Anda di halaman 1dari 33

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Fraud


Bentuk pelanggaran paling keras terhadap etika, kontrak, dan regulasi adalah
kecurangan (fraud). Dalam kecurangan. Terdapat unsur niat jahat, kesengajaan, dan
penipuan. Oleh karena itu, kecurangan akan selalu dikaitkan dengan pelanggaran hukum.
Kalau ditelisik lebih lanjut, sebetulnya, tidak ada orang yang berkeinginan untuk
melanggar hukum. Dalam hati kecil setiap orang, tidak akan ada yang mau dicap sebagai
pelanggar hukum. Namun, kenyataannya, palanggaran hukum selalu terjadi di dunia
nyata. Tentu, kenyataan ini masih harus disesuaikan dengan definisi tentang pelanggaran
hukum dan persepsi masyarakat terhadapnya.
Praktik yang hampir mirip atau mendekati kecurangan adalah moral hazard. Porsi
tindakan yang berupa moral hazard lebih besar dibandingkan dengan kecurangan.
Walaupun moral hazard, barangkali, tidak dapat dibuktikan sebagai pelanggaran hukum,
tetapi pada umumnya, khalayak ramai menganggapnya sebagai tindakan yang tidak elok.
Kecurangan dan moral hazard merupakan telaah penting dalam penyusunan etika, kode
etik, kontrak, dan regulasi. Salah satu tujuan dari penyusunan kode etik, kontrak, dan
regulasi adalah untuk menghindari terjadinya moral hazard oleh pihak yang terlibat dan
mengidentifikasikan secara jelas dan tegas tindakan kecurangan.

2.2 Kecurangan dan Moral Hazard


Hubungan pelanggaran etika, kontrak, regulasi dengan moral hazard dan kecurangan
dapat dilihat dalam Gambar 14.1.
Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) menggolongkan kecurangan ke
dalam 3 (tiga) jenis, yaitu kecurangan pelaporan (fraudulent statement), pencurian aset
(misappropriation of assets), dan korupsi (corruption) (ACFE, 2014: 12). Kecurangan
pelaporan dibagi lagi menjadi dua, yaitu kecurangan pelaporan keuangan dan kecurangan
non-keuangan. Kecurangan non-keuangan di antaranya adalah pemberian credential
kepada karyawan (yang salah). Pencurian aset meliputi tindakan yang lebih banyak lagi.
Demikian juga dengan korupsi. Undang-undang tindak pidana korupsi di Indonesia
merinci tindakan melawan hukum ini ke dalam tujuh kelompok tindak pidana korupsi,
tiga puluh bentuk tindak pidana korupsi, dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan
tindak pidana korupsi (Tuanakotta, 2013: 42).
Moral hazard, seperti juga telah dikemukakan sebelumnya, adalah tindakan dan
perbuatan seseorang atau organisasi demi keuntungan diri sendiri dan dapat berakibat
merugikan orang lain, dalam kaitannya dengan pelaksanaan dan penerapan suatu kontrak
atau regulasi. Moral hazard juga berlaku terhadap norma-norma etika atau yang lebih
eksplisit lagi, terhadap kode etik. Penyebab utama dari moral hazard adalah adanya
informasi yang disembunyikan oleh pihak yang melakukannya (dalam teori keagenan
disebut agen). Berbeda dengan tindakan kecurangan, moral hazard dapat terjadi tanpa
dapat dibuktikan bahwa tindakan tersebut melawan hukum. Selalu ada pembenaran dalam
moral hazard. Di sinilah perbedaan antara fraud dan moral hazard, sebab syarat fraud
adalah bahwa tindakan itu dilakukan dengan melawan hukum.
Moral hazard memanfaatkan celah yang ada dalam kontrak atau regulasi. Moral
hazard dapat mengakibatkan pihak lain yang dirugikan (dalam teori keagenan disebut
prinsipiel) mengalami salah pilih (adverse selection). Prinsipiel tidak dapat memonitor
dan memaksa secara sempurna tindakan moral hazard ini. Moral hazard lebih berkaitan
dengan pelanggaran etika. Sanksi yang dapat diberikan untuk moral hazard hanyalah
sanksi sosial.

2.3 Pelanggaran Etika, Kontrak, dan Regulasi


Etika, dalam bentuk norma, prinsip moral, atau nilai, merupakan bentuk awal dari
tatanan hubungan sosial antarmanusia. Ketika manusia berkumpul dalam sebuah
kelompok atau organisasi, mereka menciptakan etika untuk mengatur hubungan
antarkelompok dan antarorganisasi, di antara anggota kelompok atau organisasi, dan
antar-anggota kelompok atau organisasi yang bersangkutan. Etika digunakan sebagai
pedoman untuk menghormati dan memperhitungkan hak dan kepentingan orang lain
dengan siapa mereka membina hubungan sosial. Etika tidak harus dalam bentuk tertulis,
tetapi dalam perkembangannya, norma, prinsip moral, atau nilai tersebut dijadikan
sebagai aturan positif yang dinyatakan secara tertulis dalam bentuk, misalnya kode etik.
Kemudian, sesuai dengan perkembangannya, bagian dari etika yang hanya
berkaitan dengan jenis hubungan tertentu antara pihak-pihak tertentu yang terlibat,
disepakati untuk dituangkan dalam kontrak di antara mereka. Hubungan bisnis
merupakan salah satu dari hubungan yang termasuk dalam kategori "jenis tertentu" dan
hanya melibatkan "pihak tertentu". Oleh karena itu, sepanjang berkaitan dengan bisnis,
hubungan tersebut dituangkan dalam kontrak. Apabila kedudukan pihak-pihak yang
terlibat dalam bisnis tidak seimbang (ada yang lemah dan ada yang kuat) dan
ketidakseimbangan tersebut mengganggu kepentingan banyak pihak dan berdampak
buruk terhadap kehidupan bernegara, proteksi terhadap hak, dan kepentingan pihak yang
lemah diwujudkan dalam bentuk regulasi.
Walaupun sudah ada etika, kontrak, atau regulasi, tetapi tetap saja ada individu
maupun organisasi yang mencoba untuk melanggarnya. Pelanggaran kontrak dan regulasi
tentulah merupakan tindakan melawan hukum. Pelanggaran kontrak (breach of contract)
dalam bentuk wanprestasi akan berhadapan dengan hukum perdata. Hal ini terjadi jika
salah satu pihak yang dirugikan mengadukannya ke pengadilan. Pada dasarnya,
pelanggaran terhadap regulasi merupakan tindakan pidana yang dapat dikenakan sanksi
pidana. Pelanggaran kontrak atau regulasi merupakan tindakan curang atau penipuan
(fraud). Selain pelanggaran dengan melawan hukum, seseorang atau organisasi juga
berusaha untuk menyiasati etika, kontrak, dan regulasi demi keuntungan diri sendiri.
Perbuatan ini sering disebut dengan moral hazard. Penyiasatan kontrak atau regulasi
mungkin bukan tindakan melawan hukum, tetapi jelas merupakan pelanggaran etika.

2.4 Pemicu
Ada dua sifat dasar manusia yang menjadi pemicu utama pelanggaran etika.
Kedua sifat dasar itu adalah keserakahan (greed) dan ketakutan (fear). Sementara itu, juga
ada dua kondisi yang menyebabkan terjadinya pelanggaran etika, yaitu kesempatan dan
konsekuensi. International Standards of Auditing (ISA) Nomor 240 menyebutkan ada 3
(tiga) faktor risiko akibat kecurangan pelaporan keuangan, yang disebut dengan segitiga
kecurangan (fraud triangle), yaitu insentif/tekanan (incentives/pressures),
sikap/rasionalisasi (attitude/rationalization) dan kesempatan (opportunity). Ketiga faktor
risiko ini pada dasarnya merupakan pemicu terjadinya pelanggaran etika, kontrak, atau
regulasi yang pada akhirnya menjelma menjadi tindakan kecurangan dan moral hazard.
Segitiga kecurangan dapat digambarkan seperti dalam Gambar 14.2.

Insentif adalah bentuk lain dari keserakahan. Godaan duniawi yang dijanjikan dari
tindakan kecurangan atau moral hazard memicu keserakahan orang atau organisasi yang
bersangkutan. Seperti telah dikemukakan, godaan duniawi tidak harus berupa uang atau
harta lain. Remunerasi dalam bentuk bonus yang didasarkan atas target laba tertentu,
misalnya, adalah insentif bagi manajemen atau karyawan untuk melanggar etika, kontrak,
dan regulasi. Mereka, dengan segala daya upaya, akan berusaha mencapai target yang
dimaksud termasuk, misalnya, melakukan manajemen laba. Pencurian aset dasarnya
adalah insentif, yaitu aset yang dicuri tersebut. Insentif yang diikuti dengan keserakahan
adalah akibat dari dorongan hati nurani yang tidak terkendali
Tekanan (pressure) berasal dari ancaman pihak luar yang mengakibatkan
ketakutan dan terganggunya rasa aman. Pihak luar itu dapat berasal dari pemegang
saham, stakeholder lain, pasar, atau regulasi yang menetapkan target atau sasaran yang
harus dicapai. Tekanan untuk mencapai target laba dalam kondisi ekonomi yang sulit
adalah salah satu contoh. Demikian juga keharusan untuk pembayaran cicilan dan
memenuhi syarat-syarat (covenant) dalam perjanjian kredit dengan bank. Upaya untuk
menjaga agar harga saham tidak merosot merupakan contoh dari tekanan pasar. Ketaatan
terhadap regulasi dapat merupakan tekanan tersendiri jika situasi sedang tidak
memungkinkan.
Tekanan dapat diidentifikasikan dengan ketakutan (fear). Ketakutan tidak dapat
memperoleh apa yang diinginkan atau gagal dalam mencapai tujuan merupakan tekanan
untuk melanggar etika, kontrak, dan regulasi. Kondisi keuangan yang sedang sulit,
misalnya, merupakan pemicu untuk bertindak curang. Demikian juga dengan ketakutan
untuk diberhentikan dari jabatan. Rasa aman yang terganggu dan ketidak-ikhlasan dalam
menghadapi kegagalan merupakan penggerak untuk melakukan pelanggaran. Mantra
sukses yang dihadapi manajemen (dan juga setiap orang) membelenggu mereka untuk
menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan.
Tekanan dihadapi oleh semua orang dalam setiap lapis organisasi. Organisasi
yang modern, di mana efisiensi dan produktivitas merupakan dasar untuk bekerja akan
selalu mengakibatkan adanya tekanan pada pekerjanya, tetapi kecurangan atau moral
hazard tidak harus menghinggapi semua orang yang memperoleh tekanan tersebut.
Syukur dan ikhlas adalah kunci untuk menghadapi ketakutan (dan keserakahan).
Kesempatan (opportunity) merupakan kondisi dari luar individu dan organisasi
yang mendorong terjadinya pelanggaran etika, kontrak, dan regulasi. Kesempatan dapat
terjadi karena ketidakjelasan etika, kontrak, dan regulasi yang mengakibatkan timbulnya
multitafsir yang bersifat subjektif. Dalam bidang akuntansi, penyajian yang didasarkan
atas nilai taksiran (estimates) merupakan kesempatan untuk memunculkan kondisi
multitafsir. Selain itu, sistem pengendalian internal yang lemah menimbulkan kesempatan
untuk melakukan pelanggaran. Transaksi (produk) yang kompleks, semisal derivatif,
merupakan kesempatan untuk menafsirkan kebenaran sesuai dengan keinginannya
masing-masing. Operasi perusahaan yang mencakup wilayah yang luas dengan sistem
monitoring yang kurang memadai memungkinkan orang-orang di cabang perusahaan
mengambil kesempatan memanfaatkan situasi tersebut.
Lingkungan yang mendorong sikap tidak jujur adalah pemicu terjadinya
pelanggaran etika. Kontrak, dan regulasi. Aspek lingkungan yang paling dominan adalah
adanya panutan atau keteladanan dari atas (tone from the top). Atas dalam hal ini adalah
pimpinan (management). Sikap dan perbuatan manajemen dalam kaitannya dengan etika,
kontrak, dan regulasi akan menentukan bagaimana orang-orang di bawahnya akan
bertindak menghadapi ketidakjujuran. Budaya perusahaan yang terdiri atas kode etik dan
nilai akan menjadi tidak ada artinya jika tidak dilaksanakan oleh semua orang dalam
perusahaan tersebut. Kode etik dipasang di setiap ruangan. Tetapi hanya menjadi
pajangan. Faktor lain dalam segitiga kecurangan (tekanan, insentif, dan kesempatan)
merupakan pendorong munculnya sikap yang nyata dalam perusahaan. Faktor-faktor ini
tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh manajemen perusahaan.
Adanya faktor rasionalisasi (rationalization) atau pembenaran merupakan pemicu
bagi seseorang dan organisasi untuk berlaku curang atau melakukan perbuatan yang
bersifat moral hazard. Salah satu pembenaran yang biasa dikemukakan adalah karena
“orang lain juga berbuat yang sama”. Suatu kecurangan yang dilakukan secara berjamaah
dianggap sebagai bukan kecurangan. Dia sudah menjadi budaya itu sendiri, yaitu “budaya
curang”. Rasionalisasi akan lebih kuat lagi jika yang melakukan kecurangan adalah pihak
atasan.
Rasionalisasi akan didukung oleh sistem jika konsekuensi (consequences) dari
tindakan curang masih tergolong ringan. Contoh konsekuensi yang ringan adalah
rendahnya hukuman jika terjadi pelanggaran dibandingkan dengan manfaat yang
diperoleh. Konsekuensi juga dapat diartikan sebagai kemungkinan tertangkapnya
tindakan curang tersebut. Kemungkinan tertangkapnya suatu kecurangan ditentukan oleh
law enforcement dan budaya masyarakat. Jika law enforcement lemah, kemungkinan
tertangkapnya juga kecil. Demikian juga, jika budaya masyarakat menganggap bahwa
kecurangan merupakan suatu hal yang biasa, tindakan kecurangan tidak akan dapat
diketemukan.

2.5 Pencurian Aset


Studi yang dilakukan oleh ACFE pada 2014 (ACFE, 2014: 12) menunjukkan
bahwa dari segi frekuensi kejadian, pencurian aset merupakan bagian terbesar (85 persen)
diikuti dengan korupsi (36 persen) baru kemudian kecurangan dalam pelaporan keuangan
(9 persen). Dari sudut nilai kerugian, kecurangan pelaporan keuangan menempati posisi
teratas dengan median sebesar $1 juta, sedangkan kerugian korupsi adalah $708,000.
Akibat pencurian aset hanya sebesar $130.000. Survei itu menunjukkan bahwa walaupun
frekuensi pencurian aset paling sering terjadi, tetapi nilai kerugiannya secara rata-rata
termasuk yang paling kecil. Ini berarti bahwa pencurian aset pada umumnya dilakukan
oleh karyawan dalam golongan yang relatif rendah. Kecurangan jenis ini sering disebut
dengan kecurangan karyawan (employees’ fraud) untuk membedakannya dengan
kecurangan manajemen (management fraud).
Jenis kecurangan, yaitu pencurian aset, korupsi, dan skema ponzi. ACFE (2014:
71) mendefinisikan pencurian aset sebagai skema kecurangan dimana karyawan mencuri
atau menyalahgunakan sumber daya perusahaan. Jadi, pencurian aset dikategorikan
sebagai kecurangan karyawan (employees’ fraud). Namun, pencurian aset perusahaan
juga dapat dilakukan oleh manajemen atau pihak luar. Kecurangan pegawai juga sering
disebut dengan kecurangan jabatan (occupational fraud) karena kecurangan tersebut
dilakukan dalam kapasitasnya sebagai pemegang jabatan di perusahaan.
Pencurian aset dapat mengambil berbagai bentuk, tetapi pada dasarnya mencakup
dua hal, yaitu pencurian uang dan pencurian persediaan dan aset lain. ACFE
mengelompokkan pencurian aset ke dalam sembilan skema (ACFE, 2014: 17 dan 71)
sebagai berikut.
1. Pemalsuan cek (check tampering).
2. Penggajian fiktif (fictious payroll).
3. Penggantian biaya (expense reimbursement).
4. Penagihan (billing).
5. Penyaringan (skimming).
6. Pencurian uang tunai (cash on hand).
7. Penggelapan uang (cash larceny).
8. Pemalsuan register pengeluaran kas (cash register disbursement).
9. Non-tunai (non-cash).
Pemalsuan cek (check tampering) dilakukan dengan jalan menahan (intercepting),
memalsukan (forging), atau mengalihkan (altering) suatu cek yang ditulis untuk rekening
perusahaan ke rekening pribadi. Pemalsuan gaji dilakukan dengan membayarkan upah
dan gaji kepada pegawai fiktif atau pembayaran uang lembur yang palsu karena yang
bersangkutan senyatanya tidak bekerja lembur. Penggantian biaya (expense
reimbursement) juga dapat merupakan salah satu cara melakukan kecurangan. Dalam hal
ini, klaim penggantian biaya dimintakan untuk pengeluaran pengeluaran fiktif atau
pengeluaran-pengeluaran pribadi atau dengan cara membesarkan (mark-up) pengeluaran-
pengeluaran tersebut. Kecurangan melalui penagihan dilakukan dengan menagihkan
kepada perusahaan pengadaan barang dan jasa fiktif atau harga barang dan jasa tersebut
telah dinaikkan (mark-up) atau penagihan terhadap pengeluaran pengeluaran pribadi.
Sering terjadi penagihan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan kosong yang sengaja
didirikan oleh karyawan atau manajemen untuk tujuan penampungan uang.
Penyaringan (skimming) merupakan pencurian terhadap pembayaran yang
diterima perusahaan sebelum dicatat dalam pembukuan. Uang dikantongi sendiri,
sedangkan penjualannya tidak dilaporkan dan dicatat. Pencurian uang tunai dilakukan
terhadap uang tunai yang ada dalam brankas perusahaan. Perbedaannya dengan
penggelapan uang (cash larceny) adalah bahwa pencurian yang terakhir ini tidak berasal
dari brankas perusahaan. Penggelapan uang berasal dari penerimaan uang yang tidak
disetorkan ke rekening perusahaan, walaupun penerimaan tersebut telah dicatat dalam
pembukuan. Pemalsuan melalui register pengeluaran kas (cash register disbursement)
dilakukan dengan membuat pembukuan (entries) yang palsu di register kas untuk
menyembunyikan pengeluaran uang yang dikantongi untuk diri sendiri. Pencurian non-
tunai dilakukan memanfaatkan aset non-tunai atau sumber daya milik perusahaan untuk
kepentingan diri sendiri. Pencurian barang-barang dari gudang, misalnya. Atau
penggunaan informasi rahasia tentang pelanggan untuk kepentingan pribadi.

2.6 Tanda Bahaya Perilaku Curang


Pelaku kecurangan (perpetrator) biasanya, menunjukkan perilaku atau mengalami
kondisi tertentu sebelum diketahui telah melakukan kecurangan. Perilaku atau kondisi
tersebut dapat digunakan sebagai indikator kemungkinan kecurangan yang mereka
lakukan. Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) dalam studinya menyebutkan
perilaku-perilaku (behaviour) yang dapat menunjukkan adanya tanda-tanda kecurangan
(ACFE, 2014: 59). Berikut ini perilaku-perilaku yang dimaksud.
1. Kehidupan melampaui kewajaran (living beyond means)
2. Kesulitan keuangan (financial dificulties).
3. Kedekatan dengan pemasok atau pelanggan (unusually close association with
vendor/customer).
4. Keengganan berbagi tugas (unwillingly to share duties).
5. Cerai atau masalah keluarga (divorce/family problem).
6. Perilaku pedagang lihai (wheeler-dealer attitude).
7. Mudah tersinggung, mudah curiga, dan defensif (irritability, suspicious, and
defensiveness).
8. Masalah kecanduan (addiction problem).
9. Masalah pekerjaan sebelumnya (past employment problem).
10. Keluhan tentang rendahnya gaji (complain about inadequate pay).
11. Penolakan untuk mengambil cuti (refusal to take vacation).
12. Tekanan terlalu berat dari dalam organisasi (excessive pressure from within
organization).
13. Masalah hukum sebelumnya (past legal problem),
14. Keluhan tentang kurangnya wewenang (complain about lack of authority).
15. Tekanan dari keluarga dan rekan untuk sukses (excessive family/peer pressure for
success).
16. Ketidak-stabilan dalam lingkungan kehidupan (instability in life circumstance)
Studi yang dilakukan ACFE menunjukkan bahwa kehidupan melampaui
kewajaran merupakan indikator perilaku yang paling banyak disebutkan (44 persen).
Kesulitan keuangan merupakan indikator perilaku kedua (33 persen). Peringkat ini
kemudian diikuti oleh kedekatan dengan pemasok atau pelanggan (22 persen),
keengganan berbagai tugas (21 persen), dan perilaku pedagang lihai (18 persen). Studi itu
juga menyimpulkan bahwa pelaku kecurangan berasal dari berbagai posisi dalam
perusahaan mulai dari karyawan biasa, manajer, sampai pemilik/eksekutif. Tekanan atau
motivasi untuk melakukan kecurangan juga berbeda untuk masing-masing posisi.
Kesulitan keuangan, misalnya, merupakan penyebab utama dari kecurangan yang
dilakukan oleh karyawan biasa. Sementara itu, indikator untuk posisi owner, eksekutif,
atau manajer adalah perilaku pedagang lihai, kedekatan dengan pemasok atau pelanggan,
keengganan untuk berbagi tugas, dan tekanan yang terlalu berat dari dalam organisasi.

2.7 Mis-Counduct
Dalam penelitiannya, ACFE juga menanyakan kepada responden apakah
berdasarkan investigasinya, para pelaku juga telah melakukan perbuatan tidak senonoh
(misconduct) sebelum terbongkarnya kasus kecurangan mereka. Jawaban atas pertanyaan
ini menunjukkan bahwa 38 persen dari perilaku kecurangan tersebut pernah melakukan
paling tidak satu kali perbuatan tidak senonoh Di antara perbuatan tidak senonoh yang
paling banyak dilakukan adalah bullying/intimidasi (17 persen), kemudian diikuti dengan
suka bolos kerja (14 persen), malas (8 persen), browsing internet (7 persen), mengunjungi
situs pornografi atau judi (3 persen), dan pelecehan seksual (2 persen). Dalam kaitannya
dengan Human Resources Department (HRD). Para pelaku kecurangan tersebut pernah
berhubungan dengan HRD dalam kaitannya dengan evaluasi kerja yang buruk (11
persen), ketakutan kehilangan pekerjaan karena pengecilan atau restrukturisasi usaha (7
persen), betul-betul kehilangan pekerjaan (3 persen), pemotongan gaji (3 persen),
pemotongan manfaat lain (3 persen), penurunan jabatan atau demotion (2 persen), dan
pengurangan jam kerja secara suka rela (1 persen).

2.8 Penanggulangan
Berbeda dengan kecurangan oleh manajemen (management fraud), kecurangan
oleh karyawan (employees fraud) pada umumnya, dapat diatasi dengan menerapkan
sistem pengendalian internal yang baik. Tata kelola perusahaan yang baik dapat
mencegah terjadinya kecurangan manajemen. Dalam studi yang dilakukan ACFE pada
2014, ada 18 (delapan belas) pengendalian (controls) yang diterapkan oleh perusahaan
untuk mencegah terjadinya kecurangan (ACFE, 2014: 31). Pengendalian pengendalian itu
sebagai berikut.
1. Audit eksternal oleh akuntan publik terhadap laporan keuangan.
2. Penerapan kode etik (code of conduct).
3. Adanya bagian internal audit.
4. Sertifikasi laporan keuangan oleh manajemen.
5. Audit eksternal terhadap Internal Control Over Financial Reporting (ICOFR).
6. Tinjauan ulang oleh manajemen.
7. Komite audit independen.
8. Hotline.
9. Program pendukung karyawan.
10. Pelatihan tentang kecurangan kepada manajer/eksekutif.
11. Pelatihan tentang keuangan kepada karyawan biasa.
12. Kebijakan anti kecurangan.
13. Pembentukan departemen, fungsi, atau tim khusus yang menangani kecurangan.
14. Analisis data monitoring.
15. Penilaian (assesment) secara proaktif dan formal risiko kecurangan.
16. Pemeriksaan secara acak (surprise audit).
17. Rotasi pekerjaan atau wajib cuti.
18. Penghargaan bagi peniup peluit (wistle blower).
Studi tersebut menemukan bahwa walaupun audit oleh akuntan publik merupakan
sistem pengendalian yang paling banyak diterapkan (80 persen dari kasus responden),
tetapi kemampuan untuk mendeteksi kasus hanyalah 3 persen. Angka yang tinggi untuk
audit oleh akuntan publik, mungkin disebabkan karena sistem pengendalian tersebut
merupakan suatu keharusan yang ditetapkan oleh regulator. Sementara itu, walaupun
hotline, hanya diterapkan oleh 54 persen dari kasus, tetapi deteksi kecurangan melalui
laporan pemberian persenan atau uang tip mencapai 42 persen. Hotline adalah mekanisme
untuk melaporkan terjadinya kecurangan atau penyimpangan lain yang dilakukan secara
internal atau oleh pihak lain. Pemberian persenan atau uang tip adalah salah satu metode
deteksi kecurangan yang paling banyak mendatangkan penemuan awal terhadap suatu
kecurangan.
Tinjau ulang manajemen manajemen (management review) adalah proses oleh
manajemen untuk meninjau ulang (review), pengendalian (controls), proses (bisnis), akun
(accounts), atau transaksi mengenai kepatuhan terhadap kebijakan dan harapan
perusahaan. Sebagai alat pengendalian dalam mencegah kecurangan, tinjauan ulang
manajemen diterapkan dalam 74 persen perusahaan dengan karyawan kurang dari 100
dan 33 persen oleh perusahaan dengan karyawan lebih dari 100. Dalam hal untuk
mendeteksi kecurangan, studi ACFE melaporkan bahwa 16 persen dari awal berasal dari
cara ini. Adanya program untuk membantu karyawan dalam menangani masalah-masalah
pribadi, seperti narkoba, kesulitan keuangan, masalah keluarga, juga merupakan salah
satu cara untuk mencegah kecurangan. Program pendukung karyawan (employee support
programs) semacam ini, dalam studi ACFE diterapkan oleh 52 persen dari kasus yang
diteliti.

2.9 Skema Ponzi


Akhir-akhir ini, marak permasalahan yang berkaitan dengan investasi berskema
ponzi (di Indonesia sering disebut dengan investasi “bodong”). Produk keuangan ini telah
mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat. Sering, penjualan produk tersebut
dikemas dengan investasi dalam bidang pertanian. Contoh terakhir dari kasus ini di
Indonesia adalah PT Wandermind (Tempo, 1-7 Juni 2015: 84-85). Investasi berskema
ponzi pada dasarnya adalah salah satu bentuk kecurangan (fraud) yang berkaitan dengan
produk. Penipuan melalui investasi ponzi yang menghebohkan dunia dilakukan oleh
Bernie Madoff (2008) dengan kerugian sebesar US$64,8 miliar. Skema ponzi termasuk
dalam kategori pencurian aset. Praktik usaha skema ponzi dilarang di Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
Ada dua pihak yang terlibat dalam produk berskema ponzi, yaitu sponsor dan
investor. Sponsor merancang dan menjual produk kepada investor (pembeli dan pemilik
uang). Investasi berskema ponzi, pada umumnya, ditandai oleh hal-hal berikut
(Bhattacharya, 2003)
1. Menarik dana dari masyarakat dan memisahkan uang tersebut dari kendali pemiliknya
(investor).
2. Dana dan penginvestasiannya dikelola oleh pihak sponsor tanpa melibatkan investor.
3. Menjanjikan imbalan yang tinggi, di atas tingkat bunga normal dengan risiko yang
kecil.
4. Informasi tentang skema investasi terlihat masuk akal dan dapat diterima oleh
investor.
5. Pihak sponsor termasuk orang-orang kredibilitasnya dikenal di masyarakat.
6. Untuk membangun kredibilitas, pada awalnya, pembayaran imbalan berjalan lancar.
7. Menggunakan konsep piramida, yaitu seorang investor diharuskan mencarikan
investor lain.
Skema ini yang diberi nama sesuai dengan nama penemunya, Charles Ponzi
(1920), ditakdirkan untuk bangkrut (collapse) karena hasil (earning) yang diperoleh, jika
ada, tidak akan dapat menutupi seluruh pembayaran yang dijanjikan. Pembayaran
kembali pokok beserta imbalannya dilakukan dengan uang yang dikumpulkan dari
kelompok investor pemula itu sendiri dan dari kelompok-kelompok berikutnya yang
dapat mereka tarik (konsep piramida). Demikian seterusnya sampai skema tersebut
bangkrut dengan sendirinya atau dilarang oleh yang berwajib. Untuk menghindari
penipuan yang berkedok skema ponzi, hal-hal berikut perlu diperhatikan pada waktu
ditawari suatu produk investasi.
1. Apakah penjual mempunyai izin untuk menjual produk dimaksud?
2. Apakah produk investasi tercatat di pihak otoritas?
3. Apakah informasi tentang imbalan dan risiko memadai dan masuk akal?
4. Apakah produk investasi dapat dimengerti atau pernah terbukti sebagai produk yang
kredibel?
Selain sebagai produk keuangan yang diperjualbelikan, istilah ponzi juga
digunakan dalam menganalisis suatu pembiayaan perusahaan. Minsky (2008)
membedakan bentuk pembiayaan menjadi 3 (tiga) keadaan, yaitu hedge, spekulatif, dan
ponzi. Pembiayaan hedge terjadi apabila arus kas yang diharapkan dari pengoperasian
aset, yang disebut dengan sewa kuasi (quasi rent), lebih dari cukup untuk memenuhi
pembayaran yang diperjanjikan (contractual payment) saat sekarang dan pada masa
mendatang.
Dalam pembiayaan spekulatif, arus kas masuk dari pengelolaan aset lebih kecil
daripada komitmen pembayaran (committed payment) terutama dalam jangka pendek.
Jika arus kas (masuk dan keluar) dibedakan antara arus kas yang berasal dari operasi dan
arus kas untuk pengembalian pokok pinjaman (principal), kondisi spekulatif terjadi
apabila arus kas masuk melebihi arus kas untuk operasi, termasuk biaya pembiayaan
(financing cost). Kelebihan arus kas masuk dari pengoperasian aset terhadap arus kas
keluar untuk operasi disebut dengan sewa kuasi dikapitalisir (capitalized quasi rent).
Kelebihan ini digunakan untuk pembayaran kembali pokok pinjaman. Kekurangan arus
kas terjadi jika komitmen pembayaran pinjaman pokok (principal) melebihi kemampuan
yang direncanakan dari pengoperasian aset. Pembiayaan spekulatif berkaitan dengan
miss-match arus kas karena utang jangka pendek digunakan untuk membiayai aset yang
pengembaliannya hanya dapat dilakukan dalam jangka panjang.
Pembiayaan ponzi mirip dengan pembiayaan spekulatif. Perbedaannya terletak
pada kemampuan membayar kewajiban biaya pembiayaan untuk jangka pendek. Dalam
pembiayaan ponzi, perusahaan sudah tidak mampu untuk membayar biaya pembiayaan
sehingga biaya tersebut akan menambah jumlah pokok utang. Minsky menjelaskan bahwa
pada kondisi ponzi, kekayaan bersih (net worth) dan likuiditas akan terus menurun. Pada
akhirnya, akan menemui keadaan dimana nilai komitmen pembayaran utang yang
dikapitalisir (pokok utang dan bunga yang tidak dapat dibayar akan ditambahkan sebagai
utang baru) lebih besar daripada sewa kuasi yang dikapitalisir (kelebihan arus kas dari
operasi pengelolaan aset). Dalam kondisi ini, ekuitas menurun terus-menerus sehingga
lama-lama akan bangkrut. Pada saat ini, pembayaran kembali utang hanya dapat
dilakukan dengan penjualan aset.
Analisis pembiayaan perusahaan seperti yang dikemukakan oleh Minsky (2008)
banyak diterapkan dalam praktik-praktik kontrak keuangan (financing contract). Analisis
tersebut merupakan salah satu alat yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan
kredit, baik sebelum maupun setelah pinjaman diberikan. Perhatikan bahwa alat itu sarat
dengan data yang bersifat estimasi dan asumsi. Penentuan apakah suatu pembiayaan
perusahaan merupakan pembiayaan hedge, spekulatif, atau ponzi tergantung pada
estimasi dan asumsi tersebut. Seperti halnya estimasi akuntansi, estimasi tentang arus kas
masuk dan keluar juga akan dipengaruhi oleh faktor subjektivitas dan multitafsir pembuat
laporan (pemakai kredit) dan pengambil keputusan (pemberi kredit). Subjektivitas dan
multitafsir merupakan peluang adanya fraud dan moral hazard. Pemberian sub-prime
mortgage loan, penjualan produk derivatif adalah contoh dari kegiatan usaha dimaksud.

2.10 Korupsi
Secara singkat, korupsi (corruption) dapat didefinisikan sebagai: “illegitimate use of
public power to benefit a private interest”. Definisi ini mendikotomikan kekuasaan
(public power) dengan kepentingan pribadi (private interest). Kepentingan pribadi tidak
harus berarti kepentingan dari pelaku. Korupsi adalah tindakan yang:
1. Dilakukan secara rahasia (secretly provided).
2. Berupa pemberian barang atau jasa oleh pihak ketiga,
3. Dapat memengaruhi keputusan/tindakan tertentu (oleh pelaku korupsi).
4. Memberikan manfaat kepada pelaku korupsi atau pihak ketiga atau keduanya.
5. Pelaku korupsi mempunyai kekuasaan (pejabat).
Definisi tersebut seolah-olah menyebutkan bahwa tindakan korupsi hanya
menjerat pejabat yang memiliki kekuasaan. Tentu hal ini tidak benar. Korupsi adalah
suatu tindak pidana yang dapat dikenakan terhadap pejabat dan pihak ketiga yang terlibat.
Walaupun tidak secara tegas mencantumkan kata “korupsi”, tetapi materi yang
berkaitan dengan tindak pidana korupsi telah dimasukkan dalam konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003. Konvensi ini telah diratifikasi oleh Indonesia
dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 (Atmasasmita, 2014: 49). Tindak pidana
yang dimaksud adalah tindak pidana suap pejabat publik nasional, suap pejabat publik
asing dan pejabat organisasi internasional, penggelapan harta kekayaan oleh pejabat
publik, memperdagangkan pengaruh, penyalahgunaan fungsi, memperkaya diri sendiri
secara tidak sah, suap di sektor swasta, penadahan, dan menghalang-halangi proses
peradilan. Tindak pidana itu pada dasarnya adalah tindak pidana korupsi. Perubahan besar
dalam konvensi tersebut adalah dimasukkannya unsur swasta sebagai subjek tindak
pidana korupsi.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi
mengelompokkan tindakan yang dianggap korupsi sebagai berikut.
1. Berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.
2. Memengaruhi putusan perkara.
3. Perbuatan curang.
4. Penggelapan uang.
5. Pemalsuan buku-buku atau daftar-daftar khusus untuk pemeriksaan administrasi.
6. Penggelapan, penghancuran, dan perusakan dokumen.
7. Menerima hadiah atau janji.
Undang-Undang tersebut berlaku bagi pemberi dan penerima (pegawai negeri atau
penyelenggara negara), advokat, pemborong, ahli bangunan, pengawas pembangunan,
atau pemegang jabatan umum. Syarat untuk dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
korupsi adalah adanya kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
Cara yang digunakan dalam melakukan tindak pidana korupsi ada bermacam-
macam. Intinya apa yang biasa dilakukan dalam manipulasi laporan keuangan dan
pencurian aset dapat dilakukan untuk tindak pidana korupsi. Pemalsuan buku-buku atau
daftar-daftar khusus pada akhirnya akan mengarah pada manipulasi laporan keuangan.
Penggelapan, penghancuran, dan perusakan dokumen digunakan untuk menghilangkan
bukti-bukti yang mendukung suatu laporan (termasuk laporan keuangan) Perbuatan
curang atau penggelapan uang dapat mengambil berbagai bentuk di antaranya mark-up
biaya proyek, pengeluaran fiktif, proyek fiktif, pengaturan tender, perusahaan palsu untuk
fronting, komisi berlebihan kepada oknum pelaksana program dan proyek, dan lain
sebagainya.
Jenis tindak pidana yang dicantumkan paling awal dalam undang-undang korupsi
adalah “berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya”.
Tindakan ini pada umumnya berkaitan erat dengan suatu kebijakan sehingga dampaknya
bisa sangat luas dan signifikan. Kalimat “bertentangan dengan kewajibannya” harus
diartikan secara luas sebagai tindakan yang melenceng dari tugas utama sebagai pegawai
negeri, penyelenggara negara, atau pemegang jabatan umum. Tugas utama mereka adalah
melayani masyarakat. Lebih tinggi lagi, tugas mereka adalah mencapai apa yang
diamanatkan konstitusi sebagai tujuan bernegara. Jadi, jika kebijakan yang ditelorkan
tidak sesuai dengan pencapaian tujuan bernegara, kebijakan tersebut, pada dasarnya,
adalah tindakan korupsi. Namun, perlu dicatat bahwa pembuktian mengenai hal ini
amatlah sulit.
Sementara itu, hadiah atau janji adalah jenis tindak pidana korupsi yang
dicantumkan paling akhir dalam undang-undang. Namun, bukan berarti tindakan tersebut
merupakan tindakan paling ringan dengan hukuman yang paling rendah. Semua tindak
pidana korupsi mempunyai range hukuman yang sama. Hadiah atau janji tidak harus
dikaitkan dengan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Inti dari
pencantuman ayat ini adalah melarang semua pegawai negeri, penyelenggara negara, atau
pemegang jabatan umum untuk menerima hadiah atau janji. Bahkan sumbangan
perkawinan bagi pejabat atau tambahan uang transportasi bagi petugas Kantor Urusan
Agama (KUA) yang diundang ke rumah untuk menikahkan pengantin pun dapat
dikategorikan sebagai gratifikasi.
Tindak pidana korupsi dapat ditelaah dari hubungan agen-prinsipiel dalam teori
keagenan, Dalam hal ini hubungan prinsipiel-agen dapat berupa seperti yang disajikan
dalam tabel berikut.

Prinsipiel Agen
1. Rakyat Indonesia Pemerintah, Presiden (Wakil Presiden), DPR (anggota), DPD
(anggota)
2. Pemerintah / DPR Lembaga negara (komisioner)
3. Pemerintah Aparat birokrasi
4. Pembayar Pajak Elite politik

Hubungan prinsipiel-agen berlaku untuk tingkat pusat dan daerah. Bentuk


hubungan prinsipiel dalam hal tersebut di atas berupa pemberian kepercayaan untuk
menyelenggarakan pemerintahan, mewakili rakyat untuk melakukan pengawasan
terhadap pemerintah atau manjalankan fungsi-fungsi kenegaraan tertentu yang disebutkan
dalam konstitusi dan undang-undang.
Seperti halnya dengan hubungan keagenan lainnya, korupsi terjadi karena agen
lebih menekankan pada kepentingan pribadi atau kelompok (self interest) dibandingkan
dengan kepentingan publik (public interest) atau kepentingan prinsipielnya, yaitu rakyat
Indonesia. Hal ini diperkuat dengan lemahnya sistem yang mengawasi hubungan tersebut
(monitoring). Pengawasan hubungan keagenan antara prinsipiel dan agen seharusnya
dilakukan melalui penegakan hukum (law enforcement) dan sistem peradilan. Penegakan
hukum dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan. Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sistem peradilan dilakukan oleh para hakim dengan Mahkamah Agung sebagai institusi
pelindungnya. Lemahnya law enforcement dan sistem peradilan mengakibatkan maraknya
korupsi.
Tata kelola pemerintahan (government governance) yang baik merupakan salah
satu solusi untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah sistem penegakan hukum, peradilan, sistem hukuman, dan partisipasi
masyarakat. Berikut ini beberapa hal yang dapat dilakukan oleh perusahaan.
1. Memilih agen yang lebih baik.
2. Memperbaiki insentif.
3. Memperbaiki keterbukaan informasi.
4. Membuka persaingan.
5. Mengurangi kewenangan diskresi.
6. Memperberat biaya sosial, ekonomi, dan hukum.
7. Meningkatkan penegakan hukum.
8. Memperbaiki sistem peradilan yang berkeadilan.
9. Meningkatkan dan memperbaiki whistle blowing system.
Pemilihan agen yang lebih baik bukan pekerjaan yang mudah karena menyangkut
sistem ketatanegaraan. Presiden, Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dipilih langsung oleh rakyat. Oleh
karena itu, pemilihan agen yang lebih baik akan bersangkutan dengan sistem pemilihan.
Untuk agen-agen yang lebih dah posisinya (komisioner atau pejabat pemerintahan)
pemilihan agen yang lebih baik dapa dilakukan dengan membuka kesempatan kepada
sebanyak mungkin calon untuk berpartisipa dengan metode seleksi yang andal.
Pembentukan panitia seleksi merupakan salah satu cara untu penyaringan calon.
Perbaikan insentif (gaji dan manfaat lain) dapat mengurangi motif seseora untuk
melakukan kecurangan, Perbaikan insentif akan mendatangkan rasa aman dan bebas da
etidakpastian dalam menjalani kehidupan.
Keterbukaan informasi merupakan bagian penting dalam pengawasan korupsi.
Penganggaran dengan menggunakan E-budgeting, misalnya, merupakan contoh yang baik
untuk mencegah tindak pidana korupsi. E-budgeting merupakan salah satu alat dalam
sistem perencanaan keuangan suatu unit kerja pemerintahan. Dari sini, dapat diketahui
mengenai apa yang direncanakan, apa manfaat yang diperoleh bagi masyarakat, apa
spesifikasi pengeluarannya, siapa yang merencanakan, siapa yang menyetujui, siapa yang
bertanggung jawab dari tahap usulan sampai dengan pelaksanaan program atau proyek.
E-budgeting, nantinya, harus dilengkapi dengan E-Realization sehingga pelaksanaan
pengeluaran, program, manfaat, dan pemenang tendernya dapat dilaporkan dan
dibandingkan dengan rencananya. E-Realization harus terintegrasi dengan sistem
pelaporan keuangan unit dan satuan kerja. Informasi tentang anggaran dan realisasinya
dibuka untuk publik.
Lelang jabatan yang banyak diterapkan akhir-akhir ini merupakan salah satu cara
untuk membuka kesempatan kepada setiap orang yang memenuhi syarat untuk
menduduki suatu posisi atau jabatan. Membuka persaingan merupakan upaya untuk
memperoleh agen yang terbaik. Kewenangan diskresi yang diberikan pada satu orang
(misalnya, kepala atau ketua) merupakan pemicu timbulnya penyalahgunaan wewenang.
Pertanggungjawaban kolektif merupakan salah satu cara untuk menghindari keputusan
berdasarkan diskresi seseorang. Pertanggungjawaban kolektif menyediakan mekanisme
untuk saling mengawasi dalam setiap pengambilan keputusan.
Untuk mencegah tindak pidana korupsi, sanksi yang dikenakan harus sangat berat
sehingga menimbulkan efek jera. Biaya yang harus ditanggung seharusnya sangat besar
hingga melebihi manfaat yang diperoleh. Sanksi itu tidak harus yang berkaitan dengan
sanksi pidana saja. Pelaku korupsi dapat dikenakan sanksi ekonomi berupa penyitaan
harta yang diperoleh dari hasil korupsi untuk negara. Sanksi sosial berupa pemberian
stigma “koruptor” pada mereka. Sanksi-sanksi itu merupakan konsekuensi atas tindakan
yang dilakukan.
Selain sanksi, peningkatan probabilitas tertangkapnya pelaku tindak pidana
korupsi juga akan menimbulkan efek jera. Dalam hal ini, penegakan hukum yang tegas
dan tanpa pandang bulu dapat merupakan cara yang ampuh. Peningkatan dan perbaikan
sistem peradilan perlu dilakukan untuk memastikan bahwa tindak pidana korupsi akan
diadili secara berkeadilan (justice). Sementara itu. Sistem peniup peluit (whistle blowing
system) dari masyarakat perlu ditingkatkan dan diperbaiki. Masyarakat didorong untuk
tidak takut dan dilindungi apabila mereka melaporkan adanya tindak pidana korupsi.
Namun, sistem ini juga harus dapat mencegah tindakan anarkisme publik melalui
pelaporan palsu.
Pertanyaan yang timbul sehubungan dengan tindak pidana korupsi adalah
mengapa undang undang tersebut juga berlaku bagi pihak pemberi? Dalam hal ini,
pemberi akan lebih banyak dikaitkan dengan pengusaha atau swasta. Selain itu,
pemberian tidak harus berupa uang yang langsung diterima oleh pejabat publik yang
bersangkutan (pegawai negeri, penyelenggara negara. atau pemegang jabatan umum).
Pemberi, pada umumnya juga sebagai penerima manfaat dari tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi, pada dasarnya adalah kolusi antara pemberi dan penerima.
Kolusi, biasanya, telah dilakukan mulai dari tahap perencanaan, penganggaran,
pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring, dan bahkah sampai dengan pengawasannya.
Pemberi sering merupakan actor intelectualist dalam tindak pidana korupsi. Atas dasar
pandangan ini, pihak pemberi juga dapat dikenakan undang-undang tindak pidana
korupsi. Foreign Corrupt Practices Act di Amerika Serikat dan banyak undang-undang
anti korupsi di negara-negara lain di dunia juga mencantumkan pemberi sebagai subjek
undang-undang yang dimaksud.

2.11 Pengertian Moral Hazard


Moral Hazard merupakan bentuk lain dari pelanggaran etika, kontrak, regulasi
selain kecurangan. Tindakan curang (fraud) merupakan tindakan melawan hukum. Moral
hazard tidak harus melanggar ketentuan hukum. Seperti telah dikemukakan, moral
hazard pada dasarnya merupakan upaya untuk menyiasati kontrak/regulasi/etika untuk
kepentingan diri sendiri yang dapat merugikan pihak lain. Kata “menyiasati”
dimungkinkan apabila kontrak, regulasi, etika tidak mengatur atau mengatur, tetapi tidak
secara jelas dan tegas kepentingan para pihak sehingga dapat menimbulkan multitafsir di
antara mereka. Persoalan etika, dewasa ini, pada dasarnya berkaitan dengan tindakan
moral hazard.
Secara harafiah, “hazard” dapat diterjemahkan sebagai “risiko” atau “bahaya”.
Jadi, moral hazard berarti risiko moral atau bahaya moral. Dipandang dari perspektif
perilaku, moral hazard adalah tindakan yang cenderung berani mengambil risiko karena
biaya atas risiko tersebut telah dipindahkan kepada pihak lain (Ely, 1999: 241).
Menyiasati suatu kontrak, regulasi, dan etika dapat dianggap tindakan yang mengandung
risiko atau membahayakan karena akan ada sanksi untuk itu, walaupun hanya sebatas
sanksi sosial atau sanksi moral, misalnya turunnya kepercayaan orang kepada yang
bersangkutan. Sanksi sosial berkaitan dengan penilaian terhadap prinsip moral seseorang.

2.12 Bidang Moral Hazard


Moral hazard merupakan bagian abu-abu dari pelanggaran etika, kontrak, dan
regulasi. Ia berada di antara tindakan etis dan kecurangan (fraud). Walaupun didasari atas
iktikad tidak baik, tetapi akan selalu ada pembenaran (rasionalitas) dalam tindakannya.
Moral hazard mungkin tidak melanggar hukum, tetapi pada umumnya, dianggap sebagai
tindakan yang tidak elok. Moral hazard bergerak pada bagian yang lowong (celah) dari
etika, kontrak, dan regulasi yang tertulis. Apalagi jika etika, kontrak, dan regulasi tersebut
tidak tertulis.
Perbedaan interpretasi yang menghasilkan multitafsir adalah pintu utama untuk
melakukan tindakan moral hazard. Penginterpretasian hal-hal yang menimbulkan
multitafsir demi kepentingan diri sendiri, yang pada umumnya melanggar kaidah-kaidah
keutamaan (virtuisme) adalah inti dari moral hazard. Moral hazard sering lebih
mementingkan aspek format (form) daripada substansinya (substance). Suatu tindakan
merupakan moral hazard atau bukan tergantung pada niat (iktikad yang berasal dari hati
nurani.
Moral hazard merupakan salah satu dari masalah yang ditimbulkan oleh
hubungan antar prinsipiel dan agen dalam teori keagenan. Secara hipotesis, hubungan
antara pelanggaran etika moral hazard, dan kecurangan, apabila digambarkan dalam
bentuk distribusi frekuensi dapat dinyatakan seperti dalam Gambar 15.1.
Seperti terlihat dalam Gambar 15.1, Bidang B dan C adalah bagian abu-abu
pelanggaran etika kontrak, dan regulasi, Bidang B dan C tidak harus simetris (berbentuk
distribusi normal). Batas atas dari moral hazard adalah kecurangan, dimana unsur
melawan hukum (pada umumnya berkaitan dengan kontrak atau regulasi) dapat
dibuktikan (Bidang D). Batas bawah moral hazard adalah etika murni. Istilah etika murni
digunakan untuk membedakan keutamaan (virtue) yang berasal dan hati nurani dengan
kode etik (rules of conduct) atau pernyataan nilai (value statements).
Etika murni berlaku bagi individu, sedangkan kode etik atau pernyataan nilai,
pada umumnya merupakan etika organisasi. Di bawah batas bawah merupakan
pelanggaran etika murni ya berarti melawan hati nurani (Bidang A). Bidang B adalah
moral hazard yang mempunyai sisi abu-abu dengan pelanggaran etika (pada umumnya
etika organisasi), sedangkan Bidang C merupakan sisi abu-abu antara moral hazard dan
kecurangan.
Luasnya Bidang B dan C, yang dibatasi oleh batas atas dan batas bawah
tergantung pada besarnya peluang untuk melakukan moral hazard. Dengan menggunakan
proposisi teori keagenan, seperti yang pernah dibahas sebelumnya, besarnya peluang ini
tergantung pada berbagai faktor berikut:
1. Besarnya asimetri informasi antara agen dan prinsipiel.
2. Jelas, tegas, dan komprehensifnya kontrak yang dibuat antara agen dan prinsipiel.
3. Cocok-tidaknya jenis kontrak yang dibuat antara agen dan prinsipiel.
4. Tingkat keengganan menanggung risiko dari agen dan prinsipiel.
5. Besarnya perbedaan kepentingan antara agen dan prinsipiel.
6. Terukur tidaknya hasil pekerjaan agen.
7. Tersedia tidaknya sistem monitoring oleh prinsipiel.
8. Jangka waktu hubungan keagenan.
Kontrak, regulasi, kode etik, atau pernyataan nilai tertulis yang baik adalah
apabila Bidang B dan C tidak luas sehingga peluang untuk melakukan moral hazard
menjadi sempit.

2.13 Moral Hazard dalam Ekonomi


Istilah moral hazard berasal dari ilmu ekonomi yang mempelajari ekonomi
informasi. Istilah ini sebetulnya tidak ada hubungannya dengan tindakan yang bersifat
tidak bermoral. Kreps (1990: 577), seperti pernah dikemukakan sebelumnya,
mendefinisikan moral hazard sebagai tindakan oleh salah satu pihak (agen) dalam suatu
transaksi yang memengaruhi penilaian pihak lain (prinsipiel) terhadap transaksi tersebut,
tetapi pihak kedua (prinsipiel) tidak dapat mengawasi/memaksa secara sempurna tindakan
dimaksud. Motif utama dari tindakan itu adalah memaksimalkan manfaat bagi pihak yang
bersangkutan.
Contoh klasik tentang hal ini adalah pemilik rumah yang tidak memperhatikan
perlunya alat pemadam kebakaran di rumahnya karena rumah itu telah diasuransikan
untuk kerugian karena kebakaran. Dalam hal ini, penerima manfaat, yaitu pemilik rumah,
melakukan tindakan moral hazard. Contoh lain adalah seorang karyawan yang bekerja
malas-malasan setelah diterima bekerja di perusahaan dengan gaji tetap yang tinggi.
Pelaku moral hazard dalam contoh ini adalah karyawan yang bersangkutan. Pemilik
rumah atau karyawan dalam contoh tersebut berani menanggung risiko karena biaya atas
risiko tersebut ditanggung oleh pihak lain.
Solusi untuk mengatasi masalah moral hazard adalah dengan pengaturan kontrak
sedemikian rupa sehingga terdapat sistem insentif dan monitoring agar masing-masing
pihak dapat saling mengawasi dan memaksa secara sempurna pelaksanaan pertukaran
kepentingan di antara mereka. Dengan sistem insentif, pihak yang berkeinginan
melakukan moral hazard, demi kepentingan terbaiknya, membatalkan niatnya dan
bertindak sesuai dengan yang diharapkan oleh pihak kedua. Ada insentif jika ia bertindak
sesuai dengan keinginan pihak kedua. Misalnya, asuransi kebakaran dibuat terstruktur
sedemikian rupa sehingga ada bagian kerugian yang harus ditanggung sendiri oleh
penanggung asuransi. Contoh lain, struktur penggajian dan pengupahan dalam kontrak
kerja dibuat sedemikian rupa sehingga ada yang berbentuk gaji tetap dan ada yang
berbentuk upah variabel yang didasarkan atas suatu performa tertentu, misalnya jumlah
unit yang dihasilkan. Ely (1999: 242) menyebut sistem insentif dengan penetapan harga
yang tepat (proper pricing).
Moral hazard pada akhirnya harus dipecahkan melalui kontrak yang jelas antara
pihak-pihak yang terlibat termasuk solusi lain, yaitu penerapan sistem monitoring. Sistem
ini dapat digunakan untuk mengawasi performa pihak yang bermaksud melakukan moral
hazard. Misalnya, jika sistem insentif tidak diberlakukan, monitoring dalam kontrak kerja
dapat dijalankan dengan menerapkan sistem absensi.
Moral hazard bermula dari hubungan kontrak antara prinsipiel dan agen. Dalam
contoh, asuransi kebakaran, perusahaan asuransi adalah prinsipiel dan penerima
manfaatnya adalah agen. Dalam kontrak kerja, karyawan adalah agen, sedangkan
perusahaan yang mempekerjakan adalah prinsipiel, Moral hazard terjadi karena ada
informasi tersembunyi (hidden information) yang tidak dikemukakan oleh agen dan tidak
diketahui oleh prinsipiel. Ada asimetri informasi di antara keduanya. Dalam hal ini,
moral hazard dilakukan oleh agen.
Tindakan moral hazard oleh agen akan memengaruhi penilaian prinsipiel terhadap
transaksi yang bersangkutan (misalnya, hubungan kerja). Adanya moral hazard dapat
mengakibatkan perusahaan berpendapat bahwa mempekerjakan karyawan yang
bersangkutan adalah tidak menguntungkan. Pihak perusahaan tidak dapat memaksa secara
sempurna agar karyawan bekerja dengan keras karena klausula tentang hal itu tidak
didefinisikan dengan jelas. Pengawasan yang dilakukan tidak akan sempurna karena tidak
mencantumkan sanksi.
Untuk mencegah terjadinya moral hazard, struktur kontrak perlu dirancang
sedemikian rupa sehingga masing-masing pihak akan bertindak sesuai dengan keinginan
pihak yang lain. Titik berat perancangan adalah penyusunan sistem insentif dan
penyediaan sistem monitoring terhadap masing-masing pihak. Moral hazard dilandasi
atas premis bahwa, demi kepentingan (keuntungan pribadi, seseorang, dalam menjalankan
suatu kontrak, akan berusaha untuk mengoptimalkan usahanya (effort) sesuai dengan
batasan (constraints) yang dihadapi.
Batasan yang dihadapi mencakup batasan berpartisipasi (participation constraint)
dan batasan insentif (incentive constraints). Batasan partisipasi adalah kondisi minimal
agar para pihak sepakat untuk mengadakan kontrak. Contohnya adalah upah minimum
yang dapat memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Batasan insentif akan mendorong
pihak lain bertindak sesuai dengan keinginan pihak pertama (Kreps, 1990: 545). Batasan
insentif dapat berupa komisi atas penjualan yang dihasilkan atau upah tambahan untuk
setiap produk yang dihasilkan. Moral hazard mendalilkan adanya hubungan keagenan
(prinsipiel-agen) dalam hubungan kontrak. Masing-masing pihak mempunyai tingkat
keengganan menanggung risiko (risk aversion) yang berbeda-beda.
Moral hazard yang didasarkan atas analisis ekonomi mikro, pada mulanya
diterapkan dalam bisnis asuransi dan pengaturan skema penggajian melalui kontrak yang
mereka buat. Upaya sukses dalam memproteksi kepentingan perusahaan. Namun, moral
hazard sebagai model analisis in dalam ekonomi makro juga semakin banyak diterapkan.
Claasen (2015) misalnya, menyebutkan bahwa krisis keuangan yang baru-baru ini
melanda dunia pada dasarnya adalah krisis moral. Ia melakukan studi tentang legitimasi
kebijakan bail-out bank oleh pemerintah. Studi ini mencoba untuk mencari logika moral
yang terkandung dalam hubungan antara bank, negara, dan warganya dengan
mendasarkan pada konsep hubungan asuransi. Dalam argumennya, Claasen mengatakan
bahwa keharusan untuk melakukan bail-out bukan karena banknya yang harus
diselamatkan. Tetapi untuk memenuhi kewajiban negara melindungi warganya dari
penurunan standar kehidupan yang merupakan hak dasar mereka (fundamental right).
Hak dasar warga negara menghendaki adanya sistem hak dan kewajiban. Dalam
konteks ini, bank mempunyai hak diselamatkan sebagai imbalan atas kewajibannya
menjaga agar tersebut (bail-out) tidak terjadi melalui regulasi tentang prudential banking
dan hak pengawasan oleh negara. Kewajiban ini dapat diinterpretasikan sebagai
kewajiban untuk tidak menimbulkan risiko pada warga negara, walaupun pihak yang
terakhir ini belum mengakuinya sebagai bagian dari kontrak sosial yang wajar. Hak bank
untuk diselamatkan tetap berlaku, walaupun ia telah melanggar kewajibannya. Hal ini
terutama berlaku apabila kegagalan bank bersifat sistemis dan melanda seluruh sistem
keuangan nasional.

2.14 Moral Hazard dalam Kontrak


Hernoko (2010: 1) menyatakan bahwa kontrak, pada dasarnya berawal dari
perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan di antara para pihak. Dasarnya adalah
kesetaraan. Oleh karena itu, perikatan atau kontrak harus mengikuti asas keadilan dan
proporsionalitas. Prinsip keadilan seperti dikemukakan oleh Aristoteles, Upianus, dan
John Rawls pernah dibahas sebelumnya. Teori keadilan berbasis kontrak dikemukakan
oleh John Rawls (Hernoko, 2010: 55-62). Ada dua prinsip keadilan yang dikemukakan
Rawls, yaitu prinsip kesamaan hak dan prinsip perbedaan objektif. Prinsip yang kedua
memberikan keuntungan terbesar bagi orang-orang yang kurang beruntung (the different
principle) dan memberikan penegasan bahwa dengan kondisi dan kesempatan yang sama,
semua posisi dan jabatan harus terbuka bagi semua orang (the principle of fair equality of
opportunity).
Keadilan (justice) tidak dapat dipisahkan dengan asas kewajaran (fairness) atau
kepatutan (equity). Jika aspek keadilan selalu berada dalam konteks undang-undang
(hukum), kepatutan atau kewajaran terletak di luar undang-undang (hukum). Namun,
kepatutan dan kewajaran merupakan penjaga dari pelaksanaan undang-undang (Hernoko,
2010: 65-69). Ia dijadikan acuan kedua setelah hukum positif tidak mampu
menyelesaikan suatu masalah. Beberapa maxim yang berkaitan dengan asas kepatutan
yang dikemukakan oleh Francis dan G. E. Dal Pont (Hernoko, 2010: 69-70) di antaranya
sebagai berikut.
1. Equity will not allow a statute to be used as an instrument of fraud.
2. Equity does looks to intent rather than form.
3. Equity is equality.
4. A person who comes to equity must come with clean hands.
5. Equity follow the law.
6. He or she who seek equity must do equity.
7. Equity will not suffer a wrong without remedy.
8. Equity acts in personam.
9. Equity will not assist a volunteer.
10. Equity assists the dilligent and not the tordy.
11. Equity considers done that which ought to have been done.
12. Equity will not perfect on imperfect gift.
13. Where the equities are equal the law prevails.
14. Where the equities are equal the first in line prevails.
Setiap perjanjian (kontrak) yang dibuat harus didasarkan atas dasar iktikad baik,
kepatutan, kelayakan, dan kepantasan. Namun, seperti halnya dalam hukum, asas
kepatutan biasanya tidak dituangkan secara rinci dalam kontrak. Ia menjadi dasar secara
normatif.
Moral hazard bergerak dalam ranah ini. Iktikad baik, kepatutan, kelayakan, atau
kepantasan walaupun menjadi dasar dalam melakukan kontrak, tetapi biasanya tidak
mungkin dicantumkan dalam kontrak secara detail tentang apa dan bagaimananya. Baru
setelah ada penyimpangan, asas asas itu dijadikan sebagai acuan dalam penilaian.
Ketidakjelasan dan ketidaktegasan membuahkan multitafsir yang bersifat subjektif.
Kepentingan (interest) oleh Roscoe Pound didefinisikan sebagai “a demand or
desire which human being either individually or through groups or association in
relations seek to satisfy” (Hernoko 2010: 73). Kontrak adalah pertukaran kepentingan
para pihak. Perjanjian kontrak dapat dibedakan menjadi kontrak konsumen (consumer
contract) dan kontrak komersial (commercial contract). Kontrak konsumen adalah
kontrak yang dilakukan antara konsumen dan produsen. Bentuknya pada umumnya, baku
dan sarat dengan ketentuan yang diatur pihak otoritas (melalui Undang-Undang
Perlindungan Konsumen). Kontrak konsumen, biasanya dibuat sepihak oleh produsen.
Seperti dirumuskan oleh UNIDROIT Principles for International Commercial
Contract (UPICC), kontrak komersial dilakukan oleh para pihak yang pada umumnya
mempunyai kedudukan seimbang dalam tawar-menawar. UNIDROIT adalah
International Institute for the Unification of Private Law (Hernoko, 2010: 35). Syarat dan
ketentuan dalam kontrak merupakan hasil negosiasi dari kedua belah pihak yang
berorientasi pada motif laba. Selain itu, pertukaran hak dan kewajiban tidak dilihat dari
konteks keseimbangan matematis, tetapi pada proses dan hasil pertukaran yang fair
(proporsional). Kontrak komersial bebas dari intervensi otoritas.
Selain keadilan, asas yang harus dianut dalam penyusunan kontrak adalah
proporsionalitas Hernoko (2010: 88-89) mengajukan kriteria yang dapat dijadikan
pedoman untuk menentukan adanya asas proporsionalitas dalam kontrak. Berikut ini
kriteria-kriteria yang dimaksud.
1. Kesetaraan kedudukan dan hak (equitability).
2. Kebebasan menentukan substansi keadilan.
3. Proporsionalitas distribusi hak dan kewajiban
4. Proporsionalitas dalam penyelesaian sengketa.
Bagian penting dari kriteria tersebut, yang akan dibahas lebih lanjut, adalah
proporsionalitas distribusi hak dan kewajiban. Kontrak yang bersubstansi proporsional
harus mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban
secara proporsional kepada para pihak Jika hal ini dapat dicapai, pertukaran akan
berlangsung secara layak (fair) dan patut (reasonable). Dikaitkan dengan analisis
ekonomi tentang moral hazard, hak dan kewajiban para pihak dapat mencakup sistem
insentif, monitoring, dan batasan yang diperlukan dari terlaksananya kontrak dengan baik.
Elmer Dooman dan Charles Foster (Hernoko, 2010: 99) menyebutkan bahwa kontrak
dimaksudkan (salah satunya) untuk mengatur secara lebih terinci transaksi bisnis yang
kompleks demi mencegah hambatan dalam pelaksanaan. J. Beatson dalam buku yang
sama mengatakan bahwa kontrak menetapkan standar pelaksanaan dan tanggung jawab
para pihak.
Moral hazard merupakan salah satu dari hambatan dalam pelaksanaan kontrak.
Moral hazard dapat dilakukan apabila kepentingan (dalam bentuk hak dan kewajiban)
para pihak tidak tercantum dalam kontrak atau apabila klausula-klausula yang ada tidak
secara jelas dan tegas mengatur kepentingan tersebut. Hal ini memungkinkan terjadinya
multitafsir di antara berbagai pihak. Multitafsir bersifat subjektif dan dapat dijadikan
rasionalisasi (pembenaran) dalam melakukan tindakan moral hazard. Kecermatan,
ketelitian, dan komprehensivitas merupakan aspek penting dalam perancangan kontrak
(contract drafting). Materi, hak, dan kewajiban yang bersifat kondisional perlu ditelaah
secara matang tentang kemungkinan-kemungkinannya, termasuk kemungkinan terjadinya
moral hazard. Langkah-langkah yang tepat harus sudah dapat diantisipasi dan
dimasukkan dalam kontrak.
Contoh moral hazard yang paling nyata adalah “kontrak” antara pemegang saham
atau dewan direksi (board of directors) dan manajemen dalam sistem satu dewan (one
board system) di Amerika Serikat. Remunerasi manajemen yang lebih ditekankan pada
pemberian bonus atas suatu target laba telah mengakibatkan manajemen berupaya,
dengan segala cara, untuk mencapai target laba yang dijanjikan. Segala cara yang
dimaksud dalam hal tersebut dapat berupa melakukan moral hazard pada level awal atau
fraud jika terpaksa. Manipulasi laporan keuangan, salah satunya, dipicu oleh adanya
insentif (berupa bonus) yang dicantumkan dalam “kontrak” atau tekanan (ketakutan) jika
target tidak tercapai.

2.15 Moral Hazard dalam Manajemen


Kontrak dalam uraian tersebut diartikan sebagai perjanjian tertulis antara para
pihak yang setara untuk melakukan pertukaran hak dan kewajiban dan motif memperoleh
keuntungan. Kontrak berkaitan dengan suatu transaksi. Pengurusan perusahaan, walaupun
tidak harus secara eksplisit dinyatakan secara tertulis, pada dasarnya merupakan sebuah
kontrak. Pengangkatan dewan komisaris dan direksi oleh pemegang saham adalah
kontrak. Penunjukan jajaran manajemen oleh direksi adalah kontrak. Demikian juga
dengan pengangkatan karyawan. Hubungan kontraktual di antara pihak-pihak tersebut
dapat dicerminkan melalui tata kelola dan seluruh sistem yang diberlakukan oleh
manajemen (sistem manajemen), termasuk sistem pengendalian internal perusahaan. Tata
kelola dan sistem pengendalian internal mengatur bagaimana posisi-posisi tersebut,
diperoleh, apa yang harus dilakukan, dan bagaimana menjalankan posisi-posisi tersebut.
Tata kelola dan sistem pengendalian internal, pada dasarnya, berbicara tentang hak dan
kewajiban seseorang dalam struktur organisasi perusahaan. Moral hazard berhubungan
dengan penyalahgunaan hak (wewenang) dan pelepasan kewajiban (tanggung jawab).
Moral hazard dapat terjadi dalam tata kelola dan sistem manajemen perusahaan.
Berikut ini beberapa faktor yang dapat menimbulkan terjadinya moral hazard.
1. Posisi yang aman.
2. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
3. Pertanggungjawaban yang tidak jelas.
4. Tidak ada ukuran kinerja yang jelas.
5. Orientasi pada tujuan jangka pendek.
6. Pengalihan tanggung jawab.
Posisi yang aman dapat diperoleh melalui korupsi, kolusi, dan nepotisme. Posisi
ini memungkinkan seseorang tidak dapat diotak-atik oleh orang lain. Kesempatan
penyalahgunaan wewenang akibat posisi yang aman akan menjadi sangat besar. Posisi
dan jabatan yang diperoleh dengan cara KKN adalah hasil dari suatu jual-beli. Sesuai
dengan asas rasionalitas, investasi dalam jual-beli tersebut harus dapat diperoleh atau
dibayar kembali. Seseorang yang bersedia untuk melakukan korupsi, kolusi, dan
nepotisme guna memperoleh jabatan menunjukkan bahwa ia tidak memiliki karakter yang
baik.
Sistem tata kelola perusahaan dan manajemen yang tidak mencantumkan
pertanggungjawaban (accountability) yang jelas menimbulkan kesulitan untuk
mengetahui siapa yang harus diminta pertanggungjawaban atas suatu tindakan yang telah
dilakukan. Keadaan ini akan memberi kesempatan kepada seseorang untuk melakukan
tindakan yang berisiko tinggi karena kemungkinan ketahuannya sangat kecil. Demikian
juga dengan sistem manajemen yang tidak mencantumkan ukuran kinerja (performance
measurement) yang jelas. Ketidakjelasan ukuran kinerja menimbulkan ketidakjelasan
dalam penilaian kesuksesan. Subjektivitas yang tinggi dalam menilai kesuksesan memicu
seseorang untuk melakukan moral hazard. Artinya, yang baik dikatakan jelek, yang jelek
dikatakan baik.
Orientasi pada tujuan jangka pendek, dapat menimbulkan tindakan-tindakan yang
mungkin bertentangan dengan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek menghadapi
tantangan atau tekanan yang harus diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Kesalahan dalam tindakan untuk mengatasi masalah jangka pendek dapat berakibat tidak
tercapainya tujuan jangka panjang, bahkan pada tujuan jangka pendek itu sendiri.
Keputusan taktis dalam jangka pendek, sering harus mengorbankan nilai-nilai yang harus
dianut dalam jangka panjang. Moral hazard juga dapat terjadi jika ada orang lain yang
tidak berdosa, yang dapat dijadikan kambing hitam terhadap suatu kesalahan. Tentu,
dalam hal ini, pengalihan tanggung jawab hanya dapat dilakukan dari pihak yang kuat
kepada pihak yang lebih lemah. Pelaksanaan tender oleh perusahaan yang direktur
utamanya seorang supir adalah contoh dari hal ini.
2.16 Moral Hazard dalam Bisnis
Moral hazard dapat terjadi di setiap tahapan bisnis, baik pada kegiatan primer,
yaitu produksi penjualan, pemasaran, dan kegiatan sekunder (support). Pada tahap
produksi, moral hazard dapat terjadi pada tataran input, proses, atau output. Pada tataran
input, moral hazard dilakukan dalam bentuk penggunaan bahan-bahan atau
campuran/komposisi antarbahan yang tidak sesuai dengan standar produksi yang
diharuskan, Pengurangan/pelebihan ukuran untuk input merupakan contoh lain.
Penggunaan input yang tidak memadai merupakan keputusan manajemen perusahaan.
Dampaknya adalah pada produk yang dihasilkan. Jadi, hubungan moral hazard-nya
dengan konsumen. Yaitu, apabila penjualan produk menggunakan kriteria standar,
sedangkan input-nya di bawah standar teknis. Moral hazard yang terjadi dengan pemasok
input dapat terjadi apabila pembayaran kepadanya diperlambat sebagai bagian dari
strategi keuangan perusahaan.
Pada tahapan proses, moral hazard dapat terjadi jika proses produksi dilakukan
tidak sesuai dengan keharusan yang ditetapkan terutama yang berkaitan dengan
kesehatan, kenyamanan, dan keamanan tempat kerja. Kesalahan atau ketidakcukupan
proses berdampak pada produk yang pada akhirnya berhubungan dengan konsumen.
Komposisi bahan dan proses pencampuran yang dikurangi dan dilebihkan, barang kali
tidak membahayakan konsumen, tetapi menghasilkan produk yang berbeda dengan yang
dijanjikan. Moral hazard selama proses, pada umumnya, berkaitan dengan hubungan
perusahaan-karyawan yang belum diatur oleh undang-undang. Hubungan dengan
karyawan pada umumnya berkaitan dengan keamanan, kesehatan, dan kenyamanan
proses produksi.
Moral hazard pada tahap output dapat berupa tidak memadainya informasi
tentang produk dan risikonya bagi konsumen. Informasi tentang hal itu penting terutama
yang berkaitan dengan produk keuangan yang kompleks semisal derivatif. Hal ini
terutama terjadi pada kegiatan pemasaran. Tidak memadai atau disembunyikannya suatu
informasi tentang produk dapat berakibat terjadinya salah pilih (adverse selection) di
level konsumen. Pada tahap penjualan, kewajiban untuk melakukan training (penjelasan
cara pemakaian) sering dilupakan. Kebebasan konsumen dalam memutuskan pembelian
suatu produk kadang terganggu, misalnya pengembalian uang receh dengan permen.
Term and condition suatu penjualan dibuat mengambang sehingga menimbulkan
multitafsir, misalnya tentang syarat-syarat penggantian atau pengembalian.
Bagian akuntansi merupakan subjek tindakan moral hazard. Sistem pelaporan
keuangan dengan menggunakan kerangka akuntansi nilai wajar (fair value accounting)
memungkinkan perbedaan interpretasi dalam penerapannya. Estimasi akuntansi
tergantung pada metode, asumsi, data, dan proyeksi yang dapat berbeda antara satu
perusahaan dan perusahaan yang lain. Perhitungan tentang provisi untuk kerugian karena
kredit macet, misalnya, sangat dipengaruhi oleh kebijakan manajemen. Ketentuan tentang
pengungkapan tidak mungkin dituangkan secara rinci dalam standar akuntansi.
Pengungkapan tentang remunerasi dewan komisaris dan dewan direksi, misalnya sangat
bervariasi antara satu perusahaan dan perusahaan yang lain. Beberapa jenis transaksi,
misalnya penjualan kewajiban dengan syarat dibeli kembali (repo), misalnya dapat
dirancang untuk memperbaiki penampilan posisi keuangan.

2.17 Moral Hazard dalam Regulasi


Undang-undang atau peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah (dalam bentuk
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan peraturan-peraturan di
bawahnya) secara umum disebut dengan regulasi dari pihak otoritas. Regulasi adalah
hukum yang dimaksudkan untuk mengatur perilaku masyarakat. Seperti pernah
dikemukakan, norma hukum mencakup 3 (tiga) kaidah, yaitu kaidah kewajiban, kaidah
larangan, dan kaidah kebolehan (Hazairin dalam Assidiqie, 2014: 54). Ketiga kaidah itu
akan mengatur apa yang harus dilakukan, apa yang dilarang untuk dilakukan, dan apa
yang boleh dilakukan oleh masyarakat. Subjek hukum dapat berupa individu
(perorangan), korporasi, atau organisasi. Hukum menentukan perilaku dan perbuatan
yang diinginkan dari para subjek hukum ini. Regulasi yang baik akan dapat mencegah
terjadinya penyimpangan perilaku dan perbuatan yang berbeda dengan apa yang
diharapkan dari regulasi tersebut. Penyimpangan perilaku merupakan moral hazard.
Berbeda dengan kontrak komersial di mana kepentingan masing-masing pihak
yang bermotifkan keuntungan dipertemukan melalui proses negosiasi, regulasi, terutama
undang-undang, dibuat melalui proses politik berdasarkan persetujuan antara Pemerintah
dan Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi, dalam proses pembuatan undang-undang, negosiasi
yang terjadi adalah negosiasi politik. Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, penyusunan suatu undang-undang
di antaranya harus mencakup tahap. Tahap dibuatnya naskah akademis, kemudian
dilengkapi dengan Focus Group Discussion (FGD), seminar, dan dengar pendapat dengan
para ahli terkait.
Naskah akademis memuat landasan aspek filosofis, yuridis, sosiologis, dan aspek
komparatif Dengan adanya naskah akademis ini, diharapkan undang-undang yang
diterbitkan telah secara komprehensif mencerminkan filsafat Pancasila dan aspirasi
masyarakat (Atmasasmita, 2014: 40 Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan
peraturan-peraturan lain di bawahnya dibuat dengan asas yang sama dengan lebih sedikit
pengaruh politik.
Hukum yang dicerminkan dalam undang-undang seharusnya memiliki radius jarak
pandang sepuluh tahun sampai dua puluh tahun ke depan dan dapat memprediksi dampak
dari regulasi pada masa yang akan datang berdasarkan pengalaman masa lalu
(Atmasasmita, 2014: 6). Pengaruh jangka panjang ke depan ini, mengharuskan adanya
analisis yang tajam mengenai dampak ekonomi (manfaat dan biaya sosial), sosial
(hubungan antarmanusia), budaya (perilaku seseorang atau organisasi dalam masyarakat).
Atmasasmita (2014: 40) mengatakan bahwa analisis semacam itu tidak pernah dilakukan
dalam penyusunan undang-undang di Indonesia. Pembahasan tentang undang-undang
pada dasarnya lebih banyak difokuskan pada dampak politik.
Atmasasmita menyebutkan perlunya Analisis Dampak Regulasi (ADR) atau
Regulatory Impact Analysis (RIA) dalam setiap penyusunan undang-undang. Model yang
dikembangkan Ronald Coase (1960), Guido Calabresi (1961), dan Gary Becker (1968) ini
merupakan analisis ekonomi mikro, menggabungkan aliran utilitarianisme (Bentham)
dengan hukum dan ekonomi. Model itu masih diterapkan di Amerika Serikat sampai
sekarang. Dalam model ini, persamaan visi antara ekonomi, hukum, dan politik dalam
menyikapi suatu masalah perlu ditekankan.
Selain undang-undang, setiap penyusunan peraturan seharusnya dilakukan dengan
analisis yang sama. Pengaruh regulasi terhadap ekonomi, sosial, dan budaya perlu
ditelaah secara mendalam. Telaah meliputi dampak regulasi terhadap perilaku (termasuk
perilaku yang menyimpang). Regulasi yang baik adalah regulasi yang dapat mencapai
tujuan nasional yang diharapkan dengan sesedikit mungkin tindakan moral hazard.
Regulasi seharusnya tidak dikeluarkan karena keinginan politis pemerintah, tekanan
masyarakat (sekelompok tertentu), atau tekanan media. Regulasi tidak dikeluarkan
berdasarkan pertimbangan baik-buruk secara normatif saja.
Regulasi pada awalnya akan berdampak terhadap masyarakat. Dampak ini dapat
menjalar ke dunia bisnis dan pada akhirnya memengaruhi perekonomian nasional.
Undang-undang tentang asuransi deposit di Amerika Serikat, misalnya, menurut
penelitian Ely (1999: 253) telah meningkatkan biaya sosial dari moral hazard yang
berasal dari regulasi (regulatory moral hazard) Asuransi deposit yang dimaksudkan untuk
memproteksi para deposan jika terjadi kegagalan bank (bank failures), dimanfaatkan oleh
para bankir untuk terlalu berani menanggung risiko dalam pemberian kredit. Prudential
banking tidak mereka terapkan. Kerugian karena kredit macet, yang dapat mengakibatkan
collapse-nya bank yang bersangkutan, tidak terlampau mereka risaukan karena
kekhawatiran bahwa bank tidak dapat mengembalikan tabungan nasabah telah diatasi
oleh asuransi deposito.
Asuransi deposito (di Indonesia disebut dengan penjaminan simpanan) merupakan
salah satu regulasi yang dapat menimbulkan perilaku moral hazard dari pihak bank.
Kebijakan ini diambil sebagai bagian dari penguatan sistem keuangan dalam kaitannya
dengan proteksi terhadap nasabah atau jika menggunakan istilah Claasen, merupakan
pemenuhan kewajiban terhadap hak dasar warga negara. Premi jaminan simpanan dibayar
oleh bank. Di Indonesia, kriteria nasabah yang dijamin simpanannya telah ditentukan.
Bail-out bank yang gagal, walaupun legitimasinya dapat dibenarkan, dapat
menimbulkan tindakan moral hazard dari sudut bank dan pemiliknya. Demikian juga
dengan regulasi tentang jaminan kesehatan yang memicu tindakan moral hazard dari
masyarakat atau rumah sakit. Masyarakat berbondong-bondong datang ke rumah sakit
untuk memperoleh pengobatan gratis. Sementara, rumah sakit memberikan pembebanan
berlebihan untuk proses diagnosis dan perawatannya. Contoh lain adalah regulasi tentang
keharusan asuransi kredit. Ketentuan ini akan mendorong bank untuk tidak prudent dalam
memberikan kredit.

2.18 Moral Hazard dalam Etika


Pembahasan tentang moral hazard dalam etika sangat abstrak. Etika berada di luar
(beyond) kontrak dan regulasi, walaupun asas kepatutan dan kepantasan dalam kontrak,
misalnya, merupakan bagian darinya. Nilai-nilai keutamaan adalah etika. Kadar
pemaksaan pada etika jauh lebih rendah dibandingkan kontrak dan regulasi. Ini berarti
kadar pelanggarannya juga semakin tinggi. Persoalan etika harus diatasi dengan
pengendalian diri. Perilaku dan perbuatan manusia dikendalikan oleh nalar dan hati
nurani. Pada umumnya, nalar diasosiasikan dengan benar-salah. Dasarnya dapat berupa
untung-rugi atau manfaat-mudarat. Sementara, kata hati berkaitan dengan baik-buruk.
Dasarnya adalah pengabdian kepada Sang Pencipta (ibadah), hubungan dengan sesama
manusia berlandaskan kasih sayang dan kepedulian terhadap alam semesta guna
kerahmatan baginya. Tujuan yang ingin dicapai adalah kebahagiaan dunia-akhirat. Etika
berkaitan dengan baik-buruk. Oleh karena itu, pelanggaran etika merupakan perbuatan
yang berlawanan dengan kata hati.
Apakah mungkin seseorang melakukan tindakan yang bertentangan dengan kata
hatinya? Jika ingin jujur, hal tersebut sangat mungkin dan sering terjadi. Jika pelanggaran
dilakukan, selalu diperlukan pembenaran. Manusia tidak lepas dari dosa dan kesalahan.
Pengendalian diri sering tidak mampu mengatasi godaan duniawi. Bahkan, oleh orang-
orang yang secara khusus mendalami tentang keyakinan, kebenaran, dan perilaku
sekalipun. Jika etika dapat diasosiasikan dengan kesalehan sosial karena berkaitan dengan
hubungan antarmanusia, pengendalian diri akan lebih sulit dilakukan. Ada ego pribadi
yang harus diselesaikan terlebih dahulu di antara sesama sehubungan dengan masalah
duniawi. Inilah dasar dari kesalahan yang dibuat oleh manusia. Pengendalian diri yang
berkaitan dengan kesalehan pribadi lebih mudah diterapkan karena yang dihadapi adalah
Tuhan. Apakah dengan demikian, tidak ada yang melanggar larangan Tuhan? Selalu ada.
Itulah dosa.
Mengapa seseorang melakukan perbuatan yang melawan kata hatinya?
Jawabannya telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, yaitu keserakahan, ketakutan,
kesempatan, dan konsekuensi. Juga segitiga kecurangan. Tentu hal ini tidak terlepas dari
karakter seseorang yang dibentuk oleh lingkungan. Karakter seseorang dalam hal
pengendalian diri dapat berbeda antara satu orang dan yang lain. Bagaimana
mencegahnya? Pengetahuan tentang nilai-nilai keutamaan atau kriteria baik. Buruk dapat
diperoleh dari banyak sumber. Kearifan demikian juga. Masalah utamanya adalah apakah
nilai keutamaan, kriteria baik-buruk, dan kearifan itu telah tertanam dalam hari sanubari,
dihayati, dan diyakini? Kunci utamanya adalah keyakinan karena perilaku atau perbuatan
yang didasarkan atas keyakinan adalah dogma kebenaran.
Moral hazard seharusnya tidak perlu terjadi dalam etika murni. Yang ada adalah
melanggar atau patuh padanya. Titik. Sebab, etika murni tidak memerlukan rasionalisasi
atau pembenaran. Rasionalisasi dan pembenaran adalah pekerjaan nalar, sedangkan dasar
etika murni adalah keyakinan tentang kebenaran. Tidak ada dan tidak perlu pembenaran
dalam pelanggaran keyakinan. Nilai-nilai baik-buruk adalah abadi, walaupun kriterianya
dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Etika dapat dinyatakan dalam bentuk
tertulis seperti pernyataan nilai, kode etik, atau sumpah prasetya. Namun, yang lebih
penting adalah penghayatan dan pengamalannya. Pengendalian (kontrol) sosial dapat
memperbaiki pelaksanaan etika. Juga keteladanan dan panutan dari atas (tone from the
top). Namun, pendidikan dan pembelajaran secara terus-menerus dari sejak awal akan
lebih baik lagi untuk menanamkan etika dalam hati sanubari seseorang.
Kenyataannya, moral hazard masih mungkin terjadi terhadap kode etik (rules of
conduct) atau pernyataan nilai (value statements) yang digunakan sebagai budaya
perusahaan (etika organisasi). Dalam hal ini, kode etik atau pernyataan nilai yang pada
umumnya dinyatakan secara tertulis dan menjadi pedoman berperilaku dan berbuat bagi
seluruh karyawan tidak ubahnya sebagai kontrak. Terlepas bahwa kode etik atau
pernyataan nilai telah dikembangkan dengan melibatkan semua karyawan, tetapi tidak
ada jaminan bahwa kode etik atau pernyataan nilai tersebut telah menyuarakan hati nurani
seluruh karyawan atau telah menampung seluruh kepentingan mereka. Belum tentu
bahwa kode etik atau pernyataan nilai itu diyakini oleh semua karyawan sebagai dogma
kebenaran. Oleh karena itu, dalam keadaan demikian, pelanggaran yang disertai dengan
alasan pembenaran masih mungkin terjadi.

Anda mungkin juga menyukai