Anda di halaman 1dari 504

Ir. H. Nova Iriansyah, M.T.

SERI BUKU
SEJARAH &
(Gubernur Aceh 2020–2022) HERITAGE Seri Buku Sejarah & Heritage
Kisah kemakmuran dan kejayaan Aceh masa lalu tercatat dalam perjalanan sejarah. Potensi alam dan kegigihan perjuangan
rakyat Aceh telah mengantarkan wilayah di ujung Sumatra ini mendapat julukan sebagai “Daerah Modal”. Gejolak Perang
Kemerdekaan menjadi periode yang menampilkan citra Aceh sebagai wilayah harapan bagi Republik Indonesia. Tidak bisa
dinafikan bagaimana peran kelompok pengusaha Aceh dalam Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA)
menyumbangkan kebutuhan perjuangan Indonesia untuk pembelian dua pesawat terbang Dakota, “Seulawah RI-001” dan
“Seulawah RI-002”. Kehadiran buku ini patut disambut dengan tangan terbuka karena berhasil mendedahkan narasi
komprehensif yang menempatkan sejarah ekonomi sebagai fokus kajian. Kiranya buku ini dapat menjadi rujukan edukatif guna
menggaungkan kembali Provinsi Aceh sebagai “Daerah Modal” yang layak diperhitungkan di masa kini dan mendatang. Tak
hanya sekadar memutar kenangan romantisme masa lalu, tetapi dapat menjadi modal semangat masyarakat dalam
membangkitkan kembali kemakmuran dan kejayaan Aceh. Insya Allah, pengalaman masa lalu akan menuntun kita menjadi
lebih arif dalam menyongsong masa depan. MENDUKUNG PERTUMBUHAN EKONOMI

BANK INDONESIA DALAM DINAMIKA PEREKONOMIAN ACEH


DI DAERAH MODAL

MENDUKUNG PERTUMBUHAN EKONOMI


Tengku Malik Mahmud Al Haythar
Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Aceh
BANK INDONESIA DALAM DINAMIKA PEREKONOMIAN ACEH
Rangkaian peristiwa dalam sejarah Aceh dapat menjadi rujukan bagi kontribusi pemikiran guna memajukan daerah ini menjadi
lebih sejahtera dan bermartabat dari segala bidang, seperti ekonomi, budaya dan adat istiadat. Secara historis, Aceh pernah
mencapai kegemilangan pada masa Kesultanan Aceh Darussalam. Demikian pula bagaimana kontribusi Aceh bagi Tanah Air ini
tercatat begitu besar. Terminologi Aceh sebagai “Daerah Modal” sepatutnya dijadikan pendorong bagi kemajuan Aceh saat ini
dan masa mendatang. Semangat heroisme dan kegigihan masyarakatnya yang agamis adalah warisan nilai-nilai sebagai modal

DI DAERAH MODAL
penting bagi masyarakat Aceh dalam membangun peradaban baru menuju kemakmuran. Konflik bersenjata yang berlangsung
lama serta kehancuran akibat bencana alam telah menjadi titik nadir penderitaan masyarakat Aceh. Alhamdulillah, Aceh telah
melewati periode tersulitnya. Keberhasilan memelihara perdamaian menjadi wujud tekad masyarakat Aceh untuk meraih
kembali masa kejayaannya. Oleh karenanya, pemerataan pembangunan dengan mengindahkan nilai-nilai keadilan dan
keistimewaan Aceh penting untuk diperhatikan oleh pengambil kebijakan. Buku ini menjadi persembahan menarik bagi
pembaca karena tak hanya menyajikan lika-liku sejarah Aceh, tetapi juga mampu menumbuhkan sense of belonging and pride
masyarakat Aceh dan membangkitkan semangat untuk membangun daerahnya.

Prof. Dr. Misri A. Muchsin, M.Ag.


(Guru Besar Sejarah UIN Ar-Raniry Banda Aceh)
Sejak era kesultanan, Aceh telah berhasil mencapai puncak kejayaannya. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis menjadi
momentum bagi Kesultanan Aceh Darussalam. Hal ini berimplikasi terhadap beralihnya para pedagang Islam dari berbagai
wilayah yang mencari alternatif bandar perdagangan lain di sekitar Selat Malaka. Letaknya di pintu masuk Selat Malaka
mengantarkan Bandar Aceh Darussalam (nama awal Banda Aceh) sebagai pusat perdagangan penting sekaligus pusat
penyiaran dan pengkajian Islam. Sebagai pusat kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam, Banda Aceh tak hanya menjadi pusat
perdagangan dan pelayaran saja, melainkan pula pusat pengembangan intelektual Islam, serta pertahanan. Dalam sendi
kehidupan masyarakat Aceh, kehadiran ulama memainkan peran penting yang merupakan manifestasi atas terintegrasinya
agama, negara, dan budaya. Dalam situasi perang melawan segala bentuk kolonialisme, eksistensi ulama berhasil memompa
semangat juang rakyat Aceh. Atas terbitnya buku “Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal: Bank Indonesia dalam
Dinamika Perekonomian Aceh”, kiranya dapat menjadi salah satu karya sejarah (terutama sejarah ekonomi) sekaligus sebagai
refleksi guna menghidupkan kembali asa Aceh sebagai pusat perdagangan, baik dalam skala regional maupun nasional.

www.bi.go.id/id/institute
Mendukung Pertumbuhan Ekonomi
di Daerah Modal
Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh
Mendukung Pertumbuhan Ekonomi
di Daerah Modal
Bank Indonesia Dalam Dinamika Perekonomian Aceh

TIM PENYUSUN
Mawardi Umar, Kamal A. Arif, Rita Krisdiana, Januar Aristianto,
Nur Fadhilah, Allan Akbar

BANK INDONESIA INSTITUTE


BANK INDONESIA
2021
Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal
Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh

Penanggung Jawab Produksi:


Solikin M. Juhro

Kepala Produksi:
Arlyana Abubakar

Tim Penyusun:
Mawardi Umar, Kamal A. Arif, Rita Krisdiana, Januar Aristianto, Nur Fadhilah, Allan Akbar

Editor:
Gusti Asnan

Kontributor:
Guruh Suryani Rokhimah, Felicia Virna I. B., Ginisita Dofany, Sintya Aprina, Aryni Ayu
Widiyawati

Cetakan Pertama, November 2021


xxviii + 475 hlm, 14,5 x 20,5 cm
ISBN: 978-623-95383-3-0 (cetak)
978-623-95383-4-7 (EPUB)

Bank Indonesia Institute


Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350
Indonesia
http://www.bi.go.id

Hak Cipta dilindungi undang-undang.


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

iv Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


SAMBUTAN
GUBERNUR BANK INDONESIA

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Sebagai pintu gerbang Nusantara, wilayah Aceh sangatlah strategis secara


geografis yang memberikan berkah keuntungan ekonomi. Letaknya di
lintasan jalur pelayaran internasional, menjadikan Aceh tujuan akhir atau
hanya sekadar tempat singgah para pelaut dan pedagang. Puncak kejayaan
Aceh sendiri terjadi di periode Kesultanan Aceh Darussalam yang ditandai
dengan banyaknya pedagang muslim singgah di Bandar Aceh Darussalam.
Kala itu wilayah kekuasaan kesultanan jauh lebih besar dari wilayah Provinsi
Aceh saat ini. Fasilitas yang disediakan alam sangatlah menguntungkan bagi
kejayaan pelabuhan Bandar Aceh Darussalam, di mana terdapat sebuah
teluk luas yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat berlabuhnya ratusan
kapal di waktu yang bersamaan. Kesultanan Aceh Darussalam mencapai
masa keemasannya dengan menjadi penguasa tunggal di Pulau Sumatra, di
bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda pada abad ke-17, saat itu Aceh
mengukuhkan posisinya sebagai salah satu pusat perdagangan penting di
Samudra Hindia.
Pada akhir abad ke-19, Belanda tertarik menggantikan kekuasaan
Kesultanan Aceh Darussalam, dengan menganeksasi satu per satu wilayahnya.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh v


Pada akhirnya masa kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam harus berakhir dan
dimulailah pengaruh kolonial Hindia Belanda. Bagi Belanda untuk menguasai
Aceh tidaklah mudah karena masyarakat Aceh gigih memberikan perlawanan
dengan perang berkepanjangan yang menghancurkan hampir seluruh
infrastruktur ekonomi. Setelah sebagian besar wilayah Aceh berhasil dikuasai
dan keamanan cenderung kondusif, Belanda mulai membuka Aceh sebagai
daerah investasi swasta Barat.
Dalam perkembangannya, Aceh tumbuh menjadi wilayah investasi
atau ‘daerah modal’ bagi swasta Barat yang sangat menguntungkan. Tak
hanya pada sektor perkebunan, pesatnya investasi juga merambah ke sektor
lain seperti pertambangan. Dalam kondisi perkembangan ekonomi inilah
pemerintah kolonial memutuskan untuk mendirikan De Javasche Bank (DJB)
Agentschap Koetaradja pada 1918 dalam rangka memenuhi kebutuhan
pembiayaan terkait perdagangan, pemberian kredit kepada para pengusaha,
dan yang terpenting diberi mandat untuk menjadi bank sirkulasi dengan
mengatur peredaran uang Gulden dalam jumlah besar di Aceh.
Peran Aceh sebagai ‘daerah modal’ yang menguntungkan tak hanya
terjadi pada periode kolonial saja. Pada masa revolusi kemerdekaan, Aceh
berhasil menjaga tapal batas wilayahnya dari invasi Belanda serta pemberian
sumbangan rakyat Aceh untuk pembelian pesawat pertama Republik
Indonesia. Julukan sebagai ‘daerah modal’ semakin melekat ketika dalam
periode yang sama Aceh juga telah menjadi donatur untuk membiayai
kepindahan sementara pusat pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta.
Dalam perjalanan sejarahnya, De Javasche Bank kemudian dinasionalisasi
menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral Republik Indonesia. Demikian
pula halnya dengan De Javasche Bank Agentschap Koetaradja saat ini
dikenal sebagai Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Aceh. Fungsi DJB
sebagai bank sirkulasi menjadi titik awal dari fungsi kebanksentralan yang
dijalankan Bank Indonesia saat ini yaitu terkait kebijakan moneter, melakukan
pengawasan dan pengaturan stabilitas sistem keuangan, serta mengatur dan
menjaga kelancaran sistem pembayaran.
Buku berjudul “Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah
Modal: Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh” ini
merupakan hasil kajian mendalam terhadap sejarah Bank Indonesia dalam

vi Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


mengawal perjalanan ekonomi wilayah Aceh dengan uraian sejarah di
dalamnya tersusun secara holistik. Pengalaman sejarah inilah yang kiranya
mampu memberikan pelajaran dalam merancang kebijakan ekonomi,
khususnya ekonomi daerah yang memiliki potensi alam yang melimpah.
Bersama dengan pemerintah, Bank Indonesia akan terus bersinergi dalam
mengawal laju ekonomi Aceh, tak hanya sebagai daerah modal di masa lalu,
namun juga di masa kini dan mendatang.

Selamat membaca.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Jakarta, Januari 2021

Perry Warjiyo

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh vii


SAMBUTAN
DEPUTI GUBERNUR BANK INDONESIA

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Narasi sejarah ekonomi Aceh tidak dapat terlepas kisah kejayaannya sebagai
pusat perdagangan penting di Samudra Hindia. Aceh memiliki wilayah
yang tak hanya posisi strategisnya yang membawa keuntungan, namun
juga potensi alamnya yang luar biasa kaya. Seperti sejumlah wilayah lain di
Nusantara, Aceh kala itu menjadi salah satu wilayah terpilih untuk didirikan
kantor cabang De Javasche Bank di Koetaradja (kini Banda Aceh).
Fungsi De Javasche Bank sebagai bank sirkulasi merupakan fungsi
bank sentral tertua. Di era modern ini fungsi bank sentral sudah semakin
berkembang sesuai dengan tantangan perkembangan zaman. Menilik
perjalanan sejarahnya, Bank Indonesia menjadi bank sentral di Republik
Indonesia sebagai hasil dari nasionalisasi terhadap De Javasche Bank (DJB)
pada tahun 1953. Meski telah berhasil dinasionalisasi, Bank Indonesia belum
membuka kantor cabangnya di Aceh saat itu. Kehadiran Bank Indonesia di
Aceh secara resmi beroperasi pada tahun 1964 setelah melewati masa vakum
era DJB sejak berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia. Pada tahun yang
sama Bank Indonesia juga membuka kantor cabangnya di Sabang yang hanya
beroperasi hingga tahun 1969. Selanjutnya Sabang menjadi cakupan wilayah
kerja Bank Indonesia Provinsi Aceh.
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Aceh yang dulunya adalah DJB
Agentschap Koetaradja, berperan menjalankan fungsi sebagai bank sentral di

viii Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


daerah dalam hal menjalankan kebijakan moneter, mengawal stabilitas moneter
dan sistem keuangan di daerah, serta menjaga kelancaran sistem pembayaran.
Bank Indonesia pun turut berkontribusi dalam memberikan bantuan sosial dan
aksi kemanusiaan kepada masyarakat. Saat tsunami melanda Aceh tahun 2004
silam, Bank Indonesia aktif menyerahkan bantuan dari berbagai sektor sebagai
bentuk kepedulian untuk memulihkan kembali Aceh pascabencana.
Dalam mengawal laju perekonomian daerah, Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Provinsi Aceh ikut berperan penting dalam upaya mengembangkan
UMKM yang merupakan salah satu bagian integral dari program pembangunan
nasional. Guna mendukung keberhasilan tersebut, Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Provinsi Aceh melakukannya melalui berbagai program. Salah satu
program Bank Indonesia dalam rangka meningkatkan kapasitas ekonomi
UMKM ialah melalui Wirausaha Unggulan Bank Indonesia (WUBI). Program
pengembangan ekonomi syariah pun dilakukan oleh Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Provinsi Aceh, seperti program kemandirian ekonomi pesantren
melalui upaya pembinaan dengan melihat potensi sumber daya alam yang
dimiliki oleh pesantren.
Bagaimana dukungan dari Bank Indonesia dari masa ke masa terhadap
perkembangan ekonomi daerah Aceh yang dikenal sebagai ‘daerah
modal’ direkam dengan baik dalam buku ini yang berjudul “Mendukung
Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal: Bank Indonesia dalam
Dinamika Perekonomian Aceh”. Buku yang merupakan kajian sejarah
dalam rangka dokumentasi institutional memory organisasi ini sekaligus
menjadi kajian sejarah ekonomi daerah. Buku ini menjadi persembahan dari
Bank Indonesia terhadap masyarakat Aceh, dan diharapkan dapat menjadi
media bagi Bank Indonesia dan Pemerintah Daerah dalam membangun
sinergi mengawal pembangunan ekonomi Indonesia yang lebih baik berbasis
pengalaman masa lalu.

Selamat membaca.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Jakarta, Januari 2021

Dody Budi Waluyo

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh ix


PENGANTAR
KEPALA BANK INDONESIA INSTITUTE

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Buku “Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal: Bank


Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh” yang ditulis oleh Tim
Penulis dari Bank Indonesia Institute menjadi wujud kehadiran Bank Indonesia
di tengah masyarakat melalui kajian akademik, khususnya sejarah ekonomi.
Tujuan penulisan buku ini adalah sebagai upaya perekaman memori institusi
(institutional memory) Bank Indonesia yang salah satunya dikemas dalam
bentuk Buku Seri Sejarah dan Heritage Kantor Perwakilan Bank Indonesia. Seri
buku yang menyajikan kisah mengenai kiprah bank sentral di beberapa wilayah
di Indonesia, yang kehadirannya diawali sejak masa kolonial dengan nama De
Javasche Bank yang kemudian dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia.
Sebagai bagian dari seri buku tersebut, buku ini menyajikan dengan
komprehensif peran dan kontribusi bank sentral dalam mengawal
perkembangan ekonomi Aceh dan sekitarnya dari masa ke masa, yang
sekaligus menyajikan sejarah ekonomi kota/wilayah tersebut. Paduan antara
kajian ekonomi serta sejarah melalui penggalian sumber arsip yang mendalam,
diharapkan dapat melengkapi khazanah referensi sejarah ekonomi dengan
topik khusus tentang sejarah bank sentral di daerah yang belum banyak

x Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


dituliskan. Melalui informasi yang tersaji dalam buku ini, diharapkan dapat
membangkitkan rasa kepemilikan masyarakat terhadap Bank Indonesia
sebagai Bank Sentral Republik Indonesia. Dan sebagai referensi pengetahuan,
kiranya buku ini juga dapat dimanfaatkan oleh akademisi dan masyarakat
luas, termasuk menjadi sumber refleksi bagi para pembuat kebijakan di daerah
dalam merumuskan kebijakan berdasarkan hikmah dan pelajaran masa lalu.
Kami menyadari bahwa dalam menulis sebuah buku, idealnya dapat
memenuhi 4 (empat) unsur, yakni uniqueness (keunikan); novelty (kebaruan);
attractiveness (menarik); dan accessibility (aksesabilitas). Maka dalam
penulisan buku ini, Tim Penulis berupaya mengisi ruang-ruang kosong yang
belum banyak dikaji oleh buku-buku sejenis, dengan memanfaatkan sumber
primer berupa arsip-arsip masa De Javasche Bank sebagai referensi utama
dalam penelitian dan penulisan. Guna memperluas jangkauan pembaca,
buku ini juga ditulis dengan menggunakan gaya penulisan semi populer agar
lebih menarik ketika dibaca, di samping juga diterbitkan secara digital melalui
website Bank Indonesia. Sehingga diharapkan jangkauan pembaca buku ini
tidak hanya di lingkungan akademik, namun juga masyarakat luas khususnya
generasi muda yang menaruh minat terhadap sejarah ekonomi Aceh.
Atas terbitnya buku ini, kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh
pihak yang turut aktif terlibat dalam proses penelitian dan penulisan. Kami
berharap informasi yang termuat dalam buku ini dapat memberikan gambaran
utuh mengenai peran Bank Indonesia dalam mendukung pengembangan
ekonomi khususnya di Provinsi Aceh dan sekitarnya.

Selamat membaca.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Jakarta, Januari 2021

Solikin M. Juhro

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh xi


DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Peta Provinsi Aceh 10
Gambar 1.2. Letak Kesultanan Aceh Darussalam yang Strategis 13
Gambar 1.3. Mata Uang Dirham (Emas) Kerajaan Samudra Pasai Masa Sultan Malik Az-
Zahir 44
Gambar 1.4. Peta Kesultanan Aceh Masa Pemerintahan Sultan Iskandar Muda
Abad Ke-17 60
Gambar 1.5. Cap Sikureung, Stempel Kesultanan Aceh Darussalam 62
Gambar 1.6. Sketsa Bandar Aceh Darussalam Menurut Kesaksian Peter Mundy 66
Gambar 2.1. Utusan Aceh yang Dikirim ke Belanda Tahun 1602 78
Gambar 2.2. Peta Wilayah Awal Kekuasaan Belanda di Aceh Besar 83
Gambar 2.3. Kuburan Belanda Kerkhof Peutjoet 85
Gambar 2.4. Usaha Tenun Sutra di Aceh Tahun 1892 90
Gambar 2.5. Peta Aceh Tahun 1914 95
Gambar 2.6. Tanaman Karet pada Perkebunan Pemerintah Belanda di Langsa 101
Gambar 2.7. Pembukaan Perkebunan Karet Milik Handels Vereeniging Amsterdam (HVA)
di Boeloh Blang Ara, Aceh Utara 105
Gambar 2.8. Pabrik Kopi di Lampahan, Dataran Tinggi Gayo 106
Gambar 2.9. Pengambilan Resin dari Pohon Pinus di Dataran Tinggi Gayo 107
Gambar 2.10. Posisi Sabang dalam Jalur Pelayaran Internasional 108
Gambar 2.11. Pelabuhan Bebas Sabang Tahun 1925 110
Gambar 2.12. Beberapa Kapal Berlabuh di Pelabuhan Sabang Tahun 1930 111
Gambar 2.13. Gedung De Javasche Bank Agentschap Koetaradja Tahun 1925 126
Gambar 3.1. Tugu Peringatan Pendaratan Jepang ke Aceh di Ujong Batee Aceh Besar 155
Gambar 3.2. Dewan Perwakilan Daerah Aceh (Atjeh Syu Sang Kai) bersama Pembesar
Jepang di Depan Pendopo Koetaradja (Banda Aceh) 160
Gambar 3.3. Rombongan Pimpinan Rakyat Sumatra ketika berada di Singapura dalam
perjalanan ke Jepang tahun 1943. Tiga orang perwakilan dari Aceh, duduk
dari kiri ke kanan, yaitu 1. M. Syafie, 3. T. M. Hasan Geulumpang Payong,
dan 5. Teuku Nyak Arief 175
Gambar 3.4. Seri Uang Nanpatsu yang dikeluarkan oleh NKG dengan menggunakan
mata uang Rupiah pecahan 5 dan 10 Rupiah 183
Gambar 4.1. Gubernur Sumatra T. Muhammad Hasan 193
Gambar 4.2. Residen Aceh Pertama, Teuku Nyak Arief 194
Gambar 4.3. Tugu Proklamasi di Banda Aceh 199
Gambar 4.4. (a) Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, Tgk. M. Daud
Beureueh, sedang duduk di depan kantor Gubernur, 31 Desember 1949; (b)
Tgk. M. Daud Beureueh sedang memimpin suatu rapat 206
Gambar 4.5. Bengkel Perbaikan Senjata Berat di Lhok Nga, Aceh Besar 212
Gambar 4.6. Presiden Sukarno Melakukan Defile Pasukan di Lapangan Blang Padang
Kutaraja Tahun 1948 213

xii Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Gambar 4.7. Perwakilan Aceh di Singapura Tahun 1870 222
Gambar 4.8. Para Pemuka Masyarakat dan Saudagar Aceh di Penang Masa Revolusi
Kemerdekaan 225
Gambar 4.9. Gedung DJB Kutaraja Berubah Fungsi Menjadi Gedung DPRD
Sumatra Utara 228
Gambar 4.10. Seri Oeang Republik Indonesia Daerah Aceh (ORIDA) 233
Gambar 4.11. Suasana Kerja pada Radio Rimba Raya 238
Gambar 4.12. Pesawat DC-3 RI 001 Sumbangan Rakyat Aceh di Bandara Kemayoran 240
Gambar 5.1. Anggota DPR Aceh di Depan Gedung DPR, Bekas Gedung DJB Kutaraja 259
Gambar 5.2. Wakil Presiden Moh. Hatta Disambut Sewaktu Tiba di Kutaraja tanggal 27
Juli 1953 262
Gambar 5.3. Tgk. M. Daud Beureueh bersama Tokoh-tokoh Darul Islam 272
Gambar 5.4. Presiden sedang menuliskan kesan-kesan pada pembukaan Kopelma
Darussalam, 2 September 1959 285
Gambar 5.5. Sukarno Melihat Pemandangan di Sekitar Pelabuhan Sabang
14 April 1953 287
Gambar 6.1. Gubernur Bank Indonesia menyerahkan secara simbolis bantuan obat-
obatan, water treatment, dan peralatan CT scan kepada Sekretaris Daerah
Aceh 353
Gambar 6.2. Penandatanganan Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM di
Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005 357
Gambar 6.3. Deklarasi Pemberdayaan Ekonomi Umat Berbasis Masjid dan Dayah 360
Gambar 6.4. Kepala KPwBI Provinsi Aceh Meninjau Gudang Milik Klaster Bawang Merah
di Kabupaten Pidie 362
Gambar 6.5. Kepala KPwBI Provinsi Aceh melakukan panen perdana hasil produksi klaster
cabai merah di Kabupaten Aceh Besar 363
Gambar 6.6. Pemberian bantuan PSBI berupa rumpon kepada klaster ikan tongkol di
Kota Banda Aceh 364
Gambar 6.7. Pemberian Bantuan PSBI berupa Display Informasi Meteorologi Maritim 365
Gambar 6.8. Peresmian Galeri Produk Kerajinan Tas Sulaman Khas Aceh oleh Deputi
Gubernur Senior Bank Indonesia 366
Gambar 6.9. Kepala KPwBI Provinsi Aceh Meninjau Hasil Produksi Perajin Tenun Songket
Khas Aceh 367
Gambar 6.10. Penanaman bibit nilam oleh Kepala KPwBI Provinsi Aceh dan Bupati Aceh
Jaya 368
Gambar 6.11. Kerangka Pengembangan Nilam Secara Terintegrasi dari Hulu ke Hilir 370
Gambar 6.12. Skema Pengembangan Nilam di Aceh 370
Gambar 7.1. Harmoni di masa kesultanan antara kehidupan di air dan di darat, sungai
dipenuhi kapal-kapal hingga ke laut dan tampak barisan gajah di darat 372
Gambar 7.2. Sebuah kapal yang terdampar di tengah kota akibat tsunami di Aceh,
26 Desember 2004 (atas); Peran gajah muncul kembali setelah berabad-

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh xiii


abad, ketika alat berat tak mampu bekerja di hari-hari awal pasca tsunami
(bawah) 374
Gambar 7.3. Toponimi gampong-gampong di sekitar Gampông Pandé di sepanjang
Krueng Aceh, tempat akomodasi pedagang Asing. Lokasi BI sekarang sedikit
di Utara Masjid 375
Gambar 7.4. Banda Aceh sebagai kota pelabuhan pada masa kesultanan banyak
disinggahi kapal-kapal asing 375
Gambar 7.5. Figure-ground Peta Kota Banda Aceh yang Dibuat Berdasarkan Peta Satelit
Tahun 2000 377
Gambar 7.6. Peta Aceh c. 1645 yang Tersimpan di Sebuah Bibiliotek Kota Florence,
Italia 378
Gambar 7.7. Logo Salem City (Salem City Seal) di USA, 30 km dari Boston, Mass.
USA, yang berangka tahun 1626. Di tengahnya tersimpan gambar orang
berpakaian Aceh yang gagah, karena Kota Salem dibangun berkat
kesuksesan perdagangan lada dari Aceh, di masa Sultan Iskandar Muda 380
Gambar 7.8. Gambaran Banda Aceh yang dibuat oleh Belanda pada agresi II, Belanda
memblokade Teluk Aceh dan menyerang dengan armada kapal yang
banyak. Tampak dalam image Belanda, Kota Banda Aceh dipenuhi oleh
kuta-kuta (benteng pertahanan) 383
Gambar 7.9. Geconcentreerde Linie (Lini Konsentrasi). Jalur patroli militer Belanda (1885)
yang mengitari Kawasan Kutaraja dengan radius berkisar 7–10 km dari
Keraton 385
Gambar 7.10. Jenderal Pel yang membangun Lini Penutup (Afsluitings Linie) (kiri).
Mayor Jenderal A.W.P. Weitzel yang menciptakan Geconcentreerde Linie
(kanan) 386
Gambar 7.11. Kendaraan Patroli Belanda di Lini Konsentrasi 387
Gambar 7.12. Peta Koeta Radja 1907 389
Gambar 7.13. Luitenant H. P. de Bruijn yang tewas saat pertempuran di Nagan, Aceh,
tahun 1902. Namun, tidak ada keterangan yang mengaitkan letnan ini
dengan rancangan Masjid Raya 393
Gambar 7.14. Kiri dan tengah: Masjid Baiturrahman dengan satu kubah dan denah
berbentuk salib karya arsitek zeni militer de Bruijn selesai tanggal 27
Desember 1881, memadukan beragam langgam arsitektur: Mughal-
Magribi-Neoklasik-Tradisional Belanda dan arsitektur Tropis; Kanan: Masjid
Raya Baiturrahman Banda Aceh saat ini, dengan 7 kubah 394
Gambar 7.15. Pendopo Gubernur Jenderal Belanda yang didirikan di bekas tapak Keraton
Aceh, yang arsitekturnya mirip dengan istana Cipanas (Kiri); Interior
Pendopo Gubernur Aceh saat ini (kanan) 396
Gambar 7.16. Gedung Baperis/Gedung Juang 398
Gambar 7.17. Rumah Militer Neusu di Koetaradja 399
Gambar 7.18. Rumah Teuku Nyak Arif 400

xiv Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Gambar 7.19. Kuburan Belanda (Kerkhof) di masa kolonial (kiri); dan masa kini
(kanan) 401
Gambar 7.20. Gedung SMAN 1 Banda Aceh berlanggam Neoklasik Yunani, dibangun
pada 1878, selamat dari tsunami 2004 402
Gambar 7.21. Gereja Katolik Hati Kudus ketika baru selesai dibangun tahun 1927. Gereja
ini juga dirancang oleh Biro arsitek N.V. Architecten-Ingenieursbureau
Hulswit en Fermont te Weltevreden en Ed. Cuypers te Amsterdam yang
merancang DJB Banda Aceh pada 1915 403
Gambar 7.22. Stasiun Kereta Api Koetaradja 404
Gambar 7.23. Jembatan di atas Krueng Aceh di Pante Perak, Koetaradja (1880) 406
Gambar 7.24. Pada peta artileri Belanda ini terlihat posisi Peukan Aceh yang menjadi
benteng Panglima Polim 407
Gambar 7.25. Gedung Sentral Telepon Militer 408
Gambar 7.26. Watertoren te Koeta Radja (1910) 408
Gambar 7.27. Kiri: Atjeh-hotel te Kota-Radja pada tahun 1900, berlokasi di Vredespark
(Sekarang Tamansari). Kanan: Aceh Hotel era 1970an 409
Gambar 7.28. Juliana Club di Koetaradja, di kawasan Vredespark, mirip dengan desain
Hotel Aceh. Pada lokasi gedung ini sekarang menjadi kantor wilayah
Kementerian Agama Provinsi Aceh 410
Gambar 7.29. Bioskop Garuda 411
Gambar 7.30. Agentschap van De Javasche Bank te Koetaradja selesai dibangun pada
1918, karya arsitek Eduard Cuypers-Hulswit-Fermont dengan langgam
arsitektur eklektik neoklasik-modern bernuansa tropis 412
Gambar 7.31. Jembatan Penyeberangan Buatan Kolonial Belanda di Kreung Daroy 413
Gambar 7.32. Peta yang menggambarkan Jembatan Peunayong, Jembatan Pante Pirak,
Kerkhof, dan Pemakaman Massal di Lampulo 413
Gambar 7.33. Gedung Bank Indonesia (BI) yang menghadap ke sungai Krueng Aceh
(atas) 414
Gambar 7.34. Peta satelit Krueng Aceh yang membelah Kota Banda Aceh. Di kiri-
kanannya ada bangunan dan fasilitas publik yang menjadi cikal bakal
pembentuk kota waterfront, antara lain Gedung BI, Gereja Katolik, dan
Nursery di bantaran sungai. Masjid Raya pada awalnya tidak terpisahkan
dengan Krueng Aceh. Namun, pada saat ini tertutup dengan deretan
bangunan yang didirikan di antaranya dengan membelakangi sungai 414
Gambar 7.35. Kiri: Arsitek Eduard Cuypers (1859–1927), Tengah: arsitek M. J. Hulswit
(1862–1921), dan Kanan: P. J. H. Cuypers (1827–1921), paman Eduard
Cuypers 417
Gambar 7.36. Gedung DJB berkubah satu dibangun di Medan tahun 1907 (kiri) dan di
Bandung tahun 1906 (kanan) 420
Gambar 7.37. Gedung Bank Indonesia (Eks-DJB) berkubah ganda yang dirancang-bangun
oleh Cuypers, Hulswit, dan Fermont di Yogyakarta tahun 1915 (kiri) dan di
Banda Aceh tahun 1918 (kanan) 420

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh xv


Gambar 7.38. Dua bangunan kolonial di Semarang berkubah ganda pada menaranya,
Gereja Blenduk (1753) (kiri) dan gedung Lawang Sewu (1907) (Tengah), dan
di Jakarta gedung pusat kesenian Kunstkring (1914) (kanan) 421
Gambar 7.39. Block plan tahun 1979. Halaman depan cukup luas dan masih ada
penghijauan di halaman belakang. Namun, ruang terbuka hijau pada
halaman belakang saat ini hampir tidak ada lagi 422
Gambar 7.40. Gambar denah lantai dasar (kiri) dan lantai tingkat (kanan) berdasarkan
dokumen arsip gambar denah bangunan BI Banda Aceh 1979 423
Gambar 7.41. Studi fasad pada gedung BI Banda Aceh, sama dengan gedung BI
Yogyakarta, mengikuti prinsip simetris dan seimbang yang menjadi ciri khas
neoklasik 424
Gambar 7.42. Tampak depan belakang dan samping digambar kembali dari gambar arsip
rencana renovasi bangunan BI di bagian belakang tahun 1979 425
Gambar 7.43. Beberapa ornamen pada fasad depan gedung BI Banda Aceh 426
Gambar 7.44. Peta Koetaradja 1944, Stedenatlas Nederlands Indië. Di peta ini tertulis
“Jawa Bank“ berlokasi di Jl. Keudah Singkel, yang berlokasi di Kampung
Keudah 427
Gambar 7.45. Kiri: Detail fasad depan gedung BI Banda Aceh, berlanggam kolonial
neoklasik. Di sisi kiri-kanan balkon dihiasi dengan kolom berlanggam
Tuscani. Desain arsitektur neoklasik Eropa yang beradaptasi dengan iklim
tropis, menghasilkan pembayangan pada fasad yang memikat.
Kanan: Tampak samping bangunan BI Banda Aceh. Pada atap terdapat
jendela dormer Lucarne yang berfungsi untuk mengalirkan udara ke dalam
bangunan. Di bagian bawah kubah tampak lubang-lubang jendela berjalusi
yang dimaksudkan sebagai cerobong udara 429
Gambar 7.46. Denah lantai dasar bangunan BI Banda Aceh (kiri) dan denah lantai tingkat
(kanan). Bangunan asli (1) tidak diarsir. Bangunan-bangunan tambahan
yang dibangun secara bertahap (2, 3, 4, dan 5) diarsir 434
Gambar 7.47. Fasad depan gedung BI Banda Aceh terlihat anggun dan berwibawa setelah
dipugar dari kerusakan berat akibat bencana tsunami 26 Desember 2004
yang diresmikan kembali pada 5 September 2007. Foto diambil pada 23
Agustus 2020 434
Gambar 7.48. Pemandangan pada halaman belakang gedung BI Banda Aceh telah
digunakan sepenuhnya oleh bangunan, jalan, dan area parkir aspal,
sehingga tidak tersisa lagi ruang terbuka untuk penghijauan 435
Gambar 7.49. Kolom-kolom utama bangunan BI Yogya yang telah dikonservasi dengan
sempurna (atas). Desain kolom-kolom utama pada bangunan BI Banda
Aceh lebih sederhana. Sebagai bangunan heritage, kolom-kolom utama
yang dimanfaatkan untuk utilitas jalur kabel listrik dan stop kontak perlu
direstorasi (bawah) 437
Gambar 7.50. Peta Kraton Met Omstreken yang dibuat Belanda pada tahun 1874, setelah
Belanda berhasil merebut Keraton. Terlihat posisi lokasi DJB Koetaradja yang

xvi Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


didirikan pada 1918, berada pada kawasan sekitar Keraton ini. Tatanan
kota Keraton Aceh sangat sukar terbaca karena dihancurkan oleh kolonial
Belanda, yang mendirikan pendopo gubernur militernya di lahan bekas
tapak keraton dan mendirikan tangsi dan barak-barak militer di sekitarnya.
BI perlu mendukung upaya penelitian sejarah rekonstruksi tatanan kota
di masa kesultanan yang memakmurkan Aceh sehingga menjadi daerah
modal 439
Gambar 7.51. Warga Berperahu bersama Wali Kota Banda Aceh Pada Tahun 2008 di
Krueng Aceh 444
Gambar 7.52. Kiri atas: anjungan pada saat awal pembuatan (tahun 2008); kiri bawah:
anjungan ketika dihancurkan; kanan: anjungan saat direnovasi kembali 444
Gambar 7.53. Acara Festival Krueng Aceh pada PKA ke-8, Agustus 2018 445
Gambar 7.54. Jalur Krueng Aceh Trail 446
Gambar 7.55. Penjelasan mengenai Bank Indonesia pada Trail Krueng Aceh di dalam buku
panduan ‘Banda Aceh Heritage Jalur Jejak Budaya dan Tsunami’ 446
Gambar 7.56. Trail Kota Lama Banda Aceh 447
Gambar 7.57. (Kiri): Plakat Hotel Aceh dalam tiga bahasa, yaitu Bahasa Aceh, Indonesia,
dan Inggris; (Kanan) Ditempatkan Pada Lokasi Eks Hotel Aceh di Selatan
Masjid Raya Baiturrahman 448
Gambar 7.58. Karikatur pada Surat Kabar Amsterdammer 1 November 1903,
menggambarkan Jenderal J. B. van Heutsz menyambut para ‘Tamu Agung
dari planet Mars dan Mercurius’ di Pelabuhan Bebas Sabang 449
Gambar 7.59. Kantor Cabang BI di Sabang 1964–1969. Di zaman Belanda adalah Kantor
Pusat Pelabuhan dan Stasiun Tambang Batu Bara (Het Hoofdkantoor der
Zeehaven en Kolenstation ven de Sabang Mij) 451

Daftar Tabel dan Grafik


Tabel 2.1. Ekspor Aceh ke Pulau Pinang, 1872–1879 (dalam pikul) 93
Tabel 2.2. Impor Aceh dari Pulau Pinang, 1872–1879 (dalam pikul) 93
Tabel 2.3. Luas Konsesi, Luas Penanaman, dan Produksi Karet Aceh Timur
1906–1939 103
Tabel 2.4. Jumlah Ekspor Hasil Pertanian Rakyat dan Kehutanan Aceh Tahun 1917–1918
113
Tabel 2.5. Laporan Perolehan Kantor Cabang DJB Koetaradja Tahun 1919–1923 130
Tabel 2.6. Kerugian yang Dialami DJB Agentschap Koetaradja Tahun 1923–1926 131
Tabel 2.7. Perkembangan Perolehan DJB Agentschap Koetaradja Tahun 1925/26 hingga
1937/38 133
Tabel 2.8. Rangkuman Jurnal Kas Pada April 1937 134
Tabel 2.9. Personalia DJB Koetaradja 1920–1942 136
Tabel 4.1. Jumlah Ekspor Karet Aceh ke Pulau Penang dan Rata-Rata Harga Tahun
1946–1950 (dalam Ton) 221

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh xvii


Tabel 5.1. Nilai Ekspor Indonesia ke Penang Tahun 1950–1953 (dalam juta rupiah) 256
Tabel 5.2. Kondisi Jalan Raya di Aceh Tahun 1968 275
Tabel 5.3. Luas Areal dan Produksi Tanaman Karet P.N. Perkebunan I Daerah Tk. II Aceh
Timur, 1968–1970 290
Tabel 5.4. Nilai Perdagangan Sabang 1964–1967 (dalam US$) 299
Tabel 6.1. Klasifikasi Kantor Cabang Bank Indonesia Tahun 1981 306
Tabel 6.2. Daftar Nama Pimpinan KPwBI Provinsi Aceh dari Waktu ke Waktu 311
Tabel 6.3. Laju Pertumbuhan PDRB Prov. Aceh Menurut Lapangan Usaha Nonmigas Atas
Dasar Harga Konstan 1993 Tahun 1994–1998 (dalam persen) 316
Tabel 6.4. Perkembangan Peningkatan Jumlah Kantor Bank di Wilayah Kerja BI Aceh
Tahun 1986–1989 326
Tabel 6.5. Perkembangan Kredit Perbankan Menurut Sektor Ekonomi di Prov. Aceh
Tahun 1996–1999 (Jutaan Rupiah) 327

Grafik 2.1. Jumlah Kapal yang Singgah di Sabang (1902–1918) 110


Grafik 6.1. Pertumbuhan Ekonomi Aceh (%, yoy) Tahun 2011–2018 320

xviii Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Daftar Isi
Sambutan Gubernur Bank Indonesia... v
Sambutan Deputi Gubernur Bank Indonesia... viii
Pengantar Kepala Bank Indonesia Institute... x
Daftar Gambar... xii
Daftar Tabel dan Grafik... xvii
Daftar Isi... xix
Daftar Istilah... xxi
Daftar Singkatan... xxiv

PROLOG... 1

7 Bab 1 Menikmati Kejayaan Masa Kesultanan


Aceh Pintu Gerbang Nusantara... 8
Masyarakat Aceh... 16
Bandar-Bandar Penting Sebelum Aceh Darussalam... 31
Kejayaan Masa Kesultanan Aceh Darussalam... 55

71 Bab 2 Ekspansi Kolonial: Dari Kehancuran ke Pertumbuhan


Ekonomi
Perang dan Kehancuran Ekonomi Aceh... 72
Politik Pasifikasi dan Pertumbuhan Ekonomi... 94
Berdirinya De Javasche Bank Agentschap Koetaradja... 115
Malaise dan Dinamika Ekonomi Menjelang Kedatangan
Jepang... 139

145 Bab 3 Ekonomi Perang Masa Pendudukan Jepang


Penetrasi Kekuasaan Jepang di Aceh... 146
Pembubaran De Javasche Bank dan Berdirinya Nanpo
Kaihatsu Ginko... 160
Kehidupan Sosial-Ekonomi dan Peredaran
Mata Uang... 171
Perlawanan Rakyat Aceh Terhadap Jepang... 183

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh xix


187 Bab 4 Aceh Sebagai Tumpuan Republik
Mempertahankan Wilayah Republik Pasca Kekalahan
Jepang... 188
Menghidupkan Roda Perekonomian... 216
Aceh sebagai Daerah Modal... 233

243 Bab 5 Menata Kembali Ekonomi Aceh


Dari De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia... 244
Ekonomi Aceh Pasca Pengakuan Kedaulatan hingga
Pergolakan Daerah... 250
Perdamaian sebagai Awal Kebangkitan Kembali Ekonomi
Aceh... 276
Dua Bank Indonesia di Aceh... 290

305 Bab 6 Bank Indonesia dan Perkembangan Ekonomi Aceh


pada Masa Kontemporer
Evolusi Kelembagaan Bank Indonesia... 305
Transformasi Ekonomi Aceh: Dari Perkebunan hingga
Pertambangan... 312
Konflik dan Kemunduran Ekonomi... 328
Pemulihan Ekonomi Aceh Pasca Tsunami... 341
Bank Indonesia dalam Mengawal
Perekonomian Aceh... 358

371 Bab 7 Kantor Eks-De Javasche Bank Agentschap


Koetaradja: Cagar Budaya dan Upaya Pelestariannya
Citra Kota Banda Aceh... 371
Arsitektur Kolonial di Banda Aceh... 381
Gedung BI Aceh sebagai Citra Daerah Modal dan Pusat
Perdagangan... 415
Peran BI Aceh dalam Upaya Membangun Banda Aceh
Heritage... 438
EPILOG... 455
DAFTAR PUSTAKA... 463

xx Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


DAFTAR ISTILAH
Afdeeling : Wilayah administratif masa Hindia Belanda setingkat
Kabupaten
Agent : Kepala Kantor Cabang
Agentschap : Kantor Cabang
Atjeh Moorden : Pembunuhan Aceh
Atjeh Shu Sangi Kai : Dewan Penasihat Daerah Aceh masa pendudukan Jepang
Bunsyu : Wilayah administratif masa pendudukan Jepang setingkat
Kabupaten
Bunsyuco : Kepala/Pimpinan Bunsyu
Dalam : Kompleks Istana (Kerajaan/Keraton) Sultan yang dilindungi
benteng di sekelilingnya
Factorij :
Sebutan lain dari NHM (Nederlandsche Handel
Maatschappij)
Gampong : Kampung atau desa
Gelijkgestelden : Orang-orang non-Eropa (bumiputra dan Timur Asing) yang
telah disamakan haknya dengan orang-orang Eropa
Gouvernements-
Caoutchouconderneming : Perusahaan Perkebunan Karet Pemerintah Hindia Belanda
Gun : Wilayah administrarif masa pendudukan Jepang setingkat
Kawedanan
Gunseikan : Kepala Pemerintahan Militer Jepang
Gunpyo : Uang militer Jepang
Hadih maja : Peribahasa
Hozi Kurenzyo : Golongan (aktivitas) pertanian
Jung : Kapal layar dari Negeri Cina yang digunakan untuk
mengangkut muatan orang dan barang
Klappercultuur : Perkebunan kelapa
Korte verklaring : Perjanjian pendek
Krueng : Sungai
Kumi Istilah kampong/desa (gampong) masa pendudukan
:
Jepang
Kuta : Benteng
Landbouwkunsdig Instituut
Buitenzorg : Institut Pertanian Bogor
Landbouwvoorlightingsdienst : Dinas Penyuluhan Pertanian
Lange verklaring : Perjanjian panjang

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh xxi


Lender of the last resort : Salah satu fungsi dari bank sentral untuk memberikan
kredit kepada perbankan karena sumber pembiayaan lain
telah tertutup
Malaise : Keadaan lesu dan serba sulit di bidang perekonomian.
Umumnya digunakan untuk menyebut nama lain dari
krisis ekonomi tahun 1930 (zaman malaise). Salah satu
dampaknya adalah komoditas ekspor Hindia Belanda
merosot tajam dan mengakibatkan lesunya perekonomian.
Meunasah : Lembaga yang memiliki peran penting dalam seluruh
aspek kehidupan yang berfungsi sebagai pusat peradaban
sekaligus pusat pendidikan masyarakat Aceh
Nanggroe : Negeri
Onderafdeeling : Wilayah administratif masa Hindia Belanda setingkat
Kawedanan
Overscheep : Tempat transit (pelabuhan)
Padrao : Gagasan D. Joao II sebagai pemberitahuan kepada dunia
atas penemuan dan pemilikan daerah-daerah baru oleh
Portugal
Pax Neerlandica : Upaya Belanda mengukuhkan hegemoni imperialismenya
di Nusantara sebagai wilayah Hindia Belanda yang berada
di bawah satu pengawasan keamanan Belanda
Saibai Kigyo Kanrikodan :
Badan pengawas di bidang ekonomi (perkebunan)
bentukan Gunseikan
Son : Wilayah administratif masa pendudukan Jepang setingkat
Kecamatan
Sumatora-homensaiko-
Shikikan : Panglima Militer Sumatra
Syomin Ginko : Bank rakyat
Syu : Wilayah administratif masa pendudukan Jepang setingkat
Keresidenan
Syu Min Koa Hookokai : Badan Kebaktian Penduduk Aceh untuk Membina Asia
Teungku : Sebutan untuk golongan ulama
Tokushi Ginko : Bank penghubung antara lembaga perbankan dengan
Pemerintah Jepang
Tuanku : Salah satu kelompok dalam struktur sosial masyarakat
Aceh yang merupakan keturunan raja
Tweede Kamer : Majelis Rendah Parlemen Belanda
Uleebalang : Salah satu kelompok dalam struktur sosial masyarakat
Aceh yang berarti bangsawan
Vassal : Wilayah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan lain

xxii Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Volkscredietbank : Bank pinjaman/kredit rakyat
Wasee : Pajak
Zaibatsu : Istilah Jepang untuk industri dan bisnis keuangan masa
kekaisaran Jepang

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh xxiii


DAFTAR SINGKATAN/AKRONIM
ADB : Aceh Development Board
ADCS : Anglo Dutch Country Section
ADHK : Atas Dasar Harga Konstan
AHM : Aceh Handels Maatschappij
AIIC : International Association of Conference Interpreters
API : Angkatan Pemuda Indonesia
ARC : Atsiri Research Center
Arco : Aceh Rubber Company
ASNLF : Aceh Sumatra National Liberation Front
ATC : Aceh Trading Company
AURI : Angkatan Udara Republik Indonesia
AVB : Algemeene Volkscredietbank
BCB : Bangunan Cagar Budaya
BDK : Bagi Dan Kumpul
BI : Bank Indonesia
BIN : Bank Industri Negara
BKA : Bank Kesejahteraan Aceh
BKPMD : Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah
BKR : Badan Keamanan Rakyat
BMT : Baitul Maal wa Tamwil
BNI : Bank Negara Indonesia
BPCB : Balai Pelestarian Cagar Budaya
BPD : Bank Pembangunan Daerah
BP3D : Badan Pertimbangan dan Perencanaan Pembangunan
Daerah
BPI : Barisan Pemuda Indonesia
BPR : Bank Perkreditan Rakyat
BPS : Badan Pusat Statistik
BRR : Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
BTC : Banking and Trading Corporation
CAD : Current Account Deficit
CPM : Corps Polisi Militer
CSR : Corporate Social Responsibility
D.I.A. : Daerah Istimewa Aceh

xxiv Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


DILo : Digital Innovation Lounge
DI/TII : Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
DJB : De Javasche Bank
DMI : Dewan Masjid Indonesia
DOM : Daerah Operasi Militer
DPRD-GR : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong
EIC : English India Company
ERRI : Ekonomi Rakyat Republik Indonesia
FAO : Food and Agriculture Organization
Finec : Financial and economic
GAM : Gerakan Aceh Merdeka
GASIDA : Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh
GPK : Gerakan Pengacau Keamanan
HVA : Handels Vereeniging Amsterdam
HSBC : Hongkong and Shanghai Bank Corporation
IHK : Indeks Harga Konsumen
Indocolim : Indonesia Company Limited
Indoff : Indonesian Office
Ipebi : Ikatan Pegawai Bank Indonesia
KBI : Kantor Bank Indonesia
KCK : Kredit Canda Kulak
KDMA : Komando Daerah Militer Aceh
KIK : Kredit Investasi Kecil
KINA : Koperasi Industri Nilam Aceh
KKMB : Konsultan Keuangan Mitra Bank
KLBI : Kredit Likuiditas Bank Indonesia
KMB : Konferensi Meja Bundar
KMKP : Kredit Modal Kerja Permanen
KNIL : Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger
Kopelma : Kota Pelajar/Mahasiswa
KOTI : Komando Tertinggi Operasi
KOTOE : Komando Tertinggi Operasi Ekonomi
KPM : Koninklijke Paketvaart Maatschappij
KP4BS : Komando Pelaksana Pembangunan Proyek Pelabuhan
Bebas Sabang

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh xxv


KPwBI : Kantor Perwakilan Bank Indonesia
KPwDN : Kantor Perwakilan Dalam Negeri
KSBO : Komando Sektor Barat Oetara
KUK : Kredit Usaha Kecil
KUT : Kredit Usaha Tani
LAAPLN : Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri
LNG : Liquefied Natural Gas
LPK : Lembaga Penjamin Kredit
MAIBKATRA : Majelis Agama Islam untuk Bantuan Kemakmuran Asia
Timur Raya
MIAI : Majelis Islam A’laa Indonesia
MMSCFD : Million Standard Cubic Feet per Day
MPU : Majelis Permusyawaratan Ulama
MSK : Mitsubishi Shosen Kabu-shikikaisha
MULO : Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
NAD : Nanggroe Aceh Darussalam
N.V. : Naamloze Venootschap
NBA : Negara Bagian Aceh
NGL : Natural Gas Liquefaction
NHM : Nederlandsch Handel Maatschappij
NICA : Nederland Indies Civil Administration
NIEM : Nederlandsch Indische Escompto Maatschappij
NIHB : Nederlandsch Indische Handelsbank
NII : Negara Islam Indonesia
NILM : Nederlandsch Indische Landbouw Maatschappij
NKG : Nanpo Kaihatsu Ginko
NSO : North Sumatra Offshore
OCBC : Overseas Chinese Bank Corporation
OJK : Otoritas Jasa Keuangan
ORI : Oeang Repoeblik Indonesia
ORIBA : Oeang Repoeblik Indonesia Baru
ORIDA : Oeang Repoeblik Indonesia Daerah Aceh
ORIDJA : Oeang Repoeblik Indonesia Daerah Djambi
ORIPS : Oeang Repoeblik Indonesia Provinsi Soematra
ORIPSU : Oeang Repoeblik Indonesia Soematra Utara

xxvi Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


ORIST : Oeang Repoeblik Indonesia Soematra Timur
ORITA : Oeang Repoeblik Indonesia Tapanuli
ORLAB : Oeang Repoeblik Laboehan Batoe
PDRI : Pemerintah Darurat Republik Indonesia
PDRB : Produk Domestik Regional Bruto
Peperda : Penguasa Perang Daerah
PERAMIINDO : Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia
Permai : Perdagangan Masyarakat Indonesia
Persig : Persatuan Saudagar Geudong
PHBK :
Pengembangan Hubungan Bank dengan Kelompok
Swadaya Masyarakat
PHR : Perdagangan, Hotel, dan Restoran
PIM : Perdagangan Indonesia Muda
PKM : Proyek Kredit Mikro
PLTU : Pembangkit Listrik Tenaga Uap
PNM : Permodalan Nasional Madani
PNP : Perusahaan Negara Perkebunan
PPABRI : Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia
PPN : Perusahaan Perkebunan Negara
PPUK : Proyek Pengembangan Usaha Kecil
PRI : Pemuda Republik Indonesia
PSBI : Program Sosial Bank Indonesia
PTP : Perusahaan Terbatas Perkebunan
PTTB : Pemberian Tanda Tidak Berharga
PUSA : Persatuan Ulama Seluruh Aceh
PUR : Pengelolaan Uang Rupiah
RAPWI : Recovery of Allied Prisoners of War and Internees
RIMA : Resimen Istimewa Medan Area
RFS : Regional Financial Surveillance
RTGS : Real Time Gross Settlement
RTPII : Resimen Tentara Pelajar Islam Indonesia
RUPSLB : Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa
SACSEA : Supreme Allied Commander South East Asia
SKK : Sabai Kigyo Kanrikodan

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh xxvii


TB : Taiwan Bank
TDMRC : Tsunami and Disaster Mitigation Research Center
TKR : Tentara Keselamatan Rakyat
TPR : Tentara Perjuangan Rakyat
TPRI : Tentara Pelajar Republik Indonesia
TRI : Tentara Republik Indonesia
UMKM : Usaha Mikro Kecil dan Menengah
VOC : Vereenigde Oost-indische Compagnie
WUBI : Wirausaha Unggulan Bank Indonesia
YDKA : Yayasan Dana Kesejahteraan Aceh
YSB : Yokohama Specie Bank

xxviii Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Prolog

Pada tahun 1896, administratur perusahaan perkebunan terbesar di


Sumatra Timur “Deli Maatschappij”, Jacob Theodoor Cremer, mengusulkan
kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk menegakkan keamanan dan
ketertiban di Aceh. Menurut dia, hanya dalam kondisi yang demikian akan
banyak perusahaan swasta Barat yang mau menanamkan investasinya di
Aceh. Dengan cara ini Aceh akan menjadi pusat perdagangan dengan
seluruh Sumatra, Penang, dan daerah-daerah di sekitar Teluk Benggala.
Secara umum, dia menekankan bahwa dalam perkembangan luar Jawa,
Aceh bisa memberikan sumbangan penting bagi sarana keuangan secara
umum dan bagi perkembangan perdagangan dan industri secara khusus,
sebagai akibat desentralisasi wilayah yang dimungkinkan di sini.1
Pernyataan J. T. Cremer yang merupakan seorang pengusaha sukses
di Hindia Belanda tersebut tidaklah berlebihan apabila melihat letak
strategis Aceh yang berada pada jalur pelayaran internasional yang sangat
sibuk. Ditambah dengan pengaruh angin muson, Aceh pernah mencapai
kejayaannya pada masa kesultanan. Di masa tersebut––terutama masa
keemasannya abad ke-17––Aceh pernah memegang peranan penting
dalam bidang pelayaran dan perdagangan di Selat Malaka dan Lautan
Hindia. Bandar Aceh Darussalam yang merupakan ibu kota Kesultanan
menjadi pusat persinggahan dan perdagangan utama di kawasan ini
terutama setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511. Para
pedagang dan pelancong dari Nusantara, Cina, India, Asia Tenggara,
Timur Tengah, dan Eropa secara rutin singgah di Bandar ini, baik untuk
berdagang maupun menunggu pergantian angin muson. Ramainya

1 A. H. P. Clemens dan Thomas Linblad, Het Belang van de Buitengewesten; Economische Expansie
en Koloniale Staadsvorming in de Buitengewesten van Nederlands-Indie, 1870-1942. (Amsterdam:
NEHA, 1989), hlm. 29.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 1


pedagang dan pelancong yang singgah memberi keuntungan besar
sehingga Kesultanan Aceh Darussalam menjelma menjadi satu kekuatan
politik dan ekonomi di Selat Malaka dan Lautan Hindia.
Dengan pencapaian ini telah menarik minat bangsa Barat––khususnya
Belanda–– untuk ikut memainkan peranannya di Aceh menggantikan
peran yang sebelumnya dimainkan oleh Kesultanan Aceh Darussalam.
Upaya sistematis melemahkan Aceh dengan menganeksasi satu per
satu wilayah kekuasaannya, baik di pantai timur maupun di pantai barat
Sumatra, tidak berhasil membuat Belanda dapat mendikte Kesultanan
Aceh untuk mengakui kedaulatannya. Kegagalan ini membuat Belanda
memaksakan kehendaknya menaklukkan Aceh dengan kekuatan senjata
pada tahun 1873. Arogansi Belanda ini berakibat fatal terjadinya perang
berkepanjangan yang menyebabkan hampir seluruh infrastruktur ekonomi
di Aceh hancur. Ditambah dengan blokade ekonomi yang dilakukan
Belanda di Selat Malaka telah menyebabkan perdagangan Aceh dengan
luar negeri hampir terhenti sama sekali. Kondisi ini tidak hanya merugikan
rakyat Aceh tetapi juga sangat merugikan Belanda. Keuntungan ekonomi
yang diharapkan Belanda dengan menaklukkan Aceh sirna sama sekali.
Untuk menghidupkan kembali aktivitas ekonomi, tidak lama setelah
keadaan mulai agak normal maka Pemerintah Hindia Belanda mulai
membuka Aceh sebagai wilayah investasi swasta Barat. Dengan posisi
geografis di pintu gerbang Selat Malaka yang semakin ramai setelah
dibukanya Terusan Suez, investasi dalam bidang pelabuhan bebas dan
tempat pengisian batu bara di Sabang mengalami perkembangan yang
signifikan. Hal ini diikuti dalam bidang perkebunan dan pertambangan.
Dengan tanahnya yang luas dan subur serta mengandung mineral yang
melimpah menyebabkan investasi dalam kedua aspek ini juga mengalami
perkembangan yang sangat cepat. Diawali dengan pembukaan
wilayah Aceh Timur awal tahun 1900-an, dalam waktu yang singkat
investasi swasta menjalar ke hampir seluruh wilayah Aceh. Aceh telah
menjelma dari arena peperangan menjadi wilayah investasi yang sangat
menguntungkan. Dalam situasi inilah dibutuhkan sebuah lembaga
keuangan kuat yang dapat menjamin sirkulasi keuangan dalam jumlah
besar di Aceh. Berdirinya De Javasche Bank (DJB) Agentschap Koetaradja
merupakan jawaban yang tepat untuk kebutuhan tersebut.

2 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Selain pertimbangan ekonomi, pendirian DJB Agentschap Koetaradja
juga tidak terlepas dari muatan politis, yaitu untuk memperkuat legitimasi
kekuasaan Belanda dalam bidang ekonomi di Aceh di samping dalam
bidang politik yang sudah dicapai dengan proses penaklukan. Melalui
penguasaan bidang keuangan yang diwakili oleh pendirian kantor DJB
Agentschap Koetaradja, upaya awal Belanda ingin menggantikan peran
Kesultanan Aceh Darussalam dalam bidang ekonomi sudah tercapai.
Dengan demikian, keberadaan DJB Agentschap Koetaradja menjadi
simbol bahwa secara ekonomi wilayah Aceh berada di bawah kendali
pemerintah kolonial Belanda. Hal ini dapat dilihat dari antusiasnya
Gubernur Jenderal Hindia Belanda dalam menanggapi keinginan
pendirian DJB Agentschap Koetaradja yang diajukan oleh Presiden DJB, E.
A. Zeilinga kepada Gubernur Jenderal jauh sebelum tahun 1918.2 Setelah
terjadi penundaan beberapa tahun akibat Perang Dunia I dan masalah
ekonomi lainnya, proses pendirian kantor cabang DJB ini baru dapat
dilakukan tahun 1918. Penundaan tersebut sangat disesali oleh Gubernur
Jenderal. Ia mengatakan bahwa penundaan tersebut semestinya tidak
perlu terjadi karena pembangunan gedung kantor cabang DJB Koetaradja
dapat dilakukan. Ia menambahkan bahwa pembangunan gedung kantor
cabang DJB tersebut lebih penting dan tidak perlu menunggu Perang
Dunia I berakhir. Dalam situasi sulit pun, sesungguhnya pemerintah tetap
mendukung upaya pembukaan cabang DJB di Koetaradja.3
Legitimasi kekuasaan Belanda melalui DJB Agentschap Koetaradja
juga tercermin dari arsitektur bangunannya. Dengan langgam arsitektur
Neo-Klasik yang diselaraskan dengan iklim tropis dan dibuat megah serta
mencolok, sehingga terlihat sangat menonjol dan berbeda dibandingkan
dengan bangunan-bangunan milik masyarakat pribumi. Hal ini sengaja
dibuat untuk menimbulkan kesan adanya supremasi Belanda atas rakyat
Aceh. Simbol tersebut bermakna juga bahwa setelah berakhirnya Perang
Aceh, secara ekonomi Belanda telah menjadi pengganti sah posisi
Kesultanan Aceh Darussalam.

2 De Bree, Gedenkboek van De Javasche Bank: 1828–1928, deel II. (Weltevreden: Kolff, 1928), hlm.
45.
3 Darsono, dkk, Menghadapi Gelombang Pasang di Serambi: Kontribusi Bersama untuk Aceh setelah
Tsunami 2004. Jakarta, 2017), hlm. 193.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 3


Kekuasaan politik dan ekonomi Belanda di Aceh berakhir dengan
masuknya Jepang tahun 1942. Sejak saat itu kantor DJB Agentschap
Koetaradja tidak pernah dibuka kembali dengan nama yang sama.
Kantor ini dibuka kembali tahun 1964 dengan nama baru––Kantor
Bank Indonesia Cabang Banda Aceh––setelah proses nasionalisasi dan
perubahan nama Kutaraja menjadi Banda Aceh. Hal ini tidak lepas dari
realitas bahwa setelah meninggalkan Aceh tahun 1942, Belanda tidak
pernah berhasil kembali lagi ke daerah ini. Meskipun setelah kekalahan
Jepang kepada Sekutu yang diikuti dengan proklamasi kemerdekaan
Indonesia 17 Agustus 1945, Belanda berhasil menduduki kembali hampir
seluruh wilayah lain di Indonesia, Aceh tetap mampu mempertahankan
diri terbebas dari pendudukan. Dalam periode inilah Aceh sekali lagi
memainkan peran pentingnya baik secara politik maupun ekonomi di
Nusantara. Peran ini sangat penting bagi kelanjutan revolusi kemerdekaan
Indonesia. Di saat-saat situasi yang sangat genting tersebut, Aceh menjadi
benteng terakhir bagi Republik. Secara ekonomi pun Aceh telah banyak
berkontribusi bagi tegaknya Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu,
tidak berlebihan apabila Presiden Sukarno memberi julukan Aceh sebagai
Daerah Modal saat berkunjung pertama sekali ke Aceh tahun 1947.
Pembukaan kembali Kantor Bank Indonesia Cabang Banda
Aceh tahun 1964, bertepatan dengan situasi Aceh yang sedang giat-
giatnya melakukan proses pembangunan kembali perekonomiannya
pasca pemberontakan DI/TII. Kehadiran kembali Kantor Bank Indonesia
Cabang Banda Aceh sangat bermakna dalam mendukung pembangunan
kembali ekonomi Aceh. Hadirnya Bank Indonesia dapat menjamin
lancarnya sirkulasi uang yang sangat dibutuhkan Aceh saat itu. Seiring
dengan semakin pesatnya perkembangan ekonomi Aceh di masa-masa
selanjutnya yang diikuti dengan menjamurnya pertumbuhan lembaga-
lembaga perbankan, baik bank-bank BUMN, Bank Pembangunan Daerah,
bank-bank swasta maupun bank-bank perkreditan rakyat, semakin terasa
pentingnya peran Bank Indonesia Cabang Banda Aceh.
Dalam perjalanannya, seiring dengan berlakunya Undang-Undang
No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), ruang lingkup
pengaturan dan pengawasan mikroprudensial lembaga keuangan

4 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


menjadi kewenangan OJK, sementara pengaturan dan pengawasan
makroprudensial menjadi tanggung jawab Bank Indonesia (BI) dengan
sasaran stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, setelah adanya OJK
fungsi, tugas, serta wewenang pengaturan dan pengawasan perbankan
yang semula dipegang oleh BI beralih ke OJK. Dengan begitu, peran
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Aceh selanjutnya lebih sebagai
advisor ekonomi yang menjalankan fungsi advisory kebijakan kepada
pemerintah daerah dalam rangka mendukung pengendalian inflasi,
pengembangan ekonomi dan keuangan daerah; melaksanakan surveilans
sistem keuangan di daerah; pengumpulan data untuk pengambilan
keputusan di pusat maupun daerah setempat; pengelolaan uang kartal;
melakukan komunikasi kebijakan; serta pelaksanaan program keuangan
inklusif dan pengembangan UMKM.
Bersama dengan pemerintah daerah, Bank Indonesia terus bersinergi
dalam rangka mengembangkan ekonomi lokal yang mendukung program
pembinaan UMKM dengan memanfaatkan komoditas-komoditas
unggulan. Berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi,
mengurangi angka pengangguran dan tingkat kemiskinan, serta
mengendalikan inflasi, menjadikan UMKM sebagai salah satu sektor yang
difokuskan pada Program Sosial Bank Indonesia (PSBI). Bank Indonesia
juga menggagas program penyelenggaraan Wirausaha Unggulan Bank
Indonesia (WUBI). Upaya dan partisipasi aktif yang dilakukan oleh Bank
Indonesia, khususnya Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Aceh,
mampu menggerakkan aktivitas ekonomi di berbagai sektor di Aceh dan
mendukung perkembangan ekonomi di Daerah Modal.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 5


MENEGAKKAN KEDAULATAN DAN KETAHANAN EKONOMI:
6 BANK INDONESIA DALAM PUSARAN SEJARAH KALIMANTAN BARAT
Bab 1
Menikmati Kejayaan
Masa Kesultanan

P ada awal tahun 2020 yang lalu, rakyat Aceh disentakkan oleh
pemberitaan sebuah media online yang menempatkan Aceh sebagai
daerah termiskin di Sumatra.1 Status yang sama telah disandang Aceh
sejak setahun sebelumnya.2 Berita tersebut telah mengundang reaksi
beragam di kalangan masyarakat Aceh. Sebagian masyarakat Aceh
menolak informasi tersebut dan meragukan metodologi yang digunakan.
Sebagian yang lain, terutama golongan intelektual, menerima baik
informasi tersebut dan berharap hal itu dapat dijadikan sebagai bahan
refleksi untuk pembangunan Aceh ke depan. Terlepas dari adanya
kelompok yang menolak, informasi tersebut bukanlah berita tanpa dasar,
informasi tersebut berlandaskan pada sumber yang sangat akurat, yaitu
dari hasil konferensi pers awal tahun yang dilakukan oleh Kepala Badan
Pusat Statistik Provinsi Aceh, Wahyuddin, M.M.
Peringkat sebagai daerah termiskin di Sumatra selama dua tahun
berturut-turut merupakan suatu ironi bagi Aceh. Dikatakan ironi karena
Aceh memiliki kekayaan alam yang melimpah. Tanahnya subur dan
kaya kandungan mineral di perut buminya. Kekayaan alam tersebut
didukung pula oleh posisi geografisnya yang strategis dalam pelayaran
internasional, yakni di pintu gerbang Selat Malaka. Selain itu, Aceh juga
sangat kaya dengan budaya dan kearifan lokalnya yang mendukung
untuk pengelolaan sumber daya tersebut.
Peringkat sebagai daerah termiskin di Sumatra juga dikatakan ironi
karena di masa lampau, dalam perjalanan sejarahnya, Aceh pernah jaya

1 www.detik.com, 15 Januari 2020.


2 aceh.tribunnews.com, Selasa, 15 Januari 2019.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 7


dan berpengaruh di Nusantara. Di masa lalu, Aceh pernah menjadi salah
satu kesultanan Islam yang paling sukses di Nusantara, baik dari aspek
politik, ekonomi, dan bidang intelektual. Dalam bidang politik, pada
masa keemasannya abad ke-17, Aceh menjadi kekuatan politik terkuat
di bagian barat Nusantara yang mampu membendung perkembangan
kolonialisme Portugis. Dalam bidang ekonomi, Aceh menjadi pusat
perdagangan terpenting di Nusantara setelah jatuhnya Malaka ke tangan
Portugis tahun 1511. Demikian juga dalam bidang intelektual, Aceh
menjadi pusat peradaban Islam yang agung dan berkontribusi besar
terhadap perkembangan Islam ke seluruh wilayah Asia Tenggara. Bab
ini membahas kejayaan Aceh masa kesultanan, dari awal muncul sampai
mencapai puncak keemasannya pada abad ke-17 dan faktor-faktor
pendukungnya.

Aceh Pintu Gerbang Nusantara

A ceh merupakan provinsi yang terletak paling barat dari wilayah


Republik Indonesia. Provinsi Aceh terbentuk pada akhir tahun 1949,
saat Keresidenan Aceh dikeluarkan dari Provinsi Sumatra Utara dan
selanjutnya ditingkatkan statusnya menjadi sebuah provinsi otonom.
Teungku Muhammad Daud Beureueh yang sebelumnya sebagai Gubernur
Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo diangkat menjadi Gubernur
Provinsi Aceh pertama. Status ini tidak berlangsung lama karena beberapa
bulan kemudian, berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1950, Provinsi Aceh dikembalikan pada status
awalnya sebagai Keresidenan dalam Provinsi Sumatra Utara. Perubahan
status ini menimbulkan gejolak politik yang menyebabkan meletusnya
peristiwa Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Aceh tahun 1953.
Dalam upaya penyelesaian pemberontakan tersebut, pemerintah pusat
membentuk kembali Provinsi Aceh dengan dikeluarkan Undang-undang
Nomor 24 Tahun 1956 Tentang Pembentukan Kembali Provinsi Aceh,
yang wilayahnya meliputi seluruh wilayah bekas Keresidenan Aceh.
Dengan dikeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957, status

8 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Provinsi Aceh menjadi Daerah Swatantra Tingkat I dan Ali Hasjmy dilantik
sebagai Gubernur Provinsi Aceh pada 27 Januari 1957.3
Provinsi Aceh saat ini memiliki luas 57.956 km2 atau 12,26 persen
dari luas Pulau Sumatra. Batas-batas wilayah Provinsi Aceh, sebelah utara
dan timur berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah selatan dengan
Provinsi Sumatra Utara dan sebelah barat dengan Samudra Indonesia.
Satu-satunya hubungan darat daerah Aceh hanyalah dengan Provinsi
Sumatra Utara, sehingga sampai dengan saat ini Provinsi Aceh memiliki
ketergantungan yang cukup tinggi dengan Provinsi Sumatra Utara.4
Secara astronomis, Provinsi Aceh terletak antara 01˚ 58’ 37,2” – 06˚
04’ 33,6” Lintang Utara dan 94˚ 57’ 57,6” – 98˚ 17’ 13,2” Bujur Timur
dengan ketinggian rata-rata 125 meter di atas permukaan laut. Di bagian
tengah wilayah Aceh, terdapat deretan Pegunungan Bukit Barisan mulai
dari Aceh Besar di barat ke Tangse, sampai ke Dataran Tinggi Gayo dan
Alas di timur. Di luar wilayah utama, Aceh memiliki 331 pulau, baik yang
ada penduduk maupun tidak ada penduduknya. Sebagian besar pulau-
pulau tersebut terletak di bagian barat wilayah Aceh. Adapun pulau-pulau
yang memiliki penduduk adalah Pulau Weh, Pulau Breuh, Pulau Nasi,
Pulau Simeulue, dan Pulau Tuangku (Pulau Banyak). Penduduk Provinsi
Aceh termasuk masih sangat jarang bila dibandingkan dengan penduduk
Pulau Jawa, yakni 96 jiwa/km2. Pada tahun 2019 penduduk Provinsi Aceh
berjumlah 5.371.532 jiwa5, yang tersebar pada 23 kabupaten/kota (18
kabupaten dan 5 kota), 289 kecamatan, dan 6.514 gampông (desa).

3 https://acehprov.go.id/profil/read/2014/10/03/104/sejarah-provinsi-aceh.html
4 Badan Pusat Statistik, Provinsi Aceh dalam Angka 2019, (Banda Aceh: BPS Provinsi Aceh), hlm. 10.
5 Badan Pusat Statistik, Provinsi Aceh dalam Angka 2020, (Banda Aceh: BPS Provinsi Aceh, 2020), hlm.
17.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 9


Gambar 1.1. Peta Provinsi Aceh
Sumber: https://aceh.bpk.go.id/peta-wilayah/

Posisi geografisnya yang berada pada ujung paling utara Pulau


Sumatra menempatkan Aceh pada posisi terdepan bagi Indonesia.
Terdepan dalam artian daerah pertama yang ditemui atau disinggahi oleh
para pelaut yang datang dari arah Barat yang ingin memasuki wilayah
Nusantara umumnya dan Kepulauan Indonesia khususnya. Para pelaut
yang datang dari Barat tersebut umumnya berasal dari Anak Benua India,
Jazirah Arab, dan juga Benua Eropa. Dengan posisi yang begini Aceh juga
menjadi daerah terakhir yang dilalui para pelaut yang akan meninggalkan
Kepulauan Indonesia atau wilayah Nusantara untuk selanjutnya berlayar
ke arah Barat.
Untuk waktu yang lama, sejak dari zaman mula sejarah, para pelaut
yang datang dari arah Barat yang ingin menuju ke pedalaman Nusantara
atau sebaliknya, umumnya memilih melalui atau singgah di kawasan timur
Aceh. Jalur ini mereka pilih karena berada di Selat Malaka, sebuah jalur

10 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


pelayaran dan perniagaan yang dilalui oleh para pelaut dan pedagang
sejak zaman kuno. Sejak pertengahan milenium kedua, kawasan barat
Aceh juga banyak dilalui oleh pelaut. Pemanfaatan jalur barat ini tidak
seintensif jalur timur (Selat Malaka).
Sebagai bagian dari Kepulauan Nusantara, iklim Aceh secara umum
tidak jauh berbeda dengan iklim di wilayah lain di Indonesia, yaitu tropis
basah (wet-tropic). Pada level lebih mikro, iklim wilayah ini dipengaruhi
oleh muson barat (western monsoon) dan muson timur (eastern monsoon).
Saat muson barat, dari bulan April sampai Oktober, angin berembus dari
barat daya membawa hujan terutama ke Pantai Barat Aceh. Sebaliknya,
pada muson timur, dari Oktober sampai April, angin berembus dari arah
timur dengan membawa hujan ke wilayah utara dan timur Aceh. Oleh
karena pengaruh muson tersebut, curah hujan di wilayah Aceh berbeda
antara pantai barat-selatan dengan pantai utara-timur Aceh. Pantai
barat-selatan memiliki curah hujan yang lebih tinggi, antara 2.000–3.000
mm per tahun, dibandingkan dengan pantai utara-timur yang hanya
memiliki curah hujan antara 1.000–2.000 mm per tahun.6 Curah hujan
ini berpengaruh besar terhadap pertanian rakyat, sehingga musim tanam
masyarakat pantai barat-selatan dan pantai utara-timur Aceh juga berbeda
mengikuti curah hujan.
Angin muson tidak hanya berpengaruh pada tinggi rendahnya
curah hujan dan pola pertanian warga Aceh, tetapi juga memiliki peran
yang besar bagi pertumbuhan dan perkembangan sejumlah bandar
dagang di Aceh. Pada zaman dahulu, ketika pelayaran masih sangat
tergantung pada embusan angin, maka muson barat akan membawa
kapal-kapal dari Anak Benua India, Jazirah Arab, dan Eropa ke arah Aceh
untuk selanjutnya memasuki Kepulauan Indonesia atau melanjutkan
pelayaran mereka hingga ke Timur Jauh (Cina). Sebaliknya, muson timur
akan membawa kapal dari Kepulauan Indonesia (atau juga dari Cina)
ke arah Anak Benua India, Arab, dan juga Eropa. Pola angin muson
seperti ini sangat menguntungkan bagi Aceh. Aceh bisa menjadi daerah
penantian perubahan angin yang akan membawa para pelaut menuju

6 J. Kreemer, Atjeh: Algemeen Samenvattend Overzicht van Land en Volk Atjeh en Onderhoorigheden
(Vol. I), (Leiden: E.J. Brill, 1922), hlm. 183.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 11


daerah tujuan mereka. Itu pulalah sebabnya, dalam berbagai catatan
perjalanan para musafir dan pelaut diketahui bahwa ada sejumlah negeri,
kedatuan atau kesultanan/kerajaan di Aceh khususnya dan pantai timur
Sumatra umumnya yang menjadi tempat-tempat penantian perubahan
angin muson oleh para pengelana dan pelaut. Sebaliknya, singgah dan
berhentinya para pelaut serta saudagar itu pulalah yang menjadi salah
satu latar belakang munculnya sejumlah bandar dagang, kedatuan
atau kesultanan/kerajaan di Aceh khususnya dan pantai timur Sumatra
umumnya.
Beberapa bandar dagang terpenting di pantai timur dan barat
Aceh adalah Pasai, Pedir, dan Bandar Aceh Darussalam (di pantai timur)
dan Singkil (di pantai barat). Munculnya bandar-bandar tersebut sangat
menguntungkan karena selain komoditas lokal dapat mencapai pasar
dunia, Aceh juga mengenal komoditas baru yang dapat dibudidayakan
di Aceh seperti lada atau merica. Lada yang merupakan komoditas utama
perdagangan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa kejayaannya abad
ke-17 merupakan komoditas baru, yang diperkirakan berasal dari India,
kemudian dibudidayakan dengan cukup berhasil di Aceh. Lada baru
muncul sebagai komoditas utama perdagangan di Aceh sejak abad ke-
14.7
Selain dalam aspek ekonomi, pengaruh India juga terlihat dalam
aspek politik dan kebudayaan Aceh. Meskipun tidak ditemukan bukti
tertulis (prasasti) tentang sistem politik di Aceh masa Hindu-Budha, adanya
nama beberapa tempat penting di Aceh yang menggunakan kata-kata
dalam bahasa Sanskerta, seperti Indra Patra, Indra Purwa, dan Indra Puri
di Aceh Besar, dipercaya sebagai petunjuk adanya pengaruh India dalam

7 Menurut Denys Lombard, selama abad ke-14 terjadi beberapa perubahan penting dalam kehidupan
pelabuhan-pelabuhan dagang di Aceh. Diperkirakan waktu itulah ada pedagang-pedagang India,
yang kemungkinan besar dari Malabar, memperkenalkan penanaman lada bersamaan dengan agama
Islam. Pendapat Lombard ini juga didasari oleh kenyataan bahwa pada sumber-sumber yang lebih
awal (sampai kisah Ibnu Battutah) tidak disinggung adanya lada di Aceh, sedangkan teks-teks Cina
sejak awal abad ke-15 memberi informasi yang jelas mengenai tanaman lada di Aceh. Demikian juga
kesaksian orang-orang Portugis yang pertama singgah di Aceh menyebutkan bahwa Pedir dan Pasai
pada awal abad ke-16 mengekspor lada dalam jumlah besar ke Cina dan ke tempat-tempat lain. Ini
dapat ditafsirkan bahwa selama dua abad, kedua kerajaan tersebut telah berhasil membudidayakan
dan memasyarakatkan penanaman lada sehingga telah menjadi komoditas unggulan mereka. Denys
Lombard, Kerajaan Aceh Masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Terj. Winarsih Arifin, (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), hlm. 59.

12 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


bidang politik di Aceh pada era Hindu-Budha. Pengaruh India di Aceh
sangat terasa dalam aspek budaya. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya
unsur budaya India telah diserap ke dalam budaya Aceh dan masih eksis
sampai sekarang, seperti kuliner dan upacara-upacara budaya.

I. Barang Dagangan:
L: Lada
Bahan makanan R: Rempah-rempah
(B: Beras, A: Anggur;
I: hasil olahan ikan) Tenunan (K: kapas
dan kain katun
Logam (E: emas; S: sutera dan
B: besi dan baja; kain sutra)
T: timah)
Bahan peransang
Belerang (Teh; T: tembakau; II. Jalan Niaga: ke negeri “di atas angin” (Pegu, India)
Minyak Tanah M: madat) ke daerah lain di Nusantara
ke Mekkah dan Konstantinopel
ke Eropa (lewat Tg. Harapan
Intan Keramik ke negeri “di bawah angin”
(Siam, Tiongkok)

Gambar 1.2. Letak Kesultanan Aceh Darussalam yang Strategis


Sumber: Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda, 2008: 377

Posisi strategis Aceh di pintu masuk utama Selat Malaka semakin


penting artinya pada zaman modern. Globalisasi baru yang dimotori
oleh para penjelajah Eropa sejak akhir abad ke-14 dan awal abad ke-
15, terutama oleh Portugis dan Spanyol, sekali lagi telah menempatkan
Aceh dan bandar-bandar dagang di Selat Malaka pada posisi yang sangat
strategis dalam perspektif ekonomi dan politik. Hal ini dimungkinkan
karena untuk mendapatkan rempah langsung dari pusatnya di Maluku,
kolonialis Barat, setelah menyusuri pantai barat dan selatan Afrika serta
melewati India, mesti melalui Selat Malaka, di mana bandar-bandar niaga
utama Aceh berlokasi.
Di samping itu, setelah Malaka direbut oleh Portugis tahun 1511
banyak pedagang Nusantara, terutama pedagang Islam, tidak mau
lagi berdagang di kota yang telah dikuasai oleh bangsa yang sangat

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 13


membenci Islam itu. Mereka mencari bandar-bandar dagang alternatif
di sekitar Selat Malaka. Munculnya Kesultanan Aceh Darussalam dalam
waktu yang hampir bersamaan dengan penguasaan Malaka oleh Portugis
menyebabkan banyak pedagang muslim yang singgah di bandar baru
tersebut. Ditambah dengan keamanan perdagangan yang terjamin, maka
dalam waktu yang cepat Bandar Aceh Darussalam berkembang pesat,
sehingga Kesultanan Aceh Darussalam menjadi kerajaan yang besar.
Posisi strategis Aceh secara geografis dan politis berlanjut ketika Selat
Malaka tumbuh sebagai jalur perdagangan penting sejak akhir abad ke-
18, saat kapal-kapal Inggris kembali mendatangi Kepulauan Nusantara.
Tumbuh pesatnya perdagangan dengan Cina sejak tahun 1750-an telah
membuat English India Company (EIC) kembali ke Nusantara. Sejak
akhir abad ke-18 tujuan perusahaan dagang tersebut berubah dari
tujuan sebelumnya, yakni hanya sebagai penantang untuk perdagangan
Nusantara, ke tujuan baru, yaitu menemukan jalan yang aman melalui
Selat Malaka dan pelabuhan-pelabuhan tempat pedagang mereka dapat
berlabuh, guna membeli persediaan dan komoditas-komoditas lokal
untuk ditukar dengan produk Cina, terutama teh.8
Peningkatan aktivitas perdagangan Inggris tersebut telah
menempatkan Aceh pada posisi yang sangat penting. Dengan
mempertimbangkan fakta tersebut, pedagang-pedagang Inggris yang
berbasis di India memainkan peran yang semakin besar dalam mendorong
EIC untuk menjadikan Aceh sebagai basis yang sangat ideal, yang
memungkinkan mereka mengumpulkan hasil bumi Kepulauan Nusantara
untuk dipertukarkan dengan teh Cina, sekaligus menjadikan Aceh sebagai
tempat untuk memperbaiki armada-armada India mereka selama muson
timur laut. Akan tetapi, usaha Inggris untuk mendirikan pos di Aceh tidak
berhasil karena orang-orang Aceh selalu curiga terhadap pendirian pos-
pos militer asing di wilayah mereka. Oleh karena itu, tawaran-tawaran
Inggris untuk mendirikan pos di Aceh sejak tahun 1762 senantiasa ditolak
oleh penguasa Aceh, sampai pada 1786 ketika Inggris menemukan

8 Dianne Lewis, “British Policy in the Straits of Malacca to 1819 and the Collapse of the Traditional
Malay State Structure”, dalam Brook Barrington (ed.), Empires, Imperialism and Southeast Asia:
Essays in Honour of Nicholas Tarling, (Melbourne: Monash Asia Institute, 1997), hlm. 19.

14 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


alternatif yang memuaskan di Penang, di mana mereka kemudian
mendirikan sebuah permukiman dan pos perdagangan.9
Pendirian permukiman Inggris di Penang dan kemudian di Singapura
oleh Thomas Stanford Raffles pada tahun 1819 membuat Selat Malaka
menjadi semakin penting. Dalam melakukan perdagangan antara India
dan Cina, kapal-kapal Inggris tidak pernah berlayar lagi melewati Selat
Sunda. Salah satu implikasinya adalah bahwa permukiman Inggris
di Singapura berkembang dengan sangat cepat karena statusnya
sebagai sebuah pelabuhan bebas. Pedagang-pedagang Arab,
Cina, dan India menjadikannya sebagai tempat persinggahan mereka.
Perluasan kegiatan perdagangan seiring dengan perkembangan cepat
Singapura menyebabkan peningkatan besar arus lalu lintas perdagangan
di Selat Malaka.10
Pendirian koloni Singapura oleh Raffles mendapat masalah ketika
Belanda menuduh Inggris mencampuri daerah kekuasaannya dan
meminta agar Inggris meninggalkan Singapura. Pada mulanya kerajaan
Inggris dan EIC bersimpati dengan masalah ini, tetapi akhirnya mereka
mengabaikannya dan memutuskan untuk tidak akan menyerahkan
Singapura kepada Belanda. Peristiwa Singapura ini menimbulkan
perselisihan antara Inggris dan Belanda. Untuk memecahkan permasalahan
tersebut diadakanlah perundingan antara kedua negara yang terkenal
dengan Treaty of London (Traktat London) pada tahun 1824.
Inti dari perjanjian tersebut adalah terjadi pertukaran wilayah jajahan
antara Inggris dan Belanda di mana Belanda akan fokus di Indonesia
dan Inggris di Semenanjung Malaya. Bengkulu di Sumatra yang dulunya
dikuasai Inggris diberikan kepada Belanda, sebagai gantinya Malaka
yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda diserahkan kepada Inggris, dan
Belanda juga mencabut tuntutannya terhadap Singapura. Untuk menjaga
agar tidak terjadi lagi perselisihan kembali di kemudian hari, maka

9 Anthony Reid, The Contest for North Sumatra: Atjeh, the Netherlands and Britain, 1858–1898 (Kuala
Lumpur: Oxford University Press, 1969), hlm. 6; Mawardi Umar, “Free Port, Coaling-Station and
Economic Development: Sabang, 1896–1942”, Master’s Thesis (Tidak Diterbitkan), (Fakultas Sastra,
Universitas Leiden, 2008), hlm. 25.
10 Wong Lin Ken, The Trade of Singapore, 1819–69, (Selangor: Malaysian Branch of the Royal Asiatic
Society (Reprint No. 23), 2003), hlm. 25. Mawardi Umar, Ibid, hlm. 26.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 15


melalui Traktat London ini kedua negara juga sepakat menjadikan Aceh
sebagai daerah tameng untuk memisahkan daerah kolonialisme Inggris di
Semenanjung Malaya dengan kolonialisme Belanda di Indonesia, seperti
Siam (Thailand) yang menjadi tameng yang memisahkan kolonialisme
Inggris di Semenanjung Malaya dan kolonialisme Prancis di Indocina.
Alasan Inggris untuk tidak mengganggu kedaulatan Kesultanan Aceh
Darussalam didasari pada pertimbangan kepentingan ekonomi dan
politiknya. Secara ekonomis, hal ini dilakukan karena adanya jaminan
keamanan kapal-kapal dagang Inggris yang berlayar di perairan Selat
Malaka dari gangguan Aceh, dan secara politis, Turki yang telah lama
menjalin hubungan baik dengan Aceh, juga menjadi alasan Inggris tidak
ingin bermusuhan dengan Aceh.11 Kesepakatan London ini baru dicabut
47 tahun kemudian setelah dilakukan kesepakatan baru, yaitu Traktat
Sumatra (1871) yang membebaskan Belanda memperluas wilayahnya
ke Aceh. Implikasinya adalah terjadinya invasi Belanda ke Aceh dua
tahun kemudian (1873) yang menyebabkan terjadinya perang yang
berkepanjangan dengan rakyat Aceh. Invasi ini juga yang membuat
berakhirnya era Kesultanan Aceh.

Masyarakat Aceh

M asyarakat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah


sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh
suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.12 Pengertian tersebut
diperjelas oleh Soerjono Soekanto dengan memberi ciri-ciri dan kriteria
dari komunitas yang dapat dikategorikan sebagai masyarakat, yaitu
manusia yang hidup bersama, sekurang-kurangnya terdiri atas dua orang;
bercampur atau bergaul dalam jangka waktu yang cukup lama yang
akan menimbulkan manusia baru dan melahirkan sistem komunikasi dan
peraturan yang mengatur hubungan antarmanusia; sadar bahwa mereka

11 E. B. Kielstra, Beschrijving van den Atjeh Oorlog: met Gebruikmaking der Officieele Bronnen, door
het Departement van Kolonien daartoe Afgestaan, Jilid II (‘s-Gravenhage: De Gebroeders van Cleef,
1883), hlm. 390. Rusdi Sufi, dkk., Aceh Tanah Rencong, (Banda Aceh: Pemerintah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, 2008), hlm. 140.
12 https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/masyarakat

16 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


merupakan satu kesatuan; dan merupakan suatu sistem hidup bersama
yang menimbulkan kebudayaan karena mereka merasa dirinya terkait
satu sama lain.13
Bila ditinjau dari data keberadaan manusia yang berdiam di wilayah
Provinsi Aceh, maka pengertian tersebut mengindikasikan bahwa
masyarakat Aceh telah terbentuk dalam waktu yang sangat lama.
Berdasarkan data arkeologis, wilayah ini telah didiami oleh manusia
sejak zaman praaksara. Penemuan situs Bukit Kerang di Kabupaten Aceh
Tamiang membuktikan bahwa di Aceh sudah terbentuk suatu peradaban
sejak zaman mesolithikum. Dalam proses selanjutnya, telah berdatangan
pula kelompok-kelompok manusia lainnya ke wilayah Aceh. Proses
interaksi yang berlangsung lama antara berbagai kelompok tersebut telah
melahirkan berbagai bentuk sistem komunikasi dan pola interaksi yang
sama. Intensifnya pola-pola komunikasi dan interaksi tersebut, terutama
masa Kesultanan Aceh Darussalam, telah berpengaruh besar terhadap
kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal di wilayah Aceh, sehingga
mereka mengindentifikasikan dirinya sebagai orang Aceh.

Asal-Usul Masyarakat Aceh

Sampai dengan saat ini, belum ada kesepakatan di antara para ahli
mengenai asal-usul masyarakat Aceh. Hal ini terutama dikarenakan
adanya perbedaan sudut pandang mereka terhadap asal-usul masyarakat
Aceh. Berdasarkan data praaksara yang ditemukan di beberapa lokasi
situs bukit kerang (Kjokkenmoddinger) di wilayah pantai Kabupaten Aceh
Tamiang, diperkirakan wilayah Aceh telah dihuni oleh ras Austroloid
sejak sekitar 6.000 tahun yang lalu. Kemungkinan kelompok ini nantinya
berkembang dan setelah terjadi percampuran dengan kelompok lain yang
datang kemudian menjadi cikal-bakal masyarakat Aceh.14 Interpretasi ini
masih perlu pembuktian lebih lanjut karena hasil penelitian yang lain
menyebutkan bahwa manusia praaksara (the Java man) telah punah.

13 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press, 2009).


14 Husaini Ibrahim, Awal Masuknya Islam ke Aceh: Analisis Arkeologis dan Sumbangannya pada
Nusantara, (Banda Aceh: Aceh Multivision, 2014), hlm. 69.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 17


Berdasarkan hasil studi yang dipublikasikan di Jurnal PLOS One pada
27 Juli 2018 oleh para arkeolog dari Australian National University,
kepunahan spesies Homo erectus disebabkan karena mereka kurang
melakukan upaya maksimal untuk membuat alat dan mencari persediaan
bahan makanan.15
Pendapat yang lain menyebutkan bahwa orang Aceh asli adalah
orang “Mante”, yang sama dengan orang Semang, Yakun, dan Toala.
Orang Mante ini diperkirakan merupakan suatu etnis asli yang hampir
punah, yang saat ini sesekali ditemukan di zona ekosistem Gunung
Leuser, kawasan tengah Aceh bagian Tenggara. Diperkirakan mereka
menyingkir ke pedalaman karena terdesak oleh pendatang yang masuk
ke Aceh belakangan yang mendiami wilayah pesisir. Di pedalaman mereka
menjadi terisolir sehingga sangat sulit ditemukan. Padahal, pada awal
abad ke-20, mereka masih menempati pedalaman wilayah Aceh Besar.
Menurut keterangan dari informan yang ditemui oleh Snouck Hurgronje,
orang-orang Mante saat itu menghuni gunung-gunung dalam wilayah
XXII Mukim Aceh Besar.16 Keterisoliran mereka itu telah menjadi idiom
keterbelakangan bagi orang Aceh. Selain itu, ada juga yang berpendapat
bahwa orang Aceh berasal dari orang Batak dan orang Gayo, yang
diperkirakan berasal dari kelompok Proto Melayu yang datang lebih awal
dan mendiami wilayah-wilayah dataran tinggi di Indonesia. Oleh karena
kedua pendapat tersebut kurang didukung oleh fakta-fakta historis, maka
kedua hipotesis tersebut sangat lemah.17
Merujuk pada temuan hasil penelitian bahasa yang mereka lakukan,
yang mana ditemukan banyak kata Campa dan Khmer dalam bahasa
Aceh, G. K. Niemann dan G. O. Blagden berkesimpulan bahwa nenek
moyang orang Aceh berasal dari Campa (Indocina). Muhammad Said
memperkirakan bahwa keturunan Campa yang merupakan golongan
Melayu Muda (Deutero Melayu) inilah yang kemudian menempati
wilayah-wilayah pantai di sekeliling Aceh, dan merekalah yang aktif

15 Kompas.com, 12 Agustus 2018.


16 C. Snouck Hurgronje, Orang Aceh: Budaya, Masyarakat, dan Politik Kolonial (Buku Pertama), Terj.
Ruslani, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), hlm. 76.
17 Mohd. Harun, Memahami Orang Aceh (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009), hlm. 3.

18 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


menjalin hubungan dengan orang-orang asing.18 Hubungan perdagangan
yang intensif dalam waktu yang panjang dengan orang asing inilah yang
menyebabkan terjadinya pluralitas masyarakat Aceh.
Selain genesis orang Aceh yang merujuk pada satu asal-usul, ada
juga pendapat yang merujuk pada percampuran dari beberapa bangsa.
Seorang ulama dan cendekiawan Aceh pada akhir abad ke-19, Shaikh
Abbas Ibnu Muhammad atau yang lebih dikenal dengan Teungku Chik
Kuta Karang, berpendapat bahwa orang Aceh terbentuk dari tiga unsur
bangsa, yaitu Arab, Persia (Iran), dan Turki. Oleh karena pendapat ini
kurang dapat diverifikasi, Snouck Hurgronje meragukan keabsahannya.
Menurut dia, pendapat itu digunakan untuk membangkitkan semangat
rakyat Aceh melawan Belanda.19
Sementara itu, banyak orang Aceh sendiri menganggap bahwa
mereka merupakan percampuran dari empat etnis sesuai singkatan kata
A-C-E-H, yaitu Arab, Cina, Eropa, dan Hindia. Anggapan ini diperkuat
dengan kenyataan bahwa dari segi wajah orang Aceh sangat beragam,
ada yang mirip Arab, Cina, Tamil, Eropa, dan lainnya. Dari realitas
tersebut, Mohd. Harun berpendapat bahwa etnis Aceh merupakan
sebuah etnis yang sudah ada di Aceh sejak zaman dulu. Etnis ini kemudian
banyak berasimilasi dengan etnis pendatang, namun jati diri etnis Aceh
tetap bertahan, terutama pada keberadaan bahasa mereka, yaitu bahasa
Aceh.20

Heterogenitas Masyarakat Aceh

Meskipun masyarakat yang berdiam di wilayah Provinsi Aceh


mengindentifikasi diri mereka sebagai orang Aceh, namun bila dilihat
secara mikro nampaklah bahwa masyarakat Aceh tidaklah homogen.
Ditinjau dari segi etnisitas dan bahasa, Aceh merupakan wilayah yang
sangat heterogen. Heterogenitas masyarakat Aceh tidak terlepas dari

18 Muhammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan: PT. Percetakan dan Penerbitan Waspada, 1981),
hlm.11.
19 C. Snouck Hurgronje, Orang Aceh…, (2019: 74)
20 Mohd. Harun, Memahami Orang Aceh…, (2009: 6).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 19


posisi geografis strategis Aceh di gerbang Selat Malaka yang menyebabkan
banyak orang singgah dan menetap di daerah ini. Salah satu indikator
pluralitas masyarakat Aceh dapat dilihat dari banyaknya etnis yang
berdiam di wilayah ini.
Secara etnisitas, di Aceh paling kurang terdapat 10 etnis yang
mempunyai kultur dan bahasa masing-masing, dan mendiami wilayah
geografis yang berbeda. Etnis-etnis tersebut adalah etnis Aceh, Tamiang,
Aneuk Jame, Gayo, Alas, Kluet, Simeulue, Singkil, Haloban, dan Jawa.
Di antara etnis tersebut, etnis Aceh merupakan etnis mayoritas yang
mendiami wilayah paling luas di Aceh, meliputi seluruh pantai utara,
sebagian besar pantai timur dan pantai barat-selatan, serta di beberapa
pulau. Etnis Tamiang mendiami sebagian wilayah pantai timur; etnis
Aneuk Jame mendiami sebagian besar kawasan pantai barat bagian
selatan; etnis Gayo mendiami wilayah tengah; etnis Alas mendiami
wilayah tenggara; etnis Kluet mendiami sebagian kecil kawasan barat
bagian pantai selatan; etnis Simeulue mendiami Pulau Simeulue;21 etnis
Singkil mendiami sebagian kecil wilayah pantai barat bagian selatan, dan
etnis Haloban mendiami Pulau Banyak.22 Etnis terakhir yang mendiami
wilayah Aceh, lebih tepatnya sengaja didatangkan oleh Belanda sebagai
buruh perkebunan di Aceh, adalah etnis Jawa. Oleh karena itu, mereka
terutama mendiami wilayah perkebunan di pantai timur, pantai utara,
wilayah tengah, dan pantai barat-selatan Aceh.23
Kelompok yang paling dominan di Aceh adalah etnis Aceh, yang
menurut hasil sensus pertama tahun 1930 berjumlah 775.760 jiwa,
menduduki 85 persen dari seluruh penduduk Aceh. Kelompok etnis yang
lebih kecil secara berurutan adalah Gayo dengan jumlah 52.419 jiwa, Alas
dengan jumlah 13.621 jiwa, Singkil dengan jumlah 15.448 jiwa, Tamiang
dengan jumlah 11.408 jiwa, dan Simeulue dengan jumlah 17.997 jiwa.
Etnis yang terbesar di antara etnis minoritas tersebut adalah etnis Gayo,

21 T. Ibrahim Alfian, Adat Istiadat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Banda Aceh: Proyek Penelitian
dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978), hlm. 12.
22 Teuku Alamsyah dkk, “Sastra Lisan Haloban”. Laporan Penelitian: Extension of the Grant Application
for Community Development Activities in the Context of the Environmental Program Pulau Banyak
Tahun 1999.
23 Mawardi, “Menyadap Getah untuk Onderneming: Dinamika Sosial Ekonomi Buruh Perkebunan
Karet di Aceh Timur, 1907–1939”, (Yogyakarta: Tesis, Universitas Gadjah Mada, 2005), hlm. 97

20 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


yang pada tahun 1930 mencapai 6 persen dari keseluruhan penduduk.24
Kelompok-kelompok minoritas tersebut telah terintegrasi dengan etnis
Aceh melalui proses pengislaman dan juga karena mereka menjadi
subordinasi dari Kesultanan Aceh dalam waktu yang sangat lama. Selain
itu, melalui jaringan sosial-ekonomi, terutama melalui proses perkawinan
antaretnis, telah dapat menjaga proses integrasi berbagai etnis tersebut.
Implikasi dari proses yang panjang tersebut adalah kelompok-kelompok
etnis tersebut mengindentifikasi diri mereka sebagai orang Aceh.25
Sebagai mayoritas, pengaruh etnis Aceh sangat besar terhadap etnis-
etnis yang lain, terutama terhadap sistem budaya. Meskipun terdapat
beberapa perbedaan, secara umum terdapat kesamaan. Kesamaan-
kesamaan itu terlihat dengan jelas terutama mengenai sistem penyelesaian
adat. Ada kesamaan yang jelas dari berbagai prosesi upacara maupun
lembaga yang menanganinya, baik dari segi bahan yang digunakan dan
makna simbolis di baliknya. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh budaya
Aceh cukup kuat terhadap etnis-etnis minoritas. Lembaga yang paling
berperan dalam menjalankan dan menjaga sistem adat tersebut adalah
kepala desa, imam desa/imam masjid, kepala dusun, tuha peut, tokoh
masyarakat, dan tokoh adat.26 Hampir seluruh kehidupan bermasyarakat
di Aceh berpusat pada meunasah (surau).
Meunasah merupakan lembaga yang memiliki peran sangat
penting dalam hampir segala aspek kehidupan masyarakat Aceh. Dalam
sejarahnya, meunasah berfungsi sebagai pusat peradaban (center
of culture) sekaligus sebagai pusat pendidikan (center of education)
masyarakat Aceh, sehingga di setiap gampông (desa) di Aceh dibangun
sebuah meunasah. Dalam arti terminologis, meunasah yang dikepalai
(diampu) oleh teungku meunasah adalah tempat berbagai aktivitas,

24 Volkstelling 1930, Inheemsche Bevolking van Sumatra, Vol. IV (Batavia: Department van Economische
Zaken, 1934), hlm. 20, 21 dan 112.
25 M. Isa Sulaiman, “From Autonomy to Periphery: A Critical Evaluation of the Acehnese Nationalist
Movement”, dalam Anthony Reid (ed.), Verandah of Violence: The Background of Aceh Problem
(Singapore and Seattle: Singapore University Press and University of Washington Press, 2006), hlm.
123.
26 Mawardi Umar, “Peranan Pranata Lokal Masyarakat Aceh dalam Resolusi Konflik”. Laporan hasil
Penelitian Kerja Sama Universitas Syiah Kuala dengan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh
(Tidak Diterbitkan) (Banda Aceh: n.p., 2006, hlm. 36.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 21


baik yang berhubungan dengan masalah dunia (adat), maupun yang
berhubungan dengan masalah agama. Pada pengertian lain meunasah
merupakan tempat penggemblengan masyarakat gampông atau desa,
agar masyarakat gampông tersebut menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Allah SWT.27 Di sinilah anak-anak Aceh sejak usia dini
mendapatkan pendidikan awalnya. Di meunasah ini juga dipecahkan
berbagai persoalan kemasyarakatan yang ada dalam tiap gampông.
Pemecahan persoalan-persoalan gampông di Aceh yang dilakukan
di meunasah biasanya diiringi dengan acara kenduri atau makan bersama.
Acara kenduri tersebut diharapkan akan mempererat persaudaraan dan
ikatan kebersamaan seluruh masyarakat dalam gampông. Oleh karena
itu, tidak mengherankan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat di Aceh
sangat banyak diadakan kenduri bersama yang dipusatkan di meunasah.
Kenduri bersama ini biasanya dilakukan berkaitan dengan upacara-
upacara keagamaan. Berbeda dengan masyarakat lain, hampir semua
upacara keagamaan diperingati oleh masyarakat Aceh dengan acara
kenduri, baik memperingati hari-hari besar Islam seperti Maulid Nabi,
Israk Mikraj, Nisfu Syakban, Nuzul Al-qur’an, dan 10 Muharam, maupun
upacara keagamaan lainnya, seperti pengkhataman Al-qur’an, kenduri
malam 27 Ramadan, dan lain-lain.28
Dari sekian banyak kenduri tersebut, yang sangat menarik adalah
kenduri memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW (maulid). Bagi
masyarakat Aceh maulid identik dengan mulut atau makan-makan,
sehingga kenduri maulid dilaksanakan secara bergiliran di tiap-tiap
gampông selama 3 bulan, mulai tanggal 12 Rabiul Awal sampai 10 Jumadil
Akhir. Eksistensi kenduri maulid di Aceh masih berlanjut sampai sekarang,
meskipun ada beberapa penyesuaian mengikuti perkembangan zaman.
Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada struktur sosial masyarakat
Aceh yang ikut menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.

27 Taufik Abdullah et..al., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm.
221.
28 T. Syamsuddin, dkk., Adat Istiadat Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Jakarta: Proyek Penelitian dan
Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1977/1978), hlm. 103–107.

22 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Struktur Sosial Masyarakat Aceh

Secara umum disepakati bahwa istilah struktur sosial mengacu pada


keteraturan dalam kehidupan sosial, walaupun penerapannya tidak
selalu konsisten. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disebutkan
bahwa struktur sosial merupakan salah satu konsep perumusan asas
hubungan antarindividu dalam kehidupan masyarakat yang merupakan
pedoman bagi tingkah laku individu.29 Dilansir Encyclopedia Britannica
(2015), struktur sosial dalam sosiologi adalah pengaturan institusi yang
khas dan stabil di mana manusia dalam suatu masyarakat berinteraksi dan
hidup bersama.30 Kedua pengertian tersebut mengandung makna bahwa
struktur sosial ada dalam setiap masyarakat sejak kehidupan mereka
sudah teratur.
Struktur sosial masyarakat Aceh saat ini merupakan keberlanjutan dari
struktur sosial awal yang terbentuk sejak beberapa generasi sebelumnya,
dengan beberapa perubahan seiring perubahan zaman. Secara
tradisional, struktur masyarakat Aceh tersusun dalam empat kelompok
sosial, yaitu: Tuanku (keturunan raja), uleebalang (bangsawan), ulama
(pemimpin agama), dan rakyat biasa.31 Golongan Tuanku menduduki
lapisan sosial paling atas dalam struktur sosial masyarakat Aceh, dan
dari kelompok inilah dipilih satu orang untuk menjadi Sultan atau Raja
Aceh, yang umumnya putra dari sultan yang memerintah sebelumnya.
Sultan merupakan lambang kekuasaan di seluruh negeri dan bersama
keluarganya mendapat penghasilan dari kas kerajaan. Mereka umumnya
mempunyai peranan besar dalam kerajaan karena menduduki posisi-posisi
penting, seperti pejabat teras dalam pemerintahan, pengambil wasee
(pajak) di daerah-daerah uleebalang (bangsawan) pengawas pelabuhan
di seluruh Aceh, pengendali pemerintahan di daerah kekuasaan Raja, dan
lain-lain.32

29 https://kbbi.web.id/struktur
30 Kompas.com - 14/04/2020, 13:00 WIB
31 Muhammad Ibrahim dkk, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh
(Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah,
1978/1979), hlm. 21–22.
32 Snouck Hurgronje, Orang Aceh…, (2019: 272–329).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 23


Golongan uleebalang adalah penguasa nanggroe (negeri) yang
membawahi beberapa daerah mukim33 dan gampông. Pada hakikatnya
kekuatan kerajaan Aceh ada pada golongan uleebalang, karena imeum
mukim (kepala kemukiman), geuchik (kepala desa/gampông), ulama,
pengusaha, dan rakyat biasa berada di bawah kekuasaan mereka. Lebih
daripada itu, golongan uleebalang juga merupakan pengendali urat nadi
perekonomian di daerahnya, baik sebagai pedagang maupun sebagai
pemilik tanah yang luas. Oleh karena itu, untuk menjaga keamanan
daerahnya, mereka memiliki pasukan bersenjata di bawah komando
seorang Panglima Prang.34
Golongan ulama menduduki tempat khusus dalam struktur
masyarakat Aceh. Walaupun secara batiniah mereka paling dekat dengan
rakyat biasa, namun golongan ulama juga dekat dengan kalangan tuanku
(keturunan raja) dan golongan uleebalang. Kedekatan hubungan mereka
dengan kedua golongan tersebut terlihat dari ditempatkannya golongan
ulama sebagai salah satu unsur penting dalam sistem pemerintahan,
sebagai penasihat dan pendamping dalam memecahkan berbagai
persoalan kemasyarakatan, terutama yang menyangkut dengan hukum
Islam. Panggilan umum sehari-hari untuk golongan ulama adalah teungku.
Untuk membedakan kompetensi dan bidang profesi yang dijalani oleh
para ulama, maka panggilan teungku disandingkan dengan kompetensi
yang dimiliki dan profesi yang dijalani. Apabila mereka hanya sekadar
pandai membaca kitab Jawi (Arab-Melayu) maka akan dipanggil teungku
leubee, tetapi kalau mereka telah sampai pada tingkat ulama besar maka
akan dipanggil dengan teungku chiek. Demikian juga dengan profesi,
mereka akan dipanggil dengan profesinya, seperti teungku meunasah
(imam gampông), teungku khatib (imam masjid), teungku kadli (hakim
agama), dan lain-lain.35
Sebagaimana dikemukakan dalam kitab Tadhkirat al-Rakidin (1889)
karya Shaikh Abbas Ibnu Muhammad atau yang lebih dikenal dengan

33 Mukim merupakan wilayah yang terdiri atas beberapa gampong yang dipimpin oleh seorang imeum
mukim. Snouck Hurgronje, Orang Aceh…, (2019: 195–209).
34 Snouck Hurgronje, Orang Aceh…, (2019: 209–271).
35 Muhammad Ibrahim dkk, Sejarah Kebangkitan Nasional…, (1978/1979: 23)

24 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Teungku Chik Kutakarang dan dikutip oleh Ibrahim Alfian, struktur sosial
di atas tidak jauh berbeda dengan struktur kepemimpinan masyarakat
Aceh sebelum pecahnya perang melawan Belanda36. Menurut Teungku
Chik Kutakarang, terdapat dua jenis pemimpin di Aceh saat itu, yaitu
pemimpin adat dan pemimpin agama. Pemimpin adat terdiri atas sultan
dan kerabat yang membantunya, para uleebalang (bangsawan) atau
raja-raja kecil dan kerabat yang membantu mereka, serta para geuchik
atau peutua yang menjadi kepala kampung sebagai penghubung rakyat
dengan uleebalang. Para pemimpin agama adalah para ulama, yaitu
para guru agama yang mendapatkan penghargaan atas keahlian yang
berbeda-beda, dan para pejabat agama yang mengurus hal-hal yang
berkaitan dengan kelembagaan agama.
Sultan yang sangat dihormati rakyat disebut dengan istilah poteu,
artinya tuan kita, atau poteu raja. Dalam menjalankan pemerintahan
sehari-hari sultan dibantu oleh empat orang besar yang disebut dengan
“Menteri Hari-Hari”. Di samping itu dia dibantu juga oleh seorang
syahbandar untuk mengurus persoalan-persoalan pelabuhan. Di luar
wilayah utama yang diperintah oleh sultan, terdapat wilayah Aceh Besar
dan daerah takluknya yang terdiri atas lebih seratus wilayah yang disebut
negeri atau nanggroe, yang jumlah penduduk dan luas wilayahnya tidak
sama. Setiap negeri diperintah secara otokratis oleh seorang raja kecil yang
disebut uleebalang atau keujreun yang ditetapkan oleh adat berdasarkan
warisan turun-temurun patriarkal.
Di Aceh Besar dan Pidie wilayah para uleebalang terdiri atas beberapa
mukim yang masing-masing dikepalai oleh seorang imum mukim yang
bertugas mengkoordinir beberapa buah kampung (gampông). Ia juga
merupakan penghubung antara kampung-kampung dengan uleebalang.
Dan gampông merupakan unit teritorial terkecil dalam sebuah negeri.
Gampông diketuai oleh geuchik dengan dibantu oleh seorang yang
mengerti masalah agama yang disebut teungku meunasah. Kedua jabatan
ini masih ada dengan fungsi yang sama sampai sekarang.
Lembaga lain yang sangat penting peranannya dalam struktur sosial
masyarakat Aceh adalah Tuha Peut atau “dewan empat”. Lembaga

36 T. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), hlm. 38–42.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 25


ini yang anggota-anggotanya, baik masing-masing maupun secara
bersama, mengambil tanggung jawab tugas-tugas pemerintahan umum
sebagai sebuah dewan yang mendampingi seorang uleebalang dalam
melaksanakan tugasnya sehari-hari. Bersama uléebalang, lembaga itu
merupakan sejenis dewan yang mempertimbangkan dan mengurus
kepentingan-kepentingan dalam sesuatu kenegerian. Biasanya dalam
dewan itu ditambah lagi dengan seorang kadi atau kepala urusan agama;
mempunyai suara yang amat menentukan, terutama dalam perkara-
perkara yang menyangkut dengan bidang-bidang keagamaan. Semua
perkara penting, baik yang menyangkut dengan urusan pemerintahan atau
peradilan maupun urusan-urusan kemiliteran atau yang sejenis dengan
itu, perlu dibicarakan dalam “dewan” tersebut sebelum diambil sesuatu
keputusan. Tidak ada satu hal pun yang penting dapat dilaksanakan di
luar pengetahuan dan persetujuan “dewan” itu. Tidak akan ada seorang
penguasa yang betapa pun kuatnya, berani melakukan suatu keputusan
dalam sebuah perkara penting yang bertentangan dengan pendapat tuha
peuet. Jika seorang uléebalang meninggal atau karena sesuatu hal ia tidak
sanggup menjalankan tugasnya, maka menjadi kewajiban bagi tuha peut,
setelah bermusyawarah dengan orang yang memang berhak menjadi
uleebalang, untuk menunjuk seorang pejabat yang baru.37
Penggolongan masyarakat Aceh atas dasar adat atau tradisi pada
masa sekarang sudah mulai berubah. Meskipun beberapa lapisan
tersebut masih ada dalam masyarakat, namun tidak lagi memperlihatkan
perbedaan-perbedaan yang tajam dalam kehidupan sehari-hari. Pada
masa sekarang telah muncul elite-elite baru dalam masyarakat Aceh,
terutama dipengaruhi oleh pesatnya perkembangan lembaga pendidikan
tinggi yang melahirkan alumni yang menempati beragam profesi baru di
luar mata pencaharian tradisional masyarakat Aceh.

37 A. J. Vleer, “Kedudukan Tuha Peut dalam Susunan Pemerintahan Negeri di Aceh” (terjemahan:
Aboe Bakar), Seri Informasi Aceh XXXXI Nomor 1, 2018 (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan
Informasi Aceh, 2018), hlm. 2–5.

26 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Budaya dan Masyarakat Aceh yang Islami

Aceh merupakan provinsi pertama di Indonesia yang memberlakukan


syariat Islam secara resmi. Realitas ini tidak terlepas dari kuatnya pengaruh
Islam di daerah tersebut. Sebagai wilayah pertama yang menerima dan
menyiarkan Islam di Nusantara, Islam telah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan masyarakat Aceh, sehingga Aceh senantiasa
dikonotasikan dengan Islam. Salah satu simbol kuatnya pengaruh Islam di
Aceh dapat dilihat dari banyaknya masjid dalam ukuran cukup besar yang
bertebaran di seluruh pelosok wilayah Aceh. Walaupun bagi sebagian
orang menganggap kedua realitas tersebut hanya sebagai simbol belaka,
namun kedua realitas tersebut tidak akan pernah terjadi jika semangat
religius tidak kuat pada masyarakat Aceh. Kentalnya pengaruh Islam
dalam budaya masyarakat Aceh mengakibatkan berkembangnya budaya
Islam, tidak hanya dalam bentuk adat maupun seni, melainkan juga dalam
suatu bentuk peradaban yang tinggi dan adiluhung. Peradaban inilah
yang memberikan rasa percaya diri pada masyarakat Aceh sebagai sebuah
masyarakat yang terhormat, mulia, dan berbudi-kebangsaan luhur.38
Kuatnya pengaruh Islam dalam masyarakat Aceh telah membuat
Aceh dijuluki dengan daerah Serambi Mekah. Munculnya julukan
tersebut berkaitan erat dengan praktik-praktik keagamaan bernapaskan
Islam yang telah diamalkan masyarakat Aceh sepanjang perjalanan
sejarah kehidupan kemasyarakatannya. Islam yang masuk pertama kali
ke Nusantara melalui Aceh telah berpengaruh dengan sangat mendalam
terhadap masyarakat daerah ini. Masyarakat Aceh yang islami merupakan
hasil adaptasi masyarakatnya dengan lingkungan alam, sosial, dan budaya
dalam waktu yang sangat lama. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika
Islam benar-benar telah merasuk ke dalam hampir seluruh sendi budaya
masyarakat Aceh. Hal ini tercermin, baik dalam sistem gagasan, perilaku,
maupun budaya materi yang dihasilkan masyarakat Aceh sepanjang
perjalanan sejarahnya.

38 Hasbi Amiruddin (Ed.), Aceh Serambi Mekah, (Banda Aceh Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, 2008), hlm. 1.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 27


Sumber inspirasi yang bernilai filosofis dan pola-pola kepemimpinan
dalam tatanan budaya masyarakat Aceh mengacu pada hadih maja
(peribahasa) berikut.

Adat bak Poeteu Meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala


Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana
Mate aneuk mupat jeurat, Gadoh adat pat tamita

Artinya:
Adat pada Poeteu Meureuhom (Sultan), Hukum pada Syiah Kuala (ulama)
Qanun pada Putri Pahang, Resam pada Laksamana
Mati anak kita tahu kuburannya, Hilang adat tidak tahu mau cari ke mana.

Hadih maja tersebut dapat dimaknai sebagai berikut, yaitu Poeteu


Meureuhom sebagai perlambang pemegang kekuasaan eksekutif dan
kebesaran Tanah Aceh; Syiah Kuala merupakan perlambang ulama
sebagai pemegang kekuasaan yudikatif; Putroe Phang sebagai perlambang
cendekiawan pemegang kekuasaan legislatif; dan Laksamana merupakan
perlambang keperkasaan dan kearifan dalam mengatur keragaman adat
kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat.39 Adat mempunyai arti yang
sangat penting bagi eksistensi masyarakat Aceh. Oleh karenanya, adat
harus selalu dijaga kelestariannya agar tidak punah akibat masuknya
pengaruh luar.
Bagi masyarakat Aceh, agama dan adat menjadi dua pilar penting
dalam penataan sosial. Sisi-sisi kehidupan sosial budaya Aceh dibangun
atas dasar agama dan adat. Keberadaan ulama merupakan manifestasi
dari adanya pilar agama dan adat yang perannya sangat penting
hingga mendapat perhatian khusus dalam kebijakan politik Belanda.40
Terintegrasinya budaya dengan agama dalam masyarakat Aceh dapat
dilihat dalam hadih maja berikut: “hukom ngen adat lagee zat ngen

39 Abdul Rani Usman, dkk., Budaya Aceh (Banda Aceh: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, 2009),
hlm. 32.
40 Irwan Abdullah, “Potensi Sosial Budaya Masa Depan Aceh”, Makalah Seminar Kebudayaan Pekan
Kebudayaan Aceh V, Banda Aceh 10–11 Agustus 2009, hlm. 3–4.

28 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


sifeut”, artinya hukum dengan adat seperti zat dengan sifat. Maksud
dari peribahasa tersebut adalah bahwa bagi masyarakat Aceh nilai-nilai
ajaran agama telah menjadi bagian integral dalam budaya mereka. Hal ini
memberi petunjuk bahwa masuknya agama Islam ke Aceh sudah cukup
lama dan berakar dengan kuat dalam masyarakat.
Dalam kaitan itu Shaikh Abbas Ibnu Muhammad alias Teungku
Chik Kutakarang (1889) yang dikutip oleh Ibrahim Alfian41 menulis “Adat
ban adat hokum ban hukom, adat ngon hukom sama kembar; tatkala
mufakat adat ngon hukom, nanggroe seunang hana goga”. Maknanya
“adat menurut adat, hukum syariat menurut hukum syariat, adat dengan
hukum syariat sama kembar; tatkala mufakat adat dengan hukum itu,
negeri senang tiada huru hara”. Beliau menambahkan: bahwasanya agama
Allah (Islam) dan raja-raja itu bersaudara keduanya, tiada hasil senang
raja-raja yang jauh daripada agama Allah dan tiada hasil senang agama
Allah yang jauh daripada raja-raja. Oleh karena itu, antara keduanya harus
seiring sejalan dan saling melengkapi sehingga akan tercapai masyarakat
yang aman dan makmur.
Adat dan tata cara hidup orang Aceh telah terjalin rapat dan
tidak terpisahkan dengan napas Islam. Ajaran-ajaran agama Islam yang
dihayati oleh orang Aceh sejak dahulu masih diamalkan sampai sekarang.
Pengaruh agama Islam yang kuat menyebabkan pola pikir, sikap, dan
perilaku masyarakat Aceh dalam kehidupan sehari-hari sedapat mungkin
disesuaikan dengan kaidah-kaidah Islam. Sebaliknya, praktik-praktik
keagamaan mereka sesuaikan pula dengan tradisi atau adat istiadat yang
berlaku. Kuatnya pengaruh agama Islam dalam masyarakat Aceh dapat
dilihat ketika terjadinya peperangan dengan Belanda, di mana melalui
semangat Islam yang dikobarkan oleh para ulama telah menjadikan
perang ini menjadi perang fisabilillah atau perang di jalan Allah.42
Integrasi Islam dengan budaya dan proses historis yang telah
berlangsung cukup lama telah berpengaruh terhadap perilaku kolektif
yang menjadi ciri khas orang Aceh yang membedakan mereka dengan

41 T. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan…(1987: 38).


42 Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Budaya Masyarakat Aceh (Banda Aceh: Badan Perpustakaan
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2004), hlm. 40–41.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 29


etnis lain. Islam di Aceh adalah Islam historis, Islam yang telah mengakar
dalam sendi-sendi kehidupan orang Aceh itu sendiri. Oleh karenanya,
sangat sulit memisahkan antara unsur budaya dengan ajaran agama dalam
sebuah rutinitas kultural orang Aceh. Budaya dan adat istiadat masyarakat
Aceh terformat secara bersahaja dengan muatan ajaran Islam, dan ajaran
Islam mewarnai segenap ritme dan ritual hidup orang banyak.43
Semangat religius yang menjadi ciri yang melekat pada masyarakat
Aceh berkaitan erat dengan adanya pengaruh Islam yang terjadi secara
intensif di wilayah ini dalam waktu yang panjang. Aceh merupakan
wilayah pertama di Nusantara yang mendapat pengaruh Islam. Agama dan
kebudayaan Islam mendapat sambutan yang baik dari masyarakat Aceh
sehingga Islam dapat menyebar luas dalam waktu yang singkat hampir ke
seluruh wilayah Aceh. Islam telah menjadi identitas baru bagi masyarakat
Aceh. Secara politik pun kerajaan-kerajaan di Aceh telah bertransformasi
secara utuh dari kerajaan yang bercorak Hindu-Budha menjadi kerajaan
Islam. Selanjutnya, simbol-simbol resmi yang digunakan oleh kerajaan-
kerajaan di Aceh hampir semuanya berubah menjadi simbol-simbol yang
bercirikan Islam, seperti gelar raja yang memerintah maupun simbol yang
digunakan pada mata uang kerajaan. Para ahli menyimpulkan bahwa
terdapat empat faktor yang menyebabkan mengapa Islam dengan mudah
diterima dan menyebar cepat ke segenap lapisan masyarakat Aceh sejak
masa-masa awal kehadirannya sampai sekarang. Keempat faktor yang
saling berkaitan tersebut adalah: pertama, karena Islam lebih dahulu
diperkenalkan melalui jalur kekuasaan; kedua, adanya kepentingan yang
sama antara pendatang dengan masyarakat lokal; ketiga, penyebaran
Islam dilakukan dengan cara persuasif, bukan pemaksaan; dan keempat,
sifat inklusif ajaran Islam dengan watak sufistiknya yang dominan. Faktor-
faktor tersebut sangat relevan dengan kondisi masyarakat saat itu yang
tidak bisa dipungkiri bahwa setelah Islam diterima para penguasa (raja)
dan kalangan “istana” lainnya, baru kemudian menyebar ke seluruh
lapisan masyarakat, dan seterusnya menyebar ke seluruh Nusantara dan
Asia Tenggara.44

43 Hasbi Amiruddin (ed.), Aceh Serambi Mekah…, (2008: 175).


44 Hasbi Amiruddin (ed.), Aceh Serambi Mekah…, (2008: 169–170).

30 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Sebagai kelompok masyarakat pertama yang menerima Islam secara
utuh, Aceh telah berkontribusi besar dalam proses penyebaran agama
Islam ke wilayah Nusantara. Proses penyebaran Islam ini dilakukan oleh
para saudagar yang sekaligus sebagai pendakwah. Mereka menyebarkan
Islam dengan mengikuti jalur perdagangan kuno yang sudah berlangsung
lama melalui Selat Malaka. Besarnya peranan Aceh dalam penyebaran
Islam dapat dilihat dari bukti arkeologis yang masih dapat dilihat sampai
sekarang melalui peninggalan nisan-nisan kubur yang dikenal dengan
sebutan “batu Aceh” yang tersebar luas di beberapa tempat di Pulau
Sumatra dan Semenanjung Malaya.45
Kuatnya pengaruh Islam di Aceh dan juga peran Aceh yang sangat
besar dalam proses penyebaran Islam di Nusantara dan Asia Tenggara
juga terlihat dari ditabalkannya Aceh dengan sebutan Serambi Mekah.
Penyebutan ini menurut Hasbi Amiruddin bukanlah merupakan sebuah
peristiwa, tetapi sebuah ungkapan apresiasi masyarakat muslim terhadap
Aceh yang begitu gigih mengembangkan dan mempertahankan Islam
sebagai agama yang suci. Sejak awal memeluk Islam, masyarakat Aceh
telah menjadikan Islam sebagai barometer kehidupan mereka. Islam
menjadi rujukan bagi masyarakat Aceh dalam menyelesaikan segala
permasalahan baik persoalan politik, ekonomi, sosial budaya, maupun
sosial keagamaan.46

Bandar-Bandar Penting Sebelum Aceh


Darussalam

S ebagai wilayah yang terletak di pintu utama jalur pelayaran Selat


Malaka, banyak tumbuh bandar perdagangan di sepanjang pesisir
pantai Aceh sebelum berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam. Bandar-
bandar tersebut telah memainkan peranan penting dalam konektivitas
pelayaran dan perdagangan di Kepulauan Indonesia dan mancanegara.

45 Husaini Ibrahim, Awal Masuknya Islam ke Aceh: Analisis Arkeologis dan Sumbangannya pada
Nusantara (Banda Aceh: Aceh Multivision, 2014), hlm. 54–55.
46 Hasbi Amiruddin (ed.), Aceh Serambi Mekah…, (2008: xi).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 31


Di antara bandar tersebut terdapat empat bandar perdagangan penting,
yaitu Lamuri, Pasai, Pedir, dan Singkel.

Lamuri

Lamuri atau Lamri merupakan kerajaan maritim yang terletak di tepi


pantai dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar sekarang. Wilayah ini di
dalam naskah Hikayat Aceh disebut “Teluk Lamri”, dan dalam buku
Ying-Yai-Sheng-Lan (1416) disebut “Laut Lamri”. Keterangan-keterangan
tersebut membuktikan bahwa Lamuri ini terletak di tepi pantai/teluk.
Oleh karenanya, T. Iskandar berkesimpulan bahwa Lamuri terletak dekat
Krueng Raya sekarang yang teluknya sekarang dinamakan dengan nama
yang sama, yaitu Lamreh. Selain itu, bukti-bukti lain yang dikemukakan
oleh T. Iskandar untuk memperkuat pendapatnya antara lain ialah sisa-
sisa bangunan peninggalan zaman dahulu yang terletak di sekitar daerah
ini yang diduga berasal dari zaman Lamuri.47
Walaupun tidak semua ahli sependapat dengan kesimpulan T.
Iskandar mengenai letak Kerajaan Lamuri, namun hampir semua mereka
setuju bahwa Lamuri merupakan kerajaan maritim yang sering disinggahi
oleh pedagang-pedagang luar negeri. Sebagai kerajaan maritim yang
secara geografis terletak pada pintu masuk Selat Malaka, pelabuhan-
pelabuhan di Kerajaan Lamuri menjadi pintu gerbang perdagangan luar
negeri yang penting. Perdagangan dengan bangsa asing itulah yang
menjadi penghasilan utama Kerajaan Lamuri. Sumber-sumber yang
ada membuktikan bahwa pedagang-pedagang dan penjelajah muslim
dari Arab dan Persia merupakan pedagang mancanegara yang paling
awal singgah dan berdagang di pelabuhan-pelabuhan Lamuri, seperti
kesimpulan A. K. Dasgupta yaitu: “The Sumatran port-towns had, of
course, been quite accustomed to receiving Moslem traders and travellers
for a long time before Islam came to be accepted as a creed” (Kota-kota

47 Teuku Iskandar, De Hikajat Atjeh, Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en
Volkenkunde, No. 26 (The Hague: Nijhoff, 1958), hlm. 28–30. Lihat juga Zakaria Ahmad. “Sejarah
Aceh Sebelum Islam”, Makalah, disajikan dalam “Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam
di Daerah Istimewa Aceh”, di Banda Aceh, tanggal 10–16 Juli 1978, hlm. 22.

32 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


pelabuhan di Sumatra sudah cukup lama menerima pedagang-pedagang
dan penjelajah-penjelajah Muslim, jauh sebelum Islam menjadi anutan
utama masyarakat daerah ini).48
Berita Cina paling tua yang berasal dari tahun 960, menyebutkan
bahwa Lamuri dengan sebutan Lanli, merupakan sebuah tempat yang
dapat disinggahi oleh utusan-utusan Persia yang kembali dari Cina
sesudah berlayar 40 hari lamanya; di sana mereka menanti musim teduh
untuk seterusnya berlayar lagi ke negeri asal mereka.49 Catatan seorang
muslim Persia bernama Buzurg yang tahun 955 mengunjungi Sriwijaya
menyebutkan bahwa di Lamuri banyak pedagang-pedagang dari Persia.
Mereka yang karam di laut dalam perjalanannya dari Barus telah bertemu
dengan sanak saudaranya di Lamuri, sesampainya di sana mereka
meminta pertolongan dan untuk selanjutnya saudagar-saudagar tersebut
dikirimkan ke negeri asalnya, Persia. Oleh karena itu, G. R. Tibbats
menyebut Lamuri sebagai pusat perkampungan perdagangan.50
Masa awal perkembangannya Lamuri merupakan bagian dari
Kerajaan Sriwijaya, seperti disebutkan dalam Prasasti Tanjore (1030).
Prasasti tersebut memuat laporan ekspedisi Rajendracola I yang
menyebutkan salah satu daerah yang ditaklukkan pada tahun 1025
adalah Ilamuridecam (Lamuri) yang merupakan daerah takluk Sriwijaya.
Selanjutnya, sumber Cina, Chau-Yu-Kwa dalam bukunya Chen Fan-
Che (1225) menyebutkan bahwa di antara jajahan San-fo-ts’I (Sriwijaya)
termasuk juga Lan-wu-li (Lamuri).51 Ini membuktikan bahwa sampai paruh
pertama awal abad ke-13, Lamuri masih merupakan kerajaan yang takluk
di bawah Kemaharajaan Sriwijaya. Sebagai bukti kesetiaannya, tiap tahun
Kerajaan Lamuri mengirim upeti ke Sriwijaya di Palembang sebagaimana
diungkapkan oleh F. Hirth yang dikutip A. K. Dasgupta, yaitu “it used to
send yearly tribute to San-fo-ch’1 (Palembang).52

48 A. K. Das Gupta, “Acheh in Indonesian Trade and Politics, 1600–1641”, Unpublished P.hD. Thesis,
Cornell University, 1962, hlm. 10.
49 A. K. Das Gupta, “Acheh in Indonesian…”, (1962: 6). Lihat juga Zakaria Ahmad., “Sejarah Aceh...,
(1978: 19).
50 Muhammad Said, Aceh Sepanjang…, (1981: 11).
51 Zakaria Ahmad, “Sejarah Aceh…”, (1978: 19).
52 A. K. Das Gupta, “Acheh in Indonesian…”, (1962: 7).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 33


Pengaruh Sriwijaya di Kerajaan Lamuri berakhir menjelang akhir
abad ke-13. Dalam usaha menjaga eksistensinya, Lamuri mencari
kekuatan baru yang dapat dijadikan pelindungnya (patron). Sebagaimana
umumnya dilakukan oleh negeri-negeri lain di Asia Tenggara, Kerajaan
Lamuri memilih Cina menjadi patron. Implikasi dari kebijakan tersebut
adalah Lamuri harus mengirim upeti secara rutin tiap tahun sebagai tanda
setia. Hal ini terdokumentasi dengan sangat bagus di Cina. Dari sumber
Cina disebutkan bahwa pada 1281 dan 1286, Lamuri (Nan-wu-li) dan tiga
negeri lainnya mengirim upeti ke negeri Cina, dan berdiam di sana sambil
menunggu berakhirnya ekspedisi Kubilai Khan ke Jawa. Menurut Arum
K. Dasgupta, informasi dari sumber ini membuktikan bahwa sejak tahun
1280-an, Lamuri bukan lagi merupakan bagian dari Kerajaan Sriwijaya.53
Hal ini diperkuat oleh catatan Marco Polo ketika tiba di Sumatra pada
tahun 1292 ia mendapatkan delapan buah kerajaan di sana, di antaranya
adalah Lamri (Lamuri) yang tunduk pada Kaisar Cina.54
Pengiriman upeti tanda setia kepada Kaisar Cina masih dilakukan
Kerajaan Lamuri sampai abad ke-15. Dalam buku tahunan Dinasti Ming,
yang dikutip dari Zakaria Ahmad, dijelaskan pada tahun 1405 telah dikirim
ke Lam-bu-li (Lamuri) sebuah cap dan sebuah surat, dan pada tahun
1411 negeri ini mengirim utusan ke Cina untuk membawa upeti, yang
kemudian kembali bersama-sama ekspedisi Cheng-ho. Pada tahun 1412
Raja Maha-ma-shah (Muhammad Syah) dari Lam-bu-li (Lamuri) bersama
negeri Samudra mengutus sebuah delegasi ke Cina untuk membawa upeti.
Sewaktu Cheng-ho membawa hadiah ke seluruh negeri pada tahun 1430,
Lamuri pun mendapatkannya. Menurut T. Iskandar, besar kemungkinan
bahwa pengiriman hadiah-hadiah ini bukanlah untuk pertama kali karena
pada lonceng Cakradonya, yang dulunya tergantung di istana Sultan dan
sekarang di Museum Aceh, terdapat angka tahun 1409 dengan tulisan
Cina dan Arab.55 Pentingnya pelabuhan-pelabuhan bagi Kerajaan Lamuri
juga diperkuat oleh kesimpulan Denys Lombard yang mengatakan bahwa
pernah ada beberapa pelabuhan dagang di pinggiran sebuah daerah

53 A. K. Das Gupta, “Acheh in Indonesian…”, (1962: 7).


54 Marco Polo, A Travel of Marco Polo, A Venetian in the Thirteenth Century. London: Cox and Bailsy,
1818, hlm. 612; Zakaria Ahmad, “Sejarah Aceh…”, (1978: 22).
55 Zakaria Ahmad, “Sejarah Aceh…”, (1978: 22).

34 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


yang pasti masih cukup primitif dan bahwa pelabuhan-pelabuhan itu
dihidupkan oleh pedagang-pedagang yang datang merapat; kapal-kapal
datang dari Cina dan India dan memuat hasil-hasil yang tinggi nilainya
(kamper, kayu sepang, kayu gaharu, kasturi) yang dapat dikumpulkan dari
hutan-hutan pedalaman.56
Kedatangan pedagang-pedagang Cina pada akhir abad ke-13
membuat pelabuhan-pelabuhan di Kerajaan Lamuri semakin ramai dan
maju. Menurut Arum K. Dasgupta, suatu perubahan yang sangat penting
terjadi pada akhir abad ke-13, yakni dibangunnya hubungan langsung
antara Lamuri dengan Cina. Cina selalu menganggap sangat penting
posisi Selat Malaka sebagai jalur perdagangan antara Barat dengan
Timur, terutama ketika Dinasti Tang berkuasa, sebuah kekuasaan yang
menerapkan kebijakan politik yang memberikan perhatian yang besar
terhadap perdagangan luar negeri. Implikasinya adalah perdagangan
Cina yang dulunya hanya dengan wilayah di Laut Cina Selatan kemudian
berkembang sampai ke wilayah-wilayan di Lautan Hindia. Malahan mulai
saat itu para pedagang Persia pun mulai berkunjung ke Cina.57
Pelabuhan Lamuri yang terletak di jalur pelayaran antara Cina dengan
Persia menjadi tempat persinggahan dan pusat perdagangan masih
berlangsung sampai awal abad ke-14 M. Penjelajah Persia Rashiduddin
pada tahun 1310 mengatakan bahwa banyak pedagang asing dari
berbagai negeri datang ke Lamuri untuk berdagang. Friar Odoric dari
Pordenone pada tahun 1323 juga mengatakan bahwa Lamuri merupakan
pusat perdagangan di mana banyak pedagang dari negeri yang jauh
berkumpul di sana.58 Kedua keterangan ini diperkuat oleh sumber Cina,
Wang Ta-yuan yang ditulis pada tahun 1349, mengatakan bahwa Nan-
wu-li (Lamuri) merupakan pusat perdagangan yang sangat penting. Dia
juga menyebutkan bahwa barang dagangan lokal yang dihasilkan oleh
penduduk Lamuri adalah cranes’ nests (suatu jenis burung bangau), kulit
penyu, kayu laka (gaharu) yang aromanya berkualitas super; sedangkan

56 Denys Lombard, Kerajaan Aceh..., (2008: 59)


57 A. K. Das Gupta, “Acheh in Indonesian…”, (1962: 6).
58 E. Edwards McKinnon, “Beyond Serandib: A Note on Lambri at the Northern Tip of Aceh”, Journal
Indonesia, Vol., 46, October 1988: 106.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 35


komoditas yang diperdagangkan oleh saudagar Cina adalah emas, perak,
barang-barang peralatan dari besi, minyak mawar, kain katun merah,
kapur barus, porselen yang didesain dalam warna biru dan putih.59
Berdasarkan sumber yang berhasil diperoleh, E. Edwards McKinnon60
mencoba membuat daftar beberapa jenis barang baik yang diproduksi
sendiri maupun yang tersedia di pasar Lamuri masa kejayaannya, di
antaranya adalah:
1. Brazilwood atau kayu sapan/secan/sepang atau dalam bahasa Aceh
disebut seupeung (caesalpinia sappan L), adalah sejenis kayu yang
hatinya hitam kemerahan, digunakan oleh orang Cina sebagai
pewarna makanan dan oleh orang Hindu (India) sebagai penghias
wajah pada perayaan keagamaan. Barang ini terutama dihasilkan
oleh pedalaman Lamuri sendiri.
2. Kapur barus merupakan resin (damar) yang beraroma yang diambil
dari pohon kapur barus (dryobalanops aromatics). Kapur barus
dengan kualitas super berasal dari daerah Singkil dan Barus atau
Fansur, yang terletak beberapa jauh di bagian selatan Lamuri.
3. Coral atau batu karang berasal dari Pulau Weh. Batu karang dengan
varietas berwarna merah mempunyai nilai yang sangat tinggi saat
itu.
4. Cranes’ Nests adalah suatu jenis burung bangau yang digunakan
sebagai salah satu properti untuk praktik magic. Komoditas ini agak
kurang jelas apakah dijual oleh pedagang Cina untuk pasar di Cina
atau pasar di negeri-negeri di Asia Tenggara lainnya.
5. Emas dalam berbagai macam jenis terdapat di Lamuri yang
diperkirakan berasal dari pedalaman Lamuri di Bukit Barisan di
mana cadangan emasnya yang terkenal di beberapa lokasi, seperti
di wilayah Meulaboh, Lhok Kruet, dan dekat Calang. Tome Pires
mencatat bahwa pada awal abad ke-16, emas dibawa melewati
pegunungan dari Meulaboh ke Pedir, dan serbuk emas telah
diperdagangkan di Pasai. Dari keterangan ini mengindikasikan

59 E. Edwards McKinnon, Beyond Serandib…, (1988: 107).


60 E. Edwards McKinnon, Beyond Serandib…, (1988: 111–113).

36 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


bahwa emas sudah diperdagangkan di Lamuri dari awal munculnya
kerajaan ini.
6. Gading gajah yang diperkirakan tersedia dalam jumlah yang sangat
banyak di Lamuri, karena menurut catatan dari Mas’udi jumlah gajah
yang sangat banyak di hutan Sumatra.
7. Lίgn-aloes (gaharu) yang dikenal juga dengan kalambak atau
kelembak dalam bahasa Melayu merupakan produk utama di Lamuri
dan selalu tersedia.
8. Rotan yang pada zaman modern terutama digunakan untuk
furniture dan keranjang, untuk jenis tertentu cukup tahan lama
untuk dijadikan sebagai tali jangkar dan tali penambat, dan lainnya
digunakan sebagai anyaman (tikar) dan bahan konstruksi rumah.
9. Timah seperti disebutkan oleh Chau Ju-kua yang dibeli oleh pedagang
Arab dalam perjalanan pulang ke Barat. Komoditas ini secara alami
tidak tersedia di sekitar Lamuri, tetapi diperkirakan timah dibawa
dari Kedah atau tempat lain di Semenanjung Malaya.
10. Penyu atau kulit penyu dulunya dipercaya dapat mendeteksi racun.
Dalam kurun waktu sekitar dua ribu tahun kulit penyu telah diimpor
ke Cina di mana ia digunakan secara luas untuk tujuan dekoratif.
Setelah mengalami masa-masa keemasannya sebagai salah satu
pusat perdagangan penting di Selat Malaka, Kerajaan Lamuri mengalami
kemunduran dan akhirnya runtuh akibat sering terjadi peperangan. Selain
berperang mempertahankan diri dari penaklukan asing, dari beberapa
sumber juga diketahui bahwa Kerajaan Lamuri sering berkonflik dengan
kerajaan-kerajaan tetangga, seperti Samudra, Pedir, dan Darul Kamal.
Dari sumber Persia yang dilaporkan oleh Pra Odorigo dari Pordenone,
yang pernah singgah di Lamori (Lamuri), didapat informasi bahwa “negeri
ini sering berperang dengan Sumoltra (Samudra) yang terletak di bagian
selatan.”61 Selain dengan Kerajaan Samudra, Kerajaan Lamuri juga sering
berperang dengan Kerajaan Pedir yang berbatasan langsung dengannya.
Di akhir peperangan Kerajaan Pedir berhasil menaklukkan Kerajaan
Lamuri. Menurut T. Iskandar, serangan Kerajaan Pedir merupakan salah

61 Zakaria Ahmad, “Sejarah Aceh…”, (1978: 20).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 37


satu penyebab pindahnya Kerajaan Lamuri ke Makota Alam (Kuta Alam) di
lembah Aceh. Pendapat T. Iskandar ini senada dengan apa yang dikatakan
Arum K. Dasgupta, yaitu “Lamri lost importance in the fifteenth century
when, possibly due to pressure from the expanding state of Pedir, its rulers
moved inland to Makota Alam In the Acheh valley” (Lamri kehilangan
pengaruhnya pada abad ke-15, mungkin karena tekanan dari ekspansi
wilayah Kerajaan Pedir, sehingga para penguasanya pindah ke pedalaman
ke Makota Alam di lembah Aceh Besar sekarang).62 Setelah itu Kerajaan
Lamuri lebih dikenal dengan Kerajaan Makota Alam.
Pemindahan pusat kekuasaan ke Makota Alam memunculkan
masalah lain. Kerajaan Lamuri (Makota Alam) kemudian mulai terlibat
konflik dengan tetangga lain yang letaknya sangat berdekatan, yaitu
Kerajaan Darul Kamal. Sumber Hikayat Aceh yang dirujuk T. Iskandar
menyebutkan bahwa pada akhir abad ke-15, setelah pemindahan
Kerajaan Lamuri ke Makota Alam (Kuta Alam), di lembah Aceh terdapat
2 buah kerajaan, yaitu Kerajaan Makota Alam dan Kerajaan Darul Kamal
yang daerahnya masing-masing dipisahkan oleh Krueng Aceh (Sungai
Aceh). Kedua kerajaan tersebut tidak pernah hidup rukun dan selalu
bermusuhan. Peperangan yang sering terjadi tidak satu pun yang berhasil
menghancurkan lawan. Padahal Kerajaan Makota Alam misalnya telah
memperkuat dirinya dengan mendatangkan meriam dari luar negeri
melalui Teluk Lamri. Pertentangan kedua kerajaan itu berakhir setelah
Kerajaan Makota Alam, yang pada waktu itu diperintah oleh Sultan Syamsu
Syah putra Munawar Syah melakukan suatu siasat yang licik. Di dalam
Hikayat Aceh diceritakan bahwa Syamsu Syah berpura-pura mengakhiri
permusuhan yang berlarut-larut itu dengan cara menjodohkan putranya
Ali Mughayat Syah dengan putri Sultan Muzaffar Syah. Dalam arak-arakan
mengantar mas kawin ke Darul Kamal, disembunyikan senjata perang.
Sesampai di Darul Kamal pasukan Makota Alam mengadakan serangan
tiba-tiba yang mengakibatkan banyak pembesar Darul Kamal terbunuh,
termasuk Sultan Muzakkar Syah sendiri. Sejak saat itu Sultan Syamsu
Syah dari Makota Alam memerintah kedua kerajaan itu sampai putranya

62 Teuku Iskandar, “De Hikajat Atjeh”, dalam Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-,
Land- en Volkenkunde, No. 26 (The Hague: Nijhoff, 1958), hlm. 28–30.

38 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Ali Mughayat Syah dinobatkan menjadi raja pada tahun 1516.63 Dengan
kejadian tersebut berakhir pula masa kekuasaan Kerajaan Lamuri di Aceh.

Samudra Pasai

Pasai atau lebih dikenal sebagai Samudra Pasai merupakan kerajaan Islam
terbesar pertama di Asia Tenggara. Kemunculan kerajaan ini diperkirakan
pada awal atau pertengahan abad ke-13 Masehi, sebagai hasil dari proses
islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi oleh pedagang-
pedagang muslim. Informasi tentang keberadaan Kerajaan Samudra Pasai
sangat banyak, baik sumber lokal berupa tinggalan arkeologis dan Hikayat
Raja-raja Pasai, maupun laporan dari para pedagang dan penjelajah asing.
Bukti arkeologis berdirinya Kerajaan Samudra Pasai pada abad ke-13 M
dengan cukup jelas tertera pada batu nisan raja pertama kerajaan tersebut,
Sultan Malik As-Salih, yang terbuat dari batu granit yang terdapat inskripsi
meninggalnya sang sultan pada tahun 696 H, yang bertepatan dengan
tahun 1297 M.64 Informasi tentang Malik al-Salih sebagai pendiri Kerajaan
Samudra Pasai disebutkan dengan cukup jelas dalam sumber lokal Hikayat
Raja-raja Pasai. Dalam hikayat ini secara eksplisit disebutkan bahwa proses
pengislaman di kerajaan tersebut terjadi masa kekuasaan Sultan Malik
al-Salih. Ia sendiri disebutkan sebelum memeluk agama Islam bernama
Meurah Silu.
Selain sumber lokal, keberadaan Kerajaan Samudra Pasai juga
didukung oleh berita dari Cina dan informasi dari seorang pengembara
terkenal asal Maroko, Ibnu Batutah, yang pernah singgah di Samudra
Pasai dalam perjalanannya dari Delhi ke Cina pada tahun 746 H atau 1345
M. Saat itu kerajaan ini diperintahi oleh Sultan Malik al-Zahir. Sumber-
sumber dari Cina menyebutkan bahwa pada awal tahun 1282 M, sebuah
kerajaan kecil “Sa-mu-ta-la” (Samudra) mengirim utusan kepada raja Cina
dengan nama-nama muslim yaitu Husein dan Sulaiman.65 Sementara itu,

63 Teuku Iskandar, “De Hikajat Atjeh…”, (1958: 35); Zakaria Ahmad, “Sejarah Aceh…”, (1978: 24).
64 Hasbi Amiruddin (ed.), Aceh Serambi…(2008: 38).
65 H. J. De Graf, “Islam di Asia Tenggara sampai Abad ke-18” dalam Azyumardi Azra (ed.), Persepektif
Islam di Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), hlm. 3.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 39


Ibnu Batutah lebih banyak mencatat tentang kondisi di dalam Kerajaan
Samudra Pasai itu sendiri. Ia mengatakan bahwa Islam sudah hampir
seabad lamanya disiarkan di Samudra Pasai. Selain menceritakan tentang
kesalehan dan kerendahan hati rajanya, Ibnu Batutah juga mengatakan
bahwa Kerajaan Samudra Pasai ketika itu telah menjadi pusat studi agama
Islam dan tempat berkumpulnya ulama-ulama dari berbagai negeri Islam
untuk memecahkan berbagai persoalan keagaman dan keduniaan.66
Dari sisi peta politik, munculnya Kerajaan Samudra Pasai pada abad
ke-13 M sejalan dengan mundurnya peranan maritim Kerajaan Sriwijaya
yang sebelumnya memegang peranan penting di kawasan Sumatra dan
sekitarnya.67 Sebagai kerajaan yang murni maritim, basis perekonomian
Kerajaan Samudra Pasai adalah perdagangan dan pelayaran. Pengawasan
terhadap perdagangan dan pelayaran merupakan sendi-sendi utama
kekuasaan yang memungkinkan kerajaan itu memperoleh pendapatan dari
pajak yang besar. Salah satu di antaranya adalah pajak yang dibebankan
kepada setiap kapal dagang dari Barat yang singgah di pelabuhan
kerajaan ini sebesar enam persen. Dengan letaknya yang strategis bandar
pelabuhan ini banyak dikunjungi oleh kapal dagang dari Barat atau
dari Timur, sehingga kerajaan tersebut menjadi makmur. Kemakmuran
kerajaan ini dapat dilihat dari penggunaan mata uang emas dramás
(dirham) sebagai alat tukar resmi, terutama dalam aktivitas perdagangan
seperti disebutkan oleh Tome Pires dalam laporan perjalanannya.68
H. K. J. Cowan yang pernah meneliti mata uang Kerajaan Samudra
Pasai, menyebutkan bahwa mata uang tersebut menggunakan nama-
nama sultan yang memerintah di Kerajaan Samudra Pasai pada abad ke-
14 dan 15 M, seperti Sultan Alauddin, Sultan Manshur, Malik al-Zahir,
Sultan Abu Zaid, dan Sultan Abdullah. Pada tahun 1973 ditemukan lagi 11
keping mata uang dirham Samudra Pasai, di antaranya bertuliskan nama
Sultan Muhammad Malik al-Zahir, Sultan Ahmad, dan Sultan Abdullah.
Berdasarkan sumber mata uang dirham tersebut diketahui nama-nama

66 Hasbi Amiruddin (ed.), Aceh Serambi…(2008: 39–40).


67 Uka Tjadrasasmita, “Proses Kedatangan Islam dan Munculnya Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh”,
dalam A. Hasjmy (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Bandung: Al-ma’arif,
1989), hlm. 362.
68 Armando Cortesao (ed.), The Suma Oriental of Tome Pires (London: Hakyut Society, 1944), hlm. 144.

40 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


dan urutan raja-raja yang memerintah di Kerajaan Samudra Pasai sejak
raja pertama Sultan Malik al-Salih yang memerintah sampai tahun 1297
sampai raja terakhir, Sultan Zain al-Abidin (1513–1524 M).69
Kerajaan Samudra Pasai menjadi pusat perdagangan dan pusat
penyebaran agama Islam yang penting di Asia Tenggara sejak abad ke-
13 M. Perkembangan Kerajaan Samudra Pasai berlangsung sangat cepat
karena terletak pada pintu gerbang Selat Malaka. Selain letak yang strategis,
cepatnya keterlibatan kerajaan ini dalam perdagangan internasional
didukung oleh tiga faktor lain, yaitu adanya komoditas unggulan yang
dihasilkan oleh Pasai, pengaruh angin muson, dan runtuhnya kekuasaan
Sriwijaya. Komoditas hasil pertanian unggulan yang dihasilkan dan
cukup menarik minat para pedagang Arab untuk singgah berdagang
di Pelabuhan Pasai adalah lada dan rempah-rempah lainnya serta kayu
wangi. Semua komoditas tersebut merupakan komoditas unggulan yang
sangat penting artinya pada saat itu, baik untuk Negeri-negeri di Atas
Angin maupun Negeri-negeri di Bawah Angin. Rempah-rempah selain
digunakan sebagai bumbu masakan, juga digunakan sebagai bahan
untuk mengawetkan makanan, terutama daging. Sebaliknya, komoditas
kayu wangi tidak digunakan untuk makanan, tetapi sebagai pengharum
badan yang dilakukan dengan proses pengasapan (sauna). Komoditas ini
sangat diminati oleh para pedagang dari Arab dan India, serta pedagang-
pedagang mancanegara lainnya.
Selain adanya komoditas yang ditawarkan, letak Pasai yang sangat
strategis pada jalur perdagangan antara India dan Cina menjadikannya
sebagai tempat persinggahan yang ideal bagi para pedagang. Setelah
berlayar jauh, baik dari Arab, India, atau Cina, para pedagang singgah
di Pasai sambil menunggu perubahan arah angin muson. Seperti yang
disebut sebelumnya, faktor pengaruh angin muson ini seringkali
menyebabkan para pedagang harus tinggal dalam waktu yang cukup
lama di Pasai untuk menunggu kembalinya arah angin yang berembus
sesuai dengan tujuan pelayaran mereka.

69 Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, “Proses Islamisasi dan Munculnya Kerajaan-Kerajaan Islam di
Aceh” dalam A. Hasjmy (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Bandung: Al-
ma’arif, 1989), hlm. 430.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 41


Faktor penting lainnya yang membuat Pasai terlibat dalam
perdagangan internasional adalah runtuhnya kekuasaan Sriwijaya.
Runtuhnya dominasi Sriwijaya menyebabkan terjadinya kekosongan
kekuasaan di kawasan itu dan telah memungkinkan berkembangnya Pasai
sebagai bandar perdagangan penting di kawasan Selat Malaka. Seiring
dengan melemahnya Sriwijaya, Pasai yang sebelumnya merupakan vasal
dari Kerajaan Sriwijaya berhasil melepaskan diri dan menjadi kerajaan
merdeka. Sejak paruh kedua abad ke-12 dan awal abad ke-13, Pasai mulai
bangkit dan menjadi bandar perdagangan yang penting di Selat Malaka.70
Majunya aktivitas perdagangan menyebabkan Pasai menjadi
kerajaan yang makmur. Menurut keterangan Tome Pires71 Kerajaan Pasai
saat itu sangat kaya raya, memiliki banyak penduduk dan menjalankan
perdagangan dalam skala besar. Ibu kota Kerajaan Pasai yang juga
bernama Pasai, yang sebagian orang menyebutnya Camotora (Samudra),
adalah kota terpenting pada masanya untuk seluruh Pulau Sumatra. Hal
ini disebabkan oleh karena tidak ada tempat lain di Pulau Sumatra yang
mengatasi Pasai. Kota Pasai saat itu ditaksir memiliki penduduk tidak
kurang dari 20.000 jiwa.
Majunya perdagangan ini telah menyebabkan Pasai memegang
peranan penting dalam persebaran Islam ke seluruh Nusantara dan
bahkan ke Asia Tenggara. Hubungannya yang erat dengan negeri Arab
dan India telah menjadikan Pasai sebagai negeri paling awal mendapat
pengaruh Islam. Untuk masa selanjutnya, Pasai menjadi pusat penyebaran
Islam ke wilayah Asia Tenggara. Patani diislamkan pada abad ke-14,
Malaka pada abad ke-15, seterusnya ke Jawa. Malahan, satu dari sembilan
orang penyebar Islam di Pulau Jawa (Wali Songo) berasal dari Pasai.72
Para pedagang Pasai selain melakukan aktivitas perdagangan ke wilayah
lain, juga sekaligus bertindak sebagai pendakwah. Hal ini dimungkinkan

70 M. Gade Ismail, Pasai dalam Perjalanan Sejarah: Abad ke-13 sampai Awal Abad ke-14 (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1997), hlm. 22–23.
71 Tome Pires, Suma Oriental: Perjalanan dari Laut Merah ke Tiongkok & Buku Francisco Rodrigues
(Yogyakarta: Ombak, 2014), hlm. 202–203.
72 T. Iskandar, “Aceh dalam Lintasan Sejarah: Suatu Tinjauan Kebudayaan”. Makalah pada “Seminar
Kebudayaan dalam rangka PKA II dan Dies Natalis ke-11 Universitas Syiah Kuala”, 21–25 Agustus
1972.

42 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


karena pada pusat pemerintahan Pasai sendiri, kegiatan keagamaan cukup
semarak, terutama dalam kehidupan keagamaan di istana. Hal ini sesuai
dengan informasi yang didapat dari laporan perjalanan Ibnu Batutah yang
pernah dua kali singgah di Pasai dalam perjalanan pulang dari India ke
Cina pada tahun 1345, masa pemerintahan Sultan Malik al-Zahir.
Dalam laporannya Ibnu Batutah menyebutkan bahwa Sultan yang
memerintah di Pasai adalah Sultan Malik al-Zahir, seorang raja yang sangat
alim, bijaksana, berani, dan ia selalu dikelilingi oleh para ulama, yang salah
seorang di antaranya adalah Qadhi Syarif Amir Sayyid dari Shiraz, dan
Tajal-Din dari Isfahan. Sultan berjalan kaki ke masjid untuk melaksanakan
salat Jumat dengan busana yang sama dengan yang dipakai oleh para
ulama, dan ia baru kembali ke istana setelah salat asar. Ibnu Batutah
juga menceritakan bahwa sultan Kerajaan Samudra Pasai mengadakan
perang dalam upaya proses pengislaman negeri-negeri sekitar. Malahan
ada di antara ulama Pasai yang seperti diceritakan dalam Hikayat Patani
meninggalkan negerinya menuju ke negeri Patani untuk menyebarkan
dan mengembangkan agama Islam di wilayah tersebut.73
Kuatnya pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakat di Kerajaan
Samudra Pasai tercermin dalam sistem pengeluaran mata uang kerajaan
yang bernapaskan Islam. Samudra Pasai merupakan kerajaan Islam
pertama di kawasan ini yang menggunakan mata uang emas. Di bawah
Sultan Muhammad Malik az-Zahir (1297–1326), Kerajaan Samudra Pasai
mengeluarkan mata uang emas yang sampai saat ini dianggap sebagai
dirham yang tertua. Kerajaan ini mulai berkembang sebagai pusat
perdagangan dan pusat pengembangan agama Islam di Selat Malaka
pada akhir abad ke-13 M.74 Pada tahun 1414 raja pertama Kerajaan
Malaka, Parameswara, mengadakan aliansi dengan Kerajaan Samudra
Pasai, dengan memeluk agama Islam dan menikahi putri Pasai. Banyak
pedagang datang dari Pasai yang memperkenalkan sistem penempaan
mata uang emas yang dinamakan dirham ke Malaka.75

73 M. Gade Ismail, Pasai dalam…, (1997: 26–27). Lihat juga Husaini Ibrahim, Awal Masuknya Islam…,
(2014: 86).
74 T. Ibrahim Alfian, Mata Uang Emas Kerajaan-Kerajaan di Aceh (Banda Aceh: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Proyek Pengembangan Permuseuman Daerah Istimewa Aceh, 1986), hlm. 8.
75 T. Ibrahim Alfian, Mata Uang Emas…, (1986: 9).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 43


Gambar 1.3. Mata Uang Dirham (Emas) Kerajaan Samudra Pasai Masa Sultan Malik
Az-Zahir
Sumber: samudrapost.com

Mata uang Samudra Pasai garis tengahnya berukuran kurang lebih


10 mm, kecuali kepunyaan Sultan Zain al-‘Abidin (1383–1405) dan
Sultan Abdullah (1500–1513). Sebagai perbandingan, mata uang emas
Kesultanan Aceh Darussalam yang ditempa lebih dari dua abad kemudian,
mempunyai ukuran lebih besar, dengan diameter antara 12 sampai 14
mm. Pada bagian muka semua dirham Pasai tertera nama sultan dengan
gelar Malik az-Zahir, kecuali kepunyaan Sultan Salah ad-Din (1405–1412).
Setelah Kerajaan Aceh menaklukkan Samudra Pasai pada 1524 M,
sultan-sultan Aceh meniru sultan-sultan Samudra Pasai dengan memakai
gelar Malik az-Zahir pada dirham mereka, yang dimulai sejak masa
pemerintahan Sultan Salah ad-Din (1530–1539) sampai Sultan Ali Ri’ayat
Syah (1571–1579).76 Pada setiap sisi belakang mata uang dirham tersebut
tertera ungkapan ‘as-sultan al-adil” artinya sultan yang adil. Ungkapan
sultan yang adil ini diambil dari kitab suci Al-Qur’an (surat 16 An-Nahl) ayat
90 yang terjemahan bagian awalnya berbunyi “Allah menyuruh berlaku
adil dan berbuat kebajikan…”77 Pengeluaran mata uang dirham ini juga

76 T. Ibrahim Alfian, Mata Uang Emas…, (1986: 9).


77 Teuku Ibrahim Alfian, “Pasai dan Islam”, dalam Susanto Zuhdi (Penyunting), Pasai Kota Pelabuhan
Jalan Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997),
hlm. 142–143.

44 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


mengandung arti bahwa Kerajaan Islam Pasai merupakan kerajaan yang
sudah maju dan makmur.
Setelah mengalami masa keemasannya pada masa pemerintahan
Sultan Malik Al-Zahir, Kerajaan Islam Samudra Pasai mengalami
kemunduran dan akhirnya ditaklukan oleh Kesultanan Aceh Darussalam
di bawah pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1524 M.
Penaklukan ini terjadi setelah sebelumnya Samudra Pasai jatuh ke tangan
Portugis tahun 1521. Selanjutnya Pasai menjadi bagian dari federasi
Kesultanan Aceh Darusalam yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.78
Proses unifikasi ini tidak mengalami kendala yang berarti karena kerajaan
baru ini juga menjadikan Islam sebagai identitas utamanya.

Pedir

Pedir yang terletak di Kabupaten Pidie sekarang telah memegang peranan


penting dalam bidang perdagangan di Sumatra bagian utara jauh
sebelum Kerajaan Aceh Darussalam muncul. Menurut H. M. Zainuddin79,
Pidie sebagai sebuah bandar sudah muncul sejak abad ke-5 Masehi.
Dengan merujuk pada berita Cina, ia mengatakan bahwa pada tahun 413
Masehi seorang musafir Cina, Fa Hien, dalam pelawatannya ke Jeep Po
Ti singgah di negeri-negeri di Sumatra Utara, salah satunya adalah Poli
(Pidie) di ujung Sumatra Utara. Disebutkan negeri Poli itu luasnya kira-
kira 100 x 200 mil jauhnya, 50 hari perjalanan dari Timur ke Barat dan 20
hari perjalanan dari Utara ke Selatan. Kerajaan ini terdiri atas 136 buah
desa (kampung) yang makmur dan orang pribumi menanam padi dua kali
dalam setahun. Dalam tahun 518, Raja Poli mengirim utusannya ke negeri
Cina untuk perkenalan dan perhubungan diplomatik dengan Raja Cina.
Kemudian, pada tahun 671 musafir Cina lainnya, I Tsing, mengunjungi
pesisir-pesisir Aceh (Samudra), Poli, Lamuri, dan lainnya. Menurutnya di
Sumatra Utara terdapat 8 kerajaan dan di antaranya 6 buah negeri, yaitu

78 Taufik Abdullah (ed.), Sejarah Umat Islam Indonesia (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1992), hlm.
55.
79 H. M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961), hlm. 84.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 45


Peureulak, Pasai (Samudra), Poli, Lamuri, dan Dagroian. Ia tinggal 5 bulan
lamanya di negeri-negeri tersebut. Namun sayang, H. M. Zainuddin tidak
menyebutkan dari mana keterangan tersebut dia kutip.
Informasi keberadaan Kerajaan Pedir (Poli) berdasarkan berita Cina
juga dipaparkan pada data yang dikemukakan oleh Muhammad Said
dalam buku monumentalnya Aceh Sepanjang Abad80. Dengan mengutip
Groeneveldt81 yang kajiannya didasari pada sumber sejarah Cina,
dikatakan bahwa paling kurang ada tiga keterangan yang menyebut
tentang keberadaan Kerajaan Poli. Keterangan pertama berasal dari
sejarah Dinasti Liang (502–556 M) yang menyebutkan bahwa Kerajaan
Poli letaknya di sebuah pulau di tenggara Kanton, jaraknya dua bulan
berlayar saban hari. Luas negeri itu sama dengan yang dikemukakan H.
M. Zainuddin yaitu 50 hari dari timur ke barat, dan 20 hari dari utara
ke selatan. Negeri yang beriklim panas, yang sama seperti pada musim
panas di Cina ini, mempunyai 136 buah desa. Lebih lanjut disebutkan
juga bahwa di Poli padi ditanam dua kali setahun, dan tahun 518 negeri
ini pernah mengirim utusan ke Cina.
Sumber kedua berasal dari sejarah Dinasti Sui (581–617 M) yang
menyebutkan bahwa “sesudah mencapai Annam Utara, melalui laut lewat
Chih-t’u dan Tantan, tibalah ke Poli. Luas negeri itu menurut panjang
dari timur ke barat 4 bulan perjalanan dan dari utara ke selatan 45 hari.
Nama turunan rajanya Ch’ariyaka dan namanya sendiri Hulannopo. Adat
istiadatnya sama dengan Kamboja dan produksinya sama dengan Siam.”
Dari nama raja dan turunannya yang disebutkan oleh sumber ini dapat
ditafsirkan bahwa agama yang berkembang di negeri Poli pada waktu itu
adalah Hindu atau Budha. Sumber ketiga berasal dari sejarah baru Dinasti
T’ang (618–906 M) yang menyebutkan bahwa Poli letaknya sebelah
tenggara Kamboja, bila berlayar dari Annam Utara dilewati Teluk Siam
dan Malaka, akan sampailah ke sana. Negeri itu luas sekali, dan banyak
penghuninya, dan sebagai penghasil kulit penyu dan batu kampara.

80 Muhammad Said, Aceh Sepanjang…, (1981: 30-33).


81 Lebih lanjut lihat W. P. Groeneveldt, Note on the Malay Archipelago and Malacca, compiled from
Chinese sources (Verhandelingen BGKW XXXIX, 1880), hlm. 7–9.

46 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Dari semua sumber Cina tersebut terlihat sangat jelas bahwa
keberadaan negeri Poli memang tidak terbantahkan. Akan tetapi, ada satu
persoalan yang belum terpecahkan yaitu letak negeri Poli itu sendiri. Para
ahli masih memperdebatkan lokasinya, apakah di Pidie (Aceh), Kalimantan,
Pulau Poli dekat Asahan, atau Panai di Padang Lawas? Melihat letak
wilayah Pidie yang berada di pintu gerbang Selat Malaka maka sangat
besar kemungkinan bahwa Kerajaan Poli yang disebutkan dalam sumber-
sumber Cina tersebut adalah Pedir. Hal ini diperkuat dengan lancarnya
hubungan antara Cina dengan kerajaan-kerajaan tetangga Pedir, seperti
Lamuri dan Pasai.
Informasi selanjutnya tentang keberadaan Pedir sebagai sebuah
entitas datang enam abad kemudian dari seorang penjelajah Eropa
yang cukup terkenal, yaitu Marco Polo yang berlayar ke Sumatra pada
tahun 1292. Marco Polo mencatat dan mendeskripsikan dengan rinci
serta menggambarkan dalam peta secara akurat daerah-daerah yang
didatanginya, seperti dikutip oleh Anthony Reid, yakni “There are
eight kingdoms on the island [all of those described lying in northern
Sumatra], and eight crowned kings…each of the eight kingdoms has
its own language.” (Ada delapan kerajaan di pulau tersebut [semuanya
dideskripsikan terletak di Sumatra bagian utara], dan delapan raja
berdaulat… setiap kerajaan tersebut mempunyai bahasa masing-masing).
Kerajaan-kerajaan tersebut merupakan kerajaan pelabuhan (port-states)
otonom yang berdiri sendiri-sendiri secara damai dan tidak ada satu
kerajaan pun yang mencoba menaklukkan kerajaan lain. Dari delapan
kerajaan tersebut, Pasai dan Pedir merupakan pusat perdagangan dan
kultural yang sangat penting.82 Dari laporan Marco Polo tersebut terlihat
jelas bahwa pada akhir abad ke-13 Pidie tidak hanya mempunyai entitas
politik sebagai sebuah kerajaan otonom yang menjadi salah satu pusat
perdagangan penting di kawasan ini, tetapi juga sebagai pusat kultural
dan memiliki bahasa (mungkin logat?) sendiri yang menjadi identitas
pembeda dengan komunitas lain.

82 Anthony Reid, An Indonesian Frontier: Acehnese & Other Histories of Sumatra (Leiden: KITLV Press,
2005), hlm. 95.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 47


Informasi tentang eksistensi Pedir mulai terang benderang setelah
tibanya bangsa Portugis. Menurut sumber Portugis, ketika mereka mulai
mendatangi laut Indonesia awal abad ke-16, ada dua pelabuhan dagang
yang memperebutkan tempat pertama, yaitu Pasai dan Pedir. Orang
Portugis yang pertama menginjakkan kakinya di Pulau Sumatra, khususnya
di Aceh ialah Diogo Lopes de Sequeira yang mengemban perintah Raja Dom
Manuel dari Portugal untuk menemukan Pulau Madagaskar dan Malaka.
Sebelum sampai di Malaka dia berlabuh di Pedir dan Pasai (Aceh) pada
bulan September 1509. Kedua kerajaan ini dikatakannya sebagai kerajaan
terpenting di Pulau Sumatra dan mempunyai banyak vasal. Di pelabuhan
itu ia bertemu dengan lima buah junk Benggala dan Pegu. Orang-orang
Portugis diterima baik oleh raja yang menunjukkan persahabatan dan
perdamaian dengan Portugal. Raja Pedir juga menghadiahkan lada,
damar, dan barang-barang dagangan tetapi tidak diterima oleh Lopes
de Sequeira karena takut akan datang terlambat di tempat tujuan, yaitu
Malaka83.
Disebutkan juga bahwa di samping Pasai, bandar Pedir yang lebih
tua melanjutkan kegiatan dagangnya meskipun dihalangi persaingan
dan peperangan. Tome Pires sebagaimana dikutip oleh Denys Lombard84
menyebutkan pamor Pedir sudah luntur sekali: “Pidir dahulu kala
menguasai pintu masuk ke selat-selat, memegang seluruh perniagaan dan
lebih ramai didatangi daripada Pacee”; namun para pedagang (mercadores
de todas nacoes) masih juga berdatangan; menurut perhitungan,
pelabuhannya setiap tahun disinggahi oleh dua kapal dari Kambay dan
dari Benggala, satu kapal dari “Benua Quelin” (Kalinga), satu dari Pegu.
Barang ekspor utama adalah lada. Disebutkan juga bahwa selama empat
tahun belakangan ini, hanya 1 sampai 3.000 bahar setahun yang terdapat
di Pidir, tidak lebih, sedangkan dahulunya ada 10.000 bahar dan, menurut
sementara orang, bahkan 15.000. Sutra putih dan menyan juga diekspor;
emas didatangkan dari pedalaman. Pedir pada waktu itu juga merupakan

83 Dharmono Hardjowidjono, “Pasai Tahun 1509–1524” dalam Susanto Zuhdi (Penyunting), Pasai
Kota Pelabuhan…, (1997: 156). Lihat juga Sudirman, “Konflik Aceh dengan Portugis”, http://
dirmanmanggeng.blogspot.com/2009/02/portugis.
84 Denys Lombard, Kerajaan Aceh..., (2008: 60).

48 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


kerajaan yang berkembang, terutama hasil lada, sehingga wajar apabila
kerajaan itu melayani kapal-kapal asing sebagaimana halnya Portugis
yang singgah di Pedir. Sebelum meninggalkan Pedir, Diogo Lopes de
Sequeira mendirikan sebuah padrao85. Dari Pedir Diogo Lopes de Sequeira
melanjutkan pelayarannya menuju Pasai. Pasai terletak sekitar 20 legua
(1 legua 3 mil) dari Pedir. Di tempat itu orang-orang Portugis diterima
dengan baik dan juga diberi izin mendirikan padrao.86 Dari kesaksian-
kesaksian Portugis yang pertama, Pedir dan Pasai pada awal abad ke-16
telah mengekspor lada dalam jumlah besar ke Cina dan ke tempat-tempat
lain.87
Dari keterangan bangsa Portugis di atas tampak sangat jelas
bahwa Kerajaan Pedir sudah menjadi suatu entitas yang sangat penting
di Sumatra bagian utara jauh sebelum bangsa Portugis datang. Dapat
ditafsirkan pula bahwa puncak kejayaan Kerajaan Pedir berada pada
abad ke-15 M. Fakta ini diperkuat oleh keterangan Manuel de Faria de
Sousa dalam Asia Portuguesa (Vol. I) yang dikutip oleh Darmono,88 bahwa
pada masa itu pada kawasan yang lebih ke arah barat Pulau Sumatra
terdapat enam buah kerajaan Islam yang mengakui supremasi Kerajaan
Pedir, termasuk Aceh dan Daya. Akan tetapi, sejak tahun 1523 Aceh yang
menjadi superior. Setelah mengalami masa kejayaannya pada abad ke-15
sampai awal abad ke-16 secara perlahan Kerajaan Pedir mulai memudar
dan pusat perdagangan berpindah ke Kerajaan Aceh Darussalam. Setelah
munculnya Kerajaan Aceh Darussalam, Pedir menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari Kerajaan Aceh Darussalam.

85 Padrao merupakan gagasan D. Joao II sebagai pemberitahuan kepada dunia atas penemuan dan
pemilikan daerah-daerah baru oleh Portugal. Adapun karakteristik padrao adalah sebagai berikut:
sebuah monopolis dengan tinggi 2,5 meter, berat + 0,5 ton, mempunyai kapiteel (bagian atas dari
sebuah tiang) yang ditandai oleh sebuah salib. Lambang Kerajaan Portugal dipahatkan pada salah
satu sisi kapiteel, juga dipahatkan dua buah tulisan; satu dalam bahasa Portugis dan yang lain dalam
bahasa latin, menyebutkan nama raja Portugal yang sedang memerintah, tahun penemuan dan
pemimpin yang mendirikannya untuk menandai perjalanannya.
86 Dharmono Hardjowidjono, “Pasai Tahun 1509–1524..., (1997: 156).
87 Danys Lombard, Kerajaan Aceh..., (2008: 59).
88 Dharmono Hardjowidjono, “Pasai Tahun 1509–1524..., (1997: 160).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 49


Singkil

Singkil yang terletak di pantai barat Aceh, tepatnya di Kabupaten Aceh


Singkil sekarang, merupakan kerajaan yang tumbuh akibat aktivitas
ekonomi dari perdagangan komoditas tradisional yang dihasilkan yaitu
kamper, benzoe, dan hasil hutan lainnya. Aktivitas ekonomi yang semakin
ramai, terutama setelah komoditas baru yaitu lada berhasil dikembangkan
di wilayah ini, telah menyebabkan Singkil semakin penting artinya, baik
secara ekonomi maupun politik. Secara ekonomi Singkil menjadi salah
satu pusat perdagangan penting di pantai barat Sumatra, sedangkan
secara politik telah membuat Singkil menjadi objek perebutan di antara
kekuatan-kekuatan politik yang berpengaruh saat itu.
Pentingnya peran Singkil, terutama secara ekonomi, telah
menyebabkan nama kerajaan ini mendapat perhatian dalam catatan-
catatan para penjelajah maupun pedagang. Kerajaan Singkil telah disebut
dalam laporan Tome Pires dalam kunjungannya ke Nusantara. Tome Pires
menyebut dengan jelas lokasi Singkil atau Quinchell, yaitu berbatasan di
satu sisi dengan Kerajaan Barus dan di sisi lain dengan Kerajaan Meulaboh
(Mancopa) atau Daya. Selain itu, Pires juga memberi gambaran dengan
sangat jelas tentang aktivitas Kerajaan Singkil. Ia menyebutkan bahwa
kerajaan ini menghasilkan sejumlah kemenyan, sutra, lada, dan sedikit
emas. Kerajaan Singkil memiliki lanchara-lanchara kecil, sungai dan
keadaannya tidak begitu kaya. Mereka melakukan perdagangan dengan
Pasai, Kerajaan Barus, Tiku, dan Pariaman.89
Apabila ditinjau lebih jauh pada komoditas yang dihasilkan,
sebenarnya komoditas unggulan tradisional yang dihasilkan Kerajaan
Singkil yaitu kamper atau kapur barus, telah mencapai pasar dunia, seperti
Mesir, jauh sebelum kedatangan orang Barat ke Nusantara. Ini berarti
bahwa aktivitas ekonomi di Singkil sudah berlangsung sangat lama.
Hanya saja nama Singkil yang belum begitu populer dalam perdagangan.
Dimungkinkan pula bahwa komoditas Singkil tersebut mencapai pasar

89 Tome Pires, Suma Oriental: Perjalanan…, (2014: hlm. 229–230).

50 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


dunia melalui Barus. Pada dasarnya Singkil dan Barus memang masih
dalam satu kawasan yang saling bersinggungan teritorialnya. Kedua
wilayah ini memiliki garis pantai yang terhubung. Bahkan beberapa
pendapat menyamakan antara Singkil dan Barus, bahwa Singkil adalah
Barus dan Barus adalah Singkil (satu negeri).90
Berbeda dengan yang berlaku pada zaman klasik, di mana lokasi
yang menjadi pusat kerajaan terbatas pada bagian tengah aliran sungai,
pada masa modern awal mulai muncul pusat kerajaan yang berada di
kawasan muara atau tidak jauh dari muara sungai, seperti Kerajaan
Singkil.91 Kerajaan Singkil terletak di pinggir sungai sekitar 7 km dari bibir
pantai ke arah pedalaman. Secara tradisional, Kerajaan Singkil (bersama
Barus) merupakan pusat perdagangan utama kamper (kapur barus) dan
benzoe (kemenyan). Kedua komoditas tersebut merupakan produksi
utama daerah Singkil sejak lama.
Menurut laporan pemerintah kolonial disebutkan bahwa walaupun
kapur barus dan kemenyan terdapat di hampir seluruh pelosok wilayah
utara pantai barat, namun kawasan yang betul-betul dapat disebut
khusus sebagai Kampergebeid dan Benzoegebied adalah daerah yang
terletak di pedalaman Singkil dan Barus. Disebut sebagai daerah khusus
kamper dan benzoe karena daerah inilah yang paling bagus dan cocok
untuk budidaya pohon kamper, dan dari kawasan ini pulalah jumlah
kamper dan benzoe yang paling banyak dikeluarkan. Kamper dan benzoe
berasal dari getah pohon kamper yang banyak tumbuh di hutan Singkil.
Penduduk setempat menamakan pohon kamper dengan jambu kuburan
atau kayu kuburan. Proses pengambilan kamper biasanya dilakukan oleh
penduduk dengan cara pergi ke hutan secara berkelompok empat sampai
enam orang. Setelah pohon kamper ditemukan, mereka melukai kulit
kayu tersebut dengan parang sehingga getahnya keluar. Getah inilah
yang nantinya dikumpulkan. Sebatang pohon kamper bisa menghasilkan
antara 1 sampai 3 pond kamper.

90 Muhajir al-Fairusy, Singkel: Sejarah, Etnisitas dan Dinamika Sosial (Denpasar: Pustaka Larasan, 2016),
hlm. 40.
91 Gusti Asnan, Sungai & Sejarah Sumatra (Jakarta: Penerbit Ombak, 2016), hlm, 82–83.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 51


Dalam kegiatan perdagangan di Singkil, kamper diklasifikasikan
menjadi lima kelompok, mulai dari yang terbaik, yaitu kapur becis,
bakoh dahon, boek-boek, umbut-umbut, dan gerigis. Perbedaan kualitas
ini menyebabkan perbedaan harga. Sampai pertengahan abad ke-19
dilaporkan bahwa transaksi jual beli kamper dan benzoe antara penduduk
dengan saudagar pengumpul masih dilakukan secara barter dengan
beberapa produk impor seperti opium, garam, besi, dan tembaga. Di
daerah pantai harga satu pikul kamper campur pada tahun 1830-an
berkisar antara 10 sampai 30 spaansche metten. Pada tahun 1840-an,
harga satu pikul kamper berkisar antara f4.000,- sampai f5.000,-. Dari
Pelabuhan Singkil setiap tahun diekspor sekitar 20 pikul kamper, terutama
ke Penang dan Singapura yang merupakan daerah tujuan utama ekspor
komoditas ini.92
Di Kerajaan Singkil, perdagangan kamper dan benzoe dilakukan oleh
saudagar dari pangkalan yang menerimanya dari saudagar dan penduduk
di daerah pedalaman. Di pangkalan saudagar-saudagar dari Kota Singkil
membeli kamper dan benzoe sedikit lebih murah. Sebaliknya, di kota-kota
pantai lainnya penduduk biasanya membawa kamper dan benzoe mereka
langsung ke kota pantai. Di kota-kota pantai kebanyakan kamper dan
benzoe dibeli oleh saudagar Cina.93
Perdagangan antara Singkil dan Barus dengan daerah Pak-Pak di
pedalaman telah berlangsung lama. Dalam laporan perjalanan Tome
Pires disebutkan bahwa produk-produk benzoe dan kamper yang dijual
di Barus didatangkan dari daerah pedalamannya. Perdagangan antara
Singkil dengan Pak-Pak mengandalkan kepada transportasi sungai. Pusat
pertemuan saudagar daerah pantai dan pedalaman terjadi di Singkil dan
Barus. Saudagar besar dan broker yang ada di Barus terdiri atas penduduk
setempat, Aceh, Cina, dan VOC. Para pedagang pengumpul yang datang
dari daerah Pak-Pak menjual barang-barang yang mereka kumpulkan
dari para petani kepada saudagar pantai. Komoditas yang dibawa dari
pedalaman adalah kapur barus, kemenyan, dan berbagai hasil hutan

92 Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatra (Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm. 208–209.
93 Gusti Asnan, Dunia Maritim…, (2007: 210–211).

52 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


lainnya, sedangkan barang-barang yang dibawa dari daerah pantai adalah
kain, garam, tembakau Cina, opium, dan berbagai barang besi.94
Selain kamper dan benzoe, Singkil juga terkenal sebagai pusat
pembelian lada yang penting untuk kawasan pantai barat Sumatra
bersama Pariaman. Sebelum kedua wilayah ini dikuasai oleh VOC,
perdagangan lada dikuasai oleh Kesultanan Aceh Darussalam. Aceh
memonopoli perdagangan lada kawasan ini dan mengharuskan semua
lada yang dihasilkan daerah ini dijual kepada raja atau wakil raja Aceh.
Selanjutnya lada tersebut dibawa ke Bandar Aceh Darussalam. Ketika
bangsa Eropa mulai berdatangan ke kawasan ini, sebagian dari mereka
membeli lada di Bandar Aceh Darussalam dan sebagian yang lain, setelah
minta izin pada penguasa Aceh, membelinya langsung di berbagai kota
di pesisir barat. Ketika VOC berhasil mengusir Aceh dari pantai barat,
mereka juga memonopoli perdagangan lada menggantikan Aceh. Singkil
merupakan pelabuhan ekspor komoditas ini bagi daerah sekitarnya.95
Produksi lada di daerah Singkil sebenarnya baru dimulai awal abad
ke-18. Sejak saat itu keadaan ekonomi di daerah tersebut mengalami
peningkatan yang signifikan sehingga menarik banyak pendatang ke
daerah itu. Kedatangan mereka dalam jumlah yang besar tersebut
mengakibatkan terjadinya perluasan perkampungan. Salah satu di antara
pendatang yang paling berhasil adalah seorang penduduk yang berasal
dari Mukim XXV Aceh Besar. Dia pindah ke Susoh (Aceh Barat Daya
sekarang) dan menjadi kepala kampung di sana. Dua orang keturunannya,
yaitu Basa Bujang (Bujang Bapa) pindah ke Trumon dan Lebai Dapa (Haji
Dapna) pindah ke Singkil dan berhasil mengembangkan pertanian lada
di sana. Keberhasilan tersebut membuat Raja Singkil menaruh perhatian
kepada Lebai Dapa. Sebagai wujud simpatinya, ia menikahkan putrinya
dengan Lebai Dapa dan kemudian menyerahkan kekuasaannya sebagai
Raja Singkil kepada menantunya itu. Selanjutnya Lebai Dapa pindah ke
Trumon atas permintaan abangnya Basa Bujang yang kurang berhasil
mengembangkan pertanian lada. Walaupun pindah ke Trumon, Lebai

94 Gusti Asnan, Dunia Maritim…, (2007: 144–145).


95 W. L. Ritter, Indische Herinneringen (Amsterdam: J. G. van Kesteren, 1843), hlm. 246.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 53


Dapa tidak melepaskan kedudukannya di Singkil. Setelah itu, kedua wilayah
tersebut menjadi berkembang sebagai wilayah penanaman lada penting
di pantai barat Sumatra.96 Pentingnya daerah ini sebagai produsen lada
saat itu dapat dilihat dari angka ekspor lada yang dikeluarkan dari Trumon
saja sebesar 40.000 pikul lada setahun.97 Setelah Lebai Dapa meninggal,
putranya yang pertama, Raja Bujang, menggantikannya menjadi raja di
Trumon dan putranya yang kedua, Raja Mohammad Arif, memerintah di
Singkil. 98
Sebagian besar lada yang dihasilkan Singkil dibeli oleh saudagar
Inggris, Amerika, Prancis, India, dan saudagar Cina yang berasal dari
Penang. Setiap tahun diperkirakan sekitar 30 buah kapal dari Eropa,
Amerika, India, dan Penang datang untuk membeli lada ke kawasan ini.
Secara tidak teratur, juga datang kapal Nederlandsch Handel Maatschapij
(NHM) ke kawasan ini untuk membeli lada.99
Pada saat Singkil berada di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh
Darussalam sejak masa pemerintahan Sultan Alaidin Syah Al-Kahhar
(1553–1571), perdagangan lada di daerah ini dimonopoli oleh Kesultanan
Aceh Darussalam. Sejak itu, Bandar Singkil dan bandar-bandar lain di pantai
barat Sumatra berada di bawah pengawasan Sultan Aceh yang diwakili
oleh pembantu-pembantunya, seperti syahbandar dan panglima. Raja
Aceh tidak saja menempatkan wakil-wakilnya di sana untuk menangani
masalah politik, tetapi juga untuk mengurus masalah perdagangan dan
pelayaran.100

96 Muhammad Said, Aceh Sepanjang…, (1981: 473).


97 Muhammad Said, Aceh Sepanjang…, (1981: 474).
98 Muhammad Said, Aceh Sepanjang…, (1981: 473).
99 Gusti Asnan, Dunia Maritim…, (2007: 213).
100 Gusti Asnan, Dunia Maritim…, (2007: 152).

54 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Kejayaan Masa Kesultanan Aceh
Darussalam

A ceh pernah mengalami masa-masa kejayaannya pada zaman


Kesultanan Aceh Darussalam mulai pertengahan abad ke-16. Pada
masa keemasannya, wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh jauh lebih besar
dari wilayah Provinsi Aceh sekarang, meliputi sebagian besar pesisir Pulau
Sumatra sampai beberapa wilayah di Semenanjung Malaya. Kebesaran
Kesultanan Aceh sangat ditunjang oleh faktor ekonomi dan politik
yang berhasil dimainkan oleh kerajaan ini. Dengan letak yang strategis
dan terjaminnya keamanan, Bandar Aceh Darussalam yang merupakan
ibu kota kesultanan, telah menjelma menjadi kota yang maju pada
masanya, karena banyak dikunjungi oleh pedagang asing. Hal ini sesuai
dengan gambaran yang diberikan oleh A. K. Das Gupta bahwa Bandar
Aceh Darussalam, yang terletak 3 km dari muara sungai Krueng Aceh,
merupakan pelabuhan utama Kesultanan Aceh Darussalam. Kapal-kapal
dengan ukuran 60–70 ton dapat berlayar melalui muara sungai itu menuju
ibu kota.101 Banyaknya kapal dagang asing yang singgah di Bandar Aceh
Darussalam juga ditunjang oleh fasilitas alam yang menguntungkan
pelabuhannya. Di depan muara sungai terdapat beberapa pulau, sehingga
antara muara sungai dengan pulau-pulau itu membentuk sebuah teluk
luas yang dapat digunakan untuk berlabuh ratusan kapal pada saat
yang bersamaan.102 Dengan keuntungan-keuntungan tersebut, telah
menjadikan Kesultanan Aceh Darussalam menjadi kerajaan yang besar
dan perekonomiannya maju.

101 A. K. Das Gupta, “Acheh in Indonesian…”, (1962: 108).


102 Muhammad Ibrahim dkk., Sejarah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Jakarta: Proyek Penelitian
dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1978), hlm.
60–61.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 55


Perkembangan Kesultanan Aceh Darussalam

Kesultanan Aceh Darussalam dibangun oleh Sultan Ibrahim atau yang


lebih terkenal dengan nama Sultan Ali Mughayat Syah. Ia membangun
Kesultanan Aceh Darussalam dengan mempersatukan kerajaan-kerajaan
kecil yang terdapat di ujung barat Pulau Sumatra. Langkah pertama yang
dilakukan Ali Mughayat Syah adalah melepaskan diri dari kekuasaan
Kerajaan Pedir pada tahun 1520, dan pada tahun yang sama ia berhasil
menaklukkan Daya. Penaklukan selanjutnya diteruskan ke timur dan
berhasil menguasai Pedir pada tahun 1521 dan Pasai pada tahun 1524.
Menurut Anthony Reid, penaklukan ini sangat penting artinya karena
wilayah-wilayah yang sangat subur di pantai utara dapat dipersatukan
dengan lembah sungai Aceh di Aceh Besar. Untuk menjaga kesetiaan
wilayah taklukan tersebut, sampai pertengahan abad ke-17, kerabat
dari Sultan Aceh ditempatkan sebagai penguasa di Pedir, Pasai, dan
wilayah-wilayah penting lainnya di pantai barat.103 Kedudukan Kerajaan
Aceh Darussalam sebagai pusat perdagangan menjadi semakin penting
setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Penguasaan
Portugis mengakibatkan kemunduran sedikit demi sedikit pada pusat
perdagangan Malaka. Kemunduran tersebut menjadi berkah tersendiri
bagi Aceh. Para pedagang Islam yang berasal dari berbagai daerah mulai
mencari alternatif bandar perdagangan yang lain di sekitar Selat Malaka
menggantikan Malaka. Bandar Aceh Darussalam yang terletak di pintu
masuk Selat Malaka menjadi pilihan utama mereka. Oleh karena itu, kota
ini berkembang dengan cepat menjadi pusat perdagangan dan penyiaran
agama Islam yang baru di Selat Malaka.104
Setelah melakukan unifikasi terhadap wilayah yang subur di
pantai utara dengan sungai Aceh di Aceh Besar, Aceh mulai melakukan
ekspansi teritorial ke daerah-daerah yang secara geografis cukup jauh
dari pusat kerajaan. Proses perluasan wilayah ini dimulai sejak masa

103 Anthony Reid, The Contest..., (1969: 2).


104 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500–1900 Dari Emporium sampai Imporium
(Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. 4; Rusdi Sufi, dkk., Aceh Tanah Rencong… (2008: 23).

56 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


pemerintahan Sultan Alaudin Riayat Syah Al-Kahhar (1553–1571). Di
bawah kekuasaan sultan ini Aceh mulai melakukan ekspansi kekuasaan
ke kota-kota pelabuhan di pantai barat Sumatra. Tujuan utamanya adalah
untuk memonopoli perdagangan lada. Beberapa kota pelabuhan seperti
Singkil, Barus, Pasaman, Tiku, Pariaman, dan Padang berhasil direbut dan
dijadikan sebagai wilayah taklukan Kesultanan Aceh. Setelah itu, kota-kota
pantai tersebut berada di bawah pengawasan Sultan Aceh yang diwakili
oleh pembantu-pembantunya seperti syahbandar dan panglima. Raja
Aceh tidak saja menempatkan wakil-wakilnya di sana untuk menangani
masalah politik, tetapi juga untuk mengurus masalah perdagangan dan
pelayaran.105
Selain ke pantai barat, ekspansi kekuasaan juga dilakukan ke
pantai timur Sumatra. Agak sedikit berbeda dengan ekspansi ke pantai
barat, perluasan kekuasaan ke pantai timur Sumatra ditujukan untuk
menghilangkan pengaruh Portugis di wilayah tersebut, seperti alasan
Sultan Ali Mughayat Syah menaklukkan Pedir dan Pasai dulu. Oleh
karena itu, Kerajaan Aru yang sering berhubungan dengan Portugis di
Malaka ditaklukkannya pada tahun 1539 dan anak Sultan Al-Kahhar yang
bernama Pangeran Abdullah diangkat sebagai sultan di sana.106
Ekspansi ke Kerajaan Aru telah memperhadapkan Kerajaan Aceh
langsung dengan Portugis yang juga ingin mendapatkan monopoli
perdagangan di sana. Menyadari bahwa kedudukan Portugis di Malaka
sebagai penghalang tercapai tujuannya, maka Sultan Al-Kahhar
memutuskan untuk mengusir Portugis dari Malaka sekalian. Serangan
terhadap kedudukan Portugis di Malaka dilakukan beberapa kali, mulai
tahun 1537 sampai 1568. Dalam serangan yang terakhir, Aceh telah
menggunakan kekuatan yang terdiri atas 15.000 orang Aceh dan 400
orang Turki, yang disertai pula dengan dua ratus meriam besar dan

105 J. Kathirithamb-Wells, “Achehnese Control over West Sumatra up to the Treaty of Painan, 1663”
dalam Journal of Southeast Asian History, Vol. 10, No. 3, (Dec., 1969), hlm. 455ff; “Gusti Asnan,
Dunia Maritim..., hlm. 152.
106 Tengku Lukman Sinar, Sari Sejarah Serdang (Medan: np, nt), hlm. 22; Muhammad Ibrahim dkk.,
Op.Cit., hlm. 61–62.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 57


kecil.107 Namun, semua serangan tersebut tidak berhasil mengusir Portugis
di Malaka.
Dengan menguasai sebagian besar aktivitas perdagangan di Pulau
Sumatra dan Semenanjung Malaya, Kesultanan Aceh Darussalam pada
masa pemerintahan Sultan Al-Kahhar telah menjelma menjadi sebuah
kerajaan yang besar dan makmur. Kemakmuran tersebut dapat dilihat
dari penggunaan mata uang yang dibuat dari emas yang disebut dirham
dan dari timah yang disebut keuh. Hal itu sesuai dengan laporan John
Davis yang pernah berkunjung ke Aceh masa pemerintahan Sultan Al-
Kahhar. Davis mengatakan bahwa saat itu kedua jenis mata uang tersebut
merupakan mata uang utama yang beredar di Kesultanan Aceh; uang
emas yang bentuknya sebesar uang sen di Inggris dan mata uang dari
timah yang disebut cashes (keuh). Selain kedua jenis mata uang utama
tersebut ada pula jenis-jenis lain yang disebut dengan kupang, pardu, dan
tahil. Nilai tukar masing-masing mata uang tersebut adalah 1600 cashes
sama dengan 1 dirham; 400 cashes sama dengan 1 kupang; 4 kupang
sama dengan 1 dirham; 5 dirham sama dengan 4 schelling Inggris; 4
dirham sama dengan 1 pardu, dan 4 pardu sama dengan 1 tahil.108
Kerajaan Aceh Darussalam mengalami masa puncak kejayaannya,
baik secara politik, ekonomi, dan intelektual, pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda (1607–1636). Selama tahun-tahun pertama
pemerintahannya, Iskandar Muda lebih fokus pada konsolidasi dalam
negeri untuk membentuk Kesultanan Aceh menjadi sebuah kerajaan
yang solid. Setelah memulihkan ketertiban di dalam negeri selama enam
tahun pertama pemerintahannya, sejak tahun 1612 Iskandar Muda mulai
melakukan ekspansi wilayah. Ekspansi teritorial dilanjutkan, baik merebut
kembali daerah-daerah yang berhasil melepaskan diri seperti Kerajaan
Aru, maupun menguasai daerah-daerah baru yang dianggap strategis
untuk perdagangan. Dari tahun 1612 sampai 1621, ia telah berhasil
menaklukkan sejumlah kerajaan pantai di sekitar Selat Malaka dan

107 R. A. Hoesein Djajadiningrat, “Critisch Overzicht van de in Maleiche Werken Vervate Gegeven over
Geschiedenis van het Sultanaat van Atjeh” dalam Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde van
Nederlandsch-Indie, 65, 1911, hlm. 153
108 Julius Jacobs, Het Familie en Kampong Leven op Groot Atjeh (II) (Leiden: E.J. Brill, 1894), hlm. 187.

58 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


pantai barat Sumatra. Kerajaan Aru yang telah melepaskan diri berhasil
ditaklukkan kembali dalam tahun 1612 dan dimasukkan kembali dalam
pengaruh Kerajaan Aceh.
Fokus ekspansi selanjutnya adalah kerajaan-kerajaan yang berada
di Semenanjung Malaya. Hal ini dilakukan untuk membatasi pengaruh
Portugis dalam aktivitas perdagangan di Selat Malaka. Kerajaan Johor
berhasil ditaklukkan pada tahun 1613. Kemudian berturut-turut dapat
pula ditaklukkan Kerajaan Pahang pada tahun 1618, Kerajaan Kedah
pada tahun 1619, dan Kerajaan Perak pada tahun 1620. Selanjutnya,
ekspansi dilanjutkan ke pantai barat Sumatra dengan merebut Nias pada
tahun 1624. Dengan ekspedisi-ekspedisi militer tersebut telah menjadikan
Kesultanan Aceh sebagai penguasa atas sebagian besar Pulau Sumatra
sampai ke Semenanjung Malaya.109
Dengan keberhasilan ini berarti Aceh telah menjelma menjadi
penguasa tunggal di Pulau Sumatra. Hal ini sesuai dengan gambaran
yang diberikan oleh Denys Lombard, yaitu “pada abad ke-17 Sultan
Aceh adalah raja Pulau Sumatra yang tak ada tandingnya; tidak hanya
pantai-pantai yang dikuasainya, tetapi juga hampir seluruh perniagaan
dikendalikannya… yang masuk kekuasaannya ialah paruh bagian pulau
yang paling menguntungkan. Di sebelah timur ia memerintah Pedir,
Pacem sampai Deli dan Aru, di sebelah barat Daya, Labo, Cinquel, Barros,
Bataham, Passaman, Ticou, Pariaman, dan Padan, perlu ditambahkan
pula negara-negara vazal di semenanjung Melayu, yaitu: Johor, Kedah,
Pahang, dan Perak”.110 Dari keterangan tersebut terlihat dengan jelas
bahwa yang dikuasai oleh Iskandar Muda semuanya adalah kota-kota
pelabuhan, baik di pantai timur maupun di pantai barat Sumatra. Di kota-
kota tersebut Aceh hanya menguasai perdagangannya saja, yang diwakili
oleh pembantu-pembantu Sultan Aceh seperti syahbandar dan panglima.
Penguasaan kota-kota secara politik tetap dipegang oleh penguasa-
penguasa tradisional setempat.

109 Muhammad Ibrahim, dkk., Op.Cit., hlm. 62–63.


110 Danys Lombard, Kerajaan Aceh..., (2008: 143–144).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 59


Ekspedisi melawan Malaka
Ekspedisi melawan kerajaan-kerajaan Melayu
Jalan pengangkutan dari Pahang ke Malaka

EKSPEDISI MILITER
ISKANDAR MUDA

Gambar 1.4. Peta Kesultanan Aceh Masa Pemerintahan Sultan Iskandar Muda
Abad Ke-17
Sumber: Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda, 2008: 374

Masa Sultan Iskandar Muda memerintah, Kesultanan Aceh


juga melakukan penyerangan kembali terhadap Portugis di Malaka.
Penyerangan pertama dilakukan pada tahun 1615, namun karena telah
terlebih dahulu menyerang Kerajaan Johor, maka rencana penyerangan
terhadap Malaka telah diketahui oleh orang-orang Portugis, sehingga
Aceh terpaksa mengundurkan diri. Penyerangan secara besar-besaran
terhadap Portugis di Malaka dilakukan pada tahun 1629 dengan armada
yang cukup besar pada masanya. Akan tetapi, serangan tersebut juga
tidak berhasil merebut Malaka dari tangan Portugis karena Portugis
mendapat bantuan dari Goa.111

111 Muhammad Ibrahim dkk, Sejarah Kebangkitan Nasional…, (1978/1979: 64).

60 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Dalam bidang ekonomi Aceh menjelma menjadi salah satu pusat
perdagangan penting di Samudra Hindia sejak awal abad ke-17.
Dengan keuntungan geografis yang dimilikinya, Aceh saat itu menjadi
pemain aktif dalam perdagangan internasional. Dengan politik ekonomi
monopoli dan sentralisasi perdagangan di pusat kerajaan, Bandar Aceh
Darussalam, menurut laporan John Davis, telah membuat kota ini menjadi
ramai melebihi semua kota pelabuhan lainnya di pantai timur maupun
pantai barat Sumatra. Di sinilah terdapat sejumlah pedagang asing yang
terdiri atas berbagai bangsa, seperti Cina, Gujarat (India), Portugis, Arab,
Benggala, dan Pegu. Adapun komoditas yang diperdagangkan di Bandar
Aceh Darussalam adalah lada, timah, emas, sutra, minyak, kapur barus,
kemenyan, daging, pinang, dan gajah. Selain itu, di bandar ini juga
diperdagangkan barang-barang yang didatangkan dari luar negeri seperti
rempah-rempah dari Maluku, pakaian dari India, dan porselen dari Cina.112
Majunya perdagangan di Bandar Aceh Darussalam telah berimplikasi
pada kemewahan istana kesultanan dan meningkatnya kesejahteraan
warganya. Kemewahan istana Kesultanan Aceh Darussalam digambarkan
dengan sangat jelas oleh Beaulieu, yaitu: “Sekeliling balai ditaburi
dindingnya dan ditikari lantainya dengan permadani Turki. Sejumlah tiga
puluh wanita masing-masing dengan batil perak yang besar bawaannya….
Di atas batil dikembangkan sapu tangan bertenun emas. Di sepanjang
tabir berkilauan hiasannya batu permata indah.”113
Kebesaran Aceh pada abad ke-17 di bawah pemerintahan Sultan
Iskandar Muda tidak hanya tampil dalam aspek kekuasaan, keindahan,
dan kemewahan istana, tetapi juga dalam bidang intelektual, karya
sastra, dan simbol-simbol kebesaran Islam lainnya. Sultan Iskandar Muda
mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap perkembangan agama
Islam. Masa pemerintahannya, banyak masjid atau rumah ibadah lainnya,
dayah (pesantren) dan simbol kebesaran Islam lainnya yang didirikan.
Salah satu masjid terbesar dan terindah yang didirikan adalah Masjid Raya

112 Muhammad Ibrahim dkk, Sejarah Kebangkitan Nasional…, (1978/1979: 64).


113 M. Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2014), hlm. 119.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 61


Baiturrahman.114 Iskandar Muda juga telah mengadakan perundang-
undangan yang terkenal dengan “Adat Meukuta Alam”. Perundang-
undangan yang dijiwai oleh Islam ini telah menjadi inspirasi dan ditiru oleh
beberapa kerajaan Islam di Nusantara dan Asia Tenggara, seperti Kerajaan
Brunei Darussalam (sejak masa pemerintahan Sultan Hasan). Sultan Hasan
yang sangat fanatik terhadap Islam ini dengan terus terang mengakui
telah mengambil pedoman-pedoman untuk peraturan negerinya dari
Undang-Undang Meukuta Alam.115

Gambar 1.5. Cap Sikureung, Stempel Kesultanan Aceh Darussalam


Sumber: https://www.hariansejarah.id/2017/03/dibalik-cap-sikureung-segel-sultan-aceh.html

Dalam bidang intelektual dan sastra, Aceh saat itu telah melahirkan,
menerima, dan menampung limpahan pengarang dan pemikir besar.
Mereka itu ada yang berasal dari Aceh sendiri, seperti Hamzah Fansury,
Syamsuddin As-Sumatrany, dan Abdurrauf As-Singkily yang terkenal
dengan Syiah Kuala, ada juga yang datang mengikuti jejak kaum
pedagang dari India seperti Nuruddin Ar-Raniry. Kesemua pujangga
besar tersebut merupakan ulama yang pernah menjabat sebagai mufti

114 Pada awal ekspansinya masjid ini dibakar Belanda dan kemudian dibangun kembali oleh kolonialis
tersebut dalam bingkai politik pasifikasinya.
115 Muhammad Said, Aceh Sepanjang…, (1981: 303–304).

62 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


di Kerajaan Aceh. Karya-karya besar yang dihasilkan mereka bukan karya
lisan yang disampaikan turun-temurun, tetapi karangan yang ditulis
dengan prosa yang baik dan benar, di sana sini dihiasi dengan sajak, yang
ada tanggalnya dan kebanyakan bahkan ada nama pengarangnya.116
Setelah mengalami era keemasan pada abad ke-17, masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Kesultanan Aceh Darussalam secara
perlahan mulai mengalami kemunduran, baik dari aspek politik maupun
aspek intelektual dan kesusastraan. Kemunduran tersebut disebabkan
oleh faktor dari dalam Kerajaan Aceh sendiri dan faktor dari luar, terutama
dengan adanya invasi dari kekuatan bangsa Eropa. Sepeninggal Sultan
Iskandar Muda, tidak ada satu pun sultan yang mampu menyatukan
semua unsur yang ada dalam Kerajaan Aceh Darussalam. Akibatnya
adalah di dalam Kerajaan Aceh sendiri terjadi intrik perebutan kekuasaan
yang berkepanjangan yang menyebabkan lemahnya kekuatan kerajaan.
Kondisi ini menjadi kesempatan yang sangat baik bagi bangsa Barat,
terutama Belanda yang sangat berkeingingan menjadikan seluruh wilayah
Nusantara berada di bawah tangan mereka (Pax-Neerlandica).
Konflik langsung antara Aceh dengan Belanda mulai terjadi
setelah Inggris menyerahkan Natal dan Sibolga kepada Belanda, sebagai
realisasi dari Traktat London, tahun 1824. Sejak itu Belanda secara aktif
mengadakan gangguan dengan manganeksasi satu per satu wilayah
kekuasaan Kesultanan Aceh. Oleh karena itu, Singkil, Barus, Trumon di
pantai barat dan Teukiang, Deli Serdang, dan Asahan di pantai timur
menjadi korban permainan politik mereka.117 Setelah mencaplok wilayah
Singkil, pemerintah kolonial Belanda kemudian memasukkannya ke dalam
wilayah administrasi baru yang disebut Sumatra’s Westkust berdasarkan
Besluit van de hooge Regeering tanggal 20 Desember 1825. Wilayah
administrasi ini mulanya berstatus setingkat residentie (Residentie Padang
dan Residentie Padang en Onderhoorigheden) kemudian ditingkatkan
menjadi gouvernement dengan nama Gouvernement Sumatra’s
Westkust.118

116 Danys Lombard, Kerajaan Aceh..., (2008: 134–136, 143–144, dan 212).
117 Muhammad Said, Aceh Sepanjang…, (1981: 18–35).
118 Gusti Asnan, Dunia Maritim…, (2007: 10–11).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 63


Usaha-usaha Belanda tersebut terus berlanjut sampai akhirnya
mereka berhasil membawa Inggris kembali ke meja perundingan untuk
memperbaharui Traktat London dengan perjanjian baru yaitu Traktat
Sumatra pada tahun 1871. Salah satu inti penting dari perjanjian
tersebut adalah Belanda diberi izin untuk memperluas kekuasaannya
di Pulau Sumatra. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Belanda
untuk menganeksasi Aceh. Proses ini diawali dengan mengajukan
tuntutan kepada Aceh agar mengakui kedaulatan Belanda atas wilayah
Aceh. Aceh dengan serta-merta menolak tuntutan tersebut. Setelah
keinginannya ditolak oleh Sultan Aceh, maka pada tahun 1873 Belanda
secara resmi melakukan invasi militernya terhadap Aceh. Proses aneksasi
yang diperkirakan dapat dilakukan dalam waktu cepat, ternyata menjadi
perang yang berkepanjangan. Berlarutnya perang tersebut terutama sekali
disebabkan oleh perlawanan rakyat Aceh yang pantang menyerah dalam
upaya mempertahankan wilayahnya. Hampir seluruh lapisan masyarakat
Aceh baik tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan, terjun ke
medan peperangan demi memperjuangkan harga diri. Implikasinya
adalah Perang Aceh menjadi perang paling lama, paling mahal, dan paling
berdarah (paling banyak korban) yang pernah dilakukan oleh Belanda
di Nusantara. Perang itu, selain telah menghancurkan hampir seluruh
infrastruktur ekonomi Aceh, juga lebih dari itu, telah menyebabkan
ratusan ribu rakyat Aceh gugur dalam mempertahankan wilayahnya
dari invasi Belanda tersebut. Akibat invasi tersebut telah berakhir pula
masa Kesultanan Aceh Darussalam, dan selanjutnya Aceh memasuki era
kolonialisme Belanda.

Jaringan Perdagangan Kesultanan Aceh Darussalam

Skala perdagangan di kawasan Nusantara mengalami perkembangan


sangat pesat pada penghujung abad ke-14 sampai abad ke-17. Menurut
Anthony Reid, hal ini disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu pertama
adalah “pesta pora rempah-rempah (spice-orgy) yang mulai memengaruhi
Eropa usai Perang Salib dan penataan rute Laut Merah-Suez menuju Laut
Tengah untuk rempah-rempah serta barang-barang Cina oleh Dinasti

64 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Mameluk sekitar tahun 1345. Faktor kedua adalah adanya peningkatan
besar-besaran kegiatan dagang orang-orang Cina di Asia Tenggara yang
berkaitan dengan Dinasti Ming awal. Hasil dari perdagangan ini, kota-kota
berkembang dengan kecepatan yang luar biasa. Bandar Aceh Darussalam
tumbuh mekar menjadi kota yang amat besar. Kota ini menjadi pasar
bagi sejumlah gagasan maupun barang dagangan. Pedagang Cina
memperkenalkan budaya material baru, seperti barang-barang terbuat
dari perunggu, bubuk mesiu, alat-alat pengukur, pembuatan kapal, dan
juga sejumlah cita-rasa baru pada makanan dan minuman. Pedagang-
pedagang India membawa pengetahuan tidak kalah maju dibandingkan
dengan metode bagian dunia lain, seperti, “aritmatika Arab” yang mulai
dipelajari di Aceh pada tahun 1620.119
Kapal-kapal yang akan masuk atau keluar pelabuhan Kesultanan
Aceh Darussalam harus melewati jalur sesuai dengan arah datang dan
tujuan kapal tersebut. Ada tiga jalur sebagai pintu masuk dan keluar Teluk
Aceh yang terlindungi oleh Pulau Weh, Pulau Breuh, dan Pulau Bunta. Alur
pertama terkenal dengan jalur Surate karena kapal-kapal yang berlayar
dari dan ke Gujarat memakai jalan ini. Jalur kedua diberi nama jalur
Benggal karena jalur ini dilalui oleh kapal yang datang dari dan berangkat
menuju Benggala dan pantai timur India. Jalur ketiga adalah jalur yang
khusus digunakan oleh kapal-kapal yang berlayar ke arah Malaka dan
Negeri-negeri di Bawah Angin. Dalam melakukan pelayaran, pengetahuan
tentang alur ini sangat penting, kalau tidak, kapal bisa mengalami nasib
seperti yang dialami oleh pengunjung Belanda, Nicolaus de Graaff, yang
kandas pada karang yang terdapat dekat Pulau Weh pada tahun 1641.120
Dalam bidang perdagangan, Aceh terkenal dengan lada yang
merupakan komoditas ekspor sejak kejayaan Kerajaan Pasai dan Pedir.121
Khusus komoditas lada, Kesultanan Aceh Darussalam menerapkan
kebijakan monopoli di seluruh wilayah kekuasaannya. Politik dagang
ini mengharuskan semua lada yang dihasilkan daerah tersebut dijual

119 Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 2004), hlm. 31–32.
120 Anthony Reid, Sejarah Modern…, (2004: 97–98).
121 Anthony Reid, The Contest..., (1969: 6).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 65


kepada raja atau wakil raja Aceh. Perdagangan lada, baik di ibu kota
kesultanan maupun di kota-kota pelabuhan yang berada di bawah
pengaruh Kesultanan Aceh, berada di bawah pengawasan Sultan Aceh.
Pedagang-pedagang asing yang ingin berdagang di daerah taklukan Aceh
harus memperoleh izin dari Sultan Aceh. Lada milik kesultanan dijual
oleh Sultan atau para pejabatnya, seperti orang kaya atau syahbandar
kepada pedagang-pedagang asing. Pedagang asing dan rakyat biasa juga
boleh berdagang lada dengan seizin Sultan. Untuk mengumpukan lada
sebanyak mungkin di ibu kota kesultanan, Sultan Aceh menyuruh para
wakilnya yang berada di pantai barat Sumatra untuk mengumpulkan lada
kemudian diangkut ke Aceh. Jumlah lada yang dihasilkan tiap-tiap tahun
di pantai barat Sumatra sebanyak 50.000 karung. Menurut perkiraan A.
K. Das Gupta, dari jumlah tersebut yang diangkut ke Aceh sesuai perintah
Sultan sebanyak 16.000 karung. Dengan tiap-tiap karung sejumlah 60
lbs (poun), berarti total semuanya adalah 960.000 lbs atau 43.584 kg.122

Gambar 1.6. Sketsa Bandar Aceh Darussalam Menurut Kesaksian Peter Mundy
Sumber: http://asoelhok.blogspot.com/2016/03/

122 A. K. Das Gupta, “Acheh in Indonesian…”, (1962: 103).

66 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Ketika bangsa Eropa mulai berdatangan ke kawasan ini, sebagian
dari mereka membeli lada di Bandar Aceh Darussalam dan sebagian lagi,
setelah minta izin pada penguasa Aceh, membelinya langsung di berbagai
kota di pesisir barat.123 Di kota-kota pelabuhan kekuasaan Kesultanan Aceh
Darussalam, lada diperdagangkan oleh Sultan atau bawahannya, yaitu
syahbandar dan laksamana, orang-orang kaya, pedagang asing seperti
orang Gujarat dan sekelompok orang yang lebih rendah kedudukannya,
yang juga ikut ambil bagian dalam perdagangan di bawah kendali tokoh-
tokoh yang lebih berkuasa. Menurut informasi dari John Anderson, kapal-
kapal Inggris di Aceh berdagang dengan syahbandar atau bawahan
Sultan lainnya. Sebaliknya, orang-orang Tamil (India) dan Cina berdagang
dengan penduduk biasa. Kapal-kapal dagang Inggris sering singgah di
Pelabuhan Pedir dan pelabuhan-pelabuhan lain di Aceh, di pantai timur
maupun di pantai barat Aceh.124
Tingginya permintaan lada di pasaran dunia menyebabkan banyak
pedagang mancanegara yang ingin mendapatkan komoditas ini di
Pelabuhan Aceh. Oleh karena itu, pelabuhan Kesultanan Aceh Darussalam,
khususnya pada masa keemasannya paruh pertama abad ke-17, setiap
tahun disinggahi oleh pedagang dari berbagai bangsa di Asia. Mereka
membawa berbagai macam barang dagangan dan memuat kembali kapal
mereka dengan berbagai komoditas yang dihasilkan di Sumatra, atau
komoditas yang datang dari wilayah lain yang diperdagangkan di Aceh.
Pedagang Gujarat membawa berbagai macam calicoes, kapas dan benang
kapas, kain berwarna kasar, selimut, dan karpet. Mereka memuat kembali
kapalnya dengan lada, emas, sutra, kemenyan, kapur barus, lignaloes,
lilin, madu, minyak bumi, rempah-rempah, timah, kayu cendana, porselen
Cina, barang-barang dagangan Cina lainnya, dan rials. Para pedagang dari
Koromandel dan Pantai Malabar lainnya membawa beras, mentega dan
minyak dalam toples, salampoorees putih dan biru, chint yang bagus dari
Masulipatam, barang bergaris, bantal karpet, pintado (kain berwarna),
baja, dan budak. Mereka memuat kembali kapal mereka dengan lada,

123 W. L. Ritter, Indische Herinneringen… (1843: 246).


124 John Anderson, Acheen and the Ports on the North and East Coasts of Sumatra (Kuala Lumpur:
Oxford University Press, 1971), hlm. 24.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 67


sulfur, kapur barus, damar, kemenyan, lignaloes, kain sutra kasar, kayu
cendana, porselen Cina, barang-barang dagangan Cina lainnya, timah,
rials, dan pakaian Gujarat.
Dari Benggala didatangkan beras, gandum, minyak, mentega,
gula, stick lac, cambaya, pakaian sutra, saputangan, kain kasa, budak
laki-laki dan perempuan. Mereka membawa pulang dari Aceh lada dan
sutra. Dari Arakan datang beras, kapas, dan kain katun. Pedagang dari
Pegu membawa beras, martaban jars, stick lac, dan gansa (bell-metal).
Komoditas utama yang datang dari Tenasserim, Sri Lanka, Perak, dan
Kedah ke Aceh adalah timah. Dari Siam diimpor timah, tembaga, barang-
barang dagangan Cina, beras, kotak tulis polos dan berpernis. Para
pedagang Cina membawa ke Aceh akar-akaran, porselen, sutra bergaris
dan berbunga, gong, koin emas dan perak, panci dan wajan baja. Dari
Aceh para pedagang Cina mengangkut lada dalam jumlah besar, gading
gajah, dan kain India. Dari Jawa didatangkan, beras, gula, dan cassia
fistula (sejenis kayu manis). Dari Kalimantan dan Makassar didatangkan
budak laki-laki, perempuan, dan anak-anak.125
Pentingnya kedudukan Aceh dalam jaringan perdagangan
internasional masih berlanjut sampai paruh kedua abad ke-17,
walaupun secara politik Aceh mulai mengalami masa-masa kemunduran
sepeninggalan Sultan Iskandar Muda. Malahan saat itu Pelabuhan Aceh
mulai banyak disinggahi oleh pedagang-pedagang Eropa. Menurut
catatan Nuruddin Ar-Raniry dalam karyanya Bustan al Salatin yang ditulis
tahun 1638, dinyatakan bahwa Pelabuhan Aceh sangat sibuk oleh kapal-
kapal dagang, jung-jung, dan perahu-perahu dari berbagai bangsa di
dunia. Selanjutnya pada tahun 1670-an, Bowrey mendeskripsikan banyak
sekali pedagang dan pengrajin dari berbagai bangsa yang secara berkala
berkunjung ke Pelabuhan Aceh, seperti pedagang Inggris, Belanda,
Denmark, Portugis, Cina, Malabar, Benggala, Gujarat, Jawa, Melayu, dan
Makasar. Selama dua tahun Dampier mengunjungi Aceh (1688–1689).
Dia melihat Bandar Aceh Darussalam sebagai pelabuhan (kota) terbesar,
terkaya, dan terpadat di Pulau Sumatra. Dermaga pelabuhan tidak

125 A. K. Das Gupta, “Acheh in Indonesian…”, (1962: 108–110).

68 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


pernah kurang dari sepuluh sampai lima belas kapal dari mancanegara
berlabuh.126
Setelah melewati masa-masa penting tersebut peran Aceh dalam
jaringan perdagangan internasional mengalami kemunduran secara
berarti. Hal ini selain disebabkan kondisi politik di Kesultanan Aceh
Darussalam sendiri yang kurang kondusif akibat intrik politik perebutan
kekuasaan di dalam istana, juga akibat intervensi kekuatan bangsa
Barat ke Kesultanan Aceh. Ekspansi kekuasaan Belanda di pantai barat
Sumatra yang merupakan penghasil utama komoditas lada Kesultanan
Aceh menyebabkan terputusnya suplai komoditas tersebut ke Bandar
Aceh Darussalam. Demikian juga halnya yang terjadi dengan pantai
timur Sumatra dan Semenanjung Malaya. Implikasinya adalah komoditas
perdagangan di Bandar Aceh Darussalam menurun secara signifikan,
sehingga Pelabuhan Aceh mulai ditinggalkan oleh para pedagang
mancanegara. Malahan pada akhir abad ke-19, Kesultanan Aceh
Darussalam sendiri menjadi korban ekspansi kekuasaan Belanda.

126 Sher Banu, A. L. Khan, “Response and Resilience Aceh’s Trade in the Sevententh Century” dalam
Irwan Abdullah, dkk., Pengembangan Kebudayaan dan Kemaritiman Aceh: Strategi dan Tantangan
(Banda Aceh: Dinas Kebudayaan dan Parawisata Aceh, 2018), hlm. 242.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 69


MENEGAKKAN KEDAULATAN DAN KETAHANAN EKONOMI:
70 BANK INDONESIA DALAM PUSARAN SEJARAH KALIMANTAN BARAT
Bab 2
Ekspansi Kolonial:
Dari Kehancuran ke
Pertumbuhan Ekonomi

S etelah mengalami era kejayaan pada masa kesultanan, Aceh


mengalami kehancuran total akibat ekspansi kolonialisme Belanda
pada akhir abad ke-19. Aceh merupakan daerah terakhir di Nusantara
yang ditaklukkan Belanda. Penaklukan Aceh berkaitan erat dengan upaya
Belanda mengukuhkan hegemoni imperialisme mereka di Nusantara
(Pax-Neerlandica). Serangan militer dilakukan pada tahun 1873, setelah
proses negosiasi untuk pengakuan kedaulatan Belanda atas wilayah
Kesultanan Aceh ditolak oleh Sultan Aceh. Perang Aceh berlangsung
lama, alot, menghabiskan biaya yang sangat besar, dan memakan korban
yang banyak dari kedua belah pihak. Malahan, Belanda harus membayar
“mahal” dengan terbunuhnya pimpinan ekspedisi penaklukan pertama,
Jenderal Kohler.
Sulitnya Belanda memenangkan perang karena rakyat Aceh
menganggap perang melawan Belanda bukan hanya perjuangan
melawan dominasi asing atas wilayah mereka, tetapi juga sebagai perang
suci (perang sabil) untuk mempertahankan agama mereka dari invasi
Belanda yang disimbolkan sebagai kafir. Peran ulama sangat besar dalam
memompakan semangat juang rakyat. Mereka memfatwakan bahwa ikut
berperang melawan Belanda merupakan fardhu ‘ain yang wajib hukumnya
bagi setiap rakyat Aceh. Upaya tersebut cukup berhasil membangkitkan
semangat juang rakyat Aceh melawan Belanda. Hal ini dapat dilihat
saat Dalam (Istana) yang merupakan salah satu simbol Kesultanan Aceh

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 71


berhasil direbut Belanda, perang tidak berhenti, namun terus berkobar
dan semakin meluas.1
Melihat tingginya semangat anti Belanda dari rakyat Aceh, maka
pada awal pergantian abad, terutama setelah Sultan Aceh menyerahkan
diri akibat keluarganya disandera tahun 1903, pemerintah kolonial
Belanda mulai mengubah kebijakannya terhadap Aceh. Berkat anjuran
seorang orientalis, Christian Snouck Hurgronje, sejak awal tahun 1900-an
kebijakan penaklukan dengan kekerasan diubah menjadi politik mengambil
hati rakyat (Politik Pasifikasi). Tujuannya adalah agar rakyat Aceh tidak
lagi melawan tetapi dengan sukarela mau bekerja sama dengan Belanda
dalam membangun kembali Aceh yang porak-poranda akibat perang
berkepanjangan. Walaupun tidak sepenuhnya berhasil menarik simpati
rakyat Aceh, kebijakan tersebut memungkinkan Belanda melakukan
pembangunan infrastruktur secara besar-besaran di Aceh, terutama
fasilitas militer, pemerintahan, maupun prasarana ekonomi. Kebijakan-
kebijakan tersebut berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi di
Aceh sejak awal abad ke-20, baik pada sektor ekonomi kapitalis maupun
perekonomian rakyat. Kedua indikator inilah yang menjadi alasan utama
didirikan De Javasche Bank Agentschap Koetaradja. Kebijakan ini terus
dijalankan sampai kekuasaan Belanda di Aceh berakhir pada tahun 1942
dengan masuknya Jepang.

Perang dan Kehancuran Ekonomi Aceh


Perang Kolonial di Aceh

D alam upaya mewujudkan Pax-Neerlandica, sejak tahun 1870 Belanda


semakin bernafsu menaklukkan Aceh. Kuatnya keinginan tersebut
disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu pembukaan Terusan Suez pada
tahun 1869 dan dikeluarkan Undang-Undang Agraria pada tahun 1870.
Pembukaan Terusan Suez yang memperpendek jarak pelayaran dari Eropa
ke Asia mengakibatkan dunia mengalami perubahan besar terutama di

1 Lihat T. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah: Perang Aceh, 1873–1912 (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1987).

72 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


bidang politik, ekonomi, dan sosial. Lalu lintas pelayaran antara Eropa
dan Asia semakin bertambah ramai, sehingga ekspansi perdagangan dan
penjajahan Barat juga menunjukkan skala yang meningkat di seluruh Asia.
Implikasinya adalah kompetisi internasional antarbangsa Barat tidak bisa
dihindari, terutama dalam memenangkan perdagangan dan perebutan
tanah jajahan.2
Sebagai suatu negeri merdeka penuh yang berada di pintu gerbang
masuk Selat Malaka, kedudukan Aceh semakin penting baik di bidang
politik, ekonomi, maupun militer bagi bangsa Barat. Posisi strategis tersebut
menyebabkan Belanda semakin khawatir akan kemungkinan Aceh jatuh
kepada salah satu negara Barat lainnya. Dengan pertimbangan tersebut
Belanda memutuskan untuk meninggalkan strategi lama yang hanya
terbatas pada menganeksasi, mencopot atau mengacaukan wilayah-
wilayah kekuasaan Aceh. Sejak saat itu Belanda menyusun rencana untuk
melakukan invasi secara besar-besaran guna menaklukkan Aceh.
Faktor kedua yang memperkuat keinginan Belanda menaklukkan
Aceh adalah diberlakukannya Undang-Undang Agraria pada tahun 1870.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria berarti prinsip-prinsip
liberalisme mulai dipraktikkan di Indonesia dengan tetap tidak terlepas
dari tujuan kolonialismenya. Implikasinya adalah perusahaan-perusahaan
swasta dari berbagai bangsa bisa menanamkan modalnya di Indonesia.
Investasi swasta asing bersama investasi kolonial Belanda sendiri mulai
mengeruk kekayaan Indonesia secara lebih intensif. Dengan demikian
zaman imperialisme modern mulai berlaku di Indonesia menggantikan
imperialisme kuno.
Dalam situasi yang seperti itu, Belanda sebagai tuan rumah tanah
jajahan harus memikirkan cara menampung kegiatan modal asing
yang sedang berkembang, dengan memberi fasilitas-fasilitas khusus.
Sehubungan dengan itu, kerajaan-kerajaan yang masih merdeka di
Indonesia perlu segera dikuasai. Rencana tersebut direalisasikan Belanda
dengan melakukan ekspansi secara lebih intensif sejak akhir abad ke-19.
Pulau Sumatra merupakan prioritas pertama dari rencana tersebut, dan
penaklukan Aceh termasuk dalam rencana prioritas tersebut.

2 Brian Harrison, South Asia A Short History (London: Mac Millan & Co. Ltd., 1960), hlm. 97– 98.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 73


Dari aspek politik, Kerajaan Aceh merupakan penghambat utama
gerak perluasan kekuasaan Belanda di sepanjang pesisir timur dan barat
Sumatra. Selain itu, modal dari berbagai bangsa yang sedang ditanam,
terutama di daerah Sumatra Timur, juga memerlukan jaminan keamanan.
Salah satu cara yang paling tepat adalah dengan menaklukkan Kerajaan
Aceh, karena dengan demikian kekuasaan Belanda di Sumatra Timur
akan menjadi lebih aman.3 Akan tetapi, penyerangan terbuka terhadap
Aceh tidak bisa dilakukan karena Belanda masih terikat perjanjian dengan
Inggris yang ditandatangani tahun 1824 (Traktat London).
Keterbatasan geraknya terhadap Aceh telah mendorong Belanda
berupaya untuk memperbaharui Traktat London. Usaha keras Belanda
untuk mengajak kembali Inggris ke meja perundingan akhirnya berhasil,
setelah kedua negara menandatangani kembali perjanjian baru yang
disebut dengan Traktat Sumatra pada 2 November 1871. Salah satu isi
penting perjanjian tersebut adalah Belanda diberi kebebasan bertindak
di Sumatra. Dengan perjanjian baru itu terbuka peluang bagi Belanda
melakukan penyerangan terhadap Aceh.4
Dalam rangka mewujudkan rencana tersebut, pada tahun 1871
Belanda mengirim kapal perang Jambi ke perairan Aceh. Pengiriman
kapal perang itu ditujukan untuk menyelidiki ujung-ujung pantai tempat
didirikan mercusuar dan sekaligus meneliti kedalaman perairan di pantai
Aceh. Tujuan lainnya adalah untuk mengetahui keadaan politik di Aceh.
Sebuah kapal perang lain juga dikirim ke Selat Malaka untuk memberantas
bajak laut sekaligus memamerkan kekuatan di beberapa tempat di
pantai Aceh Utara. Aktivitas kapal-kapal Belanda tersebut membuat
Kerajaan Aceh tidak senang, sehingga saat utusan Belanda berkunjung
ke Aceh tidak diterima dengan baik oleh para pejabat Aceh. Dalam
pertemuan di geladak kapal perang Jambi pada 27 September 1871,
Habib Abdurrahman yang mengaku sebagai Perdana Menteri Kesultanan

3 Anonimous, Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Istimewa Aceh
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1982/1983), hlm. 57–58.
4 Muhammad Ibrahim dkk., Sejarah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Jakarta: Proyek Penelitian
dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1978), hlm.
98; Anonimous, Sejarah Perlawanan…, (1982/1983: 58–59).

74 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Aceh menyatakan bahwa apabila Belanda ingin bersahabat dengan Aceh
harus dimulai dengan mengembalikan wilayah-wilayah Aceh yang direbut
Belanda, seperti Sibolga, Barus, Singkil, Pulau Nias, dan kerajaan-kerajaan
di Sumatra Timur.5
Dengan ditandatanganinya Traktat Sumatra, Kesultanan Aceh
Darussalam merasa sangat terancam. Hal ini sangat beralasan mengingat
sejak pertengahan abad ke-19 Belanda selalu berusaha merebut wilayah-
wilayah kekuasaan Aceh. Dalam situasi seperti itu, sebagai kerajaan
yang berdaulat, Aceh berusaha mencari bantuan dari negara-negara
yang dianggap bersahabat dengannya. Pada 25 Januari 1873, dalam
perjalanan kembali dari menemui Residen Riau, utusan Kesultanan Aceh
yang diketuai oleh Panglima Tibang Muhammad singgah di Singapura. Di
sini mereka mengadakan hubungan dengan konsulat Amerika dan Italia.
Hasil pertemuan tersebut, Konsul Amerika bersama para utusan Aceh
mempersiapkan sebuah konsep kerja sama sederajat antara Amerika
dengan Aceh untuk menghadapi ancaman Belanda.
Setelah mengetahui kejadian itu, Konsul Belanda di Singapura
mengirim telegraf kepada Pemerintah Hindia Belanda, bahwa konsul
Amerika dan Italia berusaha agar pemerintah mereka masing-masing
menyokong dan membantu Aceh. Akibatnya Pemerintah Belanda
memerintahkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, James Loudon,
agar mengirim angkatan laut ke Aceh, kalau perlu disertai pasukan yang
kuat. Khawatir terhadap tindak lanjut hasil perundingan antara Aceh
dengan Amerika di Singapura yang dapat merugikannya, Belanda segera
mengambil tindakan. Setelah diperoleh berita bahwa sebuah skuadron
angkatan laut Amerika di bawah Admiral Jenkins akan berangkat pada 1
Maret 1873 dari Hongkong ke Aceh, maka Wakil Presiden Dewan Hindia,
Nieuwenhuijzen, diangkat sebagai komisaris pemerintah dan ditugaskan
berangkat ke Aceh. Ia ditugaskan untuk menuntut penjelasan Sultan
Aceh tentang kegiatan utusannya selama berada di Singapura dan untuk
mengusahakan agar Sultan Aceh mengakui kedaulatan Belanda.6

5 T. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah…, (1987: 63).


6 T. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah…, (1987: 64).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 75


Dalam usaha menghadapi kemungkinan serangan dari Belanda,
Kesultanan Aceh Darussalam mulai mempersiapkan diri dengan
memperkuat pertahanan. Sejak bulan Agustus 1872 sampai Maret 1873
Aceh telah mengimpor 1.349 peti senapan dan 5.000 peti mesiu dari
Pulau Pinang.7 Tidak lama kemudian, proses impor persenjataan tersebut
mendapat kendala, karena sejak 31 Maret 1873 pemerintah kolonial
Inggris di Singapura mengeluarkan larangan mengekspor senjata dan
mesiu dari tempat dan pelabuhan mana pun di lingkungan koloni Inggris
ke Aceh. Kejadian tersebut tidak mengendurkan usaha rakyat Aceh
untuk mempersiapkan diri menghadapi keadaan yang genting. Kegiatan
selanjutnya dilakukan melalui pengumpulan dana dari masyarakat untuk
membiayai perang yang semakin dekat. Pada 10 Maret 1873, keluarga
mantan Sultan Aceh, Sultan Alaudin Jamalul Alam Badrul Munir Al-
Jamalullail menyumbangkan 12 kg emas untuk keperluan belanja perang.8
Indikasi penyerangan Belanda terhadap Aceh akan segera direalisasi
sebenarnya sudah nampak dengan diangkatnya James Loudon sebagai
Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada awal Januari 1872. Hal ini dapat
diketahui dari kata-kata Loudon sendiri dalam kampanyenya untuk
mendapatkan jabatan tersebut, dengan mengatakan bahwa Aceh harus
segera diserang. Setelah pengangkatan Loudon, Menteri Tanah Jajahan,
Van de Putte menginstruksikan agar penyerangan terhadap Aceh harus
segera dilaksanakan.9 Rencana invasi militer Belanda ke Aceh mendapat
tantangan keras dari Partai Liberal di Tweede Kamer (Majelis Rendah
Parlemen Belanda) dan dari beberapa warga Belanda sendiri.
Tantangan yang sangat keras terhadap rencana penyerangan Aceh
dilontarkan oleh Douwes Dekker (Multatuli).10 Melalui surat yang ditulis
di Wiesbaden (Jerman) pada bulan September 1872 dan dikirim khusus

7 E. B. Kielstra, Beschrijving van den Atjeh Oorlog: met Gebruik making der Officieele Bronnen, door
het Departement van Kolonien daartoe Afgestaan (Jilid I) (‘s-Gravenhage: De Gebroeders can Cleef,
1883), Lampiran I, hlm. 58.
8 T. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah…, (1987: 65).
9 Anonimous, Sejarah Perlawanan…, (1982/1983: 59–60.
10 Eduard Douwes Dekker (2 Maret 1820–19 Februari 1887) dengan nama samaran ‘Multatuli’ adalah
mantan pamongpraja Hindia Belanda yang pernah bertugas di Sumatra (Natal, Padang), Sulawesi
Utara (Manado), Maluku (Ambon), dan Jawa (Banten).

76 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


kepada Ratu Belanda, ia mengimbau kepada Ratu Belanda agar jangan
menyerang Kerajaan Aceh, karena Aceh telah berjasa sangat besar kepada
Kerajaan Belanda. Salah satu bagian terjemahan dari surat tersebut yaitu:

“Yang Mulia, Gubernur-Jenderal Yang Mulia, kini sedang bersiap-siap,


dengan alasan yang dicari-cari, setinggi-tingginya atas dasar-dasar provokasi,
hendak memaklumkan perang kepada Sultan Aceh dengan maksud hendak
merampas kemerdekaan yang beliau pusakai secara turun-temurun itu.
Yang Mulia, tindakan ini merupakan hal yang tidak tahu berterima kasih,
tidak satria, tidak jujur, dan tidak bijaksana”.11

Dengan surat tersebut Multatuli ingin mengingatkan Ratu Belanda


agar jangan begitu mudah melupakan jasa Kerajaan Aceh yang telah
mengirim misinya ke Belanda pada tahun 1602. Misi tersebut sangat
penting karena Aceh telah memberikan pengakuan secara de facto dan
de jure kepada Kerajaan Belanda yang sedang berjuang mempertahankan
kemerdekaannya dalam perang 80 tahun (1568–1648) dengan Spanyol.
Misi yang dikirim oleh Sultan Alauddin Riayat Syah Almukammil tersebut
sejumlah tiga orang duta Aceh ke Belanda, yaitu Tuanku Abdul Hamid,
Sri Muhammad, dan Mir Hasan. Tidak lama setelah menemui Pangeran
Maurits di Middleburg, Zeeland, Belanda, pimpinan delegasi Aceh Tuanku
Abdul Hamid, meninggal karena penyakitnya kambuh akibat suhu
dingin. Dia dikuburkan dengan penghormatan di pekarangan gereja di
Middleburg. Utusan Kesultanan Aceh tersebut merupakan misi diplomatik
pertama antara Asia Tenggara dengan Eropa.
Berdasarkan fakta tersebut Douwes Dekker mengatakan bahwa
tindakan Pemerintah Belanda yang selama ini telah mencopot dan
menganeksasi wilayah-wilayah Aceh di perbatasan pesisir timur dan barat
Sumatra sebenarnya sudah cukup menjatuhkan nilai kemanusiaan bangsa
Belanda. Nilai kemanusiaan akan lebih terpuruk lagi apabila Belanda

11 “Surat Multatuli Kepada Raja Tentang Pidato Pembukaan Kenegaraan”, (Alih bahasa: Aboe Bakar),
Seri Informasi Aceh Th. III No. 2, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1979), hlm.
4.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 77


merealisasikan niatnya melancarkan perang terbuka dengan Kerajaan
Aceh yang telah berjasa terhadap Kerajaan Belanda justru di saat yang
paling dibutuhkannya.12

Gambar 2.1. Utusan Aceh yang Dikirim ke Belanda Tahun 1602


Sumber: https://steemit.com/history/@arafatnur/utusan-sultan-aceh-meninggal-di-belanda

Imbauan Douwes Dekker ternyata tidak mendapat perhatian dari


Pemerintah Belanda karena kalah dengan keinginan membangun Pax-
Neerlandica-nya. Sebagai realisasi dari rencana tersebut, pada 22 Maret
1873 kapal Citadel van Antwerpen yang membawa Komisaris Pemerintah
Belanda untuk Aceh, Nieuwenhuijzen, telah berlabuh di perairan Bandar
Aceh Darussalam. Melalui juru bahasa Sidi Tahil, disampaikan sebuah
surat yang berisi permintaan agar Sultan Aceh mengakui kedaulatan
Belanda. Disampaikan pula berbagai alasan sehubungan dengan
permintaan tersebut, termasuk tuduhan bahwa Aceh telah melanggar

12 Anonimous, Sejarah Perlawanan…, (1982/1983: 60–61).

78 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


pasal-pasal perjanjian 30 Maret 1857.13 Surat balasan dari Sultan Aceh
bertanggal 23 Maret 1873 ternyata sama sekali tidak menyinggung apa
yang dikehendaki oleh Belanda. Oleh karena tidak puas, Nieuwenhuijzen
mengirim surat susulan untuk menegaskan kembali isi surat sebelumnya.
Akan tetapi, jawaban Sultan tetap pada pendiriannya, yaitu dengan tegas
menyatakan tidak dapat memenuhi keinginan Belanda. Demikian juga
dengan surat-surat yang susul-menyusul berikutnya.14
Sikap Sultan Aceh tersebut telah mendorong Belanda untuk segera
menyatakan perang terbuka terhadap Kesultanan Aceh Darussalam.
Pernyataan tersebut dikemukakan Nieuwenhuijzen secara resmi tanggal
26 Maret 1873. Pemerintah Hindia Belanda juga telah mempersiapkan
pasukannya tidak kurang dari 3.360 orang. Dengan kekuatan tersebut,
pada tanggal 5 April 1873 pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal
Mayor J. H. R. Kohler sudah bersiap di perairan Aceh.15 Pasukan tersebut
diperkuat dengan enam buah kapal uap, dua buah kapal angkatan laut,
lima buah kapal barkas, delapan buah kapal peronda, sebuah kapal
komando, enam buah kapal pengangkut, dan lima buah kapal layar. Pada
8 April 1873 Belanda mulai mendaratkan pasukannya di Pantai Pantee
Ceureumen, Ulee Lheue, lebih kurang 5 km dari ibu kota Kesultanan Aceh
Darussalam.16 Ekspansi kolonialisme Belanda ini direspons oleh masyarakat
Aceh dengan memobilisasi seluruh kekuatan yang ada. Mereka bersatu
untuk bersama-sama menghadapi pasukan Belanda. Sejak itu dimulailah
perang terlama dalam sejarah Nusantara yang pernah dihadapi Belanda.
Setelah beberapa hari peperangan berlangsung, pasukan Belanda
berhasil menguasai Masjid Raya Baiturrahman, tetapi karena tekanan-
tekanan dari pasukan Aceh masjid yang telah dikuasai terpaksa mereka
tinggalkan. Dalam peperangan ini pasukan Aceh ada yang bertempur
dalam kelompok-kelompok kecil dan ada juga dalam pasukan-pasukan

13 Sebenarnya Belanda telah lebih dulu melanggar perjanjian tersebut sejak tahun 1858.
14 “Surat-Surat Lepas yang Berhubungan dengan Politik Luar Kerajaan Aceh Menjelang Perang Belanda
di Aceh”, Seri Informasi Aceh Tahun XXXXII Nomor 4 (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi
Aceh, 2019), hlm. 44–67.
15 Anonimous, Sejarah Perlawanan…, (1982/1983: 62).
16 T. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah…, (1987: 65–66).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 79


besar yang dipimpin oleh para uleebalang (bangsawan). Salah seorang
pemimpin pasukan Aceh tersebut adalah Teuku Imeum Lueng Bata.
Saat Belanda ingin menguasai kembali Masjid Raya Baiturrahman yang
dipertahankan oleh pasukan Aceh, tiba-tiba pada 14 April 1873 pimpinan
pasukan Belanda, Jenderal Kohler tewas karena terkena peluru pihak
Aceh. Pasukan Belanda tidak berhasil menguasai Dalam (Kraton). Mereka
berhasil dipukul mundur oleh pasukan Aceh dan menderita kekalahan
besar, 45 orang tewas, termasuk delapan orang opsirnya, 45 orang luka-
luka, di antaranya 23 orang opsir. Tiga hari setelah Kohler tewas, pada
23 April 1873 pasukan Belanda mengundurkan diri ke pantai. Setelah
mendapat izin dari Pemerintah Hindia Belanda mereka meninggalkan
pantai Aceh pada 29 April 1873, yang berarti invasi pertama Belanda
mengalami kegagalan total.17
Kekalahan tersebut merupakan pukulan berat tidak hanya bagi
Belanda, tetapi juga bagi bangsa-bangsa Barat lainnya, karena selama
ini ada anggapan bahwa seakan-akan bangsa Timur dengan mudah
dapat dikalahkan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila timbul
reaksi keras yang bernada menentang kebijakan Pemerintah Belanda
melakukan penyerangan terhadap Aceh, baik dari media massa dalam
dan luar negeri, seperti Javabode, Morning Post, The Times, dan lain-lain.
Penentangan juga disuarakan oleh beberapa anggota Majelis Rendah di
Parlemen Belanda dan juga dari Pemerintah Inggris.18 Adanya kritikan
pedas tersebut menyebabkan Pemerintah Belanda menjadi lebih emosional
untuk melancarkan serangan kembali guna menaklukkan Aceh.
Di pihak yang lain, rakyat Aceh juga lebih bersemangat dalam
menghadapi serangan tentara Belanda kedua ini, selain disebabkan
kemenangan yang diperoleh pada invasi pertama juga banyaknya
bantuan yang mengalir dari daerah-daerah uleebalang ke Bandar Aceh
Darussalam. Persiapan yang sama juga dilakukan oleh orang-orang Aceh
yang ada di luar negeri. Menghadapi situasi seperti ini, orang Aceh di
Penang membentuk sebuah dewan yang berjumlah delapan orang yang
terdiri atas empat orang bangsawan yaitu Teuku Ibrahim, Nyak Rayeuk,

17 T. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah…, (1987: 66).


18 Anonimous, Sejarah Perlawanan…, (1982/1983: 69–70).

80 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Haji Panglima Perang Yusuf, dua orang Arab kelahiran Penang yaitu
Syaikh Ahmad dan Syaikh Kasim, serta dua orang Keling (India) kelahiran
Penang, yaitu Umar dan Ollan Meidin. Dibentuknya dewan ini bertujuan
untuk mewakili kepentingan-kepentingan Aceh di sana.19 Dewan
ini mengusahakan perbekalan perang dengan berupaya menembus
blokade Belanda dan mengadakan hubungan agar tempat-tempat lain di
Nusantara timbul juga pemberontakan terhadap Belanda.
Pada 9 Desember 1873 di bawah pimpinan seorang pensiunan
panglima pasukan Hindia Belanda yang diaktifkan kembali, Letnan
Jenderal J. van Swieten, invasi militer kedua dilancarkan dengan kekuatan
lebih dari dua kali lipat dari invasi pertama. Kekuatan pasukan Belanda
terdiri atas 18 kapal perang uap, 7 kapal uap angkatan laut, 12 buah
barkas, 2 kapal peronda yang dipersenjatai, 22 kapal pengangkut dengan
alat-alat pendarat yang terdiri atas 6 buah barkas uap, 2 buah rakit kayu,
sekitar 80 buah sekoci, beberapa buah sekoci angkatan laut dan sejumlah
besar tongkang.20
Serangan Belanda ini mendapat perlawanan keras dari rakyat Aceh.
Menurut laporan mata-mata Belanda, setelah Masjid Raya Baiturrahman
dapat diduduki pada 6 Januari 1874, masih terdapat 3.000 pasukan
Aceh yang berasal dari Mukim XXII untuk mempertahankan garis serang
yang dibuat oleh Panglima Polem dengan mengambil kedudukan di
Lampu’uk. Tuanku Hasyim Banta Muda yang pada invasi pertama sedang
berada di Sumatra Timur, sekarang telah kembali dengan 900 pasukan.
Mereka ikut bertempur mempertahankan Dalam (istana) dan Masjid
Raya Baiturrahman. Raja Pidie yang datang bersama sekitar 500 orang
rakyatnya membuat kubu pertahanan di Lueng Bata. Rakyat Peusangan
yang berjumlah sekitar 1.000 orang datang pada pertengahan Januari
1874 dan mengambil kedudukan di Kuala Cangkoi. Raja Teunom, Teuku
Imeum Muda, juga ikut ambil bagian bersama sekitar 800 orang rakyatnya
dengan sejumlah besar senjata.
Ketika Dalam terus menerus mendapat serangan dari pasukan
Belanda, berjangkit pula penyakit kolera, sehingga Sultan Aceh dan

19 E. B. Kielstra, Beschrijving van den Atjeh Oorlog…, (1883: 223-224).


20 T. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah…, (1987: 66).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 81


Panglima Polem mengundurkan diri ke Lueng Bata pada 23 Januari 1874.
Dalam yang tetap dipertahankan oleh pasukan Aceh akhirnya dapat
dikuasai Belanda sehari kemudian. Keberhasilan ini disebabkan oleh kurang
adanya koordinasi antara pasukan Aceh. Selain Dalam, pasukan Belanda
juga berhasil merebut Masjid Raya Baiturrahman yang kemudian dibakar
karena dianggap sebagai simbol perjuangan dan pusat pertahanan rakyat
Aceh. Setelah Dalam dapat direbut, Belanda menghentikan sementara
agresinya dengan harapan dapat tercapai persetujuan seperti Traktat Siak
dengan Sultan Aceh. Meskipun Sultan Muhammad Daud Syah mangkat di
Pagar Ayer akibat penyakit kolera pada 29 Januari 1874 dan dimakamkan
di Cot Bada, para pemimpin Aceh tetap bertekad meneruskan perjuangan
melawan Belanda.
Dengan menguasai Dalam dan beberapa wilayah sekitarnya seluas
sekitar 25 km², pada 31 Januari 1873 van Swieten memproklamirkan
bahwa Kerajaan Aceh telah berhasil ditaklukkan. Dinyatakan juga bahwa
Pemerintah Hindia Belanda telah menggantikan kedudukan Sultan dan
menempatkan daerah Aceh Besar menjadi milik Pemerintah Hindia
Belanda. Belanda juga mengancam daerah-daerah di luar Aceh Besar
mengakui kedaulatannya secara damai, jika tidak maka akan ditempuh
dengan jalan kekerasan. Setelah itu van Swieten kembali ke Batavia
pada 16 April 1874. Pemerintah Hindia Belanda beranggapan bahwa
dengan menduduki Dalam dan sebagian daerah Aceh Besar serta adanya
proklamasi pendudukan sudah cukup membuat negeri-negeri Aceh
lainnya di luar Aceh Besar akan segera tunduk pada mereka. Realitas
yang terjadi justru sebaliknya, perlawanan rakyat Aceh luas dan semakin
meningkat.21
Untuk menggantikan van Swieten, Pemerintah Hindia Belanda
menunjuk Kolonel (kemudian Jenderal) J. L. J. H. Pel. Dalam upaya
membendung serangan rakyat Aceh yang semakin meningkat ke ibu
kota, ia membangun pos-pos pertahanan sebanyak 36 pos di sekeliling
Koetaradja22, Krueng Aceh, dan Meuraksa yang dikenal dengan Lini

21 T. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah…, (1987: 68).


22 Koetaradja adalah nama baru yang diberikan oleh Belanda terhadap Bandar Aceh Darussalam
tidak lama setelah berhasil diduduki. Untuk menyesuaikan dengan konteks zaman, pada bagian ini
penyebutan Koetaradja disesuaikan dengan sebutan sezaman (Hindia Belanda).

82 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Konsentrasi. Untuk menutup kemungkinan Aceh berhubungan dengan
luar negeri, dengan mendapat izin dari Gubernur Jenderal, Pel juga
merebut daerah Krueng Raba dan Krueng Raya di pantai utara Sagi XXVI
Mukim. Akan tetapi, usaha memutus hubungan Aceh ke luar negeri tidak
pernah berhasil.

Gambar 2.2. Peta Wilayah Awal Kekuasaan Belanda di Aceh Besar


Sumber: KITLV

Rencana Belanda selanjutnya adalah menaklukkan daerah-daerah


uleebalang di luar Aceh Besar karena mereka menyadari bahwa daerah
uleebalang merupakan sumber kekuatan perlawanan rakyat Aceh. Sejak
tahun 1874 Belanda telah bergerak menuju daerah Pidie, Aceh Utara,
Aceh Timur, Aceh Barat, dan Aceh Selatan. Semua daerah yang berhasil
ditaklukkan, dipaksakan untuk menandatangani perjanjian pendek (korte
verklaring) yang terdiri atas enam pasal. Oleh karena perjanjian pendek
tidak efektif menjadikan daerah uleebalang taat kepada Belanda, maka

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 83


setelah 1876 dilakukan dengan perjanjian panjang (lange verklaring)
yang terdiri atas delapan belas pasal. Akan tetapi, dalam kenyataannya
perjanjian panjang pun hampir tidak membawa pengaruh besar terhadap
rakyat. 23
Kuatnya resistensi rakyat Aceh tidak terlepas dari tingginya semangat
juang mereka dalam mempertahankan harga diri, wilayah maupun agama.
Untuk memompa semangat juang tersebut, para ulama mengaitkan
perang melawan Belanda tersebut dengan perang fisabilillah atau perang
di jalan Allah yang wajib dijalankan oleh semua laki-laki dewasa di Aceh.
Apabila gugur dalam perang melawan Belanda yang diberi label sebagai
kafir, maka orang tersebut akan mendapat pahala syahid dan dijamin
akan langsung bisa masuk surga. Untuk maksud tersebut para ulama
menggunakan media penyampaian cerita yang sangat populer saat itu
yaitu hikayat. Muncullah hikayat perang sabil dalam beberapa versi yang
disalin berulang kali dan disebarkan ke seluruh Aceh.
Metode ini ternyata cukup efektif menghidupkan semangat
berperang rakyat Aceh yang hampir tidak pernah padam dalam
menghadapi Belanda. Walaupun Sultan Aceh terakhir, Sultan Muhammad
Daud Syah, berhasil dipaksa menyerah oleh Belanda pada tahun 1903
karena istri dan anaknya disandera, perang masih tetap bergelora di
seluruh wilayah Aceh. Pimpinan perlawanan yang sebelumnya dipegang
oleh para uleebalang kemudian beralih ke tangan ulama karena banyak
uleebalang berhasil ditaklukkan oleh Belanda. Malahan, setelah hampir
seluruh wilayah uleebalang berhasil dikuasai, perlawanan secara sporadis
masih terus berlangsung sampai masuknya Jepang tahun 1942. Perang
Aceh yang berlangsung dalam durasi waktu yang cukup panjang tersebut
telah melahirkan banyak figur pejuang yang nantinya dijadikan sebagai
pahlawan nasional, seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Mutia,
Teungku Chik di Tiro, dan Teuku Nyak Arief.
Besarnya Perang Aceh dapat juga dilihat dari bukti banyaknya biaya
yang dikeluarkan oleh Belanda untuk membiayai perang yang mereka
cetuskan tersebut. Untuk membiayai peperangan di Aceh, dalam tahun

23 Anonimous, Sejarah Perlawanan…, (1982/1983: 73–74).

84 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


1876 dan 1877, Belanda harus mengeluarkan biaya sekitar 1,5 juta
florin setiap bulan dari perbendaharaan mereka, dan pada tahun 1876
saja kerugian Belanda mencapai 26,5 juta florin.24 Mengenai jumlah jiwa
yang meninggal dan terluka, berdasarkan kalkulasi yang dilakukan oleh
Anthony Reid dari berbagai sumber yaitu dari pihak Belanda, keseluruhan
yang meninggal tertembak dalam pertempuran atau akibat terluka dari
tahun 1873 sampai 1914 adalah 2.267 orang dan terluka adalah 8.799
orang, sedangkan di pihak Aceh lebih dari 24.707 orang meninggal.25
Dari data-data statistik tersebut memperlihatkan bahwa betapa gigihnya
perlawanan rakyat Aceh dalam mempertahankan wilayahnya dari usaha
pendudukan oleh kolonialisme Belanda.

Gambar 2.3. Kuburan Belanda Kerkhof Peutjoet


Sumber: Tropenmuseum

24 T. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah…, (1987: 89).


25 Anthony Reid, The Contest for North Sumatra: Atjeh, the Netherlands and Britain, 1858–1898
(London: Oxford University Press, 1969), hlm. 296.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 85


Semangat tempur orang Aceh dalam berperang melawan
imperialisme Belanda digambarkan oleh M. Dien Madjid26 seperti matador
yang tidak kenal lelah mengalahkan benteng-benteng imperialis. Loyalitas
mereka kepada tanah airnya tidak bisa digantikan oleh darah mereka
sekalipun. Ini berarti bahwa etos tempur orang Aceh tidak mengenal
rasa takut walaupun harus berjuang di tengah hutan dan rawa yang
mengancam keselamatan jiwanya sendiri. Hal ini sesuai pula dengan
gambaran Snouck Hurgronje sebagaimana dikutip oleh M. Dien Madjid,
yaitu “…bahwa mereka dapat berbuat banyak demi uang, tetapi tidak
untuk yang kita kehendaki; bahwa mereka tidak menganggap perlu untuk
tunduk kepada kita secara sopan, pantas atau sangat perlu, kecuali mereka
terlebih dahulu dipaksa dengan kekuatan kita sendiri; bahwa kita boleh
percaya dapat bantuan dari mereka apabila mereka dapat mengharapkan
bantuan dari kita, serta percaya, yakni atas kuatnya kemauan kita, yang
dapat dibuktikan dengan perbuatan yang nyata.”
Perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda masih terus berlangsung
meskipun Belanda mengubah kebijakannya (politik pasifikasi) terhadap
Aceh sejak pergantian abad dalam upaya menghentikan perlawanan.
Politik pasifikasi ini tidak seluruhnya berhasil memadamkan api dendam
masyarakat Aceh terhadap Belanda yang mereka persepsikan sebagai kafir.
Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya terjadi penyerangan secara
sporadis yang dilakukan oleh pejuang Aceh terhadap pasukan Belanda
yang sedang berpatroli. Penyerangan ini dikenal dengan Atjeh Moorden
(pembunuhan Aceh). Atjeh Moorden ini merupakan tindakan yang sangat
berani yang dilakukan pejuang Aceh karena pelakunya tidak takut mati.
Perang yang dijiwai oleh semangat perang sabil ini masih berlangsung
secara sporadis di beberapa wilayah Aceh sampai masuknya Jepang 1942.
Bagi orang Aceh, dalam meneruskan peperangan dengan Belanda yang
dilabelkan ‘kafir’, tidak ada kaitannya dengan menyerahnya Sultan kepada
Belanda tahun 1903. Walaupun Belanda telah memproklamirkan telah
berhasil menaklukkan Aceh, tetapi penyerangan-penyerangan terhadap
orang Belanda terjadi di banyak tempat di Aceh.

26 M. Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh: Perdagangan, Diplomasi dan Perjuangan Rakyat,
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), hlm. 89.

86 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Dari hasil studi yang dilakukan oleh seorang Belanda, R. A. Kern,
disimpulkan bahwa penyerangan-penyerangan tersebut dilakukan
seragam, yang pelakunya pergi ke suatu tempat yang diharapkannya
akan dapat bertemu dengan orang-orang Eropa, seperti di tangsi
militer atau stasiun kereta api, lalu ia menyerang dan membunuh atau
melukai serdadu-serdadu Belanda sebanyak mungkin, sampai ia sendiri
dapat ditangkap atau dibunuh. Pilihan itu tergantung kepada keadaan
karena orang-orang Eropa tidak berdiam di pedalaman Aceh. Mereka
itu berkumpul di tempat-tempat yang ada militer dan di sepanjang jalan
kereta api. Tahun 1910 dilaporkan telah terjadi sebanyak 9 kasus dengan
jumlah korban 99 orang. Para korban yang dituju adalah orang-orang
“non-Islam”; pertama sekali orang-orang Eropa yang dalam pikiran orang
Aceh diserupakan dengan orang-orang Belanda. Akan tetapi, juga orang-
orang Cina dan anggota-anggota militer bumiputra yang kebanyakan
orang Ambon menerima nasib serupa, walaupun ada di antara mereka
beragama Islam.
Salah satu motif terjadinya Atjeh Moorden adalah faktor agama.
Dengan dipompa semangat juang oleh hikayat Perang Sabil, rakyat
Aceh di mana-mana ingin memperoleh hadiah yang terbesar dari Allah
yaitu menjadi syahid. Anggapan yang lebih konkret adalah barang siapa
membunuh atau berusaha membunuh kafir (Belanda), lalu menemui
ajalnya, maka ia segera akan masuk surga. Dengan mati syahid maka ia
akan terbebas dari segala dosa yang pernah diperbuatnya semasa hidup
dan akan mendapat kehidupan yang sangat baik di akhirat nanti seperti
yang dijanjikan Allah. Serangan-serangan seperti itu banyak dilakukan
oleh orang Aceh di tangsi-tangsi militer membuktikan bahwa pelakunya
melihat kemungkinan besar untuk menemukan ajalnya.27 Kenyataan
tersebut membuat Belanda tidak pernah aman selama berada di Aceh
sampai mereka meninggalkan Aceh dan Indonesia akibat datangnya
Jepang tahun 1942.

27 R. A. Kern, “Hasil Penyelidikan tentang Sebab Musabab Terjadinya “Pembunuhan Aceh” (Alih
Bahasa oleh Aboe Bakar). Seri Informasi Aceh Th. III. No. 7 (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan
Informasi Aceh, 1979), hlm. 9–10 dan 30.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 87


Keadaan Ekonomi Aceh Masa Perang

Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, sebagai kerajaan


maritim, kehidupan Kesultanan Aceh Darussalam sangat tergantung pada
aktivitas perdagangan dengan luar negeri. Komoditas yang dihasilkan
oleh wilayah-wilayah kekuasaan Aceh, terutama lada dan barang-barang
hasil bumi serta hasil hutan lainnya dipertukarkan dengan barang-barang
kebutuhan dalam negeri terutama beras dan pakaian.28 Lancarnya
aktivitas perdagangan di Kesultanan Aceh Darussalam sangat ditunjang
oleh kestabilan politik dan kuatnya pertahanan yang dapat memproteksi
aktivitas tersebut. Kenyataan tersebut telah menjadikan Bandar Aceh
Darussalam menjadi kota yang sangat ramai dan maju pada masanya.
Semua capaian tersebut menjadi sirna setelah penaklukan
yang dilakukan oleh Belanda. Perang yang terjadi secara frontal dan
berkepanjangan di seluruh wilayah Aceh telah mengakibatkan hancurnya
infrastruktur ekonomi dan mundurnya pertanian rakyat. Kebun-kebun
lada yang sebelumnya merupakan lahan usaha utama masyarakat Aceh
banyak yang ditinggalkan oleh penduduk. Selain karena sebagian besar
dari mereka ikut berjuang melawan Belanda, terlantarnya lahan tersebut
juga disebabkan keamanan yang tidak terjamin. Implikasinya adalah
produksi lada Aceh mengalami penurunan drastis. Kondisi yang sama
juga terjadi pada komoditas-komoditas produktif lainnya.
Sebagai contoh di wilayah produksi lada Aceh Timur hampir seluruh
tanaman lada di Manyak Pahit dan Langsa pada tahun 1881 ditinggalkan
pemiliknya.29 Daerah-daerah penghasil beras juga mengalami nasib serupa.
Sebelum perang dengan Belanda meletus, daerah-daerah penghasil beras
di Aceh seperti Pidie mengalami surplus beras dan dapat mengekspor ke
wilayah lain. Akibat perang yang berkepanjangan, dalam tahun 1890
daerah tersebut terpaksa harus mengimpor beras senilai f194.178.30.

28 Anthony Reid, The Contest for North Sumatra…, (1969: 6).


29 J. Langhout, Vijftig Jahren Economische Staatkunde in Atjeh (Den Haag: N.V. Boekhandel v/h W.P.
van Stockum en Zoon, 1923), hlm. 48.
30 “Laporan Politik Gubernur Aceh dan Daerah Taklukannya Selama Pertengahan Pertama Tahun
1928”, Seri Informasi Aceh Th.VI, No.1 (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1982),
hlm. 11.

88 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Macetnya produksi pertanian ditambah lagi dengan blokade ketat
yang dilakukan oleh Belanda di sepanjang pantai Aceh dalam upaya
mengisolasi Aceh dari kontak dengan luar negeri. Blokade di perairan
ini sesungguhnya telah dilakukan sebelum invasi militer dilakukan, yakni
tahun 1872. Implikasinya adalah aktivitas perdagangan dan perkapalan
di Bandar Aceh Darussalam menjadi sepi. Meskipun sepinya aktivitas
perdagangan ekspor-impor, blokade tersebut tidak berpengaruh besar
terhadap kehidupan masyarakat Aceh. Berdasarkan satu laporan saksi
mata diketahui bahwa masyarakat Bandar Aceh Darussalam sama
sekali tidak menunjukkan wajah melarat, bahkan sebaliknya. Jalan-jalan
terpelihara (vrij goed), rumah-rumah dan pekarangan yang dipagari
dirawat bersih (goed onderhouden), rakyat berpakaian baik, yang semua
itu menunjukkan tidak ada kemelaratan (geen armoede heerschen).
Di belakang rumah-rumah tampak lapangan berumput untuk tempat
peternakan kambing yang banyak dipelihara dengan baik. Demikian juga
produksi sutra cukup untuk dipakai sendiri bahkan untuk diekspor.31
Blokade sebelum perang itu justru mengkhawatirkan kaum
pedagang dan masyarakat umum di Penang dan Singapura. Mereka
cemas blokade tersebut akan menyebabkan terhentinya perdagangan
mereka dengan Aceh. Para pedagang tersebut lebih mengkhawatirkan
lagi apabila Belanda benar-benar melancarkan serangan terhadap Aceh,
sehingga mereka menentang rencana agresi tersebut. Straits Times
menulis bahwa jika Belanda menyerang Aceh maka kepentingan saudagar
praktis terganggu. Investasi yang sudah mereka tanam, sejumlah kredit
yang sudah dikeluarkan sejak Desember 1872, Januari dan Februari 1873
akan terbuang sia-sia karena imbalan yang dinantikan, yaitu pasokan
lada dan hasil bumi lainnya yang tidak mungkin lagi dapat dikeluarkan
dari Aceh. Surat kabar tersebut bahkan sampai pada pandangan bahwa
apabila Belanda tetap membandel menyerang Aceh, maka mereka harus
menggantikan kerugian para pedagang Inggris dan Pemerintah Inggris
dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan penengah (scheidrechter) di
Jenewa, Swiss.32

31 Anonimous, Sejarah Perlawanan... (1982/1983: 74).


32 George Kepper, De Oorlog tusschen Nederland en Atchin (Roterdam: Nijgh & van Ditmar, 1874),
hlm. 39–40.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 89


Gambar 2.4. Usaha Tenun Sutra di Aceh Tahun 1892
Sumber: KITLV

Merespons kekhawatiran masyarakat Penang dan Singapura tersebut,


Belanda memberi jaminan bahwa kecemasan mereka tersebut tidak akan
terjadi. Hal ini tertuang dalam beberapa poin jaminan yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Belanda kepada Inggris, yaitu: (a) perdagangan dan
perkapalan berbendera Inggris akan tetap diperkenankan keluar masuk
ke Aceh meskipun dalam keadaan perang; (b) kredit yang sudah dibayar
akan diganti jika belum terbayar pada waktu jatuh tempo; (c) sebagai
jaminan, sebuah kapal meriam Inggris bernama Hornet ikut menyertai
ekspedisi Belanda dan bebas mondar-mandir di perairan Aceh untuk
mengawasi kelancaran perdagangan dan pelayaran mereka.33 Dengan
jaminan tersebut kepentingan ekonomi Inggris terhadap Aceh terjamin
sehingga Inggris tidak menentang agresi Belanda.

33 Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad (Jilid I) (Medan: Harian Waspada, n.t.), hlm. 602–603.

90 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Upaya mengisolasikan Aceh semakin diperketat oleh Belanda setelah
invasi dilakukan. Untuk menutup kemungkinan Aceh berhubungan
dengan luar negeri, setelah mendapat izin dari Gubernur Jenderal,
Jenderal Pel juga merebut daerah Krueng Raba dan Krueng Raya di pantai
utara Sagi XXVI Mukim. Namun, usaha-usaha untuk memutus hubungan
Aceh dengan luar negeri tersebut dapat dikatakan lebih banyak menemui
kegagalan, karena pihak Aceh selalu berhasil menembus blokade Belanda
di sepanjang pesisir Selat Malaka.34
Untuk mengefektifkan blokade terhadap Aceh, Belanda kemudian
menjalankan taktik mengaitkannya dengan kepentingan politik dan
ekonomi para uleebalang di pesisir pantai Aceh. Upaya ini nampaknya
cukup ampuh. Ada tiga pengalaman Belanda dalam menjalankan politik
ini. Pertama, sejumlah kecil kenegerian (uleebalang) yang sejak awal
perang bekerja sama dengan Belanda tidak dikenakan blokade pantai.
Kenegerian-kenegerian tersebut dapat menjalankan perdagangan dengan
dunia luar secara bebas. Kedua, sejumlah besar kenegerian lain pada
awalnya tidak mengakui kekuasaan Hindia Belanda sehingga diblokade
dengan keras. Blokade tersebut mengakibatkan kesulitan ekonomi
terhadap para uleebalang dan warga kenegerian-kenegerian tersebut yang
menyebabkan mereka beberapa waktu kemudian, menerima kekuasaan
Belanda. Ketiga, sejumlah kecil kenegerian yang sejak awal menolak
mengakui kedaulatan Belanda dan penolakan tersebut dinyatakan selama
beberapa tahun. Uleebalang dan kenegerian ini diblokade dengan lebih
ketat oleh Belanda.35
Dua contoh uleebalang dan kenegerian yang temasuk kelompok
yang disebut terakhir ini adalah Uleebalang Rigaih yang bernama Pocut
Muhammad di pantai barat Aceh dan Uleebalang Gigieng di pantai utara.
Belanda betul-betul tidak mengizinkan adanya aktivitas niaga di kedua
kenegerian tersebut. Akibatnya ekonomi kedua kenegerian jadi lumpuh.
Mereka tidak bisa mengangkut lada mereka ke Pulau Pinang. Pada tahun

34 Anonimous, Sejarah Perlawanan…, (1982/1983: 73).


35 M. Gade Ismail, “Seuneubok Lada, Uleebalang, dan Kumpeni: Perkembangan Sosial Ekonomi di
Daerah Batas Aceh Timur, 1840–1942”, Disertasi Doktor (Tidak Diterbitkan) (Universitas Leiden,
1991), hlm. 101.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 91


1875 misalnya di Kenegerian Uleebalang Rigaih tertimbun lada sebanyak
60.000 pikul. Agar perdagangan di kenegeriannya dapat pulih kembali,
maka uleebalang-uleebalang tersebut akhirnya terpaksa mengadakan
hubungan dengan Belanda. Walaupun secara diam-diam, kenegerian-
kenegerian itu terus membantu pihak Aceh dengan bahan makanan dan
persenjataan.
Tidak hanya memblokade dengan ketat, Belanda juga menyerang
kenegerian-kenegerian yang tetap tidak mau mengakui kedaulatan
Belanda. Menariknya lagi, penyerangan dilakukan dengan memanfaatkan
dukungan sejumlah uleebalang yang sejak awal mendukung Belanda.
Kenegerian Peureulak misalnya tetap tidak mau mengakui kedaulatan
Belanda, maka setelah diblokade cukup lama, dengan dukungan
Kenegerian Idi Rayeuk, Belanda menggempur Peureulak. Akhirnya
Peureulak terpaksa menerima kekuasaan Belanda. Demikian juga dengan
Kenegerian Julok Rayeuk yang pada mulanya juga menolak mengakui
kekuasaan Belanda, akhirnya terpaksa takluk karena kesulitan ekonomi
akibat blokade.
Sejak politik blokade diperkenalkan, Kenegerian Idi Rayeuk mendapat
pengecualian oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini disebabkan karena
sejak awal uleebalang kenegerian itu sudah mengakui kedaulatan Belanda.
Perlakuan istimewa tersebut menyebabkan Uleebalang Idi Rayeuk tetap
menikmati kebebasan menjalankan perdagangan seperti biasa dengan
Pulau Pinang. Peranan Idi Rayeuk sebagai pelabuhan ekspor dan impor
dari dan ke negeri-negeri yang diblokade Belanda mulai berkurang
setelah Kenegerian-kenegerian Lhokseumawe di Aceh Utara dan Julok
Rayeuk juga mengakui kekuasaan Belanda. Barang-barang yang semula
dikeluarkan dari Pelabuhan Idi Rayeuk pindah ke Pelabuhan Lhokseumawe
dan Julok Rayeuk.36
Dengan dibukanya beberapa pelabuhan di kenegerian-kenegerian
yang mengakui kekuasaan Belanda, maka aktivitas ekonomi mulai
berjalan kembali. Aktivitas ekspor dan impor menjadi sangat penting
artinya, terutama bagi kenegerian-kenegerian penghasil lada di pantai

36 M. Gade Ismail, “Seuneubok Lada…, (1991: 106–109).

92 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


barat dan timur Aceh. Hal ini selain produksi lada yang dihasilkan harus
diperdagangkan ke luar negeri, terutama Pulau Pinang, kenegerian-
kenegerian penghasil lada juga umumnya tidak menghasilkan beras
dalam jumlah yang cukup untuk kebutuhan daerahnya. Oleh karena itu,
kebutuhan beras sangat tergantung pada impor dari Pulau Pinang.

Tabel 2.1.
Ekspor Aceh ke Pulau Pinang, 1872–1879 (dalam pikul)

Tahun Lada Hitam Pinang Kulit Kerbau


1872 141.861 - -
1873 - - -
1874 96.358 114.843 2.203
1875 164.368 69.325 2.913
1876 55.113 72.961 2.401
1877 155.569 63.466 1.201
1878 133.778 53.705 3.144
1879 95.870 74.595 643
Sumber: M. Gade Ismail, “Seuneubok Lada…”, (1991: 104)

Tabel 2.2.
Impor Aceh dari Pulau Pinang, 1872–1879 (dalam pikul)37

Tahun Beras Garam Ikan Asin Emas Daun Candu


1872 899 - - - -
1873 532 - - - -
1874 1.201 318 11.913 4.596 529
1875 1.360 275 10.431 10.295 444
1876 3.169 254 13.013 1.025 404
1877 1.507 144 16.615 756 451
1878 1.881 139 14.264 917 452
1879 1.432 38 14.716 6.123 917
Sumber: M. Gade Ismail, “Seuneubok Lada…”, (1991: 105).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 93


Dari Tabel 2.1. dan Tabel 2.2. di atas terlihat jelas bahwa blokade
perairan oleh angkatan laut Belanda sangat memengaruhi aktivitas ekspor
dan impor dari Aceh ke Pulau Pinang, yang merupakan tujuan utama
ekspor komoditas Aceh sejak abad ke-19. Ketatnya blokade saat menjelang
dan pada awal agresi mengakibatkan aktivitas ekspor dan impor dari dan
ke Aceh hampir terhenti total. Kalaupun ada aktivitas tersebut dilakukan
melalui proses penyelundupan dan tidak ada catatannya. Begitu blokade
mulai dibuka terhadap beberapa kenegerian yang mengakui kekuasaan
Belanda tahun 1874, aktivitas ekspor dan impor langsung mulai ramai
kembali.

Politik Pasifikasi dan Pertumbuhan


Ekonomi

M elihat gigihnya perlawanan rakyat Aceh membuat Belanda


mengubah taktik dengan menjalankan politik pasifikasi, yaitu selain
melanjutkan operasi militer juga dilakukan perbaikan prasarana ekonomi
untuk menarik simpati rakyat Aceh agar menghentikan perlawanan.
Istilah pasifikasi berarti penaklukan. Bila dilihat dalam pengertian ini, sejak
tahun 1877 pasifikasi telah terlaksana karena sebagian besar uleebalang
di Aceh telah mengakui kekuasaan Belanda. Akan tetapi, pejabat
Pemerintah Hindia Belanda di Aceh, mulai dari van Heutsz, van Daalen,
dan H. N. A. Swart berpendapat bahwa pengakuan kekuasaan Hindia
Belanda oleh para uleebalang saja belumlah cukup untuk mengatakan
Aceh telah ditundukkan. Dengan demikian, pengertian pasifikasi tidaklah
hanya pada tingkat pengakuan kekuasaan Hindia Belanda saja, tetapi
perlu diusahakan satu tahap lagi oleh Pemerintah Hindia Belanda agar
penduduk mau bekerja sama dan berhenti melakukan perlawanan. Salah
satu caranya adalah dengan memperbaiki perekonomian rakyat yang
telah hancur akibat perang berkepanjangan, seperti usulan oleh Christian
Snouck Hurgronje pada tahun 1892. Menurut pendapat Snouck Hurgroje,
seperti dikutip M. Gade Ismail, apabila rakyat Aceh diberi kesempatan

37 Keterangan ukuran: beras dalam koyan, garam dan ikan asin dalam pikul, emas daun dalam bungkal,
dan candu dalam chest.

94 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


untuk mengembangkan perekonomiannya berarti mereka mempunyai
kesempatan untuk mengembangkan kemakmurannya. Dengan demikian,
alasan yang bersifat keagamaan yang mewajibkan mereka menentang
kekuasaan Belanda dapat dikurangi.38 Pendapat Snouck Hurgroje sangat
logis sehingga diterima menjadi acuan kebijakan Pemerintah Hindia
Belanda terhadap Aceh untuk masa selanjutnya.

Gambar 2.5. Peta Aceh Tahun 1914


Sumber: TBB No. 47 Tahun 1914, Lampiran 1

38 M. Gade Ismail, “Seuneubok Lada…”, (1991: 146–147).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 95


Setelah Aceh Besar dan beberapa wilayah lainnya dapat ditaklukkan,
maka pemerintah kolonial menganggap sudah waktunya membentuk
sistem pemerintahan di seluruh Aceh. Sesuai dengan Staatblad van
Nederlandsch-Indië No. 79 Tahun 1881, ditetapkan Aceh menjadi wilayah
Gubernemen di bawah pimpinan seorang Gubernur Sipil. Sebagai
Gubernur pertama diangkat Pruys van der Hoeven dan Kolonel J. B. van
Heutsz sebagai komandan militer. Saat itu wilayah Aceh dibagi menjadi
tiga afdeeling, yaitu Aceh Besar dengan kedudukan Asisten Residen di
Koetaradja, Aceh Utara dan Timur di Lhokseumawe, dan Aceh Barat
di Meulaboh. Pada tahun 1884 sistem pemerintahan di Aceh terjadi
perubahan. Sesuai dengan Staatblad No. 205 Tahun 1884, kekuasaan
sipil dan militer disatukan dalam satu tangan. Gubernur Sipil dan Militer
pertama untuk Aceh adalah Jenderal van Lansberge.39
Dalam upaya menjalankan politik pasifikasi, langkah pertama yang
dilakukan van Heutsz setelah dia diangkat sebagai Gubernur Sipil dan
Militer di Aceh pada tahun 1898 adalah mengadakan ekspedisi militer
ke kenegerian-kenegerian di sepanjang pantai utara, yang kemudian
dilanjutkan oleh van Daalen ke daerah pedalaman Gayo dan Alas tahun
1903. Maksud ekspedisi tersebut selain membersihkan unsur-unsur
perlawanan di beberapa daerah juga untuk memaksa uleebalang-
uleebalang menunjukkan ketaatannya kepada Belanda. Dengan usaha
tersebut, secara politik pemerintah kolonial telah berhasil membangun
administrasi kolonial di seluruh Aceh sejak awal tahun 1900 dengan
membagi Aceh ke dalam beberapa afdeeling dan onderafdeeling.
Dengan membaiknya kondisi keamanan, sejak tahun 1908 Aceh
dibagi ke dalam 4 Afdeeling (wilayah) di bawah pimpinan Asisten Residen
dan 1 Landschap, yaitu Afdeeling Groot Atjeh, Afdeeling Noord Atjeh,
Afdeeling West Atjeh, Afdeeling Oost Atjeh, dan Landschap Bambel.
Pembagian tersebut dipecah lagi ke dalam wilayah yang lebih kecil pada
tahun 1917, yaitu:

39 Munawiyah, Birokrasi Kolonial di Aceh, 1903–1942, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press IAIN Ar-Raniry,
2007), hlm. 89.

96 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


1. Afdeeling Groot Atjeh, dengan ibu kota Koetaradja, terdiri atas
5 onderafdeeling, yaitu Koetaradja, Oelee Lheue, Lhok Nga,
Seulimeum, dan Sabang (Pulau Weh).
2. Afdeeling Noord Atjeh, dengan ibu kota Lhokseumawe, terdiri
atas 6 onderafdeeling, yaitu Sigli (Pidie), Meureudu, Bireuen,
Lhokseumawe, Lhok Sukon, dan Takengon.
3. Afdeeling Oost Atjeh, dengan ibu kota Langsa, terdiri atas 5
onderafdeeling, yaitu Idi, Langsa, Tamiang, Serbojadi, dan Gayo
Lues.
4. Afdeeling West Atjeh, dengan ibu kota Meulaboh, terdiri atas 5
onderafdeeling, yaitu Calang, Meulaboh, Tapak Tuan, Singkel, dan
Simeulue.
5. Alas memiliki 2 landschappen, yaitu Pulau Nas dan Bambel.40
Dengan kondisi keamanan wilayah yang semakin kondusif,
dilakukan perubahan kembali dalam sistem pemerintahan di Aceh.
Penyatuan kekuasaan sipil dan militer dalam satu tangan berlangsung
sampai tahun 1918, dan Jenderal H. N. A. Swart menjadi Gubernur Sipil
dan Militer terakhir di Aceh. Pada tahun 1918 Aceh kembali menjadi
wilayah pemerintahan sipil dengan gubernur pertamanya adalah A. G.
H. van Sluys. Terakhir, sistem pemerintahan wilayah Aceh diubah kembali
menjadi daerah keresidenan pada tahun 1936 dengan residen pertama J.
Jongejans (1936–1940).41

Masuknya Investasi

Pembukaan Aceh sebagai tempat penanaman modal swasta Barat


merupakan salah satu bagian penting dari politik pasifikasi yang
direncanakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Masuknya modal swasta
Barat diharapkan dapat mempercepat perkembangan ekonomi dan

40 Mawardi Umar, ”Labour Wages on Western Enterprises in Aceh, 1900–1942”, BA Thesis (Tidak
Diterbitkan) (Leiden University, 2005), hlm. 11–12.
41 Munawiyah, Birokrasi Kolonial…, (2007: 77).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 97


kesejahteraan rakyat. Meskipun tidak berpengaruh langsung, masuknya
perusahaan-perusahaan swasta Barat diharapkan akan menyerap tenaga
kerja lokal dan tersedianya pasar untuk penjualan produksi penduduk
lokal, sehingga aktivitas ekonomi rakyat akan menggeliat kembali. Dengan
menggeliatnya perekonomian maka pada gilirannya kesejahteraan akan
meningkat, sehingga diharapkan semangat perlawanan rakyat terhadap
Belanda semakin menurun.42
Untuk mewujudkan rencana tersebut Pemerintah Hindia Belanda
mulai membangun sejumlah infrastruktur di Aceh. Kebijakan ini, yang
awalnya ditujukan untuk kepentingan militer dalam upaya penaklukan
Aceh, kemudian ditujukan juga untuk kepentingan ekonomi.43 Untuk tujuan
ekonomi, infrastruktur-infrastruktur yang dibangun di Aceh dikaitkan
dengan upaya menghubungkan Aceh dengan pusat pertumbuhan
ekonomi yang baru di Sumatra Timur yakni Medan dan pusat politik
terpenting Hindia Belanda, yaitu Batavia (Jakarta). Tujuan ini membawa
konsekuensi ganda, di satu sisi Aceh terintegrasi dengan kawasan lain
di Indonesia, namun pada saat yang bersamaan Aceh menjadi wilayah
pinggiran. Infrastruktur ekonomi secara alami mendorong investor dari
luar Aceh untuk datang dan menginvestasikan modalnya di daerah ini.44
Belanda menekankan pada tiga jenis infrastruktur, yaitu pelabuhan,
jalan raya, dan kereta api. Pengembangan infrastruktur dimulai dengan
memperbaiki dan membuka kembali pelabuhan-pelabuhan tradisional
yang sudah ada di seluruh Aceh. Selain itu, pemerintah juga membangun
beberapa pelabuhan baru di daerah-daerah penting untuk tujuan impor
dan ekspor. Pada tahun 1904 Aceh memiliki 7 pelabuhan, antara lain
Ulee Lheue di Aceh Besar, Pidie dan Lhokseumawe di pantai utara, Pulau
Raya, dan Meulaboh di pantai barat, Tapak Tuan di pantai selatan, Idi
Rayeuk dan Langsa di pantai timur, dan Sabang di Pulau Weh. Di antara

42 J. Jongejans, Land en Volk van Atjeh: Vroeger en Nu (Baarn: Hollandia Drukkerij, 1939), hlm. 154; M.
Gade Ismail, “Seuneubok Lada…”, (1991: 146–149.
43 J. Jongejans, Land en Volk van Atjeh…, (1939: 77–85).
44 M. Isa Sulaiman, “From Autonomy to Periphery: A Critical Evaluation of the Acehnese Nationalist
Movement”, dalam Anthony Reid (ed.), Verandah of Violence: The Background of Aceh Problem
(Singapore and Seattle: Singapore University Press and University of Washington Press, 2006), hlm.
122.

98 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


pelabuhan-pelabuhan tersebut, Sabang dan Langsa menjadi pelabuhan
paling penting sampai akhir periode kolonial.
Selain membangun pelabuhan, pemerintah kolonial juga membangun
jalan raya untuk menghubungkan semua wilayah di Aceh. Berdasarkan
laporan dari 1901/1902, kondisi jalan relatif baik dan bisa digunakan
sebagai prasarana transportasi yang menghubungkan pantai utara dan
pantai timur. Pada tahun yang sama, Gubernur Sipil dan Militer Aceh, van
Heutsz, dengan stafnya dan satu kelompok pasukan kavaleri melakukan
perjalanan dari Jambu Ayer di Aceh Utara ke Kuala Simpang di Aceh Timur
(146 km). Ketika keamanan di bagian lain Aceh semakin membaik setelah
tahun 1910, pemerintah meneruskan pembangunan jalan raya ke bagian
tersebut, seperti Jalan Raya Gayo di wilayah tengah Aceh dan jalan raya ke
pantai barat Aceh. Selain tujuan militer, pembangunan Jalan Raya Gayo
dan pantai barat tersebut sangat penting artinya bagi pembukaan daerah-
daerah itu dari isolasi sehingga membangkitkan gairah ekonomi. Tidak
lama setelah itu beberapa perusahaan swasta Barat memasuki wilayah
tersebut untuk berinvestasi.45
Infrastruktur penting lainnya yang dibangun Belanda adalah
jalur kereta api. Sama dengan proses pembangunan jalan raya, awal
pembangunan jaringan kereta api Aceh (Atjeh-Tram) sangat bermuatan
politik, terutama untuk tujuan militer. Dengan adanya jalur kereta api
maka mobilisasi pasukan militer dan pengiriman amunisi bisa dilakukan
dengan cepat ke banyak wilayah di Aceh. Pada saat kondisi keamanan di
Aceh relatif baik, angkutan kereta api mulai dialihkan untuk tujuan-tujuan
ekonomi.46
Jaringan Kereta Api Aceh pertama sekali dibangun pada tahun 1876
hanya menghubungkan Ulee Lheue dengan Koetaradja (Banda Aceh)
sejauh 5 km. Setelah keadaan mulai kondusif, jaringan jalan kereta api
mulai diperluas dan berkembang dengan cepat sekali. Hanya tiga tahun
sejak perluasan jaringannya ke Sigli (luar Aceh Besar), 1898, jaringan

45 J. Kreemer, Atjeh: Algemeen Samenvattend Overzicht van Land en Volk van Atjeh en
Onderhoorigheden (I), (Leiden: E. J. Brill, 1922), hlm. 27–28.
46 Pembangunan jaringan Kereta Api Aceh merupakan bagian dari tujuan pasifikasi. J. Jongejans, Land
en Volk…, (1939: 132).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 99


Kereta Api Aceh sudah mencapai Idi (Aceh Timur), dan dua tahun
kemudian (1903) sudah memasuki Langsa. Selanjutnya, pemerintah
berusaha menghubungkan kereta api Aceh dengan kereta api Deli (Deli
Spoor) yang jaringannya berakhir di Pangkalan Brandan (Sumatra Timur).
Usaha ini direalisasikan dengan pembangunan rel dari Langsa ke Kuala
Simpang (1910), Kuala Simpang ke Sungai Liput (1914), dan kemudian
mencapai Besitang (1915). Dengan mencapai Besitang, panjang jaringan
kereta api Aceh 450 km telah terhubung dengan Kereta Api Deli yang
juga telah membuka jaringannya sampai Besitang.47
Dengan tersedianya infrastruktur ekonomi yang memadai maka
Aceh telah siap menerima aliran investasi swasta Barat yang sedang
berkembang di Hindia Belanda, terutama di Sumatra Timur yang
berbatasan dengan Aceh. Keberhasilan investasi di Sumatra Timur telah
mendorong pemerintah Gubernemen Aceh mencoba menarik modal
swasta Barat untuk mengembangkan usahanya ke Aceh, terutama Aceh
Timur yang berbatasan langsung dengan Sumatra Timur.
Pembukaan Aceh Timur untuk modal swasta Barat sudah dimulai
sejak 1898, saat Pemerintah Hindia Belanda secara resmi membuka
Tamiang untuk perusahaan-perusahaan swasta Barat. Beberapa
perusahaan perkebunan tembakau dari Deli memperluas usahanya ke
Tamiang. Pada waktu yang sama, perusahaan pertambangan minyak
bumi, De Koninklijke Nederlandsche Maatschappij tot Exploitatie van
Petroleumbronnen in Nederlandsch Indie, yang sebelumnya melakukan
eksploitasi minyak di Telaga Said, Langkat mulai melakukan pencarian
minyak ke Tamiang. Berdasarkan perjanjian dengan kepala-kepala di
Tamiang, mereka memperoleh dua konsesi pencarian minyak di Simpang
Kanan dan Simpang Kiri.48 Kedua usaha ini mengalami kegagalan dan
ditutup pada tahun 1901. Perusahaan tembakau juga dihentikan karena
tanah yang ada di Tamiang ternyata tidak cocok untuk tanaman tembakau.
Demikian juga dengan perusahaan pertambangan yang terpaksa harus

47 J. Jongejans, Land en Volk…, (1939: 131–139). Lihat juga J. Kreemer, Atjeh…, (II), (1922: 71–78).
48 Wilayah Simpang Kiri dan Simpang Kanan saat itu dimasukkan ke dalam administrasi Onderafdeeling
Tamiang.

100 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


menghentikan usahanya karena cadangan minyak tidak menguntungkan
untuk dieksploitasi.49
Untuk menarik kembali minat pemilik modal swasta, Pemerintah
Hindia Belanda mengambil inisiatif membuka perkebunan karet di
Langsa pada tahun 1907 dengan konsesi seluas 5.000 ha.50 Perkebunan
ini dikelola langsung oleh Perusahaan Perkebunan Karet Pemerintah
Hindia Belanda (Gouvernements-Caoutchouconderneming). Salah satu
tujuannya adalah untuk menghilangkan kesan Aceh Timur tidak cocok
untuk usaha perkebunan dan menarik kembali minat kalangan swasta
Barat untuk menanam kembali modal mereka di Aceh, khususnya dalam
sektor perkebunan.51

Gambar 2.6. Tanaman Karet pada Perkebunan Pemerintah Belanda di Langsa


Sumber: KITLV

49 M. Gade Ismail, “Seuneubok Lada…”, (1991: 143).


50 Saat itu yang menjadi Gubernur Aceh adalah Kolonel G. C. E. van Daalen, dan dialah orang yang
sangat berperan dalam pembukaan perkebunan karet pemerintah di Langsa. J. Langhout, Vijftig
Jaren…, (1923: 90–91).
51 J. Langhout, Vijftig Jaren…, (1923: 90-91).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 101


Pemilihan pembukaan perkebunan karet di Langsa berdasarkan
usulan dari Direktur Pertanian pada Departemen Pertanian pada tahun
1905 setelah dia mengunjungi perkebunan karet (Hevea brasiliensis) di
Selangor, Malaysia. Setelah kembali, dia mengusulkan agar tanaman
serupa juga dapat ditanam di Sumatra pada daerah yang berhadapan
dengan Selangor di sebelah Selat Malaka. Pemilihan ini didasarkan pada
pertimbangan iklim yang sama. Setelah dilakukan penelitian terbukti
daerah Langsa dan sekitarnya sangat cocok untuk perkebunan karet.
Usaha pemerintah untuk mendatangkan kembali modal swasta
Barat dan meningkatkan iklim penanaman karet di Aceh Timur mengalami
sukses besar dengan meningkatnya permintaan konsesi untuk perkebunan
karet di wilayah tersebut.52 Menurut M. Gade Ismail53 terdapat empat
faktor yang menyebabkan pemilik modal swasta masuk kembali ke Aceh
Timur, pertama, letak daerah ini berbatasan langsung dengan Sumatra
Timur, sehingga perusahaan-perusahaan perkebunan yang sebelumnya
berinvestasi di Sumatra Timur dengan mudah dapat meluaskan usahanya
ke Aceh Timur; kedua, jumlah tanah yang cukup tersedia serta cocok
untuk tanaman karet dan kelapa sawit; ketiga, keadaan keamanan yang
sudah cukup terjamin untuk penanaman modal; dan terakhir, keempat,
yang juga cukup penting adalah cukup tersedianya sarana transportasi.
Perkebunan karet swasta Barat di Aceh Timur pertama dirintis oleh
seorang warga negara Belgia, A. Hallet54. Ia memperoleh konsesi di Sungai
Liput, Onderafdeeling Tamiang, dari pemiliknya terdahulu De Grient
Dreux, A. Hallet dengan perusahaan perkebunannya Societe Financiere
de Caoutchouc mulai melakukan penanaman karet pada konsesi itu pada
tahun 1908. Setahun kemudian seorang warga negara Belanda, bekas
asisten kebun pada perusahaan perkebunan tembakau, De Arendsburg,
mengikuti jejak De Grient Dreux menanam karet pada konsesinya di

52 C. Lulofs, “Een Kijkje te Langsar en op de Gouvernement Rubber-Onderneming Aldaar”, dalam TBB


No. 47, 1914, hlm.232–238.
53 M. Gade Ismail, “Seuneubok Lada…”, (1991: 143).
54 Andrian Hallet, setelah berpengalaman dalam pertanian tropis di Kongo-Belgia, tahun 1905
mencoba usahanya ke Asia Tenggara dengan harapan di daerah ini tersedia buruh yang mencukupi
untuk kebutuhan perkebunan yang tidak didapatkannya di Afrika Tengah. G. C. Allen dan Audrey G.
Donnithorne, Western Enterprise in Indonesia and Malaya: A Study in Ecnmic Development (London:
George Allen & Unwin Ltd, 1957), hlm. 119.

102 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Kuala Simpang, Onderafdeeling Tamiang.55 Perusahaan yang dibuka
pada September 1909 dengan nama Tamiang Rubber Estates tersebut
memperoleh konsesi seluas 4.752 ha. Dalam tahun yang sama, satu
perusahaan perkebunan lagi didirikan di Onderafdeeling Langsa dengan
nama Rubber Maatschappij Sungai Raja. Perusahaan yang didirikan pada
bulan Oktober 1909 ini memperoleh lima konsesi, yaitu Kuala Simpang I,
Gajah Meuntah, Ie Tabeu, Paya Seungko, dan Krueng Peureulak, dengan
luas seluruhnya 14.184 ha. Pada tahun 1910, jumlah perkebunan di Aceh
Timur bertambah dua, dan setahun kemudian bertambah tiga lagi.56

Tabel 2.3.
Luas Konsesi, Luas Penanaman, dan Produksi Karet Aceh Timur 1906–1939

Luas Konsesi* Luas Penanaman Produksi


Tahun
(ha) (ha) ha kg
1906 5.000 - - -
1909 6.919 910 - -
1910 - 1.983 - -
1911 36.488 2.845 - -
1912 - 4.346 - -
1913 - 5.058 - 3.075
1914 45.566 5.665 - 146.466
1915 - 7.230 2.219 397.474
1916 - 8.033 2.735 399.070
1917 54.727 8.322 4.026 812.957
1918 - 9.656 5.113 756.363
Keterangan: *Konsesi diberikan untuk onderneming karet dan sawit.
Sumber: M. Gade Ismail, “Seuneubok Lada…”, (1991: 256–257).

Sampai dengan tahun 1912, di seluruh Aceh Timur sudah terdapat 18


konsesi perkebunan karet.57 Sembilan tahun kemudian (1921), jumlahnya

55 R. Boersma, Atjeh als Land voor Handel en Bedrijf, (Utrecht: Boekhandel Cohen, 1925), hlm. 7; J.
Langhout, Vijftig Jaren…, (1923: 188); M. Gade Ismail, “Seuneubok Lada…”, (1991: 162–163).
56 Mawardi Umar, Mengadu Nasib di Kebun Karet: Kehidupan Buruh Onderneming Karet di Aceh
Timur 1907–1939 (Banda Aceh: Balai Pelestarian Nilai Budaya Banda Aceh, 2015), hlm. 63–64.
57 H. A. G. N. Swart, Rubber Companies in the Netherlands East Indies (London: The Netherlands
commission for the International Rubber Exhibition, 1911); G. J. van Eijbergen, “Atjeh up to Date”,
TBB, 46, 1915, hlm. 309–310.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 103


meningkat menjadi 31 buah konsesi (yang dimiliki oleh 21 perusahaan)
dengan luas lahan 66.803 ha, penanaman 14.086 ha, dan produksi
1.372.187 kg getah. Pada tahun 1929 jumlah perusahaan meningkat
menjadi 30 perkebunan karet yang merupakan maskapai-maskapai asing
yang berasal dari Belanda, Inggris, Belgia, dan satu maskapai Jepang.58
Keberhasilan perkebunan karet dan kelapa sawit di Aceh Timur dan
kondisi keamanan yang semakin baik di seluruh Aceh membuat beberapa
perusahaan mulai melakukan ekspansi ke wilayah lain di Aceh. Handels
Vereeniging Amsterdam (HVA) misalnya, mulai membuka perkebunan
karet di Pirak dan Buloh Blang Ara di Aceh Utara, kemudian pada tahun
1925 meluas ke Meulaboh di Aceh Barat dan Singkel di pantai barat
bagian selatan. Kegiatan ini diikuti oleh Socfin yang juga mengembangkan
usahanya ke Meulaboh dan Singkel.59
Selain karet dan kelapa sawit, beberapa perusahaan perkebunan
mencoba peruntungan dengan menanam tanaman lain, seperti kelapa,
kopi, teh, pinus (terpentin), tembakau, dan tanaman serat. Perkebunan
kelapa (klappercultuur) pertama kali didirikan di Aceh Besar dan Pulau
Weh pada tahun 1902. Di Aceh Besar, perusahaan perkebunan Boekit
Seboen mendapat konsesi dekat Koetaradja (Aceh Besar) dan di Pulau
Weh perusahaan yang bernama Tjot Ba ‘Oe membuka konsesi di dekat
Kota Sabang. Perkebunan kelapa kemudian diperluas ke Calang di Aceh
Barat, Pulau Simeulue (termasuk beberapa pulau kecil lainnya, seperti
Pulau Panjang, Pulau Babi, Pulau Lasiah, Pulau Silaut Besar, Silaut Kecil,
Kepulauan Banyak (Pulau Bangkaru dan Pulau Tuanku), dan kemudian ke
Aceh Timur. Semua konsesi ini dimiliki oleh orang Eropa.60

58 J. J. van de Velde, Surat-surat dari Sumatra 1928-1949 (Terj. Pustaka Azet) (Jakarta: Pustaka Azet,
1987), hlm. 20; Mawardi Umar, Mengadu Nasib…, (2015: 64–65).
59 J. Jongejans, Land en Volk…, (1939: 158–159).
60 J. Kreemer, Atjeh…, (I), (1922: 433-434).

104 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Gambar 2.7. Pembukaan Perkebunan Karet Milik Handels Vereeniging Amsterdam
(HVA) di Boeloh Blang Ara, Aceh Utara
Sumber: J. Langhout (1923), hlm. 178.

Kopi pada awalnya ditanam di beberapa konsesi karet di Aceh Timur.


Tanaman ini, terutama kopi robusta, ditanam di lembah Dataran Tinggi
Alas, yang kemudian diambil alih oleh perusahaan dari Jepang. Setelah
Gayo dibuka pada 1914, tanaman kopi, khususnya kopi Arabika, ditanam
di Dataran Tinggi Gayo. Oleh karena kualitasnya sangat bagus, kopi ini
kemudian menjadi sangat terkenal dengan nama Kopi Gayo atau Kopi
Takengon. Selain kopi, di Dataran Tinggi Gayo juga dibuka perkebunan
teh. Serdang Cultuur Maatschappij mendapat konsesi 805 ha di Dataran
Tinggi Gayo untuk membuka perkebunan teh yang mereka namakan
Perkebunan Redelong.61
Di Onderafdeeling Lhoksukon, Aceh Utara, Cultuur Maatschappij
Lho’Soekon membuka perkebunan serat. Di bawah manajemen
Nederlandsche Handel Maatschappij, perusahaan ini mengolah lahan

61 J. Kreemer, Atjeh…, (I), (1922: 157, 163–164, dan 167.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 105


Gambar 2.8. Pabrik Kopi di Lampahan, Dataran Tinggi Gayo
Sumber: KITLV

konsesi seluas 1.620 ha. Belakangan ia juga membangun pabrik modern


untuk memproduksi serat. Pada tahun 1937 perkebunan ini menghasilkan
4.050.000 kg serat untuk tujuan ekspor.62
Selain perusahaan perkebunan, ada juga perusahaan yang
menjalankan usaha lain di Aceh, seperti pertambangan, kehutanan,
perusahaan stasiun pengisian batu bara, dan perusahaan non-perkebunan
lainnya. Pada awal 1900-an, perusahaan minyak utama Belanda, Royal
Dutch dengan kantor utamanya di Pangkalan Brandan, Sumatra Timur,
mulai melakukan eksplorasi minyak di Onderafdeeling Peureulak, Aceh
Timur. Dengan anak perusahaan bernama N.V. Perlak Petroleum Mij. dan
N.V. Petroleum Mij. Zuid Perlak mereka mendapat konsesi yang sangat
menguntungkan. Pada tahun 1928 eksplorasi pertambangan diperluas
ke Onderafdeeling Langsa dan Tamiang, Aceh Timur, dan Aceh Utara.

62 J. Jongejans, Land en Volk…, (1939: 165–166).

106 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Perusahaan pertambangan N.V. Nederlandsche Koloniale Mij. dan N.V.
Bataafsche Petroleum Mij. mendapat 5 kontrak eksplorasi, yaitu blok Aceh
Timur, blok Tamiang, blok Aceh Utara, blok Jambo Aye, dan kompleks
Aceh. Minyak dari daerah-daerah itu dipompa dan dialirkan melalui pipa
yang sangat panjang ke Pangkalan Brandan, Sumatra Timur untuk proses
distilasi seterusnya diekspor.63
Pada tahun 1913 pemerintah kolonial melakukan penanaman hutan
pinus di Dataran Tinggi Gayo, di sekeliling Danau Laut Tawar. Kayu-kayu
ini mulai dieksploitasi pada tahun 1924 oleh Lands Caoutchoucbedrijf
dengan modal dari Departemen Kehutanan. Proyek kehutanan ini mulai
menghasilkan 5 ton terpentin pada tahun 1925, dan dua tahun kemudian
produksi naik tinggi menjadi 51 ton terpentin dan 187 ton resin.64

Gambar 2.9. Pengambilan Resin dari Pohon Pinus di Dataran Tinggi Gayo
Sumber: KITLV

63 J. Jongejans, Land en Volk…, (1939: 201–202).


64 W. Spoon, Atjeh-Terpentijn, Tegenwoordige Kwaliteit en Nieuwe Beoordeelingen (Amsterdam: Druk
J.H. de Bussy, 1930), hlm. 4–5.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 107


Perusahaan kayu (houtaankap onderneming) pertama kali didirikan
pada tahun 1920 di Pulau Simeulue oleh N.V. “Vereenigde Javasche
Houthandel-Maatschappijen”. Di pulau ini tumbuh kayu yang sangat
kuat yang disebut kayu rasak (rassakhout). Perusahaan ini kemudian
berkembang ke Singkel, Aceh Barat. Eksploitasi hutan kemudian juga
terjadi di Aceh Timur dan Dataran Tinggi Alas.65

Gambar 2.10. Posisi Sabang dalam Jalur Pelayaran Internasional


Sumber: M. G. de Boer (1924), hlm. 46

Selain perkebunan dan pertambangan, di Aceh masa kolonial


juga dibangun sebuah kawasan industri khusus di Sabang, Pulau Weh.
Dengan pertimbangan letaknya pada garis pelayaran internasional yang
sangat padat setelah pembukaan Terusan Suez, Pemerintah Belanda
mendeklarasikan Sabang sebagai Pelabuhan Bebas, pada 11 April 1896.

65 J. Jongejans, Land en Volk…, (1939: 164–165).

108 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Operasional Pelabuhan Bebas Sabang diberikan kepada “N.V. Zeehaven
en Kelenstation Sabang” (Sabang Maatschappij) dengan dukungan dana
dari Nederlandsche Handel Maatschappij. Selain sebagai pelabuhan bebas,
pada tahun yang sama, sebuah perusahaan stasiun pengisian batu bara
yang sangat modern didirikan di Sabang. Untuk mendukung pelabuhan
bebas, pada tahun 1898 didatangkan galangan kapal (docking) pertama,
yang bisa memperbaiki kapal dengan bobot 3.000. Sejak saat itu Sabang
juga menjadi tempat untuk perbaikan kapal. Sabang juga dilengkapi
dengan fasilitas penunjang lainnya seperti tempat pengisian air bersih,
sebuah pabrik es, dan sebuah pabrik pembuatan peti kemasan untuk teh.
Eksploitasi Sabang didukung penuh oleh Gubernur Aceh, van Heutsz.
Dengan investasi awal pembukaannya hanya lima ratus ribu gulden,
pada awal tahun 1900 telah ditingkatkan menjadi dua juta gulden dan
kemudian ditingkatkan lagi menjadi lima juta gulden pada tahun 1923.
Peningkatan modal ini telah berkontribusi terhadap kemajuan aktivitas
perekonomian tidak hanya di Pelabuhan Bebas Sabang, tetapi juga dapat
memacu perkembangan ekonomi Aceh secara keseluruhan. Pada masa
keemasannya, Sabang bukan hanya sebagai tempat transit (overscheep)
perdagangan Aceh, tetapi sampai awal tahun 1920-an, semua hasil
perkebunan dari Sumatra Timur dan Sumatra Barat diekspor melalui
Pelabuhan Sabang.66 Tingginya perkembangan Pelabuhan Bebas Sabang
dapat dilihat dari pesatnya perkembangan kapal yang singgah di Sabang,
baik kapal-kapal milik Pemerintah Belanda maupun kapal-kapal dagang.
Masa keemasan Pelabuhan Bebas Sabang berakhir dengan
masuknya Jepang tahun 1942. Dengan posisi yang sangat strategis di
pintu gerbang Selat Malaka, Sabang dijadikan sebagai basis pertahanan
utama oleh Jepang dengan menempatkan 6.000 personel angkatan
lautnya. Implikasinya adalah Sabang menjadi sasaran serangan dari
Sekutu. Pemboman yang dilakukan oleh kapal perang SS.Tromp tahun
1943 telah memporak-porandakan hampir seluruh fasilitas Pelabuhan
Sabang. Walaupun tidak semua fasilitas hancur, namun sebagian besar
tidak dapat digunakan sama sekali.67

66 Mawardi Umar, “Free Port, Coaling-Station, and Economic Development: Sabang, 1896–1942”, MA
Tesis (Tidak Diterbitkan) (Universitas Leiden, 2008), hlm. 37–42.
67 “Dagblad Scheepvaart”, 6 July 1956, Koleksi Arsip Nasional Belanda, Den Haag.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 109


1200
Number of Fleets and
Government-ships Calling
1000
Number of Merchant Ships
800

600

400

200

0
1902/03 1905/06 1908/09 1911/12 1914/15 1917/18
Grafik 2.1. Jumlah Kapal yang Singgah di Sabang (1902–1918)
Sumber: Mawadi Umar, 2008:40

Gambar 2.11. Pelabuhan Bebas Sabang Tahun 1925


Sumber: KITLV

110 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Gambar 2.12. Beberapa Kapal Berlabuh di Pelabuhan Sabang Tahun 1930
Sumber: ANRI Koleksi KIT ACEH ±1930 No. 93-90

Ekonomi Kerakyatan Aceh

Selain berupaya menarik pemilik perusahaan-perusahaan Barat untuk


menanamkan modalnya di Aceh, pemerintah kolonial juga berupaya
memperbaiki perekonomian rakyat. Upaya ini dilakukan dalam bingkai
politik pasifikasi yang dimulai sejak van Heutsz menjadi Gubernur Sipil dan
Militer di Aceh. Upaya ini dimulai tahun 1898 dengan menitikberatkan
pada pertanian tradisional, seperti memajukan kembali pertanian lada,
padi, dan pinang.68
Beberapa kegiatan yang dilakukan adalah pembangunan beberapa
irigasi untuk pengairan sawah rakyat (sejak tahun 1905), memfungsikan
landbouwsadviseur (petugas penyuluh pertanian) yang bertugas
memberikan penyuluhan pertanian kepada penduduk setempat,

68 M. Gade Ismail, “Seuneubok Lada…”, (1991: 148).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 111


mendatangkan orang-orang Sunda untuk mendemonstrasikan cara
mengerjakan sawah yang baik, memasukkan jenis-jenis bibit tanaman
unggul, membuka kebun-kebun percontohan, dan mendirikan
Volkscredietbank (bank pinjaman rakyat).69
Kebijakan tersebut mendapat respons positif dari rakyat. Banyak
rakyat Aceh mulai menanam kembali lada dan tanaman komoditas
lainnya. Pemerintah memfasilitasi kegiatan ini melalui penguasa lokal
(uleebalang) dan memberikan bantuan kepada rakyat yang ingin
menghidupkan kembali kegiatan pertanian mereka. Salah satu upaya
pemerintah adalah memberikan kredit tanpa bunga. Untuk itu, Gubernur
G. C. E. van Daalen, mendirikan bank bebas bunga, Volkscredietbank, di
Aceh Besar pada tahun 1908 dengan modal sebesar 60.000 gulden. Bank
ini kemudian membuka cabang di daerah lain di seluruh Aceh.70
Usaha pemerintah kolonial dalam upaya meningkatkan perekonomian
rakyat di Aceh telah menampakkan hasil yang menggembirakan. Hal
ini dapat dilihat dari terjadinya peningkatan hasil produksi pertanian
rakyat, terutama lada, pinang, dan kopra, yang merupakan komoditas
perdagangan tradisional rakyat Aceh. Produksi lada Aceh yang hampir
terhenti sama sekali akibat perang, mulai awal abad ke-20 kembali
menunjukkan tren yang meningkat. Pada tahun 1903 Aceh mengekspor
kurang dari 1.000 ton lada ke pasar dunia, tahun berikutnya angkanya
naik dua kali lipat menjadi 2.216 ton. Meskipun harga lada di pasar dunia
telah menurun pada tahun 1908, hingga hampir setengah dari harga
yang dibayarkan pada tahun 1900, ekspor lada dari Aceh masih terus naik
menjadi 5.135 ton dalam empat tahun ke depan. Dari tahun 1909 tren
menunjukkan tingkat yang relatif stabil hingga awal 1920-an.71

69 J. Langhout, Vijftig Jaren…, (1923: 109).


70 J. Kreemer, Atjeh…, (I), (1922: 38).
71 Mawardi Umar, “Free Port,…”, (2008: 66-67).

112 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Tabel 2.4.
Jumlah Ekspor Hasil Pertanian Rakyat dan Kehutanan Aceh Tahun 1917–1918

Jumlah Per Tahun (Kg)


No. Jenis
1917 1918
1. Lada 4.110.573 5.125.323
2. Pinang 15.136.340 11.360.428
3. Kopra 3.764.153 3.321.646
4. Daun Nilam 354.719 571.185
5. Rotan 355.098 165.050
6. Damar 146.281 91.415
7. Kulit Bakau 8.820.180 5.789.312
8. Kayu 12.084* 15.927*
Keterangan: *kayu diukur dalam m³
Sumber: Laporan De Javasche Bank Agentschap Koetaradja Tahun 1918/191972

Bersamaan dengan lada, produksi dua komoditas ekspor utama


Aceh lainnya, pinang dan kopra juga kembali meningkat sejak awal abad
ke-20. Sejak awal 1900-an ekspor kedua komoditas mulai menggantikan
posisi lada. Peningkatan produksi pinang berhubungan erat dengan
rekomendasi yang diberikan oleh pemerintah kolonial dan penguasa
setempat kepada petani agar mereka menggalakkan penanaman pinang.
Rekomendasi ini diberikan sebagai respons atas menurunnya harga lada
di pasaran dunia. Para petani di daerah penghasil utama pinang, seperti
Aceh Besar, Lhokseumawe, Pulau Raya, dan Pidie mematuhi imbauan
tersebut. Akibatnya, dalam waktu yang tidak begitu lama, terjadi lonjakan
produksi pinang. Berdasarkan angka statistik, Aceh mengekspor 2.037
ton pinang pada tahun 1901 dan mengalami peningkatan tiga kali lipat
selama tiga tahun berikutnya ke angka 7.320 ton. Meskipun mengalami
stagnasi singkat selama Perang Dunia Pertama, ekspor kembali tumbuh
stabil hingga mencapai 23.528 ton pada tahun 1928. Karena depresi

72 Arsip Bank Indonesia, Koleksi De Javasche Bank Agentschap Koetaradja No. 42. 91 e. Boekjaar
1918/1919, hlm. 12–13.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 113


hebat pada awal 1930-an, angka ekspor untuk tahun-tahun berikutnya
turun menjadi 19.110 ton pada tahun 1933.73
Seperti halnya pinang, ekspor kopra dari Aceh awalnya berasal dari
pantai utara Aceh, seperti Aceh Besar, Pidie, dan Lhokseumawe, dan
kemudian produksi dimulai di pantai barat dan selatan Aceh, seperti
Meulaboh, Pulau Raya, Singkel, dan Tapak Tuan. Dari tahun 1906 pantai
timur Aceh juga mulai mengekspor komoditas ini. Tujuan utama untuk
kopra adalah Pulau Pinang, Jerman, Austria, dan Hongaria.74
Untuk menghentikan ketergantungan Aceh pada impor beras,
pemerintah kolonial mencoba meningkatkan produksi beras di wilayah
Aceh dengan kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi. Seperti telah
disebut sebelumnya, dalam proses intensifikasi, pemerintah kolonial
membangun infrastruktur irigasi, seperti di Alue Drien di Onderafdeeling
Meureudue (Pidie), yang dapat mengairi sawah seluas 650 hektar; Alue
Bobo Onderafdeeling Bireuen (Aceh Utara) yang bisa mengairi 200
hektar sawah; Alue Nibong Onderafdeeling Langsa yang bisa mengairi
sawah seluas 300 hektar; Beutong dan Bakongan di pantai barat Aceh
dan Jambo Reuhat di Onderafdeeling Idi (Aceh Timur). Selain perluasan
jaringan irigasi, pemerintah kolonial juga mencoba untuk meningkatkan
kualitas benih dan metode penanaman yang digunakan oleh penduduk
lokal melalui Landbouwvoorlichtingsdienst (LvD) atau badan penyuluh
pertanian. Dalam proses ekstensifikasi, pemerintah juga melakukan
pembukaan dan pengembangan sawah baru. Proyek yang paling
spektakuler adalah mengeringkan Rawa Seuneudon di Onderafdeeling
Lhok Sukon (Aceh Utara) dengan menggali kanal besar ke laut. Hasilnya
adalah ada sekitar 2.000 hektar sawah baru bisa digarap menjadi areal
persawahan.75
Upaya pemerintah tersebut berdampak positif pada peningkatan
produksi beras di Aceh. Kecuali pada tahun-tahun kegagalan panen,

73 Sayangnya, tidak diperoleh data untuk komoditas ini setelah tahun tersebut. Mawardi Umar, “Free
Port…”, (2008: 68–69).
74 Handelsbeweging de Buitenbezittingen in 1913, 1914, 1915, Mededelingen van het Bureau voor de
Bestuurzaken der Buitenbezittingen 12, 1917; Kolonial Verslag, 1906-1907; R. Boersma, Atjeh als
Land voor Handel en Bedrijf (Utrecht: Cohen, 1925), hlm. 16, 41, 54, 84, dan 96.
75 R. Boersma, Atjeh als Land..., (1925: 190–192).

114 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


impor beras ke Aceh secara bertahap menurun hingga dekade kedua
abad ke-20. Meskipun beberapa daerah di Aceh masih mengimpor beras,
namun secara umum, pada 1920-an Aceh telah mengekspor beras dalam
jumlah besar ke Sumatra Timur. Tahun 1924 Aceh misalnya mengekspor
4.000 ton beras. Pada tahun 1933 Aceh telah berhenti mengimpor beras,
kecuali ke Pulau Simeulue. Tahun 1934 Aceh mengekspor beras sebanyak
5.000 ton ke Sumatra Timur.76
Walaupun usaha perbaikan ekonomi yang dilakukan pemerintah
kolonial Belanda, baik dengan perbaikan ekonomi rakyat maupun
dengan mendatangkan banyak investasi ke Aceh tidak berhasil seratus
persen, namun mempunyai pengaruh terhadap aspek sosial-politik.
Secara perlahan perlawanan rakyat Aceh mulai melemah. Perlawanan
rakyat memang tidak padam sama sekali, namun telah berubah menjadi
perlawanan yang sifatnya sporadis dalam skala kecil. Di beberapa tempat
di Aceh masih terjadi serangan-serangan secara individual terhadap
pasukan Belanda yang sedang berpatroli. Bentuk perlawanan ini lebih
dikenal dengan istilah “Atjeh moorden” atau pembunuhan Aceh. Dengan
kondisi keamanan yang semakin membaik maka aktivitas ekonomi, baik
sektor swasta Barat maupun sektor ekonomi rakyat, juga berjalan lancar.
Untuk memfasilitasi kegiatan ekonomi yang mulai tumbuh pesat di Aceh
sejak awal abad ke-20, Pemerintah Hindia Belanda membuka De Javasche
Bank Agentschap Koetaradja pada tahun 1918.

Berdirinya De Javasche Bank Agentschap


Koetaradja

K ehadiran De Javasche Bank (DJB) Agentschap Koetaradja menjadi


refleksi atas ekonomi Aceh yang berkembang secara pesat. Dibukanya
Aceh sebagai daerah investasi tak dapat dipungkiri menjadi salah satu
faktor pendorong maraknya ekspansi perkebunan di wilayah Aceh. Tren

76 Van Aken, Memorie van Overgave Gouverneur Atjeh en Onderhorigheden, 1936, hal. 70; Mawardi
Umar, “Free Port…”, (2008: 72–73).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 115


positif ekonomi Aceh yang ditunjukkan dari pesatnya investasi swasta Barat
berdampak terhadap perkembangan ekonomi sektor asing. Berorientasi
pada kegiatan ekspor, usaha-usaha yang berkembang di Aceh kala itu juga
berdampak lain terhadap peredaran mata uang. Tentu tidak sedikit mata
uang yang masuk ke Aceh oleh sebab ramainya aktivitas perdagangan
ekspor. Maka tak ayal jika pada perkembangan selanjutnya dirasakan
bahwa keberadaan sebuah lembaga perbankan sangat penting. Dalam
konteks inilah bisa dipahami kehadiran DJB Agentschap Koetaradja.
Berkenaan dengan lembaga perbankan, jauh sebelum hadirnya
DJB, pada masa VOC sudah berdiri sebuah lembaga perbankan pertama
di Hindia Belanda dengan nama Bank van Leening. Berdiri pada tahun
1746, lembaga perbankan ini bertugas memberi bantuan pinjaman
kredit dengan jaminan emas, perak, perhiasan, dan barang-barang
lainnya. Pada perkembangan berikutnya, pada tahun 1752 hadir lembaga
perbankan yang merupakan gabungan dua bank yang bernama De Bank
van Courant en Bank van Leening. Bank itu mengajak pegawai VOC agar
mau menempatkan dan memutarkan uang mereka pada bank tersebut,
dan kepada mereka dijanjikan akan diberi imbalan bunga. Namun, dalam
praktiknya upaya tersebut tidak terlaksana karena belum populernya
penggunaan lembaga perbankan dalam transaksi perdagangan di
Hindia Timur (Hindia Belanda). Akibatnya lembaga perbankan ini tidak
dapat menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Secara struktural,
agaknya lebih tepat jika lembaga tersebut disebut sebagai lembaga
simpan pinjam.77
Tahun 1818 Pemerintah Hindia Belanda dengan resmi menutup De
Bank van Courant en Bank van Leening.78 Penutupan bank ini dilakukan
setelah dituntaskannya segala kewajiban yang harus diselesaikan, seperti
mengembalikan atau menukarkan uang yang ada di tangan nasabah.
Penutupan bank yang didirikan pada era VOC itu juga seiring dengan
semangat baru pemerintahan baru di Hindia Belanda.

77 Darsono, dkk, Perjuangan Mendirikan Bank Sentral Republik Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo,
2016), hlm. 16.
78 Noek Hartono, Bank Indonesia: Sejarah Lahir & Pertumbuhannya, (Jakarta: Bank Indonesia, 1976),
hlm. 7–10, Naskah tidak Diterbitkan.

116 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Seperti diketahui, Hindia Belanda diterima kembali dari tangan
Inggris tahun 1816. Segera setelah berkuasa kembali, Pemerintah
Belanda berupaya memulihkan kembali perekonomian dan keuangan
tanah jajahannya yang terpuruk. Apalagi, ketika meninggalkan Hindia
Belanda, Raffles mewariskan 7,8 juta mata uang kertas rijksdaalder dalam
peredaran tanpa adanya jaminan perak. Melihat kondisi seperti ini, Raja
Belanda melegitimasikan kekuasaan kepada Baron van der Capellen untuk
menjadi Komisaris Jenderal sekaligus Gubernur Jenderal Hindia Belanda
(1816–1826). Atas perintah Raja Willem van Oranje, van der Capellen
segera melakukan reorganisasi sistem pemerintahan sebagai upaya
menghidupkan kembali kejayaan Hindia Belanda dan menguntungkan
bagi Belanda.79
Dalam upacara penyerahan kembali Hindia Belanda dari Inggris,
gagasan pendirian bank sirkulasi di wilayah koloni semakin mencuat dan
menjadi obrolan khusus di kalangan pejabat Belanda. Ide pendirian bank
sirkulasi ini juga datang dari kalangan pengusaha yang mendesak agar
segera didirikan lembaga perbankan guna memudahkan kepentingan
bisnis mereka.80 Pada dasarnya desakan yang datang dari sejumlah
pengusaha dan pelaku bisnis ini menginginkan agar lalu lintas transaksi
dan keuangan dapat berjalan lancar melalui kehadiran lembaga perbankan
maupun lembaga keuangan nonbank.
Perbincangan mengenai pendirian lembaga perbankan di Hindia
Belanda kembali meluas ketika Hindia Belanda pada 1821 mengalami
kesulitan persediaan mata uang yang berakibat pada lesunya kegiatan
bisnis.81 Pada tahun itu, pemimpin perusahaan Deans Scoot & Co.,
tergerak untuk mengusulkan pendirian Bank Escompto dan perdagangan
guna memfasilitasi para pebisnis Belanda, serta sebagai upaya mengatasi
masalah keuangan. Usulan tersebut direspons positif oleh Gubernur
Jenderal van der Capellen yang kemudian disampaikan kepada Raja
Willem di Den Haag. Menindaklanjuti usulan tersebut Raja Willem segera

79 Darsono, dkk, Perjuangan Mendirikan Bank Sentral…, (2016: 15).


80 De Bree, Gedenkboek van De Javasche Bank: 1828–1928, deel I. (Weltevreden: Kolff, 1928), hlm.
205
81 Darsono, dkk, Perjuangan Mendirikan Bank Sentral…, (2016: 3).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 117


mengeluarkan oktroi sebagai landasan pendirian De Nederlandsche Oost-
Indische Bank.82
Tak hanya itu, pada tahun 1824 Raja Willem mendirikan perusahaan
negara, Nederlandsch Handel Maatschappij (NHM), dengan modal awal
sejumlah f37 juta. Dari jumlah tersebut, lima puluh persennya merupakan
saham milik Raja. NHM yang resmi berdiri pada 28 Maret 1824 ini
memegang peran khusus sebagai perusahaan yang bergerak di bidang
pemasaran dan pengangkutan komoditas dagang Hindia Belanda untuk
selanjutnya dikirim ke Eropa.83
Pada tahun 1825 Raja Belanda berinisiatif untuk mendirikan suatu
bank di Hindia Belanda. Untuk mewujudkan gagasan tersebut Raja
Willem membuat Surat Kuasa kepada Komisaris Jenderal Hindia Belanda,
Leonard du Bus de Gisignies. Surat kuasa bernomor 85 tertanggal
29 Desember 1826 tersebut berisi agar sesegera mungkin berunding
dengan Pemerintah Hindia Belanda untuk membentuk suatu bank di
Jawa berdasarkan hak oktroi. Rencana pendirian bank tersebut kembali
menghangat setelah Raja Willem mempertegas agar didirikannya sebuah
bank di Jawa menjelang akhir 1827. Agar pelaksanaan pendirian bank
bisa diwujudkan, Pemerintah Hindia Belanda diminta menanam saham
sebesar satu juta gulden dan setengah dari jumlah tersebut harus
diserahkan pada saat pendirian. Namun, pendirian bank tersebut kembali
gagal diwujudkan. Salah satu alasan kegagalan itu adalah kurangnya
modal. Karena itu Raja Willem memerintahkan agar NHM diikutsertakan
dalam pendirian bank yang dimaksud. Menteri Urusan Jajahan kemudian
meminta kepada para pimpinan NHM agar perusahan itu menanamkan
modalnya. Usulan tersebut kemudian disetujui oleh NHM meski awalnya
sempat mendapat penolakan.

82 Darsono, dkk, Perjuangan Mendirikan Bank Sentral…, (2016: 16–17).


83 Namun dalam perjalanan sejarahnya, pada masa tanam paksa, NHM berperan sebagai lembaga
keuangan yang menyediakan kredit usaha kepada para pengusaha perkebunan dan pabrik,
khususnya perkebunan dan pabrik gula. Meluasnya peran NHM ini disebabkan oleh belum adanya
lembaga perbankan yang dapat memberikan kredit dan pinjaman kepada para pengusaha dalam
mengembangkan usaha bisnisnya. Tim LP3ES, Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah Bangsa,
(Jakarta: LP3ES, 1995), hlm. 27.

118 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Pada tanggal 11 Desember 1827 Pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan besluit No. 28 oktroi khusus bernama Octrooi en Reglement.
Oktroi tersebut membahas perihal ketentuan dan pedoman DJB dalam
menjalankan usahanya. Setahun setelah itu, melalui besluit No. 25 tanggal
24 Januari 1828, Komisaris Jenderal Du Bus menyatakan secara resmi
pendirian DJB. Dengan demikian, tanggal tersebut ditetapkan sebagai
tanggal berdirinya DJB, namun operasionalnya baru dapat dilakukan
pada 8 April 1828.84 Adapun modal awal pembentukan DJB ini adalah
sebesar empat juta gulden yang terbagi atas 8.000 saham, yang mana
kepemilikannya ada yang berasal dari lembaga, pemerintah kolonial,
dan perseorangan. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya,
dari jumlah modal tersebut, NHM menanamkan sahamnya pada angka
300 lembar saham yang merupakan pemegang saham terbesar setelah
pemerintah kolonial (1.000 lembar saham).85 Di samping di Batavia, DJB
juga membuka kantor cabang di Semarang dan Surabaya yang berdiri
pada tahun yang sama (1829).
Melalui hak oktroi, DJB diberi wewenang dalam menerbitkan
mata uangnya sendiri. Berdasar pada Pasal 35 Oktroi Pertama, DJB
menerbitkan uang kertas yang hanya berlaku di Jawa dan Madura. Hal
ini sesuai dengan nama bank tersebut, yakni Bank Jawa. Pecahan uang
yang dikeluarkan oleh DJB saat itu, di antaranya f1.000, f500, f300, f200,
f100, f50, dan f25.86 Dalam pelaksanaannya DJB berperan sebagai bank
sirkulasi sekaligus bank komersial. Selain itu, tugas lain yang dilakukan DJB
adalah mengelola perkreditan dan menerima simpanan milik nasabah.
Hingga tiga dasawarsa awal sejak pendiriannya, DJB praktis menjadi
lembaga perbankan tunggal di Hindia Belanda. Keberadaannya yang
tanpa saingan itu menjadikan DJB meraup keuntungan besar sebanyak
4.183.794,94 gulden.87 Keadaan demikian berlangsung hingga memasuki
masa liberal yang ditandai dengan berlakunya Agrarische Wet tahun
1870. Undang-undang tersebut memperbolehkan perusahaan swasta
untuk menanamkan modalnya ke sektor perkebunan, pertambangan,

84 De Bree, Gedenkboek van De Javasche Bank…, (1928: 42).


85 De Bree, Gedenkboek van De Javasche Bank…, (1928: 210).
86 Darsono, dkk, Perjuangan Mendirikan Bank Sentral…, (2016: 33–34).
87 Noek Hartono, Bank Indonesia…, (1976: 21).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 119


transportasi, dan lain-lain di Hindia Belanda. Kondisi demikian berdampak
terhadap semakin tingginya kebutuhan akan lembaga perbankan. DJB
ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan pengusaha akan pelayanan
perbankan. Itulah salah satu alasan, di samping liberalisasi perekonomian
Hindia Belanda, diizinkannya beroperasi bank-bank lain di Hindia Belanda.
Dekade 1850-an adalah kurun waktu pertama diizinkannya oleh
Batavia beroperasinya bank-bank lain di Hindia Belanda. Realisasi dari
kebijakaan tersebut terlihat dari didirikannya Nederlandsch Indische
Escompto Maatschappij (NIEM) pada tahun 1857. Kemudian diikuti pula
oleh pendirian Nederlandsch Indische Handelsbank (NIHB) tahun 1863,
serta International Credit en Handelsvereniging Rotterdam (Internatio)
tahun 1864. Tak hanya bank-bank milik orang Belanda saja yang
diizinkan berdiri, beroperasi pula kantor cabang bank milik Inggris, seperti
Chartered Bank of India, Australia, and China di Batavia pada 1863.88
Menjelang akhir abad ke-19, seiring meningkatnya jumlah pemodal yang
membuka usahanya di Hindia Belanda, keberadaan lembaga perbankan
juga mengalami perkembangan. Pada tahun 1874 NHM membuka
layanan perbankan, kemudian pada 1878 berdiri Handels Vereeniging
Amsterdam (HVA) yang diikuti oleh berdirinya Nederlandsch Indische
Landbouw Maatschappij (NILM) tahun 1884, serta Cultuurmaatschappij
Vorstenlanden tahun 1888. Selain itu, berdiri pula sejumlah bank lain,
seperti Hongkong and Shanghai Bank Coorporation, dan bank-bank milik
Jepang, yakni Bank of Taiwan, Yokohama Specie Bank, dan Mitsui Bank.
Mengikuti perkembangan ekonomi, DJB kemudian membuka kantor
cabang barunya di luar Jawa. Ekspansi ke luar Jawa ini dimungkinkan
oleh karena adanya perubahan oktroi keempat (1860–1870). Cabang
pertama di luar Jawa adalah di Padang dan selanjutnya di Makassar.
Perizinan yang diperoleh untuk mendirikan kantor cabang DJB di luar
Pulau Jawa, di samping berasal dari hasil kajian pihak DJB sendiri, juga
didasari atas rekomendasi dan adanya permintaan dari pedagang maupun
pengelola perkebunan di daerah.89 Seiring dengan semakin dinamisnya
perekonomian Hindia Belanda maka semakin banyak rekomendasi dan

88 Noek Hartono, Bank Indonesia…, (1976: 23).


89 Darsono, dkk, Menghadapi Gelombang Pasang di Serambi: Kontribusi Bersama untuk Aceh setelah
Tsunami 2004. Jakarta, 2018), hlm. 190.

120 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


permintaan yang diajukan oleh pedagang dan pengusaha, baik di kota-
kota di Pulau Jawa atau di daerah-daerah di luar Jawa. Hal itulah yang
menjadi alasan terjadinya ekspansi pembukaan keagenan DJB yang cukup
banyak pada penghujung abad ke-19 hingga awal abad ke-20, termasuk
Koetaradja.
Ide pendirian kantor cabang DJB di Koetaradja datang dari Presiden
DJB yang menjabat saat itu, yakni E. A. Zeilinga. Ide tersebut dilontarkan
tahun 1915. Menindaklanjuti rencana tersebut, maka pada 8 Juli 1915
Direksi DJB mengirim surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Isi surat tersebut adalah permohonan izin kepada Gubernur Jenderal
untuk mendirikan kantor cabang DJB di Aceh. Untuk menguatkan usulan,
bersamaan dengan surat itu juga disertakan laporan perjalanan dinas
Zeilinga ke Aceh dan Sumatra Timur yang berisikan perkembangan terkini
keadaan sosial dan ekonomi kedua daerah. Dalam surat itu juga diusulkan
pembukaan kantor cabang DJB di Kota Pematang Siantar (Sumatra Timur),
serta di Malang.
Salah satu kutipan yang termuat dalam laporan tersebut adalah
sebagai berikut:
“Sedert lang was het ons vernemen aan zijne excellentie den gouverneour
generaal vergunning te vragen eenige nieuwe kantoren te openen,
ten einde tegemoet te komen aan gebleken behoefte, bij de handel in
Sumatra’s Oostkust, maar de plotseling in 1914 uitgebroken Europeesche
Oorlog heft ons daar weerhouden. Na de toestand rustiger waren,
hebben wij die verguning te verregen voor Atjeh te Kota Radja, en voor
de Oostkust van Sumatra te Pematang Siantar, het nieuwe cultuurgebied
in dat gouvernement. Bovendien, hebben wij Malang, al seen centrum van
een groot cultuurgebied, uitgezoken voor de vestiging van een nieuwe
Agentschap.”90
Terjemahan:
“Sudah lama kami meminta izin Yang Mulia Gubernur Jenderal untuk
membuka beberapa kantor baru untuk memenuhi kebutuhan riil dalam
hal perdagangan di Sumatra Timur, namun tiba-tiba Perang Eropa meletus

90 De Bree, Gedenkboek van De Javasche Bank: 1828–1928 (Vol. II), hlm. 45.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 121


pada tahun 1914 sehingga menghalangi rencana tersebut. Setelah situasi
mereda, kami mengajukan izin lagi untuk Aceh di Kota Radja dan untuk
Sumatra Timur di Pematang Siantar, kawasan perkebunan baru di wilayah
provinsi tersebut. Selain itu, kami telah memilih Malang, daerah perkebunan
utama, sebagai tempat didirikannya kantor cabang De Javasche Bank yang
baru”
Surat Direksi DJB ini kemudian ditanggapi positif oleh Pemerintah
Hindia Belanda dengan diterbitkannya Keputusan Gubernur No. 21 tanggal
16 Oktober 1915 perihal pemberian izin pembukaan kantor cabang DJB di
Koetaradja. Sayangnya rencana tersebut tidak bisa direalisasikan dengan
segera. Hal ini disebabkan oleh masalah internal di Aceh serta meletusnya
Perang Dunia I.
Rencana pendirian kantor cabang DJB di Koetaradja terus hadir
menjadi berita di surat kabar, salah satunya dalam De Telegraaf yang
terbit pada 3 Januari 1916. Dalam surat kabar tersebut disebutkan
bahwa berdasarkan kabar yang diperoleh dari De Locomotief, Direksi
DJB memutuskan untuk mendirikan kantor cabangnya di Koetaradja. Hal
tersebut diperkuat oleh berita serupa yang tertulis dalam Nieuwsblaad
voor Atjeh.91
Akhirnya––setelah tertunda beberapa lama––tahun 1918 rencana
pendirian DJB Koetaradja bisa terwujud. Menanggapi hal tersebut
Gubernur Jenderal menyampaikan bahwa penundaan tersebut semestinya
tidak perlu terjadi karena pembangunan gedung kantor cabang DJB
Koetaradja dapat dilakukan. Gubernur Jenderal juga mengatakan bahwa
pembangunan gedung kantor cabang DJB tersebut lebih penting dan
tidak perlu menunggu Perang Dunia I berakhir. Dengan kata lain, dalam
situasi sulit pun, sesungguhnya pemerintah tetap mendukung upaya
pembukaan cabang DJB di Koetaradja.92 Dukungan tersebut sebagaimana
tertulis dalam laporan berikut.
“De wereldoorlog was oorzaag, dat de bouw van het kantoor belangryk
meer tyd vorderde dan van aankelyk verwacht werd, zoodat erst op 2
December 1918 tot opening van het Agentschap kon worden overgegaan.

91 De Telegraaf, “De Javasche Bank te Koeta-Radja”, 3 Januari 1916.


92 Darsono, dkk, Menghadapi Gelombang Pasang di Serambi, hlm. 193.

122 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Gememoreerd dient nog te worden, dat op dat tydstip de Factory reeds
eene vestiging te Koeta-Radja had.”93
Terjemahan:
“Perang Dunia menyebabkan pembangunan kantor menjadi lebih lama dari
yang diharapkan, sehingga baru pada 2 Desember 1918, Kantor Cabang De
Javasche Bank tersebut baru dapat dibuka. Perlu juga diingat bahwa pada
saat itu Factorij sudah mendirikan kantor cabangnya di Koeta-Radja”
Setelah tertunda dua tahun, maka tanggal 2 Desember 1918 secara
resmi DJB Agentschap Koetaradja mulai beroperasi. Pengoperasian ini
terjadi pada periode berlakunya oktroi kedelapan (1906–1921).94 Seperti
yang akan dibahas pada bagian lain buku ini, pada saat diresmikan DJB
Koetaradja menempati gedung baru yang megah, sebuah gedung yang
dibangun oleh Fermont, Cuypers, dan Hulswit.
Dua bulan sebelum pembukaan secara resmi kantor cabang baru
DJB di Koetaradja, berita-berita terkait hal tersebut sudah ramai di media
massa. Dalam sebuah artikelnya, De Sumatra Post misalnya menulis,
Direksi DJB mengumumkan bahwa sekitar pertengahan November 1918
akan dibuka kantor cabang di Koetaradja yang akan dipimpin oleh Tuan
J. Straatmeijer yang saat itu sebagai akuntan, wakil pimpinan cabang DJB
Medan, serta wakil pimpinan cabang DJB Bengkalis, Tanjung Balai, dan
Tanjungpura.95
Suasana peresmian DJB Koetaradja pada akhir November 1918
juga mendapat perhatian media massa. De Sumatra Post mewartakan
setidaknya dua puluh lima orang wanita berkumpul di gedung baru
Javasche Bank di Geudahsingel. Pimpinan cabang DJB Koetaradja saat itu,
Tn. Straatmeijer beserta istrinya menerima pihak yang berkepentingan
atas nama Direksi dan mengizinkan mereka melihat gedung baru tersebut.
Mereka yang hadir disuguhkan minuman dingin dan menikmati berbagai
makanan ringan sambil mendengarkan sambutan yang disampaikan oleh
Tn. Straatmeijer sebagai berikut:

93 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip De Javasche Bank No. 1456, Vertrouwelijk Brieven van De
Javasche Bank Agentschap Koetaradja (1918-1941).
94 Kreemer, Atjeh: Algemeen samenvattend overzicht van land en volk Atjeh en Onderhoorigden, Vol.
I, (Leiden: E. J. Brill, 1922), hlm. 50. Lihat juga Tim LP3ES, Op.Cit, hlm. 344.
95 De Sumatra Post, “De Javasche Bank”, 8 Oktober 1918.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 123


“Atas nama Dewan Direksi Javasche Bank, saya ingin mengucapkan
selamat datang yang hangat kepada Anda semua dan saya rasa saya dapat
mengumpulkan kehadiran Anda yang banyak bahwa pembangunan kantor
cabang ini telah membangkitkan banyak minat di sini. Akhirnya gedung ini
rampung, saya katakan, karena sudah lama diputuskan untuk mendirikan
kantor cabang di Aceh. Namun, karena berbagai keadaan, rencana itu tidak
dapat direalisasikan lebih awal. Pada tahun 1916, tanah ini dibeli di sini
dengan bantuan pemerintah dan desain gedung bank dengan rumah di
lantai atas untuk pimpinan cabang, seperti yang biasa dilakukan di bank
sampai sekarang, dipercayakan kepada Kantor Arsitektur Cuypers & Hulswit,
yang mana di sini telah hadir Tuan Hulswit. Biro itu sekali lagi memenuhi
reputasinya, dan sekarang Anda dapat menilai yang terbaik untuk diri Anda
sendiri, dengan memproyeksikan bangunan yang sangat indah dan sangat
praktis dalam hal tata letak.
Pembangunannya memakan waktu lama, karena pada bulan Januari 1917
mandor pekerjaannya, Tuan Jaski, datang ke sini untuk melihat-lihat dalam
keadaan yang sangat sulit mulai meletakkan fondasi, sedangkan pada
tanggal 30 Juni tahun itu peletakan batu pertama oleh Z. Ex. Gubernur
Swart; Tuan Jaski akan lebih baik menceritakannya sendiri kesulitan apa yang
Tuan Jaski hadapi, dan dapat dipastikan bahwa jika DJB memiliki kontraktor
dengan kemauan dan tenaga yang lebih sedikit, pembangunannya akan
memakan waktu lebih lama; Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan
terima kasih kepada Tuan Jaski atas nama Direksi de Javasche Bank atas
dedikasinya selama bekerja di Koetaradja; Saya juga tidak ingin melupakan
kerja sama kebajikannya yang telah diterima DJB dengan konstruksi ini dari
orang dan badan lain, dan saya akan menyebutkan para zeni, pengelola air/
Waterstaat dan Atjehsche Handel Maatschappij, yang dengan ini saya juga
ingin mengucapkan terima kasih atas kerja sama ini.
Saya berharap bangunan ini akan menjadi permata kota dan saya juga
berharap agar contoh Javasche Bank dengan cabang di Aceh akan diikuti
oleh banyak badan dan perusahaan besar lainnya, untuk memberikan
kontribusi bagi kemakmurannya lebih lanjut, perdagangan dan pertanian di
wilayah ini.”

124 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Mereka yang hadir saat itu kagum dengan terselesaikannya
pembangunan gedung DJB Agentschap Koetaradja. Bagian depan gedung
tersebut telah memberi kesan yang sangat menonjol dalam paduan garis
dan warna yang sangat sederhana, termasuk pula interiornya. Perayaan
atas selesainya pembangunan gedung kantor cabang DJB ini dimeriahkan
oleh hiburan musik dan lainnya yang khas tradisi orang Eropa.96
Pada dasarnya pengoperasian DJB Koetaradja tidak terlepas dari
sentuhan politik dan ekonomi yang dinamis di Pulau Sumatra, terutama
Aceh.97 Jika melihat lalu lintas perekonomian yang ramai dengan
kebutuhan yang terus meningkat, tidaklah heran jika Koetaradja terpilih
menjadi salah satu lokasi berdirinya kantor cabang DJB di ujung utara
Sumatra.98 Ditambah lagi kondisi tersebut tentu berdampak pula terhadap
perkembangan sirkulasi keuangan yang semakin masif.
Terlepas dari alasan pertumbuhan ekonomi, pendirian DJB
Agentschap Koetaradja memuat unsur politis. Di samping ditujukan
untuk mendukung kebijakan monetisasi di wilayah Aceh, pendirian DJB
Agentschap Koetaradja juga dimaksudkan untuk melegitimasi kekuasaan
Belanda di Aceh. Meskipun Belanda telah berhasil memenangkan perang,
namun untuk tetap mengukuhkan kekuasaannya, masih dibutuhkan upaya
lain, yaitu penguasaan bidang keuangan, dan upaya itu bisa diwakili oleh
pendirian kantor cabang DJB. Signifikansi penguasaan bidang keuangan
ini akan lebih terasa bila dikaitkan dengan status Koetaradja yang di masa
lalu merupakan ibu kota Kesultanan Aceh. Sehingga keberadaan DJB
Agentschap Koetaradja menjadi simbol kekuatan Belanda bahwa secara
ekonomi wilayah Aceh berada di bawah kendali pemerintah kolonial.

96 De Sumatra Post, “Javasche Bank Kota Radja”, 4 Desember 1918.


97 Pada pembukaan kantor cabang di wilayah pantai timur Sumatra, daerah yang berhadapan dengan
Semenanjung Malaka dan Singapura, mendapat pengaruh kuat dari dinamika perkembangan
ekonomi di wilayah jajahan tersebut. Sehingga upaya DJB mendukung kebijakan politik-ekonomi
Pemerintah Hindia Belanda sangat menonjol. Peran DJB dalam aktivitas pedagangan dan
perekonomian di wilayah pantai timur Sumatra semakin terlihat oleh sebab adanya kebijakan
“guldenisasi” di wilayah tersebut. Lihat Tim LP3ES, Bank Indonesia…, (1995: 343).
98 Arsip Bank Indonesia, “Koetaradja, Brieven Vertrouwelijk van/aan Hoofdkantoor”, Dokumen tidak
Diterbitkan.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 125


Gambar 2.13. Gedung De Javasche Bank Agentschap Koetaradja Tahun 1925
Sumber: Tropenmuseum

Berada di kawasan strategis dengan aktivitas perdagangan maritim


yang ramai, menjadikan Koetaradja sebagai kawasan ekonomi yang
menguntungkan pemerintah kolonial. Situasi yang demikian ditambah
lagi dengan gencarnya pembangunan infrastruktur yang dilakukan
Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun pertama abad ke-20. Pembangunan
infrastruktur ekonomi ini berdampak lain terhadap derasnya arus migrasi
ke Aceh.99 Untuk itu, kiranya perlu berdiri kantor cabang DJB sebagai
instrumen perbankan yang mengatur lalu lintas permodalan, perkreditan,
serta pembayaran bagi lancarnya aktivitas perdagangan di Koetaradja.

99 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pengaruh Migrasi Penduduk terhadap Perkembangan


Kebudayaan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta, 1979), hlm. 26. Kolonisasi yang
dilakukan Belanda di Aceh sebagai hasil kemenangan atas Perang Aceh yang berlangsung lama,
secara praktis menunjukkan Belanda sebagai satu-satunya penguasa tunggal di Aceh. Lihat pula
Anthony Reid, Sumatra: Revolusi dan Elite Tradisional, hlm. 11.

126 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Tidak pula dapat disangkal, bahwa pendirian bank juga ada hubungannya
dengan kebijakan politik Batavia yang memberi izin pendirian bank di
Hindia Belanda umumnya di daerah-daerah luar Jawa khususnya serta
politik pasifikasi pemerintah di Aceh.
Seperti disebut sebelumnya, pada perempat terakhir abad ke-19,
bermunculan banyak bank di Hindia Belanda. Bank-bank tersebut tidak
hanya beroperasi di Pulau Jawa, tetapi juga membuka cabang atau agen
serta agen-pembantu di daerah-daerah luar Jawa. Aceh termasuk salah
satu daerah yang dilirik oleh bank tersebut. NHM adalah salah satu bank
pertama membuka cabangnya di Koetaradja (1901).100 Para pengusaha
pemilik perkebunan (terutama lada) adalah nasabah utama bank yang
dalam berbagai literatur dinamai juga dengan Factorij itu.101
Tahun 1908 di Koetaradja didirikan Groot-Atjehsche-Afdeelingsbank.
Bank semi pemerintah ini didirikan atas dasar Gouvernements-Besluit No.
4 tertangal 11 Juli 1908. Di samping pemerintah, modal awal bank ini
didapat dari anggota perhimpunan yang terdiri dari orang (pengusaha
Belanda/Eropa) serta penduduk bumiputra, dan orang Timur Asing yang
telah dipersamakan (gelijkgestelden). Bank memiliki lima orang pegawai,
dalam mana satu dari mereka menjadi direktur dan seorang sekretaris.
Asisten Residen Aceh Besar menjadi Direktur ex-officio. Para agen yang
berjumlah lima belas adalah penduduk bumiputra. Bank ini memberikan
pelayanan simpan-pinjam dan deposito. Nasabah deposito umumnya
pengusaha Belanda, tabungan juga orang Belanda, sedangkan nasabah
kredit, di samping orang Belanda adalah penduduk bumiputra.102
Menindaklanjuti kebijakan pemerintah yang menginginkan
dibentuknya Volkscredietbank, maka tahun 1913 dibuka Credietbank di
Lho’Seumawe. Bank ini didirikan atas dasar Gouvernement-Besluit No. 60
tertanggal 14 April. Ini adalah Credietbank pertama di Aceh. Pelayanan
yang diberikan hampir sama dengan Afdeelingbank Aceh Besar dan
wilayah operasinya adalah Afdeeling Aceh Utara. Satu tahun berikutnya

100 J. Langhout, Economische Staatkunde…, (1923: 178)


101 J. Kremer, Atjeh,,,, (II), (1923: 49-50); R. Broersma, Atjeh als Land…. (1925: 117)
102 J. Kremer, Atjeh,,,, (II), (1923: 39-40).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 127


berdiri pula Credietbank di Langsa dengan pelayanan yang juga hampir
sama dan wilayah pelayanannya di Afdeeling Aceh Timur.
Sebagai bagian dari pelaksanaan politik pasifikasi, Gubernemen Aceh
khususnya dan Pemerintah Hindia Belanda pada umumnya, di samping
membantu meningkatkan kesejahteraan warga dengan peningkatan
prasarana dan sarana irigasi, penyuluh pertanian, pengadaan benih,
dan lain sebagainya, juga membantu petani dan nelayan dalam soal
permodalan serta pembelian dan penjualan produksi mereka. Dalam
hubungan dengan itu, maka didirikanlah bank desa yang dinamakan
Sagibank. Sagibank Lam Ateue (Aceh Besar) adalah bank desa pertama
yang didirikan di Aceh (1910). Dua tahun kemudian didirikan pula
Sagibank Lam Nyong. Tujuan utama pendirian bank ini adalah membantu
para petani padi, kelapa, nelayan, dan lain sebagainya. Sama dengan
Credietbank, modal awal Sagibank juga didapat dari Afdeelingbank.
Di samping Sagibank, pemerintah juga mendorong berdirinya
Lumbung Desa dan Kampungbank. Sebagai bank milik pemerintah daerah
dan difungsikan untuk membantu pemerintah daerah, maka Afdeelingbank
juga membantu pendirian Lumbung Desa dan Kampungbank. Dua bank
yang disebut terakhir didirikan pada banyak desa dan kampung dan
ditujukan untuk membantu petani dalam mendapatkan modal untuk
berusaha. Di samping itu juga ‘mendidik’ penduduk untuk menyimpan
(menabungkan) uangnya. Dikatakan juga tujuan pendirian bank-bank
ini adalah untuk membantu penduduk menghindari praktik peminjaman
uang yang dilakukan oleh para rentenir.103
Tanpa mengabaikan arti dan keberadaan Afdeelingbank, Sagibank,
Lumbung Desa, dan Kampungbank, keberadaan Factorij sangat besar
artinya bagi para pengusaha besar, terutama yang bergerak dalam
lapangan ekspor-impor di Aceh. Keberadaan kantor cabang NHM di
Koetaradja itu telah membantu perusahaan-perusahaan dagang di
Aceh dalam mendapatkan modal. Sudah banyak pengusaha di Aceh
yang menjadi nasabah Factorij. Karena itu, sejak awal pendiriannya, DJB
Koetaradja telah memiliki saingan. Untuk itu, pimpinan DJB Koetaradja

103 J. Kremer, Atjeh,,,, (II), (1923: 40-42).

128 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


diminta kreatif dan inovatif. Dalam hubungan dengan kenyataan itulah,
bisa dipahami adanya sejumlah laporan yang dibuat pimpinan DJB
Koetaradja kepada Presiden DJB di Batavia. Dalam laporan tersebut bisa
dibaca sejumlah rencana yang akan diwujudkan DJB Koetaradja dan itu
bisa dikaitkan dengan adanya upaya memenangkan konkurensi dengan
Factorij. Dalam laporan No. 92/1 pada tanggal 26 Juli 1919, pimpinan DJB
Koetaradja misalnya melaporkan kepada Presiden DJB di Batavia bahwa
ke depannya akan ada kemungkinan DJB berelasi dengan Atjehsche
Handel Maaty. Kemungkinan kerja sama tersebut didasari atas posisi
pimpinan DJB Agentschap Koetaradja sebagai komisaris di perusahaan
dagang itu.104 Dalam suatu laporan lainnya, pada Desember 1919 DJB
Agentschap Koetaradja juga tengah mempersiapkan pemberian kredit
kepada perusahaan dagang Handel Mij Tjong Lie Tjeng en Zonen.105 Tak
hanya itu, kehadiran kantor cabang DJB di Koetaradja berimplikasi pula
terhadap adanya penambahan pemegang rekening baru di tempat lain
yang membuat sistem giro semakin diperluas.106
Kehadiran kantor cabang baru di Koetaradja rupanya menunjukkan
tren positif terhadap perekonomian Aceh selama empat tahun pertama
pendirian. Dalam suatu laporan keuangan dilaporkan bahwa selama
empat tahun pertama, total pendapatan yang diperoleh DJB Koetaradja
menggambarkan hasil positif.
Berdasar pada keuntungan tersebut, kemudian muncul sejumlah
ketentuan yang mulai diberlakukan, seperti penyediaan diskon kredit
kepada Factorij, perusahaan dagang N.V. Tjiong Lie Tjeng & Zonen sebesar
f60.000,- dan penawaran diskon kredit kepada Wissels W. dengan jumlah
yang besar. DJB Koetaradja juga menaruh minat besar terhadap pinjaman
lokal.

104 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip De Javasche Bank No. 1456, Vertrouwelijk Brieven van De
Javasche Bank Agentschap Koetaradja (1918–1941), 26 Juli 1919.
105 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip De Javasche Bank No. 1456, Vertrouwelijk Brieven van De
Javasche Bank Agentschap Koetaradja (1918–1941), 27 Desember 1919.
106 De Nieuwe Vorstenlanden, “Girolijst”, 15 April 1919.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 129


Tabel 2.5.
Laporan Perolehan Kantor Cabang DJB Koetaradja Tahun 1919–1923107

Biaya Lain- Total


Tahun Bunga Emas Pengeluaran Keuntungan
Administrasi* lain Pendapatan
1919/20 9.6 2.5 13.5 0.1 25.7 18.9 6.8
1920/21 20.7 2.1 9.3 0.1 32.2 19.6 12.6
1921/22 16.5 2.3 4.8 3.- 26.6 22.8 3.7
1922/23 19.3 2.1 1.4 7.5 30.3 22.8 7.5
Keterangan: *biaya administrasi dalam hal ini ialah biaya balas jasa ke bank karena telah disetujui
pinjaman
Sumber: Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip De Javasche Bank No. 1456, Vertrouwelijk Brieven van De
Javasche Bank Agentschap Koetaradja (1918–1941)

Pentingnya keberadaan DJB Koetaradja terhadap peredaran uang


di Aceh juga tercermin dari peredaran uang tunai yang cukup besar
dalam perkembangan giro lokal, di mana pada tahun 1919/20 jumlahnya
sebesar f5.3 juta. Pada 1921/22 angkanya terus mengalami kenaikan
yang mencapai f11.4 juta. Di samping itu juga ada transfer uang dalam
jumlah yang besar dari sejumlah bank. Selain itu, penting juga untuk
diketahui bahwa pada dekade tahun 1920-an terdapat peredaran uang
di wilayah administratif militer. Kondisi demikian terlihat dalam suatu
laporan disebutkan pada 1921/22 jumlah uang yang beredar di wilayah
administratif militer berjumlah sekitar f6.5 juta dan pada 1923/24 sebesar
f5.4 juta.108
Setelah mengalami keuntungan pada empat tahun pertama
beroperasinya, maka pada tahun 1923/24 hingga 1925/26 pendapatan
yang diperoleh DJB Koetaradja mengalami penurunan, hal ini dapat dilihat
pada tabel berikut.

107 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip De Javasche Bank No. 1456, Vertrouwelijk Brieven van De
Javasche Bank Agentschap Koetaradja (1918–1941), 4 Agustus 1919.
108 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip…4 Agustus 1919.

130 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Tabel 2.6.
Kerugian yang Dialami DJB Agentschap Koetaradja Tahun 1923–1926

Biaya Lain- Total


Tahun Bunga Emas Pengeluaran Saldo
Administrasi lain Pendapatan
1923/24 9.6 2.- 0.1 3.4 21.4 25.1 -f3.7
1924/25 10.1 3.6 0.5 2.9 27.1 21.7 -f4.6
1925/26 8.6 4.4 1.- 0.1 14.1 23.9 -f9.9
Sumber: Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip De Javasche Bank No. 1456, Vertrouwelijk Brieven van De
Javasche Bank Agentschap Koetaradja (1918–1941)

Penurunan yang berdampak pada kerugian ini disebabkan oleh


adanya persaingan dengan NHM terkait diskon penerimaan lelang
(vendu-accepten) yang menyebabkan kurangnya minat terhadap DJB.
Terlebih pada periode tersebut emas kurang menguntungkan, kondisi
ini diperparah lagi dengan meningkatnya biaya administrasi untuk
pembayaran, inkaso, dan lain-lain yang semakin banyak dilakukan
oleh DJB. Sementara pada tahun 1926, berdasarkan surat No. 99/1
tanggal 6 Mei 1926, pimpinan cabang DJB Koetaradja menceritakan
bagaimana penurunan yang terjadi berimplikasi pada kerugian. Dalam
penjelasan pimpinan cabang DJB Koetaradja melaporkan bahwa saat itu
perdagangan impor dipegang oleh N.V. Atjehsche Handel Maatschappij,
yang sejak awal berdiri sudah berafiliasi dengan NHM. NHM juga memiliki
saham di perusahaan dagang tersebut. Selain itu, juga dilaporkan bahwa
perusahaan lain, seperti Handel Mij Deli Atjeh (Perusahaan Dagang Deli
Aceh) dan de Borsumy melakukan perdagangan impor dengan dana yang
diperoleh dari kantor di Medan.109
Pimpinan DJB Koetaradja juga melaporkan, bahwa kerugian yang
diderita kantor yang dipimpinnya disebabkan oleh ekspor berbagai hasil
perkebunan dan perusahaan Eropa di pantai utara Aceh dilakukan melalui
Langsa/Belawan. Pengaturan keuangan dari kegiatan ekspor tersebut
seluruhnya dilakukan di Medan. DJB Koetaradja tidak mendapat bagian
apa pun dari kegiatan itu.

109 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip De Javasche Bank No. 1456, Vertrouwelijk Brieven van De
Javasche Bank Agentschap Koetaradja (1918–1941), hlm. 3.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 131


Walaupun demikian, sebagai hasil evaluasi dilaporkan oleh pimpinan
kantor cabang DJB Koetaradja kepada Presiden DJB di Batavia bahwa
di masa mendatang kantor cabang ini akan berkiprah dan tidak lagi
mengalami kerugian sebagaimana yang terjadi pada tahun 1923–1926.
Perkiraan tersebut didasarkan pada peran DJB Koetaradja sebagai bank
sirkulasi di wilayah Aceh yang akan memenuhi kebutuhan dalam jumlah
besar. Hal ini akan dibuktikan dengan meningkatnya angka lalu lintas giro
di wilayah Aceh. Di samping itu persebaran produk pertanian milik Eropa
di pantai barat Aceh di masa mendatang akan membuat kantor cabang
DJB Koetaradja memiliki peran yang penting.110
Pada tahun berikutnya, yakni 1926/27 hingga 1928/29 laporan
keuangan DJB Koetaradja angka kerugian yang dialami cenderung lebih
kecil dari tahun sebelumnya. Perkembangan demikian diharapkan dapat
membawa hasil yang lebih baik secara bertahap. Pada tahun 1929/30
laporan keuangan DJB Koetaradja ditutup dengan keuntungan. Namun,
kondisi tersebut tidak berlangsung lama. Depresi ekonomi global yang
terjadi di awal 1930-an juga berdampak terhadap DJB Koetaradja. Lima
tahun permulaan 1930-an adalah tahun-tahun sulit dan diisi dengan
catatan kerugian oleh DJB Koetaradja. Seiring dengan berlalunya
krisis global, maka tahun 1935/36 DJB Koetaradja mulai menunjukkan
keuntungan lagi dan sejak saat itu terus mengalami keuntungan.111
Tren positif yang dialami DJB Koetaradja pascadepresi ekonomi,
juga disebabkan oleh buruknya kinerja Factorij Koetaradja. Seperti
disebut sebelumnya, Factorij telah beroperasi di Koetaradja sebelum
DJB membuka cabangnya di sana. Sejak awal Factorij telah memfasilitasi
seluruh keuangan Atjehsche Handel Mij. dan puncaknya perusahaan
dagang tersebut berutang kepada Factorij sebesar f8 ton. Terlepas dari
kredit tersebut, sejak beberapa tahun terakhir 1920-an Factorij telah
dihadapkan pada berbagai persoalan keuangan. Walaupun kemudian
Atjehsche Handel Mij. membayar debitnya, berbagai persoalan lain tidak
berhasil dituntaskan sehingga kerugian semakin besar. Keadaan buruk ini

110 Ibid.
111 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip De Javasche Bank No. 1456, Vertrouwelijk Brieven van De
Javasche Bank Agentschap Koetaradja (1918–1941), hlm. 4.

132 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


berakibat pada ditutupnya kantor cabang Factorij di Koetaradja pada 3
Oktober 1931.112
Penutupan Factorij adalah berkah bagi DJB. Setelah melalui tahun-
tahun sulit pada saat depresi ekonomi, sejak pertengahan 1930-an kinerja
DJB Koetaradja pulih lagi. Bahkan keberadaannya sangat dibutuhkan
daerah, khususnya untuk transaksi uang dan pembayaran. Setidaknya
kinerja yang baik ini terlihat tiga tahun setelah keuntungan pertama diraih
pasca tahun sulit. Data berikut, di samping menyajikan keuntungan DJB
sejak tahun 1936, juga menampilkan perolehan DJB Koetaradja sejak
tahun 1925/26.

Tabel 2.7.
Perkembangan Perolehan DJB Agentschap Koetaradja Tahun 1925/26 hingga
1937/38

Biaya Lain- Total


Tahun Bunga Emas Pengeluaran Saldo
Administrasi lain Pendapatan
1925/26 8.6 4.4 1.- 0.1 14.1 23.9 -f9.9
1926/27 7.8 5.2 1.6 0.1 14.7 24.3 -f9.6
1927/28 7.7 5.- 1.9 0.3 14.9 24.3 -f9.5
1928/29 11.6 4.6 1.6 0.5 18.3 24.9 ­-f6.5
1929/30 22.4 4.4 1.4 0.6 28.7 24.7 +f4.-
1930/31 17.7 4.1 0.1 0.1 22.1 27.9 -f5.8
1931/32 11.4 4.- - 0.4 15.8 25.1 -f9.3
1932/33 15.1 5.3 0.2 0.2 20.8 26.4 -f5.6
1933/34 15.1 5.- - 0.2 20.3 25.4 ­-f5.2
1934/35 13.1 4.1 - 0.1 17.3 26.- -f8.7
1935/36 19.5 4.4 - - 23.9 21.5 +f2.4
1936/37 19.3 4.3 - - 23.6 23.- +f0.6
1937/38 5.3 4.3 +f1.-
Sumber: Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip De Javasche Bank No. 1456, Vertrouwelijk Brieven van De
Javasche Bank Agentschap Koetaradja (1918–1941)

112 De Locomotief, 05-09-1931; Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch Indie, 05-09-1931.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 133


Perkembangan lain yang dialami DJB Koetaradja sejak tahun 1926
juga terjadi pada uang muka atas surat berharga atau saham. Pada
Maret 1926 angkanya mencapai f41.400. Capaian angka yang diperoleh
berfluktuatif setiap bulan, dan akhirnya tahun 1936 angkanya menyentuh
f428.200. Walapun pada Maret 1937 mengalami penurunan, namun
penurunan itu hanya bersifat sementara sebab beberapa bulan kemudian
naik kembali sehingga pada bulan Juni angkanya telah mencapai
f422.500. Pentingnya DJB Koetaradja sebagai kantor efek lebih besar dari
nilai efek yang dibicarakan. DJB Koetaradja telah menjadi kantor klien
sekuritas yang kuat dan proporsional.113
Makna keberadaan DJB Koetaradja dalam lalu lintas atau sistem
keuangan dan sistem pembayaran di Aceh tercermin dalam omzet kas,
angka rekening giro, ukuran lalu lintas giro, pengiriman uang kepada
beberapa kantor DJB yang lain dan sebaliknya, bisnis inkaso, dan lain-lain.
Mengenai besaran omzet kas dalam beberapa tahun, tidak terdapat data
yang tepat terkait hal tersebut. Rangkuman jurnal kas pada April 1937
menunjukkan nilainya sebagai berikut.

Tabel 2.8.
Rangkuman Jurnal Kas Pada April 1937

Aantal stortingen 395 st.


Totaal aan stortingen f.405.000
Aantal disposities 147 st.
Totaal aan disposities f.358.000
Sumber: Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip De Javasche Bank No. 1456, Vertrouwelijk Brieven van De
Javasche Bank Agentschap Koetaradja (1918–1941)

Per akhir Maret 1937, rekening giro––ekslusif dari Comptabele


Ambtenaren––terdiri atas sejumlah perusahaan. Beberapa di antaranya
adalah Atjeh Drukkery en Boekhandel; Atjehsche Handel Maatschappij;
Borsumij (Borsumy); Firma J. Boon Jan.; Hars-en Terpentijnbedrijf
Takengon; Handel Mij. Deli Atjeh; Administrateur der Landschapskassen;

113 De Locomotief, 05-09-1931; Algemeen Handelsblad…., 05-09-1931.

134 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Rekening van Landschapskassen; Meureuboh Estate; Seumanjam Estate;
Seumagan Estate; Tripa Estate; KPM, Olehleh Zeehaven en Kolen Station,
Sabang.
Dalam persoalan lain pada tahun 1941 melalui Surat No. 114/14
tanggal 31 Desember 1941 DJB Koetaradja mengirimkan surat kepada
DJB Pusat di Batavia dengan subjek sirkulasi uang koin perak. Residen
Aceh saat itu mengalami kesulitan dalam sirkulasi uang koin perak,
sehingga tekenmunt silver (uang koin perak) dan pasmunt (uang koin
tembaga) sangat langka, tetapi di sisi lain muntbiljetten (uang kertas)
enggan diterima oleh masyarakat.114 Namun, permintaan bantuan kepada
Batavia tersebut ditolak. Dalam penolakan tersebut, Batavia mengatakan
bahwa seluruh instansi pemerintah tidak lagi menerima muntbiljetten.
Muntbiljetten diasumsikan masih diterima oleh perdagangan Eropa dan
lambat laun uang tersebut akan hilang dari peredaran. Menurutnya
keinginan DJB Koetaradja meminta tambahan tekenmunt silver dan
pasmunt untuk daerahnya kepada Departement van Financien, bukanlah
solusi. Lebih lanjut lagi Batavia menyatakan bahwa tekenmunt dan
pasmunt secara diam-diam akan menghilang dari peredaran, beberapa
minggu kemudian bahkan uang tersebut tidak ditemukan dalam jumlah
yang besar sebab telah ditarik dari peredaran di hampir seluruh Hindia
Belanda.115 Pada surat berikutnya, DJB Koetaradja menjawab tanggapan
Batavia dan mengatakan bahwa peredaran pasmunt semakin membaik
sebab adanya remise dari Medan kurang lebih sebesar f12.500. Dalam
laporan yang sama disampaikan pula bahwa saat itu sistem kredit di
Koetaradja meluas hingga ke kredit lusinan korek api, beberapa porsi
makanan, cangkir kopi, dll.116

114 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip De Javasche Bank No. 1456, Vertrouwelijk Brieven van De
Javasche Bank Agentschap Koetaradja (1918–1941), “Administratie, Kaspositie, enz”, dokumen
tidak diterbitkan.
115 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip De Javasche Bank No. 1456, Vertrouwelijk Brieven van De
Javasche Bank Agentschap Koetaradja (1918–1941), “Muntcirculatie in Koetaradja”, dokumen tidak
diterbitkan.
116 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip De Javasche Bank No. 1456, Vertrouwelijk Brieven van De
Javasche Bank Agentschap Koetaradja (1918–1941), “Muntcirculatie en Voedselsituatie”, dokumen
tidak diterbitkan.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 135


Menjelang berakhirnya kekuasaan kolonialis Belanda, keadaan Aceh
secara keseluruhan menjadi kacau. Masuknya Jepang menyebabkan
terjadinya eksodus orang Cina serta sejumlah penguasa dan orang Eropa
ke Sumatra Timur. Mereka pergi juga membawa serta sebagian besar
harta benda, bahan makanan, dan juga kekayaan (uang mereka). Kondisi
ini jelas berpengaruh pada aktivitas DJB Koetaradja. Apalagi, seperti yang
akan dibicarakan pada bagian lain buku ini, kehadiran bala tentara Jepang
akan berpengaruh terhadap keberadaan DJB nantinya.
Walaupun begitu, sebelum mengakhiri pembahasan mengenai DJB
Koetaradja ini, perlu juga disampaikan bahwa lembaga keuangan itu
digerakkan oleh sejumlah tokoh yang mana nama mereka telah mengisi
lembaran sejarah ekonomi Aceh. Sebagian mereka adalah pelaku utama
dunia niaga Aceh dan sebagian lain dikirim dari Batavia. Merekalah yang
melakukan kerja sama dengan para pejabat sipil-militer daerah, bekerja
sama dan bersaing dengan lembaga keuangan (perbankan yang lain),
serta menjalin hubungan yang harmonis dengan pengusaha-pengusaha
daerah. Merekalah yang melarungkan bahtera DJB Koetaradja hingga
akhir kekuasaan Belanda di Hindia Belanda. Adapun nama-nama dan
posisi mereka dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.9.
Personalia DJB Koetaradja 1920–1942

PLV
Tahun Commissaris Commissaris Agent PLV Agent
Agent
C. H. Chr. Ouw-
1920 J. Boon J. Stratenmeier
erling
BK.A. van der
1921 H. J. E. Moll J. Boon
Zweep
F. J. A. Blokber-
1922 H. J. E. Moll J. Boon
gen
J. M. van
1923 H. J. E. Moll J. Boon H. A. Burlage Lidth der
Jeude

136 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Tabel 2.9.
Personalia DJB Koetaradja 1920–1942 (Lanjutan)

PLV
Tahun Commissaris Commissaris Agent PLV Agent
Agent
J. M. van
Lidth der G. W.
1924 Th. H. Neys J. Boon H. A. Burlage
Jeude Geveke

Plv. Agent
en kase-
1925 Th. H. Neys J. Boon Jzn H. A. Burlage mployé’s te
Medan, plv.
agent.
Plv. Agent
en kase-
1926 K. Th. Beets J. Boon Jzn H. A. Burlage mployé’s te
Medan, plv.
agent.
Plv. Agent
en kase-
1927 K. Th. Beets J. Boon Jzn H. A. Burlage mployé’s te
Medan, plv.
agent.
Plv. Agent
en kase-
1928 K. Th. Beets J. Boon Jzn L. D. Termijtelen mployé’s te
Medan, plv.
agent.
Plv. Agent
en kase-
1929 K. Th. Beets J. Boon Jzn H. D. Canne mployé’s te
Medan, plv.
agent.
Plv. Agent
en kase-
Mr. J. N. van der
1930 J. Boon Jzn H. D. Canne mployé’s te
Reyden
Medan, plv.
agent.
Plv. Agent
en kas-em-
Mr. J. N. van der Jhr. J. M. van
1931 J. Boon Jzn ployé’s te
Reyden Lidth de Jeude
Medan, plv.
agent

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 137


Tabel 2.9.
Personalia DJB Koetaradja 1920–1942 (Lanjutan)

PLV
Tahun Commissaris Commissaris Agent PLV Agent
Agent
Plv. Agent
en kas-em-
Mr. J. N. van der
1932 A. H. Druyff J. Rens ployé’s te
Reyden
Medan, plv.
agent
Plv. Agent
en kas-em-
Mr. J. N. van der
1933 J. Boon Jzn J. Rens ployé’s te
Reyden
Medan, plv.
agent
Plv. Agent
en kas-em-
Mr. J. N. van der
1934 J. Boon Jzn J. Rens ployé’s te
Reyden
Medan, plv.
agent
Plv. Agent
en kas-em-
1935 C. E. Maier K. H. de Boer J. Rens ployé’s te
Medan, plv.
agent
Plv. Agent
en kas-em-
1936 C. E. Maier K. H. de Boer J. Rens ployé’s te
Medan, plv.
agent
Plv. Agent
en kas-em-
S. F. van Mus-
1937 J. B. F/ Sartoriu J. Boon Jzn ployé’s te
senchenbroek
Medan, plv.
agent
Plv. Agent
en kas-em-
S. F. van Mus-
1938 J. Boon Jzn ployé’s te
senchenbroek
Medan, plv.
agent
Plv. Agent
en kas-em-
S. F. van Mus-
1939 A. J. Piekaar Mr. D. J. Boon ployé’s te
senchenbroek
Medan, plv.
agent

138 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Tabel 2.9.
Personalia DJB Koetaradja 1920–1942 (Lanjutan)

PLV
Tahun Commissaris Commissaris Agent PLV Agent
Agent
Plv. Agent
S. F. van Mus-
1940 A. J. Piekaar Mr. D. J. Boon van Medan,
senchenbroek
plv. agen
Plv. Agent
S. F. van Mus-
1941 A.J. Piekaar Mr. D. J. Boon van Medan,
senchenbroek
plv. agen
Plv. Agent
S. F. van Mus-
1942 A.J. Piekaar G. J. Foerch van Medan,
senchenbroek
plv. agen
Sumber: Regeerings Almanaak voor Nederlandsch Indie (1920–1942), (Batavia: Landsdrukkerij, 1920–
1942)

Malaise dan Dinamika Ekonomi Menjelang


Kedatangan Jepang

Malaise atau Depresi Ekonomi dunia tahun 1930-an telah


menimbulkan situasi yang sulit bagi ekonomi di seluruh dunia, termasuk
Hindia Belanda, terutama aktivitas perdagangan ekspor. Harga komoditas
perdagangan di pasaran dunia mengalami penurunan tajam akibat
permintaan yang lemah, terutama di pasar Amerika dan Eropa. Satu
contoh yang menonjol adalah turunnya permintaan karet yang diproduksi
di perkebunan dan kebun plasma di Semenanjung Malaya, Sumatra, dan
Cina. Penurunan permintaan ini berhubungan erat terjadinya kontraksi
produksi mobil, terutama di Amerika Serikat. Akan tetapi, terdapat
mekanisme transmisi lain, yang kemungkinan muncul akibat pengetatan
kredit di seluruh dunia, pertama dari kontraksi tajam pinjaman luar negeri
Amerika dari pertengahan 1928 ketika dana ditarik ke dalam ledakan
spekulatif luar biasa di bursa New York dan kemudian Pemerintah Amerika
menaikkan suku bunga dalam upaya untuk meredam boom tersebut.
Kemudian runtuhnya bank-bank di seluruh Amerika Serikat dan Eropa
Barat ketika depresi mulai terjadi. Pengetatan kredit itu berpengaruh
besar terhadap Asia Tenggara.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 139


Selain faktor luar, depresi di Asia Tenggara juga memiliki penyebab
internal. Selama periode ini sejumlah ekspor komoditas utama di kawasan
ini, karena berbagai alasan, mengalami kelebihan pasokan yang serius.
Sebagai contoh adalah karet, yang karena harga yang sangat tinggi
pada tahun 1910-an, telah menyebabkan ekspansi penanaman baru
yang terlalu cepat di Semenanjung Malaysia dan Sumatra. Akibatnya,
terjadi lonjak produksi yang luar biasa pada tahun 1920-an.117 Produksi
yang berlebihan menyebabkan nilai ekspor Hindia Belanda mengalami
penurunan. Walaupun demikian, bunga utang luar negeri yang tinggi
tetap harus dibayar. Hal ini menimbulkan kesulitan ekonomi yang parah
di seluruh tanah jajahan yang mengakibatkan bangkrutnya banyak usaha
perkebunan di Jawa dan Sumatra.118 Dampak depresi terhadap Hindia
Belanda secara keseluruhan ada empat: pertama, hancurnya harga
dan permintaan komoditas perdagangan internasional; kedua, adanya
masalah dalam pengusahaan tanaman perdagangan khususnya karet
dan gula; ketiga, krisis keuangan yang disebabkan oleh berkurangnya
permintaan dan belanja pemerintah; keempat, akibat sosial ekonomi yaitu
menurunnya dengan tajam tingkat kesempatan kerja, pendapatan, dan
daya beli masyarakat hampir di seluruh pelosok negeri.119
Sebagai bagian dari lingkaran ekonomi kapitalis yang berkembang
pesat sejak pembukaan wilayah oleh pemerintah kolonial sebagai
lahan investasi, depresi ekonomi juga melanda Aceh. Pengaruh depresi
ekonomi terasa sangat mendalam di Aceh mulai tahun 1932 sampai
tahun 1935.120 Kondisi ekonomi Aceh masa awal tahun 1930-an
mengalami kemunduran secara signifikan. Berbagai barang hasil produksi
rakyat mengalami penurunan secara drastis. Demikian juga dialami oleh
perusahaan-perusahaan perkebunan, baik perusahaan-perusahaan swasta
maupun perkebunan-perkebunan pemerintah, sehingga terpaksa harus

117 Peter Boomgaard dan Ian Brown, Weathering The Strom: The Economies of Southeast Asia in the
1930s Depresion, (Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 2000), hlm. 1–2.
118 Soegijanto Padmo, “Depresi 1930-an dan Dampaknya Terhadap Hindia Belanda” dalam Jurnal
Humaniora No 2, 1991, FIB UGM, hlm.147.
119 Ibid., hlm.151.
120 Rusdi Sufi, Beberapa Catatan Tentang Daerah Aceh Tahun 1928–1942 (Banda Aceh: Toko Buku Mita
Rezeki, 1980), hlm. 12–16.

140 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


memberhentikan para buruhnya untuk penghematan.121 Malahan lebih
parah lagi, beberapa perusahaan perkebunan di Aceh Utara, Aceh Timur,
Dataran Tinggi Gayo dan Alas, dan Aceh Barat terpaksa harus ditutup
akibat merosotnya hasil produksi dan rendahnya harga komoditas yang
dihasilkan di pasaran dunia. Di antara perusahaan tersebut ada juga yang
menempuh jalan merger untuk dapat bertahan dari depresi ekonomi.122
Hancurnya perusahaan-perusahaan perkebunan akibat depresi
ekonomi berakibat pada banyak pekerja terpaksa harus diberhentikan
dan dikirim kembali ke tempat asal mereka masing-masing. Dari 23.000
orang buruh yang bekerja di berbagai perkebunan di Aceh, lebih 12.000
orang telah meninggalkan Aceh akibat kehilangan pekerjaan. Selain
buruh pribumi, ada juga pekerja bangsa Eropa sendiri yang terpaksa
harus diberhentikan. Bagi yang masih tetap dipekerjakan, baik pekerja
bangsa Eropa maupun buruh pribumi, gaji dan upah mereka dikurangi
demi penghematan.
Selain berpengaruh terhadap sistem perekonomian kapitalis,
depresi ekonomi tahun 1930-an juga berpengaruh besar terhadap
sistem perekonomian rakyat di Aceh. Produksi karet rakyat di beberapa
tempat di Aceh mengalami kemerosotan akibat penurunan harga.
Implikasinya adalah hanya 5 persen saja areal tanaman karet rakyat
yang masih tetap dilakukan penyadapan pada tahun 1931, selebihnya
dibiarkan terbengkalai karena tidak dapat menutupi biaya produksi.123
Hasil pertanian rakyat lainnya di Aceh yang mengalami penurunan harga
adalah pinang, padi, dan kopra. Harga pinang sebelum depresi f12 per
pikul, turun drastis pada masa depresi menjadi hanya f1,50 per pikul.124
Demikian juga dengan harga beras yang sebelum depresi nilai jualnya f15
per 100 kg, turun menjadi f10 pada tahun 1931 dan turun lagi menjadi
f6 dan f8 per 100 kg pada tahun 1932. Harga kopra juga mengalami tren
yang sama yang ikut merosot sampai f3,50 per kg. Harga binatang ternak

121 Memorie van overgave van A. H. Philips, aftreded Gouverneur van Atjeh en Onderhoorigheden, 31
Mei 1932, Mailr. 2544/29, hlm. 47-48.
122 De Deli Courant, 23 Mei 1932.
123 De Deli Courant, “Atjeh Economische Situatie”, 8 September 1932.
124 De Deli Courant, 23 Mei 1932.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 141


pada masa depresi juga mengalami penurunan drastis sampai 50 persen
dari harga normal sebelum depresi. Harga seekor sapi kecil masa depresi
hanya berkisar antara f6 sampai f10.
Untuk menghindari kelaparan selama masa depresi maka rakyat
Aceh dengan mendapat bantuan dari pemerintah kolonial memfokuskan
perhatian pada pertanian sawah, baik program ekstensifikasi maupun
intensifikasi. Selama masa depresi ekonomi lahan persawahan di Aceh
mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Menurut laporan
Landbouwvoorlightingsdienst (Dinas Penyuluhan Pertanian), jumlah areal
persawahan di Aceh pada tahun 1928 seluas 130.000 ha, meningkat
menjadi 132.000 ha pada tahun 1932125 dan menjadi 140.500 ha pada
tahun 1946.126 Selain program ekstensifikasi, untuk peningkatan produksi
pangan pemerintah kolonial juga melakukan intensifikasi pertanian,
terutama dengan memperluas jaringan irigasi ke areal persawahan rakyat.
Irigasi yang sudah dilaksanakan pembangunannya pada periode tahun
1929–1932 adalah bendungan Krueng Idi Rayeuk dekat Jambo Reuhat,
Bendungan Krueng Bakongan, dan melakukan perbaikan pengairan sisi
sebelah kiri Krueng Peusangan.127 Program intensifikasi lainnya yang
dilakukan pemerintah kolonial untuk mendukung produksi beras rakyat
adalah mendatangkan bibit unggul dari Landbouwkunsdig Instituut
Buitenzorg (Institut Pertanian Bogor) untuk ditanam di Aceh.128
Program ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian padi di Aceh
selama masa depresi ekonomi telah membuahkan hasil ganda, selain
dapat menghindari kelaparan di Aceh akibat gejolak ekonomi dunia,
seperti tujuan awal program tersebut, malahan Aceh mengalami surplus
beras masa ini. Kelebihan beras Aceh tersebut kemudian diekspor ke
Sumatra Timur untuk memenuhi kebutuhan pangan para pekerja di
perkebunan-perkebunan di sana.129

125 Memorie van overgave van A. H. Philips, aftreded Gouverneur van Atjeh en Onderhoorigheden, 31
Mei 1932, Mailr. 2544/29, hlm. 46–47.
126 J.R.C. Gonggrijp, Overzicht van de Economische Ontwikkeling van Atjeh Sedert de Pacificatie (Tijpark
1923–1938), 1944, hlm. 7.
127 Ibid., hlm. 8.
128 De Deli Courant, 12 Juni 1932.
129 De Deli Courant, 24 Agustus 1932.

142 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Setelah mengalami masa-masa yang sulit selama depresi, kondisi
ekonomi di Aceh pulih kembali pada tahun 1936. Hal ini sesuai dengan
laporan dalam memori serah terima jabatan Gubernur Aceh dan daerah
takluknya, A. Ph. Van Aken, Februari 1936, menyebutkan bahwa
meskipun daerah Aceh berada di bawah krisis ekonomi dunia sejak
awal tahun 1930-an, tetapi dengan kesungguhan rakyat yang dibantu
oleh Pemerintah Hindia Belanda, maka pada akhir tahun 1936 keadaan
ekonomi di Aceh sudah kembali seperti sebelumnya.130 Keadaan ekonomi
Aceh semakin bertambah baik menjelang tahun 1940, yang tidak kalah
dibandingkan dengan kondisi ekonomi di keresidenan-keresidenan
lainnya di Sumatra.131

130 Memorie van overgave A. Ph. Van Aken, Op.Cit., hlm. 47–48.
131 J.R.C. Gonggrijp, Overzicht van de Economische…, (1944: 6).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 143


MENEGAKKAN KEDAULATAN DAN KETAHANAN EKONOMI:
144 BANK INDONESIA DALAM PUSARAN SEJARAH KALIMANTAN BARAT
Bab 3
Ekonomi Perang Masa
Pendudukan Jepang

M asa pendudukan Jepang dalam sejarah nasional dinarasikan sebagai


masa yang sangat sulit yang pernah dialami oleh bangsa Indonesia,
sehingga periode ini sering dibanding-bandingkan dengan periode
kolonial Belanda. Di kalangan masyarakat umum pun muncul istilah “tiga
setengah tahun lebih sulit dibandingkan dengan tiga setengah abad”.
Pengalaman pahit ini tidak terlepas dari tujuan utama pendudukan
Indonesia oleh Jepang. Indonesia diproyeksikan sebagai cadangan sumber
daya, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, dalam upaya
memenangkan Perang Asia Timur Raya yang telah dicetuskan Jepang.
Akibatnya semua sumber daya yang ada di Indonesia disedot untuk
mendukung front pertempuran tersebut, sehingga kesejahteraan hidup
masyarakat menurun secara drastis. Padahal masa awal kedatangannya,
rakyat Indonesia menaruh harapan besar kepada Jepang, termasuk rakyat
Aceh.
Fakta yang cukup menarik dari proses kedatangan Jepang ke
Aceh adalah mereka diundang secara resmi oleh rakyat Aceh. Untuk
mempercepat masuknya pasukan Jepang, Persatuan Ulama Seluruh Aceh
(PUSA), yang memiliki pengaruh cukup besar dalam masyarakat Aceh,
sejak akhir tahun 1930-an mengirim utusan resmi ke Penang, Malaysia.
Misi dari utusan tersebut adalah mengundang Jepang untuk segera masuk
ke Aceh. Hal ini dilakukan sebagai upaya terakhir mengusir Belanda keluar
dari bumi Aceh. Menjelang masuknya pasukan Jepang, rakyat di beberapa
wilayah di Aceh telah melakukan pemberontakan dengan melakukan

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 145


sabotase terhadap fasilitas-fasilitas militer dan sipil Belanda. Situasi ini dan
ditambah oleh berita akan mendaratnya pasukan Jepang, menyebabkan
pasukan Belanda menyingkir meninggalkan Koetaradja beberapa
hari sebelum Bala Tentara Dai Nippon masuk. Dengan demikian, tidak
mengherankan proses masuknya Jepang ke Aceh terjadi dengan sangat
mulus dan tidak mendapat perlawanan sama sekali dari pasukan Hindia
Belanda. Bab ini akan mengulas secara luas proses kedatangan Jepang ke
Aceh dan kondisi Aceh, khususnya ekonomi, masa pendudukan Jepang.

Penetrasi Kekuasaan Jepang di Aceh

M enjelang kedatangan Jepang ke Aceh, kebencian rakyat terhadap


Belanda semakin tinggi. Kebencian tersebut dapat terlihat jelas
dari berbagai upaya rakyat Aceh untuk menentang penjajahan Belanda,
baik dalam bentuk aktivitas politik maupun dalam bentuk perlawanan
fisik. Kedua bentuk penentangan tersebut diakibatkan oleh kegagalan
pemerintah kolonial Belanda menampung aspirasi rakyat Aceh masa-
masa akhir kekuasaannya.
Berdasarkan surat-surat rahasia Residen Aceh tahun 1939,
dilaporkan bahwa ia telah menerima banyak sekali surat tuntutan agar
Kesultanan Aceh dikembalikan lagi, baik dari para uleebalang wilayah
maupun kelompok masyarakat lainnya. Surat-surat tersebut antara
lain: pertama dikirim oleh penduduk Koetaradja pada 17 Januari 1939;
surat kedua disampaikan oleh Nyak Musa tanggal 19 Januari 1939 yang
turut ditandatangani oleh penduduk lainnya dalam wilayah Sigli; surat
ketiga dikirim oleh Teuku Sabi, uleebalang Kenegerian Lageun dalam
wilayah Calang, Aceh Barat dan ditandatangani juga oleh penduduk
lain dalam wilayah tersebut. Surat ketiga ini ditujukan kepada Gubernur
Jenderal. Surat selanjutnya masing-masing beralamatkan Lhok Bubon dan
Meulaboh. Surat dari Lhok Bubon bertanggal 20 Februari 1939 dan surat
dari Meulaboh bertanggal 25 Februari 1939. Surat-surat ini ditandatangani
oleh penduduk yang berdiam di Kenegerian Lhok Bubon dan penduduk
Kenegerian Kaway XVI, wilayah Meulaboh.

146 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Menanggapi surat-surat tersebut, pemerintah kolonial bersikap
tegas menolak semua tuntutan dari surat-surat tersebut dengan alasan
mereka tidak bersedia mengubah sistem ketatanegaraan, tetapi berjanji
untuk membentuk tim penyelidikan untuk mengetahui tentang maraknya
tuntutan tersebut.1 Sayangnya, sampai akhir masa Pemerintah Belanda
janji tersebut tidak pernah terealisasi. Akibatnya rakyat Aceh semakin
tidak percaya dengan pemerintah kolonial Belanda.
Penolakan pemerintah kolonial terhadap tuntutan-tuntutan tersebut
menyebabkan semangat anti-Belanda di Aceh semakin memuncak
menjelang masuknya Jepang. Karena itu, sejak tahun 1941 rakyat Aceh
telah menyusun rencana untuk mengadakan perlawanan terhadap
Belanda, baik secara politik maupun perjuangan fisik. Dalam suasana
menghadapi ancaman perang antara Belanda dengan Jepang, telah
dilangsungkan rapat penting pada bulan Desember 1941 di rumah Teuku
Nyak Arief (Panglima Sagi XXVI Mukim), yang dihadiri tokoh-tokoh penting
di Aceh saat itu, baik kalangan bangsawan (uleebalang) maupun kalangan
ulama. Tokoh penting yang hadir pada rapat tersebut adalah Teuku Nyak
Arief (Panglima Sagi XXVI Mukim), Teuku Panglima Polem Muhammad
Ali (Panglima Sagi XXII Mukim), dan Teuku Ahmad (Uleebalang Jeunieb,
Samalanga) yang mewakili kalangan bangsawan, kemudian Teungku
Muhammad Daud Beureueh dan Teuku Abdul Wahab Seulimeum yang
mewakili Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Suatu keputusan penting
yang diambil dari pertemuan tersebut adalah dikeluarkannya sebuah
pernyataan sumpah setia mereka kepada Islam, bangsa dan Tanah Air,
serta menyusun pemberontakan bersama melawan Belanda dan bekerja
sama dengan Jepang.2

1 “Surat Menyurat tentang Permohonan Rakyat Aceh agar Dipulihkan Kembali Kesultanan Aceh” (Alih
Bahasa: Abu Bakar), Seri Informasi Aceh Th. 11 No. 7 (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi
Aceh, 1978).
2 Abdullah Ali dkk, Sejarah Perjuangan Rakyat Aceh dalam Perang Kemerdekaan 1945–1949 (Banda
Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, 1985), hlm. 130. T. Ibrahim
Alfian dkk, Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh (1945–1949) (Banda Aceh: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Pengembangan Permuseuman Daerah Istimewa Aceh, 1982),
hlm. 6–7.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 147


Dalam suasana yang genting akibat ancaman masuknya Jepang
ke Aceh, Teuku Nyak Arief mengajukan tuntutan kepada Residen
Aceh agar dilakukan peralihan kekuasaan kepada rakyat Aceh. Dalam
suatu pertemuan antara Residen J. Pauw dengan para Panglima Sagi
dan uleebalang lainnya di Koetaradja, Teuku Nyak Arief dengan tegas
mengemukakan kepada Residen agar pemerintahan diserahterimakan ke
tangan rakyat Aceh sendiri untuk dapat mengatur pemerintahan sendiri.
Ia mengatakan bahwa rakyat Aceh akan mampu mempertahankan
tanah airnya dan dapat membela diri dari setiap ancaman yang datang
dari luar, jika seandainya Pemerintah Belanda mengalihkan kekuasaan
pemerintahan kepada rakyat Aceh. Tuntutan tersebut juga ditolak oleh
Residen Pauw, sehingga sejak saat itu Teuku Nyak Arief tidak pernah
mau lagi mengadakan hubungan dengan Pemerintah Belanda.3 Akibat
lebih luas dari penolakan tersebut menyebabkan hubungan antara para
pemimpin Aceh dengan Belanda semakin renggang.
Situasi tegang yang terjadi di Aceh menjelang masuknya Jepang tidak
hanya melibatkan para uleebalang (bangsawan) saja, tetapi kelompok
ulama juga memainkan peranan penting. Adanya pelarangan terhadap
pendirian partai politik di Aceh membuat para ulama mendirikan suatu
organisasi agama yang bersifat politis, yaitu Persatuan Ulama Seluruh
Aceh (PUSA).4 Meski bukan berdiri sebagai sebuah partai politik, namun
aktivitas PUSA tidak dapat terlepas dari upaya memerangi penindasan yang
dilakukan oleh Belanda. PUSA yang berdiri pada tahun 1939, bukanlah
organisasi untuk memusuhi golongan uleebalang, melainkan ditujukan
untuk melakukan perlawanan terhadap segala bentuk kolonialisme serta
orang-orang kepercayaan pihak kolonial yang berkuasa dan menindas
rakyat.
Pernyataan perang yang dinyatakan Jepang terhadap Amerika Serikat
menandai dimulainya Perang Asia Timur Raya. Hal ini memicu timbulnya
musyawarah di antara para pimpinan PUSA untuk menentukan langkah
selanjutnya yang dapat diambil dalam menghadapi situasi tersebut.

3 A. H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia (Jilid I) (Bandung: Disjarah-AD dan Angkasa,
1977), hlm. 93–94.
4 Ali Hasjmy (ed.), 50 Tahun Aceh Membangun (Aceh: Majelis Ulama Provinsi Aceh, 1995), hlm. 72.

148 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Setidaknya terdapat tiga sikap yang menjadi pertimbangan PUSA, antara
lain:
1. Bekerja sama dengan Belanda, sebagaimana anjuran sementara dari
pemimpin Indonesia, untuk melawan Jepang.
2. Bekerja sama dengan Jepang guna mengusir Belanda, meski diyakini
bahwa Jepang juga sebagai penjajah.
3. Menjadi penonton yang pasif.5
Berdasarkan hasil musyawarah para pemimpin PUSA, kemudian
disepakati untuk memilih alternatif kedua, yakni bekerja sama dengan
Jepang dalam batasan tertentu serta mengadakan perlawanan secara
aktif terhadap kekuasaan Hindia Belanda, dan harus dimulai sebelum
Jepang tiba di Aceh. Perlawanan yang dilakukan PUSA terhadap kolonialis
Belanda berlangsung secara bertahap melalui kampanye senyap, perang
urat syaraf, sabotase, pembentukan gerakan bawah tanah, yang pada
akhirnya berujung pada perlawanan fisik. Keengganan PUSA bekerja sama
dengan Belanda didukung pula oleh para ulama yang tidak tergabung
dalam PUSA, meskipun demikian ada pula ulama ‘non-PUSA’ yang tidak
mau bergabung dengan Jepang. Mereka yang demikian adalah yang
cenderung ingin menjadi penonton pasif ketika Perang Asia Timur Raya
terjadi. Hanya sebagian kecil tokoh-tokoh Aceh yang berpihak pada
Belanda dengan alasan tertentu. Mereka yang termasuk kelompok yang
disebut terakhir ini tidak berani bertindak membantu Belanda menjelang
kedatangan Jepang, khususnya sejak Jepang berhasil menduduki
Semenanjung Melayu dan Singapura.
Suasana Perang Asia Timur Raya dimanfaatkan oleh PUSA sebagai
upaya untuk meningkatkan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda
di Aceh. Dalam batas-batas tertentu pada awalnya PUSA bekerja sama
dengan Jepang membentuk pusat perlawanan di sejumlah wilayah.
Perlawanan terhadap Belanda juga dilakukan oleh kelompok masyarakat
lainnya di beberapa tempat di Aceh, meskipun mereka bukanlah bagian
dari kelompok PUSA. Gerakan lain yang dicetuskan oleh pimpinan PUSA
kala itu dengan membentuk suatu gerakan bawah tanah yang bersifat

5 Ali Hasjmy, 50 Tahun Aceh…, (1995: 79).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 149


rahasia di bawah pimpinan Pemuda PUSA Aceh Besar. Seluruh gerakan
perlawanan yang dijalankan oleh para anggota dan pemuda PUSA
tetap berada di bawah koordinasi dan pengawasan Pengurus Besar
PUSA. Ahmad Abdullah dan Ali Hasjmy (anggota pemuda militan PUSA)
melakukan perundingan dengan Pengurus Besar Pergerakan Angkatan
Muda Islam Indonesia (PERAMIINDO) dan membentuk suatu gerakan
bawah tanah dengan nama Gerakan Fajar yang berpusat di Seulimeum.
Gerakan Fajar ini mulai melancarkan perlawanannya pada awal tahun
1942 dengan cara sabotase dan “perang urat syaraf”, seperti memotong
kawat telepon, mengirim surat bernada ancaman kepada pihak Belanda
dan juga yang bersifat hasutan kepada serdadu-serdadu dan para pegawai
sipil Indonesia dalam jajaran birokrasi kolonial.6 Gerakan Fajar tersebut
tidak hanya terjadi di wilayah Aceh Besar saja, melainkan di berbagai
tempat di Aceh.
Dalam usaha menggalang kerja sama dengan Jepang, setelah
pasukan Jepang berhasil menduduki Semenanjung Malaya (Malaysia),
pada 20 Februari 1942 PUSA mengirim utusan ke Penang, Malaysia.
Utusan yang dikirim antara lain Said Abubakar dan Said Ibrahim. Mereka
diutus khusus untuk bertemu dengan pembesar pasukan Jepang di
sana dengan membawa surat dari Pengurus Besar PUSA yang berisikan
permohonan agar tentara Jepang segera masuk ke Aceh. Tujuan dari
strategi ini adalah untuk dapat mengusir Belanda secepatnya dari Aceh.
Setelah tiba di Penang, mereka diantar oleh tentara Jepang ke Singapura
untuk bertemu Ketua Barisan F, Mayor Fujiwara. Setelah diakui sebagai
anggota Fujiwara Kikan Aceh, mereka kembali ke Aceh bersama dengan
tentara Jepang.7
Hubungan kerja sama PUSA dengan Jepang semakin erat ketika
Kepala Intelijen Tentara Jepang, Mayor Fujiwara, meminta kepada sejumlah
utusan PUSA untuk membentuk gerakan perlawanan terhadap Belanda
sebelum kedatangan bala tentara Jepang. Setelah melalui serangkaian
proses, didirikanlah “Gerakan Fujiwara” di Aceh yang merupakan

6 Ali Hasjmy, 50 Tahun Aceh…, (1995: 82).


7 Nazaruddin Sjamsuddin, Revolusi di Serambi Mekkah: Perjuangan Kemerdekaan dan Pertarungan
Politik di Aceh, 1945–1949 (Jakarta: UI Press, 1999), hlm. 34.

150 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


“Kolone Kelima” bentukan Mayor Fujiwara. Gerakan ini dibentuk
untuk melancarkan sabotase, perang urat syaraf, serta kemungkinan
terjadinya perlawanan fisik terhadap Belanda. Meski sebelumnya telah
berdiri Gerakan Fajar, disepakati juga “Kolone Kelima Fujiwara” dapat
dibentuk dan bekerja sama dengan Gerakan Fajar yang selanjutnya
menjadikan huruf ‘F’ sebagai lambang perlawanan. Sejumlah tokoh Aceh
saat itu bermusyawarah merundingkan tentang gerakan “Kolone Kelima
Fujiwarakikan”. Di akhir perundingan disepakati bahwa gerakan tersebut
disetujui keberadaannya guna membantu mengusir Belanda dari Aceh.
Sebelum pendaratan Jepang di Aceh telah terjadi gerakan-gerakan
penyerangan dan sabotase terhadap fasilitas Belanda secara meluas di
beberapa wilayah di Aceh. Serangan-serangan antara lain terjadi di
Seulimeum dan Koetaradja dalam wilayah Aceh Besar, Sigli dalam wilayah
Aceh Utara, dan Calang dalam wilayah Aceh Barat. Penyerangan rakyat
Aceh terhadap Belanda di Seulimeum terjadi pada malam tanggal 19
Februari 1942. Serangan diawali dengan sabotase pemotongan kawat
telepon dan telegraf, membuat rintangan di beberapa jembatan, merusak
dan menghalangi jalan kereta api dengan meletakkan mesin giling, dan
membuat rintangan di jalan-jalan, serta meletakkan batang-batang
pohon di jalan yang menghubungkan Seulimeum dengan daerah lain.
Dalam peristiwa tersebut, Kontrolir Seulimeum, Tiggelman, dan kepala
eksploitasi kereta api Aceh (Atjeh Tram), Pangeran U. Bernstorff von
Sperling, terbunuh.8
Kerusuhan kemudian meluas ke Koetaradja. Pada malam tanggal
8 Maret 1942 terjadi sabotase besar-besaran di jalan-jalan dan
jembatan di sekitar Koetaradja. Di pasar-pasar di Koetaradja dan Ulee
Lheue ditempelkan selebaran yang menganjurkan supaya penduduk
memberontak dan setiap orang yang memberi bantuan kepada orang
Eropa diancam akan dibunuh. Keadaan Koetaradja menjelang masuknya
Jepang benar-benar mengerikan sebagaimana kesaksian A. J. Piekar yang
ditulis dalam memoarnya, yaitu: “Setelah terjadinya ‘perebutan kekuasaan’
oleh Kolonel Gosenson dan dilakukannya penahanan-penahanan

8 A. J. Piekar, Aceh dan Peperangan dengan Jepang (Alih Bahasa: Aboe Bakar) (Banda Aceh: Pusat
Dokumentasi dan Informasi Aceh,1998), hlm. 116–118.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 151


beberapa uleebalang terkemuka, maka bahaya, bahwa ibu kota wilayah
segera akan menerima serangan dari pihak Aceh, sudah bukan khayal
lagi. Semua jalan raya yang menuju pusat kota diawasi dengan ketat oleh
pihak militer; penggelapan kota malam hari memberi kemungkinan besar
untuk menghadapi serangan. Malam yang mengerikan!”9
Setelah Koetaradja, kerusuhan menjalar ke Calang dalam wilayah
Aceh Barat (sekarang Kabupaten Aceh Jaya). Penyerangan fasilitas Belanda
yang terjadi pada 9 Maret 1942 dimulai dengan pemotongan kawat
telepon yang menghubungkan Calang dengan Koetaradja dan hubungan
dengan Meulaboh juga telah diputuskan. Sekitar pukul setengah dua dini
hari tanggal 10 Maret 1942 terjadi penyerangan oleh massa dalam jumlah
yang besar terhadap tangsi militer, gedung dinas pengairan, dan fasilitas
umum lainnya. Kontrolir beserta istrinya selamat dalam penyerangan
tersebut karena dapat melarikan diri melalui pintu belakang dan kemudian
berhasil mencapai tangsi militer. Setelah mendapat perlawanan dari
militer dengan menembakkan peluru, penyerangan tersebut berhenti
pada pukul 5 pagi.10
Selain dalam wilayah Aceh Besar dan Aceh Barat, penyerangan
terhadap fasilitas Belanda juga terjadi di Sigli dalam wilayah Aceh
Utara (sekarang Kabupaten Pidie). Pada malam tanggal 12 Maret 1942
sekelompok orang Aceh menyerang Kota Sigli. Mula-mula mereka
menuju penjara tempat ditahannya sejumlah tahanan politik. Setelah
membongkar penjara dan melepas para tahanan, mereka memasuki
kota, menghancurkan sentral telepon, pajak gadai, dan fasilitas lainnya.
Asisten Residen B. J. van den Berg terbunuh dalam insiden tersebut.
Jalan-jalan keluar dari Kota Sigli dibuat hempangan-hempangan dengan
batang-batang kayu sehingga tidak mungkin bisa dilewati dengan mobil.
Akhirnya orang Belanda meninggalkan Kota Sigli melalui jalur laut dengan
kapal “Sabangbaai” yang sedang berlabuh di Sigli.11
Penyerangan-penyerangan yang meluas di Aceh tersebut
mencerminkan bahwa perasaan anti-kolonial dari masyarakat Aceh

9 A. J. Piekar, Aceh dan Peperangan…, (1998: 232–233).


10 A. J. Piekar, Aceh dan Peperangan…, (1998: 176–178).
11 A. J. Piekar, Aceh dan Peperangan…, (1998: 240-241).

152 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


kembali memuncak menjelang masuknya Jepang. Situasi yang genting
menjelang masa akhir kolonialisme Belanda telah menguntungkan
Jepang, karena saat Jepang masuk ke Aceh pasukan Belanda sudah
menyingkir ke pantai selatan Aceh dan Aceh Tengah. Proses mundurnya
pasukan Hindia Belanda di kedua wilayah tersebut sesuai dengan rencana
pertahanan yang sudah mereka susun sebelumnya. Sejak menjelang akhir
tahun 1941 tentara Belanda mulai mempersiapkan diri untuk mengungsi
ke wilayah Aceh Tengah, terutama Takengon yang merupakan ibu kota
Aceh Tengah. Mereka yang mengungsi ini ialah para pengawal dan
pasukan markas komando di bawah pimpinan Kolonel Gosenson yang
segera mempersiapkan strategi pertahanan terakhir di jalur Takengon–
Blangkejeren hingga Medan. Akan tetapi, gerak maju pasukan Jepang
yang sangat cepat membuat semua rencana tersebut tidak dapat
dijalankan. Beberapa hari setelah masuknya Jepang ke Kota Takengon,
pasukan Belanda di bawah pimpinan Kolonel Gosenson, lari meninggalkan
Takengon menuju arah Blangkejeren, selanjutnya ke Medan tempat di
mana mereka menyerah kepada Jepang.12
Walaupun baru mendaratkan pasukannya pada tahun 1942,
sebenarnya Hindia Belanda telah menarik perhatian orang-orang Jepang
sejak menjelang Perang Dunia Pertama. Hindia Belanda, khususnya
Pulau Jawa dan Sumatra, memiliki nilai yang penting di mata sejumlah
orang Jepang sejak permulaan abad ke-20. Hal itu dapat dilihat dari
pandangan seorang wartawan terkemuka Jepang (mantan menteri),
Takikosji Josaboero, yang mengunjungi Hindia Belanda tahun 1909.
Dalam tulisannya pada sebuah surat kabar harian di Jepang pada bulan
Februari 1916, ia menulis “…apabila Belanda tidak bisa meningkatkan
kesejahteraan penduduk bumiputra dan tidak bisa menjaga keamanan
dan ketertiban di antara mereka, Jawa dan Sumatra akan menjadi
ancaman terhadap negara-negara tetangganya dan mereka wajib untuk
menguasainya”. Takikosji kembali menulis setengah tahun kemudian
tentang ketidakbecusan Belanda dan mengusulkan apabila Jepang
mengambil alih Jawa dan Sumatra, maka akan dapat mengatasi sebagian

12 Ali Hasan A.S., “Kisah Perjuangan Mempertahankan Daerah Modal Republik Indonesia” dalam
Anonimous, Kisah Perjuangan Mempertahankan Daerah Modal Republik Indonesia dari Serangan
Belanda (Jakarta: Beuna, 1990), hlm. 165.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 153


besar masalah kemiskinan sumber daya alam Jepang dan memperoleh
bahan mentah guna meningkatkan industrinya.13
Keinginan beberapa kalangan masyarakat Jepang untuk menduduki
Pulau Jawa dan Sumatra tersebut tidak mendapat tanggapan yang tegas
dari pemerintahnya sampai keterlibatan Jepang dalam Perang Pasifik.
Melalui Perang Pasifik seluruh Hindia Belanda dapat direbut dengan
mudah oleh Jepang. Untuk menduduki Aceh dan Sumatra Utara, Jepang
mengerahkan pasukan elite Garda Kekaisaran yang baru saja berhasil
menaklukkan Malaya dan Singapura. Kekuatan seluruhnya adalah
22.000 prajurit, termasuk unit-unit pendukungan dan formasi-formasi
independen bawahannya. Dengan mendapat dukungan udara yang kuat,
invasi yang diberi sandi Operasi T ini dimulai pada 28 Februari 1942,
pendaratan pasukan dijadwalkan dilakukan pada 12 Maret 1942. Operasi
berjalan lancar karena kekuatan udara dan laut Sekutu telah dihancurkan
saat mempertahankan Jawa, dan sisanya telah ditarik ke Australia atau Sri
Lanka. Pasukan invasi meninggalkan Singapura dengan 27 kapal angkut
dalam empat konvoi, dikawal 3 kapal penjelajah, 10 kapal perusak, kapal-
kapal patrol, dan kapal anti-kapal selam.
Pendaratan pertama Jepang di Aceh dilakukan di Pantai Balung
di ujung tenggara Pulau Weh (Sabang). Sebuah batalion infanteri dari
Detasemen Kobayashi mendarat di tempat ini tanpa perlawanan karena
prajurit Belanda yang sebelumnya berada di sana telah ditarik mundur.
Dua batalion lainnya dari detasemen yang sama, didukung oleh sebuah
batalion artileri lapangan mendarat di Ujong Batee di sebelah timur laut
Koetaradja. Sasaran utamanya adalah merebut lapangan terbang Lhoknga
dan bergerak ke timur untuk bergabung dengan Detasemen Yoshida yang
sudah mendarat di selatan Idi (Peureulak), Aceh Timur, dengan sebuah
batalion infanteri untuk merebut ladang minyak Lantja dan Pangkalan
Brandan, Sumatra Timur.14
Pendaratan tentara Jepang di Aceh berjalan mulus karena tidak
mendapat perlawanan sedikit pun dari tentara Belanda. Tentara dan orang-

13 Nino Oktarino, Nusantara Membara: Invasi Ke Sumatra (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2019),
hlm. 11–12.
14 Nino Oktarino, Nusantara Membara…, (2019: 101).

154 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


orang sipil Belanda sudah meninggalkan Koetaradja dua hari sebelum
pendaratan Jepang. Orang-orang KNIL yang berbangsa Indonesia banyak
yang lari dari tangsi meminta perlindungan di kampung-kampung rakyat
Aceh. Koetaradja tanggal 12 Maret 1942 sudah menjadi kota terbuka,
sehingga rakyat bebas mengambil apa saja yang ditinggalkan Belanda,
baik di rumah-rumah, di kantor-kantor, dan gudang-gudang perusahaan.
Serdadu-serdadu Jepang yang masuk kota pada tengah hari membiarkan
saja rakyat beramai-ramai mengambil harta rampasan. Kedatangan
pasukan Jepang mendapat sambutan yang hangat dari rakyat Aceh.
Banyak rakyat Aceh yang berkumpul di pinggir pantai tempat pendaratan
tentara Jepang dan di sepanjang jalan raya yang dilalui pasukan Jepang
yang baru mendarat. Mereka menyambut kedatangan pasukan Jepang
yang dianggap sebagai “saudara tua” dengan berbagai cara.15

Gambar 3.1. Tugu Peringatan Pendaratan Jepang ke Aceh di Ujong Batee Aceh Besar
Sumber: http://portalsatu.com/read/histori/foto-tugu-pendaratan-jepang-di-ujong-batee

15 Ali Hasjmy, 50 Tahun Aceh…, (1995: 91–92).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 155


Setelah berhasil mengambil alih kekuasaan dari Belanda, Jepang
membentuk administrasi baru dengan membagi Indonesia ke dalam tiga
pemerintahan militer, yaitu:
1. Pemerintahan militer Angkatan Darat (Tentara Kedua Puluh Lima)
untuk Sumatra dengan pusatnya di Bukittinggi.
2. Pemerintahan militer Angkatan Darat (Tentara Keenam Belas) untuk
Pulau Jawa dan Madura dengan pusatnya di Jakarta.
3. Pemerintahan militer Angkatan Laut (Armada Selatan Kedua) untuk
daerah Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku dengan pusatnya di
Makassar.16
Dengan pembentukan pemerintahan militer ini maka kekuasaan
tertinggi pemerintahan di Indonesia berada di bawah ketiga pemerintahan
militer tersebut.
Untuk memperkokoh kedudukannya, Jepang juga membentuk
sistem pemerintahan sipil sampai ke tingkat paling kecil, termasuk di Aceh.
Pada dasarnya, sistem pemerintahan bentukan Jepang ini hampir sama
dengan sistem pemerintahan bentukan Belanda. Yang berubah hanya
sebutan nama-nama tingkat pemerintahan dan nama-nama pejabat
yang menduduki jabatan tersebut. Untuk wilayah Sumatra, pemerintahan
militer Jepang membentuk 10 Syu (Keresidenan), yang terdiri atas Bunsyu
(Afdeeling), Gun (Onder afdeeling), dan Son (District). Aceh merupakan
satu dari sepuluh Syu yang ada di Sumatra yang masing-masing diperintahi
oleh seorang Syu Cokan. Aceh Syu dibagi atas 4 Bunsyu, yaitu Aceh Besar
dengan ibu kotanya Koetaradja; Pantai Barat Aceh dengan ibu kotanya
Meulaboh, Pantai Utara Aceh dengan ibu kotanya Sigli, dan Pantai Timur
Aceh dengan ibu kotanya Langsa. Masing-masing Bunsyu ini dikepalai
oleh seorang Bunsyuco. Bunsyu-bunsyu tersebut dibagi lagi atas beberapa
Gun yang diperintahi oleh seorang Gunco. Keseluruhan Gun di Aceh saat
itu berjumlah 22 Gun. Gun ini dibagi lagi atas Sen (distrik-distrik atau
Uleebalangschap) yang masing-masing diperintahi oleh seorang Sonco.
Seterusnya Sen terdiri atas beberapa Kumi (gampong) yang masing-
masing diperintahi oleh seorang Komico.

16 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI (Edisi ke-
4) (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 5.

156 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Dalam penempatan jabatan-jabatan pada administrasi pemerintahan
tersebut, Pemerintah Jepang mengambil kebijakan yang sedikit lebih
longgar dibandingkan dengan Pemerintah Hindia Belanda. Jabatan-
jabatan yang diduduki langsung oleh orang Jepang adalah Syu Cokan
dan Busyuco, sedangkan Gunco (Controleur yang masa kolonial Belanda
dijabat oleh orang-orang Belanda), masa Jepang jabatan ini diberikan
kepada orang Aceh, kecuali beberapa daerah yang dianggap terpencil,
seperti Sabang, Sinabang, Singkil, dan Kutacane, jabatan tersebut dijabat
langsung oleh pejabat-pejabat Jepang.17
Kebijakan pemerintah pendudukan Jepang dalam penempatan
jabatan pemerintahan untuk masyarakat pribumi masih meneruskan
tradisi pemerintah kolonial Belanda, dengan memilih elite uleebalang
(bangsawan) untuk menduduki jabatan-jabatan tersebut. Oleh karena
itu, hampir semua jabatan pemerintahan di Aceh diduduki oleh golongan
uleebalang.18 Hal ini sangat beralasan karena golongan uleebalang sudah
berpengalaman dalam menduduki jabatan-jabatan tersebut dibandingkan
dengan golongan masyarakat lain di Aceh saat itu.
Untuk mendapat dukungan elite ulama yang merupakan kelompok
yang mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat Aceh, terutama
Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), yang sejak awal mendukung
kedatangan Jepang, Pemerintah Jepang membentuk Majelis Agama
Islam untuk Bantuan Kemakmuran Asia Timur Raya (MAIBKATRA) di
Aceh pada 10 Maret 1943. Lembaga ini merupakan wadah konsultatif
antara Pemerintah Jepang dengan para ulama. Tugas lembaga ini adalah
memberi penerangan kepada umat Islam tentang pendudukan Jepang.
Sebagai ketua ditunjuk Tuanku Abdul Azis yang sebelumnya memang
merupakan penasihat Syu Cokan dalam urusan agama Islam. Mengingat
tugasnya yang sangat urgen, kepengurusan MAIBKATRA disempurnakan
dan diperluas sehingga para ulama terwakili di dalamnya. Kepengurusan
baru dibentuk dengan Ketua Tuanku Abdul Azis, Wakil Ketua Tgk. M.
Daud Beureueh dan Tgk. Hasbi, serta Sekretaris Tgk. M. Joenoes Djamil.

17 T. Ibrahim Alfian dkk., Sejarah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah, 1977/1978), hlm. 150–151. T. Ibrahim Alfian dkk., Revolusi Kemerdekaan
Indonesia…, (1982: 12).
18 T. Ibrahim Alfian dkk., Revolusi Kemerdekaan Indonesia…, …, (1982: 12)

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 157


Untuk mengontrol organisasi ini, ditunjuk beberapa orang pejabat Jepang
sebagai dewan penasihat.19
Dalam upaya mendukung Perang Asia Timur Raya yang terus
berkobar, pemerintah pendudukan Jepang memobilisasi rakyat untuk
keperluan perang. Untuk tujuan tersebut dibentuk Syu Min Koa Hookokai
(Badan Kebaktian Penduduk Aceh Untuk Membina Asia) dan Badan
Perlindungan Tanah Air pada awal tahun 1943. Kedua lembaga yang
berada di bawah naungan Syu Cokan, yang saat itu dijabat oleh S. Lino,
diharapkan dapat mengumpulkan dana dan daya bagi keperluan perang.
Oleh karena itu, pimpinan yang ditunjuk memimpin lembaga ini terdiri
atas tokoh-tokoh ulama dan uleebalang yang cukup berpengaruh di Aceh.
Kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh tentara Sekutu dalam Perang
Asia Timur Raya pada tahun 1943 membuat Jepang menyadari perlunya
pengadaan tenaga militer di Aceh dengan melibatkan para pemuda,
setidak-tidaknya sebagai satuan milier reguler pembantu di samping
satuan tentara reguler yang tersedia. Untuk tujuan tersebut dibentuk
satuan-satuan militer dengan cara merekrut para pemuda. Satuan
militer pertama yang dibentuk di Aceh adalah Tokubetsu Keisatsutai
pada bulan Februari 1943. Lembaga ini menjalankan tugas sebagai polisi
guna membantu roda pemerintahan. Mereka juga ditugaskan untuk
menjaga lapangan terbang (Trumon di Aceh Selatan dan Blang Peutek di
Pidie). Dengan tugas tersebut, kepada mereka diberi pengetahuan dasar
kepolisian.
Satuan militer kedua yang dibentuk beberapa bulan kemudian (Mei
1943) adalah Heiho. Pada awal pembentukannya, satuan ini dimaksudkan
untuk mengkoordinir kelompok-kelompok pekerja kasar yang setiap saat
dapat dikerahkan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat bagi
keperluan perlengkapan tentara reguler Jepang. Akan tetapi, dalam
kondisi pasukan Jepang semakin terdesak dalam kancah peperangan,
lambat laun mereka diberikan latihan militer dan digabungkan dalam
satuan militer Jepang. Kepada mereka diberi pakaian seragam dan sistem
kepangkatan sesuai dengan aturan yang ditetapkan.20

19 T. Ibrahim Alfian dkk., Revolusi Kemerdekaan Indonesia…, …, (1982: 13).


20 T. Ibrahim Alfian dkk., Revolusi Kemerdekaan Indonesia…, …, (1982: 14–15).

158 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Satuan militer berikutnya dibentuk enam bulan kemudian (November
1943) yaitu Gyu Gun. Pembentukan satuan ini dengan maksud dapat
menjadi barisan kedua setelah tentara reguler Jepang dalam peperangan
menghadapi Sekutu. Dengan kata lain, pasukan ini akan difungsikan
sebagai pasukan defensif dalam mempertahankan wilayah Aceh dari
serangan Sekutu. Sebagai pasukan defensif, Gyu Gun di Aceh memiliki
dua tugas utama, yaitu pertama satuan pengawal pantai dan wilayah
pedalaman, dan kedua satuan yang mengawal lapangan terbang. Kedua
satuan ini dilatih khusus sesuai dengan tugas masing-masing. Satuan
pertama dilatih di Resentai (kamp latihan) Idi yang mulai dibuka pada 8
Desember 1943, sedangkan satuan kedua dilatih di Resentai Lhok Nga
mulai Maret 1944.21
Selain pembentukan lembaga-lembaga militer, terdesaknya pasukan
Jepang dalam Perang Asia Timur Raya telah mendorong pemerintah
pendudukan Jepang memperluas partisipasi politik bangsa Indonesia.
Selain untuk mendapatkan simpati rakyat, Jepang juga berharap rakyat
Indonesia nantinya akan bisa mengatur diri sendiri dalam menghadapi
Sekutu. Untuk merealisasikan rencana tersebut pemerintah pendudukan
Jepang membentuk Atjeh Shu Sangi Kai (Dewan Penasihat Daerah
Aceh) pada 17 November 1943. Badan seperti lembaga legislatif ini
beranggotakan 30 orang yang terdiri atas pelbagai macam kelompok elite
di Aceh. Atjeh Shu Sangi Kai dipimpin oleh Teuku Nyak Arief. Setahun
kemudian (Februari 1945), keanggotaan lembaga ini diperluas oleh Shu
Cokan, S. Lino. Tujuannya adalah untuk menarik semakin banyak elite
terlibat dalam lembaga ini.22

21 T. Ibrahim Alfian dkk., Revolusi Kemerdekaan Indonesia…, …, (1982: 15–16). Lihat juga Biro Sejarah
Prima, Medan Area…, (1976: 50–51).
22 T. Ibrahim Alfian dkk., Revolusi Kemerdekaan Indonesia…, (1982: 16–17).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 159


Gambar 3.2. Dewan Perwakilan Daerah Aceh (Atjeh Syu Sang Kai) bersama Pembesar
Jepang di Depan Pendopo Koetaradja (Banda Aceh)
Sumber: Ramadhan KH dan Fitria Sari (2017): 119

Pembubaran De Javasche Bank dan


Berdirinya Nanpo Kaihatsu Ginko

S elama masa pendudukannya di Aceh, Jepang tidak hanya melakukan


reorganisasi dalam pemerintahan, tetapi juga mengubah tata kelola
ekonomi dan keuangan. Kebijakan ini dilakukan di seluruh wilayah
yang dikuasai. Secara struktural kebijakan keuangan berada di tangan
pemerintah militer pusat (Gunseikanbu). Departemen Keuangan (Zaimubu)
berada di bawah garis komando pemerintah militer dan tugasnya adalah
sebagai unit administrasi. Di sektor perbankan dan keuangan, Pemerintah
Jepang sesungguhnya telah mempersiapkan badan atau lembaga khusus
yang akan bertugas menangani masalah ini beberapa tahun sebelum
pendudukan dilakukan. Pemerintah Jepang juga telah mempersiapkan
para bankir dan sejumlah jenis mata uang yang nantinya akan diedarkan
di wilayah-wilayah pendudukan. Mata uang yang dibawa itu dikenal
sebagai mata uang militer, di antaranya gulden untuk Hindia Belanda,

160 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


straits dollar untuk wilayah Semenanjung Malaya dan Kalimantan Utara
(North Borneo), rupee untuk wilayah Burma, peso wilayah Filipina, serta
pound untuk Australia (Australian Trust Territories). Adapun kurs mata
uang tersebut senilai dengan 1 yen Jepang, kecuali pound yang ditetapkan
Pemerintah Jepang nilainya setara dengan 10 yen.23
Untuk Hindia Belanda Jepang mempersiapkan dan kemudian
menyuplai uang sebanyak 81,783 juta gulden. Uang yang dipersiapkan
tersebut digunakan untuk biaya operasi pendaratan Tentara ke-16 di
Jawa, Tentara ke-25 di Singapura dan Sumatra, serta penugasan Angkatan
Laut ke-2 di wilayah Indonesia Timur yang berpusat di Makassar.24 Dalam
catatan pada 6 Desember 1941, setidaknya terdapat sekitar 316 juta
uang gulden yang diedarkan oleh DJB. Kemudian bertambah lagi dengan
adanya peredaran uang di Jawa yang diedarkan Jepang sekitar 26,445
juta gulden dan di wilayah Sumatra sekitar 5,567 juta gulden. Banyaknya
jumlah uang yang beredar ini membuat inflasi di Hindia Belanda terus
meningkat.
Di sisi lain, saat Perang Dunia II semakin sengit, Pemerintah
Hindia Belanda bersama dengan DJB mulai mengkhawatirkan nasib
mereka. Kekhawatiran tersebut membuat DJB harus memikirkan segala
kemungkinan yang akan terjadi. Dalam Laporan Tahunan DJB tahun 1941,
Presiden DJB, Mr. Dr. G. G. van Buttingha Wichers, telah mengingatkan
akan perlunya memikirkan berbagai kemungkinan apabila wilayah Perang
Dunia II di Eropa meluas hingga ke Asia-Pasifik. Untuk itu, perlu adanya
langkah-langkah yang diambil sebagai persiapan.25 Enam bulan berselang,
kekhawatiran van Buttingha tersebut menjadi kenyataan. Perang Dunia II
meluas sampai ke Hindia Belanda yang diikuti dengan tibanya bala tentara
Jepang pada Maret 1942.
Tidak hanya Presiden DJB, Mr. Dr. G. G. van Buttingha Wichers
yang khawatir, Perdana Menteri Belanda Pieter Sjoersds Gerbrandy yang
berada di pengasingan (London) juga mencemaskan nasib DJB secara

23 Shibata Yoshimasa, “The Monetary Policy in the Netherlands East Indies under the Japanese
Administration” dalam Jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde, No. 4, 1996, hlm. 701.
24 Shibata Yoshimasa, "The Monetary Policy...", (1996: 701).
25 Arsip Bank Indonesia, “Verslag van de President van De Javasche Bank 1941/1947”.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 161


umum dan cadangan emas bank itu secara khusus. Tidak hanya itu,
Perdana Menteri juga mengusulkan agar diupayakan menyelamatkan
aset DJB. Didasarkan oleh peringatan yang disampaikan Presiden DJB, Mr.
Dr. G. G. van Buttingha Wichers atau usul Perdana Menteri, yang jelas
pada akhir Februari 1942, tepatnya tanggal 28 Februari, pimpinan DJB
telah memindahkan operasi kantor pusat dari Batavia ke Bandung. Dan
untuk menghindari jatuhnya aset DJB ke tangan Jepang, maka semua
cadangan emas dipindahkan ke Australia dan Afrika Selatan. Cadangan
emas itu dibawa menggunakan truk dengan pengawalan KNIL dari
Batavia ke Cilacap. Dari Cilacap diangkut dengan tujuh kapal ke kedua
negara tujuan. Sama dengan pengangkutan emas dari Batavia ke Cilacap,
pengangkutan emas dari Cilacap ke kedua negara tujuan juga dikawal
oleh KNIL.
Pada tanggal 5 Maret Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh
menyatakan bahwa emas-emas milik DJB telah berhasil dikirim ke luar
negeri. Rincian nilainya adalah sebagai berikut: New York 250,2 juta
gulden; Australia 9,2 juta gulden; Australia 74 juta gulden; Afrika Selatan
14,5 juta gulden; Afrika Selatan 30,8 juta gulden; jumlah 378,7 juta
gulden. Emas tersebut disimpan dalam khazanah Commonwealth Bank
of Australia dan dalam khazanah De Reserve Bank van Suid Afrika di
Pretoria, Afrika Selatan.26
Tidak hanya cadangan emas, salah seorang Direktur DJB, yaitu
Dr. R. E. Smits juga ikut meninggalkan Hindia Belanda. Dr. R. E. Smits
berangkat meninggalkan Pulau Jawa bersama rombongan pengusaha
dan pejabat pemerintah pada 2 Maret 1942. Di samping Smits, anggota
rombongan itu adalah sejumlah anggota De Raad van Indie, pegawai
pemerintah dan pengusaha seperti J. E. van Hoogstraten, R. Lukman
Djajadiningrat, Blom, Ir. Waners, Prof. Eggens, van Denisem. Mereka
memang sengaja diperintahkan meninggalkan Indonesia––ke Australia––
dengan tugas memelihara hubungan kepentingan Hindia Belanda
dengan dunia internasional dan mempersiapkan pembangunan kembali

26 Arsip Bank Indonesia, R. Hardjo Santoso, “De Javasche Bank pada Masa Peperangan”. Lihat juga M.
Dawam Rahardjo, dkk, Bank Indonesia dalam Kancah Kilasan Sejarah Bangsa, (Jakarta: LP3ES, 1955).

162 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Hindia Belanda pascaperang. Namun, pesawat yang membawa mereka
ditembak oleh musuh dan terbakar beberapa menit setelah mendarat di
Broome, Australia. Akibatnya, sebanyak delapan orang tewas dan salah
satu Direktur DJB, R. E. Smits selamat dari peristiwa tersebut.27 Sebagai
perwakilan DJB, R. E. Smits ditugaskan mendirikan kantor perwakilan DJB
di luar Hindia Belanda, terutama di Australia dan Amerika Serikat.
Seperti telah disebut sebelumnya, kepindahan DJB ke Bandung,
sesungguhnya mengikuti apa yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal
Hindia Belanda. Sejak 28 Januari 1942 Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
Tjarda van Starkenborgh Stachouwer bersama pejabat tinggi pemerintah
dan direksi bank-bank Belanda telah menyelamatkan diri ke Bandung.
Pada saat itu ada kesepakatan antara Jepang dan Hindia Belanda bahwa
tidak akan ada pertempuran antara kedua belah pihak di Bandung,
dengan alasan bahwa kota tersebut dipenuhi oleh penduduk sipil, wanita,
dan anak-anak.28 Pengungsian para petinggi Hindia Belanda ke Bandung
seiring dengan gerak maju tentara Jepang di hampir seluruh Hindia
Belanda. Gerak maju tentara Jepang berarti kekalahan bagi tentara Hindia
Belanda.
Dalam suasana perang yang gaduh tersebut, Pemerintah Hindia
Belanda meminta kepada bank-bank untuk tetap mempertahankan
aparatnya secara terbatas dan tetap melanjutkan kegiatan perbankan
guna menghindari lumpuhnya perekonomian secara menyeluruh. Melalui
instruksi tersebut DJB meminta kepada para pimpinan cabang untuk tetap
berada di wilayah kerjanya masing-masing dan mencabut kembali instruksi
pemusnahan persediaan kas yang pernah diinstruksikan sebelumnya.29
Jatuhnya Hindia Belanda saat itu mengakibatkan perubahan dratis
pada sistem perbankan di Indonesia. Pada 11 Maret 1942 Jepang
mengeluarkan moratorium atau kebijakan penangguhan pembayaran
kewajiban-kewajibannya berdasarkan Undang-Undang No. 9/1942.
Pimpinan komando militer Jepang pada tanggal 20 Oktober 1942

27 Lihat R. Hardjo Santoso, “De Javasche Bank….”.


28 Lihat Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014).
29 Arsip Bank Indonesia, “Catatan No. C-25/002/UKP Tgl. 19 Juni 1992”, Dokumen Tidak Diterbitkan.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 163


mengeluarkan Undang-Undang No. 44/1942 terkait likuidasi seluruh
bank milik Belanda, Inggris, serta sejumlah bank Cina. Tak hanya di Jawa,
peraturan tersebut juga berlaku di sejumlah wilayah di luar Jawa, antara
lain Sulawesi (Manado), serta Sumatra yang berada di bawah komando
bala tentara Jepang berpusat di Bukittinggi.30 Setelah dikeluarkan UU
tersebut, seluruh bank milik Belanda dibekukan oleh pemerintah militer
Jepang dengan tujuan melakukan likuidasi terhadap bank-bank Belanda
dan bank Eropa lainnya, termasuk DJB.
Dalam pelaksanaan likuidasi, para anggota dan staf eksekutif DJB
dipaksa untuk bertindak sebagai penasihat terhadap likuidator Jepang.
Namun, mereka (anggota DJB) justru berupaya agar likuidasi dihentikan
dengan alasan Komando Militer Jepang belum mencabut undang-
undang yang berlaku, di antaranya De Javasche Bankwet 1922. Upaya
yang dilakukan oleh staf eksekutif DJB itu gagal dilaksanakan dan likuidasi
tetap dijalankan. Penguasa Jepang tidak mengindahkan alibi petinggi DJB
tersebut. Sementara itu, bank-bank Jepang, di antaranya Yokohama Specie
Bank, Taiwan Bank, dan Mitsui Bank, yang sebelum pecah perang sempat
ditutup oleh Pemerintah Belanda, kembali beroperasi dan mengambil alih
fungsi serta tugas di sektor perbankan.31
Yokohama Specie Bank merupakan salah satu bank Jepang yang
berdiri pada Februari 1880 dan berpusat di Kota Yokohama, Jepang.
“Specie” sendiri ialah sejenis mata uang perak yang digunakan sebagai
mata uang perdagangan internasional abad ke-19. Pendirian Yokohama
Specie Bank dilatarbelakangi oleh depresiasi terhadap nilai perak yang
merupakan standar nilai tukar mata uang di Jepang kala itu. Selain itu
dalam pendiriannya, Menteri Keuangan, Shigenobu Okuma, menyarankan
agar pendirian Specie Bank kiranya mempertimbangkan pula usulan dari
kelompok pedagang yang berkumpul di Yokohama. Menjelang akhir abad
ke-19 Yokohama Specie Bank menjadi bank yang berorientasi global. Hal

30 Lihat http://www.bi.go.id/en/tentang-bi/museum/sejarah-bi/pra-bi/Pages/historybeforebi5.aspx
31 Seluruh aset milik ketiga bank Jepang tersebut telah dibekukan oleh Pemerintah Belanda pada
Juli 1941. Pembekuan tersebut sebagai tindakan balasan atas dibekukannya aset-aset bank milik
Amerika Serikat dan Inggris di wilayah yang dikuasai Jepang. Lihat Shibata Yoshimasa, "The
Monetary Policy...", (1996).

164 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


ini terlihat dari dibukanya kantor perwakilan di New York pada 1880,
disusul di London pada 1881, serta San Francisco tahun 1886. Karena
kedudukannya seperti tidak terpisahkan dari bank sentral Jepang, dan
seolah-olah berkedudukan hanya sedikit di bawah bank sentral Jepang,
maka pada tahun 1887 Yokohama Specie Bank diberi status khusus.
Pada abad ke-20 bank ini semakin melebarkan ekspansinya hingga ke
Asia Tenggara. Di Surabaya, Yokohama Specie Bank mendirikan kantor
cabangnya pada 1918 dan tahun berikutnya yakni 1919 didirikan pula
cabangnya di Batavia. Kemudian pada periode revolusi, tahun 1946
Yokohama Specie Bank dibubarkan dengan tuduhan membantu upaya
perang Jepang.32
Taiwan Bank atau Taiwan Yinhang yang berpusat di Taipei, Taiwan,
merupakan bank Jepang terbesar kedua, dan sebagai bank sentral Taiwan
yang didirikan oleh Pemerintah Jepang di Taiwan sejak 1899. Taiwan Bank
ini dimiliki dan dikelola oleh eksekutif Yuan, para pengusaha Taiwan yang
bertujuan memperluas bisnis mereka di antara orang Cina perantauan di
Asia Tenggara. Bank ini menjalin kerja sama dengan Nippon Kangyo Bank
yang perannya terbilang penting sebab mendorong perusahaan, seperti
Mitsubishi dan grup Mitsui, untuk menanamkan investasi di Taiwan.
Selanjutnya Taiwan Bank mendirikan kantor cabang seiring dengan
perkembangan ekonomi dan gerakan Nashin-ron di Asia, termasuk di
Cina dan Asia Tenggara.33 Bank Jepang selanjutnya ialah Mitsui Bank
yang merupakan bank penyaluran yang didirikan tahun 1876 untuk
memasok dana ke kelompok bisnis Mitsui Zaibatsu; menyuplai aliran
keuangan komersial ke bisnis-bisnis Jepang di Asia Tenggara. Pada 1925
bank ini kemudian mendirikan kantor cabangnya di Surabaya. Tak hanya
ketiga bank tersebut, ada sejumlah bank Jepang lainnya yang beroperasi

32 Norio Tamaki, Japanese Banking: A History, 1859-1959, (Cambridge: Cambridge University Press,
1995). Lihat pula dalam Niv. Horesh, “Money for Empire: The Yokohama Specie Bank Monetary
Emissions Before and After the May Fourth (Wusi) Boycott of 1919”, Modern Asian Studies, Vol. 47,
No. 4, 2013, hlm. 1377-1402.
33 Selengkapnya dalam Lawrence L. C. Lee, “The Development of Banking in Taiwan: The Historical
Impact on Future Challenges”, Occasional Papers, Reprint Series in Contemporary Asian Studies, Vol.
149, No. 6, 1999, hlm. 6-10.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 165


di Hindia Belanda, di antaranya China and Southern Bank serta Ka’nan
Ginko.34
Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, melalui Undang-
Undang No. 13/1942 tanggal 20 Oktober 1942 tentang pengambilalihan
aset dan kepemilikan bank-bank swasta milik musuh, pemerintah militer
Jepang segera memerintahkan aparaturnya untuk melikuidasi seluruh
bank swasta Belanda, Inggris, dan bank-bank lokal di Hindia Belanda.
Likuidasi terhadap bank-bank di Hindia Belanda ini hanya terjadi pada
sejumlah bank yang ditentukan saja, sebab bank-bank Cina diizinkan
untuk kembali beroperasi. Para Direksi DJB dan bank swasta milik Belanda
dipaksa untuk menandatangani pernyataan terkait penyerahan seluruh
aset dan kepemilikan bank-bank di Hindia Belanda ke tangan Jepang tanpa
syarat. Penyerahan secara paksa ini menunjukkan bahwa secara resmi
kepemilikan DJB sudah beralih ke tangan pemerintah militer Jepang.35
Bank-bank swasta milik Belanda yang dilikuidasi oleh Jepang di
antaranya Nederlandsch Handel-Maatschappij (NHM), Nederlandsch-
Indische Escompto Bank (NIEM), Nederlandsch-Indische Handelsbank
(NIHB), serta Bavaria Bank. Sementara bank-bank asing seperti The
Chartered Bank of India, Australia, and China; The Hongkong and Shanghai
Bank Corporation Ltd (HSBC); dan Overseas Chinese Banking Corporation
(OCBC) masih diperbolehkan beroperasi.36 Koperasi kredit dan bank-bank
komersial milik Cina juga diizinkan Jepang untuk beroperasi kembali.
Pengecualian ini juga terjadi pada De Algemeene Volkscredietbank (AVB),
meski milik Belanda namun kantornya tidak ditutup oleh Jepang. Akan
tetapi, operasional AVB selanjutnya dikuasai dan diambil alih oleh Syomin
Ginko.37 Pengecualian terhadap AVB ini sebab AVB merupakan bank yang
menyalurkan kredit pertanian yang dianggap Jepang sangat penting,

34 China and Southern Bank dan Ka’nan Ginko didirikan oleh para kapitalis Taiwan tahun 1919.
Selanjutnya lihat dalam Ryoichi Hisasue, “The Establishment of the China and Southern Bank
and the Southern Warehouse Company: In Relation to the Bank of Taiwan’s Southward Strategy
with Overseas Chinese from the 1910s to the 1920s”, IDE Discussion Paper No. 688, Institute of
Developing Economies, Chiba, Japan, February 2018, hlm. 1-22.
35 Noek Hartono, Bank Indonesia: Sejarah Lahir dan Pertumbuhannya (Jakarta: Bank Indonesia, 1976),
hlm. 28–29.
36 Arsip Bank Indonesia, Koleksi De Javasche Bank, “Verslag van De Javasche Bank 1941/1947”.
37 Noek Hartono, Bank Indonesia…, (1976: 29).

166 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


sebab pertanian menjadi sektor utama bagi pemenuhan kebutuhan
Jepang untuk memenangkan perang.
Langkah selanjutnya, setelah menutup bank-bank Belanda dan
bank asing lainnya, dalam harian Asia Raya disebutkan bahwa pada 10
Mei 1942 bank-bank Jepang kembali dibuka dan beroperasi di Jawa.38
Bank-bank tersebut berada di bawah pengawasan pemerintah militer
Jepang dan menjalankan aktivitas perbankan, seperti simpan pinjam,
penyimpanan deposito, dan lain-lain.39 Mengingat DJB telah dilikuidasi,
Jepang kemudian mendirikan Nanpo Kaihatsu Ginko (NKG) sebagai bank
sirkulasi yang telah dipersiapkan oleh Pemerintah Jepang sejak Desember
1941. NKG didirikan untuk mengatur sistem moneter di wilayah yang
menjadi pendudukan Jepang. Operasional NKG secara resmi terhitung
sejak Maret 1942.40 Meski NKG telah didirikan, namun tugas NKG terkait
pengawasan perbankan dipercayakan kepada Yokohama Specie Bank
(YSB) dan Taiwan Bank (TB). Dengan demikian, operasional harian NKG di
berbagai kota yang menjadi wilayah pendudukan Jepang, dijalankan oleh
kedua bank tersebut. Adapun pembagian untuk kedua bank tersebut,
Yokohama Specie Bank ditugaskan mengawasi bank-bank lokal di
wilayah Jawa, sedangkan Taiwan Bank mengawasi wilayah luar Jawa.41
Seperti disebut sebelumnya, sebelum masa pendudukan, kedua bank
ini telah lebih dulu beroperasi di Hindia Belanda dan sempat dihentikan

38 Bank-bank Jepang yang beroperasi kembali ini sudah berdiri di Hindia Belanda sejak masa kolonial.
Namun, sempat ditutup oleh Pemerintah Hindia Belanda karena pecah Perang Dunia II yang
melibatkan Jepang. Kemudian setelah Jepang berhasil menduduki Indonesia, bank-bank Jepang
yang sempat tutup tersebut dibuka kembali pada 10 Mei 1942. Lihat Asia Raya, 10 dan 20 Mei 2602.
39 Adrian E. Tschoegl, “The International Expansion of Singapore’s Largest Banks”. Working Paper the
Wharton Financial Institutions Center, Pennsylvania: University of Pennsylvania, 2001.
40 Penyebutan Nanpo Kaihatsu Ginko cenderung beragam, ada yang menyebut “Ginko” ada pula yang
menyebut “Kinko”. Namun, perbedaan penyebutan ini tetap merujuk pada satu institusi yang sama.
Lihat Shibata Yoshimasa, "The Monetary Policy...", (1996: 699).
41 Pembagian tugas ini berawal dari ketika pasukan Jepang mendarat di Jawa, mereka datang bersama
para bankir asal Yokohama Specie Bank untuk membuka kembali cabang-cabang yang sempat
beroperasi sebelumnya serta mendirikan cabang baru di wilayah lain di Hindia Belanda. Selain itu,
awalnya Yokohama Specie Bank-lah yang ditugaskan untuk melikuidasi DJB, bukan Gunseikanbu
(kantor administrasi militer Jepang). Kemudian dibukalah kembali tiga bank Jepang tahun 1943
dan langsung menjadi pemasok keuangan terhadap kelompok-kelompok bisnis Jepang. Yokohama
Specie Bank ialah bank devisa terbesar dan dalam hal ini telah membuat perjanjian khusus dengan
DJB terkait penyelesaian seluruh transaksi valuta asing, termasuk Yen dan Gulden, dan dengan
Kementerian Keuangan Pemerintah Belanda. Lihat Shibata Yoshimasa, "The Monetary Policy...",
(1996).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 167


operasionalnya oleh Pemerintah Belanda ketika pecah Perang Dunia II,
kemudian aktif kembali seiring dengan masuknya tentara Jepang.42
NKG dikenal dengan sebutan Tokushi Ginko (Special Bank)
yang bertugas sebagai penghubung antara lembaga perbankan dan
Pemerintah Jepang. Kantor pusat NKG terletak di Tokyo, sementara di
wilayah-wilayah Asia Tenggara yang berhasil diduduki, bank ini hadir
sebagai kantor cabang. Kota-kota di Hindia Belanda yang didirikan
kantor cabang NKG, yakni Jakarta, Palembang, Banjarmasin, Makassar,
Seram, serta Manokwari. Tak hanya kantor cabang, NKG juga mendirikan
kantor-kantor perwakilan di daerah lain yang masing-masing berada di
bawah kendali YSB dan TB, di antaranya Surabaya, Balikpapan, Pontianak,
Tarakan, Manado.43
Berperan sebagai bank sirkulasi, NKG bertugas untuk mencetak
uang di Indonesia. Tugas utamanya ialah sebagai likuidator yang
beranggotakan orang-orang Jepang dibantu oleh staf dan tenaga dari
bank-bank terkait. Mereka yang tergabung ke dalam panitia likuidator
ini bertugas menyelesaikan tagihan bank-bank yang ada. Pembayaran
kembali kepada para kreditur pemegang rekening yang bukan “lawan/
musuh” sejumlah 30 persen (bagi yang tidak mau dan tidak dapat
menggunakan kesempatan tersebut, jumlah yang semestinya dibayarkan
akan dipindahkan kepada NKG); serta penyelesaian simpanan-simpanan
tertutup dan safe-loketten. Simpanan tertutup dan safe-loketten yang
tidak langsung berguna bagi tentara Jepang, akan dikembalikan kepada
pemiliknya. Namun, kenyataannya kalimat “tidak langsung berguna”
ini rupanya sangat lentur sehingga dalam pelaksanaannya tidak sedikit
barang simpanan yang hilang atau kepada mereka diganti dengan tanda
memiliki tagihan-tagihan terhadap NKG.44
Awalnya ide pendirian bank sirkulasi di wilayah pendudukan,
khususnya Indonesia, bermula ketika Direktur Biro Keuangan Pemerintah

42 Wasino, dkk, Sejarah Nasionalisasi Aset-Aset BUMN: Dari Perusahaan Kolonial Menuju Perusahaan
Nasional (Jakarta: Kementerian Badan Usaha Milik Negara, 2014), hlm. 417–419.
43 Shibata Yoshimasa, "The Monetary Policy...", (1996: 707). Lihat pula Peter Post dan Elly Touwen-
Bouwsma (ed.), Japan, Indonesia, and the War: Myths and Realities (Leiden: KITLV Press, 1997), hlm.
177-202.
44 Noek Hartono, Bank Indonesia…, (1976: 28–29).

168 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Militer Jepang setuju dengan rencana pendirian bank sirkulasi yang
terbilang penting. Untuk itu, pendiriannya harus segera dilakukan sesuai
dengan situasi ekonomi di Jawa. Dari sudut pandang pengendalian uang,
harapannya mata uang yang diterbitkan oleh bank sirkulasi mampu
menggantikan mata uang yang diterbitkan oleh pemerintah militer Jepang
(invasion money).45 NKG menjalankan aktivitasnya pada sirkulasi uang
Jepang di Indonesia dan Jakarta terpilih sebagai kantor pusat NKG. Meski
pemusatan kegiatannya di Jawa, terutama Jakarta, NKG juga membuka
kantor cabang di sejumlah kota lainnya.46
Meski segala aktivitas tidak lagi berjalan dan segala asetnya di
Indonesia telah diambil alih Jepang, DJB tidak hilang dari panggung
keuangan dan perbankan. Melalui salah satu direkturnya yang mengungsi
dan selamat tiba di Australia, R. E. Smits, DJB mendirikan kantor
perwakilannya di wilayah pengasingan yaitu di Benua Kangguru. Tujuan
pendiriannya adalah untuk melayani persoalan tagihan dan kewajiban
bank kepada para nasabah, khususnya nasabah yang telah keluar dari
Hindia Belanda. Selain itu, Pemerintah Belanda menunjuk R. E. Smits
sebagai Pejabat Direktur Keuangan Pemerintah Pengasingan Hindia
Belanda bertempat di Melbourne dan Brisbane.47
Di sisi lain, mengulas kembali kebijakan likuidasi yang dilakukan
Jepang terhadap bank-bank milik Belanda, digambarkan oleh perwakilan
Hindia Belanda bahwa kondisi perbankan di Indonesia telah hancur dan
tidak mungkin dapat dipulihkan kembali setelah perang berakhir. Dengan
demikian, Pemerintah Kerajaan Belanda mengeluarkan Surat Keputusan
E-10 tanggal 3 Februari 1944 terkait pelarangan segala aktivitas
perbankan di Hindia Belanda tanpa seizin dari dan atas nama Gubernur
Jenderal. Keputusan tersebut dikeluarkan di London yang merupakan
tempat pengungsian Ratu beserta Pemerintah Kerajaan Belanda akibat
dikuasainya Belanda oleh Pasukan Nazi Jerman. Menindaklanjuti surat
keputusan tersebut, tanggal 21 Februari 1944 dikeluarkanlah Surat

45 Shibata Yoshimasa, “The Monetary Policy…”, (1996: 711).


46 Tim Penulis Bank Indonesia, De Javasche Bank: Masa Pendudukan Jepang hingga Lahirnya Bank
Indonesia (Jakarta: Museum Bank Indonesia, 2007), hlm. 34.
47 Arsip Bank Indonesia, Koleksi De Javasche Bank, Verslag van De Javasche Bank, 1941/1947.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 169


Keputusan mengenai pembentukan De Bank voor Nederlandsch-Indie
di Paramaribo, Suriname, sebagai satu-satunya wilayah jajahan Belanda
yang tetap berada di bawah Kerajaan Belanda.48
De Bank voor Nederlandsch-Indie merupakan bank gabungan yang
mewadahi institusi lembaga perbankan, khususnya perbankan swasta,
yang sempat beroperasi di Hindia Belanda. Pemegang saham bank ini ialah
Pemerintah Hindia Belanda, Nederlandsche Handels Maatschappij N.V.
(NHM), Nederlandsch Indische Handelsbank (NIHB), serta Nederlandsch
Indische Escompo Maatschappij (NIEM). Direncanakan, bank baru
tersebut berperan sebagai bank sirkulasi.49 Namun, rencana tersebut tidak
terwujud dan kelanjutan lembaga perbankan baru tersebut (De Bank voor
Nederlandsch-Indie) belum banyak diketahui dan kedudukannya dalam
sejarah perbankan di Indonesia belum banyak tergali, sebab kurang
tersedianya dokumen-dokumen dan informasi terkait bank tersebut pasca
pendudukan Jepang. Pada perkembangan selanjutnya, setelah pendirian
kantor pengasingan DJB di Australia, saham milik Pemerintah Hindia
Belanda di De Bank voor Nederlandsch-Indie ini dialihkan ke DJB.
Berdasarkan penjabaran di atas, dapatlah disebutkan bahwa likuidasi
DJB yang dilakukan oleh pemerintah militer Jepang juga terjadi di berbagai
daerah, termasuk Aceh. Penutupan dan pemberhentian operasional
DJB Agentschap Koetaradja menyisakan segelintir kisah yang menarik
dalam rangkaian sejarah lembaga perbankan di Aceh. DJB Koetaradja
sesungguhnya sudah menghentikan operasinya sejak tanggal 11 Februari
1942. Hal ini berhubungan erat dengan terjadinya sejumlah kegaduhan,
berupa tuntutan sejumlah tokoh masyarakat Aceh agar Kesultanan Aceh
dipulihkan serta terjadinya sabotase berupa pemutusan jaringan telepon,
pemasangan rintangan di jalan raya dan kereta api, serangan terhadap
kantor-kantor pemerintah dan pembunuhan terhadap orang Belanda.
Dengan demikian, pada saat Jepang masuk, DJB Koetaradja memang
sudah menghentikan aktivitasnya.

48 Darsono, dkk, Perjuangan Mendirikan Bank Sentral Republik Indonesia (Jakarta: Rajagrafindo, 2016),
hlm. 170.
49 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip De Javasche Bank, “Verslag van De Javasche Bank 1941/1947”.

170 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Segera setelah menguasai Aceh, kantor cabang eks DJB Koetaradja
dialihfungsikan oleh pemerintah militer Jepang untuk kantor keperluan
lain. Enam bulan setelah menguasai Aceh gedung DJB Koetaradja
digunakan sebagai kantor cabang Yokohama Specie Bank. Yokohama
Specie Bank secara resmi membuka cabangnya di Koetaradja pada 1
Oktober 1942. Walaupun demikian, sejak diresmikan, tidak terlihat
aktivitas dan kesibukan pelayanan jasa keuangan di kantor tersebut.
Dengan kata lain, di bawah kekuasaan Jepang, penggunaan gedung
eks DJB Koetaradja ini justru tidak berfungsi sebagai kantor perbankan.
Bahkan, tahun 1944 terjadi perubahan yang sangat drastis. Pada tahun itu,
gedung eks DJB Koetaradja digunakan sebagai penampungan sementara
pasukan Angkatan Laut Jepang.50

Kehidupan Sosial-Ekonomi dan Peredaran


Mata Uang
Perdagangan dan Perekonomian Rakyat

P ada masa pendudukan Jepang aktivitas perdagangan umumnya lumpuh


akibat menipisnya persediaan komoditas perdagangan. Barang-barang
yang dibutuhkan oleh rakyat didistribusikan melalui distributor-distributor
yang ditunjuk oleh Jepang. Osamu Seirei No. 38/1943 menetapkan
bahwa semua barang harus dijual dengan harga yang ditentukan oleh
Jepang. Barang-barang yang diklasifikasi penting, baik yang berhubungan
langsung dengan kebutuhan perang maupun barang yang menyangkut
kehidupan dan kebutuhan rakyat dikuasai oleh pemerintah. Oleh karena
itu, baik penggunaan maupun distribusinya diawasi secara ketat oleh
pemerintah. Kebijakan ini menjadi penyebab tambahan kelumpuhan
perdagangan. Selain itu, kelumpuhan perdagangan juga diakibatkan oleh
blokade militer Amerika Serikat terhadap wilayah-wilayah yang diduduki
oleh Jepang.51

50 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip De Javasche Bank, “Koetaradja, Brieven Vertrouwelijk van/aan
Hoofdkantoor”.
51 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional… (1993: 45).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 171


Dengan berkurangnya barang-barang impor atau substitusi
impor, terutama tekstil, menyebabkan barang tersebut menjadi langka
di pasaran. Sebelum masa pendudukan Jepang, kebutuhan pakaian
rakyat Aceh diperoleh dengan mengandalkan pada kain impor yang
didatangkan dari India, Cina, dan Eropa. Tidak lama setelah berkuasa,
Pemerintah Jepang mengambil kebijakan penghentian seluruh impor kain.
Akibatnya hampir seluruh toko pakaian di Aceh tutup dan rakyat mulai
kekurangan sandang. Kalaupun ada harganya sangat mahal. Kekurangan
sandang ini berpengaruh terhadap kehidupan rakyat Aceh, yang terpaksa
menggunakan goni, tikar, bahkan kulit kayu sebagai bahan pakaian.
Orang mati pun terpaksa harus dikafani dengan goni. Akibat penggunaan
kain goni, banyak rakyat yang terkena penyakit kudis buta.52
Ketatnya pengaturan pemerintah pendudukan Jepang terhadap
peredaran barang, terutama barang-barang sandang dan pangan
menyebabkan banyak pedagang yang sulit bertahan. Para pedagang
bumiputra, walaupun masih melakukan kegiatan-kegiatan di bidang
perdagangan, namun mereka tidak dapat mengembangkan usahanya.
Dalam situasi seperti ini banyak di antara mereka yang meninggalkan
usaha dagang karena kebutuhan rakyat di bidang sandang dan pangan
diusahakan oleh pemerintah dan disalurkan kepada rakyat melalui lembaga
Bagi Dan Kumpul (BDK) yang telah dibentuk di tiap-tiap Son. Macetnya
aktivitas perdagangan pada masa pendudukan Jepang mengakibatkan
rakyat sangat sulit memperoleh bahan-bahan keperluan sehari-hari
seperti kain, minyak tanah dan lain-lain. Bahan-bahan yang didatangkan
oleh Jepang dari luar umumnya dipergunakan untuk kebutuhan militer,
bukan untuk kepentingan rakyat banyak.53
Selain dalam bidang perdagangan, kemerosotan juga terasa dalam
bidang perekonomian rakyat. Sebagaimana telah disebutkan pada bagian
sebelumnya, sejak menjelang pertengahan tahun 1930-an, perekonomian
rakyat di Aceh mulai membaik. Usaha serius pemerintah kolonial Belanda

52 Ramadhan KH. dan Fitria Sari, Teuku Nyak Arief Rencong Aceh di Volksraad, Banda Aceh: Yayasan
Pendidikan Islam Teuku Nyak Arief, 2017), hlm. 115–116.
53 T. Ibrahim Alfian dkk., Sejarah Daerah Provinsi…, (1977/1978: 156-157).

172 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


memperbaiki perekonomian rakyat dalam upaya menghindari kelaparan
akibat depresi ekonomi mulai membuahkan hasil. Aceh yang sebelumnya
selalu mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhannya mulai dapat
berswasembada. Malahan Aceh untuk masa-masa selanjutnya mengalami
surplus beras sehingga dapat mengekspor ke Sumatra Timur. Demikian
juga hasil pertanian rakyat lainnya seperti lada, pinang, kopra, dan karet
rakyat yang mulai berproduksi kembali setelah mengalami kehancuran
akibat perang yang lama. Keadaan ini berubah setelah Aceh berada
di bawah pendudukan Jepang. Keadaan ekonomi Aceh mengalami
penurunan drastis akibat Jepang lebih fokus pada proyek perangnya.
Setelah proses pendaratannya di Aceh selesai, Jepang mengambil
alih semua kegiatan dan pengendalian ekonomi. Langkah pertama
yang dilakukan Jepang adalah merehabilitasi prasarana ekonomi seperti
jembatan, alat-alat transportasi, telekomunikasi, dan lain-lain yang
bersifat fisik. Beberapa peraturan yang bersifat kontrol terhadap kegiatan
ekonomi dikeluarkan. Untuk mencegah meningkatnya harga barang dan
timbulnya pelbagai manipulasi secara setempat dikeluarkan peraturan
pengendalian harga dan hukuman berat bagi pelanggarnya.
Harta milik bekas musuh atau harta yang dibiayai dengan modal
musuh (Barat), seperti perkebunan, bank, pabrik, dan perusahan
vital seperti pertambangan, listrik, telekomunikasi, dan perusahaan
transportasi, disita dan dijadikan milik Pemerintah Jepang. Khusus
untuk perkebunan, dikeluarkan Undang-Undang No. 22/1942 yang
menyatakan bahwa Gunseikan (Kepala Pemerintahan Militer) langsung
mengawasi perkebunan-perkebunan kopi, kina, karet, dan teh, yang
pelaksanaannya diserahkan kepada sebuah badan pengawas bernama
Saibai Kigyo Kanrikodan (SKK). Selain bertindak sebagai pengawas,
SKK juga berperan sebagai pelaksana pembelian dan penentuan harga
penjualan hasil perkebunan tersebut, sekaligus sebagai pemberi kredit
kepada perkebunan yang ditunjuk oleh Gunseikan untuk direhabilitasi.
Sebagai pelaksana penguasaan perkebunan-perkebunan tersebut,
ditunjuk beberapa perusahaan swasta Jepang.54 Di Aceh perkebunan-

54 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional… (1993: 41–42).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 173


perkebunan yang sebelumnya milik swasta Barat, terutama di Aceh Timur,
diserahkan pengelolaannya oleh pemerintah pendudukan Jepang kepada
perusahaan Jepang Nanyo Goma dan Nomura.55
Demikian halnya juga terjadi dalam bidang perekonomian
rakyat yang sepenuhnya berada di bawah kontrol ketat pemerintah
pendudukan Jepang. Pada mula kedatangannya, Jepang memang
berjanji meningkatkan kehidupan perekonomian rakyat Aceh dengan
membentuk Atjeh Shu Seito Sangu Kotabutyo (Kepala Urusan Ekonomi
dan Lalu Lintas Daerah Aceh) di bawah pimpinan S. Masubuti.56 Konsepsi
ekonomi pemerintah pendudukan Jepang dalam upaya membangun
ekonomi Aceh, sebagaimana disampaikan oleh S. Masubuti, sebenarnya
cukup bagus dan sangat logis dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Konsepsi ekonomi tersebut mencakup pembangunan beberapa bidang,
seperti pertanian, pengairan, kerajinan, peternakan, dan pertambangan.
Menurut Masubuti, telah dibuat rancangan untuk memajukan pengairan
dalam upaya menghapus sawah “berbandar langit” di Aceh. Diupayakan
juga memperluas lahan untuk ditanami dengan bibit unggul agar hasilnya
memuaskan. Selain itu, juga diupayakan untuk memperbaiki sistem
membajak tanah sawah dengan sistem yang modern. Dalam bidang
kerajinan, kepada rakyat Aceh dianjurkan untuk memajukan usaha
memelihara ulat sutra dan usaha menanam kapas, agar rakyat Aceh dapat
membuat sendiri pakaian secukupnya. Untuk peternakan dan pertanian
diupayakan untuk mengadakan satu latihan besar terhadap berbagai
aktivitas pertanian (hozi kurenzyo) bagi para pemuda Aceh. Mereka yang
telah selesai menempuh pelatihan ini akan dikirim ke tempat-tempat di
seluruh Aceh untuk membantu memajukan pertanian dan kemakmuran
negeri.57
Dalam perkembangan selanjutnya gagasan tersebut tidak pernah
dijalankan sepenuhnya oleh pemerintah pendudukan Jepang, sehingga
kehidupan ekonomi rakyat masa Jepang sangat merosot. Program
perluasan jaringan pengairan dan areal persawahan, yang merupakan

55 S. M. Amin, Kenang-Kenangan dari Masa Lampau (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978), hlm.109.
56 T. Ibrahim Alfian dkk, Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh…, (1982: 17–18).
57 T. Ibrahim Alfian dkk., Sejarah Daerah Provinsi…, (1977/1978: 155).

174 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


tulang punggung perekonomian Aceh, tidak terlaksana sesuai
dengan yang direncanakan. Pemerintah Jepang hanya mengandalkan
pengerahan tenaga rakyat untuk melakukan perbaikan irigasi-irigasi
yang telah ada.58 Dalam upaya meningkatkan produksi pertanian rakyat,
pemerintah pendudukan Jepang menginstruksikan kepada rakyat untuk
membersihkan tali air di sawah-sawah dengan sistem gotong royong.
Berbeda dengan masa sebelumnya, sistem gotong royong pada zaman
Jepang tidak dilakukan secara sukarela tetapi dengan cara paksaan,
di mana semua rakyat yang mendiami daerah-daerah yang terkena
pekerjaan gotong-royong harus ikut semua yang dipimpin langsung oleh
orang-orang Jepang sendiri.59

Gambar 3.3. Rombongan Pimpinan Rakyat Sumatra ketika berada di Singapura dalam
perjalanan ke Jepang tahun 1943. Tiga orang perwakilan dari Aceh, duduk dari kiri
ke kanan, yaitu 1. M. Syafie, 3. T. M. Hasan Geulumpang Payong, dan 5. Teuku Nyak
Arief.
Sumber: Ramadhan KH. dan Fitria Sari (2017: 121)

58 T. Ibrahim Alfian dkk, Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh…, (1982: 18).


59 T. Ibrahim Alfian dkk., Sejarah Daerah Provinsi…, (1977/1978: 157).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 175


Melalui koneksinya dengan para uleebalang (bangsawan), Jepang
memaksa rakyat untuk menyerahkan padinya kepada BDK. Jepang juga
memaksa rakyat untuk bekerja keras secara paksa guna membangun
jalan, lapangan terbang, benteng-benteng pertahanan, dan lain-lain.
Selain uleebalang, Jepang juga menggunakan para ulama sebagai
alat propagandanya. Menyadari bahwa pentingnya peran ulama bagi
masyarakat Aceh, Jepang meminta para ulama untuk menyampaikan
kepada masyarakat bahwa penyerahan padi, pembuatan lapangan
terbang, jalan raya, benteng-benteng pertahanan, dan pekerjaan-
pekerjaan lainnya adalah upaya untuk memenangkan Perang Asia Timur
Raya.60 Kemenangan tersebut––disampaikan oleh Jepang––nantinya akan
menjadikan Asia makmur dan rakyat Asia merdeka serta bahagia.
Faktor lain yang ikut memengaruhi turunnya kesejahteraan hidup
petani di Aceh masa pendudukan Jepang adalah dibentuknya sebuah
badan untuk membeli dan mengutip padi dari sisa produksi petani untuk
keperluan suplai militer. Pada tanggal 1 April 1944 pemerintah pendudukan
Jepang membentuk badan bernama Shukaikai atau Bagi Dan Kumpul (BDK)
yang bertujuan mengumpulkan bahan-bahan pangan milik rakyat dan
kemudian membagi-bagikannya. Dalam kaitannya dengan pembentukan
badan ini, Sumatora-homensaiko-shikikan (Panglima Militer Sumatra) di
Bukittinggi mengeluarkan Peraturan Nomor 49 Tanggal 25 Februari 1944
yang menetapkan bahwa bagi siapa saja yang tidak mau menyerahkan
kelebihan produksi padi kepada pemerintah, diancam dengan hukuman
seumur hidup atau hukuman sementara setinggi-tingginya selama 20
tahun atau denda f200.000. Ini berarti bahwa dengan didirikannya BDK
tertutuplah kesempatan bagi rakyat untuk menjual bahan-bahan pangan
mereka secara sukarela kepada Pemerintah Jepang yang pelaksanaannya
di Aceh diserahkan kepada salah satu perusahaan besar Jepang bernama
Mitsubishi Shosen Kabu-shikikaisha (MSK).61

60 Ali Hasjmy (ed.), 50 Tahun Aceh Membangun…, (1995: 93).


61 Abdullah Ali dkk, Sejarah Perjuangan Rakyat Aceh…, (1985: 144–145).

176 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Mengingat fungsinya yang sangat urgen bagi keperluan militer
Jepang, pembentukan BDK dilakukan dengan sangat serius sampai di tiap-
tiap Son. Tugas dari BDK bukan hanya sebagai badan penyalur, tetapi juga
bertindak sebagai penampung. Hasil bumi dari rakyat, terutama padi yang
menjadi sumber makanan pokok, dikumpulkan dari petani oleh orang-
orang yang ditunjuk mengelola BDK. Pengumpulan dilakukan secara
paksaan, walaupun dibayar harganya kepada petani, namun harganya
ditentukan oleh Jepang. Apabila ada rakyat yang tidak mau menyerahkan
padi mereka kepada BDK akan dikenakan hukuman fisik. Oleh karena itu,
dengan sinis kepanjangan BDK diplesetkan oleh rakyat Aceh dari Bagi Dan
Kumpul menjadi “Bah Di Kee” (biar untuk aku) dan “Bek Di Kah” (tidak
untuk kamu).62
Jumlah bahan pangan yang harus dikumpulkan oleh BDK, terutama
padi dari rakyat, dibuat target oleh pemerintah pendudukan Jepang
untuk setiap tahun panen, yang kemudian dibicarakan dalam Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Aceh. Sebagai contoh, dalam sidang ketiga
Majelis Perwakilan Rakyat Daerah Aceh tanggal 19–20 Oktober 1944,
masalah utama yang dibicarakan adalah penyerahan panen pangan
rakyat. Masalah itu dibicarakan karena sangat kurangnya penyerahan hasil
pertanian akibat banyaknya penduduk yang dikerahkan untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan sukarela bagi tentara. Selama bulan April–September
1944 tahun panen 1944/1945 seharusnya diserahkan oleh petani 16.250
ton padi, tetapi yang diterima pemerintah hanya 6.969 ton. Lebih parah
lagi jumlah palawija yang tadinya diharapkan akan diserahkan sebanyak
1.500 ton, tetapi dalam kenyataannya hanya 425 ton. Dalam sidang
ketiga Majelis Perwakilan Rakyat Daerah Aceh tanggal 20–21 April 1945
ditetapkan bahwa untuk tahun panen 1945/1946, jumlah bahan pangan
berupa beras yang harus diserahkan oleh petani kepada pemerintah naik
50 persen dari jumlah tahun panen yang lalu, yaitu dari 22.000 ton menjadi
33.000 ton. Penambahan jumlah penyerahan tersebut berkaitan dengan
bertambahnya keperluan bagi Heiho dan Giyugun (tenaga romusha) yang
dipekerjakan pada bangunan-bangunan umum.63

62 T. Ibrahim Alfian dkk., Sejarah Daerah Provinsi…, (1977/1978: 156).


63 Abdullah Ali dkk, Sejarah Perjuangan Rakyat Aceh…, (1985: 152–153 dan 160).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 177


Selain pengumpulan bahan pangan, pemerintah pendudukan
Jepang juga mengharuskan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh untuk
dapat mengumpulkan uang untuk pembelian pesawat terbang yang akan
digunakan bagi kepentingan militer Jepang. Usaha pengumpulan dana
untuk pembelian kapal udara Aceh tersebut terealisasi pada sidang ketiga
Majelis Perwakilan Rakyat Daerah Aceh dengan terkumpulnya uang
yang pertama sebanyak f100.000 yang diserahkan oleh ketua majelis
kepada residen atas nama rakyat. Pada tanggal 7 November berikutnya
menghasilkan f100.000 dan tanggal 22 Desember mencapai f1.000.000.
Dari jumlah tersebut, f700.000 diserahkan residen untuk Angkatan Darat
Jepang dan f300.000 untuk Angkatan Laut.64
Selain itu, para petani juga disibukkan oleh tugas romusha (kerja
rodi) untuk bekerja pada fasilitas-fasilitas umum maupun pada proyek
pembuatan kubu-kubu pertahanan dan lapangan terbang untuk
pertahanan Jepang. Intensifnya penggunaan tenaga romusha yang
berasal dari para petani desa tersebut dapat dilihat dari kesaksian Abdullah
Yacob di Matang Glumpang Dua (Kabupaten Bireuen sekarang). Abdullah
Yacob mengatakan bahwa “Di kampung … setiap hari saya hanya
memperhatikan orang-orang kampung yang dipaksa bergotong royong
untuk membuat pertahanan atau lapangan terbang darurat di Teupin
Mane oleh Jepang”.65 Penyedotan tenaga petani oleh Jepang membawa
implikasi luas terhadap kondisi pertanian di Aceh, terutama pertanian
padi sawah. Dengan banyaknya kaum pria diangkut untuk dijadikan
tenaga paksa (romusha), lahan persawahan hanya dikerjakan oleh kaum
wanita saja. Akibatnya, hasil yang didapat tidak maksimal dan tidak dapat
memenuhi kebutuhan hidup.66
Dari sejumlah proyek besar yang dibangun Jepang, pekerjaan yang
paling banyak membutuhkan tenaga kerja adalah proyek pembangunan
jalan raya antara Takengon ke Blangkejeren dan proyek pertahanan
Gunung Setan di Tanah Alas. Proyek jalan raya Takengon ke Blangkejeren

64 Abdullah Ali dkk, Sejarah Perjuangan Rakyat Aceh…, (1985: 159).


65 Abdullah Yacob, “Kisah Pengalaman dan Perjuangan Kemerdekaan 1945-1949” dalam Kisah
Perjuangan Mempertahankan Daerah Modal Republik Indonesia dari Serangan Belanda oleh Para
Pelaku, (Jakarta: Beuna, 1990), hlm. 144.
66 Ramadhan KH. dan Fitria Sari, Teuku Nyak…, (2017: 115).

178 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


dimulai pada 1 Januari dan selesai pada bulan Juli 1944. Romusha yang
dikerahkan untuk mengerjakan proyek ini berasal dari Aceh Syu sendiri
yang dilakukan oleh sebuah badan bernama Perkumpulan Pekerja-Pekerja
Untuk Umum di Aceh Syu Untuk Membina Asia Raya. Sementara itu,
proyek basis pertahanan Gunung Setan yang dimulai pada saat jalan raya
Takengon ke Blangkejeren hampir selesai mengerahkan para romusha dari
Keresidenan Aceh, Keresidenan Sumatra Timur, dan ditambah dengan
romusha yang didatangkan dari Jawa. Oleh karena proyek pertahanan
militer ini memakan waktu yang lama, maka hingga akhir kekuasaan
Jepang di Indonesia proyek ini belum selesai dikerjakan.67
Berbagai faktor yang saling berkaitan tersebut menyebabkan
kesejahteraan hidup masyarakat menurun drastis. Untuk menghindari
kelaparan, banyak rakyat Aceh yang memutuskan pindah ke pegunungan
atau ke hutan untuk membuka ladang. Di tempat baru itu mereka
berusaha menanam ubi, jagung, ketela, dan tanaman pangan lainnya.
Bagi yang tidak mampu membuka ladang terpaksa masuk ke hutan untuk
mencari makanan, seperti batang rumbia untuk diambil sagunya dan
pohon nira untuk diambil buahnya.68
Untuk mengatasi kesulitan ekonomi tersebut, banyak pemuda
Aceh yang memilih memasuki satuan-satuan militer bentukan Jepang,
seperti Heiho dan Gyu gun69. Salah satu motivasi mereka adalah untuk
memperoleh jaminan hidup dan juga untuk menghindari berbagai macam
romusha bagi kepentingan pemerintah militer.70 Keadaan perekonomian
rakyat yang morat-marit ini berpengaruh juga terhadap kehidupan sosial
budaya masyarakat Aceh. Pagelaran kesenian rakyat yang biasa dilakukan,
baik dalam upacara-upacara keagamaan maupun upacara-upacara daur
hidup seperti dalail khairat, dike mulod, seudati, ratoh, laweut, dan lain-
lain sudah sangat kurang dilaksanakan.71

67 T. Ibrahim Alfian dkk., Sejarah Daerah Provinsi…, (1977/1978: 154–155).


68 Ramadhan KH. dan Fitria Sari, Teuku Nyak…, (2017: 115).
69 Diperkirakan ada 5.000 anggota Gyu Gun yang terdaftar di Aceh. Lihat Biro Sejarah Proma, Medan
Area Mengisi Proklamasi, (Medan: Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area,
1976), hlm. 50-51.
70 T. Ibrahim Alfian dkk, Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh…, (1982: 16).
71 T. Ibrahim Alfian dkk, Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh…, (1982: 20).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 179


Peredaran Uang

Proses pendudukan wilayah Hindia Belanda telah direncanakan dengan


sangat matang oleh Jepang jauh sebelum invasi dilakukan. Perencanaan
tersebut tidak hanya dilakukan pada aspek strategi militer saja, tetapi
juga dalam bidang keuangan dan moneter. Seperti telah disebutkan
pada bagian sebelumnya, untuk biaya operasional proses pendaratan
Tentara ke-16 di Jawa, Tentara ke-25 di Singapura dan Sumatra, dan
penugasan Angkatan Laut ke-2 di wilayah Indonesia Timur yang berpusat
di Makassar, Jepang telah mempersiapkan dan menyuplai uang gulden
sejumlah 81,783 juta gulden.72 Uang tersebut kemudian diedarkan Jepang
di Jawa sekitar 26,445 juta gulden dan di wilayah Sumatra sekitar 5,567
juta gulden. Ditambah lagi dengan uang yang diedarkan oleh DJB sekitar
316 juta gulden pada akhir tahun 1941, telah membuat inflasi di Hindia
Belanda semakin meningkat.
Tidak lama setelah proses pendudukan selesai, Jepang mengambil
kebijakan penting dalam bidang moneter. Pemerintah pendudukan
Jepang berusaha keras untuk mempertahankan nilai gulden dan rupiah
Hindia Belanda. Tujuannya adalah untuk dapat mempertahankan harga
barang-barang seperti sebelum perang dan untuk mengawasi lalu lintas
permodalan dan arus kredit. Untuk itu, uang rupiah Hindia Belanda
dinyatakan tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah.73 Guna
kemudahan bagi rakyat Aceh dalam memperoleh kredit, pemerintah
pendudukan Jepang membentuk Shomin-ginko atau bank-bank desa
seperti yang pernah dilaksanakan oleh bank-bank rakyat di Aceh masa
kolonial Belanda dulu.74
Di bidang moneter, pemerintah militer Jepang kemudian
mengeluarkan suatu kebijakan baru dengan melarang penggunaan mata
uang selain uang gulden Jepang. Untuk memudahkan pengawasan
dan kontrol terhadap peredaran mata uang, pemerintah berharap mata

72 Shibata Yoshimasa, “The Monetary Policy…”, (1996: 701).


73 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional… (1993: 44).
74 Abdullah Ali dkk, Sejarah Perjuangan Rakyat Aceh…, (1985: 145).

180 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


uang Jepang nilainya tidak anjlok, sehingga perekonomian tetap stabil.
Pemerintah militer Jepang melakukannya dengan menarik mata uang
Belanda yang beredar di masyarakat dan menggantikannya dengan
menerbitkan mata uang kertas baru yang oleh penduduk pribumi
dikenal dengan uang militer atau uang invasi.75 Proses penarikan uang
Hindia Belanda di Aceh dilakukan secara cepat dan besar-besaran. Ali
Hasan A. S., salah seorang saksi sejarah saat Jepang menduduki Aceh
Tengah menuliskan kesaksiannya tentang itu dalam tulisannya “Kisah
Perjuangan Mempertahankan Daerah Modal Republik Indonesia”. Ali
Hasan menuturkan:
“Suatu hari pada bulan Maret 1942 penulis disuruh menunggu di
Pesanggrahan yang sekarang bernama Hotel Suka Jaya Takengon. Di dalam
kamar hotel tersebut penuh dengan goni-goni yang berisi uang kertas
Javasche Bank dalam seri berurutan, sedangkan semua tentara Jepang
meninggalkan tempat tersebut untuk mengadakan pengejaran terhadap
tentara Belanda di sekitar kota dalam rangkaian pembersihan.76
Selama masa pendudukan, setidaknya terdapat tiga emisi uang
kertas yang diedarkan oleh pemerintah militer Jepang. Pertama, emisi De
Japansche Regering merupakan uang invasi Jepang yang terdiri atas tujuh
pecahan, di antaranya 1 sen, 5 sen, 10 sen, ½ gulden, 1 gulden, 5 gulden,
dan 10 gulden. Kedua, emisi Dai Nippon terbitan NKG dalam mata uang
rupiah, di antaranya pecahan 100 rupiah dan 1000 rupiah. Ketiga, emisi
Dai Nippon Teikoku Seihu terbitan NKG dalam mata uang rupiah, terdiri
atas ½ rupiah, 1 rupiah, 5 rupiah, 10 rupiah, dan 100 rupiah.77
Jumlah mata uang di Hindia Belanda yang beredar pada masa
pendudukan Jepang meningkat tajam. Hal ini terjadi oleh sebab invasi
yang dilakukan Jepang juga melibatkan invasi terhadap mata uang. Sejak
11 Maret 1942, berdasarkan UU No. 1 Kepala Militer Pasukan Jepang
mengumumkan, gulden dan mata uang militer merupakan alat transaksi
yang sah di wilayah pendudukan Jepang di Indonesia. Sebelum NKG

75 Tim Penulis Bank Indonesia, De Javasche Bank…(2007: 34).


76 Ali Hasan A.S., "Kisah Perjuangan...", (1990: 165).
77 Tim Penulis Bank Indonesia, De Javasche Bank…(2007: 34).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 181


terbentuk, pemerintah militer Jepang telah menerbitkan mata uang
yang dikenal sebagai uang pendudukan (invasion money) atau uang
militer (gunpyo) yang disertai tanda “De Japansche Regeering Betaalt aan
tonder” (Pemerintah Jepang membayar kepada sang pembawa). Uang
tersebut memang secara khusus dibuat untuk Hindia Belanda dan sudah
disiapkan sebelum Jepang mendarat di Indonesia. Uang-uang tersebut
didistribusikan di atas geladak kapal dan dibawa langsung oleh bala
tentara Jepang setibanya di Indonesia. Dalam uang tersebut gulden masih
menjadi mata uang yang digunakan dan bahasa Belanda juga tertera
pada uang tersebut. Hal ini dilakukan agar masyarakat Indonesia tidak
merasa asing dengan uang yang diterbitkan Jepang tersebut.
Pada bulan September 1944 NKG menerbitkan mata uang yang
dikenal sebagai uang Nanpatsu. Adanya tanda Dai Nippon Teikoku Seifu
(Administrasi Tentara Jepang) serta penggunaan rupiah sebagai nilainya,
mata uang ini dicetak di Jawa dengan pecahan ½ rupiah, 1 rupiah, 5
rupiah, dan 10 rupiah. Selain Jawa, uang ini juga disebar hingga ke
Sumatra, Kalimantan, serta Indonesia bagian Timur. Jepang juga secara
sporadis menerbitkan uang logam berbahan aluminium, terdiri atas 1
sen, 5 sen, dan 10 sen yang beredar secara terbatas. Hingga pertengahan
1945, mata uang pendudukan Jepang yang telah beredar sebesar 2,4
miliar gulden di Jawa dan 1,4 miliar gulden di Sumatra, sementara untuk
Kalimantan dan Sulawesi jumlah yang beredar relatif kecil. Dari jumlah
tersebut NKG telah menambahkan 87 juta gulden ke dalam peredaran.
Uang tersebut berasal dari uang yang belum dikeluarkan oleh DJB ketika
masih berdiri. Sekitar 20 juta gulden koin perak diambil alih oleh Jepang
dari DJB.
Penambahan jumlah uang yang beredar di Hindia Belanda kembali
meningkat pada 15 Agustus 1945 saat mana NKG mengintroduksi
uangnya sebesar 2 miliar gulden. Sebagian jumlah tersebut diperoleh
setelah tentara Jepang melakukan pencurian di sejumlah bank di Sumatra,
dan sebagian lagi dicuri dari DJB Surabaya dan tempat-tempat lainnya.78
Keberadaan NKG di Sumatra juga ditandai dengan beredarnya uang-uang
Jepang yang dikenal sebagai uang Nanpatsu dengan pecahan yang sama

78 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip De Javasche Bank, Jaarverslag van De Javasche Bank 1941/1947.

182 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


seperti yang tersebar di wilayah lain. Namun, NKG secara khusus mencetak
uang pecahan khusus di Sumatra, antara lain 100 dan 1000 rupiah.
Pencetakan dan penerbitan mata uang pecahan khusus di Sumatra ini
diduga sebagai upaya untuk meningkatkan daya beli masyarakat akibat
lesunya ekonomi di Sumatra akibat perang.79

Gambar 3.4. Seri Uang Nanpatsu yang dikeluarkan oleh NKG dengan menggunakan
mata uang Rupiah pecahan 5 dan 10 Rupiah
Ket. Gambar: Pecahan: 5 dan 10 roepiah; Penandatanganan: -; Ukuran: 149x72 mm (5 roepiah) dan
159x77mm (10 roepiah); Warna Dominan/Desain Utama Depan: hijau (5 roepiah) dan coklat (10 roepiah) /
nilai nominal, rumah Minangkabau (5 roepiah) dan penari wayang Gatotkaca (10 roepiah), tulisan Bahasa
Jepang; Belakang: hijau/angka 5 dan guilloche, Wanita Minangkabau (5 roepiah), ungu/angka 10 dan
guilloche, Arca Buddha dan Stupa (10 roepiah); Pencetak: Djakarta Insatsu Kodjo; Tanggal penerbitan:
1943; Tanggal penarikan kembali: -.
Sumber: Lintasan Masa Numismatika Nusantara: Koleksi Museum Bank Indonesia, (Jakarta: Bank
Indonesia, 2015), hlm. 191–194.

Perlawanan Rakyat Aceh Terhadap


Jepang

A wal masuknya Jepang ke Aceh mendapat sambutan yang hangat


dari rakyat dan bersama dengan rakyat yang bergabung barisan “F”

79 Tim Penulis Bank Indonesia, De Javasche Bank…(2007: 34).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 183


(Fujiwara) melakukan penyerangan terhadap pasukan Belanda. Hubungan
mesra rakyat Aceh dengan Jepang tidak berlangsung lama karena setelah
berhasil menduduki seluruh Aceh Jepang mulai menerapkan aturan-
aturan yang jauh lebih memberatkan rakyat dibandingkan dengan
yang diterapkan Belanda. Oleh karena itu, muncullah kebencian yang
mendalam dari rakyat Aceh terhadap Jepang. Endapan kebencian ini
lambat laun menimbulkan luapan perasaan yang tidak dapat dikendalikan
sehingga akhirnya tercetus dalam bentuk perlawanan fisik. Meskipun
pasukan pendudukan Jepang berjumlah besar dan mampu membuat
Belanda menyerahkan Indonesia tanpa syarat kepada mereka, namun hal
tersebut tidak menghilangkan keberanian rakyat Aceh untuk melawan
kesewenang-wenangan Jepang.
Sikap dan perlakuan kasar Jepang mengakibatkan rakyat Aceh
kecewa terhadap Jepang, sehingga muncul istilah dalam masyarakat Aceh
“talet bui ditamong asei” (kita usir babi tetapi masuk anjing).80 Makna dari
ungkapan tersebut adalah tidak ada bedanya antara masa kolonialisme
Belanda dengan masa pendudukan Jepang. Kekecewaan tersebut
akhirnya meletus dalam bentuk perlawanan fisik terhadap Jepang.
Tujuh bulan setelah berkuasa, Jepang telah mendapat perlawanan
dari rakyat Aceh. Perlawanan pertama dipimpin oleh Teungku Abdul Jalil
di Bayu, Aceh Utara pada bulan November 1942. Sejak awal Teungku
Abdul Jalil sudah tidak setuju dengan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh
Aceh) yang mengundang dan menerima Jepang masuk ke Aceh. Oleh
karena itu, setelah melihat banyak aturan yang diterapkan tentara
pendudukan Jepang sangat memberatkan rakyat, Teungku Abdul Jalil
mulai mengampanyekan tentang hal-hal negatif akibat masuknya bala
tentara Dai Nippon dalam setiap ceramahnya. Dia menganjurkan kepada
rakyat bahwa melawan Jepang adalah fardhu ain atau hukumnya wajib.
Dia juga mengajak rakyat untuk berjihad fisabilillah melawan Jepang demi
untuk membela agama.
Untuk menghadapi kemungkinan penyerangan dari Jepang, Teungku
Abdul Jalil mulai mempersiapkan pengikut. Sebagai pimpinan Dayah Cot

80 Anjing dan babi merupakan dua binatang yang dianggap haram untuk disentuh sehingga keduanya
paling dibenci dalam masyarakat Aceh.

184 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Plieng, dia mempunyai pengikut sedikitnya 400 orang. Teungku Abdul
Jalil mulai melatih pengikutnya cara menggunakan senjata pedang,
tombak, kelewang, dan rencong. Hasil musyawarah yang diadakan di
Dayah Cot Plieng disepakati bahwa semua pengikut berjanji bersumpah
setia untuk melawan Jepang dan mereka bertekad berperang fisabilillah
apabila Jepang menyerang dan menangkapnya.
Sikap keras Teungku Abdul Jalil ini membuat Jepang berusaha
membujuk dan melunakkannya, namun mengalami kegagalan karena
ditolak. Akibat kegagalan ini Jepang mengerahkan pasukan dalam jumlah
besar yang didatangkan dari Bireuen, Lhokseumawe untuk menyerang
benteng pertahanan Teungku Abdul Jalil di Dayah Cot Plieng tanggal 7
November 1942. Setelah terjadinya pertempuran sengit, Jepang berhasil
merebut Dayah Cot Plieng dan kemudian membakarnya bersama masjid
dan sebelas rumah rakyat yang berdekatan dengan Dayah, termasuk
rumah Teungku Abdul Jalil. Dalam pertempuran tersebut juga gugur 86
orang pengikut Teungku Abdul Jalil. Dia sendiri bersama pengikutnya
yang tersisa menyingkir ke Masjid Paya Kumbok, Kecamatan Meurah
Mulia, selanjutnya ke Meunasah Buloh Blang Teungoh di mana dia gugur
dalam pertempuran dengan Jepang.
Perlawanan rakyat Aceh melawan Jepang juga dilakukan oleh rakyat
Pandrah (masuk dalam Kabupaten Bireuen sekarang) yang terjadi hanya
beberapa bulan menjelang Jepang meninggalkan Aceh. Latar belakang
dari peristiwa ini selain perjuangan membela agama, juga faktor ekonomi
dalam mempertahankan hak milik dari perampasan-perampasan yang
dilakukan oleh Jepang. Penyerangan dilakukan terhadap tangsi Jepang
di Pandrah yang hanya dijaga oleh tiga tentara Jepang pada malam hari
tanggal 8 Mei 1945 di bawah pimpinan Geuchik Djohan dan Panglima
Perang Teuku Jakob. Satu orang di antara penjaga tersebut berhasil lolos
dan melaporkan peristiwa tersebut ke pos-pos Jepang di sekitarnya.
Setelah dikirim bala batuan untuk membalas serangan tersebut ternyata
pejuang Aceh telah menyingkir ke Gle Bangkalang.
Sebelumnya pada tanggal 5 Mei 1945 pasukan Aceh yang bermarkas
di Gle Bangkalang mengadakan penyerangan ke daerah pemusatan
pasukan Jepang di daerah kampong Lheue Simpang. Serangan itu

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 185


dilakukan di bawah pimpinan Teuku Ibrahim Peudada. Dalam penyerangan
tersebut sebanyak 200 orang tentara Jepang tewas, sedangkan di pihak
pejuang Aceh telah gugur 43 orang termasuk seorang wanita. Akibat dari
peristiwa tersebut banyak anak-anak dan kaum wanita yang berasal dari
kampung Lheue Simpang dijadikan tawanan dan sandera oleh Jepang,
walaupun akhirnya dilepaskan lagi.81
Perlawanan-perlawanan tersebut menggambarkan bahwa meskipun
pada awal kedatangannya Jepang disambut dengan sangat antusias
oleh sebagian besar rakyat Aceh, namun setelah berkuasa Jepang mulai
bertindak sewenang-wenang, maka rakyat mengadakan perlawanan
sebagaimana yang telah mereka lakukan terhadap Belanda sebelumnya.
Meskipun semua perlawanan tersebut dapat ditumpas oleh Jepang,
namun pada sisi yang lain dapat dilihat bahwa semua bentuk penindasan
yang terjadi pada masyarakat akan mendapat perlawanan.

81 Anonimous. Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Istimewa Aceh.
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1982), hlm. 104-108.

186 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Bab 4
Aceh Sebagai Tumpuan
Republik

D engan tidak menafikan pentingnya periode lain, masa revolusi


kemerdekaan merupakan periode yang sangat penting artinya dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Periode ini merupakan
puncak dari perjuangan panjang yang telah dilakukan bangsa Indonesia
dalam upaya memperoleh kebebasan dari dominasi kolonialisme dan
imperialisme. Diawali dengan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945
yang menurut Sukarno merupakan jembatan emas menuju kebebasan,
perjuangan masih harus dilanjutkan lebih tiga tahun lagi untuk
mempertahankan kemerdekaan yang sudah dikumandangkan tersebut.
Realitasnya memang demikian, meski telah memperoleh jembatan
emas, ternyata bangsa Indonesia tidak dengan leluasa dapat menikmati
alam kebebasan. Belanda yang masih merasa sebagai penguasa atas
wilayah Indonesa melakukan berbagai cara untuk mengembalikan
kekuasaannya. Upaya Belanda tersebut mendapat resistensi kuat dari
rakyat Indonesia di berbagai daerah. Perlawanan rakyat itu menyebabkan
konflik selama lebih dari tiga tahun, sampai pengakuan kedaulatan
melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Desember 1949.
Selama konflik tersebut Republik Indonesia yang sudah diproklamirkan
kemerdekaannya hampir tinggal nama, karena hampir seluruh wilayah
Republik berhasil dikuasai kembali oleh Belanda. Saat itulah Aceh menjadi
“tumpuan harapan Republik”.
Sebagai satu-satunya wilayah Republik yang tidak pernah berhasil
dikuasai kembali oleh Belanda pasca Perang Dunia II, kecuali Sabang,
peran Aceh cukup sentral dalam periode ini. Aceh telah menjelma menjadi
benteng terakhir pertahanan Republik dari ancaman pasukan Belanda.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 187


Dengan kemerdekaan yang dimiliki, Aceh telah menjadi tumpuan hampir
segala harapan Republik dalam melanjutkan kehidupan berbangsa dan
bernegara yang masih “seumur jagung” tersebut. Asa ini mendapat
sambutan positif dari hampir seluruh rakyat Aceh. Mereka dengan sukarela
tetap setia bersama dan berkontribusi penuh terhadap Republik guna
mempertahankan proklamasi kemerdekaan. Dengan peran yang sangat
penting yang dimainkan oleh rakyat Aceh tersebut, maka tidak berlebihan
apabila Sukarno dalam pidatonya di Lapangan Esplanade (Lapangan
Blang Padang sekarang) di Kutaraja tahun 1948 memberi julukan Aceh
sebagai “Daerah Modal” bagi Republik. Bab ini akan membahas peran
Aceh sebagai Daerah Modal masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia.

Mempertahankan Wilayah Republik Pasca


Kekalahan Jepang

S etelah memerintah selama tiga tahun lebih, Jepang harus meninggalkan


Indonesia sebagai konsekuensi dari pernyataan menyerah kalah
terhadap Sekutu dalam Perang Pasifik. Belanda––yang merupakan bagian
dari Sekutu––berusaha menguasai kembali Indonesia yang ditinggalkan
oleh Jepang, namun terlambat karena rakyat Indonesia telah lebih
dulu memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus
1945. Akibatnya adalah terjadi peperangan dan pertempuran di mana-
mana antara pasukan Belanda dengan para pejuang Indonesia. Selama
periode yang lebih dikenal dengan masa revolusi kemerdekaan ini, Aceh
merupakan satu-satunya wilayah Republik Indonesia yang tidak dapat
dikuasai kembali oleh Belanda, kecuali Sabang. Meskipun demikian,
semangat dan gelora revolusi di daerah ini tidak kalah membaranya
dibandingkan dengan yang terjadi di belahan lain wilayah Indonesia. Para
pemuda Aceh secara beramai-ramai membentuk kelompok-kelompok
perjuangan dan mempersenjatai diri dengan merebut senjata dari Jepang.
Selain memperkuat pertahanan di seluruh wilayah Aceh, para pejuang
Aceh juga beramai-ramai ikut berjuang ke Front Medan Area di Sumatra
Timur (Sumatra Utara sekarang). Hal ini terus berlanjut sampai adanya

188 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


pengakuan kedaulatan kepada Republik Indonesia oleh Belanda dalam
KMB di Den Haag tahun 1949.
Antusiasnya rakyat Aceh menerima berita proklamasi kemerdekaan
Indonesia yang diproklamirkan Sukarno-Hatta di Jakarta pada tanggal 17
Agustus 1945, tidak terlepas dari tradisi anti-kolonialisme yang diwarisi
rakyat Aceh sejak Perang Belanda di Aceh akhir abad ke-19 yang masih
menggelora sampai masa awal kemerdekaan. Bagi rakyat Aceh, proklamasi
kemerdekaan Indonesia tersebut merupakan suatu kesempatan untuk
hidup bebas dari dominasi bangsa lain, terutama Belanda yang telah
mereka perangi sejak invasi pertamanya ke Aceh tahun 1873. Tingginya
semangat ingin hidup bebas ini pula yang menyebabkan rakyat Aceh
dengan sukarela berangkat ke Front Medan Area untuk berjuang bersama
rakyat Sumatra Timur masa revolusi kemerdekaan. Dengan bekal yang
dibawa masing-masing mereka bersama-sama menghadang lajunya
pasukan Belanda yang ingin membangun kembali hegemoninya. Para
pejuang Aceh yang ikut berjuang di Front Medan Area harus berkorban
apa saja yang dipunyainya demi membela Tanah Air dari kembalinya
penjajahan Belanda. Selain harta benda dan bekal yang dibawa, mereka
juga harus meninggalkan keluarga yang sangat dicintainya.
Antusiasme rakyat Aceh menerima berita proklamasi kemerdekaan
Indonesia karena proklamasi mereka anggap sebagai sebuah harapan
hidup bebas (merdeka) dari kolonialisme yang sudah di depan mata,
sehingga perlu dipertahankan. Dengan kemerdekaan tersebut diharapkan
akan dapat dibangun kehidupan yang lebih baik dan sejahtera bersama
masyarakat lain dalam wilayah Republik Indonesia (imagine community).1
Faktor inilah yang semakin memperkokoh keyakinan sebagian besar rakyat
Aceh menyambut baik berita proklamasi kemerdekaan Indonesia dan ikut
terlibat penuh di dalamnya. Perasaan rakyat Aceh terhadap kemerdekaan
Indonesia dapat dilihat dari puisi karya Abdullah Arif berikut:
Aku bermadah sekali ini. Memoedja noesa Tanah Airkoe,
Djiwa Merdeka bebas bernjanji, Tjoerahan hati tidak terganggoe.

1 Benedict Anderson, Imagine Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang (Terj. Omi Intan Naomi),
(Yogyakarta: INSIST Press dan Pustaka Pelajar, 2008).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 189


Indonesia merdeka pasti. Rantai pendjadjah lenjap menghilang,
Merah Poetih bendera soetji. Berkibar djaja dipontjak tiang

Akoe sedia berkoeah darah. Badankoe rebah djatoeh keboemi,


Niat dihati tidak berobah. Dari terdjadjah baiklah mati!

Kasad dan tjita telah berpadoe. Hendak berdjoeang menentang mati,


Oentoek berbakti kepada Iboe. Semangat sjahid penoeh dihati.
(Abdullah Arif)2
Puisi ini menggambarkan bagaimana sambutan rakyat Aceh terhadap
kemerdekaan Indonesia: kata “Iboe” bagi Indonesia dalam beberapa bait
puisi Abdullah Arif tahun 1945 tersebut, merupakan sebuah personifikasi
yang sangat suci dalam pandangan rakyat Aceh. Oleh karena itu, rakyat
Aceh ingin berjuang sampai titik darah penghabisan untuk berbakti pada
Indonesia (dua bait terakhir). Ungkapan yang terkandung dalam karya
sastra di atas menggambarkan bagaimana besarnya semangat rakyat Aceh
untuk terlibat dalam revolusi, karena proklamasi kemerdekaan Indonesia
telah menjadi harapan baru bagi rakyat Aceh untuk dapat hidup bebas
dari kolonialisme yang sudah diperjuangkan dalam waktu yang panjang.

Memperkuat Pertahanan

Rakyat Aceh tidak mengetahui apa pun mengenai perkembangan di luar


daerah mereka sampai pesawat Nederland Indies Civil Administration (NICA)
menjatuhkan pamflet di beberapa tempat di Aceh pada 21 Agustus 1945
yang isinya tentang menyerahnya Jepang kepada Sekutu. Pamflet-pamflet
itu juga menyerukan kepada rakyat Aceh untuk tidak mengambil tindakan
apa pun terhadap Jepang.3 Meskipun demikian, tidak terhindarkan,

2 Puisi ini terdapat di back-cover buku Tgk. Isma’il Jakoeb, Soesoenan Indonesia Merdeka (Koetaradja:
Semangat Merdeka, 1945).
3 Sjamaun Gaharu, “Perebutan Kekuasaan dari Tangan Djepang”, dalam Modal Revolusi 45 (Kutaraja:
Komite Musjawarah Angkatan 45 Daerah Istimewa Atjeh, 1960), hlm. 28.

190 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


situasi segera berubah menjadi tegang. Akibatnya adalah Jepang yang
sebelumnya bungkam juga merasa khawatir kalau-kalau rakyat tidak mau
mematuhi seruan Belanda tersebut. Untuk mengantisipasi hal-hal yang
tidak diinginkan, maka Jepang mulai mengambil beberapa kebijakan
strategis pengamanan. Mulai tanggal 15 Agustus 1945 secara diam-diam
tentara Jepang di daerah ini telah diperintahkan untuk tidak meninggalkan
tangsi tanpa senjata, sementara surat kabar Atjeh Sinbun, kantor berita
Domei, dan stasiun radio Hosokyoku menghentikan kegiatan.4
Pengumuman tentang menyerahnya Jepang dimuat dalam Atjeh
Sinbun pada tanggal 22 Agustus 1945, meskipun beberapa orang Aceh
telah diberitahu lebih awal. Sehari sebelum pengumuman itu, pasukan
Giyugun dan Heiho telah dilucuti senjatanya dan dipulangkan kembali ke
kampung mereka masing-masing.5 Berita menyerahnya Jepang kepada
Sekutu tanggal 14 Agustus 1945 baru diumumkan oleh Residen, S. Lino,
pada tanggal 25 Agustus. Biasanya setiap pagi––sebelum masuk kantor––
semua pegawai Gunseibu yang terdiri atas pegawai-pegawai kantor
Kepolisian, Residen, Keuangan dan Kemakmuran melakukan taiso atau
senam pagi, namun pada hari itu tidak dilakukan. Semua pegawai diminta
untuk hadir di pekarangan tempat kediaman Residen untuk mendengarkan
suatu pengumuman. Melalui juru bahasa T. Eiri, Residen mengumumkan
secara ringkas bahwa Perang Asia Timur Raya telah berakhir. Jepang kini
bertanggung jawab kepada Sekutu dan selama masa tersebut ia berharap
supaya semua pegawai bangsa Indonesia melakukan tugasnya seperti
biasa. Ia tidak menyebut secara eksplisit tentang menyerahnya Jepang
tanpa syarat kepada Sekutu, dan tentang Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.6
Di lain pihak, Sekutu pada tanggal 29 Agustus 1945 mulai
mendaratkan pasukannya di Sabang, sementara pesawat-pesawat mereka

4 Nazaruddin Sjamsuddin, Revolusi di Serambi Mekkah: Perjuangan Kemerdekaan dan Pertarungan


Politik di Aceh 1945–1949 (Jakarta: UI Press, 1999), hlm. 77.
5 Anthony Reid, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1987), hlm. 312.
6 Abdullah Ali, et al., Sejarah Pejuangan Rakyat Aceh dalam Perang Kemerdekaan 1945–1949 (Banda
Aceh: Dinas P&K. D. I. Aceh, 1984), hlm. 165.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 191


sejak saat itu berkali-kali melintasi Kutaraja7 dan beberapa kota lainnya
dengan maksud menjatuhkan selebaran yang berisikan pernyataan
berakhirnya perang dan sekaligus rencana kedatangan mereka untuk
melucuti Jepang.8 Reaksi yang mencolok dari penyerahan Jepang ini ialah
rasa terkejut dan bingung disertai rasa lega dari beberapa kalangan rakyat
Aceh, karena malapetaka yang mengerikan ini sudah berakhir.9
Peristiwa yang terjadi begitu cepat tersebut cukup mengejutkan para
pemimpin Aceh, terutama mereka yang telah terlalu jauh bekerja sama
dengan Jepang. Kegalauan mereka kian bertambah dengan kedatangan
utusan Sekutu berkebangsaan Belanda, Mayor Knottenbelt, ke Kutaraja
pada awal Oktober 1945. Kedatangan Mayor Knottenbelt tersebut
menyebabkan sejumlah mantan Kolone F. Kikan berusaha melarikan diri
ke Semenanjung Melayu melalui Medan. Sebaliknya, para uleebalang yang
merasa sangat dirugikan oleh Pemerintahan Militer Jepang menyambut
baik kekalahan Jepang tersebut. Bahkan di Lhokseumawe dan Langsa
sempat dibentuk Comite van Ontvangst (Komite Penyambutan) karena
diperoleh kabar Belanda akan kembali memerintah.10
Berita resmi proklamasi kemerdekaan Indonesia baru diketahui
oleh rakyat Aceh tanggal 29 Agustus 1945, setelah Mr. T. M. Hasan
dan Dr. Amir tiba kembali di Medan dari Jakarta. Sejak saat itu berita
proklamasi tersebar dengan cepat ke seluruh pelosok Aceh.11 Meskipun
berita proklamasi itu agak terlambat sampai di Aceh, namun hal itu tidak
mengurangi dukungan rakyat Aceh terhadap berita tersebut. Malahan
yang terjadi justru sebaliknya, rakyat Aceh dengan antusias bersiap-siap
menyambut fajar baru yang mulai merekah itu.12

7 Sejak proklamasi kemerdekaan penyebutan Koetaradja berganti menjadi Kutaraja.


8 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh, Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1997), hlm. 114–115.
9 Anthony Reid, Perjuangan Rakyat…, (1987: 312).
10 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh…, (1997: 115).
11 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh…, (1997: 14).
12 Amran Zamzami, “Peranan Rakyat Aceh dalam Perang Kemerdekaan 1945–1949: Pengalaman
Seorang Prajurit dalam Medan Pertempuran”, dalam Para Pelaku, Kisah Perjuangan Mempertahankan
Daerah Modal Republik Indonesia Dari Serangan Belanda (Jakarta: Penerbit Beuna, 1992), hlm. 97.

192 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Gambar 4.1. Gubernur Sumatra T. Muhammad Hasan
Sumber: Repro TA Talsya, 1990 (Buku I), hlm. 45.

Dalam upaya menjaga ketenteraman masyarakat, tidak lama setelah


diterimanya berita resmi tentang proklamasi, dibentuk sistem pemerintahan
Republik Indonesia di Aceh. Teuku Nyak Arief diangkat menjadi Residen
Aceh pada 3 Oktober 1945 berdasarkan Ketetapan Gubernur Sumatra
No. 1/X tahun 1945. Selanjutnya disusul pula dengan sejumlah ketetapan
lain, seperti Ketetapan Gubernur tanggal 28 Desember 1945 No. 71,
tanggal 23 Februari 1946 No. 48, tanggal 11 Agustus 1946 No. 204,
dan lain-lain yang berhubungan dengan pembagian wilayah administrasi
Keresidenan Aceh, penunjukan kepala-kepala jawatan, asisten residen,
dan kepala-kepala wilayah (controleur) di seluruh daerah Aceh. Ketetapan
tersebut pada dasarnya merupakan pengesahan terhadap kebijakan yang
telah diambil sebelumnya oleh Teuku Nyak Arief beserta pemimpin Aceh
lainnya. Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari, Residen Teuku
Nyak Arief dibantu oleh Wakil Residen, Teuku Muhammad Ali Panglima

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 193


Polem dan Badan Eksekutif Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah Aceh
yang diketuai oleh Tuanku Mahmud (Wakil Ketua kemudian menjadi
Ketua KNI Daerah Aceh) dengan didampingi oleh anggota staf harian KNI
yang terdiri atas M. Husen, Teuku Hanafiah, S. M. Geudong, Hasan Basri,
dan M. Mochtar.13

Gambar 4.2. Residen Aceh Pertama, Teuku Nyak Arief


Sumber: Repro TA Talsya, 1990 (Buku I), hlm. 53.

Setelah terbentuknya sistem pemerintahan yang teratur, selanjutnya


mulai dibentuk organisasi-organisasi perjuangan dan kelasykaran rakyat.
Organisasi perjuangan pertama dibentuk pada bulan Oktober 1945
yaitu Angkatan Pemuda Indonesia (API) di Kutaraja yang dipimpin oleh
Syamaun Gaharu. Organisasi ini berkembang dengan sangat cepat dan
terbentuk cabangnya di seluruh Aceh. API selanjutnya berubah menjadi

13 T. Ibrahim Alfian dkk., Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh 1945–1949 (Banda Aceh:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Pengembangan Permuseuman Daerah Istimewa
Aceh, 1982), hlm. 40–41.

194 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Badan Keamanan Rakyat (BKR), lalu tanggal 1 Desember 1945 menjadi
Tentara Keselamatan Rakyat (TKR), dan selanjutnya tanggal 24 Januari
1946 menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) Divisi Sumatra.14
Selain BKR/TKR, organisasi-organisasi pertahanan dan keamanan
lainnya juga muncul. Barisan Pemuda Indonesia (BPI), pimpinan A. Hasjmy
dibentuk tanggal 6 Oktober 1945. Organisasi ini kemudian berubah
namanya menjadi Pemuda Republik Indonesia (PRI) pada 17 Oktober
1945. PRI memiliki pasukan bersenjata di bawah pimpinan Nyak Neh,
yang organisasi dan kepangkatan personelnya seperti organisasi dan
kepangkatan militer. Sayap militer PRI itu memiliki batalion istimewa yang
persenjataannya sangat lengkap hasil rampasan dari Jepang, bahkan
mempunyai persenjataan berat penangkis serangan udara, meriam pantai,
mortir dan lain-lain. Batalion ini kelak menjadi Batalion Pasukan Meriam
Ksatria Pesindo Divisi Rencong, yang bermarkas di Lhok Nga, Aceh Besar.
Selain API dan BPI, masih banyak organisasi kelasykaran di Aceh saat itu,
seperti Barisan Mujahidin pimpinan Tgk. M. Daud Beureueh, Barisan Paya
Bakong pimpinan Tgk. A. Husin Al Mujahid, Tentara Pelajar Republik
Indonesia (TPRI), dan Resimen Tentara Pelajar Islam Indonesia (RTPII), serta
kekuatan-kekuatan pertahanan lainnya yang memperkokoh Aceh dalam
mengawal proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.15
Organisasi-organisasi perjuangan dan kelasykaran tersebut
selanjutnya mempersenjatai diri, karena tersiar kabar akan hadirnya tentara
Sekutu di Aceh untuk melucuti senjata Jepang dan mengembalikan Jepang
ke negerinya. Oleh karena Jepang tidak mau menyerahkan persenjataan
yang ada pada mereka karena terikat janji dengan Sekutu, maka pelucutan
senjata Jepang pun harus dilakukan dengan perjuangan yang keras oleh
para pejuang. Perebutan senjata tersebut terjadi di beberapa tempat dan
menimbulkan banyak korban jiwa dari para pejuang Aceh.16 Dengan
berbekal senjata dari Jepang inilah para pejuang Aceh dapat memperkuat
pertahanan di wilayah Aceh dari kemungkinan serangan Belanda dan
juga mendukung para pejuang Aceh di Front Medan Area.

14 Abdullah Ali, et al. Sejarah Pejuangan…, (1984: 209).


15 Amran Zamzami, “Peranan Rakyat Aceh...”, (1992: 97). Lihat juga S. M. Amin. Kenang-Kenangan
dari Masa Lampau (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978), hlm. 95).
16 Amran Zamzami, “Peranan Rakyat Aceh…”, (1992: 99).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 195


Tidak lama setelah pendaratan pertama tentara Sekutu di Medan
di bawah pimpinan T. E. D. Kelly, semakin banyak pasukan Sekutu
yang mendarat secara bertahap untuk ditempatkan di seluruh wilayah
Sumatra. Untuk wilayah Aceh, Sekutu mengirim seorang wakilnya
yang berkebangsaan Belanda bernama Knottenbelt. Ia adalah anggota
salah satu unit Anglo Dutch Country Section (ADCS) Force 136 yang
berkedudukan di Kolombo, Sri Lanka. Oleh Supreme Allied Commander
South East Asia (SACSEA) Knottenbelt ditugaskan berangkat ke Aceh
sebagai wakil Sekutu dengan tiga tujuan, yaitu: pertama, agar segala
senjata perlengkapan perang Jepang tetap berada di dalam tangan
mereka, tidak jatuh ke dalam tangan rakyat; kedua, untuk menjaga
agar keamanan tetap terpelihara; dan terakhir, memberi laporan kepada
atasannya mengenai keadaan militer, politik, dan ekonomi.17
Kisah perjalanan Knottenbelt ke Aceh dimuat dalam majalah Vrij
Nederland yang terbit di London tanggal 19 Januari 1946, Th. VI No. 26
dengan judul “Contact Met Atjeh”. Dalam tulisan tersebut diceritakan
bahwa setelah mendarat di Medan pada 1 Oktober 1945, bersama dengan
seorang Kapten Inggris dan Letnan Belanda, dia segera menghubungi
orang-orang Jepang untuk menyediakan transportasi bagi kelompoknya
yang akan berangkat ke Kutaraja. Turut bergabung dalam rombongan
Knottenbelt, seorang bintara dari Korp Marinir Belanda, seorang Indonesia,
dua orang sinder, dan beberapa pemuda yang pandai mengemudi dan
mengurusi kendaraan. Sebagian besar rombongan berangkat pada 4
Oktober 1945, sedangkan Knottenbelt dan bintara berangkat keesokan
hari dengan pesawat pembom ringan Jepang. Setelah mendarat di
lapangan terbang Lhok Nga, Aceh Besar, mereka langsung dibawa ke
Kutaraja dan ditempatkan dalam sebuah gedung yang representatif, yang
di atasnya dipasang bendera Inggris.
Langkah pertama yang dilakukan oleh Knottenbelt di Aceh adalah
bertemu dengan Residen Aceh, Teuku Nyak Arief. Dengan perantara
seorang Cina peranakan, Goh Moh Wan, yang di masa pendudukan
Jepang menjadi juru bahasa Kempeitai, Knottenbelt berhasil bertemu

17 M. Nur El Ibrahimy, Mata Rantai yang Hilang: Dari Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di
Aceh (Jakarta: Diterbitkan Sendiri, 1996), hlm. 8–9.

196 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


dengan Teuku Nyak Arief pada 15 Oktober 1945. Dalam pertemuan yang
diliputi oleh suasana ketegangan, Teuku Nyak Arief sambil mengepalkan
tangannya dengan nada keras menegaskan, bahwa “… hij graag met
de Geallieerden samen werken maar niet met Hollanders. Hij is vol van
de Hollanders, van de Hollandse regering, de Hollandse bestuurders -
die verwaande zwijnen - van het ellendige Hollandse leger.” (“ia suka
bekerja sama dengan Sekutu, tetapi tidak dengan orang-orang Belanda,
Penguasa-penguasa Belanda - babi-babi sombong tentara Belanda yang
keparat.”) Selanjutnya Teuku Nyak Arief menegaskan lagi bahwa masalah
pelucutan senjata Jepang menjadi tanggungannya. Oleh karena itu,
tentara Sekutu tidak ada gunanya datang ke Aceh.18
Selain bertemu Residen Aceh, dalam kunjungan itu Knottenbelt
sempat pula bertemu dengan beberapa tokoh pemimpin Aceh lainnya,
seperti Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah Aceh, Tuanku Mahmud,
namun pertemuan-pertemuan tersebut lebih banyak menemui kegagalan,
bahkan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh utusan SACSEA
itu lebih memperuncing suasana di Aceh.19 Setelah rakyat mengetahui
bahwa Knottenbelt adalah orang Belanda, maka keadaan di Kutaraja
menjadi tegang. Untuk mengantisipasi keadaan tersebut Knottenbelt
memerintahkan para pembantunya kembali lebih dahulu ke Medan
melalui Sabang. Ia sendiri tetap di tempat bersama seorang sinder, seorang
Tionghoa, dan seorang pelayan dan baru kembali setelah itu melalui jalan
darat.20 Perjalanan pulang pasukan Sekutu ke Medan yang dikawal oleh
pasukan Jepang terjadi dalam suasana yang sangat menegangkan. Hal
ini tergambar dalam memoar yang ditulis seorang komandan pasukan
Jepang yang ikut mengawal rombongan Sekutu, Moeda Chui, yang
dikutip Anthony Reid. Satuan Sekutu itu beruntung bisa mencapai Medan,
karena Moeda Chui dan kesatuannya telah sepakat, jika ada serangan dari
orang Aceh maka pertama-tama mereka akan membunuh Knottenbelt
dan kemudian menggabungkan diri dalam perlawanan Indonesia.21

18 Vrij Nederland Th. VI No. 26, January 19, 1946.


19 T. Ibrahim Alfian dkk., Revolusi Kemerdekaan Indonesia…, (1982: 61–62).
20 M. Nur El Ibrahimy, Mata Rantai yang Hilang…, (1996: 8-9).
21 Anthony Reid, Perjuangan Rakyat…, (1987: 349).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 197


Setelah misi Knottenbelt mengalami kegagalan, tidak ada lagi utusan
khusus Sekutu yang dikirim ke Aceh. Selanjutnya Sekutu memberi mandat
kepada Goh Moh Wan untuk menjadi petugas penghubung antara Sekutu
dengan para pemimpin Aceh. Dengan tugasnya ini membuat Goh Moh
Wan sering bolak-balik antara Kutaraja dan Medan, sehingga membuat
para pemuda Indonesia mencurigainya. Akibatnya, tidak lama kemudian
dia terbunuh di Medan.
Walaupun tidak ada wakil resminya di Aceh, tidak berarti Sekutu
berdiam diri terhadap situasi yang terjadi di Aceh. Gencarnya pelucutan
senjata Jepang oleh rakyat Aceh telah membuat Sekutu khawatir.
Untuk itu pimpinan Sekutu di Medan, T. E. D. Kelly menginstruksikan
pada tentara Jepang untuk tidak meninggalkan sepucuk senjata pun
di Aceh. Senjata-senjata yang telah diserahkan Jepang kepada rakyat
Aceh diperintahkan untuk direbut kembali. Untuk menjalankan instruksi
tersebut, terjadilah pergerakan balik tentara Jepang di beberapa tempat
strategis pertahanan rakyat Aceh. Pada 15 Desember 1945, tentara
Jepang yang berada di Blang Bintang22 mulai bergerak menuju Ulee
Lheue. Gerakan militer Jepang ini dilakukan pada malam hari dengan
memutuskan hubungan telepon ke segala arah. Pasukan Jepang yang
sudah bersiaga meninggalkan Aceh tersebut––karena kapal Sekutu yang
disiapkan mengangkut mereka sudah memasuki perairan Ulee Lheue––
bergerak masuk ke Kutaraja dengan kendaraan lapis baja. Mereka
mengepung asrama Kuta Alam yang sudah beralih fungsi menjadi Markas
Daerah API/TKR. Mereka menyerbu dan menangkap para perwira API/TKR
yang baru saja melakukan apel pagi. Delapan belas perwira API/TKR yang
ditangkap, antara lain T. Hamid Azwar, Syamaun Gaharu, Said Abdullah,
T. Muhammad Syah, Husin Yusuf, Jaffar Hanafiah, dan T. Hamzah.
Pasukan Jepang membawa mereka ke Ulee Lheue dengan kendaraan
lapis baja dan kemudian ditempatkan sebagai tawanan dalam motor-
motor boat yang sedang diperbaiki di ujung jembatan dekat jalan masuk
ke Pelabuhan Ulee Lheue. Selama dalam tawanan mereka diancam oleh

22 Pasukan Jepang yang belum sempat dilucuti oleh pejuang Aceh dikonsentrasikan di Blang Bintang
untuk kemudian diberangkatkan menuju Ulee Lheue dengan persenjataan lengkap yang selanjutnya
dijemput oleh kapal Sekutu.

198 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Jepang agar menyerahkan kembali semua senjata hasil rampasan. Apabila
tidak dilaksanakan, maka mereka akan diserahkan kepada Sekutu.23

Gambar 4.3. Tugu Proklamasi di Banda Aceh


Sumber: ANRI, Koleksi Foto Kementerian Penerangan Aceh

Selain menangkap para pimpinan API/TKR, tentara Jepang juga


berusaha mendapatkan kembali senjata mereka yang sudah direbut para
pejuang Aceh lainnya. Mereka juga mengepung tempat penyimpanan
perlengkapan senjata di dalam asrama dan gudang senjata yang terletak
di jalan stasiun, namun yang ditemukan hanya senjata rongsokan. Kepala
Persenjataan API/TKR, Said Ali, sudah terlebih dahulu memindahkan
gudang persenjataan setelah mengetahui gerak-gerik tentara Jepang di
Blang Bintang yang mencurigakan.

23 T. Zainal Abidin, “Kisah Perjuangan Memperjuangkan Daerah Modal”, dalam Kisah Perjuangan
Mempertahankan Daerah Modal Republik Indonesia Dari Serangan Belanda, oleh Para Pelaku
(Jakarta: Penerbit Beuna, 1992), hlm. 157.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 199


Tindakan penyergapan yang dilakukan tentara Jepang tersebut telah
memancing amarah para pejuang Aceh. Dengan persenjataan yang dimiliki
para pejuang Aceh bergerak dari beberapa daerah ke Kutaraja. Mereka
mendatangi kantor Residen Teuku Nyak Arief untuk melancarkan protes
atas tindakan Jepang tersebut dan menuntut agar para perwira API/TKR
yang ditawan Jepang segera dibebaskan. Mereka menunggu komando
dari Teuku Nyak Arief untuk tindakan selanjutnya. Di depan massa yang
berteriak-teriak penuh emosi, Teuku Nyak Arief dengan suaranya yang
lantang dan tegas berpidato menenangkan rakyat. Dalam pidatonya dia
berkata: “Berikan waktu kepadaku selama 3x24 jam. Sebelum sampai
waktu 3x24 jam kalian boleh mengepung dan memblokir pasukan
Jepang, tapi awas... jangan mengambil tindakan apa-apa. Lewat waktu
3x24 jam, serbulah pasukan Jepang dan bunuhlah mereka.”24 Pidato
Teuku Nyak Arief tersebut benar-benar dapat meyakinkan rakyat Aceh
sehingga kekerasan dapat dihindari.
Selesai berbicara menenangkan rakyat, Teuku Nyak Arief
mempersiapkan strategi untuk menggerakkan pasukan API/TKR, polisi
istimewa, dan barisan-barisan rakyat yang dipersenjatai. Di samping itu
dia juga mengirim ultimatum kepada tentara Jepang di Ulee Lheue yang
berbunyi: “Semua perwira API/TKR yang ditahan Jepang agar dikembalikan
dalam keadaan selamat dalam waktu 3x24 jam. Kalau tidak dilaksanakan,
maka rakyat dan Pemerintah Republik Indonesia akan mengambil
tindakan.”25 Ultimatum itu dikirim melalui T. M. Ali Panglima Polem yang
seterusnya menjadi penghubung, sedangkan komando operasi langsung
dipegang oleh Teuku Nyak Arief.
Ultimatum tersebut ternyata cukup efektif. Melihat massa rakyat
dalam jumah cukup banyak yang penuh emosi membuat Jepang tidak
berani mengabaikan ultimatum yang dikirim Teuku Nyak Arief. Sebelum
melewati waktu 3x24 jam hampir semua tawanan telah dibebaskan oleh
Jepang, kecuali Komandan API/TKR, Syamaun Gaharu, dan T. Muhammad

24 A. K. Jakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945–1949 dan


Peranan Teuku Hamid Azwar Sebagai Pejuang (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm.
190.
25 A. K. Jakobi, Aceh Dalam Perang…, (2004: 190).

200 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Syah yang tetap ditahan sebagai sandera dan baru dilepaskan kemudian.
Pada 18 Desember 1945 semua tentara Jepang dan pembesar sipilnya
berangkat dengan kapal laut meninggalkan daerah Aceh melalui
Pelabuhan Ulee Lheue.26
Selain di Kutaraja, pasukan Jepang yang terkonsentrasi di
Lhokseumawe yang sudah berkemas-kemas dikonsolidasikan menjadi
dua batalion tempur diperintahkan untuk menduduki kembali Kota
Bireuen dan tempat-tempat strategis lainnya untuk merampas kembali
senjata yang sudah jatuh ke tangan para pejuang Aceh. Kabar kembalinya
Jepang disampaikan oleh Kapten Teuku Hamzah kepada Komandan
Wakil Markas Daerah III, T. M. Daud yang sedang sakit di Samalanga.
Berdasarkan laporan ini T. M. Daud menginstruksikan kepada Teuku
Hamzah untuk mengorganisir pasukan API/TKR dan lasykar pejuang
untuk menghadang tentara Jepang. Penghadangan terhadap pergerakan
tentara Jepang tersebut akan dilakukan di Krueng Panjoe.
Dipilihnya Krueng Panjoe sebagai tempat penghadangan
tentara Jepang yang berjumlah 1.000 orang dan bersenjata lengkap
itu berdasarkan pertimbangan karena lokasi itu sangat cocok untuk
mengadakan pengepungan. Krueng Panjoe dilintasi oleh kereta api,
dan tentara Jepang diperkirakan diangkut dengan kereta api. Selain itu,
Krueng Panjoe berada di daerah persawahan yang di sekitarnya terdapat
tanggul besar untuk mengairi areal persawahan penduduk yang dapat
dipergunakan untuk benteng pertahanan. Kontak dengan Lhokseumawe
terus dilakukan secara teratur untuk memantau apakah kereta api yang
membawa pasukan Jepang sudah mulai bergerak.
Pada tanggal 24 November 1945 pukul 12.30 siang kereta api yang
membawa satu batalion tentara Jepang meluncur memasuki daerah
sasaran. Masinisnya yang orang Indonesia segera melompat meninggalkan
kereta setelah melihat kereta api yang dikemudikannya menjadi sasaran
tembak para pejuang di Kampung Pante Gajah. Serdadu Jepang yang
menyadari situasi, segera melepaskan tembakan kepada masinis
yang kabur namun tidak kena karena terlindungi oleh pinggiran parit.

26 T. Zainal Abidin, “Kisah Perjuangan...”, (1992: 158).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 201


Bersamaan dengan itu, para pejuang mulai menghujani gerbong dengan
tembakan gencar sehingga membuat serdadu Jepang kebingungan. Saat
tentara Jepang kebingungan, para pejuang Aceh mulai merusak rel kereta
api bagian belakang agar kereta api tidak bisa jalan, sedangkan rel yang di
depan sudah dirusak sebelumnya.
Pertempuran berkobar sepanjang siang dan malam selama tiga
hari dan mengakibatkan banyak jatuh korban pada kedua belah pihak.
Pasukan lasykar rakyat yang mendapat bantuan dari pasukan API/
TKR terus mengepung serdadu Jepang yang terkurung dalam sembilan
gerbong penumpang dan tiga gerbong barang. Para pejuang mendapat
dukungan konsumsi nasi bungkus dan air minum dari rakyat kampung
di sekitarnya. Semakin hari semakin banyak rakyat yang ikut mengepung
tentara Jepang. Melihat keadaan yang semakin tidak menguntungkan itu
akhirnya pada sekitar pukul 12.50 hari ketiga tiba-tiba tentara Jepang
mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Pengibaran bendera
itu disambut gemuruh takbir “Allahu Akbar” dari rakyat yang telah
menunggu lama.27
Selain di Aceh Utara––dalam waktu yang hampir bersamaan––
Jepang yang sudah meninggalkan Langsa, Aceh Timur, dan sudah berada
di Sumatra Timur juga diperintahkan Sekutu kembali ke Aceh Timur
untuk merebut kembali senjata dari tangan pejuang. Tujuan tentara
Jepang pertama-tama adalah menduduki kembali Kota Langsa dan Kuala
Simpang. Untuk membendung serangan tentara Jepang itu pihak API/
TKR mendatangkan pasukan tambahan dari Kutaraja, Bireuen, Takengon,
Lhokseumawe, dan Lhok Sukon, sedangkan TKR dan Lasykar Rakyat yang
berada di Aceh Timur sebagian besar dipusatkan di sekitar Kota Langsa.
Pertempuran sengit antara tentara Jepang dengan para pejuang
Aceh yang sudah menunggu tidak terhindarkan, seperti yang terjadi di
Kampung Durian dan Kampung Ketupak pada tanggal 24 Desember
1945, dan di Kampung Upak dan Bukit Meutuah 26 Desember 1945,
yang menyebabkan pasukan Jepang terpaksa mundur kembali ke Kuala
Simpang. Setelah pertempuran berlangsung selama hampir satu bulan

27 T. Zainal Abidin, “Kisah Perjuangan...”, (1992: 198).

202 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


dan menelan korban yang banyak pada kedua belah pihak, maka pada
tanggal 20 Januari 1946 pasukan TKR bersama Lasykar Rakyat berhasil
memukul mundur tentara Jepang kembali ke Medan. Kekalahan tersebut
merupakan pukulan berat tidak saja bagi tentara Jepang tetapi juga bagi
Sekutu sendiri. Sebaliknya, kekalahan tersebut telah semakin menaikkan
semangat para pejuang Aceh untuk mempertahankan daerahnya dari
setiap kemungkinan masuknya semua unsur luar yang ingin menduduki
kembali Aceh.28

Peristiwa Cumbok dan Dampaknya

Keadaan yang berubah sangat cepat setelah kekalahan Jepang pada Sekutu
dalam Perang Asia Timur Raya telah berpengaruh terhadap banyak aspek
kehidupan masyarakat, terutama di Aceh. Dalam situasi seperti itu, masa
awal kemerdekaan di Aceh terjadi konflik antara kelompok yang dimotori
oleh Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dengan kelompok uleebalang
(bangsawan) di wilayah Pidie. Konflik tersebut dikenal dengan Peristiwa
Cumbok karena kelompok uleebalang dipimpin oleh Teuku Muhammad
Daud Cumbok yang bermarkas di daerah Cumbok, Lameuloe, Pidie.29
Selain dilatarbelakangi oleh faktor historis persaingan antara kedua
kelompok jauh sebelum revolusi, pemicu utama peristiwa tersebut adalah
terjadinya perbedaan interpretasi dari kedua kelompok terhadap situasi
yang berubah dengan sangat cepat di Aceh pasca kekalahan Jepang.
Informasi kekalahan Jepang terhadap Sekutu yang datang tiba-tiba
telah mengejutkan para pemimpin Aceh, yang menyebabkan masing-
masing kelompok mengambil sikap berdasarkan interpretasi masing-
masing terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian. Kelompok
yang menjadi kolaborator Jepang, terutama kelompok PUSA dan sebagian
uleebalang seperti Teuku Nyak Arief, T. M. Ali Panglima Polem merasa sangat
khawatir kalau Belanda kembali ke Aceh, sehingga kelompok ini sangat

28 Abdullah Ali, et al. Sejarah Pejuangan…, (1984: 228–229).


29 T. Ibrahim Alfian, Revolusi Kemerdekaan…, (1982: 68).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 203


mendukung proklamasi dan ikut terlibat penuh mempertahankannya.
Sebaliknya, sebagian besar uleebalang yang sangat dirugikan oleh Jepang
menyambut baik kekalahan Jepang dan berharap kedatangan kembali
Belanda, karena status mereka sebagai penguasa wilayah di Aceh akan
terjamin. Alasan inilah yang menyebabkan kelompok uleebalang banyak
yang tidak tertarik dengan berita proklamasi. Kedatangan wakil Sekutu
yang berkebangsaan Belanda, Mayor Knottenbelt, ke Aceh pada awal
Oktober telah memperkuat keyakinan kelompok ini bahwa Belanda akan
kembali sehingga mereka merasa kegirangan. Saat diperoleh kabar bahwa
Belanda akan kembali ke Aceh, sebagian mereka sempat membentuk
Comite van Ontvangst (Panitia Penyambutan).30
Tindakan kelompok uleebalang ini dianggap oleh golongan PUSA
dan massa rakyat sebagai tindakan menentang Republik sehingga
perlu diberantas. Implikasinya adalah terjadi ketegangan yang akhirnya
mengakibatkan pecah konflik terbuka antara kedua kelompok di
wilayah Pidie sejak awal Desember 1945. Konflik ini berlangsung sampai
pertengahan Januari 1946. Konflik ini dimenangkan oleh kelompok PUSA
yang didukung oleh milisi massa rakyat dan TKR. Kekalahan kelompok
uleebalang menurut T. Ibrahim Alfian disebabkan oleh empat faktor,
yaitu: pertama, gerakan Cumbok hanya terbatas pada beberapa daerah
ke-uleebalang-an yang memiliki solidaritas dengan Teuku Daud Cumbok
dan kurang mendapat dukungan dari uleebalang lain di Aceh; kedua,
kelihaian dan kepintaran kelompok massa rakyat memanfaatkan simbol-
simbol keagamaan dan kemerdekaan untuk menarik pengaruh dari rakyat
Aceh; ketiga, keberhasilan para elite kelasykaran rakyat memengaruhi
pendapat umum di Keresidenan Aceh; dan terakhir, keberhasilan mereka
merangkul pihak pemerintah daerah, baik sipil maupun militer.31
Setelah berakhirnya Peristiwa Cumbok, atmosfer permusuhan
terhadap uleebalang benar-benar menyelimuti perpolitikan di Aceh.
Situasi inilah yang mempercepat terjadinya revolusi sosial yang digerakkan

30 Insider, Atjeh Sepintas Lalu (Jakarta: Archapada, 1950), hlm. 5. M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh…,
(1997: 115– 16).
31 T. Ibrahim Alfian, Revolusi Kemerdekaan..., (1982: 75–76).

204 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


oleh Ketua Pemuda PUSA, Tgk. Amir Husin Al Mujahid. Bersama wadah
militer bentukannya yang diberi nama Tentara Perjuangan Rakyat (TPR),
Tgk. Amir Husin Al Mujahid bergerak dari Idi, Aceh Timur, pada akhir
Februari 1946 ke arah barat menuju Kutaraja untuk melucuti dan
membersihkan semua uleebalang yang ada di sepanjang wilayah yang
dilewatinya. Teuku Nyak Arief sendiri menjadi korban dari gerakan TPR
ini. Ia ditangkap dan diasingkan ke Takengon, Aceh Tengah, sampai ia
meninggal tidak lama kemudian. Jabatan militer (Jenderal Mayor) milik
Teuku Nyak Arief kemudian diambil alih oleh Tgk. Amir Husin Al Mujahid
dan menempatkan dirinya menjadi pimpinan militer berpengaruh di Aceh.
Gerakan Tgk. Amir Husin Al Mujahid ini menyebabkan berakhirnya masa
kekuasaan uleebalang di Aceh, dan wilayah kekuasaan turun-temurun
uleebalang kemudian dijadikan kabupaten dan kecamatan.
Dengan berakhirnya kekuasaan uleebalang telah menjadikan
pengaruh kelompok PUSA semakin kuat di Aceh. Kondisi ini telah
mengubah jalannya revolusi kemerdekaan Indonesia di Aceh. Revolusi
sosial di Aceh telah menghilangkan 102 “swa-pemerintahan” kecil yang
sebelumnya menjadi andalan Belanda.32 Sejak saat itu jalannya revolusi
kemerdekaan di Aceh menjadi satu arah, sepenuhnya berada di bawah
kendali PUSA yang diketuai oleh Tgk. M. Daud Beureueh. Pengaruh Tgk.
M. Daud Beureueh semakin kuat dengan pengangkatannya sebagai
Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo.33 Dengan jabatan
tersebut peran Tgk. M. Daud Beureueh semakin menentukan dalam
keberlanjutan revolusi di Aceh dan Sumatra Timur.

32 Anthony Reid, Indonesia, Revolusi, & Sejumlah Isu Penting (Jakarta: Prenada Media, 2018), hlm. 267.
33 Pengangkatan tersebut sesuai dengan Surat Keputusan Wakil Presiden Republik Indonesia Nomor 3/
BPKU/47 Tanggal 26 Agustus 1947 Tentang Pembentukan Daerah Militer Aceh, Langkat, dan Tanah
Karo, dan Surat Keputusan Wakil Presiden Republik Indonesia Nomor 4/WKP/SUM/47 Tanggal 26
Agustus 1947 Tentang Penunjukan Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer
dengan pangkat Mayor Jenderal S. M. Amin, Kenang-Kenangan…, (1978: 40).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 205


Gambar 4.4. (a) Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, Tgk. M. Daud
Beureueh, sedang duduk di depan kantor Gubernur, 31 Desember 1949; (b) Tgk. M.
Daud Beureueh sedang memimpin suatu rapat.
Sumber: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA)

Berjuang di Front Medan Area

Pendaratan pertama pasukan Sekutu (Inggris) di Sumatra Timur di bawah


pimpinan Brigadir Jenderal T. E. D. Kelly dilakukan pada 9 Oktober 1945
dengan kekuatan satu brigade, yaitu Brigade ke-4 dari Divisi India ke-26.
Dalam rombongan tersebut juga ikut membonceng orang-orang NICA yang
dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan. Untuk menghormati
tugas pasukan Sekutu melucuti pasukan Jepang dan membebaskan
tawanan perang, sikap Pemerintah Republik Indonesia di Sumatra sangat
jelas, yaitu memperkenankan mereka menempati beberapa hotel di Kota
Medan, seperti Hotel de Boer, Grand Hotel, Hotel Astoria, dan lain-lain.
Sebagian dari mereka kemudian ditempatkan di Binjai, Tanjung Morawa,
dan beberapa tempat lain dengan memasang tenda-tenda lapangan.34
Atas persetujuan Gubernur Sumatra, Mr. Teuku Muhammad Hasan,

34 Biro Sejarah Prima, Medan Area Mengisi Proklamasi (Medan: Badan Musyawarah Pejuang RI Medan
Area, 1976), hlm. 240.

206 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Tim RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internees)35 telah
mendatangi kamp-kamp tawanan di Pulu Brayan, Saentis, Rantau Prapat,
Pematang Siantar, dan Berastagi untuk membantu membebaskan para
tawanan dan dikirim ke Medan. Tidak lama setelah para tawanan itu
dibebaskan, dibentuk “Medan batalion KNIL”. Dengan pembentukan
pasukan ini, segera tampak perubahan sikap dari para tawanan tersebut
karena menganggap diri sebagai “pemenang” dalam perang. Sikap ini
telah memancing emosi para pemuda Indonesia, sehingga terjadinya
berbagai insiden antara kedua kelompok.36
Insiden pertama terjadi pada 13 Oktober 1945 di hotel di Jalan Bali,
Medan, yang dipicu oleh ulah seorang penghuni hotel yang merampas
dan menginjak-injak lencana merah putih yang dipakai oleh seseorang
yang ditemuinya. Berita tersebut tersebar luas dengan cepat di kalangan
pemuda, sehingga hotel tersebut diserang dan dirusak oleh massa.
Akibatnya telah jatuh korban 96 orang luka-luka, yang sebagian besar
adalah orang-orang NICA. Insiden tersebut kemudian menjalar ke
beberapa kota lainnya, seperti Pematang Siantar dan Berastagi.37
Setelah terjadinya insiden tersebut, ditambah lagi dengan ultimatum
pihak Sekutu yang dikeluarkan oleh Brigadir Jenderal T. E. D. Kelly pada 18
Oktober 1945 kepada pemuda Kota Medan untuk menyerahkan senjata
mereka kepada pihak Sekutu, rasa tidak percaya para pemuda terhadap
Sekutu semakin kuat. Aksi-aksi teror yang dilakukan pasukan Sekutu telah
menyebabkan terjadinya permusuhan di kalangan pemuda. Sebaliknya,
sejak saat itu tentara NICA merasa memperoleh dukungan dari pihak
Inggris. Patroli-patroli Inggris ke luar Kota Medan tidak pernah merasa
aman karena keselamatan mereka tidak dijamin oleh Pemerintah RI.
Meningkatnya korban di pihak Inggris menyebabkan mereka
memperkuat kedudukannya dan menentukan sendiri secara sepihak batas

35 RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internees), merupakan organisasi militer yang
dibentuk oleh Sekutu di bawah pimpinan Laksamana Lord Mountbatten yang bertugas untuk
melaksanakan evakuasi terhadap tawanan perang di wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia.
36 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Balai Pustaka, 1993), hlm. 119.
37 Biro Sejarah Prima, Medan Area…, (1976: 212).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 207


kekuasaannya. Pada 1 Desember 1945, pihak Sekutu memasang papan-
papan yang bertuliskan “Fixes Boundaries Medan Area” di pelbagai sudut
Kota Medan. Sejak saat itu istilah Medan Area menjadi terkenal. Tindakan
Inggris tersebut menjadi tantangan bagi para pemuda. Setelah itu, pihak
Inggris bersama dengan NICA melakukan aksi “pembersihan” terhadap
unsur-unsur Republik yang berada di Kota Medan. Aksi tersebut dibalas
oleh para pemuda sehingga daerah tersebut menjadi tidak aman.38 Pada
bulan April 1946 tentara Inggris mulai berusaha mendesak Pemerintah RI
ke luar Kota Medan. Akibatnya, Gubernur, Markas Divisi TKR, Walikota
terpaksa pindah ke Pematang Siantar. Dengan demikian Inggris berhasil
menguasai Kota Medan.39
Keberhasilan Inggris dan Belanda menguasai kembali wilayah
Sumatra Timur telah membuat rakyat Aceh khawatir bahwa selanjutnya
Belanda akan menguasai Aceh. Apalagi ketika itu terdengar kabar bahwa
Belanda, melalui Komandan Sekutu di Medan, Brigjen T. E. D. Kelly,
berusaha keras untuk kembali memasuki Aceh dan menguasai jalan raya
dan jalan kereta api yang menghubungkan Aceh dengan Sumatra Timur.
Di samping itu, T. E. D. Kelly juga berkeinginan untuk merebut kembali
senjata api Jepang yang telah jatuh ke tangan pejuang Aceh, dan daerah
Aceh akan digunakan sebagai tempat menghimpun dan mempersiapkan
pengadaan bahan makanan.40
Hal itu sangat beralasan mengingat sejak bulan Oktober 1945
wilayah Aceh seperti di Lhok Nga, Ulee Lheue, dan Kutaraja mendapat
serangan, baik dari laut maupun dari udara oleh pesawat-pesawat tempur
dan kapal-kapal perang Belanda yang berkedudukan di Sabang.41 Oleh
karena itu, rakyat Aceh sepakat untuk memperkuat perbatasan sekaligus
ikut menyerang pasukan Belanda di Sumatra Timur dalam rangka
memperlemah kekuatan mereka. Dengan pertimbangan itu dikirimlah
pasukan-pasukan bersenjata Aceh, baik dari pasukan TRI, Lasykar Pesindo,

38 Biro Sejarah Prima, Medan Area…, (1976: 255).


39 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasonal…, (1993: 121).
40 A. K. Jakobi, Aceh Dalam Perang…, (2004: 219).
41 T. Zainal Abidin, “Kisah Perjuangan…”, (1992: 159).

208 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Lasykar Mujahidin, maupun Lasykar-lasykar rakyat lainnya ke Sumatra
Timur. Lasykar bersenjata dari Aceh yang pertama sekali dikirim berasal dari
Langsa. Lasykar yang berjumlah lebih kurang 60 orang itu diperbantukan
pada Batalion Istimewa TRI Divisi V dan Pasukan Meriam. Selain pasukan
bersenjata resmi TRI juga dikirim kesatuan-kesatuan lasykar rakyat dari
Divisi Tgk. Chik Di Tiro, Divisi Rencong, Divisi Tgk. Chik Paya Bakong, dan
Detasemen Tentara Pelajar. Pasukan Aceh semakin banyak dikirim ke
Medan Area, terutama setelah Belanda melancarkan aksi militernya yang
pertama. Pasukan Aceh itu terdiri dari berbagai lapisan masyarakat dan
juga dari berbagai usia.42
Walaupun tahu bahwa Front Medan Area merupakan medan
pertempuran yang sangat angker dan tidak menyenangkan sama sekali,
namun tidak sedikit pun menyurutkan semangat para pejuang Aceh
untuk ikut serta. Kondisi Front Medan Area yang tidak menyenangkan
itu terlihat dari gambaran Hasan Saleh, yaitu “...terpencil dari masyarakat
ramai ditambah dengan segala serba kekurangan, ditambah lagi dengan
kondisi yang sangat mencekam. Di depan, lawan sedang mengintai dan
mengancam, ... di belakang dalam serba kelemahannya, makanan sama
sekali tidak bergizi, ... makan pagi bergeser ke tengah hari, lauknya pun
tetap sepuluh biji ikan teri, obat-obatan sangat kurang, ... pakaian di
badan yang sudah robek di sana-sini, ... Semuanya dianggap: perjuangan
untuk membela Ibu Pertiwi.”43 Pengalaman yang ditulis dalam memoarnya
oleh Hasan Saleh tersebut memberi gambaran bagaimana kondisi yang
sangat tidak menyenangkan dialami oleh pejuang Aceh yang ikut dalam
front Medan Area.
Para pejuang Aceh yang ikut bertempur di front Medan Area
harus berkorban apa saja yang dipunyainya demi membela Tanah
Air dari kembalinya penjajahan Belanda. Selain harta benda dan bekal
yang dibawa, mereka juga harus mengorbankan keluarga yang sangat
dicintainya. Malahan ada yang baru sebulan menikah harus meninggalkan
pasangannya pergi menantang maut untuk bertempur di front Medan

42 Abdullah Ali, et al. Sejarah Pejuangan…, (1984: 272).


43 Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), hlm. 18.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 209


Area dengan taruhan nyawa. Namun demikian, mereka tidak pernah
merasa menyesal dengan pengorbanan yang mereka berikan saat itu.
Hal itu sebagaimana tercermin dari kejadian yang dialami oleh Nukum
Sanany sebagaimana diceritakan dalam memoarnya, yaitu “Baru sebulan
aku meneguk madu perkawinan, datang panggilan dari Komandan
Divisi V Kolonel Husin Yusuf agar menghadapnya di Langsa. Tanggal 4
November 1946, bersama Komandan Batalion IX Resimen II Divisi V Letnan
I Alamsyah, aku menghadap dan memperoleh perintah lisan dari Kolonel
Husin Yusuf agar mempersiapkan pasukan untuk berangkat ke Binjai, dan
selanjutnya menyerbu Belanda yang sudah mulai bercokol menggantikan
tentara Sekutu di Medan.”44
Oleh karena semakin banyaknya pasukan Aceh yang diterjunkan ke
front Medan Area, maka kemudian diperlukan adanya suatu koordinasi
untuk menyatukan langkah perjuangan. Untuk tujuan itu dibentuklah
suatu badan yang diberi nama Resimen Istimewa Medan Area (RIMA).
Resimen ini terdiri atas 4 Batalion Rima, yaitu Batalion Wiji Alfisah, Batalion
Batery Artileri Divisi Rencong, Kesatuan Mujahidin Divisi Tgk. Chik di Tiro,
Kesatuan Tgk. Chik Paya Bakong, dan kesatuan-kesatuan yang berasal
dari Aceh Tengah. Dengan terbentuknya RIMA, semua kesatuan baik dari
TRI maupun yang berasal dari badan kelasykaran dan Tentara Pelajar Aceh
dalam setiap kegiatannya di front Medan Area tunduk di bawah RIMA.45
Komando RIMA mula-mula dipimpin oleh Mayor Hasan Ahmad, kemudian
diganti oleh Mayor Cut Rahman. Kedudukan batalion-batalion RIMA serta
kesatuan-kesatuan lainnya yang bernaung di bawah koordinasi Komando
Rima adalah:
-- Batalion I pimpinan Kapten Hanafiah berkedudukan di Kampung
Lalang
-- Batalion II pimpinan Nyak Adam Kamil berkedudukan di Kelambir
Lima

44 B. Wiwoho, Pasukan Meriam Nukum Sanany, Sebuah Pasak dari Rumah Gadang Indonesia Merdeka,
Sebagaimana Diceritakan kepada Penulis (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm. 125.
45 B. Wiwoho, Pasukan Meriam…, (1985: 125).

210 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


-- Batalion III pimpinan Alamsyah yang berturut-turut digantikan
oleh Kapten Hasan Ali dan Kapten Hasan Saleh berkedudukan di
Keulumpang
-- Batalion IV pimpinan Kapten Burhanuddin berkedudukan di Binjai
-- Batalion Wiji Alfisah berkedudukan di Sunggal
-- Lasykar Divisi Tgk. Chik di Tiro pimpinan Tgk. Talib berkedudukan
di Sunggal
-- Lasykar Divisi Tgk. Chik Paya Bakong pimpinan Guru Basyah
berkedudukan di Sunggal
-- Pasukan Aceh Tengah pimpinan Tgk. Ilyas Leube berkedudukan di
Pancur Batu
-- Batalion Pesindo (Divisi Rencong) pimpinan Nyak Neh berkedudukan
di Kampung Lalang.46
RIMA yang menyandang predikat “Resimen Istimewa” menurut
Amran Zamzami memang benar-benar istimewa, baik di mata lawan
maupun kawan. Keistimewaan ini menurutnya bukan hanya karena
kekuatannya yang besar, melainkan juga persenjataan dan peralatan
yang dimiliki waktu itu tergolong lengkap, canggih, dan berbobot.
Menurut dia, barangkali hanya RIMA satu-satunya pasukan di Sumatra,
dan mungkin juga di Indonesia saat itu yang telah memiliki pasukan
artileri lengkap. Untuk mendukung logistik persenjataan, di Aceh waktu
itu terdapat empat bengkel persenjataan, masing-masing di Lhok Nga
milik Divisi Rencong yang dipimpin oleh Abdullah Syam, Cut Affan, dan
lain-lain; di Cumbok dipimpin oleh Kapten Isrin Nurdin; di Rantau Perlak
dipimpin oleh Kapten Nukum Sanany; dan di Kuala Simpang dipimpin
oleh Kapten Alamsyah. Ketiga bengkel senjata yang disebutkan terakhir
adalah milik TRI.47

46 T. Zainal Abidin, “Kisah Perjuangan…”, (1992: 159).


47 Amran Zamzami, “Peranan Rakyat Aceh…”, (1992: 113).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 211


Gambar 4.5. Bengkel Perbaikan Senjata Berat di Lhok Nga, Aceh Besar
Sumber: Repro TA Talsya, 1990 (Buku III), hlm. 91.

Tiap-tiap pasukan harus mengonsolidasikan dan memperbaiki


sendiri senjata yang mereka miliki, yang semuanya mereka bawa dari
Aceh. Tanpa diperbaiki, tidak semua senjata peninggalan Jepang bisa
langsung dipakai, baik senjata berat seperti meriam maupun senjata
ringan. Menurut Nukum Sanany, mereka berhasil memperbaiki banyak
senjata untuk dapat dipakai dalam pertempuran dilakukan dengan modal
usaha yang keras, ketekunan, ketabahan, dan semangat perjuangan.
Usaha perbaikan meriam 18 PR yang dilakukan Nukum Sanany bisa
menghabiskan waktu dan menguras tenaga selama dua minggu siang
dan malam dengan melakukan kanibalisme terhadap satu meriam anti
pesawat udara yang sudah dirusak oleh Jepang. Namun demikian, setelah
berhasil maka hilang sudah rasa capek yang dirasakannya selama ini
karena puas meriamnya dapat ditembakkan menghadapi Belanda.48

48 B. Wiwoho, Pasukan Meriam…, (1985: 126).

212 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Kehadiran pasukan meriam lengkap termasuk tekindato kecil sangat
mendukung untuk menaikkan semangat tempur para pejuang Aceh,
terutama bagi Lasykar Rakyat. Menurut Amran Zamzami, pada hari-hari
pasukan meriam istirahat, front Medan Barat dan Utara terasa sangat
sepi, bagai tidak ada perang. Sejak dibentuknya RIMA, maka semangat
perlawanan yang tadinya lesu telah bangkit kembali sehingga perlawanan
terhadap Belanda muncul di mana-mana. Meskipun pasukan Belanda
melakukan serangan dari udara, laut, dan darat yang membuat suasana
benar-benar mengerikan, para pejuang Aceh tidak merasa kecut. Bahkan
bila sehari saja tidak terdengar bunyi tembakan, akan terasa asing bagi
mereka, dan mereka pun akan berkomentar “hari ini tidak ada main”.
Semangat juang para pejuang Aceh saat itu sangat tinggi yang seolah-
olah tidak mengenal kematian. Semboyan yang berkumandang di mana-
mana adalah “Hudep Saree, Matee Syahid” (hidup bersama atau mati
Syahid di jalan Allah).49

Gambar 4.6. Presiden Sukarno Melakukan Defile Pasukan di Lapangan Blang Padang
Kutaraja Tahun 1948.
Sumber: ANRI, Koleksi KIT Aceh

49 Amran Zamzami, “Peranan Rakyat Aceh…, (1992: 113-14).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 213


Dalam agresi militer pertamanya, Belanda dapat menerobos
pertahanan Republik Indonesia di bagian barat dan utara Medan Area,
yang merupakan daerah tanggung jawab Divisi X. Dalam Aksi Militer I
Kota Tanjung Pura jatuh ke tangan Belanda. Sehubungan dengan itu,
Kesatuan Tentara dan Lasykar Rakyat bersenjata Republik Indonesia
mengundurkan diri ke Pangkalan Brandan. Kemajuan gerakan militer
Belanda tersebut agak menimbulkan kepanikan pada Komando Kesatuan
Bersenjata Republik Indonesia. Untuk menghambat gerakan pasukan
Belanda, Kesatuan Bersenjata Republik Indonesia menjalankan taktik
bumi hangus, yaitu dengan membakar kota minyak Pangkalan Brandan.
Hal ini dilakukan karena menurut perkiraan pihak Republik Indonesia,
tujuan Belanda melancarkan agresi militernya ke front barat dan
utara Langkat Area adalah untuk menguasai ladang minyak di daerah
Pangkalan Brandan, Pangkalan Susu, dan sekitarnya. Perkiraan pasukan
Republik terbukti karena setelah melihat kenyataan bahwa kota minyak
Pangkalan Brandan telah menjadi puing-puing akibat taktik bumi hangus
pasukan Republik, pasukan Belanda menghentikan gerakan majunya di
pinggir Kota Pangkalan Brandan. Batas ini tetap tidak berubah sampai
berakhirnya Perang Kemerdekaan pada akhir tahun 1949.
Dengan banyaknya wilayah yang berhasil direbut pasukan Belanda
dalam agresi militer pertama, maka banyak pengungsi yang memasuki
wilayah Aceh. Untuk mengatasi hal itu, Gubernur Militer Aceh,
Langkat, dan Tanah Karo, Tgk. M. Daud Beureueh memerintahkan
pasukan-pasukan yang berasal dari Sumatra Timur untuk melanjutkan
perjuangan menghadang pasukan Belanda. Kepada pasukan-pasukan
ini diberikan perlengkapan dan perbekalan secukupnya. Selain itu, dari
Aceh juga dikirim berbagai kesatuan tentara tambahan untuk membatasi
gerak pasukan Belanda yang ada di Sumatra Timur. Gubernur Militer
berpendapat bahwa lebih baik pasukan Republik Indonesia menghantam
terus kedudukan pasukan Belanda di Sumatra Timur agar dia tidak dapat
bergerak lagi ke Aceh.
Untuk mengoordinasikan pertahanan di front Langkat Area, maka
Panglima Divisi X Kolonel Husin Yusuf membentuk Komando Sektor
Oetara Barat (KSOB) pada tangal 6 Agustus 1947 dan menunjuk Letkol
Hasballah Haji sebagai komandan. Tugas utama yang dipikulkan kepada

214 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


kesatuan-kesatuan bersenjata Aceh yang berjuang di Medan Area,
yaitu melakukan operasi-operasi militer dan berusaha merebut kembali
tempat-tempat yang telah diduduki pasukan Belanda, dan menghadang
pasukan Belanda untuk tidak memasuki Aceh. Tugas merebut kembali
tempat-tempat yang telah diduduki Belanda tidak berhasil diwujudkan
karena lemahnya koordinasi antar kesatuan-kesatuan bersenjata yang ada
di Sumatra Timur. Salah satu kasus misalnya, pasukan bersenjata Aceh
yang sudah berhasil berebut Pasar Sentral Medan terpaksa harus mundur
kembali akibat tidak kuat bertahan menghadapi serangan balasan
pasukan Belanda, karena pasukan-pasukan lainnya tidak bergerak seperti
yang telah direncanakan.
Dalam agresi militer Belanda kedua tahun 1948, selain ke wilayah
Aceh, serangan dalam skala besar juga dilakukan Belanda terhadap pos-
pos pertahanan rakyat Aceh di perbatasan dengan Sumatra Timur, baik
pada sisi timur maupun sisi selatan perbatasan. Bagusnya koordinasi
dan matangnya persiapan membuat Belanda tidak berhasil memperluas
kekuasaannya. Kota Pangkalan Brandan yang menjadi markas
KSOB berhasil dipertahankan oleh para pejuang Aceh. Keberhasilan
mempertahankan perbatasan Republik ini harus dibayar mahal oleh rakyat
Aceh karena dalam pertempuran di sisi selatan perbatasan, Komandan
Batalion VII Divisi X TNI, Lettu Abdullah Sani, gugur dalam pertempuran di
Tiga Lingga pada 14 Maret 1949.50
Dari keterangan yang telah dipaparkan sebelumnya dapat
disimpulkan bahwa pengiriman pejuang Aceh ke front Medan Area telah
berkontribusi besar terhadap jalannya revolusi di wilayah Aceh sendiri.
Walaupun tugas pertama yang dipikulkan untuk merebut posisi-posisi
Belanda di Medan Area tidak sepenuhnya berhasil dilaksanakan oleh para
pejuang Aceh yang dikirim ke Medan Area, namun untuk tugas kedua,
menjaga gerak maju pasukan Belanda ke daerah Aceh sepenuhnya dapat
dikatakan berhasil karena sampai dengan penyerahan kedaulatan, selain
Sabang yang dapat diduduki Belanda, tidak satu pun wilayah Aceh lainnya
yang dapat diduduki kembali oleh Belanda.

50 Amran Zamzami, Jihad Akbar di Medan Area (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm. 369 dan 373.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 215


Menghidupkan Roda Perekonomian
Keadaan Perekonomian

R evolusi tidak akan berjalan lancar kalau tidak mendapat dukungan


ekonomi yang baik. Dalam usaha menjalankan roda perekonomian di
Aceh, setelah terbentuknya sistem pemerintahan yang rapi, pemerintah
daerah mulai menggerakkan semua potensi yang ada dalam wilayah
Aceh, termasuk perkebunan karet asing yang sebagian besar terletak di
Aceh Timur. Dalam bulan Oktober 1945, kebun-kebun yang pada masa
pendudukan Jepang dikerjakan oleh perusahaan Jepang, diambil alih oleh
pemerintah daerah. Kebun-kebun milik orang Jepang di Aceh Timur yang
dikerjakan oleh perusahaan Nanyo Goma dan Nomura pada bulan April
1946 digabungkan menjadi satu di bawah pimpinan Sutan Barus dan Arif
Siregar, dan setahun kemudian digantikan oleh Alimuddin dan Marah
Husin. Untuk memperlancar pelaksanaannya, didirikan Kantor Pusat
Perkebunan Daerah Aceh di Kutaraja, di bawah pimpinan Raden Elon.
Di samping itu, diadakan juga suatu Badan Kemakmuran yang bertugas
menjual hasil perkebunan dan menyediakan keperluan-keperluan
perkebunan. Pada tahun 1947 Badan Kemakmuran ini dibubarkan dan
diganti Kantor Perdagangan dengan tugas yang sama dengan badan
kemakmuran.
Perkebunan-perkebunan ini pada awalnya kurang memberikan hasil
yang diharapkan, dan baru pada tahun 1948 perkebunan-perkebunan
tersebut memberikan hasil yang memuaskan. Dalam bulan Oktober
tahun itu juga pemerintah pusat mengambil alih perkebunan-perkebunan
ini, dengan dikeluarkan beberapa ketetapan, yaitu: (1) Kantor pusat
perkebunan di Kutaraja dihapuskan; (2) Kebun-kebun bekas milik orang
asing dan yang diusahakan oleh pemerintah daerah Aceh menjadi milik
pemerintah pusat dan dijadikan Pusat Perkebunan Negara (PPN); dan (3)
Kebun-kebun milik orang Jepang dan milik Pemerintah Hindia Belanda
menjadi Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia.51

51 S. M. Amin, Kenang-kenangan…, (1978: 108-109).

216 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Pada masa pendudukan Jepang, hasil perkebunan karet yang masih
jalan sebagian besar digudangkan di pusat-pusat perkebunan. Oleh
karena itu, pada masa revolusi kemerdekaan Aceh Timur mempunyai
stok karet dalam jumlah yang cukup banyak yang siap untuk diekspor.52
Hasil dari perkebunan ini telah menjadi sumber pemasukan utama daerah
Aceh. Hasil sewa tanah perkebunan yang terletak di Aceh Timur saja pada
tahun 1947 diperoleh pemasukan sebesar f19.800,-.53
Hasil-hasil perkebunan tersebut tidak bisa diperdagangkan secara
normal ke pasar internasional, terutama ke Penang dan Singapura, karena
perairan Indonesia diblokade secara ketat oleh angkatan laut Belanda
dalam upaya melumpuhkan Indonesia. Usaha-usaha menembus blokade
untuk mematahkan isolasi ekonomi dilakukan pemerintah dengan pelbagai
cara, baik secara politis maupun ekonomis. Saat mengetahui India sedang
ditimpa bahaya kelaparan, Pemerintah RI segera menyatakan kesediaannya
untuk membantu Pemerintah India dengan mengirim 500.000 ton beras.
Hal ini sesuai dengan kondisi produksi beras di Indonesia yang relatif baik,
yang untuk masa panen tahun 1946 diperkirakan mengalami surplus
sebesar 200.000 sampai 400.000 ton. Sebagai imbalannya Pemerintah
India menjanjikan akan mengirim bahan pakaian yang sangat dibutuhkan
rakyat Indonesia. Walaupun harga yang ditawarkan kepada India jauh
lebih rendah dibandingkan dengan penawar-penawar lain, tetapi yang
paling penting adalah aspek politik, dapat berhubungan langsung dengan
luar negeri di luar wilayah yang disetujui dalam Perjanjian Linggarjati.
Usaha lain yang dilakukan pemerintah untuk mengadakan
hubungan langsung dengan luar negeri dirintis oleh BTC (Banking and
Trading Corporation), suatu badan semi-pemerintah yang dipimpin
oleh Dr. Sumitro Djojohadikusumo dan Dr. Ong Eng Die. BTC berhasil
mengadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika Serikat,
Isbrantsen Inc., yang bersedia membeli barang-barang ekspor dari RI
seperti gula, karet, teh, dan komoditas lainnya. Sayangnya, kapal Martin

52 Abdullah Hussain, Peristiwa…, (Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1965), hlm. 417.
53 Zulfan, “Kelompok Pengusaha Pada Masa Perang Kemerdekaan di Aceh 1945–1949”, Tesis Master
(Tidak Diterbitkan) (Depok: Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, 1995), hlm. 81.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 217


Behrmann milik Isbrantsen Inc. yang masuk ke pelabuhan RI di Cirebon
dicegat oleh Angkatan Laut Belanda kemudian diseret ke Pelabuhan
Tanjung Priok dan seluruh muatannya disita.54
Kegagalan usaha tersebut tidak menyurutkan semangat bangsa
Indonesia untuk mencoba berhubungan dagang dengan luar negeri.
Upaya memperlancar aktivitas perdagangan luar negeri kemudian
dilanjutkan di Aceh dengan dibentuknya sebuah perusahaan milik tentara
RI. Hal ini sangat beralasan mengingat Aceh saat itu merupakan wilayah
yang bebas dari penguasaan Belanda dan pertahanannya juga relatif
kuat, sehingga dapat mengatasi ancaman sabotase Belanda seperti yang
terjadi di Cirebon. Untuk mempermudah pengadaan barang yang akan
diekspor dari Aceh, Osman Adamy, Kepala Keuangan dan Perlengkapan
Tentara, mendirikan perusahaan tentara pada tahun 1948 yang dinamai
ATC (Aceh Trading Company).55 Perusahaan yang didirikan di Langsa ini
memiliki sejumlah cabang, di antaranya di Sigli, Kutaraja, Meulaboh,
dan Lhokseumawe. Selain mendapat mandat untuk membeli getah dari
perkebunan di Langsa, ATC juga mendapat mandat dari Panglima Sumatra
melalui Residen Aceh untuk mendapatkan 100 ton getah dari Perkebunan
Negara di Aceh Timur, seperti di Upak, Tanjung Semantok, dan Meudang
Ara. Pada tahun 1948 saat kunjungannya ke Penang, Osman Adamy
mendirikan kantor cabang ATC di Penang.56
Barang-barang tersebut diselundupkan ke luar negeri, terutama
Penang dan Singapura, untuk dijual atau dibarter dengan pelbagai barang
yang dibutuhkan dan dimasukkan ke Aceh. Pada saat itu di Penang dan
Singapura telah ada beberapa perusahaan orang Aceh. Perusahaan
orang Aceh di Penang antara lain adalah perusahaan “Permai” yang
didirikan oleh Wahi Ibrahim. Di Singapura ada perusahaan Haji Manyak
dari Meureudu, Meuraxa Trading Company kepunyaan T. Johan Meraxa,
dan perusahaan ERRI (Ekonomi Rakyat Republik Indonesia) kepunyaan

54 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional…, (1993: 176–177).
55 ATC ini sebenarnya merupakan bagian dari Central Trading Coy (CTC) yang berpusat di Bukittinggi,
suatu perusahaan yang bertugas menyuplai perlengkapan tentara di Sumatra.
56 Abdullah Ali dkk., Sejarah Perjuangan Rakyat Aceh Dalam Perang Kemerdekaan 1945–1949 (Banda
Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, 1985), hlm. 263–264.

218 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Haji Ahmad dari Batee, Pidie.57 Dengan adanya ATC, perdagangan ekspor
Aceh ke Semenanjung Malaya semakin lancar karena persediaan barang
menjadi lebih terkoordinir dan terjamin, meskipun blokade Belanda di
perairan Aceh semakin diperketat.
Dengan semakin banyaknya wilayah Republik Indonesia yang dapat
dikuasai kembali oleh Belanda, terutama wilayah-wilayah di Pulau Jawa,
maka usaha menembus blokade Angkatan Laut Belanda dipusatkan di
Sumatra. Alasan lainnya adalah jarak perairan Pulau Sumatra dengan
tujuan ekspor ke Penang dan Singapura yang relatif dekat. Usaha ini
dilakukan secara sistematis sejak tahun 1946 sampai dengan akhir masa
revolusi kemerdekaan. Pelaksanaan penembusan blokade ini dilakukan
oleh Angkatan Laut RI dengan dibantu oleh pemerintah daerah penghasil
barang-barang ekspor.58 Untuk memperlancar kegiatan tersebut,
Pemerintah RI sejak awal tahun 1947 membentuk perwakilan resmi di
Singapura yang diberi nama Indoff (Indonesian Office).59
Setelah semua wilayah Republik berhasil dikuasai oleh Belanda melalui
agresi militernya yang kedua bulan Desember 1948 kegiatan menembus
blokade Belanda seluruhnya dilakukan di wilayah Aceh. Alasan lainnya
adalah potensi ekonomi Aceh yang masih cukup bagus dan didukung
oleh letak geografis Aceh yang berhadapan dengan Pulau Penang
Malaysia dan tidak jauh dari Singapura sehingga memudahkan kegiatan
ekspor berbagai jenis barang ke kedua pelabuhan tersebut. Daerah Aceh
yang mempunyai tepi pantai yang berawa-rawa sangat menunjang usaha
penerobosan blokade Angkatan Laut Belanda di Selat Malaka. Saat itu,
daerah Aceh juga mempunyai sumber daya manusia yang cukup andal,
terutama dalam bidang perdagangan.60 Dalam perdagangan yang disebut
oleh Belanda sebagai “smokkelarij” ini, selain para pedagang swasta,
Angkatan Laut RI mempunyai peran yang sangat besar. Salah seorang

57 Abdullah Ali dkk., Sejarah Perjuangan..., (1985: 262–263).


58 Khusus untuk Aceh, kegiatan ekspor menembus blokade Belanda juga dilakukan para pedagang
swasta yang mencoba peruntungannya.
59 Badan yang dipimpin oleh Mr. Oetojo Ramelan ini merupakan badan resmi Pemerintah RI untuk
memperjuangkan kepentingan politik di luar negeri, tetapi secara rahasia badan ini merupakan
pengendali usaha penembus blokade dan usaha perdagangan barter. Marwati Djoened
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional…, (1993: 177).
60 S. M. Amin, Kenang-kenangan…, (1978: 99).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 219


tokoh Angkatan Laut RI yang mempunyai peran besar dalam kegiatan
tersebut adalah Mayor John Lie.61
Lancarnya perdagangan luar negeri di Aceh digambarkan dalam
surat Panglima Divisi IV/TKR, H. A. Thahir, kepada Wakil Presiden
Negara Republik Indonesia (NRI) tanggal 22 November 1958 “Keadaan
perdagangan di sini baik sekali, hasil bumi banyak yang bisa diekspor
begitu juga barang impor dari luar”.62 Kegiatan perdagangan luar negeri
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pakaian dan perlengkapan
pendukung revolusi. Barang-barang yang dibawa dari Aceh dibarter
dengan berbagai barang kebutuhan daerah Aceh seperti kain dan
perlengkapan senjata dari Malaya. Barang-barang tersebut selain untuk
keperluan masyarakat Aceh juga dikirim kepada para pejuang Aceh yang
berjuang di front Medan Area.63 Untuk kepentingan front Medan Area,
pemerintah daerah Aceh juga menyuplai bahan makanan secara rutin.
Tiap bulan, ratusan ton beras yang dihasilkan oleh rakyat Aceh dikirim
ke Langsa, karena Langsa merupakan wilayah yang berbatasan langsung
dengan Sumatra Timur. Dengan adanya perdagangan antara Aceh dengan
Semenanjung Malaya, kebutuhan warga terutama pakaian dapat diatasi.
Tidak hanya untuk Aceh, malahan orang-orang dari Sumatra Timur juga
datang ke Aceh untuk membeli barang-barang dari luar negeri dengan
harga yang lebih murah.64
Saat revolusi kemerdekaan memuncak tahun 1948, pemerintah
sipil di Kutaraja tidak mampu memenuhi keuangan untuk perlengkapan
tentara yang semakin besar, walaupun sudah diusahakan pencetakan
uang. Untuk mengatasi masalah ini diambil salah satu kebijakan yaitu
memberi kesempatan kepada tentara tiap-tiap resimen dan otonominya
untuk membuat utang kepada siapa saja yang mempercayainya. Utang
tersebut terutama kain, ban mobil, dan jeep dari para pedagang yang
memasukannya dari luar negeri. Semua utang ini dijamin dan dibayar

61 S. M. Amin, Kenang-kenangan…, (1978: 106).


62 ANRI, Djogja Documenten No. 47, dan ARA INV.NR: 06589.
63 Seperti telah disebut sebelumnya, karena Belanda tidak masuk kembali ke Aceh dan dalam rangka
membendung masuknya kolonialis itu kembali ke Aceh, maka banyak pejuang Aceh yang ikut
berjuang di front Medan Area (Sumatra Timur).
64 Abdullah Hussain, Peristiwa Kemerdekaan di Aceh (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 233.

220 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


oleh Keuangan dan Perlengkapan Tentara Divisi di Langsa, Aceh Timur.
Sehubungan dengan itu, Kepala Keuangan dan Perlengkapan Tentara
mendapat mandat dari Pemerintah Keresidenan untuk mengambil hasil
Perkebunan Negara di Langsa seperti karet guna diselundupkan ke luar
negeri. Seperti yang disebutkan sebelumnya, salah seorang yang sangat
berperan dalam penyelundupan ini adalah Mayor John Lie dari Angkatan
Laut Republik Indonesia yang beroperasi di Pelabuhan Tamiang, Aceh
Timur.65

Tabel 4.1.
Jumlah Ekspor Karet Aceh ke Pulau Penang dan Rata-Rata Harga Tahun
1946–1950 (dalam Ton)

Harga (Pond/Sen Straits


Tahun Jumlah Ekspor (dalam ton)
Dolar)
1946 5.775 -
1947 18.314 37,31
1948 19.028 42,15
1949 4.255 38,19
1950 32.530 108,18
Sumber: Zulfan, 1995:142–144

Berkembangnya Pengusaha Lokal

Majunya perekonomian suatu wilayah selain dipengaruhi oleh kebijakan


politik ekonomi yang dijalankan oleh penguasa (pemerintah), juga sangat
dipengaruhi oleh peran yang dimainkan oleh pengusaha. Pengusaha
merupakan aktor utama pelaksana kebijakan politik ekonomi yang
dirumuskan oleh penguasa, karena merekalah yang menjadi eksekutor
penggerak ekonomi di lapangan. Oleh karena itu, kebijakan politik
ekonomi yang dirumuskan oleh penguasa dengan perkembangan
pengusaha suatu wilayah tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling terkait
satu sama lainnya, dan kenyataan ini terbukti dalam perjalanan sejarah
Aceh. Dinamika perkembangan pengusaha Aceh terjadi sangat fluktuatif

65 Abdullah Ali, et al. Sejarah Pejuangan…, (1984: 261).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 221


mengikuti perkembangan politik ekonomi yang dijalankan penguasa yang
memerintah di Aceh dari waktu ke waktu.
Pengusaha Aceh pernah mengalami perkembangan pesat pada
masa Kesultanan Aceh Darussalam. Politik ekonomi penguasa Kesultanan
yang menjadikan Bandar Aceh Darussalam menjadi pusat perdagangan
luar negeri telah menjadikan kota ini sebagai pusat perdagangan penting
di Nusantara. Hal ini telah membuka kesempatan yang sangat besar bagi
para pedagang lokal untuk berkembang. Mereka tidak hanya melakukan
aktivitas perdagangan domestik di Aceh, tetapi banyak juga dari mereka
yang menjadi pedagang ekspor dan impor dengan luar negeri. Meskipun
secara ekonomi Aceh mulai menurun sejak akhir abad ke-17, aktivitas
perdagangan luar negeri masih berlangsung sampai dengan terjadinya
invasi militer Belanda ke Aceh tahun 1873. Menjelang terjadinya perang
dengan Belanda, banyak pedagang Aceh yang mempunyai jaringan
perdagangan dengan Penang dan Singapura. 66

Gambar 4.7. Perwakilan Aceh di Singapura Tahun 1870


Sumber: KITLV

66 George Kapper, De Oorlog tusschen Nederland en Atjhin (Roterdam: Nijgh & van Ditmar, 1874),
hlm. 39–40.

222 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Perkembangan pedagang Aceh mengalami stagnasi seiring
macetnya aktivitas ekonomi akibat invasi Belanda ke Aceh. Perang yang
berkepanjangan mengakibatkan aktivitas ekonomi Kesultanan Aceh
Darussalam nyaris terhenti sama sekali. Ditambah dengan blokade
ekonomi yang dilakukan Belanda terhadap perairan Aceh semakin
memperburuk aktivitas perdagangan, sehingga memengaruhi eksistensi
pengusaha Aceh.67
Setelah Aceh berhasil dikuasai oleh Belanda dan aktivitas ekonomi
mulai berjalan kembali, pengusaha Aceh tetap tidak bisa berperan serta
secara maksimal seperti masa-masa sebelumnya. Hal ini disebabkan
kebijakan pemerintah kolonial yang lebih mengutamakan etnis Cina
dalam bidang ekonomi. Pengusaha Aceh baru mulai tumbuh kembali
secara perlahan sejak terjadinya perubahan kebijakan pemerintah kolonial
yang mulai memperhatikan perekonomian rakyat dalam bingkai politik
pasifikasi sejak awal abad ke-20. Dengan didirikannya Volkscredietbank
(Bank Pinjaman Rakyat) yang memberi kesempatan kepada rakyat
bumiputra memperoleh modal usaha.68 Dengan memanfaatkan pinjaman
tanpa bunga yang ditawarkan oleh pemerintah kolonial tersebut telah
melahirkan beberapa pengusaha Aceh yang sukses, seperti M. Yusuf, Wahi
Ibrahim, Teuku Sandang, Teuku Johan, Muhammad Saman, Muhammad
Hasan, dan Nyak Ben.69 Iklim yang positif terhadap munculnya pengusaha
pribumi ini kembali lenyap seiring masuknya bala tentara Jepang ke Aceh
tahun 1942. Dengan kebijakan ekonomi yang seluruhnya dikontrol oleh
pemerintah pendudukan Jepang menyebabkan aktivitas perekonomian
mengalami kemunduran dan sangat merugikan para pedagang. Keadaan
ini berlangsung sampai berakhirnya masa pendudukan Jepang.
Para pedagang Aceh tumbuh kembali masa revolusi kemerdekaan.
Sebagai daerah yang tidak pernah berhasil dikuasai oleh Belanda pasca
Perang Asia Timur Raya, aktivitas ekonomi di Aceh berjalan lebih lancar
dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Lancarnya aktivitas

67 M. Gade Ismail, “Seuneubok Lada, Uleebalang, dan Kumpeni: Perkembangan Sosial Ekonomi di
Daerah Batas Aceh Timur, 1840–1942”, Disertasi Doktor (Tidak Dipublikasikan) (Leiden: Universiteit
Leiden, 1991), hlm. 101.
68 J. Langhout, Economische Staatkunde in Atjeh (Den Haag: N.V. Boekhandel v/h W.P. van Stockum en
Zoon, 1923), hlm 109.
69 Zulfan, “Kelompok Pengusaha…”, hlm. 47–55.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 223


ekonomi di Aceh masa revolusi kemerdekaan tidak terlepas dari peran
kelompok pengusaha. Tumbuh mekarnya pengusaha pribumi Aceh masa
revolusi kemerdekaan tidak terlepas dari adanya kesadaran dari pemerintah
daerah Aceh yang didukung oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
berpendapat bahwa perekonomian secara umum dan perdagangan
secara khusus sebaiknya dikelola oleh bangsa sendiri. Dengan dukungan
tersebut, dalam bidang perdagangan telah tumbuh beberapa perusahaan
yang dimiliki oleh pedagang asli Aceh, seperti NV. Indocolim (Indonesia
Company Limited), NV. Permai (Perdagangan Masyarakat Indonesia), NV.
Meuraxa Trading Company, Firma Puspa, NV. PIM (Perdagangan Indonesia
Muda), PT. Persig (Persatuan Saudagar Geudong), dan Arco (Aceh Rubber
Company).70
Masa revolusi kemerdekaan, perusahaan-perusahaan tersebut
memegang peranan penting dalam bidang ekspor dan impor dengan
Semenanjung Malaya. Meskipun Selat Malaka diblokade oleh Belanda
dalam upaya melemahkan pertahanan rakyat Aceh, aktivitas perdagangan
tetap dapat dilakukan, terutama dengan cara penyelundupan. Oleh
karena itu, masa revolusi kemerdekaan aktivitas perdagangan di Aceh
85 persen dilakukan oleh pedagang Aceh.71 Perdagangan ini merupakan
pertukaran hasil perkebunan daerah Aceh dengan Malaya dan Singapura.
Pertukaran ini sebenarnya lebih tepat disebut dengan penantangan
terhadap Angkatan Laut Belanda yang menguasai Selat Malaka. Menurut
S. M. Amin, usaha menembus blokade Belanda ini seperti permainan
“judi”, karena apabila nasib baik akan memperoleh keuntungan yang
lumayan, sebaliknya apabila nasib buruk akan menderita kerugian besar
akibat penyitaan barang-barang oleh Angkatan Laut Belanda, malahan
lebih buruk dapat kehilangan nyawa. Di antara para pedagang yang
berperan dalam perdagangan ini antara lain, yaitu: Muhammad Saman
dari PT. Puspa, Nyak Neh dari Lhok Nga Co., Muhammad Hasan dari
Perdagangan Indonesia Muda (PIM), dan Abdul Gani Mutyara.72

70 Zulfan, “Kelompok Pengusaha…”, hlm. 86.


71 Zulfan, “Kelompok Pengusaha…”, hlm. 87.
72 Sangat disayangkan, mereka yang sangat berjasa ini, kecuali Muhammad Saman, setelah revolusi
kemerdekaan berakhir tidak memperoleh perlakuan yang wajar. Malahan, utang getah yang masih
harus diperoleh dari Pemerintah atas perjanjian jual beli, ditolak pembayarannya. S. M. Amin,
Kenang-kenangan…, (1978: 103).

224 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Dalam upaya memperkokoh kedudukannya dalam menjalankan
aktivitas perdagangan, para pedagang Aceh mempersatukan diri dalam
suatu wadah yang diberi nama Gabungan Saudagar Indonesia Daerah
Aceh (GASIDA) yang dibentuk di Kutaraja pada 25 Februari 1947 dan
diketuai oleh M. Djuned Yusuf.73 Organisasi ini terus memperluas
sayapnya di seluruh wilayah Aceh. Pada tanggal 9 Maret 1947 dibentuk
GASIDA cabang Kutaraja dengan pengurusnya, yaitu Tgk. Budiman
(Ketua I), Mahmud AR (Ketua II), M. Djuned (Ketua III), M. Daud K. Umar
(Setia Usaha I), M. Hasan Ibrahim (Setia Usaha II), Razali Yunus (Bendahara
I), M. Yahya (Bendahara II), serta beberapa anggota badan pengurus di
antaranya: Abdul Gafar, Nyak Gade, Hamzah, Muhammad Lam Teungoh,
Abdullah, dan Abdul Rasyid.74

Gambar 4.8. Para Pemuka Masyarakat dan Saudagar Aceh di Penang Masa Revolusi
Kemerdekaan
Sumber: Repro dari TA. Talsya, 1990 (Buku III), hlm. 97

Terbentuknya GASIDA, selain memperkuat persatuan antarpengusaha


bumiputra Aceh, juga telah memberi sumbangan nyata bagi aktivitas
revolusi. Dengan lancarnya aktivitas perdagangan dengan Semenanjung

73 T. A. Talsya, Modal Perjuangan Kemerdekaan: Perjuangan Kemerdekaan di Aceh, 1947-1948 (Banda


Aceh: Lembaga Sejarah Aceh, 1990), hlm. 33.
74 T. A. Talsya, Modal Perjuangan…, (1990: hlm. 42).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 225


Malaya, banyak kebutuhan perjuangan yang berhasil dipasok ke Aceh,
seperti senjata, alat komunikasi, dan kebutuhan perjuangan lainnya.
Sumbangan nyata lainnya yang diberikan oleh GASIDA terhadap aktivitas
revolusi kemerdekaan adalah menyerahkan cek uang sebesar S$120.000
atau sekitar 25 kg emas untuk membeli sebuah pesawat terbang Dakota
bekas pakai seperti yang diminta Presiden Sukarno ketika berkunjung ke
Aceh tahun 1947.75
Masa keemasan yang dirasakan oleh para pedagang Aceh berakhir
seiring dengan berakhirnya masa revolusi kemerdekaan. Dengan
dikeluarkannya kebijakan pemerintah pusat mengenai prosedur umum
perdagangan ekspor dan penghapusan sistem perdagangan barter pada
tahun 1952 mengakibatkan macetnya aktivitas perdagangan antara Aceh
dengan Penang yang sebelumnya dijalankan oleh para pengusaha Aceh.
Macetnya perdagangan ini berdampak negatif pada nasib para pedagang
Aceh karena menghancurkan modal dan kegiatan mereka. Menurunnya
keterlibatan para pedagang Aceh mengakibatkan terganggunya
keseimbangan antara eksportir Aceh dan Cina. Mundurnya keterlibatan
pengusaha Aceh memberi peluang bagi dominasi pedagang keturunan
Cina dalam aktivitas perdagangan di Aceh.76

Lembaga Perbankan dan Peredaran Mata Uang

Kemerdekaan tidak hanya berdaulat secara politik, tetapi juga secara


ekonomi, khususnya bidang moneter. DJB sebagai lembaga perbankan
yang telah lama hadir di Indonesia memiliki peran penting yang melekat
dalam kemerdekaan Indonesia khususnya dari perspektif ekonomi
moneter. Selama periode revolusi kemerdekaan (1945–1949) DJB secara
bertahap membuka kembali sebagian kantor cabangnya di seluruh
wilayah Indonesia. Mulai Januari 1946 di kota-kota yang pernah berdiri
kantor DJB dan telah berhasil diduduki kembali oleh pasukan Belanda
(NICA) dinyatakan bahwa kantor-kantor DJB dibuka kembali. Pada tahap

75 Teuku Muhammad Isa, (ed.), Teuku Muhammad Ali Panglima Polim, Sumbangsih Aceh Bagi Republik
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hlm. 62.
76 Nazaruddin Syamsuddin, Revolusi di Serambi Mekkah..., (1999: 77).

226 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


pertama ada delapan kantor DJB yang dibuka kembali, yaitu Kantor Pusat
di Jakarta, DJB Semarang, DJB Manado, DJB Surabaya, DJB Pontianak, DJB
Bandung, DJB Medan, dan DJB Makassar. Setelah agresi militer Belanda
pertama pada 21 Juli 1947, dengan bertambahnya wilayah Republik
Indonesia yang berhasil diduduki Belanda, DJB kembali membuka kantor-
kantor cabangnya, antara lain DJB Palembang, DJB Cirebon, DJB Malang,
dan DJB Padang. Tiga DJB lainnya, yakni DJB Yogyakarta, DJB Solo, dan
DJB Kediri, dibuka kembali setelah ketiga wilayah tersebut berhasil direbut
Belanda melalui agresi militernya yang kedua pada 19 Desember 1948.77
Satu-satunya kantor DJB yang tidak pernah dibuka kembali oleh
Belanda pascaproklamasi kemerdekaan adalah DJB Kutaraja, karena Aceh
merupakan satu-satunya wilayah Republik Indonesia yang tidak berhasil
diduduki kembali oleh Belanda. Dalam situasi seperti itu, sejak agresi militer
Belanda dilancarkan di Sumatra, segala aktivitas DJB Kutaraja dipindahkan
ke DJB Medan sampai perubahan konstitusi kedaulatan Republik Indonesia
disahkan secara de jure pada tahun 1950. Dengan pindahnya aktivitas
keuangan tersebut, maka kantor DJB Kutaraja ditempati oleh Bank
Negara Indonesia (BNI) cabang Aceh hingga pemberlakuan nasionalisasi
oleh pemerintah Republik Indonesia.78 Kantor DJB Kutaraja juga pernah
menjadi Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatra Utara dan
kemudian menjadi Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh.
Pembukaan kembali DJB di hampir seluruh wilayah Indonesia tidak
menguntungkan bagi sistem moneter Pemerintah RI, tetapi sebaliknya
semakin memperkuat sistem moneter NICA. Oleh karena itu, Pemerintah
RI memiliki keinginan untuk memiliki bank sentral sendiri. Keinginan
tersebut tercetus pada tahun 1946 yang ditandai oleh pembukaan Bank
Negara Indonesia (BNI). Pembahasan pembentukan BNI berawal pada
September 1945, ketika pemerintah memberikan surat kuasa kepada R.
M. Margono Djojohadikoesoemo yang saat itu menjabat sebagai Ketua
Dewan Pertimbangan Agung untuk mempersiapkan pendirian BNI. Surat
kuasa tersebut kemudian menjadi dasar gagasan mendirikan bank sentral/

77 Darsono dkk., Menghadapi Gelombang Pasang di Serambi: Kontribusi Bersama untuk Aceh setelah
Tsunami 2004 (Jakarta: Bank Indonesia, 2018), hlm. 223.
78 Darsono dkk., Menghadapi Gelombang…, (2018: 227).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 227


bank sirkulasi, yang antara lain bertugas mengatur peredaran uang kertas
sebagaimana disebut dalam UUD 1945.

Gambar 4.9. Gedung DJB Kutaraja Berubah Fungsi Menjadi Gedung DPRD
Sumatra Utara
Sumber: Repro TA Talsya, 1990 (Buku III), hlm. 106.

Awal mula bank sentral milik RI adalah didirikannya Jajasan Poesat


Bank Indonesia, dan Margono diangkat oleh Presiden sebagai direktur.
Sesuai dengan akte pendiriannya, lembaga keuangan baru ini memiliki
kewenangan melakukan kegiatan layaknya bank umum, mengeluarkan
obligasi, memberi kredit, menerima simpanan giro, deposito dan
tabungan, serta memberikan penyuluhan terkait permasalahan ekonomi
kepada masyarakat. Yayasan ini merupakan cikal bakal terbentuknya
Bank Negara Indonesia, yang kemudian secara resmi berdiri berdasarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 tahun
1946. Dalam peraturan tersebut juga dijelaskan bahwa uang kertas yang
diterbitkan oleh Bank Negara Indonesia (BNI) merupakan satu-satunya

228 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


uang kertas bank yang diakui dan yang harus diterima sebagai alat
pembayaran yang sah.
Setelah pendirian kantor pusat, BNI kemudian membuka cabangnya
di beberapa daerah di Indonesia. Di Aceh, BNI mendirikan cabang di
Kutaraja pada bulan September 1948, dengan menempati gedung DJB
Kutaraja yang ditinggalkan oleh Belanda sejak menjelang kedatangan
Jepang ke Aceh. Dibandingkan dengan sebagian besar kantor cabang
BNI di Pulau Jawa, kantor cabang BNI di Kutaraja relatif lebih aman
dan berjalan kondusif karena Aceh tidak pernah diduduki kembali oleh
Belanda.
Dalam situasi yang sangat genting dan kondisi perekonomian
yang tidak menentu, Pemerintah RI mengambil langkah agar kegiatan
perekonomian setiap daerah yang dikuasai oleh Republik tidak terhambat.
Untuk tujuan tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah
No. 19 Tahun 1947 pada 26 Agustus 1947. Berdasarkan peraturan
tersebut pemerintah pusat memberikan wewenang kepada pemerintah
daerah yang berada di wilayah kekuasaan RI untuk menerbitkan uang
kertas atau tanda pembayaran yang sah yang berlaku terbatas di daerah-
daerah tersebut. Pemerintah pusat menjamin penerbitan uang kertas atau
tanda pembayaran sah tersebut sampai batas waktu yang akan ditentukan
untuk ditukar dengan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI).79
Tidak lama setelah BNI berdiri, Pemerintah RI menerbitkan dan
mengedarkan uang kertas serta menarik mata uang yang beredar
sebelumnya, yaitu mata uang Pemerintah Hindia Belanda yang diterbitkan
oleh De Javasche Bank dan mata uang pemerintah pendudukan Jepang.
Uang kertas pertama yang dikeluarkan oleh Pemerintah RI adalah Oeang
Repoeblik Indonesia (ORI) yang peredarannya dimulai 30 Oktober 1946.
Namun, peredaran ORI tidak berjalan lancar. Perpindahan ibu kota
ke Yogyakarta menjadi masalah tersendiri karena sejak awal rencana
pemerintah mencetak dan mengedarkan ORI di Jakarta. Selain itu,
permasalahan juga terjadi pada lembaga yang berwenang melakukan
penyebarannya.80

79 Darsono dkk., Menghadapi Gelombang…, (2018: 224–226).


80 Darsono dkk., Menghadapi Gelombang…, (2018: 227–228).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 229


ORI seharusnya diedarkan oleh BNI sebagai bank sirkulasi satu-
satunya milik negara. Namun, karena BNI belum memiliki kelengkapan
yang memadai sehingga penyebaran ORI dilakukan oleh para pekerja
bank di luar BNI, dan malah penyebarannya dilakukan juga oleh kesatuan
tentara. Selain itu, keterbatasan ruang gerak akibat blokade ekonomi
Belanda menyebabkan peredaran ORI lebih terfokus di Pulau Jawa saja.
Sulitnya peredaran ORI di luar Jawa, membuat pemerintah memutuskan
untuk memberikan hak kepada daerah-daerah untuk dapat menerbitkan
uang sendiri.
Di Sumatra uang resmi Republik yang akhirnya diperkenalkan
bukanlah ORI, tetapi ORI varian provinsi yang disebut dengan ORIPS
(Oeang Repoeblik Indonesia Propinsi Soematera).81 Namun, karena
produksi uang ini terlalu lambat untuk memenuhi kebutuhan yang besar
sehingga uang yang beredar dalam masyarakat terlalu sedikit. Mengatasi
masalah kesulitan alat pembayaran––pada akhir 1947––beberapa otoritas
administratif di Sumatra mengambil inisiatif mencetak uang sendiri tanpa
menunggu izin dari Yogyakarta atau Bukittinggi dan membelanjakan
uang tersebut hanya dengan aturan dan sirkulasi lokal.82
Dengan demikian, selain ORIPS yang berlaku secara umum, sejumlah
mata uang lokal dengan validitas terbatas dan dengan nilai tukar yang
sama sekali berbeda dibandingkan dengan ORIPS beredar di Sumatra.
Uang-uang tersebut adalah Oeang Repoeblik Indonesia Daerah Djambi
(ORIDJA), Oeang Repoeblik Indonesia Daerah Tapanuli (ORITA), Oeang
Repoeblik Indonesia Daerah Aceh (ORIDA) atau disebut juga Oeang
Repoeblik Indonesia Baru (ORIBA) yang dikeluarkan oleh pemerintah
daerah Aceh, Oeang Republik Indonesia Sumatra Timur (ORIST), dan
Oeang Repoeblik Laboehan Batoe (ORLAB).83
Dalam perkembangannya, banyaknya percetakan uang daerah
ini menimbulkan kekacauan moneter Republik Indonesia, khususnya di
Sumatra. Beberapa penyebab kekacauan itu adalah: pertama, produksi
uang daerah yang sangat banyak dan tidak terbatas; kedua, kupon dan

81 Saat itu seluruh Pulau Sumatra masih merupakan satu provinsi, yaitu Provinsi Sumatra.
82 Tim Penyusun, Oeang Republik Indonesia (ORI) (Cetakan ke-2) (Jakarta: Direktorat Layanan dan
Pemanfaatan Arsip Nasional Republik Indonesia, 2018), hlm. 9.
83 Tim Penyusun, Oeang Republik..., (2018: 9).

230 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


mandat untuk memenuhi kebutuhan uang yang semakin meningkat;
ketiga, produksi uang palsu dalam skala besar baik di wilayah Republik
di Sumatra itu sendiri maupun di wilayah lain (kemungkinan dilakukan
oleh orang yang pada umumnya tidak bertanggung jawab dalam
menggunakan mesin stensil); keempat, impor uang Jepang dengan skala
besar.84
Situasi seperti di atas juga terjadi di Aceh, yang saat itu menjadi
unggulan para penguasa Republik. Situasi moneter Aceh juga sangat suram.
Residen Aceh pada 19 Juli 1948 mengeluh melalui komisioner keuangan
negara bahwa situasi keuangan menjadi semakin membingungkan dan
nilai tukar ORIPS terhadap dolar AS terus turun karena sejumlah besar
uang palsu beredar dan semakin banyak uang kertas bank yang beredar.85
Untuk mengatasi persoalan tersebut, tidak lama setelah pembentukan
Provinsi Sumatra Utara tahun 1948 dengan ibu kota Kutaraja, dikeluarkan
lagi Oeang Repoeblik Indonesia Soematra Utara (ORIPSU).86 Menurut
S. M. Amin,87 pada mulanya ORIPSU dapat dipertahankan kursnya,
meskipun dicetak dalam jumlah yang banyak. Sebagai contoh, dalam
tujuh hari sejak tanggal 2 sampai 8 Mei 1949, telah dicetak sejumlah
Rp156.750.000 ORIPSU, yang terdiri atas lembaran Rp250 ORIPSU
sebanyak 405.000 lembar dan lembaran Rp500 ORIPSU sebanyak
111.000 lembar. Nilai ORIPSU dibandingkan dengan Dolar Singapura
pada waktu itu dapat dipertahankan karena adanya keseimbangan antara
produksi dengan uang yang beredar. Akan tetapi, dalam perkembangan
selanjutnya keseimbangan tersebut tidak dapat dipertahankan. Untuk
mengatasi masalah tersebut, pemerintah mengeluarkan suatu Ketetapan
No. 302/G.S.O. RI tanggal 16 Mei 1949, untuk menarik dari peredaran
ORIPSU sebanyak Rp500.000.000.88
Seluruh uang lokal ini diterbitkan di Kutaraja dan ditandatangani
oleh pejabat-pejabat perwakilan Pemerintah Republik yang berwenang
di sana. Para pejabat yang tanda tangannya tertera pada mata uang itu

84 Tim Penyusun, Oeang Republik..., (2018: 10).


85 Tim Penyusun, Oeang Republik..., (2018: 12).
86 S. M. Amin, Kenang-kenangan…, (1978: 106).
87 Mr. S. M. Amin adalah gubernur pertama Provinsi Sumatra Utara.
88 S. M. Amin, Kenang-kenangan…, (1978: 134–135).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 231


berasal dari perwakilan pengurus uang negara keresidenan, residen,
perwakilan BNI cabang Kutaraja hingga Gubernur Sumatra Utara.
Hasil cetakan ORI pertama dan uang lokal tersebut desainnya sangat
sederhana dan berkualitas tidak begitu baik sehingga mudah untuk ditiru
dan dipalsukan. Kelemahan tersebut dimanfaatkan Belanda dengan
memalsukan dan mengedarkan ORI palsu ke wilayah yang dikuasai RI.
Situasi ini mendorong Pemerintah RI untuk mencetak ORI Seri II di tahun
kedua penerbitannya yang lebih baik dari ORI Seri I.89
Selain uang kertas yang dicetak dengan sangat sederhana tersebut,
khusus di Aceh ada juga uang yang disebut ORIDA yang berupa bon.
Alat pembayaran yang disebut dengan “bon kontan” ini dikeluarkan oleh
Markas Pertahanan Aceh Timur di Langsa tahun 1949. Pengeluaran “bon
kontan” ini dilakukan atas inisiatif Kepala Keuangan dan Perlengkapan
Markas Pertahanan Aceh Timur, Osman Adamy, dalam upaya mengatasi
persoalan kekurangan alat tukar dalam masyarakat. Uang kertas “bon
kontan” ini laku di tengah masyarakat dan dianggap oleh masyarakat
sebagai uang yang sah dan dapat dipercaya.90
Menurut Osman Adamy, kebijakan penerbitan “bon kontan”
diambil Osman Adamy setelah mendapat mandat dari Residen Aceh,
karena pemerintah di Kutaraja tidak sanggup lagi menyediakan uang
untuk kebutuhan tentara yang semakin hari semakin bertambah besar.
Bon ini berupa secarik kertas biasa yang ditulis oleh Osman Adamy
dengan nominal tertentu yang ditandatanganinya kemudian diberikan
kepada kesatuan-kesatuan tentara. Mandat itu kemudian ditukarkan
pada kantor-kantor pos tertentu untuk memperoleh uang tunai yang ada
dalam peredaran yang berasal dari masyarakat. 91
Satu lagi kebijakan yang ditempuh dalam keadaan genting saat itu
untuk memenuhi kebutuhan tentara adalah memberi kesempatan kepada
tentara di tiap-tiap resimen dan otonominya untuk membuat utang
kepada para pedagang yang memasukkan barang-barang kebutuhan

89 Darsono dkk., Menghadapi Gelombang…, (2018: 229–230).


90 S. M. Amin, Kenang-kenangan…, (1978: 107).
91 Abdullah Ali, et al. Sejarah Pejuangan…, (1984: 262).

232 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


dari luar negeri, seperti beras, kentang, kain, ban mobil, dan jeep, yang
mempercayainya. Semua utang tentara itu dijamin dan dibayar oleh bagian
Keuangan dan Perlengkapan Divisi Tentara di Langsa. Dengan demikian,
para pedagang yang memberikan utang kepada tentara dapat melakukan
penagihan kepada bagian Keuangan dan Perlengkapan Tentara di Langsa.

Gambar 4.10. Seri Oeang Republik Indonesia Daerah Aceh (ORIDA)


Ket. Gambar: (a) Nominal: Rp2 1/2; Emisi: 1 Desember 1947; Pengaman: Kode kontrol, tanda tangan;
Tanda Tangan: M. Daud Sjah. (b) Nominal: Rp1; Emisi: 15 September 1947; Pengaman: Kode kontrol,
tanda tangan; Tanda Tangan: M. Daud Sjah.
Sumber: Uno. 2015. Oeang Noesantara. Bandung: Genera Publishing.

Aceh sebagai Daerah Modal

M eskipun gelar Daerah Modal merupakan kebanggaan tersendiri


bagi rakyat Aceh, namun gelar tersebut bukanlah diberikan oleh
orang Aceh untuk membanggakan diri sendiri. Istilah tersebut pertama
sekali dilontarkan oleh Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia,
Ir. Sukarno, dalam suatu rapat raksasa di hadapan ribuan rakyat Aceh
yang memadati Lapangan Esplanade Kutaraja (Lapangan Blang Padang

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 233


Banda Aceh sekarang), saat dia melakukan kunjungan ke Aceh pada 16
Juni 1948. Melihat antusiasme rakyat Aceh mengikuti kegiatan tersebut,
Sukarno memberi nama rapat tersebut dengan Rapat Samudra karena
melihat orang datang berbondong-bondong, baik masyarakat Kota Banda
Aceh maupun dari Aceh Besar. Lautan manusia yang datang bagaikan
gelombang samudra untuk mengikuti acara tersebut, sehingga Sukarno
memberi nama rapat tersebut dengan “Rapat Samudra”.
Sebelum dilakukan rapat raksasa, di tempat yang sama telah dilakukan
acara apel besar Angkatan Perang Republik Indonesia. Dalam apel tersebut
Bung Karno kaget dan sekaligus kagum menyaksikan hebatnya parade
militer dengan menampilkan senjata berat. Persenjataan hebat yang telah
jarang terlihat di Jawa karena banyak wilayah telah dikuasai oleh Belanda.
Bung Karno kaget karena tiba-tiba persenjataan itu muncul di depan
matanya di Lapangan Esplanade, Kutaraja. Menyaksikan hal itu timbul
keyakinan pada Sukarno bahwa Angkatan Perang Republik Indonesia yang
ada di Aceh masih bisa berbuat banyak untuk meneruskan perjuangan
mempertahankan kemerdekaan. Seiring dengan itu, meluncurlah dari
mulut beliau ucapan Aceh Daerah Modal Republik Indonesia yang
mampu mengamankan dan mempertahankan kemerdekaan Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dalam kunjungan tersebut Sukarno juga
melakukan pertemuan dengan masyarakat Pidie di Lapangan Blang Asan,
Sigli, pada 17 Juni dan dengan masyarakat Bireuen di Lapangan Cot Gapu
sehari kemudian.92
Pemberian julukan Daerah Modal oleh Bung Karno bukan tanpa
dasar. Pernyataan itu berdasarkan hasil analisis terhadap kondisi yang
dihadapi oleh seluruh wilayah Republik Indonesia selama masa revolusi
kemerdekaan. Bila dianalisis dari kondisi situasi yang ada saat itu, ada
dua tujuan Sukarno memberikan gelar Daerah Modal untuk Aceh, yaitu:
pertama, untuk menghargai dan sekaligus menyanjung perjuangan rakyat
Aceh, dan kedua, adanya kekhawatiran dan sekaligus harapan besar
kepada rakyat Aceh untuk tetap membantu perjuangan mempertahankan
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

92 Abidin Hasyim, dkk., Aceh Daerah Modal (Banda Aceh: Pemerintah Aceh, 2009), hlm. 2–3.

234 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Penghargaan dan sanjungan yang diberikan oleh Sukarno mengacu
pada realitas yang ada saat agresi militer pertama Belanda tahun 1947,
saat sebagian besar wilayah RI dapat diduduki oleh Belanda, Aceh menjadi
basis pertahanan RI. Perjuangan rakyat Aceh tidak hanya dilakukan di
wilayah Aceh saja, tetapi secara bergelombang rakyat Aceh dimobilisasi ke
front Medan Area untuk berjuang mengusir Belanda yang sudah bercokol
di sana. Selain itu, Medan Area merupakan “front depan” perjuangan
rakyat Aceh dalam mempertahankan Aceh dari invasi Belanda. Dalam
agresi militer Belanda pertama, sebagian besar wilayah Sumatra Timur
berhasil direbut oleh Belanda, termasuk daerah Binjai sampai ke Tanjung
Pura yang sebelumnya dipertahankan oleh rakyat Aceh. Pasukan Aceh
mundur ke Pangkalan Brandan, tempat mana dapat dipertahankan
termasuk saat agresi militer kedua Belanda 1948. Dengan dedikasi rakyat
Aceh tersebut, secara eksplisit Sukarno memberi pujian kepada rakyat
Aceh dalam Rapat Samudra tahun 1948, yaitu:
“…rakjat Atjeh jang terkenal sebagai satu rakjat yang selalu berdjuang untuk
kemerdekaan, jang selalu mendjadi kampiun dan pelopor perdjuangan
rakjat Indonesia.”93
Selain pujian, secara implisit Sukarno merasa khawatir apabila Aceh
tidak lagi mendukung revolusi. Bila Aceh tidak mendukung revolusi,
maka perjuangan mempertahankan kemerdekaan akan berjalan panjang
dan sulit. Kekhawatiran Sukarno sangat beralasan karena dari hari ke
hari wilayah Republik semakin berkurang akibat semakin banyak yang
berhasil direbut oleh Belanda. Oleh karena itu, Sukarno sangat berharap
agar rakyat Aceh tetap meneruskan perjuangan mempertahankan
kemerdekaan Indonesia dan tetap bersama Republik. Hal ini dapat dilihat
dari ucapan beliau selanjutnya dalam Rapat Samudra, yaitu:
“Segenap rakjat Indonesia di tanah Djawa, Sumatra, lain2 kepulauan, Sunda
Ketjil, Kalimantan, Sulawesi memandang arah pandangan mata kepada sdr2
.… kuamanatkan kepadamu, supaja ini engkau anggap sebagai kewadjiban
jang pertama. Meneguhkan Republik, mendjaga Republik, menjelamatkan
Republik, memelihara Republik. Ketahuilah, bahwa kita ini didalam revolutie

93 “Perkundjungan Presiden Sukarno ke Atjeh”, Surat Kabar Semangat Merdeka, Terbitan II (edisi
khusus), Kutaradja, 1948, hlm. 33.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 235


nationaal. Ketahuilah, bahwa kita ini dalam revolutie nationaal. Djangan
memusuhi bangsa sendiri. Saja katakan ini 3 kali disini nanti… arahkan sdr.
punya perdjuangan kepada imperialisme …”94
Dari kata-kata yang diucapkan Sukarno di atas sangat jelas terlihat ada
kekhawatiran terhadap kondisi Republik setelah agresi Belanda pertama
dan sangat khawatir apabila rakyat Aceh meninggalkan Republik. Oleh
karena itu dengan sanjungan yang diberikan, sekaligus Sukarno sangat
menaruh harapan pada masyarakat Aceh untuk meneruskan perjuangan
mempertahankan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Pemberian julukan Daerah Modal oleh Bung Karno tersebut bukan
tanpa dasar. Pemberian julukan itu nampaknya berdasarkan hasil analisis
terhadap kondisi yang dihadapi oleh seluruh wilayah Republik Indonesia
selama masa revolusi kemerdekaan. Keberhasilan Aceh menjaga tapal
batas wilayahnya dari invasi Belanda dan juga konsistensinya para
pemimpin dan rakyat Aceh tetap mendukung Republik, telah menjadikan
Aceh sebagai tumpuan harapan bagi Republik demi kelangsungan revolusi.
Dalam kondisi seperti itu, Aceh menawarkan favorable condition bagi
Republik. Banyak aktivitas yang berhubungan dengan eksistensi Republik
digerakkan di Aceh. Ketika dibentuk Provinsi Sumatra Utara pada bulan
Desember 1948, Kutaraja dipilih menjadi ibu kota dengan pertimbangan
keamanan dan Mr. S. M. Amin ditunjuk sebagai Gubernur.95
Selain ibu kota Provinsi Sumatra, Kutaraja juga menjadi salah satu
tempat beraktivitasnya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di
bawah Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Kutaraja menjadi Markas Besar
Angkatan Perang RI Komandemen Sumatra. Pada saat yang sama, turut
pula dipindahkan Markas Komando Angkatan Darat (pimpinan Kolonel
Hidayat), Markas Komando Angkatan Laut (pimpinan Kolonel Laut
Subiyakto), dan Markas Komando Angkatan Udara (pimpinan Kolonel
Suyoso Karseno). Pemindahan pusat komando militer ini diikuti oleh
perwira staf dari ketiga angkatan tersebut yang banyak berkedudukan di
Kutaraja.96

94 Surat Kabar Semangat Merdeka..., (1948: 34).


95 T. Ibrahim Alfian, dkk., Revolusi Kemerdekaan…, (1982: 108–09).
96 S. M. Amin, Kenang-Kenangan.., (1978: 65–66); T. A. Talsya, Modal Perjuangan Kemerdekaan…,
(1990: 468–9).

236 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Menjelang berlangsungnya KMB di Negeri Belanda, Pemerintah
Republik Indonesia menyusun suatu strategi untuk menjaga kemungkinan
kegagalan kesepakatan tersebut. Strategi ini tertuang dalam Instruksi
Presiden RI tanggal 20 Agustus 1949 yang menetapkan Wakil Perdana
Menteri berkedudukan di Kutaraja mewakili pemerintah pusat dalam
menjalankan roda pemerintahan. Instruksi Presiden tersebut kemudian
diperkuat dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1949
tentang Kedudukan dan Kekuatan Wakil Perdana Menteri di Sumatra.
Untuk mengemban tugas tersebut, Wakil Perdana Menteri, Mr. Sjafruddin
Prawiranegara tiba di Kutaraja tanggal 23 Agustus 1949 bersama Menteri
Agama, K. H. Masykur. Dalam kedudukannya tersebut, Sjafruddin telah
melakukan rapat pertamanya pada 29 Agustus 1949.97
Selain dalam bidang administrasi pemerintahan dan militer, dalam
kondisi darurat masa revolusi, Aceh juga telah berperan besar dalam
bidang ekonomi untuk mendukung ketersediaan logistik. Dengan keadaan
wilayah yang masih tetap bebas dari pendudukan, kegiatan ekonomi di
Aceh juga dapat berjalan lebih normal dibandingkan dengan daerah lain
di Indonesia.
Kegagalan merebut Aceh melalui serangan-serangan yang
dilakukan di beberapa tempat di Aceh dalam agresi ini membuat Belanda
menempuh cara lain, yaitu dengan mengadakan provokasi berita. Melalui
Radio Medan yang sudah berhasil mereka kuasai, Belanda menyiarkan
bahwa kota-kota besar di Aceh, seperti Kutaraja, Sigli, Langsa, dan lain-
lain sudah berhasil direbut oleh pasukan Kerajaan Belanda. Berita tersebut
telah dibantah oleh Radio Rimba Raya milik Divisi X TNI dipancarkan
siarannya dari Ronga-Ronga di pegunungan Aceh Tengah (tepatnya di
Kabupaten Bener Meriah sekarang). Dalam keadaan genting tersebut
Radio Rimba Raya telah berjasa menjadi media pemberitaan Republik ke
dunia internasional untuk membantah provokasi media yang dikuasai
Belanda.98

97 T. A. Talsya, Modal Perjuangan Kemerdekaan…, (1990: 71); Abdullah Ali, et al. Sejarah Pejuangan…,
(1984: 332–35).
98 T.A. Talsya, Modal Perjuangan Kemerdekaan…, (1990: 465); Rusdi Sufi, Perkembangan Media
Komunikasi di Daerah: Radio Rimba Raya di Aceh (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
RI, 1999), hlm. 45 dan 52; T. Ibrahim Alfian, dkk., Revolusi Kemerdekaan…, (1982: 95).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 237


Gambar 4.11. Suasana Kerja pada Radio Rimba Raya
Sumber: Repro TA Talsya, 1990 (Buku III), hlm. 125

Sumbangan selanjutnya dari Aceh untuk Republik adalah kesetiaan


rakyat Aceh kepada Republik Indonesia. Diwakili oleh Gubernur Militer
Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, Tgk. M. Daud Beureueh, rakyat Aceh
menolak dengan tegas ajakan Belanda untuk bergabung dengan federasi
negara-negara boneka bentukan mereka pada Maret 1949. Untuk
tujuan tersebut, pada bulan Maret 1949 dikirim sebuah pesawat militer
Belanda ke Kutaraja. Ketika melintas di Lapangan Neusu pesawat tersebut
menjatuhkan sebuah surat kaleng yang ditujukan kepada Gubernur Militer
Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, Tgk. M. Daud Beureueh. Setelah dibuka
surat bertanggal 17 Maret 1949 tersebut dikirim oleh dr. Tengku Mansur,
selaku Wali Negara Sumatra Timur. Surat itu merupakan undangan kepada
perwakilan Aceh untuk ikut serta dalam Muktamar Sumatra tanggal 28
Maret 1949 yang disponsori oleh Belanda. Setelah dibahas dalam Sidang
Staf Gubernur Militer tanggal 20 Maret 1949, diputuskan untuk menolak
ajakan tersebut dan Aceh tetap konsisten pada komitmennya untuk tetap
berdiri di belakang RI apa pun risikonya. Jawaban Tgk. M. Daud Beureueh
yang dengan tegas menolak ajakan Tengku Mansur tersebut dimuat dalam

238 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


surat kabar Semangat Merdeka edisi 23 Maret 1949.99 Dengan penolakan
tersebut Republik Indonesia masih memiliki satu-satunya wilayah yang
masih tersisa setelah agresi Belanda kedua, yaitu Aceh.
Masa revolusi kemerdekaan, Aceh juga menjadi modal kepada
Republik dengan menyumbang sejumlah uang untuk pembelian pesawat
pertama Republik Indonesia. Dalam kondisi Republik Indonesia masih
dalam cengkeraman Belanda, sulitnya komunikasi antarpulau di Indonesia
dan hubungan ke luar, serta dalam usaha peningkatan kekuatan Tentara
Nasional Indonesia, khususnya Angkatan Udara, maka pemerintah pusat
telah menginstruksikan kepada semua residen dalam wilayah RI supaya
membentuk suatu panitia dalam rangka mengumpulkan dana untuk
pembelian pesawat Dakota (Dakota Fonds).
Pada waktu kunjungan Presiden Sukarno ke Kutaraja, Presiden telah
menyinggung masalah itu dalam rapat raksasa di hadapan ribuan rakyat
Aceh di Lapangan Esplanade (Lapangan Blang Padang). Selanjutnya,
dalam pertemuan antara Presiden dengan GASIDA (Gabungan Saudagar
Indonesia Daerah Aceh) di Hotel Aceh, selain membicarakan berbagai
hal berkaitan dengan situasi negara saat itu, Presiden juga meminta
kepada GASIDA untuk membeli sebuah pesawat terbang Dakota bekas
pakai seharga S$120.000 atau sekitar 25 kg emas. Pada akhir pertemuan
Presiden mengatakan tidak akan mau makan sebelum GASIDA menjawab
permintaannya tersebut. Dalam situasi seperti itu, Ketua GASIDA, M.
Djuned Yusuf, Haji Zainuddin, dan sesepuh GASIDA lainnya yang hadir
dalam pertemuan itu mengisyaratkan kepada T. M. Ali Panglima Polim
(sebagai juru bicara) bahwa GASIDA menyanggupi permintaan Sukarno
tersebut. Selanjutnya GASIDA membentuk suatu panitia untuk pelaksanaan
pembelian pesawat Dakota yang diketuai oleh T. M. Ali Panglima Polim.
Berdasarkan pembicaraan dengan Residen Aceh, kemudian diputuskan
Aceh akan membeli dua buah pesawat terbang Dakota, satu atas nama
GASIDA dan satu lagi atas nama seluruh rakyat Aceh.100

99 Semangat Merdeka, 23 Maret 1949.


100 Teuku Muhammad Isa, (ed.), Teuku Muhammad..., (1996: 61–2); “Perkundjungan Presiden
Sukarno ke Ajeh”, Semangat Merdeka (edisi khusus) tahun 1948; T. Ibrahim Alfian dkk., Revolusi
Kemerdekaan…, (1982: 100–101).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 239


Menurut keterangan T. M. Ali Panglima Polim yang ditunjuk sebagai
Ketua Panitia Pembelian Pesawat Dakota oleh GASIDA, hanya dalam
waktu dua bulan GASIDA telah menyerahkan selembar cek sebesar
S$120.000 kepada pemerintah pusat. Dalam kaitan dengan itu, T. M. Ali
Panglima Polim juga menerima sebuah surat dari Residen Aceh beserta
sebuah telegram yang bertanggal dan nomor 23 Agustus 1948, No.3470/
KSU/48 dan No.3461/KSU/48, yang berasal dari Kepala Staf Angkatan
Udara Komandemen Sumatra di Bukittinggi, Soejono. Isi telegram tersebut
menyebutkan bahwa cek sebesar S$120.000 dan S$140.000 telah
diterima, dan cek yang terakhir diterima saat kunjungan Presiden ke sana.
Kedua cek tersebut telah diteruskan kepada Kepala Staf Angkatan Udara
RI di Yogyakarta. Komodor Suryadarma selaku Kepala Staf mengucapkan
banyak terima kasih kepada rakyat Aceh atas bantuan tersebut.101

Gambar 4.12. Pesawat DC-3 RI 001 Sumbangan Rakyat Aceh di Bandara Kemayoran
Sumber: Kompas.com

101 Teuku Muhammad Isa, (ed.), Teuku Muhammad..., (1996: 64).

240 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Sayangnya, dalam perkembangan selanjutnya uang yang diserahkan
tersebut hanya dibelikan sebuah pesawat Dakota, senilai uang yang
diserahkan oleh GASIDA sebesar S$120.000. Keterangan tersebut
diperkuat oleh surat dari Panglima Divisi IV/TKR, H. A. Thahir, kepada Wakil
Presiden Negara Republik Indonesia (NRI) tanggal 22 November 1948,
yang menyatakan bahwa uang sumbangan rakyat Aceh tersebut telah
dia serahkan melalui wesel pada AURI dengan perantara Dr. Soedarsono,
yang dapat diambil di Singapura pada Chea Seng & Co.”102 Uang yang
berasal dari rakyat Aceh sebesar S$140.000 yang sudah diterima telegram
penerimaannya tidak pernah dibelikan pesawat sebagaimana amanah
rakyat Aceh. Yang disebut-sebut oleh Angkatan Udara RI hanya sebuah
pesawat saja.103 Uang tersebut raib entah ke mana dan menjadi teka-teki
bagi rakyat Aceh sampai sekarang.
Selain untuk pembelian pesawat, rakyat Aceh juga telah menjadi
donatur untuk membiayai pemerintah pusat di Yogyakarta. Ketika Kota
Yogyakarta dikembalikan kepada Pemerintah Indonesia, pemerintah pusat
hampir tidak dapat membiayai dirinya sendiri. Untuk dapat menjalankan
kembali roda pemerintahan, rakyat Aceh telah mendonasikan uang, alat-
alat kantor, dan obat-obatan. Dalam tahun 1949 saja, pemerintah daerah
Aceh telah mengeluarkan biaya untuk keperluan pemerintah pusat di
Yogyakarta sebesar S$500.000, dengan rincian untuk perwakilan luar
negeri (Mr. Maramis) S$100.000; untuk Indonesian Office Singapura
S$50.000; untuk Angkatan Perang S$250.000; dan untuk proses
pengembalian Pemerintahan ke Yogyakarta S$100.000.104
Dengan semua kontribusi yang telah diberikan kepada Republik
Indonesia, khususnya pada masa genting masa revolusi kemerdekaan,
maka tidak berlebihan kalau Aceh mendapat julukan sebagai “Daerah
Modal Bagi Republik Indonesia” sebagaimana ditabalkan oleh Presiden
Sukarno 73 tahun yang lalu. Saat semua wilayah Republik lainnya dapat
dikuasai oleh Belanda melalui agresi keduanya, Aceh benar-benar menjadi

102 ANRI, Djogja Documenten No. 47, dan ARA INV.NR: 06589.
103 Teuku Muhammad Isa, (ed.), Teuku Muhammad..., (1996: 68).
104 S. M. Amin, Kenang-Kenangan.., (1978: 102–103); Revolusi Kemerdekaan…, (1982: 102).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 241


“Tumpuan Harapan Bagi Republik”, karena rakyat Aceh yang wilayahnya
masih bebas dari pendudukan, dengan setia tetap bertekad berjuang
bersama Republik dengan berbagai konsekuensi yang akan diterima.
Dengan modal wilayahnya dapat dipertahankan dari upaya aneksasi
Belanda, banyak aktivitas revolusi kemerdekaan digerakkan di Aceh
sampai pengakuan kedaulatan oleh Belanda melalui KMB di Den Haag
akhir tahun 1949. Oleh karena itu, tidak salah Sukarno memberi gelar
Daerah Modal untuk Aceh pada 16 Juni 1948.

242 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Bab 5
Menata Kembali
Ekonomi Aceh

P erjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan proklamasi


kemerdekaan 17 Agustus 1945, yang menelan banyak korban jiwa
dan harta benda, akhirnya membuahkan hasil. Konferensi Meja Bundar
(KMB) di Den Haag, Negeri Belanda, yang berlangsung dari 23 Agustus
sampai 2 November 1949 mencapai suatu kesepakatan penting mengenai
penyelesaian persengketaan antara Indonesia dengan Belanda. Hasil
kesepakatan KMB, Belanda menyetujui penyerahan kedaulatan terhadap
Indonesia dalam format Republik Indonesia Serikat (RIS). Penandatanganan
naskah penyerahan kedaulatan tersebut dilakukan pada 27 Desember
1949 di dua tempat terpisah, di Negeri Belanda dan Indonesia. Di Negeri
Belanda, Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri
Seberang Lautan Mr. A. M. J. A. Sassen, dan Ketua Delegasi RIS Drs.
Moh. Hatta, bersama-sama membubuhkan tanda tangan pada naskah
penyerahan kedaulatan kepada RIS. Pada waktu bersamaan, di Jakarta Sri
Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota A. H. J. Lovink
telah membubuhkan tanda tangan pada naskah penyerahan kedaulatan.1
Dengan ditandatangani naskah tersebut, berarti secara formal
Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dan juga mengakui kedaulatan
penuh suatu negara Indonesia di seluruh bekas wilayah Hindia Belanda,
kecuali Irian Barat. Penandatanganan naskah kesepakatan tersebut menjadi

1 Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI (Cet.
Kedelapan) (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Balai Pustaka, 1993), hlm. 171–
72.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 243


tonggak yang sangat penting bagi bangsa Indonesia. Dengan penyerahan
kedaulatan tersebut berarti berakhirnya revolusi kemerdekaan, dan
bangsa Indonesia memasuki babak baru dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Persoalan utama yang mendesak dilakukan pasca penyerahan
kedaulatan adalah reorganisasi dalam berbagai bidang, seperti militer,
politik, pemerintahan, maupun perekonomian. Proses reorganisasi
tersebut telah memberi dampak beragam di berbagai daerah di Indonesia.
Oleh karena itu, tidak mengherankan reaksi yang diberikan rakyat juga
beragam pula, seperti yang diberikan oleh rakyat dari daerah Aceh.
Daerah Aceh mempunyai keunikan tersendiri karena pada masa
revolusi kemerdekaan memiliki otonomi luas dalam bidang militer,
pemerintahan, dan ekonomi. Hal ini disebabkan karena daerah ini tidak
pernah berhasil diduduki kembali oleh Belanda dalam kedua agresinya.
Dengan realitas tersebut tidak mengherankan proses reorganisasi yang
dilakukan pemerintah pusat pasca pengakuan kedaulatan mendapat
tantangan keras dari rakyat Aceh. Oleh karena tidak adanya titik temu
antara keinginan pemerintah pusat dengan harapan masyarakat Aceh
menyebabkan meletusnya pemberontakan DI/TII Aceh tahun 1953.
Peristiwa tersebut telah berdampak, tidak hanya pada kemunduran dalam
bidang politik, tetapi juga telah menyebabkan kehancuran infrastruktur
ekonomi secara luas di Aceh. Oleh karena itu, pemerintah pusat berusaha
keras menyelesaikan persoalan tersebut agar dapat membangun kembali
perekonomian Aceh. Dalam merealisasikan pembangunan tersebut, Bank
Indonesia cabang Kutaraja menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Bab
ini membahas kondisi ekonomi Aceh sejak pengakuan kedaulatan sampai
pasca perdamaian DI/TII Aceh dan peran yang dimainkan oleh Bank
Indonesia cabang Kutaraja.

Dari De Javasche Bank menjadi Bank


Indonesia

S alah satu poin yang disepakati antara delegasi Indonesia dan delegasi
Belanda dalam KMB di Den Haag adalah dipilihnya bank sentral Hindia
Belanda, De Javasche Bank (DJB), sebagai bank sirkulasi untuk Republik

244 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Indonesia Serikat (RIS). Saat proses awal negosiasi sebenarnya delegasi
Indonesia mengajukan Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai bank sirkulasi,
namun karena delegasi Indonesia dalam konferensi tersebut relatif lemah
dan sudah merasa puas dengan adanya pengakuan kedaulatan, maka
tekanan untuk menerima sejumlah utang dan keharusan menerima
DJB sebagai bank sirkulasi RIS diterima dan disepakati oleh delegasi
RI.2 Meskipun beberapa anggota delegasi Indonesia menolak usulan
delegasi Belanda menjadikan DJB sebagai bank sirkulasi, namun dengan
memperhatikan situasi dan kondisi saat itu Pemerintah Indonesia akhirnya
memutuskan menerimanya. Menurut Mohammad Hatta selaku ketua
delegasi Indonesia ke KMB, pada awalnya memang direncanakan untuk
menjadikan BNI sebagai bank sirkulasi. Akan tetapi, disetujuinya usulan
delegasi Belanda dalam KMB menjadikan DJB sebagai bank sirkulasi RIS
merupakan keputusan yang lebih rasional yang dipilih oleh Pemerintah
Indonesia. Alasannya adalah DJB sudah mempunyai aparatur yang
lengkap yang dapat diteruskan sebagai bank sirkulasi.3
Keberadaan DJB sebagai bank sirkulasi RIS tidak berlangsung
lama karena dinamika politik di Indonesia saat itu berlangsung begitu
cepat. Eksistensi DJB paralel dengan eksistensi RIS itu sendiri. RIS yang
merupakan hasil kompromi dengan Belanda dalam KMB di Den Haag
hanya berumur kurang dari satu tahun, karena sejak semula rakyat
Indonesia menginginkan negara kesatuan. Setelah negara-negara
bagiannya menyatukan diri dengan Republik Indonesia, maka RIS dengan
sendirinya telah membubarkan diri. Pembubaran tersebut dilaksanakan
secara konstitusional melalui perubahan konstitusi RIS yang diperbolehkan
oleh Pasal 190 konstitusi tersebut. Perubahan ini dilaksanakan dengan
ditandatanganinya piagam persetujuan Pemerintah RIS dan Pemerintah
RI pada tanggal 19 Mei 1950. Berdasarkan piagam ini dibentuk suatu
panitia bersama yang terutama bertugas merancang Undang-Undang
Dasar Sementara (UUDS) sesuai dengan ketentuan-ketentuan di dalam
piagam tersebut. Hasil pekerjaan panitia bersama tersebut disampaikan

2 Darsono, dkk, (a), Perjuangan Mendirikan Bank Sentral Republik Indonesia (Jakarta: Bank Indonesia,
2016), hlm. 220.
3 Darsono, dkk, (a), Perjuangan Mendirikan…, (2016: 221).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 245


kepada Pemerintah RIS dan RI pada tanggal 30 Juni 1950. Dengan
beberapa perubahan kecil, rencana konstitusi Negara Kesatuan Republik
Indonesia, diterima baik oleh Pemerintah RIS dan Pemerintah RI. Setelah
melewati Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan
Dewan Perwakilan Rakyat RIS, maka lahirlah Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1950 yang menetapkan bahwa konstitusi RIS diubah menjadi
UUDS Republik Indonesia.4 Dengan keluarnya Undang-Undang tersebut
berarti berakhirnya masa RIS dan mulai masa Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Pada tanggal 17 Agustus 1950, Pemerintah Indonesia
menyatakan secara resmi RIS bubar dan kembali ke NKRI.
Perubahan bentuk kenegaraan dari RIS ke NKRI berpengaruh juga
terhadap eksistensi DJB sebagai bank sentral. Sejalan dengan perubahan
bentuk negara dan pemerintahan, gerakan massa yang menuntut agar
semua aset milik pemerintah dan swasta Belanda diambil alih atau
dinasionalisasikan oleh pemerintah semakin kuat dari waktu ke waktu.
Hal ini disebabkan oleh sikap Pemerintah Belanda yang selalu ingkar janji,
terutama mengenai persoalan pengembalian Irian Barat. Berdasarkan
isi perjanjian KMB, seharusnya wilayah Irian Barat dikembalikan kepada
Indonesia paling lambat setahun setelah isi perjanjian tersebut disepakati,
namun Belanda selalu mengulur-ulur waktu penyerahannya.5
Selain masalah politik, secara ekonomi pun Belanda masih
mencengkeram kuat perekonomian Indonesia karena hampir semua
bidang ekonomi strategis Indonesia dikuasai oleh perusahaan-perusahaan
Belanda. Dalam bidang ekspor dan impor misalnya, hampir sepenuhnya
masih dikuasai oleh lima perusahaan besar Belanda yang terkenal dengan
sebutan “The Big Five”, yaitu Internationale Crediet en Handelvereeniging
Roterdam (Internatio), Jacobos van den Berg, Borneo Sumatra Handel-
Maatschappij (Borsumij), Lindeteves Stocvis, dan Geo Wehry. Demikian
juga dalam bidang pelayaran dalam negeri dan luar negeri, perusahaan-
perusahaan perkapalan Belanda, terutama Koninklijke Paketvaart
Maatschappij (KPM) masih mendominasi. Selain KPM, ada beberapa
armada pelayaran Belanda lainnya yang sulit disaingi oleh perusahaan-

4 Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional…, (1993: 202).
5 Darsono, dkk, (a), Perjuangan Mendirikan…, (2016: 233).

246 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


perusahaan milik bangsa Indonesia, yakni Java China Japan Lijn,
Stoomvaart Maatschappij Nederland, dan Roterdamsche Lloyd. Dalam
bidang produksi juga masih dikuasai oleh Handels Vereeniging Amsterdam,
Deli Maatschappij, Rubber Cultuur-Maatschappij, dan Banka en Biliton Tin
Maatschappij. Demikian juga halnya dalam bidang perbankan, beberapa
bank swasta Belanda seperti Nationale Handels Bank dan Nederlandsche
Handel Maatschappij (NHM) masih memperlihatkan keunggulannya yang
sulit disaingi oleh bank-bank nasional Indonesia, seperti Bank Rakyat,
Bank Negara Indonesia (BNI), dan Bank Industri Negara (BIN).6
Dominasi dan pengaturan Belanda dalam bidang ekonomi RIS
merupakan dampak dari kesepakatan KMB yang pada hakikatnya
menguntungkan Belanda dan sebaliknya sangat membatasi kebebasan
Pemerintah Indonesia untuk bertindak. Banyak contoh yang
menggambarkan kondisi itu, seperti perubahan nilai tukar mata uang
antara rupiah dengan gulden, penentuan langkah-langkah kebijakan
devisa, pemberian kredit DJB selaku bank sirkulasi kepada Pemerintah
Indonesia, bahkan pengangkatan Presiden dan Direktur DJB hanya dapat
dilakukan setelah adanya perundingan dengan Pemerintah Belanda. Pada
konferensi menteri bulan Maret 1950 di Jakarta ditetapkan pula bahwa De
Nederlansche Bank, yaitu bank sentral Belanda, akan membuka rekening
“A besar” untuk DJB tempat memperhitungkan masalah pembayaran dan
penerimaan antara Indonesia dan Belanda. Sebaliknya, bank-bank devisa
Indonesia dapat membuka rekening “A kecil” pada bank-bank Belanda
yang saldonya diperhitungkan dalam rekening “A besar”. Ikatan-ikatan
seperti itu sengaja dibuat oleh Belanda untuk melindungi kepentingan
Belanda sekaligus membatasi ruang gerak Pemerintah Indonesia dalam
mengambil tindakan-tindakan penting dalam bidang ekonomi dan
keuangan.7
Realitas-realitas ekonomi yang sangat merugikan Pemerintah
Indonesia seperti itulah yang semakin meningkatkan semangat anti
Belanda dan menyuburkan gerakan untuk melakukan nasionalisasi dan
Indonesianisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang ada di Indonesia,

6 Darsono, dkk, (a), Perjuangan Mendirikan…, (2016: 233).


7 Darsono, dkk, (a), Perjuangan Mendirikan…, (2016: 234).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 247


termasuk DJB selaku bank sentral/sirkulasi. Oleh karena mempunyai peran
yang sangat penting dalam menggerakkan perekonomian Indonesia, maka
DJB merupakan lembaga milik Belanda pertama yang dinasionalisasi oleh
Pemerintah RIS. Sebenarnya proses nasionalisasi DJB sudah berlangsung
sejak awal tahun 1950, tidak lama setelah DJB ditetapkan menjadi bank
sirkulasi untuk RIS. Pemerintah RI mulai memasukkan personel baru dalam
jajaran kepegawaian DJB, seperti Mr. R. B. Gandasoebrata ditunjuk sebagai
Pejabat Urusan Devisa, Mr. Loekman Hakim ditunjuk sebagai anggota
Direksi Komisaris Pemerintah, dan IR. R. M. T. Magunkusumo sebagai
anggota Direksi. Selanjutnya, sejak 15 Agustus 1950 Mr. Loekman Hakim
diangkat menjadi Wakil Presiden DJB.
Walaupun terdapat beberapa kalangan di Indonesia yang meminta
untuk tidak melakukan nasionalisasi, namun suara-suara tersebut
kalah dengan semangat banyak rakyat Indonesia yang mendukung
nasionalisasi. Sebagai realisasi proses nasionalisasi DJB, Menteri Keuangan
Kabinet Soekiman, Jusuf Wibisono, telah membuat rencana melakukan
nasionalisasi DJB. Rencana tersebut semakin nyata setelah dibentuk Panitia
Nasionalisasi DJB pada 2 Juli 1951. Panitia inilah yang nantinya melakukan
persiapan, termasuk menjaring berbagai pendapat tentang baik buruknya
pengambilalihan kepemilikan DJB. Setelah mempertimbangkan pendapat-
pendapat yang masuk, akhirnya panitia ini memutuskan untuk mengambil
alih kepemilikan DJB dengan cara Indonesianisasi saham-sahamnya.
Selanjutnya pada 3 Agustus 1951 Pemerintah RI secara resmi mengajukan
penawaran untuk membeli saham-saham DJB kepada para pemiliknya.8
Pada awal proses nasionalisasi, Menteri Keuangan Belanda tidak
setuju terhadap rencana Pemerintah RI tersebut, namun kemudian dia
dapat menerimanya setelah diberi pemahaman bahwa kebijakan tersebut
merupakan langkah terbaik dan paling realistis dalam situasi yang masih
diselimuti oleh euforia kemerdekaan Indonesia. Diplomasi yang dilakukan
oleh delegasi Indonesia juga berhasil meyakinkan Vereeniging voor
den Effectenhandel (Perkumpulan Pedagang Efek) Amsterdam bahwa
Pemerintah RI akan membayar saham-saham DJB secara wajar. Penawaran

8 Darsono, dkk, (a), Perjuangan Mendirikan…, (2016: 236).

248 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


ini membuat banyak pemilik saham yang tertarik untuk melepaskan saham
mereka, sehingga Pemerintah RI berhasil menguasai 97 persen saham DJB
dengan harga pembelian 20 persen di atas harga normal.
Setelah berhasil menguasai mayoritas saham, Pemerintah RI
mempersiapkan landasan hukum tetap terhadap proses tersebut. Pada
tanggal 15 Desember 1951 Pemerintah RI mengeluarkan Undang-Undang
Nasionalisasi DJB yang dimuat dalam Lembaran Negara RI No. 120 Tahun
1951. Untuk memperkuat legitimasi indonesianisasi DJB, Pemerintah RI
mengajukan Rancangan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia kepada
Konstituante (Parlemen) pada bulan September 1952. Rancangan Undang-
Undang tersebut akhirnya disetujui oleh Konstituante pada 10 April 1953.
Selanjutnya Presiden RI, Ir. Sukarno, mengesahkan rancangan tersebut
menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang Bank Indonesia
pada 29 Mei 1953, yang kemudian diundangkan dalam Lembaran Negara
No. 40 Tahun 1953. Undang-Undang ini mulai berlaku sejak 1 Juli 1953.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 1953, maka
nama De Javasche Bank secara resmi diganti dengan Bank Indonesia.9
Bank Indonesia kemudian ditetapkan bukan hanya sebagai bank sirkulasi,
tetapi juga sebagai bank sentral Republik Indonesia.10
Perubahan konstitusi ini secara otomatis juga menyebabkan terjadinya
perubahan pada ketetapan ekonomi nasional secara fundamental. Setelah
proses nasionalisasi secara legal selesai, maka Bank Indonesia mengambil
alih seluruh aktivitas DJB. Kebijakan ini menurut Menteri Keuangan
Kabinet Sukiman, Jusuf Wibisono, merupakan proses indonesianisasi
DJB. Perubahan mendasar proses indonesianisasi secara administrasi dan
manajemen juga berdampak pada kantor-kantor cabang DJB di seluruh
Indonesia. Tidak lama setelah proses indonesianisasi selesai, seluruh
kantor cabang DJB di Indonesia berubah nama menjadi Kantor Cabang
Bank Indonesia, kecuali kantor cabang Kutaraja yang baru dibuka kembali

9 Untuk pergantian nama De Javasche Bank sebenarnya ada tiga nama yang berkembang di
masyarakat saat itu, yaitu Bank Jawa, Bank Sirkulasi Indonesia, dan Bank Sentral Indonesia. Dengan
berbagai pertimbangan, Komite Nasionalisasi DJB akhirnya sepakat untuk tidak menggunakan ketiga
nama yang berkembang tersebut, tetapi memilih nama “Bank Indonesia” sebagai pengganti nama
DJB. Darsono, dkk, (a), Perjuangan Mendirikan…, (2016: 242).
10 Darsono, dkk, (a), Perjuangan Mendirikan…, (2016: 237).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 249


pada tahun 1964.11 Keterlambatan dibukanya kembali Bank Indonesia
kantor cabang Aceh berkaitan erat dengan kondisi keamanan Aceh yang
tidak kondusif akibat terjadinya Pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh
Tgk. M. Daud Beureueh tahun 1953. Dengan pertimbangan tersebut,
sangat beralasan bahwa pembukaan Bank Indonesia kantor cabang Aceh
baru dilakukan setelah kondisi keamanan pulih pasca perdamaian.

Ekonomi Aceh Pasca Pengakuan


Kedaulatan hingga Pergolakan Daerah

P erubahan politik yang terjadi begitu cepat setelah pengakuan


kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia melalui KMB akhir tahun
1949, telah membawa dampak pada banyak aspek kehidupan di Indonesia,
terutama politik dan ekonomi. Pengakuan kedaulatan dalam format
Republik Indonesia Serikat (RIS) telah menyebabkan kebijakan-kebijakan
dalam bidang politik dan ekonomi yang diambil Pemerintah Indonesia
pasca pengakuan kedaulatan harus mengikuti kesepakatan KMB. Akibat
terikat dengan isi kesepakatan tersebut, banyak kebijakan yang diambil
Pemerintah Indonesia tidak berjalan paralel dengan perkembangan politik
dan ekonomi di beberapa daerah yang sangat heterogen, khususnya
Aceh. Sebagai satu-satunya wilayah Republik yang tidak pernah dikuasai
kembali oleh Belanda pasca proklamasi kemerdekaan, Aceh memiliki
kemerdekaan politik dan ekonomi yang berbeda dengan daerah lain.
Oleh karena itu, tidak mengherankan kebijakan seragam yang ditempuh
pemerintah berdasarkan kesepakatan KMB bertolak belakang dengan
keunikan yang terjadi di Aceh. Kebijakan inilah yang merupakan salah
satu penyebab terjadinya peristiwa DI/TII Aceh tahun 1953.

11 Sayangnya arsip dan dokumen mengenai pembukaan kembali dan keuangan BI cabang Aceh periode
1964 sampai 1990 sebagian besar hancur akibat bencana tsunami yang melanda Aceh tahun 2004.
Darsono dkk. (b), Menghadapi Gelombang Pasang di Serambi: Kontribusi Bersama Untuk Aceh
Setelah Tsunami 2004 (Jakarta: Bank Indonesia, 2018), hlm. 236–237.

250 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Dinamika Ekonomi Aceh Menjelang Pecah Gerakan DI/TII
Daud Beureuh

Berakhirnya revolusi kemerdekaan telah membawa babak baru terhadap


perekonomian Indonesia. Konflik fisik antara Indonesia dengan Belanda
masa revolusi kemerdekaan menyebabkan banyak prasarana hancur yang
berpengaruh terhadap tersendatnya perkembangan ekonomi negara
yang masih muda tersebut. Masalah utama ekonomi Indonesia adalah
terjadinya inflasi dan defisit dalam anggaran belanja. Untuk mengatasi
masalah inflasi pemerintah mengambil suatu kebijakan dalam bidang
keuangan dengan mengeluarkan peraturan pemotongan uang pada 19
Maret 1950. Dalam peraturan ini ditentukan bahwa uang yang bernilai
2,50 gulden ke atas dipotong menjadi dua, sehingga nilainya tinggal
setengahnya. Dengan kebijakan ini pemerintah dapat mengendalikan
inflasi. Di samping dapat mengatasi masalah keuangan, pemerintah juga
dapat memperbaiki perekonomian. Hal ini didukung oleh Perang Korea
yang menyebabkan perdagangan luar negeri Indonesia meningkat,
terutama bahan mentah seperti karet sehingga pendapatan negara juga
meningkat.12
Perbaikan ekonomi secara nasional tersebut rupanya tidak berjalan
paralel dengan perkembangan ekonomi di daerah Aceh. Penghapusan
status Aceh sebagai provinsi otonom pada tahun 1950 telah berpengaruh
cukup besar dalam aspek ekonomi. Dalam bidang moneter misalnya,
tidak lama setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia,
kewenangan moneter yang bersifat lokal yang selama masa revolusi
kemerdekaan dinikmati daerah Aceh dicabut. Pencabutan kewenangan
tersebut dilakukan dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Serikat (RIS) tahun 1950, tentang tata aturan nilai tukar uang
RIS dengan mata uang lokal yang ada di Jawa dan Sumatra, yang efektif
berlaku sejak 30 Maret 1950. Implikasi dari kebijakan tersebut bagi daerah
Aceh adalah harus mengkonversi mata uang lokal (Urips, Uripsu, dan Uriba)
yang beredar di masyarakat sekitar 8 miliar rupiah dengan uang Republik

12 Marwati Djoened Poespnegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional…, (1993: 207).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 251


sejak 1 Juni 1950. Dalam kesatuan moneter baru, biaya operasional
pemerintah baik rutin maupun dana pembangunan yang sebelumnya
dibiayai oleh pemerintah daerah Aceh, disuplai oleh pemerintah pusat.
Kebijakan tersebut sangat berpengaruh terhadap birokrasi yang dibiayai
oleh pemerintah daerah.13
Permasalahannya terjadi karena pengelolaan sumber-sumber
ekonomi penting di daerah Aceh beralih ke pemerintah pusat, sehingga
pemasukan pemerintah daerah di Aceh berkurang secara signifikan.
Sumber utama pemasukan pemerintah daerah Aceh masa revolusi
kemerdekaan adalah perkebunan dan pertambangan. Dengan kebijakan
baru tersebut, semua tanggung jawab pengelolaannya beralih kepada
pemerintah pusat. Implikasinya adalah secara ekonomi Aceh yang
sebelumnya sangat otonom, semakin tergantung kepada pemerintah
pusat. Ketergantungan ini berakibat pembangunan sarana dan prasarana
fisik yang rusak masa revolusi kemerdekaan berjalan lambat. Upaya-upaya
yang dilakukan pemerintah pusat dalam tahun 1952–1953 belum dapat
memulihkan situasi seperti sebelum meletusnya Perang Asia Timur Raya.14
Salah satu prasarana fisik yang tidak mendapat pemeliharaan dan
perbaikan adalah jalan raya dan jembatan. Jalan raya yang merupakan
urat nadi perekonomian penting di Aceh saat itu berada dalam kondisi
yang memprihatinkan. Buruknya kondisi jalan raya di Aceh saat itu
diungkapkan oleh Teuku Muhammad Ali Panglima Polim. Sebagaimana
disiarkan dalam surat kabar harian Tegas, mantan Wakil Residen Aceh
masa revolusi kemerdekaan tersebut mengatakan bahwa pemeliharaan
jalan sejak revolusi kemerdekaan di Aceh telah diabaikan dan tidak
mendapat perhatian pemerintah. Selain itu, dia menambahkan bahwa
sebagian besar jembatan di Aceh juga dalam keadaan rusak dan tidak
mendapat perhatian. Oleh karena itu, dia merasa kecewa sehingga
mencoba membandingkan kondisi kedua infrastruktur tersebut di Aceh

13 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh: Gugatan Terhadap Tradisi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997),
hlm. 242. Lihat juga Mawardi Umar dan Al Chaidar, Darul Islam Aceh: Pemberontak atau Pahlawan?,
Buku Dua Seri Konflik Aceh dari Masa ke Masa (Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, 2006), hlm. 106–07.
14 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh…, (1997: 243).

252 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


yang jauh lebih baik pada masa kolonial dibandingkan dengan masa
kemerdekaan.15
Buruknya kondisi prasarana ekonomi di Aceh masa awal pengakuan
kedaulatan oleh Pemerintah Belanda juga dilaporkan oleh J. Vos van
Marken yang mengunjungi Kutaraja pada bulan Januari 1950. Dia
mengatakan bahwa jalan yang menghubungkan Bandara Blang Bintang
dengan Kutaraja melalui Lamnyong yang berjarak sekitar 12 km, dan jalan
dari arah Bandara Blang Bintang ke Kutaraja melalui Sibreh yang berjarak
24 km, berada dalam kondisi yang sangat buruk. Jalan-jalan dalam kota
(Kutaraja) pun sangat buruk, penuh lubang, dan lalu lintas sangat sepi
dari sebelumnya. Demikian juga halnya dengan jembatan yang kondisinya
tidak jauh berbeda dengan kondisi jalan. Jembatan di Tanjung yang
terletak antara Kutaraja ke Ulee Lheue misalnya, kondisinya sangat buruk.
Aspal di atas jembatan tersebut dalam kondisi retak berkeping-keping dan
besi-besinya banyak yang sudah berkarat.16 Demikian juga halnya dengan
jalan kereta api yang menghubungkan Kutaraja dengan pantai utara dan
timur Aceh sampai ke Sumatra Timur, berada dalam kondisi yang kurang
bagus. Buruknya kondisi jalan kereta api ini mengakibatkan pasokan
minyak bumi dari Peureulak (Aceh Timur) ke Kutaraja yang diangkut
dengan ketel-ketel Atjeh Tram menjadi kurang lancar. Implikasinya adalah
listrik untuk penerangan rumah penduduk di Kutaraja hanya menyala dari
pukul 17.00 hingga 24.00. Malahan beberapa kota kabupaten di Aceh
lainnya tidak mendapat pasokan listrik sama sekali.17
Infrastruktur ekonomi lainnya yang dilihat J. Vos van Marken dalam
kondisi yang sangat memprihatinkan adalah Pelabuhan Ulee Lheue yang
merupakan pelabuhan utama di Kutaraja. Pelabuhan ini berada dalam
kondisi sangat memprihatinkan. Gudang “bom”, kantor dan tempat
tinggal staf Atjeh Transport Maatschappij telah hilang, hanya batu-batu
kantor bea cukai yang masih utuh. Dermaga yang rusak karena dihantam

15 Surat kabar harian Tegas, 27 September 1952. Lihat juga Nazaruddin Syamsuddin, Pemberontakan
Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990), hlm. 77.
16 Arsip Bank Indonesia, Koleksi De Javasche Bank, “Rapport over het Bezoek aan Koetaradja van J. Vos
van Marken”, No. 5493.
17 Arsip Bank Indonesia, Koleksi De Javasche Bank, “Rapport over het Bezoek ...”. No. 5493.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 253


torpedo Sekutu dalam Perang Pasifik, dalam kondisi yang buruk.
Akibatnya, pembongkaran perahu yang dilakukan dengan cara ‘diboom’
berjalan sangat lambat, sementara barang diturunkan dari sekop di dua
perahu, yang ditarik dengan perahu motor ke dermaga. Lambatnya
pembongkaran di Pelabuhan Ulee Lheue menyebabkan adanya biaya
tambahan untuk biaya lebih kapal berlabuh.18
Fasilitas umum lainnya yang kondisinya sangat memprihatinkan awal
tahun 1950-an adalah fasilitas kesehatan. Di Kutaraja misalnya, layanan
kesehatan sangat buruk dan tidak sanggup menampung jumlah pasien
yang semakin membengkak. Sebagai perbandingan, berdasarkan laporan
Kepala Kantor Kesehatan di Aceh, Dr. I Made Bagiastra, diketahui bahwa
satu orang bidan di Aceh harus melayani 170.000 penduduk, sangat
jauh dengan rata-rata nasional waktu itu yaitu satu banding 50.000.
Data tersebut menunjukkan bahwa fasilitas dan pelayanan kesehatan di
Aceh pasca pengakuan kedaulatan berada sangat jauh di bawah rata-rata
nasional.19
Beralihnya tanggung jawab keuangan dari pemerintah daerah ke
pemerintah pusat berdampak pula terhadap perusahaan-perusahaan di
Aceh, seperti yang dialami oleh NV. Indolco, NV. Permai, dan NV. Sakti
yang pada masa revolusi kemerdekaan merupakan rekanan dan sekaligus
supplier pemerintah daerah Aceh. Kebijakan pengalihan tanggung jawab
keuangan ini sangat merugikan para pengusaha tersebut, karena mereka
masih mempunyai tagihan kepada pemerintah daerah, baik berupa
barang pasokan maupun jatah hasil perkebunan yang dijanjikan. Dengan
berlakunya kebijakan tersebut, mereka harus mengurus piutangnya
dengan jalur yang baru dengan birokrasi yang semakin panjang.20
Konsekuensi dari kebijakan ini adalah banyak klaim pengusaha Aceh
tersebut yang ditolak pemerintah pusat, seperti diungkapkan oleh S. M.
Amin dalam memoarnya yaitu: “Sangat disayangkan, mereka yang sangat
berjasa ini, kecuali Muhammad Saman dari PT. Puspa, setelah revolusi
kemerdekaan berakhir tidak memperoleh perlakuan yang wajar. Malahan,

18 Arsip Bank Indonesia, Koleksi De Javasche Bank, “Rapport over het Bezoek ...”, No. 5493.
19 Nazaruddin Syamsuddin, Pemberontakan Kaum…, (1990: 75).
20 Nazaruddin Syamsuddin, Pemberontakan Kaum…, (1990: 243).

254 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


utang getah yang masih harus diperoleh dari pemerintah atas perjanjian
jual beli, ditolak pembayarannya”.21
Dalam bidang produksi juga mencerminkan kondisi yang sama.
Banyak sawah dan irigasi yang terlantar sejak masuknya Jepang, tidak
pernah diperbaiki setelah masa kemerdekaan. Walaupun pemerintah
pusat mengatakan telah mencadangkan sejumlah dana untuk membiayai
proyek-proyek irigasi dan jalan, tetapi yang dilakukan hanyalah
pengiriman tim peninjau yang susul-menyusul dari beberapa kementerian.
Proyek rehabilitasi sistem irigasi sebesar lima juta rupiah yang dijanjikan
pemerintah pusat pada tahun 1952 tidak pernah terwujud. Buruknya
sistem irigasi di Aceh telah berakibat menurunnya produksi beras petani,
terutama di wilayah-wilayah sentra produksi beras, seperti Aceh Besar,
Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Implikasi dari keadaan ini adalah
pendapatan petani ikut juga menurun. Walaupun menurut data statistik
harga beras di pasaran naik dari Rp1,75 per liter pada bulan Juli 1951
menjadi Rp1,90 pada bulan September, dan Rp2,00 pada bulan Januari
1952, tidak berarti pendapatan petani ikut meningkat. Hal ini disebabkan
karena mereka harus membayar lebih mahal untuk bahan-bahan
kebutuhan lain yang juga ikut naik, sebagai akibat mekanisme harga pada
saat itu sangat ditentukan oleh harga beras.22
Kondisi yang lebih buruk lagi terjadi dalam bidang perdagangan
ekspor dan impor. Sebagaimana telah diuraikan pada Bab 4, aktivitas
perdagangan ekspor dan impor dalam bentuk perdagangan barter antara
Aceh dengan Penang dan Singapura berkembang pesat pada masa
revolusi kemerdekaan. Lancarnya aktivitas perdagangan barter ini telah
menyebabkan aktivitas ekonomi di Aceh berjalan lancar, sehingga Aceh
dapat memenuhi kebutuhan sendiri, baik pangan maupun sandang.
Dengan perdagangan barter ini Aceh juga telah berkontribusi banyak
terhadap aktivitas revolusi pada tingkat nasional. Fasilitas ekonomi ini
hanya dinikmati rakyat Aceh sampai tahun 1951, karena sejak tahun 1952
pemerintah pusat memberlakukan suatu kebijakan mengenai prosedur
umum perdagangan ekspor dan penghapusan sistem perdagangan

21 S. M. Amin (a), Kenang-Kenangan dari Masa Lampau (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978), hlm. 103.
22 Nazaruddin Syamsuddin, Pemberontakan Kaum…, (1990: 75–76).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 255


barter. Kebijakan tersebut dirasakan sangat merugikan masyarakat Aceh.
Bagi masyarakat Aceh yang sudah terbiasa dengan perdagangan barter
kebijakan itu dirasakan suatu pukulan yang sangat keras. Setelah lahirnya
kebijakan tersebut, terjadi penurunan volume ekspor dan impor secara
terus menerus ke dan dari Penang. Penurunan nilai ekspor tersebut
terlihat pada tabel 5.1. berikut ini.

Tabel 5.1.
Nilai Ekspor Indonesia ke Penang Tahun 1950–1953
(dalam juta rupiah)

Tahun Nilai Ekspor Nilai Impor


1950 6,8 1
1951 245,9 3,3
1952 141 2,1
1953 123,9 0,5
Sumber: Nazaruddin Sjamsuddin, (1990: 79)

Dari Tabel 5.1. terlihat jelas penurunan secara signifikan nilai ekspor
Indonesia ke Penang, Malaysia sejak tahun 1952. Hal ini disebabkan oleh
menurunnya ekspor yang berasal dari Aceh, terutama komoditas kopra.
Merosotnya nilai ekspor tersebut memberikan dampak yang serius kepada
para petani, karena merosotnya harga kelapa (kopra) di pasar lokal. Hal ini
sangat beralasan karena selain lada, kopra merupakan komoditas ekspor
utama Aceh sejak lama. Berbeda dengan di Jawa dan Sumatra Timur, di
mana kebun kelapa dimiliki oleh perusahaan-perusahaan swasta, di Aceh
yang menguasai produksi kopra adalah para petani. Para petani di Aceh
tidak semata-mata tergantung pada produksi beras. Sebagian besar petani
di pesisir Aceh memiliki kebun kelapa yang hasilnya digunakan untuk
menopang kehidupan mereka, terutama untuk memenuhi kebutuhan
sandang dan kebutuhan lain di luar kebutuhan makan.
Kondisi ekonomi yang diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan
pemerintah pusat yang kurang menguntungkan rakyat Aceh ini, telah
membuat rakyat Aceh kecewa terhadap pemerintah pusat. Dengan

256 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


realitas ini dan ditambah lagi dengan faktor-faktor lainnya, terutama
dihapusnya Provinsi Aceh dan digabung ke dalam Provinsi Sumatra Utara,
telah membuat rakyat Aceh merasa dikhianati oleh pemerintah pusat.
Puncak kekecewaan tersebut adalah meletusnya pemberontakan DI/TII di
bawah pimpinan Daud Beureueh pada tahun 1953.

Peristiwa DI/TII Daud Beureuh dan Dampaknya terhadap


Ekonomi Aceh

Kondisi ekonomi Aceh yang tidak mengalami perbaikan pasca


pengakuan kedaulatan oleh Belanda bertambah buruk akibat terjadinya
Pemberontakan DI/TII Aceh di bawah pimpinan Teungku Muhammad Daud
Beureueh pada tahun 1953. Pemberontakan yang melibatkan sebagian
besar tokoh di Aceh yang telah berjasa pada masa revolusi kemerdekaan
dan didukung oleh sebagian besar rakyat, telah berdampak buruk
terhadap hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Aceh. Ditambah
dengan lamanya peristiwa ini berlangsung telah menyebabkan aktivitas
perekonomian rakyat di Aceh nyaris terhenti sama sekali. Implikasi dari
kondisi ini adalah kesejahteraan rakyat juga ikut mengalami penurunan
yang signifikan.
Peristiwa DI/TII Aceh sebenarnya merupakan suatu peristiwa
yang cukup kompleks, yang dilatarbelakangi oleh faktor yang cukup
kompleks pula. Penghapusan otonomi sebagai sebuah provinsi tahun
1950, yang dianggap oleh sebagian besar ahli sebagai faktor utama
meletusnya pemberontakan DI/TII Aceh, sebenarnya bukanlah satu-
satunya faktor penyebab. Hal ini sangat beralasan karena jarak
waktu antara penghapusan status Provinsi Aceh dengan meletusnya
pemberontakan berlangsung cukup lama, yaitu sekitar 3 tahun. Oleh
karena itu, meletusnya pemberontakan DI/TII Aceh selain disebabkan oleh
penghapusan otonomi, juga dilatarbelakangi oleh sejumlah dampak yang
terjadi akibat dihapuskannya Provinsi Aceh. Dampak-dampak tersebut
sangat merugikan masyarakat Aceh.23

23 Mawardi Umar dan Al Chaidar, Darul Islam Aceh…, (2006: 96).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 257


Aceh telah menyandang status sebagai provinsi otonom sejak tahun
1949 berdasarkan Ketetapan Pemerintah Darurat Republik Indonesia.
Legalitas pembentukan Provinsi Aceh tersebut merujuk pada Peraturan
Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/
WKPM, Tanggal 17 Desember 1949. Berdasarkan peraturan tersebut,
Provinsi Sumatra Utara ditiadakan dan dipecah menjadi dua provinsi, yaitu
Provinsi Aceh dan Provinsi Tapanuli-Sumatra Timur yang mulai berlaku
sejak tanggal 1 Januari 1950. Sebagai Gubernur Provinsi Aceh saat itu
diangkat Tgk. Daud Beureueh. Pengangkatan ini dilakukan setelah ia
diberhentikan dari jabatan sebelumnya sebagai Gubernur Militer Aceh,
Langkat, dan Tanah Karo.
Pembentukan Provinsi Aceh ini menurut mantan Gubernur Sumatra
Utara pertama, S. M. Amin, telah memenuhi harapan sebagian besar
rakyat Aceh yang memang sejak awal tidak merasa puas dengan terikatnya
daerah mereka dengan Sumatra Timur-Tapanuli dalam satu ikatan
provinsi. Rakyat Aceh merasa kedua daerah ini memiliki kepentingan
yang berbeda, sehingga agak sulit diperjuangkan secara bersama-sama.
Ditambah lagi dengan perbedaan agama dan adat istiadat dengan
penduduk Tapanuli Utara dan Karo, maka rakyat Aceh merasa tidak puas
apabila dipaksakan untuk disatukan dalam satu provinsi. Oleh karena itu,
rakyat Aceh merasa sangat puas dengan terbentuknya Provinsi Aceh yang
terpisah dari Sumatra Timur-Tapanuli.24
Setelah lahirnya Provinsi Aceh, dibentuk pula lembaga legislatif,
yang diberi nama Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Aceh. Sebagai tindak
lanjut, dalam waktu yang amat singkat, yaitu pada 21 Januari 1950, telah
dilakukan pemilihan anggota lembaga ini. Keseluruhan anggota DPR
Provinsi Aceh pertama ini berjumlah 27 orang, termasuk satu orang wakil
dari etnis Tionghoa yang bernama Lim Hong Moh. Sidang pembentukan
dan sekaligus peresmian anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Provinsi Aceh diadakan di Kutaraja pada 30 Januari 1950, yang dilakukan
oleh Gubernur Tgk. M. Daud Beuerueh. Dengan terbentuknya DPR
Provinsi Aceh berarti bubarlah Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Sumatra
Utara, yang juga berkedudukan di Kutaraja.25

24 S. M. Amin (a), Kenang-Kenangan…, (1978: 82–83).


25 S. M. Amin (a), Kenang-Kenangan…, (1978: 83–84).

258 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Gambar 5.1. Anggota DPR Aceh di Depan Gedung DPR, Bekas Gedung DJB Kutaraja
Sumber: Repro TA Talsya, 1990 (Buku III), hlm. 7.

Kegembiraan rakyat Aceh terhadap pemberian daerah otonomi


dalam bentuk provinsi tersendiri tidak berlangsung lama. Saat Provinsi Aceh
baru berumur sekitar tiga bulan, terbetik berita yang menggemparkan
sekaligus sangat mengecewakan bagi sebagian besar rakyat Aceh,26
karena pembentukan Provinsi Aceh yang mereka banggakan dibatalkan
oleh pemerintah pusat. Menurut keterangan dari Menteri Dalam Negeri,
Mr. Susanto Tirtoprojo, yang ditugaskan ke Aceh pada 13 Maret 1950,
Ketetapan Wakil Perdana Menteri mengenai pembentukan Provinsi Aceh
tidak mendapat persetujuan dari parlemen. Namun demikian, sampai
saat itu pemerintah pusat belum juga mengeluarkan peraturan mengenai
pembentukan Provinsi Aceh.27

26 Ada juga kelompok masyarakat, terutama keturunan uleebalang (bangsawan) yang menjadi korban
Revolusi Sosial di Aceh, yang merasa senang dengan dibatalkan pembentukan Provinsi Aceh, karena
dari awal mereka sudah tidak setuju dengan pembentukan wilayah otonomi bagi Aceh. S. M. Amin
(a), Kenang-kenangan…, (1978: 85).
27 S. M. Amin (a), Kenang-kenangan…, (1978: 86).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 259


Penghapusan Provinsi Aceh tersebut sebenarnya merupakan
konsekuensi dari implementasi hasil kesepakatan RIS-RI pada 19 Mei 1950
dan Ketetapan Sidang Dewan Menteri tanggal 8 Agustus 1950, tentang
pembagian wilayah yang baru, yang menetapkan pembagian wilayah
Republik Indonesia menjadi 10 provinsi.28 Dari 10 provinsi tersebut,
Pulau Sumatra dibagi menjadi 3 provinsi, yaitu Provinsi Sumatra Utara,
Provinsi Sumatra Tengah, dan Provinsi Sumatra Selatan. Dengan kebijakan
baru ini mengakibatkan Provinsi Aceh harus dilebur ke dalam Provinsi
Sumatra Utara, dan status Aceh turun menjadi sebuah keresidenan.
Untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut pemerintah pusat
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1950, Tanggal 14 Agustus 1950, yang isinya mencabut Peraturan
Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 8/Des/
WKPM Tahun 1949 Tentang Pembentukan Provinsi Aceh dan menetapkan
pembentukan Provinsi Sumatra Utara yang meliputi Keresidenan Aceh,
Sumatra Timur, dan Tapanuli.29
Rakyat Aceh yang merasa memiliki andil besar terhadap Republik
masa revolusi kemerdekaan sangat kecewa dengan kebijakan tersebut.
Mereka merasa dikhianati dan ditinggalkan oleh pemerintah pusat justru
pada saat kondisi sudah normal. Kebijakan tersebut mendapat reaksi dan
tantangan keras dari rakyat Aceh. Menyikapi kegelisahan rakyat Aceh
tersebut, pemerintah pusat mengutus satu komisi ke Aceh di bawah
pimpinan Mr. Susanto Tirtoprojo, yang tiba di Kutaraja pada 13 Maret
1950. Tujuan kedatangan rombongan ini ke Aceh menurut penjelasan Mr.
Susanto Tirtoprojo sendiri dalam pertemuan dengan para pemimpin Aceh
adalah untuk mengadakan penyelidikan, pengumpulan bahan-bahan
yang diperlukan untuk menentukan status Provinsi Aceh. Pertemuan yang
terjadi dalam suasana tegang ini berakhir tanpa mencapai suatu hasil
yang diharapkan.30

28 Arsip Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh Kode referensi: ID 21100-24 21100-24-AC02-
AC02-16/1-AC02-16/1- 16.1. Lihat juga Drs. Muhammad Ibrahim dkk.,Sejarah Daerah Provinsi
Daerah Istimewa Aceh (Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1978), hlm. 193–94
29 S. M. Amin (b), Sekitar Peristiwa Berdarah di Aceh (Djakarta: N.V. Soeroengan, n.d.), hlm. 284.
30 S. M. Amin (a), Kenang-kenangan…, (1978: 86–87).

260 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Sekitar lima bulan setelah pertemuan rombongan Menteri Dalam
Negeri dengan para pemimpin Aceh, belum juga ada tanda-tanda
penyelesaian pemerintah pusat mengenai persoalan Provinsi Aceh.
Meskipun pemerintahan dan DPR Provinsi Aceh masih berjalan seperti
tidak ada persoalan yang sedang terjadi, namun para pemimpin tersebut
tetap merasa gelisah selama belum ada pengesahan pemerintah pusat
terhadap Provinsi Aceh. Oleh karena itu, dalam sidang tanggal 12
Agustus 1950, DPR Provinsi Aceh mengeluarkan mosi dengan tuntutan
“Aceh minta tetap jadi provinsi sendiri”. Sebagai penjelasan mosi
tersebut dikemukakan secara panjang lebar beberapa pertimbangan yang
berkaitan dengan beberapa unsur, yaitu pengetahuan, ekonomi, geografi,
sosiologi, agama, kebudayaan, politik, dan keuangan.31
Setelah kegagalan rombongan pertama, pemerintah pusat mengirim
rombongan kedua ke Aceh di bawah pimpinan Menteri Dalam Negeri
yang baru, Mr. Assaat, yang tiba di Kutaraja pada 26 Desember 1950.
Sama dengan pertemuan pertama, pertemuan dengan rombongan Mr.
Assaat juga terjadi dalam suasana tegang dan tidak menghasilkan kata
sepakat antara perwakilan pemerintah pusat dengan para pemimpin Aceh.
Malahan di akhir pertemuan, para pemimpin Aceh mengeluarkan suatu
pernyataan sikap berbentuk ancaman kepada pemerintah pusat yang
isinya bahwa apabila pemerintah pusat tidak dapat memenuhi tuntutan
rakyat Aceh, yakni Aceh berotonomi dalam artian seluas-luasnya, maka
mereka mengancam akan melakukan hal berikut, yaitu:
a. Akan meletakkan jabatan sebagai pegawai dan kembali ke tengah-
tengah masyarakat rakyat;
b. Sebagian besar dari Wedana-wedana, Kepala-kepala Negeri (camat-
camat), Kepala-kepala Mukim, Pengurus Agama, Hakim-hakim
Agama, dan Pegawai-pegawai yang lain, juga akan meletakkan
jabatan.32
Usaha gigih yang dilakukan rakyat Aceh untuk mempertahankan
Provinsi Aceh pada akhirnya mengalami kegagalan. Provinsi Aceh tetap
dibubarkan dan disatukan ke dalam Provinsi Sumatra Utara bersama

31 S. M. Amin (a), Kenang-kenangan…, (1978: 87).


32 S. M. Amin (a), Kenang-kenangan…, (1978: 88–91).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 261


dengan wilayah Tapanuli dan Sumatra Timur. Keputusan tersebut jelas
sangat melukai perasaan rakyat Aceh. Dalam suasana seperti itu, pada
27 November 1950 Wakil Presiden RI Moh. Hatta berkunjung ke Kutaraja
untuk menemui para pemimpin Aceh. Dalam pertemuan di gedung DPR
Provinsi Aceh, Wakil Presiden mencoba memberi penjelasan mengenai
ketetapan pemerintah pusat menghapus Provinsi Aceh. Usaha tersebut
tidak dapat meyakinkan para pemimpin Aceh yang hadir. Ketegangan
tidak dapat dihindari, seperti halnya dalam pertemuan-pertemuan
dengan utusan pemerintah pusat sebelumnya. Baru setelah kunjungan
Perdana Menteri M. Natsir tanggal 22 Januari 1951, para pemimpin Aceh
dapat menerima untuk sementara waktu pembentukan Provinsi Sumatra
Utara. Dalam kunjungan tersebut dicapai suatu kesepakatan bahwa
tuntutan otonomi Aceh tidak ditolak oleh pemerintah pusat, tetapi akan
diusahakan dan diperjuangkan secara integral.33 Dengan kesepakatan

Gambar 5.2. Wakil Presiden Moh. Hatta Disambut Sewaktu Tiba di Kutaraja tanggal
27 Juli 1953
Sumber: ANRI, Koleksi Kementerian Penerangan Aceh 1947–1965

33 S. M. Amin (b), Sekitar Peristiwa Berdarah (n.d.: 157). Lihat juga Mawardi Umar dan Al Chaidar, Darul
Islam Aceh…, (2006: 101–102).

262 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


tersebut maka kondisi Aceh agak sedikit tenang. Keputusan pembubaran
Provinsi Aceh dibacakan sendiri oleh Perdana Menteri M. Natsir melalui
corong RRI Kutaraja pada tanggal 23 Januari 1951.34
Hampir bersamaan dengan pencabutan status Provinsi Aceh,
dilakukan juga reorganisasi dalam tubuh militer tahun 1950. Reorganisasi
yang dilakukan oleh Kepala Staf Angkatan Darat tersebut sangat
merugikan rakyat Aceh, karena Divisi X TNI Komandemen Sumatra
yang merupakan kebanggaan rakyat Aceh dan telah berperan besar
masa revolusi kemerdekaan akan dibubarkan. Setelah pembubaran,
nantinya di Aceh hanya ada satu brigade yang tunduk di bawah Divisi
Bukit Barisan di Medan. Implikasinya adalah pangkat Panglima Divisi X,
Husin Yusuf, diturunkan dari Kolonel menjadi Letnan Kolonel, karena
posisinya turun menjadi Komandan Brigade. Kebijakan ini telah ikut pula
menimbulkan keresahan rakyat Aceh, terutama di kalangan perwira dan
prajurit Divisi X. Berbagai upaya untuk membatalkan kebijakan tersebut
mengalami kegagalan. Keadaan bertambah genting saat Panglima Bukit
Barisan, Kolonel Kawilarang, datang ke Aceh menitip pesan agar Husin
Yusuf datang menemuinya. Husin Yusuf yang masih merasa dirinya
sebagai Panglima Divisi tidak menanggapi pesan tersebut karena proses
pembubaran Divisi X belum tuntas, sehingga dia memilih pulang ke
kampungnya di Bireuen untuk menenangkan diri. Tindakan ini dianggap
indisipliner sehingga Kawilarang langsung memecat Husin Yusuf di
Lapangan Udara Blang Bintang yang ditulis pada secarik kertas.35
Untuk menuntaskan proses pembubaran Divisi X TNI, datang ke
Aceh utusan Markas Besar Angkatan Darat, Kolonel Abimanyu. Dia
menarik Letkol Husin Yusuf ke Jakarta dan mengangkat Mayor Hasballah
Haji sebagai Komandan Brigade. Dengan tuntasnya pembubaran Divisi
X, maka semua persenjataan yang dianggap berlebihan untuk satu
brigade ditarik ke Medan, termasuk kesatuan artileri dan meriam di
Lhoknga yang telah berperan besar menghalau serangan Belanda masa
revolusi kemerdekaan. Batalion-batalion Aceh pun kemudian disebar ke

34 Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1992), hlm. 134.
35 Hasan Saleh, Mengapa Aceh…, (1992: 125–26).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 263


luar Aceh. Kebijakan tersebut sangat mengecewakan dan melukai hati
personel Divisi X. Perasaan kecewa dilontarkan oleh mantan Panglima
Divisi X, Kolonel Husin Yusuf, yang mengatakan “Tindakan ini adalah
suatu tamparan dan penghinaan yang merobek-robek dada saya, dan
saya akan bertindak sesuai dengan kemampuan yang ada pada diri saya!
Air susu telah dibalas dengan air tuba”. Perasaan kecewa dan serasa tidak
percaya hal itu akan terjadi juga diungkapkan oleh seorang fungsional
militer lainnya dengan kalimat yang sangat puitis, yaitu “Kusangka panas
hingga petang, rupanya hujan di tengah hari”.36 Akibat kekecewaan
tersebut maka tidak mengherankan apabila sebagian besar perwira dan
personel Divisi X TNI Komandemen Sumatra menggabungkan diri dengan
pemberontakan DI/TII Aceh.
Selain dalam bidang militer, penghapusan Provinsi Aceh juga
berdampak cukup mendalam terhadap birokrasi pemerintahan sipil di
Aceh. Dalam birokrasi pemerintahan sipil di Aceh saat itu terjadi mutasi
secara besar-besaran. Beberapa pejabat penting di Aceh dimutasi ke luar
daerah, seperti Tgk. Syekh Marhaban dan Ali Hasjmy pada pertengahan
tahun 1952 dipindahkan ke Medan, sedangkan Hasan Ali sejak awal tahun
1953 dipindahkan ke Kejaksaan Agung di Jakarta. Bagi pejabat yang tidak
bersedia dipindahkan, mereka menempuh berbagai cara, seperti Tgk. M.
Daud Beureueh dan Hasan Ali memilih untuk cuti, sementara T. M. Amin
beralih profesi menjadi pedagang. Jabatan-jabatan yang kosong tersebut
segera diisi oleh para pejabat yang didatangkan dari Sumatra Timur dan
Tapanuli.37
Reorganisasi juga menyentuh pada level paling bawah dalam
birokrasi pemerintahan sipil di Aceh, yaitu negeri, mukim, dan gampong
(desa) yang berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 tanggal 10
Desember 1946 memperoleh honorarium dari Pemerintah Keresidenan
Aceh. Dengan kebijakan yang baru, Kementerian Dalam Negeri hanya
mengakui kepala negeri yang berjumlah 105 buah di Aceh sebagai
pegawai negeri dalam kedudukan sebagai Asisten Wedana. Sementara

36 Hasan Saleh, Mengapa Aceh…, (1992: 126–127).


37 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh…, (1997: 237).

264 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


itu, dua jabatan lainnya, yaitu imeum mukim yang berjumlah 552 orang
dan geuchik (kepala desa) yang jumlahnya lebih banyak lagi tidak
diakui sebagai pegawai negeri. Keputusan tersebut telah menyebabkan
ketidakpuasan dan protes dari mereka.38
Dalam suasana Aceh yang sangat tegang ditambah lagi dengan
dilakukan Razia Agustus, telah menyebabkan keadaan semakin
menggelisahkan. Razia ini merupakan kebijakan Kabinet Sukiman dengan
tujuan mencari bahan peledak dan penyimpanan barang-barang terlarang
yang menghambat kelancaran ekonomi.39 Berbeda dengan di tempat lain,
penggeledahan di Aceh nyaris menjadi tindakan balas dendam kelompok
kiri––di bawah pimpinan Nazier yang saat itu menjabat komandan
militer setempat––terhadap para pemimpin PUSA.40 Tindakan tersebut
mendapat dukungan dari keluarga uleebalang (bangsawan) yang juga
berkesempatan untuk menekan lawan politik mereka. Hal ini dengan
mudah dapat dilakukan karena Komandan Resimen I Militer, Hasballah
Haji, dipindahkan ke Medan awal tahun 1951 dan digantikan oleh Mayor
Nazier, dan banyak personel militer di Aceh juga berasal dari luar Aceh.
Kedua kelompok ini berkolaborasi melawan kelompok PUSA. Oleh karena
itu, tidak mengherankan yang menjadi sasaran penggeledahan adalah
rumah tokoh-tokoh PUSA, seperti rumah Tgk. M. Daud Beureueh, Tgk.
Hasballah Indrapuri, dan A. Gani Mutyara dengan dalih mencari senjata.
Malahan, sejumlah mantan pemimpin milisi, seperti Tgk. Tahir (Kepala
Negeri Mutiara), H. Ibrahim (Jaksa Lhok Sukon), Peutua Husen, Tgk. Hitam
Peureulak, Tgk. M. Aji Di Garot (Trienggadeng), Tgk. Hasan Hanafiah
(Kepala Jawatan Agama Aceh Barat), dan Syeh Marhaban (Wedana
Kutaraja) ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara.41 Semua tindakan
tersebut semakin memperuncing suasana di Aceh yang memang sudah
sangat menegangkan.

38 Mawardi Umar dan Al Chaidar, Darul Islam Aceh…, (2006: 105).


39 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh…, (1997: 247–49).
40 Nazaruddin Syamsuddin, Pemberontakan Kaum…, (1990: 64).
41 Hasan Saleh, Mengapa Aceh…, (1992: 140–146); M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh…, (1997: 247–
249). Lihat juga Mawardi Umar dan Alchaidar, Darul Islam Aceh…, (2006: 109–10).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 265


Suasana yang menegangkan ini diperburuk dengan kebijakan-
kebijakan pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Sumatra Utara
yang dirasakan tidak adil dan sangat merugikan rakyat Aceh. Kebijakan-
kebijakan tersebut dirasa sangat diskriminatif karena lebih mengutamakan
wilayah Sumatra Timur dan Tapanuli. Dalam bidang ekonomi misalnya,
sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, pembangunan
ekonomi terutama infrastruktur, lebih diutamakan di kedua wilayah
tersebut. Demikian juga dengan penjatahan beberapa bahan makanan
untuk Aceh berbeda dari daerah lain di Indonesia. Rakyat Sumatra
Timur misalnya, mendapat pencatutan gula dan rokok hampir setiap
bulan dengan subsidi pemerintah, sedangkan rakyat Aceh praktis tidak
mendapat fasilitas tersebut.42
Hal yang sama juga terjadi dalam bidang sosial budaya. Dalam
pembagian kuota haji misalnya, dari 400 kuota haji Sumatra Utara tahun
1951, Aceh dan Sumatra Timur masing-masing mendapat jatah 100 orang,
sedangkan sisanya 200 orang diberikan kepada Tapanuli. Hal ini sangat
jelas adanya diskriminasi karena penduduk muslim Tapanuli saat itu hanya
setengah dari penduduk Aceh. Demikian juga dalam bidang pendidikan,
dari 28 Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang ada di Provinsi Sumatra
Utara, 13 buah berada di Tapanuli, 9 di Sumatra Timur, dan hanya 6 di
Aceh. Situasi yang sama juga terjadi dalam bidang kesehatan. Pada tahun
1950 sebelum Aceh dimasukkan dalam Provinsi Sumatra Utara, Aceh
dan Tapanuli memiliki jumlah dokter yang sama, yaitu masing-masing
enam orang. Lima tahun kemudian, Pemerintah Sumatra Utara mengirim
sembilan dokter asing ke Tapanuli dan hanya lima (satu orang dokter
pribumi) ke Aceh.43
Penghapusan Provinsi Aceh berdampak juga terhadap penerapan
hukum agama (syariat Islam). Sejak masa revolusi kemerdekaan,
Pemerintah Daerah Aceh yang didominasi oleh elite agama (PUSA),
telah berusaha sejauh mungkin mengubah wajah Aceh agar lebih Islami
melalui berbagai produk peraturan yang dikeluarkan. Dengan dihapusnya
Provinsi Aceh, peraturan-peraturan daerah tersebut sangat sulit untuk

42 Nazaruddin Syamsuddin, Pemberontakan Kaum…, (1990: 75).


43 Nazaruddin Syamsuddin, Pemberontakan Kaum…, (1990: 71–72).

266 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


diimplementasikan. Dengan berpedoman pada ketentuan formal, polisi
yang memiliki kewenangan tentang perizinan sering kali memberi izin
untuk penyelenggaraan acara-acara keramaian rakyat seperti pertunjukan
sedati dan pasar malam. Keramaian-keramaian tersebut bukan hanya
memberi kesempatan bagi kaum laki-laki bertemu perempuan yang
bukan muhrimnya, tetapi juga diisi oleh pertunjukan ronggeng atau joget
dan permainan ketangkasan atau judi yang bertentangan dengan syariat
Islam. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan tersebut sering mendapat reaksi
dari elite agama. Malahan ada dari mereka yang bertindak melarang
masyarakat untuk mengunjungi keramaian, seperti yang dilakukan oleh
pamong praja dan ulama Aceh Besar. Ada juga yang bertindak lebih
jauh dengan menyuruh santri mereka untuk melempar arena keramaian
seperti yang terjadi di Geudong, Aceh Utara.
Selain acara-acara keramaian, yang sangat mencemaskan elite agama
saat itu adalah maraknya pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan
yang bukan muhrim yang terjadi di kota-kota di Aceh. Konon lagi
pergaulan melampaui batas tersebut dilakukan oleh pejabat pemerintah,
terutama yang berasal dari luar Aceh. Sewaktu terjadinya “affair wanita”
yang dilakukan oleh Residen R. M. Danubroto terbongkar ke publik pada
tahun 1953, peristiwa tersebut segera menjadi pembicaraan masyarakat.
Akibatnya pemerintah pusat terpaksa memindahkannnya tiga bulan
kemudian dan menunjuk Sulaiman Daud sebagai penggantinya.
Persoalan keagamaan lainnya adalah terjadinya disharmoni di
bidang hukum yang dihasilkan oleh Mahkamah Syariah. Proses hukum
yang dihasilkan oleh Mahkamah Syariah belum memperoleh kekuatan
hukum bila belum mendapatkan pengesahan dari pengadilan negeri.
Hal ini menjadi masalah dalam melakukan eksekusi––terutama dalam
perkara harta––manakala pihak yang kalah keberatan. Untuk itu, cukup
logis bila Ketua Mahkamah Syariah Kutaraja, Twk. Azis, pada tahun
1953 mengimbau pemerintah pusat untuk memberikan hak yang sama
antara pengadilan negeri dengan Mahkamah Syariah dalam memutuskan
perkara.44

44 Mawardi Umar dan Al Chaidar, Darul Islam Aceh…, (2006: 108-9). M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh…,
(1997: 246–51).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 267


Akumulasi dari semua faktor yang saling berhubungan satu sama
lain tersebut dan ditambah oleh faktor-faktor lainnya telah menyebabkan
meletusnya peristiwa DI/TII Aceh pada 21 September 1953. Pemberontakan
tersebut diproklamirkan oleh seorang tokoh pejuang dan ulama paling
berpengaruh di Aceh, yaitu Tgk. Muhammad Daud Beureueh. Dengan
karismanya yang sangat besar, Tgk. M. Daud Beureueh mengumumkan
dimulainya “sejarah baru” daerah Aceh dengan memproklamasikan
berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di Aceh. Saat itu, sebagian besar
pejabat tinggi di Aceh sedang mengikuti pembukaan Pekan Olahraga
Nasional (PON) III di Medan, karena proklamasi NII Aceh memang
sengaja dipilih dalam waktu yang bertepatan dengan pembukaan PON.
Berdasarkan naskah proklamasi dan Piagam Pernyataan Batee Krueng,
sangat jelas adanya hubungan erat antara gerakan DI/TII Aceh dengan
gerakan DI/TII di Jawa Barat yang dipimpin S. M. Kartosuwiryo. Dalam
kedua naskah tersebut dinyatakan bahwa Aceh sebagai suatu negara
bagian dari Negara Islam Indonesia.45
Proklamasi ini tidak dilakukan dalam rapat umum yang meriah,
tetapi hanya naskah proklamasi dan pernyataan politik yang dibacakan
dan disebarkan di Indrapuri, sebuah kampung di sebelah selatan Kutaraja.
Proklamasi tersebut sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru karena
pemberontakan itu sendiri telah dimulai sehari sebelum pembacaan
proklamasi. Sejak senja tanggal 19 September 1953, komunikasi antara
Aceh dengan Medan telah terputus, dan tindakan-tindakan fisik terjadi di
berbagai tempat. Kerumunan-kerumunan rakyat dengan bendera Tentara
Islam Indonesia (TII), yang dilengkapi dengan senjata tajam dan beberapa
senjata api, terlihat di kampung-kampung di sepanjang jalan raya dan
jalan kereta api sedang bersiap-siap menyerang kota-kota di sekitarnya.
Suasana di seluruh Aceh terasa sangat revolusioner, seakan-akan rakyat
Aceh sedang menyusun suatu Perang Sabil yang lain terhadap kafir.46
Barisan yang terdiri atas para pemuda, guru, pelajar, dan penduduk
kampung memulai serangan terhadap pasukan pemerintah di Aceh Utara

45 Muhammad Ibrahim dkk., Sejarah Daerah…, (1977/1978: 187).


46 Nazaruddin Syamsuddin, Pemberontakan Kaum…, (1990: 83–84).

268 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


dan Aceh Timur pada senja hari tanggal 19 September, yang kemudian
menjalar ke kabupaten-kabupaten lain pada hari-hari berikutnya. Sebuah
pos polisi di Peureulak, sebuah kota kewedanan di Aceh Timur, diserang
dan dilucuti oleh pasukan TII. Di Lhokseumawe, ibu kota Kabupaten
Aceh Utara, terjadi pertempuran sengit antara ribuan pasukan TII dengan
pasukan tentara dan polisi selama empat setengah jam pada hari pertama
pemberontakan. Upaya menguasai kota terus dilakukan setiap hari
selama hampir seminggu. Di Aceh Besar, setelah gagal merebut Kutaraja
karena telah lebih dulu dilakukan pencegahan oleh pasukan pemerintah,
pasukan TII mengalihkan serangan mereka ke beberapa kota kecil dan
berhasil melucuti satu regu tentara dan satu regu polisi, serta merusak
jembatan dan memutuskan kawat jaringan telepon. Oleh karena itu, pada
tanggal 21 September semua komunikasi dengan Aceh praktis terputus.
Pada tanggal 25 September, Takengon, ibu kota Kabupaten Aceh
Tengah jatuh ke tangan pasukan TII, diikuti dengan Blangkejeren di Aceh
Tengah (sekarang Gayo Lues) dan Meureudu di Pidie yang dapat juga
dikuasai pemberontak pada bulan Oktober. Keadaan di Aceh betul-betul
tidak terkendali. Meskipun pasukan-pasukan pemerintah dapat menahan
gerak maju pasukan TII untuk menguasai sebagian kota-kota penting
di Aceh, namun mereka tidak dapat menguasai sepenuhnya kota-kota
tersebut. Di banyak kota, kecuali Kutaraja, pasukan pemerintah terpaksa
bertahan di sekitar tangsi mereka dan hanya dapat melakukan operasi-
operasi militer yang terbatas. Beberapa kota seperti Bireuen, Calang,
Meulaboh, dan Tapaktuan tidak dapat dikendalikan sepenuhnya sampai
pertengahan Oktober, walaupun pemerintah telah mendatangkan ke
daerah ini dua batalion pasukan dari daerah lain.47
Keadaan di seluruh Aceh dapat dikatakan dalam keadaan vacuum,
karena menurut T. M. Ali Panglima Polim, lebih sembilan puluh persen
tokoh penting Aceh yang berjasa masa revolusi kemerdekaan ikut
memberontak, termasuk beberapa orang yang sedang menjabat di
pemerintahan. Hal ini membuat pemerintah pusat sangat kerepotan.48

47 Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum…, (1990: 85).


48 Teuku Muhammad Isa (Penyunting), Teuku Muhammad Ali Panglima Polim: Sumbangsih Aceh Bagi
Republik (Jakarta: Pustaka Sunar Harapan, 1996), hlm. 73.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 269


Diperkirakan, kekuatan pasukan TII ada sekitar 10.000 orang dengan
jumlah senjata api sekitar 800 sampai 1.000 pucuk. Pasukan intinya
berasal dari Pandu Islam yang sebelum pemberontakan meletus berjumlah
4.000 orang, dengan diperkuat oleh 98 militer desersi dari Sidikalang dan
sekitar 400 orang lain berasal dari polisi, pegawai penjara, dan mantan
tentara yang tergabung dalam Biro Perjuangan Aceh. Selain itu, terdapat
juga unsur lain yang berasal dari kelompok yang tidak puas, terutama
pamong praja, Jawatan Agama termasuk Mahkamah Syariah, guru, dan
pelajar Sekolah Agama.49
Gerakan pemberontakan DI/TII Aceh yang cukup besar dan
berlangsung lebih dari lima tahun ini telah menimbulkan masalah besar
bagi pemerintah pusat dan bencana yang besar juga bagi masyarakat
Aceh. Dalam upaya memadamkan pemberontakan DI/TII Aceh, pemerintah
pusat menerapkan operasi militer secara ketat (militaire bijstand). Untuk
mendukung kebijakan tersebut, selain dijalankan oleh personel militer
reguler yang ada di Aceh, juga didatangkan tenaga tambahan dari luar
Aceh terutama dari Kodam Diponegoro. Penerapan militaire bijstand
dalam memadamkan pemberontakan DI/TII Aceh berlangsung sampai
terjadinya Peristiwa Pulot Cot Jeumpa yang menggemparkan Indonesia
tahun 1955. Peristiwa ini bermula dari penghadangan terhadap truk yang
membawa 15 orang tentara dari Batalion 142 Lhok Nga, Aceh Besar, oleh
TII dari Resimen VII Kuta Karang pada 22 Februari 1955 di bawah pimpinan
Hasan Saleh. Mendengar berita tersebut, temannya anggota peleton lain
dari batalion tersebut dengan sangat emosional melakukan pengejaran,
namun pasukan TII telah melarikan diri. Oleh karena yang dicari tidak
ketemu, pihak tentara mengalihkan amarahnya kepada penduduk desa
di sekitar tempat kejadian tersebut. Mereka memporak-porandakan Desa
Pulot, Cot Jeumpa, Lok Seudu, dan Krueng Kala, yang mengakibatkan
sekitar 100 orang penduduk tewas dan beberapa orang luka-luka serta
sejumlah bangunan milik warga dibakar. Peristiwa ini menjadi turning
point kebijakan pemerintah pusat dalam menyelesaikan pemberontakan
DI/TII Aceh. Akibat tekanan-tekanan politik terhadap pemerintah pusat

49 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh…, (1997: 292).

270 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


karena Peristiwa Pulot Cot Jeumpa, telah memengaruhi pemerintah dalam
pengambilan kebijakan yang lebih lunak dalam menyelesaikan peristiwa
DI/TII Aceh.50
Selain korban jiwa dan harta benda yang tidak ternilai harganya,
peristiwa DI/TII juga telah berdampak buruk terhadap perekonomian
Aceh secara keseluruhan. Hal ini disebabkan rakyat dilanda ketakutan,
sehingga tidak bebas melakukan aktivitas mereka sehari-hari. Sering
kali rakyat biasa yang menjadi korban, baik oleh pihak TNI maupun oleh
kelompok DI/TII. Oleh karena itu rakyat sangat menderita. Rakyat Aceh
hidup dalam keadaan yang dilematis, seperti yang diungkapkan oleh
Komandan Resimen Teritorium I Bukit Barisan, Kolonel Syamaun Gaharu,
yaitu “penderitaan rakyat lebih parah lagi, siang hari, pasukan TNI datang
dan menanyai rakyat mengenai DI/TII. Bila jawab mereka meragukan,
mereka kena tampar, sepak, terjang, dan sebagainya. Dan bila malam
hari, pasukan DI/TII gantian yang menanyai rakyat. Bila salah jawab, rakyat
akan dituduh dengan kata Phek (kependekan dari munafiq)… Mereka
kemudian dibawa, lalu dibunuh,…”.51 Begitu dilematisnya kehidupan
rakyat Aceh saat itu, sehingga penderitaan yang mereka hadapi dituangkan
dalam bentuk ungkapan yang sangat puitis, yaitu:
“Ta eek u glee jikap le rimueng,
ta tron u krueng jikap le buya.
Tajak u laot jitop le paroe,
ta woe u naggrou jipoh le bangsa”
Terjemahannya adalah:
Naik ke gunung diterkam harimau,
turun ke sungai diterkam buaya.
Pergi ke laut ditusuk pari,
pulang ke negeri dibunuh bangsa”.
Akibat rasa cemas dan ketakutan tersebut rakyat tidak berani
mengolah sawahnya, sehingga banyak sawah yang dibiarkan

50 Mawardi Umar dan Alchaidar, Darul Islam Aceh…, (2006: 183–84).


51 Ramadhan KH dan Hamid Jabbar, Sjamaun Gaharu: Cuplikan Perjuangan di Daerah Modal (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 302.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 271


terbengkalai dan ditumbuhi rerumputan. Malahan banyak petani yang
telah meninggalkan desanya demi menyelamatkan diri, sehingga banyak
orang yang kekurangan bahan makanan. Demikian juga halnya dengan
perkebunan yang juga dibiarkan terbengkalai, karena hasilnya seperti
kopra, getah, pala, cengkeh, dan lain-lain tidak bisa dipasarkan. Hal
ini disebabkan oleh jalur transportasi yang sangat buruk. Akibatnya
adalah hasil perkebunan dibiarkan menumpuk di rumah-rumah petani.52
Perasaan takut rakyat Aceh untuk menjalankan aktivitas produksi masa
pemberontakan DI/TII juga diungkapkan oleh Perdana Menteri Mr. Hardi,
yang pernah melakukan kunjungan kerja ke Aceh tahun 1957, yaitu
“rakyat takut untuk menggarap sawah-sawahnya, kebun kopi, kelapa
sawit, atau kebun karetnya, karena khawatir terkena peluru, baik yang
berasal dari DI/TII maupun yang dilepaskan oleh pasukan-pasukan ABRI.
Jelasnya, kehidupan perekonomian rakyat cenderung menjadi mandeg”.53

Gambar 5.3. Tgk. M. Daud Beureueh bersama Tokoh-tokoh Darul Islam


Sumber: Pusat Dokumentasi Informasi Aceh

52 Ramadhan KH dan Hamid Jabbar, Sjamaun Gaharu…, (1995: 303).


53 Mr. Hardi, Daerah Istimewa Aceh: Latar Belakang Politik dan Masa Depannya (Jakarta: PT. Cita Panca
Serangkai, 1993), hlm. 192.

272 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Selain bidang produksi pertanian rakyat yang tidak berjalan selama
terjadinya pemberontakan, infrastruktur ekonomi juga nyaris hancur total.
Kondisi ini sebenarnya sudah berlangsung sebelum terjadinya peristiwa DI/
TII. Hanya saja dengan terganggunya keamanan akibat pemberontakan
tersebut, perbaikan sarana jalan raya tidak mungkin dapat dilakukan.54
Kondisi tersebut bertambah buruk masa DI/TII. Jalan-jalan raya, jalan
kereta api, dan banyak jembatan yang dirusak oleh pasukan TII dalam
upaya menghalangi mobilitas pasukan pemerintah mengejar mereka.
Kerusakan fisik daerah Aceh akibat peristiwa DI/TII sebagaimana disaksikan
oleh Sjamaun Gaharu saat awal dia dipindahkan kembali ke Aceh untuk
menyelesaikan peristiwa tersebut yang mengatakan bahwa:
“jalan dan jembatan hampir seluruhnya rusak, sehingga perjalanan yang
sekarang (saat dia diwawancara tahun 1995) dapat dicapai 10 sampai 12
jam, pada waktu itu harus ditempuh dalam beberapa hari. Jalan kereta api
A.S.S itu bukan lagi Atjeh Staat Spoor sebagaimana dimaksud pada zaman
Belanda, tetapi berubah makna menjadi Asal Sampai Saja. Sebab, sebagian
besar rel kereta api itu sudah dibongkar oleh pemberontak... Sarana
perhubungan antara Medan dan Kutaraja, pada waktu itu, selain jalan darat
yang harus ditempuh berhari-hari, ada juga pesawat udara tipe Dakota yang
menghubungkan Polonia dengan Blang Bintang dalam seminggu beberapa
kali. Sedangkan perhubungan laut hanya ada satu kapal, itu pun bukan
kapal untuk umum, tetapi kapal Komando milik Angkatan Bersenjata, yang
bila perlu juga dioperasikan untuk membantu kelancaran hubungan antara
Belawan dan Ulee Lheue”.55
Kondisi yang sama juga diungkapkan oleh T. M. Ali Panglima Polim.
Saat dia berangkat dari Kutaraja ke Sigli, ibu kota Kabupaten Pidie,
setelah ditunjuk sebagai Bupati Pidie masa DI/TII, dia harus menempuh
perjalanan panjang dengan naik kapal laut ke Lhokseumawe, Aceh Utara,
baru kemudian balik lagi ke Sigli. Padahal jarak dari Kutaraja ke Sigli hanya
sekitar 110 km melalui jalan darat. Hal ini disebabkan banyak jalan dan
jembatan yang sudah rusak sehingga tidak bisa dilalui oleh kendaraan.
Padahal, sejak masa kolonial Belanda, kota ini dengan mudah dapat

54 Muhammad Ibrahim dkk., Sejarah Daerah…, (1977/1978: 193–94).


55 Muhammad Ibrahim dkk., Sejarah Daerah…, (1977/1978: 305).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 273


diakses baik dengan mobil melalui jalan raya maupun dengan kereta api.
Setelah terjadi peristiwa DI/TII, kota ini benar-benar terisolir. Untuk bisa
mencapai Kota Sigli saat itu hanya dapat dilakukan dengan menggunakan
boat atau landing boat.56
Rusaknya infrastruktur ekonomi telah menyebabkan distribusi baik
komoditas yang dihasilkan maupun barang-barang kebutuhan masyarakat
di hampir seluruh Aceh mengalami kemacetan pula. Para pedagang
hanya dapat mengangkut barang-barang dalam jumlah terbatas dengan
boat atau landing boat, sehingga persediaan bahan kebutuhan pokok
yang berasal dari daerah lain menjadi sangat terbatas. Demikian juga
halnya barang-barang komoditas yang dihasilkan di daerah ini tidak
bisa diangkut ke luar untuk diperdagangkan, khususnya ke Penang,
Malaysia, yang merupakan tujuan ekspor tradisional Aceh. Akibatnya,
barang-barang komoditas hasil pertanian rakyat tersebut banyak yang
membusuk sehingga sangat merugikan petani. Hal ini sesuai dengan
kesaksian T. M. Ali Panglima Polim di Kabupaten Pidie, yang mengatakan
bahwa:
“persediaan beras cukup banyak, beribu ton banyaknya. Juga di pelabuhan
dan pantai-pantai telah bertumpuk-tumpuk biji pinang dan lain hasil
pertanian rakyat yang telah tersedia dan siap untuk diekspor. Khususnya
biji pinang yang sedianya akan diekspor ke Pulau Pinang, Malaysia, telah
mulai nampak dimakan bubuk…. Seluruh rakyat dalam keadaan ketakutan,
ditambah pula dengan tekanan ekonomi, yaitu barang-barang yang mereka
beli sudah makin berkurang dan harganya sangat mahal, sedangkan hasil
bumi yang mereka jual harganya murah karena tidak ada alat pengangkutan
ke luar. Kapal KPM yang selama ini menyinggahi Pelabuhan Sigli tidak
pernah nampak lagi”.57
Hancurnya infrastruktur akibat peristiwa DI/TII Aceh yang
berlangsung lebih lima tahun telah berdampak sangat buruk terhadap
ekonomi Aceh secara keseluruhan. Peristiwa yang melibatkan sebagian
besar tokoh Aceh tersebut telah mengakibatkan terjadinya kesulitan-

56 Teuku Muhammad Isa (Penyunting), Teuku Muhammad…, (1996: 76).


57 Teuku Muhammad Isa (Penyunting), Teuku Muhammad.., (1996: 76).

274 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


kesulitan dalam bidang ekonomi yang dirasakan rakyat. Ekonomi Aceh
saat itu benar-benar tidak berputar, sehingga menyebabkan kehidupan
rakyat sangat menderita. Hal ini disebabkan oleh terbengkalainya
lapangan pekerjaan akibat kurang terjaminnya keamanan dan banyaknya
penduduk yang mengungsi. Implikasinya adalah sebagian besar rakyat
Aceh mengalami kekurangan bahan pangan, sehingga banyak dari
mereka yang menyiasatinya mengganti nasi dengan ubi kayu.58 Dengan
banyaknya jalan dan jembatan yang rusak telah menyebabkan banyak
wilayah yang terisolir. Akibatnya, kesejahteraan rakyat di daerah Aceh
menurun drastis sehingga jauh tertinggal dari daerah lain di Indonesia.59

Tabel 5.2.
Kondisi Jalan Raya di Aceh Tahun 1968

Panjang Jalan (km)


Kondisi Jumlah
Negara Provinsi
Baik 137.032 77.136 214.168
Sedang 146.820 642.300 789.620
Rusak Ringan 127.244 257.520 384.364
Rusak Berat 78.304 308.544 386.848
Sumber: Aceh dalam Angka 1972, hlm. 185. Muhammad Ibrahim dkk., 1977/1978: 194

Peristiwa DI/TII berpengaruh juga terhadap perkebunan budidaya


di Aceh. Selain aktivitas perkebunan yang terganggu akibat faktor
keamanan yang tidak kondusif, pengusaha perkebunan juga harus
membayar pajak terhadap Negara Bagian Aceh (NBA). Pihak perkebunan
tidak punya pilihan lain kecuali harus mematuhinya untuk menjamin
kelancaran usahanya, karena saat itu mereka tidak dapat mengandalkan
perlindungan dari pasukan pemerintah. Pembayaran pajak terhadap
NBA tersebut tidak dilaporkan kepada pemerintah. Untuk menjamin
keselamatan dan kedudukan pimpinan perkebunan, NBA merekayasa
seakan-akan pajak tersebut dipungut di bawah todongan senjata. Situasi

58 Ramadhan KH dan Hamid Jabbar, Sjamaun Gaharu…, (1995: 303).


59 A. Hasjmy dkk., Lima Puluh Tahun Aceh Membangun (Banda Aceh: Majelis Ulama Indonesia Daerah
Istimewa Aceh dan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, 1995), hlm. 267.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 275


ini terus berlangsung sampai penyelesaian masalah ini tuntas dilakukan
pada awal tahun 1960-an.60

Perdamaian sebagai Awal Kebangkitan


Kembali Ekonomi Aceh

P eristiwa DI/TII Aceh benar-benar merupakan masalah nasional,


sebagaimana diucapkan oleh Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo pada
sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tanggal 20 Oktober 1953. Untuk
mengatasi peristiwa tersebut, DPR melalui sidangnya mengeluarkan
usul mosi kepada pemerintah agar memberikan daerah otonom kepada
Aceh. Setelah mendengar pendapat dari berbagai pihak, di tengah
berkecamuknya pemberontakan yang sudah berlangsung selama
tiga tahun, pemerintah pusat mengeluarkan Undang-Undang Nomor
24/1956 Tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh yang
terpisah dari Provinsi Sumatra Utara.61 Sebagai Gubernur diangkat Ali
Hasjmy berdasarkan Ketetapan Presiden Nomor 615/M Tahun 1957,
tanggal 5 Januari 1957. Acara pelantikan Ali Hasjmy sebagai Gubernur/
Kepala Daerah Provinsi Aceh dilaksanakan pada 27 Januari 1957. Dengan
pembentukan Provinsi Aceh sebagai Provinsi Otonom tersebut merupakan
satu langkah maju dan sangat strategis yang ditempuh pemerintah pusat
dalam menyelesaikan pemberontakan DI/TII Aceh.62
Proses penyelesaian pemberontakan tersebut semakin lancar setelah
Aceh juga diberi otonomi dalam bidang kemiliteran. Wilayah militer Aceh
yang sebelumnya berada di bawah Komando Daerah Militer Bukit Barisan,
dipisah dan ditetapkan sebagai daerah militer yang berdiri sendiri dengan
nama Komando Daerah Militer Aceh (KDMA) pada 22 Desember 1956.
Panglima pertamanya ditunjuk Letnan Kolonel Sjamaun Gaharu, yang
sebelumnya menjabat Komandan Divisi I TT Kodam Bukit Barisan. Dengan

60 A. Hasjmy dkk., Lima Puluh Tahun…, (1995: 267).


61 Amran Muslim, Ichtisar Perkembangan Otonomi Daerah (Jakarta: Lembaga Administrasi Negara,
1960), hlm. 51.
62 Muhammad Ibrahim dkk., Sejarah Daerah…, (1977/1978: 188).

276 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


terbentuknya KDMA berarti semua proses penyelesaian pemberontakan
DI/TII berada di bawah komando KDMA, sehingga proses penyelesaian
masalah tersebut akan lebih mudah dilakukan.63
Dalam penyelesaian pemberontakan DI/TII, Sjamaun Gaharu
mempunyai satu gagasan yang telah mendapat persetujuan dari KSAD,
Jenderal A. H. Nasution, yang diberi nama Konsepsi Prinsipil Bijaksana.
Konsepsi ini berarti bahwa dengan “bijaksana” Gaharu menawarkan
kesempatan kepada para pemberontak untuk “kembali ke pangkuan
Ibu Pertiwi”, seraya tetap mempertahankan “prinsip” pemerintah untuk
menggunakan kekuatan di mana perlu.64 Konsepsi ini dikampanyekan
secara gencar ke seluruh Aceh untuk mendapat simpati rakyat. Dengan
demikian secara tidak langsung dapat menekan kelompok DI/TII untuk
melakukan perdamaian. Untuk dapat menjalankan konsepsi yang
diajukan Sjamaun Gaharu tersebut, daerah Aceh ditetapkan dalam
keadaan Darurat Perang dan Panglima KDMA, Kolonel Sjamaun Gaharu,
ditetapkan menjadi Penguasa Perang Daerah (Peperda).
Selain Panglima KDMA Sjamaun Gaharu, Gubernur Provinsi Aceh
Ali Hasjmy juga sangat besar kontribusinya dalam proses penyelesaian
peristiwa DI/TII Aceh. Dengan pendekatan-pendekatan yang dilakukan
oleh kedua tokoh tersebut, akhirnya berhasil membawa tokoh-tokoh DI/TII
ke meja perundingan untuk mencari penyelesaian masalah tersebut. Dari
hasil pembicaraan kedua belah pihak, lahirlah suatu kesepakatan damai
pada 7 April 1957, yang terkenal dengan nama Ikrar Lamteh. Adapun isi
dari Ikrar Lamteh tersebut adalah:
1. Sama-sama berusaha untuk memajukan agama Islam;
2. Sama-sama berikhtiar untuk membangun Aceh dalam arti yang
seluas-luasnya;
3. Sama-sama bekerja untuk memberi kemakmuran dan kebahagiaan
kepada rakyat dan masyarakat Aceh.65

63 Muhammad Ibrahim dkk., Sejarah Daerah…, (1977/1978: 188).


64 Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum…, (1990: 274).
65 Sendam I/Iskandar Muda, Kutaradja: Karya Bakti TNI-AD di Aceh Sejak 1945 s/d 1969 (1970),
hlm.244. Lihat juga Muhammad Ibrahim dkk., Sejarah Daerah…, (1977/1978: 189).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 277


Ikrar Lamteh ini mempunyai arti yang sangat penting dalam upaya
menyelamatkan Aceh dari jurang kehancuran. Kesepakatan ini yang
menjadi tonggak utama berakhirnya pemberontakan DI/TII di Aceh,
sehingga proses pemulihan keamanan dapat dilakukan dengan lebih baik.
Tonggak ini menjadi landasan yang sangat penting untuk membangun
kembali Aceh dari kehancuran. Hal ini dapat dilakukan karena dari hasil
kesepakatan tersebut dengan jelas terlihat bahwa kedua belah pihak,
baik pemerintah sipil dan militer Aceh maupun pihak DI/TII, sama-sama
menyadari pentingnya membangun kembali Aceh dalam upaya memberi
kemakmuran bagi rakyat Aceh yang sangat menderita.
Walaupun proses perdamaian semakin mengalami kemajuan,
namun gejolak politik di Aceh belum seluruhnya berakhir. Untuk menjaga
stabilitas nasional demi persatuan dan kesatuan bangsa, pemerintah pusat
mengirim Perdana Menteri Hardi ke Aceh pada tahun 1959. Melalui misi
ini yang dikenal dengan nama “Missi Hardi”, dilakukan pembicaraan yang
berhubungan dengan gejolak politik, pemerintahan dan pembangunan
daerah Aceh. Hasil misi tersebut ditindaklanjuti dengan Keputusan Perdana
Menteri Republik Indonesia Nomor 1/MISSI/1959. Maka sejak tanggal 26
Mei 1959 Daerah Swatantra Tingkat I atau Provinsi Aceh diberi status
“Daerah Istimewa” dengan sebutan lengkap Provinsi Daerah Istimewa
Aceh. Dengan predikat tersebut Aceh memiliki hak-hak otonomi yang
luas dalam bidang agama, adat, dan pendidikan. Status ini dikukuhkan
dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965.66 Dengan diberikannya
hak otonomi dalam bentuk keistimewaan ini, yang memang merupakan
keinginan para pemimpin pemberontak sebelumnya, telah membuat
sikap mereka semakin melunak. Hal ini sangat penting dalam upaya
menuntaskan proses perdamaian di Aceh secara menyeluruh. Penyelesaian
persoalan pemberontakan DI/TII Aceh baru tuntas dilaksanakan setelah
kembalinya Tgk. Daud Beureueh ke pangkuan Ibu Pertiwi pada tahun
1962.
Selain dilakukan dengan pendekatan politik, upaya penyelesaian
pemberontakan DI/TII Aceh, juga dilakukan dengan pendekatan ekonomi.

66 https://acehprov.go.id/profil/read/2014/10/03/104/sejarah-provinsi-aceh.html

278 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Pembangunan prasarana ekonomi yang sebagian telah hancur merupakan
prioritas utama yang harus dilakukan untuk membangun Aceh kembali.
Proses pembangunan itu pun tidak mungkin dapat dilakukan kalau kondisi
keamanan tidak terjamin, karena pembangunan tidak bisa dilepaskan dari
stabilitas politik. Selama peristiwa DI/TII masih belum bisa diselesaikan,
tidak mungkin dilaksanakan pembangunan.67 Oleh karena itu, Ikrar Lamteh
merupakan tonggak yang sangat penting untuk proses pembangunan
kembali Aceh dari kehancuran. Hal ini disebabkan sejak saat itu ekskalasi
konflik secara perlahan mulai menurun, sehingga keamanan wilayah juga
ikut membaik. Ditambah lagi dengan kedua belah pihak yang sama-sama
sangat ingin membangun kembali Aceh demi mencapai kesejahteraan
rakyat, maka proses pembangunan infrastruktur mulai dapat dilakukan.
Dengan adanya Ikrar Lamteh, Penguasa Perang Daerah (Peperda)
Aceh, Letnan Kolonel Sjamaun Gaharu, bersama Gubernur Provinsi Daerah
Istimewa Aceh, Ali Hasjmy, menggencarkan kampanye penyelesaian
masalah tersebut secara menyeluruh melalui Konsepsi Prinsipil Bijaksana.
Setelah kondisi keamanan relatif mulai agak kondusif, mereka mulai
menggerakkan proses pembangunan kembali Aceh dalam bidang mental
spiritual, fisik, dan sosial ekonomi. Konsep pembangunan kembali ini
telah dirumuskan dalam rencana Tri Karya Bakti, yang meliputi bidang
pemulihan keamanan, pembangunan di segala bidang, dan pengisian
otonomi yang luas.68
Untuk menyukseskan rencananya tersebut, sebagai seorang Peperda,
Sjamaun Gaharu, juga berusaha keras untuk mendapatkan dana yang
lebih besar bagi program-program rehabilitasi ekonomi. Ia dan Ali Hasjmy
menyadari bahwa untuk pembangunan kembali Aceh tidak dapat hanya
semata-mata bergantung pada anggaran rutin atau bantuan insidentil
dari pemerintah pusat. Alasannya karena selain kerusakan infrastruktur
di Aceh yang sangat masif juga karena keterbatasan dana yang dimiliki
pemerintah pusat. Dengan pertimbangan itulah mereka mencoba
mengerahkan sumber dana lokal yang bisa dilakukan dalam kondisi yang

67 Mr. Hardi, Daerah Istimewa Aceh…, (1993: 192).


68 Ramadhan KH dan Hamid Jabbar, Sjamaun Gaharu…, (1995: 296).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 279


belum sepenuhnya kondusif. Untuk itu, Peperda Aceh sejak akhir tahun
1957 memberlakukan sistem perdagangan barter 70:30 persen (70 persen
untuk Aceh dan 30 persen untuk pusat) terhadap berbagai komoditas
ekspor di Aceh. Dalam realisasinya kegiatan ini ditangani oleh sebuah tim
Financial and Economic (Finec) yang antara lain terdiri atas A. Gani Adam,
Kepala Kantor Perindustrian Aceh, Kapten T. Hamdany, dan Usman Ali,
anggota DPD Aceh. Dari perdagangan barter dan pungutan berbagai
bentuk cukai diperoleh sumber pemasukan utama pembangunan Aceh
saat itu.69
Sebagai Peperda, Sjamaun Gaharu terus mengintensifkan
perdagangan barter di Aceh, walaupun ada usaha pemerintah pusat
untuk menghentikannya. Dia malah tidak puas dengan perdagangan
barter yang berlaku atas dasar 70:30 persen, sehingga pada pertengahan
tahun 1957, dengan dukungan Gabungan Saudagar Indonesia Daerah
Aceh (GASIDA), dia menuntut sistem barter seratus persen untuk Aceh.
Tuntutan tersebut tidak disetujui oleh pemerintah pusat. Akan tetapi,
setahun kemudian, ketika Nasution melarang semua panglima daerah
melibatkan diri dalam perdagangan barter, Gaharu tidak mematuhinya.
Pembangkangan Gaharu terhadap larangan Nasution tersebut dengan
alasan bahwa perdagangan barter memang sangat membantu
memperbaiki ekonomi petani dan pedagang setempat. Sementara itu,
hasil yang diperoleh KDMA dipergunakan untuk membiayai perbaikan
jalan dan fasilitas pembangunan lainnya. Dengan langkah-langkah
tersebut, Sjamaun Gaharu berhasil memenangkan dukungan rakyat bagi
kepemimpinannya.70
Dalam upaya perbaikan infrastruktur ekonomi yang hancur total,
selain mengandalkan dana rutin dan dana dari hasil perdagangan
barter, juga diusahakan dengan menggandeng perusahaan pemerintah
yang menjalankan usahanya di Aceh, terutama P.N. Pertamina. Hal ini
dilakukan untuk mengurangi beban ekonomi yang harus ditanggung
oleh Pemerintah Aceh. Dalam kaitan ini Dewan Perwakilan Rakyat

69 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh…, (1997: 389–90).


70 Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum…, (1990: 279–80).

280 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Daerah Gotong Royong (DPRD-GR) Daerah Istimewa Aceh membuat
sebuah Resolusi No.: B-7/7/DPRDGR/1963, kepada Presiden RI yang isinya
antara lain adalah agar Presiden RI memerintahkan kepada pimpinan
P.N. Pertamina Aceh/Sumut untuk melaksanakan rehabilisasi/perbaikan/
pembangunan jalan negara yang menghubungkan Pangkalan Brandan
(Sumut) dengan Lhokseumawe (Aceh) dengan biaya diambil dari hasil
setiap liter minyak bumi dalam bentuk rupiah dan dari hasil ekspor minyak
bumi.71 Dengan dilakukan perbaikan jalan negara ini diharapkan dapat
menggerakkan perekonomian rakyat.

Pendirian Bank Kesejahteraan Aceh

Dalam upaya menghidupkan perekonomian rakyat sekaligus untuk


mendapatkan dana membiayai pembangunan di Aceh, Pemerintah Daerah
Istimewa Aceh mendirikan perusahaan daerah PT. Panca Usaha dan bank
milik pemerintah daerah. Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Peralihan Provinsi Aceh melalui Surat Keputusan No. 7/DPRD/5,
Tanggal 7 September 1957, beberapa orang yang mewakili pemerintah
daerah menghadap notaris untuk mendirikan PT. Bank Kesejahteraan
Atjeh NV (BKA). Langkah awal yang ditempuh setelah mendirikan bank
tersebut antara lain berupaya menjalin hubungan dengan pimpinan di
tingkat pusat, seperti dengan Perdana Menteri Ir. Juanda dan Direktur
Bank Negara Indonesia, T. Yusuf Muda Dalam. Dari Perdana Menteri
diperoleh dana Rp25 juta untuk modal dasar BKA, sedangkan T. Yusuf
Muda Dalam memperbantukan T. Jafar untuk jabatan Direktur Utama.72
Berdasarkan naskah rencana pendiriannya, bank yang kantor
pusatnya di Kutaraja ini akan memiliki kantor-kantor cabang di seluruh
kabupaten di Aceh dan di tempat-tempat lain yang dianggap perlu.
Adapun tujuan didirikan BKA, sebagaimana yang dicantumkan dalam
Pasal 2 naskah rencana pendiriannya adalah menjalankan segala pekerjaan
bank dalam arti seluas-luasnya, seperti:

71 Arsip Nasional RI, Koleksi Arsip Departemen Keuangan, Nomor 323.


72 A. Hasjmy dkk., Lima Puluh Tahun…, (1995: 329-330).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 281


1. Menyelenggarakan perkreditan dengan jangka waktu pendek dan
jangka waktu panjang;
2. Menerima uang sebagai simpanan, giro, deposito, dan sebagainya;
3. Memperdagangkan surat-surat berharga; dan
4. Melakukan usaha-usaha lain yang termasuk pekerjaan bank pada
umumnya dan tidak bertentangan dengan undang-undang negeri,
ketertiban umum, dan tata susila.73
Usaha pendirian bank ini terealisasi setelah mendapat izin Menteri
Keuangan untuk BKA melalui Surat Keputusan No. 12096/BUM/II
Tanggal 2 Februari 1960. Atas dasar surat tersebut, Menteri Kehakiman
memberikan pengesahan badan hukum dengan Keputusan No. J.A.5/22/9
Tanggal 18 Maret 1960. Menindaklanjuti Undang-Undang No. 13 Tahun
1962 tentang Ketentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah, pada
tahun 1963 Pemerintah Daerah Aceh mengeluarkan Peraturan Daerah
No. 12/1963 sebagai landasan hukum berdirinya Bank Pembangunan
Daerah Istimewa Aceh. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya tanggal 7
April 1973, Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh mengeluarkan Surat
Keputusan No. 54/1973 tentang Penetapan Pelaksanaan Pengalihan
PT. Bank Kesejahteraan Atjeh NV. menjadi Bank Pembangunan Daerah
Istimewa Aceh. Peralihan status, bentuk usaha, serta hak dan kewajiban
secara resmi baru terlaksana pada tanggal 6 Agustus 1973. Tanggal ini
kemudian ditetapkan sebagai tanggal lahir Bank Pembangunan Daerah
Istimewa Aceh.74

Pendirian Kota Pelajar/Mahasiswa (Kopelma)


Darussalam

Setelah kondisi keuangan mulai tersedia, dalam upaya mewujudkan


pembangunan di Aceh, pada 17 Mei 1957 Sjamaun Gaharu, selaku Peperda
Aceh membentuk Komisi Lima yang berasal dari DPD, yaitu Komisi Urusan

73 Arsip Nasional RI, Koleksi Arsip Sekretariat Negara Kabinet Perdana Menteri 1950–1959 Jilid 2, No.
1555.
74 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh…, (1997: 330–31).

282 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Keagamaan yang dipimpin oleh Ismail Arif; Komisi Urusan Pendidikan,
Pengajaran, dan Kebudayaan dipimpin oleh Ibrahim Abduh; Komisi
Urusan Keuangan Ekonomi dan Pembangunan dipimpin oleh Usman Ali;
Komisi Pemerintahan dipimpin oleh A. Latif Rusdi; dan Komisi Peradilan
dipimpin oleh T. Ali Keureukon. Komisi-komisi tersebut menjaring kembali
keputusan atau usul Kongres Masyarakat Aceh di Medan tahun 1956 dan
Reuni Divisi Gajah I di Yogyakarta tahun 1956 guna dijadikan rancangan
pembangunan daerah Aceh. Hasil rumusan Komisi Lima inilah kemudian
dijadikan pegangan dan pedoman pelaksanaan Tri Karya Bakti.75
Dengan konsep yang jelas dan didukung dengan dana yang cukup,
Sjamaun Gaharu dan Ali Hasjmy semakin mengintensifkan pembangunan
di Aceh. Sebagai Ketua Peperda, Sjamaun Gaharu membentuk Yayasan
Dana Kesejahteraan Aceh (YDKA) pada 15 Maret 1958, yang diketuai oleh
M. Husin, Bupati t/b pada Kantor Gubernur Aceh dan Mayor R. Sunaryo
dari KDMA. Yayasan yang mendapat akta notaris pada 12 April 1958
ini mempunyai misi utama untuk mempersiapkan Kota Pelajar/Mahasiswa
(Kopelma) Darussalam.76 Oleh karena dibangun sebagai bagian dari
suasana awal perdamaian Aceh, pembangunan Kopelma Darussalam77
diiringi dengan harapan bahwa proyek pembangunan ini akan menjadi
sumber kedamaian untuk Aceh secara keseluruhan, “dari Darulharb
manjadi Darussalam”, yang artinya dari negeri yang kacau menuju negeri
yang damai.
Pembangunan Kampus Kopelma Darussalam menurut para pemimpin
Aceh saat itu, merupakan solusi yang tepat untuk proses pembangunan
kembali peradaban Aceh. Untuk mencapai tujuan tersebut ditempuh
dengan menjadikan pembangunan Kopelma Darussalam menjadi bagian
dari pembangunan pendidikan Aceh secara keseluruhan. Oleh karena itu,
hari lahirnya Kopelma Darussalam tanggal 2 September 1959 dijadikan
sebagai Hari Pendidikan Daerah Aceh yang diperingati setiap tahun.

75 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh…, (1997: 390–91).


76 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh…, (1997: 391–92).
77 Direncanakan dalam Kopelma Darussalam terdapat tiga lembaga pendidikan tinggi yang saling
melengkapi, yaitu: Unsyiah yang fokus mengembangkan ilimu-ilmu umum, IAIN Ar-Raniry (sekarang
UIN Ar-Raniry) fokus mengembangkan ilmu-ilmu agama, dan Dayah Tinggi Pantee Kulu untuk
mempersiapkan pimpinan-pimpinan pada lembaga pesantren.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 283


Dijadikannya hari lahirnya Kopelma Darussalam sebagai Hari Pendidikan
Daerah Aceh, karena Kopelma Darussalam diharapkan menjadi mata air
ilmu pengetahuan yang akan menyuburkan tumbuh kembangnya benih-
benih intelektual seluruh Aceh dan juga Indonesia, sebagaimana yang
pernah dicapai Aceh pada masa silam. Hal ini sesuai dengan harapan
Panitia Pendirian Kopelma Darussalam yang dipublikasikan dalam
buku Darussalam dan Hari Pendidikan Aceh (1961:14) yaitu “untuk
mengembalikan Atjeh pada tempat jang lajak di zaman baru ini sebagai
satu daerah jang penting di Indonesia, maka Aceh haruslah memiliki
Sardjana2 Besar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, tegasnja Atjeh
wadjiblah mendjadi gudang ilmu pengetahuan dalam arti seluas kata.”78
Proyek monumental tersebut dapat direalisasikan dengan peletakan
batu pertama pembangunan Kopelma Darussalam oleh Menteri Agama,
K.H. Ilyas pada 17 Agustus 1958. Selanjutnya pada 23 Agustus 1958,
Menteri PP dan K Prof. Priyono juga melakukan peletakan batu pertama
pembanguan Kopelma Darussalam. Proses pembangunan Kopelma
Darussalam akhirnya terwujud dengan diresmikan pembukaannya oleh
Presiden Sukarno pada 2 September 1959, bersamaan dengan peresmian
pembukaan Fakultas Ekonomi yang merupakan fakultas pertama dalam
lingkungan Kopelma Darussalam. Dalam acara peresmian tersebut,
Presiden Sukarno mendoakan agar Kopelma Darussalam dapat menjadi
lambang perekat perdamaian di Aceh. Doa Presiden Sukarno dimuat
dalam bagian Sekapur Sirih buku Darussalam dan Hari Pendidikan Aceh
(1961), antara lain yaitu:
1. “Saja mendo’akan kepada Allah swt., bahwa iklim di Atjeh sungguh2
berobah mendjadi iklim damai: suasana hendaknja berobah dari
DARULHARB mendjadi DARUSSALAM”.
2. Darussalam Pusat Pendidikan di daerah Atjeh sebagai lambang
iklim damai dan suasana persatuan dan kesatuan, sebagai hasil
kerdja-sama antara rakjat dan para Pemimpin Atjeh, sebagai modal
pembangunan dan kemadjuan bagi daerah Atjeh chususnja dan
seluruh Indonesia umumnja”.79

78 Mawardi Umar dkk., Kiprah Kampus ‘Jantong Ate’ Untuk Bangsa: 58 Tahun Unsyiah (Banda Aceh:
Syiah Kuala University Press, 2019), hlm. 20.
79 Mawardi Umar dkk., Kiprah Kampus…, (2019: 20).

284 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Gambar 5.4. Presiden sedang menuliskan kesan-kesan pada pembukaan Kopelma
Darussalam, 2 September 1959.
Sumber: ANRI, Koleksi Kementerian Penerangan Aceh No. 849

Pembukaan Kembali Pelabuhan Bebas Sabang

Selain membangun Kopelma Darussalam, proyek pembangunan besar


lainnya yang dilakukan pemerintah daerah Aceh adalah menginisiasi
pembukaan kembali Pelabuhan Bebas Sabang. Dengan mengambil
momentum politik Ganyang Malaysia yang dijalankan pemerintah pusat
pertengahan tahun 1960-an, rencana pembukaan Pelabuhan Bebas
Sabang mendapat dukungan kuat dari pemerintah pusat, karena program
ini berkaitan erat dengan kebijakan konfrontasi ekonomi yang dijalankan
pemerintah. Berdasarkan Penetapan Presiden RI No. 10/1965 dijelaskan
bahwa dalam rangka pembangunan ekonomi nasional Indonesia pada

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 285


umumnya dan dalam realisasi konfrontasi terhadap Malaysia di bidang
ekonomi secara khusus, perlu diadakan pelabuhan bebas dan wilayah
perdagangan bebas di dalam negeri. Oleh karena itu, dalam sidang
Komando Tertinggi Operasi (KOTI) dan Komando Tertinggi Operasi
Ekonomi (KOTOE) pada 10 Oktober 1963 telah diputuskan untuk
menetapkan Sabang sebagai Pelabuhan Bebas dan Belawan, Tanjung
Priok, dan Makassar sebagai Wilayah Perdagangan Bebas.80
Konfrontasi ekonomi dilaksanakan dalam bentuk larangan ekspor
Indonesia ke daerah-daerah Malaysia, seperti Penang dan Singapura yang
merupakan tujuan ekspor tradisional Aceh. Akibat pemutusan hubungan
dengan kedua pasar tersebut telah menimbulkan kesulitan bagi para
produsen, eksportir, dan negara karena terhambatnya barang-barang
ekspor Indonesia memasuki pasar baru, sehingga penerimaan devisa juga
ikut berkurang. Banyak barang yang bertumpuk di pelabuhan-pelabuhan
dan pusat-pusat produksi, sehingga telah menimbulkan kerugian besar
bagi petani dan pengusaha. Kesulitan-kesulitan ekonomi inilah yang
dilihat oleh Pemerintah Aceh sebagai sebuah peluang dengan membuka
pusat pasar ekspor baru di Sabang. Dengan usaha ini diharapkan
dapat memperkecil arti pentingnya Singapura sebagai salah satu pusat
perdagangan di Asia Tenggara.
Pembukaan kembali Pelabuhan Bebas Sabang juga merupakan
harapan yang sudah lama dipendam oleh masyarakat Sabang itu sendiri.
Hal ini berkaitan dengan kondisi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat
di pulau tersebut yang mengalami penurunan drastis pasca penutupan
pelabuhan bebas oleh Jepang tahun 1942. Oleh karena itu, kunjungan
Presiden Sukarno ke Sabang tahun 1953 merupakan kesempatan
emas bagi mereka untuk menyampaikan keinginan tersebut kepada
Presiden. Keinginan tersebut diungkapkan melalui poster-poster dan
spanduk-spanduk yang dibentangkan saat penyambutan kedatangan
Presiden Sukarno. Di antara sekian banyak poster dan spanduk, terdapat
satu spanduk yang paling besar dan mencolok, bertuliskan “Sabang
Diminta Dibangun Kembali”.81 Ini menandakan bahwa rakyat Sabang

80 Arsip Nasional RI, Koleksi Arsip Menteri Negara Ekonomi Keuangan dan Industri 1967–1973.
81 Arsip Nasional RI, Arsip Foto Koleksi Kementerian Penerangan Wil. Aceh 1947–1965, No. 1180

286 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


sangat merindukan suasana kehidupan masa pelabuhan bebas masih
berlangsung.
Keinginan pemerintah daerah dan masyarakat Sabang untuk
membuka kembali Pelabuhan Bebas Sabang tersebut mendapat
dukungan penuh dari pemerintah pusat. Dengan keluarnya Keputusan
Presiden RI No. 10 Tahun 1963, tanggal 10 Oktober 1963, menetapkan
Sabang sebagai daerah Pelabuhan Bebas, dan pelaksanaannya diserahkan
kepada Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE). Untuk mengelola
Pelabuhan Bebas Sabang dibentuk Komando Pelaksana Pembangunan
Proyek Pelabuhan Bebas Sabang (KP4BS) dengan Peraturan Presiden
Nomor 22 Tahun 1964. Selanjutnya, lahir Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1970 menetapkan ketentuan pokok Daerah Perdagangan Bebas
dengan Pelabuhan Bebas Sabang untuk masa 30 tahun. Meskipun

Gambar 5.5. Sukarno Melihat Pemandangan di Sekitar Pelabuhan Sabang 14 April


1953
Sumber: ANRI, Koleksi Kementerian Penerangan Aceh 1947–1965

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 287


demikian, masa berlangsungnya Pelabuhan Bebas Sabang tidak sampai
30 tahun sebagaimana ketentuan Undang-Undang. Baru berlangsung 15
tahun, Pelabuhan Bebas Sabang secara resmi dicabut dengan keluarnya
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1985. Pencabutan ini dilakukan karena
ternyata aktivitas perdagangan di Pelabuhan Bebas Sabang menunjukkan
nilai impor jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ekspor.82

Pendirian Aceh Development Board

Selain pembangunan Pelabuhan Bebas Sabang, dalam upaya


menampung pemikiran-pemikiran progresif dari berbagai kalangan untuk
pembangunan Aceh, maka pemerintah daerah Aceh bersama-sama
dengan akademisi Universitas Syiah Kuala melihat perlunya pembentukan
suatu badan yang diberi nama Aceh Development Board (ADB). Dalam
badan ini para cendikiawan dari Universitas Syiah Kuala maupun dinas-
dinas dan masyarakat lainnya dapat merumuskan rencana-rencana
yang baik bagi pembangunan daerah. Pembentukan badan ini diawali
dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh Nomor
089/1967, tanggal 15 Oktober 1967 membentuk Badan Pertimbangan
dan Perencanaan Pembangunan Daerah (BP3D) Provinsi Daerah Istimewa
Aceh. Dalam perkembangannya badan ini menjadi Badan Perencanaan
Pembangunan Aceh (Aceh Development Board), berdasarkan Keputusan
Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh Nomor 53/III/1968, tanggal 26
Januari 1968. Dengan surat keputusan tersebut, ADB memiliki struktur
organisasi, tata kerja, kedudukan, fungsi dan aspirasi pemerintah daerah
dalam meningkatkan pembangunan daerah secara menyeluruh.83

Menggerakkan Kembali Usaha Perkebunan

Untuk menggerakkan kegiatan ekonomi daerah, pemerintah daerah Aceh


mulai menggerakkan kembali perusahaan-perusahaan perkebunan yang

82 A. Hasjmy dkk., Lima Puluh Tahun…, (1995: 332–33).


83 A. Hasjmy dkk., Lima Puluh Tahun…, (1995: 335).

288 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


ada di Aceh. Hal ini sesuai dan sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat
dalam mengimplementasikan hasil KMB, antara lain semua perusahaan
milik pengusaha swasta Belanda yang ada di Indonesia dikembalikan
kepada pemiliknya dan diizinkan kembali menjalankan usahanya.84 Dalam
rangka pembukaan kembali perusahaan milik swasta Belanda di Aceh
setelah pengakuan kedaulatan, mereka mengirim perwakilan perusahaan
ke Aceh sejak awal tahun 1950. Kedatangan perwakilan tersebut, selain
melihat kondisi terakhir perusahaan mereka, juga mengurus segala syarat
administrasi yang dibutuhkan dalam situasi pemerintahan yang baru
(Republik). Hal ini perlu dilakukan karena wilayah Aceh tidak pernah
berhasil diduduki kembali oleh Belanda setelah masuknya Jepang.
Sebelum membuka kembali usahanya, mereka perlu mendapatkan
izin resmi dari Residen Aceh, sebagaimana yang dilakukan oleh J. Vos
van Marken, datang ke Kutaraja pada tanggal 12 sampai 19 Januari
1950. Meskipun dia telah mendapat izin meneruskan usahanya dari Atjeh
Handel Matschappij (AHM), dia tetap perlu bertemu dengan Residen Aceh
Teuku Muhammad Daudsyah, Gubernur Aceh Tgk. M. Daud Beureueh,
Kepala Kehakiman Sutikno, dan Kepala Jawatan Perdagangan Moh.
Hanafiah.85 Hal yang sama juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
swasta Belanda lainnya. Oleh karena itu, periode 1950–1958 perusahaan-
perusahaan swasta Belanda, terutama perusahaan perkebunan melakukan
kegiatan layaknya pada masa kejayaannya tahun 1920-an, meskipun
beberapa di antaranya dalam proses menuju pemulihan.
Sejak akhir 1950-an dan awal 1960-an Pemerintah Indonesia
mengambil kebijakan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan
Belanda sebagai reaksi terhadap sikap keras Pemerintah Belanda
dalam penyelesaian masalah Irian Barat. Proses pengambilalihan ini
melibatkan 246 perusahaan swasta Belanda, yang 90 persen darinya
adalah perusahaan perkebunan. Perusahaan-perusahaan yang diambil
alih saat itu ditangani langsung oleh negara dalam bentuk perusahaan

84 Soegijanto Padmo, “Menuju Perusahaan Terbatas Perkebunan (PTP)”, Makalah pada Workshop on
the Economic Side of Decolonization jointly organized by LIPI, PSSAT UGM & Program Studi Sejarah
Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 18–19 Agustus 2004, hlm. 2.
85 Arsip Bank Indonesia, Koleksi De Javasche Bank, Rapport over het Bezoek aan Koetaradja van J.Vos
van Marken, No. 5493.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 289


negara. Perusahaan perkebunan tidak digabungkan dengan perusahaan
milik pemerintah yang sudah ada, tetapi dikelola secara terpisah dalam
manajemen tersendiri yang disebut Perusahaan Perkebunan Negara Baru
atau PPN Baru, sedangkan PPN yang sudah ada disebut PPN Lama. Pada
tahun 1961 PPN Lama dan PPN Baru lebur menjadi PPN dengan wilayah
kerjanya meliputi unit kerja perkebunan, yang salah satunya adalah unit
Aceh. Pada tahun 1963 mulai dilakukan pengelompokan perusahaan
perkebunan menurut budidaya jenis tanaman. Kemudian tahun 1968
terjadi perubahan lagi dengan pembentukan kembali Perusahaan Negara
Perkebunan (PNP).86 Perkebunan karet di Aceh Timur menjadi P.N.
Perkebunan I Daerah Tk.II Aceh Timur, dan pada tahun 1980 dibentuk
PTP I yang seluruh usahanya berada dalam wilayah Aceh Timur87.

Tabel 5.3.
Luas Areal dan Produksi Tanaman Karet P.N. Perkebunan I Daerah Tk. II Aceh
Timur, 1968–1970

Tahun Luas Areal (ha) Produksi (kg) Produksi/ha


1968 25.132,03 2.485.108 98,89
1969 25.132,03 3.411.749 135,75
1970 25.132,03 3.686.748 146,70
Sumber: Daerah Tk. II Aceh Timur dalam Angka 1974, Banda Aceh: Bappeda Daerah Istimewa Aceh

Dua Bank Indonesia di Aceh

G encarnya pembangunan kembali Aceh setelah membaiknya kondisi


keamanan pasca ditandatangani Ikrar Lamteh membutuhkan sebuah
lembaga keuangan yang dapat menjamin sirkulasi uang dengan lancar.
Dalam konteks inilah dibuka kembali De Javasche Bank Agentschap
Kutaraja yang telah berubah nama menjadi Bank Indonesia kantor cabang
Banda Aceh. Dalam waktu yang hampir bersamaan, untuk mendukung

86 Soegijanto Padmo, “Menuju Perusahaan…”, (2004: 4-5). Lihat juga Handbook of Indonesian Estate
Crops Business 2000 (Jakarta: Directorate General of Estate Crops, n.t.), hlm. 21.
87 Anonimous, Industri Perkebunan Besar di Indonesia: Profil dan Petunjuk (Jakarta: Departemen
Pertanian, 1989), hlm. 142–143.

290 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


pembangunan fasilitas guna membuka kembali Pelabuhan Bebas Sabang,
dibuka juga Bank Indonesia kantor cabang Sabang. Kantor cabang BI ini
memang tidak berumur lama karena ditutup kembali saat baru genap
berumur lima tahun. Bagian ini membahas perkembangan dua Bank
Indonesia di Aceh dalam masa pembangunan kembali Aceh pasca
peristiwa DI/TII.

Pembukaan Kembali Kantor Cabang Bank Indonesia


Banda Aceh

Berbeda dengan kantor-kantor cabang De Javasche Bank (DJB) lainnya di


seluruh Indonesia yang telah dibuka kembali tidak lama setelah Belanda
berhasil menguasai kembali hampir seluruh wilayah Indonesia masa
revolusi kemerdekaan, kantor cabang DJB Kutaraja masih tetap vacuum.
Hal ini disebabkan karena Belanda gagal merebut kembali wilayah Aceh,
sehingga tidak ada peluang membuka kembali DJB. Gedung DJB Kutaraja
pada masa revolusi kemerdekaan digunakan untuk beberapa aktivitas,
seperti Bank Negara Indonesia, selanjutnya lantai dasar digunakan untuk
aktivitas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Residentie-raad), sementara di
lantai atas di samping kantor Sekretariat DPRD (Residentie-raad-secretaris),
juga digunakan oleh Bank Perdagangan.88 Penggunaan ini berlanjut
sampai dibukanya kembali DJB Kutaraja setelah proses indonesianisasi.
Proses indonesianisasi DJB Agentschap Koetaradja menjadi Bank Indonesia
cabang Aceh baru dilakukan bersamaan dengan pembukaan kembali
bank ini tahun 1964.89
Bila dikaitkan dengan konteks keacehan, proses indonesianisasi DJB
Agentschap Koetaradja mempunyai makna tersendiri bagi rakyat Aceh,
karena dilakukan hampir bersamaan dengan proses perubahan nama
Kota Banda Aceh. Banda Aceh yang merupakan bekas pusat Kesultanan

88 Arsip Bank Indonesia, Koleksi De Javasche Bank, Rapport over het Bezoek aan Koetaradja van J.Vos
van Marken, No. 5493.
89 Sayangnya arsip dan dokumen mengenai pembukaan kembali dan keuangan BI Cabang Aceh
periode 1964 sampai 1990 sebagian besar hancur akibat bencana tsunami yang melanda Aceh
tahun 2004. Darsono, dkk (b)., Menghadapi Gelombang…, (2018: 236- 237).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 291


Aceh Darussalam, sejak tahun 1874 dijadikan sebagai pusat pemerintahan
Gubernur Militer/Sipil Belanda yang membawahi Aceh dan daerah-daerah
takluknya. Bersamaan dengan ketetapan tersebut, untuk menghilangkan
romantisme rakyat Aceh terhadap masa Kesultanan Aceh Darussalam yang
dikhawatirkan dapat meningkatnya semangat perlawanan, pemerintah
kolonial Belanda mengubah nama Bandar Aceh Darussalam menjadi
Kutaraja.90 Sejak penetapan tersebut nama Kutaraja terus dipakai sebagai
nama resmi Banda Aceh selama 88 tahun sampai pembentukan kembali
Provinsi Aceh pasca kemerdekaan.
Seiring dengan semangat perdamaian dalam penyelesaian
pemberontakan DI/TII Aceh, pemerintah pusat membentuk kembali
Provinsi Aceh menjadi Daerah Swatantra Tingkat I yang meliputi
seluruh wilayah bekas Keresidenan Aceh.91 Ali Hasjmy dilantik menjadi
gubernur pertama pada 27 Januari 1957. Dalam upaya mengembalikan
identitas keacehan, Gubernur Ali Hasjmy mengubah kembali nama ibu
kota Provinsi Aceh dari Kutaraja menjadi Banda Aceh. Perubahan ini
didasarkan pada Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Aceh No.
153/1962 tanggal 28 Desember 1962. Keputusan ini efektif berlaku pada
1 Januari 1963. Keputusan Gubernur ini diperkuat dengan keluarnya
Surat Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah
No. Des.52/143-43 yang menetapkan Banda Aceh sebagai nama ibu
kota Provinsi Daerah Istimewa Aceh, menggantikan Kutaraja.92 Dengan
ketetapan tersebut nama Banda Aceh menjadi nama resmi ibu kota
Provinsi Aceh sampai sekarang. Dengan terjadinya perubahan nama
Kutaraja menjadi Banda Aceh, saat indonesianisasi DJB Koetaradja sudah
menggunakan nomenklatur baru. Berdasarkan Surat Edaran No. 11/102,
tanggal 2 Maret 1964 dinyatakan bahwa kantor cabang yang sebelumnya
bernama De Javasche Bank Koetaradja secara resmi menjadi Kantor Bank
Indonesia cabang Banda Aceh.93

90 Rusdi Sufi, dkk., Sejarah Kotamadya Banda Aceh (Banda Aceh: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh, 1996/1997), hlm. 53.
91 “Sejarah Provinsi Aceh”, https://acehprov.go.id/profil/read/2014/10/03/104/sejarah-provinsi-aceh.
html
92 Isakandar Norman, “Aceh Hari Ini: Nama Kutaraja Dikembalikan Jadi Banda Aceh, http://portalsatu.
com/read/kanal/aceh-hari-ini-nama-kutaraja-dikembalikan-jadi-banda-aceh-54350
93 Darsono dkk. (b), Menghadapi Gelombang…, (2018: 238).

292 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Pembukaan kembali Kantor Cabang Bank Indonesia Banda Aceh
tampaknya masih dalam bingkai kebijakan nasional terkait pembentukan
Bank Tunggal sebagai pengejawantahan ideologi Demokrasi Terpimpin
yang dimulai sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Presiden Sukarno
mencanangkan konsepsinya dalam pidato pada 17 Agustus 1959 yang
berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Istilah Demokrasi Terpimpin
dimanifestasikan oleh Sukarno dalam rancangan politiknya yang disebut
Manipol USDEK, yaitu Manifesto Politik Undang-Undang Dasar 1945,
Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan
Kepribadian Indonesia. Perkembangan politik tersebut juga berimbas
pada lembaga perbankan nasional, seperti posisi Bank Indonesia beserta
kantor-kantor cabangnya.94
Dalam kaitan dengan tujuan tersebut, pada tahun 1963 Presiden
Sukarno mengangkat Gubernur Bank Indonesia, T. Jusuf Muda Dalam,
sebagai Menteri Urusan Bank Sentral. Ia bertugas untuk menyelaraskan cita-
cita revolusi yang digariskan Presiden Sukarno dengan mengintegrasikan
bank-bank umum negara dan Bank Tabungan Negara ke dalam bank
sentral, serta pembentukan Bank Tunggal dengan nama Bank Negara
Indonesia. Bank Tunggal ini memiliki kewenangan sebagai bank sirkulasi,
bank sentral, bahkan bank-bank umum. Dalam sistem ini, Bank Indonesia
menjadi Bank Negara Indonesia Unit I. Perubahan ini secara otomatis
berpengaruh terhadap seluruh kantor cabang Bank Indonesia di seluruh
Indonesia. Kantor Cabang Bank Indonesia Aceh menjadi Bank Negara
Indonesia I kantor cabang Aceh.
Perubahan politik yang terjadi di tingkat pusat setelah peristiwa
Gerakan 30 September 1965 yang diduga didalangi oleh Partai Komunis
Indonesia, telah berakibat lengsernya Sukarno dari tampuk kekuasaan.
Tampilnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia telah membawa
perubahan di berbagai bidang, termasuk bidang perbankan. Sejak tahun
1966 pemerintah berupaya melakukan perubahan kebijakan terkait
mengembalikan tugas dan fungsi bank sentral dan bank umum/komersial.
Sebagai tindak lanjut dari upaya tersebut, pemerintahan Soeharto atau
lebih dikenal dengan pemerintahan Orde Baru menetapkan berakhirnya

94 Darsono dkk. (b), Menghadapi Gelombang…, (2018: 237).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 293


kelembagaan Bank Berjoeang atau Bank Tunggal pada 31 Desember 1968.
Terhitung sejak 1 Januari 1969 unit-unit yang tergabung dalam Bank
Tunggal kembali dipisahkan dan berdiri sendiri menjadi badan hukum
yang sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya. Berdasarkan
Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, Bank Negara
Indonesia Unit I kembali menjadi Bank Indonesia. Kembalinya fungsi
Bank Indonesia menjadi bank sentral juga mengembalikan fungsi kantor
cabang Aceh, yang sebelumnya bernama Bank Negara Indonesia I kantor
cabang Aceh menjadi Kantor Cabang Bank Indonesia Aceh.95

Berdirinya Kantor Cabang Bank Indonesia Sabang

Selain Kantor Cabang Bank Indonesia (KCBI) Banda Aceh, Bank Indonesia
juga mendirikan cabang di Sabang pada pada tahun 1964. Pendirian Kantor
Cabang BI Sabang berkaitan erat dengan pembukaan kembali Pelabuhan
Bebas Sabang. Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya,
bahwa pembukaan kembali Pelabuhan Bebas Sabang merupakan bagian
dari kebijakan politik ekonomi pemerintah pusat tentang konfrontasi
terhadap Malaysia di bidang ekonomi, yang dilaksanakan dalam bentuk
larangan ekspor Indonesia ke daerah-daerah Malaysia, seperti Penang
dan Singapura. Dengan politik ekonomi konfrontasi tersebut, pemerintah
berharap Pelabuhan Bebas Sabang dapat menjadi pelabuhan pengganti
Penang dan Singapura untuk pasar komoditas-komoditas yang dihasilkan
wilayah Sumatra dan sekitarnya.
Legalitas Pelabuhan Bebas Sabang didasari pada Keputusan Presiden
RI No. 10 Tahun 1963, tanggal 10 Oktober 1963, yang menetapkan
Sabang sebagai daerah Pelabuhan Bebas, yang nantinya diperkuat dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1970 yang menetapkan ketentuan
pokok Daerah Perdagangan Bebas dengan Pelabuhan Bebas Sabang untuk
masa 30 tahun. Pelaksanaan Pelabuhan Bebas Sabang diserahkan kepada
Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) dan untuk pengelolaannya

95 Darsono dkk. (b), Menghadapi Gelombang…, (2018: 239).

294 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


dibentuk Komando Pelaksana Pembangunan Proyek Pelabuhan Bebas
Sabang (KP4BS) dengan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 1964.
Untuk mendukung kelancaran operasional Pelabuhan Bebas,
sebagaimana harapan pemerintah, maka diperlukan lembaga perbankan
yang kuat yang dapat menjamin kelancaran kegiatan perdagangan
internasional. Inilah urgensi kehadiran Kantor Bank Indonesia (KBI) di
Sabang. Hal ini sesuai dengan isi arsip surat eks Kantor Bank Indonesia
Sabang, dijelaskan pendirian KBI Sabang dengan memperhatikan
beberapa kondisi, yaitu:
1. Perekonomian Sabang sebagai freeport terutama perdagangan
dalam negeri, khususnya dalam memenuhi bahan bangunan dan
kebutuhan sehari-hari yang menunjukkan perkembangan yang
cukup potensial;
2. Pengaruh masuknya barang-barang impor yang membutuhkan
mata uang asing, khususnya Dolar Amerika Serikat, sementara
peredaran mata uang asing terbatas, sehingga pencairan dolar yang
dibeli dengan rupiah hanya terdapat dalam daerah pabean tertentu
yang harganya sangat tergantung pada unofficial rate dari pabean
yang bersangkutan;
3. Dalam rangka membantu baik secara langsung maupun tidak
langsung proyek pembangunan Pelabuhan Sabang, yaitu proyek
nasional guna menanggulangi perdagangan internasional;
4. Mencari sumber baru untuk menggiatkan peningkatan produksi dan
memperlancar distribusi di bidang-bidang yang strategis.96
Dari keempat pertimbangan tersebut terlihat jelas bahwa pembukaan
KBI cabang Sabang memang merupakan suatu keharusan dalam upaya
mendukung kebijakan politik dan ekonomi pemerintah pusat. Selain
pertimbangan tersebut, perlunya kehadiran Bank Indonesia di Sabang
berkaitan erat dengan status Sabang sebagai Daerah Luar Resim Devisa
Indonesia. Hal ini mengacu pada salinan Pengumuman Pimpinan LAAPLN
No. 79, tanggal 18 Desember 1964, perihal Ketentuan-Ketentuan

96 Arsip Bank Indonesia, Arsip Surat Eks Bank Indonesia Sabang, No. 1.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 295


Pelaksanaan dari Peraturan-Peraturan Pokok Tentang Pelabuhan Bebas
Sabang, yang menetapkan bahwa Pelabuhan Bebas Sabang sebagai
Daerah Luar Resim Devisa Indonesia. Oleh karena itu, Bank Indonesia
di Sabang merupakan perwakilan Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar
Negeri (LAAPLN) di Sabang.97
Selain berkaitan dengan devisa, Bank Indonesia juga sangat
dibutuhkan dalam mendukung konstruksi sejak tahap awal pembangunan
infrastruktur Pelabuhan Bebas Sabang. Oleh karena itu, sangat beralasan
bahwa pembukaan KBI cabang Sabang dilakukan dalam waktu yang tidak
begitu lama setelah pembukaan Pelabuhan Bebas Sabang itu sendiri.
Dengan semua pertimbangan yang sangat rasional tersebut, Direksi
Bank Indonesia melalui SE No. 12/92 Rupa-Rupa tanggal 23 Desember
1964 menetapkan pendirian Kantor Bank Indonesia cabang Sabang
dengan wilayah kerjanya yang meliputi Kotamadya Sabang dan daerah
Pelabuhan Sabang.98 Hanya lima hari setelah keluarnya surat edaran
tersebut, Kantor Bank Indonesia (KBI) cabang Sabang secara resmi dibuka
pada 28 Desember 1964.99 Acara peresmian pembukaannya dilakukan
oleh Menteri Urusan Bank Sentral/Gubernur Bank Indonesia Teuku Yusuf
Muda Dalam. Untuk sementara KBI cabang Sabang menempati sebuah
gedung di Jalan Perdagangan Blok I Kota Sabang. Kemudian gedung
sementara itu dijadikan gedung permanen KBI cabang Sabang yang
pembangunannya dilakukan pemborong Chin Pak Cheng. Pembukaan
penempatan gedung baru tersebut diresmikan pada 17 Agustus 1967,
bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-22. 100
Tugas dan wewenang Bank Indonesia berkaitan dengan pembukaan
Pelabuhan Bebas Sabang dijabarkan dengan sangat jelas dalam Pasal 2
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 23 Tahun 1964 Tentang Lalu
Lintas Barang dan Uang di Pelabuhan Bebas Sabang, yaitu:

97 Arsip Nasional RI, Arsip Menteri Negara Ekonomi Keuangan dan Industri 1967–1973, No. 4646.
98 Arsip Bank Indonesia, Arsip Surat Eks Bank Indonesia Sabang, No. 1.
99 Arsip Bank Indonesia, Surat Edaran Pembukaan Tjabang Baru Sabang No. 12/92 Bank Indonesia,
Tahun 1964.
100 Arsip Bank Indonesia, Arsip Surat Eks Bank Indonesia Sabang, No. 1.

296 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


1. Sebagai alat pembayaran yang sah di daerah hukum Pelabuhan
Bebas Sabang dipergunakan mata uang yang ditentukan oleh Bank
Indonesia;
2. Transaksi perdagangan internasional dilakukan dengan surat-surat
berharga dalam valuta asing yang diakui oleh Bank Indonesia;
3. Transaksi-transaksi tersebut dilakukan lewat Bank Deviden Negara
ataupun Bank Devisa Swasta Nasional atau asing yang ada di Sabang
dan yang telah disahkan berdirinya oleh Bank Indonesia;
4. Rekening-rekening dalam valuta asing dari pengusaha nasional dan
asing pada semua bank yang ada di Sabang yang berdiri dengan izin
Bank Indonesia bebas dari pengendalian peraturan devisa Indonesia
kecuali bagian valuta asing yang diterima sebagai alokasi Devisa
Pemerintah Indonesia.101
Peraturan Presiden tersebut terlihat jelas bahwa Bank Indonesia
diberikan peran yang sangat besar dan penting dalam pengembangan
Pelabuhan Bebas Sabang. Bank Indonesia menjadi bagian integral
dari proyek tersebut. Besarnya peran yang diberikan kepada Bank
Indonesia tersebut tidak terlepas dari ekspektasi yang sangat besar dari
pemerintah terhadap Pelabuhan Bebas Sabang. Berdasarkan penjelasan
terhadap Peraturan Presiden No. 22 Tahun 1964 Tentang Pelaksanaan
Pembangunan Pelabuhan Bebas Sabang disebutkan bahwa dalam bidang
ekonomi umum, para pengelola Pelabuhan Bebas Sabang, khususnya
bidang ekonomi, harus dapat menciptakan suatu keadaan sehingga
aktivitas-aktivitas perdagangan, industri, dan usaha-usaha yang langsung
dan tidak langsung memengaruhi kedua aktivitas ini dapat benar-benar
menjadi setaraf dengan apa yang dipunyai pelabuhan-pelabuhan bebas di
negeri lain di dunia.102
Perubahan politik-ekonomi pada tingkat pusat berdampak pada
kondisi di daerah. Sejalan dengan politik perbankan dan moneter
pemerintah pada masa pemerintahan Orde Lama yang memberlakukan
kebijakan Bank Tunggal, maka berdasarkan Surat Penetapan Presiden No.

101 Arsip Nasional RI, Arsip Menteri Negara Ekonomi Keuangan dan Industri 1967–1973, No. 4646.
102 Arsip Nasional RI, Arsip Menteri Negara Ekonomi Keuangan dan Industri 1967–1973, No. 4646.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 297


17 Tahun 1965, mulai tanggal 19 Agustus 1965 Bank Indonesia diubah
menjadi Bank Negara Indonesia Unit I (BNI Unit I). Dengan keluarnya
kebijakan ini, semua kantor cabang Bank Indonesia di seluruh Indonesia
secara otomatis juga ikut berubah. Kantor Bank Indonesia cabang
Sabang berubah menjadi BNI Unit I Cabang Sabang. Kebijakan tersebut
hanya berlangsung selama tiga tahun karena seiring dengan terjadinya
perubahan pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru, berubah juga
kebijakan ekonomi yang dijalankan. Dengan dikeluarkannya Undang-
Undang No. 13 tanggal 7 Desember 1968 tentang Bank Sentral, maka
berakhir pula masa berlaku periode Bank Tunggal. Selanjutnya dengan
keluarnya Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 600/M/IV/12/ 1968
tanggal 18 Desember 1968, terhitung mulai tanggal 31 Desember 1968
BNI Unit I kembali melakukan tugasnya sebagai bank sentral dengan
nama Bank Indonesia, dan sebagai bank sirkulasi dan the lender of the
last resort Bank Indonesia tidak diperkenankan lagi melakukan kegiatan-
kegiatan di bidang komersial.103
Eksistensi Kantor Bank Indonesia cabang Sabang tidak berlangsung
lama, hanya lima tahun. Dengan pertimbangan di Provinsi Daerah Istimewa
Aceh sudah ada Kantor Bank Indonesia cabang Banda Aceh yang wilayah
kerjanya termasuk Sabang, maka para Direksi BI memutuskan untuk
menutup Kantor Bank Indonesia cabang Sabang. Oleh karena itu, sejak
30 Juni 1969 KCBI Sabang secara resmi ditutup berdasakan Surat Edaran
No. 2/26 Rupa-Rupa, tanggal 12 Juni 1969.104 Selanjutnya tugas-tugas
termasuk persoalan-persoalan yang belum terselesaikan oleh Kantor BI
cabang Sabang dialihkan ke Kantor BI cabang Banda Aceh.105
Selain karena sudah ada Kantor Bank Indonesia cabang Banda Aceh
sebagaimana disebutkan dalam arsip Surat eks BI Sabang, penutupan
KBI Sabang kemungkinan besar ada hubungan dengan perkembangan
nilai perdagangan di Pelabuhan Bebas Sabang yang terjadi penurunan
secara drastis sejak tahun 1969, baik nilai ekspor maupun nilai impor.
Angka ekspor turun dari US$3.183.283,83 pada tahun 1967 menjadi

103 Arsip Bank Indonesia, Arsip Surat Eks Bank Indonesia Sabang, No. 1.
104 Darsono dkk. (b), Menghadapi Gelombang…, (2018: 239–240).
105 Arsip Bank Indonesia, Arsip Surat Eks Bank Indonesia Sabang, No. 1.

298 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


hanya US$2.190,38 tahun 1969, demikian juga nilai impor turun dari
US$4.109.520,44 tahun 1967 menjadi hanya US$1.460,64 tahun 1969.
Penurunan tersebut terus terjadi pada tahun-tahun berikutnya (lihat
Tabel 5.4). Dengan nilai perdagangan yang tidak lagi terlalu besar sejak
tahun 1969 maka tidak diperlukan adanya kantor cabang khusus Bank
Indonesia di Sabang, karena masih dapat ditangani oleh Kantor Bank
Indonesia cabang Banda Aceh. Hal ini berbeda jauh dengan kondisi
pada tahun-tahun awal pembukaan Pelabuhan Bebas Sabang, yang nilai
perdagangannya sangat tinggi. Nilai ekspor saja misalnya, pada tahun
awal pembukaannya (1964) nilai ekspor sudah mencapai US$628.277,02,
kemudian mencapai puncaknya dua tahun kemudian (1966) sampai
US$5.266.423,10. Tingginya nilai perdagangan pada tahun-tahun awal
pembukaan Pelabuhan Bebas Sabang tersebut sangat rasional diperlukan
adanya KBI cabang Sabang.

Tabel 5.4.
Nilai Perdagangan Sabang 1964–1967 (dalam US$)

Tahun Impor Ekspor


1964 74.567, 50 628.277,02
1965 628.085,90 1.270.138,13
1966 1.435.548,30 5.266.423,10
1967 4.109.520,44 3.183.283,83
1969 1.460,64 2.190,38
1970 10.967,11 7.553,84
1972 3.364,73 185,15
1973 2.907,75 130,31
Sumber: Laporan KP4BS Tahun 1967, Arsip Bank Indonesia No. 1-94 KP4BS dan Laporan KP4BS Tahun
1973 dalam Ali Hasjmy dkk., A. Hasjmy dkk., Lima Puluh Tahun…, (1995: 334)

Kontribusi BI Banda Aceh dan BI Sabang terhadap


Pembangunan Ekonomi Aceh

Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa dibukanya


kembali Kantor Bank Indonesia cabang Banda Aceh dan pendirian Kantor
Bank Indonesia cabang Sabang dilakukan pada tahun yang sama, yaitu

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 299


tahun 1964. Secara nasional, periode awal tahun 1960-an merupakan
masa diberlakukan kebijakan Demokrasi Terpimpin, sehingga semua
aktivitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga harus mengacu
pada kebijakan tersebut. Implementasi Demokrasi Terpimpin dalam bidang
ekonomi menjadi Ekonomi Terpimpin. Kebijakan Ekonomi Terpimpin
dijalankan dengan melibatkan semua institusi yang berkaitan dengan
aktivitas-aktivitas perekonomian di Indonesia, termasuk Bank Indonesia.
Oleh karena itu, semua kantor cabang Bank Indonesia di seluruh wilayah
Indonesia harus mendukung implementasi Ekonomi Terpimpin di wilayah
kerjanya sesuai dengan kondisi dan karakteristik masyarakat di masing-
masing wilayah.
Dalam upaya mendukung kebijakan Ekonomi Terpimpin tersebut,
Kepala Kantor BI Cabang Banda Aceh, Soewarno Poespowidjojo, dalam
laporannya pada acara Konferensi “Berdikari” pemimpin-pemimpin
cabang yang diadakan di Kantor Pusat Bank Indonesia Jakarta tahun
1965, menyatakan bahwa rakyat Aceh memerlukan “asupan” dari
kaum progresif revolusioner dalam rangka menggerakkan masyarakat
Aceh menuju cita-cita revolusi yang dicanangkan Presiden Sukarno.106
Terlebih lagi dengan dibentuknya Bank Berjuang sebagai alat revolusi,
kantor cabang Bank Indonesia Aceh ingin turut serta berkontribusi
dalam membangun daerah Aceh sesuai amanat revolusi dalam konsep
Demokrasi Terpimpin.107
Kontribusi Kantor Bank Indonesia cabang Banda Aceh dan kantor
cabang Sabang semakin terasa, karena kedua kantor cabang tersebut
dibuka dalam suasana semangat pembangunan kembali Aceh dari
kehancuran akibat pemberontakan DI/TII Daud Beureueh. Sebagaimana
telah diuraikan pada bagian sebelumnya, proses perdamaian ini terjadi
melalui Ikrar Lamteh yang menjadi tonggak penting berakhirnya
pemberontakan DI/TII dan juga titik awal terciptanya keamanan yang
kondusif di Aceh. Kondisi ini menjadi modal dasar bagi proyek-proyek

106 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip Direksi Bank Indonesia, Laporan Pimpinan Cabang Atjeh pada
Konferensi “Berdikari” di Kantor Pusat Bank Indonesia Jakarta tahun 1965 No. 458.
107 Darsono dkk. (b), Menghadapi Gelombang…, (2018: 238).

300 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


pembangunan yang sedang gencar-gencarnya dilaksanakan di Aceh, baik
sumber dana dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun sumber
dana lainnya.
Banyaknya dana yang dibutuhkan untuk pelaksanaan pembangunan
memerlukan lembaga keuangan sebagai pendukung kelancaran proses
keuangan untuk semua proyek pembangunan tersebut. Di sinilah peran
penting yang dimainkan oleh Kantor Bank Indonesia cabang Banda Aceh
yang wilayah kerjanya saat itu hampir seluruh Aceh, kecuali Sabang.
Malahan lebih dari itu, Kantor Bank Indonesia cabang Banda Aceh juga
ikut berperan merumuskan konsep-konsep pembangunan Aceh di masa
depan berdasarkan potensi alam dan wilayah yang dimiliki. Hal itu terlihat
jelas dalam Laporan Kepala BI Cabang Banda Aceh pada Konferensi
“Berdikari” Direktur Bank Cabang, Pimpinan-Pimpinan Cabang, dan
Perwakilan-Perwakilan di Kantor Pusat Bank Indonesia Jakarta, tanggal
4 hingga 8 Mei 1965. Selain memberi gambaran data potensi ekonomi
Aceh tahun 1965, Kepala BI cabang Banda Aceh juga memberi beberapa
sumbangan pemikiran untuk membangun perekonomian Aceh di masa
depan. Salah satu ide cemerlang yang disampaikannya dalam konferensi
tersebut adalah strategi meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh dengan
melakukan upgrading hasil komoditas yang dihasilkan masyarakat seperti
karet, pinang, dan kopra, sehingga memiliki nilai jual yang lebih tinggi di
pasaran internasional. Hal itulah yang dilakukan Penang dan Singapura,
sehingga mereka mendapat keuntungan yang sangat besar dari proses
tersebut.108
Sejalan dengan politik ganyang Malaysia oleh pemerintah dalam
bidang ekonomi, Kepala BI cabang Banda Aceh mengusulkan agar
proses upgrading tersebut dilakukan di Pelabuhan Bebas Sabang. Kalau
ide tersebut dilakukan maka akan diperoleh keuntungan ganda, yaitu
pertama dapat meningkatkan pendapatan petani penghasil komoditas
dan kedua akan mendukung peningkatan aktivitas prosesing dan ekspor di

108 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip Direksi Bank Indonesia, Laporan Pimpinan Cabang Sabang, Banda
Aceh, Medan, Pekan Baru, Padang, Palembang, dan Teluk Betung, pada Konferensi “Berdikari”
Direktur Bank Cabang, Pimpinan-Pimpinan Cabang dan Perwakilan-Perwakilan di Kantor Pusat Bank
Indonesia Jakarta, tanggal 4 s.d. 8 Mei 1965.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 301


Pelabuhan Bebas Sabang. Pada gilirannya akan membebaskan keterikatan
Aceh dengan Penang dan Singapura dalam perdagangan luar negeri.109
Kontribusi Kantor cabang Bank Indonesia Banda Aceh semakin besar
setelah ekonomi Aceh mengalami perkembangan setelah berakhirnya
pemberontakan DI/TII Aceh. Tingginya perkembangan ekonomi tersebut
telah mendorong meningkatnya kegiatan perbankan di Aceh sejak awal
tahun 1970-an, baik bank pemerintah maupun bank milik swasta seperti
Bank Bumi Daya, Bank Pembangunan Daerah, BTPN, BRI, Bapindo, BNI
1946, BCA, dan lain-lain. Aktivitas perbankan tersebut sangat membantu
kelancaran kegiatan ekonomi di Aceh, baik dalam bentuk pemberian
pinjaman modal maupun pemberian kredit kepada para pengusaha dan
pengrajin dari berbagai lapisan masyarakat. Sebagai contoh adanya Kredit
Usaha Kecil (KUK), Kredit Candak Kulak (KCK), Kredit Usaha Tani (KUT),
dan lain-lain, serta bantuan modal bagi para peternak, para nelayan dan
usaha-usaha lainnya yang membutuhkan pinjaman modal bank. Di sini
peranan bank menjadi sangat penting bagi usaha-usaha perekonomian
masyarakat.110 Dengan tingginya aktivitas perbankan tersebut maka
peran Kantor Bank Indonesia cabang Banda Aceh, sebagai bank sirkulasi,
semakin besar dalam menjaga sirkulasi uang dari bank-bank tersebut.
Demikian juga halnya dengan Kantor Bank Indonesia cabang Sabang,
meskipun hanya berumur lima tahun, mempunyai peran yang besar
dalam mendukung perkembangan Pelabuhan Bebas Sabang, seperti telah
diulas pada bagian sebelumnya. Pada periode awal pembangunannya,
Kantor Bank Indonesia cabang Sabang merupakan bagian integral dari
pembangunan Pelabuhan Bebas Sabang. Kantor Bank Indonesia cabang
Sabang telah berperan aktif dalam proses konstruksi infrastruktur
pelabuhan bebas.
Selain mendukung pembangunan infrastruktur, Kantor Bank
Indonesia cabang Sabang berperan besar dalam menjaga stabilitas devisa

109 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip Direksi Bank Indonesia Laporan Pimpinan Cabang Sabang, Banda
Aceh, Medan, Pekan Baru, Padang, Palembang, dan Teluk Betung, pada Konferensi “Berdikari”
Direktur Bank Cabang, Pimpinan-Pimpinan Cabang dan Perwakilan-Perwakilan di Kantor Pusat Bank
Indonesia Jakarta, tanggal 4 s.d. 8 Mei 1965.
110 Rusdi Sufi dkk., Sejarah Kotamadya…, (1996/1997: 84–85).

302 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


di Sabang. Hal ini mengacu pada Surat Keputusan Menteri Urusan Bank
Sentral/Gubernur Bank Indonesia No. 67/UBS/64 Tanggal 11 November
1964, yang mengeluarkan beberapa ketetapan berhubungan dengan
peran Bank Indonesia, yaitu: (1) uang rupiah ditetapkan sebagai mata uang
yang beredar sebagai alat pembayaran yang sah di Freeport Sabang; (2)
penukaran valuta asing ke dalam rupiah dan penukaran rupiah ke dalam
valuta asing diperkenankan atas dasar kurs bebas; (3) Bank Indonesia
akan menetapkan pengaturan lalu lintas uang rupiah antara Daerah
Pabean Indonesia dan Sabang; dan (4) transaksi-transaksi pembayaran
antara Sabang dan Daerah Pabean Indonesia meliputi pembayaran-
pembayaran baik dalam rupiah maupun valuta asing.111 Dari semua
poin ketetapan tersebut terlihat jelas peran Bank Indonesia sangat besar
dalam pengembangan Pelabuhan Bebas Sabang. Oleh karena itu, sejak
kegiatan perdagangan bebas dimulai pada akhir tahun 1964, dengan
masuknya barang impor pertama dari Hongkong seharga HK$426.100 ke
Sabang, kehadiran Kantor Bank Indonesia cabang Sabang telah menjadi
pendukung utama kelancaran aktivitas perdagangan luar negeri di
Pelabuhan Bebas Sabang selama lima tahun sampai perannya digantikan
oleh Kantor Cabang BI Banda Aceh pada tahun 1969.112

111 Arsip Bank Indonesia, Peraturan & Pelaksanaan Pembangunan Pelabuhan Bebas Sabang, No. 23-94.
112 Arsip Bank Indonesia, Komando Pelaksana Pembangunan Proyek Pelabuhan Bebas Sabang, No.
1-94.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 303


MENEGAKKAN KEDAULATAN DAN KETAHANAN EKONOMI:
304 BANK INDONESIA DALAM PUSARAN SEJARAH KALIMANTAN BARAT
Bab 6
Bank Indonesia dan
Perkembangan Ekonomi
Aceh pada Masa
Kontemporer

S esuai dengan judulnya, Bab ini membahas secara khusus mengenai


eksistensi Bank Indonesia Provinsi Aceh pada beberapa dekade
terakhir. Suatu kurun waktu, saat mana Aceh mengalami sejumlah
ketegangan sosial-politik dan dinamika perekonomian dengan segala
problematika dan peristiwa di dalamnya. Ruang lingkup pembahasannya
meliputi perkembangan kelembagaan Bank Indonesia, berbagai peristiwa
sosial-politik lokal yang menyebabkan perubahan-perubahan pada sektor
ekonomi, serta kontribusi Bank Indonesia melalui kantor cabangnya yang
kini dikenal dengan nama Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi
Aceh.

Evolusi Kelembagaan Bank Indonesia

M enilik sekilas apa yang telah diuraikan pada bab sebelumnya,


setelah pemerintahan Orde Baru memutuskan untuk mengakhiri
kelembagaan Bank Tunggal pada 31 Desember 1968, terhitung sejak
tanggal 1 Januari 1969, bank-bank yang tergabung ke dalam Bank
Tunggal kembali dipisahkan dan berdiri sendiri. Bank Negara Indonesia
(BNI) Unit I pun kembali menjadi Bank Indonesia yang menjalankan fungsi

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 305


bank sentral sesuai Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 tentang Bank
Sentral. Hal tersebut tentunya berdampak pada kantor cabang BNI Unit I di
seluruh Indonesia, termasuk Banda Aceh, yang kembali berubah menjadi
Kantor Cabang Bank Indonesia Banda Aceh. Dalam UU tersebut BI tidak
lagi diperbolehkan melakukan jenis usaha bank yang sifatnya komersial.1
Berlandaskan undang-undang tersebut, pada tahun 1972 Bank
Indonesia mengambil langkah dengan menerbitkan Surat Edaran No.
5/106/Rupa-Rupa tanggal 16 November 1972 yang menyampaikan
salinan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 5/26/KEP/UP tanggal
25 Oktober 1972 tentang Klasifikasi Kantor-Kantor Cabang Bank
Indonesia guna menata operasional jaringan kantor-kantor cabangnya.2
Berdasarkan surat tersebut Kantor Cabang Bank Indonesia (KCBI) Banda
Aceh ditetapkan sebagai Kantor Cabang Kelas III. Pada perkembangan
berikutnya Bank Indonesia memiliki dua kantor cabang di wilayah Aceh,
yaitu KCBI Banda Aceh dan KCBI Lhokseumawe yang dibuka pada 12
Mei 1976 sebagai Kantor Kas dan kemudian ditetapkan sebagai Kantor
Cabang Kelas IV sejak 1 April 1981.3

Tabel 6.1.
Klasifikasi Kantor Cabang Bank Indonesia Tahun 1981

Kelas I
Kelas II Kelas III Kelas IV (terendah)
(tertinggi)
Surabaya Bandung, Ujung Banda Aceh, Lhokseumawe, Ambon,
Semarang Pandang, Jayapura, Yogyakarta, Mataram, Jember,
Medan Palembang, Pekanbaru, Jambi, Kendari, Kupang,
Manado, Padang, Samarinda, Solo, Malang, Palu, Bengkulu,
Banjarmasin, Telukbetung, Purwokerto, Balikpapan,
Denpasar, Cirebon Tegal, Ternate,
Pontianak Pematang Siantar,
Sibolga, Tasikmalaya
Sumber: Suran Edaran Bank Indonesia No. 13/108 Rupa-Rupa tanggal 26 Maret 1981

1 Bank Indonesia, “Sejarah Bank Indonesia: Sejarah Kelembagaan Periode 1966–1983”, hlm. 2,
https://www.bi.go.id/id/tentang-bi/museum/sejarah-bi/bi/Pages/sejarahbi_3a.aspx. (diakses pada 5
Mei 2020 pukul 10:24).
2 Tim PP-PPBI, Sejarah Perkembangan Kantor Bank Indonesia Banda Aceh (Jakarta: Sarana Media,
2017), hlm. 6
3 Arsip Bank Indonesia, Surat Edaran Bank Indonesia No. 13/108/Rupa-rupa tanggal 26 Maret 1981.

306 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Pada tahun 1986, berdasarkan Surat Edaran No. 18/69/KEP/DIR
tanggal 20 Maret 1986, Bank Indonesia kembali melakukan penyempurnaan
organisasi kantor cabangnya. Beberapa KCBI seperti Medan, Bandung,
Semarang, dan Surabaya ditetapkan sebagai koordinator untuk kantor
yang berada di wilayah provinsinya. Berdasarkan penyempurnaan
organisasi tersebut, terdapat penyesuaian kegiatan utama KCBI Banda
Aceh, antara lain (1) memberi saran kepada pemerintah di wilayah kerjanya;
(2) mengatur perkreditan dan dana perbankan; (3) mengeluarkan dan
mengedarkan uang kartal; (4) mengelola devisa dan lalu lintas pembayaran
luar negeri; (5) memberi pelayanan perbankan kepada pemerintah; (6)
melakukan pengawasan, pembinaan, dan pengembangan perbankan; (7)
melaksanakan tugas-tugas lain dalam rangka mendukung pembangunan
di wilayah kerja; (8) melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan
di wilayah kerja; (9) menyelenggarakan manajemen perusahaan yang baik
di kantor cabang.4
Penyempurnaan organisasi yang terkait dengan Kantor Cabang
Bank Indonesia kembali dilakukan dengan diterbitkannya Surat Edaran
No. 29/8/INTERN tanggal 5 Juni 1996 tentang Penyempurnaan Organisasi
Kantor Bank Indonesia. Penyempurnaan organisasi kali ini telah mengubah
penamaan KCBI Banda Aceh menjadi Kantor Bank Indonesia (KBI) Banda
Aceh, dengan klasifikasi tetap sebagai kelas III. KBI Banda Aceh menjadi
bagian dari wilayah koordinasi KBI Medan yang merupakan Koordinator
Kantor Bank Indonesia di wilayah Provinsi Sumatra Utara dan Aceh.5
Pada tanggal 17 Mei 1999 telah diundangkan dan disahkannya UU
No. 23 tahun 1999 tentang Bank Sentral.6 UU ini juga menandai sahnya
Bank Indonesia sebagai bank sentral yang independen, dengan memiliki
tujuan tunggal yaitu mencapai dan memelihara stabilitas nilai Rupiah.
Untuk mencapai tujuan tunggal tersebut BI memiliki tugas menetapkan
dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank. Di samping

4 Tim PP-PPBI, Sejarah Perkembangan..., (2017: 173).


5 Tim PP-PPBI, Sejarah Perkembangan..., (2017: 177).
6 Bank Indonesia, “Sekilas Sejarah Kelembagaan Bank Indonesia Periode 1997–1999”, https://www.
bi.go.id/id/tentang-bi/museum/sejarah-bi/bi/Pages/sejarahbi_1.aspx (diakses pada 5 Mei 2020 pukul
11:32).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 307


itu, tugas pengelolaan moneter sepenuhnya menjadi tanggung jawab BI
sebab Dewan Moneter telah dihapus.7 Seiring dengan pemberlakuan UU
No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian diperbarui
melalui UU No. 3 Tahun 2004, upaya untuk menjadikan Bank Indonesia
menjadi lembaga negara yang independen serta menjunjung tinggi
akuntabilitas dan transparansi terus dilakukan, salah satunya dengan
melakukan penyempurnaan organisasi.
Pada tahun 2007 Bank Indonesia kembali melakukan penyempurnaan
organisasi Kantor Bank Indonesia karena struktur organisasi yang sudah
berlaku sejak tahun 1996 dianggap tidak relevan lagi dengan tugas Bank
Indonesia. Hal ini sesuai dengan arah strategis Bank Indonesia dalam
acara Banker’s Dinner 2007 serta adanya tuntutan agar Kantor Bank
Indonesia dapat menjadi advisor (penasihat) bagi pemerintah daerah.
Penyempurnaan organisasi kali ini dibagi ke dalam dua tahap. Tahap
pertama dilakukan berdasarkan Surat Edaran No. 9/12/INTERN tanggal 30
Maret 2007 yang berlaku sejak 2 April 2007. Pada tahap pertama KBI Kelas
I bertambah menjadi sembilan, yaitu KBI Medan, Padang, Palembang,
Bandung, Semarang, Surabaya, Banjarmasin, Denpasar, dan Makassar,
yang kemudian bertindak sebagai Koordinator yang membawahkan KBI
lain di wilayah kerjanya.
Selanjutnya, tahap kedua dilakukan berdasarkan Surat Edaran No.
9/24/INTERN tanggal 26 Juni 2007 yang berlaku sejak tanggal 2 Juli
2007. Pada tahap kedua ini dilakukan penyempurnaan organisasi KBI
yang memiliki wilayah kerja kabupaten/kota (bukan provinsi), seperti
KBI Lhokseumawe, Sibolga, Tasikmalaya, Solo, Cirebon, Malang, Kediri,
Purwokerto, Jember, dan Balikpapan.8 Dalam penyempurnaan organisasi
tersebut peran seluruh Kantor Bank Indonesia diperkuat melalui
penyesuaian visi, misi, fungsi, dan tugas pokok, berubah menjadi sebagai
berikut.
1. Memberi masukan kepada Kantor Pusat tentang kondisi ekonomi
dan keuangan daerah di wilayah kerjanya.

7 Bank Indonesia, “Sekilas Sejarah Kelembgaan Bank Indonesia Periode 1999–2005” diakses melalui
https://www.bi.go.id/id/tentang-bi/museum/sejarah-bi/bi/Pages/sejarahbi_1.aspx (diakses pada 5 Mei
2020 pukul 13:15).
8 Tim PP-PPBI, Sejarah Perkembangan..., (2017: 180).

308 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


2. Melaksanakan kegiatan operasional sistem pembayaran tunai dan
nontunai sesuai dengan kebutuhan ekonomi daerah di wilayah
kerjanya.
3. Melaksanakan pengawasan terhadap perbankan di wilayah kerjanya.
4. Memberikan saran kepada pemerintah daerah mengenai kebijakan
ekonomi daerah yang didukung penyediaan informasi berdasarkan
hasil kajian yang akurat.
Lima tahun kemudian Bank Indonesia kembali melakukan
penyempurnaan organisasi berdasarkan Peraturan Dewan Gubernur
(PDG) Bank Indonesia No. 14/3/PDG/2012. Penyempurnaan organisasi kali
ini dilakukan secara menyeluruh, meliputi perubahan struktur dan jenjang
organisasi yang memerlukan penyesuaian jabatan, satuan kerja dan unit
kerja, serta pangkat dan eselon. Tujuan penyempurnaan organisasi kali
ini antara lain untuk menetapkan kesetaraan jabatan di Bank Indonesia
dengan kementerian, lembaga negara, dan instansi pemerintah terkait
lainnya; serta menjamin kesetaraan yang proporsional dengan instansi
swasta dan lembaga internasional.9 Selanjutnya berdasarkan Surat Edaran
No. 14/10/INTERN tanggal 2 April 2012, penyebutan nama Kantor Bank
Indonesia diubah menjadi Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI).
Dengan demikian, sejak saat itu penamaan berganti menjadi KPwBI
Provinsi Aceh.
Berdasarkan PDG No. 15/8/PDG/2013 sebagaimana telah diubah
dengan PDG No. 15/10/PDG/2013, ditetapkan bahwa satuan kerja di Bank
Indonesia terdiri atas Departemen atau yang setingkat dengan KPwBI.
Selain itu, ditetapkan bahwa KPwBI dibagi menjadi 3 (tiga) tingkatan,
yaitu KPwBI Wilayah, KPwBI Provinsi, dan KPwBI Kabupaten/Kota. KPwBI
Wilayah merupakan koordinator pelaksanaan tugas di KPwBI Provinsi
dan Kabupaten/Kota di wilayah koordinasinya. Secara lebih mendetail,
penyempurnaan organisasi tersebut diatur dalam Surat Edaran No. 15/62/
INTERN tanggal 31 Juli 2013.
Berdasarkan penyempurnaan organisasi tersebut KPwBI Provinsi
Aceh termasuk dalam wilayah kerja KPwBI Wilayah XI (Sumatra Utara

9 Tim PP-PPBI, Sejarah Perkembangan..., (2017: 183).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 309


dan Aceh) yang berkedudukan di Medan, bersama KPwBI lainnya yaitu
Lhokseumawe, Pematang Siantar, dan Sibolga. KPwBI Provinsi Aceh
memiliki wilayah kerja Provinsi Aceh dikurangi dengan wilayah kerja
KPwBI Lhokseumawe, yakni meliputi Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten
Aceh Besar, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Pidie, Kota Banda Aceh,
Kota Sabang, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten
Simeulue, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Barat Daya,
Kabupaten Aceh Singkil, dan Kota Subulussalam.
Dalam rangka memperkuat peran dan kapabilitas Bank Indonesia di
daerah, pada tahun 2014 kembali dilakukan penyempurnaan organisasi
KPwBI Dalam Negeri berdasarkan Surat Edaran No. 16/36/INTERN yang
berlaku sejak 1 Desember 2014. Pada penyempurnaan organisasi kali
ini, fungsi pengawasan bank dihilangkan dari struktur organisasi KPwBI
Provinsi Aceh, sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas, serta
wewenang pengaturan dan pengawasan bank ke OJK.
Kemudian pada tahun 2016 kembali dilakukan penyempurnaan
organisasi KPwBI Dalam Negeri yang saat itu dibagi menjadi 4 (empat)
kelompok (Kelompok A–D) berdasarkan perhitungan berbagai aspek
kuantitatif dan kualitatif. Melalui Surat Edaran No. 18/82/INTERN tanggal
30 September 2016 KPwBI Provinsi Aceh termasuk dalam KPwBI Dalam
Negeri Kelompok B, bersama dengan KPwBI Provinsi DKI Jakarta, Bali,
Sumatra Selatan, Sumatra Barat, Riau, Sulawesi Utara, Yogyakarta,
Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Lampung, Papua, Kepulauan Riau,
dan Banten. Dalam Surat Edaran tersebut juga ditetapkan bahwa KPwBI
Provinsi Aceh menjadi koordinator terhadap KPwBI Lhokseumawe yang
berada di wilayah kerjanya.
Selengkapnya mengenai tugas pokok KPwBI Provinsi Aceh antara
lain sebagai berikut: (1) melaksanakan fungsi advisory kebijakan kepada
kepala daerah dalam rangka mendukung pengendalian inflasi, serta
pengembangan ekonomi dan keuangan daerah; (2) melaksanakan
fungsi Regional Financial Surveillance (RFS) dalam rangka mendukung
stabilitas sistem keuangan; (3) melaksanakan fungsi statistik ekonomi dan
keuangan daerah dalam rangka mendukung stabilitas sistem keuangan;
(4) melaksanakan fungsi Pengelolaan Uang Rupiah (PUR) meliputi

310 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


perencanaan, pendistribusian dan pengolahan uang, serta layanan kas;
(5) melaksanakan fungsi sistem pembayaran; (6) melaksanakan fungsi
pengawasan sistem pembayaran (SP) dan pengelolaan uang rupiah
(PUR); (7) melaksanakan fungsi pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UMKM) dan Keuangan Inklusif (KI); (8) melaksanakan fungsi
komunikasi kebijakan Bank Indonesia; (9) melaksanakan dan mengelola
fungsi enabler (pendukung) dan; (10) melaksanakan koordinasi
pelaksanaan tugas ke Departemen Regional, serta monitoring dan
supervisi terhadap pelaksanaan tugas KPwDN Kota/Kab di bawahnya
yaitu KPwBI Lhokseumawe.10
Sejalan dengan evolusi kelembagaan KPwBI, setidaknya telah terjadi
pergantian pemimpin kantor sebanyak 17 kali dari tahun 1964 s.d. 2020
dengan rincian sebagai berikut.

Tabel 6.2.
Daftar Nama Pimpinan KPwBI Provinsi Aceh dari Waktu ke Waktu

Periode Nama Pemimpin


Peralihan De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia (UU No. 11 tahun 1953)
1964–1966 Soewarno Poespowidjojo
Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral (UU No.13/1968)
1967–1970 Abdul Qohar
1970–1972 Sjarief Iksanoeddin
1972–1976 Suparman Widjaja
1976–1980 Sugiono
1980–1984 Ikbar Durin
1984–1989 Mahmud Arsin
1989–1992 Ahmad Sukandar
1992–1995 M. Ali Said Kasim
1995–1998 Ahmad Lastawan Ramly
1998–1999 Mudiar Durin

10 Arsip Bank Indonesia, Surat Edaran Bank Indonesia No. 18/82/INTERN tanggal 30 September 2016.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 311


Tabel 6.2.
Daftar Nama Pimpinan KPwBI Provinsi Aceh dari Waktu ke Waktu
(Lanjutan)

Periode Nama Pemimpin


Bank Indonesia sebagai Lembaga Negara yang Independen (UU No. 23 Tahun
1999)
1999–2004 Jusmanazir Katin
2004–2005 Hilmi Zakir
2005–2006 Tabrani Hilmi Ibrahim
2006–2008 Nawawi
2009–2012 Mahdi Muhammad
2011–2013 Zulfan Nukman
2015–2018 Ahmad Farid
2018–2020 Zainal Arifin Lubis
2020-saat ini Achris Sarwani
Sumber: Arsip Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Aceh

Peran seorang Pemimpin Bank Indonesia sangat penting, mengingat


kantor perwakilan memiliki peran yang sangat strategis sebagai
kepanjangan tangan Bank Indonesia di daerah. Keberadaan KPwBI Provinsi
Aceh pun telah berkontribusi besar dalam mengawal perekonomian di
wilayah Aceh, yang selengkapnya akan dijabarkan pada bagian berikutnya.

Transformasi Ekonomi Aceh: Dari


Perkebunan hingga Pertambangan

S ejarah telah mencatat, Aceh dengan segala kekayaan sumber daya


alam serta letak geografisnya yang strategis, terkenal dengan potensi
ekonominya. Dalam perjalanan waktu, perekonomian Aceh meluas ke
sektor-sektor lain di luar pertanian. Perdagangan, hotel dan restoran;
konstruksi; serta industri pengolahan, termasuk pertambangan dan
penggalian––dalam hal ini minyak dan gas (migas)––merupakan contoh
sektor-sektor lain yang menyumbang pendapatan bagi pertumbuhan
ekonomi Aceh. Perkembangan ekonomi Aceh yang dinamis ini kiranya

312 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


perlu dibahas lebih menarik melalui uraian analitis terhadap keberadaan
sumber daya alam Aceh yang bernilai dan menjadi penyumbang
pendapatan terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah.
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang sangat
penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang
terjadi pada suatu negara. Selanjutnya pertumbuhan ekonomi inilah yang
akan menampilkan pendapatan masyarakat melalui aktivitas-aktivitas
perekonomian. Pada tingkat daerah, pertumbuhan ekonomi biasanya
diukur menggunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Ini
dilakukan untuk mengetahui kenaikan maupun penurunan yang terjadi.
Dalam meninjau perekonomian Aceh perlu dilihat dari dua sisi, yakni
dengan migas atau tanpa migas. Pemisahan ini dilakukan sebab nilai
tambah yang diperoleh Provinsi Aceh dominan berasal dari migas.
Pada masa Orde Baru laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Aceh pada
1969–1984 memiliki rata-rata kenaikan PDRB termasuk migas mencapai
13,16 persen berdasarkan harga konstan tahun dasar 1975. Kondisi ini
dimungkinkan dengan adanya kenaikan pada sektor-sektor perdagangan
hotel dan restoran, pemerintahan, pengangkutan dan komunikasi, serta
sektor pertambangan dan penggalian setelah tahun 1975.11 Di sisi lain,
jika melihat perkembangan pendapatan per kapita Aceh tanpa migas
pada 1975 angkanya berkisar Rp71.859, lalu pada tahun 1979 angkanya
meningkat menjadi Rp92.106. Memasuki akhir masa Pelita III (1984) angka
pendapatan per kapita Aceh tanpa migas terus mengalami peningkatan
menjadi Rp120.419 dari angka yang diperoleh pada tahun 1979.
Jika dihitung dengan sektor migas, pendapatan per kapita yang
diperoleh Aceh lebih besar dibandingkan pendapatan per kapita yang
diperoleh secara nasional. Pendapatan per kapita Aceh dengan migas
sebesar Rp86.062 pada tahun 1975 menjadi Rp183.394 pada tahun
1979. Pada 1984 angka tersebut terus bertambah menjadi Rp321.371.12
Hal tersebut memungkinkan terjadi sebab Aceh merupakan wilayah yang
memiliki potensi besar dan kaya akan sumber daya alamnya terutama migas.

11 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Studi Kebijaksanaan Ekonomi Daerah (Banda Aceh:
Bappeda, 1985), hlm. 32.
12 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Studi Kebijaksanaan…, (1985: 33).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 313


Pada perkembangan berikutnya di sektor nonmigas––menurut lapangan
usaha atas dasar harga konstan (ADHK) 1983––perkembangan PDRB Aceh
pada 1986 dari 1,378 miliar rupiah telah mengalami pergerseran menjadi
1,644 miliar rupiah pada tahun 1989. Dari angka tersebut penyumbang
tertinggi diperoleh dari sektor pertanian; kedua adalah perdagangan,
hotel dan restoran; disusul sektor industri pengolahan; kemudian sektor
pengangkutan dan komunikasi.13
Sejak dulu pertanian telah menjadi sektor unggulan Provinsi Aceh
di luar migas. Salah satu komoditas di bidang pertanian yang membawa
Aceh unggul ialah kopi. Melalui komoditas ini pula Aceh telah menjadi
wilayah produsen penghasil kopi arabica dan robusta di pasar dunia.
Daerah penghasil kopi di Aceh tersebar di seluruh kabupaten. Areal
tanaman kopi yang terluas terdapat di wilayah Kabupaten Aceh Tengah
31.355 ha; disusul Aceh Tenggara 7.575 ha; Pidie 7.151 ha; Aceh Utara
4.774 ha; dan Aceh Barat 3.055 ha. Sedangkan Aceh Selatan, Aceh
Timur, dan Aceh Besar memiliki areal tanaman kopi masing-masing di
bawah 2.500 ha.14
Seiring perkembangan perluasan lahan, produksi tanaman kopi
turut meningkat. Selama periode 1979–1983 rata-rata peningkatan
produksi kopi Aceh sebesar 19,60 persen per tahun. Peningkatan
produksi pun diiringi dengan kenaikan pada harga penjualan. Ekspor kopi
ke negara tujuan saat itu tidak melalui pelabuhan di Daerah Istimewa
Aceh, melainkan diekspor seluruhnya melalui Pelabuhan Belawan
(Sumatra Utara). Tahun 1982–1984 ekspor komoditas kopi ditujukan
ke lima puluh negara, baik di Asia, Eropa Barat, Eropa Timur, Australia,
maupun Amerika. Dalam mengembangkan produksi kopi, pemerintah
saat itu terus melakukan upaya dalam peningkatan mutu biji kopi yang
akan diekspor dengan membangun dua buah pabrik pengolahan kopi di
Aceh Tengah oleh Bulog dan Proyek LTA-77 (bantuan dari Pemerintah
Belanda). Selain itu, upaya lain yang dilakukan pemerintah ialah dengan

13 Badan Pusat Statistik, Aceh Dalam Angka 1990 (Banda Aceh: BPS Daerah Istimewa Aceh, 1990), hlm.
673.
14 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Studi Kebijaksanaan…, (1985: 41).

314 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


mengadakan penyuluhan kepada petani produsen kopi untuk melakukan
seleksi dalam pemetikan biji kopi yang tua (masak).
Tak hanya kopi, komoditas lain yang berpotensi dan dikembangkan
oleh Provinsi Aceh ialah pertanian sawit rakyat. Pada paruh awal dekade
1990 setidaknya terdapat sekitar 50.000 ha tanaman sawit yang tersebar
di Kabupaten Aceh Timur, Aceh Utara, Aceh Barat, dan Aceh Selatan.
Areal seluas itu kepemilikannya didominasi oleh PTP (perkebunan
pemerintah), PT. Sucofindo (PMA), swasta nasional dan rakyat. Dalam
setahun jumlah produksinya tercatat sekitar 200.000 ton, areal tanaman
sawit pun semakin meluas dari waktu ke waktu seiring dengan pabrik
pengolahan minyak sawit yang semakin menjamur di Aceh. Di Aceh
Timur aktivitas perkebunan kelapa sawit mendapat dukungan dari sebuah
pabrik pengolahan minyak sawit peninggalan kolonial Belanda di sekitar
Langsa. Sementara di wilayah lain, seperti Aceh Barat, perkebunan kelapa
sawit dan pabrik pengolahannya sudah lama hadir (milik swasta PT.
Sucofindo). Keberadaan swasta dalam perkebunan sawit sejak 1980-an
telah mendorong swasta lokal bermain dalam penanaman sawit di Aceh.15
Pada dekade berikutnya, PDRB sektor nonmigas yang diperoleh Aceh
selama tahun 1994–1998 atas dasar harga konstan tahun dasar 1993,
nominalnya mengalami kenaikan namun secara laju pertumbuhan terus
menurun. Pada tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Aceh juga terdampak
oleh krisis ekonomi. Baik secara nominal maupun laju pertumbuhannya
mengalami kemerosotan, hingga laju pertumbuhan menyentuh angka
minus 5,82 persen. Saat itu semua sektor mengalami pertumbuhan
negatif, kecuali dua sektor yang bertahan, yaitu pertanian (1,39 persen);
serta listrik dan air minum (7,74 persen)16, selengkapnya dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.

15 Kompas, “Menanam Sawit, Menabung untuk Pensiun”, 5 Agustus 1994.


16 Nur Aidar, “Analisis Peran Industri Migas...”, (2004: 50).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 315


Tabel 6.3.
Laju Pertumbuhan PDRB Prov. Aceh Menurut Lapangan Usaha Nonmigas Atas
Dasar Harga Konstan 1993 Tahun 1994–1998
(dalam persen)

No. Lapangan Usaha 1994 1995 1996 1997 1998


1. Pertanian 7,53 6,06 7,44 4,21 1,39
Pertambangan dan
2. 38,07 18,27 6,18 13,17 -17,25
pengolahan
3. Industri pengolahan 10,48 22,5 15,76 7,67 -11,77
Listrik dan air
4. 4,58 6,95 6,60 37,69 7,74
minum
Bangunan/
5. 13,87 9,36 6,42 3,06 -20,72
konstruksi
Perdagangan, hotel,
6. 10,20 4,42 4,76 13,04 -1,27
dan restoran
Pengangkutan
7. 20,45 12,80 6,36 8,17 6,33
komunikasi
Keuangan,
8. persewaan, dan jasa 2,09 2,59 9,94 -15,17 -122,35
perusahaan
9. Jasa-jasa 3,02 0,93 1,65 0,67 0,99
PDRB Daerah Aceh –
9,71 8,72 7,69 5,28 -5,82
Pertumbuhan (%)
Nominal (Triliun Rp) 5,29 5,76 6,2 6,57 6,15
Sumber: BPS Aceh, 1999

Sementara itu, di sektor pertanian pada tahun 2001, terjadi


peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit milik perkebunan rakyat
dari 53.746 ha menjadi 56.836 ha. Namun, sayangnya berbanding
terbalik dengan produksi yang justru mengalami penurunan dari 307.409
ton menjadi 298.973 ton. Tak hanya sawit, tanaman kopi pun mengalami
peningkatan pada luas tanaman namun tingkat produksinya justru
menunjukkan penurunan.17 Namun keadaan membaik, sektor pertanian
mengalami perkembangannya hingga tahun 2004. Tidak hanya luas areal,
hasil panen di berbagai daerah juga meningkat. Hal ini dipengaruhi oleh

17 Badan Pusat Statistik, Aceh dalam Angka 2001 (Banda Aceh: BPS dan Bappeda Nangroe Aceh
Darussalam, 2001), hlm. 148–149.

316 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


kondisi keamanan yang cukup kondusif sehingga membantu kegiatan
pemasaran. Akan tetapi, menjelang akhir tahun 2004 kendala menimpa
wilayah Aceh oleh sebab bencana alam gempa bumi dan tsunami yang
terjadi.18
Akibat bencana alam tersebut, salah satu subsektor pertanian, yaitu
perikanan mengalami hantaman yang sangat keras. Rusaknya sarana untuk
melaut hingga infrastruktur pendukung, seperti pelabuhan dan tempat
pelelangan ikan, berdampak pada menurunnya hasil produksi maupun
pemasaran.19 Data yang terhimpun oleh BPS Provinsi Aceh menyebutkan
adanya penurunan produksi perikanan pada tahun 2005 sebesar 4,68
persen dibanding tahun sebelumnya. Penurunan ini cenderung dialami
oleh produksi perikanan laut yang turun sebesar 22.491,2 ton. Sementara
perikanan darat, angkanya justru menunjukkan peningkatan sebesar
41,77 persen dari tahun 2004.20
Perubahan yang terjadi pada sektor pertanian kembali terlihat pada
subsektor perkebunan. Beberapa komoditas yang sebelumnya pada
tahun 2004–2005 luas tanamnya mengalami penurunan, namun pada
2008 justru mengalami kenaikan, seperti karet, lada, nilam, pala, kelapa,
pinang, kapuk randu, dan tebu. Kenaikan luas tanaman pada sejumlah
komoditas tersebut berbanding lurus dengan kenaikan produksi yang
diperoleh. Perlu diketahui pula bahwa seringkali kenaikan luas tanaman
tidak selalu dibarengi dengan kenaikan produksi, begitu pun sebaliknya.
Hal ini terjadi pada cengkeh. Pada 2006 luas tanaman cengkeh merosot
3,26 persen, sebaliknya angka produksi justru naik sebesar 284,55
persen.21 Akan tetapi, pada 2008 angka produksi yang diperoleh cengkeh
justru jatuh hingga menyentuh 49,06 persen.

18 Penjelasan lebih lanjut mengenai dampak tsunami terhadap perekonomian Aceh akan diperoleh
pada bagian berikutnya.
19 Bank Indonesia, Perkembangan Ekonomi Keuangan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Triwulan III-2005 (Banda Aceh: Bank Indonesia Banda Aceh, 2005), hlm. 9.
20 Badan Pusat Statistik, Aceh dalam Angka 2005 (Banda Aceh: BPS dan Bappeda Nanggroe Aceh
Darussalam, 2005), hlm. 236.
21 Badan Pusat Statistik, Aceh dalam Angka 2006 (Banda Aceh: BPS dan Bappeda Nanggroe Aceh
Darussalam, 2006), hlm. 164.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 317


Di sektor lain, produksi migas22 Aceh pada 2010 menunjukkan
kenaikan setelah mengalami penurunan pada tahun sebelumnya. Dalam
data yang diperoleh disebutkan bahwa produksi migas Aceh pada
2010 menunjukkan kenaikan setelah sebelumnya sempat mengalami
penurunan. Inilah yang membuat nilai PDRB dengan migas yang diperoleh
Aceh sejak 2007–2011 cenderung fluktuatif. Pada 2008 hingga 2009 laju
pertumbuhannya mengalami penurunan, namun berhasil naik kembali
pada 2010 hingga 2011.
Secara keseluruhan perkembangan perekonomian di Aceh 2010
mengalami pertumbuhan pada seluruh sektor ekonomi, kecuali sektor
pertambangan dan penggalian, termasuk sektor industri pengolahan
pertumbuhannya minus. Penurunan yang dialami oleh kedua sektor
tersebut, khususnya sektor migas, disebabkan oleh ketersediaan cadangan
gas alam di Aceh yang semakin menipis.23 Hingga tahun 2010, pertanian
masih menjadi sektor unggulan Provinsi Aceh yang tumbuh 5,02 persen
meningkat dibanding tahun sebelumnya. Meski begitu, pertumbuhan
tertinggi pada tahun tersebut dipegang oleh sektor listrik dan air dengan
laju sebesar 16,97 persen, diikuti sektor pengangkutan dan komunikasi
6,57 persen; dan sektor perdagangan, perhotelan dan restoran (PHR)
sebesar 6,36 persen.24
Pada Oktober 2014 untuk terakhir kalinya kegiatan ekspor LNG
PT. Arun NGL dilakukan ke Jepang. Habisnya cadangan gas di Arun
secara langsung berdampak negatif terhadap neraca perdagangan luar
negeri Aceh. Pada tahun 2015 dan 2016 untuk pertama kalinya neraca
perdagangan luar negeri Aceh mengalami defisit masing-masing 23 juta
dolar AS dan 6 juta dolar AS. Defisit neraca perdagangan luar negeri
tersebut sangat berpengaruh terhadap perekonomian Aceh secara luas.
Pertumbuhan ekonomi Aceh tahun 2015 terkontraksi sebesar minus 0,73
persen (yoy). Hal tersebut menyebabkan rata-rata pertumbuhan ekonomi

22 Uraian khusus mengenai awal mula penemuan gas alam dan boom ekonomi Aceh Utara selengkapnya
pada bagian selanjutnya.
23 Bank Indonesia, Kajian Ekonomi Regional Provinsi Aceh Triwulan II-2010 (Banda Aceh: Bank Indonesia
Banda Aceh, 2010), hlm. 16. Di tengah meredupnya kilang Arun, pemerintah memutuskan kilang
Arun beralih fungsi menjadi terminal penyimpanan dan regasifikasi LNG pada tahun 2012. Alih
fungsi dari produsen LNG menjadi fasilitas regasifikasi merupakan yang pertama di dunia.
24 Bank Indonesia, Kajian Ekonomi Regional Provinsi Aceh Triwulan IV-2010 (Banda Aceh: Bank
Indonesia Banda Aceh, 2010), hlm. 16.

318 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


tahunan Aceh dari tahun 2013–2018 tercatat hanya sebesar 2,59 persen
atau jauh di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi tahunan Sumatra
dan Indonesia yang masing-masing tercatat sebesar 4,37 persen (yoy) dan
5,12 persen (yoy). Pangsa PDRB migas dalam PDRB Aceh juga menurun
dari 10 persen hingga 15 persen pada periode 2010–2014 menjadi 3
persen pada periode 2015–2018.25
Ekspor luar negeri migas Aceh pada 2015 yang merosot, ditambah
dengan tingginya impor domestik (antardaerah), menjadi penyebab
utama turunnya pertumbuhan ekonomi Aceh. Namun, pada akhirnya
pertumbuhan ekonomi Aceh terus bergerak membaik. Hal ini ditandai
dengan adanya peningkatan kinerja pada sektor pertanian yang didukung
oleh kenaikan peningkatan hasil panen raya di subsektor tanaman
pangan pada 2017. Tak hanya tanaman pangan, subsektor perikanan dan
perkebunan juga turut mendukung. Faktor kondisi cuaca yang cukup baik
dan harga yang relatif stabil berhasil mendorong adanya peningkatan
pada kinerja kedua subsektor tersebut. Subsektor perkebunan––dalam hal
ini kopi dan kelapa sawit––masih menjadi komoditas unggulan sekaligus
lokomotif utama yang mendorong peningkatan hasil produksi di sektor
pertanian.
Pada perkembangannya di tahun 2019, meski pertumbuhan
ekonomi secara umum di kawasan Sumatra mengalami perlambatan,
namun perekonomian Aceh masih menunjukkan kinerja yang cukup baik,
tercatat sebesar 3,76 persen lebih baik dibandingkan periode sebelumnya
sebesar 3,71 persen. Meski pertanian masih menjadi penyumbang terbesar
dalam perekonomian Aceh, namun jika dilihat secara pertumbuhan
tahunan, sektor pertanian mengalami perlambatan pertumbuhan. Asal
perlambatan tersebut terutama dari subsektor perkebunan, seiring
dengan lesunya industri pengolahan kelapa sawit yang berujung kepada
melemahnya harga kelapa sawit.26 Meski begitu, subsektor perkebunan
seperti kopi dan kelapa sawit masih terus menjadi komoditas utama yang
mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi Aceh di sektor pertanian.

25 Arsip Bank Indonesia, Nota Serah Terima Jabatan Kepala Perwakilan Bank Indonesia Lhokseumawe
tanggal 20 Januari 2020.
26 Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Provinsi Aceh November 2019 (Banda Aceh: Bank Indonesia
Banda Aceh, 2019), hlm. 2.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 319


Ekspor LNG terakhir PT Arun NGL

6,17 6,03
5,56
5,01 4,88 5,03 5,07 5,17
6,19 5,75
4,95 4,54
4,60 4,29 4,29
4,18 4,61
3,85 3,53
3,28 3,29
2,61
1,55

-0,73

2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018

Provinsi Aceh Sumatera Nasional


Grafik 6.1. Pertumbuhan Ekonomi Aceh (%, yoy) Tahun 2011–2018
Sumber: Badan Pusat Statistik

Pada tahun 2019, sektor konstruksi justru memberikan kontribusi


yang besar. Sejalan dengan peningkatan berbagai proyek pembangunan,
baik milik pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun swasta.
Hal serupa juga dirasakan oleh sektor pertambangan dan penggalian
nonmigas. Peningkatan kinerja sektor ini utamanya dipicu oleh produksi
komoditas batu bara untuk memenuhi kenaikan permintaan dari pasar
ekspor. Peningkatan permintaan batu bara ini khususnya berasal dari
India yang merupakan konsumen batu bara terbesar kedua di dunia.
Permintaan India yang meningkat ini dipengaruhi oleh ekspansi produksi
baja domestiknya, yang membutuhkan penggunaan coking coal (batu
bara) dalam proses produksinya. Ditambah lagi India sedang membangun
PLTU yang berkapasitas 39 Gigawatt (GW) dengan menggunakan batu
bara sebagai salah satu sumber energi utamanya.27

27 Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Provinsi Aceh November 2019…, (2019: 2).

320 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Penemuan Gas Alam dan Boom Ekonomi Aceh Utara

Pada bagian ini, kisah kejayaan dari sektor migas di Aceh akan dijabarkan
lebih khusus, guna memperoleh uraian bahwa keberadaan sektor migas
di Aceh bukan hanya menandai awal mula kejayaan migas bagi Aceh
saja, namun juga menjadi penyumbang devisa terbesar Indonesia. Pada
1968 perusahaan Amerika Serikat, Mobil Oil (kini Exxon Mobil) menjadi
kontraktor dalam Kontrak Kerja Sama (KKS) dengan Pertamina. Setahun
kemudian, Mobil Oil Company mulai mengerahkan pencarian minyak dan
gas di Aceh dengan fokus utama adalah Aceh Utara. Pengeboran yang
dilakukan di dekat Desa Arun adalah yang kelima belas kali dilakukan
oleh Mobil Oil. Sejak pencarian pertama di lokasi yang berindikasi sumber
energi sampai titik pengeboran keempat belas di ladang baru yang tidak
dikenal sebelumnya, perusahaan tersebut telah menemukan minyak dan
gas dengan kandungan karbondioksida yang terlalu tinggi sehingga sulit
dikembangkan.
Perusahaan minyak Standard Oil Company of New York yang pernah
beroperasi di Sumatra telah mendeteksi bahwa di Aceh terdapat kandungan
gas yang besar jumlahnya. Atas dasar itu, pencarian oleh Mobil Oil yang
dikoordinasi Pertamina Unit I dikonsentrasikan di Desa Arun, Kecamatan
Syamtalira, Kabupaten Aceh Utara yang kelak digunakan sebagai nama
perusahaan gas alam pertama di Indonesia. Di daerah Aceh Utara dengan
ibu kota Lhokseumawe pada tahun 1970 telah ditemukan sumber daya
alam berupa ladang minyak dan gas. Mulai saat itu Aceh pun akhirnya
didatangi oleh para investor luar negeri yang tertarik pada sumber daya
alam yang melimpah. Kala itu gas alam cair atau Liquefied Natural Gas
(LNG) yang diolah di kilang PT. Arun Natural Gas Liquefaction (NGL) Co.
berasal dari instalasi PT. Exxon Mobil Oil Indonesia (EMOI) di zona industri
Lhokseumawe dan telah menjadikan daerah tersebut sebagai kawasan
industri petrokimia yang modern.28
Pada 24 Oktober 1971 gas alam yang terkandung di bawah ladang
gas Arun ditemukan dengan perkiraan cadangan mencapai 17,1 triliun

28 Nur Aidar, “Analisis Peran Industri Migas...”, (2004: 53).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 321


kaki kubik. Hari itu merupakan hari ke-73 sejak uji eksplorasi yang dipimpin
Bob Graves, pimpinan eksplorasi Mobil Oil di Aceh, dimulai. Pada tahun
1972 ditemukan sumber gas alam lepas pantai di ladang North Sumatra
Offshore (NSO) yang terletak di Selat Malaka pada jarak sekitar 107,6 km
dari kilang PT. Arun Natural Gas Liquefaction (NGL) di Blang Lancang.29
Pada 16 Maret 1974 PT. Arun NGL didirikan sebagai perusahaan operator.
Perusahaan ini baru diresmikan oleh Presiden Soeharto tanggal 19
September 1978 setelah berhasil mengekspor kondensat pertama ke
Jepang pada 14 Oktober 1977.
PT. Arun NGL didirikan secara kolektif antara PT. Pertamina (55
persen), Mobil Oil Inc selaku perusahaan merger Exxon Mobil (30 persen)
dan Asosiasi pembeli gas di Jepang dengan nama JILCO (15 persen).30
Selama tahun 1980 hingga 1990, Aceh Utara menjadi penghasil gas alam
cair terbesar di dunia dan menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar
nasional. Hal ini membuat Aceh Utara, khususnya Kota Lhokseumawe,
dikenal dengan sebutan kota “Petro Dolar”. Daerah Aceh Utara menjadi
daerah tingkat II yang memiliki pendapatan per kapita tertinggi di
Indonesia, khususnya pada periode tahun 1983–1988. Pada 1983 angka
yang diperoleh Aceh Utara sebesar Rp3.563.543,81, meskipun sempat
mengalami penurunan di tahun 1985–1986, namun pendapatan per
kapitanya naik kembali sejak 1987 bahkan mencapai Rp4.717.293,36
pada 1988.31
Pada Februari 1987 kilang LPG yang bernama Arun LPG Project
dibangun dan dikerjakan oleh Japan Gas Corporation (JGC). Kilang ini
selesai pada tahun 1989. Sejak itu struktur ekonomi Aceh mengalami
perubahan drastis (boom ekonomi). Daerah yang semula bertumpu pada
sektor pertanian serta mengandalkan sumber pembiayaan dari Pusat––
untuk belanja rutin dan pembangunan akibat keterbatasan dana yang
diperoleh dari retribusi dan pendapatan asli daerah––berubah menjadi

29 Selanjutnya tahun 1998 dilakukan pembangunan proyek NSO “A” yang diliputi unit pengolahan gas
untuk fasilitas lepas pantai (offshore) dan di PT. Arun NGL. Fasilitas ini dibangun untuk mengolah
450 MMSCFD gas alam dari lepas pantai sebagai tambahan bahan baku gas alam dari ladang Arun
di Lhoksukon yang semakin berkurang.
30 Kompas, “Gas Alam Cair: Kejayaan Arun”, 13 November 2013.
31 Badan Pusat Statistik, Aceh dalam Angka 1988 (Banda Aceh: BPS Daerah Istimewa Aceh, 1988).

322 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


sangat bergantung pada migas. Sektor pertambangan migas dengan
komoditas utama berupa gas alam cair (liquified natural gas/LNG) telah
berhasil diekspor ke berbagai negara, di antaranya Jepang dan Korea
Selatan.
Kilang LNG Arun menjadi mesin penghasil devisa, bukan hanya
untuk Aceh, tetapi juga Indonesia. Perekonomian Aceh berkembang
dengan menyerap ribuan tenaga kerja. Namun, ironisnya cadangan gas
alam cair tersebut lambat laun semakin menipis dan realisasi produksi
LNG terus merosot. Pada puncaknya tahun 1994, tercatat 224 kapal per
tahun dengan volume produksi 2.200 MMSCFD32. Kemudian tahun 2012
volume produksi LNG 24 kapal kargo atau setara 1,4 juta ton dan tahun
2013 turun menjadi 19 kapal atau setara 6 kilang. Dari 6 kilang yang ada
hanya 1 kilang yang beroperasi dan menghasilkan LNG untuk diekspor.
Era boom ekonomi Aceh Utara ini harus berakhir pada tahun 2014 seiring
berakhirnya operasi pengolahan LNG PT. Arun NGL pasca menipisnya
cadangan gas sehingga dinilai tidak lagi ekonomis untuk diproses menjadi
LNG.

Situasi Perbankan di Aceh

Membahas perkembangan ekonomi tak lengkap jika tidak disertai uraian


ringkas mengenai kondisi yang terjadi di bidang perbankan. Berlatar situasi
yang terjadi pada tahun 1970-an sebagai awal pembahasan, kiranya
menarik untuk mengungkapkan perkembangan dalam dunia perbankan
Aceh, sebab pada periode tersebut Aceh sedang mengalami boom
economy. Penemuan cadangan gas alam memicu pesatnya perekonomian
Kota Lhokseumawe. Hal ini yang menjadi latar belakang Bank Indonesia
memutuskan mendirikan kantor cabangnya di Lhokseumawe pada 12 Mei
1976. Tujuan pendirian kantor ini tidak lepas dari pertimbangan untuk
mendukung kegiatan perekonomian karena adanya eksplorasi minyak
dan gas bumi.

32 MMSCFD merupakan satuan produksi gas atau singkatan dari Million Standard Cubic Feet per Day.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 323


Secara umum keberadaan perbankan bertujuan untuk membantu
pemerintah dalam memelihara kestabilan rupiah serta mendorong
kelancaran produksi beserta pembangunan yang bertujuan menciptakan
kesempatan kerja sekaligus meningkatkan taraf hidup rakyat. Dalam
suatu rapat Bakohumas, Kepala BI Banda Aceh saat itu, Ikbar Durin,
menyampaikan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh telah membuka
peranan bank menjadi lebih luas.33 Ia menambahkan bahwa di wilayah
Aceh rata-rata penyaluran dana yang berasal dari bank mengalami
peningkatan 177,82 persen setahun. Diakui pula sekitar 80 persen dari
dana yang terkumpul di bank berasal dari giro, sisanya berasal dari
deposito dan tabungan.
Lebih lanjut Ikbar Durin menjabarkan, bahwa pada deposito berjangka
sepanjang tahun 1973–1977 angkanya mengalami kenaikan rata-rata
163 persen setahun. Namun, sejak 1978–1980 deposito berjangka justru
mengalami penurunan rata-rata 7,53 persen per tahun. Disampaikan
bahwa di tahun 1980, jumlah penabung dalam bentuk Tabanas dan
Taska di Aceh angkanya telah mencapai 117.774 orang dengan jumlah
simpanan sebesar Rp3.271.352.000. Meski begitu, angka tersebut belum
terbilang menggembirakan sebab melihat kenyataan saat itu jumlah
penduduk Aceh sebanyak 2,5 juta jiwa. Artinya, dari perbandingan
tersebut rata-rata yang diperoleh baru mencapai 4,88 persen. Dalam hal
pemberian kredit, saat itu adanya peningkatan jumlah penyaluran dana
perbankan yang diperuntukkan bagi masyarakat. Pada 1980 angka kredit
yang diberikan berkisar 1,6 miliar rupiah, hingga akhir Juli 1980 angka
penyaluran kredit mengalami kenaikan drastis dengan rata-rata sebesar
71 persen per tahun, yakni mencapai 33,68 miliar rupiah.
Dilansir dari Atjeh Post, peranan perbankan terbilang cukup aktif
dalam mempercepat laju pertumbuhan ekonomi rakyat melalui jalur
penyaluran kredit. Seperti pada pada tahun 1974, sebanyak 177 nasabah
melakukan pinjaman Kredit Investasi Kecil (KIK) dengan total pinjaman
sebesar 308 juta rupiah. Pada tahun-tahun berikutnya jumlah pinjaman
KIK semakin bertambah, hingga pertengahan tahun 1980 tercatat jumlah

33 Atjeh Post, “Kenaikan Penyaluran Dana Bank di Aceh Mencapai Rata-Rata 177,82 Prosen Setahun”,
Oktober 1980.

324 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


nasabah mencapai 2.897 nasabah dengan penyaluran kredit sebesar
6,98 miliar rupiah. Demikian pula dengan jenis kredit lain, seperti pada
Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), di mana di tahun 1974 tercatat
sebanyak 209 nasabah melakukan pinjaman dengan total sebesar 308
juta rupiah. Kemudian pada awal 1979/1980 jumlah nasabah peminjam
KMKP meningkat menjadi 5.708 dengan penyaluran kredit sebesar 8,54
miliar rupiah.34 Dari data lonjakan jumlah nasabah serta penyaluran
kredit tersebut dapat disimpulkan bahwa keberadaan perbankan di Aceh
semakin mendapat kepercayaan dari masyarakat dan pada akhirnya
menggerakkan roda perekonomian daerah.
Selama dekade 1980-an pemerintah pusat melakukan serangkaian
kebijakan di sektor perbankan, salah satunya ialah dikeluarkannya
kebijaksanaan Paket 27 Oktober 1988 atau yang lebih dikenal dengan
Pakto 88.35 Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 ini menjadi
titik balik terhadap berbagai kebijakan penertiban perbankan tahun
1971–1972. Melalui Pakto 88 pemberian izin usaha bank baru, yang
sejak tahun 1971 dihentikan, akhirnya dibuka kembali. Lewat kebijakan
ini pula pemerintah bekerja sama dengan BI memberi kemudahan yang
lebih luas kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan di bidang
perbankan; memperluas usaha dan jangkauan kegiatan perbankan ke
seluruh pelosok negeri; serta meningkatkan mutu pelayanan. Pemerintah
juga memberikan kesempatan besar kepada bank-bank, termasuk Bank
Perkreditan Rakyat (BPR), untuk mengembangkan dirinya guna melayani
peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap perbankan di daerah.
Pakto 88 telah memberikan kemudahan pada izin pembukaan kantor
cabang atau pendirian BPR dengan persyaratan modal yang lebih ringan.
Bersamaan dengan itu, BI secara intensif mulai mengembangkan bank-
bank sekunder, seperti bank pasar, bank desa, serta bank kredit desa.
Selanjutnya bank karya desa diganti menjadi Bank Perkreditan Rakyat
(BPR). Adapun tujuan dalam mengembangkan BPR adalah tentunya untuk

34 Atjeh Post, “Kenaikan Penyaluran Dana Bank di Aceh Mencapai Rata-Rata 177,82 Prosen Setahun”,
Oktober 1980.
35 Tim Penulis Bank Indonesia,“Peranan Bank Indonesia dalam Mendorong Perkembangan Perbankan
yang Sehat”, Makalah pada Seminar Bank Indonesia 26–27 Februari 1990, hlm. xiii.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 325


memperluas jangkauan pembiayaan dalam rangka peningkatan ekonomi,
khususnya di daerah pedesaan, di samping untuk modernisasi sistem
keuangan pedesaan.36 Dengan begitu, perbankan menjadi sektor yang
diharapkan dapat lebih berperan dalam mendorong serta memperlancar
kegiatan perekonomian yang produktif di daerah yang pada akhirnya
mendukung tercapainya pemerataan pembangunan dan hasilnya di
seluruh pelosok Indonesia. Di wilayah Aceh sendiri, untuk melihat
perkembangan jumlah kantor bank di wilayah kerja BI Aceh sebelum dan
setelah Pakto 88, atau dalam periode tahun 1986–1989 dapat dilihat
pada tabel berikut.

Tabel 6.4.
Perkembangan Peningkatan Jumlah Kantor Bank di Wilayah Kerja BI Aceh
Tahun 1986–1989

Dati I, II, Desember 1986 Oktober 1988 Oktober 1989


Kotamadya
dan
Wilayah KP KC KCP KK JML KP KC KCP KK JML KP KC KCP KK JML
Kerja Bank
Indonesia
D. I. Aceh 1 34 0 7 42 1 39 0 8 48 1 40 0 21 62
BI Banda Aceh 1 17 0 1 19 1 20 0 1 22 1 20 0 8 29
Banda Aceh 1 7 0 1 9 1 9 0 1 11 1 9 0 4 14
Sabang 0 1 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 1
Kab. Aceh
0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 2 2
Besar
Kab. Aceh
0 4 0 0 4 0 4 0 0 0 0 4 0 1 5
Barat
Kab. Aceh
0 2 0 0 2 0 3 0 0 4 0 3 0 1 4
Selatan
Kab. Aceh
0 3 0 0 2 0 3 0 0 3 0 3 0 0 3
Pidie
Keterangan: KP = Kantor Pusat, KC = Kantor Cabang, KCP = Kantor Cabang Pembantu, KK = Kantor Kas.
Sumber: Peranan Bank Indonesia dalam Mendorong Perkembangan Perbankan yang Sehat…, (1990)

36 Bank Indonesia, “Sejarah Bank Indonesia: Sejarah Kelembagaan Periode 1983–1997”, hlm. 3 https://
www.bi.go.id/id/tentang-bi/museum/sejarah-bi/bi/Pages/sejarahbi_3a.aspx. (diakses pada 5 Mei
2020 pukul 10:55).

326 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Pada dekade berikutnya––bersumber pada data BPS Aceh (1999)––
secara umum terdapat tiga sektor utama yang berperan besar terhadap
perekonomian Aceh, antara lain pertanian, pertambangan dan penggalian,
serta industri pengolahan. Sektor lainnya seperti perdagangan, hotel dan
restoran, pengangkutan dan komunikasi, serta sektor jasa menyusul peran
tiga sektor tersebut. Sementara sektor lainnya hanya menyumbangkan
kontribusi di bawah lima persen. Peranan perbankan terlihat pada
perkembangan data penyaluran kredit, di mana pada periode tahun
1996–1999 terlihat jumlah kredit tertinggi diberikan kepada sektor
pertanian. Selain itu juga terlihat bahwa dampak dari krisis 1998 juga
berpengaruh kepada menurunnya penyaluran kredit perbankan di Aceh.

Tabel 6.5.
Perkembangan Kredit Perbankan Menurut Sektor Ekonomi di Prov. Aceh
Tahun 1996–1999 (Jutaan Rupiah)

No. Sektor Ekonomi 1996 1997 1998 1999


1. Pertanian 266.357 313.797 400.100 356.175
2. Pertambangan 258 257 318 243
3. Perindustrian 38.651 38.705 41.008 73.606
4. Listrik, gas, dan air 4.244 4.806 4.264 3.617
5. Konstruksi 161.330 178.895 145.776 42.904
6. Perdagangan/Hotel/Restoran 230.724 268.292 232.873 199.006
Pengangkutan, pergudangan,
7. 40.608 48.572 36.275 8.693
dan komunikasi
8. Jasa-jasa 93.986 120.730 123.418 86.826
9. Lain-lain 317.044 384.463 321.649 279.073
Jumlah 1.153.202 1.358.517 1.305.681 1.050.143
Sumber: Badan Pusat Statistik, Aceh Dalam Angka 1999 (1999: 399)

Sementara itu, masih di bidang perbankan, Pemerintah Daerah


Aceh juga memiliki bank daerah. Inisiasi pendirian Bank Pembangunan
Daerah (BPD) Istimewa Aceh yang bernama awal Bank Kesejahteraan
Aceh. BPD Aceh hadir dalam mendukung pembangunan di Aceh.

37 Badan Pusat Statistik, Aceh dalam Angka 1999, Daerah Istimewa Aceh: BPS, 1999, hlm. 399.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 327


Serangkaian perubahan terjadi dalam tubuh BPD Aceh, seperti perubahan
bentuk badan hukum, sebagai respons atas kebijakan pemerintah
pusat ketika krisis ekonomi tahun 1998–1999. Pembukaan Unit Usaha
Syariah (UUS) pada tahun 2004. Serta pada tanggal 25 Mei 2015,
Bank Aceh Syariah mencatatkan tonggak sejarah menjadi bank daerah
pertama yang melakukan konversi kegiatan usaha dari sistem perbankan
konvensional menjadi sistem perbankan berbasis syariah. Bank Syariah
Aceh telah menjadi salah satu titik episentrum pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan Aceh yang lebih optimal.

Konflik dan Kemunduran Ekonomi

R iwayat konflik dalam sejarah Aceh tak hanya terjadi masa kolonial
saja, perjuangan rakyat Aceh terus bergejolak dari waktu ke waktu.
Dalam sejarah modern Aceh, konflik terlama juga sempat terjadi ketika
GAM melakukan perlawanan dan menentang pemerintahan Orde Baru.
Konflik yang bermula sejak dekade 1970-an berlangsung hingga masa
Reformasi dan berakhir pada tahun 2005. Konflik berkepanjangan
tersebut setidaknya telah menelan korban jiwa sekitar 15.000 penduduk
Aceh.38 Pengungsian besar-besaran dilakukan oleh ratusan ribu penduduk
Aceh lainnya dengan berbagai penderitaan yang dialami. Penduduk Aceh
yang kala itu berjumlah 4 juta jiwa praktis mengalami dampak konflik,
baik secara langsung maupun tidak langsung.39
Di masa itu, peran besar Aceh pada masa lampau seolah terlupakan
dan Aceh menjadi wilayah yang terasingkan serta kurang diperhatikan.
Kebijakan sentralistis yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dalam
berbagai sektor ini membuat masyarakat Aceh merasa kehilangan jati
diri, termasuk di bidang ekonomi. Seluruh aset sumber daya alam Aceh
dieksploitasi lebih untuk upaya pembangunan nasional dibandingkan

38 World Bank, Analisis Pengeluaran Publik Aceh: Pengeluaran Untuk Rekonstruksi dan Pengentasan
Kemiskinan (Jakarta: The World Bank Office Jakarta, 2006), hlm. xiv.
39 Leena Avonius, “Keadilan dan Proses Perdamaian Aceh”, dalam Patrick T. Daily, R. Mitcheal Feener,
dan Anthony Reid (ed.), Aceh Setelah Tsunami dan Konflik (Terj. Arif B. Prasetyo) (Denpasar: Pustaka
Larasan, 2013), hlm. 248.

328 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


untuk membangun Aceh sendiri. Pada tahun 1980 Aceh memberikan
kontribusi yang signifikan kepada ekspor Indonesia ketika menjadi sumber
ekspor terbesar ketiga setelah Kalimantan Timur dan Riau.40 Hampir
seluruh pendapatan dari kegiatan produksi dan ekspor gas di Aceh
dialokasikan ke pemerintah pusat, baik secara langsung maupun melalui
perjanjian bagi hasil dengan BUMN Pertamina. Akan tetapi, sayangnya
pendapatan tersebut tidak kembali sebagai investasi untuk membangun
Aceh sebagai daerah penghasil. Persoalan eksploitasi sumber daya alam di
Aceh ini menjadi salah satu penyebab utama terjadinya konflik.

Konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

Pada 4 Desember 1976, Hasan Tiro mendeklarasikan terbentuknya sebuah


negara bernama Aceh Sumatra yang selanjutnya diperingati sebagai hari
lahirnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Hasan Tiro menyebut deklarasi
tersebut sebagai Re-Declaration of Independence of Acheh, sebab
menurutnya keberadaan politik Aceh telah hadir sejak ratusan tahun
sebelum Indonesia merdeka. Dengan begitu, deklarasi kemerdekaan
bagi Aceh ini bukanlah upaya pendirian suatu negara baru, melainkan
lebih kepada pernyataan kembali eksistensi negara merdeka Aceh.41
Isa Sulaiman dalam bukunya yang berjudul Aceh Merdeka: Ideologi,
Kepemimpinan, dan Gerakan menyampaikan bahwa deklarasi Negara
Aceh Merdeka merupakan bentuk akumulasi kekecewaan Hasan Tiro
terhadap Indonesia.42 Gagasan tersebut berdasar pada sejarah kejayaan
wilayah Kerajaan Aceh Darussalam masa Iskandar Muda. Pada masa
jayanya, Kerajaan Aceh sempat menguasai sebagian besar kawasan pesisir
barat dan pesisir timur Sumatra, dan sebagian wilayah Malaysia.

40 Dayan Dawood, Sjafrizal, “Aceh: The LNG Boom and Enclave Development”, dalam Hal Hill, Unity
and Diversity: Regional Economic Development in Indonesia since 1970 (New York: Oxford University
Press, 1989).
41 Ahmad Taufan Damanik, Hasan Tiro: Dari Imajinasi Negara Islam ke Imajinasi Etno-Nasionalis (Jakarta:
Friedrich Ebert Stiftung (FES) dan Acheh Future Institute (AFI), 2010), hlm. 16.
42 Isa Sulaiman, Aceh Merdeka: Ideologi, Kepemimpinan, dan Gerakan (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2000), hlm. 12.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 329


Kekecewaan tersebut kemudian menumbuhkan semangat etnisitas
di masyarakat Aceh, yang merasa telah dieksploitasi oleh pemerintah Orde
Baru, dengan menggunakan istilah “nasionalisme etnis”.43 GAM menjadi
refleksi atas kekecewaan masyarakat Aceh terhadap kondisi yang terjadi
di wilayahnya, baik di bidang politik maupun ekonomi.
Di bidang ekonomi, masyarakat Aceh merasakan ketidakadilan
atas eksplorasi dan pengelolaan hasil produksi sumber daya alamnya.
Di tengah penghasilan daerah yang mengalami peningkatan setelah
ditemukannya gas alam di Aceh Utara pada dekade 1970, kemiskinan
justru melanda masyarakat lokal. Keterpurukan ekonomi yang dialami
Aceh sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang sentralistik. Selain
itu, ada juga kekecewaan lainnya akibat kebijakan dari pemerintah pusat
terkait program transmigrasi di Aceh guna memenuhi kebutuhan tenaga
kerja, khususnya tenaga kerja untuk pabrik gula Tjot Gireuek44 di Pidie
dan Aceh Utara. Kebijakan ini menimbulkan dampak sosial yaitu rasa
persaingan dan permusuhan terhadap para transmigran. Bahkan juga
dianggap sebagai wujud intervensi terhadap sektor pertanian di Aceh.45
Dekade 1970 tercatat sebagai boom economy di Aceh berkat potensi
sumber daya alam daerahnya. Akan tetapi, sayangnya masyarakat Aceh
kecil keterlibatannya dalam prosesnya––baik perencanaan, pengelolaan,
hingga distribusi. Salah satunya berkat penemuan cadangan gas alam
pada tahun 1971, sebagaimana yang telah dijabarkan pada bagian
sebelumnya. Bahkan selama tahun 1974–1978 tingkat pertumbuhan
ekonomi Aceh mampu mengalahkan pertumbuhan ekonomi nasional.
Angka pertumbuhan ekonomi Aceh dalam periode tersebut mencapai

43 Zulfiadi, “Negosiasi Ethnik Nasionalisme Versus Civic Nasionalisme (Studi tentang Dialektika Identitas
Keacehan Vs Keindonesiaan), Yogyakarta”, Tesis (Tidak Diterbitkan), Universitas Gadja Mada, 2015,
hlm. 17.
44 Tjot Gireuek merupakan pabrik gula terbesar di luar Jawa yang dibuka di Aceh pada tahun 1970.
Pendirian pabrik gula di luar Jawa ini didasari atas keadaan di Jawa Tengah. Saat itu sebagian besar
pabrik-pabrik gula di Jawa Tengah telah berusia 60 tahun, kapasitas produksi pun mengalami
penurunan. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan keadaan pabrik-pabrik yang tidak mengalami
perbaikan. Oleh karenanya, berdasar pada norma-norma bedrijf, alat-alat produksi baik teknis
maupun ekonomis harus susut. Menanggapi hal tersebut Soeharto berupaya melakukan revitalisasi
pabrik gula Tjot Gireuek agar produksinya dapat berjalan optimal. Lihat Kompas, “Tjot Girek Pabrik
Gula Terbesar Di Luar Djawa Dibuka”, 22 September 1970.
45 Usman Pelly, “Ketersingkiran Sosial: Pengungsi Aceh di Sumatra Utara”, Makalah dalam “Diskusi
Sejarah Lokal: Kerawanan Sosial dalam Perspektif Sejarah”, Sukabumi, November 2020.

330 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


7,37 persen, sementara pada skala nasional angkanya sebesar 6,92
persen.46
Infrastruktur yang masih kurang memadai, seperti minimnya
pembangunan sarana dan prasarana, serta jalanan yang becek ketika
hujan47 menjadi salah satu realitas yang terjadi di Aceh saat itu. Sementara
itu, pada saat yang sama ada pertumbuhan industri besar di Aceh. Pada
dekade 1970-an, rupanya pemerintah dan masyarakat Aceh seolah
belum siap menghadapi hal tersebut. Kehadiran sekurang-kurangnya
terdapat 20 kontraktor nasional dan asing yang membuka cabangnya di
Lhokseumawe, tidak sepenuhnya dirasakan dampaknya oleh masyarakat
Aceh, khususnya para pemuda. Persaingan dengan tenaga kerja dari
luar membuat para pemuda Aceh tersisihkan. Ketidaksiapan SDM
daerah berlatar belakang pendidikan ilmu teknik menjadi penyebabnya,
masyarakat Aceh seperti belum siap memenuhi kebutuhan SDM bagi
dunia industri yang skalanya besar.
Kekecewaan dan realitas yang terjadi, dimanfaatkan GAM untuk
merebut hati masyarakat. Isu mengenai eksploitasi sumber daya alam
dan ketimpangan sosial digunakan untuk menarik simpati masyarakat
Aceh. Ketimpangan sosial ini semakin terlihat ketika Aceh saat itu hanya
memperoleh 1 persen dari anggaran pendapatan nasional dengan
kontribusi 14 persen yang diberikan Aceh untuk Indonesia.48 GAM
meminta bantuan kepada masyarakat Aceh, baik sukarela maupun
paksaan. Salah satu tindakan yang dilakukan GAM adalah melakukan
serangan terhadap perusahan minyak EXXON Mobil. Situasi yang tidak
kondusif tersebut membuat EXXON Mobil menghentikan operasionalnya.
Pemerintah pusat sendiri memandang GAM sebagai suatu gerakan
separatis yang mengancam disintegrasi bangsa. Upaya yang dilakukan
dalam menumpas gerakan separatis tersebut ialah dengan melancarkan
operasi militer, seperti dibentuknya Komando Pemulihan Keamanan
dan Ketertiban. Dalam rentang tahun 1976–1979 operasi militer yang

46 Badan Pembangunan Perencanaan Daerah, Informasi Kumulatif 40 Tahun (Banda Aceh: Bappeda
Daerah Istimewa Aceh, 1995), hlm. 42.
47 Kompas, 13 Mei 1976.
48 Harry Kawilarang, Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki (Banda Aceh: Bandar Publishing,
2010), hlm. 158.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 331


dilancarkan efektif menekan kekuatan GAM, akan tetapi pada 1989 GAM
kembali menunjukkan eksistensinya melawan pemerintah.

Aceh sebagai Daerah Operasi Militer

Tahun 1989 menjadi awal penetapan Aceh sebagai Daerah Operasi


Militer (DOM). Penerapan ini khususnya dilakukan di beberapa wilayah
yang merupakan basis utama GAM, seperti Pidie, Aceh Utara, dan Aceh
Timur. Mulanya DOM digunakan pemerintah untuk menciptakan situasi
menjadi kondusif dari tindakan separatis GAM yang selanjutnya disebut
pemerintah sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Operasi militer
yang dilakukan Pemerintah Indonesia tidak mampu memadamkan api
perlawanan, bahkan GAM menjadi lebih besar, tidak hanya pada jumlah
anggotanya tetapi juga struktur organisasinya. Periode DOM menjadi
pengalaman paling buruk bagi masyarakat Aceh atas tindakan-tindakan
kekerasan yang dilakukan aparat––baik fisik maupun nonfisik.49
Selama pemberlakuan DOM, situasi saat itu terbilang meresahkan.
Tindakan represif pemerintah melalui kekuatan militernya sebagai bentuk
reaksi atas keberadaan GAM justru tidak mampu menarik hati rakyat
Aceh. Dalam hal ini pemerintah tidak berhasil memenangkan hati rakyat
dalam upaya pemulihan ekonomi dan psikologis luka hati masyarakat
Aceh. Ini pula yang kemudian menjadi alasan masyarakat seperti berpihak
dan melindungi keberadaan kelompok GAM.
Operasi militer yang masif dilakukan, awalnya target yang dituju
pada Maret 1989–Januari 1990 ialah Kecamatan Tiro, Kabupaten Pidie.
Selanjutnya, sejak Juli 1990 hingga tahun 1996, sasaran yang dikehendaki
ialah menghancurkan dan menghilangkan sisa-sisa GAM, hingga operasi
militer terakhir yang dilakukan hingga akhir Maret 1999.50
Pasca pencabutan status DOM, gelombang pengungsian terus saja
meningkat. Padahal di waktu yang bersamaan pemerintah berupaya

49 Riza Sihbudi, dkk., Bara dalam Sekam: Identifikasi Akar Masalah dan Solusi atas Konflik-Konflik Lokal
di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau (Jakarta: Mizan, 2001), hlm. 39.
50 Pemberlakuan DOM di bawah sandi Operasi Jaring Merah merupakan respons atas permintaan
Gubernur Aceh. Selama periode DOM, pelaksanaan operasi militer dilakukan secara bertahap. Lihat
Sri Mastuti, “Konflik Vertikal di Aceh...”, (2001).

332 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


menjalankan strategi guna memulihkan ekonomi demi kesejahteraan
masyarakat Aceh. Pada saat itu, pemerintah memberikan amnesti kepada
tahanan politik GAM, bantuan dana kepada anak yatim dan janda korban
konflik, serta kesempatan kerja untuk anak-anak mantan anggota GAM.
Harus diakui, bahwa kebijakan penumpasan GAM melalui DOM telah
berdampak besar terhadap berbagai sektor, terlebih di bidang ekonomi.
Menjadi sebuah luka sejarah yang berdampak kepada melambatnya
bahkan ketertinggalan pertumbuhan ekonomi Aceh dibandingkan
dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Dampak Konflik Aceh

Pada awalnya, selama tahun 1970-an, klaim ketertinggalan perekonomian


Aceh memiliki dasar yang lemah, karena provinsi ini memiliki standar hidup
yang lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia.
Namun, konflik yang berkepanjangan, telah berimplikasi besar terhadap
masyarakat. Konflik berpuluh tahun ini telah berakibat buruk terhadap
perekonomian yang menyebabkan pengusaha Aceh mengalami kerugian
hingga gulung tikar. Di samping itu, kerugian lain adalah terhambatnya
upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia Aceh.51
Aceh sempat memperoleh bantuan dari pihak asing. Hal ini terjadi
pada dekade 1990-an. Pada tahun 1994, Aceh menerima bantuan dari
luar yakni Jepang dan Belanda. Wilayah Aceh yang mendapatkan bantuan
dari Jepang ialah Kabupaten Pidie, yang terkenal sebagai penghasil
emping melinjo. Ketika itu Jepang memberi bantuan modal dari program
dana kerja sama ekonomi luar negeri (OECF) untuk membuka lahan
seluas 500 hektar yang akan dijadikan kebun melinjo di wilayah Pidie.52
Bantuan tersebut menjadi suatu peluang bagi Kabupaten Pidie untuk
mengembangkan tanaman melinjo. Komoditas tersebut memberikan
pendapatan cukup besar bagi para petani Pidie dan sudah menjadi
industri rumah tangga, serta menjadi mata pencarian bagi sekitar 15.000
kepala keluarga di wilayah tersebut. Dari 23 kecamatan dalam Kabupaten

51 Kompas, “Aceh Memerlukan Percepatan Modal”, 11 Januari 2006.


52 Kompas, “Jepang Bantu Perluasan Tanaman Melinjo di Pidie”, 24 Juni 1994.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 333


Pidie, tiga belas di antaranya merupakan sentra penghasil emping melinjo.
Produksi emping melinjo Pidie ini kemudian dijual ke Medan dan diekspor
ke Singapura serta Malaysia.
Pada tahun yang sama Belanda melakukan kerja sama dengan
Aceh untuk komoditas kopi. Perusahaan Belanda “B-Flat” bekerja sama
dengan perusahaan daerah di Takengon bernama “Genap Mupakat”
yang memproduksi Gayo Mountain Coffee. Keduanya berupaya
mengembangkan areal kopi arabica seluas 4.000 hektar dengan investasi
sebesar 21 juta dolar AS di kawasan Weh, Kabupaten Aceh Tengah.53
Kerja sama tersebut melibatkan sejumlah 1.000 orang petani lokal melalui
pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) kopi. Pola pertanian kopi cara tradisional
ini dikembangkan menjadi pertanian kopi yang lebih profesional. Setelah
diolah menjadi bubuk, kopi produksi Gayo Mountain Coffee, kopi arabica
Aceh Tengah tersebut menjelma menjadi komoditas unggul yang masuk
pasar kopi dunia, baik Asia, Eropa, hingga Amerika. Areal tanaman kopi
produktif seluas 40.000 hektar di kawasan Aceh Tengah ini merupakan
kebun kopi arabica terluas di Indonesia dengan jumlah produksi setahun
sebanyak 24.000 ton.
Bantuan yang diberikan oleh kedua negara tersebut tidak menutup
kenyataan, bahwa minat investor untuk menanamkan modal di Aceh pada
tahun-tahun tersebut masih rendah. Hingga pertengahan Juli 1994 minat
para pengusaha besar menanamkan modalnya di bidang industri di Aceh
memang masih tergolong rendah. Terlepas dari persoalan keamanan di
Aceh kala itu, kurangnya promosi terkait lokasi kawasan industri di Aceh
juga turut berpengaruh. Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah
(BKPMD) Aceh mencatat bahwa hingga tahun 1994 baru sebanyak 109
buah perusahaan dalam negeri yang telah beroperasi di Aceh, dengan
nilai investasi sebesar Rp1,6 triliun. Sementara perusahaan asing yang ada
saat itu hanya 19 buah dengan nilai investasinya Rp544,5 juta dollar AS.54
Pada perkembangan berikutnya, dua tahun pasca berakhirnya status
DOM perekonomian sejumlah kota di Aceh, seperti Lhokseumawe, Sigli,
dan kota kecamatan lainnya, mengalami kemunduran akibat situasi yang

53 Kompas, “Aceh-Belanda Buka 4.000 Ha Areal Baru Kopi Arabica”, 15 Oktober 1994.
54 Kompas, “Rendah, Minat Investor Menanam Modal di Aceh”, 16 Juli 1994.

334 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


tak kunjung kondusif. Bagi para pedagang, pagi hari mereka membuka
kedai atau warung, namun di tengah keadaan yang tidak aman dan
penuh ketakutan saat itu, mereka terpaksa harus menutup warungnya
pada siang hari. Lhokseumawe yang dulu sebagai kota perdagangan
kedua di Aceh setelah Banda Aceh, berubah menjadi sepi selama tahun
1999.55 Pasar-pasar menjadi sepi sebab aktivitas yang terjadi di sana
tidak seramai sebelumnya dan hanya beroperasi beberapa jam saja
dalam sehari. Ditambah lagi stok barang dalam tiap kedai terbatas akibat
kekhawatiran akan terjadi kebakaran. Kekhawatiran ini menyebabkan
mereka menunggu barang dagangannya habis dulu baru mendatangkan
stok baru dari grosir di Medan. Sepinya pasar berpengaruh terhadap
transaksi di berbagai bank pemerintah maupun swasta.
Di Lhokseumawe sendiri sekurang-kurangnya terdapat tiga
belas cabang perbankan pemerintah serta swasta; dan di setiap kota
kecamatan yang ramai setidaknya terdapat dua unit bank perwakilan.
Industri jasa pun ikut merasakan dampaknya, tidak sedikit perusahaan
dan industri kecil yang tutup. Kondisi terpuruk juga terasa di lingkungan
Mobil Oil. Sekiranya 1.500 karyawan kontrak ketiga Mobil Oil terpaksa
dirumahkan dan hanya memperoleh pembayaran gaji pokoknya saja.
Keadaan demikian terjadi selama satu bulan setelah terjadinya peristiwa
penembakan pesawat terbang di pelabuhan udara Mobil Oil pada April
2000. Selama masa konflik perekonomian Aceh terus terpuruk, khususnya
Lhokseumawe. Berdasar pada angka pertumbuhan ekonomi Aceh,
kontribusi yang diberikan Lhokseumawe ketika itu angkanya mencapai
35 persen; dan di atas 7,5 persen per tahun pertumbuhannya secara
nasional.56
Sepinya aktivitas pasar di Lhokseumawe juga dialami oleh pedagang
Cina yang jumlahnya cukup banyak di kota itu. Selama tahun 1999 banyak
dari mereka yang mengungsi ke Medan, namun ada juga sebagian yang
memulai kembali dengan membuka tokonya. Sebagaimana yang telah
disinggung sebelumnya, jam operasional toko mereka lebih pendek. Hal
ini dianggap wajar oleh para pedagang Cina. Mereka berasumsi untuk apa

55 Kompas, “Firasat Pedagang Cina: Ekonomi Aceh Berdenyut Lagi”, 16 Mei 2000.
56 Kompas, “Firasat Pedagang Cina: Ekonomi Aceh Berdenyut Lagi”, 16 Mei 2000.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 335


toko buka hingga malam hari jika aktivitas kota di malam hari masih sepi.
Terlebih lagi jika terjadi kontak senjata atau penyerangan dan penyisiran
yang dilakukan aparat keamanan.
Sesungguhnya, keadaan yang tidak kondusif itu tidak hanya
dirasakan oleh orang Cina, tetapi juga oleh orang Aceh sendiri. Karena
itu, dalam keadaan yang penuh ketegangan tersebut, banyak warga Kota
Lhokseumawe yang bereksodus ke Banda Aceh, Langsa, atau Medan
untuk melanjutkan usahanya.57
Berbicara mengenai dampak konflik tentu berpengaruh juga
terhadap kondisi mental psikologis masyarakat Aceh. Banyak warga
Aceh yang putus asa bahkan ada yang runtuh inisiatifnya, terutama bagi
masyarakat petani miskin, buruh tani, nelayan, serta pedagang kecil. Pada
tahun 2001 di Kabupaten Aceh Utara, sebagaimana diakui oleh Bupati Ir.
Tarmizi A. Karim, masyarakat di wilayah yang terdampak dan merasakan
hal tersebut semakin tinggi jumlahnya.58 Kendati masih ada yang memiliki
sawah atau kebun, namun mereka belum dapat menjalankan aktivitasnya
seperti sedia kala. Keadaan yang belum kondusif membuat mereka masih
belum berani beraktivitas untuk menggarap kembali sawahnya. Sebagian
masyarakat yang bekerja di luar bidang pertanian bahkan kehilangan
pekerjaan karena tempat bekerja mereka yang sudah tutup.
Keadaan ini diperburuk lagi dengan harga hasil pertanian yang
merosot, seperti halnya sawit yang biasanya dijual antara Rp350–Rp450
per kg, turun menjadi Rp100. Hal serupa juga terjadi pada kelapa yang
awalnya per butir seharga Rp760 menurun drastis menjadi Rp200. Inilah
yang menyebabkan para petani urung untuk panen, mereka cenderung
membiarkan buah tersebut membusuk di pohon dan memilih untuk
pergi ke kota mencari nafkah sebagai pengemis yang meminta-minta.59
Di Lhokseumawe sendiri, sering ditemukan masyarakat yang mengaku
miskin mendatangi kantor-kantor perbankan, pusat perdagangan, kantor,
pos, serta pasar. Mereka datang dari berbagai wilayah, mulai dari arah
Medan hingga Banda Aceh, tidak sedikit pula yang berasal dari kawasan
pedalaman yang berbasis pertanian. Ironisnya mereka yang melakukan ini

57 Kompas, “Di Aceh Nasib Pedagang Semakin Runyam”, 6 November 2000.


58 Kompas, “Dampak Konflik Aceh, Warga Kehilangan Inisiatif”, 29 Januari 2001.
59 Kompas, “Dampak Konflik Aceh, Warga Kehilangan Inisiatif”, 29 Januari 2001.

336 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


tidak hanya kalangan yang berumur saja, tetapi warga masyarakat yang
tergolong usia produktif hingga anak-anak. Mereka berkeliling dari satu
tempat ke tempat lain datang dengan membawa “surat keterangan tidak
mampu” dari kepala desa setempat.
Keputusasaan dan hilangnya inisiatif di dalam diri masyarakat
telah menjadi permasalahan lain yang menjadi fokus pemerintah saat
itu. Keadaan sebagaimana terjadi pada tahun 2001 ini sempat pula
terjadi pada tahun 1979–1980 di Blang Keudah, Kecamatan Tiro. Pada
tahun tersebut kurang lebih sebanyak 100 keluarga petani enggan
untuk menanam padi dengan alasan keamanan dan menurunnya harga
gabah. Guna menghidupkan kembali semangat dan motivasi masyarakat
setempat, Bupati Pidie kala itu, berupaya sedapat mungkin menggerakkan
berbagai unsur di pemerintahan. Dalam suatu forum diskusi kelompok
sebagaimana terlampir pada laporan World Bank diceritakan banyak
penduduk desa menganggap konflik sebagai penyebab utama kemiskinan.
Tak hanya ketakutan secara fisik, konflik telah memengaruhi masyarakat
Aceh secara psikis dan mental yang memicu timbulnya rasa ketakutan,
was-was, serta ketidakpercayaan hingga tak jarang masyarakat yang tidak
dapat melanjutkan aktivitas perekonomiannya.60
Berkaca pada realitas tersebut, kegaduhan berefek domino terhadap
meningkatnya angka pengangguran dan kurangnya lapangan pekerjaan.
Merespons hal ini pemerintah pusat berupaya mengundang investor agar
terbukanya lapangan usaha. Dalam upaya memulihkan Aceh, pemerintah
pada waktu yang bersamaan juga mengerjakan pembangunan rumah
penduduk yang dibakar oleh GAM. Pada kesempatan lain pemerintah
pusat, provinsi, kabupaten/kota, masyarakat, pengusaha, serta perbankan
duduk bersama membahas perumusan konsep suatu program guna
mengembangkan potensi perekonomian Aceh. Mereka berkumpul dalam
“Deklarasi Takengon” yang dilaksanakan di Takengon, Aceh Tengah, yang
menghasilkan konsep program aksi “duek pakat”. Hasil dari pertemuan
tersebut ialah penandatanganan akad kredit sekitar Rp520 juta antara
perbankan dan pengusaha Aceh dari BRI Takengon dan BPD Aceh Cabang
Lhokseumawe, Bireuen, dan Takengon. Tak hanya itu, ditandatangani

60 World Bank, Kajian Kemiskinan Aceh Tahun 2008: Dampak Konflik, Tsunami, dan Rekonstruksi
(Jakarta: The World Bank Office Jakarta, 2008), hlm. 32.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 337


pula akad kredit sebesar Rp300 juta antara PNM dengan para pengusaha
kecil dan menengah.
Pertemuan tersebut juga menghasilkan usulan kebijakan khusus
terkait pengembangan komoditas unggulan Aceh. Pengembangan
komoditas unggul tersebut diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, di
antaranya komoditas perkebunan (kopi, sawit, coklat, nilam, dan pinang);
komoditas pertanian (jagung, kedelai, kentang, sayuran, dan kacang
tanah); serta komoditas campuran (ikan kerapu, ikan nila, udang, rumput
laut, handycraft, dan emping melinjo). Bagi Aceh Tengah, kopi merupakan
komoditas unggulan, namun menjadi fakta yang menyedihkan di mana
80 persen penduduknya yang merupakan petani kopi, akibat konflik
berkepanjangan telah membuat perkebunan kopi seluas 12.855 hektar
terpaksa ditelantarkan.61 Fakta ini hanya sebagian kecil menunjukkan
bagaimana konflik telah menghambat dan melemahkan pertumbuhan
ekonomi meskipun Aceh dilimpahi kekayaan alam.
Dalam suatu kajian World Bank mengenai dampak konflik, tsunami,
dan rekonstruksi terhadap kemiskinan di Aceh, disampaikan bahwa konflik
panjang bertahun-tahun tersebut telah memicu kerusakan parah terhadap
Aceh. Kaya akan sumber daya alamnya tak menjamin perekonomian
daerahnya menunjukkan angka yang positif. Perekonomian Aceh secara
sistematis tumbuh lebih lambat jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi
lain di Indonesia. Berbicara nasional, angka kemiskinan yang terjadi di
hampir seluruh provinsi di Indonesia mengalami peningkatan pada tahun
1997 oleh sebab krisis keuangan yang terjadi saat itu. Aceh menjadi
satu-satunya provinsi dengan angka kemiskinan yang terus mengalami
kenaikan setelah tahun 2000.
Lebih luas lagi, konflik telah menyebabkan sekitar setengah juta
penduduk mengungsi, akibatnya tidak sedikit penduduk Aceh yang
terampil dan terdidik lebih memilih meninggalkan Provinsi Aceh. Ditambah
lagi adanya faktor-faktor struktural yang memicu lemahnya kinerja Aceh,
di antaranya rendahnya minat investasi; basis sumber daya manusia yang
cenderung rendah; minimnya prasarana transportasi karena mengalami
kerusakan selama konflik; dan rendahnya diversifikasi ekonomi. Selama

61 Kompas, “Aceh Perlu Investor untuk Buka Lapangan Pekerjaan”, 9 September 2003.

338 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


lebih dari dua dasawarsa, pertumbuhan ekonomi Aceh terus menunjukkan
tren negatif yang berimplikasi terhadap tingginya angka kemiskinan, di
mana jumlahnya dua kali lipat dari tingkat nasional pada tahun 2004.62
Bagi para pengusaha, konflik jelas telah berdampak negatif terhadap
macetnya kredit bagi usaha-usaha kecil dan menengah di Aceh.63
Perkembangan penyaluran kredit oleh bank-bank di Aceh menunjukkan
arah yang semakin buruk. Sejumlah bank tidak dapat menyalurkan
kredit yang berakibat pada kredit macet. Pemerintah menanggapi serius
persoalan kredit macet ini, dengan mengerahkan bantuan dari sejumlah
pihak termasuk aparat keamanan. Dilibatkannya aparat keamanan––dalam
hal ini TNI dan Polri––bermaksud agar pemerintah mengetahui seberapa
riskan suatu daerah yang terdampak konflik.64 Hal ini sebagaimana yang
disampaikan pula oleh Dipo Alam, selaku Deputi Menko Perekonomian
Bidang Koordinasi Perlindungan Perdagangan dan Pemberdayaan UKM
kala itu, bahwa keterlibatan unsur keamanan ini untuk mengetahui
seberapa rawannya daerah yang terlanda konflik bersenjata.65
Kredit macet yang terjadi ketika itu disebabkan oleh berbagai
faktor, antara lain debitur kabur dan melarikan diri dari Aceh; usaha yang
dijalankan debitur mengalami bangkrut dan alamatnya tidak jelas. Perkara
lain yang mendera perbankan ialah adanya kendala SDM yang turun ke
lapangan karena kondisi wilayah yang belum kondusif.66 Berdasar data
yang diungkap pimpinan KBI Banda Aceh di tahun 2001, Jusmanazir
Katin, dapatlah dikatakan bahwa kinerja perbankan di provinsi ini semakin
menurun. Jumlah kerugian yang dialami perbankan sebagai akibat konflik
bahkan mencapai 150 persen dibanding tahun sebelumnya, dengan
nominal Rp30,11 miliar. Selama dua tahun terakhir hingga Oktober 2001,
kerugian bersih yang dialami perbankan di Aceh diperkirakan angkanya
telah mencapai Rp77,18 miliar.67

62 World Bank, Kajian Kemiskinan Aceh Tahun 2008..., (2008: 17).


63 Persoalan kredit menjadi salah satu persoalan yang dihadapi pemerintah, termasuk kredit macet di
daerah-daerah konflik, seperti Banda Aceh. Lihat surat kabar Waspada, 16 November 2001.
64 Rakyat Merdeka, 9 Oktober 2001.
65 Rakyat Merdeka, 9 Oktober 2001.
66 Serambi Indonesia, 29 Desember 2001.
67 Serambi Indonesia, 29 Desember 2001

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 339


Melihat perekonomian Aceh yang semakin merosot, Gabungan
Perusahaan Perkebunan Daerah Istimewa Aceh menagih sikap tegas
pemerintah dalam menyelesaikan kredit macet di sektor perkebunan.
Konflik tersebut telah merugikan para pengusaha perkebunan yang
dihadapkan pada turunnya produktivitas sektor perkebunan hingga 80–
85 persen. Guna mempercepat penanganan pemulihan perekonomian
Aceh, permasalahan kredit macet ditanggulangi BI dengan dikucurkannya
Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) sebesar Rp1,8 triliun yang
mana pengelolaannya saat itu dipegang oleh PT. Permodalan Nasional
Madani.68 Kucuran dana tersebut akan di-relending dengan syarat tetap
mempertimbangkan kondisi keamanan Aceh yang sudah kondusif dan
stabil. Penanggulangan kemunduran ekonomi Aceh turut membutuhkan
sinergi dari berbagai pihak, Bank Indonesia memberikan bantuan
pinjaman dengan total Rp6,4 miliar kepada sekitar 300 pengusaha kecil
dan menengah.69 Pelaksanaan pencairan dana tersebut dilakukan melalui
beberapa bank, yakni BRI, BNI, Bank Mandiri, dan Bank Danamon.
Bantuan penyelesaian kredit macet di Aceh melalui KLBI sedikit
banyak berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Aceh. Hal
tersebut tertera dalam Laporan Tinjauan Triwulanan Perkembangan
Perbankan Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2003. Situasi dan kondisi
keamanan di Aceh yang cenderung semakin membaik telah membawa
aktivitas perekonomian yang bergerak semakin lancar dibanding waktu-
waktu sebelumnya. Bergeraknya sektor riil tentunya menunjukkan ke arah
semakin membaiknya ekonomi makro, yang merefleksikan juga bahwa
kinerja perbankan akan semakin membaik.70 Perekonomian di Aceh yang
semakin membaik dapat terlihat dari kinerja perbankan yang semakin
memperlihatkan kemajuan. Sejumlah tolok ukur dalam melihat kinerja
perbankan terlihat dari meningkatnya total aset, seperti meningkatnya
Dana Pihak Ketiga yang berhasil dihimpun serta jumlah kredit yang
disalurkan perbankan. Peningkatan pada kredit yang disalurkan
menampilkan kenyataan bahwa perbankan di Aceh telah berusaha

68 Rakyat Merdeka, 12 Oktober 2001.


69 Pikiran Rakyat, 19 Oktober 2001.
70 Arsip Bank Indonesia, Statistik Kajian Ekonomi dan Moneter (Banda Aceh: Bank Indonesia Banda
Aceh, 2003), hlm. 1.

340 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


meningkatkan fungsinya sebagai lembaga intermediasi walaupun belum
terbilang optimal.71

Pemulihan Ekonomi Aceh Pasca Tsunami


Tsunami dan Dampaknya terhadap Ekonomi Aceh

B encana gempa bumi dan tsunami yang melanda Aceh pada 26


Desember 2004 telah menyisakan kenangan pahit dan keprihatinan
yang mendalam bagi seluruh masyarakat Indonesia. Berkekuatan 9,3
skala richter yang berpusat di lepas pantai barat laut Pulau Sumatra ini
merupakan salah satu gempa bumi terkuat yang pernah terjadi, setelah
gempa yang terjadi di Chile pada Mei 1960 (9,5 skala richter).72 Dilihat
dari dampak yang ditimbulkan, gempa bumi tersebut merupakan bencana
alam paling memilukan yang pernah tercatat dalam sejarah. Gempa bumi
yang diikuti oleh gelombang tsunami tersebut telah menewaskan lebih
dari 230.000 jiwa manusia dan memporak-porandakan sebagian besar
wilayah Aceh dan Pulau Nias, Sumatra Utara, serta sebagian wilayah
Thailand, Sri Lanka, Maladewa, Bangladesh, Burma, bahkan hingga ke
pantai Somalia di Afrika Timur.
Selain memakan begitu banyak korban jiwa, gelombang tsunami
yang bergerak sangat cepat (600–800 km/jam) dan memiliki ketinggian
mencapai 20 meter tersebut bukan hanya merusak lingkungan hidup
dan sebagian besar infrastruktur, tetapi juga menghancurkan kehidupan
sosial dan ekonomi masyarakat Aceh, termasuk kondisi psikologis
mereka. Musibah tersebut telah mengakibatkan keberlangsungan hidup
masyarakat Aceh secara keseluruhan sangat terganggu, terlebih bagi kaum
perempuan dan anak-anak yang harus menata hidup di pengungsian.73
Gempa bumi dan tsunami tersebut menurut kajian lingkungan74 telah

71 Arsip Bank Indonesia, Statistik Kajian Ekonomi dan Moneter, hlm. 1.


72 Arief Mustofa Nur, “Gempa Bumi, Tsunami, dan Mitigasinya”, Jurnal Geografi Vol. 7 No. 1 Januari
2010, Kebumen: Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung – LIPI, 2010, hlm. 68.
73 Serambi Indonesia, 22 Mei 2005.
74 Serambi Indonesia, 1 April 2005.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 341


menyebabkan kehancuran sumber daya alam dan lingkungan di Aceh
yang sangat parah dan mengkhawatirkan.
Bencana ini menjadi pukulan hebat dan trauma mendalam bagi
kehidupan sosial masyarakat Aceh. Trauma yang menghampiri setelah baru
saja tertatih menata kehidupan usai mimpi buruk atas kekerasan politik dan
bersenjata yang telah berlangsung selama bertahun-tahun sebelumnya.
Perlu waktu tiga hingga empat tahun untuk membangun kembali Aceh.
Berdasarkan kajian Bank Dunia dan Bappenas (2005), diperkirakan
bencana gempa bumi dan tsunami itu telah menimbulkan kerugian pada
sektor ekonomi sebesar Rp41,4 triliun atau setara 2,2 persen PDRB nasional
dan 97 persen PDRB Aceh. Menurut analisis Kementerian Lingkungan
Hidup dan UNEP (2005), kerugian  kerusakan dan pencemaran lingkungan
akibat bencana tersebut mencapai 127,5–476,2 juta dolar Amerika.
Sendi-sendi perekonomian masyarakat Aceh lumpuh dan aktivitas
jual-beli masyarakat menjadi lemah. Gempa bumi dan tsunami yang
menghancurkan infrastruktur ekonomi, baik pertokoan, jalan dan lainnya
telah menyebabkan aktivitas ekonomi di wilayah terdampak nyaris
berhenti total dalam waktu yang cukup lama. Pertokoan di sekitar Masjid
Raya Baiturrahman yang merupakan pusat aktivitas perdagangan di Kota
Banda Aceh, hampir seluruhnya hancur akibat gempa bumi dan tsunami.
Padahal kawasan ini merupakan wilayah perputaran uang paling banyak
di Kota Banda Aceh.75
Para pedagang mencoba menata kembali usaha mereka dalam
waktu yang cukup lama karena nyaris semua barang dagangan mereka
hancur. Bahkan, beberapa pedagang yang bangkrut karena tidak cukup
modal untuk membangun kembali usahanya. Bagi pedagang yang masih
memiliki modal, hal pertama yang dilakukan adalah merenovasi kembali
bangunan tempat usaha sebelum mereka mengisinya dengan barang-
barang dagangan. Biaya renovasi bangunan dan modal usaha tidak
banyak memperoleh bantuan dari pemerintah. Hal tersebut menjadi salah

75 Berdasarkan hasil wawancara dengan Harun Keuchik Leumiek, Banda Aceh, 9 November 2016.
Harun Keuchik Leumiek adalah pedagang emas dan pengrajin perhiasan terkemuka di Banda Aceh
yang memiliki toko di kawasan sekitar Masjid Raya Baiturrahman.

342 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


satu penyebab utama lambatnya pemulihan aktivitas perdagangan di Aceh
pascagempa dan tsunami.76 Dengan kondisi sektor perdagangan seperti
itu, kebutuhan pokok masyarakat Aceh yang menjadi korban bencana
dipasok dari Kota Medan, Sumatra Utara, yang dikoordinasikan oleh
para pengusaha Aceh di sana dan perusahaan ekspedisi yang tergabung
dalam organisasi Aceh Sepakat. Organisasi ini juga berperan besar dalam
memberikan barang bantuan untuk korban gempa bumi dan tsunami di
Aceh.77
Bencana ini juga telah mengakibatkan hancurnya 5.000 unit industri
kecil dan kerajinan di Aceh. Hasil pendataan yang dilakukan oleh Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Aceh menyimpulkan bahwa industri kecil
dan kerajinan di Aceh, baik pangan, minuman maupun kerajinan tangan
yang sebelumnya berjumlah sekitar 15.000 unit, setelah bencana turun
drastis menjadi hanya sekitar 10.000 unit, dan itu pun banyak yang sudah
tidak berproduksi lagi. Ini berarti ada sekitar 5.000 unit industri kecil dan
kerajinan di Aceh yang terkena imbas bencana tersebut.78
Demikian pula dengan sektor pertanian yang berkontribusi besar
terhadap perekonomian Aceh pun ikut terdampak. Badan Litbang
Pertanian Kementerian Pertanian Republik Indonesia79, berdasarkan data
yang diperoleh dari Tim Nasional Penanggulangan Bencana Alam Aceh (8
Februari 2005) melaporkan bahwa dari 9 kabupaten/kota yang terkena
gempa bumi dan tsunami di Aceh, Kab. Aceh Besar, Aceh Barat Daya,
Pidie, Bireuen, dan Aceh Jaya mengalami kerusakan lahan pertanian
yang cukup berat. Ribuan hektar lahan tercemar lumpur yang terbawa
gelombang tsunami. Masyarakat khawatir sawah mereka tidak dapat
ditanami untuk waktu yang lama karena kadar garam yang terlalu tinggi.
Selain areal sawah, ratusan ribu sumur penduduk pun ikut tercemar.
Kondisi ini menyebabkan pembangunan sektor pertanian terhenti dan
memerlukan penanganan serius untuk perbaikan.

76 Wawancara dengan Harun Keuchik Leumiek, 9 November 2016.


77 Wawancara dengan Bustami Usman, 2016.
78 Serambi Indonesia, 22 Juli 2005.
79 Badan Litbang Pertanian, “Dampak Tsunami terhadap Sektor Pertanian”, http://www.litbang.
pertanian.go.id/berita/one/192/# (diakses pada Juli 2020 pukul 14:15).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 343


Berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO) tingkat
kerusakan lahan yang terjadi, antara lain lahan sawah (termasuk subsektor
hortikultura) seluas 20.101 hektar; ladang tegalan (tanaman palawija
dan hortikultura) 31.345 hektar; dan perkebunan diperkirakan 56.500–
102.461 hektar yang terdiri atas lahan perkebunan karet, kelapa, kelapa
sawit, kopi, cengkeh, pala, pinang, coklat, nilam, dan jahe. Adapun jumlah
ternak yang mati ataupun hilang adalah 78.450 ekor sapi, 62.561 ekor
kerbau, 16.133 ekor domba, 73.100 ekor kambing, dan 1.624.431 ekor
unggas. Infrastruktur pertanian seperti jaringan irigasi, bangunan irigasi,
pematang, dan terasering (lahan kering) pun tak luput dari kerusakan.
FAO memperkirakan kehilangan produksi bidang pertanian mencapai
78,8 juta dolar Amerika, dan prakiraan kerusakan infrastruktur pertanian
sebesar 33,4 juta dolar Amerika.
Berdasarkan Laporan Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh Tahun
200580 luas panen padi tahun 2005 seluas 337.893 hektar, menurun
sebesar 33.075 hektar atau 8,92 persen dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Produksi padi tahun 2005 sebesar 1.411.649 ton gabah kering
giling, menurun 9,05 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Penurunan tersebut masih terus berlanjut pada tahun 2006. Kondisi
serupa juga terjadi pada subsektor perkebunan dan perikanan. Beberapa
komoditas perkebunan utama Aceh mengalami penurunan luas tanam
dan produksi. Pada tahun 2005 luas tanam perkebunan karet dan coklat
mengalami penurunan masing-masing sebesar 3,11 persen dan 1,62
persen. Sementara itu, sebagaimana yang telah disinggung sekilas pada
bagian sebelumnya, penurunan juga terjadi pada subsektor perikanan.
Dalam uraian yang lebih detail produksi perikanan Aceh pada tahun 2005
adalah 134.191,3 ton atau menurun 4,68 persen dibandingkan dengan
tahun sebelumnya. Produksi perikanan laut mengalami penurunan
yang cukup tajam mencapai 22.491,2 ton atau 21,9 persen. Penurunan
produksi perikanan masih berlanjut pada tahun 2006 yang tercatat
sebesar 157.279 ton atau menurun 39,14 persen dibandingkan dengan
tahun sebelumnya.

80 Badan Pusat Statistik, Aceh dalam Angka 2005 (Banda Aceh: BPS Daerah Istimewa Aceh, 2005).

344 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Di sisi lain bencana gempa dan tsunami ini juga menyebabkan
kenaikan harga barang dan jasa yang signifikan di Aceh sepanjang
tahun 2005, khususnya di Kota Banda Aceh. Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (BPS), laju inflasi Kota Banda Aceh yang diukur dari Indeks
Harga Konsumen (IHK) tercatat sebesar 41,11 persen (yoy), meningkat
tajam dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 6,97 persen
(yoy). Laju inflasi tersebut merupakan yang tertinggi yang pernah terjadi
di Kota Banda Aceh. Selain itu, bencana gempa bumi dan tsunami juga
telah mengakibatkan kerusakan pada infrastruktur Bank Indonesia dan
perbankan, termasuk gedung kantor dan dokumen yang berada di
dalamnya, sehingga menimbulkan hambatan pada kegiatan operasional
perbankan.81

Upaya Pemulihan Ekonomi dan Perbankan


Pasca Tsunami

Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, bagaimana dahsyatnya


kerusakan dan kerugian akibat bencana gempa bumi dan tsunami dalam
berbagai aspek kehidupan. Tentu diperlukan biaya, waktu, dan tenaga
yang sangat besar untuk memulihkan kembali kondisi Aceh. Namun,
ternyata masa pemulihan Aceh berlangsung relatif cepat berkat kerja
sama yang baik antarberbagai pihak, termasuk masyarakat Aceh sendiri.
Pembentukan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Wilayah dan
Kehidupan Masyarakat Aceh dan Pulau Nias Sumatra Utara oleh Pemerintah
RI merupakan langkah tepat untuk mengonsolidasikan berbagai pihak
yang terlibat dalam pemulihan Aceh, mulai dari pemerintah pusat,
pemerintah daerah, Bank Indonesia dan lembaga/instansi terkait lainnya,
kelompok komunitas, perorangan, hingga pihak internasional yang
banyak memberikan bantuan dalam berbagai bentuk. Proses rehabilitasi
dan rekonstruksi Aceh mendemonstrasikan solidaritas dunia dan sinergi
yang kuat bagi banyak pihak dalam menangani musibah kemanusiaan ini.

81 Arief R. Permana, S.H.M.H., “Penanganan Permasalahan Perbankan Pasca Bencana Gempa Bumi
dan Tsunami di Wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias Propinsi Sumatra
Utara”, dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 5, Nomor 3, Desember
2007.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 345


Dalam hal yang lebih spesifik di bidang ekonomi dan keuangan, Bank
Indonesia dan perbankan juga turut berkontribusi dalam pemulihan Aceh
pascabencana pada 26 Desember 2004. Bencana yang menghancurkan
sebagian besar infrastruktur di Aceh tersebut juga turut menghancurkan
infrastruktur milik Kantor BI Banda Aceh dan tiga belas kantor bank yang
berada di wilayah Aceh. Kerusakan infrastruktur Kantor BI Banda Aceh
dan perbankan menimbulkan dampak signifikan bagi perekonomian Aceh
yang menyebabkan sistem pembayaran terganggu. Kegiatan pengelolaan
uang serta pelayanan jasa kliring dan penyelesaian transaksi seketika
(Real Time Gross Settlement/RTGS) oleh Bank Indonesia terhenti. Selain
itu, seluruh layanan perbankan juga terhenti dan muncul permasalahan
lain akibat hilangnya berbagai dokumen penting milik bank dan nasabah.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut Rapat Dewan Gubernur
Bank Indonesia pada 28 Desember 2004 memutuskan untuk menugaskan
Direktorat Akuntansi dan Sistem Pembayaran (DASP) guna melakukan
pemulihan infrastruktur perbankan dengan fokus pada kelancaran
sistem pembayaran. DASP kemudian menerjunkan tim kerja dari Kantor
Pusat BI dengan tugas utama memulihkan kembali operasional sistem
akunting, kliring, dan RTGS di Kantor BI Banda Aceh.82 Selain itu, Rapat
Dewan Gubernur juga menugaskan Direktorat Pengaturan dan Penelitian
Perbankan (DPNP) untuk mengkaji kelonggaran atau relaksasi atas
beberapa ketentuan perbankan di wilayah bencana yang mencakup,
antara lain perlakuan khusus atas aktiva produktif, restrukturisasi kredit,
dan jumlah kredit yang diberikan. Draft ketentuan tersebut selanjutnya
menjadi masukan BI kepada pemerintah.83
Sewaktu tim Kantor Pusat BI meninjau gedung Kantor BI Banda
Aceh di Jl. Cut Meutia No. 15, Kota Banda Aceh, mereka juga mengecek
ruang khazanah yang berisi uang dan dokumen penting lainnya. Ruangan
yang sudah dibuat sejak zaman De Javasche Bank (DJB) tersebut masih
berdiri kokoh, meskipun sebagian uang kertas dan dokumen yang berada
di dalamnya lembab dan lusuh akibat lama tertahan dalam genangan
air lumpur. Akibat kerusakan yang dialami oleh gedung Kantor BI Banda

82 Darsono, dkk, Menghadapi Gelombang Pasang di Serambi: Kontribusi Bersama untuk Aceh Setelah
Tsunami 2004 (Jakarta: Bank Indonesia, 2018), hlm. 174.
83 Arsip Bank Indonesia, “Risalah Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia”, Jakarta, 28 Desember 2004.

346 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Aceh, pimpinan memutuskan untuk memindahkan sementara kegiatan
operasional ke salah satu rumah dinas yang beralamat di Jl. Jenderal
Sudirman No. 82, Kota Banda Aceh sambil menunggu renovasi gedung
kantor usai.84
Kantor sementara tersebut mulai beroperasi pada 3 Januari 2005
dengan kegiatan operasional hanya terbatas pada pelayanan sistem
pembayaran tunai dan nontunai serta tujuan utama melakukan pembayaran
gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS). Akan tetapi, berdasarkan SE No.7/25/
Intern tanggal 13 April 2005 tempat penyimpanan uang diputuskan tetap
di khazanah Kantor BI Banda Aceh. Mengenai hal ini, ketika kegiatan
operasional dipindahkan ke kantor sementara, berdasarkan penjelasan
yang diperoleh dari Pimpinan Kantor BI Banda Aceh pada masa tersebut,
Tabrani Hilmi Ibrahim, saat itu dibuat khazanah mini dengan bagian luar
baja tebal 1,5x3 meter sebagai tempat penyimpanan uang yang cukup
untuk pembayaran dalam satu minggu. Hal tersebut dilakukan guna
memudahkan agar tidak setiap hari bolak-balik ke gedung khazanah
Kantor BI Banda Aceh dalam pengambilan uangnya, terlebih saat itu
masih dalam suasana konflik.85
Selain memulihkan kegiatan operasionalnya Bank Indonesia
juga melakukan pembahasan intensif dengan pihak perbankan serta
berkoordinasi dengan beberapa instansi terkait, seperti Kepolisian,
Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Kementerian Koordinator
Kesejahteraan Rakyat, Departemen Dalam Negeri, Departemen Hukum dan
HAM, serta Sekretariat Kabinet. Berdasarkan hasil pembahasan dengan
mempertimbangkan unsur kemanusiaan, namun tetap memperhatikan
prinsip kehati-hatian, Bank Indonesia mengimbau agar perbankan tetap
melakukan pelayanan kepada nasabah yang bermaksud melakukan
penarikan simpanan dengan pembatasan maksimum nominal penarikan,
walaupun nasabah yang bersangkutan tidak lagi memiliki identitas dan/
atau dokumen bukti simpanan.86

84 Arsip Bank Indonesia, Surat Edaran No. 7/25/INTERN, 13 April 2005.


85 Focus Group Discussion bersama para Pensiunan Pegawai BI yang sempat bekerja di Kantor
Perwakilan BI Banda Aceh. Wawancara dengan Tabrani Hilmi Ibrahim, Kepala Bank Indonesia Aceh
periode 2005 s.d. 2006, 21 Juli 2020.
86 Arsip Bank Indonesia, Surat Gubernur Bank Indonesia kepada Presiden Republik Indonesia No. 7/2/
GBI/DHk.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 347


Upaya yang dilakukan BI tersebut sejalan dengan blue print yang
disusun oleh Bappenas yang mencakup empat strategi utama pemulihan
sistem perbankan pasca bencana gempa dan tsunami. Strategi pertama,
pemulihan infrastruktur perbankan difokuskan pada kelancaran sistem
pembayaran di daerah yang terkena bencana. Beberapa langkah yang telah
dilakukan pada masa darurat, antara lain membatasi kegiatan operasional
perbankan dari kantor sementara ke kantor permanen tidak lebih dari satu
tahun (kecuali daerah tertentu yang mengalami kerusakan cukup parah),
serta menjamin kelancaran dan jumlah cash supply yang cukup dalam
rangka mendukung pertumbuhan ekonomi di wilayah bencana. Strategi
kedua, pemulihan identifikasi depositor. Dalam melakukan pelayanan
kepada nasabah, bank wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian untuk
meminimalkan risiko yang dihadapi bank melalui berbagai upaya untuk
memastikan identitas nasabah.
Strategi ketiga, penyelesaian kredit perbankan. Bencana tsunami
berpotensi meningkatkan kredit macet karena kegagalan nasabah
debitur dalam melunasi kewajibannya sesuai perjanjian kredit. Upaya
yang telah dilakukan guna meringankan beban debitur adalah melakukan
restrukturisasi kredit dengan penerbitan Peraturan Bank Indonesia (PBI)
No. 7/5/PBI/2005 tentang Perlakuan Khusus Terhadap Kredit Bank Umum
Pascabencana Nasional di Provinsi Aceh dan Kabupaten Nias, Provinsi
Sumatra Utara pada tanggal 20 Januari 2005. Pokok pengaturan dalam
PBI ini adalah mengenai perlakuan khusus terhadap kredit bank umum
berupa kelonggaran dalam penilaian kualitas kredit atau penyediaan
dana, keringanan persyaratan restrukturisasi kredit sehingga kredit yang
direstrukturisasi langsung dikategorikan lancar, serta kemungkinan
pemberian kredit atau penyediaan dana lain baru bagi debitur yang
terkena dampak bencana. Perlakuan khusus tersebut diberikan agar
nasabah debitur memiliki kesempatan untuk melakukan perbaikan usaha
guna mendukung pemulihan perekonomian Aceh dan Kabupaten Nias,
Sumatra Utara.
Dalam Ayat (1) pasal 2 PBI Nomor 7/5/PBI/2005, dijelaskan bahwa
penggolongan kualitas kredit atau penyediaan dana lain dari bank bagi
nasabah debitur dengan plafon keseluruhan paling banyak sebesar Rp5

348 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


miliar hanya didasarkan pada ketepatan pembayaran pokok dan bunga.
Dijelaskan pula pada Ayat (3) bahwa plafon kredit atau penyediaan dana
lain sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berlaku baik untuk debitur
individual maupun debitur grup dan untuk seluruh fasilitas yang diterima
dari satu bank. Penggolongan kualitas kredit atau penyediaan dana lain
hanya berlaku untuk kredit atau penyediaan dana lain yang disalurkan
kepada nasabah debitur dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di Aceh
dan/atau Pulau Nias, Sumatra Utara.
Kebijakan Bank Indonesia yang tertuang dalam PBI Nomor 7/5/
PBI/2005 mengulas juga soal restrukturisasi kredit seperti yang tertuang
dalam Pasal 3 yang berbunyi:
(1) Kualitas Kredit yang direstrukturisasi digolongkan lancar terhitung
sejak restrukturisasi sampai dengan akhir Januari 2008;
(2) Pelaksanaan restrukturisasi kredit mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku;
(3) Restrukturisasi kredit sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat
dilakukan baik terhadap kredit yang telah maupun yang akan
diberikan pada saat berlakunya ketentuan.
Ketentuan pada Pasal 3 tersebut, hanya berlaku untuk kredit yang
memenuhi persyaratan sebagai berikut.
a. Disalurkan kepada nasabah debitur dengan lokasi proyek atau lokasi
usaha di Aceh dan/atau Kabupaten Nias, Sumatra Utara;
b. Telah atau diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran
pokok dan/atau bunga kredit yang disebabkan dampak dari bencana
nasional di Aceh dan/atau Kabupaten Nias, Sumatra Utara.
Selanjutnya dalam Pasal 6 disebutkan bahwa ketentuan dalam
PBI ini berlaku juga bagi bank umum konvensional yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan bank umum berdasarkan
prinsip syariah untuk penyediaan dana yang mencakup pembiayaan
(mudharabah atau musyarakah), piutang (murabahah, salam atau
istishna), sewa (ijarah), pinjaman (qardh), dan penyediaan dana lain. Hal
ini menunjukkan bahwa Bank Indonesia juga menaruh perhatian pada
bank-bank syariah yang berada di Aceh.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 349


Strategi keempat, pemulihan fungsi intermediasi. Fokus penting
dalam pemulihan fungsi intermediasi adalah pemulihan dari bank pada
sisi supply dan debitur pada sisi demand. Melalui proses pada kedua
sisi tersebut diharapkan fungsi intermediasi dapat segera pulih. Dari sisi
perbankan, langkah-langkah yang dilakukan untuk memulihkan fungsi
intermediasi antara lain dengan melakukan restrukturisasi kredit serta
kajian tentang penghapusan tagihan kredit macet dengan mengindahkan
ketentuan yang berlaku di bidang piutang. Pada sisi demand, langkah-
langkah yang dikaji antara lain adalah terkait keringanan persyaratan di
dalam pengajuan kredit, memperpanjang grace period pemberian kredit,
serta mekanisme penyaluran agar kekeliruan dalam penentuan target
group dapat dikurangi.
Di sisi lain Bank Indonesia juga terus berupaya melaksanakan clean
money policy pascagempa bumi dan tsunami di Aceh sesuai dengan
salah satu tugas pokoknya yang diamanatkan dalam Undang-Undang
No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia, yaitu menyediakan uang
rupiah dalam jumlah yang cukup sesuai dengan perkembangan ekonomi,
dalam bentuk pecahan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, serta
dalam kondisi yang baik (layak edar). Gelombang tsunami tentunya telah
mengakibatkan banyak uang rupiah yang beredar di masyarakat menjadi
rusak, lusuh, dan kotor. Sesuai Surat Edaran Bank Indonesia No.6/25/
DPU, uang masyarakat yang rusak dan lusuh dapat diganti sebesar nilai
nominalnya selama memenuhi ketentuan, yaitu fisik uang lebih besar
dari setengah ukuran aslinya dan ciri uang dapat dikenali keasliannya.
Sementara untuk uang yang fisiknya sama dengan atau kurang dari
setengah ukuran aslinya tidak diberikan penggantian. Selama periode
Januari–Maret 2005, jumlah penukaran uang tidak layak edar di loket
Kantor BI Banda Aceh rata-rata per hari mencapai Rp550 juta. Kantor BI
Banda Aceh juga menerapkan kebijakan pemberian tanda tidak berharga
(PTTB) terhadap uang yang rusak, lusuh, dan kotor sehingga tidak
layak edar. Adapun jumlah PTTB pada periode triwulan II-2005 tercatat
meningkat hingga sebesar Rp105,09 miliar seiring dengan meningkatnya
perputaran uang kartal di masyarakat.87

87 Bank Indonesia, Kajian Ekonomi dan Keuangan Daerah Provinsi Aceh Triwulan II-2005 (Banda Aceh:
Kantor Bank Indonesia Banda Aceh, 2005), hlm. 37.

350 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Pada Juni 2005 terungkap kasus maraknya uang palsu yang beredar
di Kabupaten Aceh Timur, Kota Langsa, dan Kabupaten Aceh Tamiang,
jumlahnya mencapai Rp40 juta. Para pengedar uang palsu sepertinya
melihat kesempatan bencana tsunami ini untuk melakukan kejahatan.
Uang palsu tersebut berasal dari luar Aceh, lalu dipasok ke Aceh melalui
Pelabuhan Kuala Idi dengan menggunakan boat penangkap ikan.
Sebagai tindak lanjut terhadap kejadian ini, Kantor BI Banda Aceh bekerja
sama dengan pemerintah setempat melaksanakan sosialisasi ciri-ciri
keaslian uang rupiah kepada masyarakat sebagai salah satu upaya untuk
mencegah pemalsuan uang rupiah.88 Kegiatan tersebut diikuti oleh para
bendaharawan Pemda/BUMN, TNI/Polri, pedagang, pengelola SPBU, dan
wartawan.89
Selain itu, BI juga berupaya melakukan penyelamatan terhadap
usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Aceh yang hancur total
akibat bencana gempa bumi dan tsunami. BI Banda Aceh menggagas
pembentukan Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB), yang bertujuan
untuk mengatasi kendala terbatasnya akses UMKM ke perbankan dalam
rangka menjembatani antara pelaku usaha dengan bank, serta membantu
pelaku usaha untuk mengembangkan usahanya. Dengan demikian,
diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan kalangan UMKM tentang
kriteria yang telah ditetapkan oleh bank dalam pengajuan permohonan
kredit dan mampu meningkatkan jumlah debitur UMKM yang memperoleh
kredit. Bank Indonesia juga berupaya mensinergikan antara pelaku UMKM
dan perbankan dalam hal penyaluran kredit sehingga dapat mempercepat
upaya pemulihan ekonomi dengan pendekatan Community Based
Development (CBD).90 Pemimpin Kantor BI Banda Aceh saat itu, Tabrani
Hilmi, juga meminta kepada masyarakat Aceh agar proaktif mendukung
dibentuknya Lembaga Penjamin Kredit (LPK) di Aceh. LPK nantinya selain
berfungsi sebagai perantara antara UMKM dengan pihak perbankan, juga
sebagai lembaga pelengkap penjaminan. Dengan adanya LPK ini, di satu
sisi UMKM berhasil mendapatkan kredit bank, tapi di sisi lain juga tidak

88 Bank Indonesia, Kajian Ekonomi dan Keuangan Daerah Provinsi Aceh Triwulan II-2005.
89 Bank Indonesia, Kajian Ekonomi dan Keuangan Daerah Provinsi Aceh Triwulan II-2005.
90 Serambi Indonesia, 2 Juni 2005.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 351


merugikan kalangan perbankan karena ada jaminan kredit serta adanya
unsur asuransi di lembaga itu.91
Berdasarkan data Kantor BI Banda Aceh92 selama tahun 2005
jumlah kredit yang disalurkan mengalami pertumbuhan 23,5 persen (yoy)
menjadi Rp4,43 miliar. Namun, pertumbuhan tersebut menurun tajam
dibandingkan pertumbuhan tahun sebelumnya yang mencapai 65,7
persen (yoy). Berdasarkan jenisnya, kredit konsumsi masih mendominasi
yaitu mencapai Rp2,31 triliun (63,69 persen dari total kredit). Hal ini tidak
mengejutkan sebab sulitnya akses di wilayah bencana menyebabkan
tingkat konsumsi dan harga barang meningkat drastis. Sementara kredit
UMKM yang disalurkan sepanjang tahun 2005 mencapai Rp3,36 triliun
atau tumbuh 20,18% persen (yoy) dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan
tersebut jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada tahun
sebelumnya yang mencapai 85,85 persen (yoy).
Terkait penghapusan utang, hingga akhir November 2005, total
kredit (outstanding credit) yang disalurkan oleh perbankan di Banda Aceh
berjumlah Rp3,13 triliun. Sekitar 45 persen (Rp1,41 triliun) di antaranya
diperkirakan bakal menjadi kredit macet (potential loss). Hal itu terjadi
karena penerima kredit telah meninggal dunia dan tempat usaha serta
rumah debitur yang dijadikan agunan telah hancur dilalap tsunami. Kantor
BI Banda Aceh bersama bank pelaksana atau bank operasional berusaha
secara serius untuk meringankan atau bahkan menghapus utang para
debitur di Aceh yang menjadi korban bencana tsunami. Langkah yang
sudah ditempuh pada waktu itu ialah menyampaikan aspirasi masyarakat
tersebut kepada Menko Perekonomian, DPR, dan Presiden.93 Selain
berperan besar dalam pemulihan Aceh pascagempa bumi dan tsunami
sesuai dengan tugas pokoknya, BI juga berkontribusi memberikan
bantuan sosial kepada masyarakat. Tiga hari setelah terjadinya bencana, BI
bersama perbankan menunjukkan wujud kepeduliannya dengan berhasil
mengumpulkan dana bantuan sebesar Rp46,28 miliar. Dari nilai tersebut
BI sendiri menyumbang dana sebesar Rp10 miliar. Sebagai langkah awal,

91 Serambi Indonesia, 11 Mei 2005.


92 Bank Indonesia, Statistik Keuangan Daerah Provinsi Aceh (Banda Aceh: Kantor Bank Indonesia Banda
Aceh, 2005).
93 Serambi Indonesia, 6 Mei 2005.

352 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


pada 30 Desember 2004, BI juga mengirimkan berbagai bantuan seperti
tim medis beserta obat-obatan, bahan makanan, selimut, pakaian, dan
kebutuhan pokok lainnya.94
Menjelang pergantian tahun pada 31 Desember 2004 BI dan
perbankan kembali menyerahkan sejumlah bantuan kepada korban
bencana alam di Aceh melalui Palang Merah Indonesia (PMI). Pemberian
bantuan ini merupakan bagian dari komitmen BI dan perbankan yang
hingga 31 Desember 2004 telah berhasil mengumpulkan dana bantuan
sebesar Rp52,268 miliar. Selain itu, BI dan perbankan juga membangun
beberapa rumah sakit darurat yang dapat segera beroperasi di beberapa
lokasi bencana di Aceh. Bank Indonesia juga menyerahkan bantuan
kepada Pemerintah Aceh berupa peralatan CT Scan, obat-obatan, dan
water treatment untuk RSUD Zaenal Abidin, obat-obatan, dan water
treatment. Bantuan tersebut merupakan bagian dari rangkaian bantuan
yang dikirimkan sejak tanggal 1 Januari 2005, sebagai bagian dari
komitmen BI dan perbankan dalam mengumpulkan dana kemanusiaan
untuk membangun kembali daerah yang terkena bencana.

Gambar 6.1. Gubernur Bank Indonesia menyerahkan secara simbolis bantuan obat-
obatan, water treatment, dan peralatan CT scan kepada Sekretaris Daerah Aceh.
Sumber: Koleksi Bank Indonesia

94 Bank Indonesia, “Bank Indonesia dan Perbankan Memberikan Bantuan Sebesar Rp46,287 Miliar
untuk Bencana di Provinsi NAD dan Sumatra Utara”, https://www.bi.go.id/id/ruang-media/siaran-
pers/Pages/sp%20615104.aspx (diakses pada 27 Agustus 2020).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 353


Pada Maret 2005, Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, beserta
rombongan Komisi XI DPR RI dan Ikatan Pegawai Bank Indonesia
(Ipebi), atas nama masyarakat perbankan menyerahkan bantuan kepada
korban bencana gempa bumi dan tsunami. BI dan perbankan juga
membangun sekolah untuk menampung anak-anak korban bencana
yang membutuhkan pendidikan.95 Bantuan yang diberikan berupa 100
unit rumah dari keseluruhan 1.000 unit yang dibangun dan 500 paket
pakaian seragam SD. Sumbangan diterima oleh Camat Syiah Kuala serta
perwakilan dari PMI dan Bulan Sabit Merah.96
Selain itu, Bank Indonesia juga menunjukkan kepedulian terhadap
korban bencana gempa bumi dan tsunami yang berada di kawasan pesisir.
Pada 9 Mei 2005, Bank Indonesia memberikan bantuan berupa 145 unit
rumah mukim nelayan untuk dua kecamatan di Kabupaten Aceh Barat
yaitu Kecamatan Meureubo dan Samatiga. Bantuan tersebut diterima
oleh Bupati Aceh Barat, H. T. Alaidinsyah, di Kantor BI Banda Aceh.97
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia saat itu, Tirta Segara,
mengatakan untuk Kecamatan Meureubo, Bank Indonesia membangun
75 unit perumahan, 1 unit meunasah, dan 1 unit balai desa. Sedangkan
untuk Kecamatan Samatiga, Bank Indonesia membangun 70 unit rumah,
1 unit Puskesmas, 1 unit Taman Kanak-Kanak, 6 pintu pasar los, 10 unit
kios, dan 2 unit toilet umum. Bantuan sosial ini bertujuan agar kehidupan
aktivitas di pemukiman nelayan ini hidup kembali untuk menggerakkan
kembali perekonomian masyarakat setempat.98
Bank Indonesia juga turut berperan aktif dalam membantu rehabilitasi
dan rekonstruksi di bidang pendidikan. Melalui Badan Pengelola Dana

95 Bank Indonesia, “Bank Indonesia dan Perbankan Kirim Bantuan dan Akan Bangun Rumah Sakit dan
Sekolah di Daerah Bencana”, http://www.bi.go.id/id/ruang-media/siaran-pers/Pages/sp%20615404.
aspx (diakses pada 27 Agustus 2020 pukul 09:38).
96 Bank Indonesia, “GBI dan Komisi XI DPR Serahkan Bantuan Perbankan kepada Korban Bencana
Tsunami Aceh”, http://www.bi.go.id/id/ruang-media/info-terbaru/Pages/it%2080305%20aceh.aspx
(diakses pada 27 Agustus 2020 pukul 10:13). Penjelasan lebih lengkap dapat dilihat pada buku
Darsono, dkk, Menghadapi Gelombang Pasang ..., 2018.
97 Bank Indonesia, “BI Serahkan 145 Mukim Nelayan Aceh Barat”, https://www.bi.go.id/id/tentang-
bi/bi-dan-publik/bi-peduli/liputan/Pages/BI-Serahkan-145-Rumah-Mukim-Nelayan-Aceh-Barat.aspx
(diakses pada 27 Agustus 2020 pukul 10:40).
98 Bank Indonesia, “BI Serahkan 145 Mukim Nelayan Aceh Barat…”.

354 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Kemanusiaan Bank Indonesia, Deputi Gubernur Bank Indonesia, R.
Maulana Ibrahim, secara resmi menyerahkan bantuan berupa 100 unit
rumah bagi dosen dan karyawan Universitas Syiah Kuala senilai Rp6,7
miliar kepada Rektor Universitas Syiah Kuala, Darni M. Daud, di Banda
Aceh. Bantuan yang berasal dari Dana Kemanusiaan Bank Indonesia ini
merupakan bagian dari kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR)
Bank Indonesia yang salah satunya difokuskan pada sektor pendidikan.
Sumber dana bantuan adalah Dana Kemanusiaan Bank Indonesia yang
berasal dari penyisihan 10 persen hingga 15 persen gaji pegawai dan
Dewan Gubernur selama enam bulan guna membantu korban bencana
gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Kabupaten Nias, Sumatra Utara
serta berbagai daerah bencana lainnya seperti Yogyakarta, Pangandaran,
Banjarnegara, dan Jember. Total dana yang berhasil dikumpulkan
mencapai lebih dari Rp23 miliar.99
Di samping itu, Bank Indonesia juga menunjukkan kepedulian
terhadap lingkungan hidup dengan memberikan bantuan bibit pohon
cemara dan pembuatan sumur bor bagi masyarakat di Pidie.100 Bank
Indonesia juga berperan dalam memberikan bantuan dana untuk
membangun sekolah siaga bencana yang berada di Kota Banda Aceh
dan Kabupaten Aceh Besar, khususnya wilayah Kecamatan Meuraxa dan
Peukan Bada. Dibangunnya sekolah siaga bencana ini merupakan kerja
sama antara LIPI, UNESCO, dan Project DRR-A, yang mengkhususkan
dalam penguatan kapasitas manajemen sekolah, guru, dan siswa di 28
sekolah binaan yang ternyata memberikan dampak positif terhadap
tumbuhnya kesadaran, pengetahuan, dan perubahan kebijakan berbasis
mitigasi bencana. Sekolah siaga bencana tersebut dikelola oleh Tsunami
and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Unsyiah.101

99 Bank Indonesia, “Bank Indonesia Serahkan Bantuan Rumah bagi Tenaga Pendidik di NAD”, https://
www.bi.go.id/id/ruang-media/siaran-pers/Pages/sp_090207.aspx (diakses pada 27 Agustus 2020
pukul 10:55).
100 Bank Indonesia, “Bank Indonesia Bantu Rehabilitasi Sektor Pendidikan di Nanggroe Aceh
Darussalam”, https://www.bi.go.id/id/ruang-media/siaran-pers/Pages/sp_82706.aspx (diakses pada
27 Agustus 2020 pukul 11:12).
101 Tsunami and Disaster Mitigation Research Center, Sekolah Siaga Bencana Kesiapsiagaan Warga
Sekolah di Kawasan Rawan Bencana Kota Banda Aceh (Banda Aceh: Tsunami and Disaster Mitigation
Research Center, 2013), hlm. 5.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 355


Selain pemerintah, Bank Indonesia, dan perbankan, bencana gempa
bumi dan tsunami yang menewaskan ratusan ribu orang––termasuk
di Sri Lanka, Thailand, dan India––menarik perhatian berbagai pihak
internasional. Menurut BRR bantuan sebesar 7,2 miliar dolar Amerika
diberikan oleh berbagai pihak internasional untuk pemulihan Aceh
dan Kabupaten Nias, Sumatra Utara, beberapa bulan setelah terjadinya
bencana tersebut. Jika dikonversi ke dalam rupiah total nilai bantuan
yang diberikan tersebut mencapai Rp140 triliun. Bantuan tersebut sebagai
bentuk solidaritas dan rasa kebersamaan masyarakat internasional untuk
membantu Aceh. Untuk mengetahui lebih detail mengenai bantuan
internasional terhadap Aceh, baik negara maupun lembaga donatur,
dapat dilihat pada buku Menghadapi Gelombang Pasang di Serambi:
Kontribusi Bersama untuk Aceh setelah Tsunami 2004, yang diterbitkan
secara khusus oleh Bank Indonesia (2018).

Akhir Konflik GAM

Mengingat dahsyatnya bencana gempa dan tsunami serta upaya luar


biasa yang telah dilakukan oleh berbagai pihak dalam pemulihan Aceh,
bencana tersebut tentu menjadi suatu peristiwa yang melekat dalam
memori masyarakat Aceh dan akan sulit dilupakan. Banyak masyarakat
Aceh memaknai peristiwa gempa bumi dan tsunami tersebut sebagai
bentuk peringatan dari Yang Mahakuasa kepada umatnya. Kesadaran
seperti itu tampaknya mendorong masyarakat Aceh untuk melakukan
introspeksi diri. Konflik politik dan bersenjata antara GAM dan Pemerintah
RI yang lama menyelimuti Aceh dikubur bersama puing-puing bencana
gempa bumi dan tsunami. Bencana tersebut ternyata membawa berkah
terselubung yang membuka jalan damai di antara pihak-pihak yang
berkonflik102.
Tidak lama setelah bencana mereda, Pemerintah RI dan GAM sepakat
mengakhiri konflik di Aceh yang telah berlangsung selama hampir 30
tahun. Bila sebelumnya hampir semua perundingan damai antara kedua

102 Darsono, dkk, Menghadapi Gelombang Pasang di Serambi.., (2018: 127).

356 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


belah pihak selalu menemui jalan buntu, akhirnya pada 15 Agustus 2005
melalui mediasi mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari, Pemerintah
RI dan GAM sepakat menandatangani Nota Kesepahaman di Helsinki,
Finlandia. Nota Kesepahaman tersebut merupakan pernyataan komitmen
kedua belah pihak untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai,
menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat.

Gambar 6.2. Penandatanganan Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM di


Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005.
Sumber: http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/4151980.stm

Seperti menjawab keraguan sebagian kalangan politik, Nota


Kesepahaman Helsinki memperlihatkan efektivitasnya dalam menyelesaikan
konflik antara Pemerintah RI dan GAM. Hal tersebut dimungkinkan oleh
sifat Nota Kesepahaman yang lebih komprehensif dibandingkan dengan
perjanjian-perjanjian damai sebelumnya. Dengan demikian, jelas bahwa
selain menimbulkan dampak kerusakan dan kerugian besar, bencana
gempa bumi dan tsunami juga membawa dampak positif bagi Aceh.
Banyak perubahan di Aceh setelah kesepakatan itu, termasuk rehabilitasi
dan rekonstruksi fisik, penataan sosial kelembagaan, hingga perubahan
psikologis dan orientasi nilai yang sangat memengaruhi bagaimana
Aceh menatap masa depan. Bencana dahsyat tersebut juga dapat dilihat
sebagai berkah terselubung yang menuntun masyarakat Aceh untuk
kembali kepada sebuah paguyuban besar.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 357


Bank Indonesia dalam Mengawal
Perekonomian Aceh
Peran BI Aceh terhadap UMKM dan Ekonomi Syariah

D alam upaya mewujudkan tujuan pembangunan, terutama


pencapaian pemerataan hasil-hasil pembangunan dan perluasan
kesempatan kerja, program UMKM merupakan salah satu bagian integral
dari program pembangunan nasional. Bank Indonesia dalam hal ini
berperan sebagai pembantu pemerintah meluncurkan berbagai kebijakan
perkreditan yang diarahkan selain untuk mencapai kestabilan nilai rupiah,
juga untuk mendukung program pengembangan UMKM, antara lain
dengan mendorong kelancaran produksi, pembangunan dan perluasan
kesempatan kerja guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Selaras
dengan latar belakang tersebut, KPwBI Provinsi Aceh turut berperan
penting dalam sejarah perjalanan pengembangan UMKM di Aceh.
Kebijakan Bank Indonesia dalam pengembangan UMKM pada
rentang tahun 1969 sampai dengan 1998 ditransmisikan melalui
perbankan dengan cara pemberian bantuan keuangan, berupa Kredit
Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) serta pemberian bantuan teknis kepada
perbankan. Selain itu juga dalam bentuk bantuan teknis melalui pendirian
Proyek Pengembangan Usaha Kecil (PPUK), Proyek Pengembangan
Hubungan Bank dengan Swadaya Masyarakat (PHBK), dan Proyek Kredit
Mikro (PKM).
Sejak dicabutnya kewenangan Bank Indonesia dalam pemberian
kredit pada 1999, kebijakan pengembangan UMKM menjadi bersifat
tidak langsung. Pendekatan peranan bank sentral telah bergeser dari
developmental role kepada promotional role. Pendekatan dalam bentuk
subsidi kredit dan bunga murah bergeser kepada bentuk aktivitas
tidak langsung, seperti pelatihan dan penyediaan informasi termasuk
penelitian, survei, riset, dan advokasi. Upaya pengembangan UMKM
selama ini memiliki berbagai kendala, seperti pengelolaan usaha yang
masih tradisional, kualitas SDM yang belum memadai, skala dan teknik
produksi yang rendah, serta terbatasnya akses kepada lembaga keuangan
khususnya perbankan. Namun, menyadari bahwa UMKM sebagai sektor

358 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


ekonomi yang sangat penting dan telah terbukti paling tangguh dalam
menghadapi berbagai terpaan krisis, Bank Indonesia terus berupaya
mendukung pemerintah dalam mengembangkan UMKM.
Saat ini strategi pengembangan UMKM yang dilakukan oleh KPwBI
Provinsi Aceh mengacu pada empat pilar, sebagaimana dilakukan oleh
KPwBI di seluruh Indonesia. Pilar pertama yaitu peningkatan kapasitas
ekonomi UMKM dengan berbagai program pengembangan klaster
ketahanan pangan dan komoditas unggulan daerah, local economic
development (LED), program ekonomi syariah, serta program Wirausaha
Unggulan Bank Indonesia (WUBI). Pilar kedua, peningkatan pembiayaan
dan akses keuangan berupa penguatan infrastruktur, kapasitas, dan
instrumen kebijakan di daerah. Pilar ketiga, pemanfaatan teknologi
untuk efisiensi transaksi keuangan dan peningkatan akses pasar dengan
program perluasan akses pemasaran dan pemanfaatan transaksi keuangan
secara nontunai. Pilar keempat, peningkatan koordinasi dan kerja
sama kelembagaan serta pengembangan sistem informasi UMKM yang
menyasar pada efektivitas kerja sama dan koordinasi serta penggunaan
sistem informasi.
Selain memiliki program pengembangan UMKM, KPwBI Provinsi
Aceh juga memiliki program pengembangan ekonomi syariah. Dalam
pengembangan ekonomi syariah, upaya yang dilakukan oleh KPwBI
Provinsi Aceh semakin gencar sejak penandatanganan Deklarasi
Pemberdayaan Ekonomi Umat Berbasis Masjid dan Dayah bersama
OJK Provinsi Aceh, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Dinas
Pendidikan Dayah Aceh, dan Dewan Masjid Indonesia (DMI) Provinsi Aceh
pada 5 Agustus 2018. Saat ini, KPwBI Provinsi Aceh melalui program
kemandirian ekonomi pesantren telah membina 18 pesantren (dayah)
yang tersebar di beberapa kabupaten/kota di Aceh. Pesantren-pesantren
tersebut memiliki kegiatan usaha yang variatif, antara lain di sektor
perdagangan, pertanian, perikanan, dan jasa.
Dalam melakukan pembinaan, KPwBI melihat potensi sumber daya
yang dimiliki oleh masing-masing pesantren. Sebagai contoh Pesantren
Thalibul Huda yang melakukan pengembangan usaha ritel berbasis
koperasi pesantren telah mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari para santri sekaligus memperoleh pendapatan tambahan untuk

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 359


Gambar 6.3. Deklarasi Pemberdayaan Ekonomi Umat Berbasis Masjid dan Dayah
Sumber: Koleksi Bank Indonesia

membiayai operasional pesantren. Perbaikan dan pendampingan secara


berkelanjutan juga dilakukan oleh KPwBI Provinsi Aceh, sehingga setelah
enam bulan koperasi beroperasi, pesantren mampu melakukan efisiensi
biaya operasional sebesar 10 persen. Selain memiliki usaha perdagangan
ritel, Pesantren Thalibul Huda juga mengembangkan unit usaha lain secara
mandiri seperti usaha air minum isi ulang dan usaha bengkel las. Usaha
ini meskipun masih berskala kecil, tetapi sudah dapat menjadi sumber
pendapatan baru bagi pesantren.
Untuk memperkuat kompetensi para pengurus pesantren dalam hal
pengelolaan bisnis, KPwBI Provinsi Aceh bekerja sama dengan Pondok
Pesantren Nurul Iman, salah satu pesantren di Bogor. Pesantren ini yang
telah sukses mengembangkan banyak unit usaha dengan memberikan
pendampingan kepada beberapa pesantren di Aceh, di antaranya
Pesantren Darul Ulum di Kota Banda Aceh, Pesantren Thalibul Huda di
Kabupaten Aceh Besar, serta Pesantren BUDI Lamno dan Pesantren Darun
Nizham di Kabupaten Aceh Jaya. Para pengurus pesantren mengakui
bahwa program pendampingan seperti ini diperlukan untuk membenahi
aspek manajemen dari kegiatan usaha pesantren yang selama ini dikelola
dengan basis kekeluargaan dan kurang profesional.

360 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Beberapa manfaat yang dirasakan setelah memperoleh
pendampingan, antara lain meningkatnya kualitas pembukuan, budidaya,
dan juga tata kelola sumber daya manusia. Selain pembinaan kepada
pesantren, KPwBI Provinsi Aceh juga melakukan pembinaan kepada
beberapa masjid di Aceh, salah satunya Masjid Oman Al Makmur.
Pembinaan dilakukan melalui pemberian bantuan teknis dan bantuan
sarana prasarana pendukung kegiatan usaha masjid, yaitu Baitul Maal
wa Tamwil (BMT) dan Hotel Oman Al Makmur yang terletak di samping
masjid. Tujuan dari pembinaan kepada masjid ini sama seperti pembinaan
kepada pesantren, yaitu agar masjid memperoleh sumber pendapatan
sehingga dapat mandiri secara ekonomi.

PSBI dan Upaya Pengendalian Inflasi

KPwBI Provinsi Aceh juga melaksanakan Program Sosial Bank Indonesia


(PSBI) yang di antaranya berkaitan erat dengan program pengembangan
UMKM. Tujuan utama dari PSBI adalah untuk meningkatkan pemahaman
stakeholders terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia sehingga pada
akhirnya meningkatkan efektivitas komunikasi kebijakan Bank Indonesia.
PSBI dilakukan secara terencana dan govern dengan ruang lingkup
peningkatan kapasitas ekonomi masyarakat; partisipasi edukasi publik;
dan kepedulian sosial antara lain di bidang pendidikan, keagamaan,
dan kesehatan. Program peningkatan kapasitas UMKM menjadi salah
satu sektor PSBI yang fokus dilakukan oleh KPwBI Provinsi Aceh. Hal ini
tidak terlepas dari peran UMKM dalam perekonomian daerah yang dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi angka pengangguran,
mengurangi tingkat kemiskinan, dan mengendalikan inflasi.
Lebih jauh lagi, dengan berkembangnya UMKM berorientasi ekspor
dapat mengurangi current account deficit (CAD). Sebagai contoh, KPwBI
Provinsi Aceh melakukan pengembangan berbagai klaster ketahanan
pangan yang diselaraskan dengan upaya pengendalian inflasi di Aceh. Salah
satu komoditas yang sering mendorong terjadinya inflasi yaitu bawang
merah akibat pasokan dan harga yang fluktuatif. Dengan pengembangan
klaster, pembinaan tersebut dilakukan untuk mendorong peningkatan

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 361


produktivitas dan kualitas bawang merah, penguatan kelembagaan
petani, mendorong terbukanya akses keuangan/pembiayaan, memperluas
akses pemasaran, serta memberikan nilai tambah melalui hilirisasi.

Gambar 6.4. Kepala KPwBI Provinsi Aceh Meninjau Gudang Milik Klaster Bawang
Merah di Kabupaten Pidie
Sumber: Koleksi Bank Indonesia

Sejak tahun 2016 KPwBI Provinsi Aceh telah mengembangkan klaster


bawang merah di Kecamatan Simpang Lima dan Kecamatan Bambi,
Kabupaten Pidie. Berbagai bantuan teknis telah diberikan kepada klaster
tersebut, seperti pelatihan teknik budidaya dan pengelolaan pascapanen,
termasuk pembuatan demplot. Untuk mendukung penyimpanan hasil
panen yang lebih layak, pada tahun 2017 KPwBI Provinsi Aceh juga
memberikan bantuan PSBI berupa gudang bawang kepada klaster bawang
tersebut. Setelah berhasil dengan klaster bawang merah sebelumnya,
KPwBI kemudian membentuk klaster bawang merah baru di Kecamatan
Keumala dan Kecamatan Tangse di Kabupaten Pidie pada tahun 2019.
Klaster-klaster tersebut diharapkan dapat menghasilkan pionir-pionir di
daerah sentra produksi bawang merah yang memberikan dampak bagi
kelompok petani di sekitarnya.

362 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Masih dalam rangka mendukung pengendalian inflasi daerah,
KPwBI Provinsi Aceh juga melakukan pengembangan klaster cabai
merah di Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar sejak tahun
2017. Berbagai bantuan teknis telah diberikan seperti pelatihan terkait
pengendalian hama, pembibitan, budidaya, manajemen dan pembentukan
koperasi, serta pendampingan hilirisasi produk olahan cabai dan demplot
pengembangan bibit. Bantuan PSBI berupa sarana dan prasarana
pendukung klaster juga diberikan meliputi tower air, pembelian tangki
air, dan insect light trap untuk pengendalian hama guna mendukung
peningkatan produksi.

Gambar 6.5. Kepala KPwBI Provinsi Aceh melakukan panen perdana hasil produksi
klaster cabai merah di Kabupaten Aceh Besar.
Sumber: Koleksi Bank Indonesia

Selain itu, KPwBI Provinsi Aceh juga mengembangkan klaster sapi


sejak tahun 2017 karena daging sapi merupakan salah satu komoditas
penyumbang inflasi terbesar di Provinsi Aceh. Berdasarkan data historis
kenaikan harga daging sapi sering terjadi menjelang bulan puasa dan hari
raya karena tingginya permintaan masyarakat. Berbagai bantuan teknis
telah diberikan antara lain sosialisasi bibit sexing dan integrated farming,
pelatihan manajemen koperasi, dan pendampingan intensif. Di samping
itu, juga diberikan bantuan PSBI berupa sarana dan prasarana pendukung
klaster meliputi kandang jepit, timbangan, kandang pembibitan, dan balai
pelatihan.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 363


Gambar 6.6. Pemberian bantuan PSBI berupa rumpon kepada klaster ikan tongkol di
Kota Banda Aceh.
Sumber: Koleksi Bank Indonesia

Komoditas penyumbang inflasi Aceh lainnya yang menjadi


perhatian KPwBI Provinsi Aceh adalah ikan tongkol. Sejak tahun 2018
KPwBI Provinsi Aceh melakukan pengembangan klaster ikan tongkol
dengan melakukan pembinaan kepada para nelayan, meliputi pemberian
bantuan teknis terkait aspek produktivitas, pemasaran, manajerial,
akses terhadap informasi, keuangan, kelembagaan, serta inovasi dan
teknologi. Pada tahun 2018 KPwBI Provinsi Aceh menyalurkan bantuan
PSBI berupa rumpon kepada tiga kelompok nelayan binaan di Gampong
Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh. Ketiga kelompok
tersebut merupakan nelayan perikanan laut menengah dan laut dalam
dengan berbagai hasil tangkapan ikan laut. Rumpon sendiri merupakan
alat perekayasa habitat ikan buatan dapat menarik berbagai jenis ikan
untuk berkumpul sehingga memudahkan nelayan untuk melakukan
penangkapan ikan.
Manfaat rumpon langsung dirasakan oleh ketiga kelompok nelayan
binaan dengan adanya kenaikan hasil tangkapan. Bertambahnya pasokan
ikan tersebut tentunya membantu menekan harga ikan di Kota Banda
Aceh yang secara historis selalu menjadi komoditas utama penyumbang
inflasi pada periode cuaca ekstrem di akhir tahun. KPwBI Provinsi Aceh

364 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Gambar 6.7. Pemberian Bantuan PSBI berupa Display Informasi Meteorologi Maritim
Sumber: Koleksi Bank Indonesia

juga menjalin kerja sama dengan BMKG Aceh dalam rangka penyediaan
bantuan PSBI berupa display informasi meteorologi maritim, antara lain
menampilkan informasi tinggi gelombang, arah dan kecepatan angin
dan cuaca di tempat berkumpulnya nelayan. Pemberian bantuan tersebut
merupakan tindak lanjut atas kebutuhan kelompok nelayan binaan
terhadap informasi guna mendukung keselamatan dan kelancaran
kegiatan operasional penangkapan ikan.
KPwBI Provinsi Aceh juga melakukan pengembangan komoditas
unggulan daerah berbasis ekspor, salah satunya melalui program local
economic development (LED) yang melibatkan kelompok perajin tas
sulaman khas Aceh di Gampong Dayah Daboh, Kabupaten Aceh Besar.
Bantuan teknis yang diberikan kepada kelompok antara lain pelatihan bordir
dasar, lanjutan, hingga finishing, fasilitasi pembentukan kelembagaan
koperasi, digitalisasi marketing dan berbagai kegiatan pameran. Selain
itu, dukungan sarana dan prasarana juga diberikan antara lain berupa
peralatan bordir dan galeri produk guna meningkatkan kapasitas produksi
dan membantu pemasaran produk kelompok.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 365


Gambar 6.8. Peresmian Galeri Produk Kerajinan Tas Sulaman Khas Aceh oleh Deputi
Gubernur Senior Bank Indonesia
Sumber: Koleksi Bank Indonesia

Sejak tahun 2018 KPwBI Provinsi Aceh juga memiliki program LED
yang melibatkan kelompok perajin songket khas Aceh di Kecamatan
Darussalam, Kota Banda Aceh. Dalam program tersebut bantuan teknis
yang diberikan meliputi pelatihan kelembagaan dan menenun bagi para
perajin baru. Selain itu juga diberikan bantuan PSBI berupa peralatan
tenun. Dengan adanya bantuan tersebut diharapkan jumlah perajin tenun
dapat meningkat sekaligus mendorong regenerasi penenun dalam rangka
melestarikan tenun songket yang merupakan produk unggulan khas Aceh.
Komoditas unggulan lainnya yang menjadi perhatian KPwBI Provinsi
Aceh adalah nilam. Latar belakang pemilihan nilam sebagai salah satu
komoditas klaster binaan KPwBI Provinsi Aceh adalah karena nilam
merupakan salah satu komoditas unggulan Aceh yang memiliki potensi
besar untuk dikembangkan. Indonesia merupakan pemasok sekitar 85
persen kebutuhan minyak nilam dunia.103 Sebagian besar minyak nilam
yang diekspor dihasilkan oleh petani kecil atau para penyuling skala kecil
yang tersebar di daerah. Dalam konteks perdagangan dunia, negara

103 Bank Indonesia, “Optimalisasi Pengembangan Usaha Hulu-Hilir Komoditas Andalan Ekspor Nilam
Aceh Sebagai Akselerator Pertumbuhan Ekonomi Daerah”, (Banda Aceh: Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Prov. Aceh, 2020), hlm. 63.

366 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Gambar 6.9. Kepala KPwBI Provinsi Aceh Meninjau Hasil Produksi Perajin Tenun
Songket Khas Aceh
Sumber: Koleksi Bank Indonesia

pesaing pengekspor minyak atsiri di antaranya Cina, India, dan Brazil.


Berdasarkan data UN Comtrade dalam periode 2013–2016, rata-rata
ekspor minyak nilam Indonesia berada di angka 11,07 ribu ton/tahun.
Volume ekspor ini didukung oleh ketersediaan areal tanam nilam di
Indonesia yang pada tahun 2017 mencapai 18.592 hektar.
Komoditas nilam penting bagi Indonesia tidak hanya mengenai potensi
ekspornya, tetapi juga terkait dengan peranannya dalam mendukung
peningkatan kesejahteraan masyarakat karena mayoritas lahan nilam
merupakan perkebunan rakyat. Di Aceh nilam pernah mengalami masa
kejayaan. Namun, karena adanya konflik Aceh yang berkepanjangan, tata
niaga yang buruk, serta fluktuasi harga yang tidak menentu membuat
pesona nilam Aceh mulai memudar. Padahal kualitas minyak nilam Aceh
merupakan yang terbaik di dunia.104 Nilai patchouli alkoholnya berkisar di
angka 30 persen yang mampu mengikat aroma parfum hingga 12–72 jam
(sesuai konsentrasinya). Banyak negara mengincar komoditas nilam Aceh,
terutama untuk bahan baku parfum, seperti Amerika dan Prancis.

104 Bank Indonesia, “Optimalisasi Pengembangan Usaha Hulu-Hilir…”, (2020:11).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 367


Pengembangan klaster nilam tersebut dilakukan sejak tahun 2019
dengan melibatkan kelompok petani nilam yang terletak di Kecamatan
Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya. Kelompok petani nilam yang dipilih
untuk dibina merupakan kelompok yang tinggal di wilayah pelosok dan
masih hidup dalam kondisi prasejahtera. Kelompok petani nilam tersebut
diajarkan mengenai teknik budidaya nilam yang profesional sehingga
dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil produksinya dan pada
akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Kelompok petani
binaan juga diharapkan dapat menjadi percontohan bagi petani nilam
lain di sekitarnya. Dengan semakin banyaknya petani nilam yang dapat
melakukan teknik budidaya secara profesional, maka pasokan bahan
baku untuk industri nilam dapat meningkat yang pada akhirnya dapat
meningkatkan nilai tambah ekonomi bagi Aceh.
Untuk meningkatkan kapasitas produksi petani nilam, KPwBI Provinsi
Aceh memberikan bantuan teknis berupa pelatihan dan pendampingan
kepada petani nilam binaan. Selain bantuan teknis, KPwBI Provinsi Aceh

Gambar 6.10. Penanaman bibit nilam oleh Kepala KPwBI Provinsi Aceh dan Bupati
Aceh Jaya.
Sumber: Koleksi Bank Indonesia

368 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


juga memberikan bantuan PSBI berupa sarana dan prasarana penyulingan
minyak nilam agar kualitas dan kuantitas minyak nilam yang dihasilkan
oleh kelompok petani binaan dapat meningkat. KPwBI Provinsi Aceh juga
berupaya meyakinkan perusahaan-perusahaan pengolahan nilam untuk
menjalankan skema kontrak harga dengan para petani nilam, sehingga
mereka memiliki jaminan atas harga jual hasil produksinya.
Selain itu, agar persoalan nilam tuntas hingga ke akarnya, KPwBI
Provinsi Aceh juga menggandeng berbagai stakeholders terkait, antara
lain pemerintah daerah dan akademisi, yaitu para ahli nilam dari Atsiri
Research Center (ARC) Universitas Syiah Kuala. Berdasarkan hasil diskusi
dengan stakeholders terkait, disepakati bahwa pengembangan nilam di
Aceh perlu dilakukan secara terintegrasi yang menyentuh sisi hulu hingga
hilir (integrated upstream-downstream development).105 Upaya untuk
mengembalikan kejayaan nilam di sisi upstream dimulai dari penyediaan
bibit, pupuk, biopestisida, metode pemeliharaan, dll. Sementara di
sisi downstream, penanganan pascapanen, pemrosesan, penyulingan
hingga pengemasan produk merupakan aspek-aspek penting yang perlu
diperbaiki.
Setelah melalui serangkaian diskusi lanjutan, pada akhirnya berbuah
pada pemahaman yang lebih utuh tentang upaya pengembangan nilam
secara terintegrasi dari sisi hulu ke hilir. Proses yang bagaikan merangkai
puzzle ini memerlukan sinergisitas dari berbagai keahlian. ARC Universitas
Syiah Kuala memiliki keahlian di bidang teknologi dan budidaya,
namun tentu memiliki kekurangan dari sisi pengembangan model
bisnis. Pemerintah Aceh memiliki anggaran, namun perlu difokuskan
dan dianggarkan dengan budgeting yang sesuai dengan roadmap
pengembangan nilam. Para pengusaha di sisi hilir perlu didekatkan
dengan sisi hulu agar tidak terdampak oleh gejolak harga bahan baku.
Setelah memperoleh gambaran yang utuh KPwBI Provinsi Aceh
berinisiatif untuk melakukan diskusi lanjutan dengan stakeholders terkait,
antara lain Rektor Universitas Syiah Kuala, Bappeda Aceh, Bupati Aceh

105 Bank Indonesia, “Optimalisasi Pengembangan Usaha Hulu-Hilir Komoditas Andalan Ekspor Nilam
Aceh Sebagai Akselerator Pertumbuhan Ekonomi Daerah”, (Banda Aceh: Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Prov. Aceh 2020), hlm. 79.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 369


Atsiri Research Center - Unsyiah Akademisi/Praktisi Akademisi/Praktisi

Inovasi Reaktor/Steam Inovasi Produk Turunan/Olahan Inovasi Metode Pemasaran

Agroindustri Hulu (Upstream on & off-farm) Pengolahan (Downstream) Pemasaran

Contract Sales
Farming Contract

Gapoktan Koperasi Perusahaan Penghela/Off taker Offline Online

Fokus:
▪ Input: Tenaga Kerja, Lahan Fokus: Fokus:
Fokus: ▪ Peningkatan kapasitas produksi ▪ Pemasaran offline
dan Bibit
▪ Penguatan Kelembagaan ▪ Inovasi Produk Turunan ▪ Pemasaran online dan pemanfaatan e-commerce
▪ Pengendalian Hama
▪ Penguatan Business Unit ▪ Pengembangan Skema Industrialisasi ▪ Pemasaran domestic (terutama Aceh dan Sumatera
▪ Pola tanam dan panen
▪ Penguatan Modal ▪ Perbaikan Kerja Sama & Sinergisitas: Backward & Forward Linkages Utara) dan luar negeri (ekspor)
▪ Good Agriculture Practices
▪ Inovasi di Sisi Hulu-Hilir

Industri Pendukung Stakeholder Pendukung Industri Pendukung Stakeholder Pendukung Industri Pendukung Stakeholder Pendukung

industri pembibitan, industri • Dinas Koperasi & UMKM • Dinas Perdagangan


pupuk, industri obat-obatan • BDS-P/KKMB • Industri Pengemasan • Dinas Perindustrian • Industri Ritel • BEKRAF
pengendalian hama, industri • Dinas Perdagangan • LPPOM MPU • Bank Indonesia • E-commerce • Dinas Perdagangan
teknologi pembenihan, mesin • Perbankan • Perbankan • Marketplace • Bank Indonesia
pertanian, dll. • Akademisi

Gambar 6.11. Kerangka Pengembangan Nilam Secara Terintegrasi dari Hulu ke Hilir
Sumber: Kajian KPwBI Provinsi Aceh

Jaya, serta perwakilan petani nilam yang tergabung dalam Koperasi


Industri Nilam Aceh (KINA). Dalam diskusi tersebut dibahas mengenai
skema pengembangan nilam termasuk peran para pihak dari sisi hulu
hingga hilir, serta fokus pengembangan yang perlu dilakukan oleh
pemerintah daerah.

INT’L MARKET
Koordinasi Advisory Pengembangan Ekonomi Daerah
& Diskusi

Kerja Sama Demplot EXPORTER


Food/Pharmacy/
Cosmetic Industry END USER -
INT’L
BANK PERUSAHAAN INTI Processing Industry
BROKER/
Pembayaran
Sertifikasi

PENGOLAHAN PEMASARAN AGENT


Shareholder
Tanah

INDUSTRY
Penguatan Kapasitas

Sales

PRODUK SETENGAH JADI DIRECT SELLING E-COMMERCE


Koperasi

PERSONAL
PRODUK JADI INDIRECT SELLING
KOPERASI
Pengembangan RESELLER
Branding & Packaging LOCAL MARKET
Sosialisasi
Halal Value Chain
GAPOKTAN UMKM
Penguatan Kelembagaan

Keanggotaan & Database


Kelompok Tani

DISTRIBUTOR
IMKM A END USER -
LOCAL
IMKM B OFFLINE
SHOP ACEH
IMKM J TRADITIONAL
PETANI PLASMA PETANI PLASMA TRADE LUAR ACEH
WILAYAH A WILAYAH B MODERN
Pengembangan TRADE
Entrepreneurship Fasilitasi Pameran/
Pengembangan Digital Economy

Gambar 6.12. Skema Pengembangan Nilam di Aceh


Sumber: Kajian KPwBI Provinsi Aceh

370 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Bab 7
Kantor Eks-De Javasche
Bank Agentschap
Koetaradja:
Cagar Budaya dan
Upaya Pelestariannya

Citra Kota Banda Aceh

G ambaran citra Kota Banda Aceh pada masa lalu dapat ditelusuri
melalui sketsa, lithograph, dan catatan perjalanan yang dibuat oleh
para pendatang dari Cina, Eropa, Arab, maupun naskah-naskah kuno yang
berasal dari para penulis istana dan ulama setempat. Umumnya gambar-
gambar dan manuskrip lama tersebut menggambarkan suasana Aceh yang
natural, makmur dan permai, sangat higienis, dan banyak menceritakan
tentang kesibukan perahu nelayan di sungai serta banyaknya kapal-kapal
dagang di dermaga pelabuhan.
Citra Banda Aceh merupakan komposisi dari beragam arketipe, yang
terungkap dari penelusuran sejarah dan ingatan kolektif masyarakatnya.
Citra yang terungkap amat beragam, sesuai dengan ragam budaya yang
mengakar di Aceh, tiga di antaranya adalah: (1) Citra Banda Aceh sebagai
Bandar yang permai, (2) Citra Kutaraja, sebagai Benteng (Kuta) dari pusat
pemerintahan yang memiliki ketahanan dan perlindungan yang kuat,
dan (3) Citra Aceh Daerah Modal, sejak abad ke-17 ketika Aceh dikenal

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 371


sebagai kesultanan yang makmur berkat ”the wealth of pepper”-nya,
hingga di masa Revolusi Kemerdekaan, rakyat Aceh menyumbangkan
harta bendanya berupa emas yang terkumpul hingga 20 kg untuk
membeli pesawat RI 001 yang diminta oleh Presiden Sukarno.1
Pada zaman kekuasaan Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa
Alam, Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut
seorang penjelajah asal Prancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di
zaman tersebut, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau.
Kekuasaan Aceh pernah menyeberang Selat Malaka meliputi hingga ke
Kedah, Perak, Pahang, dan Trengganu di Semenanjung Tanah Melayu.
Kesultanan Aceh telah pula menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan
di dunia Barat pada abad ke-17, termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda.2

Gambar 7.1. Harmoni di masa kesultanan antara kehidupan di air dan di darat, sungai
dipenuhi kapal-kapal hingga ke laut dan tampak barisan gajah di darat.
Sumber: Kamal A. Arif, Ragam Citra Kota Banda Aceh: Interpretasi Sejarah, Memori Kolektif, dan
Arketipe Arsitekturnya (Bandung: Pustaka Bustanussalatin, 2008).

1 Ragam Citra Kota Banda Aceh yang dominan ada 5: (1) Aceh Lhee Sagoe, (2) Banda Aceh, (3)
Darussalam, (4) Serambi Mekah, dan (5) Kutaraja, di samping masih ada citra lain yang tidak
dominan yaitu (6) Tanah Rencong, (7) Daerah Modal, (8) Tanah Iskandar Muda, dan (9) Gajah Putih.
Lihat Kamal Arif, Ragam Citra Kota Banda Aceh, Disertasi, 2006.
2 Arsip Bank Indonesia, Laporan Akhir Pekerjaan Penyusunan Blueprint Strategi Pemanfaatan dan
Pelestarian (Konservasi) Bangunan-Bangunan Eks De Javasche Bank (2008).

372 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Kesultanan Aceh dengan ibu kota Banda Aceh telah mengukir
masa lampau dengan megah dan menakjubkan, terutama karena
kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan
militer, komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa,
sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-
pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam
menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.
Di masa kesultanan, harmoni antara darat dan air sangat terasa.
Tampak perahu dan kapal-kapal menghiasi kesibukan kota di Krueng
Aceh yang menjadi jalur utama perekonomian masa itu, mulai dari
gampong-gampong di pedalaman menuju ke pelabuhan (bandar),
hingga melaut mencari penghidupan di samudra luas. Sementara di darat,
kekuatan barisan gajah menjadi kebanggaan yang meningkatkan wibawa
kota. Kuta-kuta3 dibangun baik di sepanjang pesisir pantai maupun di
Meuligoe (keraton), dan semakin diperkuat ketika negeri ini meningkatkan
kewaspadaan terhadap intaian bangsa-bangsa kolonial.
Namun, gambaran citra kota bandar akuatik tersebut kemudian
memudar. Kapal-kapal dan perahu yang sibuk di masa lalu kini tak tampak
lagi, sungai menjadi lengang, berganti dengan dominasi kehidupan darat,
dipenuhi mobil, sepeda motor, becak, dan labi-labi4, sehingga hanya
menyisakan sebuah bandar pelabuhan yang tidak lagi disinggahi kapal-
kapal dagang seperti dahulu. Barulah kemudian setelah diterjang tsunami
26 Desember 2004, semua orang menyaksikan betapa perahu-perahu
tersangkut di atap rumah, terdampar di halaman hotel dan sebuah kapal
besar menghunjam kokoh di tengah kota, seolah ingin merebut kembali
eksistensi dirinya. Demikian pula tiga ekor gajah yang selama berabad-
abad tak pernah terlihat, kembali menunjukkan kesetiaan dan darma
baktinya dalam melakukan pembersihan puing-puing bencana tsunami,
ketika semua alat berat lumpuh tidak berdaya.

3 Kuta = Benteng
4 Sebutan warga setempat untuk angkutan dalam kota.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 373


Gambar 7.2. Sebuah kapal yang terdampar di tengah kota akibat tsunami di Aceh, 26
Desember 2004 (atas); Peran gajah muncul kembali setelah berabad-abad, ketika alat
berat tak mampu bekerja di hari-hari awal pasca tsunami (bawah).
Sumber: Kamal A. Arif, Ragam Citra Kota Banda Aceh: Interpretasi Sejarah, Memori Kolektif, dan
Arketipe Arsitekturnya (Bandung: Pustaka Bustanussalatin, 2008).

Banda Aceh Pelabuhan Dagang

Kota Banda Aceh memiliki arti bandar (pelabuhan) yang permai,


sedangkan Aceh dari kata “Aca-Aca” yang artinya cantik atau permai.
Banda Aceh sebagai ‘bandar’ menjadi tempat berlabuhnya kapal-kapal,
baik dari mancanegara maupun domestik. Nama bandar tidak hanya

374 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


berada di Aceh, tetapi ada di mana-mana di
seluruh Nusantara, menjadi mata rantai yang
menghubungkan pelabuhan dagang domestik
sejak dari Banda Aceh di wilayah Barat, melalui
Bandar Lampung, Bandar Jakarta, Banjarmasin,
Bandar Seri Begawan hingga ke Banda Neira di
wilayah Timur.

Gambar 7.4. Banda Aceh sebagai kota pelabuhan pada


masa kesultanan banyak disinggahi kapal-kapal asing.
Sumber: Anthony Reid dan Ito Takeshi. “A Precious Dutch Map of
Aceh, c. 1645”, Archipel, Vol. 57, 1999. hlm. 192–193.

Keberadaan kota pelabuhan Banda Aceh


ini didukung oleh lokasinya yang terletak di
ujung Pulau Sumatra, sehingga membuat
orang asing kerap berlabuh di Banda Aceh
Gambar 7.3. dan menginap di kawasan kosmopolitan di
Toponimi gampong- dekat pelabuhan. Raja Aceh sangat terbuka
gampong di sekitar menyambut kedatangan saudagar asing. Oleh
Gampông Pandé di karena itu, banyak kampung-kampung yang
sepanjang Krueng Aceh,
dihuni oleh orang asing dan menjadi toponimi,
tempat akomodasi
pedagang Asing. seperti Gampông (kampung) Jawa, Pandé,
Lokasi BI sekarang sedikit Keudah, Peulanggahan, Peunayong, yang
di Utara Masjid. merupakan kawasan kosmopolitan di tepian
sungai Krueng Aceh.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 375


Angin musim yang bertiup dari barat ke timur dan sebaliknya
menyebabkan kapal laut berlayar mengikuti ke mana arah angin bertiup.
Hal ini yang mendorong Aceh menjadi pusat berlabuhnya kapal-kapal
yang berasal dari timur yang hendak berlayar ke Timur Tengah atau
sebaliknya.
Banda Aceh Darussalam adalah sebuah kota air dan bandar
perdagangan yang mengandalkan sungai sebagai sarana transportasi
highway bagi kapal-kapal dagang. Di dalam buku History of Sumatra
tertulis bahwa perahu-perahu nelayan Aceh sejak pagi sibuk mencari
nafkah ke laut dan petang hari kembali memenuhi kawasan perairan
ini bagaikan lebah pulang kembali ke sarangnya. Aceh dikenal dengan
riverine-maritime culture-nya yang mendunia. Pengelana asing yang
berkunjung ke Aceh pada abad ke-16 dan 17 mencatat bahwa di sinilah
kapal perang terbesar dibuat, dan mereka belum pernah melihat kapal
sebesar itu di negeri asalnya.5 Di sini pula pusat perdagangan lada dunia.
Sultan Iskandar Muda ingin agar semua pedagang asing membeli lada
langsung dari tangannya. Laksamana Beaulieu menyebut ”le prince
est marchand”, sebagaimana Nabi Muhammad adalah juga seorang
pedagang.
Banda Aceh adalah kota pelabuhan samudra. Para saudagar asing
bukan hanya singgah tetapi menetap di Aceh. Namun, sejak invasi Belanda
yang melakukan tindakan militer kolonial di Koetaradja (nama Kota Banda
Aceh di zaman Belanda), keberadaan Kota Banda Aceh sebagai kota
pelabuhan dagang memudar, jarang sekali terlihat perahu-perahu hilir-
mudik di sungai. Sungai menjadi lengang tanpa aktivitas yang berarti dari
masyarakat setempat untuk mencari nafkah.

Banda Aceh Kota Air (Maritim dan Riverine Culture)

Bila kita mengamati peta Kota Banda Aceh yang dibuat berdasarkan peta
satelit, jelas tampak kota ini memiliki lanskap sebagai kota air (Gambar

5 William Marsden, History of Sumatra (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999).

376 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


7.5.). Krueng Aceh tampak membelah kota ini dengan indah. Namun,
meskipun kota ini dikelilingi oleh Selat Malaka dan Lautan Hindia, kedua
pelabuhannya saat ini, baik di Ulee Lheue maupun di Pelabuhan Malahayati
sepi dan lengang, hanya terlihat sedikit kapal ferry yang mengangkut
penumpang ke Sabang. Amat tidak memadai untuk memperoleh citra
sebagai kota “bandar yang permai”.
Bila kita perhatikan dari peta figure-ground pada Gambar 7.5.
tersebut, terlihat bahwa perkembangan kota ini dirancang secara parsial.
Didominasi oleh gerak perkembangan kota secara alamiah, sehingga
terlihat banyak bagian-bagian kota yang tidak teratur (chaos). Melalui
peta ini, cukup sulit kita pahami adanya relasi antara tatanan kota ini
dengan gelar-gelarnya sebagai kota Bandar, Serambi Mekah, Kutaraja,
dan lain-lain.
Kehidupan modern dan nilai-nilai baru tampaknya telah
menyembunyikan nilai-nilai warisan lama yang kian terpendam.

Gambar 7.5. Figure-ground Peta Kota Banda Aceh yang Dibuat Berdasarkan Peta
Satelit Tahun 2000
Sumber: Kamal A. Arif, Ragam Citra Kota Banda Aceh…, (2008).

Sebagai kota berbudaya air, maka pembangunan kota di masa


kesultanan dilakukan dengan orientasi waterfront city. Ide kota air ini

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 377


diterapkan dengan baik, yaitu dengan banyaknya rumah atau bangunan
lainnya di sisi kanal-kanal, seperti yang tampak pada peta Banda Aceh
c. 1645 yang ditemukan di Florence, Italia.6 Sungai juga digunakan
sebagai tempat mata pencaharian orang Aceh, dan menjadi akses utama
transportasi di masa itu.

Gambar 7.6. Peta Aceh c. 1645 yang Tersimpan di Sebuah Bibiliotek Kota Florence,
Italia
Sumber: Firenze: Biblioteca Medicea Laurenziana

6 Peta Aceh c. 1645 karya Vingboon seorang kartografer Belanda ditemukan di Florence, Italia oleh
Dennys Lombard pada 1996 sesaat sebelum ia meninggal. Lombard belum sempat menganalisis peta
tsb. Kemudian Anthony Reid dan Ito Takeshi membuat penelitian sejarah terhadap peta tsb, dimuat
dalam Archipel No. 57, 1999, hlm. 197.

378 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Umat Islam berwudhu dengan air yang suci karena itu sungai-
sungai di masa kesultanan amat higienis, jernih, bisa diminum, dan dapat
menyembuhkan luka.7 Pengelana asing di abad ke-17 menyaksikan bahwa
pencuri yang mendapatkan hukuman syariah dan dipotong tangan atau
kakinya, membalut luka-lukanya dengan dedaunan lalu berendam di
sungai (Krueng) Aceh beberapa minggu dan akhirnya sembuh.8 Sungai
dan pelabuhan merupakan sumber nafkah yang paling dominan. Semua
hunian dan bangunan dapat diakses melalui sungai dan kanal-kanal,
sehingga pada masa Tamaddun Islam citra budaya air amat dominan.9
Tatanan ruang kota di masa kesultanan sangat memuliakan
potensi sungai. Masjid Raya Baiturrahman dan Peukan Aceh (Pasar)
didirikan di tepian Krueng Aceh yang membelah kota. Sultan Iskandar
Muda membangun sungai buatan Krueng Daroy yang melintasi Taman
Bustanussalatin yang mengalir ke dalam kompleks Istana. Di tepian
Krueng Daroy ini terdapat beberapa bangunan tempat peristirahatan
keluarga sultan, seperti Gunongan dan Pintô Khôp yang masih ada hingga
sekarang.10
Peukan (Pasar) Aceh di masa itu terletak di muara pertemuan Krueng
Daroy dengan Krueng Aceh.

Citra Aceh Daerah Modal

Aceh memiliki peranan strategis bagi perekonomian bangsa. Sumber daya


alam yang dimilikinya menjadikan Aceh sebagai salah satu daerah yang
berkontribusi bagi kemajuan ekonomi nasional. Pada zaman penjajahan,

7 Dalam Kitab Bustanussalatin karya Nuruddin Ar Raniry (abad ke-17) disebutkan air Krueng Daroy
demikian jernihnya, sehingga barang siapa meminumnya maka sehatlah tubuhnya.
8 Seorang pengelana asing pada abad ke-17 menulis sebagai berikut: “They go to bathe in the river,
the water of which is so healthy that they use it as a remedy when they are injured or when someone
has cut off one of their limbs, as happens every day under their system of justice….The water of this
river is very clear, coming from the mountains, passing through deserts and groves where there are
some exquisite trees like benzoin, champor, sandalwood and an infinity of other perfumed trees….”
Lihat Anthony Reid, Witnesses to Sumatra: A Traveler’s Anhology (Kuala Lumpur: Oxford, 1995).
9 Anthony Reid, Witnesses to Sumatra…, (1995).
10 Gunongan dan Pintô Khôp dikenal sebagai tempat pemandian Putro Phang diiringi dayang-dayang
istana.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 379


hasil perkebunan Aceh seperti lada, pala, cengkeh, dan karet, menjadi
incaran Belanda. Kontribusi hasil perkebunan Aceh tetap berlanjut pasca
kemerdekaan, di mana ekspor Indonesia untuk komoditas seperti karet,
lada, pala, dan cengkeh, mayoritas dihasilkan dari bumi Aceh.
Sejak era kesultanan, Aceh dikenal sebagai penghasil lada dunia.
Dari hasil perdagangan lada Aceh inilah, Elihu Yale, seorang pedagang
lada internasional dan filantropis asal Inggris yang berkedudukan di
Madras India, mampu membangun kota kelahirannya Salem di dekat
Boston dan mendirikan cikal bakal Universitas Yale, di Amerika Serikat.
Hingga kini lambang Kota Salem menggambarkan seorang laki-laki Aceh
dengan latar belakang sebuah kapal dagang di laut, bertuliskan motto:
“Divitis Indiae usque ad ultimum sinum” (EN “To the Farthest Port of the
Rich East”) yang berarti “Untuk Pelabuhan Terjauh yang Kaya di Timur”.
Lambang Kota Salem berangka tahun pendirian 1626 (Salem Condita
1626), pada saat Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda.

Gambar 7.7. Logo Salem City (Salem City Seal) di USA, 30 km dari Boston, Mass. USA,
yang berangka tahun 1626. Di tengahnya tersimpan gambar orang berpakaian Aceh
yang gagah, karena Kota Salem dibangun berkat kesuksesan perdagangan lada dari
Aceh, di masa Sultan Iskandar Muda.
Sumber: https://www.salem.org/salem-ma-city-seal/

380 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Peran strategis Aceh dalam perekonomian Hindia Belanda semakin
kuat dengan dibangunnya gedung De Javasche Bank pada tahun 1918
di Koetaradja. Perekonomian Aceh kala itu dianggap penting, sehingga
De Javasche Bank yang merupakan bank sirkulasi milik pemerintahan
Hindia Belanda membuka kantornya di sana.11 Hadirnya DJB di Koetaradja
ini mengindikasikan Aceh memiliki citra dan potensi sebagai pusat
perdagangan yang makmur.
Dalam era Revolusi Kemerdekaan, Aceh kembali mengukir sejarah
ketika Presiden Sukarno mengunjungi Aceh pertama kalinya pada tahun
1948 dan meminta kepada rakyat Aceh yang dikenal dermawan dan
rela berkorban itu, agar mau menyumbangkan harta bendanya untuk
membeli pesawat terbang bagi negara RI untuk keperluan diplomasi
dan obat-obatan demi perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Serta-merta Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA) serta
seluruh rakyat Aceh mendukung permintaan Bung Karno tersebut. Dalam
waktu singkat rakyat Aceh berhasil mengumpulkan 20 kg emas untuk
membeli 2 pesawat Dakota DC 3 yang menjadi pesawat kepresidenan RI
pertama, dan diberi nama RI 001 dan RI 002 Seulawah, sebagai cikal bakal
maskapai penerbangan Garuda Indonesia. Atas latar belakang sejarah
Aceh yang makmur dan sumbangan rakyat Aceh yang heroik itu, Bung
Karno pada tahun 1948 menyebutkan Aceh sebagai Daerah Modal bagi
bangsa dan negara Indonesia.

Arsitektur Kolonial di Banda Aceh


Warisan Perang Era Kolonial

Islam menjunjung tinggi peradaban dan sangat menentang perilaku


jahiliah, karena itu segala bentuk penjajahan sangat dibenci oleh rakyat
Aceh. Meskipun Kesultanan Aceh pada abad ke-19 tidak lagi sebesar
kesultanan pada abad ke-17, namun rasa harga diri sebagai kerajaan

11 Aceh Nasional News. Seminar Optimalisasi Heritage dan Pariwisata Aceh D/R Peringatan 100
Tahun Gedung Bank Indonesia Provinsi Aceh, 2018, http://www.annews.co.id/2018/12/seminar-
optimalisasi-heritage-dan.html (diakses pada 20 Juli 2020).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 381


merdeka masih tetap kuat. Perjuangan rakyat Aceh menentang kaum
penjajah ini mencapai puncaknya ketika melawan penyerangan militer
Belanda yang dikenal dengan Perang Aceh (1873–1904).
Pada tanggal 5 April 1873 armada laut Belanda tiba dan menyerang
Aceh di sepanjang Pantai Ceureumen, di Ulee Lheue.12 Masjid Raya
yang menjadi sasaran pertama penyerangan Belanda dipertahankan
dengan gigih oleh tentara Aceh. Ketika para serdadu Belanda mencoba
mendekati masjid, mereka diserang oleh laskar Aceh yang bersembunyi
di balik tembok benteng.13 Oleh karena pertahanan laskar di masjid kuat,
panglima Belanda Köhler memerintahkan untuk membakar masjid dengan
melontarkan api ke arah masjid. Masjid yang beratap ijuk dan sebagian
berdinding kayu itu terbakar. Laskar Aceh terpaksa mengundurkan diri.
Akhirnya masjid dapat diduduki oleh Belanda pada tanggal 14 April 1873.
Dengan direbutnya Masjid Raya kekuatan pasukan Aceh dipusatkan
untuk mempertahankan istana Sultan Mahmud Syah. Usaha pasukan
Belanda untuk mendekati Dalam ditahan dengan sengit oleh tentara
Aceh.14 Karena kekuatan Aceh tidak dapat ditembus, maka Belanda
terpaksa mundur lagi ke masjid. Ketika Köhler sedang meneropong ke
arah Dalam (Keraton) dari depan Masjid Raya itu, tiba-tiba ia ditembak
oleh seorang laskar Aceh sehingga tewas.15 Pada agresi Belanda yang
pertama itu, pasukan Belanda mengalami kekalahan dan meninggalkan
pantai Aceh pada tanggal 29 April 1873.16

12 Belanda mengirimkan Mayor Jenderal J. H. R. Köhler dengan membawa pasukan sebesar 168 orang
perwira dan 3.198 orang serdadu, serta pasukan angkatan laut dengan 6 kapal perang di antaranya
terdapat pasukan zeni dan topografi.
13 Masjid Raya Baiturrahman pada masa perang itu dilindungi dinding tembok setinggi 2,5 m.
14 Warga Aceh menyebut kompleks istana Sultan yang dilindungi benteng di sekelilingnya, dengan
istilah “Dalam”
15 Di masa Gubernur Ibrahim Hasan, di tempat rebahnya Kohler di bawah pohon Geulumpang, dibuat
prasasti “Kohlerboom”. Jenazah Köhler dibawa ke Batavia dan dikebumikan di daerah Tanah Abang.
Pada tanggal 19 Mei 1978 tulang belulang Köhler dikuburkan kembali oleh Pemerintah Daerah
Istimewa Aceh bekerja sama dengan Pemerintah Belanda ke “Peucut” (Kerkhof), Banda Aceh. Lihat
Muhammad Hasan Basry dan Ibrahim Alfian, The Dutch Colonial War in Aceh (Banda Aceh: Pusat
Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1990), hlm. 229.
16 Dalam pertempuran ini Belanda menderita kerugian 45 orang tewas termasuk 8 perwira dan 405
luka-luka. Lihat Muhammad Hasan Basry dan Ibrahim Alfian, The Dutch Colonial War…, (1990: 27).

382 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Gambar 7.8. Gambaran Banda Aceh yang dibuat oleh Belanda pada agresi II, Belanda
memblokade Teluk Aceh dan menyerang dengan armada kapal yang banyak. Tampak
dalam image Belanda, Kota Banda Aceh dipenuhi oleh kuta-kuta (benteng pertahanan).
Sumber: KITLV

Dari gambar-gambar sketsa dan peta-peta militer Belanda pada masa


Perang Aceh, dapat direkonstruksi citra kota dan tata ruang Kota Banda
Aceh masa kolonial. Melalui sketsa peta-peta Belanda di lokasi reruntuhan
akibat perang tersebut, dapat diketahui bentuk awal denah keraton dan
Masjid Baiturrahman di masa kesultanan. Image Kota Banda Aceh yang
digambarkan Belanda ketika menyerang Aceh pada tahun 1873, dapat
dilihat pada gambar sketsa perspektif mata burung (Gambar 7.8.).
Dari banyaknya jumlah kapal yang memblokir Teluk Aceh ini dan
beberapa nama kapal yang dapat terbaca, diperkirakan dibuat sesuai
image militer Belanda terhadap kota ini pada saat ekspedisi kedua.
Pada inzet kiri adalah Jenderal Köhler, panglima ekspedisi penyerangan
pertama 1873 yang gagal dan tewas ditembak seorang laskar, dan di
kanan adalah Jenderal van Swieten panglima ekspedisi kedua (1874),
yang berhasil merebut Dalam (Keraton).
Terlihat bahwa Kota Banda Aceh digambarkan memiliki kuta-kuta
(benteng-benteng pertahanan) yang sangat banyak, dan benteng yang
terbesar tampak di tengah kota yaitu Keraton yang menjadi sasaran utama

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 383


penyerangan van Swieten. Di depan benteng keraton itu tampak Masjid
Raya di pinggir sungai yang juga dilindungi benteng yang kokoh. Benteng-
benteng itu tampak berjejer di sepanjang pantai dan di tepian Sungai
Krueng Aceh.

Koetaradja: Citra Benteng Pertahanan Militer

J. Jongejans, seorang bekas residen Belanda di Aceh (Oud-Resident van


het Gewest Atjeh en Onderhoorigheden) menulis buku berjudul Land en
Volk van ATJEH Vroeger En Nu pada tahun 1938. Menurut Jongejans, citra
Kota Koetaradja pada masa itu adalah sebagai kota kecil yang ramah dan
bersahabat, dibangun tak beraturan, dengan pepohonan rindang yang
permai dan tetumbuhan di taman yang memesona, serta memiliki pasar yang
ramai. Namun, Koetaradja juga memiliki citra kota militer karena di seantero
kota kecil ini terdapat bangunan-bangunan militer yang tersebar di mana-
mana, sehingga meski tidak disebutkan, merupakan ciri bahwa ibu kota ini
adalah kota militer.17 Hingga kini citra kota militer di kawasan Keraton dan
Neusu masih amat terasa. Kompleks militer ini sepi dari kegiatan publik.
Nama Kutaraja di era kesultanan sebenarnya adalah nama kawasan
Masjid Raya Baiturrahman beserta beberapa mukim di sekitarnya yang
berada di dalam Kota Banda Aceh. Namun, oleh Belanda kemudian nama
ini diadopsi menjadi nama ibu kota Aceh menggantikan nama lama
Banda Aceh Darussalam. Belanda mengintrodusir nama “Koetaradja” ini
untuk memberi simbol adanya “kekuasaan pusat”, walaupun penasihat
militer Belanda Dr. C. Snouck Hurgronje sebenarnya menyadari bahwa di
Aceh sejak berabad-abad tidak dikenal adanya “kekuasaan pusat” itu.18
Artinya, ide menaklukkan seluruh Aceh dengan menaklukkan pusatnya
ternyata tidaklah memberikan pengaruh yang berarti bagi negeri-negeri
federasi Aceh lainnya. Uleebalang-uleebalang dari negeri-negeri federasi ini
tetap saja terus-menerus melakukan perlawanan, meski Dalam (Keraton)
sudah berhasil diduduki Belanda. Nama Kutaraja memunculkan arketipe
pertahanan yang kuat. Kuta adalah arketipe tentang upaya melindungi diri
dari serangan, sebagaimana terjadi di mana-mana di dunia.

17 J. Jongejans, Land En Volk van ATJEH Vroeger En Nu (Baarn: Hollandia Drukkerij N.V., 1938).
18 C. Snouck Hurgronje, The Acehnese (London: Leyden, 1906).

384 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Defensive line
with forts

Military
tramway

Free fire zone


1,000 m across
cleared of all trees

4.5 (above) Dutch defensive perimeter


around Kutaraja, Aceh, 1885.

Gambar 7.9. Geconcentreerde Linie (Lini Konsentrasi). Jalur patroli militer Belanda
(1885) yang mengitari Kawasan Kutaraja dengan radius berkisar 7–10 km dari Keraton.
Sumber: Cribb, Robert, Historical Atlas of Indonesian ….. (2000)

Untuk menghadapi perlawanan‑perlawanan rakyat yang tersebar


di pelbagai daerah di luar Aceh Besar terlampau sulit dan amat banyak
memakan biaya. Oleh karenanya, Belanda lebih memusatkan perhatiannya
pada daerah-daerah yang telah dikuasainya, yaitu Kutaraja dan daerah
sekitarnya. Usaha Belanda terutama diarahkan untuk memperkuat Lini
Penutup (Afsluitings Linie). Pada akhir tahun 1875 Belanda mempunyai
deretan pos-pos pertahanan yang melingkar dimulai dari pantai melewati
Musapi, Lamprit, Kota Alam, Lueng Bata.19 Namun, pasukan pejuang Aceh
terus mengadakan penyerangan terhadap pasukan-pasukan Belanda untuk
mengacaukan dan memperlemah pos‑pos Belanda di lini penutup itu.
Pada tanggal 24 Februari 1876 pasukan Aceh menyerang kubu Belanda di
bivak Tungay, Lam Nyong dan berhasil menembak Jenderal Pel sehingga ia
tewas.20

19 Sarjono Kartodirjo, dkk, Sejarah Nasional Indonesia III (Jakarta: Balai Pustaka, 1977), hlm. 241.
20 Dalam laporan Belanda diberitakan karena ”pecah urat nadi”. Muhammad Hasan Basry dan Ibrahim
Alfian, The Dutch Colonial War…, (1990: 31).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 385


Pada 10 Maret 1876, Mayor Jenderal A. W. P. Weitzel menggantikan
Pel yang tewas. Ia melanjutkan ide Pel dengan menciptakan
”Geconcentreede Linie” (Lini Konsentrasi), yaitu serangkaian benteng di
wilayah Aceh Besar yang dihubungkan dengan lori. Lini penutup yang
dirintis oleh Pel diperluas jaringannya.

Gambar 7.10. Jenderal Pel yang membangun Lini Penutup (Afsluitings Linie) (kiri).
Mayor Jenderal A.W.P. Weitzel yang menciptakan Geconcentreerde Linie (kanan).
Sumber: Muhammad Hasan Basry dan Ibrahim Alfian, The Dutch Colonial War…, (1990).

Lini Konsentrasi ini adalah strategi perang Belanda yang amat


keliru karena sangat menguntungkan bagi pihak Aceh yang setiap saat
bisa menggempur dengan cara bergerilya, sedangkan tentara Marsose
Belanda hanya bisa berkutat berputar-putar pada kawasan sebatas lini
saja, menggunakan kendaraan patroli.21 (Gambar 7.11).

21 Snouck Hurgronje memberi kritik yang amat keras kepada pemerintah militer Belanda terhadap
ide Lini Konsentrasi ini, sampai-sampai ia pernah tidak diperbolehkan masuk ke Aceh oleh militer
Belanda. Menurut Snouck Lini Konsentrasi ini merupakan ide yang konyol, yang disebutnya sebagai
“gelijk de aap aan de ketting”. Memori orang Aceh tentang ini menyebut Blanda lagee si bén di ikat
ngon ranté, bagaikan doger monyet diikat dengan rantai. Di sekeliling Lini Konsentrasi ini kemudian
Belanda memotong semua pohon sejauh 1 km untuk menghindari serbuan pejuang Aceh.

386 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Gambar 7.11. Kendaraan Patroli Belanda di Lini Konsentrasi
Sumber: A. Doup, Gedenboek van het Korp Marechausse van Atjeh en Onderhoorigheden, 1890–2
April 1940 (Medan: N.V. De Deli Courant, 1941).

Di luar Aceh Besar, Belanda belum sanggup menguasai keadaan,


negeri-negeri tepi pantai ini selalu membantu pasukan-pasukan Aceh,
baik dengan tenaga, perlengkapan perang maupun bahan makanan. Jalur
kereta api yang dibangun Belanda untuk keperluan militer itu seringkali
berhasil dirusak oleh laskar Aceh.
Oleh karena itu, “Jeundran buta siblah” van der Heyden mengadakan
pengawasan keras pada kawasan tepi pantai. Ia menutup pelabuhan-
pelabuhan di pantai Aceh, kecuali Ulee Lheue dan Idi. Hanya kedua
tempat itu yang terbuka untuk ekspor impor dengan memakai surat
izin. Transportasi rakyat Aceh melalui jalur perairan akhirnya terputus.
Sejak adanya tindakan politik kolonial Belanda menutup pelabuhan-
pelabuhan kota pesisir Aceh inilah budaya maritim di Aceh memudar dan
kemakmuran rakyat Aceh merosot drastis dan berlangsung terus hingga
sekarang.
Setelah berhasil merebut Dalam (Keraton), Belanda segera
membangun sarana berupa:
1) Kompleks militer berupa barak-barak untuk prajurit dan perumahan
perwira militer kolonial Belanda di sekitar kawasan Keraton, Neusu,
dan Kota Alam;
2) Masjid Raya Baiturrahman, dalam rangka politik etis mengambil hati
rakyat untuk menggantikan masjid yang dibakar;

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 387


3) Pendopo Gubernur Jenderal Belanda, rumah-rumah pejabat,
gedung-gedung kantor pemerintahan kolonial, gereja, rumah sakit,
sekolah, pasar, kantor pos, dan lain-lain.
Tata ruang kota yang dibangun oleh militer Belanda ini menghilangkan
tata ruang Kota Banda Aceh di masa kesultanan. Hal ini merupakan tindakan
politik kolonial untuk menghapus memori kewibawaan Kesultanan Aceh
di mata rakyat, yaitu dengan mendirikan bangunan kantor di atas makam
Sultan Iskandar Muda; mengurung Kandang XII (makam raja-raja Aceh) di
dalam susunan barak militer; membangun jaringan jalan untuk merusak
tata ruang kompleks Dalam dan Taman Bustanussalatin.
Tindakan politik Belanda ini membuat hubungan antara Dalam istana
kesultanan dengan Pinto Khop dan Gunongan yang berada di dalam
Taman Bustanussalatin menjadi terpisah-pisah, sehingga menyulitkan kita
untuk memahami tatanan ruang Keraton di masa kesultanan. Penguasa
kolonial Belanda juga membangun Jembatan Pante Perak dan Peunayong
untuk kebutuhan logistik militer Belanda, dengan konstruksi tiang-tiang
penyangga jembatan di dalam sungai, sehingga menghalangi lalu lintas
atau transportasi perahu warga Aceh.
Di dalam peta Koetaradja 1907, masih terlihat kompleks tentara
berada di kawasan bekas Dalam Keraton Aceh, yang dikelilingi oleh pagar
benteng buatan Belanda dengan rumah jaga di keempat sudutnya. Saat
ini, baik kuta yang mengelilingi Dalam Keraton Aceh maupun pagar
benteng militer buatan Belanda itu sudah tidak terlihat lagi.
Peta Koetaradja tahun 1907 (Gambar 7.12.) adalah peta sebelum
gedung De Javasche Bank (DJB) didirikan, menggambarkan tindakan
politik militer Belanda dalam merancang tata ruang kota ini, dengan
membangun sarana dan prasarana kebutuhan milter, kebutuhan sipil dan
kebutuhan swasta (pribadi). Untuk kebutuhan militer, kolonial Belanda
membangun sarana dan prasarana (infrastruktur kota) berupa22:

22 Nomor-nomor bangunan mengikuti nomor-nomor yang ada dalam Peta Koetaradja 1907.

388 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


U

Gambar 7.12. Peta Koeta Radja 1907


Sumber: Vader P. J. van Voorst, “De Drinkwatervoorziening van Koetaradja”, The Ingenieur, Vol. 22
(15), 1907.

Bangunan Militer 21. Fasilitas perawatan kuda sakit 34. Tempat pemotongan hewan
1-5. Kompleks perumahan perwira 22. Bangunan isolasi penyakit (Abattoir)
dan barak garnisun batalion menular 35. Workshop pekerjaan umum
infanteri. 23. Istal kuda (kondisi rusak) (B.O.W) dan perumahan
6. Workshop zeni militer 24. Rumah Sakit Militer pegawai
7. Gudang senjata 25. Komplek perumahan
8. Bengkel pembuat senjata paramedis Rumah Sakit Bangunan Swasta (Partikelir)
9. Kantor telepon pusat Militer 36. Hotel Atjeh
10. Perkantoran pemerintahan 37. Pasar
kolonial Bangunan Sipil 38. Sekolah HIS (Hollandsch
11. Kantor Pengawas Keuangan 26. Rumah (pendopo) Gubernur Inlandsche School)/Sekolah
12. Halte trem dan pabrik es Jenderal Belanda untuk bumiputra
13. Stasiun trem 27. Kantor staf pemerintahan 39. Rumah penduduk
14. Gudang kolonial 40. Gereja Protestan
15. Tempat kerja paksa 28. Kantor Asisten Residen Tanah 41. Kantor layanan sosial
Gayo 42. Penginapan/losmen
16. Perusahaan kereta api
29. Kantor administrasi sipil 43. Masyarakat
17. Barak kuli (tukang) trem
30. Kantor pos 44. Gereja Katolik
18. Barak kavaleri
31. Sekolah Rakyat 45. Percetakan Aceh, rumah dan
19. Barak zeni militer
32. Masjid Raya Baiturrahman toko untuk perorangan
20. Barak militer cadangan
33. Penjara

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 389


Selain yang sudah tercatat pada nomor-nomor dalam peta di atas,
ada beberapa prasarana kota penting lainnya yang dibangun Belanda,
yaitu:
1) Jaringan jalan dan jembatan, yaitu Jembatan Pante Perak dan
Jembatan Peunayong di Krueng Aceh, dan beberapa jembatan kecil
di Krueng Daroy;
2) Kuburan Kerkhof untuk militer Belanda;
3) Reservoir (R) untuk kebutuhan air bersih penduduk kota dan
reservoir (S) untuk kebutuhan rumah sakit militer yang didatangkan
dari sumber mata air di Mata Ie.

Ragam Langgam Arsitektur Kolonial di Koetaradja

Bangunan peninggalan Belanda di Banda Aceh tidaklah sebanyak di kota-


kota besar lainnya seperti Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, atau
Surabaya. Hal ini dikarenakan Belanda baru memasuki Aceh tahun 1873
atau dua abad setelah Belanda menjajah wilayah Jawa sejak abad ke-
17. Peperangan yang terus-menerus dilakukan oleh rakyat Aceh melawan
Belanda juga menyebabkan kesempatan Belanda untuk membangun
sarana dan prasarana sangat terganggu. Namun demikian, ada beberapa
bangunan peninggalan Belanda yang bernilai sejarah dan memiliki
langgam arsitektur kolonial yang khas sehingga dapat memberi tambahan
ragam citra arsitektur di kota ini.
Sejak Belanda menduduki Koetaradja, hingga akhir abad ke-19
umumnya perancang bangunan-bangunan Belanda adalah arsitek dari
kalangan Zeni militer Belanda, yang menerapkan arsitektur Indis di
Koetaradja.
Menurut Handinoto langgam arsitektur kolonial dibagi menjadi tiga,
yaitu:23

23 Handinoto. Arsitektur dan Kota-kota di Jawa pada Masa Kolonial (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010).

390 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


a. Langgam Indische Empire (1870–1900)
Langgam arsitektur Hindia Belanda yang berkembang pada abad ke-19
merupakan pengaruh dari arsitektur H. W. Daendels, Gubernur Jenderal
Hindia Belanda pada periode 1808–1811. Daendels mengangkat arsitektur
yang monumental mengambil model arsitektur yang berkembang di
Prancis pada periode Napoleon. Langgam ini kemudian dikenal sebagai
Indische Empire, berasal dari langgam empire di Prancis yang kemudian
disesuaikan dengan kondisi iklim di Hindia Belanda.24
Ciri-ciri arsitektur langgam “empire” pada masa itu antara lain
adalah denah yang berbentuk simetris dan di tengahnya terdapat ruang
tengah yang berhubungan dengan beberapa kamar. Ruang tengah ini
juga berhubungan dengan teras depan serta teras belakang yang luas dan
terdapat deret kolom berlanggam Yunani atau Romawi. Bangunannya
berskala besar dan biasanya terdapat lahan untuk taman di depan dan
belakang bangunan.

b. Langgam Transisi (1900–1920)


Langgam arsitektur Transisi merupakan bentuk kompromi dari arsitektur
Modern yang berkembang di Belanda pada waktu itu yang disesuaikan
dengan iklim tropis di Indonesia. Tidak jarang bangunan-bangunan
pada langgam ini mengambil elemen-elemen tradisional setempat untuk
diaplikasikan ke dalam bentuk arsitekturnya. Adapun kebangkitan langgam
arsitektur ini dimulai oleh seorang arsitek Neo-Gotik asal Belanda, P. J.
H. Cuypers (1827–1921), dan kemudian dilanjutkan oleh keponakannya
arsitek Eduard Cuypers (1859–1927). Pada tahun 1910 di masa transisi
ini, Ed Cuypers bersama Hulswit dan Fermont mendirikan Biro Arsitek N.V.
Architecten-Ingenieursbureau Hulswit en Fermont te Weltevreden en Ed.
Cuypers te Amsterdam dan merancang sekitar 100 karya arsitektur, di
antaranya gedung-gedung De Javasche Bank yang didirikan di beberapa
kota besar di Indonesia.

24 Bank Indonesia Institute. Harmoni dalam Perbedaan Bank Indonesia dalam Dinamika Ekonomi Solo
Raya (Jakarta: Bank Indonesia Institute, 2019).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 391


c. Langgam Indo-Eropa (1920–1940)
Langgam arsitektur Indo-Eropa berkembang sesudah tahun 1920-an,
disebut juga dengan nama Nieuwe Bouwen. Penerapan langgam ini pada
bangunan disesuaikan dengan iklim serta tingkat teknologi setempat.
Sebagai cikal bakal dari International Style, langgam arsitektur ini juga
berkembang di Jerman, Belanda, dan Prancis.
Langgam Arsitektur Indis yang merupakan asimilasi atau campuran
dari unsur-unsur Neoklasik Belanda dipadukan dengan unsur tropis dan
budaya Indonesia, menghasilkan langgam Hindia Belanda bercitra kolonial
disesuaikan dengan lingkungan lokal, iklim, dan material yang tersedia
pada masa itu.
Pada abad ke-20 Hindia Belanda kedatangan arsitek-arsitek
profesional yang mendapatkan pendidikan arsitektur formal untuk
menggantikan para arsitek di Hindia yang sebelumnya adalah para perwira
Zeni. Dari Eropa, mereka juga membawa ide-ide seni arsitektur yang baru.
Sejak saat itu, ada usaha untuk mencari arsitektur yang sesuai bagi Hindia
Belanda. Beriringan dengan hal itu, ide-ide dari arsitektur modern mulai
muncul dan masuk bersamaan dengan adaptasi modernisme terhadap
iklim tropis.
Terkadang sulit mencari riwayat arsitek dari kalangan Zeni, seperti
de Bruijn arsitek Masjid Raya Baiturrahman. Ada satu foto seorang
letnan marsose bernama de Bruijn yang tewas di Nagan. Namun, tidak
ada tulisan yang menautkan Letnan de Bruijn yang tewas itu dengan
rancangan Masjid Raya. Demikian pula tidak ada penjelasan lain tentang
karya de Bruijn pada bangunan lain, satu-satunya hanya keterangan
tentang Masjid Raya yang dirancang oleh arsitek de Bruijn.25 Mungkin saja
seorang prajurit Zeni tidak dianggap sebagai arsitek, tetapi lebih sebagai
drafter yang hanya mengikuti arahan para Jenderal atasannya.

25 Pembangunan Masjid Raya oleh Belanda itu tidak saja mendapat penolakan oleh rakyat di Aceh pada
awalnya, tetapi juga ada penolakan dari bangsa Belanda sendiri yang tidak menyukai militer Belanda
membangun masjid untuk umat Islam di Aceh. Pencantuman nama de Bruijn sebagai arsiteknya
mungkin saja suatu tindakan politis belaka.

392 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Gambar 7.13. Luitenant H. P. de Bruijn yang tewas saat pertempuran di Nagan,
Aceh, tahun 1902. Namun, tidak ada keterangan yang mengaitkan letnan ini dengan
rancangan Masjid Raya.
Sumber: A. Doup, Gedenboek van het Korp Marechausse van Atjeh en Onderhoorigheden, 1890–2
April 1940 (Medan: N.V. De Deli Courant, 1941).

Arsitektur Indis (Indische Architectuur) yang merupakan gabungan


antara langgam arsitektur lokal dengan arsitektur kolonial, memiliki
karakter antara lain sebagai berikut.
• Denah simetris satu lantai, terbuka, pilar di serambi depan dan
belakang, dan di dalamnya terdapat ruang tengah yang besar
menuju ruang-ruang lainnya.
• Pilar menjulang ke atas langgam neoklasik Yunani dan terdapat
gevel (mahkota) di atas serambi depan dan belakang.
• Menggunakan atap perisai.
Beberapa inovasi dalam desain arsitektur Indis untuk menyesuaikan
dengan iklim tropis adalah26:

26 Sidharta, Arsitektur dan Pendidikannya (Semarang: Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas
Diponegoro,1998).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 393


• Membuat beranda terbuka di depan, belakang, atau sekeliling
bangunan;
• Overhang yang lebar untuk melindungi permukaan dinding dan
jendela dari sinar matahari langsung dan hujan;
• Ketinggian plafon 4 m dan ventilasi alamiah di atas pintu dan jendela;
• Taman tropis dengan pepohonan yang cukup.
Berikut ini beberapa aset pusaka bangunan kolonial Kota Banda
Aceh beserta uraian ragam langgam arsitekturnya:
1. Masjid Raya Baiturrahman
Masjid Raya Baiturrahman yang dibangun pada masa kesultanan pernah
dibakar oleh pasukan Belanda pada saat serangan agresi pertama tahun
1873. Sebagai upaya rekonsiliasi untuk mengurangi tekanan perlawanan
rakyat Aceh, Belanda membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman
yang dimulai pada tanggal 9 Oktober 1879. Masjid ini dirancang oleh
arsitek Genie Marechausse (Zeni militer Belanda) bernama de Bruijn
dengan berkonsultasi kepada Snouck Hurgronje dan penghulu Masjid
Agung Bandung K.H. Hasan Mustapha. Desain masjid ini sangat eklektik,
menggabungkan banyak unsur langgam arsitektur Eropa, Mogul, Magribi,
dan unsur tropis. Pembangunan masjid yang memiliki satu kubah dan luas
lantai mencapai 624 m2 ini memakan waktu dua tahun dan menghabiskan
biaya 200.000 gulden Belanda.

Gambar 7.14. Kiri dan tengah: Masjid Baiturrahman dengan satu kubah dan denah
berbentuk salib karya arsitek zeni militer de Bruijn selesai tanggal 27 Desember 1881,
memadukan beragam langgam arsitektur: Mughal-Magribi-Neoklasik-Tradisional
Belanda dan arsitektur Tropis; Kanan: Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh saat ini,
dengan 7 kubah.
Sumber: J. Kreemer, De Groote Moskee te Koeta-Radja (Met Acht Photo’s en Een in Nederlandsh Indie
Old & Nieuw (NION), Amsterdam, 1921, hlm. 68 (kiri) dan 72 (tengah); Public Domain (kanan)

394 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Denah awal masjid karya de Bruijn berbentuk salib dengan empat
sayap depan belakang samping kiri dan kanan yang sama besar.27 Desain
tersebut sangat ganjil untuk sebuah bangunan masjid. Selain itu, adanya
paham bahwa beribadah di tempat yang dibangun oleh kaphe28 adalah
perbuatan yang sia-sia, juga membuat masyarakat Aceh ragu untuk
beribadah di masjid tersebut pada masa itu.
De Bruijn mempelajari arsitektur masjid dari majalah-majalah yang
diterbitkan di India dan Timur Tengah, sehingga dalam karyanya terhimpun
berbagai langgam arsitektur, yaitu arsitektur Mughal pada kubahnya dan
ornamen-ornamen yang menghiasi dinding ruangan bermotifkan sulur-
sulur dan pucuk daun, langgam neoklasik Eropa dan langgam Cordoba-
Magribi terlihat pada kolom-kolomnya dan pada bidang-bidang lengkung
antar kolom-kolomnya.
Langgam arsitektur tradisional Belanda tampak pada dinding
samping berundak (stepped gable) dengan jam dinding di tengah-
tengahnya. Demikian pula pada bentuk dan ukiran jendela-jendelanya
juga berlanggam Eropa, bahan atap kubahnya dari sirap kayu, sedangkan
bentuk atap pada keempat sisinya bernuansa tropis dengan genteng
keramik terbuat dari tanah liat, begitu pula pada lingkaran bawah
kubah ada teritisan yang cukup lebar. Masjid Baiturrahman mengalami
beberapa kali perluasan sejak selesai dibangun pada 27 Desember 1881.
Seiring dengan bertambahnya jamaah, pada tahun 1936 masjid diperluas
menjadi tiga kubah dengan dukungan dari Gubernur Jenderal A. P. H van
Aken. Bangunan masjid diperluas dengan menambahkan dua kubah pada
sisi kanan dan kiri yang memiliki bentuk dan ukuran yang sama dengan
kubah sebelumnya, tetapi tinggi kubah yang baru lebih rendah daripada
kubah yang berada di tengah.
Di awal era Orde Baru, pada tahun 1967 masjid ini diperluas kembali
menjadi lima kubah dengan dilengkapi dua buah menara. Pengembangan
masjid masih berlanjut pada tahun 1994 dengan adanya penambahan

27 Luas keempat denah lantai sayap masing-masing 120 m2, sedangkan luas denah ruang tengahnya
sebesar 12x12 m2 =144 m2, sehingga total luas Masjid Raya Baiturrahman satu kubah itu adalah 624
m2.
28 Sebutan bagi orang kafir.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 395


dua kubah menjadi total tujuh buah kubah untuk memenuhi jumlah
jamaah yang semakin banyak. Selanjutnya di masa Gubernur Ibrahim
Hasan ditambahkan pula sebuah menara di depan masjid setinggi 45
meter yang diberi nama “Menara Daerah Modal”.29
Pada saat terjadi bencana gempa dan tsunami tahun 2004, masjid
ini tidak mengalami kerusakan berarti. Saat itu gelombang tsunami tidak
sampai masuk ke dalam bangunan masjid, sehingga warga banyak yang
berlindung dan mengungsi ke Masjid Raya Baiturrahman. Saat ini pada
bagian depan dan samping Masjid Raya Baiturrahman sudah dilengkapi
dengan dua belas payung raksasa dengan desain seperti yang terdapat
pada Masjid Nabawi di Madinah. Masjid yang semula pernah ditolak
warga karena dibangun oleh Belanda, kini telah mengalami perubahan
yang signifikan dan tumbuh menjadi masjid kebanggaan rakyat Aceh.

2. Pendopo Keraton
Pada penyerangan Belanda yang kedua tahun 1874, Belanda berhasil
merebut Dalam yaitu kompleks Keraton yang dikelilingi benteng dan
kolam parit pengaman di sekelilingnya.

Gambar 7.15. Pendopo Gubernur Jenderal Belanda yang didirikan di bekas tapak
Keraton Aceh, yang arsitekturnya mirip dengan istana Cipanas (Kiri); Interior Pendopo
Gubernur Aceh saat ini (kanan).
Sumber: Muhammad Hasan Basry dan Ibrahim Alfian, The Dutch Colonial War…, (1990)

29 Wawancara penulis dengan Prof. Ibrahim Hasan pada 15 Oktober 2003.

396 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Setelah berhasil merebut Dalam, kolonialis Belanda
membumihanguskan keraton Sultan Aceh. Makam-makam sultan
disembunyikan untuk menghilangkan kewibawaan Sultan di mata rakyat.
Makam Iskandar Muda dibenamkan di bawah fondasi sebuah bangunan
kantor staf pemerintah militer. Kompleks pemakaman Kandang XII30,
dikurung di dalam kompleks asrama tentara Belanda. Setelah meratakan
Dalam yang merupakan kompleks Meuligoe Kesultanan Aceh, Belanda
kemudian mendirikan bangunan baru di tempat itu berupa pendopo
Gubernur Jenderal Belanda yang arsitekturnya mirip dengan Istana
Cipanas, berlanggam arsitektur Indis kolonial Belanda. Pendopo Gubernur
Jenderal yang didirikan di bekas lokasi Meuligoe Sultan Aceh ini sangat
memperhatikan iklim tropis.
Bangunan pendopo tersebut bernuansa tropis yang kental, memiliki
ruang serambi depan yang luas dan terbuka, di bagian depannya terdapat
gevel berbentuk segitiga, yang menjadi ciri bangunan kolonial militer
Belanda. Ruang-ruang interiornya tinggi, jendelanya sangat banyak,
tinggi ukurannya dan menggunakan jalusi kayu, sehingga ventilasi aliran
udaranya terasa nyaman untuk bangunan yang berada di lokasi Kutaraja
yang panas udaranya. Atap bangunan ini terbuat dari bahan sirap kayu,
tiang kolom dan sebagian besar dindingnya juga terbuat dari papan kayu
yang kuat dan awet bertahan sangat baik, sustain hingga sekarang.
Sekeliling bangunan keraton ini ditanami pepohonan rindang sehingga
menambah suasana nyaman di dalam bangunan.
Seperti halnya istana Cipanas,31 langgam arsitekturnya tidak
terkesan megah, tetapi anggun karena bangunannya bercirikan khas
langgam tradisional; sebagian besar bangunan terbuat dari papan dan
kayu. Tampak adanya upaya pelestarian kekhasan bangunan ini karena

30 Kandang XII merupakan kompleks pemakaman 12 sultan-sultan Aceh sejak abad ke-15, sebelum
pemerintahan Iskandar Muda (1606–1636), salah satunya adalah makam Sultan Ali Mughayatsyah,
tokoh pemersatu kerajaan-kerajaan Aceh (1514–1530).
31 Istana Kepresidenan Cipanas bermula dari sebuah bangunan yang didirikan pada tahun 1740 oleh
seorang tuan tanah Belanda, bernama van Heots. Sejak masa pemerintahan Gubernur Jenderal G.
W. Baron van Imhoff (1743), bangunan itu kemudian dijadikan tempat peristirahatan para Gubernur
Jenderal Belanda. https://www.setneg.go.id/baca/index/istana_cipanas_dijadikan_posko_pasca_
gempa_1

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 397


pemugaran atau renovasi yang dilakukan tidak pernah mengganggu
langgam arsitektur pendopo tersebut.

3. Gedung Baperis
Gedung Baperis (Badan Pembina Rumpun Iskandar Muda) dibangun
oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1883, sebagai kantor B.O.W
(Kantor Dinas Pekerjaan Umum). Gedung ini terbuat dari batu dan kayu
yang tinggi, dan pintu serta jendelanya terbuat dari kayu tebal. Gedung
Baperis yang berlanggam arsitektur Indis ini merupakan salah satu simbol
perjuangan berdirinya Republik Indonesia karena di sini adalah tempat
pertama kalinya bendera Merah Putih dikibarkan setelah proklamasi
kemerdekaan.32

Gambar 7.16. Gedung Baperis/Gedung Juang


Sumber: situsbudaya.id

4. Perumahan Tentara di Neusu dan Keraton


Saat Belanda menguasai Aceh, Belanda membangun wilayah perumahan
untuk perwira militernya di daerah Neusu, Keraton, dan Kota Alam.
Perumahan tentara ini menunjukkan ciri khas kolonial berlanggam arsitektur

32 “Gedung Juang Aceh”, 2019, https://situsbudaya.id/3711-2/ (diakses pada 29 Mei 2020).

398 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Indis yang memperlihatkan kekuatan kombinasi desainnya terhadap iklim
tropis dan arsitektur Nusantara. Arsitektur bangunannya memiliki sayap,
langit-langit tinggi, bukaan pintu dan jendela yang lebar, dan area servis
yang terletak di belakang bangunan induk yang dihubungkan dengan
selasar. Bangunan perumahan tersebut menggunakan konstruksi kayu
dengan model rumah panggung.
Material kayu yang digunakan dalam membuat bangunan ini
berkaitan erat dengan berlimpahnya sumber kayu di Aceh saat itu. Selain
itu, kondisi Aceh yang sering dilanda gempa juga berkaitan dengan
penggunaan material kayu, karenanya dibutuhkan bahan yang ringan
tetapi kuat untuk membangun rumah. Demikian pula rumah panggung
dapat mengantisipasi datangnya banjir yang sering terjadi di Koetaradja
saat musim hujan. 33

Gambar 7.17. Rumah Militer Neusu di Koetaradja


Sumber: KITLV

Kawasan Neusu dan Keraton menjadi bagian penting dari strategi


lini konsentrasi Belanda dalam kaitannya dengan tata kota yang

33 Maisal Gusri Daulay, Husaini, Teuku Abdullah, “Pemukiman Militer Peninggalan Belanda di Banda
Aceh (Kajian Komparasi Perkembangan Pemukiman Militer di Neusu Jaya dan Kuta Alam, 1900–
2015)”. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala, 2(2), 2017, hlm.
125.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 399


direncanakan oleh Militer Belanda. Belanda membangun rumah dengan
konstruksi panggung disebabkan oleh dua hal, yaitu untuk mengantisipasi
bahaya banjir dan gempa bumi. Bangunan dengan konstruksi panggung
cenderung lebih aman dibandingkan bangunan yang langsung dibangun
di atas tanah. Saat ini kondisi perumahan tentara di Neusu masih terawat
rapi di bawah kendali Kodam I Iskandar Muda.

5. Rumah Teuku Nyak Arif, Lamnyong


Rumah Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arif, Residen Aceh yang pertama,
merupakan rumah dengan langgam arsitektur Indis yang terbuat dari
kayu. Serupa dengan ciri-ciri arsitektur bangunan perumahan tentara
kolonial di Neusu, konstruksi bangunan ini terbuat dari kayu dengan
langit-langit tinggi, beratap perisai, terdapat banyak bukaan dan model
rumah panggung. Penggunaan material kayu pada bangunan rumah
sangat sesuai untuk daerah ini karena bahannya ringan, namun kuat.
Atap bangunan ini juga terbuat dari bahan sirap kayu, dinding-dindingnya
juga terbuat dari papan kayu yang kuat dan awet bertahan sangat baik
hingga sekarang.

Gambar 7.18. Rumah Teuku Nyak Arif


Sumber: wordpress.com

Diperkirakan rumah milik T. Nyak Arif ini awalnya adalah kediaman


Jenderal Pel. Pada masa kepemimpinan Jenderal Pel tahun 1874, pihak
Belanda pernah dikepung oleh para pejuang Aceh. Namun, Belanda
hanya bisa bertahan di kubunya dalam menghadapi serangan pejuang

400 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Aceh yang kian meningkat. Jenderal Pel yang berusaha menaklukkan Aceh
sampai berputus asa karena tangguhnya pejuang Aceh dalam berperang.
Pada tanggal 25 Februari 1876, ia tertembak mati di Lamnyong. Jasad
Jenderal Pel dikuburkan di kompleks Peucut atau Kerkhof.34

6. Kerkhof

Gambar 7.19. Kuburan Belanda (Kerkhof) di masa kolonial (kiri); dan masa kini (kanan).
Sumber: A. Doup, Gedenkboek van het Corps Marechausse, 1940 (kiri) dan kebudayaan.kemdikbud.
go.id (kanan)

Pada gerbangnya yang berlanggam neoklasik dicantumkan daftar


nama-nama prajurit Belanda yang tewas. Jumlah tentara Belanda
yang dimakamkan di sini mencapai sekitar 2.200 orang. Pada masa
kolonial Belanda, peperangan antara Aceh melawan Belanda banyak
menimbulkan korban dari kedua belah pihak. Pada tahun 1880 Belanda
mengalihfungsikan Makam Peutjoet35 menjadi pemakaman massal untuk
tentara Belanda dan namanya diganti menjadi Kerkhof. Makam Jenderal
Kohler yang tewas tertembak di depan Masjid Baiturrahman juga terdapat
di Kerkhof. Kini, Kerkhof menjadi salah satu bukti sejarah perlawanan
rakyat Aceh melawan Belanda dan menjadi salah satu tempat wisata
sejarah di Aceh.

34 Kamal A. Arif dan Salmawaty, Banda Aceh Heritage, Jalur Jejak Budaya dan Tsunami (Banda Aceh:
Pemerintah Kota Banda Aceh, 2013).
35 Makam Peutjoet berawal dari makam putra Sultan Iskandar Muda yang mendapat hukuman oleh
pengadilan di masa kesultanan, menarik untuk melihat bahwa tatanan kuburan Belanda mengikuti
arah kiblat dari makam ini. Beberapa nama prajurit Belanda yang tercantum pada daftar nama di
dinding gerbang Kerkhof ada yang dapat diduga berasal dari keluarga muslim, sehingga kuburnya
juga menghadap kiblat.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 401


7. Gedung SMA Negeri 1

Gambar 7.20. Gedung SMAN 1 Banda Aceh berlanggam Neoklasik Yunani, dibangun
pada 1878, selamat dari tsunami 2004.
Sumber: wordpress.com

Gedung SMA Negeri 1 Banda Aceh merupakan salah satu gedung


peninggalan kolonial Belanda, terletak di depan Lapangan Blang Padang.
Gedung ini telah ada sejak tahun 1878 bercirikan langgam arsitektur
Indische Empire––neoklasik Yunani dengan barisan kolom-kolom
berlanggam Doric yang kokoh yang menopang gevel segitiga di atasnya.
Gedung ini pada awalnya menjadi tempat berkumpulnya kaum
teosofi Belanda, yang kemudian pernah digunakan sebagai sekolah
MULO,36 terdiri dari tiga massa bangunan yang simetris dihubungkan
dengan ruang koridor penghubung di bagian belakang. Setelah Indonesia
merdeka, pada tahun 1946 gedung ini difungsikan sebagai Sekolah
Menengah Atas yang melahirkan sejumlah pemimpin dan tokoh penting
Aceh. Saat tsunami 2004 gedung ini selamat dan masih berdiri, dan
dipugar kembali pada tahun 2005.37

36 Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, yaitu Sekolah Menengah Pertama pada masa pemerintah kolonial
Belanda di Indonesia.
37 Pemugarannya disponsori oleh International Association of Conference Interpreters (AIIC) Geneva,
Switzerland.

402 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


8. Gereja Katolik

Gambar 7.21. Gereja Katolik Hati Kudus ketika baru selesai dibangun tahun 1927.
Gereja ini juga dirancang oleh Biro arsitek N.V. Architecten-Ingenieursbureau Hulswit
en Fermont te Weltevreden en Ed. Cuypers te Amsterdam yang merancang DJB Banda
Aceh pada 1915.
Sumber: Obbe Norbruis. Architecture from The Indonesia Past…, (2020). https://issuu.com/kitpublishers/
docs/architecture_from_the_indonesian_past_inkijkexempl

Gereja Katolik ini terletak di Simpang Lima, di ujung Jembatan Pante


Pirak, merupakan bangunan Belanda di tepian sungai yang dirancang
oleh Biro Arsitek N.V. Architecten-Ingenieursbureau Hulswit en Fermont
te Weltevreden en Ed. Cuypers te Amsterdam.38 Gereja Katolik Hati
Kudus diresmikan pemakaiannya pada 26 September 1926. Pada desain
Gereja ini telah terlihat prinsip-prinsip aliran indis modern (Indo-Eropa
1920–1940)39 yang lebih fungsional, meninggalkan neo-gothic dan neo-
renaissance yang sering terlihat pada desain gereja Belanda karya P. J.

38 Obbe Norbruis. Architecture from The Indonesia Past. Life and works of Fermont-Cuypers in the
Indonesian archipelago 1927-1957 (n.p.: LM Publisher, 2020). https://issuu.com/kitpublishers/docs/
architecture_from_the_indonesian_past_inkijkexempl
39 Handinoto. Arsitektur dan Kota-kota di Jawa pada Masa Kolonial (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 403


H. Cuypers40. Bangunan gereja rancangan Ed. Cuypers & Hulswit ini
merepresentasikan langgam transisi dan langgam Indo-Eropa, di mana
terjadi peleburan antara langgam arsitektur Belanda dengan elemen-
elemen lokal, sehingga menjadi kontekstual dengan iklim tropis. Pada
puncak menara terdapat windwijzer, penunjuk arah angin berbentuk
ayam. Gedung gereja ini memiliki ventilasi yang baik, beratap perisai
dan menggunakan genting tanah liat. Gereja dengan dinding berwarna
krem dan ornamen kaca warna-warni yang dibangun Belanda ini meski
berlanggam arsitektur Indis modern namun telah dirintis sejak lama tahun
1885 dan Pastor pertamanya adalah Henricus Verbraak yang juga seorang
tentara Belanda.41 Pada awalnya gereja ini adalah sebuah kapel kecil “Hati
Kudus” yang diperuntukkan bagi kebutuhan kerohanian tentara kolonial
Belanda. Namun, seiring berjalannya waktu gereja ini semakin terbuka
dengan diperbolehkannya masyarakat sipil, seperti warga pribumi,
pegawai pemerintah, dan warga Tionghoa, untuk beribadah di sana.42

9. Stasiun Kereta Api

Gambar 7.22. Stasiun Kereta Api Koetaradja


Sumber: S. A. Reitsma, Staatsspoor en Tramwegen Nederlandsch Indie 1875 6 April 1925 (1925).

40 P. J. H Cuypers (1827–1921) adalah arsitek Gereja Belanda yang terkenal, paman dari arsitek Ed.
Cuypers.
41 Pastor Verbraak ke Aceh pada Juni 1874. Patung Pastor Henricus Verbraak terdapat di Taman
Maluku, Kota Bandung.
42 Slamet Wiyono, “Gereja Katolik Hati Kudus Banda Aceh, Berawal dari Gereja Tentara Kolonial”,
Tabloid Reformata 16–31 Juli, 2008, hlm. 25.

404 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Stasiun kereta api Aceh berlanggam arsitektur Indis dibangun pertama kali
pada awal kependudukan Belanda tahun 1874. Lokasi stasiun ini berada
tepat di hadapan Masjid Raya Baiturrahman. Stasiun ini berfungsi sebagai
portal distribusi logistik militer Belanda. Rel sepanjang lima kilometer
dengan lebar 1,1 meter dibangun untuk menghubungkan pusat kota
Banda Aceh dengan Pelabuhan Ulee Lheue.43 Sepuluh tahun setelah itu,
dibangun kembali rel kereta api antara Lambaro dan Lamnyong yang
mengitari Kota Banda Aceh. Rel yang dibuat untuk tujuan patroli militer ini
juga dikenal dengan sebutan ‘Lini Konsentrasi’. Jalur kereta ini diteruskan
hingga tersambung dengan Pelabuhan Ulee Lheue dari arah barat.
Pada awal abad ke-20 pembangunan rel kereta api dilanjutkan
hingga keluar kota bagian timur Aceh, melewati Kota Sigli, Bireuen,
Lhokseumawe, Langsa, hingga ke Medan. Namun, karena sudah tidak
lagi beroperasi, masyarakat Aceh banyak yang tidak mengetahui tentang
keberadaan kereta api di Aceh. Jenis angkutan ini beserta seluruh relnya
pun telah musnah. Saat ini lokasi stasiun ini telah menjadi taman kota
di seberang pagar depan Masjid Raya Baiturrahman. Stasiun Kereta Api
Koetaradja ini sudah dibongkar, setelah Kereta Api tidak lagi beroperasi
di Kota Banda Aceh. Pada bekas lokasi itu ada penanda berupa plakat
bertuliskan tentang stasiun kereta api ini dalam tiga bahasa, Aceh,
Indonesia, dan Inggris.

10. Jembatan Pante Perak


Jembatan Pante Perak menyeberangi Krueng Aceh sepanjang kurang
lebih 100 meter dan menghubungkan kawasan Kota Lama dengan
kawasan Simpang Lima Banda Aceh. Diperkirakan, pada masa dahulu,
Pante Perak merupakan Peukan Aceh, suatu area perdagangan domestik
dan internasional. Para pedagang dan pendatang harus menunggu di
sini sebelum menghadap Sultan. Pada masa itu Pante Perak terhubung
dengan Istana dengan menggunakan perahu, melalui anak sungai buatan
Krueng Daroy, bukan oleh jembatan.44 Pada masa perang Belanda di
Aceh, tentara Belanda yang mendarat di Aceh membuat jembatan untuk

43 Kamal A. Arif dan Salmawaty, Banda Aceh Heritage…, (2013).


44 Kamal A. Arif dan Salmawaty, Banda Aceh Heritage…, (2013).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 405


Gambar 7.23. Jembatan di atas Krueng Aceh di Pante Perak, Koetaradja (1880)
Sumber: KITLV

menyeberangi Krueng Aceh dan menguasai Dalam.45 Pembangunan


jembatan oleh Belanda membuat sungai Aceh (Krueng Aceh) tidak lagi
dapat dilalui dan mengakibatkan perdagangan menggunakan jalur sungai
di Aceh menjadi berhenti.
Saat ini di seberang jembatan terdapat Gereja Katolik Roma dan
komplek kantor KODAM Iskandar Muda, dan di dekat Jembatan Pante
Pirak terdapat Gedung Corps Polisi Militer (CPM) pada bagian kawasan
kota lama. Di dalam salah satu peta pasukan artileri Belanda saat perang
1874, pada tapak gedung CPM tersebut masih terlihat tulisan Peukan
Aceh46, yang kemudian menjadi benteng pertahanan Panglima Polim saat
perang melawan Belanda.

45 Dalam = Keraton
46 Peukan = pasar

406 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Gambar 7.24. Pada peta artileri Belanda ini terlihat posisi Peukan Aceh yang menjadi
benteng Panglima Polim.
Sumber: Muhammad Hasan Basry dan Ibrahim Alfian, The Dutch Colonial War…, (1990).

11. Sentral Telepon Militer


Bangunan Sentral Telepon Militer di Aceh adalah sentral telepon pertama
yang dibangun pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda. Gedung
ini dibangun untuk memudahkan komunikasi dalam Perang Aceh.
Gedung yang dibangun pada tahun 1903 ini memiliki unsur-unsur
arsitektur kolonial yang terlihat dari ciri bangunan berlanggam Eropa dan
dipadukan unsur arsitektur tropis. Hal ini tampak pada bagian dinding
bangunan yang terbuat dari papan kayu yang memiliki bukaan yang

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 407


lebar dan tinggi berupa jendela kaca dan berjalusi. Bangunan kecil ini
juga memiliki teritis atap yang lebar. Pada bagian kaki bangunan terbuat
dari tembok yang tebal dan memiliki pintu masuk berlanggam neoklasik
dari langgam Romanesque, ambang atasnya berbentuk busur setengah
lingkaran. Pada bagian dinding, busur tersebut menggunakan batu kunci
di tengahnya, yang merupakan salah satu ciri arsitektur neoklasik.

Gambar 7.25. Gedung Sentral Telepon Militer


Sumber: kesbangpol.bandaacehkota.go.id

12. Menara Air Belanda

Gambar 7.26. Watertoren te Koeta Radja (1910)


Sumber: KITLV

408 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Menara (tower) air peninggalan Belanda ini dibangun pada tahun
1880-an, bersamaan dengan pembangunan kompleks perumahan,
kantor, dan fasilitas tentara Belanda di daerah Keraton. Menara air ini
terletak pada lintasan Keraton dan Taman Sari. Menara air (reservoir)
ini dahulu berfungsi untuk menampung air dari Mata Ie yang kemudian
didistribusikan ke seluruh Kota Koetaradja, tetapi sekarang tidak lagi
digunakan. Di dalam bangunan ini masih terdapat pipa-pipa, pengukur
debit air, dan elemen-elemen bersejarah lainnya. Pemerintah Kota Banda
Aceh telah melakukan upaya pemugaran menara air ini, dan sekarang
Menara Air Belanda menjadi salah satu objek bersejarah di Kota Banda
Aceh.47

13. Hotel Aceh


Hotel Aceh terdiri dari delapan bangunan di dalam sebuah kompleks
tapak. Kompleks Hotel Aceh terletak pada posisi yang sangat strategis di
Koetaradja, yaitu di antara Masjid Raya Baiturrahman dengan Vredespark
(Taman Sari sekarang). Ciri khas arsitektur Indis tampak pada bentuk
bangunan ini. Bangunannya simetris, terdapat serambi dan teras terbuka
pada bagian depannya, beratap perisai serta memiliki gevel berbentuk
segitiga pada atap depannya, yang menjadi ciri arsitektur Indis.

Gambar 7.27. Kiri: Atjeh-hotel te Kota-Radja pada tahun 1900, berlokasi di Vredespark
(Sekarang Tamansari). Kanan: Aceh Hotel era 1970an.
Sumber: kiri: KITLV. kanan: https://steemit.com/aceh/@pangeranpiadah/hotel-aceh-dan-perjamuan-
yang-terlupakan-e066ec0ff42a4

47 Kamal A. Arif dan Salmawaty, Banda Aceh…, (2013).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 409


Presiden Sukarno pernah berkunjung ke Koetaradja pada 16 Juni
1948 dengan didampingi Perdana Menteri Muhammad Natsir. Mereka
mengadakan pertemuan dengan tokoh Aceh yaitu Teungku Daud
Beureueh dan para saudagar Aceh di Hotel Aceh. Pertemuan di hotel
tersebut sangat bersejarah ketika Bung Karno meminta masyarakat
Aceh untuk menyumbangkan pesawat guna mendukung kebutuhan
pemerintah pusat untuk misi diplomatik internasional. Hotel Aceh berdiri
sampai tahun 2001, namun sesungguhnya sejak lima tahun sebelumnya
sudah tidak beroperasi lagi. Beberapa tahun kemudian terjadi kebakaran
yang melenyapkan hotel bersejarah ini. Sekarang, di lokasi bekas Hotel
Aceh diletakkan plakat untuk mengenang keberadaannya.
Di sisi timur Vredespark (sekarang Tamansari) terdapat gedung
‘Juliana Club’ untuk orang-orang Belanda, yaitu sebuah bangunan yang
berlanggam Indis dengan nuansa iklim tropis seperti Hotel Aceh, beratap
perisai, memiliki teras yang lebar, dan pada bagian depan mempunyai
fasad Geveltoppen dari Belanda yang terkesan unik. Tampak pula jendela
dormer untuk pencahayaan dan ventilasi di bagian atapnya.

Gambar 7.28. Juliana Club di Koetaradja, di kawasan Vredespark, mirip dengan desain
Hotel Aceh. Pada lokasi gedung ini sekarang menjadi kantor wilayah Kementerian
Agama Provinsi Aceh.
Sumber: https://twitter.com/Aceh/status/953086059734188032/photo/1

410 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


14. Bioskop Garuda
Bioskop Garuda merupakan salah satu gedung bersejarah di Banda Aceh,
dengan langgam arsitektur Indis yang bernuansa tropis dengan teritisnya
yang lebar. Gedung ini merupakan bioskop pertama yang ada di Aceh
sejak pemerintahan kolonial Belanda. Pada tahun 1930-an, sebelum
Perang Dunia II, gedung ini bernama ‘Deli Bioscoop’. Di tempat ini, Presiden
Sukarno pernah berpidato politik dalam rapat umum pemuda pada 16
Juni 1948. Di hadapan ribuan rakyat Aceh, Presiden Sukarno menempa
semangat pemuda dengan mengenang sejarah perjuangan rakyat Aceh
dalam mempertahankan wilayahnya sebagai kesatuan wilayah Indonesia
dan tidak ditaklukkan oleh Belanda.

Gambar 7.29. Bioskop Garuda


Sumber: https://tirto.id/aceh-tutup-bioskop-saudi-mengizinkannya-cGxE

Saat Koetaradja sudah dialiri listrik dan film sudah memiliki suara,
gedung bioskop ini berganti nama menjadi Bioskop Garuda. Saat ini
Bioskop Garuda telah beralih fungsi menjadi Gedung Digital Innovation
Lounge (DILo), yang biasa disebut gedung IT Learning Center. Sebagian
fasad depan Bioskop Garuda masih disisakan sebagai entrance depan
gedung ini, dan di halaman depannya diletakkan sebuah plakat penanda
untuk mengenang gedung bioskop bersejarah ini.

15. Gedung Bank Indonesia


Dibandingkan dengan keempat belas aset pusaka kolonial yang dibahas
di atas, maka gedung De Javasche Bank ini termasuk bangunan era
kolonial yang dibangun paling akhir yaitu di awal abad ke-20 pada tahun
1918. Gedung DJB ini dirancang oleh tim Arsitek dari biro arsitek N.V.
Architecten-Ingenieursbureau Hulswit en Fermont te Weltevreden en Ed.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 411


Cuypers te Amsterdam. Uraian selanjutnya tentang sejarah pendirian,
langgam arsitektur, dan upaya konservasi dan revitalisasi gedung ini
dibahas tersendiri dalam bagian selanjutnya.

Gambar 7.30. Agentschap van De Javasche Bank te Koetaradja selesai dibangun


pada 1918, karya arsitek Eduard Cuypers-Hulswit-Fermont dengan langgam arsitektur
eklektik neoklasik-modern bernuansa tropis.
Sumber: J. Jongejans, Land En Volk Van Atjeh…, (1938).

Tatanan Bangunan Kolonial di Tepian Sungai


Mendukung Terciptanya Kota Riverfont

Ide riverfront sudah ada sejak masa kesultanan. Gambaran surga adalah
“Jannatin tajri min tahtihal anhar”. Dahulu Aceh tidak memiliki jembatan,
transportasi dilakukan terutama dengan perahu sampai ke rumah-rumah
di tepian sungai dan kanal. Di tengah Krueng Aceh ada Masjid Raya dan
di tepian Krueng Daroy ada Pinto Khop, Gunongan, dan Istana Sultan.

412 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Ketika Belanda datang mereka menghancurkan tata kota Keraton
Aceh, dengan merusak tatanan “Dalam”, yang kemudian dibuat menjadi
tatanan kota kolonial. Belanda juga membangun Jembatan Peunayong
dan Pante Pirak untuk kebutuhan logistik perang. Sejak itu, transportasi
sungai menjadi terhambat.

Gambar 7.31. Jembatan Penyeberangan Buatan Kolonial Belanda di Kreung Daroy


Sumber: https://ichsanamri.blogspot.com/2018/08/potret-potret-kota-banda-aceh-di-era.html

Pemakaman Masal
Lampulo

2. Jembatan Peunayong

1. Jembatan Pante Pirak

Kerkhof

Gambar 7.32. Peta yang menggambarkan Jembatan Peunayong, Jembatan Pante


Pirak, Kerkhof, dan Pemakaman Massal di Lampulo.
Sumber: Emrik & Binger, Schetz van het Door Ons Bezet Gedeelte van Groot-Atchin (1874). https://
bartelegallery.com/shop/schets-van-het-door-ons-bezet-gedeelte-van-groot-atchin-emrik-binger-1874/

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 413


Namun kemudian, Belanda juga menerapkan ide waterfront dalam
tatanan kotanya dengan menempatkan bangunan-bangunan penting
yang menghadap ke sungai, seperti Gereja Katolik, Gedung militer, dan
De Javasche Bank, sehingga tercipta tatanan kota yang asri di tepian
Krueng Aceh.

Gambar 7.33. Gedung Bank Indonesia (BI) yang menghadap ke sungai Krueng Aceh
(atas).
Sumber: Tropenmuseum

Gambar 7.34. Peta satelit Krueng Aceh yang membelah Kota Banda Aceh. Di kiri-
kanannya ada bangunan dan fasilitas publik yang menjadi cikal bakal pembentuk
kota waterfront, antara lain Gedung BI, Gereja Katolik, dan Nursery di bantaran
sungai. Masjid Raya pada awalnya tidak terpisahkan dengan Krueng Aceh. Namun,
pada saat ini tertutup dengan deretan bangunan yang didirikan di antaranya dengan
membelakangi sungai.

414 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Gedung BI Aceh sebagai Citra Daerah
Modal dan Pusat Perdagangan
Sejarah Pendirian Gedung De Javasche Bank di
Koetaradja

P ada 1906, G. Vissering, seorang ahli hukum dari Amsterdam, ditunjuk


menjadi Presiden De Javasche Bank (DJB) di Batavia. Ia berupaya
memperluas jaringan pusat DJB dan pembukaan cabang-cabang DJB di
berbagai kota.48 Pada 1909 G. Vissering meminta Cuypers, pendiri biro
arsitektur paling berhasil secara finansial untuk datang ke Hindia Belanda
guna mendirikan biro arsitek dan merancang renovasi gedung DJB di
Batavia serta pembangunan baru kantor-kantor cabang DJB di berbagai
daerah. Eduard Cuypers tinggal di Amsterdam, ia bersama Marius Hulswit
dan A. A. Fermont di Batavia mendirikan biro arsitek N.V. Architecten-
Ingenieursbureau Hulswit en Fermont te Weltevreden en Ed. Cuypers te
Amsterdam.49 Karya-karyanya berhasil menjadi agen yang mengantar
arsitektur modern di Belanda hingga tiba di Hindia Belanda. Biro arsitek
Eduard Cuypers, Hulswit, dan Fermont ini mulai merenovasi gedung DJB
di Batavia pada tahun 1910, sampai lima tahap. Selain merancang gedung
DJB di Batavia, biro arsitek tersebut menyelesaikan lima belas bangunan
De Javasche Bank lainnya yang tersebar di beberapa daerah di Hindia
Belanda, salah satunya di Koetaradja.
Bentuk gedung DJB Koetaradja sangat mirip dengan gedung DJB
di Yogyakarta yang usianya 3 tahun lebih tua. Gedung DJB Yogyakarta
merupakan kantor cabang kedelapan,50 sedangkan DJB Koetaradja
adalah kantor cabang yang kelima belas. Gedung bank di Koetaradja ini
dibangun selama dua tahun, yaitu pada tahun 1916–1918 pada masa
Gubernur Jenderal Belanda H. N. A Swart. DJB cabang Koetaradja mulai
dibuka pada tanggal 2 Desember 1918, berfungsi sebagai bank sirkulasi
yang salah satu tugasnya adalah mengedarkan uang di Hindia Belanda.

48 Arsip Bank Indonesia, Laporan Akhir Pekerjaan Penyusunan Blueprint Strategi Pemanfaatan dan
Pelestarian (Konservasi) Bangunan-Bangunan Eks De Javasche Bank (2008).
49 Dalam akun Facebook Museum Bank Indonesia.
50 Bank Indonesia Institute, Harmoni dalam Perbedaan…, (2019).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 415


Pada periode pendudukan Jepang, tanggal 20 Oktober 1942 DJB
Koetaradja sempat ditutup. Di awal kemerdekaan berfungsi sebagai
gedung Dewan Perwakilan Rakyat Sumatra Utara dan pernah dikunjungi
Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta rombongan pada tahun 1949.51
Pada 1 Juli 1953 fungsi dan operasi eks-DJB di seluruh Indonesia diambil
alih oleh Bank Indonesia (BI). Kemudian pada 2 Maret 1964, BI membuka
cabang di Banda Aceh, dan menggunakan gedung tersebut untuk
memajukan perekonomian di daerah Aceh hingga saat ini.

Arsitektur Kolonial Nieuwe Indische Bouwstijl


pada Gedung Agentschap van de Javasche Bank te
Koetaradja

Nieuwe Indische Bouwstijl (Langgam Arsitektur Indis Baru)


merupakan langgam arsitektur Barat modern awal yang muncul di
Indonesia tahun 1910-an (contoh lainnya Rasionalisme dan Art-Deco) yang
menggabungkan elemen arsitektur lokal, seperti teritisan atap yang lebar
atau atap yang menjulang, agar sesuai dengan iklim tropis di Indonesia.
Meski mengacu pada aliran Rasionalisme Belanda, istilah Indis Baru ini
diseragamkan agar mewakili berbagai langgam arsitektur modern awal.
Pada abad ke-20 Hindia Belanda kedatangan arsitek-arsitek
profesional yang mendapatkan pendidikan arsitektur formal untuk
menggantikan para arsitek di Hindia Belanda yang sebelumnya adalah para
perwira Zeni. Dari Eropa, mereka juga membawa ide-ide seni arsitektur
yang baru. Beriringan dengan hal itu, ide-ide dari arsitektur modern mulai
muncul dan masuk bersamaan dengan adaptasi modernisme terhadap
iklim tropis. Sejak saat itu, ada usaha untuk mencari arsitektur yang sesuai
bagi Hindia Belanda.
Eduard Cuypers (1859–1927) adalah seorang arsitek yang produktif,
bersama dengan arsitek M. J. Hulswit (1862–1921) dan arsitek pelaksana
A. A. Fermont mendirikan biro arsitek N.V. Architecten-Ingenieursbureau
Hulswit en Fermont te Weltevreden en Ed. Cuypers te Amsterdam.
Awalnya Eduard Cuypers dilatih menjadi arsitek oleh pamannya Pierre J.

51 S. M. Amin, Memahami Sejarah Konflik Aceh (Jakarta: Pustaka Obor, 2014), hlm. 125.

416 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


H. Cuypers (1827–1921), seorang arsitek Belanda yang menjadi pelopor
kebangkitan arsitektur Belanda pada pertengahan abad ke-19 yang
sangat terkenal. P. J. H. Cuypers beraliran “French Neo-Renaissance”,52
perancang Rijksmuseum Amsterdam yang banyak memberikan pengaruh
kepada Eduard dan Hulswit, yang pada awal karier, mereka bekerja pada
Biro arsitek milik P. J. H. Cuypers.
Neo-Renaissance adalah langgam yang berkembang pada abad ke-
19 yang merujuk pada kemunculan kembali langgam Yunani, langgam
Gotik, maupun langgam yang telah berkembang di Italia ke dalam satu
langgam campuran. Kombinasi dari berbagai langgam menjadikan
Rijksmuseum sebagai bangunan beraliran Romantik dengan prinsip
eklektisme, yang dipelopori oleh Eugenne Viollet-Le-Duc (1814–1879).53

Gambar 7.35. Kiri: Arsitek Eduard Cuypers (1859–1927), Tengah: arsitek M. J. Hulswit
(1862–1921), dan Kanan: P. J. H. Cuypers (1827–1921), paman Eduard Cuypers.

Pada tahun 1882 Eduard Cuypers memantapkan dirinya sebagai


arsitek independen di Amsterdam. Berbeda dengan pamannya, ia tidak
terfokus pada desain gereja, tetapi juga fungsi-fungsi lain seperti rumah
tinggal, kantor, klinik, pabrik, hangar, merancang tempat pemerahan
susu, klinik ginekologi, wisma tamu, dan kafe dengan langgam Neo-
Renaissance dan Jugendstil54 di Amsterdam.

52 Arsip Bank Indonesia, Laporan Akhir…, (2008).


53 Maria Rita Campa. “E.E.Viollet-Le-Duc: Innovation and Tradition in Architecture: Language of Form
and Structure in The Conception of Polyhedral Vaults” (2009). P. J. H. Cuypers banyak terpengaruh
oleh arsitek dari Prancis, Ville le Duc.
54 Wikipedia: Edward Cuypers.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 417


Pencarian akan langgam-langgam yang dirasa sesuai dengan Hindia
Belanda kemudian menjadi dasar dari perancangan arsitektur De Javasche
Bank Agentschap. Langgam arsitektur DJB merupakan hasil perkembangan
periode arsitektur neo Klasik – neo Renaissance yang banyak meminjam
dari langgam yang muncul pada periode sebelumnya.
Pada periode 1920-an, saat karya-karya Ed Cuypers berkiprah
di Hindia Belanda, generasi arsitek sudah berbeda, terjadi perubahan
konsep dalam pola dan keindahan arsitektur, di mana keindahan muncul
semata-mata oleh adanya fungsi dari elemen-elemen bangunan. Secara
umum, struktur ruang tetap serupa namun bangunan yang dihasilkan
lebih sederhana dan tanpa menggunakan banyak ornamen seperti pada
karya-karya arsitektur sebelumnya. Upaya melepaskan diri dari pengaruh
arsitektur Eropa dan beradaptasi dengan iklim merupakan ciri khas dari
karya arsitektur pada periode ini.55
Oleh karenanya aliran baru ini disebut sebagai aliran arsitektur
Fungsionalisme atau sering juga disebut Rasionalisme karena berdasarkan
pada rasio atau pemikiran yang logis. Ornamen yang sangat berkembang
dalam langgam Gotik diyakini sebagai suatu kebenaran palsu karena
dianggap hanya berupa barang tempelan. Konsep estetika pada masa
ini adalah mengurangi penggunaan elemen ornamen dan dekorasi dan
menciptakan karakteristik estetika yang mencerminkan perkembangan
teknologi (exactness, cleanlines, precision of form).56
Pandangan ini berimbas pada penilaian aliran Amsterdam School
terhadap Ed Cuypers, meski tokoh-tokoh Amsterdam School adalah
arsitek-arsitek modern awal Belanda yang bekerja magang di kantornya,57
namun ia tidak dipandang sebagai tokoh arsitektur modern Belanda,
karena karya-karyanya tidak mementingkan orisinalitas dan ciri rasionalis-
ekspresionis. Ed Cuypers lebih dipandang sebagai seorang eklektis yang
dipengaruhi oleh langgam romatik-eklektik P. J. H Cuypers, meskipun
karya-karyanya memiliki semua ciri dari arsitektur modern seperti

55 Arsip Bank Indonesia, Laporan Akhir…, (2008).


56 Tri Anggraini Prajnawrdhi, “Eclecticism Dalam Arsitektur”, Jurnal Permukiman Natah. Vol. 3 No. 2.
2005.
57 Tokoh-tokoh Amsterdam School seperti Michel de Klerk, Johan van der Mey, dan Piet Kramer, pada
awalnya meniti karier dengan magang di Biro Ed Cuypers.

418 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


fungsionalitas, kenyamanan, kesederhanaan, teknologi instalasi, cahaya,
udara, ruang, estetika bangunan modern, dan sifat komersial.58
Munculnya paham post-modern di abad ke-21 membuka ruang
untuk menilai kembali inovasi arsitektur eklektik dari karya arsitektur
Eduard Cuypers. Penelitian paling mendalam tentang pribadi dan karya
Eduard Cuypers dilakukan pada akhir 1970-an oleh Bert Gerlagh, melalui
disertasi doktoralnya di Universitas Amsterdam. Ia telah mengumpulkan
banyak data dan membuat katalog dari karya-karya Ed Cuypers yang
dipublikasikan secara luas.
Sukar memahami bagaimana cara berkomunikasi untuk kerja sama
desain antara Eduard Cuypers di Amsterdam dengan Hulswit dan Fermont
yang berada di Batavia dapat terjalin, karena komunikasi via telepon dan
pesawat terbang dari Batavia ke Amsterdam dan sebaliknya, belum ada
di masa itu.59 Surat dan gambar-gambar desain dikirim dengan kapal
laut yang memakan waktu berbulan-bulan. Namun, biro arsitektur ini
telah berhasil merancang hingga 100 bangunan yang tersebar di Hindia
Belanda.
Setelah Hulswit meninggal pada 1921, Cuypers dan Fermont
melanjutkan biro arsitektur ini hingga Cuypers meninggal pada 1927.60
Sebagai arsitek eklektik, meski Eduard Cuypers tidak dipandang sebagai
tokoh dalam arsitektur modern, namun ia piawai memadukan beragam
langgam dalam komposisi desainnya. Keputusan itu tampaknya berhasil,
kedua Bank Indonesia di Yogyakarta dan Banda Aceh nampak sangat
anggun, terlihat bersih dan berwibawa sehingga menjadi kebanggaan
warga kedua kota itu, baik di Yogya maupun Banda Aceh.
Desain DJB pada umumnya berlanggam neo-renaissance, namun
pada masing-masing kantor bank tersebut, terdapat perbedaan. Pada DJB

58 Eduard Cuypers En Zijn Betekenis Als Ziekenhuisarchitect, 2015/2016, Ma Scriptie Architectuur, Dr.
J. G. Roding, Constant Van Nispen, S1069470, Cvnispen@Xs4all.Nl,06 51346010
59 Pesawat terbang pertama dari Schiphol Amsterdam ke Batavia mendarat di Tjililitan pada 24 Nov
1924 dengan waktu tempuh 127 jam. https://www.liputan6.com/global/read/3726332/24-11-1924-
penerbangan-perdana-amsterdam-ke-batavia-berlangsung-127-jam
60 Setelah Ed Cuypers meninggal, Fermont tetap melanjutkan kiprah biro ini dengan mengajak arsitek
muda Theo Taen seorang cucu P. J. H. Cuypers untuk memimpin biro ini bersamanya, dengan nama
Biro Arsitek & Insinyur Fermont-Cuypers hingga tahun 1957. Obbe Norbruis. Architecture from The
Indonesia Past…, (2008); https://issuu.com/kitpublishers/docs/architecture_from_the_indonesian_
past_inkijkexempl

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 419


Bandung dan Medan yang dibangun pada 1906 dan 1907 keduanya hanya
berkubah satu di tengah, sedangkan pada DJB Yogya dan Koetaradja
bagian tengah bangunannya beratap perisai yang diapit oleh sepasang
kubah di kiri kanannya.

Gambar 7.36. Gedung DJB berkubah satu dibangun di Medan tahun 1907 (kiri) dan
di Bandung tahun 1906 (kanan).

Gambar 7.37. Gedung Bank Indonesia (Eks-DJB) berkubah ganda yang dirancang-
bangun oleh Cuypers, Hulswit, dan Fermont di Yogyakarta tahun 1915 (kiri) dan di
Banda Aceh tahun 1918 (kanan).

Bangunan kolonial Belanda yang memiliki sepasang kubah di kiri


kanannya banyak terlihat di Hindia Belanda yang dibangun lebih awal,
seperti Gereja Blenduk pada tahun 1753 dan juga yang dibangun di awal
abad ke-20, yaitu gedung Lawang Sewu pada 1904–1907 yang berlokasi
di Semarang. Juga ada di Jakarta yaitu gedung pusat kesenian (Kunstkring)
dibangun pada 1914 yang beberapa kali berganti fungsi.

420 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Sangat mungkin bangunan kubah kembar ini terpengaruh oleh
desain gereja berlanggam gotik yang memiliki menara kembar seperti Notre
dame di Paris, atau menara kembar pada Rijksmuseum di Amsterdam.
Agaknya kubah kembar merupakan tren di masa itu, sehingga Cuypers
dkk menggunakan varian kubah kembar untuk rancangan bank di kedua
kota ini.

Gambar 7.38. Dua bangunan kolonial di Semarang berkubah ganda pada menaranya,
Gereja Blenduk (1753) (kiri) dan gedung Lawang Sewu (1907) (Tengah), dan di Jakarta
gedung pusat kesenian Kunstkring (1914) (kanan).

Pada abad ke-1 SM, Vitruvius mengenalkan tiga unsur arsitektur


yaitu, 1. Utilitas (Fungsi), 2. Firmitas (Struktur), dan 3. Venustas (Estetika
Bentuk). Tahun 2003 Capon mengoreksi dan menyempurnakan tiga
unsur Arsitektur Vitruvius itu ke dalam tiga pasangan yang masing-masing
terdiri dari dua unsur primer dan sekunder sehingga tersusun enam unsur
arsitektural, yaitu: 1. Function & Context (Fungsi dan Konteks), 2. Form &
Structure (Bentuk dan Struktur), 3. Meaning & Will (Makna dan Kebaruan/
Modern).61 Arsitektur gedung eks-DJB karya Cuypers ini dikaji dengan
pendekatan unsur-unsur Fungsi-Bentuk-Struktur dari Vitruvius dan
dilengkapi dengan unsur Konteks-Makna-Kebaruan dari Capon tersebut,
keenam unsur arsitektural tersebut relevan untuk dikaji pada gedung ini.

61 Capon, D. Smith, Architectural Theory Vo. 1 TheVitruvian Fallacy, Wiley 1999

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 421


Fungsi, Bentuk, dan Struktur

Gedung DJB Koetaradja sejak awal berdiri hingga kini di saat usianya
telah lebih dari 100 tahun tetap berfungsi sebagai bank. Gedung ini
memiliki halaman depan yang luas dan menghadap ke sungai. Cuypers
memadukan berbagai langgam dalam komposisi desainnya, sehingga
bangunan ini juga memiliki langgam arsitektur neoklasik-indisch empire
Belanda yang saat itu sedang berkuasa. Halaman depannya luas berupa
ruang terbuka hijau dengan jarak 40 m dari jalan atau dua kali ketinggian
bangunan sehingga bangunan ini dapat terlihat secara menyeluruh dari
pagar bangunan. Bentuk dasar yang geometris dan simetris serta skala
bangunan ini semakin memperkuat keberadaannya hingga kini sebagai
Bank Indonesia yang anggun dan berwibawa.

Gambar 7.39. Block plan tahun 1979. Halaman depan cukup luas dan masih ada
penghijauan di halaman belakang. Namun, ruang terbuka hijau pada halaman
belakang saat ini hampir tidak ada lagi.

Bangunan ini terdiri dari 2 lantai dengan fungsi yang awalnya


berbeda, lantai dasar untuk kantor bank dan lantai tingkat untuk tempat
tinggal keluarga bankir.62 Lantai dasar saat ini masih berfungsi sebagai

62 Keluarga Abdul Kahar, Kepala BI Aceh hingga tahun 1972 masih bertempat tinggal di lantai atas
gedung ini.

422 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


ruang kantor bank, terdiri dari ruang publik, konter, ruang kasir, ruang
pembukuan, ruang arsip, dan ruang kerja bank lainnya. Di lantai atas pada
awalnya di zaman Belanda berfungsi untuk tempat tinggal direksi bankir
dan keluarganya, namun kemudian pada denah tahun 1979 berubah
menjadi ruang-ruang kerja bank, untuk ruang sekretariat, ruang direksi
pimpinan, ruang kasir, ruang rapat, ruang kerja seksi-seksi, ruang kerja
tambahan, ruang arsip, kamar mandi, dan toilet.

Gambar 7.40. Gambar denah lantai dasar (kiri) dan lantai tingkat (kanan) berdasarkan
dokumen arsip gambar denah bangunan BI Banda Aceh 1979.

Pada denah lantai dasar bangunan dapat dilihat bahwa pola


pembagian ruang dan distribusi kolom struktur seimbang di sisi kiri dan
kanan bangunan. Pada awal pendiriannya, denah bangunan didesain
simetris, baik dari lantai dasar bangunan maupun lantai tingkat bangunan.
Pada ruang lantai dasar di bawah kubah sebelah selatan terdapat tangga
untuk naik ke lantai atas.
Lantai utama berbentuk bujur sangkar berukuran 27 x 27 m2 di
dalamnya terdapat 12 kolom-kolom besar yang jarak antarkolomnya 5
m, bersama dinding pemikul (bearing wall) berupa pasangan bata yang
sangat tebal di sekeliling bangunan, menyangga lantai atas yang jarak
ketinggian antarlantainya 5 m. Struktur atap menggunakan konstruksi
kayu. Beban atap disalurkan melalui dinding pemikul di sekeliling
bangunan dan kolom-kolom strukturnya hingga ke fondasi.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 423


Gedung-gedung eks-DJB merupakan bangunan kolonial dengan
langgam arsitektur indis neoklasik dengan unsur renaissance yang
dominan. Ekspresi neoklasik yang dapat dilihat pada bangunan ini
antara lain pada bentuk dasarnya yang simetris dan seimbang, adanya
gevel segitiga pada wajah bangunan, atap bangunan berkubah, memiliki
langit-langit plafon yang tinggi, kolom-kolom berlanggam Tuscani, dan
berdinding tebal dengan warna dinding yang didominasi warna terang,
yakni warna putih yang berkesan megah dan klasik.
Garis Sumbu pada eks-DJB Koetaradja ini terlihat jelas pada denah
dan tampak bangunan. Pintu masuk dengan ambang busur setengah
lingkaran yang berasal dari langgam Romanesque yang diletakkan tepat
di tengah fasad depan lantai dasar, sangat memperkuat sumbu bangunan
simetri ini. Sumbu pada tampak bangunan terlihat melalui elemen-elemen
penyusun fasad bangunan yang serupa dan tertata rapi di sisi kiri dan
kanan bangunan apabila ditarik garis di tengah-tengah fasad.

Gambar 7.41. Studi fasad pada gedung BI Banda Aceh, sama dengan gedung BI
Yogyakarta, mengikuti prinsip simetris dan seimbang yang menjadi ciri khas neoklasik.

Elemen-elemen bangunan eks-DJB Koetaradja ini berbentuk dasar


geometris, seperti pola lantai, bentuk bukaan, dan dinding bangunan
yang diberi garis-garis nad setiap 30 cm. Selain bentuk dasar geometris,

424 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


tampak pula adanya kesesuaian perbandingan antara bukaan pintu dan
jendela dengan dinding bangunan.
Meskipun bangunan ini sekarang mengalami penambahan di bagian
belakang dan beberapa penyesuaian karena adanya perubahan fungsi di
lantai atas, dari tempat tinggal Direksi menjadi ruang kantor, hal itu tidak
berpengaruh pada sosok dan ekspresi bangunan tersebut yang tetap
menunjukkan ekspresi bangunan kolonial Belanda berlanggam neoklasik.
Pada lantai dasar agak ke belakang terdapat khazanah tempat
penyimpanan uang dan benda-benda serta dokumen berharga. Ruang
khazanah harus memiliki sistem pengamanan yang baik. Pintu-pintu
khazanah yang digunakan pada Bank Indonesia sejak awal di zaman
Belanda adalah pintu brankas Chubs Lips yang sudah diproduksi di
Dordrecht Negeri Belanda sejak tahun 1871.63

Gambar 7.42. Tampak depan belakang dan samping digambar kembali dari gambar
arsip rencana renovasi bangunan BI di bagian belakang tahun 1979.

63 Keterangan wawancara melalui whatsapp dengan pegawai BI Banda Aceh 2004, Ir. Taufani N, pada
31 Mei 2020. https://www.google.com/search?q=sejarah++lips+brandkasten&ie=utf-8&oe=utf-
8&client=firefox-b

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 425


Penangkal Petir

Lucame

Tympanum

Molding

Parepet
Comice
Keystone
Louvre

Comice

Gambar 7.43. Beberapa ornamen pada fasad depan gedung BI Banda Aceh.

Ornamen neo-renaissance yang ada pada rancangan fasad gedung


DJB Koetaradja mirip dengan yang ada pada desain fasad DJB Yogyakarta,
hanya pada bagian Tympanum yang berbentuk segitiga, pada desain
DJB Yogya Hulswit memperkenalkan unsur ornamen lokal, sedangkan
di Koetaradja dibiarkan polos tanpa ornamen, sehingga tampak lebih
sederhana. Ornamen neo-renaissance lainnya yang ada di gedung ini
adalah parapet, moulding, dan cornice. Tidak seperti di Yogya yang
masih dihiasi dengan panil-panil relief di bagian atas jendela lengkung
dan tympanum, maka di Banda Aceh panil relief sangat berkurang, hanya
terdapat di parapet bagian atas. Langgam neo-renaissance juga terlihat
pada pintu utama yang berbentuk lengkung dan diikat dengan batu kunci
di puncak busur. Bangunan ini juga memiliki balkon, dan pada kedua
sisi bukaan dihiasi dengan kolom-kolom bulat yang polos, dan sedikit
mengecil ke atas berlanggam Tuscani. Pada fasad bangunan ini terlihat
Balustrade berupa pagar pembatas balkon, dan pada dek di bagian atap
bangunan.

Konteks, Makna, dan Kebaruan (Modern)

Dalam telaah arsitektur, konteks (context) berarti tempat atau lokasi


bangunan itu berada. Lokasi Bank Indonesia Banda Aceh sangat strategis
dan memiliki nilai lokasi yang sangat tinggi. Terletak pada kawasan pusat
kota yaitu lokasi Masjid Baiturrahman yang menjadi ikon Banda Aceh

426 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


yang paling monumental, dalam lingkup kawasan pusat kota lama yang
memiliki banyak bangunan bersejarah yang masih berfungsi dan dijadikan
objek wisata. Bangunan Bank Indonesia juga berdekatan dengan Sungai
Krueng Aceh yang memiliki panorama yang indah sehingga kawasan
ini selalu ramai dikunjungi, baik oleh masyarakat Banda Aceh maupun
pengunjung dari luar kota.
Pemilihan lokasi De Javasche Bank ini didukung oleh pertimbangan
lokasinya yang berada di kawasan pusat perdagangan, terletak di antara
Pasar Aceh dan Pasar Peunayong. Dari struktur pola jalan kota, gedung

Gambar 7.44. Peta Koetaradja 1944, Stedenatlas Nederlands Indië. Di peta ini tertulis
“Jawa Bank“ berlokasi di Jl. Keudah Singkel, yang berlokasi di Kampung Keudah.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 427


ini terletak di dalam wilayah potensial yang berada di tepian sungai, di
antara dua jembatan penghubung area perdagangan, yaitu Jembatan
Pante Perak dan Jembatan Peunayong, dan dapat langsung terhubung
dengan muara Krueng Aceh yang di sepanjang tepiannya menjadi tempat
berlabuhnya sampan dan perahu nelayan Aceh, mulai dari Peunayong,
Kedah, Peulanggahan, Pasar ikan Lampulo hingga ke muara. Dengan
posisinya yang amat strategis itu, hingga kini gedung peninggalan kolonial
yang terawat ini tampak sangat asri, anggun, dan berwibawa.
Desain gedung ini juga memperhatikan konteks iklim tropis,
dengan hadirnya the poetic of shades berupa keindahan irama bayang-
bayang dari teritisan yang lebar dan lubang-lubang balkon yang teduh.
Gedung ini juga dibangun dengan menyesuaikan iklim Aceh yang panas.
Perancangan tata cahaya pada ruang eks-DJB Koetaradja dirancang
memiliki banyak bukaan jendela dan balkon dengan dimensi yang cukup
besar untuk memaksimalkan cahaya matahari yang masuk ke dalam
bangunan. Tata cahaya pada ruang publik dan aula bangunan memiliki
bukaan hampir di seluruh dinding ruangan sehingga mendapatkan
penerangan alami yang cukup sampai sore hari. Perancangan ini dapat
memaksimalkan penghematan energi tanpa menggunakan pencahayaan
buatan di siang hari. Namun, pada ruang void di lantai atas sekarang
ada renovasi penambahan penutup atap, sehingga akan mengurangi
pencahayaan alami di gedung ini.
Ornamen lucarne dan ocula pada bagian atap berupa jendela yang
menonjol di bagian atap, berfungsi untuk memasukkan sinar matahari
dan aliran udara ke ruang atap. Belum diketahui adakah manfaat fisika
bangunan dari kubah kembar berupa cerobong angin yang dapat
mengalirkan udara ke dalam ruangan. Perlu diketahui pula apakah hingga
sekarang jendela jalusi yang ada di bawah kubah itu masih tetap berfungsi
sebagai cerobong ventilasi udara atau tidak.64

64 Hingga akhir penulisan, belum diperoleh data gambar asli dari gedung ini, dan belum ada pula as
built drawing yang memperlihatkan potongan dan detail pada bagian itu.

428 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Gambar 7.45. Kiri: Detail fasad depan gedung BI Banda Aceh, berlanggam kolonial
neoklasik. Di sisi kiri-kanan balkon dihiasi dengan kolom berlanggam Tuscani. Desain
arsitektur neoklasik Eropa yang beradaptasi dengan iklim tropis, menghasilkan
pembayangan pada fasad yang memikat.
Kanan: Tampak samping bangunan BI Banda Aceh. Pada atap terdapat jendela dormer
Lucarne yang berfungsi untuk mengalirkan udara ke dalam bangunan. Di bagian
bawah kubah tampak lubang-lubang jendela berjalusi yang dimaksudkan sebagai
cerobong udara.
Sumber: Dokumentasi Penulis

Makna (Meaning)
Citra Aceh Daerah Modal sudah dikenal sejak abad ke-17 berkat ”the
wealth of pepper”-nya, yang mendunia, hingga di masa Revolusi
Kemerdekaan, rakyat Aceh menyumbangkan harta bendanya berupa
emas yang terkumpul hingga 20 kg untuk membeli pesawat RI 001 yang
diminta oleh Presiden Sukarno. Aceh adalah salah satu daerah yang
berkontribusi bagi kemajuan ekonomi nasional. Pada zaman penjajahan
hasil perkebunan Aceh seperti lada, pala, cengkeh, dan karet menjadi
incaran Belanda. Kontribusi hasil perkebunan Aceh tetap berlanjut
pascaproklamasi, di mana ekspor Indonesia untuk komoditas seperti
karet, lada, pala, dan cengkeh mayoritas dihasilkan dari bumi Aceh.
Dengan dibangunnya gedung De Javasche Bank pada tahun 1918
di Koetaradja, peran strategis Aceh dalam perekonomian Hindia Belanda
semakin kuat. Hadirnya DJB di Koetaradja ini mengindikasikan Aceh
memiliki citra dan potensi sebagai pusat perdagangan yang makmur.
Hingga kini citra gedung ini sebagai salah satu simbol daerah modal masih

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 429


kuat dirasakan oleh masyarakat dan menjadi kebanggaan warga Banda
Aceh.

Kebaruan/Modern (Will)
Meski Ed Cuypers dipandang sebagai seorang eklektis yang memadukan
berbagai langgam, namun karya desainnya pada Gedung DJB Koetaradja
ini memiliki semua ciri dari arsitektur modern seperti fungsionalitas,
kenyamanan, kesederhanaan, teknologi instalasi, cahaya, udara, ruang,
estetika bangunan modern, dan sifat komersial. Hal ini menunjukkan
adanya kebaruan dalam desain DJB di Aceh. Gedung-gedung DJB yang
lebih awal dari gedung DJB Banda Aceh, seperti DJB Medan dan Bandung
(1906–1907) unsur neo-renaissance-nya lebih kental dan berangsur-
angsur menjadi lebih sederhana pada bangunan-bangunan yang lebih
baru.
Untuk Aceh pada tahun 1918, gedung ini adalah gedung yang
paling modern dibandingkan dengan gedung-gedung lain yang dibangun
oleh militer Belanda yang umumnya dirancang oleh arsitek Zeni. Cuypers
seorang arsitek profesional datang membawa perubahan dengan
teknologi yang lebih baru dan menerapkan prinsip-prinsip modernisme
dalam desainnya, sangat wajar bila karyanya ini termasuk dalam langgam
Indis Modern/Baru (Nieuwe Indische Bouwstijl).

Upaya Konservasi dan Revitalisasi Gedung BI Sebelum


dan Pasca tsunami

Gedung BI Banda Aceh merupakan salah satu saksi sejarah


peninggalan Pemerintah Hindia Belanda yang dibangun pada tahun 1918.
Secara keseluruhan gedung yang sudah berusia lebih dari 100 tahun ini
layak ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya (BCB) berdasarkan UU
Cagar Budaya Nomor 10 Tahun 2010.
Gedung eks-DJB ini sejak awal berfungsi sebagai gedung bank,
maka kesan formal sebagai bangunan pemerintah langsung nampak
pada bagian halaman depannya. Bencana gempa bumi dan tsunami yang

430 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 menyebabkan kerusakan gedung
yang cukup parah, tetapi keaslian bangunan masih terjaga, termasuk
penanganan saat dilakukan renovasi.65
Khazanah yang sempat terendam air pun selamat. Tidak satu pun ada
uang yang rusak atau hilang. Brankas Chubs Lips yang telah diproduksi
sejak 1871 di Dordrecht, menyelamatkan uang dan dokumen-dokumen
berharga yang disimpan di dalam brankas. Khazanah yang baru dibangun
setelah kemerdekaan pun berhasil menyelamatkan uang saat tsunami.66
Kantor BI mengalami kerusakan pada saat tsunami, sehingga pada
saat itu Kantor Bank Indonesia Banda Aceh memindahkan sementara
kegiatan operasionalnya ke salah satu rumah dinas Bank Indonesia di Jl.
Jend. Sudirman No.82 Banda Aceh. Pemindahan ini untuk menunjang
kelancaran pelayanan KBI kepada masyarakat sambil menunggu selesainya
renovasi gedung BI Banda Aceh. Pada tahun 2007 renovasi gedung
selesai dan kegiatan operasional pun kembali dilakukan di gedung Bank
Indonesia.

Konservasi Bangunan Bersejarah eks-DJB dan Situs


Heritage di Kawasan Sekitarnya

Sejak lebih dari satu dasawarsa lalu, Bank Indonesia telah menaruh
perhatian besar dalam melestarikan gedung bersejarah yang dimilikinya
di berbagai daerah. Sebanyak 13 gedung BI yang tersebar di berbagai
kota di seluruh Indonesia telah dikonservasi, yaitu di Banda Aceh, Medan,
Padang, Jakarta, Bandung, Cirebon, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang,
Kediri, Mataram, dan Manado.67
Gedung Bank Indonesia (BI) Perwakilan Banda Aceh pada 2
Desember 2018 telah berusia seabad dan dinilai layak menjadi salah
satu situs sejarah dan ikon wisata sejarah Kota Banda Aceh. Wali Kota
Banda Aceh, Aminullah Usman, memuji dan berterima kasih atas upaya

65 Arsip Bank Indonesia, Laporan Akhir…, (2008).


66 Pada arsip BI Banda Aceh ada dokumen perluasan khazanah yang dilakukan tahum 1970.
67 Bank Indonesia, “Narasi Konservasi sebagai Upaya Pembugaran”, 2019, https://www.bi.go.id/id/
tentang-bi/museum/info/berita-khusus/Pages/Narasi-Konservasi-Sebagai-Upaya-Pembugaran.aspx

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 431


BI dalam melestarikan gedung yang telah mengalami kerusakan berat
akibat diterjang tsunami 2004, namun berhasil tetap kokoh berdiri.
Pimpinan BI Aceh saat itu, Z. Arifin Lubis, sangat aktif dalam kegiatan
wisata heritage dan membuka akses bagi pelajar, mahasiswa, wisatawan,
bahkan masyarakat untuk mengunjungi gedung BI sebagai objek wisata
heritage.68 Namun, tetap ada batas atau aturan yang dibuat mengingat
fungsinya masih tetap sebagai kantor bank sentral negara hingga
sekarang. Gedung BI yang dulu terkesan tertutup kini lebih ramah dan
terbuka serta dapat memberikan edukasi sejarah bagi masyarakat dan
wisatawan di kota lama Banda Aceh yang juga memiliki banyak situs dan
bangunan heritage mulai dari Masjid Raya Baiturrahman, Peucut Kerkhof,
hingga Taman Putroe Phang, dan Gedung BI ini.
Upaya pelestarian bangunan bersejarah ini tidak hanya dalam
perspektif regenerasi dan revitalisasi fisik semata, tetapi juga dalam
perspektif memberikan fungsi pada sektor kultural. Bangunan lama BI,
baik berupa gedung kantor maupun bekas rumah pejabat De Javasche
Bank di daerah, menjadi prioritas utama konservasi. BI telah mengantongi
predikat kantor yang berhasil mengonservasi bangunan tua yang padu
dengan bangunan baru. Sikap dan kepedulian terhadap pelestarian
bangunan heritage tersebut merupakan wujud apresiasi dan pelaksanaan
kewajiban BI sebagai pemilik bangunan bersejarah bangsa Indonesia.
Tujuan pelaksanaan konservasi adalah melakukan upaya untuk
mengembalikan bangunan ke bentuk awal, dengan mempertahankan
dan mengganti bagian-bagian bangunan yang sudah rusak, serta upaya
lainnya agar sesuai dengan kondisi sebelumnya. Gedung-gedung BI
peninggalan kolonial yang berada di Jawa dan di daerah lain banyak yang
telah dipugar dan beralih fungsi menjadi museum, seperti gedung eks-
DJB di Jakarta, Solo, ada juga yang menjadi gedung pameran dan aktivitas
budaya, digunakan untuk seminar dan ruang publik seperti di Padang,
Yogyakarta, dan Surabaya. Umumnya di kota-kota itu sudah ada gedung
BI yang baru yang berfungsi sebagai kantor.

68 “Berusia 100 Tahun Gedung BI Aceh Jadi Salah Satu Ikon Wisata di Banda Aceh”, 2018. https://
anterokini.com/2018/12/08/berusia-100-tahun-gedung-bi-aceh-jadi-salah-satu-ikon-wisata-di-
banda-aceh/Blog

432 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Berbeda halnya dengan di Jawa, di Banda Aceh bangunan eks-DJB
ini masih tetap berfungsi sebagai kantor bank, seperti awalnya didirikan
seratus tahun yang lalu. Meski demikian, karyawan setempat malah merasa
bangga dan betah bila dapat terus bekerja di gedung bersejarah itu. Pada
acara focus group discussion, wawancara dengan empat narasumber
pensiunan pegawai kantor cabang BI Banda Aceh dalam era 1970–2000-
an terungkap rasa bangga mereka yang pernah menjadi karyawan yang
bekerja cukup lama di gedung ini.69 Meski pemerintah dan konsultan telah
menyiapkan standar aturan dalam kegiatan pelestarian, di sisi lain tidak
ada keraguan bahwa bottom up approach berupa inisiatif dari masyarakat
juga memiliki kontribusi besar dalam menjaga warisan budaya dengan
cara mereka sendiri untuk merajut kesadaran akan pentingnya bangunan
cagar budaya sebagai warisan bersama.
Kita dapat mempelajari upaya pelestarian bangunan bersejarah dan
situs-situs heritage dari berbagai daerah, misalnya upaya yang dilakukan
oleh BI Solo. BI Solo telah memiliki bangunan baru sehingga bangunan
lama eks-DJB Soerakarta telah dijadikan museum. Konservasi heritage
bangunan eks-DJB di Solo ini bisa lebih leluasa dilakukan, sehingga
keaslian bangunan dapat direstorasi lebih sempurna, bahkan dengan
menghilangkan bangunan-bangunan tambahan yang bukan bagian dari
cagar budaya.70
Kondisi ini sangat berbeda dengan pemugaran yang dilakukan di
BI Banda Aceh yang tetap berfungsi sebagai kantor bank. Dalam rangka
merenovasi bangunan kantor bank yang bersejarah ini, kantor BI Banda
Aceh malah harus menambah jumlah dan memperluas denah ruang-
ruangnya untuk memenuhi kebutuhannya. BI Banda Aceh telah melakukan
perluasan bangunan secara bertahap, sejak tahun 1972, 1979, dan
pemugaran yang terbesar dilakukan pascatsunami yang pemugarannya
selesai dan diresmikan pada tahun 2007.

69 Focus Group Discussion, wawancara video conference dengan empat narasumber PPBI pada Selasa,
21 Juli 2020, yaitu Tabrani Hilmi Ibrahim, T. Ridwan, Nur Rafni, dan Jailani Ali.
70 Bank Indonesia, Harmoni dalam Perbedaan…, (2019).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 433


Gambar 7.46. Denah lantai dasar bangunan BI Banda Aceh (kiri) dan denah lantai
tingkat (kanan). Bangunan asli (1) tidak diarsir. Bangunan-bangunan tambahan yang
dibangun secara bertahap (2, 3, 4, dan 5) diarsir.

Kegiatan bank yang berangsur-angsur meningkat, terutama


sejak tahun 1970-an, telah mengubah fungsi ruang menjadi jauh lebih
kompleks. Layout ruang dalam tempat bekerja pegawai bank mengikuti
kebutuhan penambahan ruang-ruang baru untuk fungsi kantor.71

Gambar 7.47. Fasad depan gedung BI Banda Aceh terlihat anggun dan berwibawa
setelah dipugar dari kerusakan berat akibat bencana tsunami 26 Desember 2004 yang
diresmikan kembali pada 5 September 2007. Foto diambil pada 23 Agustus 2020.
Sumber: Dokumentasi Penulis

71 Karena alasan keamanan, penyebutan nama-nama ruang yang ada sekarang pada bangunan utama
ini dihindari.

434 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Pada pemugaran bangunan pascatsunami, terlihat keaslian gedung
utama pada eksterior bagian depan, kiri, dan kanan sangat terjaga.
Demikian pula tampilan bangunan tambahan baru di belakang telah
dirancang serasi dengan gedung utama karya Cuypers dkk.

Gambar 7.48. Pemandangan pada halaman belakang gedung BI Banda Aceh telah
digunakan sepenuhnya oleh bangunan, jalan, dan area parkir aspal, sehingga tidak
tersisa lagi ruang terbuka untuk penghijauan.
Sumber: Dokumentasi Penulis

Namun, perluasan bangunan-bangunan tambahan di bagian


belakang itu hampir menutupi seluruh tapak di halaman belakang.
Perluasan bangunan dan penambahan jalan aspal serta area parkir amat
masif sehingga tidak menyisakan area hijau di bagian belakang gedung
ini.
Dinding dan plafon ruangan sekarang dihiasi dengan ornamen-
ornamen ukiran tradisional Aceh. Dibandingkan dengan interior gedung
eks-DJB Yogya, ornamen asli pada gedung karya Cuypers dkk ini lebih
sederhana. Tidak ada kepala kolom seperti di eks-DJB Yogya. Kolom-
kolom utama yang tampak di interior berjumlah dua belas buah, hanya
ada sedikit detail coakan pada keempat sudut kolomnya. Sayangnya,
pemasangan kabel-kabel listrik dan perangkat AC di dalam ruangan
kurang mempertimbangkan kriteria desain interior pada sebuah bangunan
heritage. Banyak jalur kabel yang menjalar pada dinding, plafon, di kolom-

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 435


kolom dan di atas lantai, ada pula kusen jendela yang dilubangi untuk
pipa utilitas dan lain-lain, sehingga terasa mengganggu kualitas sebuah
bangunan heritage.
Untuk merestorasi bangunan lama sebagai bangunan cagar
budaya, maka perlu dilakukan review desain konservasi yang lebih
detail dan komprehensif terhadap bangunan ini yang dilakukan oleh
sebuah tim konservasi bangunan bersejarah, terlebih lagi karena harus
mempertimbangkan agar kegiatan konservasi tidak mengganggu fungsi
gedung ini sebagai kantor bank yang tetap aktif.
Pelaksanaan pekerjaan konservasi tidak seperti melaksanakan
renovasi biasa. Pekerjaan ini mempunyai tahapan-tahapan tertentu,
dan yang paling lama dan paling menentukan adalah tahap pra-studi.
Proses pengukuran dan penggambaran kembali (measured drawing)
kondisi eksisting, penelitian sejarah dan arsitektur, identifikasi elemen
dan kerusakan, serta identifikasi perubahan dan penambahan, semua
termasuk ke dalam kegiatan konservasi. Pada proses ini akan dihasilkan
ribuan gambar, informasi, dan analisis dari setiap jengkal benda yang ada.
Hasilnya akan menentukan acuan periode bagaimana bangunan ini akan
direstorasi.72
Di samping upaya konservasi, upaya retrofitting untuk memperoleh
sertifikasi green building juga perlu dilakukan di BI Banda Aceh,
seperti upaya-upaya menjadi bangunan ramah lingkungan dengan
mengedepankan efisiensi energi dengan menggunakan solar cell,
menggunakan sensor pemakaian air secara otomatis di wastafel, dan
mendaur ulang air buangan.

72
“Evolusi Gedung Bank Indonesia” https://www.kompasiana.com/
teberatu/54f94a65a333110a068b4ae0/evolusi-gedung-bank-indonesia

436 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Gambar 7.49. Kolom-kolom utama bangunan BI Yogya yang telah dikonservasi
dengan sempurna (atas).
Desain kolom-kolom utama pada bangunan BI Banda Aceh lebih sederhana. Sebagai
bangunan heritage, kolom-kolom utama yang dimanfaatkan untuk utilitas jalur kabel
listrik dan stop kontak perlu direstorasi (bawah).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 437


Peran BI Aceh dalam Upaya Membangun
Banda Aceh Heritage
Jalur Jejak Budaya dan Tsunami

D i Kota Banda Aceh terdapat banyak titik bersejarah yang menunjukkan


peninggalan masa kesultanan, masa kolonial Belanda, serta tragedi
tsunami 2004. Gedung Bank Indonesia (BI) yang berlokasi di Jalan Cut
Meutia dan menghadapkan wajahnya ke Krueng Aceh merupakan salah
satu titik bersejarah tersebut.
Untuk melestarikan warisan sejarah dan memelihara memori kolektif
Kota Banda Aceh, diperlukan gerakan sadar pusaka. Langkah awal yang
perlu dilakukan adalah upaya menginventarisasikan semua artefak dan
toponimi peninggalan sejarah di kota itu. Langkah berikutnya adalah
menautkan semua situs dari berbagai lapisan sejarah itu ke dalam suatu
struktur rangkaian yang terpadu, berupa collage dari heritage trails kota
ini. Heritage Trail merupakan lingkage atau perekat sebuah kota yang
menautkan semua objek-objek yang bertebaran dan terpencar-pencar
dari berbagai lapisan peristiwa sejarah. Melalui trail dalam kota, sejak
usia dini anak-anak, taman kanak-kanak, dan sekolah dasar telah dapat
diperkenalkan tentang sejarah kotanya. Demikian pula para turis yang
datang berkunjung dalam waktu singkat dapat memanfaatkan jalur-jalur
jejak budaya ini, sehingga dapat lebih memahami dan menikmati denyut
kehidupan Kota Banda Aceh.
Sejak tahun 2007 telah dibuat Peta Jalur-jalur Jejak Budaya Banda
Aceh dan Aceh Besar, dengan menautkan 100 titik bersejarah.73 Peta
tersebut memuat beberapa peta heritage trail untuk kawasan Kota Banda
Aceh, yaitu (1) trail kawasan Kota Lama, (2) trail Krueng Aceh, dan (3)
trail tsunami. Untuk melengkapi trail Kota Banda Aceh itu, dibuat juga
peta trail untuk kawasan Kabupaten Aceh Besar, yaitu (4) Trail Aceh Lhee
Sagoë, (5) Trail Lini Konsentrasi, dan (6) Trail Ujong Pancu yang bertaut

73 Yayasan Bustanussalatin bekerja sama dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias dan
Pemerintah Kota Banda Aceh memprakarsai pembuatan Peta Heritage Trails Kota Banda Aceh
tersebut.

438 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Gambar 7.50. Peta Kraton Met Omstreken yang dibuat Belanda pada tahun 1874,
setelah Belanda berhasil merebut Keraton. Terlihat posisi lokasi DJB Koetaradja yang
didirikan pada 1918, berada pada kawasan sekitar Keraton ini. Tatanan kota Keraton
Aceh sangat sukar terbaca karena dihancurkan oleh kolonial Belanda, yang mendirikan
pendopo gubernur militernya di lahan bekas tapak keraton dan mendirikan tangsi
dan barak-barak militer di sekitarnya. BI perlu mendukung upaya penelitian sejarah
rekonstruksi tatanan kota di masa kesultanan yang memakmurkan Aceh sehingga
menjadi daerah modal.
Sumber: Muhammad Hasan Basry dan Ibrahim Alfian, The Dutch Colonial War…, (1990).

erat dengan Heritage Trail di dalam Kota Banda Aceh, sehingga menjadi
suatu linkages objek-objek bersejarah yang tak terpisahkan oleh batas-
batas administratif.
Jalur jejak budaya ini merupakan program napak tilas terutama untuk
generasi muda dalam rangka pembinaan karakter untuk lebih meresapi
dan memahami warisan budaya. Tepat di jantung kota kita terpana

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 439


menyaksikan keindahan Masjid Raya Baiturrahman yang monumental,
kharismatik, dan dicintai rakyatnya, muncul rasa bangga dan bahagia
berada dalam suasana syahdu di kawasan bersejarah itu. Sebuah local
genius yang menjadi simbol kota Serambi Mekah.
Namun, di bagian lain terdapat lanskap kota yang citranya telah
memudar. Krueng Aceh yang kini lengang, di masa lalu pernah menjadi
jalur “high way” yang sarat dengan perahu penduduk mencari nafkah, dan
Krueng Darôy yang lengang adalah sungai yang dulu sengaja dibuat oleh
Sultan Iskandar Muda melintasi Taman dan Istana, sebagai pembangkit
citra suci dan higienis kota ini. Taman Bustanussalatin yang berlokasi di
sekitar “Dalam” yang sangat luas, dulu dikenal sebagai taman raja-raja,
kini tidak lagi memiliki berbagai jenis bunga dan buah-buahan, seperti
yang tertulis secara rinci dalam Kitab Bustanussalatin karya Nuruddin Ar
Raniry, begitu pula dengan Pelabuhan Ulee Lheue dan Pelabuhan Kuala
yang kurang berkembang, padahal dahulu memiliki peranan yang amat
penting sebagai bandar (pelabuhan) yang sibuk.
Tragedi tsunami 26 Desember 2004 yang teramat dahsyat, telah
mengetuk hati, perhatian, dan pemikiran seluruh anak bangsa dan
masyarakat internasional terhadap Aceh. Aceh telah sedemikian terbuka,
sehingga segala jenis bantuan dan pemikiran terutama yang bersifat jangka
pendek mengalir deras, namun seringkali instan. Proses rekonstruksi Aceh
pascatsunami seyogyanya berbasis pada karakter budaya setempat. Oleh
karenanya, proses rekonstruksi Aceh dalam jangka panjang memerlukan
kearifan agar kota ini tidak kehilangan pusaka budayanya.
Keragaman citra esensial yang digali dari ingatan kolektif dan sejarah
kota ini akan memberikan sumbangan bagi proses kreatif perancangan
arsitektur bangunan, lanskap, dan tata ruang kota ini. Banyak objek yang
menjadi aset pusaka Kota Banda Aceh yang perlu dihidupkan kembali
melalui tatanan arsitektur kota yang memancarkan keindahan, kekayaan
makna, dan pesan. Melalui trail, kita bergerak dan hidup dalam ruang
kota yang menautkan kenangan masa lalu, kenyataan masa kini, dan
memunculkan semangat yang menghidupkan harapan-harapan baru di
masa depan.

440 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Tsunami merupakan momentum titik balik peradaban, yang
membuat Aceh menjadi bangkit kembali menuju ke peradaban baru
yang lebih maju. Menghadirkan sesuatu yang baru dan bermakna tentu
memerlukan sejarah dan memori. Di samping pembacaan sejarah,
collective unconscious yang terpendam bagai mati suri dalam bumi Aceh
perlu digali kembali. Kekayaan heritage Aceh seperti gedung BI harus
dijaga dan diperkenalkan cerita sejarahnya kepada masyarakat, khususnya
masyarakat Aceh, sehingga objek bersejarah yang tidak terpisahkan dari
sejarah kota ini bisa mendapatkan apresiasi lebih baik dari warga kotanya
maupun mereka yang datang berkunjung ke kota ini.

Revitalisasi Krueng Aceh

Pada zaman kesultanan Sungai Krueng Aceh dipercaya memiliki khasiat


untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Sungai ini memiliki
air yang bersih dan sehat, orang-orang yang memiliki berbagai macam
penyakit datang dari berbagai daerah untuk mandi di sungai tersebut.
Francois Martin pada tahun 1602 menduga bahwa air sungai yang bersih
ini memperoleh khasiat untuk menyembuhkan penyakit karena adanya
tanaman obat-obatan seperti kamper dan benzoat (kemenyan) yang
ditanam di hulu sungai.
Keberadaan berbagai suku bangsa yang menetap di sepanjang
kawasan Krueng Aceh ini memberikan adanya keragaman budaya di
Banda Aceh. Beberapa bangunan bersejarah yang juga terletak di kawasan
ini pun memberi makna adanya beragam budaya yang berkembang di
Banda Aceh. Selain itu, kawasan di sepanjang Krueng Aceh juga memberi
kontribusi ekonomi di Banda Aceh, seperti adanya kegiatan perikanan,
perdagangan, jasa, dan pemerintahan.
Perencana kota zaman kolonial juga melihat Krueng Aceh sebagai
aset penting untuk memperindah kota. Belanda menempatkan gedung
De Javasche Bank (DJB) dan gereja di tepiannya dengan mengorientasikan
wajahnya ke sungai, sehingga menghasilkan panorama pantulan
bayangan gedung dan sinar lampu di dalam air yang estetik.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 441


Akan tetapi, kemakmuran sungai ini sebagai pendukung pelayaran
dan kehidupan rakyat mencari nafkah mulai berkurang sejak ditutupnya
jalur pelabuhan oleh Belanda. Bahkan perahu-perahu tidak dapat leluasa
melalui sungai ini setelah dibangunnya Jembatan Peunayong dan Pante
Pirak yang digunakan oleh Belanda untuk mengangkut logistik militer
menyeberangi sungai. Jembatan Belanda yang menggunakan banyak
tiang-tiang penopang yang disusun rapat di dalam sungai, menghalangi
perahu lewat di bawahnya.
Selain itu, banyak bangunan baru yang didirikan setelah kemerdekaan
tidak lagi mengorientasikan dirinya ke sungai, sehingga mengurangi
kualitas panorama tepian sungai. Kini Krueng (Sungai) Aceh pun tampak
sepi, tak ada lagi perahu-perahu warga kota yang berlayar hilir mudik
di sungai itu. Amat disayangkan, fasilitas sungai yang sangat potensial
ini tidak dimanfaatkan secara optimal. Demikian pula Krueng Aceh yang
dulu memiliki daya penyembuh bagi orang sakit kini sudah tidak dapat
dirasakan lagi.
Padahal Krueng Aceh yang terletak tepat di tengah-tengah
kota merupakan lokasi yang strategis, sehingga dapat menjadi ruang
utama kota yang dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan
Kota Banda Aceh. Di sepanjang Krueng Aceh juga terdapat berbagai
fungsi ruang kota, mulai dari kawasan permukiman, pemerintahan,
perdagangan, tempat ibadah, bangunan militer, serta fasilitas umum. Dari
berbagai fungsi tersebut Krueng Aceh tentu memiliki potensi yang besar
untuk dapat dijadikan ruang publik utama di Kota Banda Aceh. Maka
dari itu, program revitalisasi Krueng Aceh dan kawasan di sekitarnya
merupakan suatu langkah yang tepat untuk menghidupkan kembali citra
Kota Banda Aceh. Sudah selayaknya BI sebagai saksi sejarah yang terletak
di kawasan itu dapat berperan aktif menggerakkan upaya pelestarian dan
revitalisasi itu.
Upaya revitalisasi Krueng Aceh sebagai unsur utama citra waterfront
city diawali pada tahun 2007 dengan program membangun taman
pembibitan nursery pada lahan 1.000 m2 di tepian sungai, tepat di depan
gedung BI hingga ke depan Hotel Lading, yang dilakukan pada masa
BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) bekerja sama dengan Yayasan

442 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Bustanussalatin. Tahun 2008 Wali Kota Banda Aceh, Mawardy Nurdin,
beserta tokoh-tokoh masyarakat adat Pusaka Nanggroe meresmikan
nursery itu dengan berperahu bersama warga kota dari dermaga kecil
yang dibangun di nursery tersebut.
Masyarakat kota pada awalnya mengapresiasi positif upaya ini
dengan menikmati panorama Krueng Aceh dari beberapa anjungan
kecil di sepanjang promenade yang dibangun di situ, demikian pula para
siswa memanfaatkan gazebo untuk kegiatan belajar bersama di taman
kecil itu. Sayang, tak lama kemudian fasilitas publik tempat warga kota
menikmati panorama sungai itu sempat dirusak orang karena dianggap
menjadi tempat perilaku maksiat di malam hari. Namun, beberapa tahun
kemudian pemerintah telah merenovasi kembali anjungan-anjungan itu,
agar berfungsi sebagai tujuan semula.
Pada tahun 2018–2019 program revitalisasi Krueng Aceh dilanjutkan
dengan membangun beberapa buah anjungan di bagian lain tepian
Krueng Aceh. Program revitalisasi Krueng Aceh ini dimaksudkan untuk
membentuk kawasan wisata kuliner. Dengan merevitalisasi Krueng Aceh,
Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman, ingin menjadikan Kota Banda
Aceh sebagai waterfront city, yang memiliki sungai yang indah dan bersih.
Program ini akan dilanjutkan dengan menjadikan kawasan Pasar Ikan
Peunayong menjadi lokasi kuliner dan pusat refreshing bagi warga kota.74
Pada Agustus 2018 Pekan Kebudayaan Aceh VII dimeriahkan oleh
acara Festival Krueng Aceh yang dinikmati oleh warga kota dengan penuh
antusias. Krueng Aceh dari Jembatan Pante Pirak hingga ke Peunayông
telah menjadi tempat hiburan masyarakat kota dengan kegiatan lomba
perahu hias diiringi alunan musik rakyat dan dimeriahkan oleh perahu
karet militer yang memanjakan warga yang bergiliran mengantre untuk
melaju kencang bersama perahu karet berkeliling di sungai itu.

74 Pemkot Banda Aceh, 2019.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 443


Gambar 7.51. Warga Berperahu bersama Wali Kota Banda Aceh Pada Tahun 2008 di
Krueng Aceh
Sumber: Kamal A. Arif, Ragam Citra Kota Banda Aceh…, (2008).

Gambar 7.52. Kiri atas: anjungan pada saat awal pembuatan (tahun 2008); kiri bawah:
anjungan ketika dihancurkan; kanan: anjungan saat direnovasi kembali.

444 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Gambar 7.53. Acara Festival Krueng Aceh pada PKA ke-8, Agustus 2018
Sumber: Serambi Indonesia, Tribunnews.com

Krueng Aceh, Kota Lama, dan Sabang Trails


Trail Krueng Aceh

Kawasan di sepanjang Krueng Aceh merupakan suatu ruang di Kota


Banda Aceh yang menjadi acuan utama awal berdirinya Kota Banda Aceh
dan dapat merepresentasikan perjalanan sejarah Kota Banda Aceh. Salah
satu trail atau jalur yang dapat dilalui untuk melintasi titik-titik bersejarah
di kawasan ini adalah Trail Krueng Aceh yang menghubungkan titik-titik
bersejarah dengan menyusuri Krueng (sungai) Aceh, mulai dari Gedung
CPM di Pante Pirak hingga ke muara sungai dan berakhir di Gampong
Pande dengan melewati 14 titik. Salah satu titik yang dilewati adalah
gedung BI. (Titik No.35)

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 445


TRAIL KRUENG ACEH
Sejak awal kerajaan Aceh, Krueng (Sungai) Aceh merupakan highway pembentuk
Gampong
Pande 41
Kota Banda Aceh. Di sepanjang sungai itulah bangunan-bangunan lama sejak
zaman kesultanan berdiri. Trail Krueng Aceh ini melalui 11 titik bersejarah yang
dimulai dari Jembatan Pante Pirak hingga Gampong Pande, ditambah dengan 3
titik yang terletak di sekitar banjir kanal (floodway) Krueng Aceh yaitu, Tugu
Tentara Pelajar, Rumah Teuku Nyak Arif dan Tugu Darussalam. Trail ini dapat Kapal Tsunami
dilakukan dalam waktu setengah hari dengan berperahu dan naik labi-labi 40 Lampulo
Tugu
Tentara Pelajar
(angkutan kota). Masjid
Teungku Di Anjong 39 42
ACEH RIVER TRAIL
Since the beginning of the Aceh Sultanate, Krueng Aceh River had been utilized as
the highway of Banda Aceh. A lot of buildings were built in the side of the river and
Monumen
faced the river. There are 11 heritage spots though this trail, it starts from the Pante
Pirak Bridge and ends at Gampong Pande village. The trailis then followed by three
Belanda Peulanggahan 38
Rumah
other spots located around Krueng Aceh floodway, the objects are Student Soldiers Teuku Nyak Arif
Monument, Teuku Nyak Arief House and Darussalam mounument. This trail can be
done by using motor boat and riding labi-labi local public transportation within a 43
halfday. Kuil Hindu 37

Banjir Kanal Krueng Aceh


36 Peunayong
44
Tugu
Darussalam
Bank
Indonesia 35

34 Taman REX

33 Kelenteng Cina

32 Pulau Gajah

31 Pante
Jembatan
Pirak

Gambar 7.54. Jalur Krueng Aceh Trail


Sumber: Kamal A. Arif dan Salmawaty, Banda Aceh Heritage…, (2013)

35 BANK INDONESIA Gedung Bank Indonesia memang sejak


awal didirikan oleh pemerintah Belanda
sebagai sebuah bank. Gedung ini
35. BANK OF INDONESIA
The building of Bank Indonesia was meant

INFO
to be a bank as it was built in 1916, the era
dibangun masa Gubernur Jendral of the Dutch Governor, General H.N.A.
Belanda H.N.A. Swart (1916). Fungsinya Swart (1916). It was used as a circulation
Koordinat : 5° 33’26.98”N sebagai bank sirkulasi yang bertugas bank which printed and distributed
95° 19’03.15”E mencetak dan mengedarkan uang. money. Until now the building still holds
the same purpose as Bank Indonesia that
Terletak di Jalan Cut Meutia Pada 2 Maret 1964 Bank Indonesia maintains the value of rupiah.
menghadap ke Krueng Aceh, di membuka cabang di Banda Aceh
sebelah Kantor Polisi. menggunakan gedung ini untuk The building faces the Krueng Aceh,
memajukan perekonomian daerah Aceh.
PETA MAP
stands on Jalan Nasional wich is now
Sampai sekarang gedung ini masih altered to be Jalan Cut Meutia. This was
dipakai sebagai Bank Indonesia yang the first colonial building which was built
memelihara kestabilan nilai rupiah. by considering the local hot climate, which
can be seen through its many large
Gedung ini menghadap ke Krueng Aceh,
windows and ventilations but still
di Jalan Nasional yang kini berubah
precenting from the sun.
namanya menjadi Jalan Cut Meutia.
Gedung ini adalah bangunan Belanda
pertama yang dibangun dengan
menyesuaikan iklim di Aceh yang panas,
terlaihat dari jendela dan ventilasinya
yang besar dan banyak dan dapat
menghambat radiasi matahari. Gedung
ini masih terawat dengan baik meski
sebelumnya terkena tsunami, karena
sudah direnovasi kembali seperti bentuk
semula.

Gambar 7.55. Penjelasan mengenai Bank Indonesia pada Trail Krueng Aceh di dalam
buku panduan ‘Banda Aceh Heritage Jalur Jejak Budaya dan Tsunami’.
Sumber: Kamal A. Arif dan Salmawaty, Banda Aceh Heritage…, (2013)

446 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Trail Kota Lama

Trail Kota Lama Banda Aceh merupakan titik-titik bersejarah peninggalan


masa kesultanan, masa kolonial, dan era kemerdekaan. Terdapat 30 titik
bersejarah dalam trail Kota Lama ini yang dapat dilakukan dalam satu hari
dengan bersepeda atau berjalan kaki.

an
hm
il
m

rra
am

itu
uk

Ba
il M

ya
id

Ra
h
Sa

ce

jid
am

rA

as
sa
ak

M
1

Pa
M
Gedung SMA 1 4 3 2

da
an
el
Blang Padang 5

B
eh

ri

ir
Sa

aA
Ac

an

ar
l
te

en
m
Ho

Ta

M
Monumen Pesawat
27 26 25
RI-001 Seulawah 6
Kandang
24
Stasiun Kereta Api 28 Meuh

Makam
Kerkhof 7 23 Raja-raja Bugis
Makam Poteu Jeumaloy 29
22 Makam Sultan
Iskandar Muda
Makam 8 Bioskop Garuda 30
Teungku Di Bitay 21 Gedung Baperis
Sentral
11 Telepon Militer 20
Loceng
Cakra Donya
Makam
9
Raja Reuban 19 Museum Aceh
Gunongan 12

Makam 10 13 14 15 16 17 18
Raja Jalil
ni

n
op
g

I
XI
ro
sa

to
an

Kh
rT

Da

ra
Ph

an

Ke
da

ng
e

nd
nt
an

tro

ue
Pi
lta m

Ka
Isk

Pu

Kr
Su aka
n

an
M

m
Ta

Gambar 7.56. Trail Kota Lama Banda Aceh


Sumber: Kamal A. Arif dan Salmawaty, Banda Aceh Heritage…, (2013)

Pada trail Kota Lama terdapat objek yang terpelihara dan masih
berfungsi dengan sangat baik, seperti Masjid Raya Baiturrahman, Gedung
SMAN 1 Banda Aceh, Kerkhof, Gunongan, Pintu Khop, dan Pendopo
Keraton. Di antaranya terdapat pula objek yang telah hilang, seperti Hotel
Aceh dan Stasiun Kereta Api. Pada beberapa objek, ada plakat dalam
tiga bahasa yang dipasang di lokasi sebagai penanda, seperti pada lokasi
bekas bangunan Hotel Aceh dan Stasiun Kereta Api.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 447


HOTEL ACEH

Bak tempat nyoë geupeudong Hotel Aceh,


teumpat singgahan Presiden Soekarno watèe
geusaweue Aceh lam
buleuen Juni 1948.
Di Hotel Aceh nyoë Presiden Soekarno sira
geumoë geulakèe bantaun rakyat Aceh beujeuet
geubri kapai teureubang guna keupeunténgan
diplomasi
Neugara Indonesia.
Ban dua boh kapai teureubang nyan teuma
geubôh nan Seulawah 01 ngon Seulawah 02.

Di lokasi ini pernah berdiri Hotel On this site once stood the “Hotel
Aceh, tempat Presiden Soekarno Aceh” where President Soekarno
singgah dalam kunjungannya ke stayed during his visit to Aceh in
Aceh pada Juni 1948. June 1948.
Di hotel inilah Soekarno sempat In this hotel, Soekarno, with tears
sambil menangis tatkala meminta in his eyes, asked the people of
rakyat Aceh untuk membantu Aceh to assist in the purchase of
membeli pesawat guna aeroplanes to support Indonesia’s
kepentingan diplomatik diplomatic missions.
Indonesia. The Acehnese people gifted the
Kedua pesawat sumbangan nation with two aircraft which
rakyat Aceh kemudian diberi were given tha names Seulawah
nama Seulawah 01 dan 01 and Seulawah 02.
Seulawah 02.

Gambar 7.57. (Kiri): Plakat Hotel Aceh dalam tiga bahasa, yaitu Bahasa Aceh,
Indonesia, dan Inggris;
(Kanan) Ditempatkan Pada Lokasi Eks Hotel Aceh di Selatan Masjid Raya Baiturrahman
Sumber: Kamal A. Arif dan Salmawaty, Banda Aceh Heritage…, (2013)

Sabang Trail

Sejak tahun 1895 Gubernur Jenderal van Heutsz membuka Sabang


sebagai Vrijhaven (freeport) yang makmur, mengundang pengusaha dari
berbagai belahan dunia untuk datang.
Sebuah karikatur dari zaman kolonial Belanda sampai-sampai
memperlihatkan para dewa dari Planet Mars dan Merkurius pun datang
dan disambut van Heutsz dengan gembira, dicatat dalam buku memoar
Mia Koning Droemen over Sabang, yang pernah mengalami masa kecil
menjadi warga Sabang pada tahun 1920-an, saat Sabang makmur dan
permai. Ketika itu kapal-kapal besar bertingkat merapat di dermaga, noni-
noni Belanda turun memakai payung. Tuan besar Belanda menyaksikan
pemandangan itu di tepi dermaga mengisap cerutu, bertolak pinggang,
ditemani olifantje, seekor gajah mungil...!

448 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Gambar 7.58. Karikatur pada Surat Kabar Amsterdammer 1 November 1903,
menggambarkan Jenderal J. B. van Heutsz menyambut para ‘Tamu Agung dari planet
Mars dan Mercurius’ di Pelabuhan Bebas Sabang.
Sumber: Mia Koning-van der Veen, Droemen over Sabang (Zaltbommel: Avanti, 1991), hlm. 13.

Semenjak Perang Dunia Kedua, Jepang berperang dengan


Sekutu di Sabang, kegiatan Pelabuhan Bebas Sabang terhenti. Barulah
kemudian pada awal tahun 1963 Ibrahim Abdullah mengusulkan konsep
pembentukan kembali Pelabuhan Bebas Sabang. Gagasan itu awalnya
ditolak Presiden Sukarno. Tapi belakangan diterima dan Ibrahim Abdullah
diminta melakukan persiapan. Persetujuan Presiden Sukarno menjadikan
Sabang sebagai pelabuhan bebas tertuang dalan Penetapan Presiden
(Penpres) No. 10 Tahun 1963. Atas usul Soedomo, Dirjen Perhubungan
Laut yang menjadi anggota tim persiapan Freeport Sabang, pengelola

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 449


Freeport Sabang diberi nama Komando Pembangunan Proyek Pelabuhan
Bebas Sabang (KP4BS). Dalam sebuah pernyataannya, Ibrahim Abdullah
diberi uang Rp 5 juta untuk membangun freeport Sabang.75
Melihat potensi Freeport Sabang yang besar dalam memakmurkan
perekonomian rakyat melalui kegiatan perdagangan di Pelabuhan Bebas
Sabang tersebut, BI membuka kantor cabang pada 1964 yang bertugas
untuk mendukung rencana Pembukaan Pelabuhan Bebas Sabang.
Kantor BI Cabang Sabang secara resmi dibuka pada 28 Desember
1964. Pembukaan Kantor Cabang Sabang menjadi bagian dari perluasan
wilayah kerja BI pada tahun 1960-an. Pembukaan cabang di wilayah
ini mempunyai arti sangat penting mengingat secara geografis Sabang
merupakan crossroads dan strategis antara Lautan Indonesia dan Lautan
Pasifik. Sabang merupakan Pelabuhan Bebas yang mempunyai potensi
untuk menyaingi pelabuhan Singapura dan Penang, Malaysia.
Pembukaan Kantor BI di tingkat cabang juga sesuai dengan rencana
BI membuka kantor secara merata di setiap provinsi. Dalam kaitan itu, BI
cabang Sabang turut berperan dalam mengembangkan Pelabuhan Bebas
Sabang yang bertujuan untuk:
1. Memperlancar perdagangan barang-barang ekspor Indonesia ke
pasaran dunia.
2. Memperbesar volume perdagangan internasional negara Indonesia
dengan menggunakan Pelabuhan Sabang sebagai tempat untuk
pengolahan yang meliputi proses selecting, sorting, dan upgrading
dari hasil-hasil ekspor Indonesia.
Dalam perkembangan kemudian, pada tahun 1969 KC BI Sabang
ditutup dan tugasnya dikembalikan ke KC BI Banda Aceh yang wilayah
kerjanya meliputi seluruh Daerah Istimewa Aceh, termasuk Sabang.76
Freeport Sabang mengalami pasang surut, ditutup pada masa
Presiden Soeharto dengan UU No. 10 Tahun 1985. Pada masa Presiden

75 “Pendiri Freeport Sabang Meninggal Dunia”, 2015, https://aceh.tribunnews.com/2015/10/25/


pendiri-freeport-sabang-meninggal-dunia (diakses pada 18 Agustus 2020).
76 Bank Indonesia, “Sejarah Bank Indonesia: Kelembagaan Periode 1959-1966”, https://www.bi.go.id/
id/tentang-bi/museum/sejarah-bi/bi/Pages/sejarahbi_1.aspx.

450 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Abdurrahman Wahid, Sabang kembali dijadikan pelabuhan bebas melalui
UU No. 36 dan No. 37 Tahun 2000. Namun, kemakmuran wilayah sebagai
Pelabuhan Bebas itu tampaknya masih belum kunjung menampakkan
hasil, kecuali ramainya pengunjung ke Sabang untuk tujuan wisata, yang
hanya dilayani oleh dua buah armada ferry yang pulang pergi sehari dua
kali dari Pelabuhan Ulee Lheue di Banda Aceh ke Balohan di Sabang.
Sejarah panjang Sabang yang fenomenal sebagai Indonesian
frontier wilayah Republik Indonesia menyimpan banyak titik bersejarah
yang sangat pantas untuk dilestarikan dan dipromosikan sebagai wisata
sejarah, antara lain dermaga sabang, bangunan-bangunan dan fasilitas
publik peninggalan kolonial, situs asrama haji dan bekas rumah sakit jiwa
yang dibangun Belanda, situs benteng militer Jepang, kuburan tentara
Jepang di masa Perang Dunia II, dan berbagai situs panorama alam yang
permai serta titik KM Nol yang memiliki daya tarik sendiri bagi bangsa
Indonesia.

Gambar 7.59. Kantor Cabang BI di Sabang 1964–1969. Di zaman Belanda adalah


Kantor Pusat Pelabuhan dan Stasiun Tambang Batu Bara (Het Hoofdkantoor der
Zeehaven en Kolenstation ven de Sabang Mij).
Sumber: Mia Koning-van der Veen, Droemen over Sabang (1991: 44).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 451


Trail Krueng Aceh sangat patut dilanjutkan dengan Trail Sabang,
menautkan sejarah BI Kota Banda Aceh dengan BI yang pernah ada di
Kota Sabang. Kantor Cabang BI Sabang hanya bertahan selama 5 tahun
(1964–1969) terletak di Jalan Perdagangan, yang di zaman Belanda
adalah Kantor Pusat Pelabuhan dan Stasiun Tambang Batu Bara Sabang
(Het Hoofdkantoor der Zeehaven en Kolenstation ven de Sabang Mij).

Peran Aktif BI Aceh dalam Kegiatan Heritage di Kota Banda


Aceh dan Sabang

BI Aceh selain memugar bangunannya sendiri dalam upaya memajukan


wisata budaya, dapat berperan aktif membantu kegiatan konservasi dan
revitalisasi di kawasan Krueng Aceh dan kota lama antara lain:
1. Mensponsori pelaksanaan kegiatan Heritage Trail Krueng Aceh,
Kota Lama, dan Sabang sebagai upaya pelestarian dan revitalisasi
cagar budaya pada titik-titik bersejarah sepanjang trails tersebut
serta mendukung kegiatan wisata budaya yang bermanfaat bagi
masyarakat luas.
2. Mensponsori upaya penelitian, pemugaran, dan revitalisasi situs dan
bangunan bersejarah di sepanjang trail Krueng Aceh, dari Jembatan
Pante Pirak hingga ke Kuala.
3. Mensponsori upaya penelitian rekonstruksi “dalam” di Keraton
Daruddunia77 dan sekitarnya, yang memiliki muatan sejarah yang
sangat kuat dari masa kesultanan hingga di zaman kolonial di
kawasan Kota Lama dan merevitalisasi taman-taman kota yang
mewarisi khazanah Taman Bustanussalatin.

77 Nama keraton (Meuligoe) di masa Kesultanan

452 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Bab 8
Epilog

Tahun 2020 ini, Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) Aceh genap
berusia 102 tahun. KPwBI yang secara resmi didirikan pada 2 Desember
1918 dengan nama De Javasche Bank (DJB) Agentschap Koetaradja ini
telah melewati berbagai situasi dan kondisi mengikuti dinamika politik
dan ekonomi yang terjadi di Aceh. Dengan statusnya sebagai bank sentral
dan bank sirkulasi, kehadiran KPwBI Aceh telah ikut berkontribusi dan
mewarnai perkembangan ekonomi Aceh sejak awal abad ke-20.
Salah satu pertimbangan didirikannya DJB Agentschap Koetaradja
adalah letak Aceh yang berada pada posisi yang sangat strategis di pintu
masuk Selat Malaka yang merupakan jalur pelayaran utama di Asia sejak
zaman kuno. Pembukaan DJB Koetaradja diharapkan akan memacu
pertumbuhan ekonomi Aceh, sehingga dapat menjadikan Aceh sebagai
sentra ekonomi baru di Hindia Belanda terutama setelah dibukanya
Pelabuhan Bebas Sabang. Dengan berkembangnya perekonomian
diharapkan akan berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan
rakyat, sehingga pada gilirannya rakyat Aceh tidak lagi memusuhi Belanda
(tujuan politik pasifikasi).
Harapan ini sangat beralasan bila melihat apa yang pernah dicapai
Aceh dalam perjalanan sejarahnya di masa lalu. Dengan kecerdasan
memanfaatkan posisi geografis Aceh yang sangat strategis di pintu masuk
Selat Malaka, beberapa bandar di Aceh telah menjelma menjadi pusat
perdagangan penting di kawasan ini jauh sebelum munculnya Kesultanan
Aceh Darussalam, seperti Lamuri, Pasai, Pedir, dan Singkil. Beragamnya
komoditas yang dihasilkan membuat bandar-bandar tersebut telah
menjadi tempat yang banyak disinggahi oleh pedagang-pedagang asing,
terutama dari Tiongkok, India, dan para pedagang dari Nusantara. Dengan

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 455


majunya perdagangan, bandar-bandar tersebut telah berkembang
menjadi daerah yang maju. Berdasarkan bukti tinggalan mata uang
dirham yang pernah digunakan sebagai alat tukar pada beberapa bandar
tersebut membuktikan bahwa kehidupan rakyat di bandar tersebut
sangat makmur. Perkembangan juga terjadi dalam bidang politik dan
kebudayaan.
Dalam perkembangan selanjutnya, bandar-bandar tersebut
kemudian diintegrasikan dalam satu kesatuan politik yaitu Kesultanan
Aceh Darussalam oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada awal abad ke-
15, tidak lama setelah berdirinya kerajaan tersebut. Kejadian tersebut
hampir bertepatan waktunya dengan jatuhnya Malaka ke tangan
Portugis tahun 1511 yang ikut memengaruhi perkembangan Kesultanan
Aceh Darussalam. Jatuhnya Malaka telah membawa berkah tersendiri
kepada Kesultanan Aceh Darussalam, karena para pedagang Islam
yang sebelumnya berdagang di Malaka sebagian besar tidak mau lagi
berdagang di sana dan mencari pelabuhan alternatif di sekitar Selat
Malaka untuk tempat mereka berdagang. Ditopang dengan kekuatan
militer yang mampu menjaga keamanan para pedagang yang singgah,
telah menjadikan Bandar Aceh Darussalam menjadi pusat perdagangan
penting di bagian barat Nusantara saat itu. Pada masa kejayaannya
awal abad ke-17, Bandar Aceh Darussalam tidak hanya disinggahi oleh
pedagang dari Nusantara, tetapi juga menjadi pusat pertemuan para
pedagang dari berbagai penjuru dunia seperti dari Tiongkok, Pegu, India,
Persia, Arab, dan Eropa.
Majunya perdagangan ini telah berkontribusi besar terhadap
kebesaran Kesultanan Aceh Darussalam, sehingga pada masa
keemasannya Kesultanan ini tidak hanya menjadi pusat ekonomi tetapi
juga sebagai pusat intelektual dan peradaban Islam di Nusantara, bahkan
di Asia Tenggara. Banyak tokoh intelektual Aceh yang berpengaruh
besar terhadap perkembangan peradaban Islam di Asia Tenggara seperti
Syamsuddin as-Sumatrani, Hamzah Fansuri, Abdurrauf as-Singkili atau
Syiah Kuala, dan Nuruddin Ar-Raniry. Pemikiran-pemikiran mereka telah
menjadi rujukan dalam perkembangan Islam di kawasan Asia Tenggara.

456 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam berakhir dengan datangnya
pengaruh Barat ke Aceh. Perluasan kolonialisme Belanda ke Aceh
menyebabkan terjadi perang yang berkepanjangan dengan rakyat Aceh
yang berusaha mempertahankan kedaulatan wilayahnya. Akibatnya,
hampir seluruh infrastruktur ekonomi di Aceh hancur, sehingga kegiatan
ekspor dan impor yang sebelumnya menjadi penopang perekonomian
Aceh boleh dikatakan berhenti sama sekali. Dalam upaya menghidupkan
kembali perekonomian, Belanda membuka kembali beberapa pelabuhan
yang berhasil dikuasai untuk kegiatan ekspor. Sejak itu aktivitas ekspor
dan impor di Aceh secara terbatas mulai bergulir kembali.
Setelah sebagian besar wilayah Aceh dapat dikuasai dan kondisi
keamanan wilayah dianggap mulai relatif aman, pemerintah kolonial
mulai membuka Aceh sebagai daerah investasi swasta Barat, terutama
dalam bidang perkebunan dan pertambangan minyak bumi. Kesuburan
tanahnya dan kandungan mineral di perut buminya yang melimpah telah
menarik banyak investasi swasta Barat masuk ke Aceh. Diawali dengan
masuknya investasi swasta ke Aceh Timur yang merupakan wilayah paling
dekat dengan Sumatra Timur yang sudah lebih dulu berkembang investasi
swasta, dalam waktu relatif singkat investasi swasta Barat telah menjalar
ke hampir seluruh wilayah Aceh. Perusahaan-perusahaan perkebunan
telah memperluas usaha mereka ke pantai utara, tengah, dan ke pantai
barat selatan Aceh. Jenis komoditas yang dibudidayakan juga semakin
beragam, dari komoditas awalnya yang hanya dibudidaya tanaman karet
telah berkembang ke banyak komoditas komersial lainnya, seperti sawit
dan kopi. Demikian juga halnya dalam bidang pertambangan, yang
awalnya konsesi eksplorasi hanya di beberapa tempat di Aceh Timur, telah
meluas ke Aceh Utara setelah ditemukan ladang-ladang baru di sana.
Hal yang sama juga terjadi dalam eksploitasi Sabang menjadi
pelabuhan bebas dan tempat pengisian batu bara. Posisinya yang sangat
strategis, terlebih setelah dibukanya Terusan Suez telah membuat
Sabang berkembang pesat dan sangat menguntungkan. Perusahaan
yang diberi wewenang melakukan eksploitasi Sabang, Zeehaven en
Kolenstation Sabang atau lebih dikenal dengan Sabang Maatschappij
berhasil menjadikan pelabuhan bebas Sabang menjadi pelabuhan yang

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 457


banyak disinggahi oleh kapal, baik kapal perang maupun kapal dagang
dari berbagai negara. Dari data statistik yang dikeluarkan oleh Sabang
Maatschappij, menunjukkan bahwa sampai dengan resesi ekonomi dunia
tahun 1930-an (malaise), kapal yang singgah di Sabang menunjukkan
tren peningkatan yang signifikan. Walaupun sempat mengalami
penurunan drastis selama masa resesi ekonomi, pertumbuhan pelabuhan
bebas Sabang mulai mengalami peningkatan kembali sejak akhir tahun
1930-an. Namun sayang, kedatangan Jepang tahun 1942 menyebabkan
perkembangan ini berakhir dan Sabang dijadikan sebagai basis utama
pertahanan Jepang di barat Nusantara.
Selain investasi swasta Barat, sejak awal tahun 1900-an juga
mulai terlihat perkembangan dalam aspek perekonomian rakyat. Usaha
pemerintah kolonial memperbaiki perekonomian rakyat dalam upaya
menghentikan perlawanan rakyat terhadap Belanda juga menampakkan
hasil. Penyediaan bibit dan pemberian kredit usaha pertanian rakyat juga
telah berpengaruh terhadap meningkatnya hasil komoditas pertanian
rakyat. Dari data ekspor Aceh pada paruh awal abad ke-20 menunjukkan
bahwa angka ekspor komoditas tradisional Aceh seperti lada, pinang,
dan kopra terus meningkat. Demikian juga komoditas lain yang juga
menunjukkan tren yang sama.
Cepatnya perkembangan ekonomi di Aceh––baik dengan tingginya
investasi yang masuk maupun mulai berkembang kembali perekonomian
rakyat––membuat pemerintah kolonial Belanda mengambil kebijakan
strategis dengan membuka De Javasche Bank Agentschap Koetaradja
pada 2 Desember 1918. Sejak saat itu, DJB Koetaradja telah berperan aktif
mendukung perekonomian Aceh yang sedang tumbuh dan berkembang
pascaperang, baik sektor ekonomi kapitalis maupun sektor perekonomian
rakyat. DJB telah berkontribusi nyata, baik dalam menjaga sirkulasi mata
uang gulden maupun dalam penyediaan kredit bagi berbagai macam
usaha yang sedang tumbuh di Aceh.
Masuknya Jepang tahun 1942 ke Aceh dan Indonesia telah
mengakhiri semua usaha yang telah dirintis oleh DJB Koetaradja dalam
mendukung perkembangan ekonomi Aceh. Selain mengambil alih gedung
kantor untuk kepentingan mereka, pemerintah pendudukan Jepang juga

458 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


telah menyita sejumlah cadangan perak yang tersimpan di khazanah DJB
Koetaradja. Sejak saat itu DJB Koetaradja secara resmi ditutup. Penutupan
ini berlangsung cukup lama, yaitu lebih dari 20 tahun. Meskipun Jepang
telah meninggalkan Aceh sejak pertengahan tahun 1945 dan banyak
kantor cabang DJB lainnya di Indonesia dibuka kembali, DJB Koetaradja
tetap tidak dibuka karena Belanda tidak pernah berhasil kembali lagi ke
Aceh. Operasional DJB Koetaradja dipindahkan Belanda ke Medan.
Setelah terjadinya penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada
Republik Indonesia Serikat (RIS) dan DJB dijadikan sebagai bank sirkulasi pun
operasional DJB Koetaradja juga belum dibuka kembali. Hal ini disebabkan
karena kondisi keamanan di Aceh kurang kondusif pasca pengakuan
kedaulatan akibat meletusnya Pemberontakan DI/TII Aceh tahun 1953 di
bawah pimpinan Teungku Muhammad Daud Beureueh. Pemberontakan
yang berlangsung lama dan melibatkan sebagian besar pemimpin Aceh
telah menyebabkan infrastruktur ekonomi Aceh yang belum sempat
diperbaiki pasca kemerdekaan bertambah hancur. Implikasinya adalah
kesejahteraan rakyat Aceh menurun secara drastis ke titik terendah. Inilah
yang menjadi salah satu alasan dalam proses perdamaian menyelesaikan
pemberontakan DI/TII Aceh kedua belah pihak––baik pihak pemerintah
maupun pihak pemberontak––sepakat prioritas utama pembangunan
Aceh adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Oleh sebab itu,
pembangunan ekonomi menjadi syarat mutlak untuk dapat mencapai
harapan tersebut. Di sinilah dukungan DJB, yang sudah berubah nama
menjadi Bank Indonesia (BI), sangat diperlukan.
Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat, pembangun
kembali Aceh pasca pemberontakan DI/TII dilakukan secara intensif.
Baik pemerintahan sipil maupun pemerintahan militer bergandengan
tangan secara bersama memacu pembangunan di Aceh secara intensif.
Gencarnya proses pembangunan menyebabkan sirkulasi uang juga
semakin meningkat di Aceh. Dalam kondisi yang demikianlah Bank
Indonesia memutuskan membuka kembali kantor cabangnya di Banda
Aceh pada 2 Maret 1964. Pembukaan ini hampir bersamaan waktunya
dengan perubahan nama ibu kota Provinsi Aceh dari Kutaraja menjadi
Banda Aceh. Sejak saat itu KPwBI Aceh telah berkontribusi banyak dalam
mendukung pembangunan di Aceh, terutama pembangunan ekonomi.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 459


Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan pembangunan
kembali Aceh pasca pemberontakan DI/TII, pemerintah pusat mengambil
suatu kebijakan politik konfrontasi dengan Malaysia. Di bidang ekonomi,
kebijakan tersebut dilaksanakan dalam bentuk larangan ekspor Indonesia
ke daerah-daerah Malaysia, seperti Penang dan Singapura. Dalam kaitan
dengan kebijakan tersebut, pemerintah membuka kembali Pelabuhan
Bebas Sabang yang diharapkan dapat menjadi pelabuhan pengganti
Penang dan Singapura untuk pasar komoditas-komoditas yang dihasilkan
wilayah Sumatra dan sekitarnya. Untuk mendukung kebijakan tersebut,
Bank Indonesia membuka kantor cabangnya di Sabang, terutama untuk
menjamin kelancaran devisa dalam kegiatan ekspor dan impor di pelabuhan
bebas tersebut. Kantor cabang BI Sabang resmi dibuka pada 23 Desember
1964. Di tahun-tahun awal pembukaannya, aktivitas perdagangan
di Sabang berlangsung dalam intensitas yang cukup tinggi sehingga
kehadiran kantor cabang BI Sabang memang sangat diperlukan. Akan
tetapi, seiring dengan perubahan kebijakan pemerintah pusat terhadap
bekas jajahan Inggris di Malaysia, menurun pula aktivitas perdagangan di
Pelabuhan Bebas Sabang, sehingga kebutuhan kantor cabang BI Sabang
semakin kecil dan dapat ditangani oleh kantor cabang BI Banda Aceh.
Dengan demikian, kantor cabang BI Sabang secara resmi ditutup sejak 30
Juni 1969. Dengan ditutupnya kantor cabang BI Sabang, kantor cabang BI
di Aceh kembali hanya satu yaitu kantor cabang BI Banda Aceh.
Dalam perkembangan selanjutnya, setelah ditemukan ladang gas
alam cair (Liquid Natural Gas) dalam jumlah yang sangat besar di Aceh
Utara tahun 1970-an, wilayah ini menjadi pusat pertumbuhan ekonomi
baru di Aceh. Sejak saat itu Aceh Utara dijuluki sebagai daerah “Petro
Dolar”. Dalam upaya mendukung pertumbuhan ekonomi yang sangat
cepat di kawasan ini, dibuka kantor cabang BI Lhokseumawe. Oleh karena
perannya untuk mendukung perkembangan ekonomi untuk wilayah
utara dan timur Aceh, kantor cabang BI Lhokseumawe masih tetap eksis
sampai sekarang.
Bila ditinjau dari aspek arsitektur dan sejarah keberadaannya di Aceh,
Gedung Kantor Perwakilan Bank Indonesia Aceh itu sendiri merupakan
suatu heritage yang sangat menarik. Mengambil gaya arsitektur neo-

460 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


klasik yang dipadukan dengan kondisi alam wilayah Aceh yang beriklim
tropis, gedung ini terlihat sangat unik, berbeda dengan gedung lain yang
ada di Aceh. Dengan letaknya yang sangat strategis di pusat Kota Banda
Aceh, berdekatan dengan Masjid Raya Baiturrahman, dan menghadap ke
Krueng Aceh yang merupakan jalur transportasi penting masa kesultanan,
Gedung KPwBI Aceh benar-benar terlihat sangat indah.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 461


MENEGAKKAN KEDAULATAN DAN KETAHANAN EKONOMI:
462 BANK INDONESIA DALAM PUSARAN SEJARAH KALIMANTAN BARAT
DAFTAR PUSTAKA

Arsip
Arsip Bank Indonesia. “Catatan No. C-25/002/UKP Tgl. 19 Juni 1992”.
_________________. Kajian Ekonomi dan Keuangan Daerah Provinsi Aceh Triwulan II-2005. Banda
Aceh: Kantor Bank Indonesia Banda Aceh.
_________________. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Aceh Triwulan II-2010. Aceh: Bank
Indonesia Banda Aceh.
_________________. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Aceh Triwulan IV-2013. Aceh: Bank
Indonesia Banda Aceh.
_________________. Koleksi De Javasche Bank. “Kutaraja, Brieven Vertrouwelijk van/aan
Hoofdkantoor”.
_________________. Koleksi De Javasche Bank. “Jaarverslag van De Javasche Bank 1941/1947”.
_________________. Koleksi De Javasche Bank. “Verslag van de President van De Javasche Bank
1941/1947”.
_________________. Koleksi De Javasche Bank. Boekjaar 1918/1919 No. 42. 91 e.
________________________. Koleksi De Javasche Bank No. 1456, Vertrouwelijk Brieven van De
Javasche Bank Agentschap Kutaraja (1918-1941).
___________________. Koleksi De Javasche Bank, “Rapport over het Bezoek aan Koetaradja van J.
Vos van Marken”, No. 5493.
_________________. Koleksi R. Hardjo Santoso. “De Javasche Bank pada Masa Peperangan”.
_________________. 2008. Laporan Akhir Pekerjaan Penyusunan Blueprint Strategi Pemanfaatan
dan Pelestarian (Konservasi) Bangunan-bangunan Eks De Javasche Bank., Jakarta: Bank
Indonesia.
_________________. Laporan Perekonomian Provinsi Aceh November 2019. Aceh: Bank Indonesia
Banda Aceh.
_________________. Nota Serah Terima Jabatan Kepala Perwakilan Bank Indonesia Lhokseumawe
tanggal 20 Januari 2020.
_________________. Perkembangan Ekonomi Keuangan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam Triwulan III-2005. Nanggroe Aceh Darussalam: Bank Indonesia Banda Aceh.
_________________. Risalah Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia. Jakarta. 28 Desember 2004.
_________________. 2003. Statistik Kajian Ekonomi dan Moneter. Banda Aceh: Bank Indonesia
Banda Aceh.
_________________. 2005. Statistik Keuangan Daerah Provinsi Aceh. Banda Aceh: Kantor Bank
Indonesia Banda Aceh.
_________________. Surat Edaran Bank Indonesia No. 13/108/Rupa-rupa tanggal 26 Maret 1981.
_________________. Surat Edaran No. 7/25/INTERN tanggal 13 April 2005.
_________________. Surat Edaran Bank Indonesia No. 18/82/INTERN tanggal 30 September 2016.
_________________. Surat Gubernur Bank Indonesia kepada Presiden Republik Indonesia No. 7/2/
GBI/DHk.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 463


Arsip Nasional RI. Djogja Documenten No. 47.
_______________. Kolonial Verslag 1906-1907.
_______________. ARA INV.NR: 06589.
_______________. 1936. A. Ph van Aken (Gouvernour), Memorie van Overgave Gouverneur Atjeh
en Onderhorigheden.
_______________. Memorie van overgave van A.H. Philips, aftreded Gouverneur van Atjeh en
Onderhoorigheden, 31 Mei 1932, Mailr. 2544/29.
Arsip Nasional Belanda (Nationaal Archief). “Dagblad Scheepvaart”, 6 July 1956, Den Haag.

Dokumen Pemerintah
Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Sekretariat Jenderal. 2017. Verifikasi dan
Validasi Cagar Budaya Kota Banda Aceh Provinsi Aceh. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Handelsbeweging de Buitenbezittingen in 1913, 1914, 1915. 1917. Mededelingen van het Bureau
voor de Bestuurzaken der Buitenbezittingen 12.

Koran/Majalah
Asia Raya. 10 dan 20 Mei 2602.
Atjeh Post. “Kenaikan Penyaluran Dana Bank di Aceh Mencapai Rata-Rata 177,82 Prosen
Setahun”. Oktober 1980.
De Deli Courant. 23 Mei 1932.
_____________. “Atjeh Economische Situatie”. 8 September 1932.
De Locomotief. “Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch Indie”. 5 September 1931.
De Sumatra Post. “De Javasche Bank”. 8 Oktober 1918.
_____________. “Javasche Bank Kota Radja”. 4 Desember 1918.
De Telegraaf. “De Javasche Bank te Koeta-Radja”. 3 Januari 1916.
Kompas. “Aceh-Belanda Buka 4.000 Ha Areal Baru Kopi Arabica”. 15 Oktober 1994.
_______. “Aceh Memerlukan Percepatan Modal”. 11 Januari 2006.
_______. “Aceh Perlu Investor untuk Buka Lapangan Pekerjaan”. 9 September 2003.
_______. “Dampak Konflik Aceh, Warga Kehilangan Inisiatif”. 29 Januari 2001.
_______. “Di Aceh Nasib Pedagang Semakin Runyam”. 6 November 2000.
_______. “Firasat Pedagang Cina: Ekonomi Aceh Berdenyut Lagi”. 16 Mei 2000.
_______. “Gas Alam Cair: Kejayaan Arun”. 13 November 2013.
_______. “Jepang Bantu Perluasan Tanaman Melinjo di Pidie”. 24 Juni 1994.
_______. “Menanam Sawit, Menabung untuk Pensiun”. 5 Agustus 1994.
_______. “Propinsi DI Aceh, Alamnya Kaya Tetapi Warganya...”. 12 Juli 1999.
_______. “Rendah, Minat Investor Menanam Modal di Aceh”. 16 Juli 1994.
_______. “Tjot Girek Pabrik Gula Terbesar Di Luar Djawa Dibuka”. 22 September 1970.
_______. 13 Mei 1976.
Majalah Tempo. “Aceh Merdeka, Hasan Tiro, dan Satu Tafsir Sejarah”. 11 Juni 2000.

464 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Pikiran Rakyat. 19 Oktober 2001.
Rakyat Merdeka. 9 Oktober 2001.
_____________. 12 Oktober 2001.
Semangat Merdeka. “Perkundjungan Presiden Soekarno ke Atjeh”. Terbitan II (edisi khusus),
Kutaradja, 1948.
______________. 23 Maret 1949.
Serambi Indonesia. 29 Desember 2001.
_______________. 1 April 2005.
_______________. 6 Mei 2005.
_______________. 11 Mei 2005.
_______________. 22 Mei 2005.
_______________. 2 Juni 2005.
_______________. 22 Juli 2005.
Tegas. 27 September 1952.
Vrij Nederland Th. VI No. 26, 19 Januari 1946.
Waspada. 16 November 2001.
Wiyono, S. 2008. Gereja Katolik Hati Kudus Banda Aceh, Berawal dari Gereja Tentara Kolonial.
Reformata, 16–31 Juli, 25.

Buku
Abdullah, Irwan, dkk. 2018. Pengembangan Kebudayaan dan Kemaritiman Aceh: Strategi dan
Tantangan. Banda Aceh: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh.
Abdullah, Taufik. (Ed.). 1992. Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia.
______________, dkk. 2002. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
Alfian, T. Ibrahim, dkk. 1977/1978. Sejarah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek
Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
_______________. 1978. Adat Istiadat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh: Proyek
Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
_______________. 1982. Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh (1945–1949). Banda Aceh:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Pengembangan Permuseuman Daerah
Istimewa Aceh.
_______________. 1986. Mata Uang Emas Kerajaan-Kerajaan di Aceh. Banda Aceh: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Pengembangan Permuseuman Daerah Istimewa Aceh.
_______________. 1987. Perang di Jalan Allah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Ali, Abdullah, dkk. 1985. Sejarah Perjuangan Rakyat Aceh dalam Perang Kemerdekaan 1945–
1949. Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Allen, G. C., Audrey G. Donnithorne. 1957. Western Enterprise in Indonesia and Malaya: A Study
in Ecnmic Development. London: George Allen & Unwin Ltd.
Al-Fairusy, Muhajir. 2016. Singkel: Sejarah, Etnisitas, dan Dinamika Sosial. Denpasar: Pustaka
Larasan.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 465


Amiruddin, Hasbi. (Ed.). 2008. Aceh Serambi Mekkah. Banda Aceh: Pemerintah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.
Amin, S. M. 1978. Kenang-Kenangan dari Masa Lampau. Jakarta: Pradnya Paramita.
Anderson, John. 1971. Acheen and the Ports on the North and East Coasts of Sumatra. Kuala
Lumpur: Oxford University Press.
Anderson, Benedict. 2008. Imagine Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang. Terj. Omi
Intan Naomi. Yogyakarta: INSIST Press dan Pustaka Pelajar.
Anonimous. 1982. Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah
Istimewa Aceh. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan
Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
Arif, K. A. 2008. Ragam Citra Kota Banda Aceh. Interpretasi Sejarah, Memori Kolektif, dan Arketipe
Arsitekturnya. Bandung: Pustaka Bustanussalatin.
_________ dan Salmawaty. 2013. Banda Aceh Heritage, Jalur Jejak Budaya dan Tsunami. Banda
Aceh: Pemerintah Kota Banda Aceh.
Asnan, Gusti. 2007. Dunia Maritim Pantai Barat Sumatra. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
___________. 2016. Sungai & Sejarah Sumatra. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Azra, Azyumardi. (Ed.). 1985. Persepektif Islam di Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 1985. Studi Kebijaksanaan Ekonomi Daerah. Daerah
Istimewa Aceh: Bappeda.
_________________. 1995. Informasi Kumulatif 40 Tahun. Daerah Istimewa Aceh: Bappeda.
Badan Pusat Statistik. 1988. Aceh dalam Angka 1988. Daerah Istimewa Aceh: BPS
_________________. 1990. Aceh dalam Angka 1990. Daerah Istimewa Aceh: BPS.
_________________. 1999. Aceh dalam Angka 1999. Daerah Istimewa Aceh: BPS.
_________________. 2000. Aceh dalam Angka 2000. Daerah Istimewa Aceh: BPS.
_________________. 2001. Aceh dalam Angka 2001. Nanggroe Aceh Darussalam: BPS.
_________________. 2005. Aceh dalam Angka 2005. Nanggroe Aceh Darussalam: BPS.
_________________. 2006. Aceh dalam Angka 2006. Nanggroe Aceh Darussalam: BPS.
_________________. 2019. Aceh dalam Angka 2019. Banda Aceh: BPS.
Basry, Muhammad Hasan, Ibrahim Alfian. 1990. The Dutch Colonial War in Aceh. Banda Aceh:
Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.
Beal, Gillian. 2013. Island Style: Tropical Dream Houses in Indonesia. Tuttle Publishing.
Biro Sejarah Prima. 1976. Medan Area Mengisi Proklamasi. Medan: Badan Musyawarah Pejuang
Republik Indonesia Medan Area.
Boersma. 1925. Atjeh als Land voor Handel en Bedrijf. Utrecht: Boekhandel Cohen.
Boomgaard, Peter, Ian Brown. 2000. Weathering The Strom: The Economies of Southeast Asia in
the 1930s Depresion. Singapore: Institute of Southeast Asia Studies.
Bree, De. 1928. Gedenkboek van De Javasche Bank: 1828–1928, deel I. Weltevreden: Kolff.
Barrington, Brook. (Ed.). 1997. Empires, Imperialism and Southeast Asia: Essays in Honour of
Nicholas Tarling. Melbourne: Monash Asia Institute.
Damanik, Ahmad Taufan. 2010. Hasan Tiro: Dari Imajinasi Negara Islam ke Imajinasi Etno-
Nasionalis. Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung (FES) dan Acheh Future Institute (AFI).

466 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Darsono, dkk. 2016. Perjuangan Mendirikan Bank Sentral Republik Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo.
_______, dkk. 2018. Menghadapi Gelombang Pasang di Serambi: Kontribusi Bersama untuk Aceh
setelah Tsunami 2004. Jakarta: Bank Indonesia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1979. Pengaruh Migrasi Penduduk terhadap
Perkembangan Kebudayaan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta.
Doup, A. 1940. Gedenboek van het Corps Marechaussee. Medan: Druk N.V. de Deli Courant.
Dutch East Indies. Regeerings Almanaak voor Nederlandsch Indie (1920-1942). Batavia:
Landsdrukkerij.
Gonggrijp, J. R. C. Overzicht van de Economische Ontwikkeling van Atjeh Sedert de Pacificatie
(Tijpark 1923–1938).
Haris, Syamsuddin, dkk. 1999. Indonesia di Ambang Perpecahan?. Jakarta: Erlangga.
Harrison, Brian. 1960. South Asia A Short History. London: Mac Millan & Co. Ltd.
Hartono, Noek. 1976. Bank Indonesia: Sejarah Lahir dan Pertumbuhannya. Jakarta: Bank Indonesia.
Harun, Mohd. 2009. Memahami Orang Aceh. Bandung: Citapustaka Media Perintis.
Hasjmy, A. (Ed.). 1989. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Bandung: Al-
Ma’arif.
_________. (Ed.). 1995. 50 Tahun Aceh Membangun. Aceh: Majelis Ulama Provinsi Aceh.
Hasyim, Abidin, dkk. 2009. Aceh Daerah Modal. Banda Aceh: Pemerintah Aceh.
Hurgronje, C. Snouck. 1906. The Acehnese Vol. I-II. London: Leyden.
__________________. 2019. Orang Aceh: Budaya, Masyarakat, dan Politik Kolonial. Terj. Ruslani.
Yogyakarta: IRCiSoD.
Hussain, Abdullah. 1965. Peristiwa. Kuala Lumpur: Pustaka Antara.
Ibrahim, Husaini. 2014. Awal Masuknya Islam ke Aceh: Analisis Arkeologis dan Sumbangannya
pada Nusantara. Banda Aceh: Aceh Multivision.
Ibrahimy, M. Nur El. 1996. Mata Rantai yang Hilang: Dari Sejarah Perjuangan Kemerdekaan
Indonesia di Aceh. Jakarta: Diterbitkan Sendiri.
Ibrahim, Muhammad, dkk. 1978. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Provinsi Daerah Istimewa
Aceh. Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan
Daerah.
_________________, dkk. 1978. Sejarah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Proyek
Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Insider. 1950. Atjeh Sepintas Lalu. Jakarta: Archapada.
Isa, Teuku Muhammad. (Ed.). 1996. Teuku Muhammad Ali Panglima Polim, Sumbangsih Aceh Bagi
Republik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Iskandar, Teuku. 1958. De Hikajat Atjeh, Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-,
Land- en Volkenkunde, No. 26. The Hague: Nijhoff.
Ismail, M. Gade. 1997. Pasai dalam Perjalanan Sejarah: Abad ke-13 sampai Awal Abad ke-14.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
______________, dkk. 2001. Akar Permasalahan dan Alternatif Proses Penyelesaian Konflik di Aceh
dalam Aceh Jakarta Papua. Jakarta: YAPPIKA.
Jacobs, Julius. 1894. He Familie en Kampong Leven op Groot Atjeh (II). Leiden: E. J. Brill.
Jakobi, A. K. 2004. Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi kemerdekaan 1945-1949
dan Peranan Teuku Hamid Azwar Sebagai Pejuang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 467


Jongejans, J. 1938. Land End Volk van Atjeh Vroeger En Nu. Baarn: Hollandia Drukkerij N.V.
Kapper, George. 1874. De Oorlog tusschen Nederland en Atjhin. Roterdam: Nijgh & van Ditmar.
Kartodirdjo, Sartono. 1977. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
_________________. 1988. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500–1900: Dari Emporium sampai
Imporium. Jakarta: Gramedia.
Kawilarang, Harry. 2010. Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki. Banda Aceh: Bandar
Publishing.
Keilstra, E. B. 1883. Beschrijving van den Atjeh Oorlog: met Gebruikmaking der Officieele Bronnen,
door het Departement van Kolonien daartoe Afgestaan Jilid II.  Amsterdam: De Gebroeders
van Cleef.
Ken, Wong Lin. 2003. The Trade of Singapore 1819–69. Cet. Ke-23. Selangor: Malaysian Branch
of the Royal Asiatic Society.
Kreemer, J. 1921. De Groote Moskee te Koeta-Radja (Met Acht Photo’s en Een in Nederlandsh
Indie Old & Nieuw (NION). Amsterdam: s.n.
__________. 1922. Atjeh: Algemeen Samenvattend Overzicht van Land en Volk Atjeh en
Onderhoorigheden, Vol. I., Leiden: E. J. Brill.
K. H. Ramadhan, Fitria Sari. 2017. Teuku Nyak Arief Rencong Aceh di Volksraad. Banda Aceh:
Yayasan Pendidikan Islam Teuku Nyak Arief.
Langhout, J. 1923. Economische Staatkunde in Atjeh. Den Haag: N.V. Boekhandel v/h W.P. van
Stockum en Zoon.
Lapian, Adrian B. 2017. Pelayaran dan Perdagangan Nusantara Abad Ke-16 dan 17. Depok:
Komunitas Bambu.
Lombard, Denys. 2008. Kerajaan Aceh Masa Sultan Iskandar Muda (1607–1636). Terj. Winarsih
Arifin. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Luckman Sinar, Tengku. 1986. Sari Sejarah Serdang. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra
Indonesia dan Daerah.
Madjid, M. Dien. 2014. Catatan Pinggir Sejarah Aceh. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.
Marsden, W. 1999. History of Sumatra. Terj. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Munawiyah. 2007. Birokrasi Kolonial di Aceh 1903–1942. Banda Aceh: Ar-Raniry Press IAIN Ar-
Raniry.
Nasution, A. H. 1977. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia (Jilid I). Bandung: Disjarah-AD dan
Angkasa.
Oktarino, Nino. 2019. Nusantara Membara: Invasi Ke Sumatra. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Onghokham. 2014. Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Para Pelaku. 1992. Kisah Perjuangan Mempertahankan Daerah Modal Republik Indonesia Dari
Serangan Belanda. Jakarta: Penerbit Beuna.
Piekar, A. J. 1998. Aceh dan Peperangan dengan Jepang. Terj. Aboe Bakar. Banda Aceh: Pusat
Dokumentasi dan Informasi Aceh.
Pires, Tome. 2014. Suma Oriental: Perjalanan dari Laut Merah ke Tiongkok & Buku Francisco
Rodriguez. Terj. Adrian Perkasa dan Anggita Pramesti. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Poesponegoro, Marwati dan Nugroho Notosusanto. (Ed.). 1984. Sejarah Nasional Indonesia II.
Jakarta: Balai Pustaka.
____________________. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI (Edisi ke-4). Jakarta: Balai Pustaka.

468 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Post, Peter, Elly Touwen-Bouwsma. (Ed.). 1997. Japan, Indonesia, and the War: Myths and Realities.
Leiden: KITLV Press..
Reid, Anthony. 1969. The Contest for North Sumatra: Atjeh, the Netherlands and Britain 1858–
1898. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
____________. 1987. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
____________. 1995. Witnesess to Sumatra, A Traveler’s Anhology. Kuala Lumpur: Oxford.
____________. 2004. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
____________. 2005. An Indonesian Frontier: Acehnese & Other Histories of Sumatra. Leiden:
KITLV Press.
____________. 2006. Verandah of Violence: The Background of Aceh Problem. Singapore and
Seattle: Singapore University Press and University of Washington Press.
____________. 2018. Indonesia, Revolusi, & Sejumlah Isu Penting. Jakarta: Prenadamedia.
Reitsma, S. 1925. Staatsspoor en Tramwegen Nederlandsch Indie 1875 6 April 1925. Weltevreden:
Topografische Inrichting.
Rahardjo, M. Dawam, dkk. 1955. Bank Indonesia dalam Kancah Kilasan Sejarah Bangsa. Jakarta:
LP3ES.
Ritter, W. L. 1843. Indische Herinneringen. Amsterdam: J. G. Van Kesteren.
Said, Muhammad. 1981. Aceh Sepanjang Abad. Medan: PT. Percetakan dan Penerbitan Waspada.
Saleh, Hasan. 1992. Mengapa Aceh Bergolak. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Schulze, Kristen E. 2004. The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Separatist Organization.
Washington DC: East-West Center Washington.
Sihbudi, Riza, dkk. 2001. Bara dalam Sekam: Identifikasi Akar Masalah dan Solusi atas Konflik-
Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau. Jakarta: Mizan.
Sjamsuddin, Nazaruddin. 1999. Revolusi di Serambi Mekkah: Perjuangan Kemerdekaan dan
Pertarungan Politik di Aceh, 1945–1949. Jakarta: UI Press.
Soekanto, Soerjono. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.
Spoon, W. 1930. Atjeh-Terpentijn, Tegenwoordige Kwaliteit en Nieuwe Beoordeelingen.
Amsterdam: Druk J.H. de Bussy.
Sufi, Rusdi. 1980. Beberapa Catatan Tentang Daerah Aceh Tahun 1928–1942. Banda Aceh: Toko
Buku Mita Rezeki.
__________. 1999. Perkembangan Media Komunikasi di Daerah: Radio Rimba Raya di Aceh.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
________, Agus Budi Wibowo. 2004. Budaya Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
__________, dkk. 2008. Aceh Tanah Rencong. Banda Aceh: Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Sulaiman, M. Isa. 1997. Sejarah Aceh, Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
________________. 2000. Aceh Merdeka: Ideologi, Kepemimpinan, dan Gerakan. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
Swart H. A. G. N. 1911. Rubber Companies in the Netherlands East Indies. London: The Netherlands
commission for the International Rubber Exhibition.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 469


Syamsuddin, Nazaruddin. 1990. Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.
Syamsuddin, T., dkk. 1978. Adat Istiadat Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Proyek Penelitian
dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
Talsya, T. A. 1990. Modal Perjuangan Kemerdekaan: Perjuangan Kemerdekaan di Aceh 1947-
1948. Banda Aceh: Lembaga Sejarah Aceh.
Tamaki, Norio. 1995. Japanese Banking: A History, 1859-1959. Cambridge: Cambridge University
Press.
Tim LP3ES. 1995. Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah Bangsa. Jakarta: LP3ES.
Tim Penulis. 1960. Modal Revolusi 45. Kutaraja: Komite Musjawarah Angkatan 45 Daerah
Istimewa Atjeh.
Tim Penulis. 2007. De Javasche Bank: Masa Pendudukan Jepang hingga Lahirnya Bank Indonesia.
Jakarta: Museum Bank Indonesia.
Tim Penulis. 2019. Harmoni dalam Perbedaan: Bank Indonesia dalam Dinamika Ekonomi Solo
Raya. Jakarta: Bank Indonesia
__________. 2020. Bersinergi dalam Keistimewaan: Peran Bank Indonesia dalam Pembangunan
Ekonomi Yogyakarta. Jakarta: Bank Indonesia
Tim Penyusun. 2018. Oeang Republik Indonesia (ORI). Cetakan ke-2. Jakarta: Direktorat Layanan
dan Pemanfaatan Arsip Nasional Republik Indonesia.
Tim PP-PPBI. 2017. Sejarah Perkembangan Kantor Bank Indonesia Banda Aceh. Jakarta: Sarana
Media.
Tsunami and Disaster Mitigation Research Center. 2013. Sekolah Siaga Bencana Kesiapsiagaan
Warga Sekolah di Kawasan Rawan Bencana Kota Banda Aceh. Banda Aceh: Tsunami and
Disaster Mitigation Research Center.
Umar, Mawardi. 2015. Mengadu Nasib di Kebun Karet: Kehidupan Buruh Onderneming Karet di
Aceh Timur 1907–1939. Banda Aceh: Balai Pelestarian Nilai Budaya Banda Aceh.
______________ dan Al Chaidar. 2006. Darul Islam Aceh: Pemberontak atau Pahlawan?, Buku
Dua Seri Konflik Aceh dari Masa ke Masa. Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.
Usman, Abdul Rani, dkk. 2009. Budaya Aceh. Banda Aceh: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Aceh.
van de Velde, J. J. 1987. Surat-surat dari Sumatra 1928-1949. Terj. Pustaka Azet. Jakarta: Pustaka
Azet.
Wasino, dkk. 2014. Sejarah Nasionalisasi Aset-Aset BUMN: Dari Perusahaan Kolonial Menuju
Perusahaan Nasional. Jakarta: Kementerian Badan Usaha Milik Negara.
Wiwoho, B. 1985. Pasukan Meriam Nukum Sanany, Sebuah Pasak dari Rumah Gadang Indonesia
Merdeka, Sebagaimana Diceritakan kepada Penulis. Jakarta: Bulan Bintang.
World Bank. 2008. Kajian Kemiskinan Aceh Tahun 2008: Dampak Konflik, Tsunami, dan
Rekonstruksi. Jakarta: Kantor Bank Dunia Indonesia.
Zainuddin, H. M. 1961. Tarich Atjeh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda.
Zamzami, Amran. 1990. Jihad Akbar di Medan Area. Jakarta: Bulan Bintang.
Zuhdi, Susanto. (Ed.). 1997. Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

470 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


Jurnal/Laporan Penelitian/Makalah/Artikel
Abdullah, Irwan. 2009. Potensi Sosial Budaya Masa Depan Aceh. Makalah Seminar Kebudayaan
Pekan Kebudayaan Aceh V, Banda Aceh, 10–11 Agustus 2009.
Ahmad, Zakaria. 1978. Sejarah Aceh Sebelum Islam. Makalah dalam Seminar Sejarah Masuk dan
Berkembangnya Islam di Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh, 10–16 Juli 1978.
Alamsyah, Teuku, dkk. 1999. Sastra Lisan Haloban. Laporan Penelitian: Extension of the Grant
Application for Community Development Activities in the Context of the Environmental
Program Pulau Banyak Tahun 1999.
Avonius, Leena. “Keadilan dan Proses Perdamaian Aceh”. Dalam Daly, Feener, dan Reid (Ed.).
2013. Aceh Setelah Tsunami dan Konflik. Terj. Arif B. Prasetyo. Jakarta: KITLV.
Lulofs, C. 1914. “Een Kijkje te Langsar en op de Gouvernement Rubber-Onderneming Aldaar”.
TBB No. 47.
Daulay, M. G. H. dan T. Abdullah. 2017. Pemukiman Militer Peninggalan Belanda di Banda
Aceh (Kajian Komparasi Perkembangan Pemukiman Militer di Neusu Jaya dan Kuta Alam,
1900–2015). Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala, 2 (2),
119–130.
Djajadiningrat, R. A. Hoesein. “Critisch Overzicht van de in Maleiche Werken Vervate Gegeven
over Geschiedenis van het Sultanaat van Atjeh”. Dalam Bijdragen tot de Taal, Land en
Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 65, 1911.
E. Edwards, McKinnon. 1988. Beyond Serandib: A Note on Lambri at the Northern Tip of Aceh.
Indonesia, Vol. 46, Oktober 1988, 103–121. New York: Cornell University Southeast Asia
Program.
Groeneveldt, W. P. “Note on the Malay Archipelago and Malacca”. Dalam Chinese Sources. 1880.
Verhandelingen BGKW XXXIX.
Hisasue, Ryoichi. “The Establishment of the China and Southern Bank and the Southern
Warehouse Company: In Relation to the Bank of Taiwan’s Southward Strategy with Overseas
Chinese from the 1910s to the 1920s”. IDE Discussion Paper No. 688, Institute of Developing
Economies, Chiba, Japan, February 2018.
Horesh, Niv. “Money for Empire: The Yokohama Specie Bank Monetary Emissions Before and After
the May Fourth (Wusi) Boycott of 1919”. Modern Asian Studies, Vol. 47, No. 4, 2013.
Iskandar, T. 1972. Aceh dalam Lintasan Sejarah: Suatu Tinjauan Kebudayaan. Makalah pada
Seminar Kebudayaan dalam Rangka PKA II dan Dies Natalis Ke-11 Universitas Syiah Kuala,
21–25 Agustus 1972.
Kern, R. A. 1979. “Hasil Penyelidikan tentang Sebab Musabab Terjadinya “Pembunuhan Aceh”.
Terj. Aboe Bakar. Seri Informasi Aceh Th. III. No. 7. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan
Informasi Aceh.
Langhout, J. 1923. Vijftig Jahren Economische Staatkunde in Atjeh. Den Haag: N.V. Boekhandel
v/h W.P. van Stockum en Zoon.
Lee, Lawrence L. C. “The Development of Banking in Taiwan: The Historical Impact on Future
Challenges”. Occasional Papers, Reprint Series in Contemporary Asian Studies, Vol. 149, No.
6, 1999.
Nur, Arief Mustofa. 2010. “Gempa Bumi, Tsunami, dan Mitigasinya”. Jurnal Geografi Vol. 7 No.
1 Januari 2010. Kebumen: Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung – LIPI.
Ormeling sr, F. 1999. Het nieuwe gezicht van Caert-Thresoor. Caert-Thresoor, 18 (3), 54.

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 471


Padmo, Soegijanto. “Depresi 1930-an dan Dampaknya terhadap Hindia Belanda”. Jurnal
Humaniora No 2, 1991, FIB UGM.
Pelly, Usman. 2020. Ketersingkiran Sosial: Pengungsi Aceh di Sumatra Utara. Makalah dalam
Diskusi Sejarah Lokal: Kerawanan Sosial dalam Perspektif Sejarah, Sukabumi, November
2020.
Permana, Arief R. 2007. Penanganan Permasalahan Perbankan Pasca Bencana Gempa Bumi
dan Tsunami di Wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias Propinsi
Sumatra Utara. Dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 5, Nomor 3,
Desember 2007.
Reid, A. dan Ito Takeshi. 1999. A Precious Dutch Map of Aceh, c. 1645. Archipel Vol. 57, 191–208.
Said, Moh. dan Anas Mahmud. “Banda Aceh sebagai Pusat Pemerintahan Kesultanan Aceh”.
Dalam pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh. 1988. Kota Banda Aceh
Hampir 100 Tahun. Medan: Prakarsa Abadi.
Sulaiman, M. Isa. “From Autonomy to Periphery: A Critical Evaluation of the Acehnese Nationalist
Movement”. Dalam Anthony Reid, ed. 2006. Verandah of Violence: The Background of Aceh
Problem. Singapore and Seattle: Singapore University Press and University of Washington
Press.
Tjandrasasmita, Uka. “Proses Kedatangan Islam dan Munculnya Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh”.
Dalam A. Hasjmy. (ed.). 1989. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia.
Bandung: Al-Ma’arif.
Tim Penulis Bank Indonesia. 1990. “Peranan Bank Indonesia dalam Mendorong Perkembangan
Perbankan yang Sehat”. Makalah pada Seminar Bank Indonesia 26–27 Februari 1990.
Tschoegl, Adrian E. “The International Expansion of Singapore’s Largets Banks”. Working Paper
the Wharton Financial Institutions Center. Pennsylvania: University of Pennsylvania, 2001.
Umar, Mawardi. 2006. Peranan Prata Lokal Masyarakat Aceh dalam Resolusi Konflik. Banda Aceh:
Laporan Hasil Penelitian Kerja Sama Universitas Syiah Kuala dengan Badan Rekonstruksi dan
Rehabilitasi Aceh.
Vader, P. v. V. 1907. De drinkwatervoorziening van Koeta Radja. The Ingenieur, 22 (15).
van Eijbergen, G. J. 1915. “Atjeh up to Date”. TBB, 46.
Vleer, A. J. 2018. Kedudukan Tuha Peut dalam Susunan Pemerintahan Negeri di Aceh. Terj. Aboe
Bakar. Seri Informasi Aceh XXXXI Nomor 1, 2018. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan
Informasi Aceh.
Yoshimasa, Shibata. “The Monetary Policy in the Netherlands East Indies under the Japanese
Administration”. Jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde, No. 4, 1996.
Zainal, Suadi. “Transformasi Konflik Aceh dan Relasi Sosial-Politik di Era Desentralisasi”.
MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi 21 (1): 81-108.
“Laporan Politik Gubernur Aceh dan Daerah Taklukannya Selama Pertengahan Pertama Tahun
1928”. 1982. Seri Informasi Aceh Th.VI, No.1. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi
Aceh.
“Surat Menyurat tentang Permohonan Rakyat Aceh agar Dipulihkan Kembali Kesultanan Aceh”.
1978. Terj. Aboe Bakar. Seri Informasi Aceh Th. 11 No. 7. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi
dan Informasi Aceh.
“Surat Multatuli kepada Raja tentang Pidato Pembukaan Kenegaraan”. 1979. Terj. Aboe Bakar.
Seri Informasi Aceh Th. III No. 2. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.

472 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


“Surat-Surat Lepas yang Berhubungan dengan Politik Luar Kerajaan Aceh Menjelang Perang
Belanda di Aceh”. 2019. Seri Informasi Aceh Tahun XXXXII Nomor 4. Banda Aceh: Pusat
Dokumentasi dan Informasi Aceh.
Disertasi/Tesis/Skripsi
Aidar, Nur. 2004. Analisis Peran Industri Migas terhadap Perekonomian dan Distribusi Pendapatan
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Suatu Pendekatan Input-Output). Depok: Tesis,
Universitas Indonesia.
Gupta, A. K. Das. 1926. Acheh in Indonesian Trade and Politics 1600–1641. New York: Ph.D.
Thesis, Cornell University.
Ismail, M. Gade. 1991. Seuneubok Lada, Uleebalang, dan Kumpeni: Perkembangan Sosial Ekonomi
di Daerah Batas Aceh Timur, 1840–1942. Leidem: Disertasi, Universiteit Leiden.
Mastuti, Sri. 2001. Konflik Vertikal di Aceh: Studi Kasus Gerakan Aceh Merdeka (1976–1982).
Depok: Tesis, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.
Umar, Mawardi. 2005. Menyadap Getah untuk Onderneming: Dinamika Sosial Ekonomi Buruh
Perkebunan Karet di Aceh Timur 1907–1939. Yogyakarta: Tesis, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Gadjah Mada.
________________. 2005. Labour Wages on Western Enterprises in Aceh, 1900–1942. Leiden: BA
Thesis, Universiteit Leiden.
_____________. 2008. Free Port, Coaling-Station, and Economic Development: Sabang 1896–
1942”. Leiden: Tesis, Fakultas Sastra, Universiteit Leiden.
Zulfan. 1995. Kelompok Pengusaha Pada Masa Perang Kemerdekaan di Aceh 1945–1949. Depok:
Tesis, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.
Zulfiadi. 2015. Negosiasi Ethnik Nasionalisme Versus Civic Nasionalisme (Studi tentang Dialektika
Identitas Keacehan Vs Keindonesiaan). Yogyakarta: Tesis, Universitas Gadja Mada.

Wawancara
Wawancara dengan Harun Geuchik Leumiek. Banda Aceh. 9 November 2016.
Bustami Usman. 2016.
Focus Group Discussion bersama narasumber PPBI KPw BI Aceh secara daring pada 21 Juli 2020,
Tabrani Hilmi Ibrahim, T. Ridwan, Nur Rafni, dan Jailani Ali.
Wawancara dengan Ir. Taufani N secara daring pada 31 Mei 2020.

Internet
Aceh Nasional News. “Seminar Optimalisasi Heritage dan Pariwisata Aceh D/R Peringatan 100
Tahun Gedung Bank Indonesia Provinsi Aceh”. http://www.annews.co.id/2018/12/seminar-
optimalisasi-heritage-dan.html (20 Juli 2020).
Badan Litbang Pertanian. “Dampak Tsunami terhadap Sektor Pertanian”. http://www.litbang.
pertanian.go.id/berita/one/192/# (diakses pada Juli 2020).
Bank Indonesia. “Bank Indonesia Bantu Rehabilitasi Sektor Pendidikan di Nanggroe Aceh
Darussalam”. https://www.bi.go.id/id/ruang-media/siaran-pers/Pages/sp_82706.aspx
(diakses pada 27 Agustus 2020).
Bank Indonesia. “Bank Indonesia dan Perbankan Kirim Bantuan dan Akan Bangun Rumah Sakit
dan Sekolah di Daerah Bencana”. http://www.bi.go.id/id/ruang-media/siaran-pers/Pages/
sp%20615404.aspx (diakses pada 27 Agustus 2020).

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 473


Bank Indonesia. “Bank Indonesia dan Perbankan Memberikan Bantuan Sebesar Rp46,287 Miliar
untuk Bencana di Provinsi NAD dan Sumatra Utara”. https://www.bi.go.id/id/ruang-media/
siaran-pers/Pages/sp%20615104.aspx (diakses pada 27 Agustus 2020).
Bank Indonesia. “Bank Indonesia Masa Pendudukan Jepang 1942–1945”. http://www.bi.go.id/en/
tentang-bi/museum/sejarah-bi/pra-bi/Pages/historybeforebi5.aspx.
Bank Indonesia. “BI Serahkan 145 Mukim Nelayan Aceh Barat”. https://www.bi.go.id/id/tentang-
bi/bi-dan-publik/bi-peduli/liputan/Pages/BI-Serahkan-145-Rumah-Mukim-Nelayan-Aceh-
Barat.aspx (diakses pada 27 Agustus 2020).
Bank Indonesia. “Bank Indonesia Serahkan Bantuan Rumah bagi Tenaga Pendidik di NAD”. https://
www.bi.go.id/id/ruang-media/siaran-pers/Pages/sp_090207.aspx (diakses pada 27 Agustus
2020).
Bank Indonesia. “GBI dan Komisi XI DPR Serahkan Bantuan Perbankan kepada Korban Bencana
Tsunami Aceh”. http://www.bi.go.id/id/ruang-media/info-terbaru/Pages/it%2080305%20
aceh.aspx (diakses pada 27 Agustus 2020).
Bank Indonesia. “Sejarah Bank Indonesia: Sejarah Kelembagaan Periode 1966–1983”, hlm. 2,
https://www.bi.go.id/id/tentang-bi/museum/sejarah-bi/bi/Pages/sejarahbi_3a.aspx. (diakses 5
Mei 2020).
Bank Indonesia, “Sejarah Bank Indonesia: Sejarah Kelembagaan Periode 1983–1997”. https://
www.bi.go.id/id/tentang-bi/museum/sejarah-bi/bi/Pages/sejarahbi_3a.aspx. (diakses pada 5
Mei 2020 pukul 10:55)
Bank Indonesia. “Sekilas Sejarah Kelembagaan Bank Indonesia Periode 1997–1999”. https://
www.bi.go.id/id/tentang-bi/museum/sejarah-bi/bi/Pages/sejarahbi_1.aspx (diakses pada 5
Mei 2020).
Japalatu, Alex. “Menjelajahi Gereja di Serambi Mekah”. https://www.katolikana.com/2019/07/08/
menjelajahi-gereja-di-serambi-mekah/ (29 Mei 2020).
Kesbangpol Banda Aceh. “Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Banda Aceh. Sentral
Telepon, Situs yang Dilalui Namun Jarang Dikunjungi”. http://kesbangpol.bandaacehkota.
go.id/2017/12/12/sentral-telepon-situs-yang-dilalui-namun-jarang-dikunjungi/ (28 Mei
2020).
Pemerintah Kota Banda Aceh. “Tahun ini Pembangunan Revitalisasi Krueng Aceh Kembali
Dilanjutkan”. https://bandaacehkota.go.id/berita/14150/tahun-ini-pembangunan-revitalisasi-
krueng-aceh-kembali-dilanjutkan.html (22 Mei 2020).
Rijksmuseum 1870–1900. “Spoorwegstation Kraton te Kota Radja”. https://www.rijksmuseum.
nl/nl/mijn/verzamelingen/1096001--koloniale-zaken/atjeh/objecten#/RP-F-F18004,3 (26
Agustus 2020).
Serambi Indonesia. “Pendiri Freeport Sabang Meninggal Dunia”. https://aceh.tribunnews.
com/2015/10/25/pendiri-freeport-sabang-meninggal-dunia (18 Agustus 2020).
Sudirman. “Konflik Aceh dengan Portugis”. http://dirmanmanggeng.blogspot.com/2009/02/
portugis.
“Berusia 100 Tahun Gedung BI Aceh Jadi Salah Satu Ikon Wisata di Banda Aceh”. https://
anterokini.com/2018/12/08/berusia-100-tahun-gedung-bi-aceh-jadi-salah-satu-ikon-wisata-
di-banda-aceh/Blog
“Evolusi Gedung Bank Indonesia”. https://www.kompasiana.com/
teberatu/54f94a65a333110a068b4ae0/evolusi-gedung-bank-indonesia
“Gedung Juang Aceh”. https://situsbudaya.id/3711-2/ (29 Mei 2020).

474 Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal


“Narasi Konservasi sebagai Upaya Pembugaran”. http://hdl.handle.net/1887.1/item:2011812
“Sejarah Provinsi Aceh”. https://acehprov.go.id/profil/read/2014/10/03/104/sejarah-provinsi-aceh.
html
“The Salem City Seal”. https://www.salem.org/salem-ma-city-seal/ (14 Juli 2020).
aceh.tribunnews.com (15 Januari 2019)
detik.com (15 Januari 2020)
Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/masyarakat
kompas.com (12 Agustus 2018)
kompas.com (14 April 2020)

Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh 475


Ir. H. Nova Iriansyah, M.T. SERI BUKU
SEJARAH &
(Gubernur Aceh 2020–2022) HERITAGE Seri Buku Sejarah & Heritage
Kisah kemakmuran dan kejayaan Aceh masa lalu tercatat dalam perjalanan sejarah. Potensi alam dan kegigihan perjuangan
rakyat Aceh telah mengantarkan wilayah di ujung Sumatra ini mendapat julukan sebagai “Daerah Modal”. Gejolak Perang
Kemerdekaan menjadi periode yang menampilkan citra Aceh sebagai wilayah harapan bagi Republik Indonesia. Tidak bisa
dinafikan bagaimana peran kelompok pengusaha Aceh dalam Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA)
menyumbangkan kebutuhan perjuangan Indonesia untuk pembelian dua pesawat terbang Dakota, “Seulawah RI-001” dan
“Seulawah RI-002”. Kehadiran buku ini patut disambut dengan tangan terbuka karena berhasil mendedahkan narasi
komprehensif yang menempatkan sejarah ekonomi sebagai fokus kajian. Kiranya buku ini dapat menjadi rujukan edukatif guna
menggaungkan kembali Provinsi Aceh sebagai “Daerah Modal” yang layak diperhitungkan di masa kini dan mendatang. Tak
hanya sekadar memutar kenangan romantisme masa lalu, tetapi dapat menjadi modal semangat masyarakat dalam
membangkitkan kembali kemakmuran dan kejayaan Aceh. Insya Allah, pengalaman masa lalu akan menuntun kita menjadi
lebih arif dalam menyongsong masa depan. MENDUKUNG PERTUMBUHAN EKONOMI

BANK INDONESIA DALAM DINAMIKA PEREKONOMIAN ACEH


DI DAERAH MODAL

MENDUKUNG PERTUMBUHAN EKONOMI


Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Aceh
Tengku Malik Mahmud Al Haythar
BANK INDONESIA DALAM DINAMIKA PEREKONOMIAN ACEH
Rangkaian peristiwa dalam sejarah Aceh dapat menjadi rujukan bagi kontribusi pemikiran guna memajukan daerah ini menjadi
lebih sejahtera dan bermartabat dari segala bidang, seperti ekonomi, budaya dan adat istiadat. Secara historis, Aceh pernah
mencapai kegemilangan pada masa Kesultanan Aceh Darussalam. Demikian pula bagaimana kontribusi Aceh bagi Tanah Air ini
tercatat begitu besar. Terminologi Aceh sebagai “Daerah Modal” sepatutnya dijadikan pendorong bagi kemajuan Aceh saat ini
dan masa mendatang. Semangat heroisme dan kegigihan masyarakatnya yang agamis adalah warisan nilai-nilai sebagai modal

DI DAERAH MODAL
penting bagi masyarakat Aceh dalam membangun peradaban baru menuju kemakmuran. Konflik bersenjata yang berlangsung
lama serta kehancuran akibat bencana alam telah menjadi titik nadir penderitaan masyarakat Aceh. Alhamdulillah, Aceh telah
melewati periode tersulitnya. Keberhasilan memelihara perdamaian menjadi wujud tekad masyarakat Aceh untuk meraih
kembali masa kejayaannya. Oleh karenanya, pemerataan pembangunan dengan mengindahkan nilai-nilai keadilan dan
keistimewaan Aceh penting untuk diperhatikan oleh pengambil kebijakan. Buku ini menjadi persembahan menarik bagi
pembaca karena tak hanya menyajikan lika-liku sejarah Aceh, tetapi juga mampu menumbuhkan sense of belonging and pride
masyarakat Aceh dan membangkitkan semangat untuk membangun daerahnya.

Prof. Dr. Misri A. Muchsin, M.Ag.


(Guru Besar Sejarah UIN Ar-Raniry Banda Aceh)
Sejak era kesultanan, Aceh telah berhasil mencapai puncak kejayaannya. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis menjadi
momentum bagi Kesultanan Aceh Darussalam. Hal ini berimplikasi terhadap beralihnya para pedagang Islam dari berbagai
wilayah yang mencari alternatif bandar perdagangan lain di sekitar Selat Malaka. Letaknya di pintu masuk Selat Malaka
mengantarkan Bandar Aceh Darussalam (nama awal Banda Aceh) sebagai pusat perdagangan penting sekaligus pusat
penyiaran dan pengkajian Islam. Sebagai pusat kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam, Banda Aceh tak hanya menjadi pusat
perdagangan dan pelayaran saja, melainkan pula pusat pengembangan intelektual Islam, serta pertahanan. Dalam sendi
kehidupan masyarakat Aceh, kehadiran ulama memainkan peran penting yang merupakan manifestasi atas terintegrasinya
agama, negara, dan budaya. Dalam situasi perang melawan segala bentuk kolonialisme, eksistensi ulama berhasil memompa
semangat juang rakyat Aceh. Atas terbitnya buku “Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal: Bank Indonesia dalam
Dinamika Perekonomian Aceh”, kiranya dapat menjadi salah satu karya sejarah (terutama sejarah ekonomi) sekaligus sebagai
refleksi guna menghidupkan kembali asa Aceh sebagai pusat perdagangan, baik dalam skala regional maupun nasional.

www.bi.go.id/id/institute

Anda mungkin juga menyukai