SERI BUKU
SEJARAH &
(Gubernur Aceh 2020–2022) HERITAGE Seri Buku Sejarah & Heritage
Kisah kemakmuran dan kejayaan Aceh masa lalu tercatat dalam perjalanan sejarah. Potensi alam dan kegigihan perjuangan
rakyat Aceh telah mengantarkan wilayah di ujung Sumatra ini mendapat julukan sebagai “Daerah Modal”. Gejolak Perang
Kemerdekaan menjadi periode yang menampilkan citra Aceh sebagai wilayah harapan bagi Republik Indonesia. Tidak bisa
dinafikan bagaimana peran kelompok pengusaha Aceh dalam Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA)
menyumbangkan kebutuhan perjuangan Indonesia untuk pembelian dua pesawat terbang Dakota, “Seulawah RI-001” dan
“Seulawah RI-002”. Kehadiran buku ini patut disambut dengan tangan terbuka karena berhasil mendedahkan narasi
komprehensif yang menempatkan sejarah ekonomi sebagai fokus kajian. Kiranya buku ini dapat menjadi rujukan edukatif guna
menggaungkan kembali Provinsi Aceh sebagai “Daerah Modal” yang layak diperhitungkan di masa kini dan mendatang. Tak
hanya sekadar memutar kenangan romantisme masa lalu, tetapi dapat menjadi modal semangat masyarakat dalam
membangkitkan kembali kemakmuran dan kejayaan Aceh. Insya Allah, pengalaman masa lalu akan menuntun kita menjadi
lebih arif dalam menyongsong masa depan. MENDUKUNG PERTUMBUHAN EKONOMI
DI DAERAH MODAL
penting bagi masyarakat Aceh dalam membangun peradaban baru menuju kemakmuran. Konflik bersenjata yang berlangsung
lama serta kehancuran akibat bencana alam telah menjadi titik nadir penderitaan masyarakat Aceh. Alhamdulillah, Aceh telah
melewati periode tersulitnya. Keberhasilan memelihara perdamaian menjadi wujud tekad masyarakat Aceh untuk meraih
kembali masa kejayaannya. Oleh karenanya, pemerataan pembangunan dengan mengindahkan nilai-nilai keadilan dan
keistimewaan Aceh penting untuk diperhatikan oleh pengambil kebijakan. Buku ini menjadi persembahan menarik bagi
pembaca karena tak hanya menyajikan lika-liku sejarah Aceh, tetapi juga mampu menumbuhkan sense of belonging and pride
masyarakat Aceh dan membangkitkan semangat untuk membangun daerahnya.
www.bi.go.id/id/institute
Mendukung Pertumbuhan Ekonomi
di Daerah Modal
Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh
Mendukung Pertumbuhan Ekonomi
di Daerah Modal
Bank Indonesia Dalam Dinamika Perekonomian Aceh
TIM PENYUSUN
Mawardi Umar, Kamal A. Arif, Rita Krisdiana, Januar Aristianto,
Nur Fadhilah, Allan Akbar
Kepala Produksi:
Arlyana Abubakar
Tim Penyusun:
Mawardi Umar, Kamal A. Arif, Rita Krisdiana, Januar Aristianto, Nur Fadhilah, Allan Akbar
Editor:
Gusti Asnan
Kontributor:
Guruh Suryani Rokhimah, Felicia Virna I. B., Ginisita Dofany, Sintya Aprina, Aryni Ayu
Widiyawati
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Selamat membaca.
Perry Warjiyo
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Narasi sejarah ekonomi Aceh tidak dapat terlepas kisah kejayaannya sebagai
pusat perdagangan penting di Samudra Hindia. Aceh memiliki wilayah
yang tak hanya posisi strategisnya yang membawa keuntungan, namun
juga potensi alamnya yang luar biasa kaya. Seperti sejumlah wilayah lain di
Nusantara, Aceh kala itu menjadi salah satu wilayah terpilih untuk didirikan
kantor cabang De Javasche Bank di Koetaradja (kini Banda Aceh).
Fungsi De Javasche Bank sebagai bank sirkulasi merupakan fungsi
bank sentral tertua. Di era modern ini fungsi bank sentral sudah semakin
berkembang sesuai dengan tantangan perkembangan zaman. Menilik
perjalanan sejarahnya, Bank Indonesia menjadi bank sentral di Republik
Indonesia sebagai hasil dari nasionalisasi terhadap De Javasche Bank (DJB)
pada tahun 1953. Meski telah berhasil dinasionalisasi, Bank Indonesia belum
membuka kantor cabangnya di Aceh saat itu. Kehadiran Bank Indonesia di
Aceh secara resmi beroperasi pada tahun 1964 setelah melewati masa vakum
era DJB sejak berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia. Pada tahun yang
sama Bank Indonesia juga membuka kantor cabangnya di Sabang yang hanya
beroperasi hingga tahun 1969. Selanjutnya Sabang menjadi cakupan wilayah
kerja Bank Indonesia Provinsi Aceh.
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Aceh yang dulunya adalah DJB
Agentschap Koetaradja, berperan menjalankan fungsi sebagai bank sentral di
Selamat membaca.
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Selamat membaca.
Solikin M. Juhro
PROLOG... 1
1 A. H. P. Clemens dan Thomas Linblad, Het Belang van de Buitengewesten; Economische Expansie
en Koloniale Staadsvorming in de Buitengewesten van Nederlands-Indie, 1870-1942. (Amsterdam:
NEHA, 1989), hlm. 29.
2 De Bree, Gedenkboek van De Javasche Bank: 1828–1928, deel II. (Weltevreden: Kolff, 1928), hlm.
45.
3 Darsono, dkk, Menghadapi Gelombang Pasang di Serambi: Kontribusi Bersama untuk Aceh setelah
Tsunami 2004. Jakarta, 2017), hlm. 193.
P ada awal tahun 2020 yang lalu, rakyat Aceh disentakkan oleh
pemberitaan sebuah media online yang menempatkan Aceh sebagai
daerah termiskin di Sumatra.1 Status yang sama telah disandang Aceh
sejak setahun sebelumnya.2 Berita tersebut telah mengundang reaksi
beragam di kalangan masyarakat Aceh. Sebagian masyarakat Aceh
menolak informasi tersebut dan meragukan metodologi yang digunakan.
Sebagian yang lain, terutama golongan intelektual, menerima baik
informasi tersebut dan berharap hal itu dapat dijadikan sebagai bahan
refleksi untuk pembangunan Aceh ke depan. Terlepas dari adanya
kelompok yang menolak, informasi tersebut bukanlah berita tanpa dasar,
informasi tersebut berlandaskan pada sumber yang sangat akurat, yaitu
dari hasil konferensi pers awal tahun yang dilakukan oleh Kepala Badan
Pusat Statistik Provinsi Aceh, Wahyuddin, M.M.
Peringkat sebagai daerah termiskin di Sumatra selama dua tahun
berturut-turut merupakan suatu ironi bagi Aceh. Dikatakan ironi karena
Aceh memiliki kekayaan alam yang melimpah. Tanahnya subur dan
kaya kandungan mineral di perut buminya. Kekayaan alam tersebut
didukung pula oleh posisi geografisnya yang strategis dalam pelayaran
internasional, yakni di pintu gerbang Selat Malaka. Selain itu, Aceh juga
sangat kaya dengan budaya dan kearifan lokalnya yang mendukung
untuk pengelolaan sumber daya tersebut.
Peringkat sebagai daerah termiskin di Sumatra juga dikatakan ironi
karena di masa lampau, dalam perjalanan sejarahnya, Aceh pernah jaya
3 https://acehprov.go.id/profil/read/2014/10/03/104/sejarah-provinsi-aceh.html
4 Badan Pusat Statistik, Provinsi Aceh dalam Angka 2019, (Banda Aceh: BPS Provinsi Aceh), hlm. 10.
5 Badan Pusat Statistik, Provinsi Aceh dalam Angka 2020, (Banda Aceh: BPS Provinsi Aceh, 2020), hlm.
17.
6 J. Kreemer, Atjeh: Algemeen Samenvattend Overzicht van Land en Volk Atjeh en Onderhoorigheden
(Vol. I), (Leiden: E.J. Brill, 1922), hlm. 183.
7 Menurut Denys Lombard, selama abad ke-14 terjadi beberapa perubahan penting dalam kehidupan
pelabuhan-pelabuhan dagang di Aceh. Diperkirakan waktu itulah ada pedagang-pedagang India,
yang kemungkinan besar dari Malabar, memperkenalkan penanaman lada bersamaan dengan agama
Islam. Pendapat Lombard ini juga didasari oleh kenyataan bahwa pada sumber-sumber yang lebih
awal (sampai kisah Ibnu Battutah) tidak disinggung adanya lada di Aceh, sedangkan teks-teks Cina
sejak awal abad ke-15 memberi informasi yang jelas mengenai tanaman lada di Aceh. Demikian juga
kesaksian orang-orang Portugis yang pertama singgah di Aceh menyebutkan bahwa Pedir dan Pasai
pada awal abad ke-16 mengekspor lada dalam jumlah besar ke Cina dan ke tempat-tempat lain. Ini
dapat ditafsirkan bahwa selama dua abad, kedua kerajaan tersebut telah berhasil membudidayakan
dan memasyarakatkan penanaman lada sehingga telah menjadi komoditas unggulan mereka. Denys
Lombard, Kerajaan Aceh Masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Terj. Winarsih Arifin, (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), hlm. 59.
I. Barang Dagangan:
L: Lada
Bahan makanan R: Rempah-rempah
(B: Beras, A: Anggur;
I: hasil olahan ikan) Tenunan (K: kapas
dan kain katun
Logam (E: emas; S: sutera dan
B: besi dan baja; kain sutra)
T: timah)
Bahan peransang
Belerang (Teh; T: tembakau; II. Jalan Niaga: ke negeri “di atas angin” (Pegu, India)
Minyak Tanah M: madat) ke daerah lain di Nusantara
ke Mekkah dan Konstantinopel
ke Eropa (lewat Tg. Harapan
Intan Keramik ke negeri “di bawah angin”
(Siam, Tiongkok)
8 Dianne Lewis, “British Policy in the Straits of Malacca to 1819 and the Collapse of the Traditional
Malay State Structure”, dalam Brook Barrington (ed.), Empires, Imperialism and Southeast Asia:
Essays in Honour of Nicholas Tarling, (Melbourne: Monash Asia Institute, 1997), hlm. 19.
9 Anthony Reid, The Contest for North Sumatra: Atjeh, the Netherlands and Britain, 1858–1898 (Kuala
Lumpur: Oxford University Press, 1969), hlm. 6; Mawardi Umar, “Free Port, Coaling-Station and
Economic Development: Sabang, 1896–1942”, Master’s Thesis (Tidak Diterbitkan), (Fakultas Sastra,
Universitas Leiden, 2008), hlm. 25.
10 Wong Lin Ken, The Trade of Singapore, 1819–69, (Selangor: Malaysian Branch of the Royal Asiatic
Society (Reprint No. 23), 2003), hlm. 25. Mawardi Umar, Ibid, hlm. 26.
Masyarakat Aceh
11 E. B. Kielstra, Beschrijving van den Atjeh Oorlog: met Gebruikmaking der Officieele Bronnen, door
het Departement van Kolonien daartoe Afgestaan, Jilid II (‘s-Gravenhage: De Gebroeders van Cleef,
1883), hlm. 390. Rusdi Sufi, dkk., Aceh Tanah Rencong, (Banda Aceh: Pemerintah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, 2008), hlm. 140.
12 https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/masyarakat
Sampai dengan saat ini, belum ada kesepakatan di antara para ahli
mengenai asal-usul masyarakat Aceh. Hal ini terutama dikarenakan
adanya perbedaan sudut pandang mereka terhadap asal-usul masyarakat
Aceh. Berdasarkan data praaksara yang ditemukan di beberapa lokasi
situs bukit kerang (Kjokkenmoddinger) di wilayah pantai Kabupaten Aceh
Tamiang, diperkirakan wilayah Aceh telah dihuni oleh ras Austroloid
sejak sekitar 6.000 tahun yang lalu. Kemungkinan kelompok ini nantinya
berkembang dan setelah terjadi percampuran dengan kelompok lain yang
datang kemudian menjadi cikal-bakal masyarakat Aceh.14 Interpretasi ini
masih perlu pembuktian lebih lanjut karena hasil penelitian yang lain
menyebutkan bahwa manusia praaksara (the Java man) telah punah.
18 Muhammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan: PT. Percetakan dan Penerbitan Waspada, 1981),
hlm.11.
19 C. Snouck Hurgronje, Orang Aceh…, (2019: 74)
20 Mohd. Harun, Memahami Orang Aceh…, (2009: 6).
21 T. Ibrahim Alfian, Adat Istiadat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Banda Aceh: Proyek Penelitian
dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978), hlm. 12.
22 Teuku Alamsyah dkk, “Sastra Lisan Haloban”. Laporan Penelitian: Extension of the Grant Application
for Community Development Activities in the Context of the Environmental Program Pulau Banyak
Tahun 1999.
23 Mawardi, “Menyadap Getah untuk Onderneming: Dinamika Sosial Ekonomi Buruh Perkebunan
Karet di Aceh Timur, 1907–1939”, (Yogyakarta: Tesis, Universitas Gadjah Mada, 2005), hlm. 97
24 Volkstelling 1930, Inheemsche Bevolking van Sumatra, Vol. IV (Batavia: Department van Economische
Zaken, 1934), hlm. 20, 21 dan 112.
25 M. Isa Sulaiman, “From Autonomy to Periphery: A Critical Evaluation of the Acehnese Nationalist
Movement”, dalam Anthony Reid (ed.), Verandah of Violence: The Background of Aceh Problem
(Singapore and Seattle: Singapore University Press and University of Washington Press, 2006), hlm.
123.
26 Mawardi Umar, “Peranan Pranata Lokal Masyarakat Aceh dalam Resolusi Konflik”. Laporan hasil
Penelitian Kerja Sama Universitas Syiah Kuala dengan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh
(Tidak Diterbitkan) (Banda Aceh: n.p., 2006, hlm. 36.
27 Taufik Abdullah et..al., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm.
221.
28 T. Syamsuddin, dkk., Adat Istiadat Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Jakarta: Proyek Penelitian dan
Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1977/1978), hlm. 103–107.
29 https://kbbi.web.id/struktur
30 Kompas.com - 14/04/2020, 13:00 WIB
31 Muhammad Ibrahim dkk, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh
(Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah,
1978/1979), hlm. 21–22.
32 Snouck Hurgronje, Orang Aceh…, (2019: 272–329).
33 Mukim merupakan wilayah yang terdiri atas beberapa gampong yang dipimpin oleh seorang imeum
mukim. Snouck Hurgronje, Orang Aceh…, (2019: 195–209).
34 Snouck Hurgronje, Orang Aceh…, (2019: 209–271).
35 Muhammad Ibrahim dkk, Sejarah Kebangkitan Nasional…, (1978/1979: 23)
36 T. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), hlm. 38–42.
37 A. J. Vleer, “Kedudukan Tuha Peut dalam Susunan Pemerintahan Negeri di Aceh” (terjemahan:
Aboe Bakar), Seri Informasi Aceh XXXXI Nomor 1, 2018 (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan
Informasi Aceh, 2018), hlm. 2–5.
38 Hasbi Amiruddin (Ed.), Aceh Serambi Mekah, (Banda Aceh Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, 2008), hlm. 1.
Artinya:
Adat pada Poeteu Meureuhom (Sultan), Hukum pada Syiah Kuala (ulama)
Qanun pada Putri Pahang, Resam pada Laksamana
Mati anak kita tahu kuburannya, Hilang adat tidak tahu mau cari ke mana.
39 Abdul Rani Usman, dkk., Budaya Aceh (Banda Aceh: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, 2009),
hlm. 32.
40 Irwan Abdullah, “Potensi Sosial Budaya Masa Depan Aceh”, Makalah Seminar Kebudayaan Pekan
Kebudayaan Aceh V, Banda Aceh 10–11 Agustus 2009, hlm. 3–4.
45 Husaini Ibrahim, Awal Masuknya Islam ke Aceh: Analisis Arkeologis dan Sumbangannya pada
Nusantara (Banda Aceh: Aceh Multivision, 2014), hlm. 54–55.
46 Hasbi Amiruddin (ed.), Aceh Serambi Mekah…, (2008: xi).
Lamuri
47 Teuku Iskandar, De Hikajat Atjeh, Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en
Volkenkunde, No. 26 (The Hague: Nijhoff, 1958), hlm. 28–30. Lihat juga Zakaria Ahmad. “Sejarah
Aceh Sebelum Islam”, Makalah, disajikan dalam “Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam
di Daerah Istimewa Aceh”, di Banda Aceh, tanggal 10–16 Juli 1978, hlm. 22.
48 A. K. Das Gupta, “Acheh in Indonesian Trade and Politics, 1600–1641”, Unpublished P.hD. Thesis,
Cornell University, 1962, hlm. 10.
49 A. K. Das Gupta, “Acheh in Indonesian…”, (1962: 6). Lihat juga Zakaria Ahmad., “Sejarah Aceh...,
(1978: 19).
50 Muhammad Said, Aceh Sepanjang…, (1981: 11).
51 Zakaria Ahmad, “Sejarah Aceh…”, (1978: 19).
52 A. K. Das Gupta, “Acheh in Indonesian…”, (1962: 7).
62 Teuku Iskandar, “De Hikajat Atjeh”, dalam Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-,
Land- en Volkenkunde, No. 26 (The Hague: Nijhoff, 1958), hlm. 28–30.
Samudra Pasai
Pasai atau lebih dikenal sebagai Samudra Pasai merupakan kerajaan Islam
terbesar pertama di Asia Tenggara. Kemunculan kerajaan ini diperkirakan
pada awal atau pertengahan abad ke-13 Masehi, sebagai hasil dari proses
islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi oleh pedagang-
pedagang muslim. Informasi tentang keberadaan Kerajaan Samudra Pasai
sangat banyak, baik sumber lokal berupa tinggalan arkeologis dan Hikayat
Raja-raja Pasai, maupun laporan dari para pedagang dan penjelajah asing.
Bukti arkeologis berdirinya Kerajaan Samudra Pasai pada abad ke-13 M
dengan cukup jelas tertera pada batu nisan raja pertama kerajaan tersebut,
Sultan Malik As-Salih, yang terbuat dari batu granit yang terdapat inskripsi
meninggalnya sang sultan pada tahun 696 H, yang bertepatan dengan
tahun 1297 M.64 Informasi tentang Malik al-Salih sebagai pendiri Kerajaan
Samudra Pasai disebutkan dengan cukup jelas dalam sumber lokal Hikayat
Raja-raja Pasai. Dalam hikayat ini secara eksplisit disebutkan bahwa proses
pengislaman di kerajaan tersebut terjadi masa kekuasaan Sultan Malik
al-Salih. Ia sendiri disebutkan sebelum memeluk agama Islam bernama
Meurah Silu.
Selain sumber lokal, keberadaan Kerajaan Samudra Pasai juga
didukung oleh berita dari Cina dan informasi dari seorang pengembara
terkenal asal Maroko, Ibnu Batutah, yang pernah singgah di Samudra
Pasai dalam perjalanannya dari Delhi ke Cina pada tahun 746 H atau 1345
M. Saat itu kerajaan ini diperintahi oleh Sultan Malik al-Zahir. Sumber-
sumber dari Cina menyebutkan bahwa pada awal tahun 1282 M, sebuah
kerajaan kecil “Sa-mu-ta-la” (Samudra) mengirim utusan kepada raja Cina
dengan nama-nama muslim yaitu Husein dan Sulaiman.65 Sementara itu,
63 Teuku Iskandar, “De Hikajat Atjeh…”, (1958: 35); Zakaria Ahmad, “Sejarah Aceh…”, (1978: 24).
64 Hasbi Amiruddin (ed.), Aceh Serambi…(2008: 38).
65 H. J. De Graf, “Islam di Asia Tenggara sampai Abad ke-18” dalam Azyumardi Azra (ed.), Persepektif
Islam di Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), hlm. 3.
69 Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, “Proses Islamisasi dan Munculnya Kerajaan-Kerajaan Islam di
Aceh” dalam A. Hasjmy (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Bandung: Al-
ma’arif, 1989), hlm. 430.
70 M. Gade Ismail, Pasai dalam Perjalanan Sejarah: Abad ke-13 sampai Awal Abad ke-14 (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1997), hlm. 22–23.
71 Tome Pires, Suma Oriental: Perjalanan dari Laut Merah ke Tiongkok & Buku Francisco Rodrigues
(Yogyakarta: Ombak, 2014), hlm. 202–203.
72 T. Iskandar, “Aceh dalam Lintasan Sejarah: Suatu Tinjauan Kebudayaan”. Makalah pada “Seminar
Kebudayaan dalam rangka PKA II dan Dies Natalis ke-11 Universitas Syiah Kuala”, 21–25 Agustus
1972.
73 M. Gade Ismail, Pasai dalam…, (1997: 26–27). Lihat juga Husaini Ibrahim, Awal Masuknya Islam…,
(2014: 86).
74 T. Ibrahim Alfian, Mata Uang Emas Kerajaan-Kerajaan di Aceh (Banda Aceh: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Proyek Pengembangan Permuseuman Daerah Istimewa Aceh, 1986), hlm. 8.
75 T. Ibrahim Alfian, Mata Uang Emas…, (1986: 9).
Pedir
78 Taufik Abdullah (ed.), Sejarah Umat Islam Indonesia (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1992), hlm.
55.
79 H. M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961), hlm. 84.
82 Anthony Reid, An Indonesian Frontier: Acehnese & Other Histories of Sumatra (Leiden: KITLV Press,
2005), hlm. 95.
83 Dharmono Hardjowidjono, “Pasai Tahun 1509–1524” dalam Susanto Zuhdi (Penyunting), Pasai
Kota Pelabuhan…, (1997: 156). Lihat juga Sudirman, “Konflik Aceh dengan Portugis”, http://
dirmanmanggeng.blogspot.com/2009/02/portugis.
84 Denys Lombard, Kerajaan Aceh..., (2008: 60).
85 Padrao merupakan gagasan D. Joao II sebagai pemberitahuan kepada dunia atas penemuan dan
pemilikan daerah-daerah baru oleh Portugal. Adapun karakteristik padrao adalah sebagai berikut:
sebuah monopolis dengan tinggi 2,5 meter, berat + 0,5 ton, mempunyai kapiteel (bagian atas dari
sebuah tiang) yang ditandai oleh sebuah salib. Lambang Kerajaan Portugal dipahatkan pada salah
satu sisi kapiteel, juga dipahatkan dua buah tulisan; satu dalam bahasa Portugis dan yang lain dalam
bahasa latin, menyebutkan nama raja Portugal yang sedang memerintah, tahun penemuan dan
pemimpin yang mendirikannya untuk menandai perjalanannya.
86 Dharmono Hardjowidjono, “Pasai Tahun 1509–1524..., (1997: 156).
87 Danys Lombard, Kerajaan Aceh..., (2008: 59).
88 Dharmono Hardjowidjono, “Pasai Tahun 1509–1524..., (1997: 160).
90 Muhajir al-Fairusy, Singkel: Sejarah, Etnisitas dan Dinamika Sosial (Denpasar: Pustaka Larasan, 2016),
hlm. 40.
91 Gusti Asnan, Sungai & Sejarah Sumatra (Jakarta: Penerbit Ombak, 2016), hlm, 82–83.
92 Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatra (Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm. 208–209.
93 Gusti Asnan, Dunia Maritim…, (2007: 210–211).
105 J. Kathirithamb-Wells, “Achehnese Control over West Sumatra up to the Treaty of Painan, 1663”
dalam Journal of Southeast Asian History, Vol. 10, No. 3, (Dec., 1969), hlm. 455ff; “Gusti Asnan,
Dunia Maritim..., hlm. 152.
106 Tengku Lukman Sinar, Sari Sejarah Serdang (Medan: np, nt), hlm. 22; Muhammad Ibrahim dkk.,
Op.Cit., hlm. 61–62.
107 R. A. Hoesein Djajadiningrat, “Critisch Overzicht van de in Maleiche Werken Vervate Gegeven over
Geschiedenis van het Sultanaat van Atjeh” dalam Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde van
Nederlandsch-Indie, 65, 1911, hlm. 153
108 Julius Jacobs, Het Familie en Kampong Leven op Groot Atjeh (II) (Leiden: E.J. Brill, 1894), hlm. 187.
EKSPEDISI MILITER
ISKANDAR MUDA
Gambar 1.4. Peta Kesultanan Aceh Masa Pemerintahan Sultan Iskandar Muda
Abad Ke-17
Sumber: Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda, 2008: 374
Dalam bidang intelektual dan sastra, Aceh saat itu telah melahirkan,
menerima, dan menampung limpahan pengarang dan pemikir besar.
Mereka itu ada yang berasal dari Aceh sendiri, seperti Hamzah Fansury,
Syamsuddin As-Sumatrany, dan Abdurrauf As-Singkily yang terkenal
dengan Syiah Kuala, ada juga yang datang mengikuti jejak kaum
pedagang dari India seperti Nuruddin Ar-Raniry. Kesemua pujangga
besar tersebut merupakan ulama yang pernah menjabat sebagai mufti
114 Pada awal ekspansinya masjid ini dibakar Belanda dan kemudian dibangun kembali oleh kolonialis
tersebut dalam bingkai politik pasifikasinya.
115 Muhammad Said, Aceh Sepanjang…, (1981: 303–304).
116 Danys Lombard, Kerajaan Aceh..., (2008: 134–136, 143–144, dan 212).
117 Muhammad Said, Aceh Sepanjang…, (1981: 18–35).
118 Gusti Asnan, Dunia Maritim…, (2007: 10–11).
119 Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 2004), hlm. 31–32.
120 Anthony Reid, Sejarah Modern…, (2004: 97–98).
121 Anthony Reid, The Contest..., (1969: 6).
Gambar 1.6. Sketsa Bandar Aceh Darussalam Menurut Kesaksian Peter Mundy
Sumber: http://asoelhok.blogspot.com/2016/03/
126 Sher Banu, A. L. Khan, “Response and Resilience Aceh’s Trade in the Sevententh Century” dalam
Irwan Abdullah, dkk., Pengembangan Kebudayaan dan Kemaritiman Aceh: Strategi dan Tantangan
(Banda Aceh: Dinas Kebudayaan dan Parawisata Aceh, 2018), hlm. 242.
1 Lihat T. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah: Perang Aceh, 1873–1912 (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1987).
2 Brian Harrison, South Asia A Short History (London: Mac Millan & Co. Ltd., 1960), hlm. 97– 98.
3 Anonimous, Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Istimewa Aceh
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1982/1983), hlm. 57–58.
4 Muhammad Ibrahim dkk., Sejarah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Jakarta: Proyek Penelitian
dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1978), hlm.
98; Anonimous, Sejarah Perlawanan…, (1982/1983: 58–59).
7 E. B. Kielstra, Beschrijving van den Atjeh Oorlog: met Gebruik making der Officieele Bronnen, door
het Departement van Kolonien daartoe Afgestaan (Jilid I) (‘s-Gravenhage: De Gebroeders can Cleef,
1883), Lampiran I, hlm. 58.
8 T. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah…, (1987: 65).
9 Anonimous, Sejarah Perlawanan…, (1982/1983: 59–60.
10 Eduard Douwes Dekker (2 Maret 1820–19 Februari 1887) dengan nama samaran ‘Multatuli’ adalah
mantan pamongpraja Hindia Belanda yang pernah bertugas di Sumatra (Natal, Padang), Sulawesi
Utara (Manado), Maluku (Ambon), dan Jawa (Banten).
11 “Surat Multatuli Kepada Raja Tentang Pidato Pembukaan Kenegaraan”, (Alih bahasa: Aboe Bakar),
Seri Informasi Aceh Th. III No. 2, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1979), hlm.
4.
13 Sebenarnya Belanda telah lebih dulu melanggar perjanjian tersebut sejak tahun 1858.
14 “Surat-Surat Lepas yang Berhubungan dengan Politik Luar Kerajaan Aceh Menjelang Perang Belanda
di Aceh”, Seri Informasi Aceh Tahun XXXXII Nomor 4 (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi
Aceh, 2019), hlm. 44–67.
15 Anonimous, Sejarah Perlawanan…, (1982/1983: 62).
16 T. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah…, (1987: 65–66).
26 M. Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh: Perdagangan, Diplomasi dan Perjuangan Rakyat,
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), hlm. 89.
27 R. A. Kern, “Hasil Penyelidikan tentang Sebab Musabab Terjadinya “Pembunuhan Aceh” (Alih
Bahasa oleh Aboe Bakar). Seri Informasi Aceh Th. III. No. 7 (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan
Informasi Aceh, 1979), hlm. 9–10 dan 30.
33 Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad (Jilid I) (Medan: Harian Waspada, n.t.), hlm. 602–603.
Tabel 2.1.
Ekspor Aceh ke Pulau Pinang, 1872–1879 (dalam pikul)
Tabel 2.2.
Impor Aceh dari Pulau Pinang, 1872–1879 (dalam pikul)37
37 Keterangan ukuran: beras dalam koyan, garam dan ikan asin dalam pikul, emas daun dalam bungkal,
dan candu dalam chest.
39 Munawiyah, Birokrasi Kolonial di Aceh, 1903–1942, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press IAIN Ar-Raniry,
2007), hlm. 89.
Masuknya Investasi
40 Mawardi Umar, ”Labour Wages on Western Enterprises in Aceh, 1900–1942”, BA Thesis (Tidak
Diterbitkan) (Leiden University, 2005), hlm. 11–12.
41 Munawiyah, Birokrasi Kolonial…, (2007: 77).
42 J. Jongejans, Land en Volk van Atjeh: Vroeger en Nu (Baarn: Hollandia Drukkerij, 1939), hlm. 154; M.
Gade Ismail, “Seuneubok Lada…”, (1991: 146–149.
43 J. Jongejans, Land en Volk van Atjeh…, (1939: 77–85).
44 M. Isa Sulaiman, “From Autonomy to Periphery: A Critical Evaluation of the Acehnese Nationalist
Movement”, dalam Anthony Reid (ed.), Verandah of Violence: The Background of Aceh Problem
(Singapore and Seattle: Singapore University Press and University of Washington Press, 2006), hlm.
122.
45 J. Kreemer, Atjeh: Algemeen Samenvattend Overzicht van Land en Volk van Atjeh en
Onderhoorigheden (I), (Leiden: E. J. Brill, 1922), hlm. 27–28.
46 Pembangunan jaringan Kereta Api Aceh merupakan bagian dari tujuan pasifikasi. J. Jongejans, Land
en Volk…, (1939: 132).
47 J. Jongejans, Land en Volk…, (1939: 131–139). Lihat juga J. Kreemer, Atjeh…, (II), (1922: 71–78).
48 Wilayah Simpang Kiri dan Simpang Kanan saat itu dimasukkan ke dalam administrasi Onderafdeeling
Tamiang.
Tabel 2.3.
Luas Konsesi, Luas Penanaman, dan Produksi Karet Aceh Timur 1906–1939
55 R. Boersma, Atjeh als Land voor Handel en Bedrijf, (Utrecht: Boekhandel Cohen, 1925), hlm. 7; J.
Langhout, Vijftig Jaren…, (1923: 188); M. Gade Ismail, “Seuneubok Lada…”, (1991: 162–163).
56 Mawardi Umar, Mengadu Nasib di Kebun Karet: Kehidupan Buruh Onderneming Karet di Aceh
Timur 1907–1939 (Banda Aceh: Balai Pelestarian Nilai Budaya Banda Aceh, 2015), hlm. 63–64.
57 H. A. G. N. Swart, Rubber Companies in the Netherlands East Indies (London: The Netherlands
commission for the International Rubber Exhibition, 1911); G. J. van Eijbergen, “Atjeh up to Date”,
TBB, 46, 1915, hlm. 309–310.
58 J. J. van de Velde, Surat-surat dari Sumatra 1928-1949 (Terj. Pustaka Azet) (Jakarta: Pustaka Azet,
1987), hlm. 20; Mawardi Umar, Mengadu Nasib…, (2015: 64–65).
59 J. Jongejans, Land en Volk…, (1939: 158–159).
60 J. Kreemer, Atjeh…, (I), (1922: 433-434).
Gambar 2.9. Pengambilan Resin dari Pohon Pinus di Dataran Tinggi Gayo
Sumber: KITLV
66 Mawardi Umar, “Free Port, Coaling-Station, and Economic Development: Sabang, 1896–1942”, MA
Tesis (Tidak Diterbitkan) (Universitas Leiden, 2008), hlm. 37–42.
67 “Dagblad Scheepvaart”, 6 July 1956, Koleksi Arsip Nasional Belanda, Den Haag.
600
400
200
0
1902/03 1905/06 1908/09 1911/12 1914/15 1917/18
Grafik 2.1. Jumlah Kapal yang Singgah di Sabang (1902–1918)
Sumber: Mawadi Umar, 2008:40
72 Arsip Bank Indonesia, Koleksi De Javasche Bank Agentschap Koetaradja No. 42. 91 e. Boekjaar
1918/1919, hlm. 12–13.
73 Sayangnya, tidak diperoleh data untuk komoditas ini setelah tahun tersebut. Mawardi Umar, “Free
Port…”, (2008: 68–69).
74 Handelsbeweging de Buitenbezittingen in 1913, 1914, 1915, Mededelingen van het Bureau voor de
Bestuurzaken der Buitenbezittingen 12, 1917; Kolonial Verslag, 1906-1907; R. Boersma, Atjeh als
Land voor Handel en Bedrijf (Utrecht: Cohen, 1925), hlm. 16, 41, 54, 84, dan 96.
75 R. Boersma, Atjeh als Land..., (1925: 190–192).
76 Van Aken, Memorie van Overgave Gouverneur Atjeh en Onderhorigheden, 1936, hal. 70; Mawardi
Umar, “Free Port…”, (2008: 72–73).
77 Darsono, dkk, Perjuangan Mendirikan Bank Sentral Republik Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo,
2016), hlm. 16.
78 Noek Hartono, Bank Indonesia: Sejarah Lahir & Pertumbuhannya, (Jakarta: Bank Indonesia, 1976),
hlm. 7–10, Naskah tidak Diterbitkan.
90 De Bree, Gedenkboek van De Javasche Bank: 1828–1928 (Vol. II), hlm. 45.
93 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip De Javasche Bank No. 1456, Vertrouwelijk Brieven van De
Javasche Bank Agentschap Koetaradja (1918-1941).
94 Kreemer, Atjeh: Algemeen samenvattend overzicht van land en volk Atjeh en Onderhoorigden, Vol.
I, (Leiden: E. J. Brill, 1922), hlm. 50. Lihat juga Tim LP3ES, Op.Cit, hlm. 344.
95 De Sumatra Post, “De Javasche Bank”, 8 Oktober 1918.
104 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip De Javasche Bank No. 1456, Vertrouwelijk Brieven van De
Javasche Bank Agentschap Koetaradja (1918–1941), 26 Juli 1919.
105 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip De Javasche Bank No. 1456, Vertrouwelijk Brieven van De
Javasche Bank Agentschap Koetaradja (1918–1941), 27 Desember 1919.
106 De Nieuwe Vorstenlanden, “Girolijst”, 15 April 1919.
107 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip De Javasche Bank No. 1456, Vertrouwelijk Brieven van De
Javasche Bank Agentschap Koetaradja (1918–1941), 4 Agustus 1919.
108 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip…4 Agustus 1919.
109 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip De Javasche Bank No. 1456, Vertrouwelijk Brieven van De
Javasche Bank Agentschap Koetaradja (1918–1941), hlm. 3.
110 Ibid.
111 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip De Javasche Bank No. 1456, Vertrouwelijk Brieven van De
Javasche Bank Agentschap Koetaradja (1918–1941), hlm. 4.
Tabel 2.7.
Perkembangan Perolehan DJB Agentschap Koetaradja Tahun 1925/26 hingga
1937/38
Tabel 2.8.
Rangkuman Jurnal Kas Pada April 1937
114 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip De Javasche Bank No. 1456, Vertrouwelijk Brieven van De
Javasche Bank Agentschap Koetaradja (1918–1941), “Administratie, Kaspositie, enz”, dokumen
tidak diterbitkan.
115 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip De Javasche Bank No. 1456, Vertrouwelijk Brieven van De
Javasche Bank Agentschap Koetaradja (1918–1941), “Muntcirculatie in Koetaradja”, dokumen tidak
diterbitkan.
116 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip De Javasche Bank No. 1456, Vertrouwelijk Brieven van De
Javasche Bank Agentschap Koetaradja (1918–1941), “Muntcirculatie en Voedselsituatie”, dokumen
tidak diterbitkan.
Tabel 2.9.
Personalia DJB Koetaradja 1920–1942
PLV
Tahun Commissaris Commissaris Agent PLV Agent
Agent
C. H. Chr. Ouw-
1920 J. Boon J. Stratenmeier
erling
BK.A. van der
1921 H. J. E. Moll J. Boon
Zweep
F. J. A. Blokber-
1922 H. J. E. Moll J. Boon
gen
J. M. van
1923 H. J. E. Moll J. Boon H. A. Burlage Lidth der
Jeude
PLV
Tahun Commissaris Commissaris Agent PLV Agent
Agent
J. M. van
Lidth der G. W.
1924 Th. H. Neys J. Boon H. A. Burlage
Jeude Geveke
Plv. Agent
en kase-
1925 Th. H. Neys J. Boon Jzn H. A. Burlage mployé’s te
Medan, plv.
agent.
Plv. Agent
en kase-
1926 K. Th. Beets J. Boon Jzn H. A. Burlage mployé’s te
Medan, plv.
agent.
Plv. Agent
en kase-
1927 K. Th. Beets J. Boon Jzn H. A. Burlage mployé’s te
Medan, plv.
agent.
Plv. Agent
en kase-
1928 K. Th. Beets J. Boon Jzn L. D. Termijtelen mployé’s te
Medan, plv.
agent.
Plv. Agent
en kase-
1929 K. Th. Beets J. Boon Jzn H. D. Canne mployé’s te
Medan, plv.
agent.
Plv. Agent
en kase-
Mr. J. N. van der
1930 J. Boon Jzn H. D. Canne mployé’s te
Reyden
Medan, plv.
agent.
Plv. Agent
en kas-em-
Mr. J. N. van der Jhr. J. M. van
1931 J. Boon Jzn ployé’s te
Reyden Lidth de Jeude
Medan, plv.
agent
PLV
Tahun Commissaris Commissaris Agent PLV Agent
Agent
Plv. Agent
en kas-em-
Mr. J. N. van der
1932 A. H. Druyff J. Rens ployé’s te
Reyden
Medan, plv.
agent
Plv. Agent
en kas-em-
Mr. J. N. van der
1933 J. Boon Jzn J. Rens ployé’s te
Reyden
Medan, plv.
agent
Plv. Agent
en kas-em-
Mr. J. N. van der
1934 J. Boon Jzn J. Rens ployé’s te
Reyden
Medan, plv.
agent
Plv. Agent
en kas-em-
1935 C. E. Maier K. H. de Boer J. Rens ployé’s te
Medan, plv.
agent
Plv. Agent
en kas-em-
1936 C. E. Maier K. H. de Boer J. Rens ployé’s te
Medan, plv.
agent
Plv. Agent
en kas-em-
S. F. van Mus-
1937 J. B. F/ Sartoriu J. Boon Jzn ployé’s te
senchenbroek
Medan, plv.
agent
Plv. Agent
en kas-em-
S. F. van Mus-
1938 J. Boon Jzn ployé’s te
senchenbroek
Medan, plv.
agent
Plv. Agent
en kas-em-
S. F. van Mus-
1939 A. J. Piekaar Mr. D. J. Boon ployé’s te
senchenbroek
Medan, plv.
agent
PLV
Tahun Commissaris Commissaris Agent PLV Agent
Agent
Plv. Agent
S. F. van Mus-
1940 A. J. Piekaar Mr. D. J. Boon van Medan,
senchenbroek
plv. agen
Plv. Agent
S. F. van Mus-
1941 A.J. Piekaar Mr. D. J. Boon van Medan,
senchenbroek
plv. agen
Plv. Agent
S. F. van Mus-
1942 A.J. Piekaar G. J. Foerch van Medan,
senchenbroek
plv. agen
Sumber: Regeerings Almanaak voor Nederlandsch Indie (1920–1942), (Batavia: Landsdrukkerij, 1920–
1942)
117 Peter Boomgaard dan Ian Brown, Weathering The Strom: The Economies of Southeast Asia in the
1930s Depresion, (Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 2000), hlm. 1–2.
118 Soegijanto Padmo, “Depresi 1930-an dan Dampaknya Terhadap Hindia Belanda” dalam Jurnal
Humaniora No 2, 1991, FIB UGM, hlm.147.
119 Ibid., hlm.151.
120 Rusdi Sufi, Beberapa Catatan Tentang Daerah Aceh Tahun 1928–1942 (Banda Aceh: Toko Buku Mita
Rezeki, 1980), hlm. 12–16.
121 Memorie van overgave van A. H. Philips, aftreded Gouverneur van Atjeh en Onderhoorigheden, 31
Mei 1932, Mailr. 2544/29, hlm. 47-48.
122 De Deli Courant, 23 Mei 1932.
123 De Deli Courant, “Atjeh Economische Situatie”, 8 September 1932.
124 De Deli Courant, 23 Mei 1932.
125 Memorie van overgave van A. H. Philips, aftreded Gouverneur van Atjeh en Onderhoorigheden, 31
Mei 1932, Mailr. 2544/29, hlm. 46–47.
126 J.R.C. Gonggrijp, Overzicht van de Economische Ontwikkeling van Atjeh Sedert de Pacificatie (Tijpark
1923–1938), 1944, hlm. 7.
127 Ibid., hlm. 8.
128 De Deli Courant, 12 Juni 1932.
129 De Deli Courant, 24 Agustus 1932.
130 Memorie van overgave A. Ph. Van Aken, Op.Cit., hlm. 47–48.
131 J.R.C. Gonggrijp, Overzicht van de Economische…, (1944: 6).
1 “Surat Menyurat tentang Permohonan Rakyat Aceh agar Dipulihkan Kembali Kesultanan Aceh” (Alih
Bahasa: Abu Bakar), Seri Informasi Aceh Th. 11 No. 7 (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi
Aceh, 1978).
2 Abdullah Ali dkk, Sejarah Perjuangan Rakyat Aceh dalam Perang Kemerdekaan 1945–1949 (Banda
Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, 1985), hlm. 130. T. Ibrahim
Alfian dkk, Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh (1945–1949) (Banda Aceh: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Pengembangan Permuseuman Daerah Istimewa Aceh, 1982),
hlm. 6–7.
3 A. H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia (Jilid I) (Bandung: Disjarah-AD dan Angkasa,
1977), hlm. 93–94.
4 Ali Hasjmy (ed.), 50 Tahun Aceh Membangun (Aceh: Majelis Ulama Provinsi Aceh, 1995), hlm. 72.
8 A. J. Piekar, Aceh dan Peperangan dengan Jepang (Alih Bahasa: Aboe Bakar) (Banda Aceh: Pusat
Dokumentasi dan Informasi Aceh,1998), hlm. 116–118.
12 Ali Hasan A.S., “Kisah Perjuangan Mempertahankan Daerah Modal Republik Indonesia” dalam
Anonimous, Kisah Perjuangan Mempertahankan Daerah Modal Republik Indonesia dari Serangan
Belanda (Jakarta: Beuna, 1990), hlm. 165.
13 Nino Oktarino, Nusantara Membara: Invasi Ke Sumatra (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2019),
hlm. 11–12.
14 Nino Oktarino, Nusantara Membara…, (2019: 101).
Gambar 3.1. Tugu Peringatan Pendaratan Jepang ke Aceh di Ujong Batee Aceh Besar
Sumber: http://portalsatu.com/read/histori/foto-tugu-pendaratan-jepang-di-ujong-batee
16 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI (Edisi ke-
4) (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 5.
17 T. Ibrahim Alfian dkk., Sejarah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah, 1977/1978), hlm. 150–151. T. Ibrahim Alfian dkk., Revolusi Kemerdekaan
Indonesia…, (1982: 12).
18 T. Ibrahim Alfian dkk., Revolusi Kemerdekaan Indonesia…, …, (1982: 12)
21 T. Ibrahim Alfian dkk., Revolusi Kemerdekaan Indonesia…, …, (1982: 15–16). Lihat juga Biro Sejarah
Prima, Medan Area…, (1976: 50–51).
22 T. Ibrahim Alfian dkk., Revolusi Kemerdekaan Indonesia…, (1982: 16–17).
23 Shibata Yoshimasa, “The Monetary Policy in the Netherlands East Indies under the Japanese
Administration” dalam Jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde, No. 4, 1996, hlm. 701.
24 Shibata Yoshimasa, "The Monetary Policy...", (1996: 701).
25 Arsip Bank Indonesia, “Verslag van de President van De Javasche Bank 1941/1947”.
26 Arsip Bank Indonesia, R. Hardjo Santoso, “De Javasche Bank pada Masa Peperangan”. Lihat juga M.
Dawam Rahardjo, dkk, Bank Indonesia dalam Kancah Kilasan Sejarah Bangsa, (Jakarta: LP3ES, 1955).
30 Lihat http://www.bi.go.id/en/tentang-bi/museum/sejarah-bi/pra-bi/Pages/historybeforebi5.aspx
31 Seluruh aset milik ketiga bank Jepang tersebut telah dibekukan oleh Pemerintah Belanda pada
Juli 1941. Pembekuan tersebut sebagai tindakan balasan atas dibekukannya aset-aset bank milik
Amerika Serikat dan Inggris di wilayah yang dikuasai Jepang. Lihat Shibata Yoshimasa, "The
Monetary Policy...", (1996).
32 Norio Tamaki, Japanese Banking: A History, 1859-1959, (Cambridge: Cambridge University Press,
1995). Lihat pula dalam Niv. Horesh, “Money for Empire: The Yokohama Specie Bank Monetary
Emissions Before and After the May Fourth (Wusi) Boycott of 1919”, Modern Asian Studies, Vol. 47,
No. 4, 2013, hlm. 1377-1402.
33 Selengkapnya dalam Lawrence L. C. Lee, “The Development of Banking in Taiwan: The Historical
Impact on Future Challenges”, Occasional Papers, Reprint Series in Contemporary Asian Studies, Vol.
149, No. 6, 1999, hlm. 6-10.
34 China and Southern Bank dan Ka’nan Ginko didirikan oleh para kapitalis Taiwan tahun 1919.
Selanjutnya lihat dalam Ryoichi Hisasue, “The Establishment of the China and Southern Bank
and the Southern Warehouse Company: In Relation to the Bank of Taiwan’s Southward Strategy
with Overseas Chinese from the 1910s to the 1920s”, IDE Discussion Paper No. 688, Institute of
Developing Economies, Chiba, Japan, February 2018, hlm. 1-22.
35 Noek Hartono, Bank Indonesia: Sejarah Lahir dan Pertumbuhannya (Jakarta: Bank Indonesia, 1976),
hlm. 28–29.
36 Arsip Bank Indonesia, Koleksi De Javasche Bank, “Verslag van De Javasche Bank 1941/1947”.
37 Noek Hartono, Bank Indonesia…, (1976: 29).
38 Bank-bank Jepang yang beroperasi kembali ini sudah berdiri di Hindia Belanda sejak masa kolonial.
Namun, sempat ditutup oleh Pemerintah Hindia Belanda karena pecah Perang Dunia II yang
melibatkan Jepang. Kemudian setelah Jepang berhasil menduduki Indonesia, bank-bank Jepang
yang sempat tutup tersebut dibuka kembali pada 10 Mei 1942. Lihat Asia Raya, 10 dan 20 Mei 2602.
39 Adrian E. Tschoegl, “The International Expansion of Singapore’s Largest Banks”. Working Paper the
Wharton Financial Institutions Center, Pennsylvania: University of Pennsylvania, 2001.
40 Penyebutan Nanpo Kaihatsu Ginko cenderung beragam, ada yang menyebut “Ginko” ada pula yang
menyebut “Kinko”. Namun, perbedaan penyebutan ini tetap merujuk pada satu institusi yang sama.
Lihat Shibata Yoshimasa, "The Monetary Policy...", (1996: 699).
41 Pembagian tugas ini berawal dari ketika pasukan Jepang mendarat di Jawa, mereka datang bersama
para bankir asal Yokohama Specie Bank untuk membuka kembali cabang-cabang yang sempat
beroperasi sebelumnya serta mendirikan cabang baru di wilayah lain di Hindia Belanda. Selain itu,
awalnya Yokohama Specie Bank-lah yang ditugaskan untuk melikuidasi DJB, bukan Gunseikanbu
(kantor administrasi militer Jepang). Kemudian dibukalah kembali tiga bank Jepang tahun 1943
dan langsung menjadi pemasok keuangan terhadap kelompok-kelompok bisnis Jepang. Yokohama
Specie Bank ialah bank devisa terbesar dan dalam hal ini telah membuat perjanjian khusus dengan
DJB terkait penyelesaian seluruh transaksi valuta asing, termasuk Yen dan Gulden, dan dengan
Kementerian Keuangan Pemerintah Belanda. Lihat Shibata Yoshimasa, "The Monetary Policy...",
(1996).
42 Wasino, dkk, Sejarah Nasionalisasi Aset-Aset BUMN: Dari Perusahaan Kolonial Menuju Perusahaan
Nasional (Jakarta: Kementerian Badan Usaha Milik Negara, 2014), hlm. 417–419.
43 Shibata Yoshimasa, "The Monetary Policy...", (1996: 707). Lihat pula Peter Post dan Elly Touwen-
Bouwsma (ed.), Japan, Indonesia, and the War: Myths and Realities (Leiden: KITLV Press, 1997), hlm.
177-202.
44 Noek Hartono, Bank Indonesia…, (1976: 28–29).
48 Darsono, dkk, Perjuangan Mendirikan Bank Sentral Republik Indonesia (Jakarta: Rajagrafindo, 2016),
hlm. 170.
49 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip De Javasche Bank, “Verslag van De Javasche Bank 1941/1947”.
50 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip De Javasche Bank, “Koetaradja, Brieven Vertrouwelijk van/aan
Hoofdkantoor”.
51 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional… (1993: 45).
52 Ramadhan KH. dan Fitria Sari, Teuku Nyak Arief Rencong Aceh di Volksraad, Banda Aceh: Yayasan
Pendidikan Islam Teuku Nyak Arief, 2017), hlm. 115–116.
53 T. Ibrahim Alfian dkk., Sejarah Daerah Provinsi…, (1977/1978: 156-157).
54 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional… (1993: 41–42).
55 S. M. Amin, Kenang-Kenangan dari Masa Lampau (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978), hlm.109.
56 T. Ibrahim Alfian dkk, Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh…, (1982: 17–18).
57 T. Ibrahim Alfian dkk., Sejarah Daerah Provinsi…, (1977/1978: 155).
Gambar 3.3. Rombongan Pimpinan Rakyat Sumatra ketika berada di Singapura dalam
perjalanan ke Jepang tahun 1943. Tiga orang perwakilan dari Aceh, duduk dari kiri
ke kanan, yaitu 1. M. Syafie, 3. T. M. Hasan Geulumpang Payong, dan 5. Teuku Nyak
Arief.
Sumber: Ramadhan KH. dan Fitria Sari (2017: 121)
78 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip De Javasche Bank, Jaarverslag van De Javasche Bank 1941/1947.
Gambar 3.4. Seri Uang Nanpatsu yang dikeluarkan oleh NKG dengan menggunakan
mata uang Rupiah pecahan 5 dan 10 Rupiah
Ket. Gambar: Pecahan: 5 dan 10 roepiah; Penandatanganan: -; Ukuran: 149x72 mm (5 roepiah) dan
159x77mm (10 roepiah); Warna Dominan/Desain Utama Depan: hijau (5 roepiah) dan coklat (10 roepiah) /
nilai nominal, rumah Minangkabau (5 roepiah) dan penari wayang Gatotkaca (10 roepiah), tulisan Bahasa
Jepang; Belakang: hijau/angka 5 dan guilloche, Wanita Minangkabau (5 roepiah), ungu/angka 10 dan
guilloche, Arca Buddha dan Stupa (10 roepiah); Pencetak: Djakarta Insatsu Kodjo; Tanggal penerbitan:
1943; Tanggal penarikan kembali: -.
Sumber: Lintasan Masa Numismatika Nusantara: Koleksi Museum Bank Indonesia, (Jakarta: Bank
Indonesia, 2015), hlm. 191–194.
80 Anjing dan babi merupakan dua binatang yang dianggap haram untuk disentuh sehingga keduanya
paling dibenci dalam masyarakat Aceh.
81 Anonimous. Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Istimewa Aceh.
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1982), hlm. 104-108.
1 Benedict Anderson, Imagine Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang (Terj. Omi Intan Naomi),
(Yogyakarta: INSIST Press dan Pustaka Pelajar, 2008).
Memperkuat Pertahanan
2 Puisi ini terdapat di back-cover buku Tgk. Isma’il Jakoeb, Soesoenan Indonesia Merdeka (Koetaradja:
Semangat Merdeka, 1945).
3 Sjamaun Gaharu, “Perebutan Kekuasaan dari Tangan Djepang”, dalam Modal Revolusi 45 (Kutaraja:
Komite Musjawarah Angkatan 45 Daerah Istimewa Atjeh, 1960), hlm. 28.
13 T. Ibrahim Alfian dkk., Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh 1945–1949 (Banda Aceh:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Pengembangan Permuseuman Daerah Istimewa
Aceh, 1982), hlm. 40–41.
17 M. Nur El Ibrahimy, Mata Rantai yang Hilang: Dari Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di
Aceh (Jakarta: Diterbitkan Sendiri, 1996), hlm. 8–9.
22 Pasukan Jepang yang belum sempat dilucuti oleh pejuang Aceh dikonsentrasikan di Blang Bintang
untuk kemudian diberangkatkan menuju Ulee Lheue dengan persenjataan lengkap yang selanjutnya
dijemput oleh kapal Sekutu.
23 T. Zainal Abidin, “Kisah Perjuangan Memperjuangkan Daerah Modal”, dalam Kisah Perjuangan
Mempertahankan Daerah Modal Republik Indonesia Dari Serangan Belanda, oleh Para Pelaku
(Jakarta: Penerbit Beuna, 1992), hlm. 157.
Keadaan yang berubah sangat cepat setelah kekalahan Jepang pada Sekutu
dalam Perang Asia Timur Raya telah berpengaruh terhadap banyak aspek
kehidupan masyarakat, terutama di Aceh. Dalam situasi seperti itu, masa
awal kemerdekaan di Aceh terjadi konflik antara kelompok yang dimotori
oleh Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dengan kelompok uleebalang
(bangsawan) di wilayah Pidie. Konflik tersebut dikenal dengan Peristiwa
Cumbok karena kelompok uleebalang dipimpin oleh Teuku Muhammad
Daud Cumbok yang bermarkas di daerah Cumbok, Lameuloe, Pidie.29
Selain dilatarbelakangi oleh faktor historis persaingan antara kedua
kelompok jauh sebelum revolusi, pemicu utama peristiwa tersebut adalah
terjadinya perbedaan interpretasi dari kedua kelompok terhadap situasi
yang berubah dengan sangat cepat di Aceh pasca kekalahan Jepang.
Informasi kekalahan Jepang terhadap Sekutu yang datang tiba-tiba
telah mengejutkan para pemimpin Aceh, yang menyebabkan masing-
masing kelompok mengambil sikap berdasarkan interpretasi masing-
masing terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian. Kelompok
yang menjadi kolaborator Jepang, terutama kelompok PUSA dan sebagian
uleebalang seperti Teuku Nyak Arief, T. M. Ali Panglima Polem merasa sangat
khawatir kalau Belanda kembali ke Aceh, sehingga kelompok ini sangat
30 Insider, Atjeh Sepintas Lalu (Jakarta: Archapada, 1950), hlm. 5. M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh…,
(1997: 115– 16).
31 T. Ibrahim Alfian, Revolusi Kemerdekaan..., (1982: 75–76).
32 Anthony Reid, Indonesia, Revolusi, & Sejumlah Isu Penting (Jakarta: Prenada Media, 2018), hlm. 267.
33 Pengangkatan tersebut sesuai dengan Surat Keputusan Wakil Presiden Republik Indonesia Nomor 3/
BPKU/47 Tanggal 26 Agustus 1947 Tentang Pembentukan Daerah Militer Aceh, Langkat, dan Tanah
Karo, dan Surat Keputusan Wakil Presiden Republik Indonesia Nomor 4/WKP/SUM/47 Tanggal 26
Agustus 1947 Tentang Penunjukan Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer
dengan pangkat Mayor Jenderal S. M. Amin, Kenang-Kenangan…, (1978: 40).
34 Biro Sejarah Prima, Medan Area Mengisi Proklamasi (Medan: Badan Musyawarah Pejuang RI Medan
Area, 1976), hlm. 240.
35 RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internees), merupakan organisasi militer yang
dibentuk oleh Sekutu di bawah pimpinan Laksamana Lord Mountbatten yang bertugas untuk
melaksanakan evakuasi terhadap tawanan perang di wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia.
36 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Balai Pustaka, 1993), hlm. 119.
37 Biro Sejarah Prima, Medan Area…, (1976: 212).
44 B. Wiwoho, Pasukan Meriam Nukum Sanany, Sebuah Pasak dari Rumah Gadang Indonesia Merdeka,
Sebagaimana Diceritakan kepada Penulis (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm. 125.
45 B. Wiwoho, Pasukan Meriam…, (1985: 125).
Gambar 4.6. Presiden Sukarno Melakukan Defile Pasukan di Lapangan Blang Padang
Kutaraja Tahun 1948.
Sumber: ANRI, Koleksi KIT Aceh
50 Amran Zamzami, Jihad Akbar di Medan Area (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm. 369 dan 373.
52 Abdullah Hussain, Peristiwa…, (Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1965), hlm. 417.
53 Zulfan, “Kelompok Pengusaha Pada Masa Perang Kemerdekaan di Aceh 1945–1949”, Tesis Master
(Tidak Diterbitkan) (Depok: Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, 1995), hlm. 81.
54 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional…, (1993: 176–177).
55 ATC ini sebenarnya merupakan bagian dari Central Trading Coy (CTC) yang berpusat di Bukittinggi,
suatu perusahaan yang bertugas menyuplai perlengkapan tentara di Sumatra.
56 Abdullah Ali dkk., Sejarah Perjuangan Rakyat Aceh Dalam Perang Kemerdekaan 1945–1949 (Banda
Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, 1985), hlm. 263–264.
Tabel 4.1.
Jumlah Ekspor Karet Aceh ke Pulau Penang dan Rata-Rata Harga Tahun
1946–1950 (dalam Ton)
66 George Kapper, De Oorlog tusschen Nederland en Atjhin (Roterdam: Nijgh & van Ditmar, 1874),
hlm. 39–40.
67 M. Gade Ismail, “Seuneubok Lada, Uleebalang, dan Kumpeni: Perkembangan Sosial Ekonomi di
Daerah Batas Aceh Timur, 1840–1942”, Disertasi Doktor (Tidak Dipublikasikan) (Leiden: Universiteit
Leiden, 1991), hlm. 101.
68 J. Langhout, Economische Staatkunde in Atjeh (Den Haag: N.V. Boekhandel v/h W.P. van Stockum en
Zoon, 1923), hlm 109.
69 Zulfan, “Kelompok Pengusaha…”, hlm. 47–55.
Gambar 4.8. Para Pemuka Masyarakat dan Saudagar Aceh di Penang Masa Revolusi
Kemerdekaan
Sumber: Repro dari TA. Talsya, 1990 (Buku III), hlm. 97
75 Teuku Muhammad Isa, (ed.), Teuku Muhammad Ali Panglima Polim, Sumbangsih Aceh Bagi Republik
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hlm. 62.
76 Nazaruddin Syamsuddin, Revolusi di Serambi Mekkah..., (1999: 77).
77 Darsono dkk., Menghadapi Gelombang Pasang di Serambi: Kontribusi Bersama untuk Aceh setelah
Tsunami 2004 (Jakarta: Bank Indonesia, 2018), hlm. 223.
78 Darsono dkk., Menghadapi Gelombang…, (2018: 227).
Gambar 4.9. Gedung DJB Kutaraja Berubah Fungsi Menjadi Gedung DPRD
Sumatra Utara
Sumber: Repro TA Talsya, 1990 (Buku III), hlm. 106.
81 Saat itu seluruh Pulau Sumatra masih merupakan satu provinsi, yaitu Provinsi Sumatra.
82 Tim Penyusun, Oeang Republik Indonesia (ORI) (Cetakan ke-2) (Jakarta: Direktorat Layanan dan
Pemanfaatan Arsip Nasional Republik Indonesia, 2018), hlm. 9.
83 Tim Penyusun, Oeang Republik..., (2018: 9).
92 Abidin Hasyim, dkk., Aceh Daerah Modal (Banda Aceh: Pemerintah Aceh, 2009), hlm. 2–3.
93 “Perkundjungan Presiden Sukarno ke Atjeh”, Surat Kabar Semangat Merdeka, Terbitan II (edisi
khusus), Kutaradja, 1948, hlm. 33.
97 T. A. Talsya, Modal Perjuangan Kemerdekaan…, (1990: 71); Abdullah Ali, et al. Sejarah Pejuangan…,
(1984: 332–35).
98 T.A. Talsya, Modal Perjuangan Kemerdekaan…, (1990: 465); Rusdi Sufi, Perkembangan Media
Komunikasi di Daerah: Radio Rimba Raya di Aceh (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
RI, 1999), hlm. 45 dan 52; T. Ibrahim Alfian, dkk., Revolusi Kemerdekaan…, (1982: 95).
Gambar 4.12. Pesawat DC-3 RI 001 Sumbangan Rakyat Aceh di Bandara Kemayoran
Sumber: Kompas.com
102 ANRI, Djogja Documenten No. 47, dan ARA INV.NR: 06589.
103 Teuku Muhammad Isa, (ed.), Teuku Muhammad..., (1996: 68).
104 S. M. Amin, Kenang-Kenangan.., (1978: 102–103); Revolusi Kemerdekaan…, (1982: 102).
1 Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI (Cet.
Kedelapan) (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Balai Pustaka, 1993), hlm. 171–
72.
S alah satu poin yang disepakati antara delegasi Indonesia dan delegasi
Belanda dalam KMB di Den Haag adalah dipilihnya bank sentral Hindia
Belanda, De Javasche Bank (DJB), sebagai bank sirkulasi untuk Republik
2 Darsono, dkk, (a), Perjuangan Mendirikan Bank Sentral Republik Indonesia (Jakarta: Bank Indonesia,
2016), hlm. 220.
3 Darsono, dkk, (a), Perjuangan Mendirikan…, (2016: 221).
4 Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional…, (1993: 202).
5 Darsono, dkk, (a), Perjuangan Mendirikan…, (2016: 233).
9 Untuk pergantian nama De Javasche Bank sebenarnya ada tiga nama yang berkembang di
masyarakat saat itu, yaitu Bank Jawa, Bank Sirkulasi Indonesia, dan Bank Sentral Indonesia. Dengan
berbagai pertimbangan, Komite Nasionalisasi DJB akhirnya sepakat untuk tidak menggunakan ketiga
nama yang berkembang tersebut, tetapi memilih nama “Bank Indonesia” sebagai pengganti nama
DJB. Darsono, dkk, (a), Perjuangan Mendirikan…, (2016: 242).
10 Darsono, dkk, (a), Perjuangan Mendirikan…, (2016: 237).
11 Sayangnya arsip dan dokumen mengenai pembukaan kembali dan keuangan BI cabang Aceh periode
1964 sampai 1990 sebagian besar hancur akibat bencana tsunami yang melanda Aceh tahun 2004.
Darsono dkk. (b), Menghadapi Gelombang Pasang di Serambi: Kontribusi Bersama Untuk Aceh
Setelah Tsunami 2004 (Jakarta: Bank Indonesia, 2018), hlm. 236–237.
12 Marwati Djoened Poespnegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional…, (1993: 207).
13 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh: Gugatan Terhadap Tradisi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997),
hlm. 242. Lihat juga Mawardi Umar dan Al Chaidar, Darul Islam Aceh: Pemberontak atau Pahlawan?,
Buku Dua Seri Konflik Aceh dari Masa ke Masa (Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, 2006), hlm. 106–07.
14 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh…, (1997: 243).
15 Surat kabar harian Tegas, 27 September 1952. Lihat juga Nazaruddin Syamsuddin, Pemberontakan
Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990), hlm. 77.
16 Arsip Bank Indonesia, Koleksi De Javasche Bank, “Rapport over het Bezoek aan Koetaradja van J. Vos
van Marken”, No. 5493.
17 Arsip Bank Indonesia, Koleksi De Javasche Bank, “Rapport over het Bezoek ...”. No. 5493.
18 Arsip Bank Indonesia, Koleksi De Javasche Bank, “Rapport over het Bezoek ...”, No. 5493.
19 Nazaruddin Syamsuddin, Pemberontakan Kaum…, (1990: 75).
20 Nazaruddin Syamsuddin, Pemberontakan Kaum…, (1990: 243).
21 S. M. Amin (a), Kenang-Kenangan dari Masa Lampau (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978), hlm. 103.
22 Nazaruddin Syamsuddin, Pemberontakan Kaum…, (1990: 75–76).
Tabel 5.1.
Nilai Ekspor Indonesia ke Penang Tahun 1950–1953
(dalam juta rupiah)
Dari Tabel 5.1. terlihat jelas penurunan secara signifikan nilai ekspor
Indonesia ke Penang, Malaysia sejak tahun 1952. Hal ini disebabkan oleh
menurunnya ekspor yang berasal dari Aceh, terutama komoditas kopra.
Merosotnya nilai ekspor tersebut memberikan dampak yang serius kepada
para petani, karena merosotnya harga kelapa (kopra) di pasar lokal. Hal ini
sangat beralasan karena selain lada, kopra merupakan komoditas ekspor
utama Aceh sejak lama. Berbeda dengan di Jawa dan Sumatra Timur, di
mana kebun kelapa dimiliki oleh perusahaan-perusahaan swasta, di Aceh
yang menguasai produksi kopra adalah para petani. Para petani di Aceh
tidak semata-mata tergantung pada produksi beras. Sebagian besar petani
di pesisir Aceh memiliki kebun kelapa yang hasilnya digunakan untuk
menopang kehidupan mereka, terutama untuk memenuhi kebutuhan
sandang dan kebutuhan lain di luar kebutuhan makan.
Kondisi ekonomi yang diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan
pemerintah pusat yang kurang menguntungkan rakyat Aceh ini, telah
membuat rakyat Aceh kecewa terhadap pemerintah pusat. Dengan
26 Ada juga kelompok masyarakat, terutama keturunan uleebalang (bangsawan) yang menjadi korban
Revolusi Sosial di Aceh, yang merasa senang dengan dibatalkan pembentukan Provinsi Aceh, karena
dari awal mereka sudah tidak setuju dengan pembentukan wilayah otonomi bagi Aceh. S. M. Amin
(a), Kenang-kenangan…, (1978: 85).
27 S. M. Amin (a), Kenang-kenangan…, (1978: 86).
28 Arsip Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh Kode referensi: ID 21100-24 21100-24-AC02-
AC02-16/1-AC02-16/1- 16.1. Lihat juga Drs. Muhammad Ibrahim dkk.,Sejarah Daerah Provinsi
Daerah Istimewa Aceh (Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1978), hlm. 193–94
29 S. M. Amin (b), Sekitar Peristiwa Berdarah di Aceh (Djakarta: N.V. Soeroengan, n.d.), hlm. 284.
30 S. M. Amin (a), Kenang-kenangan…, (1978: 86–87).
Gambar 5.2. Wakil Presiden Moh. Hatta Disambut Sewaktu Tiba di Kutaraja tanggal
27 Juli 1953
Sumber: ANRI, Koleksi Kementerian Penerangan Aceh 1947–1965
33 S. M. Amin (b), Sekitar Peristiwa Berdarah (n.d.: 157). Lihat juga Mawardi Umar dan Al Chaidar, Darul
Islam Aceh…, (2006: 101–102).
34 Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1992), hlm. 134.
35 Hasan Saleh, Mengapa Aceh…, (1992: 125–26).
44 Mawardi Umar dan Al Chaidar, Darul Islam Aceh…, (2006: 108-9). M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh…,
(1997: 246–51).
Tabel 5.2.
Kondisi Jalan Raya di Aceh Tahun 1968
66 https://acehprov.go.id/profil/read/2014/10/03/104/sejarah-provinsi-aceh.html
73 Arsip Nasional RI, Koleksi Arsip Sekretariat Negara Kabinet Perdana Menteri 1950–1959 Jilid 2, No.
1555.
74 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh…, (1997: 330–31).
78 Mawardi Umar dkk., Kiprah Kampus ‘Jantong Ate’ Untuk Bangsa: 58 Tahun Unsyiah (Banda Aceh:
Syiah Kuala University Press, 2019), hlm. 20.
79 Mawardi Umar dkk., Kiprah Kampus…, (2019: 20).
80 Arsip Nasional RI, Koleksi Arsip Menteri Negara Ekonomi Keuangan dan Industri 1967–1973.
81 Arsip Nasional RI, Arsip Foto Koleksi Kementerian Penerangan Wil. Aceh 1947–1965, No. 1180
84 Soegijanto Padmo, “Menuju Perusahaan Terbatas Perkebunan (PTP)”, Makalah pada Workshop on
the Economic Side of Decolonization jointly organized by LIPI, PSSAT UGM & Program Studi Sejarah
Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 18–19 Agustus 2004, hlm. 2.
85 Arsip Bank Indonesia, Koleksi De Javasche Bank, Rapport over het Bezoek aan Koetaradja van J.Vos
van Marken, No. 5493.
Tabel 5.3.
Luas Areal dan Produksi Tanaman Karet P.N. Perkebunan I Daerah Tk. II Aceh
Timur, 1968–1970
86 Soegijanto Padmo, “Menuju Perusahaan…”, (2004: 4-5). Lihat juga Handbook of Indonesian Estate
Crops Business 2000 (Jakarta: Directorate General of Estate Crops, n.t.), hlm. 21.
87 Anonimous, Industri Perkebunan Besar di Indonesia: Profil dan Petunjuk (Jakarta: Departemen
Pertanian, 1989), hlm. 142–143.
88 Arsip Bank Indonesia, Koleksi De Javasche Bank, Rapport over het Bezoek aan Koetaradja van J.Vos
van Marken, No. 5493.
89 Sayangnya arsip dan dokumen mengenai pembukaan kembali dan keuangan BI Cabang Aceh
periode 1964 sampai 1990 sebagian besar hancur akibat bencana tsunami yang melanda Aceh
tahun 2004. Darsono, dkk (b)., Menghadapi Gelombang…, (2018: 236- 237).
90 Rusdi Sufi, dkk., Sejarah Kotamadya Banda Aceh (Banda Aceh: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh, 1996/1997), hlm. 53.
91 “Sejarah Provinsi Aceh”, https://acehprov.go.id/profil/read/2014/10/03/104/sejarah-provinsi-aceh.
html
92 Isakandar Norman, “Aceh Hari Ini: Nama Kutaraja Dikembalikan Jadi Banda Aceh, http://portalsatu.
com/read/kanal/aceh-hari-ini-nama-kutaraja-dikembalikan-jadi-banda-aceh-54350
93 Darsono dkk. (b), Menghadapi Gelombang…, (2018: 238).
Selain Kantor Cabang Bank Indonesia (KCBI) Banda Aceh, Bank Indonesia
juga mendirikan cabang di Sabang pada pada tahun 1964. Pendirian Kantor
Cabang BI Sabang berkaitan erat dengan pembukaan kembali Pelabuhan
Bebas Sabang. Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya,
bahwa pembukaan kembali Pelabuhan Bebas Sabang merupakan bagian
dari kebijakan politik ekonomi pemerintah pusat tentang konfrontasi
terhadap Malaysia di bidang ekonomi, yang dilaksanakan dalam bentuk
larangan ekspor Indonesia ke daerah-daerah Malaysia, seperti Penang
dan Singapura. Dengan politik ekonomi konfrontasi tersebut, pemerintah
berharap Pelabuhan Bebas Sabang dapat menjadi pelabuhan pengganti
Penang dan Singapura untuk pasar komoditas-komoditas yang dihasilkan
wilayah Sumatra dan sekitarnya.
Legalitas Pelabuhan Bebas Sabang didasari pada Keputusan Presiden
RI No. 10 Tahun 1963, tanggal 10 Oktober 1963, yang menetapkan
Sabang sebagai daerah Pelabuhan Bebas, yang nantinya diperkuat dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1970 yang menetapkan ketentuan
pokok Daerah Perdagangan Bebas dengan Pelabuhan Bebas Sabang untuk
masa 30 tahun. Pelaksanaan Pelabuhan Bebas Sabang diserahkan kepada
Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) dan untuk pengelolaannya
96 Arsip Bank Indonesia, Arsip Surat Eks Bank Indonesia Sabang, No. 1.
97 Arsip Nasional RI, Arsip Menteri Negara Ekonomi Keuangan dan Industri 1967–1973, No. 4646.
98 Arsip Bank Indonesia, Arsip Surat Eks Bank Indonesia Sabang, No. 1.
99 Arsip Bank Indonesia, Surat Edaran Pembukaan Tjabang Baru Sabang No. 12/92 Bank Indonesia,
Tahun 1964.
100 Arsip Bank Indonesia, Arsip Surat Eks Bank Indonesia Sabang, No. 1.
101 Arsip Nasional RI, Arsip Menteri Negara Ekonomi Keuangan dan Industri 1967–1973, No. 4646.
102 Arsip Nasional RI, Arsip Menteri Negara Ekonomi Keuangan dan Industri 1967–1973, No. 4646.
103 Arsip Bank Indonesia, Arsip Surat Eks Bank Indonesia Sabang, No. 1.
104 Darsono dkk. (b), Menghadapi Gelombang…, (2018: 239–240).
105 Arsip Bank Indonesia, Arsip Surat Eks Bank Indonesia Sabang, No. 1.
Tabel 5.4.
Nilai Perdagangan Sabang 1964–1967 (dalam US$)
106 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip Direksi Bank Indonesia, Laporan Pimpinan Cabang Atjeh pada
Konferensi “Berdikari” di Kantor Pusat Bank Indonesia Jakarta tahun 1965 No. 458.
107 Darsono dkk. (b), Menghadapi Gelombang…, (2018: 238).
108 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip Direksi Bank Indonesia, Laporan Pimpinan Cabang Sabang, Banda
Aceh, Medan, Pekan Baru, Padang, Palembang, dan Teluk Betung, pada Konferensi “Berdikari”
Direktur Bank Cabang, Pimpinan-Pimpinan Cabang dan Perwakilan-Perwakilan di Kantor Pusat Bank
Indonesia Jakarta, tanggal 4 s.d. 8 Mei 1965.
109 Arsip Bank Indonesia, Koleksi Arsip Direksi Bank Indonesia Laporan Pimpinan Cabang Sabang, Banda
Aceh, Medan, Pekan Baru, Padang, Palembang, dan Teluk Betung, pada Konferensi “Berdikari”
Direktur Bank Cabang, Pimpinan-Pimpinan Cabang dan Perwakilan-Perwakilan di Kantor Pusat Bank
Indonesia Jakarta, tanggal 4 s.d. 8 Mei 1965.
110 Rusdi Sufi dkk., Sejarah Kotamadya…, (1996/1997: 84–85).
111 Arsip Bank Indonesia, Peraturan & Pelaksanaan Pembangunan Pelabuhan Bebas Sabang, No. 23-94.
112 Arsip Bank Indonesia, Komando Pelaksana Pembangunan Proyek Pelabuhan Bebas Sabang, No.
1-94.
Tabel 6.1.
Klasifikasi Kantor Cabang Bank Indonesia Tahun 1981
Kelas I
Kelas II Kelas III Kelas IV (terendah)
(tertinggi)
Surabaya Bandung, Ujung Banda Aceh, Lhokseumawe, Ambon,
Semarang Pandang, Jayapura, Yogyakarta, Mataram, Jember,
Medan Palembang, Pekanbaru, Jambi, Kendari, Kupang,
Manado, Padang, Samarinda, Solo, Malang, Palu, Bengkulu,
Banjarmasin, Telukbetung, Purwokerto, Balikpapan,
Denpasar, Cirebon Tegal, Ternate,
Pontianak Pematang Siantar,
Sibolga, Tasikmalaya
Sumber: Suran Edaran Bank Indonesia No. 13/108 Rupa-Rupa tanggal 26 Maret 1981
1 Bank Indonesia, “Sejarah Bank Indonesia: Sejarah Kelembagaan Periode 1966–1983”, hlm. 2,
https://www.bi.go.id/id/tentang-bi/museum/sejarah-bi/bi/Pages/sejarahbi_3a.aspx. (diakses pada 5
Mei 2020 pukul 10:24).
2 Tim PP-PPBI, Sejarah Perkembangan Kantor Bank Indonesia Banda Aceh (Jakarta: Sarana Media,
2017), hlm. 6
3 Arsip Bank Indonesia, Surat Edaran Bank Indonesia No. 13/108/Rupa-rupa tanggal 26 Maret 1981.
7 Bank Indonesia, “Sekilas Sejarah Kelembgaan Bank Indonesia Periode 1999–2005” diakses melalui
https://www.bi.go.id/id/tentang-bi/museum/sejarah-bi/bi/Pages/sejarahbi_1.aspx (diakses pada 5 Mei
2020 pukul 13:15).
8 Tim PP-PPBI, Sejarah Perkembangan..., (2017: 180).
Tabel 6.2.
Daftar Nama Pimpinan KPwBI Provinsi Aceh dari Waktu ke Waktu
10 Arsip Bank Indonesia, Surat Edaran Bank Indonesia No. 18/82/INTERN tanggal 30 September 2016.
11 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Studi Kebijaksanaan Ekonomi Daerah (Banda Aceh:
Bappeda, 1985), hlm. 32.
12 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Studi Kebijaksanaan…, (1985: 33).
13 Badan Pusat Statistik, Aceh Dalam Angka 1990 (Banda Aceh: BPS Daerah Istimewa Aceh, 1990), hlm.
673.
14 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Studi Kebijaksanaan…, (1985: 41).
17 Badan Pusat Statistik, Aceh dalam Angka 2001 (Banda Aceh: BPS dan Bappeda Nangroe Aceh
Darussalam, 2001), hlm. 148–149.
18 Penjelasan lebih lanjut mengenai dampak tsunami terhadap perekonomian Aceh akan diperoleh
pada bagian berikutnya.
19 Bank Indonesia, Perkembangan Ekonomi Keuangan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Triwulan III-2005 (Banda Aceh: Bank Indonesia Banda Aceh, 2005), hlm. 9.
20 Badan Pusat Statistik, Aceh dalam Angka 2005 (Banda Aceh: BPS dan Bappeda Nanggroe Aceh
Darussalam, 2005), hlm. 236.
21 Badan Pusat Statistik, Aceh dalam Angka 2006 (Banda Aceh: BPS dan Bappeda Nanggroe Aceh
Darussalam, 2006), hlm. 164.
22 Uraian khusus mengenai awal mula penemuan gas alam dan boom ekonomi Aceh Utara selengkapnya
pada bagian selanjutnya.
23 Bank Indonesia, Kajian Ekonomi Regional Provinsi Aceh Triwulan II-2010 (Banda Aceh: Bank Indonesia
Banda Aceh, 2010), hlm. 16. Di tengah meredupnya kilang Arun, pemerintah memutuskan kilang
Arun beralih fungsi menjadi terminal penyimpanan dan regasifikasi LNG pada tahun 2012. Alih
fungsi dari produsen LNG menjadi fasilitas regasifikasi merupakan yang pertama di dunia.
24 Bank Indonesia, Kajian Ekonomi Regional Provinsi Aceh Triwulan IV-2010 (Banda Aceh: Bank
Indonesia Banda Aceh, 2010), hlm. 16.
25 Arsip Bank Indonesia, Nota Serah Terima Jabatan Kepala Perwakilan Bank Indonesia Lhokseumawe
tanggal 20 Januari 2020.
26 Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Provinsi Aceh November 2019 (Banda Aceh: Bank Indonesia
Banda Aceh, 2019), hlm. 2.
6,17 6,03
5,56
5,01 4,88 5,03 5,07 5,17
6,19 5,75
4,95 4,54
4,60 4,29 4,29
4,18 4,61
3,85 3,53
3,28 3,29
2,61
1,55
-0,73
27 Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Provinsi Aceh November 2019…, (2019: 2).
Pada bagian ini, kisah kejayaan dari sektor migas di Aceh akan dijabarkan
lebih khusus, guna memperoleh uraian bahwa keberadaan sektor migas
di Aceh bukan hanya menandai awal mula kejayaan migas bagi Aceh
saja, namun juga menjadi penyumbang devisa terbesar Indonesia. Pada
1968 perusahaan Amerika Serikat, Mobil Oil (kini Exxon Mobil) menjadi
kontraktor dalam Kontrak Kerja Sama (KKS) dengan Pertamina. Setahun
kemudian, Mobil Oil Company mulai mengerahkan pencarian minyak dan
gas di Aceh dengan fokus utama adalah Aceh Utara. Pengeboran yang
dilakukan di dekat Desa Arun adalah yang kelima belas kali dilakukan
oleh Mobil Oil. Sejak pencarian pertama di lokasi yang berindikasi sumber
energi sampai titik pengeboran keempat belas di ladang baru yang tidak
dikenal sebelumnya, perusahaan tersebut telah menemukan minyak dan
gas dengan kandungan karbondioksida yang terlalu tinggi sehingga sulit
dikembangkan.
Perusahaan minyak Standard Oil Company of New York yang pernah
beroperasi di Sumatra telah mendeteksi bahwa di Aceh terdapat kandungan
gas yang besar jumlahnya. Atas dasar itu, pencarian oleh Mobil Oil yang
dikoordinasi Pertamina Unit I dikonsentrasikan di Desa Arun, Kecamatan
Syamtalira, Kabupaten Aceh Utara yang kelak digunakan sebagai nama
perusahaan gas alam pertama di Indonesia. Di daerah Aceh Utara dengan
ibu kota Lhokseumawe pada tahun 1970 telah ditemukan sumber daya
alam berupa ladang minyak dan gas. Mulai saat itu Aceh pun akhirnya
didatangi oleh para investor luar negeri yang tertarik pada sumber daya
alam yang melimpah. Kala itu gas alam cair atau Liquefied Natural Gas
(LNG) yang diolah di kilang PT. Arun Natural Gas Liquefaction (NGL) Co.
berasal dari instalasi PT. Exxon Mobil Oil Indonesia (EMOI) di zona industri
Lhokseumawe dan telah menjadikan daerah tersebut sebagai kawasan
industri petrokimia yang modern.28
Pada 24 Oktober 1971 gas alam yang terkandung di bawah ladang
gas Arun ditemukan dengan perkiraan cadangan mencapai 17,1 triliun
29 Selanjutnya tahun 1998 dilakukan pembangunan proyek NSO “A” yang diliputi unit pengolahan gas
untuk fasilitas lepas pantai (offshore) dan di PT. Arun NGL. Fasilitas ini dibangun untuk mengolah
450 MMSCFD gas alam dari lepas pantai sebagai tambahan bahan baku gas alam dari ladang Arun
di Lhoksukon yang semakin berkurang.
30 Kompas, “Gas Alam Cair: Kejayaan Arun”, 13 November 2013.
31 Badan Pusat Statistik, Aceh dalam Angka 1988 (Banda Aceh: BPS Daerah Istimewa Aceh, 1988).
32 MMSCFD merupakan satuan produksi gas atau singkatan dari Million Standard Cubic Feet per Day.
33 Atjeh Post, “Kenaikan Penyaluran Dana Bank di Aceh Mencapai Rata-Rata 177,82 Prosen Setahun”,
Oktober 1980.
34 Atjeh Post, “Kenaikan Penyaluran Dana Bank di Aceh Mencapai Rata-Rata 177,82 Prosen Setahun”,
Oktober 1980.
35 Tim Penulis Bank Indonesia,“Peranan Bank Indonesia dalam Mendorong Perkembangan Perbankan
yang Sehat”, Makalah pada Seminar Bank Indonesia 26–27 Februari 1990, hlm. xiii.
Tabel 6.4.
Perkembangan Peningkatan Jumlah Kantor Bank di Wilayah Kerja BI Aceh
Tahun 1986–1989
36 Bank Indonesia, “Sejarah Bank Indonesia: Sejarah Kelembagaan Periode 1983–1997”, hlm. 3 https://
www.bi.go.id/id/tentang-bi/museum/sejarah-bi/bi/Pages/sejarahbi_3a.aspx. (diakses pada 5 Mei
2020 pukul 10:55).
Tabel 6.5.
Perkembangan Kredit Perbankan Menurut Sektor Ekonomi di Prov. Aceh
Tahun 1996–1999 (Jutaan Rupiah)
37 Badan Pusat Statistik, Aceh dalam Angka 1999, Daerah Istimewa Aceh: BPS, 1999, hlm. 399.
R iwayat konflik dalam sejarah Aceh tak hanya terjadi masa kolonial
saja, perjuangan rakyat Aceh terus bergejolak dari waktu ke waktu.
Dalam sejarah modern Aceh, konflik terlama juga sempat terjadi ketika
GAM melakukan perlawanan dan menentang pemerintahan Orde Baru.
Konflik yang bermula sejak dekade 1970-an berlangsung hingga masa
Reformasi dan berakhir pada tahun 2005. Konflik berkepanjangan
tersebut setidaknya telah menelan korban jiwa sekitar 15.000 penduduk
Aceh.38 Pengungsian besar-besaran dilakukan oleh ratusan ribu penduduk
Aceh lainnya dengan berbagai penderitaan yang dialami. Penduduk Aceh
yang kala itu berjumlah 4 juta jiwa praktis mengalami dampak konflik,
baik secara langsung maupun tidak langsung.39
Di masa itu, peran besar Aceh pada masa lampau seolah terlupakan
dan Aceh menjadi wilayah yang terasingkan serta kurang diperhatikan.
Kebijakan sentralistis yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dalam
berbagai sektor ini membuat masyarakat Aceh merasa kehilangan jati
diri, termasuk di bidang ekonomi. Seluruh aset sumber daya alam Aceh
dieksploitasi lebih untuk upaya pembangunan nasional dibandingkan
38 World Bank, Analisis Pengeluaran Publik Aceh: Pengeluaran Untuk Rekonstruksi dan Pengentasan
Kemiskinan (Jakarta: The World Bank Office Jakarta, 2006), hlm. xiv.
39 Leena Avonius, “Keadilan dan Proses Perdamaian Aceh”, dalam Patrick T. Daily, R. Mitcheal Feener,
dan Anthony Reid (ed.), Aceh Setelah Tsunami dan Konflik (Terj. Arif B. Prasetyo) (Denpasar: Pustaka
Larasan, 2013), hlm. 248.
40 Dayan Dawood, Sjafrizal, “Aceh: The LNG Boom and Enclave Development”, dalam Hal Hill, Unity
and Diversity: Regional Economic Development in Indonesia since 1970 (New York: Oxford University
Press, 1989).
41 Ahmad Taufan Damanik, Hasan Tiro: Dari Imajinasi Negara Islam ke Imajinasi Etno-Nasionalis (Jakarta:
Friedrich Ebert Stiftung (FES) dan Acheh Future Institute (AFI), 2010), hlm. 16.
42 Isa Sulaiman, Aceh Merdeka: Ideologi, Kepemimpinan, dan Gerakan (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2000), hlm. 12.
43 Zulfiadi, “Negosiasi Ethnik Nasionalisme Versus Civic Nasionalisme (Studi tentang Dialektika Identitas
Keacehan Vs Keindonesiaan), Yogyakarta”, Tesis (Tidak Diterbitkan), Universitas Gadja Mada, 2015,
hlm. 17.
44 Tjot Gireuek merupakan pabrik gula terbesar di luar Jawa yang dibuka di Aceh pada tahun 1970.
Pendirian pabrik gula di luar Jawa ini didasari atas keadaan di Jawa Tengah. Saat itu sebagian besar
pabrik-pabrik gula di Jawa Tengah telah berusia 60 tahun, kapasitas produksi pun mengalami
penurunan. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan keadaan pabrik-pabrik yang tidak mengalami
perbaikan. Oleh karenanya, berdasar pada norma-norma bedrijf, alat-alat produksi baik teknis
maupun ekonomis harus susut. Menanggapi hal tersebut Soeharto berupaya melakukan revitalisasi
pabrik gula Tjot Gireuek agar produksinya dapat berjalan optimal. Lihat Kompas, “Tjot Girek Pabrik
Gula Terbesar Di Luar Djawa Dibuka”, 22 September 1970.
45 Usman Pelly, “Ketersingkiran Sosial: Pengungsi Aceh di Sumatra Utara”, Makalah dalam “Diskusi
Sejarah Lokal: Kerawanan Sosial dalam Perspektif Sejarah”, Sukabumi, November 2020.
46 Badan Pembangunan Perencanaan Daerah, Informasi Kumulatif 40 Tahun (Banda Aceh: Bappeda
Daerah Istimewa Aceh, 1995), hlm. 42.
47 Kompas, 13 Mei 1976.
48 Harry Kawilarang, Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki (Banda Aceh: Bandar Publishing,
2010), hlm. 158.
49 Riza Sihbudi, dkk., Bara dalam Sekam: Identifikasi Akar Masalah dan Solusi atas Konflik-Konflik Lokal
di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau (Jakarta: Mizan, 2001), hlm. 39.
50 Pemberlakuan DOM di bawah sandi Operasi Jaring Merah merupakan respons atas permintaan
Gubernur Aceh. Selama periode DOM, pelaksanaan operasi militer dilakukan secara bertahap. Lihat
Sri Mastuti, “Konflik Vertikal di Aceh...”, (2001).
53 Kompas, “Aceh-Belanda Buka 4.000 Ha Areal Baru Kopi Arabica”, 15 Oktober 1994.
54 Kompas, “Rendah, Minat Investor Menanam Modal di Aceh”, 16 Juli 1994.
55 Kompas, “Firasat Pedagang Cina: Ekonomi Aceh Berdenyut Lagi”, 16 Mei 2000.
56 Kompas, “Firasat Pedagang Cina: Ekonomi Aceh Berdenyut Lagi”, 16 Mei 2000.
60 World Bank, Kajian Kemiskinan Aceh Tahun 2008: Dampak Konflik, Tsunami, dan Rekonstruksi
(Jakarta: The World Bank Office Jakarta, 2008), hlm. 32.
61 Kompas, “Aceh Perlu Investor untuk Buka Lapangan Pekerjaan”, 9 September 2003.
75 Berdasarkan hasil wawancara dengan Harun Keuchik Leumiek, Banda Aceh, 9 November 2016.
Harun Keuchik Leumiek adalah pedagang emas dan pengrajin perhiasan terkemuka di Banda Aceh
yang memiliki toko di kawasan sekitar Masjid Raya Baiturrahman.
80 Badan Pusat Statistik, Aceh dalam Angka 2005 (Banda Aceh: BPS Daerah Istimewa Aceh, 2005).
81 Arief R. Permana, S.H.M.H., “Penanganan Permasalahan Perbankan Pasca Bencana Gempa Bumi
dan Tsunami di Wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias Propinsi Sumatra
Utara”, dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 5, Nomor 3, Desember
2007.
82 Darsono, dkk, Menghadapi Gelombang Pasang di Serambi: Kontribusi Bersama untuk Aceh Setelah
Tsunami 2004 (Jakarta: Bank Indonesia, 2018), hlm. 174.
83 Arsip Bank Indonesia, “Risalah Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia”, Jakarta, 28 Desember 2004.
87 Bank Indonesia, Kajian Ekonomi dan Keuangan Daerah Provinsi Aceh Triwulan II-2005 (Banda Aceh:
Kantor Bank Indonesia Banda Aceh, 2005), hlm. 37.
88 Bank Indonesia, Kajian Ekonomi dan Keuangan Daerah Provinsi Aceh Triwulan II-2005.
89 Bank Indonesia, Kajian Ekonomi dan Keuangan Daerah Provinsi Aceh Triwulan II-2005.
90 Serambi Indonesia, 2 Juni 2005.
Gambar 6.1. Gubernur Bank Indonesia menyerahkan secara simbolis bantuan obat-
obatan, water treatment, dan peralatan CT scan kepada Sekretaris Daerah Aceh.
Sumber: Koleksi Bank Indonesia
94 Bank Indonesia, “Bank Indonesia dan Perbankan Memberikan Bantuan Sebesar Rp46,287 Miliar
untuk Bencana di Provinsi NAD dan Sumatra Utara”, https://www.bi.go.id/id/ruang-media/siaran-
pers/Pages/sp%20615104.aspx (diakses pada 27 Agustus 2020).
95 Bank Indonesia, “Bank Indonesia dan Perbankan Kirim Bantuan dan Akan Bangun Rumah Sakit dan
Sekolah di Daerah Bencana”, http://www.bi.go.id/id/ruang-media/siaran-pers/Pages/sp%20615404.
aspx (diakses pada 27 Agustus 2020 pukul 09:38).
96 Bank Indonesia, “GBI dan Komisi XI DPR Serahkan Bantuan Perbankan kepada Korban Bencana
Tsunami Aceh”, http://www.bi.go.id/id/ruang-media/info-terbaru/Pages/it%2080305%20aceh.aspx
(diakses pada 27 Agustus 2020 pukul 10:13). Penjelasan lebih lengkap dapat dilihat pada buku
Darsono, dkk, Menghadapi Gelombang Pasang ..., 2018.
97 Bank Indonesia, “BI Serahkan 145 Mukim Nelayan Aceh Barat”, https://www.bi.go.id/id/tentang-
bi/bi-dan-publik/bi-peduli/liputan/Pages/BI-Serahkan-145-Rumah-Mukim-Nelayan-Aceh-Barat.aspx
(diakses pada 27 Agustus 2020 pukul 10:40).
98 Bank Indonesia, “BI Serahkan 145 Mukim Nelayan Aceh Barat…”.
99 Bank Indonesia, “Bank Indonesia Serahkan Bantuan Rumah bagi Tenaga Pendidik di NAD”, https://
www.bi.go.id/id/ruang-media/siaran-pers/Pages/sp_090207.aspx (diakses pada 27 Agustus 2020
pukul 10:55).
100 Bank Indonesia, “Bank Indonesia Bantu Rehabilitasi Sektor Pendidikan di Nanggroe Aceh
Darussalam”, https://www.bi.go.id/id/ruang-media/siaran-pers/Pages/sp_82706.aspx (diakses pada
27 Agustus 2020 pukul 11:12).
101 Tsunami and Disaster Mitigation Research Center, Sekolah Siaga Bencana Kesiapsiagaan Warga
Sekolah di Kawasan Rawan Bencana Kota Banda Aceh (Banda Aceh: Tsunami and Disaster Mitigation
Research Center, 2013), hlm. 5.
Gambar 6.4. Kepala KPwBI Provinsi Aceh Meninjau Gudang Milik Klaster Bawang
Merah di Kabupaten Pidie
Sumber: Koleksi Bank Indonesia
Gambar 6.5. Kepala KPwBI Provinsi Aceh melakukan panen perdana hasil produksi
klaster cabai merah di Kabupaten Aceh Besar.
Sumber: Koleksi Bank Indonesia
juga menjalin kerja sama dengan BMKG Aceh dalam rangka penyediaan
bantuan PSBI berupa display informasi meteorologi maritim, antara lain
menampilkan informasi tinggi gelombang, arah dan kecepatan angin
dan cuaca di tempat berkumpulnya nelayan. Pemberian bantuan tersebut
merupakan tindak lanjut atas kebutuhan kelompok nelayan binaan
terhadap informasi guna mendukung keselamatan dan kelancaran
kegiatan operasional penangkapan ikan.
KPwBI Provinsi Aceh juga melakukan pengembangan komoditas
unggulan daerah berbasis ekspor, salah satunya melalui program local
economic development (LED) yang melibatkan kelompok perajin tas
sulaman khas Aceh di Gampong Dayah Daboh, Kabupaten Aceh Besar.
Bantuan teknis yang diberikan kepada kelompok antara lain pelatihan bordir
dasar, lanjutan, hingga finishing, fasilitasi pembentukan kelembagaan
koperasi, digitalisasi marketing dan berbagai kegiatan pameran. Selain
itu, dukungan sarana dan prasarana juga diberikan antara lain berupa
peralatan bordir dan galeri produk guna meningkatkan kapasitas produksi
dan membantu pemasaran produk kelompok.
Sejak tahun 2018 KPwBI Provinsi Aceh juga memiliki program LED
yang melibatkan kelompok perajin songket khas Aceh di Kecamatan
Darussalam, Kota Banda Aceh. Dalam program tersebut bantuan teknis
yang diberikan meliputi pelatihan kelembagaan dan menenun bagi para
perajin baru. Selain itu juga diberikan bantuan PSBI berupa peralatan
tenun. Dengan adanya bantuan tersebut diharapkan jumlah perajin tenun
dapat meningkat sekaligus mendorong regenerasi penenun dalam rangka
melestarikan tenun songket yang merupakan produk unggulan khas Aceh.
Komoditas unggulan lainnya yang menjadi perhatian KPwBI Provinsi
Aceh adalah nilam. Latar belakang pemilihan nilam sebagai salah satu
komoditas klaster binaan KPwBI Provinsi Aceh adalah karena nilam
merupakan salah satu komoditas unggulan Aceh yang memiliki potensi
besar untuk dikembangkan. Indonesia merupakan pemasok sekitar 85
persen kebutuhan minyak nilam dunia.103 Sebagian besar minyak nilam
yang diekspor dihasilkan oleh petani kecil atau para penyuling skala kecil
yang tersebar di daerah. Dalam konteks perdagangan dunia, negara
103 Bank Indonesia, “Optimalisasi Pengembangan Usaha Hulu-Hilir Komoditas Andalan Ekspor Nilam
Aceh Sebagai Akselerator Pertumbuhan Ekonomi Daerah”, (Banda Aceh: Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Prov. Aceh, 2020), hlm. 63.
Gambar 6.10. Penanaman bibit nilam oleh Kepala KPwBI Provinsi Aceh dan Bupati
Aceh Jaya.
Sumber: Koleksi Bank Indonesia
105 Bank Indonesia, “Optimalisasi Pengembangan Usaha Hulu-Hilir Komoditas Andalan Ekspor Nilam
Aceh Sebagai Akselerator Pertumbuhan Ekonomi Daerah”, (Banda Aceh: Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Prov. Aceh 2020), hlm. 79.
Contract Sales
Farming Contract
Fokus:
▪ Input: Tenaga Kerja, Lahan Fokus: Fokus:
Fokus: ▪ Peningkatan kapasitas produksi ▪ Pemasaran offline
dan Bibit
▪ Penguatan Kelembagaan ▪ Inovasi Produk Turunan ▪ Pemasaran online dan pemanfaatan e-commerce
▪ Pengendalian Hama
▪ Penguatan Business Unit ▪ Pengembangan Skema Industrialisasi ▪ Pemasaran domestic (terutama Aceh dan Sumatera
▪ Pola tanam dan panen
▪ Penguatan Modal ▪ Perbaikan Kerja Sama & Sinergisitas: Backward & Forward Linkages Utara) dan luar negeri (ekspor)
▪ Good Agriculture Practices
▪ Inovasi di Sisi Hulu-Hilir
Industri Pendukung Stakeholder Pendukung Industri Pendukung Stakeholder Pendukung Industri Pendukung Stakeholder Pendukung
Gambar 6.11. Kerangka Pengembangan Nilam Secara Terintegrasi dari Hulu ke Hilir
Sumber: Kajian KPwBI Provinsi Aceh
INT’L MARKET
Koordinasi Advisory Pengembangan Ekonomi Daerah
& Diskusi
INDUSTRY
Penguatan Kapasitas
Sales
PERSONAL
PRODUK JADI INDIRECT SELLING
KOPERASI
Pengembangan RESELLER
Branding & Packaging LOCAL MARKET
Sosialisasi
Halal Value Chain
GAPOKTAN UMKM
Penguatan Kelembagaan
DISTRIBUTOR
IMKM A END USER -
LOCAL
IMKM B OFFLINE
SHOP ACEH
IMKM J TRADITIONAL
PETANI PLASMA PETANI PLASMA TRADE LUAR ACEH
WILAYAH A WILAYAH B MODERN
Pengembangan TRADE
Entrepreneurship Fasilitasi Pameran/
Pengembangan Digital Economy
G ambaran citra Kota Banda Aceh pada masa lalu dapat ditelusuri
melalui sketsa, lithograph, dan catatan perjalanan yang dibuat oleh
para pendatang dari Cina, Eropa, Arab, maupun naskah-naskah kuno yang
berasal dari para penulis istana dan ulama setempat. Umumnya gambar-
gambar dan manuskrip lama tersebut menggambarkan suasana Aceh yang
natural, makmur dan permai, sangat higienis, dan banyak menceritakan
tentang kesibukan perahu nelayan di sungai serta banyaknya kapal-kapal
dagang di dermaga pelabuhan.
Citra Banda Aceh merupakan komposisi dari beragam arketipe, yang
terungkap dari penelusuran sejarah dan ingatan kolektif masyarakatnya.
Citra yang terungkap amat beragam, sesuai dengan ragam budaya yang
mengakar di Aceh, tiga di antaranya adalah: (1) Citra Banda Aceh sebagai
Bandar yang permai, (2) Citra Kutaraja, sebagai Benteng (Kuta) dari pusat
pemerintahan yang memiliki ketahanan dan perlindungan yang kuat,
dan (3) Citra Aceh Daerah Modal, sejak abad ke-17 ketika Aceh dikenal
Gambar 7.1. Harmoni di masa kesultanan antara kehidupan di air dan di darat, sungai
dipenuhi kapal-kapal hingga ke laut dan tampak barisan gajah di darat.
Sumber: Kamal A. Arif, Ragam Citra Kota Banda Aceh: Interpretasi Sejarah, Memori Kolektif, dan
Arketipe Arsitekturnya (Bandung: Pustaka Bustanussalatin, 2008).
1 Ragam Citra Kota Banda Aceh yang dominan ada 5: (1) Aceh Lhee Sagoe, (2) Banda Aceh, (3)
Darussalam, (4) Serambi Mekah, dan (5) Kutaraja, di samping masih ada citra lain yang tidak
dominan yaitu (6) Tanah Rencong, (7) Daerah Modal, (8) Tanah Iskandar Muda, dan (9) Gajah Putih.
Lihat Kamal Arif, Ragam Citra Kota Banda Aceh, Disertasi, 2006.
2 Arsip Bank Indonesia, Laporan Akhir Pekerjaan Penyusunan Blueprint Strategi Pemanfaatan dan
Pelestarian (Konservasi) Bangunan-Bangunan Eks De Javasche Bank (2008).
3 Kuta = Benteng
4 Sebutan warga setempat untuk angkutan dalam kota.
Bila kita mengamati peta Kota Banda Aceh yang dibuat berdasarkan peta
satelit, jelas tampak kota ini memiliki lanskap sebagai kota air (Gambar
Gambar 7.5. Figure-ground Peta Kota Banda Aceh yang Dibuat Berdasarkan Peta
Satelit Tahun 2000
Sumber: Kamal A. Arif, Ragam Citra Kota Banda Aceh…, (2008).
Gambar 7.6. Peta Aceh c. 1645 yang Tersimpan di Sebuah Bibiliotek Kota Florence,
Italia
Sumber: Firenze: Biblioteca Medicea Laurenziana
6 Peta Aceh c. 1645 karya Vingboon seorang kartografer Belanda ditemukan di Florence, Italia oleh
Dennys Lombard pada 1996 sesaat sebelum ia meninggal. Lombard belum sempat menganalisis peta
tsb. Kemudian Anthony Reid dan Ito Takeshi membuat penelitian sejarah terhadap peta tsb, dimuat
dalam Archipel No. 57, 1999, hlm. 197.
7 Dalam Kitab Bustanussalatin karya Nuruddin Ar Raniry (abad ke-17) disebutkan air Krueng Daroy
demikian jernihnya, sehingga barang siapa meminumnya maka sehatlah tubuhnya.
8 Seorang pengelana asing pada abad ke-17 menulis sebagai berikut: “They go to bathe in the river,
the water of which is so healthy that they use it as a remedy when they are injured or when someone
has cut off one of their limbs, as happens every day under their system of justice….The water of this
river is very clear, coming from the mountains, passing through deserts and groves where there are
some exquisite trees like benzoin, champor, sandalwood and an infinity of other perfumed trees….”
Lihat Anthony Reid, Witnesses to Sumatra: A Traveler’s Anhology (Kuala Lumpur: Oxford, 1995).
9 Anthony Reid, Witnesses to Sumatra…, (1995).
10 Gunongan dan Pintô Khôp dikenal sebagai tempat pemandian Putro Phang diiringi dayang-dayang
istana.
Gambar 7.7. Logo Salem City (Salem City Seal) di USA, 30 km dari Boston, Mass. USA,
yang berangka tahun 1626. Di tengahnya tersimpan gambar orang berpakaian Aceh
yang gagah, karena Kota Salem dibangun berkat kesuksesan perdagangan lada dari
Aceh, di masa Sultan Iskandar Muda.
Sumber: https://www.salem.org/salem-ma-city-seal/
11 Aceh Nasional News. Seminar Optimalisasi Heritage dan Pariwisata Aceh D/R Peringatan 100
Tahun Gedung Bank Indonesia Provinsi Aceh, 2018, http://www.annews.co.id/2018/12/seminar-
optimalisasi-heritage-dan.html (diakses pada 20 Juli 2020).
12 Belanda mengirimkan Mayor Jenderal J. H. R. Köhler dengan membawa pasukan sebesar 168 orang
perwira dan 3.198 orang serdadu, serta pasukan angkatan laut dengan 6 kapal perang di antaranya
terdapat pasukan zeni dan topografi.
13 Masjid Raya Baiturrahman pada masa perang itu dilindungi dinding tembok setinggi 2,5 m.
14 Warga Aceh menyebut kompleks istana Sultan yang dilindungi benteng di sekelilingnya, dengan
istilah “Dalam”
15 Di masa Gubernur Ibrahim Hasan, di tempat rebahnya Kohler di bawah pohon Geulumpang, dibuat
prasasti “Kohlerboom”. Jenazah Köhler dibawa ke Batavia dan dikebumikan di daerah Tanah Abang.
Pada tanggal 19 Mei 1978 tulang belulang Köhler dikuburkan kembali oleh Pemerintah Daerah
Istimewa Aceh bekerja sama dengan Pemerintah Belanda ke “Peucut” (Kerkhof), Banda Aceh. Lihat
Muhammad Hasan Basry dan Ibrahim Alfian, The Dutch Colonial War in Aceh (Banda Aceh: Pusat
Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1990), hlm. 229.
16 Dalam pertempuran ini Belanda menderita kerugian 45 orang tewas termasuk 8 perwira dan 405
luka-luka. Lihat Muhammad Hasan Basry dan Ibrahim Alfian, The Dutch Colonial War…, (1990: 27).
17 J. Jongejans, Land En Volk van ATJEH Vroeger En Nu (Baarn: Hollandia Drukkerij N.V., 1938).
18 C. Snouck Hurgronje, The Acehnese (London: Leyden, 1906).
Military
tramway
Gambar 7.9. Geconcentreerde Linie (Lini Konsentrasi). Jalur patroli militer Belanda
(1885) yang mengitari Kawasan Kutaraja dengan radius berkisar 7–10 km dari Keraton.
Sumber: Cribb, Robert, Historical Atlas of Indonesian ….. (2000)
19 Sarjono Kartodirjo, dkk, Sejarah Nasional Indonesia III (Jakarta: Balai Pustaka, 1977), hlm. 241.
20 Dalam laporan Belanda diberitakan karena ”pecah urat nadi”. Muhammad Hasan Basry dan Ibrahim
Alfian, The Dutch Colonial War…, (1990: 31).
Gambar 7.10. Jenderal Pel yang membangun Lini Penutup (Afsluitings Linie) (kiri).
Mayor Jenderal A.W.P. Weitzel yang menciptakan Geconcentreerde Linie (kanan).
Sumber: Muhammad Hasan Basry dan Ibrahim Alfian, The Dutch Colonial War…, (1990).
21 Snouck Hurgronje memberi kritik yang amat keras kepada pemerintah militer Belanda terhadap
ide Lini Konsentrasi ini, sampai-sampai ia pernah tidak diperbolehkan masuk ke Aceh oleh militer
Belanda. Menurut Snouck Lini Konsentrasi ini merupakan ide yang konyol, yang disebutnya sebagai
“gelijk de aap aan de ketting”. Memori orang Aceh tentang ini menyebut Blanda lagee si bén di ikat
ngon ranté, bagaikan doger monyet diikat dengan rantai. Di sekeliling Lini Konsentrasi ini kemudian
Belanda memotong semua pohon sejauh 1 km untuk menghindari serbuan pejuang Aceh.
22 Nomor-nomor bangunan mengikuti nomor-nomor yang ada dalam Peta Koetaradja 1907.
Bangunan Militer 21. Fasilitas perawatan kuda sakit 34. Tempat pemotongan hewan
1-5. Kompleks perumahan perwira 22. Bangunan isolasi penyakit (Abattoir)
dan barak garnisun batalion menular 35. Workshop pekerjaan umum
infanteri. 23. Istal kuda (kondisi rusak) (B.O.W) dan perumahan
6. Workshop zeni militer 24. Rumah Sakit Militer pegawai
7. Gudang senjata 25. Komplek perumahan
8. Bengkel pembuat senjata paramedis Rumah Sakit Bangunan Swasta (Partikelir)
9. Kantor telepon pusat Militer 36. Hotel Atjeh
10. Perkantoran pemerintahan 37. Pasar
kolonial Bangunan Sipil 38. Sekolah HIS (Hollandsch
11. Kantor Pengawas Keuangan 26. Rumah (pendopo) Gubernur Inlandsche School)/Sekolah
12. Halte trem dan pabrik es Jenderal Belanda untuk bumiputra
13. Stasiun trem 27. Kantor staf pemerintahan 39. Rumah penduduk
14. Gudang kolonial 40. Gereja Protestan
15. Tempat kerja paksa 28. Kantor Asisten Residen Tanah 41. Kantor layanan sosial
Gayo 42. Penginapan/losmen
16. Perusahaan kereta api
29. Kantor administrasi sipil 43. Masyarakat
17. Barak kuli (tukang) trem
30. Kantor pos 44. Gereja Katolik
18. Barak kavaleri
31. Sekolah Rakyat 45. Percetakan Aceh, rumah dan
19. Barak zeni militer
32. Masjid Raya Baiturrahman toko untuk perorangan
20. Barak militer cadangan
33. Penjara
23 Handinoto. Arsitektur dan Kota-kota di Jawa pada Masa Kolonial (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010).
24 Bank Indonesia Institute. Harmoni dalam Perbedaan Bank Indonesia dalam Dinamika Ekonomi Solo
Raya (Jakarta: Bank Indonesia Institute, 2019).
25 Pembangunan Masjid Raya oleh Belanda itu tidak saja mendapat penolakan oleh rakyat di Aceh pada
awalnya, tetapi juga ada penolakan dari bangsa Belanda sendiri yang tidak menyukai militer Belanda
membangun masjid untuk umat Islam di Aceh. Pencantuman nama de Bruijn sebagai arsiteknya
mungkin saja suatu tindakan politis belaka.
26 Sidharta, Arsitektur dan Pendidikannya (Semarang: Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas
Diponegoro,1998).
Gambar 7.14. Kiri dan tengah: Masjid Baiturrahman dengan satu kubah dan denah
berbentuk salib karya arsitek zeni militer de Bruijn selesai tanggal 27 Desember 1881,
memadukan beragam langgam arsitektur: Mughal-Magribi-Neoklasik-Tradisional
Belanda dan arsitektur Tropis; Kanan: Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh saat ini,
dengan 7 kubah.
Sumber: J. Kreemer, De Groote Moskee te Koeta-Radja (Met Acht Photo’s en Een in Nederlandsh Indie
Old & Nieuw (NION), Amsterdam, 1921, hlm. 68 (kiri) dan 72 (tengah); Public Domain (kanan)
27 Luas keempat denah lantai sayap masing-masing 120 m2, sedangkan luas denah ruang tengahnya
sebesar 12x12 m2 =144 m2, sehingga total luas Masjid Raya Baiturrahman satu kubah itu adalah 624
m2.
28 Sebutan bagi orang kafir.
2. Pendopo Keraton
Pada penyerangan Belanda yang kedua tahun 1874, Belanda berhasil
merebut Dalam yaitu kompleks Keraton yang dikelilingi benteng dan
kolam parit pengaman di sekelilingnya.
Gambar 7.15. Pendopo Gubernur Jenderal Belanda yang didirikan di bekas tapak
Keraton Aceh, yang arsitekturnya mirip dengan istana Cipanas (Kiri); Interior Pendopo
Gubernur Aceh saat ini (kanan).
Sumber: Muhammad Hasan Basry dan Ibrahim Alfian, The Dutch Colonial War…, (1990)
30 Kandang XII merupakan kompleks pemakaman 12 sultan-sultan Aceh sejak abad ke-15, sebelum
pemerintahan Iskandar Muda (1606–1636), salah satunya adalah makam Sultan Ali Mughayatsyah,
tokoh pemersatu kerajaan-kerajaan Aceh (1514–1530).
31 Istana Kepresidenan Cipanas bermula dari sebuah bangunan yang didirikan pada tahun 1740 oleh
seorang tuan tanah Belanda, bernama van Heots. Sejak masa pemerintahan Gubernur Jenderal G.
W. Baron van Imhoff (1743), bangunan itu kemudian dijadikan tempat peristirahatan para Gubernur
Jenderal Belanda. https://www.setneg.go.id/baca/index/istana_cipanas_dijadikan_posko_pasca_
gempa_1
3. Gedung Baperis
Gedung Baperis (Badan Pembina Rumpun Iskandar Muda) dibangun
oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1883, sebagai kantor B.O.W
(Kantor Dinas Pekerjaan Umum). Gedung ini terbuat dari batu dan kayu
yang tinggi, dan pintu serta jendelanya terbuat dari kayu tebal. Gedung
Baperis yang berlanggam arsitektur Indis ini merupakan salah satu simbol
perjuangan berdirinya Republik Indonesia karena di sini adalah tempat
pertama kalinya bendera Merah Putih dikibarkan setelah proklamasi
kemerdekaan.32
33 Maisal Gusri Daulay, Husaini, Teuku Abdullah, “Pemukiman Militer Peninggalan Belanda di Banda
Aceh (Kajian Komparasi Perkembangan Pemukiman Militer di Neusu Jaya dan Kuta Alam, 1900–
2015)”. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala, 2(2), 2017, hlm.
125.
6. Kerkhof
Gambar 7.19. Kuburan Belanda (Kerkhof) di masa kolonial (kiri); dan masa kini (kanan).
Sumber: A. Doup, Gedenkboek van het Corps Marechausse, 1940 (kiri) dan kebudayaan.kemdikbud.
go.id (kanan)
34 Kamal A. Arif dan Salmawaty, Banda Aceh Heritage, Jalur Jejak Budaya dan Tsunami (Banda Aceh:
Pemerintah Kota Banda Aceh, 2013).
35 Makam Peutjoet berawal dari makam putra Sultan Iskandar Muda yang mendapat hukuman oleh
pengadilan di masa kesultanan, menarik untuk melihat bahwa tatanan kuburan Belanda mengikuti
arah kiblat dari makam ini. Beberapa nama prajurit Belanda yang tercantum pada daftar nama di
dinding gerbang Kerkhof ada yang dapat diduga berasal dari keluarga muslim, sehingga kuburnya
juga menghadap kiblat.
Gambar 7.20. Gedung SMAN 1 Banda Aceh berlanggam Neoklasik Yunani, dibangun
pada 1878, selamat dari tsunami 2004.
Sumber: wordpress.com
36 Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, yaitu Sekolah Menengah Pertama pada masa pemerintah kolonial
Belanda di Indonesia.
37 Pemugarannya disponsori oleh International Association of Conference Interpreters (AIIC) Geneva,
Switzerland.
Gambar 7.21. Gereja Katolik Hati Kudus ketika baru selesai dibangun tahun 1927.
Gereja ini juga dirancang oleh Biro arsitek N.V. Architecten-Ingenieursbureau Hulswit
en Fermont te Weltevreden en Ed. Cuypers te Amsterdam yang merancang DJB Banda
Aceh pada 1915.
Sumber: Obbe Norbruis. Architecture from The Indonesia Past…, (2020). https://issuu.com/kitpublishers/
docs/architecture_from_the_indonesian_past_inkijkexempl
38 Obbe Norbruis. Architecture from The Indonesia Past. Life and works of Fermont-Cuypers in the
Indonesian archipelago 1927-1957 (n.p.: LM Publisher, 2020). https://issuu.com/kitpublishers/docs/
architecture_from_the_indonesian_past_inkijkexempl
39 Handinoto. Arsitektur dan Kota-kota di Jawa pada Masa Kolonial (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010).
40 P. J. H Cuypers (1827–1921) adalah arsitek Gereja Belanda yang terkenal, paman dari arsitek Ed.
Cuypers.
41 Pastor Verbraak ke Aceh pada Juni 1874. Patung Pastor Henricus Verbraak terdapat di Taman
Maluku, Kota Bandung.
42 Slamet Wiyono, “Gereja Katolik Hati Kudus Banda Aceh, Berawal dari Gereja Tentara Kolonial”,
Tabloid Reformata 16–31 Juli, 2008, hlm. 25.
45 Dalam = Keraton
46 Peukan = pasar
Gambar 7.27. Kiri: Atjeh-hotel te Kota-Radja pada tahun 1900, berlokasi di Vredespark
(Sekarang Tamansari). Kanan: Aceh Hotel era 1970an.
Sumber: kiri: KITLV. kanan: https://steemit.com/aceh/@pangeranpiadah/hotel-aceh-dan-perjamuan-
yang-terlupakan-e066ec0ff42a4
Gambar 7.28. Juliana Club di Koetaradja, di kawasan Vredespark, mirip dengan desain
Hotel Aceh. Pada lokasi gedung ini sekarang menjadi kantor wilayah Kementerian
Agama Provinsi Aceh.
Sumber: https://twitter.com/Aceh/status/953086059734188032/photo/1
Saat Koetaradja sudah dialiri listrik dan film sudah memiliki suara,
gedung bioskop ini berganti nama menjadi Bioskop Garuda. Saat ini
Bioskop Garuda telah beralih fungsi menjadi Gedung Digital Innovation
Lounge (DILo), yang biasa disebut gedung IT Learning Center. Sebagian
fasad depan Bioskop Garuda masih disisakan sebagai entrance depan
gedung ini, dan di halaman depannya diletakkan sebuah plakat penanda
untuk mengenang gedung bioskop bersejarah ini.
Ide riverfront sudah ada sejak masa kesultanan. Gambaran surga adalah
“Jannatin tajri min tahtihal anhar”. Dahulu Aceh tidak memiliki jembatan,
transportasi dilakukan terutama dengan perahu sampai ke rumah-rumah
di tepian sungai dan kanal. Di tengah Krueng Aceh ada Masjid Raya dan
di tepian Krueng Daroy ada Pinto Khop, Gunongan, dan Istana Sultan.
Pemakaman Masal
Lampulo
2. Jembatan Peunayong
Kerkhof
Gambar 7.33. Gedung Bank Indonesia (BI) yang menghadap ke sungai Krueng Aceh
(atas).
Sumber: Tropenmuseum
Gambar 7.34. Peta satelit Krueng Aceh yang membelah Kota Banda Aceh. Di kiri-
kanannya ada bangunan dan fasilitas publik yang menjadi cikal bakal pembentuk
kota waterfront, antara lain Gedung BI, Gereja Katolik, dan Nursery di bantaran
sungai. Masjid Raya pada awalnya tidak terpisahkan dengan Krueng Aceh. Namun,
pada saat ini tertutup dengan deretan bangunan yang didirikan di antaranya dengan
membelakangi sungai.
48 Arsip Bank Indonesia, Laporan Akhir Pekerjaan Penyusunan Blueprint Strategi Pemanfaatan dan
Pelestarian (Konservasi) Bangunan-Bangunan Eks De Javasche Bank (2008).
49 Dalam akun Facebook Museum Bank Indonesia.
50 Bank Indonesia Institute, Harmoni dalam Perbedaan…, (2019).
51 S. M. Amin, Memahami Sejarah Konflik Aceh (Jakarta: Pustaka Obor, 2014), hlm. 125.
Gambar 7.35. Kiri: Arsitek Eduard Cuypers (1859–1927), Tengah: arsitek M. J. Hulswit
(1862–1921), dan Kanan: P. J. H. Cuypers (1827–1921), paman Eduard Cuypers.
58 Eduard Cuypers En Zijn Betekenis Als Ziekenhuisarchitect, 2015/2016, Ma Scriptie Architectuur, Dr.
J. G. Roding, Constant Van Nispen, S1069470, Cvnispen@Xs4all.Nl,06 51346010
59 Pesawat terbang pertama dari Schiphol Amsterdam ke Batavia mendarat di Tjililitan pada 24 Nov
1924 dengan waktu tempuh 127 jam. https://www.liputan6.com/global/read/3726332/24-11-1924-
penerbangan-perdana-amsterdam-ke-batavia-berlangsung-127-jam
60 Setelah Ed Cuypers meninggal, Fermont tetap melanjutkan kiprah biro ini dengan mengajak arsitek
muda Theo Taen seorang cucu P. J. H. Cuypers untuk memimpin biro ini bersamanya, dengan nama
Biro Arsitek & Insinyur Fermont-Cuypers hingga tahun 1957. Obbe Norbruis. Architecture from The
Indonesia Past…, (2008); https://issuu.com/kitpublishers/docs/architecture_from_the_indonesian_
past_inkijkexempl
Gambar 7.36. Gedung DJB berkubah satu dibangun di Medan tahun 1907 (kiri) dan
di Bandung tahun 1906 (kanan).
Gambar 7.37. Gedung Bank Indonesia (Eks-DJB) berkubah ganda yang dirancang-
bangun oleh Cuypers, Hulswit, dan Fermont di Yogyakarta tahun 1915 (kiri) dan di
Banda Aceh tahun 1918 (kanan).
Gambar 7.38. Dua bangunan kolonial di Semarang berkubah ganda pada menaranya,
Gereja Blenduk (1753) (kiri) dan gedung Lawang Sewu (1907) (Tengah), dan di Jakarta
gedung pusat kesenian Kunstkring (1914) (kanan).
Gedung DJB Koetaradja sejak awal berdiri hingga kini di saat usianya
telah lebih dari 100 tahun tetap berfungsi sebagai bank. Gedung ini
memiliki halaman depan yang luas dan menghadap ke sungai. Cuypers
memadukan berbagai langgam dalam komposisi desainnya, sehingga
bangunan ini juga memiliki langgam arsitektur neoklasik-indisch empire
Belanda yang saat itu sedang berkuasa. Halaman depannya luas berupa
ruang terbuka hijau dengan jarak 40 m dari jalan atau dua kali ketinggian
bangunan sehingga bangunan ini dapat terlihat secara menyeluruh dari
pagar bangunan. Bentuk dasar yang geometris dan simetris serta skala
bangunan ini semakin memperkuat keberadaannya hingga kini sebagai
Bank Indonesia yang anggun dan berwibawa.
Gambar 7.39. Block plan tahun 1979. Halaman depan cukup luas dan masih ada
penghijauan di halaman belakang. Namun, ruang terbuka hijau pada halaman
belakang saat ini hampir tidak ada lagi.
62 Keluarga Abdul Kahar, Kepala BI Aceh hingga tahun 1972 masih bertempat tinggal di lantai atas
gedung ini.
Gambar 7.40. Gambar denah lantai dasar (kiri) dan lantai tingkat (kanan) berdasarkan
dokumen arsip gambar denah bangunan BI Banda Aceh 1979.
Gambar 7.41. Studi fasad pada gedung BI Banda Aceh, sama dengan gedung BI
Yogyakarta, mengikuti prinsip simetris dan seimbang yang menjadi ciri khas neoklasik.
Gambar 7.42. Tampak depan belakang dan samping digambar kembali dari gambar
arsip rencana renovasi bangunan BI di bagian belakang tahun 1979.
63 Keterangan wawancara melalui whatsapp dengan pegawai BI Banda Aceh 2004, Ir. Taufani N, pada
31 Mei 2020. https://www.google.com/search?q=sejarah++lips+brandkasten&ie=utf-8&oe=utf-
8&client=firefox-b
Lucame
Tympanum
Molding
Parepet
Comice
Keystone
Louvre
Comice
Gambar 7.43. Beberapa ornamen pada fasad depan gedung BI Banda Aceh.
Gambar 7.44. Peta Koetaradja 1944, Stedenatlas Nederlands Indië. Di peta ini tertulis
“Jawa Bank“ berlokasi di Jl. Keudah Singkel, yang berlokasi di Kampung Keudah.
64 Hingga akhir penulisan, belum diperoleh data gambar asli dari gedung ini, dan belum ada pula as
built drawing yang memperlihatkan potongan dan detail pada bagian itu.
Makna (Meaning)
Citra Aceh Daerah Modal sudah dikenal sejak abad ke-17 berkat ”the
wealth of pepper”-nya, yang mendunia, hingga di masa Revolusi
Kemerdekaan, rakyat Aceh menyumbangkan harta bendanya berupa
emas yang terkumpul hingga 20 kg untuk membeli pesawat RI 001 yang
diminta oleh Presiden Sukarno. Aceh adalah salah satu daerah yang
berkontribusi bagi kemajuan ekonomi nasional. Pada zaman penjajahan
hasil perkebunan Aceh seperti lada, pala, cengkeh, dan karet menjadi
incaran Belanda. Kontribusi hasil perkebunan Aceh tetap berlanjut
pascaproklamasi, di mana ekspor Indonesia untuk komoditas seperti
karet, lada, pala, dan cengkeh mayoritas dihasilkan dari bumi Aceh.
Dengan dibangunnya gedung De Javasche Bank pada tahun 1918
di Koetaradja, peran strategis Aceh dalam perekonomian Hindia Belanda
semakin kuat. Hadirnya DJB di Koetaradja ini mengindikasikan Aceh
memiliki citra dan potensi sebagai pusat perdagangan yang makmur.
Hingga kini citra gedung ini sebagai salah satu simbol daerah modal masih
Kebaruan/Modern (Will)
Meski Ed Cuypers dipandang sebagai seorang eklektis yang memadukan
berbagai langgam, namun karya desainnya pada Gedung DJB Koetaradja
ini memiliki semua ciri dari arsitektur modern seperti fungsionalitas,
kenyamanan, kesederhanaan, teknologi instalasi, cahaya, udara, ruang,
estetika bangunan modern, dan sifat komersial. Hal ini menunjukkan
adanya kebaruan dalam desain DJB di Aceh. Gedung-gedung DJB yang
lebih awal dari gedung DJB Banda Aceh, seperti DJB Medan dan Bandung
(1906–1907) unsur neo-renaissance-nya lebih kental dan berangsur-
angsur menjadi lebih sederhana pada bangunan-bangunan yang lebih
baru.
Untuk Aceh pada tahun 1918, gedung ini adalah gedung yang
paling modern dibandingkan dengan gedung-gedung lain yang dibangun
oleh militer Belanda yang umumnya dirancang oleh arsitek Zeni. Cuypers
seorang arsitek profesional datang membawa perubahan dengan
teknologi yang lebih baru dan menerapkan prinsip-prinsip modernisme
dalam desainnya, sangat wajar bila karyanya ini termasuk dalam langgam
Indis Modern/Baru (Nieuwe Indische Bouwstijl).
Sejak lebih dari satu dasawarsa lalu, Bank Indonesia telah menaruh
perhatian besar dalam melestarikan gedung bersejarah yang dimilikinya
di berbagai daerah. Sebanyak 13 gedung BI yang tersebar di berbagai
kota di seluruh Indonesia telah dikonservasi, yaitu di Banda Aceh, Medan,
Padang, Jakarta, Bandung, Cirebon, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang,
Kediri, Mataram, dan Manado.67
Gedung Bank Indonesia (BI) Perwakilan Banda Aceh pada 2
Desember 2018 telah berusia seabad dan dinilai layak menjadi salah
satu situs sejarah dan ikon wisata sejarah Kota Banda Aceh. Wali Kota
Banda Aceh, Aminullah Usman, memuji dan berterima kasih atas upaya
68 “Berusia 100 Tahun Gedung BI Aceh Jadi Salah Satu Ikon Wisata di Banda Aceh”, 2018. https://
anterokini.com/2018/12/08/berusia-100-tahun-gedung-bi-aceh-jadi-salah-satu-ikon-wisata-di-
banda-aceh/Blog
69 Focus Group Discussion, wawancara video conference dengan empat narasumber PPBI pada Selasa,
21 Juli 2020, yaitu Tabrani Hilmi Ibrahim, T. Ridwan, Nur Rafni, dan Jailani Ali.
70 Bank Indonesia, Harmoni dalam Perbedaan…, (2019).
Gambar 7.47. Fasad depan gedung BI Banda Aceh terlihat anggun dan berwibawa
setelah dipugar dari kerusakan berat akibat bencana tsunami 26 Desember 2004 yang
diresmikan kembali pada 5 September 2007. Foto diambil pada 23 Agustus 2020.
Sumber: Dokumentasi Penulis
71 Karena alasan keamanan, penyebutan nama-nama ruang yang ada sekarang pada bangunan utama
ini dihindari.
Gambar 7.48. Pemandangan pada halaman belakang gedung BI Banda Aceh telah
digunakan sepenuhnya oleh bangunan, jalan, dan area parkir aspal, sehingga tidak
tersisa lagi ruang terbuka untuk penghijauan.
Sumber: Dokumentasi Penulis
72
“Evolusi Gedung Bank Indonesia” https://www.kompasiana.com/
teberatu/54f94a65a333110a068b4ae0/evolusi-gedung-bank-indonesia
73 Yayasan Bustanussalatin bekerja sama dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias dan
Pemerintah Kota Banda Aceh memprakarsai pembuatan Peta Heritage Trails Kota Banda Aceh
tersebut.
erat dengan Heritage Trail di dalam Kota Banda Aceh, sehingga menjadi
suatu linkages objek-objek bersejarah yang tak terpisahkan oleh batas-
batas administratif.
Jalur jejak budaya ini merupakan program napak tilas terutama untuk
generasi muda dalam rangka pembinaan karakter untuk lebih meresapi
dan memahami warisan budaya. Tepat di jantung kota kita terpana
Gambar 7.52. Kiri atas: anjungan pada saat awal pembuatan (tahun 2008); kiri bawah:
anjungan ketika dihancurkan; kanan: anjungan saat direnovasi kembali.
34 Taman REX
33 Kelenteng Cina
32 Pulau Gajah
31 Pante
Jembatan
Pirak
INFO
to be a bank as it was built in 1916, the era
dibangun masa Gubernur Jendral of the Dutch Governor, General H.N.A.
Belanda H.N.A. Swart (1916). Fungsinya Swart (1916). It was used as a circulation
Koordinat : 5° 33’26.98”N sebagai bank sirkulasi yang bertugas bank which printed and distributed
95° 19’03.15”E mencetak dan mengedarkan uang. money. Until now the building still holds
the same purpose as Bank Indonesia that
Terletak di Jalan Cut Meutia Pada 2 Maret 1964 Bank Indonesia maintains the value of rupiah.
menghadap ke Krueng Aceh, di membuka cabang di Banda Aceh
sebelah Kantor Polisi. menggunakan gedung ini untuk The building faces the Krueng Aceh,
memajukan perekonomian daerah Aceh.
PETA MAP
stands on Jalan Nasional wich is now
Sampai sekarang gedung ini masih altered to be Jalan Cut Meutia. This was
dipakai sebagai Bank Indonesia yang the first colonial building which was built
memelihara kestabilan nilai rupiah. by considering the local hot climate, which
can be seen through its many large
Gedung ini menghadap ke Krueng Aceh,
windows and ventilations but still
di Jalan Nasional yang kini berubah
precenting from the sun.
namanya menjadi Jalan Cut Meutia.
Gedung ini adalah bangunan Belanda
pertama yang dibangun dengan
menyesuaikan iklim di Aceh yang panas,
terlaihat dari jendela dan ventilasinya
yang besar dan banyak dan dapat
menghambat radiasi matahari. Gedung
ini masih terawat dengan baik meski
sebelumnya terkena tsunami, karena
sudah direnovasi kembali seperti bentuk
semula.
Gambar 7.55. Penjelasan mengenai Bank Indonesia pada Trail Krueng Aceh di dalam
buku panduan ‘Banda Aceh Heritage Jalur Jejak Budaya dan Tsunami’.
Sumber: Kamal A. Arif dan Salmawaty, Banda Aceh Heritage…, (2013)
an
hm
il
m
rra
am
itu
uk
Ba
il M
ya
id
Ra
h
Sa
ce
jid
am
rA
as
sa
ak
M
1
Pa
M
Gedung SMA 1 4 3 2
da
an
el
Blang Padang 5
B
eh
ri
ir
Sa
aA
Ac
an
ar
l
te
en
m
Ho
Ta
M
Monumen Pesawat
27 26 25
RI-001 Seulawah 6
Kandang
24
Stasiun Kereta Api 28 Meuh
Makam
Kerkhof 7 23 Raja-raja Bugis
Makam Poteu Jeumaloy 29
22 Makam Sultan
Iskandar Muda
Makam 8 Bioskop Garuda 30
Teungku Di Bitay 21 Gedung Baperis
Sentral
11 Telepon Militer 20
Loceng
Cakra Donya
Makam
9
Raja Reuban 19 Museum Aceh
Gunongan 12
Makam 10 13 14 15 16 17 18
Raja Jalil
ni
n
op
g
I
XI
ro
sa
to
an
Kh
rT
Da
ra
Ph
an
Ke
da
ng
e
nd
nt
an
tro
ue
Pi
lta m
Ka
Isk
Pu
Kr
Su aka
n
an
M
m
Ta
Pada trail Kota Lama terdapat objek yang terpelihara dan masih
berfungsi dengan sangat baik, seperti Masjid Raya Baiturrahman, Gedung
SMAN 1 Banda Aceh, Kerkhof, Gunongan, Pintu Khop, dan Pendopo
Keraton. Di antaranya terdapat pula objek yang telah hilang, seperti Hotel
Aceh dan Stasiun Kereta Api. Pada beberapa objek, ada plakat dalam
tiga bahasa yang dipasang di lokasi sebagai penanda, seperti pada lokasi
bekas bangunan Hotel Aceh dan Stasiun Kereta Api.
Di lokasi ini pernah berdiri Hotel On this site once stood the “Hotel
Aceh, tempat Presiden Soekarno Aceh” where President Soekarno
singgah dalam kunjungannya ke stayed during his visit to Aceh in
Aceh pada Juni 1948. June 1948.
Di hotel inilah Soekarno sempat In this hotel, Soekarno, with tears
sambil menangis tatkala meminta in his eyes, asked the people of
rakyat Aceh untuk membantu Aceh to assist in the purchase of
membeli pesawat guna aeroplanes to support Indonesia’s
kepentingan diplomatik diplomatic missions.
Indonesia. The Acehnese people gifted the
Kedua pesawat sumbangan nation with two aircraft which
rakyat Aceh kemudian diberi were given tha names Seulawah
nama Seulawah 01 dan 01 and Seulawah 02.
Seulawah 02.
Gambar 7.57. (Kiri): Plakat Hotel Aceh dalam tiga bahasa, yaitu Bahasa Aceh,
Indonesia, dan Inggris;
(Kanan) Ditempatkan Pada Lokasi Eks Hotel Aceh di Selatan Masjid Raya Baiturrahman
Sumber: Kamal A. Arif dan Salmawaty, Banda Aceh Heritage…, (2013)
Sabang Trail
Tahun 2020 ini, Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) Aceh genap
berusia 102 tahun. KPwBI yang secara resmi didirikan pada 2 Desember
1918 dengan nama De Javasche Bank (DJB) Agentschap Koetaradja ini
telah melewati berbagai situasi dan kondisi mengikuti dinamika politik
dan ekonomi yang terjadi di Aceh. Dengan statusnya sebagai bank sentral
dan bank sirkulasi, kehadiran KPwBI Aceh telah ikut berkontribusi dan
mewarnai perkembangan ekonomi Aceh sejak awal abad ke-20.
Salah satu pertimbangan didirikannya DJB Agentschap Koetaradja
adalah letak Aceh yang berada pada posisi yang sangat strategis di pintu
masuk Selat Malaka yang merupakan jalur pelayaran utama di Asia sejak
zaman kuno. Pembukaan DJB Koetaradja diharapkan akan memacu
pertumbuhan ekonomi Aceh, sehingga dapat menjadikan Aceh sebagai
sentra ekonomi baru di Hindia Belanda terutama setelah dibukanya
Pelabuhan Bebas Sabang. Dengan berkembangnya perekonomian
diharapkan akan berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan
rakyat, sehingga pada gilirannya rakyat Aceh tidak lagi memusuhi Belanda
(tujuan politik pasifikasi).
Harapan ini sangat beralasan bila melihat apa yang pernah dicapai
Aceh dalam perjalanan sejarahnya di masa lalu. Dengan kecerdasan
memanfaatkan posisi geografis Aceh yang sangat strategis di pintu masuk
Selat Malaka, beberapa bandar di Aceh telah menjelma menjadi pusat
perdagangan penting di kawasan ini jauh sebelum munculnya Kesultanan
Aceh Darussalam, seperti Lamuri, Pasai, Pedir, dan Singkil. Beragamnya
komoditas yang dihasilkan membuat bandar-bandar tersebut telah
menjadi tempat yang banyak disinggahi oleh pedagang-pedagang asing,
terutama dari Tiongkok, India, dan para pedagang dari Nusantara. Dengan
Arsip
Arsip Bank Indonesia. “Catatan No. C-25/002/UKP Tgl. 19 Juni 1992”.
_________________. Kajian Ekonomi dan Keuangan Daerah Provinsi Aceh Triwulan II-2005. Banda
Aceh: Kantor Bank Indonesia Banda Aceh.
_________________. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Aceh Triwulan II-2010. Aceh: Bank
Indonesia Banda Aceh.
_________________. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Aceh Triwulan IV-2013. Aceh: Bank
Indonesia Banda Aceh.
_________________. Koleksi De Javasche Bank. “Kutaraja, Brieven Vertrouwelijk van/aan
Hoofdkantoor”.
_________________. Koleksi De Javasche Bank. “Jaarverslag van De Javasche Bank 1941/1947”.
_________________. Koleksi De Javasche Bank. “Verslag van de President van De Javasche Bank
1941/1947”.
_________________. Koleksi De Javasche Bank. Boekjaar 1918/1919 No. 42. 91 e.
________________________. Koleksi De Javasche Bank No. 1456, Vertrouwelijk Brieven van De
Javasche Bank Agentschap Kutaraja (1918-1941).
___________________. Koleksi De Javasche Bank, “Rapport over het Bezoek aan Koetaradja van J.
Vos van Marken”, No. 5493.
_________________. Koleksi R. Hardjo Santoso. “De Javasche Bank pada Masa Peperangan”.
_________________. 2008. Laporan Akhir Pekerjaan Penyusunan Blueprint Strategi Pemanfaatan
dan Pelestarian (Konservasi) Bangunan-bangunan Eks De Javasche Bank., Jakarta: Bank
Indonesia.
_________________. Laporan Perekonomian Provinsi Aceh November 2019. Aceh: Bank Indonesia
Banda Aceh.
_________________. Nota Serah Terima Jabatan Kepala Perwakilan Bank Indonesia Lhokseumawe
tanggal 20 Januari 2020.
_________________. Perkembangan Ekonomi Keuangan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam Triwulan III-2005. Nanggroe Aceh Darussalam: Bank Indonesia Banda Aceh.
_________________. Risalah Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia. Jakarta. 28 Desember 2004.
_________________. 2003. Statistik Kajian Ekonomi dan Moneter. Banda Aceh: Bank Indonesia
Banda Aceh.
_________________. 2005. Statistik Keuangan Daerah Provinsi Aceh. Banda Aceh: Kantor Bank
Indonesia Banda Aceh.
_________________. Surat Edaran Bank Indonesia No. 13/108/Rupa-rupa tanggal 26 Maret 1981.
_________________. Surat Edaran No. 7/25/INTERN tanggal 13 April 2005.
_________________. Surat Edaran Bank Indonesia No. 18/82/INTERN tanggal 30 September 2016.
_________________. Surat Gubernur Bank Indonesia kepada Presiden Republik Indonesia No. 7/2/
GBI/DHk.
Dokumen Pemerintah
Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Sekretariat Jenderal. 2017. Verifikasi dan
Validasi Cagar Budaya Kota Banda Aceh Provinsi Aceh. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Handelsbeweging de Buitenbezittingen in 1913, 1914, 1915. 1917. Mededelingen van het Bureau
voor de Bestuurzaken der Buitenbezittingen 12.
Koran/Majalah
Asia Raya. 10 dan 20 Mei 2602.
Atjeh Post. “Kenaikan Penyaluran Dana Bank di Aceh Mencapai Rata-Rata 177,82 Prosen
Setahun”. Oktober 1980.
De Deli Courant. 23 Mei 1932.
_____________. “Atjeh Economische Situatie”. 8 September 1932.
De Locomotief. “Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch Indie”. 5 September 1931.
De Sumatra Post. “De Javasche Bank”. 8 Oktober 1918.
_____________. “Javasche Bank Kota Radja”. 4 Desember 1918.
De Telegraaf. “De Javasche Bank te Koeta-Radja”. 3 Januari 1916.
Kompas. “Aceh-Belanda Buka 4.000 Ha Areal Baru Kopi Arabica”. 15 Oktober 1994.
_______. “Aceh Memerlukan Percepatan Modal”. 11 Januari 2006.
_______. “Aceh Perlu Investor untuk Buka Lapangan Pekerjaan”. 9 September 2003.
_______. “Dampak Konflik Aceh, Warga Kehilangan Inisiatif”. 29 Januari 2001.
_______. “Di Aceh Nasib Pedagang Semakin Runyam”. 6 November 2000.
_______. “Firasat Pedagang Cina: Ekonomi Aceh Berdenyut Lagi”. 16 Mei 2000.
_______. “Gas Alam Cair: Kejayaan Arun”. 13 November 2013.
_______. “Jepang Bantu Perluasan Tanaman Melinjo di Pidie”. 24 Juni 1994.
_______. “Menanam Sawit, Menabung untuk Pensiun”. 5 Agustus 1994.
_______. “Propinsi DI Aceh, Alamnya Kaya Tetapi Warganya...”. 12 Juli 1999.
_______. “Rendah, Minat Investor Menanam Modal di Aceh”. 16 Juli 1994.
_______. “Tjot Girek Pabrik Gula Terbesar Di Luar Djawa Dibuka”. 22 September 1970.
_______. 13 Mei 1976.
Majalah Tempo. “Aceh Merdeka, Hasan Tiro, dan Satu Tafsir Sejarah”. 11 Juni 2000.
Buku
Abdullah, Irwan, dkk. 2018. Pengembangan Kebudayaan dan Kemaritiman Aceh: Strategi dan
Tantangan. Banda Aceh: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh.
Abdullah, Taufik. (Ed.). 1992. Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia.
______________, dkk. 2002. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
Alfian, T. Ibrahim, dkk. 1977/1978. Sejarah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek
Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
_______________. 1978. Adat Istiadat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh: Proyek
Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
_______________. 1982. Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh (1945–1949). Banda Aceh:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Pengembangan Permuseuman Daerah
Istimewa Aceh.
_______________. 1986. Mata Uang Emas Kerajaan-Kerajaan di Aceh. Banda Aceh: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Pengembangan Permuseuman Daerah Istimewa Aceh.
_______________. 1987. Perang di Jalan Allah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Ali, Abdullah, dkk. 1985. Sejarah Perjuangan Rakyat Aceh dalam Perang Kemerdekaan 1945–
1949. Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Allen, G. C., Audrey G. Donnithorne. 1957. Western Enterprise in Indonesia and Malaya: A Study
in Ecnmic Development. London: George Allen & Unwin Ltd.
Al-Fairusy, Muhajir. 2016. Singkel: Sejarah, Etnisitas, dan Dinamika Sosial. Denpasar: Pustaka
Larasan.
Wawancara
Wawancara dengan Harun Geuchik Leumiek. Banda Aceh. 9 November 2016.
Bustami Usman. 2016.
Focus Group Discussion bersama narasumber PPBI KPw BI Aceh secara daring pada 21 Juli 2020,
Tabrani Hilmi Ibrahim, T. Ridwan, Nur Rafni, dan Jailani Ali.
Wawancara dengan Ir. Taufani N secara daring pada 31 Mei 2020.
Internet
Aceh Nasional News. “Seminar Optimalisasi Heritage dan Pariwisata Aceh D/R Peringatan 100
Tahun Gedung Bank Indonesia Provinsi Aceh”. http://www.annews.co.id/2018/12/seminar-
optimalisasi-heritage-dan.html (20 Juli 2020).
Badan Litbang Pertanian. “Dampak Tsunami terhadap Sektor Pertanian”. http://www.litbang.
pertanian.go.id/berita/one/192/# (diakses pada Juli 2020).
Bank Indonesia. “Bank Indonesia Bantu Rehabilitasi Sektor Pendidikan di Nanggroe Aceh
Darussalam”. https://www.bi.go.id/id/ruang-media/siaran-pers/Pages/sp_82706.aspx
(diakses pada 27 Agustus 2020).
Bank Indonesia. “Bank Indonesia dan Perbankan Kirim Bantuan dan Akan Bangun Rumah Sakit
dan Sekolah di Daerah Bencana”. http://www.bi.go.id/id/ruang-media/siaran-pers/Pages/
sp%20615404.aspx (diakses pada 27 Agustus 2020).
DI DAERAH MODAL
penting bagi masyarakat Aceh dalam membangun peradaban baru menuju kemakmuran. Konflik bersenjata yang berlangsung
lama serta kehancuran akibat bencana alam telah menjadi titik nadir penderitaan masyarakat Aceh. Alhamdulillah, Aceh telah
melewati periode tersulitnya. Keberhasilan memelihara perdamaian menjadi wujud tekad masyarakat Aceh untuk meraih
kembali masa kejayaannya. Oleh karenanya, pemerataan pembangunan dengan mengindahkan nilai-nilai keadilan dan
keistimewaan Aceh penting untuk diperhatikan oleh pengambil kebijakan. Buku ini menjadi persembahan menarik bagi
pembaca karena tak hanya menyajikan lika-liku sejarah Aceh, tetapi juga mampu menumbuhkan sense of belonging and pride
masyarakat Aceh dan membangkitkan semangat untuk membangun daerahnya.
www.bi.go.id/id/institute