Anda di halaman 1dari 10

Machine Translated by Google

Jurnal Pendidikan dan Penelitian Internasional Vol. 6 No. 11 November 2018

ESTIMASI CURAH HUJAN DENGAN MENGGUNAKAN POLIGON THIESSEN, JARAK TERBALIK


METODE WEIGHTED, SPLINE, DAN KRIGING: STUDI KASUS DI PONTIANAK BARAT
KALIMANTAN

Iin Arianti1 , Soemarno2 Hasyim


, AW3 , dan Sulistyono R.4
1Program Doktor Ilmu Lingkungan, Universitas Brawijaya, Malang 2Jurusan Ilmu
Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia 3Jurusan Perencanaan Wilayah
dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia Dosen Pascasarjana Universitas
Brawijaya, Malang, Email Koresponden Indonesia:
4
iin_arianti@yahoo.com

Abstrak

Ada empat metode pendugaan curah hujan di suatu wilayah dengan GIS; mereka adalah poligon Thiessen, Inverse
Distance Weighted (IDW), Spline, dan Kriging. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri.
Pemilihan keempat metode ini harus disesuaikan dengan kebutuhan data curah hujan. Artikel ini akan menunjukkan
kelebihan dan kekurangan keempat metode tersebut untuk wilayah studi Pontianak, Kalimantan Barat, Indonesia.

Kata Kunci : Curah Hujan, Poligon Thiessen, IDW, Spline, Kriging

1. Pendahuluan
Curah hujan di suatu daerah dapat diukur dengan menggunakan alat yang disebut Ombrometer. Data yang diperoleh dari
alat pengukur hujan adalah data mengenai hujan yang terjadi hanya pada satu wilayah atau titik (titik curah hujan). Mengingat curah
hujan bervariasi menurut ruang (space), maka untuk wilayah yang luas, satu alat penakar hujan tetap tidak dapat mewakili kondisi
hujan di wilayah tersebut. Dalam hal ini diperlukan hujan regional dari nilai curah hujan rata-rata beberapa stasiun penakar hujan di/
atau sekitar kawasan.
Interpolasi adalah suatu cara untuk memperoleh data berdasarkan beberapa data yang telah diketahui (Wikipedia, 2008).
Dalam pemetaan, interpolasi adalah proses untuk memperkirakan nilai-nilai di wilayah yang tidak diambil sampel atau
diukur, sehingga dibuat peta atau distribusi nilai lintas wilayah (Gamma Design Software, 2005).
Metode pengujian prediksi distribusi curah hujan dengan menggunakan aplikasi sistem informasi geografis
dapat disajikan berupa peta curah hujan rata-rata setiap bulan dan hujan harian setiap bulan. Dalam pembuatan peta
distribusi curah hujan dapat dilakukan di ArcGis dengan menggunakan beberapa metode yaitu Metode Thiessen, IDW,
Spline, dan Kriging.
Artikel ini menggunakan data curah hujan bulanan tahun 2017 pada stasiun klimatologi atau meteorologi
terdekat di wilayah studi Pontianak yaitu data dari stasiun Maritim, stasiun meteorologi Supadio, dan stasiun
meteorologi Mempawah. Data tersebut dalam format spreadsheet seperti format *.csv yang sudah memiliki lokasi
geografis.

2. Pembahasan dan Hasil Penelitian

2.1 Poligon Thiessen


Thiessen adalah metode yang ditentukan dengan cara membuat poligon antar stasiun dalam suatu daerah
kemudian tinggi curah hujan rata-rata dihitung dari banyaknya perkalian antara setiap poligon daerah dengan
301
Machine Translated by Google

ISSN: 2411-5681 www.ijern.com

tinggi hujan dibagi dengan luas keseluruhan. Metode poligon Thiessen biasanya digunakan untuk mendeteksi tinggi hujan rata-
rata jika stasiun hujan tidak terdistribusi secara merata.
Poligon Thiessen juga merupakan salah satu metode interpolasi lokal. Metode ini disebut juga metode proksimal,
yaitu upaya untuk memberi bobot pada titik-titik data pada suatu area. Langkah-langkah yang diambil adalah sejumlah segitiga
yang ditarik dengan menghubungkan titik-titik kontrol (misalnya stasiun meteorologi) menggunakan teknik triangulasi Delaunay
(juga digunakan untuk TIN). Garis ditarik tegak lurus ke sisi segitiga di titik tengah. Polygon didefinisikan oleh perpotongan
garis.
Rata-rata tertimbang tiap stasiun hujan ditentukan oleh luas pengaruhnya menurut poligon yang terbentuk
(menggambar garis sumbu pada garis penghubung antara dua stasiun hujan yang berdekatan). Cara ini diperoleh dengan
membuat poligon yang memotong tegak lurus di tengah garis penghubung dua stasiun hujan. Jadi setiap stasiun pengukur Rn
akan terletak pada poligon An tertentu. Dengan menghitung rasio luasan tiap stasiun = An/A, dimana A adalah luas daerah
penampungan atau luas total dari seluruh daerah yang dicari curah hujannya tinggi. Curah hujan rata-rata diperoleh dengan
menjumlahkan pada setiap titik dengan luas pengaruh yang dibentuk dengan menggambar garis sumbu tegak lurus dengan
garis penghubung antara dua stasiun pengukur.

ÿÿ + ÿÿ + ÿÿÿÿ + ÿ + ÿÿÿÿ ÿÿÿ + ÿ + ÿÿÿÿÿÿ ???? _


= =
+ ÿÿÿÿÿÿ + ÿÿÿÿÿÿ _

Dimana Q adalah curah hujan rata-rata; A1,A2,A3,...An adalah daerah yang diwakili oleh curah hujan yang tercatat di
stasiun 1, 2, 3, dan seterusnya; R1, R2, R3, …, Rn adalah curah hujan di stasiun 1, 2, 3, dan n adalah nomor stasiun.

Gambar 1. Metode Poligon Thiessen

Klasifikasi kelas curah hujan dimulai dari kurang dari 1500, 1500 - 2000, 2000 - 2500, 2500 - 3000, 3000 - 3500 dan
di atas 3500 (menurut klasifikasi curah hujan pada umumnya). Karena data yang sesuai di Pontianak hanya terbatas pada
2560 sampai 3402, sehingga diklasifikasikan menjadi 2 kelas saja. Seperti terlihat pada gambar 2, Pontianak hanya tergolong
dalam kelas curah hujan 3000 - 3500 (tinggi).

302
Machine Translated by Google

Jurnal Pendidikan dan Penelitian Internasional Vol. 6 No. 11 November 2018

Gambar 2. Hasil Proses Klasifikasi berdasarkan tiga stasiun pengamatan

Gambar 3. Peta Curah Hujan dengan Metode Thiessen Polygon

2.2 IDW (Pembobotan Jarak Terbalik)


Metode IDW (Inverse Distance Weighted) mengasumsikan bahwa setiap titik input memiliki efek lokal yang
berkurang dengan jarak. Metode ini lebih menekankan pada sel yang paling dekat dengan titik data daripada sel yang
lebih jauh. Titik-titik pada radius tertentu dapat digunakan untuk menentukan nilai keluaran pada setiap lokasi
Metode IDW umumnya dipengaruhi oleh invers jarak yang diperoleh dari persamaan matematis.
Dalam metode interpolasi ini, kita dapat menyesuaikan pengaruh relatif dari titik sampel. Nilai daya dalam interpolasi IDW
menentukan pengaruh terhadap titik masukan, dimana pengaruhnya akan lebih besar pada titik yang lebih dekat sehingga
menghasilkan permukaan yang lebih detail. Pengaruh tersebut akan semakin kecil dengan bertambahnya jarak dimana
permukaan yang dihasilkan kurang detail dan terlihat lebih halus. Jika nilai daya dinaikkan, berarti nilai keluaran sel
menjadi lebih terlokalisasi dan memiliki nilai rata-rata yang lebih rendah. Menurunnya nilai daya akan menghasilkan output
dengan rata-rata yang lebih besar karena akan memberikan pengaruh pada area yang lebih luas. Jika nilai daya dikurangi,
permukaan yang lebih halus dihasilkan. Bobot yang digunakan untuk rata-rata adalah fungsi jarak antara titik sampel dan
titik interpolasi (Philip & Watson, 1985).
Fungsi umum pembobotan adalah invers dari kuadrat jarak, dan persamaan ini digunakan dalam metode invers
invers distancewighted yang diformulasikan dalam rumus berikut:

303
Machine Translated by Google

ISSN: 2411-5681 www.ijern.com

ÿÿÿ =

Dimana Zi (i= 1,2,3,.....,n) merupakan data nilai tinggi yang akan diinterpolasi dengan sejumlah N titik dan bobot
(weight) wi yang dirumuskan sebagai berikut:

ÿ
=ÿ
ÿÿ

p adalah nilai positif yang dapat diubah yang disebut parameter daya (biasanya nilainya 2) dan hj adalah
jarak dari distribusi titik ke titik interpolasi yang digambarkan sebagai berikut:

ÿ ÿ ÿÿ) = ÿ ) ÿÿÿ ÿ ÿÿ)


+ ) (x,y) adalah koordinat titik interpolasi dan (xi ,yi) adalah koordinat setiap titik sebaran. Fungsi
variabel bobot bervariasi untuk seluruh distribusi titik data hingga nilai mendekati nol, dimana jarak
bertambah dengan titik sebaran.
Penentuan hasil pada metode IDW didasarkan pada asumsi bahwa nilai atribut z (nilai estimasi)
pada titik yang tidak tercatat merupakan fungsi jarak dan nilai rata-rata dari titik-titik disekitarnya.
Hasil interpolasi tergantung pada seberapa kuat titik data diketahui mempengaruhi area sekitarnya. Selain
itu, jumlah titik di sekitarnya digunakan untuk menghitung nilai rata-rata, serta ukuran piksel/raster yang
diinginkan.
Kelebihan metode interpolasi IDW adalah karakteristik interpolasi dapat dikontrol dengan membatasi
titik input yang digunakan dalam proses interpolasi. Titik-titik yang letaknya jauh dari titik sampel dan
diperkirakan memiliki korelasi spasial dapat dihilangkan dari perhitungan. Titik-titik yang digunakan dapat
langsung ditentukan atau dipilih berdasarkan jarak yang akan diinterpolasi. Kerugian dari interpolasi IDW
adalah tidak dapat mengestimasi nilai di atas nilai maksimum dan di bawah nilai minimum titik sampel
(Pramono, 2008).
Efek yang dihasilkan saat interpolasi IDW adalah perataan puncak dan lembah kecuali titik tertinggi
dan terendah merupakan bagian dari titik sampel. Karena nilai estimasi sebagai nilai rata-rata juga, hasil
permukaan tidak akan tepat melewati titik sampel. Kelemahan lain dari metode interpolasi ini adalah bull-
eye effect.
. Interpolasi menggunakan metode IDW memberikan nilai dengan jangkauan area yang lebih luas. Nilai
interpolasi akan lebih mirip dengan data sampel di lokasi yang berdekatan daripada data di lokasi yang lebih jauh.
Karena metode ini menggunakan rata-rata data sampel, maka nilainya tidak boleh lebih kecil dari minimum atau
lebih besar dari data sampel. Oleh karena itu, puncak bukit atau lembah terdalam tidak dapat ditampilkan dari hasil
interpolasi model ini (Watson & Philip, 1985). Untuk mendapatkan hasil yang baik, sampel data yang digunakan
harus padat yang memenuhi variasi lokal. Jika sampel agak jarang dan distribusinya tidak merata, kemungkinan
besar hasilnya tidak seperti yang diharapkan.

304
Machine Translated by Google

Jurnal Pendidikan dan Penelitian Internasional Vol. 6 No. 11 November 2018

Gambar 4. Hasil Interpolasi IDW

Berdasarkan hasil interpolasi IDW, sebagian besar wilayah Pontianak memiliki curah hujan 3000 - 3500 dan
wilayah Barat Laut memiliki jumlah curah hujan yang agak kecil yaitu 2500 - 3000 mm per tahun.

Gambar 5. Peta Curah Hujan Kota Pontianak dengan Metode IDW

305
Machine Translated by Google

ISSN: 2411-5681 www.ijern.com

2.3 Spline
Spline adalah metode yang memperkirakan nilai dengan menggunakan fungsi matematika yang meminimalkan kelengkungan
total permukaan. Efek peregangan spline sangat berguna untuk memperkirakan nilai di bawah nilai minimum dan nilai di atas maksimum
yang mungkin ditemukan dalam kumpulan data yang digunakan. Hal ini menjadikan metode interpolasi Spline sebagai metode yang
baik untuk memperkirakan nilai rendah dan tinggi yang tidak ditemukan pada sampel data.

Keunggulan metode Spline adalah kemampuannya menghasilkan akurasi yang baik meskipun data yang digunakan terbatas.
Metode ini sangat tepat dalam pembuatan permukaan seperti ketinggian permukaan bumi, muka air tanah, dan konsentrasi pencemaran
udara. Metode ini kurang tepat jika diterapkan pada situasi dimana terdapat perbedaan nilai yang signifikan pada jarak yang sangat
dekat. Kelemahan dari metode Spline ini adalah ketika titik sampel yang berdekatan memiliki perbedaan nilai yang signifikan, maka
metode Spline tidak dapat bekerja dengan baik. Hal ini dikarenakan metode Spline menggunakan perhitungan kemiringan yang berubah
berdasarkan jarak untuk memperkirakan bentuk permukaan.

Persamaan yang digunakan dalam metode Spline adalah rumus interpolasi permukaan:

(,) = (,) + ÿÿÿÿ) )

di mana n adalah jumlah titik data; ÿÿ adalah koefisien pembobotan; ri adalah jarak dari
titik yang diinginkan (x,y) ke titik pengukuran i;(,)dan ( )ditentukan oleh
= + ÿÿ + ÿÿ
(, )
1 ÿÿ ÿÿ
= +ÿ1+ ÿÿ _ + +
() ÿÿ2 4 2 ÿÿ2

Dimana ai adalah koefisien; r adalah jarak antara lokasi keinginan; & tentukan beratnya
turunan ketiga dari permukaan; K0 adalah fungsi Bessel yang dimodifikasi; dan c adalah konstanta yang sama dengan 0,5772.

Gambar 6. Peta Curah Hujan Kota Pontianak dengan Metode Spline

306
Machine Translated by Google

Jurnal Pendidikan dan Penelitian Internasional Vol. 6 No. 11 November 2018

2.4 Kriging
Metode Kriging merupakan pendugaan stokastik yang mirip dengan IDW, yaitu menggunakan kombinasi
linier bobot untuk memperkirakan nilai antar data sampel. Metode ini dikembangkan oleh DL Krige untuk
memperkirakan nilai bahan tambang. Asumsi di balik model ini adalah jarak dan orientasi antara data sampel
menunjukkan korelasi spasial. Model ini memberikan ukuran kesalahan dan kepercayaan.
Penentuan hasil pada metode Kriging didasarkan pada asumsi bahwa setiap titik dalam lanskap saling
berhubungan dan memiliki kecenderungan. Tren (persamaan matematika) digunakan untuk memprediksi titik-titik
yang tidak memiliki data/informasi.
Pada interpolasi Kriging, cakupan area interpolasi lebih sempit. Pada jarak dekat (sumbu
horizontal), semivarian kecil, tetapi pada jarak yang lebih besar memiliki nilai yang lebih tinggi yang
menunjukkan bahwa variasi nilai z tidak lagi terkait dengan jarak titik sampel. (x0) adalah kombinasi
Stasiun Z nilai kriged atau *linear dari pengamatan di tetangga Nnb
prediksi :

)
ÿ)ÿ ÿ)ÿÿÿ = (

Dimana ÿÿ adalah bobot kriging yang diestimasi sebagai solusi dari sistem kriging. Dalam kasus eksternal
drift kriging menggunakan variabel drift Y, sistemnya adalah:

ÿÿÿÿ=ÿ+ÿ+ÿÿÿÿ1=ÿ ÿÿ , ... 1, =

ÿ) ÿÿ ÿÿÿ) = ( )

di mana ÿÿ, ÿÿ adalah dua parameter Lagrange yang memperhitungkan dua kendala pada bobot. Jadi, Y
harus diketahui di lokasi xi serta lokasi target x0. Varians ED kriging diperoleh dengan:

ƒ
=__ ÿÿ) ÿÿ ÿ ÿÿ ÿ ( )

307
Machine Translated by Google

ISSN: 2411-5681 www.ijern.com

Gambar 7. Peta Curah Hujan Kota Pontianak dengan Metode Kriging

3. Kesimpulan
Interpolasi spasial diperlukan dalam bidang meteorologi dan klimatologi untuk memprediksi intensitas curah hujan,
dengan mengatasi keterbatasan data, lingkungan, dan kondisi fisiografi lainnya, sehingga pemodelan elemen iklim tetap dapat
dilakukan.
Poligon Thiessen mungkin merupakan pendekatan yang paling umum untuk memodelkan distribusi spasial curah
hujan. Pendekatan ini didasarkan pada pendefinisian daerah yang lebih dekat dengan suatu alat ukur tertentu dibandingkan
dengan alat pengukur lainnya dan asumsi bahwa pendugaan curah hujan terbaik di daerah tersebut diwakili oleh titik
pengukuran pada alat pengukur tersebut. Namun, dampak yang ditimbulkan terkait penggunaan poligon Thiessen adalah
pengembangan fungsi diskontinu yang menentukan kedalaman curah hujan di atas daerah tangkapan air. Dampak ini muncul
pada batas-batas poligon di mana terjadi perubahan kedalaman atau intensitas curah hujan yang berbeda (Luk. 1997).
Metode IDW mengasumsikan bahwa setiap titik input memiliki efek lokal yang berkurang dengan jarak.
Metode ini lebih menekankan pada sel yang paling dekat dengan titik data daripada sel yang lebih jauh. Titik-titik pada radius
tertentu dapat digunakan untuk menentukan nilai keluaran pada setiap lokasi.
Sebaliknya, Spline adalah teknik pemasangan lokal yang didasarkan pada interpolasi antara beberapa titik
pengukuran yang berdekatan dengan menggunakan beberapa polinomial orde rendah. Pendekatan ini menghindari overfitting
pada titik pengukuran dengan polinomial orde tinggi. Selain itu, estimasi urutan polinomial tidak diperlukan. Permukaan jenis
ini telah ditemukan sebagai interpolasi spasial yang kuat untuk banyak masalah meteorologi (Luk, 1997).

Penggunaan Kriging untuk interpolasi curah hujan di lokasi tidak dipantau berdasarkan asumsi homogenitas spasial,
yang berarti bahwa pola variasi yang sama dapat diamati di semua lokasi di dalam DAS. Selain itu, variabilitas spasial curah
hujan diasumsikan sebagai fungsi dari komponen struktural yang berkorelasi dengan tren konstan, komponen yang berkorelasi
spasial, dan suku kesalahan residual acak (Luk. 1997).

308
Machine Translated by Google

Jurnal Pendidikan dan Penelitian Internasional Vol. 6 No. 11 November 2018

Metode interpolasi IDW memberikan hasil interpolasi yang lebih akurat. Pasalnya, alat pengukur curah hujan
Kota Pontianak hanya ada tiga. Hasil metode IDW memberikan nilai yang mendekati nilai minimum dan maksimum dari
data sampel.

Referensi
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.2017: Analisis Hujan Tahunan Januari- Desember 2017. Buletin BMKG.

Bargaoui, ZK, & Chebbi, A. 2009. Perbandingan dua metode interpolasi kriging yang diterapkan pada
hujan spatiotemporal. Jurnal Hidrologi 365, hlm. 56-73.
Burrough, PA & McDonnell RA 1998. Prinsip Sistem Informasi Geografis. London: Oxford University Press Inc.

Citra Satelit Landsat7-ETM+ Terhadap Data Observasi Stasiun Cuaca/Iklim Darat (Kasus Provinsi Jawa
Bagian Barat Selatan). Jurnal Agroklimatologi, IPB, Bogor.
Demers & Michael, N. 2000. Dasar-dasar Sistem Informasi Geografis Edisi Kedua. Baru
York (AS): John Wiley and Sons.
Elfaig, AHI, Eltom, IM, & Salih, A. 2013. Variabilitas Curah Hujan di Sahel: Studi dari Sudan (1970-2010). Jurnal
Internasional Publikasi Ilmiah dan Penelitian. Vol. 3, Edisi 11, Nov. hal 1-8.
ESRI. 1996. Menggunakan ArcView Spatial Analist. Redlands (AS): Lembaga Penelitian Sistem Lingkungan,
Inc.
Perangkat Lunak Desain Gamma. 2005. Interpolasi dalam GS+. http://www.geostatistics.com/
OverviewInterpolation.html (23 Juni 2018).
Hadi, BS 2013. Metode Interpolasi Spasial dalam Studi Geografi. Jurnal Geomedia. Vol 11(2): hlm. 231-
240.
Linglingue, M. 2017. Penilaian variabilitas metode interpolasi spasial menggunakan data elevasi dan lubang bor di area
Tambang Magmont, Missouri Tenggara. Tesis. Universitas Missouri Columbia.

Lu, GY& Wong, DW 2008. Teknik Interpolasi Spasial Pembobotan Jarak Jauh Adaptif.
Komputer dan Geosains 34: hlm. 1044-1055.
Luk, KC, & Ball, JE 1997. Pemodelan Variabilitas Spasial Sesaat Curah Hujan. Internasional
Kongres Pemodelan dan Simulasi. Hobart, Tasmania, hlm. 71-76.
Malla, MA, Sebaliknya, MA, Teli, MN, & Kuchhay, NA 2014. Perbandingan Teknik Interpolasi Spasial – Studi Kasus Distrik
Anantnag J&K, India. Jurnal Internasional Penelitian Teknik Modern. Vol. 4, Is. 11 November 2014, hlm 59-67.

Naoum, S. & Tsanis, IK 2004. Teknik Pemeringkatan Interpolasi Spasial Menggunakan DSS Berbasis GIS. Sarang Global
Int. J. Vol 6, No. 1, hlm. 1-20.
Ningsih DHU 2012. Metode Thiessen Poligon untuk Ramalan Sebaran Curah Hujan Periode Tertentu pada Wilayah yang
Tidak Memiliki Data Curah Hujan. Jurnal Teknologi Informasi Dinamis. 17(2): hlm. 154-156.

Pasaribu, JM & Haryani, NS2012. Perbandingan Teknik Interpolasi DEM SRTM dengan Metode Inverse Distance
Weighted (IDW), Natural Neighbor, dan Spline. Jurnal Penginderaan Jauh, Vol. 9 No.2.hal. 126-139.

Prahasta, E. 2015. SIG: Tutorial ArcGis untuk bidang geodesi dan geomatika, Informatika Bandung.

309
Machine Translated by Google

ISSN: 2411-5681 www.ijern.com

Pramono,GH 2008. Metode Akurasi IDW dan Kriging untuk Interpolasi Sebaran Sedimen Tersuspensi.
Forum Geografi. Vol. 22 No. 1. hlm. 145-158.
Thiessen, AH 1991. Curah Hujan Rata-Rata untuk Area Luas. Tinjauan Cuaca Bulanan. Vol. 39, hlm. 1082-
1084.
Watson DF & Philip GM 1985. Penyempurnaan Interpolasi Tertimbang Jarak Terbalik. Jurnal Geo
Pengolahan. Vol 2.pp. 315-327.
Zimmerman, D., Pavlik, C., Ruggles, A., & Amstrong, MP 1999. Perbandingan Eksperimental Kriging Biasa dan
Universal serta Pembobotan Jarak Terbalik. Geologi Matematika, 31 (4), hlm. 375-390.

310

Anda mungkin juga menyukai