Anda di halaman 1dari 18

1.

Belenggu merupakan salah satu novel Indonesia oleh Armijn Pane. Diilhami oleh


teori psikoanalisis milik Sigmund Freud, novel ini menceritakan cinta segitiga antara seorang dokter,
istrinya, dan temannya; cinta segitiga ini akhirnya membuat semua mereka kehilangan orang yang
paling dicintai. Pertama kali diterbitkan oleh majalah sastra Poedjangga Baroe dalam tiga bagian
dari April hingga Juni 1940, Belenggu merupakan satu-satunya novel yang diterbitkan majalah
tersebut dan novel psikologis Indonesia pertama.
Dasar-dasar cerita Belenggu sudah wujud dalam dua cerpen yang ditulis Armijn sebelumnya, yaitu
"Barang Tiada Berharga" (1935) dan "Lupa" (1936). Novel yang dihasilkan, yang ditulis untuk
mencerminkan aliran pikiran manusia dan dengan menggunakan tanda elipsis dan monolog untuk
mewujudkan konflik batin, sangat berbeda daripada karya-karya sebelumnya. Dibanding karya
sastra Indonesia sebelumnya, yang terbatas pada tema tradisional seperti "yang baik melawan yang
jahat", Belenggu mengutamakan konflik psikis tokoh. Novel ini juga menunjukkan kalau sifat modern
dan tradisional itu sebenarnya berlawanan.
Setelah diselesaikan, Belenggu ditawarkan kepada Balai Pustaka, penerbit resmi negara Hindia
Belanda, pada tahun 1938. Namun, buku ini ditolak karena dianggap tidak bermoral. Novel ini
kemudian diambil oleh Poedjangga Baroe. Pada awalnya, penerimaan Belenggu oleh masyarakat
cukup beragam. Pihak yang mendukungnya beranggapan bahwa novel ini benar-benar
mencerminkan konflik yang dihadapi para intelektual Indonesia, sementara yang menolak
beranggapan bahwa novel ini porno karena memasukkan tokoh pelacur dan tema perselingkuhan.
Tanggapan sekarang lebih positif, dengan penulis Muhammad Balfas menyebutnya "novel
Indonesia terbaik dari sebelum perang kemerdekaan". [1] Belenggu sudah diterjemahan dalam
berbagai bahasa, termasuk bahasa Inggris.
Alur
Sukartono (Tono), seorang dokter berpendidikan Belanda, dan istrinya Sumartini (Tini), yang tinggal
di Batavia (sekarang Jakarta), sedang menjauh. Tono terlalu sibuk merawat pasien sehingga dia
tidak punya waktu untuk bersama Tini. Akibatnya, Tini pun menjadi lebih aktif dengan kegiatan
sosial, sehingga dia tidak mengurus rumah tangga. Hal ini membuat Tono semakin menjauh, sebab
dia ingin Tini menjadi istri tradisional yang bersedia menyiapkan makan dan menunggu dia di
rumah.
Suatu hari, Tono dipanggil oleh seseorang bernama Nyonya Eni, yang minta dirawat. Ketika Tono
mendatanginya, dia menyadari bahwa Ny. Eni sebenarnya adalah Rohayah (Yah), temannya waktu
masih kecil. Yah, yang sudah mencintai Tono sejak mereka masih di sekolah rakyat, mulai
menggoda Tono sehingga dokter itu jatuh cinta. Mereka mulai bertemu secara diam-diam dan sering
pergi ke pelabuhan Tanjung Priok. Ketika Tini pergi ke Surakarta untuk menghadiri kongres wanita,
Tono mengambil langkah untuk hidup bersama Yah selama satu minggu.
Selama di rumah Yah, Tono dan Yah membahas masa lalu. Tono menjelaskan bahwa setelah tamat
sekolah rakyat di Bandung, dia berpindah ke Surabaya dan belajar di sekolah kedokteran di sana.
Dia menikah dengan Tini karena kecantikannya. Sementara, Yah dijodohkan dengan pria yang lebih
tua dan berpindah ke Palembang. Setelah meninggalkan suami, dia pindah ke Batavia dan menjadi
pelacur; selama tiga tahun dia menjadi simpanan pria Belanda. Melihat tingkah laku Yah yang sopan
santun, Tono menjadi semakin cinta padanya karena beranggapan bahwa Yah adalah istri yang
tepat untuknya. Namun, Yah merasa dirinya belum siap untuk menikah.
Tono, yang merupakan penggemar musik keroncong, diminta menjadi juri suatu lomba keroncong
di Pasar Gambir. Di sana, dia bertemu dengan Hartono, seorang aktivis politik dan
anggota Partindo, yang bertanya tentang istri dokter itu. Beberapa hari kemudian, Hartono
mengunjungi rumah Tono dan bertemu dengan Tini. Ternyata Tini pernah menjalin hubungan
dengan Hartono saat kuliah, sehingga mereka berhubungan seks; hal ini membuat Tini jengkel
dengan dirinya sehingga tidak dapat mencintai laki-laki. Hartono pun semakin mengacaukan
keadaan ketika dia memutuskan Tini dengan hanya meninggalkan sepucuk surat. Ketika Hartono
minta agar dapat kembali bersama Tini, Tini menolak.
Setelah mengetahui bahwa Tono selingkuh, Tini menjadi sangat marah dan pergi untuk berbincang
dengan Yah. Namun, setelah berbicara panjang dengan Yah, Tini mulai beranggapan bahwa Yah
lebih cocok untuk Tono dan minta agar Yah segera menikahinya. Tini lalu berpindah ke Surabaya,
dan Tono ditinggalkannya di Batavia. Namun, Yah merasa bahwa mempunyai hubungan dengan
Tono akan membuat citra baik Tono hancur, sebab latar belakangnya yang pelacur itu. Dia lalu
mengambil keputusan untuk pindah ke Kaledonia Baru, dengan meninggalkan sepucuk surat dan
sebuah piring hitam yang membuktikan bahwa Yah sebenarnya penyanyi favorit Tono, Siti Hajati.
Dalam perjalanan ke Kaledonia Baru, Yah rindu pada Tono dan mendengar suaranya di radio. Tono
ditinggal sendiri dan mulai bekerja sangat keras, dalam usaha untuk mengisi kesepiannya.
Tokoh
Sukartono
Sukartono (disingkat Tono) adalah seorang dokter yang merupakan suami Tini dan cinta Yah.
Dokter ini suka merawat pasien miskin tanpa memungut biaya, sehingga menjadi terkenal. Dia juga
penggemar berat lagu-lagu keroncong. Sewaktu dia masih di sekolah kedokteran, dia lebih suka
bernyanyi daripada belajar dan sampai sekarang ada radio di ruang periksanya. Kegemarannya
atas musik tradisional mencerminkan keinginannya untuk mempunyai istri yang berwawasan
tradisional untuk menjaganya. Karena merasa tersiksa dari pernikahannya tanpa cinta dengan Tini,
dia jatuh hati pada Yah, sebab Yah dianggap lebih mampu menjadi istri tradisional. Namun, akhirnya
dia ditinggal sendiri.[2]
Sumartini
Sumartini (disingkat Tini) adalah istri Tono yang sangat modern. Waktu masih mahasiswi, dia sangat
populer dan suka berpesta. Pada masa itu, Tini menyerahkan keperawanannya kepada Hartono,
sehingga setelah dia diputuskan dia menjadi semakin tidak acuh pada keinginan laki-laki. Setelah
dinikahi Tono, Tini menjadi semakin kesepian dan mulai bergerak di bidang sosial supaya hidupnya
berarti. Ketika mengetahui ketidaksetiaan Tono dan beranggapan bahwa Yah lebih cocok dengan
suaminya, Tini meninggalkan Tono dan pindah ke Surabaya. [3]
Menurut Yoseph Yapi Taum, seorang dosen di Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta, sikap
tidak acu Tini adalah alasan utama mengapa Tono menjadi tertarik pada Yah. Gaya hidup Tini, yang
tidak memasuki Tono, membuatnya berasa terasing dan mendorongnya untuk mencari wanita yang
lebih tradisional.[4] Tham Seong Chee, seorang kritikus dari Singapura, beranggapan bahwa Tini
adalah tokoh yang lemah sebab dia tidak bisa mengambil keputusan tanpa pengaruh luar, dan
sampai kapan pun tidak mau menyelesaikan masalahnya dengan Tono. Dia juga menyatakan kalau
Tini dibatasi oleh nilainya sendiri, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia pada
umumnya.[5] Menurut penyair dan kritikus sastra Goenawan Mohamad, Tini didorong oleh harapan
suaminya akan istri yang tradisional.[6]
Rohayah
Rohayah (juga dikenal dengan nama samaran Nyonya Eni dan Siti Hayati; disingkat Yah) adalah
teman Tono dari Sekolah Rakyat yang kemudian menjadi simpanannya; dia juga seorang penyanyi
keroncong terkemuka. Setelah Tono, yang lebih tua tiga tahun, lulus dari Sekolah Rakyat, Yah
dipaksakan untuk menikah dengan pria yang lebih tua 20 tahun dan dibawa ke Palembang. Setelah
melarikan diri, Yah kembali ke Bandung; akan tetapi, orang tuanya sudah meninggal. Dia kemudian
berpindah ke Batavia dan menjadi seorang pelacur sekaligus penyanyi keroncong dengan nama
samaran Siti Hayati. Ketika mengetahui bahwa Tono telah menjadi dokter di Batavia, dia menggoda
dokter itu. Biarpun mereka saling jatuh cinta, Yah mengambil langkah untuk pergi sebab dia takut
Tono akan diremehkan apabila dia menikah dengan seorang mantan pelacur. Yah berpindah
ke Kaledonia Baru.[7]
Tham beranggapan bahwa Yah sebenarnya cocok menjadi istri Tono, sebab dia sudi menjadi istri
tradisional. Namun, dia tidak dapat menjalani hubungan tersebut karena dulu menjadi pelacur.
Menurut Tham, hal ini mencerminkan bahwa "moral dan nilai etis tidak mudah dipahami intelek,
akal, atau rasio".[5] Goenawan beranggapan bahwa Yah sebenarnya seorang fatalis, yang
merendahkan diri dengan menyatakan bahwa ada seribu perempuan di Tanjung Priok yang
mempunyai cerita serupa. Dia juga beranggapan bahwa tokoh tersebut menjadi mengharukan tanpa
menjadi berlebihan. Menurutnya, Yah adalah pelacur pertama yang digambarkan secara simpatetis
dalam suatu karya sastra Indonesia.[6]
Pengaruh
Menurut Bakri Siregar, seorang kritikus sastra Indonesia sosialis yang aktif dengan Lekra, Armijn
dipengaruhi teori Sigmund Freud akan psikoanalisis; dia menulis bahwa hal ini paling menonjol
dalam tokoh Sumartini.[8] Dua karya Armijn yang ditulis sebelumnya, "Barang Tiada Berharga" (1935)
dan "Lupa" (1936), mempunyai aspek plot yang mirip dengan Belenggu. "Barang Tiada Berharga"
juga mempunyai tokoh dokter dan istrinya, yaitu Pardi dan Haereni, yang digambarkan dengan
watak yang mirip Sukartono dan Sumartini, sementara "Lupa" memperkenalkan tokoh utama
Sukartono.[9] Sebab pemerintah Hindia Belanda melarang pembahasan politik dalam sastra, Armijn
membatasi sindiran pada sistem kolonial dalm novel. [10]
Gaya
Belenggu sering menggunakan tanda elipsis dan monolog untuk mencerminkan konflik batin tokoh
masing-masing, sehingga kritikus sastra Indonesia berasal Belanda A. Teeuw menyatakan bahwa
novel ini adalah "monolog interior bercabang tiga". [11] Berbeda dari karya-karya yang diterbitkan Balai
Pustaka, yang merupakan penerbit milik negara Hindia Belanda, Belenggu tidak menjelaskan
semua aspek cerita; hanya aspek kunci dikemukakan, dengan aspek lain diisi sendiri oelh pembaca.
Ini membuat pembacaan menjadi lebih aktif.[12]
Berbeda dari penulis novel Balai Pustaka, Armijn tidak menggunakan peribahasa; dia lebih
menekankan penggunaan simile. Cara lain yang menunjukkan perbedaan gaya tulis Armijn dengan
penulis-penulis Balai Pustaka ialah dengan membatasi penggunaan bahasa Belanda murni;
sebelumnya penulis seperti Abdul Muis dan Sutan Takdir Alisjahbana menggunakan bahasa
kolonialis itu untuk menggambarkan sifat tokoh utama yang intelektual. Sementara,
dalam Belenggu Armijn menekankan bahasa serapan, sehingga edisi-edisi awal memuat daftar
istilah yang berisikan istilah-istilah yang baru atau sulit. [1][13] Siregar menulis bahwa bahasa Armijn
lebih mencerminkan penggunaan bahasa Indonesia sehari-hari. [13]
Analisis
Simbolisme
Menurut Yapi, judul Belenggu mencerminkan konflik batin yang dihadapi semua tokoh utama,
sehingga mereka terbatas dalam perilaku mereka. Yapi menunjuk pada klimaks novel sebagai
contoh baik akan keterbatasan itu.[14] Menurut Siregar, hal ini didukung oleh dialog antara Siregar
antara Hartono dan Sukartono, di mana mereka beranggapan bahwa manusia selalu dibelenggu
oleh kenangannya akan masa lalu. [15]
Berbeda dari karya sastra Indonesia pada zaman itu, bab-bab Belenggu hanya diberi nomor bab –
karya lain, misalkan Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis menggunakan nomor dan judul.
Menurut Yapi, perbedaan gaya ini mewakili aliran kesadaran manusia, berbeda dengan cara
sebelumnya yang menjadikan setiap bab sebagai peristiwa yang terpisah. [16]
Tema
Menurut Teeuw, berbeda dari novel-novel Indonesia pada masa itu, Belenggu tidak menggunakan
tema protagonis yang baik dan suci melawan antagonis yang jahat, atau konflik dan perbedaan
antara generasi.[17] Novel ini juga tidak menggunakan tema kawin paksa dan tidak
diterimanya adat oleh pemuda-pemudi.[1] Novel ini malah menggunakan tema cinta segitiga – yang
pada saat itu sudah umum di sastra Barat tapi belum ada di sastra Indonesia – tanpa menunjukkan
siapa yang baik, jahat, benar, atau salah. Dia menulis kalau buku ini menggambarkan konflik batin
sejenis manusia baru, yang dibentuk karena persatuan budaya Timur dan Barat. [17]
Yapi mencatat bahwa Belenggu menunjukkan hidup modern dan tradisional sebagai dua sistem
yang berlawanan, yang memperbandingkan hal-hal baru dengan yang lama. Misalkan, Sukartono,
seorang dokter (simbol hidup modern), selalu berpikir tentang masa lalu, Yah, dan lebih suka musik
tradisional daripada yang modern. Lewat kontras Sukartono dan istrinya Tini yang sangat modern
itu, Armijn menekankan bahwa kehidupan modern belum tentu membuat orang bahagia. Menurut
Yapi, Belenggu mungkin dipengaruhi atau bahkan ditulis sebagai tanggapan atas Layar
Terkembang (1936), karya Sutan Takdir Alisjahbana, yang juga mempunyai tema ini tetapi lebih pro-
modern.[18]
Clive Christie, seorang dosen di School of Oriental and African Studies di London, mencatat
bahwa Belenggu juga mewujudkan rasa terasingkan yang kuat. Dia menulis bahwa para tokoh
menjadi seperti anggota "masyarakat yang berada dalam vakum", tanpa hubungan yang jelas
dengan kolonialisme tetapi juga tanpa pengertian yang jelas akan nilai-nilai tradisional. Christie
menjelaskan hubungan Tono dengan Yah sebagai simbol atas orang-orang intelektual yang
berusaha berinteraksi dengan masyarakat luas melalui budaya populer, tetapi akhirnya tidak
berhasil.[10]
Penerbitan pertama
Belenggu diserahkan kepada Balai Pustaka pada tahun 1938 untuk diterbitkan, tetapi tidak diterima
sebab dianggap berlawanan dengan moral umum; [19] hal ini disebabkan penggambaran
perselingkuhan sebagai hal yang umum, bahkan menjadi bagian penting dalam alur. Akhirnya novel
ini diterbitkan oleh majalah Poedjangga Baroe, yang Armijn telah bantu mendirikan pada tahun
1933, dan diterbitkan dalam bentuk serial dari bulan April sampai Juni 1940. [17][19] Belenggu adalah
satu-satunya novel yang diterbitkan majalah sastra itu, [19] dan merupakan novel psikologis Indonesia
pertama.[20]
Pada tahun 1965, Belenggu diterjemahkan ke bahasa Malaysia. Sampai pada tahun 1988, novel ini
sudah terjemahkan ke dalam bahasa Mandarin dan, pada tahun 1989, diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris oleh John McGlynn dengan judul Shackles, lalu diterbitkan Yayasan Lontar.[21]
Penerimaan
Ketika Belenggu diterbitkan, ada dua jenis reaksi utama. Orang-orang yang suka novel ini
menyatakan bahwa Belenggu sangat berani, sebab dia mampu membahas tema yang berdasarkan
kenyataan sosial.[22] Misalkan, jurnalis S. K. Trimurti menulis bahwa buku ini benar-benar
mencerminkan permasalahan yang dihadapi orang Indonesia berpendidikan tinggi saat menghadapi
kebudayaan tradisional.[23] Sementara, orang-orang yang tidak suka Belenggu meremehkannya
sebagai novel yang "porno", sebab ada tekanan pada perilaku tabu seperti perselingkuhan dan
prostitusi.[22] Menurut Teeuw, resepsi ini dipengaruhi oleh sifat pembaca Indonesia, yang terbiasa
membaca karya sastra yang diidealkan, menjadi syok atas kenyataan yang dicerminkan
dalam Belenggu.[24]
Kritik-kritik yang lebih mutakhir cendurung lebih positif. H.B. Jassin menulis pada tahun 1967 bahwa,
biarpun tokoh-tokoh bertindak sebagai karikatur, Belenggu mampu membuat pembaca termenung
atas kenyataan sosial modern. [25] Pada tahun 1969 novel ini diberi penghargaan dari pemerintah
Indonesia;[26] pada tahun yang sama, penulis dan kritikus sastra Ajip Rosidi menulis bahwa buku ini
lebih menarik daripada karya-karya sebelumnya karena penyelesaiannya bersifat multi-tafsir. [25]
Menurut penyair dan kritikus sastra Muhammad Balfas, yang menulis pada tahun
1976, Belenggu adalah "novel Indonesia terbaik dari sebelum perang kemerdekaan". [1] Dalam
bukunya tentang sejarah sastra Indonesia yang terbit pada tahun 1980, Teeuw menulis bahwa,
biarpun ada kekurangan dalam penggambaran psikologis tokoh-tokoh utama, Belenggu adalah
satu-satunya novel Indonesia dari sebelum Perang Kemerdekaan yang benar-benar menarik untuk
pembaca dari Barat.[24] Tham menulis pada tahun 1981 bahwa novel ini adalah cermin terbaik akan
timbulnya kesadaran dalam masyarakat Indonesia bahwa nilai-nilai Barat bertentangan dengan nilai-
nilai Timur.[27]

2. Bicara tentang puisi Indonesia, siapa yang tak mengenal penyair kondang
bernama Chairil Anwar. Penyair muda yang namanya dielu-elukan di jagat sastra
Indonesia bahkan dunia. Penyair dengan banyak menuliskan puisi cinta di dalam
karyanya. Berbagai generasi selalu mengenal namanya lewat puisi fenomenal
berjudul “Aku”. Baik kaum muda maupun tua punya kekaguman yang sama oleh
karya-karyanya.
            Chairil Anwar, lahir 26 Juli 1922 di Medan, meninggal 28 April 1949 di
Jakarta. Berpendidikan MULO (tidak tamat). Pernah menjadi redaktur
“Gelanggang” (ruang budaya Siasat, 1948—1949) dan redaktur Gema
Suasana (1949).[2] Kumpulan sajaknya: Kerikil Tajam dan Yang Terhempas dan
Yang Putus (1949), Deru Campur Debu (1949), Tiga Menguak Takdir (kumpulan
sajak, bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, 1950), Aku Ini Binatang
Jalang (1986), dan Derai-Derai Cemara (1999).[3] Diusia muda dan diumur yang
singkat, Chairil sudah banyak menuliskan karyanya yang sampai saat ini masih
terus dipelajari.
            Kisah Chairil Anwar dengan segala hal tentang sepak-terjang
kepenyairannya dan sikap berkesenian adalah sebuah legenda. Dalam
perjalanan hidupnya yang pendek itu (26 Juli 1922—28 April 1949) ia berhasil
menanamkan pohon kreativitas yang hingga kini masih terus berkembang-
berbuah.[4] Jadi, hampir semua buah karya Chairil Anwar laksana
mempresentasikan sikap hidup, gagasan, dan perbuatannya.[5] Sikap, hidup,
dan gagasan Chairil inilah yang merepresentasikan puisi-puisi ternamanya.
Bahkan karya-karyanya juga diterjemahkan ke berbagai bahasa asing. Selain itu,
studi dan penelitian mengenai Chairil juga banyak dikaji oleh beberapa tokoh
penting baik di dalam maupun luar Indonesia.
Chairil Anwar dan Plagiarisme
            Tidak asing lagi, kata plagiarisme selalu hadir dalam dunia tulis-menulis.
Tuduhan-tuduhan plagiarisme terkadang datang kepada para penulis ternama di
Indonesia, seperti Chairil Anwar. Chairil melalui salah satu puisinya berjudul
“Krawang – Bekasi” dituduh plagiat dari karya Archibald Macleish yang berjudul
“The Young Dead Soldiers”. Kemiripan dengan karya berbahasa Inggris itu
mengantarkan beberapa kritik terhadap puisi “Krawang – Bekasi” karya Chairil
tersebut. Selain itu, HB. Jassin dalam bukunya Chairil Anwar Pelopor Angkatan
’45 yang diterbitkan oleh Narasi ini dibubuhi dengan karya-karya Chairil Anwar
yang dipengaruhi beberapa tokoh.
            Sebelum lebih jauh menilai suatu karya apakah berbentuk plagiat atau
bukan. Alangkah baiknya dipaparkan beberapa pengertian agar dapat
menganalisis sebuah karya dan menentukan apakah plagiat, saduran, ataupun
terjemahan. Menurut Suwardi Endraswara, plagiat adalah kerja sastrawan yang
meniru karya orang lain. Plagiat sama halnya dengan pencurian.[6] Hemat
penulis, bahwa plagiat ini merupakan tiruan karya orang lain secara menyeluruh
tanpa dicantumkannya identitas dari pengarang asli.
            Selain plagiat terdapat pula yang disebut dengan saduran. Saduran
adalah pengolahan kembali karya seni jenis satu ke jenis yang lain atau dari satu
media ke media yang lain.[7] Menurut penulis, selain pada pengertian di atas,
saduran merupakan proses pengambilan sebagian karya seseorang terhadap
karya sendiri atau bisa juga karya seseorang yang ditulis ulang menggunakan
bahasa dan gaya penulis yang berbeda dari penulis aslinya.
            Terjemahan, secara umum kata ‘terjemahan’ sudah lumrah dikenal setiap
orang. Kata terjemahan sering dipakai untuk menerjemahkan sesuatu dari satu
bahasa ke bahasa yang lain. Begitu juga dalam karya sastra, menurut penulis
istilah terjemahan ini adalah karya yang dialihbahasakan dari suatu bahasa ke
bahasa yang lain dengan mencantumkan nama penulis aslinya. Artinya, jika
dalam proses penerjemahan suatu karya sastra tidak mencantumkan nama
pengarang aslinya maka dapat disebut dengan plagiat.
            Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa terdapat tuduhan plagiat
yang dilakukan Chairil Anwar dalam karya-karyanya. HB. Jassin dalam
bukunya Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45 menerangkan ada dua puisi yang
dianggap plagiat dengan judul “Kepada Peminta-minta” dan “Krawang –
Bekasi”. Karya “Kepada Peminta-minta” beberapa sajaknya sama dengan puisi
Willem Elsschot yang berjudul “Tot Den Arme”. Untuk lebih jelas lihat Lampiran
1.
Karya Chairil yang berjudul “Kepada Peminta-minta” berjumlah 20 larik. Dari 20
larik yang ada, 16 larik berasal dari puisi Willem Elsschot yang berjudul “Tot Den
Arme” dengan 24 larik yang Chairil alihbahasakan ke bahasa Indonesia. Secara
keseluruhan isi puisi “Kepada Peminta-minta” tidak semuanya sama. Ada larik
yang diulang-ulang dan diacak oleh Chairil. Ada pula 4 larik karya Chairil ini yang
tidak terpengaruh oleh Elsschot yaitu larik ke 7,8,10, dan 12.
Satu lagi puisi Chairil yang dituduh plagiat berjudul “Krawang – Bekasi”. Di atas
sudah dipaparkan bahwa puisi ini dianggap plagiat dari karya Archibald Macleish
yang berjudul “The Young Dead Soldiers”. Kedua puisi tersebut mengisahkan
prajurit-prajurit yang gugur dalam pertempuran. Ajip Rosidi dalam
bukunya Masalah Angkatan dan Periodesasi Sejarah Sastra
Indonesia menjelaskan bahwa puisi Chairil diberi warna lokal dan patriotisma
Indonesia.[8] Lihat lampiran 2 dan 3.
Pemberian warna lokal dalam puisi Chairil ini terdapat dalam baris pertama dan
kedua yang tidak terdapat dalam puisi Macleish. Chairil memberi
keterangan “antara Krawang – Bekasi” sebagai penegas tentang tempat di
dalam puisi ini. Selain itu, ungkapan “tidak bisa teriak ‘Merdeka’ dan angkat
senjata lagi” menjadi penegas bahwa puisi ini di awal berbeda dengan Macleish.
Patriotisme dalam puisi Chairil pun tergambar sosok tokoh Indonesia yang tidak
ada dalam puisi Macleish. Chairil menyebutkan menjaga Bung karno, Bung
Hatta, dan Bung Syahrir dalam bait ketujuh dalam puisinya.
Dua puisi yang dianggap plagiat tersebut setelah mengacu pada pengertian di
atas tentang plagiat, saduran, dan terjemahan. Puisi “Kepada Peminta-
minta”dan“Krawang – Bekasi”dikategorikan sebagai saduran karena kedua puisi
tersebut diadaptasi dari puisi orang lain dan strukturnya tidak sama persis
dengan puisi aslinya. Senada dengan itu, HB. Jassin yang dikutip oleh Suwardi
dalam buku Metodologi Penelitian Sastra Bandingan, bahwa Jassin menilai
bahwa penyair angkatan 45 itu hanya menyadur dan menerjemahkan karya-
karya sastra asing bersangkutan.[9] Oleh karena itu, dengan menyadur puisi
penyair luar, Chairil mampu memberikan warna yang berbeda melalui puisinya.
Perlu diketahui, selain menyadur karya Elsscot dan Macleish, Chairil juga
mendapat pengaruh dari orang lain. Seperti yang dijelaskan Jassin, pada Chairil
kita lihat pengaruh-pengaruh Marsman dan Slauerhoff, malahan demikian besar
pengaruh hingga alat-alat perbandingan dan ungkapan kedua penyair itu di
sana-sini terpakai olehnya, mungkin  dengan dasar dipakainya, untuk
menyatakan apa yang hidup dalam dirinya.[10] Pengaruh Marsman dan
Slauerhoff ini terlihat dalam puisi Chairil berjudul “Kepada Kawan”.
Chairil Anwar, selain menyadur puisi, ia juga banyak menerjemahkan puisi dan
prosa. Chairil telah menulis 72 sajak asli (1 dalam bahasa Belanda), 2 sajak
saduran, 11 sajak terjemahan, 7 prosa asli (1 dalam bahasa Belanda) dan 4
prosa terjemahan, sama sekali jadi 96 tulisan.[11] Setelah membahas mengenai
tema Chairil dan Plagiarisme dapat diambil beberapa ibrah bahwa Chairil banyak
mendapatkan pengaruh dari penyair luar dan mengolahnya menjadi diksi bagi
dirinya sendiri. Terlebih lagi, Chairil tetaplah Chairil yang punuya sikap, hidup,
dan gagasan yang sesuai dengan dirinya dan dituangkan dalam setiap karyanya
yang masih dapat dibaca sampai saat ini.

3. Manifes Kebudayaan merupakan istilah yang ditemukan pada masa orde


lama yang mengusung konsep kebudayaan humanisme universal dan
Manifestasi ini diciptakan untuk menyeimbangkan dan mengurangi
realisme sosial dan dominasi dari golongan kiri. Wiratmo Soekito, Taufi
Quismile, Arif Budyman dan Goe Asagoe Muhammad adalah para
penggagas dari manifestasi ini. Terinspirasi oleh semangat universal
humanisme yang pertama kali diungkapkan dalam kualifikasi Gelanggang,
manifesto ini antara lain menyerukan pentingnya partisipasi semua sektor
dalam perjuangan budaya Indonesia.
Manifesto itu sendiri tidak merinci langkah-langkah apa yang perlu
dilakukan untuk “memperjuangkan harkat dan martabat kita sebagai
bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat tanah air”. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa pokok-pokok yang disampaikan sebenarnya tidak
bertentangan dengan semangat zaman, “Saya ingin memperbaiki keadaan
hidup manusia”. Mungkin satu-satunya prinsip yang membedakan mereka
adalah menolak hubungan antara budaya dan kekuasaan posisi Sutan
Takdir Alishabana dalam debat budaya tahun 1930-an. Oleh karena itu,
posisi Lekra mengutamakan kemajuan kebudayaan rakyat untuk
membebaskan kaum tertindas yaitu kaum buruh dan tani yang dipandang
sebagai upaya mempolitisasi gerakan budaya dan mengancam keunggulan
prinsip-prinsip estetika dengan slogan verbal belaka.
Manifestasi Kebudayaan atau yang biasa disebut Manikebu, berbeda
dengan Lekra baik dalam kelompok seni maupun budaya. Manikebu
bukanlah organisasi atau lembaga dengan kerangka organisasi yang jelas.
Kelompok kebudayaan ini juga ada dalam sejarah yang ditentukan oleh
faktor politik dan telah dideklarasikan pada 24 Agustus 1963. Keunggulan
Lekra sebagai lembaga kebudayaan dan sebagai kelompok yang sangat
dekat dengan penguasa waktu itu oleh PKI maupun Soekarno untuk
mengungkapkan penentangannya terhadap gagasan-gagasan budaya yang
dimunculkan untuk mengekspresikan Lekra.
Secara khusus, cenderung menjadi "seni untuk rakyat" dan "politik adalah
panglima tertinggi", dan manikebu ini sendiri memiliki jargonnya sendiri
yang disebut humanisme universal. Di bagian ini kita akan menemukan
kronologi dari pembuatan Manifes Budaya hingga hari-hari awal
konfrontasinya dengan Lekra. Dengan menelusuri perkembangan Sentral
Organisasi Karyawan Seluruh Indonesia atau yang disebut SOKSI dari
keinginan militer untuk membentuk serikat pekerja untuk bersaing dengan
Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). SOKSI mencoba
bersaing dengan Lekra dengan membentuk semacam kelompok budaya
yang juga bisa bersaing dengan kekuasaan Lekra
Ivan Simatupang adalah salah satu pengarang yang berwenang membentuk
kelompok budaya. Namun upaya Ivan Simatupan gagal hingga rencana
tersebut diambil alih oleh Willatomo Soekito. Proses pembentukan
Manikebu sangat menarik sejak "perencanaan" konstruksi, karena
militerlah yang memulai pembentukan Manikebu. Proses pembentukan
Manikebu di tangan militer sangat membingungkan, namun menurut Alex
Spartno ada dua alasan mengapa militer membutuhkan kelompok budaya.
Alasannya yang pertama adalah bahwa perimbangan kekuatan politik
dengan massa yang diorganisir di bawah Front Nasional Nasakom
membuat militer sulit menggunakan "metode militeristik" untuk mencapai
tujuannya. Alasan yang kedua sejak pemilu 1955, mereka telah mengakui
peran budaya dalam memobilisasi kekuatan massa.
Dalam kampanye PKI yang biasanya selalu menjadi pesta rakyat dan
kebetulan didukung oleh anggota yang juga anggota Lekra. Dari sini dapat
kita lihat bahwa (mereka) memiliki kekuatan politik (massa), dan kekuatan
budaya yang dibutuhkan untuk melawan kekuatan politik seperti Lekra,
karena inilah militer memilih Manikebu. Setelah melakukan pekerjaan
yang sebelumnya ditugaskan oleh Ivan Simatupan, Willatomo menyetujui
persyaratan bahwa ia akan melakukan konsepsi. Naskah Manifes
Kebudayaan diselesaikan oleh Wiratmo Soekito pada tanggal 17 Agustus
1963 pukul 04.00. Naskah tersebut kemudian diserahkan kepada
Goenawan Mohammad dan Bokor Futashat untuk didiskusikan dengan
seniman dan penulis lain. Naskah tersebut berisi:
“Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini
mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan yang menyatakan
pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami.
Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan
kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor
kebudayaan di atas sektor kebudayaan lain. Setiap sector berjuang
bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya. Dalam
melaksanakan Kebudayaan Nasional, kami berusaha menciptakan
dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk
mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai
bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa.
Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami”
Kemudian, teks Manifes Budaya digandakan dan diserahkan kepada
pekerja budaya Indonesia untuk diteliti pada tanggal 23 Agustus 1963 di
Jalan Raden Saleh 19 pukul 11.00 WIB dan mengadakan pertemuan
membahas naskah Manifes Kebudayaan dengan 13 seniman Indonesia.
Adapun para seniman dan sastrawan tersebut yaitu Trisno Sumardjo,
Zaini, HB. Jassin, Wiratmo Soekito, Bokor Hutasuhut, Goenawan
Mohamad, Bur Rusuanto, A. Bastari Asnin, Ras Siregar, Djufri Tanissan,
Soe Hok djin, Sjahwil dan D.S Moeljanto. Setelah pertemuan ini, seniman
yang hadir disebut sebagai panitia perumusan Manikebu yang kembali,
mengadakan pertemuan lain pada tanggal 24 Agustus untuk
mempersiapkan dan menyetujui naskah Manifes Kebudayaan
Kali ini, 22 sastrawan Indonesia menandatanganinya dengan ketentuan
sebagai berikut yaitu Manifes Kebudayaan pada prinsipnya tidak dapat
diubah lagi. Kemudian Manifes Budaya tidak menciptakan organisasi
budaya secara apriori. Di sinilah awal Manikebu dimulai, perbedaan dari
Humanisme Universal yang sering dibandingkan dengan kategori yang
terlibat dalam realisme sosial Lekra, D. S Muljanto menjelaskan dengan
jelas. “Humanisme universal yang dimaksud adalah kebudayaan sebagai
pernyataan hidup manusia mempunyai tendensi-tendensi universil, yaitu
universil dalam arti bahwa kebudayaan itu bukan hanya untuk satu bangsa
saja, tetapi untuk semua bangsa. Dan di samping itu bukan hanya untuk
satu angkatan saja, tetapi untuk semua angkatan. Meskipun demikian arus
ditegaskan bahwa kebudayaan itu itu mempunyai titik tolak dan titik tolak
itu adalah titik nasional. Saya menyetujui sepenuhnya ucapan Dag
Hammerskjoeld bekas sekretaris jenderal PBB yang meninggal dunia tahun
1961 yang menyatakan bahwa harus menekankan mveunya ke arah
kepentingan internasional. Dan inilah pengertian tentang-universil, karena
itu kita menerima humanisme universal dalam pengertian itu”. Bermula
dari pemahaman humanisme universal D.S. Muljanto di atas, ditemukan
konsep yang persis sama dengan Lekra, menurut pernyataan Muljanto
unsur manusia tentu terasa kental.

4.Kebebasan adalah kekuasaan atau kemampuan bertindak tanpa paksaan; ketiadaan kendala
(hambatan); kekuasaan untuk memilih tindakan seseorang vis-à-vis negara, yang seringkali dilihat di
dalam arti kebebasan dasar (fundamental freedom).

5. 1. Parokial
Parokial mempunyai cakupan daerah terbatas. Jadi, lingkupnya kecil dalam zona daerah.
Parokial menunjukkan bahwa antusiasme masyarakat dalam kegiatan bidang ini rendah.

Biasanya terjadi pada kelompok masyarakat yang tradisional atau berada di wilayah terpencil,
sehingga sarana untuk ikut berpartisipasi pun kurang memadai. Parokial ditandai dengan
kurang tertariknya warga mengenai masalah politik.

2. Partisipan
Budaya politik di Indonesia partisipan ditandai dengan kesadaran rakyat untuk ikut
berpartisipasi dalam kegiatan aspek ini. Masyarakat pada partisipan sadar bahwa sebagai
warga negara mempunyai hak dan kewajiban terkait masalah politik.

Kontribusi aktif yang diberikan memiliki pengaruh terhadap kebijakan politik. Apalagi mengingat
masyarakat memang mempunyai peran dalam penetapan kebijakan tersebut, tidak hanya oleh
penguasa saja.

Partisipan secara umum diterapkan pada wilayah yang sistemnya menganut demokrasi. Sebab,
pada sistem ini, dalam negara pemerintah serta masyarakat memiliki hak dan juga kebebasan
setara.

3. Subjek
Terakhir adalah subjek, di mana masyarakat tidak sadar dan kurang perduli mengenai sistem
pemerintahan yang sedang berlangsung. Warganya lebih tertarik terhadap hasil dari
penyelenggaraannya.

Sedangkan terkait proses, keterlibatan dan partisipasi termasuk rendah. Sehingga bisa
dikatakan bahwa pengaruh dari warga terhadap sistem ini sangat kecil. Masyarakat hanya
menunggu kebijakan dari penguasa saja, tidak ikut andil di dalamnya.

Beberapa Ciri Budaya Politik di Indonesia


Setiap Jenisnya
Di Indonesia menganut dua jenis budaya yang sering kita temui. Budaya yang berlangsung
tergantung dari banyak faktor, namun yang paling dominan adalah lingkungan. Uraian
mengenai cirinya sebagai berikut.

1. Parokial
Ciri dari parokial yaitu masyarakat apatis, ruang lingkup sempit dan kecil, pengetahuan warga
mengenai aspek ini termasuk kategori sangat rendah, masyarakat tidak memperdulikan bahkan
menarik diri dari kawasan politik.

Ciri lainnya yaitu masyarakat jarang sekali berhadapan dengan sistem ini, kesadaran warga
mengenai kewenangan serta kekuasaan negara sangat rendah. Jadi, intinya budaya politik di
Indonesia satu ini membuat rakyatnya kurang aktif berpartisipasi.

2. Partisipan
Ciri-ciri dari partisipan yaitu masyarakat mempunyai kesadaran tinggi untuk aktif berperan
terkait bidang ini dan sadar bahwa warga memiliki hak serta tanggung jawab terhadap
kehidupan politik.

Ciri lainnya adalah rakyat tidak begitu saja menerima situasi yang ada, tapi secara sadar
memberikan penilaian terhadap masalah terkait politik. Budaya politik di Indonesia jenis
partisipan ini merupakan yang paling ideal bagi negara demokrasi.

Ada beberapa contoh budaya ini di masyarakat Indonesia, yaitu berpartisipasi dalam pemilu
bagi yang memenuhi persyaratan ketentuan, ikut serta dalam forum untuk menyampaikan
aspirasi serta melakukan unjuk rasa dengan tertib dan damai.

Aktifnya masyarakat dalam kegiatan bidang ini akan memberikan dampak positif terhadap
perkembangan negara, apalagi Indonesia menganut sistem demokrasi. Jadi, budaya politik di
Indonesia diharapkan tetap mampu membuat rakyatnya aktif berperan.
6. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Ketimpangan Sosial

Secara umum, ketimpangan sosial diartikan sebagai kondisi


adanya ketidakseimbangan atau jarak yang terjadi di tengah-
tengah masyarakat yang disebabkan oleh adanya perbedaan
status sosial, ekonomi, maupun budaya.

Seperti yang sudah dijelaskan tadi, contoh bentuk-bentuk


ketimpangan sosial ini bisa kamu lihat dalam kehidupan sehari-
hari, seperti adanya perbedaan sosial antara si kaya dan si
miskin, hukum yang tidak adil bagi masyarakat kalangan bawah,
perbedaan akses pendidikan di kota dan di desa, perbedaan
fasilitas publik di kota dan di desa, dan sebagainya.
Pengertian Ketimpangan Sosial Menurut Para Ahli

Biar kamu lebih jelas memahami pengertian ketimpangan sosial,


berikut definisi ketimpangan sosial menurut para ahli yang perlu
kamu ketahui.

 Budi Winarno mendefinisikan ketimpangan sosial sebagai


kegagalan pembangunan di era globalisasi untuk memenuhi
kebutuhan fisik dan psikis warga.
 Jonathan Haughton mendefinisikan ketimpangan sosial
sebagai bentuk ketidakadilan yang terjadi dalam proses
pembangunan.
 Roichatul Aswidah mendefinisikan ketimpangan sosial
sebagai dampak residual dari proses pertumbuhan ekonomi.
 William Ogburn mendefinisikan ketimpangan sosial sebagai
perubahan sosial yang melibatkan unsur-unsur dalam
masyarakat yang saling berhubungan antara satu dengan yang
lain.
 Andrinof A. Chaniago mendefinisikan ketimpangan sosial
sebagai buah dari pembangunan yang berfokus pada ekonomi
dan melupakan aspek sosial. 
Bentuk-Bentuk Ketimpangan Sosial

Andrinof A. Chaniago menyebutkan ada enam bentuk


ketimpangan sosial. Bentuk-bentuk ketimpangan sosial tersebut,
antara lain:
Ketimpangan Pengembangan Diri Manusia

Bentuk ketimpangan ini menjadi faktor yang sangat berpengaruh


pada kesejahteraan seseorang. Ketimpangan pengembangan diri
manusia biasanya disebabkan oleh rendahnya pendidikan
seseorang, yang bisa memengaruhi pola pikir seseorang
tersebut. Tanpa pendidikan yang bagus, seseorang dapat
menjadi pemalas, pesimis, dan mudah menyerah.
Ketimpangan Antara Desa dan Kota

Ketimpangan antara desa dan kota bisa terlihat jelas dari


perbedaan pembangunan infrastruktur di kedua wilayah tersebut.
Pembangunan infrastruktur di kota tampak lebih masif dan cepat
dibandingkan di desa.

Ketimpangan ini akhirnya menyebabkan banyaknya masyarakat


desa pindah ke kota demi mendapatkan kehidupan yang lebih
baik. Ketimpangan antara desa dan kota ini juga dipengaruhi
akses dan kualitas pendidikan. Akses dan kualitas pendidikan di
desa yang masih minim membuat pola pikir dan kesejahteraan
masyarakat desa tertinggal jauh dari masyarakat kota.
Ketimpangan Antarwilayah dan Subwilayah

Perbedaan wilayah juga menjadi bentuk ketimpangan sosial yang


kerap terjadi di dunia. Subwilayah biasanya memiliki akses dan
fasilitas yang lebih sedikit dibandingkan wilayah. Misalnya,
pembangunan infrastruktur lebih banyak dilakukan di wilayah
pusat, seperti kota Bandung, daripada subwilayah, seperti
Ujungberung, Bojonagara, dan Tegalega.
Ketimpangan Antargolongan Sosial Ekonomi

Ketimpangan antar golongan sosial terjadi karena adanya


perbedaan kelas sosial dan stratifikasi sosial. Misalnya, akses
kesehatan dan pendidikan antara masyarakat kelas atas dan
masyarakat kelas bawah sangat berbeda. Masyarakat kelas atas
memiliki akses kesehatan dan pendidikan yang lebih baik
dibandingkan masyarakat kelas bawah.
Ketimpangan Penyebaran Aset

Ketimpangan penyebaran aset yang tidak merata terjadi karena


pendistribusiannya hanya terpusat di perkotaan, sementara di
daerah-daerah biasanya sangat tertinggal. Misalnya, pembuatan
jalan tol lebih banyak dilakukan di kota dibandingkan di desa.
Ketimpangan Antarsektor Ekonomi

Ketimpangan antarsektor ekonomi dapat kamu lihat dari


perbedaan lapangan pekerjaan, pendapatan masyarakat, sektor
budaya dan pariwisata. Bentuk ketimpangan inilah yang banyak
membentuk strata masyarakat berdasarkan status sosial.
Faktor Penyebab Ketimpangan Sosial

Selain pengertian dan bentuk-bentuk ketimpangan sosial, kamu


perlu mengetahui faktor penyebab ketimpangan sosial. Faktor
penyebab ketimpangan sosial ini dibagi menjadi dua, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Mari kita bahas dua faktor tersebut
satu per satu, ya.
Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor-faktor yang berasal dari dalam
diri seseorang. Faktor ini berupa rendahnya kualitas sumber daya
manusia yang disebabkan oleh tingkat pendidikan atau
keterampilan yang rendah, kesehatan yang rendah, serta adanya
hambatan budaya (budaya kemiskinan).
Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar


kemampuan seseorang. Hal ini bisa berupa birokrasi atau
kebijakan pemerintah yang membatasi akses seseorang.
Misalnya, ketimpangan sosial terjadi bukan karena seseorang
malas bekerja, melainkan ada sistem yang membatasi seseorang
untuk bisa mendapat pekerjaan tersebut.
Dampak Ketimpangan Sosial

Ketimpangan sosial menjadi sebuah permasalahan kompleks


yang dapat berdampak negatif bagi masyarakat luas. Dampak
ketimpangan sosial di masyarakat bisa berupa kualitas
pendidikan masyarakat yang semakin rendah, tingkat kriminalitas
semakin tinggi, kemiskinan, dan dekadensi moral. Apabila
dibiarkan terus menerus, hal ini akan mengganggu proses
pembangunan ekonomi suatu negara.

7. 1. Puisi

Jenis karya sastra yang pertama yaitu puisi. Puisi merupakan salah satu jenis karya sastra yang
gaya bahasanya sangat ditentukan oleh irama, rima, serta penyusunan larik dan bait. Di dalam
pembuatan puisi, kalian juga harus memperhatikan diksi. Sedangkan dalam pilihan bahasanya
karya sastra ini lebih banyak menggunakan kalimat bermajas atau memiliki makna konotatif.
Ada empat unsur yang merupakan hakikat puisi, yaitu: tema, perasaan penyair, nada puisi,
serta amanat.
 

2. Prosa

Selanjutnya, jenis karya sastra yang perlu kalian ketahui yaitu prosa. Prosa merupakan salah
satu bentuk dari karya sastra yang berbeda dengan puisi. Namun, banyak yang beranggapan
bahwa keduanya merupakan karya sastra yang sama. Perbedaan dari keduanya yaitu dimana
prosa mempunyai ritme yang lebih banyak. Untuk penggunaan katanya, prosa tidak memiliki
majas atau kiasan. Dalam artian, prosa sering diartikan sebagai tulisan yang bebas dimana
dalam penulisannya tidak terikat dengan aturan-aturan tertentu.

3. Pantun

Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang tiap baitnya terdiri atas empat baris serta
memiliki sampiran dan isi. Tak hanya kalian jumpai di dalam pelajaran bahasa Indonesia,
pantun juga sering kalian jumpai di acara-acara hiburan adat sampai program hiburan komedi di
stasiun televisi.

Adapun ciri-ciri pantun yaitu setiap satu bait terdiri atas 4 baris yang mana setiap
barisnya terdapat 8 hingga 12 suku kata. Sedangkan untuk sajaknya, Pantun bersajak
a-b-a-b. Pantun sendiri terbagi menjadi beberapa jenis seperti pantun nasihat, pantun
jenaka, pantun agama, pantun teka-teki, pantun berkasih-kasihan, hingga pantun anak.

4. Novel

Novel merupakan karya sastra yang berbentuk cerita rekaan dalam bentuk karangan panjang
yang mengisahkan hidup seseorang yang diangap berkesan. Selain itu, novel akan
mengandung serangkaian cerita kehidupan tokoh dan orang-orang di sekitarnya yang
diceritakan dengan menonjolkan watak juga sifat setiap pelaku cerita di dalamnya. Misalnya
saja menceritakan kasih sayang seorang anak kepada ibunya yang sakit. Semua tokoh cerita
dalam novel adalah fiktip belaka. Namun, dibuat kejadiannya seolah-olah nyata terjadi pada
masa tersebut.

5. Cerpen

Berbeda dengan novel yang merupakan karya sastra dalam bentuk karangan panjang, cerpen
merupakan jenis karya sastra dalam karangan pendek. Biasanya, cerpen mengisahkan tentang
suatu permasalahan yang dialami oleh tokoh secara ringkas mulai dari pengenalan sampai
akhir dari permasalahan yang dialami oleh tokoh.

Pada umumnya cerpen hanya mengisahkan satu permasalahan yang dialami oleh satu
tokoh. Selain itu, cerpen hanya terdiri tidak lebih dari 10.000 kata. Adapun ciri-ciri
cerpen yaitu dapat dibaca dengan sekali duduk, diksi yang dipakai tidaklah rumit
sehingga mudah dipahami, memiliki alur tunggal atau satu jalan cerita, serta memiliki
pesan moral yang terkandung.

6. Drama

Drama juga termasuk karya sastra yang tentu saja sudah banyak orang mengetahuinya. Drama
sendiri merupakan salah satu bentuk dari suatu karya sastra dimana didalamnya menceritakan
kehidupan dari manusia melalui media gerak dan juga suara. Secara umum, Drama dibedakan
berdasarkan genre tema yang terdapat dalam drama, yaitu komedi, musical, tragedy komedi,
dan tragedi. Jadi, drama ini tidak hanya tulisan saja melainkan pertunjukan yang dapat di liat
saat para pemain berdialog sesuai dengan tokohnya.

 7. Dongeng
Tentu kalian sudah tidak asing lagi dengan dongeng. Dongeng merupakan salah satu karya
sastra lama yang berisi cerita yang lebih bersifat fiksi atau mengandung imajinasi yang sangat
luar biasa. Masyarakat percaya bahwa dongeng ini tidak benar-benar terjadi.

Umumnya pengarang sebuah dongeng tidak dapat dikenali. Karena dongeng adalah
bentuk cerita turun temurun dari nenek moyang. Meski begitu, kejadian pada dongeng
terkesan sebagai kejadian sungguhan. Padahal, dongeng adalah cerita fiktif dan
imajinatif. Dongeng yang dulunya sempat populer seperti Si Kancil Mencuri Timun.

Itulah sederet jenis karya sastra dilengkapi dengan penjelasannya. Semoga bermanfaat
dan menambah pengetahuan kalian ya.

8. Roman
roman adalah suatu jenis karya sastra yang merupakan bagian dari epik panjang.
Dalam perkembangannya roman menjadi suatu karya sastra yang sangat digemari.

8. Pudjangga Baru) adalah sebuah majalah sastra Indonesia yang avant-garde yang


diterbitkan dari bulan Juli 1933 sehingga Februari 1942. Majalah ini didirikan oleh Armijn Pane,
Amir Hamzah, dan Sutan Takdir Alisjahbana (STA).

Anda mungkin juga menyukai