Anda di halaman 1dari 3

Nama Intan Rahmadhani

Kelas XI-A
No. Absen 22
Pengarang Armijn Pane
Negara Indonesia
Bahasa Indonesia
Genre Novel
Penerbit Poedjangga Baroe
Dian Rakyat
Tanggal terbit 1940
Jenis media Cetak (kulit keras & lunak)
Halaman 150 (cetakan ke-21)
SINOPSIS NOVEL
ISBN BELENGGU
ISBN 979-523-048-8 (cetakan ke-21)
Novel belenggu karangan dari Armijn Pane menceritakan kisah rumah tangga antara Dokter
Sukartono dengan istrinya yang bernama Sumartini. Mereka menikah bukan atas dasar saling mencintai
melainkan atas dasar keterpaksaan satu sama lain. Awalnya, mereka tidak saling mencintai, namun karena
memiliki kepentingan masing-masing, akhirnya keduanya sepakat untuk menikah. Sukartono menikahi
sumartini karena merasa sukartini cocok mendampingi hidupnya, sukartono melihat sumartini dari
kecerdasan dan kecantikannya saja. Berbeda dengan Sukartono, Sumartini menerima tono sebagai
suaminya atas dasar ingin melupakan kenangan masa lalunya. Alhasil setelah melangsungkan sebuah
pernikahan, rumah tangga mereka tidak harmonis, setiap hari selalu dipenuhi dengan pertengkaran dan
percekcokan. Banyak permasalahan yang tidak diselesaikan dengan komunikasi.
Sukartono sendiri adalah seorang yang sangat mencintai dan menjunjung tinggi pekerjaannya,
yaitu sebagai seorang dokter. Ia bekerja keras dan tak mengenal lelah untuk mengunjungi dari satu pasien
ke pasien lainnya yang membutuhkan pengobatannya. Sukartono juga termasuk dokter yang baik hati dan
dermawan, ia sering membebaskan bayaran pada pasiennya yang kurang mampu. Namun, kecintaan
sukartono pada pekerjannya justru membuat ia lupa dan menomorduakan keluarganya, sumartini yang
merasa diabaikan oleh sukartono selalu memulai pertengkaran setiap hari. Sumartini beranggapan bahwa
suaminya lebih mencintai pekerjaan daripada dirinya. Jangankan untuk bermanja-manja, untuk
komunikasi saja seakan tidak pernah ada waktu. Kelupaan tono pada rumah tangganya itulah yang
menjadi bibit pertengkaran mereka, rasanya tiada hari tanpa bertengkar. Hari-hari mereka sering dilalui
dengan pertengkaran dan Sumartini merasa dirinya mulai tidak dianggap oleh Sukartono.
Hingga pada suatu hari sukartono menerima telepon dari salah satu pasien yang mengidap sakit
keras, pasien itu sedang berada di hotel. Sesampainya di sebuah hotel yang ditinggali pasiennya,
sukartono merasa kaget karena mendapati bahwa yang menjadi pasiennya saat itu adalah Rohaya atau
Siti Hayati yang tak lain adalah teman sekolah dan masa kecil sukartono. Rohaya sudah menyimpan rasa
cinta pada Sukartono sejak dulu. Rohaya sendiri adalah seorang penyanyi keroncong dan juga wanita
panggilan. Ia menceritakan bahwa dirinya menjadi korban kawin paksa, ia merasa tidak cocok dengan
suaminya dan memutuskan untuk menjadi janda lalu pergi ke Jakarta untuk mencari keberadaan
Sukartono. Berpura pura sakit keras dan menjadi pasien sukartono adalah salah satu cara Rohayah untuk
bertemu dengan Sukartono.
Setelah bertemu dengan Sukartono, Rohaya selalu berusaha merancangkan usahanya merayu-
rayu dan memberikan pujian-pujian kepada Tono untuk mendapatkan hatinya. Pada mulanya Sukartono
tidak terpengaruh dengan rayuan-rayuan Rohaya. Namun, lambat laun akhirnya Tono jatuh juga pada
rayuan Rohaya. Tono merasa bahwa dengan bersama Rohaya ia bisa menemukan ketenangan hatinya
yang tidak dapat ia rasakan pada saat bersama Sumartini. Lama kelamaan Rohaya sudah tidak menginap
di sebuah hotel lagi, ia memilih tinggal disebuah rumah yang ia beli, dan Sukartono selalu mengunjungi
Rohaya setelah memeriksa pasiennya. Hubungan yang dijalin Sukartono dan Rohaya akhirnya tercium
juga oleh Sumartini, ia merasa curiga dengan Sukartono. Sumartini merasa marah dan jengkel mengetahui
hubungan gelap suaminya dengan perempuan yang bernama Rohaya. Secara diam-diam Sumartini
mengunjungi rumah yang ditempati Rohaya, ia ingin mencaci maki dan menumpahkan segala amarahnya
kepada perempuan yang sudah mengambil dan menganggu suaminya. Setibanya dirumah Rohaya dan
bertatap muka dengannya, hati Sumartini luluh dengan segala kelembutan hati dan keramahan Rohaya.
Sepulangnya dari rumah Rohaya, Sumartini intropeksi diri sendiri. Sumartini merasa malu dan
bersalah kepada suaminya, ia belum bisa memberikan perhatian dan kasih sayang tulus yang diinginkan
Sukartono. Selama ini ia selalu berlaku kasar pada suaminya, Tini merasa gagal menjadi seorang istri.
Akhirnya ia memutuskan untuk berpisah dengan Sukartono. Awalnya Sukartono tidak menyetujui
permintaan Sumartini, bahkan Tono sudah berjanji pada Tini untuk mengubah hidupnya untuk lebih
perhatian kepada Tini. Namun, karena kebulatan Sumartini untuk berpisah, Sukartono tidak dapat
mencegahnya. Sukartono merasa sedih dan gundah atas perpisahannya dengan Sumartini. Tini
memutuskan untuk pergi ke Surabaya. Kesedihan dan kesendirian Sukartono betambah ketika mengetahui
bahwa Rohaya juga pergi meninggalkannya. Rohaya meninggalkan sepucuk surat dan memberitahukan
bahwa ia mencintai Sukartono, Rohaya kini telah meninggalkan tanah air untuk selama lamanya dan
tinggal diluar negeri. Kini Sukartono mengapdikan hidupnya pada sebuah panti asuhan. Karena dengan
begitu ia bisa menemukan ketenangan batin dalam kesendiriannya.

MAKNA NOVEL BELENGGU


Belenggu, merupakan prosa dalam bentuk novel pertama buah karya Armijn Pane. Alasan
mengapa novel ini diberi judul Belengu adalah karena para tokoh utama dalam novel ini memiliki angan-
angan masa silam yang pada akhirnya akan membuat hidup mereka terbelenggu oleh angan-angan
tersebut. Karena itu, tulisan ini akan mengupas hal-hal yang membelenggu para tokoh utama dalam novel
Belenggu.
Tono adalah tokoh sentral dalam novel ini, Ia digambarkan sebagai seorang Dokter dan menikah
dengan Tini, wanita yang berpendidikan dan modern di zamannya. Kehidupan pernikahannya dengan Tini
tidak bejalan dengan mulus, karena Tini tidak dapat merepresentasikan sosok istri yang diinginkan Tono.
Cintanya kepada Tini membuat Tono bersikukuh memperistri Tini, meskipun Ia tahu bahwa Tini telah
memberikan cintanya pada laki-laki lain. Ia selalu berangan-angan bahwa ia dan Tini pada akhirnya akan
dapat saling mencintai dan mengasihi.
Namun ternyata, setelah mereka berumah tangga sikap Tini tidak seperti apa yang diangankan
oleh Tono. Tini selalu sibuk oleh kegiatan sosialnya di luar rumah. Ketika berada di rumah, Tini bersikap
begitu dingin kepada Tono. Sosok istri yang dapat melayani suami justru ia temukan pada Rohayah, yang
kemudian menjadi wanita simpanannya. Dalam perjalanannya, timbullah berbagai pertentangan-
pertentangan dalam jiwa Tono, angan-angannya bersama Tini telah membelenggunya dalam status
“Suami-istri” yang semu. Tidak hanya mimpinya bersama Tini yang membelenggu jiwa Tono, ia mulai
mempertanyakan kembali keinginannya menjadi seorang Dokter. Rasa tanggung jawabnya yang besar
memaksanya untuk menjadi seorang Dokter untuk membalas jasa Sang Paman yang telah membiayai
hidupnya. Tono tidak benar-benar menikmati profesinya sebagai Dokter, kenikmatan justru ia peroleh
saat ia bersentuhan dengan seni.
Jika Tono terbelenggu oleh angan-angan percintaan dan keraguan atas keinginannya menjadi
Dokter, maka Tini dibelenggu oleh kisah cintanya di masa lalu dengan Hartono, laki-laki yang sangat
dicintainya. Cintanya dengan Tono tumbuh dalam kegersangan hatinya yang telah ditinggalkan oleh
Hartono. Tini tidak pernah dapat dengan lepas mencurahkan kasih sayangnya kepada Tono karena ia
merasa dengan begitu ia telah membohongi Tono. Kasih sayang dan cinta yang selama ini diberikan oleh
Tono justru menjadi beban dalam hatinya karena ia tidak dapat memberikan cinta yang serupa kepada
Tono. Hatinya sudah layu, cintanya sudah mati karena kepergian Hartono, kekasih yang ia kira sudah
meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya.
“Karena dialah… kasih sayangnya membuat aku takut, bimbang, hatiku layu, menjadi kusut di
dalam, hatiku layu, menjadi kusut di dalah hatiku bertambah hampa… tidak ada yang dapat kuberikan
kepadanya, lain dari pasir belaka, padang pasir, padang pasir, tiada kasih saying tempat bernaung….pada
hal itulah yang dia perlu. Kasih sayang…..tidak ada apa-apa, padaku, aku kosong belaka…..” (h. 115).
Lain dengan Tini, lain pula dengan Rohayah. Cita-citanya sebagai seorang perempuan adalah
menikah dengan laki-laki yang berpofesi sebagai Dokter. Dokter adalah profesi yang dianggap terhormat
sejak dulu hingga detik ini, derajat dan penghasilan yang tinggi membuahkan asumsi bahwa siapa pun
yang berkeluarga dengan seorang Dokter maka hidupnya akan terjamin secara materiil maupun non-
materiil. Hal ini pula yang membuat Rohayah begitu terobsesi dengan Dokter, ia ingin menjadi wanita
yang lebih dihormati. Rohayah yang telah mengetahui bahwa Tono telah menjadi seorang Dokter pun
akhirnya meneruskan obsesinya yang sempat terhambat oleh nasib buruk yang menaungi hidupnya hingga
ia terjerat dalam dunia seks komersial. Namun, setelah berhasil mendapatkan Tono, Rohayah menyadari
bahwa Tono tidak pantas dijadikan sebagai bahan pelampiasan obsesi yang selama ini telah membelenggu
hidupnya. Ia merasa tidak pantas berada di sisi Tono, laki-laki yang dianggap sangat baik olehnya.
Angan-angan masa lalu telah membelenggu jiwa ketiga tokoh dalam novel ini, namun akhirnya
mereka dapat melepaskan diri dari belenggu itu. Tini akhirnya memutuskan untuk bercerai dengan Tono
tanpa memperdulikan orang-orang yang memiliki anggapan buruk terhadapnya, berhenti untuk berpura-
pura bahwa hubungan mereka baik-baik saja dan merelakan cintanya yang telah pupus dengan Hartono,
Tini pun memilih untuk mengabdikan diri dalam kegiatan-kegiatan sosialnya. Rohayah pun memutuskan
untuk melepaskan Tono, Ia telah memenuhi obsesinya untuk hidup dengan seorang Dokter, namun
nuraninya mengatakan bahwa kebahagiaan yang ia rasakan adalah kebahagiaan semu, karena itu ia
memutuskan untuk pergi ke Nieuw Caledonie. Sedangkan Tono, ia melepaskan diri dari angan-angannya
bersama Tini dan harus merelakan kepergian Rohayah, Ia belajar untuk menenangkan diri dan kembali
memantapkan hatinya untuk memperdalam ilmu di kedokteran.

Anda mungkin juga menyukai