PENUGASAN III
ANALISIS FILM
SEKSIO SESAREA
DISUSUN OLEH
FATROSDIANA
H1A013023
gram
tahun 1877 sudah dilaksanakan 71 kali pembedahan caesarea di Amerika Serikat. Angka
mortilitasnya 52 % persen yang terutama disebabkan oleh infeksi dan perdarahan
(Cunningham et al., 2005)
Angka kejadian seksio sesarea terus meningkat di beberapa Negara meskipun
dengan risiko yang tinggi, termasuk di Indonesia. Saat ini persalinan seksio sesarea
bukan saja karena adanya indikasi dari ibu ataupun bayinya, tetapi karena ada
permintaan pasien sendiri (Patted, 2011). Hasil beberapa penelitian melaporkan bahwa
bayi yang dilahirkan melalui persalinan seksio sesarea mengalami asfiksia sebesar
57,1%. Penelitian Hansen et al yang dikutip dari Pandensolang (2012), melaporkan lebih
dari 34.000 kelahiran dengan peningkatan risiko asfiksia berbeda menurut umur
kehamilan saat bersalin
Menurut data WHO, angka persalinan seksio sesarea di dunia terus meningkat.
Pada tahun 1970an sekitar 5-7% dari seluruh persalinan, dan kemudian pada tahun 1987
meningkat menjadi 24,4%. Lalu pada tahun 1996, dengan berbagai upaya diusahakan
agar persalinan seksio sesarea dapat diturunkan sehingga menjadi 22,8% dan terus
ditekan hingga stabil di kisaran 15-18%. Kemudian untuk hasil survei WHO tahun 20042008 di tiga benua yaitu Amerika Latin, Afrika dan Asia diketahui angka kejadian seksio
sesarea terendah di Angola yaitu 2,3% dan tertinggi di Cina sebesar 46,2%. Demikian
juga angka persalinan seksio sesarea di Asia meningkat tajam. Hasil penelitian di
Thailand memperlihatkan persalinan seksio sesarea pada tahun 1990 sekitar 15,2% dan
pada tahun 1996 menjadi 22,4%. Di Cina, angka persalinan seksio sesarea pada tahun
2003 sebesar 19,2% dan pada tahun 2011 meningkat tajam menjadi 36,3% (Souza et al.,
2014; Meng et al., 2012).
Di Indonesia, angka persalinan seksio sesarea meningkat sangat tajam terutama di
kota-kota besar. Berdasarkan data Riskesdas 2010 menunjukkan angka kejadian seksio
sesarea sebesar 15,3%, terendah di Sulawesi Tenggara 5,5% dan tertinggi di DKI Jakarta
27,2%. Angka persalinan SS di RS Sanglah Denpasar pada tahun 2001 sekitar 22,3 %,
dan pada tahun 2006 meningkat sampai 34,5% (Gondo, 2006). Selain itu, menurut
WHO tahun 2011 dilaporkan angka kejadian seksio sesarea meningkat 5 kali
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Di Indonesia berdasarkan survei demografi
dan kesehatan pada tahun 2011, angka persalinan secara seksio sesarea secara
nasional rata-rata 22,5% dari seluruh persalinan.
Pada kasus seksio sesarea angka mortalitas dua kali angka pada persalinan
pervaginam, disamping itu angka morbiditas yang terjadi akibat infeksi, kehilangan
darah, dan kerusakan organ internal lebih tinggi pada persalinan seksio sesarea (Kulas,
2008). Mengacu pada WHO, Indonesia mempunyai kriteria angka seksio sesarea standar
antara 15 - 20% untuk RS rujukan. Angka kejadian ruptur uteri di Rumah Sakit Umum
Provinsi NTB tahun 2012 sejumah 4 kasus (0,14%) dari total 2.706 persalinan. Tiga
diantaranya terjadi pada ibu dengan bekas seksio sesarea
.
3. Indikasi dan Kontraindikasi SC
Indikasi
seksio
sesarea
dilakukan
apabila
persalinan yang lebih lama akan menimbulkan bahaya serius bagi ibu, janin, bahkan
keduanya, atau bila tidak dimungkinkan dilakukan persalinan pervaginam secara aman.
Adapun indikasi dilakukannya seksio sesarea dibedakan menjadi 3 yaitu:
a. Indikasi Ibu
1. Usia ibu melahirkan pertama kali diatas usia 35 tahun atau wanita usia 40 tahun ke
atas.
2. Adanya ancaman robekan rahim.
3. Ibu kelelahan.
4. Penyakit ibu yang berat seperti penyakit jantung, paru, demam tinggi, preeklampsia berat atau eklampsia serta HIV.
5. Faktor hambatan jalan lahir, karena terdapat tumor atau mioma yang
menyebabkan persalinan terhambat atau tidak maju.
6. Disproporsi sefalo-pelvis, yaitu ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai dengan
ukuran lingkar kepala janin.
7. kegagalan melahirkan secara normal karena kurang kuatnya stimulasi
8. stenosis serviks, plasenta previa, dan ruptur uteri.
b. Indikasi Janin
1. Bayi terlalu besar atau berat bayi sekitar 4000 gram atau lebih.
2. Malpresentasi atau malposisi, yaitu letak bayi dalam
rahim
tidak
dapat terjadi jika tali pusat tertekan atau berkurangnya aliran darah yang
teroksigenasi ke plasenta.
4. Faktor plasenta, misalnya pada kasus plasenta previa, keadaan dimana plasenta
menutupi sebagian leher rahim. Pada saat leher rahim melebar, plasenta terlepas
dari rahim dan menyebabkan perdarahan, yang dapat mengurangi pasokan
oksigen ke janin. Tidak dimungkinkan dilakukan persalinan pervaginam karena
plasenta akan keluar sebelum bayi lahir.
5. Kelainan tali pusat, misalnya pada prolaps tali pusat terjadi bila tali pusat turun
melalui leher rahim sebelum bayi, maka kepala atau tubuh bayi dapat menjepit
tali pusat dan mengakibatkan kurangnya pasokan oksigen, sehingga mengharuskan
dilakukannya bedah sesar dengan segera.
6. Kehamilan ganda, pada kehamilan ganda terdapat risiko terjadinya komplikasi
kelahiran prematur dan terjadi pre-eklamsia pada ibu sehingga memungkinkan untuk
dilakukan persalinan secara seksio sesarea.
c. Indikasi Waktu
1. Partus lama, yaitu persalinan yang berlangsung sampai 18 jam atau lebih
2. Partus tidak maju, yaitu tidak ada kemajuan dalam jalannya persalinan kala I
baik dalam pembukaan serviks, penurunan kepala atau saat putaran paksi.
3. Partus macet, yaitu bayi tidak lahir setelah dipimpin mengejan (kala II)
beberapa saat.
Selain indikasi berdasarkan faktor ibu, janin dan waktu terdapat indikasi sosial
untuk dilakukannya persalinan secara seksio sesarea, yang timbul karena permintaan
pasien meskipun untuk dilakukan persalinan normal tidak ada masalah atau kesulitan
yang bermakna. Indikasi sosial biasanya sudah direncanakan terlebih dahulu atau dapat
disebut dengan seksio sesarea elektif. Seksio sesarea dilakukan untuk kepentingan ibu dan
janin, karena takut bayinya mengalami cedera atau asfiksia selama persalinan.
Kontraindikasi dilakukan tindakan seksio sesarea yaitu janin mati, syok, anemia
berat, kelainan kongenital berat, infeksi progenik pada dinding abdomen, minimnya
fasilitas operasi sectio caesarea. Selain itu, Adanya faktor yang
berlangsungnya
tindakan
seksio
sesarea,
seperti
menghambat
adanya gangguan
mekanisme
pembekuan darah pada ibu, lebih dianjurkan untuk dilakukan persalinan pervaginam,
oleh
karena
insisi
(Prawirohardjo, 2010)
yang
menyebabkan perdarahan
dapat
seminimal
mungkin
fundus uteri. Setelah janin lahir seluruhnya, tali pusat dijepit dan dipotong di antara
kedua penjepit. Plasenta dilahirkan secara manual. Disuntikkan 10 U oksitosisn ke
dalam rahim secara intramural. Luka insisi segmen atas rahim dijahit kembali,
berdasarkan lapisan-lapisan:
a. Lapisan I endometrium bersama miometrium dijahit secara jelujur dengan
benang catgut kromik
b. Lapisan II hanya miomE\etroium saja, dijahit secara simpul (karena otot
miometrium sangat tebal), dengan benang catgut kromik
c. Lapisan III perimetrium saja, dijahit secara simpul dengan benang catgut
biasa
Setelah dinding rahim selesai dijahit, kedua adneksa dieksplorasi. Rongga perut
dibersihkan dari sisa-sisa darah, dan akhirnya dinding perut dijahit (Wiknjosastro,
2007).
d. Seksio Sesarea Transperitoneal Profunda
suatu pembedahan dengan melakukan insisi pada segmen bawah uterus. Hampir
99 % dari seluruh kasus seksio sesarea memilih teknik ini karena memiliki beberapa
keunggulan seperti kesembuhan lebih baik dan tidak banyak menimbulkan perlekatan.
Tekniknya yaitu mula-mula dilakukan desinfeksi pada dinding perut dan lapangan
operasi dipersempit dengan kain steril. Pada dinding perut dibuat insisi mediana,
mulai dari atas simfisis pubis sampai ke bawah umbilikus, lapis demi lapis sehingga
kavum peritoneum terbuka. Dalam rongga perut di sekitar rahim, dilingkari dengan
kasa laparotomi. Dibuat bladder-flap, yaitu dengan menggunting peritoneum kandung
kemih (plika vesikouterina) di depan segmen bawah rahim secara melintang. Plika
vesikouterina ini disisihkan secara tumpul ke arah samping bawah. Dan kandung
kemih yang telah disisihkan ke samping dan bawah dilindungi dengan speculum
kandung kemih. Dibuat insisi pada segmen bawah rahim 1 cm di bawah irisan plika
vesikouterina tadi secara tajam dengan pisau bedah + 2 cm, kemudian diperlebar
melintang secara tumpul dengan kedua jari telunjuk operator. Arah insisi pada segmen
bawah rahim dapat melintang (transversal) sesuai cara Kerr, atau membujur (sagital)
sesuai cara Kronig. Setelah kavum uteri terbuka, selaput ketuban dipeahkan, janin
dilahirkan dengan meluksir kepalanya. Badan janin dilahirkan dengan mengait kedua
ketiaknya. Tali pusar dijepit dan dipotong, plasenta dilahirkan secara manual. Ke
dalam otot rahim intramural disuntikkan 10 U oksitosin. Luka dinding tahim dijahit
menurut lapisan-lapisan:
uterina kiri dan kanan dipotong dengan cara yang sama, dan diligasi secara transfiks
dengan benang catgut kromik no. 0. Setelah mencapai di atas dinding vagina-serviks,
pada sisi depan serviks dibuat irisan sagital dengan pisau, kemudian melalui insisi
tersebut dinding vagina dijepit dengan cunam Oschner melingkari serviks dan dinding
vagina dipotong tahap demi tahap(Wiknjosastro, 2007).
Pemotongan dinding vagina dapat dilakukan dengan gunting atau pisau. Rahim
akhirnya dapat diangkat. Puntung vagina dijepit dengan beberapa unam Kocher untuk
hemostasis. Mula-mula puntung kedua ligamentum kardinale dijahitkan pada ujung
kiri dan kanan puntung vagina, sehingga terjadi hemostasis pada kedua ujung puntung
vagina. Puntung vagina dijahit secara jelujur untuk hemostasis dengan catgut kromik.
Puntung adneksa yang telah dipotong dapat dijahitkan digantungkan pada puntung
vagina, asalkan tidak terlalu kencang. Akhirnya, puntung vagina ditutup dengan retroperitonealisasi dengan menutupkan bladder flap pada sisi belakang puntung vagina.
Setelah rongga perut dibersihkan dari sisa darah, luka perut ditutp kembali lapis demi
lapis (Wiknjosastro, 2007).
Selain itu, ada beberapa teknik anestesi atau penghilang rasa sakit yang
dapat dipilih untuk tindakan seksio sesarea, baik spinal maupun general. Yang lebih
umum digunakan yaitu anestesi spinal atau epidural. Pada anestesi general
mungkin diberikan jika diperlukan proses persalinan yang cepat karena cara
kerja yang jauh lebih cepat dibandingkan anestesi spinal.
a. Anestesi General
Anestesi general biasanya diberikan jika anestesi spinal atau epidural tidak
mungkin diberikan, baik karena alasan teknis maupun karena dianggap tidak aman.
Pada prosedur pemberian anestesi ini, pasien akan menghirup oksigen melalui
masker wajah selama tiga sampai empat menit sebelum obat diberikan
melalui
intravena. Pasien tidak sadarkan diri dalam waktu 20 sampai 30 detik. Saat pasien
tidak sadarkan diri,
disisipkan selang ke
dalam
tenggorokkan
pasien
untuk
terpapar
lebih sedikit obat anestesi dan memberikan pengelolaan rasa sakit pasca operasi
yang lebih baik. Pemasukan anestesi lokal ke dalam ruang subarakhnoid untuk
menghasilkan blok spinal telah lama digunakan untuk seksio sesarea. Teknik ini
diketahui baik untuk pasien dengan kelainan paru, diabetes melitus, penyakit
hati
yang
difus,
kegagalan
fungsi
ginjal,
sehubungan
dengan gangguan
metabolisme dan ekskresi obat-obatan. Keuntungan dari anestesi spinal antara lain
teknik yang sederhana, onset cepat, risiko keracunan sistemik yang lebih rendah,
blok anestesi yang baik, perubahan fisiologi, pencegahan dan penanggulangan
terhadap penyulitnya telah diketahui dengan baik, analgesia dapat diandalkan,
pasien sadar sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi
5. Komplikasi dan Penyulit Seksio Sesarea
Komplikasi pasca seksio sesarea dapat berasal dari perdarahan, sepsis, luka pada
traktus urinarius dan tromboemboli. Komplikasi pasca seksio sesarea, meliputi:
a. Perdarahan
Perdarahan
merupakan
komplikasi
paling
serius
yang
memerlukan
bermasalah
seperti
partus lama
atau
macet,
korioamnionitis,
merupakan
salah
satu
faktor
risiko
seksio
sesarea
emergensi,
partus
dengan
instrumen
dan
grandemultiparitas. Risiko trombosis juga meningkat pada usia lebih dari 35 tahun
atau lebih dari 30 tahun dengan riwayat melahirkan lewat pembedahan,
obesitas dengan berat badan lebih dari 80 kg, immobilitas atau tirah baring lebih
dari 4 hari, trauma dan pembedahan, dehidrasi misalnya pada keadaan emesis atau
hiperemesis, perdarahan, infeksi yang belum lama terjadi, sepsis, kompresi
pembuluh darah, merokok, stress, hipertensi, pre-eklamsia, diet tinggi lemak
dan rendah serat, varises vena, trombofilia, sindrom antifosfolipid, lupus
antikoagulan, riwayat tromboemboli pada pasien, diabetes melitus, penyakit
yang telah ada sebelumnya
obstruksi intestinal dan ileus paralitik, decompensatio cordis, toxemia gravidarum dan
rupturaa cicatrix uterus. Hal-hal tersebut bisa ditanggani untuk menurunkan angka
mortalitas dengan :
a. Transfusi darah yang memadai, penggunaan obat-obat anti infeksi,
metodepembedahan dan teknik-teknik anesthesia yang semakin baik dan
adanya dokter ahli yang terlatih secara khusus.
b. Kenyataan bahwa pasien dengan penyakit jantung lebih baik melahirkan
pervaginam daripada dengan seksio sesarea.
c. Terapi dasar toxemia gravidarum tidak dengan cara pembedahan tetapi dengan
cara pengobatan medis.
7. Prognosis SC
Dahulu angka morbiditas dan mortalitas untuk ibu dan janin tinggi. Pada masa
sekarang, oleh karena kemajuan yang pesat dalam tehnik operasi, anestesi, penyediaan
cairan dan darah, indikasi dan antibiotika angka ini sangat menurun. Angka kematian ibu
pada rumah-rumah sakit dengan fasilias operasi yang baik dan oleh tenaga-tenaga yang
cekatan adalah kurang dari 2 per 1000. Nasib janin yang ditolong secara seksio sesarea
sangat tergantung dari keadaan janin sebelum dilakukan operasi. Menurut data dari
negara-negara dengan pengawasan antenatal yang baik dan fasilitas neonatal yang
sempurna, angka kematian perinatal sekitar 4 -7 %.
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham, et al. 2005. Williams Obstetrics. Edisi 21. Mc Graw Hill : New York.
Gondo HK dan Sugiharta K. 2010. Profil Operasi Seksio Sesarea di SMF Obstetri &
Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar, Bali Tahun 2001 dan 2006. CDK ;37(2):97-101.
Meng Q, Xu L, Zhang Y, Qian J, Cai M, Xin Y et al. 2012. Trends in access to health
services and financial protection in china, between 2003 and 2011: a crosssectional study. Lancet ,379(9818):805-14.
Mochtar, Rustam; editor Delfi Lutan, 1998, Sinopsis Obstetri jilid 1, Ed 2, EGC, Jakarta
Pandensolang RS. 2012. Faktor-faktor yang berhubungan dengan persalinan SS pada ibu
tanpa riwayat komplikasi kehamilan dan atau penyulit persalinan di Indonesia
(Analisis data Riskesdas 2010). Availabel at : http://www.lontar.ui.ac/file?
file.digital/20300469%20faktor%20faktor.pdf.
Patted S. 2011. Caesarean section on maternal request (CDMR). Recent research in science
and technology ;3(2):100-101.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia:
Jakarta.
Souza JP et al. 2014. Caesarean section without medical indication increase risk of shortterm adverse outcome for mother: the 2004-2008 WHO Global survey on maternal
and perinatal health. BMC Medicine ;8(1):71.
Wiknjosastro H, (ed), 2007, Ilmu Bedah Kebidanan, YBP-SP, Jakarta.