Etiologi
HCV sekarang dikenali sebagai penyebab hampir semua kasus yang didapat
secara parenteral dari apa yang sebelumnya dikenal sebagai hepatitis non-A, non-B.
Virus belum diisolasi tetapi telah diklon dengan menggunakan teknologi DNA
rekombinan. Analisis biologi molekuler telah telah menunjukkan bahwa HCV
merupakan virus RNA helai tunggal yang telah diklasifikasikan sebagai genus
tersendiri dalam family Flaviviridae. HCV adalah virus terbungkus, ukuran 50-60 nm
yang ditularkan terutama oleh darah atau produk-produk darah, penggunaan obat
intravena, dan kontak sosial. Penyakit hati kronis adalah lazim pada individu
terinfeksi.
Epidemiologi
Factor risiko yang paling penting untuk penularan HCV di Amerika Serikat
adalah penggunaan obat-obat intravena (40%), transfusi (10%), dan pajanan
pekerjaan dan seksual (10%). Sisa 40% penderita belum diketahui factor risiko yang
terkait kecuali bila ibu terinfeksi HIV atau mempunyai HCV RNA yang tinggi.
Walaupun uji HCV telah membuat transfuse darah jauh lebih aman, uji darah
mungkin menyebabkan hanya penurunan sedang pada kasus HCV karena transfuse
mencakup hanya sebagian kecil infeksi HCV. Serosurvei populasi besar di Amerika
Serikat menunjukkan bahwa sekitar 1% populasi dewasa mempunyai bukti adanya
infeksi HCV sebelumnya. Masa inkubasinya adalah 7-9 minggu (kisaran 2-24
minggu).
Cara Penularannya
Pada umumnya cara penularan HCV adalah parental. Semula penularan HCV
dihubungkan dengan transfuse darah atau produk darah, melalui jarum suntik. Tetapi
setelah ditemukan bentuk virus dari hepatitis, makin banyak laporan mengenai cara
penularan lainnya, yang umumnya mirip dengan cara penularan HBV.
1. Penularan Horizontal
Penularan HCV terjadi terutama melalui cara parental, yaitu transfuse darah
atau komponen produk darah, hemodialisa, dan penyuntikan obat secara
intravena.
2. Penularan Vertikal
Penularan vertical adalah penularan dari seseorang ibu pengidap atau
penderita Hepatitis C kepada bayinya sebelum persalinan, pada saat
persalinan atau beberapa saat persalinan.
Perjalanan Alamiah Hepatitis C
Salah satu konsekuensi paling berat pada hepatitis adalah kanker hati,
hepatitis C kronis merupakan salah satu bentuk penyakit hepatitis paling berbahaya
dan dalam waktu lain dapat terjadi komplikasi. Penderita hepatitis kronis beresiko
menjadi penyakit hati tahap akhir dan kanker hati, penyakit hati terutama hepatitis C
penyebab utama pada transplantasi hati sekarang ini. Saat hati menjadi rusak, hati
tersebut memperbaiki sendiri membentuk fibrosis, yang menunjukkan semakin
parahnya penyakit, sehingga hati menjadi sirosis. Hampir semua mortalitas hepatitis
C berhubungan dengan komplikasi sirosis hati dan kanker hati dan hampir tidak
pernah terjadi klirens spontan virus hepatitis C pada hepatitis kronik. Sepertiga dari
pasien terinfeksi hepatitis kronik tidak pernah menjadi sirosis. Sepertiga dari kasus
hepatitis kronik menjadi sirosis dalam waktu 30 tahun dan sebagian dapat
berkembang menjadi kanker hati. Sedangkan sepertiga lagi dalam waktu 20 tahun.
(PPHI, 2003, hal 31)
Patologi
Pola cedera akutnya serupa dengan pola cedera akut virus hepatitis lain. Pada
kasus kronis, kelompok atau folikel limfoid pada saluran porta terlihat sendirian atau
sebagai bagian dari infiltrasi radang umum saluran.
Patogenesis
Gejala Klinik
Hasil laboratorium yang menyolok adalah peninggian SGOT dan SGPT yang
terjadi pada kurun waktu 2 sampai 26 minggu setelah tertular. Masa inkubasinya
diantara hepatitis akut A dan hepatitis B, dengan puncaknya diantara 7 sampai 8
minggu setelah terkena infeksi. (Sulaiman HA, Julitasari, 2004, hal 17)
Penderita infeksi HCV biasanya berjalan sublinik, hanya 10% penderita yang
dilaporkan mengalami kondisi akut dengan ikterus. Infeksi HCV jarang menimbulkan
hepatitis fulminan, namun infeksi HCV akut yang berat pernah dilaporkan pada
penderita resipien transplantasi hati, penderita dengan dasar penyakit hati menahun
dan penderita dengan koinfeksi HBV (Hernomo K, 2003, hal. 22)
Infeksi kronik hepatitis C menunjukan dampak klinik yang jauh lebih berat
disbanding infeksi hepatitis B. Kedua infeksi virus ini dapat menimbulkan gangguan
kualitas hidup, meskipun masih dalam stadium presirotik dan sering mengakibatkan
komplikasi ekstra hepatik. (Hernomo K, 2003, hal 20) Pasien dengan hepatitis C
kronik dengan manifestasi gejala ekstrahepatik yang biasanya disebabkan respon
imun seperti gejala rematoid, keratoconjungtivitis sicca, lichen planus,
glomerulonefritis, limfoma dan krioglobulinemia esensial campuran. Krioglobulin
telah dideteksi pada serum sekitar separuh pasien dengan hepatitis C kronik (Mauss
S, et al ,2009, p.45)
Pemeriksaan Diagnosis
Test yang dipakai untuk mendeteksi antibodi terhadap virus seperti Enzyme
Immuno Assay (EIA), yang mengandung antigen HCV dari gen inti dan non
struktural, dan Assay Imunoblot Recombinan (RIBA). Teknik Polymerasi Chain
Reaction (PCR) atau Transcription – Mediated Amplification (TMA) sebagai test
kualitatif untuk HCV RNA, sementara amplifikasi target (PCR) dan teknik
amplifikasi sinyal( Branched DNA) dapat dipakai untuk mengukur muatan virus.
(PPHI,2003 hal 11)
Pendekatan paling baik untuk diagnose hepatitis C adalah test HCV RNA
yang merupakan tes yang sensitive seperti Polimerase Chain Reaction (PCR) atau
Transcription Mediated Amplification (TMA). Dengan adanya HCV RNA diserum
menandakan infeksi aktif. Test untuk HCV RNA adalah membantu pasien pasien
yang dengan test EIA dengan hasil anti HCV nya tidak dapat dipercaya, misalnya
pasien dengan gangguan imun yang mana hasil anti HCV nya negative, sebab mereka
tidak cukup memproduksi antibody. Pasien-pasien dengan akut hepatitis C, test anti
HCV negative karena antibody baru muncul setelah satu bulan fase akut. (Bell B,
2009)
Test HCV RNA dibagi dua yaitu kuantitatif dan kualitatif. Test kualitatif
menggunakan PCR/ Polymerase Chain Reaction, test ini dapat mendeteksi HCV
RNA yang dilakukan untuk konfirmasi viremia dan untuk menilai respon terapi. Test
kuantitatif dibagi dua yaitu: metode dengan teknik Branched Chain DNA dan teknik
Reverse Transcription PCR.Test kuantitatif ini berguna untuk menilai derajat
perkembangan penyakit. Pada test kuantitatif ini pula dapat diketahui derajat viremia.
(Sulaiman HA, Julitasari,2004, hal 20)
Biopsi hati biasanya dikerjakan sebelum dimulai pengobatan anti virus dan
tetap merupakan pemeriksaan paling akurat untuk mengetahui perkembangan
penyakit hati. Biopsi hati biasanya dikerjakan pada penderita dengan infeksi kronik
HCV. Dengan transaminase abnormal yang direncanakan pengobatan antiviral,
pemeriksaan histology juga dibutuhkan bila ada dugaan diagnosis penyakit hati akibat
alkohol. Biopsi hati menjadi sumber informasi untuk penilaian Fibrosis dan histologi.
Biopsis hati memberikan informasi tentang kontribusi besi, steatosis dan penyakit
penyerta hati alkoholik terhadap perjalanan hepatitis C kronik menuju sirosis.
Informasi yang didapat pada biopsy hati memungkinkan pasien mengambil keputusan
tentang penundaan atau dimulainya pemberian terapi antivirus, karena mengingat
efek samping pengobatan. (PPHI, 2003, hal 14)
Secara klinis tersedia assay serologis untuk HCV yang didasarkan pada
perkembangan antibody terhadap antigen HCV karena antigen tidak dapat terdeteksi
dalam darah. Assay digunakan terutama untuk mendeteksi hepatitis C kronis dengan
mereka tetap negative selama sekurang-kurangnya 1-3 bulan sesudah mulai penyakit
klinis. Assay generasi kedua adalah standar sekarang dan uji untuk 3 dari 5 epitop
antigenic yang diketahui. Uji-uji ini telah memperbaiki sensitivitas melebihi uji
generasi pertama tetapi masih mempunyai angka negative-palsu 10%. Assay untuk
RNA virus (reaksi rantai polymerase[RRP]). Hibridisasi in situ mahal, memakan
waktu, dan tersedia hanya pada situasi penelitian.
Komplikasi
Risiko hepatitis fulminan adalah rendah pada HCV, tetapi risiko hepatitis
kronis paling tinggi pada virus hepatitis. Perjalanan kronis biasa adalah ringan
walaupun terjadi sirosis; pemantauan jangka lama menunjukkan bahwa mortalitas
keseluruhan orang-orang dengan HCV akibat transfuse tidak berbeda dengan
mortalitas control noninfeksi. Interferon alfa-2b tersedia untuk pengobatan hepatitis
kronis pada orang-orang umur 18 tahun atau lebih tua dengan penyakit hati
kompensata yang mempunyai riwayat pemajanan darah atau produk-produk darah
atau yang antibody HCVnya positif atau keduanya.
Pengobatan
Diagnose dan pengobatan awal sangatlah mendesak dan penting. Persentase yang
signifikan dari orang yang melakukannya dapat sembuh dari Hepatitis C dan
menunjukkan perbaikan hatinya. Tujuan pengobatan dari Hepatitis C adalah
menghilangkan virus dari tubuh anda sedini mungkin untuk mencegah perkembangan
yang memburuk dan stadium akhir penyakit hati. Pengobatan Hepatitis C kronik
adalah dengan menggunakan interferon alfa dan ribafirin. Umumnya disepakati bila
genotype HCV adalah genitive 1 dan 4, maka terapi perlu diberikan selama 48
minggu dan bila genotype 2 dan 3, terapi cukup diberikan selama 24 minggu.
1. Interferon alfa. Adalah suatu protein yang dibuat secara alami oleh tubuh
manusia untuk meningkatkan system daya tahan tubuh/imunitas dan mengtur
fungsi sel lainnya. Obat yang direkomendasikan untuk penyakit Hepatitis C
kronis adalah interferon alfa bias dalam bentuk alami ataupun sintetisnya.
2. Pegylated interferon alfa. Dibuat dengan menggabungkan molekul yang larut
air disebut “polyethylene glycol (PEG)” dengan molekul interferon alfa.
Modifikasi interferon alfa ini lebih lama ada dalam tubuh dan penelitian
menunjukkan lebih efektif dalam membuat respon bertahan terhadap virus
dari pasien Hepatitis C kronis dibandingkan interferon alfa biasa.
3. Ribavirin. Adalah obat antivirus yang digunakan bersama interferon alfa
untuk pengobatan Hepatitis C kronis. Ribavirin kalau dipakai tunggal tidak
efektif melawan virus Hepatitis C, tetapi dengan kombinasi interferon alfa,
lebih efektif daripada interferon alfa sendiri.
Untuk Interveron alfa yang konvensional, diberikan seriap 2 hari atau3 kali
seminggu dengan dosis 3 juta unit subkutan setiap kali pemberian. Interveron yang
telah diikat dengan poly-ethylen glycol (PEG) atau dikenal dengan Peg-Interferon,
diberikan setiap minggu dengan dosis 1,5ag/kgBB/kali (untuk Peg-Interferon 12 KD)
atau 180 ug (untuk Peg-Interveron 40 KD). Pemberian Interferon diikuti dengan
pemberian Ribavirin dengan dosis pada pasien dengan berat badan < 50 kg 800
mgsetiap hari, 50 – 70 kg 1000 mg setiap hari, dan > 70 kg 1200 setiap haridibagi
dalam 2 kali pemberian.
Pencegahan
Sumber: