Anda di halaman 1dari 13

BLOK 16 : BLOK REPRODUKSI

PENUGASAN III

ANALISIS FILM

SEKSIO SESAREA

DISUSUN OLEH
FATROSDIANA
H1A013023

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM


2016

1. Definisi Seksio Sesarea


Seksio sesarea adalah sutu tindakan pembedahan dengan tujuan untuk melahirkan
bayi dengan membuka dinding perut (laparotomi) dan dinding uterus (histeretomi)
dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500

gram

(Wiknjosastro, 2007). Terdapat beberapa istilah dalam seksio sesarea yaitu :


a. Seksio sesarea primer (elektif)
Dari semula telah direncanakan bahwa janin akan dilahirkan secara seksio sesarea,
tidak diharapkan lagi kelahiran biasa, misalnya pada panggul sempit (CV kecil dari 8
cm).
b. Seksio sesarea sekunder
Dalam hal ini kita bersikap mencoba menunggu kelahiran biasa (partus percobaan),
bila tidak ada kemajuan persalinan atau partus percobaan gagal, baru dilakukan seksio
sesarea.
c. Seksio sesarea ulang (repeat caesarean section)
Ibu pada kehamilan yang lalu mengalami seksio sesarea (previous sesarean section)
dan pada kehamilan selanjutnya dilakukan seksio sesarea ulang.
d. Seksio sesarea histerektomi (caesarean section hysterectomy)
Adalah suatu operasi dimana setelah janin dilahirkan dengan seksio sesarea, langsung
dilakukan histerektomi, misalnya pada keadaan infeksi rahim yang berat

2. Perkembangan dan Epidemiologi Seksio Sesarea


Pada awalnya kata sesarea (caesarean) masih belum jelas, namun ada yang
menyatakan jika Julius Caesar dilahirkan dengan cara ini sehingga tindakan tersebut
dikenal dengan nama operasi Caesar. Kemudian dari pemahaman yang berbeda, nama
operasi ini berasal dari sebuah hukum Romawi yang dibuat oleh Numa Pompillius (abad
ke-8 SM), dimana prosedur ini dilakukan pada wanita yang sekarat di beberapa minggu
terakhir kehamilan dengan tujuan untuk menyelamatkan janin dalam perutnya.
Penjelasan ini menyatakan bahwa suatu hukum yang disebut lex regia berubah menjadi
lex caesarea dibawah kekaisaran dan dikenal menjadi operasi sesarea. Selain itu, kata
caesarean berasal dari bahasa latin caedere yang artinya memotong atau menyayat.
Pembedahan tersebut pertama kali dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1827.
Sebelumnya jarang dikerjakan karena dapat bersifat fatal. Di London dan Endiburgh
pada tahun 1877, dari 35 pembedahan caesarea terdapat 33 kematian ibu. Menjelang

tahun 1877 sudah dilaksanakan 71 kali pembedahan caesarea di Amerika Serikat. Angka
mortilitasnya 52 % persen yang terutama disebabkan oleh infeksi dan perdarahan
(Cunningham et al., 2005)
Angka kejadian seksio sesarea terus meningkat di beberapa Negara meskipun
dengan risiko yang tinggi, termasuk di Indonesia. Saat ini persalinan seksio sesarea
bukan saja karena adanya indikasi dari ibu ataupun bayinya, tetapi karena ada
permintaan pasien sendiri (Patted, 2011). Hasil beberapa penelitian melaporkan bahwa
bayi yang dilahirkan melalui persalinan seksio sesarea mengalami asfiksia sebesar
57,1%. Penelitian Hansen et al yang dikutip dari Pandensolang (2012), melaporkan lebih
dari 34.000 kelahiran dengan peningkatan risiko asfiksia berbeda menurut umur
kehamilan saat bersalin
Menurut data WHO, angka persalinan seksio sesarea di dunia terus meningkat.
Pada tahun 1970an sekitar 5-7% dari seluruh persalinan, dan kemudian pada tahun 1987
meningkat menjadi 24,4%. Lalu pada tahun 1996, dengan berbagai upaya diusahakan
agar persalinan seksio sesarea dapat diturunkan sehingga menjadi 22,8% dan terus
ditekan hingga stabil di kisaran 15-18%. Kemudian untuk hasil survei WHO tahun 20042008 di tiga benua yaitu Amerika Latin, Afrika dan Asia diketahui angka kejadian seksio
sesarea terendah di Angola yaitu 2,3% dan tertinggi di Cina sebesar 46,2%. Demikian
juga angka persalinan seksio sesarea di Asia meningkat tajam. Hasil penelitian di
Thailand memperlihatkan persalinan seksio sesarea pada tahun 1990 sekitar 15,2% dan
pada tahun 1996 menjadi 22,4%. Di Cina, angka persalinan seksio sesarea pada tahun
2003 sebesar 19,2% dan pada tahun 2011 meningkat tajam menjadi 36,3% (Souza et al.,
2014; Meng et al., 2012).
Di Indonesia, angka persalinan seksio sesarea meningkat sangat tajam terutama di
kota-kota besar. Berdasarkan data Riskesdas 2010 menunjukkan angka kejadian seksio
sesarea sebesar 15,3%, terendah di Sulawesi Tenggara 5,5% dan tertinggi di DKI Jakarta
27,2%. Angka persalinan SS di RS Sanglah Denpasar pada tahun 2001 sekitar 22,3 %,
dan pada tahun 2006 meningkat sampai 34,5% (Gondo, 2006). Selain itu, menurut
WHO tahun 2011 dilaporkan angka kejadian seksio sesarea meningkat 5 kali
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Di Indonesia berdasarkan survei demografi
dan kesehatan pada tahun 2011, angka persalinan secara seksio sesarea secara
nasional rata-rata 22,5% dari seluruh persalinan.

Pada kasus seksio sesarea angka mortalitas dua kali angka pada persalinan
pervaginam, disamping itu angka morbiditas yang terjadi akibat infeksi, kehilangan
darah, dan kerusakan organ internal lebih tinggi pada persalinan seksio sesarea (Kulas,
2008). Mengacu pada WHO, Indonesia mempunyai kriteria angka seksio sesarea standar
antara 15 - 20% untuk RS rujukan. Angka kejadian ruptur uteri di Rumah Sakit Umum
Provinsi NTB tahun 2012 sejumah 4 kasus (0,14%) dari total 2.706 persalinan. Tiga
diantaranya terjadi pada ibu dengan bekas seksio sesarea
.
3. Indikasi dan Kontraindikasi SC
Indikasi

seksio

sesarea

dilakukan

apabila

diambil keputusan penundaan

persalinan yang lebih lama akan menimbulkan bahaya serius bagi ibu, janin, bahkan
keduanya, atau bila tidak dimungkinkan dilakukan persalinan pervaginam secara aman.
Adapun indikasi dilakukannya seksio sesarea dibedakan menjadi 3 yaitu:
a. Indikasi Ibu
1. Usia ibu melahirkan pertama kali diatas usia 35 tahun atau wanita usia 40 tahun ke
atas.
2. Adanya ancaman robekan rahim.
3. Ibu kelelahan.
4. Penyakit ibu yang berat seperti penyakit jantung, paru, demam tinggi, preeklampsia berat atau eklampsia serta HIV.
5. Faktor hambatan jalan lahir, karena terdapat tumor atau mioma yang
menyebabkan persalinan terhambat atau tidak maju.
6. Disproporsi sefalo-pelvis, yaitu ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai dengan
ukuran lingkar kepala janin.
7. kegagalan melahirkan secara normal karena kurang kuatnya stimulasi
8. stenosis serviks, plasenta previa, dan ruptur uteri.

b. Indikasi Janin
1. Bayi terlalu besar atau berat bayi sekitar 4000 gram atau lebih.
2. Malpresentasi atau malposisi, yaitu letak bayi dalam

rahim

tidak

menguntungkan untuk persalinan pervaginam. Misalnya pada posisi transversal


dan presentasi sungsang.
3. Distress janin, terjadi perubahan kecepatan denyut jantung janin yang dapat
menunjukkan suatu masalah pada bayi. Perubahan kecepatan denyut jantung,

dapat terjadi jika tali pusat tertekan atau berkurangnya aliran darah yang
teroksigenasi ke plasenta.
4. Faktor plasenta, misalnya pada kasus plasenta previa, keadaan dimana plasenta
menutupi sebagian leher rahim. Pada saat leher rahim melebar, plasenta terlepas
dari rahim dan menyebabkan perdarahan, yang dapat mengurangi pasokan
oksigen ke janin. Tidak dimungkinkan dilakukan persalinan pervaginam karena
plasenta akan keluar sebelum bayi lahir.
5. Kelainan tali pusat, misalnya pada prolaps tali pusat terjadi bila tali pusat turun
melalui leher rahim sebelum bayi, maka kepala atau tubuh bayi dapat menjepit
tali pusat dan mengakibatkan kurangnya pasokan oksigen, sehingga mengharuskan
dilakukannya bedah sesar dengan segera.
6. Kehamilan ganda, pada kehamilan ganda terdapat risiko terjadinya komplikasi
kelahiran prematur dan terjadi pre-eklamsia pada ibu sehingga memungkinkan untuk
dilakukan persalinan secara seksio sesarea.
c. Indikasi Waktu
1. Partus lama, yaitu persalinan yang berlangsung sampai 18 jam atau lebih
2. Partus tidak maju, yaitu tidak ada kemajuan dalam jalannya persalinan kala I
baik dalam pembukaan serviks, penurunan kepala atau saat putaran paksi.
3. Partus macet, yaitu bayi tidak lahir setelah dipimpin mengejan (kala II)
beberapa saat.
Selain indikasi berdasarkan faktor ibu, janin dan waktu terdapat indikasi sosial
untuk dilakukannya persalinan secara seksio sesarea, yang timbul karena permintaan
pasien meskipun untuk dilakukan persalinan normal tidak ada masalah atau kesulitan
yang bermakna. Indikasi sosial biasanya sudah direncanakan terlebih dahulu atau dapat
disebut dengan seksio sesarea elektif. Seksio sesarea dilakukan untuk kepentingan ibu dan
janin, karena takut bayinya mengalami cedera atau asfiksia selama persalinan.
Kontraindikasi dilakukan tindakan seksio sesarea yaitu janin mati, syok, anemia
berat, kelainan kongenital berat, infeksi progenik pada dinding abdomen, minimnya
fasilitas operasi sectio caesarea. Selain itu, Adanya faktor yang
berlangsungnya

tindakan

seksio

sesarea,

seperti

menghambat

adanya gangguan

mekanisme

pembekuan darah pada ibu, lebih dianjurkan untuk dilakukan persalinan pervaginam,
oleh

karena

insisi

(Prawirohardjo, 2010)

yang

menyebabkan perdarahan

dapat

seminimal

mungkin

4. Tehnik-Tehnik Seksio Sesarea


a. Segmen Bawah : Insisi Melintang
Insisi melintung merupakan prosedur pilihan dengan cara abdomen dibuka dan
uterus disingkapkan. Lipatan vesicouterina peritoneum yang terletak dekat dengan
sambungan segmen atas dan bawah uterus ditentukan dan disayat melintang, lipatan
ini dilepaskan dari segmen bawah dan bersama kandung kemih didorong ke bawah
serta ditarik agak tidak menutupi lapang pandang. Dibuat insisi melintang yang kecil
kemudian luka dilebarkan ke samping dengan jari-jari tangan dan berhenti didekat
pembuluh darah uterus (Wiknjosastro, 2007).
Kepala janin yang pada sebagian besar terletak di balik insisi diekstraksi atau
didorong, diikuti oleh bagian tubuh lainnya dan kemudian plasenta serta selaput
ketuban. Lapisan vesicouterina kemudia dijahit kembali pada dinding uterus sehingga
seluruh luka insisi terbungkus dan tertutup dari rongga peritoneum generalisata.
Keuntungan dari insisi ini adalah dapat mengurangi perdarahan, lapisan otot yang
tipis dari segmen bawah rahim lebih mudah dirapatkan kembali dibandingkan segmen
yang tebal sehingga keseluruhan luka insisi terbungkus oleh ipatan vesicouterina
(Wiknjosastro, 2007).
b. Segmen Bawah : Insisi Membujur
Insisi membujur dibuat dengan skapel dan dilebarkan dengan gunting tumpul
untuk menghindari cedera pada bayi. Insisi membujur memiliki keuntungan yaitu
luka insisi bisa diperbesar keatas. Sedangkan untuk kerugian utamanya yaitu
perdarahan dari tepi sayatan yang lebih banyak karena terpotongnya otot. Luka insisi
tanpa dikehendaki meluas ke segmen atas sehingga nilai penutupan retroperitoneal
yang lengkap akan hilang (Wiknjosastro, 2007).
c. Seksio sesarea klasik
Seksio sesarea klasik atau corporal yaitu insisi pada segmen atas uterus atau
korpus uteri. Pembedahan ini dilakukan bila segmen bawah rahim tidak dapat dicapai
dengan aman, bayi besar dengan kelainan letak terutama jika selaput ketuban sudah
pecah. Diperlukan luka insisi ang lebar karena bayi sering dilahirkan dengn bokong.
Mula-mula dilakukan desinfeksi pada dinding perut dan lapangan operasi dipersempit
dengan kain steril, kemudian pada dinding perut dibuat insisi mediana, mulai dari atas
simfisis sepanjang + 12 cm sampai di bawah umbilikus, lapis demi lapis sehingga
kavum peritoneal terbuka. Dalam rongga perut di sekitar rahim dilingkari dengan kasa
laparotomi. Dibuat insisi secara tajam dengan pisau pada segmen atas rahim,
kemudian diperlebar secara sagital dengan gunting. Setelah kavum uteri terbuka,
selaput ketuban dipecahkan. Janin dilahirkan dengan meluksir kepala dan memotong

fundus uteri. Setelah janin lahir seluruhnya, tali pusat dijepit dan dipotong di antara
kedua penjepit. Plasenta dilahirkan secara manual. Disuntikkan 10 U oksitosisn ke
dalam rahim secara intramural. Luka insisi segmen atas rahim dijahit kembali,
berdasarkan lapisan-lapisan:
a. Lapisan I endometrium bersama miometrium dijahit secara jelujur dengan
benang catgut kromik
b. Lapisan II hanya miomE\etroium saja, dijahit secara simpul (karena otot
miometrium sangat tebal), dengan benang catgut kromik
c. Lapisan III perimetrium saja, dijahit secara simpul dengan benang catgut
biasa
Setelah dinding rahim selesai dijahit, kedua adneksa dieksplorasi. Rongga perut
dibersihkan dari sisa-sisa darah, dan akhirnya dinding perut dijahit (Wiknjosastro,
2007).
d. Seksio Sesarea Transperitoneal Profunda
suatu pembedahan dengan melakukan insisi pada segmen bawah uterus. Hampir
99 % dari seluruh kasus seksio sesarea memilih teknik ini karena memiliki beberapa
keunggulan seperti kesembuhan lebih baik dan tidak banyak menimbulkan perlekatan.
Tekniknya yaitu mula-mula dilakukan desinfeksi pada dinding perut dan lapangan
operasi dipersempit dengan kain steril. Pada dinding perut dibuat insisi mediana,
mulai dari atas simfisis pubis sampai ke bawah umbilikus, lapis demi lapis sehingga
kavum peritoneum terbuka. Dalam rongga perut di sekitar rahim, dilingkari dengan
kasa laparotomi. Dibuat bladder-flap, yaitu dengan menggunting peritoneum kandung
kemih (plika vesikouterina) di depan segmen bawah rahim secara melintang. Plika
vesikouterina ini disisihkan secara tumpul ke arah samping bawah. Dan kandung
kemih yang telah disisihkan ke samping dan bawah dilindungi dengan speculum
kandung kemih. Dibuat insisi pada segmen bawah rahim 1 cm di bawah irisan plika
vesikouterina tadi secara tajam dengan pisau bedah + 2 cm, kemudian diperlebar
melintang secara tumpul dengan kedua jari telunjuk operator. Arah insisi pada segmen
bawah rahim dapat melintang (transversal) sesuai cara Kerr, atau membujur (sagital)
sesuai cara Kronig. Setelah kavum uteri terbuka, selaput ketuban dipeahkan, janin
dilahirkan dengan meluksir kepalanya. Badan janin dilahirkan dengan mengait kedua
ketiaknya. Tali pusar dijepit dan dipotong, plasenta dilahirkan secara manual. Ke
dalam otot rahim intramural disuntikkan 10 U oksitosin. Luka dinding tahim dijahit
menurut lapisan-lapisan:

a. Lapisan I dijahit jelujur, yaitu pada endometrium dan miometrium


b. Lapisan II dijahit jelujur, yaitu pada miometrium saja
c. Lapisan III dijahit jelujur pada plika vesikouterina
Setelah dinding rahim selesai dijahit, kedua adneksa dieksplorasi. Rongga perut
dibersihkan dari sisa-sisa darah dan akhirnnya luka dinding perut dijahit
(Wiknjosastro, 2007).
e. Seksio Sesarea-Histerektomi
pengangkatan uterus setelah seksio sesarea karena atoni uteri yang tidak dapat
diatasi dengan tindakan lain, pada mioma usus yang besar dan atau banyak atau pada
ruptur uteri yang tidak dapat diatasi dengan jahitan. Setalah janin dan plasenta
dilahirkan dari rongga rahim, dilakukan hemostasis pada insisi dinding rahim, cukup
dengan jahitan jelujur atau simpul. Untuk memudahkan histerektomi, rahim boleh
dikeluarkan dari rongga pelvis. Mula-mula ligamentum rotundum dijepit dengan
cunam Kocher dan cunam Oschner, kemudian dipotong sedekat mungkin dengan
rahim. Jaringan yang sudah dipotong diligasi dengan benang catgut kromik no 0
(Wiknjosastro, 2007).
Bladder-flap yang telah dibuat pada waktu seksio sesarea transperitoneal
profunda dibebaskan lebih jauh ke bawah dan lateral. Pada ligamentum latum
belakang dibuat lubang dengan jari telunjuk tangan kiri di bawah adneksa dari arah
belakang. Dengan cara ini, ureter akan terhindar dari kemunginan terpotong. Melalui
lubang pada ligamentum latum ini, tuba Falloppii, ligamentum utero-ovarika, dan
pembuluh darah dalam jaringan tersebut dijepit dengan 2 cunam Oschner lengkung,
dan di sisi rahim dengan cunam Kocher. Jaringan yang terpotong diikat dengan jahitan
transfiks untuk hemostasis dengan catgut no.0. Jaringan ligamentum latum yang
sebagian besar adalah avaskuler dipotong secara tajam ke arah serviks. Setelah
pemotongan ligamentum latum sampai di daerah serviks, kandung kemih disisihkan
jauh ke bawah dan samping (Wiknjosastro, 2007).
Pada ligamentum kardinale dan jaringan paraservikal dilakukan penjepitan
dengan cunam Oschner lengkung secara ganda, dan pada tempat yang sama di sisi
rahim dijepit dengan cunam Kocher lurus. Kemudian jaringan di antaranya diguntingn
dengan gunting Mayo. Tindakan ini dilakukan dalam beberapa tahap sehingga
ligamentum kardinale terpotong seluruhnya. Puntung ligamentum kardinale dijahit
transfiks dengan benang catgut kromik no. 0. Demikian juga ligamentum sakro-

uterina kiri dan kanan dipotong dengan cara yang sama, dan diligasi secara transfiks
dengan benang catgut kromik no. 0. Setelah mencapai di atas dinding vagina-serviks,
pada sisi depan serviks dibuat irisan sagital dengan pisau, kemudian melalui insisi
tersebut dinding vagina dijepit dengan cunam Oschner melingkari serviks dan dinding
vagina dipotong tahap demi tahap(Wiknjosastro, 2007).
Pemotongan dinding vagina dapat dilakukan dengan gunting atau pisau. Rahim
akhirnya dapat diangkat. Puntung vagina dijepit dengan beberapa unam Kocher untuk
hemostasis. Mula-mula puntung kedua ligamentum kardinale dijahitkan pada ujung
kiri dan kanan puntung vagina, sehingga terjadi hemostasis pada kedua ujung puntung
vagina. Puntung vagina dijahit secara jelujur untuk hemostasis dengan catgut kromik.
Puntung adneksa yang telah dipotong dapat dijahitkan digantungkan pada puntung
vagina, asalkan tidak terlalu kencang. Akhirnya, puntung vagina ditutup dengan retroperitonealisasi dengan menutupkan bladder flap pada sisi belakang puntung vagina.
Setelah rongga perut dibersihkan dari sisa darah, luka perut ditutp kembali lapis demi
lapis (Wiknjosastro, 2007).
Selain itu, ada beberapa teknik anestesi atau penghilang rasa sakit yang
dapat dipilih untuk tindakan seksio sesarea, baik spinal maupun general. Yang lebih
umum digunakan yaitu anestesi spinal atau epidural. Pada anestesi general
mungkin diberikan jika diperlukan proses persalinan yang cepat karena cara
kerja yang jauh lebih cepat dibandingkan anestesi spinal.
a. Anestesi General
Anestesi general biasanya diberikan jika anestesi spinal atau epidural tidak
mungkin diberikan, baik karena alasan teknis maupun karena dianggap tidak aman.
Pada prosedur pemberian anestesi ini, pasien akan menghirup oksigen melalui
masker wajah selama tiga sampai empat menit sebelum obat diberikan

melalui

intravena. Pasien tidak sadarkan diri dalam waktu 20 sampai 30 detik. Saat pasien
tidak sadarkan diri,

disisipkan selang ke

dalam

tenggorokkan

pasien

untuk

membantu pasien bernafas dan mencegah muntah. Jika digunakan anestesi


general, pasien akan dimonitor oleh ahli anestesi secara konstan.
b. Anestesi Spinal
Berkaitan dengan risiko untuk ibu dan skor Apgar yang lebih rendah
menggunakan anestesi general, umumnya tindakan seksio sesarea menggunakan
anestesi spinal. Dengan menggunakan teknik anestesi spinal, neonatus

terpapar

lebih sedikit obat anestesi dan memberikan pengelolaan rasa sakit pasca operasi

yang lebih baik. Pemasukan anestesi lokal ke dalam ruang subarakhnoid untuk
menghasilkan blok spinal telah lama digunakan untuk seksio sesarea. Teknik ini
diketahui baik untuk pasien dengan kelainan paru, diabetes melitus, penyakit
hati

yang

difus,

kegagalan

fungsi

ginjal,

sehubungan

dengan gangguan

metabolisme dan ekskresi obat-obatan. Keuntungan dari anestesi spinal antara lain
teknik yang sederhana, onset cepat, risiko keracunan sistemik yang lebih rendah,
blok anestesi yang baik, perubahan fisiologi, pencegahan dan penanggulangan
terhadap penyulitnya telah diketahui dengan baik, analgesia dapat diandalkan,
pasien sadar sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi
5. Komplikasi dan Penyulit Seksio Sesarea
Komplikasi pasca seksio sesarea dapat berasal dari perdarahan, sepsis, luka pada
traktus urinarius dan tromboemboli. Komplikasi pasca seksio sesarea, meliputi:
a. Perdarahan
Perdarahan

merupakan

komplikasi

paling

serius

yang

memerlukan

transfusi darah dan merupakan penyebab utama kematian maternal. Penyebab


perdarahan pada tindakan operasi dapat disebabkan karena atonia uteri, robekan
jalan lahir, perdarahan karena mola hidatidosa atau koriokarsinoma, gangguan
pembekuan darah akibat kematian janin dalam rahim lebih dari 6 minggu, solusio
plasenta, emboli air ketuban dan retensio plasenta, yaitu gangguan pelepasan
plasenta menimbulkan perdarahan dari tempat implantasi plasenta.
b. Infeksi
Setiap tindakan pembedahan hampir selalu diikuti oleh kontaminasi bakteri,
sehingga menimbulkan infeksi. Infeksi semakin meningkat apabila didahului
faktor predisposisi yang memudahkan terjadinya infeksi, yaitu keadaan umum
yang rendah misalnya terdapat anemia saat kehamilan atau sudah terdapat infeksi
sebelumnya, keadaan malnutrisi, perlukaan operasi yang menjadi jalan masuk
bakteri, pelaksanaan operasi persalinan yang kurang legeartis seperti rendahnya
tingkat higienitas dan sterilitas alat pembedahan dan ruang operasi, proses
persalinan

bermasalah

seperti

partus lama

atau

macet,

korioamnionitis,

persalinan traumatik, kurang baiknya proses pencegahan infeksi dan manipulasi


yang berlebihan.

c. Trauma Tindakan Operasi Persalinan


Operasi merupakan suatu tindakan pertolongan persalinan sehingga tidak
menutup kemungkinan dapat menimbulkan trauma jalan lahir. Trauma operasi
persalinan diantaranya dapat berupa perluasan luka episiotomi, perlukaan pada
vagina, perlukaan pada serviks, perlukaan pada forniks kolpoporeksis, terjadi
ruptura uteri lengkap atau tidak lengkap, terjadi fistula dan inkontinensia. Ruptura
uteri dan kolpoporeksis merupakan akibat dari trauma tindakan operasi persalinan
yang diyakini paling berat.
d. Tromboemboli
Aliran darah yang normal tergantung pada pemeliharaan keseimbangan
antara antikoagulan yang beredar, antikoagulan endotelium serta faktor-faktor
prokoagulan. Apabila keseimbangan tersebut terganggu, dapat terjadi trombosis.
Pada suatu kondisi yang memperlambat aliran darah, misalnya pada ibu hamil
yang

merupakan

salah

satu

faktor

risiko

untuk mengalami kejadian

tromboemboli, sedangkan risiko tromboemboli setelah tindakan seksio sesarea


diperkirakan dialami 1-2% pasien. Faktor-faktor risiko kemungkinan terjadinya
trombosis antara lain peningkatan konsentrasi estrogen atau progesteron dalam
plasma, peningkatan konsentrasi beberapa faktor pembekuan pada kehamilan,
partus, pasca

seksio

sesarea

emergensi,

partus

dengan

instrumen

dan

grandemultiparitas. Risiko trombosis juga meningkat pada usia lebih dari 35 tahun
atau lebih dari 30 tahun dengan riwayat melahirkan lewat pembedahan,
obesitas dengan berat badan lebih dari 80 kg, immobilitas atau tirah baring lebih
dari 4 hari, trauma dan pembedahan, dehidrasi misalnya pada keadaan emesis atau
hiperemesis, perdarahan, infeksi yang belum lama terjadi, sepsis, kompresi
pembuluh darah, merokok, stress, hipertensi, pre-eklamsia, diet tinggi lemak
dan rendah serat, varises vena, trombofilia, sindrom antifosfolipid, lupus
antikoagulan, riwayat tromboemboli pada pasien, diabetes melitus, penyakit
yang telah ada sebelumnya

misalnya pada kelainan saluran pernapasan,

penyakit kardiovaskuler, arteriosklerosis, sindrom nefrotik, dan penyakit inflamasi


usus.
6. Penatalaksanaan Komplikasi atau Penyulit SC
Beberapa penyebab kematian ibu pada operasi seksio sesarea adalah perdarahan,
infeksi, anesthesia, emboli paru-paru, kegagalan ginjal akibat hipotensi yang lama,

obstruksi intestinal dan ileus paralitik, decompensatio cordis, toxemia gravidarum dan
rupturaa cicatrix uterus. Hal-hal tersebut bisa ditanggani untuk menurunkan angka
mortalitas dengan :
a. Transfusi darah yang memadai, penggunaan obat-obat anti infeksi,
metodepembedahan dan teknik-teknik anesthesia yang semakin baik dan
adanya dokter ahli yang terlatih secara khusus.
b. Kenyataan bahwa pasien dengan penyakit jantung lebih baik melahirkan
pervaginam daripada dengan seksio sesarea.
c. Terapi dasar toxemia gravidarum tidak dengan cara pembedahan tetapi dengan
cara pengobatan medis.
7. Prognosis SC
Dahulu angka morbiditas dan mortalitas untuk ibu dan janin tinggi. Pada masa
sekarang, oleh karena kemajuan yang pesat dalam tehnik operasi, anestesi, penyediaan
cairan dan darah, indikasi dan antibiotika angka ini sangat menurun. Angka kematian ibu
pada rumah-rumah sakit dengan fasilias operasi yang baik dan oleh tenaga-tenaga yang
cekatan adalah kurang dari 2 per 1000. Nasib janin yang ditolong secara seksio sesarea
sangat tergantung dari keadaan janin sebelum dilakukan operasi. Menurut data dari
negara-negara dengan pengawasan antenatal yang baik dan fasilitas neonatal yang
sempurna, angka kematian perinatal sekitar 4 -7 %.

DAFTAR PUSTAKA
Cunningham, et al. 2005. Williams Obstetrics. Edisi 21. Mc Graw Hill : New York.
Gondo HK dan Sugiharta K. 2010. Profil Operasi Seksio Sesarea di SMF Obstetri &
Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar, Bali Tahun 2001 dan 2006. CDK ;37(2):97-101.
Meng Q, Xu L, Zhang Y, Qian J, Cai M, Xin Y et al. 2012. Trends in access to health
services and financial protection in china, between 2003 and 2011: a crosssectional study. Lancet ,379(9818):805-14.
Mochtar, Rustam; editor Delfi Lutan, 1998, Sinopsis Obstetri jilid 1, Ed 2, EGC, Jakarta
Pandensolang RS. 2012. Faktor-faktor yang berhubungan dengan persalinan SS pada ibu
tanpa riwayat komplikasi kehamilan dan atau penyulit persalinan di Indonesia
(Analisis data Riskesdas 2010). Availabel at : http://www.lontar.ui.ac/file?
file.digital/20300469%20faktor%20faktor.pdf.
Patted S. 2011. Caesarean section on maternal request (CDMR). Recent research in science
and technology ;3(2):100-101.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia:
Jakarta.
Souza JP et al. 2014. Caesarean section without medical indication increase risk of shortterm adverse outcome for mother: the 2004-2008 WHO Global survey on maternal
and perinatal health. BMC Medicine ;8(1):71.
Wiknjosastro H, (ed), 2007, Ilmu Bedah Kebidanan, YBP-SP, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai