Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehidupan modern saat ini tidak terlepas dari suatu sistem hukum, salah
satunya adalah sistem hukum hak kekayaan intelektual. Hak Kekayaan intelektual
memberikan warna lain pada aspek-aspek kehidupan modern, seperti masalah
lingkungan hidup dan persaingan usaha. Hak kekayaan intelektual sudah bukanlah
hal yang baru lagi bagi sebagian negara, apalagi di negara berkembang.
Permasalahan pada hak kekayaan intelektual merupakan sebuah permasalahan
yang sampai saat ini terus berkembang, karena hak kekayaan intelektual terus
berkembang mengikuti perkembangan zaman. Hak kekayaan intelektual mulai
berkembang dari masalah yang cukup sederhana seperti menyangkut tuntutan
supaya dapat dikuasainya dan dipergunakannya untuk tujan tertentu, apa saja yang
sudah ditemukan, diciptakan dengan kemampuan intelektualnya dan juga tenaga,
siapa yang berhak menjadi pemilik suatu karya bila bahan bakunya berasal dari
pihak lainnya, dan lain sebagainya.
Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disingkat HKI) tidak
dapat dilepaskan dari persoalan kegiatan pembangunan ekonomi, karenanya HKI
identik dengan komersialisasi karya intelektual. Pada gilirannya perlindungan
HKI menjadi tidak relevan apabila tidak dikaitkan dengan proses atau kegiatan
komersialisasi HKI itu sendiri. Seiring dengan itu Pemerintah Indonesia beberapa
waktu yang lalu, telah melakukan terobosan baru terhadap ketentuan HKInya
yaitu, mengundangkan dan memberlakukan Undang-undang Nomor 20 Tahun
2016 Tentang Merek dan Indikasi geografis. Ketentuan ini telah menggantikan
Undang-undang No.15 Tahun 2001 Tentang Merek yang lama dan memasukkan
tentang Indikasi Geografis (selanjutnya disingkat IG) ke dalam ketentuan yang
baru. Inilah bukti keseriusan Pemerintah terhadap perlindungan IG di Indonesia.1
Dilihat dari aspek ekonomi, IG mempunyai daya komersil dan nilai unik
karena suatu barang atau produk yang dihasilkan dari suatu daerah memiliki
1
Nur Aisyah Thalib Dkk, 2020, “Suatu Analisis Terhadap Perlindungan Hukum Indikasi
Geografis di Provinsi Riau” Jurnal Selat, Volume. 7, Nomor. 2, Mei. hlm. 169-181.

1
karakteristik yang berbeda dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan oleh faktor
geografis seperti curah hujan, ketinggian daerah, suhu udara. IG termasuk pada
kategori perlindungan terhadap kekayaan intelektual. Dimana HKI adalah hak atas
kekayaan yang timbul karena kemampuan manusia. Ini merupakan perlindungan
hukum bagi orang yang dapat mengembangkan, menemukan dan menciptakan
suatu kekayaan intelektual.2
Komitmen Indonesia dalam mengintegrasikan perlindungan IG
merupakan dibuktikan dengan diaturnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51
Tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis merupakan penjabaran dari Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis adalah
menggantikan UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Nama hasil dari IG
biasanya menambahkan nama daerah dan menjadi pembeda antara produk atau
benda yang sejenis dan dihasilkan oleh daerah lain. IG dapat dimohonkan
terhadap barang-barang berupa hasil pertanian, produk olahan, hasil kerajinan
tangan, atau barang lainnya. Banyaknya produk daerah yang ada di Indonesia
yang telah dikenal dan mendapatkan tempat di pasar internasional sehingga
memiliki nilai ekonomi yang tinggi, sehingga perlu diikuti dengan perlindungan
hukum untuk bisa melindungi komoditas tersebut dari praktek persaingan curang
dalam perdagangan. Sebagai contoh IG yaitu: Kopi Gayo, Kopi Kintamani, Kopi
Toraja, Salak Pondoh Yogya, Ubi Cilembu, Meubel Jepara, Kopi Rangsang
Meranti, dan sebagainya.
Data yang diperoleh dari Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual
Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, bahwa hingga tahun 2022, IG yang
terdaftar sejumlah 96 (sembilan puluh) diseluruh Indonesia dan di Provinsi Riau
hanya 1 (satu) IG yang didaftarkan yaitu Kopi Liberika Rangsang Meranti yang
berasal dari Kabupaten Kepulauan Meranti.3 Angka ini masih sangat jauh dari
harapan, mengingat tiap-tiap daerah di Indonesia tidak terkecuali setiap kabupaten
di Propinsi Riau memiliki produk khas unggulannya masing-masing. Dikatakan
produk khas dikarenakan barang-barang yang dimaksud mempunyai karakteristik

2
Sudaryat, Sudjana, dan Rika Ratna Permata, “Hak Kekayaan Intelektual, Memahami Prinsip
Dasar, Cakupan Dan Undang-Undang Yang Berlaku”, (Oase Media, Bandung, 2010), hlm. 5.
3
Pangkalan Data Kekayaan Intelektual, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia, https://pdki-indonesia.dgip.go.id/search?type=gi&page=10&
keyword=&status=Didaftar, diakses pada tanggal 04 April 2022.

2
khusus yang hanya ada di daerah yang bersangkutan, dan tidak dapat diperoleh di
daerah lain yang berkualitas, reputasi, dan ciri-ciri lainnya dari barang tersebut
secara esensial berkaitan dengan asal geografisnya.4
Selain itu masih ada beberapa komoditas dari Propinsi Riau yang menjadi
potensi IG lainnya, yaitu: lempuk durian dari Bengkalis, sagu dari Meranti, nenas
dari Kampar dan Siak, kacang pukul dari Rokan Hilir, bolu kemojo dari
Pekanbaru, serta pohon nibung dari Daerah Pesisir yang merata di Riau. Selain
dari yang dijelaskan di atas, masih ada banyak lagi potensi IG yang tidak
mendapatkan perhatian yang baik dan serius dari pemerintah. Seharusnya hal ini
menjadi tanggung jawab dan tugas dari pemerintah, khususnya instansi terkait
seperti Kemenhukham Riau agar lebih aktif dalam melakukan sosialisasi dan
diseminasi bersama pemerintah Kabupaten/ Kota yang ada di Provinsi Riau.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk meneliti dan
menyusun paper dengan judul “Pelaksanaan Hak Indikasi Geografis Di
Indonesia : Studi Kasus Propinsi Riau”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis membatasi
pembahasannya dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kebijakan Pemerintah Propinsi Riau dalam melindungi potensi-
potensi IG yang ada di Propinsi Riau berdasarkan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016 Tentang Merk dan Indikasi Geografis?
2. Apa faktor Penghambat dalam meningkatkan IG yang ada di Propinsi Riau
berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 Merk dan Indikasi
Geografis?

4
Tavinayati, (2016), M. Effendy, Zakiyah dan M. Taufik Hidayat, “Perlindungan terhadap hak
kekayaan inteletktual, indikasi geografis hasil pertanian lahan basah sebagai produk khas
Propinsi Kalimantan Selatan”, Badamai Lau Journal bol.1, Issue 1, fakultas Hukum Universitas
Lampung, Lampung, April, hlm. 80

3
BAB II
TINJAUAN UMUM

A. Pengertian dan Penjelasan Hak Kekayaan Intelektual


Hak Kekayaan Intelektual (HKI) telah menjadi bagian penting yang
tidak terpisahkan dalam perkembangan perekonomian Nasional maupun
International. Berbagai jenis informasi tentang kebijakan, peraturan,
perkembangan terkini praktek penerapan dan perlindungan HKI, telah menjadi
materi yang sangat diperlukan oleh masyarakat. Pertumbuhan ekonomi
Indonesia dan dunia sangat ditopang oleh investasi inovasi kekayaan intelektual
yang selalu tumbuh dan berkembang seiring komersialisasi HKI tersebut. Oleh
karenanya diharapkan karya intelektual bangsa selalu dapat tumbuh dan
berkembang serta dapat berharmonisasi dengan karya intelektual bangsa lain.5
Hak kekayaan intelektual (Intellectual Property Rights) kini dan
kedepan adalah suatu fenomena menarik untuk dibahas, karena perannya sangat
menentukan terhadap laju percepatan pembangunan nasional, terutama dalam
era globalisasi. Disini era globalisasi dapat dianalisis dari dua karakteristik
dominan. Pertama, globalisasi ditandai dengan terbukanya secara luas
hubungan antar bangsa dan antar Negara yang didukung dengan transparansi
dalam informasi. Dalam kondisi transparansi informasi yang sedemikian itu,
maka kejadian atau penemuan di suatu belahan dunia akan dengan mudah
diketahui dan segera tersebar ke belahan dunia lainnya.6
Dari uraian tersebut diatas, dapat ditegaskan bahwa HKI adalah hak
kepemilikan atas ide atau informasi yang bersifat immateriele. Hak yang
diberikan adalah untuk memiliki, menggunakan dan melarang penggunaan ide
atau informasi dimaksud. Pada tataran praktis ada berbagai jenis HKI,
diantaranya yang utama adalah Hak Cipta, Paten, Merk, Indikasi Geografis,
Desain Industri, Rahasia Dagang dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.7

5
Abd Thalib dan Muchlisin, “Hak Kekayaan Intelektual Indonesia” (Depok : PT. Raja Grafindo
Persada, 2018), hlm. 19
6
Ibid.
7
Ibid.

4
B. Pengertian dan Penjelasan Indikasi Geografis
Indikasi geografis (geographycal indications) merupakan salah satu
bidang pada hak kekayaan intelektual. Menurut TRIPs Artikel 22 bagian I,
Indikasi geografis memberikan perlindungan produk yang kualitas, reputasi
atau ciri khas lainnya yang dipengaruhi pada kondisi geografis suatu daerah.
TRIPs memberikan dua kewenangan pada negara-negara anggota untuk
mencegah pihak lain melanggar hak, berdasarkan pada indikasi geografis.
Berdasarkan TRIPs Art 22, bagian II, kewenangan-kewenangan tersebut
adalah :
1. Penggunaan cara penunjukan barang yang merujuk atau menjanjikan bahwa
barang tersebut berasal dari daerah geografis, selain dari tempat asal yang
sebenarnya sehingga menyesatkan publik mengenai asal geografis dari
barang tersebut;
2. Setiap penggunaan yang menunjukkan adanya perbuatan persaingan curang
menurut Pasal 10 bis Paris Convention tahun 1967.
Pada hakikatnya, indikasi geografis sama seperti hak kekayaan
intelektual lainnya, untuk menyampaikan suatu pesan dari produk tersebut.
Pada indikasi geografis, para calon pembeli dapat mengetahui dari mana
produk itu berasal, karena setiap produk yang dihasilkan akan menunjukkan
tempat tertentu dengan memperlihatkan ciri khas dan karakteristik khusus yang
hanya dapat kita temukan di tempat tertentu.
Indikasi geografis juga dapat meningkatkan pemasaran suatu produk
yang dinamis. Hal tersebut dikarenakan indikasi geografis dimiliki secara
bersamaan pada suatu daerah tersebut. Masyarakat di daerah tersebut, dapat
memanfaatkannya dengan menjadikan indikasi geografis sebagai alat yang
sangat bagus bagi daerahnya dan juga bagi pembangunan ekonomi berbasis
komunitas dan kearifan lokal.
Indonesia merupakan pengikut TRIPs yang merunutkan aturan
internasional ini ke dalam Undang-Undang Nasional Nomor 15 Tahun 2001
tentang Merek. Pasal 56 menjelaskan bahwa indikasi geografis dilindungi
sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena
faktor lingkungan geografis termasuk alam, manusia atau kombinasi antara

5
kedua faktor tersebut, yang pada akhirnya memberikan ciri dan kualitas tertentu
pada barang yang dihasilkan.
Sebagai contoh faktor alam sebagai ciri indikasi geografis adalah
produk kopi. Indonesia dikenal dengan adanya Kopi Toraja yang kualitas dan
karakteristik kopi dari daerah tanah toraja sangat kuat, sehingga kopi toraja pun
dikenal ke seluruh penjuru dunia. Berbeda dengan faktor manusia, contohnya
adalah kerajinan batik jawa. Batik dihasilkan oleh para pengrajin batik yang
pada akhirnya mendapatkan kekhasan sendiri tentang produk tersebut.
Pemegang hak Indikasi geografis dapat melarang pihak lain untuk
menggunakan indikasi geografis yang sama, pelanggaran terhadap peraturan ini
menyebabkan hak indikasi geografis dapat menuntut ganti rugi kepada pihak
lain. Meskipun begitu, kepemilikan hak indikasi geografis tidak bisa bersifat
induvidualistik. Indikasi geografis bersifat komunalistik, dimiliki secara
bersama oleh masyarakat daerah tertentu. Tetapi, proses pendaftaran indikasi
geografis dapat diwakili oleh lembaga yang diberikan kewenangan untuk hal
tersebut. Pendaftarannya juga ditempat yang sama yaitu Kementerian Hukum
dan HAM.
Indonesia sebagai peserta TRIPs yang aktif dalam pergaulan dagang
internasional, harus menyesuaikan diri dengan konsep indikasi geografis.
Meskipun peraturan indikasi geografis sudah tersimpul dalam undang-undang
merek, namun pada pelaksanaan masih ada kendalanya. Masalah yang dihadapi
Indonesia menurut Emawati Junus saat ini adalah belum adanya produser atau
asosiasi indikasi geografis yang terkelola secara profesional. Padahal, asosiasi
ini mampu mengidentifikasi potensi indikasi geografis suatu daerah yang pada
akhirnya dapat mewakili daerah itu untuk mendaftarkan indikasi geografisnya
ke Direktorat Jenderal HAKI.8

8
Erlina, Dkk, Perlindungan Hukum Indikasi Geografis, Bandar Lampung, Pusaka Media, 2020.
Hlm. 13-14

6
BAB III
PEMBAHASAN

A. Kebijakan Pemerintah Propinsi Riau Dalam Melindungi Potensi-Potensi


IG Yang Ada Di Propinsi Riau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016 Tentang Merk dan Indikasi Geografis
Perlindungan Indikasi geografis dapat menyebabkan nilai produk menjadi
lebih tinggi, sehingga Indikasi geografis dapat menggerakkan perekonomian suatu
daerah asal produk Indikasi geografis dan Indikasi geografis ditujukan pada
produsennya bukan pada petaninya. Konsep Indikasi geografis adalah
perlindungan komunal, oleh karena itu dalam proses perlindungan Indikasi
geografis pelaksanaannya dapat dilakukan dengan memberdayakan dari kalangan
LSM, dari dinas-dinas pemerintah, warga sekitar untuk membuat uraian/deskripsi
atas produknya yang didaftarkan sebagai Indikasi geografis. Jumlah Indikasi
geografis di Indonesia masih banyak hanya saja tidak dimonitoring. Indikasi
geografis baru dilindungi dan mendapat perlindungan setelah didaftarkan
sebagaimana HKI kita menganut prinsip first to file.
Perlindungan hukum Indikasi geografis pada saat ini dapat memberikan
manfaat juga dalam segi ekonomi, ekologi, sosial budaya dan dari segi hukum.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Tim Ahli dari Indikasi geografis Ditjen HKI
Kementerian Hukum dan HAM, bahwa perlindungan Indikasi geografis pada saat
ini memberikan manfaat bagi produsen maupun konsumen berupa:9
1. Dari sisi ekonomi mencegah beralihnya kepemilikan hak pemanfaatan
kekhasan produk dari masyarakat setempat kepada pihak lain, memaksimalkan
nilai tambah produk bagi masyarakat setempat, memberikan perlindungan dari
pemalsuan produk, meningkatkan pemasaran produk khas, meningkatkan
penyediaan lapangan kerja, menunjang pengembangan agrowisata, menjamin
keberlanjutan usaha, memperkuat ekonomi wilayah, mempercepat
perkembangan wilayah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

9
Asma Karim Dan Dayanto. 2016. Perlindungan Hukum Dan Pengembangan Potensi Indikasi
geografis Minyak Kayu Putih. Jurnal Rechtsvinding., Media Pembinaan Hukum Nasional. Volume
5, Nomor 3. Desember 2016

7
2. Dari sisi ekologi dapat mempertahankan dan menjaga kelestarian alam,
meningkatkan reputasi kawasan, dan meningkatkan kelestarian plasma nutfah.
3. Dari sisi sosial budaya memberikan manfaat mempererat hubungan antar
perkebunan, meningkatkan dinamika wilayah dan melestarikan adat istiadat,
pengetahuan serta kearifan lokal.
4. Dari sisi hukum dalam hal ini bagi produsen perlindungan dan jaminan
kepastian hukum, bagi konsumen dalam hal ini memberikan jaminan kualitas
terhadap produk Indikasi geografis dan memberikan jaminan hukum bagi
konsumen, dimana perlindungan ini diakui dan berlaku secara internasional.
Dalam pelaksanaan perlindungan terhadap IG yang ada di Propinsi Riau,
pertama-tama haruslah diketahui berkenaan dengan pengetahuan di masyarakat
mengenai indikasi geografis dan perkembangannya di propinsi Riau. Pasal 70
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis
mewajibkan pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah melakukan kegiatan
untuk melindungi IG, seperti:
1. Persiapan untuk pemenuhan persyaratan permohonan indikasi geografis
2. Mengajukan permohonan pendaftaran indikasi geografis
3. Pemanfaatan dan komersialisasi indikasi geografis
4. Sosialisasi perlindungan indikasi geografis kepada masyarakat
5. Pemetaan dan inventarisasi potensi produk indikasi geografis
6. Pelatihan dan pendampingan, pemantauan, evaluasi, dan pembinaan
7. Memberikan perlindungan hukum, dan akhirnya memfasilitasi pengembangan,
pengolahan, dan pemasaran barang dan/atau produk indikasi geografis.
Penggunaan tanda sebagai IG dapat berupa etiket atau label yang
diletakkan pada barang yang dihasilkan. Tanda itu dapat berupa nama tempat,
daerah, atau wilayah, kata, gambar, huruf, atau kombinasi dari unsur unsur
tersebut. Perlindungan IG meliputi barang barang yang dihasilkan oleh alam,
barang hasil pertanian, hasil kerajinan tangan, atau hasil industri lainnya.10
Serupa dengan perlindungan Merek di Indonesia, perlindungan IG pada
akhirnya mensyaratkan adanya suatu proses permohonan pendaftaran. Hanya saja
pendaftaran dilakukan oleh kelompok masyarakat atau institusi yang mewakili
10
Yusran Isnaini, 2010, Buku Pintar HAKI Tanya Jawab Seputar Hak Kekayaan Intelektual,
(Bogor, Ghalia Indonesia), hlm. 133

8
atau memiliki kepentingan atas produk bersangkutan. Berdasarkan analisis bahwa
syarat objektif sebagaimana yang telah diuraikan di atas adalah merupakan unsur-
unsur yang akan menadakan reputasi, kualitas, dan karateristik yang harus
ditunjukkan melalui sebuah produk berpotensi IG. Unsur-unsur tersebut diteliti
dengan tujuan untuk proses perolehan perlindungan hukum IG. Syarat subjektif
merupakan syarat yang menerangkan siapa saja yang dapat mendaftarkan
perlindungan hukum terhadap IG. Setelah mendaftarkan produk yang memiliki
potensi IG dan memperoleh perlindungan hukum melalui IG masyarakat tersebut
memiliki hak eksklusif untuk mengedarkan dan memperdagangkan produknya
sehingga masyarakat daerah lain dilarang untuk menggunakannya pada produk
mereka.
Indonesia merupakan negara yang berdasarkan hukum dilandasi Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pancasila adalah sebagai
dasar negara dan sumber dari segala sumber hukum, sekaligus sebagai pandangan
hidup bangsa. Artinya, bahwa segala sesuatu yang bertentangan dengan Pancasila
dan UUD 1945 adalah dilarang dan tidak sah. Mengenai kebijakan Pemerintah
dengan tujuan perlindungan hukum terhadap IG di Propinsi Riau dapat diperoleh
informasi melalui beberapa sumber sebagai berikut:
1. Sosialisasi
Indikasi geografis merupakan suatu tanda yang menunjukkan daerah asal
suatu barang dan atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk
faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut
memberikan reputasi, kualitas dan karakteristik tertentu pada barang dan atau
produk yang dihasilkan.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Riau, Dewa Putu
Gede mengatakan saat ini baru ada satu indikasi geografis di Riau yang terdaftar.
Yaitu Kopi Liberika dari Kabupaten Meranti padahal Riau memiliki potensi yang
besar mengingat kekayaan alamnya yang besar dan budayanya yang beragam. Hal
itu dikatakannya saat membuka kegiatan sosialisasi kekayaan intelektual bertajuk
“Potensi Indikasi Geografis Dalam Wajah Indonesia Di Provinsi Riau”, Kamis
(22/3/2018) di Pekanbaru. Lebih lanjut Kakanwil berharap ada sinergi antara
masyarakat dengan pemerintah daerah agar potensi indikasi geografis di Riau

9
dapat didaftarkan untuk mendapat perlindungan hukum bagi pemiliknya sehingga
manfaat ekonominya dapat dinikmati oleh masyarakat tempat asal indikasi
geografis tersebut.11
Apakah ada kebijakan pemerintah pusat dan daerah berkenaan dengan
pengembangan IG. Jika ada, dapatkan bapak ceritakan apa saja kebijakan
pemerintah Propinsi Riau tersebut? Camat Tebing Tinggi Timur Kabupaten
Kepulauan Meranti menjawab pertanyaan tersebut sebagai berikut:12
“Bahwa sepengetahuan Saya Pemerintah dalam hal ini Dinas Pertanian
melakukan sosialisasi dengan cara mengumpulkan masyarakat tani di beberapa
kecamatan dan melakukan penyuluhan atau seminar mengenai indikasi geografis.
Namun untuk tindakan lainnya Saya tidak monitor”.
Dalam suatu IG tersirat adanya suatu identitas sekaligus menunjuk pada
daerah dimana barang tersebut berasal. Nama daerah, wilayah, tempat tersebut
berhubungan dengan alam sebagai tanda karena ciri-ciri dan kualitas barang yang
dihasilkan dipengaruhi oleh faktor-faktor geografis yang hanya ada di daerah
tersebut, sehingga karena faktor-faktor IG tersebut memberikan ciri dan kualitas
tertentu pada barang yang dihasilkan.
Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan otonom, masing-masing daerah harus berupaya senantiasa menggali
potensi yang mereka miliki, berupaya memajukan sumber daya manusia, serta
melakuka pembinaan terhadap macam-macam kegiatan ekonomi yang kreatif
demi mendorong terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

B. Faktor-faktor Penghambat Pelaksanaan IG Di Provinsi Riau Menurut


Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merk dan Indikasi
Geografis
Perlindungan IG bertujuan untuk melindungi kekhasan suatu produk IG
dari pemalsuan atau pemanfaatan yang tidak seharusnya sekaligus memberikan
kesempatan dan perlindungan kepada masyarakat wilayah penghasil produk khas
untuk mendapatkan manfaat yang maksimal dari produk khas tersebut. IG ini

11
Sosialisasi oleh Kanwil Kemenkumham Riau, “Potensi Indikasi Geografis Dalam Wajah
Indonesia Di Provinsi Riau”, https://riau.kemenkumham.go.id, diakses pada tanggal 7 April 2022.
12
Nur Aisyah Thalib, Dkk, Op. cit., hlm.175

10
digunakan sebagai asset untuk mensejahterakan masyarakat di suatu wilayah
dalam Negara, khususnya daerah apabila pemerintah lebih memiliki inisiatif untuk
mengembangkan potensi alam yang dimiliki oleh suatu daerah dengan tepat dan
bijaksana. Hal ini dapat terwujud apabila didukung sumber daya manusia yang
memadai. Namun pada perkembangannya di Propinsi Riau, IG terkesan kurang
dipahami oleh masyarakat lokal di daerah-daerah kabupaten di Propinsi Riau.
Dengan demikian agar IG ini bisa benar-benar memberikan manfaat bagi
suatu daerah dan/atau komunitas yang berhak sehingga perlu diidentifikasi faktor-
faktor yang menghambat pelaksanaan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016
Tentang Merek dan Indikasi geografis sebagai berikut:13
1. Syarat Pendaftaran IG
Pandangan yang menyatakan rumitnya pendaftaran IG ini hanyalah pemikiran
pendek dari masyarakat itu sendiri. Karena rendahnya faktor pendidikan yang
dimiliki masyarakat itu, persyaratan yang diberikan oleh Dirjen Kekayaan
intelektual dianggap sulit oleh masyarakat. Sehingga untuk menghindari
pemikiran sulitnya prosedur pendaftaran IG, maka pemerintah daerah beserta
perangkat Rukun Tetangga dan Rukun Warga dapat memulai komunikasi dua
arah melalui seminar, penyuluhan, workshop mengenai pendaftaran IG.
Pemerintah daerah harus dapat berperan menjadi fasilitator dalam mewujudkan
pelaksanaan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan
Indikasi Geografis.
2. Kesadaran Hukum Masyarakat Riau Rendah Terhadap IG
Kesadaran yang Penulis maksud mengarah kepada kurangnya perhatian dan
kepedulian dari Pemerintah dalam menjalankan fungsi dan peranannya untuk
melakukan sosialisasi terlebih lagi dalam rangka pembinaan kepada
masyarakat untuk menjadikan masyarakat mengerti dan paham terhadap
manfaat dari IG tersebut.
3. Pemerintah Propinsi Riau belum Menjadi Koordinator terhadap Instansi-
instansi yang berkaitan dengan IG

13
Nur Aisyah Thalib, Dkk, Op. cit., hlm.176-178

11
4. Belum cukupnya Tenaga Ahli dalam mengontrol Produk IG yang berkualitas
Kekurangan tenaga ahli harus dapat menjadi perhatian Utama dari Pemerintah
Pusat agar Undang-undang Nomor 20 tahun 2016 dapat dilaksanakan dengan
baik. Perlindungan IG sebagai upaya peningkatan kualitas masyarakat sudah
saatnya irealisasikan. Potensi daerah harus digali seiring mewujudkan
perekonomian berbasis kerakyatan, karena hasil ekonomi dari perlindungan IG
akan digunakan/dikembalikan lagi ke masyarakat. Agar IG menjadi aset daerah
yang potensial untuk dikomersilkan adalah:
1) Dilakukan inventarisasi produk daerah yang memunyai reputasi/ dikenal
luas dan berpotensi ekonomi.
2) Dilakukan penelitian tentang apa saja ciri atau kekhasan yang bisa diangkat
pada produk tertentu agar mendapat perlindungan dari segi IG;
3) Mencari dan menetapkan batas-batas geografis berdasarkan pengaruh
terbesar yang menyebabkan adanya ciri dan kualitas tersebut. Cara agar
suatu indikasi dapat ditemukan dari keadaan geografis tersebut.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kebijakan Pemerintah Propinsi Riau dalam memberikan perlindungan
hukum terhadap IG di Propinsi Riau tidak berjalan sebagaimana yang
diharapkan. Terbukti belum adanya Peraturan Daerah di Propinsi maupun
kabupaten dan kota yang mengatur tentang IG. Tidak adanya lembaga yang
menkoordinir dalam mengangkat dan mengembangkan terhadap potensi IG
yang dimiliki masing-masing daerah.
2. Sosialisasi kepada masyarakat oleh pemerintah daerah khususnya instansi
terkait sudah pernah dilakukan, namun hanya beberapa kali. Tidak adanya
pengawasan dalam menerapkan pelaksanaan peraturan yang sudah ada,
serta belum diatur mengenai hak dan kewajiban pemilik IG.
3. Faktor penghambat dalam melindungi IG yang ada di Propinsi Riau adalah
belum adanya Peraturan Daerah yang mengatur tentang IG, kesadaran
hukum masyarakat Propinsi Riau yang rendah terhadap IG, serta tidak
adanya jiwa kewirausahaan di kalangan aparat Pemerintah Propinsi Riau
pada umumnya, dan para pejabat kabupaten/kota pada khususnya. Faktor
lain yang juga tidak kalah pentingnya adalah belum cukupnya tenaga ahli
dalam mengontrol produk IG yang berkualitas.

B. Saran
1. Agar Potensi IG di tingkat Propinsi dan kabupaten/daerah dapat maju dan
berkembang, sekaligus memberikan perlindungan hukum terhadap produk
IG yang sudah maupun yang belum ada dapat dilaksanakan dengan baik,
dituntut suatu kebijakan lintas sektoral oleh Pemerintah Propinsi kepada
pemerintah kabupaten/kota hingga para stake holder terkait.
2. Terhadap pemilik IG yang belum terkenal, supaya dilakukan penambahan
tenaga ahli sehingga produk IG dapat dievaluasi secara berkala dan
perbaikan selalu dilakukan terhadap pengusaha dan UMKM di daerah-
daerah.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abd Thalib dan Muchlisin, 2018, “Hak Kekayaan Intelektual Indonesia”, Depok :
PT. Raja Grafindo Persada.

Asma Karim Dan Dayanto. 2016. Perlindungan Hukum Dan Pengembangan


Potensi Indikasi geografis Minyak Kayu Putih. Jurnal Rechtsvinding. Media
Pembinaan Hukum Nasional. Volume 5, Nomor 3. Desember.

Erlina, Dkk, 2020, “Perlindungan Hukum Indikasi Geografis”, Bandar Lampung,


Pusaka Media.

Nur Aisyah Thalib Dkk, 2020, “Suatu Analisis Terhadap Perlindungan Hukum
Indikasi Geografis di Provinsi Riau” Jurnal Selat, Volume. 7, Nomor. 2, Mei.

Sudaryat, Sudjana, dan Rika Ratna Permata, 2010 “Hak Kekayaan Intelektual,
Memahami Prinsip Dasar, Cakupan Dan Undang-Undang Yang Berlaku”, Oase
Media, Bandung.

Tavinayati, (2016), M. Effendy, Zakiyah dan M. Taufik Hidayat, “Perlindungan


terhadap hak kekayaan inteletktual, indikasi geografis hasil pertanian lahan
basah sebagai produk khas Propinsi Kalimantan Selatan”, Badamai Lau Journal
bol.1, Issue 1, fakultas Hukum Universitas Lampung, Lampung, April.

Yusran Isnaini, 2010, Buku Pintar HAKI Tanya Jawab Seputar Hak Kekayaan
Intelektual, Bogor, Ghalia Indonesia.

Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merk dan Indikasi Geografis

Undang - Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merk

14
Pangkalan Data Kekayaan Intelektual, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, https://pdki-
indonesia.dgip.go.id/search?type=gi&page=10& keyword=&status=Didaftar,
diakses pada tanggal 04 April 2022.

Sosialisasi oleh Kanwil Kemenkumham Riau, “Potensi Indikasi Geografis Dalam


Wajah Indonesia Di Provinsi Riau”, https://riau.kemenkumham.go.id, diakses
pada tanggal 7 April 2022.

15

Anda mungkin juga menyukai