PEMBAHASAN
2.4 Pemicu
Ada dua sifat dasar manusia yang menjadi pemicu utama pelanggaran etika.
Kedua sifat dasar itu adalah keserakahan (greed) dan ketakutan (fear). Sementara itu, juga
ada dua kondisi yang menyebabkan terjadinya pelanggaran etika, yaitu kesempatan dan
konsekuensi. International Standards of Auditing (ISA) Nomor 240 menyebutkan ada 3
(tiga) faktor risiko akibat kecurangan pelaporan keuangan, yang disebut dengan segitiga
kecurangan (fraud triangle), yaitu insentif/tekanan (incentives/pressures),
sikap/rasionalisasi (attitude/rationalization) dan kesempatan (opportunity). Ketiga faktor
risiko ini pada dasarnya merupakan pemicu terjadinya pelanggaran etika, kontrak, atau
regulasi yang pada akhirnya menjelma menjadi tindakan kecurangan dan moral hazard.
Segitiga kecurangan dapat digambarkan seperti dalam Gambar 14.2.
Insentif adalah bentuk lain dari keserakahan. Godaan duniawi yang dijanjikan dari
tindakan kecurangan atau moral hazard memicu keserakahan orang atau organisasi yang
bersangkutan. Seperti telah dikemukakan, godaan duniawi tidak harus berupa uang atau
harta lain. Remunerasi dalam bentuk bonus yang didasarkan atas target laba tertentu,
misalnya, adalah insentif bagi manajemen atau karyawan untuk melanggar etika, kontrak,
dan regulasi. Mereka, dengan segala daya upaya, akan berusaha mencapai target yang
dimaksud termasuk, misalnya, melakukan manajemen laba. Pencurian aset dasarnya
adalah insentif, yaitu aset yang dicuri tersebut. Insentif yang diikuti dengan keserakahan
adalah akibat dari dorongan hati nurani yang tidak terkendali
Tekanan (pressure) berasal dari ancaman pihak luar yang mengakibatkan
ketakutan dan terganggunya rasa aman. Pihak luar itu dapat berasal dari pemegang
saham, stakeholder lain, pasar, atau regulasi yang menetapkan target atau sasaran yang
harus dicapai. Tekanan untuk mencapai target laba dalam kondisi ekonomi yang sulit
adalah salah satu contoh. Demikian juga keharusan untuk pembayaran cicilan dan
memenuhi syarat-syarat (covenant) dalam perjanjian kredit dengan bank. Upaya untuk
menjaga agar harga saham tidak merosot merupakan contoh dari tekanan pasar. Ketaatan
terhadap regulasi dapat merupakan tekanan tersendiri jika situasi sedang tidak
memungkinkan.
Tekanan dapat diidentifikasikan dengan ketakutan (fear). Ketakutan tidak dapat
memperoleh apa yang diinginkan atau gagal dalam mencapai tujuan merupakan tekanan
untuk melanggar etika, kontrak, dan regulasi. Kondisi keuangan yang sedang sulit,
misalnya, merupakan pemicu untuk bertindak curang. Demikian juga dengan ketakutan
untuk diberhentikan dari jabatan. Rasa aman yang terganggu dan ketidak-ikhlasan dalam
menghadapi kegagalan merupakan penggerak untuk melakukan pelanggaran. Mantra
sukses yang dihadapi manajemen (dan juga setiap orang) membelenggu mereka untuk
menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan.
Tekanan dihadapi oleh semua orang dalam setiap lapis organisasi. Organisasi
yang modern, di mana efisiensi dan produktivitas merupakan dasar untuk bekerja akan
selalu mengakibatkan adanya tekanan pada pekerjanya, tetapi kecurangan atau moral
hazard tidak harus menghinggapi semua orang yang memperoleh tekanan tersebut.
Syukur dan ikhlas adalah kunci untuk menghadapi ketakutan (dan keserakahan).
Kesempatan (opportunity) merupakan kondisi dari luar individu dan organisasi
yang mendorong terjadinya pelanggaran etika, kontrak, dan regulasi. Kesempatan dapat
terjadi karena ketidakjelasan etika, kontrak, dan regulasi yang mengakibatkan timbulnya
multitafsir yang bersifat subjektif. Dalam bidang akuntansi, penyajian yang didasarkan
atas nilai taksiran (estimates) merupakan kesempatan untuk memunculkan kondisi
multitafsir. Selain itu, sistem pengendalian internal yang lemah menimbulkan kesempatan
untuk melakukan pelanggaran. Transaksi (produk) yang kompleks, semisal derivatif,
merupakan kesempatan untuk menafsirkan kebenaran sesuai dengan keinginannya
masing-masing. Operasi perusahaan yang mencakup wilayah yang luas dengan sistem
monitoring yang kurang memadai memungkinkan orang-orang di cabang perusahaan
mengambil kesempatan memanfaatkan situasi tersebut.
Lingkungan yang mendorong sikap tidak jujur adalah pemicu terjadinya
pelanggaran etika. Kontrak, dan regulasi. Aspek lingkungan yang paling dominan adalah
adanya panutan atau keteladanan dari atas (tone from the top). Atas dalam hal ini adalah
pimpinan (management). Sikap dan perbuatan manajemen dalam kaitannya dengan etika,
kontrak, dan regulasi akan menentukan bagaimana orang-orang di bawahnya akan
bertindak menghadapi ketidakjujuran. Budaya perusahaan yang terdiri atas kode etik dan
nilai akan menjadi tidak ada artinya jika tidak dilaksanakan oleh semua orang dalam
perusahaan tersebut. Kode etik dipasang di setiap ruangan. Tetapi hanya menjadi
pajangan. Faktor lain dalam segitiga kecurangan (tekanan, insentif, dan kesempatan)
merupakan pendorong munculnya sikap yang nyata dalam perusahaan. Faktor-faktor ini
tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh manajemen perusahaan.
Adanya faktor rasionalisasi (rationalization) atau pembenaran merupakan pemicu
bagi seseorang dan organisasi untuk berlaku curang atau melakukan perbuatan yang
bersifat moral hazard. Salah satu pembenaran yang biasa dikemukakan adalah karena
“orang lain juga berbuat yang sama”. Suatu kecurangan yang dilakukan secara berjamaah
dianggap sebagai bukan kecurangan. Dia sudah menjadi budaya itu sendiri, yaitu “budaya
curang”. Rasionalisasi akan lebih kuat lagi jika yang melakukan kecurangan adalah pihak
atasan.
Rasionalisasi akan didukung oleh sistem jika konsekuensi (consequences) dari
tindakan curang masih tergolong ringan. Contoh konsekuensi yang ringan adalah
rendahnya hukuman jika terjadi pelanggaran dibandingkan dengan manfaat yang
diperoleh. Konsekuensi juga dapat diartikan sebagai kemungkinan tertangkapnya
tindakan curang tersebut. Kemungkinan tertangkapnya suatu kecurangan ditentukan oleh
law enforcement dan budaya masyarakat. Jika law enforcement lemah, kemungkinan
tertangkapnya juga kecil. Demikian juga, jika budaya masyarakat menganggap bahwa
kecurangan merupakan suatu hal yang biasa, tindakan kecurangan tidak akan dapat
diketemukan.
2.7 Mis-Counduct
Dalam penelitiannya, ACFE juga menanyakan kepada responden apakah
berdasarkan investigasinya, para pelaku juga telah melakukan perbuatan tidak senonoh
(misconduct) sebelum terbongkarnya kasus kecurangan mereka. Jawaban atas pertanyaan
ini menunjukkan bahwa 38 persen dari perilaku kecurangan tersebut pernah melakukan
paling tidak satu kali perbuatan tidak senonoh Di antara perbuatan tidak senonoh yang
paling banyak dilakukan adalah bullying/intimidasi (17 persen), kemudian diikuti dengan
suka bolos kerja (14 persen), malas (8 persen), browsing internet (7 persen), mengunjungi
situs pornografi atau judi (3 persen), dan pelecehan seksual (2 persen). Dalam kaitannya
dengan Human Resources Department (HRD). Para pelaku kecurangan tersebut pernah
berhubungan dengan HRD dalam kaitannya dengan evaluasi kerja yang buruk (11
persen), ketakutan kehilangan pekerjaan karena pengecilan atau restrukturisasi usaha (7
persen), betul-betul kehilangan pekerjaan (3 persen), pemotongan gaji (3 persen),
pemotongan manfaat lain (3 persen), penurunan jabatan atau demotion (2 persen), dan
pengurangan jam kerja secara suka rela (1 persen).
2.8 Penanggulangan
Berbeda dengan kecurangan oleh manajemen (management fraud), kecurangan
oleh karyawan (employees fraud) pada umumnya, dapat diatasi dengan menerapkan
sistem pengendalian internal yang baik. Tata kelola perusahaan yang baik dapat
mencegah terjadinya kecurangan manajemen. Dalam studi yang dilakukan ACFE pada
2014, ada 18 (delapan belas) pengendalian (controls) yang diterapkan oleh perusahaan
untuk mencegah terjadinya kecurangan (ACFE, 2014: 31). Pengendalian pengendalian itu
sebagai berikut.
1. Audit eksternal oleh akuntan publik terhadap laporan keuangan.
2. Penerapan kode etik (code of conduct).
3. Adanya bagian internal audit.
4. Sertifikasi laporan keuangan oleh manajemen.
5. Audit eksternal terhadap Internal Control Over Financial Reporting (ICOFR).
6. Tinjauan ulang oleh manajemen.
7. Komite audit independen.
8. Hotline.
9. Program pendukung karyawan.
10. Pelatihan tentang kecurangan kepada manajer/eksekutif.
11. Pelatihan tentang keuangan kepada karyawan biasa.
12. Kebijakan anti kecurangan.
13. Pembentukan departemen, fungsi, atau tim khusus yang menangani kecurangan.
14. Analisis data monitoring.
15. Penilaian (assesment) secara proaktif dan formal risiko kecurangan.
16. Pemeriksaan secara acak (surprise audit).
17. Rotasi pekerjaan atau wajib cuti.
18. Penghargaan bagi peniup peluit (wistle blower).
Studi tersebut menemukan bahwa walaupun audit oleh akuntan publik merupakan
sistem pengendalian yang paling banyak diterapkan (80 persen dari kasus responden),
tetapi kemampuan untuk mendeteksi kasus hanyalah 3 persen. Angka yang tinggi untuk
audit oleh akuntan publik, mungkin disebabkan karena sistem pengendalian tersebut
merupakan suatu keharusan yang ditetapkan oleh regulator. Sementara itu, walaupun
hotline, hanya diterapkan oleh 54 persen dari kasus, tetapi deteksi kecurangan melalui
laporan pemberian persenan atau uang tip mencapai 42 persen. Hotline adalah mekanisme
untuk melaporkan terjadinya kecurangan atau penyimpangan lain yang dilakukan secara
internal atau oleh pihak lain. Pemberian persenan atau uang tip adalah salah satu metode
deteksi kecurangan yang paling banyak mendatangkan penemuan awal terhadap suatu
kecurangan.
Tinjau ulang manajemen manajemen (management review) adalah proses oleh
manajemen untuk meninjau ulang (review), pengendalian (controls), proses (bisnis), akun
(accounts), atau transaksi mengenai kepatuhan terhadap kebijakan dan harapan
perusahaan. Sebagai alat pengendalian dalam mencegah kecurangan, tinjauan ulang
manajemen diterapkan dalam 74 persen perusahaan dengan karyawan kurang dari 100
dan 33 persen oleh perusahaan dengan karyawan lebih dari 100. Dalam hal untuk
mendeteksi kecurangan, studi ACFE melaporkan bahwa 16 persen dari awal berasal dari
cara ini. Adanya program untuk membantu karyawan dalam menangani masalah-masalah
pribadi, seperti narkoba, kesulitan keuangan, masalah keluarga, juga merupakan salah
satu cara untuk mencegah kecurangan. Program pendukung karyawan (employee support
programs) semacam ini, dalam studi ACFE diterapkan oleh 52 persen dari kasus yang
diteliti.
2.10 Korupsi
Secara singkat, korupsi (corruption) dapat didefinisikan sebagai: “illegitimate use of
public power to benefit a private interest”. Definisi ini mendikotomikan kekuasaan
(public power) dengan kepentingan pribadi (private interest). Kepentingan pribadi tidak
harus berarti kepentingan dari pelaku. Korupsi adalah tindakan yang:
1. Dilakukan secara rahasia (secretly provided).
2. Berupa pemberian barang atau jasa oleh pihak ketiga,
3. Dapat memengaruhi keputusan/tindakan tertentu (oleh pelaku korupsi).
4. Memberikan manfaat kepada pelaku korupsi atau pihak ketiga atau keduanya.
5. Pelaku korupsi mempunyai kekuasaan (pejabat).
Definisi tersebut seolah-olah menyebutkan bahwa tindakan korupsi hanya
menjerat pejabat yang memiliki kekuasaan. Tentu hal ini tidak benar. Korupsi adalah
suatu tindak pidana yang dapat dikenakan terhadap pejabat dan pihak ketiga yang terlibat.
Walaupun tidak secara tegas mencantumkan kata “korupsi”, tetapi materi yang
berkaitan dengan tindak pidana korupsi telah dimasukkan dalam konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003. Konvensi ini telah diratifikasi oleh Indonesia
dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 (Atmasasmita, 2014: 49). Tindak pidana
yang dimaksud adalah tindak pidana suap pejabat publik nasional, suap pejabat publik
asing dan pejabat organisasi internasional, penggelapan harta kekayaan oleh pejabat
publik, memperdagangkan pengaruh, penyalahgunaan fungsi, memperkaya diri sendiri
secara tidak sah, suap di sektor swasta, penadahan, dan menghalang-halangi proses
peradilan. Tindak pidana itu pada dasarnya adalah tindak pidana korupsi. Perubahan besar
dalam konvensi tersebut adalah dimasukkannya unsur swasta sebagai subjek tindak
pidana korupsi.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi
mengelompokkan tindakan yang dianggap korupsi sebagai berikut.
1. Berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.
2. Memengaruhi putusan perkara.
3. Perbuatan curang.
4. Penggelapan uang.
5. Pemalsuan buku-buku atau daftar-daftar khusus untuk pemeriksaan administrasi.
6. Penggelapan, penghancuran, dan perusakan dokumen.
7. Menerima hadiah atau janji.
Undang-Undang tersebut berlaku bagi pemberi dan penerima (pegawai negeri atau
penyelenggara negara), advokat, pemborong, ahli bangunan, pengawas pembangunan,
atau pemegang jabatan umum. Syarat untuk dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
korupsi adalah adanya kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
Cara yang digunakan dalam melakukan tindak pidana korupsi ada bermacam-
macam. Intinya apa yang biasa dilakukan dalam manipulasi laporan keuangan dan
pencurian aset dapat dilakukan untuk tindak pidana korupsi. Pemalsuan buku-buku atau
daftar-daftar khusus pada akhirnya akan mengarah pada manipulasi laporan keuangan.
Penggelapan, penghancuran, dan perusakan dokumen digunakan untuk menghilangkan
bukti-bukti yang mendukung suatu laporan (termasuk laporan keuangan) Perbuatan
curang atau penggelapan uang dapat mengambil berbagai bentuk di antaranya mark-up
biaya proyek, pengeluaran fiktif, proyek fiktif, pengaturan tender, perusahaan palsu untuk
fronting, komisi berlebihan kepada oknum pelaksana program dan proyek, dan lain
sebagainya.
Jenis tindak pidana yang dicantumkan paling awal dalam undang-undang korupsi
adalah “berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya”.
Tindakan ini pada umumnya berkaitan erat dengan suatu kebijakan sehingga dampaknya
bisa sangat luas dan signifikan. Kalimat “bertentangan dengan kewajibannya” harus
diartikan secara luas sebagai tindakan yang melenceng dari tugas utama sebagai pegawai
negeri, penyelenggara negara, atau pemegang jabatan umum. Tugas utama mereka adalah
melayani masyarakat. Lebih tinggi lagi, tugas mereka adalah mencapai apa yang
diamanatkan konstitusi sebagai tujuan bernegara. Jadi, jika kebijakan yang ditelorkan
tidak sesuai dengan pencapaian tujuan bernegara, kebijakan tersebut, pada dasarnya,
adalah tindakan korupsi. Namun, perlu dicatat bahwa pembuktian mengenai hal ini
amatlah sulit.
Sementara itu, hadiah atau janji adalah jenis tindak pidana korupsi yang
dicantumkan paling akhir dalam undang-undang. Namun, bukan berarti tindakan tersebut
merupakan tindakan paling ringan dengan hukuman yang paling rendah. Semua tindak
pidana korupsi mempunyai range hukuman yang sama. Hadiah atau janji tidak harus
dikaitkan dengan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Inti dari
pencantuman ayat ini adalah melarang semua pegawai negeri, penyelenggara negara, atau
pemegang jabatan umum untuk menerima hadiah atau janji. Bahkan sumbangan
perkawinan bagi pejabat atau tambahan uang transportasi bagi petugas Kantor Urusan
Agama (KUA) yang diundang ke rumah untuk menikahkan pengantin pun dapat
dikategorikan sebagai gratifikasi.
Tindak pidana korupsi dapat ditelaah dari hubungan agen-prinsipiel dalam teori
keagenan, Dalam hal ini hubungan prinsipiel-agen dapat berupa seperti yang disajikan
dalam tabel berikut.
Prinsipiel Agen
1. Rakyat Indonesia Pemerintah, Presiden (Wakil Presiden), DPR (anggota), DPD
(anggota)
2. Pemerintah / DPR Lembaga negara (komisioner)
3. Pemerintah Aparat birokrasi
4. Pembayar Pajak Elite politik