih rinci lagi.”(YNTKTS)
Tribhuwana: “Begini, Sri Baginda Hayam Wuruk anakku, rencananya akan kunikahkan dengan
Putri Raja Sunda Galuh dan akan dijadikan Permaisuri. Yang kudengar, ia
sangat cantik. Aku ingin tahu bagaimana sikapmu.”
Gajah Mada: “Tuan Putri, sejujurnya hamba kurang setuju apabila putri Sunda Galuh itu akan
dijadikan permaisuri. Sunda Galuh adalah satu-satunya wilayah yang belum mau
menyatu dengan Majapahit. Padahal dari Sumatera hingga Maluku di timur,
semuanya telah mengakui kebesaran Majapahit. Hamba telah memberikan waktu
pada Sunda Galuh untuk memutuskan. Menyatu dengan Majapahit, atau hamba
sendiri yang akan mengirimkan pasukan untuk menggilas mereka.”
Tribhuwanatunggadewi cemas.
Tribhuwana: “ Gajah Mada, aku minta kau untuk tidak gegabah.”
Gajah Mada: “ Hamba telah memberikan pendapat. Maaf tuan putri, hamba tidak punya banyak
waktu. Hamba undur diri.”
Mendengar jawaban Gajah Mada, Tribhuwanatunggadewi cemas. Ia tak ingin
pertumpahan darah terjadi.Sementara itu, utusan Majapahit yang akan berangkat ke Sunda
Galuh baru saja berangkat.Di Sunda Galuh, seorang Dayang istana sedang termangu di
pinggiran danau. Dayang itu termangu karena melihat sosok seorang laki-laki muda yang
tampak sedang melukis sesosok wanita. Karena penasaran, sang dayang pun mendekat. Dayang
itu bernama Pritaya.(afaantuh?)
Pritaya: “ Hei tuan, apa yang sedang kau lukis?”
Saniscara: “Apa kau tidak kenal dengan sosok yang sedang ku lukis ini ? Beliau adalah gadis
paling cantik di dunia ini. Dan aku sangat mencintainya.”
Pritaya sangat kaget. Ia sudah tentu mengenal dengan baik siapa sosok yang ada dalam lukisan
itu.
Pritaya: “Kau amat kurangajar, akan aku adukan kau pada istana! Kau akan dihukum karena
lancang melukis rupa Sekar Kedaton Sunda Galuh tanpa izin!”
Saniscara: “Aku tidak takut.”
Pritaya dengan bergegas segera kembali ke istana untuk melaporkan kejadian tadi pada Dyah
Pitaloka.
Pritaya: “Tuan Putri, ada seorang pria yang dengan lancang melukis sosok Tuan Putri di tepi
danau!”
Dyah Pitaloka: “Kurasa tak masalah. Tapi aku sangat penasaran dengan lukisannya. Pritaya,
tolong pastikan gerbang istana aman. Aku akan keluar dengan menyamar.”
Pritaya: “Baik Tuan Putri, tapi aku minta agar Tuan Putri berhati-hati. Ia orang tak dikenal,
mungkin saja dia bukan orang baik.”
Dyah Pitaloka mengangguk. Sosoknya yang sangat anggun, membuat kharismanya tak
terkalahkan oleh siapapun. Wajahnya amat jelita, bagai jelmaan bidadari. Setelah berhasil
menyusup keluar istana, Dyah Pitaloka pun tiba di tepian danau dan bertemu sang pelukis.
Dyah Pitaloka:” Mana pelukis itu?”(sedang bersembunyi)
Namun tiba-tiba ia terkejut
Saniscara: “Dyah Pitaloka, aku mencintaimu !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
Secara mengejutkan, sang pelukis meluapkan emosinya. Dyah Pitaloka yang kaget,
kemudian terdiam dan terhenyak. Ada sesuatu yang tak biasa. Dadanya mengombak, matanya
berbinar. Benar-benar perasaan yang aneh dan asing. Dyah Pitaloka memutuskan untuk
mendekat.
Dyah Pitaloka: “Kakang, ucapkan itu sekali lagi.”
Saniscara yang terkejut minta ampun lantas salah tingkah dan berkeringat. Dyah
Pitaloka mengulangi ucapannya dengan lebih tegas. Namun kali ini sambil mendekati
Saniscara.
Dyah Pitaloka: “Kakang, ucapkan yang tadi itu sekali lagi. Kakang, dengarkan aku !”
Saniscara: “Tapi, tuan putri. Hamba ini apa, hamba cuma rakyat biasa. Hamba tak pantas untuk
sekedar berbicara pada Tuan Putri.”
Dyah Pitaloka: “Tapi aku suka, Kakang. Aku sangat suka ketika Kakang mengungkapkannya.
Kakang sangat manis, jadilah kekasihku.”
Saniscara: “Tuan Putri, memang benar hamba mencintai Tuan Putri. Tapi hamba rasa hubungan
kita mestinya hanya sebatas ini, sebatas raden dan jelata. Hamba tak ingin
mendapat cemoohan dari pihak istana.”
Dyah Pitaloka: “Kalau begitu, tak bisakah kita menjadi teman ? Ayo, lakukan hal yang
menyenangkan hati,Mari kita bercengkerama di tepian danau yang indah ini.
Kakang, janganlah mengelak lagi. Terima ajakanku. Kumohon, Kakang.”
Saniscara: “Sebatas teman ? Baiklah Tuan Putri, hamba akan melakukan apa yang diminta Dyah
Pitaloka Citraresmi.”
Dyah Pitaloka: “Panggil saja aku Pitaloka. Kakang, kau belum menyebutkan namamu.”
Saniscara: “ Namaku Saniscara…”
Saniscara dan Dyah Pitaloka bersenang-senang sepuasnya. Kedua insan yang sedang
gila asmara itu meluapkan hasratnya masing-masing. Tak ada batasan di antara mereka, tak
ada jelata dengan bangsawan. Sampai akhirnya mentari terbenam
Dyah Pitaloka: “Kakang Saniscara, langit mulai gelap. Sebaiknya kita berpisah. Ayahku akan
curiga jika menemukan kamarku di istana ternyata tak berpenghuni.
Saniscara: “Bawalah lukisanku, Pitaloka. Agar kau senantiasa bisa mengingatku sepanjang
waktu.”
Dyah Pitaloka: “Dengan senang hati aku akan membawa lukisan ini, Kakang. Tapi kakang
harus berjanji bahwa ini bukan pertemuan kita yang terakhir.”
Saniscara: “Aku berjanji, Pitaloka. Sampai jumpa, aku mencintaimu.”
Dyah Pitaloka: ” Aku juga mencintaimu…”
Sepulang dari tepi danau, Dyah Pitaloka bagai orang kesurupan. Mulutnya terus
menerus tersenyum. Matanya berbinar. Dadanya tak berhenti mengombak. Rupanya putri Sunda
Galuh benar-benar sedang kasmaran hebat.
Pritaya: “Bagaimana pertemuannya, Tuan Putri?”
Dyah Pitaloka: “Coba tebak, Pritaya. Ia benar-benar pria menakjubkan. Ia baik. Lihatlah, aku
jadi begini karena dia.”
Pritaya: “Tuan Putri jadi seperti orang gila, jejingkrakan kesana kemari sambil tertawa-tawa.
Apa yang sebenarnya terjadi pada Tuan Putri?”
Dyah Pitaloka: “Ini benar-benar pertamakalinya ada pria yang seperti itu. Namanya Saniscara.
Dia sungguh membuatku jatuh cinta.”
Pritaya: “Apa tuan putri tidak takut ketahuan ayahanda prabu?”
Dyah Pitaloka: “Peduli setan. Ayahku mana mengerti masalah cinta?”
Pritaya: “Baiklah Tuan Putri, hamba meminta agar Tuan Putri Pitaloka berhati-hati. Kita belum
mengenal dengan baik siapa Saniscara itu. Hamba takut jika ia ternyata mempunyai
niat buruk terhadap Tuan Putri.”
Dyah Pitaloka: “Kau tahu apa, Pritaya ? Sudah sana, jangan campuri urusanku.”
Pritaya dengan jengkel keluar dari kamar Dyah Pitaloka sambil menggerutu.
Pritaya: “Tuan Putri Pitaloka benar-benar sudah tak waras.”
Malam berlalu. Rombongan Majapahit yang membawa titah untuk mengambil gambar
Dyah Pitaloka tiba di Sunda Galuh pada pagi hari. Keadaan alam Sunda Galuh yang sejuk
membuat utusan Majapahit betah singgah disana. Apalagi ditambah dengan sambutan orang-
orang Sunda yang ramah. Rombongan Majapahit yang dipimpin Patih Madu diminta untuk
menunggu sebentar di pendopo istana sambil menunggu raja Sunda Galuh, Maharaja
Linggabuana.
Gajah Enggon: “Jadi seperti ini rupanya wujud negeri Sunda Galuh ? Sungguh indah sekali.
Sungging Prabangkara: Benar, bahkan aku sampai lupa dengan tujuanku
sebenarnya kemari. Seperti liburan saja.”
Patih Madu: “Benar, tak kalah dengan keindahan gunung Meru di timur.”
Tak lama menunggu, Maharaja Linggabuana tiba dengan didampingi Permaisuri
serta Mahapatih Suradipati.Rombongan dari Majapahit memberikan penghormatan.
Patih Madu: “Hormat kami, Paduka.”
Maharaja Linggabuana mengangguk.
Maharaja Linggabuana: “Silahkan duduk, kisanak. Kalian jauh-jauh datang dari Majapahit
tentu membawa perlu, bukan?”
Patih Madu: “Benar sekali yang mulia, kami diberi titah oleh Sri Baginda Hayam Wuruk untuk
melukis Sekar Kedaton Sunda Galuh, Dyah Pitaloka. Kebetulan junjungan kami
sedang mencari permaisuri.”
Raja dan permaisuri saling lirik. Mereka Nampak agak terkejut.
Maharaja Linggabuana: “O, tentu, tentu. Boleh, silahkan saja. Tak ada salahnya dicoba. Benar
kan, istriku?”
Dewi Lara Linsing: “Iya, coba saja dulu. Mungkin saja nanti akan baik kedepannya. Kami sama
sekali tidak melarang.”
Patih Madu: “Terimakasih yang sebesar-besarnya atas segala keterbukaan Sunda Galuh
terhadap kami.”
Tak lama, Dyah Pitaloka muncul. Parasnya yang demikian ayu membuat rombongan
Majapahit terpana. Rasanya tak ada gadis lain yang dapat menandingi rupa Sekar Kedaton
Sunda Galuh.
Sungging Prabangkara: “Yang mulia, putri anda sungguh cantik. Hamba tidak yakin dapat
menggambarnya dengan baik. Hamba takut lukisan hamba akan
mengecewakan Prabu Hayam Wuruk.”
Dyah Pitaloka: “Tak perlu susah-susah, Paman. Aku punya satu gambar diriku di kamar. Paman
boleh meminjamnya. Tapi mohon Paman kembalikan secepatnya. Ngomong-
ngomong, lukisan itu akan dipakai untuk apa?”
Patih Madu: “Prabu Baginda Hayam Wuruk dari Majapahit berniat meminangmu sebagai
permaisuri. Jika lukisan itu menarik hati Sang Prabu, secepatnya pihak
Majapahit akan datang melamar kemari.”
Jantung Dyah Pitaloka seketika berdegup amat cepat. Bagaimana bisa ia akan
dinikahkan dengan orang yang belum pernah ia lihat sendiri wujud dan rupanya. Selain itu, ia
sendiri tengah begitu kasmaran pada Saniscara.
Maharaja Linggabuana: “Bagaimana, Pitaloka ?”
Dyah Pitaloka: “Iya ayah, akan kuambil sebentar lukisan itu.”
Dyah Pitaloka bergegas menuju kamar pribadinya untuk mengambil lukisan hasil karya
Saniscara. Ia pun segera kembali ke ruang pertemuan.
Dyah Pitaloka: Ini lukisannya Paman Patih, bawalah ke Majapahit.
Semua orang yang hadir di ruangan itu terhenyak. Terlebih Maharaja Linggabuana.
Sang Prabu sama sekali tak mengetahui sejak kapan Dyah Pitaloka memiliki lukisan seindah itu.
Rombongan Majapahit apalagi.
Patih Madu: “Wow, betapa bagusnya lukisan ini.”
Sungging Prabangkara: “Lukisanku tak ada apa-apanya !”
Gajah Enggon: “Apakah di Sunda Galuh memang banyak terdapat juru gambar sehebat itu ?”
Maharaja Linggabuana: “Jujur saja, aku tak tahu sejak kapan ada juru gambar yang mampu
melukis putriku dengan cara luar biasa. Pitaloka, bisakah kau
meminta pelukis itu untuk datang ke istana ? Aku minta agar ia
mampu melukis keluarga istana. Supaya wajahku dapat dilihat oleh
keturunanku nanti.”
Dyah Pitaloka senang bukan kepalang.
Dyah Pitaloka: “Tentu saja, ayah ! Pelukis itu secepatnya akan kuundang kemari!”
Dewi Lara Linsing terheran-heran melihat sikap anaknya. Rombongan
Majapahit bergegas pamit untuk pulang.
Patih Madu: “Paduka, Permaisuri, Mahapatih, kami mohon pamit. Prabu Hayam Wuruk tak
boleh menunggu untuk ini.”
Maharaja Linggabuana: “Hati-hatilah dijalan. Semoga Sang Prabu tidak merasa kecewa.”
Rombongan Majapahit lekas menghaturkan sembah dan pulang. Sesampainya di
Majapahit, lukisan itu langsung diberikan kepada Hayam Wuruk. Prabu Hayam Wuruk benar-
benar merasakan sesuatu yang tak biasa. Ia terus memandangi lukisan itu sembari mengelus-
elus seakan-akan gambarnya nyata. Kebetulan ibunda raja juga hadir di ruangan yang sama,
Hayam Wuruk: “Paman Gajah Enggon, benarkah ini wajah Sekar Kedaton Sunda Galuh ?”
Gajah Enggon: “Betul, Tuanku. Wajah yang ada dalam lukisan itu adalah wajah Sekar Kedaton
Sunda Galuh.”
Hayam Wuruk: “Baiklah kalau begitu, Paman. Aku minta wakilkan aku untuk melamarnya.
Ibu, tolong umumkan ke seluruh istana agar segera menyiapkan pesta
pernikahan untukku. Kurasa aku tak dapat menunggu lebih lama lagi.”
Tribhuwana: “Anakku, apakah kau sudah merasa yakin ?”
Hayam Wuruk: “Ibunda, aku tak pernah merasa seyakin ini.”
Patih Madu: “Baik Paduka, hamba akan segera kembali ke Sunda Galuh untuk melamar Sekar
Kedaton.”
Gajah Enggon tak langsung berangkat, ia terlebih dulu mengunjungi Mahapatih Gajah
Mada di Kepatihan.
Gajah Enggon: “Kau punya pesan yang akan dititipkan?”
Gajah Mada: “Katakan pada Raja Sunda Galuh, Majapahit ingin mereka segera menyatu.
Dengan damai atau perang. Pilihan ada di tangan mereka.”
Gajah Enggon sedikit merasa heran, namun pesan itu tak ia bantah.
Gajah Enggon: “Baik, Kakang Mahapatih.”
Rombongan Majapahit kembali berangkat menuju Sunda Galuh. Kali ini, mereka
membawa seserahan berupa berbagai macam barang dan makanan. Benar-benar akan menjadi
sebuah pernikahan yang amat mewah. Sementara, Saniscara yang diundang datang ke istana
akhirnya tiba. Namun karena lukisannya belum selesai, Maharaja Linggabuana memintanya
untuk menginap. Dyah Pitaloka amat senang. Sesampainya di Keraton Sunda Galuh, rombongan
Majapahit disambut dengan amat meriah. Raja, Permaisuri, Mahapatih, serta Dyah Pitaloka
hadir menemui mereka.
Patih Madu: “Yang Mulia, kedatangan hamba kemari bermaksud untuk melamar Tuan Putri
Dyah Pitaloka. Prabu Hayam Wuruk amat berkenan untuk menjadikan Sekar
Kedaton Sunda Galuh sebagai permaisuri.”
Maharaja Linggabuana dan istrinya tersenyum Mereka amat bahagia karena
tak lama lagi anak mereka akan membina rumah tangga, terlebih menjadi permaisuri Raja
Majapahit.
Maharaja Linggabuana: “Syukurlah apabila Prabu Hayam Wuruk berkehendak. Namun
semuanya kembali pada Dyah Pitaloka, karena ialah yang akan
menentukan. Bukan kami. Bagaimana, Pitaloka?”
Dyah Pitaloka: “Ayah, tolong beri aku waktu berpikir.”
Maharaja Linggabuana: “Patih Madu, tolong beri waktu pada putriku. Nampaknya ia perlu
mempertimbangkan semua ini.”
Patih Madu: “Sama sekali tidak masalah, Paduka. Tapi Gajah Enggon membawa pesan khusus
untuk anda.”
Gajah Enggon: “Benar, Paduka. Pesan dari Mahapatih Gajah Mada.”
Raja dan patihnya saling lirik.
Maharaja Linggabuana: “Baik. Kau bisa sampaikan pesanmu.”
Gajah Enggon: “Terimakasih, Yang Mulia. Begini. Majapahit berharap agar Sunda Galuh
segera menyatu dengan Majapahit. Atau jika Sunda Galuh tak menghendaki,
Majapahit akan bersikap keras.”
Maharaja Linggabuana menghela nafas.
Maharaja Linggabuana: “Kami akan putuskan secepatnya.”
Patih Suradipati: “Betul, kami akan terlebih dulu meminta pendapat kepada segenap rakyat.”
Raja dan Patih segera pindah ke ruangan lain untuk berbicara lebih lanjut dengan
Gajah Enggon. Di pendopo, hanya tersisa Permaisuri dan Dyah Pitaloka.
Dewi Lara Linsing: “Pitaloka, kenapa tidak kau terima saja lamaran itu ? Apalagi lamaran itu
datang dari Prabu Hayam Wuruk, Raja Majapahit. Kau akan dijadikan
permaisuri, derajatmu akan naik. Lagipula aku cemas bahwa penolakanmu
terhadap lamaran Prabu Hayam Wuruk akan dijadikan alasan oleh
Majapahit untuk menggunakan kekerasan dan menyerang negeri kita. 
Dyah Pitaloka: “Aku sedang mempertimbangkan sesuatu,ibu.”
Dewi Lara Linsing: “Sesuatu apa ? Apa kau sedang memikirkan pria lain?”
Dalam hatinya, Dyah Pitaloka sangat ingin berkata jujur. Namun ia tak
membayangkan apa yang akan terjadi apabila ia berkata yang sebenarnya. Apa yang akan
terjadi pada dirinya, Hayam Wuruk, serta negaranya.
Dyah Pitaloka: “Kelak ibu akan mengerti, namun tolonglah beri aku waktu.”
Dewi Lara Linsing: “Baik anakku, pikirkanlah baik-baik.”
Malam harinya, Saniscara mengadakan pertemuan diam-diam dengan Dyah Pitaloka.
Dyah Pitaloka: “Kakang, bagaimana ini. Rombongan Majapahit datang untuk melamarku. Aku
akan menjadi istri Raja Majapahit yang bahkan aku belum pernah melihat
rupanya. Kakang, tolong aku..”
Saniscara: “Pitaloka sayangku, Kakang sendiri juga tidak mengerti apa yang harus Kakang
lakukan. Sebaiknya hubungan kita berakhir saja. Aku tak mau disalahkan oleh
siapapun.”
Dyah Pitaloka: “Tapi aku hanya ingin menikah dengan Kakang. Kakang adalah kekasihku, aku
sangat mencintai Kakang !”
Saniscara: “Pitaloka, aku juga cinta padamu. Tapi takdir mungkin akan berkata lain.”
Namun tanpa disangka, sedari tadi Patih Suradipati memperhatikan gerak-
gerik pasangan yang tengah dimabuk cinta itu. Ia segera memergoki
Patih Suradipati: “Ketahuan kau ! Dasar pelukis kurangajar, beraninya kau berhubungan
dengan Sekar Kedaton !”
Saniscara: “Aku mencintai Dyah Pitaloka dengan sepenuh hati. Aku tidak peduli dengan apapun
yang ada di depanku !”
Patih Suradipati: “Dasar jelata tak tahu diri, mampus kau !!!”
Patih Suradipati membunuh Saniscara di tempat dengan sekali tusukan
pedang. Dyah Pitaloka menangis sesenggukan.
Dyah Pitaloka: “Paman Mahapatih amat kejam ! Paman Mahapatih telah membunuh orang
tidak berdosa ! Aku kecewa terhadap Paman !!!”
Patih Suradipati: “Terserah ! Kau juga, beraninya melakukan hal menjijikkan seperti ini.
Ikutlah kau besok ke Majapahit atau kuadukan semua ini kepada ayahmu !”
Patih Suradipati segera memerintahkan prajurit untuk mengurus mayat Saniscara. Dyah
Pitaloka yang sangat terpukul akhirnya memutuskan untuk menerima lamaran Prabu Hayam
Wuruk, walau dalam hatinya masih terukir nama Saniscara. Pagi hari, Maharaja Linggabuana
beserta Permaisuri mendatangi Dyah Pitaloka.
Maharaja Linggabuana: “Bagaimana, Pitaloka ? Lamaran dari Majapahit akan kau terima atau
kau tolak ?”
Dyah Pitaloka: “Aku akan terima lamaran itu, ayah.”
Dewi Lara Linsing: “Putriku sudah memutuskan, sore ini kita akan berangkat ke Majapahit.”
Dan sore itu pula, Rombongan berangkat menuju Majapahit. Kapal rombongan Sunda
Galuh menepi di pinggiran Sungai Brantas setelah melewati Surabaya. Sesampainya di
Majapahit, rombongan Sunda Galuh memasuki areal lapangan Bubat. Lapangan Bubat adalah
sebuah arena terbuka yang letaknya di utara pusat kota Majapahit. Karena di pinggir lapangan
terdapat banyak pohon rimbun, Maharaja memutuskan untuk beristirahat di tempat itu. Namun
tanpa diduga, rombongan Sunda Galuh dihadang oleh pasukan pimpinan Gajah Mada.
Gajah Mada: “Akhirnya datang juga !!!”
Maharaja Linggabuana: “Siapa kau dan apa maumu?”
Gajah Mada: “Aku adalah Mahapatih Gajah Mada, aku ingin Sunda Galuh menyatakan takluk
pada Majapahit. Jika tidak, kubunuh kalian semua !”
Patih Suradipati: “Hei tengik, kau sangat kurangajar. Kami tak takut mati !”
Gajah Mada: “SERAAAANGGG !!!”
Pertempuran tak terhindarkan. Kekacauan terjadi. Peperangan berjalan secara berat
sebelah karena terjadi bentrok yang tidak seimbang antara pasukan pengawal pengantin Sunda
Galuh dan para prajurit Majapahit. Biarpun membawa persenjataan ala kadarnya karena
memang tidak bersiap untuk berperang, orang-orang Sunda Galuh tetap melawan demi
membela harga diri. Maharaja Linggabuana dan Patih Suradipati tewas akibat serangan itu.
Permaisuri melakukan bunuh diri untuk menyusul kematian suaminya sekaligus menjaga agar
kehormatannya tidak dapat dijamah oleh siapapun. Namun dengan alasan yang tak jelas di
sebuah sudut medan peperangan, Dyah Pitaloka tersenyum dengan mata yang terbuka lebar.
Seakan-akan terhibur oleh pertumpahan darah dan gelimpangan mayat yang terbentang di
depan mata.
Dyah Pitaloka: “Takdir seperti menuntunku ke jalan yang sangat aku impikan. Biarkanlah aku
mati! Biarkan aku menyusul kepergian Kakang Saniscara! Oh betapa
malangnya dikau Prabu Baginda Hayam Wuruk. Sebentar lagi kau akan
meratap dan menyesal karena telah membuat hidupku menjadi penuh dengan
penderitaan!”
Setelah mengucap kalimat emosional tersebut, Sekar Kedaton segera membunuh dirinya
sendiri dengan cara menusukkan sebilah keris tepat di jantungnya. Rasa nyeri yang teramat
sangat sama sekali tidak ia rasakan. Bagi dirinya, rasa sakit itu seperti ia nikmati karena nyeri
yang tertahankan tersebut adalah pembuka jalan bagi pertemuannya dengan Saniscara di alam
kematian, Dyah Pitaloka tak perlu menunggu lama untuk merasakan datangnya ajal menjemput.
Meskipun merasakan kematian yang pedih, senyum tetap terpancar dari wajahnya. Raut
mukanya yang begitu cantik tak henti-hentinya menebarkan pesona meski sosoknya kini telah tak
bernyawa.Mendengar berita mengenai serangan di lapangan Bubat, Hayam Wuruk beserta
ibunya yang dikawal prajurit segera datang untuk melihat apa yang terjadi. Namun sudah
terlambat, Prabu Hayam Wuruk begitu kaget. Hatinya pedih seperti disayat-sayat. Ia meratapi
mayat Dyah Pitaloka, gadis yang telah membuatnya jatuh cinta.
Hayam Wuruk: “Pitaloka, kekasihku, bangunlah ! Sebentar lagi pesta pernikahan kita akan
dimulai !!!”
Prabu Hayam Wuruk terus menerus menggoyang-goyangkan tubuh Dyah Pitaloka yang
amat dicintainya itu, namun sudah pasti pemilik tubuh itu tak akan bangun untuk selama-
lamanya. Prabu Hayam Wuruk menangis, sampai pada akhirnya Sang Prabu menggendong
jasad Dyah Pitaloka untuk dibawa ke istana. Keadaan menjadi sangat haru.
Tribhuwanatunggadewi marah besar.
Tribhuwana: “Gajah Mada, apa yang telah kau perbuat ? Berani melawan kehendak raja, kau
sama sekali tidak pantas menjadi Mahapatih !!!”
Gajah Mada: “Ini adalah akibat dari kesalahan mereka sendiri yang tidak mau mengakui
kedaulatan Majapahit!”
Tribhuwana: “Kau benar-benar keterlaluan ! Setelah ini, kau akan mendapat hukuman yang
setimpal dari Sang Prabu !!!”
Atas kesalahan besar yang dibuatnya, Mahapatih Gajah Mada dicopot dari jabatannya
dan menyingkir ke daerah selatan Ywangga. Sedangkan Prabu Hayam Wuruk tidak perlu lama-
lama bersedih hati. Karena meskipun gagal memperistri Sekar Kedaton Sunda Galuh, Dyah
Pitaloka Citraresmi, tak lama waktu berselang Hayam Wuruk menikah dengan sepupunya
sendiri,yaitu Sri Sudewi. ~TAMAT~

Anda mungkin juga menyukai