Anda di halaman 1dari 10

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Karakteristik Virus Hepatitis C


Hepatitis C merupakan penyakit
hepatitis yang disebabkan oleh virus
hepatitis C ( VHC ). Virus Hepatitis C
( VHC ) termasuk kelompok
Flaviviridae dan merupakan virus
envelopet RNA berantai tunggal
dengan ukuran 50-60 nm.
Virus hepatitis C belum terbukti
onkogenik ( menyebabkan timbulnya
kanker ). Hal ini disebabkan VHC
bukan virus DNA.
Virus hepatitis C mempunyai
kemampuan untuk menekan jumlah
trombosit. Bila jumlah trombosit menurun maka keberhasilan interferon untuk
pengobatan hepatitis C juga menurun. Hal ini berhubungan dengan tingkat fibrosis hati.
Sirosis hati merupakan tingkat fibrosis hati yang paling berat.
Gejala yang ditimbulkan pada penderita hepatitis C, antara lain jaundice ( kuning ),
lelah berkepanjangan, mual atau hilang nafsu makan, urin berwarna gelap, diare, nyeri
sendi, kulit gatal.

2.2. Struktur Virus


Virus Hepatitis C (hepatitis C virus,
HCV) adalah virus berenvelop dan
bermateri genetik RNA dan menyebabkan
hepatitis C. Berdasarkan profil materi
genetiknya, HCV digolongkan menjadi
enam genotip yaitu 1, 2, 3, 4, 5, dan 6. Virus
ini menyerang hati dan menyebabkan
hepatitis C akut dan hepatitis C kronis.
Strukturnya terdiri atas envelop lipid yang
mengandung glikoprotein envelop E1 dan E2, protein kapsid C yang membungkus
materi genetiknya, dan protein non-struktur (tidak diperlihatkan). 
1. Genom HCV
HCV mempunyai genom RNA positif dengan ukuran 9,5 kilo basa. Genom
terdiri atas daerah yang tidak ditranslasi terletak pada ujung 5’ dan 3’ (5’ dan 3’ non-
translated region, NTR). Setelah 5’ NTR berlokasi gen yang mengkode protein
struktur yang terdiri atas nukleokapsid C (p22), glikoprotein envelop E1 (gp35) dan
E2 (gp70), gen pengkode protein non-struktur yang terdiri atas NS1 (p7), NS2 (p23),
NS3 (p70), NS4 (p8), NS4B (p27), NS5a (p56/58) dan NS5B (p68). NS2 adalah suatu
protein transmembran, NS3 adalah suatu metalloprotease, protease serin, RNA
helikase, NS4a dan NS4b adalah kofaktor, NS5A adalah protein yang menentukan
resistensi terhadap interferon, dan NS5A adalah suatu RNA polimerase. Baik protein
struktur dan protein non-struktur dihasilkan sebagai poliprotein yang kemudian
mengalami modifikasi pasca translasi yaitu pemotongan dengan protease. 
2. Variasi genetik HCV
HCV mempunyai variasi
genetik yang sangat tinggi dan
sampai saat ini diketahui HCV
mempunyai 6 genotipe dengan
kemiripan di dalam genotipe
adalah 91%. Diketahui pula,
HCV mempunyai lebih dari 50
subtipe dan kemiripan diantara
genotipe adalah 66-69%.
Klasifikasi genotipe didasarkan pada urutan nukleotida gen NS5B dan 5’NTR. Pada
individu yang terinfeksi juga terdapat variasi nukleotida yang disebut dengan
‘quasispecies’. 
3. Reverse-transcription Polymerase Chain Reaction untuk HCV
Materi genetik HCV adalah RNA, oleh karena itu untuk mengamplifikasi
genom HCV maka RNA HCV diubah dulu menjadi DNA melalui transkripsi balik
yang dikatalisis oleh reverse trancritptase (RTase). DNA yang dihasilkan disebut
dengan cDNA (complementary DNA) dan kemudian diamplifikasi dengan PCR.
Produk PCR dapat dideteksi menggunakan pelacak yang spesifik untuk HCV. RT-
PCR dapat digunakan untuk penegakan diagnosis HCV, pemantauan terapi dan
indikator penyembuhan. Seorang penderita hepatitis C kronis yang telah diindikasikan
untuk diterapi harus ditentukan terlebih dahulu kandungan RNA HCVnya
menggunakan RT-PCR. Selama terapi, kandungan RNA HCV dipantau untuk
mendapatkan informasi apakah pasien responsif terhadap pengobatan atau tidak.
Breakthrough dapat diterjadi pada saat terapi dengan kenaikan RNA HCV dan ini
disebabkan karena telah munculnya resistensi virus terhadap obat yang digunakan.
Penentuan kandungan RNA HCV juga disarankan untuk dilakukan mengetahui
terjadinya relapse yaitu peningkatan kandungan RNA HCV setelah terapi selesai

2.3. Transmisi / Penularan Penyakit


Transmisi penyakit merupakan mekanisme penularan dimana unsure penyebab
penyakit dapat mencapai manusia sebagai host yang potensial.  Mekanisme tersebut
meliputi cara agent meninggalkan reservoir, cara penularan untuk mencapai host yang
potensial (suseptibel), serta cara masuk ke host tersebut.
Pada penyakit Hepatitis C yang menjadi reservoirnya adalah manusia,
maksudnya disini adalah virus hepatitis C (HCV) berkembangbiak dalam tubuh
manusia. Tetapi beberapa penelititan didapatkan bahwa simpanse juga merupakan
reservoir dari penyakit hepatitits C ini.            
Setelah HCV berkembangbiak di dalam tubuh manusia, maka HCV akan
keluar dari tubuh manusia untuk meginfeksi manusia lain. HCV keluar dari tubuh
manusia (portal of exit) melalui darah atau produk darah lainnya, seperti transplantasi
organ. HCV juga keluar dari reservoir melalui saluran urogenitalia, yaitu melalui
hubungan seksual.            
Kemudian HCV yang keluar dari portal of exit tadi, ditansmisikan ke host
yang rentan melalui beberapa cara, yaitu yang terutama adalah Transmisi Parenteral,
yaitu melalui darah atau produknya dan melalui jarum suntik. Berikut adalah cara
transmisi penularan penyakit Hepatitis C :
1. Blood Transmission
Hepatitis C merupakan Blood Borne Virus, transfusi darah dan produk darah
seperti transpalntasi organ yang belum melewati proses screening merupakan
sumber yang potensial dari transmisi HCV tersebut. Transmisi HCV melalui darah
ini erat kaitannya dengan Injection Drug Use, hal ini disebabkan karena
penggunaan jarum suntik yang tidak steril.
Misalnya bagi pengguna narkoba, berbagi jarum suntik merupakan hal yang
wajar bagi mereka. Oleh sebab itu, besar kemungkinannya penularan HCV di
kalangan pengguna narkoba suntik. Kemudian melalui transfuse  darah, hal ini
terjadi jika darah tidak melewati screening, lalu kegiatan menindik tubuh (piercing)
dan tattoo, jika tidak menggunakan alat dan prosedur yang aman, maka risiko
tertularnya HCV semakin besar.
Penggunaan alat pribadi yang cenderung menimbulkan luka, seperti alat
cukur, gunting, sikat gigi dsb yang digunakan bersama, dapat juga menimbulkan
risikonya tertular HCV.
2. Sexual Contact            
Hubungan seksual dapat menularkan virus hepatitis C, hal ini dapat terjadi
jika seseorang melakukan perilaku seks yang berisisko, walaupun persentase
penularan melalui sexual contact ini tidak terlalu besar yaitu sekitar 15%. Perilaku
seks berisiko tersebut adalah sebagai berikut :       
a. Pengguna jasa PSK
b. Luka karena seks (kurangnya pelican pada vagina dapat meningkatkan
penularan melalui darah)    
c. Memiliki lebih dari satu pasangan
d. Pria suka pria (homoseksual)
e. Melakukan seks dengan orang yang terjangkit HCV
3. Vertical Transmission
Yaitu transmisi dari ibu yang psitif HCV kepada bayinya selama proses
kelahiran. Akan tetapi, vertical transmission ini jarang sekali terjadi, kira – kira 6
dari 100 kelahiran yang terjadi (3,6,13).
4. Nosomical Infections            
Nosomical transmission biasanya terjadi pada pasien hemodialisis, transmisi
ini terjadi karena tidak memadainya teknik disinfeksi dan sterilisasi peralatan
hemodialisis, sehingga perlatan tersebut terkontaminasi oleh HCV.
2.4. Siklus Hidup

Partikel virus HCV (virion) mengenali sel yang peka terhadap infeksi HCV,
terutama adalah sel hepatosit. HCV mengempel melalui GAG dan reseptornya,
kemudian HCV akan diinternalisasi untuk masuk ke dalam endosom. Virion
mengalami uncoating untuk melepaskan RNA virus. Karena polaritas RNA HCV
adalah positif, maka RNA tersebut berfungsi sebagai mRNA dan dapat ditranslasi di
dalam sitoplasma untuk menghasilkan poliprotein. Poliprotein kemudian akan
dipotong dengan protease virus dan RNA polimerase, suatu RNA polimerase yang
menggunakan RNA sebagai substrat (RNA-dependent RNA polymerase)
mengkatalisis pembentukan RNA negatif menggunakan RNA positif sebagai cetakan
dan menghasilkan RNA positif menggunakan RNA negatif yang baru dibentuk
sebagai cetakan. Virion dirakir di membran retikulum endoplasma dimana protein E1
dan E2 disisipkan pada membran tersebut, protein virus lainnya dan materi genetiknya
dikemas kemudian dilepaskan ke luar sel melalui retikulum endoplasma dan badan
Golgi. Replikasi virus dikatalisis oleh RNA polimerase yang banyak mengintroduksi
kesalahan pada saat replikasi dengan frekuensi kesalahan 1.4 – 1.9 x 103
nukleotida/tahun, sehingga HCV banyak mengalami mutasi. 

2.5. Respon Imun Terhadap Hepatitis C


Infeksi virus Hepatitis secara langsung merangsang produksi IFN oleh sel-sel
terinfeksi; IFN berfungsi menghambat replikasi virus. Sel NK melisiskan berbagai
jenis sel terinfeksi virus Hepatitis. Sel NK mampu melisiskan sel yang terinfeksi virus
Hepatitis walaupun virus Hepatitis menghambat presentasi antigen dan ekspresi MHC
I,  karena sel NK cenderung diaktivasi oleh sel sasaran yang MHC negatif.
Untuk membatasi penyebaran virus Hepatitis dan mencegah reinfeksi, sistem
imun harus mampu menghambat masuknya virion ke dalam sel dan memusnahkan sel
yang terinfeksi. Antibodi spesifik mempunyai peran penting pada awal terjadinya
infeksi, dimana ia dapat menetralkan antigen virus Hepatitis dan melawan virus
sitopatik yang dilepaskan oleh sel yang mengalami lisis. Peran antibodi dalam
menetralkan virus Hepatitis terutama efektif untuk virus Hepatitis yang bebas atau
virus Hepatitis dalam sirkulasi. Proses netralisasi virus Hepatitis dapat dilakukan
dengan beberapa cara, diantaranya dengan cara menghambat perlekatan virus
Hepatitis pada reseptor yang terdapat pada permukaan sel, sehingga virus Hepatitis
tidak dapat menembus membran sel, sehingga virus Hepatitis tidak dapat menembus
membran sel; dengan demikian replikasi virus Hepatitis dapat dicegah. Antibodi dapat
juga mengahancurkan virus dengan cara aktivasi komplemen melalui jalur klasik atau
menyebabkan agregasi virus Hepatitis sehingga mudah difagositosis dan dihancurkan
melalui proses yang sama seperti diuraikan diatas. Antibodi dapat mencegah
penyebaran virus Hepatitis yang dikeluarkan dari sel yang telah hancur. Tetapi sering
kali antibodi tidak cukup mampu untuk mengendalikan virus yang telah mengubah
struktur antigennya dan yang nmelepaskan diri (budding of) melalui membran sel
sebagai partikel yang infeksius, sehingga virus dapat menyebar ke dalam sel yang
berdekatan secara langsung.. Walaupun tidak cukup mampu menetralkan virus
Hepatitis secara langsung, antibodi dapat berfungsi dalam reaksi ADCC.
Disamping respons antibodi, respons imun selular merupakan respons yang
paling penting, terutama pada infeksi virus yang non-sitopatik respons imun seluler
melibatkan T-sitotoksik, sel NK, ADCC dan interaksi dengan MHC kelas I. Peran
IFN sebagai anti virus cukup besar, khususnya IFN-α dan IFN-β. Dampak antivirus
dari IFN terjadi melalui :
1. Peningkatan ekspresi MHC kelas I
2. Aktivasi sel NK dan makrofag
3. Menghambat replikasi virus. Ada juga yang menyatakan bahwa IFN menghambat
penetrasi virus ke dalam sel maupun budding virus dari sel yang terinfeksi.
Seperti halnya pada infeksi dengan mikroorganisme lain, sel T-sitotoksik
selain bersifat protektif juga dapat merupakan penyebab keruskan jaringan, misalnya
yang terlihat pada infeksi dengan virus LCMV (lympocyte choriomeningitis virus)
yang menginduksi inflamasi pada selaput susunan saraf pusat.

2.6. Pengobatan Hepatitis C


Tujuan dari pengobatan Hepatitis C adalah menghilangkan virus dari tubuh sedini
mungkin, sehingga dapat mengurani dampak buruk dari HCV tersebut. Tiga senyawa
obat yang biasa digunakan untuk pengobatan hepatitis C antara lain :
1. Interferon Alfa
Merupakan suatu protein yang dibuat secara alami oleh tubuh manusia
untuk meningkatkan sistem imunitas dan mengatur fungsi sel lainnya. Obat yang
direkomendasikan untuk penyakit Hepatitis C kronis adalah dari interferon alfa
baik dalam bentuk alami maupun sintetis .    

2. Pegylated Interferon Alfa


Dibuat dengan menggabungkan molekul yang larutair yang disebut
“polyethylene glycol  (PEG)” dengan molekul interferon alfa. Modifikasi
interferon alfa ini lebih lama ada dalam tubuh, dan penelitian menunjukkan lebih
efektif dalam membuat respon bertahan terhadap virus dari pasien Hepatitis C
kronis disbanding interferon alfa biasa.

3. Ribavirin
Merupakan obat antivirus yang digunakan bersama interferon alfa untuk
pengobatan  Ribavirin harus diberikan sesuai dengan berat badan. Pengobatan
dengan kombinasi ribavirin dan interferon akan menghasilkan respon ketika
melawan virus. Penderita dikatakan memiliki respon melawan virus jika jumlah
virus Hepatitis C begitu rendah sehingga tidak terdeteksi pada tes standar RNA
virus.
2.7. Prevalensi Hepatitis C Di Asia, Indonesia, dan NTT

Di wilayah Asia Tenggara sekitar 30 juta orang merupakan carrier dari


Hepatitis C dan lebih dari 120.000 orang diperkirakan mengalami sirosis dan kanker
hati. Sedangkan Indonesia menempati peringkat ketiga dunia untuk penderita hepatitis
terbanyak setelah India dan China dengan jumlah penderita diperkirakan sebanyak 30
juta orang yang mengidap penyakit hepatits B dan C.
WHO memperkirakan tujuh juta penduduk Indonesia mengidap virus hepatitis
C dan ribuan infeksi baru muncul setiap tahun namun 90 persen pengidap tidak
menyadari kondisi infeksi mereka. Penelitian tentang prevalensi Hepatitis C di
Indpnesia sudah dimulai sejak tahun 1990an, penelitian HCV ini dilakukan dengan
meneliti ada tidaknya HCV pada darah yang didonor.
Berdasarkan data yang diambil sejak tahun 2007 oleh Direktur Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan yang
bekerja sama dengan Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia dan PT Roche Indonesia, 
jumlah penderita Hepatitis C di Indonesia cukup tinggi yakni berkisar antara lima juta
hingga tujuh juta jiwa yang tersebar di 11 provinsi, dengan 49 unit pengumpul data
yang terdiri dari 13 rumah sakit (RS), 24 laboratorium, dan 12 unit transfusi darah.
Sebanyak 11 provinsi itu adalah DKI Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Bali,
Kalimantan, dan Papua. Selama periode itu telah terkumpul 5.870 kasus hepatitis C di
Indonesia. Dari pendataan itu, Depkes memperoleh data kasus hepatitis C di lokasi
pendataan yang menjadi proyek percontohan menurut umur, yaitu terbanyak pada usia
30-59 tahun dengan puncak pada usia 30-39 tahun yang berjumlah 1.980 kasus.

2.8. Metode Pemeriksaan Hepatitis C


Karena kenyataan bahwa infeksi HCV akut biasanya tanpa gejala, beberapa
orang didiagnosis selama fase akut. Pada orang-orang yang terus mengembangkan
infeksi HCV kronis, infeksi juga sering tidak terdiagnosis karena infeksi tetap
asimtomatik sampai dekade setelah infeksi ketika timbul gejala sekunder untuk
kerusakan hati yang serius.
Infeksi HCV didiagnosis pada 2 langkah:
 Skrining untuk antibodi anti-HCV dengan tes serologi mengidentifikasi orang-
orang yang telah terinfeksi virus.
 Jika tes ini positif untuk antibodi anti-HCV, tes asam nukleat asam ribonukleat
HCV (RNA) diperlukan untuk mengkonfirmasi infeksi kronis karena sekitar 15-
45% dari orang yang terinfeksi HCV secara spontan membersihkan infeksi oleh
respon imun yang kuat tanpa perlu pengobatan. Meski tak lagi terinfeksi, mereka
masih akan menguji positif untuk antibodi anti-HCV.
Setelah seseorang telah didiagnosis dengan infeksi hepatitis C kronis, mereka
harus memiliki penilaian tingkat kerusakan hati (fibrosis dan sirosis). Hal ini dapat
dilakukan dengan biopsi hati atau melalui berbagai tes non-invasif.
Selain itu, orang-orang ini harus melakukan tes laboratorium untuk
mengidentifikasi genotipe hepatitis C regangan. Ada 6 genotipe HCV dan mereka
merespon secara berbeda terhadap pengobatan. Selain itu, adalah mungkin bagi
seseorang untuk terinfeksi lebih dari 1 genotipe. Tingkat kerusakan hati dan virus
genotipe yang digunakan untuk memandu keputusan pengobatan dan manajemen
penyakit.

Anda mungkin juga menyukai