Dystocia berasal dari bahasa Latin yaitu tokos yang berarti kelahiran bayi. Dystocia yaitu
keabnormalan atau kesulitan dalam melahirkan.
Menurut Sinelair, Constance (2009), distosia merupakan persalinan yang tidak normal
atau pelahiran yang sulit, disebabkan oleh malposisi kepala janin ( asinklitisme atau
ekstensi), dorongan eksplus yang tidak adekuat, ukuran atau presentasi janin, panggul yang
mengalami kontraksi atau kelainan jalan lahir.
Menurut Achadiat, Chrisdiono (2004), distosia adalah persalinan abnormal / sulit yang
ditandai dengan kelambatan atau tidak adanya kemajuan proses persalinan dalam satuan
waktu tertentu. Distosia merujuk pada kemampuan persalinan yang tidak normal.
Persalinan berlangsung lebih lama, lebih nyeri, atau tidak normal karena adanya masalah
pada mekanisme persalinan, tenaga/ kekuatan, jalan lahir, janin yang akan dilahirkan, atau
masalah psikis.
Distosia merupakan indikasi paling umum dilakukannya persalinan seksio sesarea, yang
diperkirakan terjadi pada sekitar 50% pelahiran dengan pembedahan (Sokol et al., 1994)
Partus lama adalah fase laten lebih dari 8 jam. Persalinan telah berlangsung 12 jam atau
lebih, bayi belum lahir. Dilatasi serviks di kanan garis waspada persalinan aktif (Syaifuddin,
2002).
Persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada primi dan lebih dari 18 jam pada
multi (Manuaba, 2010)
American college of Obstetricians dan Gynecologist (ACOG) memiliki definisi sendiri
mengenai gangguan kemajuan persalinan yang diadaptasi dari definisi awal pada tahun
1983. Distosia pada kala II persalinan ditandai dengan:
1. Pada nulipara tanpa anestesi regional kala II lebih dari 2 jam
2. Pada nulipara dengan anestesi regional kala II lebih dari 3 jam
3. Pada multipara tanpa anestesi regional kala II lebih dari 1 jam
4. Pada multipara dengan anestesi regional kala II lebih dari 2 jam
Distosia didefinisikan sebagai persalinan yang panjang, sulit, atau abnormal, yang timbul
akibat berbagai kondisi yang berhubungan dengan 5 faktor persalinan sebagai berikut:
1. Persalinan disfungsional akibat kontraksi uterus yang tidak efektif atau akibat
upaya mengedan ibu (kekuatan/power)
2. Perubahan struktur pelvis (jalan lahir)
3. Sebab pada janin meliputi kelainan presentasi/kelainan posisi, bayi besar, dan
jumlah bayi
4. Posisi ibu selama persalinan dan melahirkan
5. Respons psikologis ibu terhadap persalinan yang berhubungan dengan
pengalaman, persiapan, budaya, serta sistem pendukung
EPIDEMIOLOGI DISTOSIA
Menurut Festin, et al (2009) dalam penelitiaannya, didapati prevalensi disproporsi
fetopelvik di Asia Tenggara sebanyak 6,3% dari kelahiran total. Hal ini menjadi indikasi
kedua tersering dilakukannya tindakan seksio sesarea setelah riwayat seksio sesarea (7%).
Dalam penelitian yang sama didapati bahwa prevalensi disproporsi fetopelvik di Indonesia
berjumlah 3,8% dari kelahiran total, dan disproporsi fetopelvik menjadi indikasi ketiga
tindakan seksio sesarea (12,8%) setelah malpresentasi (18,6%) dan seksio sesarea
sebelumnya (15,2%). Namun, jika definisi disproporsi fetopelvik mengikutsertakan
malpresentasi seperti yang dikemukakan oleh Craig (pada penjelasan berikutnya), maka
disproporsi fetopelvik menjadi indikasi tersering dilakukannya tindakan seksio sesarea di
Indonesia.
Menurut laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2005, disproporsi
fetopelvik menyumbang sebanyak 8% dari seluruh penyebab kematian ibu di seluruh dunia.
Menurut Shields (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Dystocia in Nulliparous
Women, pada tahun 2003 sekitar 17% wanita di Amerika mendapat penatalaksanaan
dengan oxytocin. Sedangkan pada tahun 2004 terjadi peningkatan insidensi persalinan
secara sesar menjadi 20.6%. Dystocia merupakan indikasi persalian sesar sebanyak 50%.
Di Indonesia berdasarkan hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia(SKDI) tahun
2002-2003 melaporkan bahwa dari seluruh persalinan, persalinan lama sebesar 31 ,
perdarahan berlebihan sebesar 7 %, infeksi sebesar 5 %. Pada ibu yang melahirkan melalui
bedah sesar 59 % terjadi akibat persalinan yang mengalami komplikasi dimana sebagian
besar merupakan persalinan lama (42 %). Berdasarkan survey ini dilaporkan juga bahwa bayi
yang meninggal dalam usia 1 bulan setelah dilahirkan 39 % terjadi akibat komplikasi
termasuk persalinan lama (30%), perdarahan 12 % dan infeksi 10 %.
Kejadian distosia ditemukan pada nullipara sehat dengan tidak ada indikasi untuk
induksi atau pilihan kelahiran sesar sebanyak 37% (Kjaergaard H, Olsen J, Ottesen B, Dykes
AK, 2009). Sedangkan insidensi distosia bahu bervariasi antara 0,2 dan 1,4 persen, yang
bergantung pada criteria yang digunakan, dengan insidensi lebih rendah jika diagnosis tidak
memerlukan penerepan berbagai perasat untuk mengatasi distosia. Meskipun risiko distosia
bahu berkaitan dengan ukuran bayi, namun banyak kasus terjadi pada bayi yang ukurannya
tidak dianggap berlebihan (Tabel 23-6). Terdapat bukti bahwa insidensi distosia bahu telah
meningkat seiring waktu karena peningkatan berat badan lahir.
Kejadian distosia ditemukan pada nullipara sehat dengan tidak ada indikasi untuk
induksi atau pilihan kelahiran sesar sebanyak 37% (Kjaergaard H, Olsen J, Ottesen B, Dykes
AK, 2009). Sedangkan insidensi distosia bahu bervariasi antara 0,2 dan 1,4 persen, yang
bergantung pada criteria yang digunakan, dengan insidensi lebih rendah jika diagnosis tidak
memerlukan penerepan berbagai perasat untuk mengatasi distosia. Meskipun risiko distosia
bahu berkaitan dengan ukuran bayi, namun banyak kasus terjadi pada bayi yang ukurannya
tidak dianggap berlebihan (Tabel 23-6). Terdapat bukti bahwa insidensi distosia bahu telah
meningkat seiring waktu karena peningkatan berat badan lahir.
Angka kejadian distosia bahu menurut American College of Obstetricians and
Gynecologists (ACOG) adalah 0,6-1,4%. Namun angka kejadian ini bervariasi mulai dari
1 dalam 750 kelahiran hingga 1 dalam 15 kelahiran (Sokol & Blackwell, 2003 dan Poggi
dkk, 2004). Salah satu alasan utama variasi ini adalah kesulitan dalam diagnosis dan adanya
kasus distosia bahu yang tidak dilaporkan karena kondisinya yang bersifat ringan dan dapat
ditangani dengan outcome yang menguntungkan (Allen & Gurewitsch, 2010).
KALSIFIKASI DISTOSIA
Klasifikasi distosia berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi tiga golongan besar, yaitu:
DISTOSIA DISFUNGSIONAL
Distosia disfungsional adalah distosia karena kekuatan-kekuatan yang
mendorong anak tidak memadai (Bratakoesoema, 2005).
Distosia disfungsional dibagi menjadi dua macam yaitu:
A. Distosia Kerena Kelainan His
Distosia karena kelainan his adalah perlambatan persalinan yang
diakibatkan kontraksi uterus abnormal. Gilbert (2007) menyatakan beberapa faktor
yang dicurigai dapat meningkatkan resiko terjadinya distosia uterus sebagai
berikut:
a) Bentuk tubuh (berat badan yang berlebihan, pendek)
b) Kondisi uterus yang tidak normal (malformasi kongenital, distensi yang
berlebihan, kehamilan ganda, atau hidramnion)
c) Kelainan bentuk dan posisi janin
d) Disproporsi cephalopelvic (CPD)
e) Overstimulasi oxytocin
f) Kelelahan, dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit, dan kecemasan
g) Pemberian analgesik dan anastetik yang tidak semestinya
Baik tidaknya kontraksi uterus atau his dapat dinilai dari beberapa kriteria
yaitu:
1. Kemajuan persalian
2. Sifat-sifat his: frekuensi, kekuatan dan lamanya his. Kekuatan his dinilai dari
cara menekan dinding rahim pada puncak kontraksi (Acme).
3. Besarnya caput succedaneum.
Kemajuan persalinan dinilai dari kemajuan pembukaan serviks, kemajuan
turunnya bagian terendah janin, dan bila janin sudah sampai di bidang Hodge III atau
lebih rendah dinilai dari ada atau tidak adanya putaran paksi dalam.
Penilaian kekuatan his dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik, yakni
menilai secara manual sifat-sifat his dengan palpasi atau bantuan CTG (Cardio
tocography). Kekuatan his tidak boleh dinilai dari perasaan nyeri penderita.
His dikatakan kurang kuat jika:
1. Terlalu lemah yang dinilai dengan palpasi pada puncak his.
2. Terlalu pendek yang dinilai dari lamaya kontraksi.
3. Terlalu jarang yang dipantau dari waktu sela antara 2 his.
Dalam pemantauan kemajuan persalinan, ketiga sifat di atas perlu dinilai
secara objektif dengan melakukan penilaian secara manual, yaitu dengan melakukan
palpasi abdomen sekurang-kurangnya selama 10 menit.
Menurut WHO, his dinyatakan memadai bila terdapat his yang kuat sekurang-
kurangnya 3 kali dalam kurun waktu 10 menit dan masing-masing lamanya > 40 detik.
Interval his yang terlampau pendek dan / atau lamanya > 50 detik dapat
membahayakan kesejahteraan janin.
Distosia karena kelainan his dapat dibagi menjadi dua yaitu:
1) Disfungsi hipotonis
Yaitu kontraksi his yang terlalu lemah. Dengan CTG, terlihat tekanan yang
kurang dari 15 mmHg. Tekanan tersebut tidak mencukupi untuk kemajuan
penipisan serviks dan dilatasi. Dengan palpasi, his jarang dan pada puncak
kontraksi dinding rahim masih dapat ditekan ke dalam.
2) Disfungsi hipertonis
Yaitu kontraksi his yang berlebihan dan tidak terkoordinasi. Ibu yang
mengalami disfungsi hipertonis akan sangat merasakan kesakitan. Kontraksi ini
biasa terjadi pada tahap laten,yaitu dilatasi servikal kurang dari 4 cm dan tidak
terkoordinasi. Kekuatan kontraksi pada bagian tengah uterus lebih kuat dari pada
di fundus, karena uterus tidak mampu menekan kebawah untuk mendorong
sampai ke servik. Uterus mungkin mengalami kekakuan diantara kontraksi.
Perbedaan Disfungsi Hipotonis dan Hipertonis
HIPOTONIS HIPERTONIS
Kejadian 4% dari persalinan 1% dari persalinan
Saat terjadinya Fase aktif Fase laten
Nyeri Tidak nyeri Nyeri berlebihan
Fetal distress Lambat terjadi Cepat
Reaksi terhadap oksitosin Baik Tidak baik
Pengaruh sedatif Sedikit Besar
A. B. C.
Gambar A. Letak puncak kepala; B. Letak dahi; C. Letak muka
Presentasi muka dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu:
1. Letak muka primer—disebabkan oleh adanya kelainan pada anak dan tak
dapat diperbaiki, seperti struma kongenitalis, kelainan tulang leher, lilitan tali
pusat yang banyak di leher, meningokel, anensefal, dan anak lahir besar.
Dari letak-letak ini, letak bokong murni paling sering dijumpai. Punggung
biasanya terdapat kiri depan. Frekuensi letak sungsang lebih tinggi pada kehamilan
muda dibandingkan dengan kehamilan aterm dan lebih banyak pada multigravida
daripada primigravida.
Diagnosis letak sungsang adalah ketika pergerakan anak teraba oleh si ibu di
bagian perut bawah, dib bawah pusat, dan ibu sering merasa benda keras (kepala)
mendesak tulang iga. Pada palpasi, akan teraba bagian keras, bundar, dan melenting
pada fundus uteri. Punggung anak dapat diraba pada salah satu sisi perut dan
bagian- bagian kecil pada pihak yang berlawanan. Di atas simfisis, teraba bagian
yang kurang bundar dan lunak.
Bunyi jantung terdengar pada punggung anak setinggi pusat. Jika
pembukaan sudah besar, pada pemeriksaan dalam teraba 3 tonjolan tulang, yaitu
kedua tubera ossis ischii dan ujung os sakrum, sedangkan os sakrum dapat dikenal
sebagai tulang yang meruncing dengan deretan prosesus spinosus di tengah-tengah
tulang tersebut.
Antara tiga tonjolan tulang tadi dapat diraba anus dan genetalia anak, tetapi
jenis kelamin anak hanya dapat ditentukan jika edema tidak terlalu besar. Bokong
harus dibedakan dari muka. Muka dapat disangka bokong karena tulang pipi dapat
mnyerupai tubera ossis ischii, dagu menyerupai ujung os sakrum, sedangkan mulut
disangka anus. Yang menentukan ialah bentuk os sakrum yang mempunyai deretan
prosesus spinosus yang disebut krista sakralis media.
Perbedaan letak kaki dan tangan
1. Pada kaki ada kalkaneus, jadi ada tiga tonjolan tulang ialah mata kaki dan
kalkaneus. Pada tangan, hanya ada mata di pergelangan tangan.
2. Kaki tidak dapat diluruskan terhadap tungkai, selalu ada sudut.
3. Jari kaki jauh lebih pendek dari telapak kaki.
Mekanisme persalinan letak sungsang adalah sebagai berikut:
a) Garis pangkal paha masuk serong ke dalam pintu atas panggul. Pantat depan
memutar ke depan setelah mengalami rintangan dari otot-otot dasar panggul.
Dengan demikian, dapat terjadi laterofleksi badan untuk menyesuaikan diri
dengan lengkungan panggul.
b) Pantat depan tampak terlebih dahulu pada vulva dan dengan trokanter depan
sebagai hipomoklion dan laterofleksi dari badan lahirlah pantat belakang pada
pinggir depan perineum disusul dengan kelahiran pantat depan.
c) Setelah bokong lahir, terjadi putaran paksi luar agar punggung berputar sedikit
ke depan sehingga bahu dapat masuk pintu atas panggul dalam ukuran serong
dari pintu atas panggul. Sesudah bahu turun, terjadilah puatarn paksi dari bahu
sampai ukuran bisakromial dalam ukuran muka belakang dari pintu bawah
panggul. Oleh karena itu, punggung berputar lagi ke samping.
d) Pada saat bahu akan lahir, kepala dalam keadaan fleksi masuk pintu atas
panggul dalam ukuran melintang pintu atas panggul. Kepala ini mengadakan
putaran paksi sedemikian rupa hingga kuduk terdapat di bawah simfisis dan
dagu di sebelah belakang. Berturut-turut lahir pada perineum, seperti: dagu,
mulut, hidung, dahi dan belakang kepala.
Bagi ibu pada letak sungsang tak banyak berbeda dengan prognosis pada
letak kepala; mungkin ruptura perineum lebih sering terjadi. Sebaliknya, prognosis
bagi anak dengan letak sungsang, lebih buruk terutama jika anaknya besar dan
ibunya seorang primigravida.
Kematian anak ±14%. Jika kematian karena prematuritas dikurangi,
kematian anak dengan letak sungsang tetap 3 kali lebih besar daripada kematian
anak letak kepala. Penyebab kematian anak letak sungsang adalah:
1. Setelah pusat lahir, kepala anak mulai masuk ke rongga panggul sehingga tali
pusat tertekan antara kepala dan rongga panggul. Diduga bahwa kepala harus
lahir dalam 8 menit, sesudah pusat lahir supaya anak dapat lahir dengan
selamat.
2. Pada letak sungsang dapat terjadi perdarahan otak karena kepala dilahirkan
dengan cepat.
3. Dapat terjadi kerusakan tulang belakang karena tarikan badan anak.
4. Pada letak sungsang lebih sering terjadi tali pusat menumbung karena bagian
depan anak kurang baik menutup bagian bawah rahim.
4) Letak Lintang
Pada letak lintang, sumbu panjang anak tegak lurus tau hampir tegak lurus
pada sumbu panjang ibu. Pada letak lintang bahu menjadi bagian terendah, yang
disebut sebagai presentasi bahu atau presentasi akromion. Jika punggung terdapat
di sebelah depan disebut dorsoanterior dan jika di belakang disebut
dorsoposterior. Pada inspeksi tampak bahwa perut melebar ke samping dan pada
kehamilan
cukup bulan, fundus uteri lebih rendah dari biasanya, hanya beberapa jari di atas
pusat.
Pada palpasi ternyata bahwa fundus uteri maupun bagian bawah rahim
kosong, sedangkan bagian-bagian besar (kepala dan bokong) teraba di samping kiri
atau kanan di atas fosa iliaka.
Jika tahanan terbesar teraba di sebelah depan, punggung ada di sebelah
depan. Sebaliknya jika teraba tonjolan-tonjolan, ini disebabkan oelh bagian kecil-
kecil sehingga punggung terdapat di sebelah belakang.
Gambar presentasi bahu dengan bahu yang telah jauh masuk ke rongga panggul
Mekanisme persalinan letak lintang adalah sebagai berikut: ada kalanya anak
pada permulaan persalinan dalam letak lintang, berputar sendiri menjadi letak
memanjang. Kejadian ini disebut versio spontanea. Versio spontanea hanya dapat
terjadi jika ketuban masih utuh.
Anak yang menetap dalam letak lintang pada umumnya tidak dapat lahir
spontan, kecuali anak yang kecil atau anak yang mati dan sudah mengalami
maserasi dapat lahir secara spontan.
Dalam kala I dan II anak ditekan dan badan anak melipat sedemikian rupa
sehingga kepala anak mendekati permukaan ventral tubuh anak; akibatnya ukuran
melintang berkurang sehingga bahu dapat masuk ke dalam rongga panggul.
Setelah ketuban pecah, bahu didorong ke dalam rongga panggul dan lengan
yang bersangkutan biasanya menumbung. Akan tetapi, tidak lama kemudian
kemajuan bagian depan ini berhenti.
Rahim menambah kekuatan kontraksi untuk mengatasi rintangan dan berangsur
terjadilah lingkaran retraksi patologis. Jika keadaan ini dibiarkan, terjadilah ruptura
uteri atau his menjadi lemah karena otot rahim kecapaian dan timbullah infeksi
intra uterin sampai terjadi tympania uteri.
Dalam hal ini, kepala tertekan ke dalam perut anak dan seterusnya anak lahir
dalam keadaan terlipat atau conduplicatio corpore. Yang paling dulu tampak dalam
vulva ialah daerah dada di bawah bahu; kepala dan torak melalui rongga panggul
bersamaan.
Cara lain yang memungkinkan kelahiran spontan dalam letak lintang adalah
evolutio spontanea, walaupun jarang sekali terjadi. Evulatio spontanea ada 2 variasi
yaitu:
1. Mekanisme dari Douglas.
2. Mekanisme dari Denman.
Karena his yang kuat, bahu turun dan kepala tertahan pada ramus superior osis
pubis hingga leher teregang. Akhirnya bahu sampai di bawah arkus pubis. Pada saat
ini, terjadi latrofleksi dari tulang belakang.
Pada modus Douglas, laterofleksi terjadi ke bawah dan pada tulang pinggang
bagian atas maka setelah bahu lahir, lahirlah sisi toraks, perut, bokong dan akhirnya
kepala. Sedangkan pada modus denman, laterofleksi terjadi ke atas dan pada tulang
pinggang bagian bawah maka setelah bahu lahir, lahirlah bokong baru kemudian
dada dan kepala.
Letak lintang merupakan letak yang tidak mungkin lahir spontan dan berbahaya
untuk ibu maupun anak. Biarpun bisa lahir spontan anaknya akan lahir mati.Dalam
keadaan tertentu, bila umur kehamilan <30 minggu dan /atau berat anak <1400
gram boleh dicoba persalinan pervaginam.
Sikap ini bisa diambil dengan terlebih dahulu mempertimbangkan nilai anak bagi
si ibu mengingat mungkin anak lahir mati. Sebaliknya, bila akan dilahirkan dengan
seksio sesarea, perlu dipertimbangkan kemampuan perawatan bayi prematur di
NICU sehingga perlu ditentukan untung ruginya tindakan yang akan dipilih bagi ibu
sebelum menetapkan pilihan per vaginam atau seksio.
Penyebab kematian bayi ialah prolapsus funikuli dan asfiksisa karena kontraksi
rahim terlalu kuat. Juga tekukan leher yang kuat dapat menyebabkan kematian.
Prognosis bayi sangat bergantung pada saat pecahnya ketuban. Selama ketuban
masih utuh, bahaya bagi anak dan ibu relatif kecil. Oleh karena itu, kita harus
berupaya supaya ketuban selama mungkin utuh, misalnya:
1. Melarang pasien mengejan.
2. Pasien dengan anak yang melintang tidak dibenarkan berjalan-jalan.
3. Tidak diberi obat augmentasi his.
4. Pemeriksaan dalam dilakukan harus hati-hati jangan sampai memecahkan
ketuban bahkan di luar rumah sakit sedapat-dapatnya jangan dilakukan
pemeriksaan dalam.
Selama ketuban pecah, bahayanya bertambah karena:
1. Dapat terjadi letak lintang ksip jika pembukaan sudah lengkap.
2. Anak dapat mengalami asfiksia karena gangguan sirkulasi utero plasenta.
3. Tali pusat dapat menumbung.
4. Bahaya infeksi bertambah.
5) Presentasi Ganda
Yang dimaksud dengan presentasi ganda adalah jika di samping bagian
terendah teraba anggota badan.
Tangan yang menumbung pada letak bahu tidak disebut letak majemuk,
begitu pula adanya kaki di samping bokong pada letak sungsang tidak termasuk
letak majemuk. Pada letak kepala dapat terjadi :
1. Tangan menumbung.
2. Lengan menumbung.
3. Kaki menumbung.
Pada tangan menumbung hanya teraba jari dan telapak tangan di samping
kepala, tidak teraba pergelangan tangan. Jika juga pergelangan tangan atau bagian
yang lebih proksimal teraba, disebut lengan menumbung. Tangan menumbung
prognosisnya lebih baik dari lengan menumbung karena tangan yang ceper
bentuknya tidak banyak mengambil tempat dibandingkan dengan lengan. Tangan
menumbung pada letak kepala tidak menghalangi turunnya kepala, hanya mungkin
menyebabkan terganggunya putaran paksi. Sebaliknya, lengan menumbung dapat
menghalangi turunnya kepala.
Kaki yang menumbung di samping kepala jarang terjadi pada anak hidup
yang cukup besar, tetapi kemungkinan pada anak yang sudah mengalami maserasi.
Pada
monstrum dan anak kecil, juga dapat terjadi padakehamilan kembar yang disamping
kepala anak I menumbung kaki anak II dalam letak sungsang.
Pada letak sungsang jarang sekali tangan teraba di samping bokong dan
keadaan ini biasanya tidak menimbulkan kesukaran. Pada letak majemuk sering juga
tali pusat menumbung dan hal ini sangat mempengaruhi prognosis. Keadaan ini
tidak selalu terdiagnosis dengan pemeriksaan dalam, terutama bila tali pusat
terletak di samping kepala (occult prolapse), bila pemantauan persalinan dilakukan
dengan CTG kompresi pada tali pusat (tali pusat tertekan antara kepala anak dan
panggul) akan memberikan gambaran deselerasi variabel yang bisa berarti adanya
gawat janin.
DISTOSIA KARENA KELAINAN JANIN
1) Pertumbuhan janin yang berlebihan
Yang dinamakan bayi besar ialah bila berat badannya lebih dari 4000 gram.
Kepala dan bahu tidak mampu menyesuaikannya ke pelvis, selain itu distensi uterus
oleh janin yang besar mengurangi kekuatan kontraksi selama persalinan dan
kelahirannya. Pada panggul normal, janin dengan berat badan 4000-5000 gram pada
umumnya tidak mengalami kesulitan dalam melahirkannya.
2) Hidrosefalus
Hidrosefalus adalah keadaan dimana terjadi penimbunan cairan
serebrospinal dalam ventrikel otak, sehingga kepala menjadi besar sehingga terjadi
pelebaran sutura-sutura dan ubun-ubun. Hidrosefalus sering disertai cacat bawaan
lain, seperti spina bifida. Hidrosefalus sering pula menimbulkan distosia bahkan
ruptura uteri dan anak lahir dalam keadaan sungsang karena kepala terlalu besar
untuk masuk ke dalam pintu atas panggul.
3) Kelainan Bentuk Janin Yang Lain
a. Janin kembar melekat (double master)
Torakopagus(pelekatan pada dada) merupakan janin kembar melekat yang
paling sering menimbulkan kesukaran persalinan.
b. Janin dengan perut besar
Pembesaran perut yang menyebabkan distocia, akibat dari asites atau tumor
hati, limpa, ginjal dan ovarium jarang sekali dijumpai.
4) Prolapsus Foeniculi
Keadaan dimana tali pusat berada disamping atau melewati bagian
terendah janin didalam jalan lahir setelah ketuban pecah. Pada presentasi kepala,
prolaksus funikuli sangat berbahaya bagi janin, karena setiap saat tali pusat dapat
terjepit antara bagian terendah janin dengan jalan lahir dengan akibat gangguan
oksigenasi.
DYSTOSIA KARENA KELAINAN TRAKTUS GENITALIS
1) Vulva
Kelainan pada vulva yang menyebabkan distosia adalah edema, stenosis,
dan tumor. Edema biasanya timbul sebagai gejala preeklampsia dan terkadang
karena gangguan gizi. Pada persalinan jika ibu dibiarkan mengejan terus jika
dibiarkan dapat juga mengakibatkan edema. Stenosis pada vulva terjadi akibat
perlukaan dan peradangan yang menyebabkan ulkus dan sembuh dengan parut-
parut yang menimbulkan kesulitan. Tumor dalam neoplasma jarang ditemukan.
Yang sering ditemukan kondilomata akuminata, kista, atau abses glandula bartholin.
2) Vagina
Yang sering ditemukan pada vagina adalah septum vagina, dimana septum
ini memisahkan vagina secara lengkap atau tidak lengkap dalam bagian kanan dan
bagian kiri. Septum lengkap biasanya tidak menimbulkan distosia karena bagian
vagina yang satu umumnya cukup lebar, baik untuk koitus maupun untuk lahirnya
janin. Septum tidak lengkap kadang-kadang menahan turunnya kepala janin pada
persalinan dan harus dipotong terlebih dahulu.
Stenosis vagina yang tetap kaku dalam kehamilan merupakan halangan
untuk lahirnya bayi, perlu dipertimbangkan seksio sesaria. Tumor vagina dapat
menjadi rintangan pada lahirnya janin per vaginam
3) Servik uteri
Konglutinasio orivisii externi merupakan keadaan dimana pada kala I servik
uteri menipis akan tetapi pembukaan tidak terjadi, sehingga merupakan lembaran
kertas dibawah kepala janin. Karsinoma servisis uteri, merupakan keadaan yang
menyebabkan distosia.
4) Uterus
Mioma uteri merupakan tumor pada uteri yang dapat menyebabkan distosia
apabila mioma uteri menghalangi lahirnya janin pervaginam, adanya kelainan letak
janin yang berhubungan dengan mioma uteri, dan inersia uteri yang berhubungan
dengan mioma uteri.
5) Ovarium
Distosia karena tumor ovarium terjadi apabila menghalangi lahirnya janin
pervaginam. Dimana tumor ini terletak pada cavum douglas. Membiarkan
persalinan berlangsung lama mengandung bahaya pecahnya tumor atau ruptura
uteri atau infeksi intrapartum.
DYSTOSIA KARENA RESPON PSIKOLOGIS
1) Stress yang diakibatkan oleh hormon dan neurotransmitter (seperti catecholamines)
dapat menyebabkan distosia. Sumber stress pada setiap wanita bervariasi, tetapi
nyeri dan tidak adanya dukungan dari seseorang merupakan faktor penyebab stress.
2) Cemas yang berlebihan dapat menghambat dilatasi servik secara normal, persalinan
berlangsung lama, dan nyeri meningkat. Cemas juga menyebabkan peningkatan
level strees yang berkaitan dengan hormon (seperti: β endorphin,
adrenokortikotropik, kortisol, dan epinephrine). Hormon ini dapat menyebabkan
distosia karena penurunan kontraksi uterus.
PATOFISIOLOGI DISTOSIA
(Terlampir)
Seorang wanita yang hamil dan melahirkan kembali dengan jarak yang
pendek dari kehamilan sebelumnya, akan memberikan dampak yang buruk
terhadap kondisi kesehatan ibu dan bayi. Hal ini disebabkan, karena bentuk
dan fungsi organ reproduksi belum kembali dengan sempurna. Sehingga
fungsinya akan terganggu apabila terjadi kehamilan dan persalinan kembali.
Jarak kehamilan minimal agar organ reproduksi dapat berfungsi kembali
dengan baik adalah 24 bulan. Jarak antara dua persalinan yang terlalu dekat
menyebabkan meningkatnya anemia yang dapat menyebabkan BBLR, kelahiran
preterm, dan lahir mati, yang mempengaruhi proses persalinan dari faktor bayi
(passager).
Jarak kehamilan yang terlalu jauh berhubungan dengan bertambahnya
umur ibu. Hal ini akan terjadi proses degeneratif melemahnya kekuatan fungsi-
fungsi otot uterus dan otot panggul yang sangat berpengaruh pada proses
persalinan apabila terjadi kehamilan lagi. Konstraksi otot-otot uterus dan
panggul yang lemah menyebabkan kekuatan his (power) pada proses
persalinan tidak adekuat, sehingga banyak terjadi partus lama / tak maju.
Menurut Supriyati dkk, jarak kehamilan atau persalinan merupakan
faktor risiko kejadian distosia persalinan dengan nilai OR 8,17 (95% CI : 2,04-
34,79). Hal ini berarti ibu hamil yang memiliki jarak kurang dari 2 tahun atau
lebih dari 10 tahun dengan kehamilan sebelumnya memiliki risiko 8,17 kali
untuk terjadi distosia dibandingkan ibu hamil dengan jarak 2 tahun hingga 10
tahun dengan kehamilan sebelumnya.
d. Pendidikan Ibu
Dalam studi Al-Najashs (1989), tingkat distosia bahu pada bayi dengan
berat lebih dari 4000 gram yang lahir dari ibu diabetes adalah 15,7%.
Sedangkan bayi lahir dari ibu nondiabetes memiliki tingkat distosia bahu 1,6%.
Casey (1997),
dalam sebuah penelitian lebih dari 62.000 pasien, menemukan tingkat distosia
bahu di populasi ibu yang bersalin 0,9% sedangkan pada pasien dengan
diabetes gestasional 3%.
Faktor Penyebab Distosia
1. Distosia Karena Kelainan His
2. Distosia Karena Kelainan Presentasi, Posisi Atau kelainan Janin
3. Distosia Karena Kelainan Jalan Lahir
Faktor resiko his :
1) Usia dan paritas
Terutama pada primigravida. Sekitar 95 % dari kasdus-kasus berat terjadi
dalam persalinan pertama, dan uterus hampir selalu lebih efisien pada kehamilan
berikutnya. Insidensi pada primigravida lanjut usia hanya sedikit lebih tinggi
dibandingkan pada wanita muda.
2) Kondisi emosi dan kejiwaan
Dikatakan bahwa rasa takut meningkatkan tegangan pada segmen bawah
uterus. Akan tetapi, ada wanita tenang yang mengalami persalinan sulit dan ada
wanita yang amat emosional yang melahirtkan dengan mudah. Kebanyakan
kelainan berat pada system saraf pusat tidak memberikan pengaruh yang
merugikan pada persalinan.
3) Kelainan uterus
Yang pasti, kelainan congenital uterus, uterus yang fungsinya tidak
lengkap atau uterus bikornis akan mengganggu persalinan.
4) Pecahnya ketuban
Ketuban yang pecah sebelum serviks mendatar masih keras, tebal, dan
tertutup tentu menghasilkan persalinan yang lama dan tidak efisien.
5) Gangguan mekanis dalam hubungan janin dengan jalan lahir
Bagian terendah yang menempel baik pada serviks dan segmen pada
uterus pada kala I persalinan dan dengan vagina serta perineum pada kala II akan
menghasilkan rangsangan reflex yang baik pada myometrium. Segala sesuatu yang
menghalangi hubungan baik ini akan menyebabkan kegagalan reflex tersebut, dan
akaibatnya timbullah kontraksi yang jelek. Hubungan antara posisi posterior, sikap
ekstensi dan posisi melintang yang macet (transverse arrest) dengan kerja urterus
yang salah telah diketahui dengan baik. Mal posisi menyebabkan gangguan
uterus, dan jika keadaan ini bias diperbaiki, meka kontraksi kerap kali menjadi
lebih baik. Penurunan yang lambat dan pembebtujan bawah uterus tidak lengkap
merupakan tanda dini inkoordinasi rahim. Disporsisi cephalopelvic dalam derajat
yang ringan menjadi predisposisi timbuknya kerja uterus yang tidak koordinasi
atau his hipertonik.
6) Iritasi uterus
Rangsangan yang tidak tepat pada uterus oleh obat-obatan atau oleh
tindakan manipulasi intrauterine dapat mengakibatkan his hipertonik (oksitosin
yang berlebihan).
Gilbert (2007) menyatakan beberapa faktor yang dicurigai dapat meningkatkan
resiko terjadinya distosia uterus sebagai berikut:
- Bentuk tubuh (berat badan yang berlebihan, pendek)
- Kondisi uterus yang tidak normal (malformasi kongenital, distensi yang berlebihan,
kehamilan ganda, atau hidramnion)
- Kelainan bentuk dan posisi janin
- Disproporsi cephalopelvic (CPD)
- Overstimulasi oxytocin
- Kelelahan, dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit, dan kecemasan
- Pemberian analgesik dan anastetik yang tidak semestinya
respirasi).
b. Kardiotokografi (CTG)
Alat Kardiotokografi (CTG) atau juga disebut Fetal Monitor merupakan salah
satu alat elektronik yang digunakan untuk tujuan melakukan pemantauan kesejahteraan
dan kondisi kesehatan janin. Pemeriksaan umumnya dapat dilakukan pada usia
kehamilan 7- 9 bulan dan pada saat persalinan. Pemeriksaan CTG diperoleh informasi
berupa signal irama denyut jantung janin (DJJ), gerakan janin dan kontraksi rahim.
Pemeriksaan dengan kardiotokografi merupakan salah satu upaya untuk
menurunkan angka kematian perinatal yang disebabkan oleh penyakit penyulit hipoksi
janin dalam rahim. Pada dasarnya pemantauan ini bertujuan untuk mendeteksi adanya
gangguan yang berkaitan hipoksi janin dalam rahim, seberapa jauh gangguan tersebut
dan akhirnya menentukan tindak lanjut dari hasil pemantauan tersebut. Pada saat
bersalin kondisi janin dikatakan normal apabila denyut jantung janin dalam keadaan
reaktif, gerakan janin aktif dan dibarengi dengan kontraksi rahim yang adekuat.
Kontraksi uterus dinyatakan adekuat jika mencapai 50-60 mmHg. Tekanan intrauterin
<15 mmHg dapat dinyatakan sebagai inersia uteri hipotonis.
c. Palpasi Abdomen
Palpasi abdomen bertujuan untuk mendapatkan data dasar yang diperlukan
untuk menentukan presentasi janin dengan pemeriksaan Leopold. Selain itu, palpasi
abdomen ini juga berguna untuk mengkaji kemajuan persalinan melalui pengkajian
kontraksi uterus. Kontraksi uterus dapat dirasakan sebagai pengerasan di bawah dinding
abdomen. Kontraksi diawali di daerah fundus kemudian menjalar ke bawah dan ke
seluruh uterus seperti gelombang. Kontraksi terkeras terjadi di fundus dan melemah
pada bagian uterus yang lain (dominan fundus). Oleh karena itu, kontraksi lebih mudah
dipalpasi dengan meletakkan telapak tangan di bagian fundus. Pemeriksa dapat
mengkaji frekuensi kontraksi dengan menetapkan lamanya jarak antara awitan
kontraksi yang satu dengan yang lainnya. Tonus istirahat uterus juga harus diobservasi
dengan mengkaji tonus di antara dua kontraksi. Dengan cara ini pemeriksa dapat
menetapkan apakah kontraksi mengalami peningkatan lama, kuat dan frekuensinya,
yang biasa terjadi pada persalinan normal. Kontraksi uterus dinyatakan baik jika
terdapat his yang kuat sekurang- kurangnya 3 kali dalam 10 menit dan masing-masing
lamanya >40 detik (Johnson, 2001).
d. Pelvimetri Klinis
Pengukuran panggul (pelvimetri) merupakan cara pemeriksaan yang penting
untuk mendapatkan keterangan tentang keadaan panggul. Pada wanita dengan tinggi
badan kurang dari 150 cm dapat dicurigai adanya kesempitan panggul. Pelvimetri
dengan pemeriksaan dalam (manual) mempunyai arti yang penting untuk menilai secara
agak kasar pintu atas panggul serta panggul tengah, dan untuk memberi gambaran yang
jelas mengenai pintu bawah panggul.
Dengan pelvimetri rontgenologik diperoleh gambaran yang jelas tentang bentuk
panggul dan ukuran-ukuran dalam ketiga bidang panggul. Akan tetapi pemeriksaan ini
dalam masa kehamilan beresiko, khususnya bagi janin. Menurut English James,dkkCT
pelvimetri tingkat radiasinya terhadap janin lebih kurang sepertiga dari tingkat radiasi
secara X-ray pelvimetri sehingga lebih aman penggunaannya, namun tetap saja
membahayakan janin. Oleh sebab itu tidak dapat dipertanggung jawabkan untuk
menjalankan pelvimetri rontgenologik secara rutin pada masa kehamilan, kecuali atas
indikasi yang kuat.
e. USG
USG (Ultrasonography) adalah alat bntu diagnostik yang sangat berguna untuk
memantau keadaan janin selama masa kehamilan. USG bekerja dengan cara
menghantarkan gelombang suara yang memiliki frekuensi antara 3,5 - 7,0 MegaHrtz
(MHz) ke janin atau pembulu darah dan akan dipantulkan kembali dalam bentuk gambar
yang dapat kita lihat di monitor USG.
Dengan USG dapat diketagui struktur jaringan janin dengan baik. Instrumen ini
berbeda dengan sarana diagnostik lain, seperti X-Ray dan CT-Scan yang memiliki tingkat
radiasi yang tinggi. USG tidak memberikan efek reaksi ionisasi terhadap tubuh, sehingga
tidak merusak jaringan. Hingga saat ini belum ada laporan adanya efek biologis
merugikan yang ditimbulkan oleh pemeriksaan USG pada kehamilan.
USG dalam kehamilan memiliki fungsi utama yaitu untuk mengetahui lokasi
kehamilan/ janin, jumlah janin, serta keadaan organ kelamin ibu bagian dalam, seperti
bentuk rahim dan kedua indung telur. Selain itu USG juga dapat digunakan untuk
memeriksa konfirmasi kehamilan, usia kehamilan, pertumbuhan dan perkembangan
bayi dalam kandungan, adanya ancaman keguguran, masalah pada plasenta,
kemungkinan kehamilan kembar, volume cairan ketuban, kelainan letak janin dan jenis
kelamin bayi.
ANALISA DATA
Data Etiologi Masalah
Ds: Kelainan HIS, jalan lahir, malformasi Nyeri akut
mengeluh nyeri fetal
merintih ↓
Kelainan power/ kekuatan dan
DO: gangguan pada jalan lahir
Perubahan curah jantung ↓
Perubahan laju pernafasan Kontraksi pelvic tidak efisien dalam
pembukaan
↓
Pengeluaran janin terhambat
↓
Distosia
↓
Persalinan pervaginam
↓
Tekanan kepala janin pada serviks
↓
Luka pada serviks
↓
Nyeri akut
Ds: Kelainan his, kelainan jalan lahir, Risiko Tinggi Cedera
- Pasien mengeluh kelainan bentuk dan jalan lahir Maternal
keletihan, kurang ↓
energi, letargi, sehingga Pembukaan serviks dan kekuatan
kontraksi menurun mendorong janin tidak adekuat
- Klien mengatakan ↓
pernah mengalami Janin kesulitan melewati PAP
distosia sebelumnya ↓
Do: Kontraksi Tonus otot miometrium
- Ada kelainan bentuk menurun / berhenti secara
panggul sekunder
- His kurang semenjak ↓
awal persalinan atau Kesulitan persalinan
menurun saat ↓
persalinan Partus lama
- Frekuensi dan lamanya ↓
kontraksi kurang dari 3 Obstruksi mekanis pada penurunan
kontraksi per menit dan / pengeluaran janin
kurang dari 40 detik ↓
(inersi uteri). Risiko Tinggi Cedera Maternal
- Terjadi inersia uteri
sekunder (berhentinya
kontraksi otot-otot
uterus secara sekunder).
- Uterus biasanya
mengalami distensi
karena hidramnion /
gemeli
- Terdapat tanda ruptur
uteri imminens (karena
ada obstruksi).
- Adanya plasenta previa
- Serviks kaku atau tidak
siap untuk persalinan
- Pembukaan serviks
tidak melewati 3 cm
sesudah
8 jam in partu
(perpanjangan fase
laten)
- Penurunan janin kurang
dari 1 cm/jam pada
nulipara atau kurang
dari 2 cm/jam pada
mutipara bahkan tidak
ada kemajuan
- Pembukaan serviks
lengkap tetapi kepala
tetap pada posisinya
( dalam vagina) walau
ibu mengedan
sekuat mungkin, tidak
ada kemajuan
penurunan
(kala II lama).
Ds Kelainan HIS, jalan lahir, malformasi Ansietas
- Ibu menanyakan fetal
kondisi janin dan ↓
dirinya Kelainan power/ kekuatan dan
Do gangguan pada jalan lahir
- Wajah nampak cemas, ↓
gelisah dan letih Kontraksi pelvic tidak efisien dalam
- RR dan nadi meningkat pembukaan
- Pucat ↓
- TD meningkat Pengeluaran janin terhambat
↓
Distosia
↓
janin sulit keluar
↓
persalinan memanjang
↓
Ibu cemas akan kondisi janin
↓
Ansietas
DS: Kelainan HIS, jalan lahir, malformasi Resiko tinggi cedera
fetal janin
↓
DO: Kelainan power/ kekuatan dan
penekanan kepala pada gangguan pada jalan lahir
panggul ↓
partus lama Kontraksi pelvic tidak efisien dalam
DJJ abnormal pembukaan
↓
Pengeluaran janin terhambat
↓
Distosia
↓
janin sulit keluar
↓
persalinan memanjang
↓
resiko cidera pada janin
Keterangan :
1. Never demonstrated
2. Rarely demonstrated
3. Sometimes demonstrated
4. Often demonstrated
5. Consistently demonstrated
NOC : Pain level
No. Indicator 1 2 3 4 5
1 Lama nyeri
4 RR
5 TD
Ket:
1= severe
2= substantial
3= moderate
4= mild
5= none
Intervensi: managemen nyeri
1. melakukan tidakan yang komprehensif mulai dari lokasi nyeri, karakteristik, durasi,
frequensi, kualitas, intensitas, atau keratnya nyeri dan factor yang berhubungan.
2. observasi isyarat ketidak nyamanan khususnya pada ketidak mamapuan
mengkomunikasikan secara efektif.
3. memberi perhatian perawatan analgesic pada pasien.
4. menggunakan strategi komunikasi terapeutik untuk menyampaikan rasa sakit dan
menyampaikan penerimaan dari respon pasien terhadap nyeri.
5. mengeksplorasi pengetahuan pasien dan keyakinan tentang rasa sakit.
6. mempertimbangkan pengaruh budaya pada respon nyeri.
7. menentukan dampak dari pengalaman rasa sakit dari pengalaman nyeri pada
kualitas hidup (tidur, nafsu makan, aktivitas, kognisi, mood, hubungan, kinerja kerja,
dan tanggung jawab peran).
8. memberi tahu pasien tentang hal-hal yang dapat memperburuk nyeri
9. kaji pengalaman nyeri klien dan keluarga, baik nyeri kronik atau yang menyebabkan
ketidaknyamanan
10. ajarkan prinsip manajemen nyeri
11. ajarkan tentang metode farmakologis mengenai gambaran nyeri
12. ajarkan penggunaan teknik non farmakologi, seperti relaksasi, terapi music, terapi
bermain, terapi aktifitas, sebelum,sesudah,dan jika memungkinkan selama nyeri
berlangsung, sebelum nyeri itu terjadi atau meningkat dan lama dengan gambaran
nyeri lainnya.
2. Diagnosa: Risiko Tinggi Cedera Maternal partus lama, intervensi penanganan distosia
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam risiko cedera
maternal pada ibu berkurang dengan kriteria Hasil :
NOC : Maternal Status : Intrapartum
No. Indicator 1 2 3 4 5
1 Frekuensi kontraksi uterus
Interverensi :
Labor Induction
1. Review obstetrical history for pertinent information that may influence induction
2. Monitor maternal and fetal vital sign before induction
3. Perform or assist with application of mechanical or pharmacological agents (e.g.
laminaria and prostaglandin gel) to enhance cervical readiness
4. Observe for onset or change in uterine activity
5. Initiate IV medication (oxytocin) to stimulate uterine activity
6. Monitor labor progress closely, being alert
3. Diagnosa: Anxietas b.d ancaman kematian ditandai dengan gelisah dan rasa nyeri yang
meningkatkan ketidakberdayaan
Tujuan : setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 1x 24 jam, rasa cemas
klien dapat teratas
Kriteria hasil :
NOC : Pain level : overall rating
No. Indicator 1 2 3 4 5
1. Panic attack
2. Verbalized anxiety
3. Fatique
Keterangan :
1 = severe
2 = substantial
3 = moderate
4= mild
5 = none
Interverensi
jelaskan semua prosedur yang akan dilakukan
berikan pengertian kepada pasien mengenai stress tinggi yang dialaminya
berikan informasi yang factual mengenai diagnosis pasien, treatment dan diagnosis
temani pasien disampingnya
bangun atmospir yang membuat kepercayaan pasien pada perawat tinggi
identifikasi perubahan level cemas pasien
instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi
4. Diagnosa: risiko tinggi cedera janin yang b.d penekanan kepala pada panggul, partus
lama, dan CPD
Tujuan umum: cedera pada janin dapat dihindari
Tujuan khusus:
- DJJ dalam batas normal
- Kemajuan persalinan baik
Intervensi:
Mandiri
a. Melakukan maneuver Leopold untuk menentukan posisi janin dan presentasi
b. Dapatkan data dasar DJJ secara manual dan/atau elektronik. Pantau dengan sering,
perhatikan variasi DJJ dan perubahan periodic pada respons terhadap kontraksi
uterus
c. Catat kemajuan persalinan
d. Inspeksi perineum ibu terhadap kutil vagina, lesi herpes, atau rabas klamidial
e. Catat DJJ bila ketuban pecah setiap 15 menit
f. Posisi ibu miring ke arah posisi punggung janin
g. Siapkan untuk pemindahan rumah sakit sesuai indikasi bila ibu di rumah atau pusat
kelahiran alternative
Rasional:
a. Berbaring transversal atau presentasi bokong memerlukan kelahiran caesarea.
Abnormalitas lain seperti presentasi wajah, dagu, dan posterior juga dapat
memerlukan intervensi khusus untuk mencegah persalinan yang lama.
b. DJJ harus direntang dari 120-160 dengan variasi rata-rata, percepatan dengan
variasi rata-rata, percepatan dalam respons terhadap aktivitas maternal, gerakan
janin, dan kontraksi uterus
c. Persalinan lama/disfungsional dengan perpanjangan fase laten dapat menimbulkan
masalah kelelahan ibu, stress berat, infeksi berat, dan hemoragi karena
atonia/rupture uterus, menempatkan janin pada resiko lebih tinggi terhadap
hipoksia dan cedera
d. Penyakit hubungan kelamin yang didapat oleh janin selama proses melahirkan
dianjurkan persalinan dengan seksio caesaria. Khususnya ibu dengan virus herpes
simplek tipe II
e. Perubahan pada tekanan cairan amnion dengan rupture atau variasi deselerasi DJJ
setelah robek dapat menunjukkan kompresi tali pusat yang menurunkan transfer
oksigen ke janin.
f. Meningkatkan perfusi plasental mencegah sidrom hipotensif telentang
g. Gangguan status fetal atau identifikasi kondisi maternal memerlukan observasi lebih
ketat dan dapat menandakan kebutuhan intervensi terapeutik
DAFTAR PUSTAKA
Reeder, et al. 2012. Keperawatan Maternitas : Kesehatan Wanita, Bayi, Lansia, & Keluarga
Volume: 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta
Yuli kusumawati. 2006.faktor-faktor resiko yang berpengaruh terhadap persalinan dengan
tindakan (studi kasus di RS. Dr. Moewardi Surakarta
Doenges, Marilyn E dan Mary Frances Moorhouse. 2001. Rencana Perawatan Maternal/Bayi.
Jakarta:EGC.
Manuaba. 2007. Pengantar kuliah obstetrik . Jakarta : EGC
Sastrawinata, Sulaiman. 2004. Ilmu Kesehatan Reproduksi: Obstetri Patologi. Jakarta: EGC
Depkes RI. 2004. Asuhan Persalinan Normal. Jakarta :Jaringan Nasional Pelatihan Klinik
Kesehatan Reproduksi
Achadiat, Chrisdiono. 2004. Prosedur tetap obstetric dan ginekologi. Jakarta : EGC
Chandranita, ida ayu, dkk. 2009. Buku ajar patologi obstetric untuk mahasiswa kebidanan.
Jakarta:EGC.
Chandranita, ida ayu, dkk. 2009. Memahami kesehatan reproduksi wanita. Jakarta:EGC.
Mckinney, Emily Slone, dkk. 2009. Maternal Child Nursing. Canada: Library of Congress
Catologing in Publication Data.
Moorhead, Sue, dkk. 2008. Nursing Outcome Classification (NOC). United States of America:
Mosby.
Prawirohardjo, sarwono. 1997. Ilmu kebidanan edisi 4. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Stright, Barbara R. 2004. Keperawatan ibu-bayi baru lahir edisi 3. Jakarta: EGC.
Bratakoema, Dinan. S. 2003. Ilmu Kesehatan Reproduksi: Obstetri Patologi. Jakarta: EGC.
121-170.