Berlebihan? Tidak. Bertahun-tahun membangun karier di jalur profesional, merintis dari posisi
terendah hingga mampu menembus level direksi, membuat sebagian besar kita merasakan
nyamannya posisi ini sehingga enggan melepaskannya. Gaji dan tunjangan yang berkecukupan.
Jaringan bisnis yang terbangun lumayan luas. Nama besar yang mengikuti jabatan di perusahaan
terpandang. Siapa yang mau kehilangan sederetan kenikmatan langka itu untuk memasuki dunia
baru yang penuh tantangan? Dunia yang penuh risiko -- bisa meludeskan modal yang kita tabung
bertahun-tahun dan memudarkan nama kita yang sebelumnya lumayan terpandang.
Johannes Kotjo dan Judiono Tosin, misalnya, amat mengilat karier dan namanya sebagai
eksekutif puncak Grup Salim pada tahun 1980-an. Ketika keluar dari konglomerasi terbesar
Indonesia yang masih dikomandoi Om Liem saat itu dan membangun bisnis sendiri, mereka
sempat menjadi ikon eksekutif yang berani pindah kuadran. Namun, tak berapa lama nama dan
bisnis mereka pudar.
Meski demikian, dunia kewirausahaan sepertinya tak mengenal trauma. Ada saja eksekutif yang
berani terjun ke dunia usaha. Ira Koesno, presenter kondang SCTV, seperti ditulis dalam Sajian
Utama SWA, berani melangkah ke dunia itu. Begitu pula kawula muda lain yang sebelumnya
memiliki posisi lumayan bagus di perusahaan tempat mereka bekerja sebelumnya. Saya sendiri
setelah berolah pikir cukup lama akhirnya berani meninggalkan posisi direktur di Agrakom dan
Detikcom -- portal nomor wahid yang menjadi fenomena bisnis Internet di Indonesia karena
mampu menjadi yang terbesar, baik dari sisi pengakses maupun iklan yang berhasil didulang di
dunia maya.
Langkah para eksekutif muda (umur 30-40 tahun) memasuki dunia wirausaha saya lihat sebagai
langkah unik jika melihat tingkat retensinya. Bagi mereka yang sejak lahir sudah tercetak
menjadi wirausahawan karena keturunan, seperti para pedagang, serta pebisnis warung Tegal dan
Padang, dunia usaha bukanlah hal yang aneh. Biasanya mereka menerjuni bisnis ini sejak kecil
dengan membantu orang tua atau kerabatnya. Di kemudian hari mengambil alih atau
mengembangkan bisnis serupa di tempat lain. Tipe ini nyaris tidak memerlukan pendidikan
tinggi dan tidak memiliki retensi untuk menjadi wirausahawan.
Agak berbeda kasusnya dengan mereka yang mengecap pendidikan hingga perguruan tinggi.
Kebanyakan dari lulusan universitas cenderung menjadi eksekutif perusahaan. Hanya segelintir
yang berani langsung membuka usaha sendiri begitu selesai wisuda. Orang yang terbiasa
menjadi eksekutif biasanya memiliki retensi besar untuk membangun usaha mandiri. Mereka
yang sukses di jalur ini kebanyakan setia pada jalurnya. Jadi, kalau memang ada segelintir yang
berani pindah jalur, ini layak dicatat.
Mereka yang pindah kuadran ini di atas kertas sebenarnya memiliki peluang sukses cukup besar.
Alasan utamanya, mereka yang pernah mencicipi posisi eksekutif puncak pasti sudah terlatih
jiwa kewirausahaannya di dalam perusahaan (intrapreneurship). Pekerjaan manajerial memang
tergolong penghindar dan penekan risiko (risk aversive and risk minimalist). Namun, semakin
tinggi posisi manajerial seseorang, semakin pekat pekerjaan yang berbau wirausaha, yang
bersifat menentang risiko (risk taker). Tanggung jawab manajemen puncak untuk membuka
pasar baru, membuat produk baru, membuka unit bisnis baru, serta meningkatkan
pendapatan dan laba perusahaan adalah tanggung jawab yang pekat dengan jiwa
kewirausahaan. Artinya, jiwa kewirausahaan mereka sudah terasah. Alasan lain, nama mereka
sudah cukup terpandang dan jaringan bisnisnya sudah lumayan luas sesuai dengan kehebatan
perusahaan yang dikelolanya. Ini bisa menjadi modal awal yang sangat bagus untuk membangun
bisnis baru.
Namun, yang indah di atas kertas memang lain dari di dunia nyata. Dengan wadah usaha baru,
jalan untuk menembus proyek dan mendapatkan revenue jadi semakin berat. Memangnya mudah
kita mengikuti tender betulan dengan perusahaan seumur jagung yang minim portofolio bisnis?
Pengalaman profesional yang jika ditulis bisa berlembar-lembar ternyata tidak bisa begitu saja
ditransfer dalam bisnis baru. Wirausahawan baru pun, dalam hal modal, memiliki banyak
keterbatasan. Apalagi, perusahaan baru yang dirintis wirausahawan baru biasanya tidak/kurang
bankable.
Apa boleh buat, wirausahawan yang baru pindah kuadran akan pusing tujuh keliling ketika cash
flow perusahaan kacau-balau. Hal ini kurang dirasakan ketika bekerja sebagai eksekutif karena
berbagai resource -- termasuk keuangan -- disediakan pemilik perusahaan. Itulah tantangan dunia
usaha. Seorang wirausahawan bukan hanya pintar memanfaatkan peluang, tetapi juga dituntut
untuk piawai memanfaatkan berbagai resource, termasuk keuangan, sumber daya manusia
dan teknologi, setelah berhasil menangkap peluang.
Eksekutif yang pindah kuadran menjadi wirausahawan sama saja dengan ikan yang pindah
kolam. Ia akan mabuk sesaat. Ia membutuhkan waktu untuk adaptasi. Sebagian akan mati. Saya
sendiri sudah menyaksikan beberapa rekan yang pindah kuadran dengan optimisme tinggi, tapi
setahun kemudian ambruk. Namun, yang lolos seleksi berpotensi menjadi wirausahawan yang
tangguh. Rekan saya, misalnya, kini menjadi wirausahawan yang memiliki tower seluler begitu
banyak di Indonesia. Seorang rekan lain mampu membuat usaha ekspor mebel dan mengelola
600-an karyawan.
Mereka yang lolos seleksi dan tumbuh sehat akan mendapatkan pemandangan yang jauh lebih
indah. Persis seperti anak-anak kura-kura yang baru menetas di pinggir antai dan berebut masuk
ke laut. Ada yang mati dimakan binatang lain atau manusia. Namun, yang berhasil masuk ke laut
akan tumbuh dan berkelana, menyaksikan indahnya lautan luas, warna-warni terumbu karang,
indahnya tarian beraneka ragam ikan, dan kemudian beranak-pinak. Itulah indahnya jika sukses
di dunia usaha. Patut disyukuri jika banyak kawula muda yang berani pindah kuadran menjadi
wirausahawan.