Anda di halaman 1dari 92

STUDI PENGAWASAN MUTU PADA UNIT PENGOLAHAN

PENGALENGAN IKAN TUNA (Thunnus albacore) KALENG

TUGAS AKHIR

ANDI IHSAN FACHRI

13 22 03 0099

JURUSAN TEKHNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN

POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PANGKAJENE DAN KEPULAUAN

2016

ii
HALAMAN PENGESAHAN

STUDI PENGAWASAN MUTU PADA UNIT PENGOLAHAN


PENGALENGAN IKAN TUNA (Thunnus albacore) KALENG

TUGAS AKHIR

ANDI IHSAN FACHRI

13 22 03 0099

Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Menyelesaikan Studi


Pada Politeknik Pertanian Negeri Pangkep

Telah Diperiksa dan Disetujui Oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Imran Mukhtar, M.Si __ Ir. Nurleli Fattah, M.Si


NIP. 196412311992031031 NIP. 196808071995122001

Diketahui Oleh :

Direktur Politani Pangkep Ketua Jurusan TPHP

Dr. Ir. Darmawan, M.P. Ir. Nurleli Fattah, M.Si


NIP. 196702021998031002 NIP. 196808071995122001

ii
HALAMAN PERSETUJUAN PENGUJI

Judul : Studi Pengawasan Mutu Pada Unit Pengolahan


Pengalengan Ikan Tuna (Thunnus Albacore) Kaleng
Nama Mahasiswa : Andi Ihsan Fachri
NIM : 13 22 03 0099
Jurusan : Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan

Disahkan Oleh :

Tim Penguji

1. Ir. Imran Mukhtar, M.Si ( .....................................)

2. Ir. Nurleli Fattah, M.Si ( ......................................)

3. Ir. Tasir, M.Si (.......................................)

4. Gusni Sushanti,ST.MT ( ..................................... )

iii
RINGKASAN

Andi Ihsan Fachri 13 22 03 0099 Studi Pengawasan Mutu Pada Unit


Pengolahan Pengalengan Ikan Tuna (Thunnus Albacore) Kaleng, dibimbing
oleh Imran Mukhtar, dan Nurleli Fattah.
Sumber daya kelautan dan perikanan adalah salah satu sumber daya
alam yang dapat meningkatkan kesejahteraan suatu bangsa termasuk
Indonesia. Pengembangan produk yang efisien dan produktif dari
pengembangan produk bernilai tambah adalah dengan mengolah produk
primer menjadi produk sekunder atau produk akhir. Salah satu bentuk
diversifikasi atau pengembangan nilai tambah adalah pengalengan ikan tuna.
Maka dari itu di perlukan suatu sistem pada suatu perusahaan perikanaan
agar dapat memproduksi ikan tuna yang bermutu baik sesuai ketentuan SNI,
GMP, SSOP, dan SOP sebagai pedoman perusahaan dalam memproduksi
ikan tuna kaleng dengan baik dan benar,dan mutu ikan tuna kaleng tetap
terjaga sehingga layak untuk di terima konsumen. Dan dengan demikian
masyarakat dapat dilindungi keselamatan dan kesehatannya terhadap
produksi dan peredaran makanan yang telah memenuhi syarat mutu dan
keamanan.
Prinsip pengolahan ikan pada dasarnya bertujuan melindungi ikan dari
pembusukan dan kerusakan. Selain itu juga untuk memperpanjang daya awet
dan mendiversifikasikan produk olahan hasil perikanan. Salah satu jenis
pengolahan yang dapat digunakan untuk menghambat kegiatan zat-zat
mikroorganisme adalah pengalengan ikan. Pengalengan merupakan salah
satu bentuk pengolahan dan pengawetan ikan secara modern yang dikemas
secara hermatis dan kemudian disterilkan. Bahan pangan dikemas secara
hermetis dalam suatu wadah, baik kaleng, gelas atau alumunium.
Pengemasan secara hermetis dapat diartikan bahwa penutupannya sangat
rapat, sehingga tidak dapat ditembus oleh udara, air, kerusakan oksidasi
maupun perubahan cita rasa. Oleh karena itu pada penulisan tugas akhir ini
ini akan dijelaskan lebih detail tentang pengalengan ikan dan pengawasan
mutu pengolahan ikan kaleng.
Metode yang digunakan dalam kegiatan ini adalah observasi atau
pengamatan dan partisipasi di lapangan, sedangkan teknik pengumpulan data
dilakukan dengan cara wawancara langsung dengan para staf karyawan PT.
Delta Pasific Indotuna. Untuk pengolahan data dilakukan dengan analisis
secara deskriptif berdasarkan data primer dan sekunder.
Hasil yang diperoleh dari kegiatan ini menunjukkan bahwa proses
pengalengan ikan di PT. Delta Pasific Indotuna meliputi tahap receiving,
chilling/thawing, butchering, precooking, cooling 1, skining, loining, filling,
retorting, cooling 2, case up, incubation, coding, labelling, packing dan
storage. menggunakan bahan baku skipjack dan yellow fin.

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, taufiq, serta hidayah-Nya sehingga penulisan tugas akhir dari hasil
Pengalaman Kerja Praktek Lapangan (PKPM) ini dapat terselesaikan dengan baik dan
tepat waktu.
Penyusunan laporan ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena
itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Kedua orang tua Tercinta ayahanda (Andi Fachri Lolo Haddade) Ibunda (Sriwana)
Saudara (Andi ikhwan,Andi Novi,Andi Fitrah) Serta Seluruh Keluraga Yang
selalu memberi semangat, motivasi, dan doa.
2. Bapak Dr.Ir.H.Darmawan,M.P. selaku direktur Politeknik Pertanian Negeri
Pangkajenne dan Kepulauan
3. Ibu Ir.Nurleli Fattah, M.Si selaku ketua jurusan Politeknik Pertanian Negeri
Pangkajenne dan Kepulauan
4. Terimah Kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan penulis
sampaikan kepada Bapak Ir. Imran Mukhtar, M.Si selaku Dosen pembimbing I
dan Ir.Nurleli Fattah, M.Si selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberi
bimbingan dalam melaksanakan Pengalaman Kerja Praktek Mahasiswa (PKPM).
5. Terimah Kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan sampaikan
kepada Bapak Basmi Said SE, M.Si selaku pembimbing Lapangan memberi
bimbingan dan arahan dalam melaksanakan Pengalaman Kerja Praktek Mahasiswa
(PKPM) di PT. Delta Fasific Indotuna Bitung sulawesi Utara.
6. Seluruh staf PT.Delta Fasific Indotuna Bitung Sulawesi Utara (Ibu Nur
Asyurah,Pak Darmaji S.Pi, Ibu yuli,Pak Nofri,Pak Aidwar,Pak Yakop,Ibu
Sulastri,Pak Suwono,Pak Budi,Pak Donal,Pak daniel,Mrs.Viraj,Kak Emes,Kak
Suri,Kak Iche,Kak Abdul Rahim,Andika,Kak yati.Kak Jamal,Kak Acok,Kak
Yusuf)

v
7. Kakanda Rendy dan Jefri yang selalu membimbing dan mengarahkan selama di
Bitung sulawesi utara.
8. Rekan-rekan sesama mahasiswa yang melaksanakan Pengalaman kerja praktek
mahasiswa (PKPM) di PT. Delta Fasifik Indotuna.
9. Teman-teman satu Kos (Saipul,Akmal,Khairul,Asrul,Prima,Lutfi,Herman) yang
sudah menjemput dan mambagi waktu selama di Bitung Sulawasi Utara.
a. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih jauh dari
sempurna,yang tak lain kita tak lepas dari bentuk kekurangan dan kesalahan
manusia, semoga laporan ini berguna bagi saya sendiri dan seluruh pembaca, maka
penulis mengharapkan atas kritik dan saran demi kesempurnaan laporan ini.

Mandalle, 19 Agustus 2016

Penulis

vi
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PENGUJI ....................................................... ii

RINGKASAN..................................................................................................... iii

KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv

DAFTAR ISI ...................................................................................................... vii

DAFTAR TABEL .............................................................................................. x

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xii

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... vii

I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Batasan Masalah...................................................................................... 3
1.3 Tujuan .................................................................................................... 3

II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 4


2.1 Tinjauan Umum Ikan Tuna ..................................................................... 4
2.1.1 Morfologi Dan Klasifikasi Ikan Tuna .......................................... 5
2.1.2 Komposisi Kimia Dan Kandungan Nutrisi Daging Ikan Tuna..... 6
2.2 Pengalengan Ikan Tuna ........................................................................... 8
2.2.1 Prinsip Pengalengan ..................................................................... 8
2.2.2 Proses Pengalengan Ikan Tuna ..................................................... 9
2.2.3 Persyaratan Mutu Bahan Mentah ................................................... 13
2.2.4 Persyaratan Mutu Bahan Pembantu ................................................ 16
2.2.5 Persyatan Mutu Bahan Pembungkus .............................................. 17
2.3 Kemunduran Mutu .................................................................................... 20
2.4 Penerapan Sistem Rantai Dingin ............................................................... 23

vii
2.5 Persyaratan Kelayakan Dasar Unit Pengolahan ........................................ 24
2.5.1 Persyaratan Fisik............................................................................. 24
2.5.2 Persyaratan Operasional ................................................................. 28

III METODOLOGI ........................................................................................... 35


3.1 Waktu Dan Tempat ................................................................................ 35
3.2 Metode Pengumpulan Data .....................................................................35
3.3 Metode Kerja.......................................................................................... 35
3.3.1 Pengamatan Alur Proses Pengalengan Tuna ............................... 35
3.3.2 Pengamatan Mutu Bahan Baku Dan Produk Akhir ..................... 35
3.3.3 Pengamatan Kelayakan Dasar ..................................................... 36
3.4 Metode Pengujian .................................................................................. 36
3.4.1 Pengujian Histamine .................................................................... 36
3.4.2 Pengujian ALT ............................................................................ 36
3.5 Alat Dan Bahan ...................................................................................... 36
3.5.1 Alat .............................................................................................. 36
3.5.2 Bahan ........................................................................................... 36
3.6 Prosedur Kerja ........................................................................................ 37

IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 39


4.1. Proses Pengalengan Ikan Tuna................................................................. 39
4.1.1 Penerimaan Bahan Baku (Receiving) ............................................... 39
4.1.2 Penimbangan (Weighting) ................................................................ 42
4.1.3 Pelelehan (Thawing)......................................................................... 43
4.1.4 Pengeluaran Isi Perut (Butchering) .................................................. 43
4.1.5 Pencucian Dan Pengaturan Ikan (Washing And Filling) ................. 44
4.1.6 Pemasakan Awal (Pre-Cooking) ...................................................... 44
4.1.7 Pendinginan (Cooling) ..................................................................... 46
4.1.8 Pengeluaran Kulit Dan Kepala (Skinning And Beheading).............. 46
4.1.9 Pengeluaran Tulang danTaging Cokelat (Loinning) ........................ 46
4.1.10 Pengecekan Metal Detector............................................................ 47
4.1.11 Pengisian Kaleng (Packing) ........................................................... 48
4.1.12 Pencucian Kaleng (Can Washing) ................................................. 50
4.1.13 Sterilisasi (Retorting) ..................................................................... 51
4.1.14 Pendinginan Dan Pembersihan Kaleng (Case Up) ........................ 54
4.1.15 Pelabelan Dan Pengepakan (Finishing) ......................................... 54
4.1.16 Distribusi (Stuffing) ........................................................................ 57

viii
4.2 Pengujian Mutu .......................................................................................... 57
4.2.1 Pengujian Organoleptik Dan Sensori ............................................... 57
4.2.2 Pengujian Mutu Mikrobiologi .......................................................... 60
4.2.3 Pengujian Kimia ............................................................................... 62
4.3 Persyaratan Kelayakan Dasar Unit Pengolahan ........................................ 63
4.3.1 Persyaratan Fisik .............................................................................. 63
4.3.2 Persyaratan Operasional ................................................................... 66

V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 72


5.1 Kesimpulan ............................................................................................... 72
5.2 Saran .......................................................................................................... 72

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................73

LAMPIRAN ......................................................................................................... 75

RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. 80

ix
DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Komposisi Kimia Ikan Tuna (dalam % berat) .......................................... 7


2. Spesifikasi Persyaratan Mutu Ikan Segar.................................................. 14
3. Spesifikasi Persyaratan Mutu Tuna Kaleng. ............................................. 15
4. Pembagian Karyawan. .............................................................................. 46
5. Ukuran Ikan yang Diterima di PT. Delta Pasific Indotuna ....................... 40
6. Tingkat Kesegaran Ikan di PT. Delta Pasific Indotuna ............................. 41
7. Waktu Selama Proses Thawing ................................................................. 43
8. Suhu dan Waktu Pemasakan Ikan ............................................................. 45
9. Standar Pengisian Kaleng ......................................................................... 48
10. Spesifikasi Kaleng .................................................................................... 50
11. Standar Sterilisasi Ikan kaleng .................................................................. 53
12. Spesifikasi Ukuran Label .......................................................................... 55
13. Spesifikasi Ukuran Karton ........................................................................ 56
14. Penilaian Organoleptik Bahan Baku Ikan Segar ....................................... 58
15. Penilaian Sensori Ikan Kaleng .................................................................. 59
16. Hasil Pengujian Mutu Mikrobiologi Bahan Baku Ikan Segar .................. 60
17. Hasil Pengujian Mutu Mikrobiologi Produk Akhir Ikan Kaleng.............. 61
18. Hasil Pengujian Histamin ......................................................................... 62

x
DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Tuna Sirip Ekor Kuning (Thunn0s albacare) .......................................... 6

2. Mekanisme pembentukan Histamin .......................................................... 23

3. Flow Chart Pengolahan Ikan Tuna kaleng PT.DELPI ............................. 37

4. Diagram tulang ikan pada tahapan receiving ............................................ 40

5. Diagram tulang ikan pada area Loining .................................................... 47

xi
DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Proses Produksi Ikan Tuna Kaleng ........................................................... 75

xii
I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Industri perikanan sangat penting dalam penyediaan pangan yang bermutu
tinggi, bentuk tekstur dan rasa yang baik serta disenangi oleh konsumen. Salah
satu kegiatan industri perikanan adalah menghasilkan produk ikan kaleng. Produk
ikan kaleng sendiri memiliki beberapa keunggulan yang praktis dalam
penyajiannya dan tahan lama. Produk makanan olahan yang paling banyak
diminati buyers asal Eropa dan Timur Tengah adalah produk perikanan dan hasil
laut (seafood) berupa Tuna dalam kaleng (Anonymous, 2013).
Ikan kaleng (canned fish) merupakan salah satu hasil perikanan yang
diolah melalui teknologi moderen yang memiliki harga yang relatif berfluktuasi.
Ikan kaleng merupakan salah satu bentuk dari diversifikasi produk perikanan yang
bertujuan untuk memenuhi keinginan konsumen dalam mengkonsumsi bahan
makanan yang mengandung protein. Berbagai merek produk ikan kaleng yang
beredar di pasar membuktikan bahwa semakin ketatnya persaingan yang
mengarah pada mekanisme pasar, yang memposisikan pemasar untuk selalu
mengembangkan dan merebut pangsa pasar atau market share (Saidah, 2010).
Ikan kaleng sendiri mendapat respon yang cukup baik di konsumen, selain
tuntutan gaya hidup yang ingin serba cepat, prkatis dan instan keinginan untuk
membeli produk ikan kaleng diperkuat dengan kelebihan utama produk ikan
kaleng yaitu kemasannya berupa kaleng. Selain itu produk ikan kaleng sebagai
salah satu produk perikanan yang diolah dengan menggunakan teknologi modern
sehingga menghasilkan produk perikanan yang lebih hygienis dan juga memiliki
harga yang lebih tinggi dibanding produk ikan yang sama bila diolah secara
tradisional (Nagara, 2007).
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa volume
ekspor produk perikanan Tuna segar, beku dan kalengan ke Afrika pada tahun
2010 sebesar 24 ribu ton dengan nilai 58 juta dollar AS dan meningkat pada tahun
2011 sebesar 29 ribu ton dengan nilai 81 juta dollar AS, kemudian menurun pada
periode agustus 2012 sebesar 23 ribu ton dengan nilai 56 juta dollar AS. Untuk
kawasan Timur Tengah sendiri volume ekspor produk perikanan Tuna segar, beku

1
dan kalengan pada tahun 2010 mencapai 14 ribu ton dengan nilai 29 juta dollar
AS. Tahun 2011 turun sebesar 13 ribu ton dengan nilai 30 juta dollar AS yang
kemudian meningkat lagi pada periode agustus 2012 dengan volume mencapai 14
ribu ton dengan nilai sebesar 40 juta dollar AS (Anonymous, 2013).
Bitung selain letaknya yang strategis, kota ini juga memiliki sumberdaya
laut dan perikanan yang sangat potensial mencapai 587 ribu ton, sementara yang
dimanfaatkan baru 147 ribu ton atau sekitar 25,04%. Potensi ikan ini tersebar di
TelukTomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, Teluk Berau, Laut
Sulawesi, dan utara Pulau Halmahera. Sumberdaya laut yang terkandung di
perairan tersebut antara lain ikan Tuna, Cakalang, Tongkol, Paruh Panjang, ikan
Tenggiri, Cumi-cumi, ikan karang, dan lain-lain. Melihat potensi sumberdaya laut
dan perikanan yang besar ini, pemerintah pusat menetapkan Kota Bitung Sulawesi
Utara sebagai pusat perikanan Tuna atau ”World Tuna Center”, guna dijadikan
salah satu pemasukan devisa bagi negara. Ikan Tuna dari Bitung sudah menjadi
salah satu ekspor andalan ke beberapa negara di dunia yang ikut membantu
pertumbuhan ekonomi di daerah dan nasional (Anonymus, 2012). PT. Delta
Pasific Indotuna merupakan salah satu perusahaan perikanan yang bergerak dalam
bidang penanganan dan pengolahan produk ikan tuna, salah satunya adalah
pengalengan ikan tuna di kota Bitung, Sulawesi Utara.
Unit pengolahan sangat diperlukan tenaga kerja yang produktif artinya
tenaga kerja tersebut mampu menghasilkan suatu produk yang sesuai standar
dalam waktu yang singkat. Selain itu tenaga kerja yang digunakan harus cepat,
cekatan dan mempunyai ketelitian yang tinggi sehingga produk yang dihasilkan
adalah produk dengan mutu baik, dalam waktu yang relatif singkat dan
menggunakan bahan dan biaya yang relatif rendah (Ravianto, 1999). Kendati
memberikan harapan yang baik dimasa mendatang, namun salah satu masalah
pokok yang perlu mendapatkan perhatian bagi industri pengalengan di Indonesia
adalah peningkatan standar mutu produk. Selain masalah tersebut yang perlu
mendapat perhatian adalah dalam efisiensi produk baik dalam efisiensi processing
maupun tenaga kerja. Apabila masalah-masalah tersebut dapat teratasi, maka
diharapkan ikan kaleng Indonesia akan lebih mampu bersaing dengan ikan kaleng
produksi negara lain (B2PMHP, 1995).

2
1.2 Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penyusunan tugas akhir ini, penulis membatasi
permasalahan pada:
1. Mengamati proses pengalengan ikan Tuna mulai dari penerimaan bahan baku
sampai menjadi produk akhir
2. Mengamati mutu bahan baku yang meliputi mutu organoleptik bahan baku,
mutu mikrobiologi meliputi ALT dan mutu kimia meliputi histamin serta
mengamati mutu produk akhir ikan tuna kaleng yang meliputi mutu sensori
ikan tuna kaleng,mutu mikrobiologi meliputi ALT, mutu kimia meliputi
histamin
3. Pengamatan penerapan kelayakan dasar pada unit pengolahan di PT. Delta
Pasific Indotuna yang meliputi GMP dan SSOP.

1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan tugas akhir ini adalah :
1. Mengetahui alur proses pengalengan ikan tuna di PT. Delta Pasific Indotuna
2. Mengetahui mutu bahan baku dan produk akhir
3. Mengetahui penerapan kelayakan dasar pada unit pengolahan

3
II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Ikan Tuna


Berbagai jenis Ikan tuna hidup di berbagai lautan. Pada umumnya badan
Ikan tuna tampak padat dan silindris panjang. Mulutnya cukup lebar, posisi mulut
terletak di muka sedikit di bawah mata. Mempunyai gigi kecil dan runcing yang
makin ke belakang makin kecil ukurannya. Mata Ikan tuna lebar, Mempunyai dua
sirip dorsal yang berdekatan, di belakang sirip dorsal yang kedua sampai ekor
terdapat delapan hingga sembilan sirip kecil. Sirip seperti itu juga terdapat
diantara sirip anal dan ekor pada bagian bawah badan. Warna badan bagian atas
atau punggung biru gelap, makin ke bawah warnanya makin cerah atau putih
perak. Panjang Ikan tuna bisa mencapai lebih dari 1,8 m dengan berat lebih dari
140 kg (Hadiwiyoto, 1993).
Ikan tuna merupakan ikan ekonomis penting dalam perdagangan perikanan
dunia dan termasuk golongan ikan pelagis. Ikan tuna banyak dimanfaatkan
sebagai ikan kaleng dan shasimi dalam industri perikanan dunia. Spesies ikan ini
memiliki karateristik yang mirip sehingga dapat disebut dengan golongan tuna
dan spesies mirip tuna. Ikan tuna dan spesies mirip tuna dapat diklasifikasikan
kedalam empat genus, yaitu Thunnus, Euthynnus, Katsuwonus, dan Auxis dengan
jumlah spesies sebanyak 15 spesies (Nurjanah, 2011).
Sistem klasifikasi, Tuna termasuk famili Scombroidea dengan ciri
kandungan asam amino bebas histidin yang tinggi dan jika tidak ditangani dengan
tepat, maka histidin dalam daging Tuna akan diubah oleh bakteri menjadi
senyawa toksik yang disebut histamin. Histamin akan mengakibatkan keracunan
scombroid atau semacam alergi (Junianto, 2003).
Ikan tuna adalah ikan pelagis besar yang menyebar di perairan yang relatif
dalam, memiliki sifat yang bergerak aktif dan sifat pergerakannya dapat vertikal
maupun kearah lainnya. Ikan tuna ada yang hidup menetap pada perairan tertentu,
namun kebanyakan mengadakan migrasi sepanjang tahun. Pergerakan kelompok
ikan tuna di wilayah perairan Indonesia mencakup wilayah perairan pantai,
teritorial dan Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) Indonesia. Indonesia merupakan
bagian dari jalur migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak pada

4
lintasan perbatasan antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, sehingga
beberapa wilayah perairan pantai dan teritorial memiliki sumberdaya perikanan
tuna yang besar (Nugroho dan Budi, 2003 dalam Widarmasto, 2005).
Tuna terdapat di perairan mana saja, terutama yang mempunyai kadar
garam tinggi. Ikan tuna bergerak dalam rombongan dan dapat berpindah-pindah
dengan jarak yang sangat jauh. Di lautan Hindia penyebarannya meluas dari 300
lintang Selatan ke Utara dan Timur Afrika hingga Barat Australia. Di lautan
Pasifik mulai dari Utara Irian dan Timur Australia hingga pantai Amerika. Di
lautan Atlantik meluas dari pantai Amerika hingga benua Afrika. Di Nusantara
selain di kedua lautan yang mengelilingi negara kepulauan juga terdapat di laut
pedalaman seperti laut Bali, Laut Flores, Laut Sawu, Laut Arafuru, dan Laut
Banda (Simorangkir, 1978 dalam Widarmasto, 2005).
Tuna adalah ikan yang aktif mengejar makanan dan selalu bergerak.
Kebutuhan makanan ikan tuna diperkirakan sekitar 15 % dari berat badannya per
hari. Tuna akan memilih ruang hidup sesuai dengan keinginannya, namun dalam
keadaan darurat tuna akan bergerak ke arah lingkungan yang kurang sesuai
(Stequert dan Marsac, 1989 dalam Widarmasto, 2005).

2.1.1 Morfologi Dan Klasifikasi Ikan Tuna


Ikan tuna yang termasuk ke dalam famili Scombridae memiliki tubuh
berbentuk tegak, memanjang dan fusiform (streamline) dengan dua buah sirip
dorsal terpisah yang memiliki satu jari-jari keras pada jari-jari pertamanya dan
sirip kaudal berbentuk bulan sabit. Sirip ventral berukuran lebih kecil atau sama
dengan sirip pektoral. Sirip dorsal pertama dan sirip anal pertama dapat melipat
kedalam lipatan, sedangkan sirip pektoral dan sirip ventral menekan kedalam
tubuh saat berenang dengan cepat. Daging ikan tuna tuna berwarna merah muda
sampai merah tua (Nurjanah, 2011).
Daging merah pada ikan tuna mempunyai kandungan mioglobin tinggi
diimbangi dengan banyaknya jaringan pengikat dan pembuluh darah, sementara
daging putih mempunyai protein yang berkualitas tinggi. Daging ikan mempunyai
nilai biologik yang tinggi tetapi nilai biologik dapat turun karena penanganan
yang kurang baik (Hadiwiyoto, 1993).

5
Sistem klisifikasi, tuna termasuk dalam famili Scombroidae. Salah satu
ciri dari ikan anggota famili Scombroidae yaitu kandungan asam amino bebas
histidin yang tinggi (Junianto, 2003).
Klasifikasi Ikan Tuna menurut Nurjanah (2011) adalah :
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Superclass : Gnathostomata
Class : Osteichthyes
Subclass : Actinopterygii
Order : Perciformes
Suborder : Scombroideic
Famili : Scombroidea
Subfamili : Thunnini
Genus : Thunnus
Species : Thunnus albacares
Thunnus obesus
Thunnus alalunga
Thunnus maccoyii
Thunnus tonggol

Gambar 1. Tuna Sirip Ekor Kuning (Thunnus albacare)

2.1.2 Komposisi Kimia Dan Kandungan Nutrisi Daging Ikan Tuna


Komposisi kimia daging tuna bervariasi menurut jenis, umur, kelompok
dan musim. Perubahan nyata terjadi pada bagian tubuh yang satu dengan yang
lain, ketebalan lapisan lemak dibawah kulit berubah menurut umur dan atau
musim. Lemak yang paling banyak terdapat pada dinding perut yang berfungsi

6
sebagai gudang lemak, bagian ini adalah termahal sebagai bahan sashimi dan
sushi(Murniyati dan Sunarman, 2000). Komposisi tuna dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1.Komposisi Kimia Ikan Tuna (dalam % berat)
Spesies Air Protein Lemak Karbohidrat Abu
Bluefin
Daging merah 68,70 28,30 1,40 0,10 1,50
Daging berlemak 52,60 21,40 24,60 0,10 1,30
Soulthern
Daging merah 65,60 23,60 9,30 0,10 1,40
Daging berlemak 63,90 23,10 11,60 0,10 1,30
Yellowfin
Daging merah (akami) 74,20 22,20 2,10 0,10 1,40
Marlin 72,10 25,40 3,00 0,10 1,40
Macerel 62,50 19,80 16,50 0,10 1,10
Skipjack 70,40 25,80 2,00 0,40 1,40

Sumber : Muryati dan Sunarman (2000).


Tuna adalah ikan yang memiliki nilai komersial tinggi yang banyak
diminati, baik di pasar lokal maupun internasional. Ini dikarenakan selain rasanya
yang lezat juga kandungan zat gizinya yang mampu menyehatkan orang dewasa
dan mencerdaskan anak-anak. Ikan tuna mempunyai nilai gizi yang sangat luar
biasa. Kadar protein pada ikan tuna hampir dua kali kadar protein pada telur yang
selama ini dikenal sebagai sumber protein utama. Kadar protein per 100 gram
ikan tuna dan telur masing-masing 22 g dan 13 g, (Efendi, 2008).
Salah satu komoditas laut, Ikan tuna juga kaya akan asam lemak omega-3.
Kandungan omega-3 pada ikan air laut, seperti Ikan tuna adalah 28 kali lebih
banyak daripada ikan air tawar. Asam lemak omega-3 mempunyai peran penting
untuk proses tumbuh kembang sel-sel saraf, termasuk sel otak, sehingga dapat
meningkatkan kecerdasan terutama pada anak-anak. Ikan tuna juga kaya berbagai
mineral penting yang esensial bagi tubuh. Kandungan iodium pada ikan tuna
mencapai 28 kali kandungan iodium pada ikan air tawar. Kandungan vitamin pada
ikan tuna, terutama jenis sirip biru sangat tinggi, yaitu mencapai 2,183 IU.
Konsumsi 100 gram ikan tuna sirip biru cukup untuk memenuhi 43,6 persen

7
kebutuhan tubuh akan vitamin A setiap hari. Ikan tuna juga merupakan sumber
yang baik untuk vitamin B6 dan asam folat (Efendi, 2008).

2.2 Pengalengan Ikan Tuna


2.2.1 Prinsip Pengalengan
Pengalengan adalah cara pengawetan ikan dengan sterilisasi dalam kaleng.
Ikan dimasukkan dalam kaleng, kemudian disterilkan dengan panas (Murniyati
dan Sunarman, 2000). Pengalengan didefinisikan sebagai suatu cara pengawetan
bahan pangan yang dipak secara hermitis (kedap terhadap udara, air, mikroba dan
benda asing lainnya) dalam suatu wadah yang kemudian disterilkan secara
komersial untuk membunuh semua bakteri patogen (penyebab penyakit) dan
pembusuk. Bakteri-bakteri yang berhubungan dengan pengalengan ikan,
Clostridium botulinum yang paling berbahaya. Pengalengan secara hermitis
memungkinkan makanan yang dikalengkan dapat terhindar dari kebusukan,
perubahan kadar air, kerusakan akibat oksidasi atau perubahan cita rasa (Astawan,
2006).
Menurut Winarno (2007), proses pengalengan juga disebut canning, yang
pada umumnya tidak hanya melibatkan penggunaan bahan kemasan kaleng, tetapi
dapat menggunakan bahan kemasan gelas atau botol, maupun plastik yang disebut
retortable pouch. Prose pengalengan adalah suatu cara pengawetan makanan
dimana makanan beserta wadahnya mengalami sterilisasi komersial dengan
menggunakan panas, baik sendiri atau kombinasi dengan cara lain yaitu dengan
pengaturan pH dan water activity. Daya awet makanan kaleng sangat bervariasi
tergantung dari jenis bahan pangan, jenis wadah, proses pengalengan yang
dilakukan dan kondisi tempat penyimpanannya, tetapi jika proses pengolahannya
sempurna maka daya awet produk yang dikalengkan lama (adawyah, 2007).

2.2.2 Proses Pengalengan Ikan Tuna


1. Penerimaan Bahan Baku
Setiap bahan baku yang diterima harus diperiksa mutunya paling tidak
secara sensori, ikan yang tidak memenuhi persyaratan bahan baku harus ditolak.
Kesegaran ikan dalam pengalengan memegang peranan sangat penting, sebab bila
ikan sudah tidak segar lagi maka mutu ikan kaleng pun menurun. Bau ikan yang

8
busuk atau tektstur ikan yang mulai lembek tidak dapat dihilangkan sebab pada
pengukusan pendahuluan (precooking) yang seharusnya menyebabkan daging
ikan makin kompak, malahan membuat daging ikan yang mulai busuk menjadi
rapuh. Tempat, cara, dan lama penyimpanan bahan mentah juga mempengaruhi
mutu produk akhir (Moeljanto, 1992).
2. Penyiangan dan Pencucian
Isi perut dan bagian-bagian yang tidak dikalengkan seperti kepala, sirip-
sirip, ekor dan daging bagian perut dipisahkan dan tulang-tulangnya harus
dibuang, kemudian ikan dicuci sebersih-bersihnya. Air pencucian sebaiknya
mempunyai mutu seperti air minum karena bila mutunya diragukan akan menjadi
sumber pengotoran dan pembusukan. Penyiangan dan pencucian harus diawasi
baik-baik sesuai dengan syarat-syarat kesehatan karena ini langkah awal untuk
menentukan mutu dan besarnya kerugian akibat pembusukan dan kerusakan fisik
(Moeljanto, 1992).
3. Pengukusan Pendahuluan
Ikan tuna yang telah disiapkan dalam rak kemudian dimasukkan kedalam
alat pemasak yang menggunakan uap panas (steam). Waktu yang dibutuhkan
untuk pengukusan pendahuluan tergantung pada ukuran ikan, namun umumnya
berkisar antara 1-4 jam (mampu mereduksi 17,5 % kadar air dari ikan) dengan
suhu pemasakan 100º-105ºC. Menurut Moeljanto (1985), air yang keluar pada
ikan tuna kurang lebih 17,5 % . Hal ini bergantung pada kandungan lemaknya,
bila semua air yang keluar itu tertampung didalam kaleng maka saus yang
berminyak akan jadi encer tercampur air.
Lama pengukusan (steaming atau precooking) dan ketinggian suhu juga
tidak boleh berlebihan. Suhu yang terlalu tinggi akan mempengaruhi rupa dan
tekstur daging dan terlalu banyak air yang keluar. Hal ini akan menurunkan mutu.
Keseimbangan antara lama pemasakan, tinggi suhu, mutu daging serta biaya
produksi hendaknya selalu dijaga (Moeljanto, 1992).
Daging ikan tuna yang telah di precook terdiri atas dua bagian yaitu
daging putih (white meat) dan daging merah (dark meat). Waktu pemotongan,
daging merah harus dipisahkan sebab mutunya dalam perdagangan lebih rendah.
Warna merah tersebut disebabkan oleh darah yang membeku karena pemanasan
(Murniyati dan Sunarman, 2000).

9
4. Penurunan Suhu dan Pembersihan Daging
Ikan yang telah dimasak dikeluarkan dari alat pemasak dan diturunkan
suhunya sampai ikan dapat ditangani lebih lanjut (30ºC) dalam waktu maksimum
6 jam. Sebaiknya dilakukan diruangan khusus yang selalu terjaga kebersihannya
dan masih berlangsung penguapan sehingga daging bertambah kompak, keras dan
mudah dipisah-pisahkan antara daging dan tulang. Lamanya waktu pendinginan
tergantung dari ukuran ikan (Ditjenkan, 1994).
Daging ikan dibersihkan dari sisik, kulit, tulang dan daging merah dengan
menggunakan pisau yang tajam. Kulit, tulang dan daging merah yang terbuang
ditampung dalam wadah yang terpisah. Loin masak kadang timbul perubahan
warna daging, yaitu munculnya warna hijau muda kekuningan. Makin tidak segar
bahan mentahnya, ternyata makin banyak terjadi perubahan warna ini bahkan
sampai masuk ke celah-celah daging (Moeljanto, 1985).
5. Pemotongan
Pemotongan ikan dimaksudkan untuk memperoleh bentuk dan ukuran ikan
yang sesuai dengan kalengnya. Hasil pemotongan dibagi menjadi dua, yakni :
potongan pokok, potongan sisa dan serpihan (waste /flake) (Murniyati dan
Sunarman, 2000).
Daging yang telah bersih dari kulit, tulang dan daging merah dipotong
dengan ukuran yang disesuaikan dengan ukuran kaleng. Tahap ini sekaligus
dilakukan sortasi terhadap daging yang rusak. Daging yang telah dipotong
secepatnya harus dimasukkan/di isi kedalam kaleng. Panjang potongan ikan
diperkirakan tepat dengan isi kaleng sehingga jarak antara permukaan ikan setelah
ditambahakan saus dengan bibir kaleng (head space) kira-kira setinggi 3-4,5 mm :
(1/8-1/6 inchi). Hal ini untuk mendapat ruang hampa yang cukup (Moeljanto,
1985).
Pemotongan ikan dapat dilakukan dengan mesin atau dengan tangan.
Pemakaian mesin pemotong akan memperoleh kesulitan untuk memperoleh bahan
dengan ukuran yang sama dan banyak menghasilkan waste meskipun prosesnya
berjalan cepat. Pemotongan dengan tangan menghasilkan potongan-potongan
yang tidak sama ukurannya dan kecepatannya rendah (Murniyati dan Sunarman,
2000).

10
6. Pengisian dalam Kaleng
Ikan tuna yang dikalengkan memiliki empat cara pengepakan, yakni solid
pack, standard pack, belly meat pack dan flake pack. Solid pack berisi sepotong
daging dalam kaleng. Standard pack, disamping potongan daging yang besar,
untuk memenuhi standar ditambahkan serpihan daging. Flake pack hanya terisi
serpihan daging, sedangkan belly pack hanya daging bagian perut saja(Poernomo,
2002).
Pengisian wadah yang telah disiapkan sebaiknya dilakukan segera setelah
persiapan selesai. Pengisian hendaknya dilakukan dengan teratur dan seragam.
Produk diisikan sampai permukaan yang diinginkan dalam wadah dengan
memperhatikan adanya head space, kemudian medium pengalengan (canning
medium) diisikan menyusul. Head space adalah ruang kosong antara permukaan
produk dengan tutup. Fungsinya sebagai ruang cadangan untuk pengembangan
produk selama disterilisasi, agar tidak menekan wadah karena akan menyebabkan
gelas menjadi pecah atau kaleng menjadi gembung (Adawyah, 2007).
Menurut Moeljanto (1985), cara pengisian ikan yang sudah dipotong-
potong kedalam kaleng harus sepadat mungkin supaya tidak mudah rusak akibat
goncangan waktu pengemasan atau pengangkutan.
7. Penambahan Medium
Penambahan medium sesaat sebelum kaleng ditutup. Suhu medium tidak
boleh kurang dari 70ºC. Pengisian media hingga batas head space atau 6-10% dari
tinggi kaleng (Putra, 2005). Medium yang umum dipakai dalam tuna kaleng
adalah air garam (brine) atau minyak. Pengisian medium biasanya digunakan
mesin secara otomatis untuk menentukan jumlah yang dimasukkan atau diisikan.
8. Penghampaan Udara dan Penutupan Kaleng
Kaleng yang telah berisi ikan dihampakan kandungan udaranya sehingga
tekanan udara didalam kaleng setelah proses sterilisasi dan pendingian menjadi
lebih kecil dibanding tekanan udara luar. Penghampaan bermanfaat untuk
meniadakan oksigen untuk mengurangi kemungkinan oksidasi isi kaleng dan
korosi (perkaratan) pada bagian dalam kaleng, perkaratan dapat menyebabkan
kebocoran kaleng, mengurangi kaehidupan bakteri aerob (Murniyati dan
Sunarman, 2000).

11
Penutupan hermitis artinya penutupan kaleng sedemikian rupa sehingga
tidak ada gas, molekul uap air maupun udara yang dapat lolos atau masuk ke
dalam kaleng. Proses penutupan kaleng dilakukan dengan alat penutup kaleng
yang disebut double seamer, kaleng-kaleng dapat tertutup secara hermitis
(Winarno, 2007).
9. Sterilisasi
Sterilisasi merupakan pemberian jumlah panas yang cukup, artinya panas
diberikan dalam gabungan suhu dan waktu, sehingga produknya steril tetapi baik
tekstur, citarasa masih cukup baik sesuai harapan konsumen. Jumlah panas dalam
kombinasi suhu dan waktu tersebut sangat tergantung pada jenis bahan pangan
khususnya sifat perambatan panasnya yaitu konduksi atau konveksi, serta pH dari
bahan pangan tersebut (Winarno, 2007).
10. Pendinginan (Cooling)
Kaleng-kaleng atau kemasan setelah proses sterilisasi harus didinginkan
secepatnya untuk mencegah terjadinya gejala lewat masak pada produk dan untuk
mencegah tumbuhnya spora mikroorganisme yang tahan panas. Pendinginan
dapat dilakukan dengan udara atau dengan air. Bila digunakan dengan air maka
umumnya digunakan air yang dikhlorinasi untuk mencegah terhisapnya air yang
mengandung mikroorganisme ke dalam kaleng melalui lubang-lubang kecil dalam
bahan kaleng, hal ini dapat terjadi karena dalam kemasan terdapat keadaan vakum
(Effendi, 2008). Menurut Winarno (2007). Pendinginan yang berlangsung lambat
akan memberikan waktu yang cukup bagi spora tumbuh dan berkembang biak.
11. Inkubasi
Kaleng yang telah dingin dimasukkan kedalam suatu ruangan dengan suhu
kamar dan diletakkan dengan posisi terbalik dan kemudian dilakukan pengecekan
terhadap kerusakan kaleng. Kaleng yang dianggap rusak adalah kaleng yang
menggembung atau bocor. Pemeraman dilakukan minimal selama 7 (tujuh) hari.
12. Pelabelan (Labelling) dan Pengepakan
Kaleng yang sudah dingin kemudian diberi label sesuai dengan keinginan
produsen, pemberian label ditujukan untuk mengetahui bahan yang digunakan dan
untuk mengetahui bahan yang digunakan dan untuk mengetahui kapan waktu
produksi sehingga dapat menentukan masa kadaluarsanya, dan tentunya dengan

12
pemberian label produk akan dikenal masyarakat,kemudian dikemas dalam karton
atau kotak kayu dalam jumlah tertentu (Adawyah, 2007).
13. Penyimpanan
Suatu pabrik makanan kaleng seringkali diperlukan penyimpanan
sementara, misalnya karena besarnya jumlah produksi, selain itu penyimpanan
juga untuk menguji mutu produk sebelum dipasarkan, maka diperlukan ruang
penyimpanan yang baik (Adawyah, 2007).
Suhu penyimpanan sangat berpengaruh terhadap mutu makanan kaleng.
Suhu yang terlalu tinggi dapat meningkatkan kerusakan cita rasa, warna, tekstur,
dan vitamin yang dikandung oleh bahan, akibatnya akan menyebabkan terjadinya
reaksi kimia dan juga akan memacu pertumbuhan bakteri yang pada saat proses
sterilisasi sporanya masih dapat bertahan. Mencegah timbulnya karat pada bagian
luar kaleng atau tumbuhnya jamur, kelembaban ruang penyimpanan hendaknya
diatur serendah mungkin (Adawyah, 2007).

2.2.3 Persyaratan Mutu Bahan Mentah


Tidak diperbolehkan mengolah ikan yang berasal dari atau ditangkap
didaerah perairan tercemar. Ikan yang diolah harus dari mutu yang baik, bersih,
segar, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan bebas dari tanda-tanda
dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari cacat fisik dan bebas dari benda-benda
yang dapat menurunkan mutu produk (Ditjenkan, 1994). Bahan baku yang berupa
ikan tuna segar harus memenuhi syarat sesuai SNI 2729:2013 adalah sebagai
berikut:

Tabel 2. Spesifikasi Persyaratan Mutu Ikan Segar

13
Parameter uji Satuan Persyaratan
a. Organoleptik - Min 7 (skor 1-9)
b. Cemaran Mikroba*
5
- ALT Koloni/g 5,0
- Eschericia coli APM/g <3
- Salmonella - Negatif/25 g
- Vibrio cholera - Negatif/25 g
- Vibrio parahaemolyticus <3
c. Cemaran Logam*
- Arsen (As) mg/kg Maks. 1, 0
- Kadmium (Cd) mg/kg Maks. 0,1
mg/kg Maks. 0,5**
- Merkuri (Hg) mg/kg Maks. 0,5
mg/kg Maks. 1, 0**
- Timah (Sn) mg/kg Maks. 40, 0
- Timbel (Pb) mg/kg Maks. 0,3
Maks. 0,4**
d. Kimia*
- Histamin*** mg/kg Maks. 100
e. Residu Kimia*
- Kloramfenikol - Tidak boleh ada
- Malachite green dan - Tidak boleh ada
Leuchomalachite green
- Nitrouran - Tidak boleh ada
f. Racun Hayati*
- Ciguatoksin - Tidak terdeteksi
g. Parasit - Tidak boleh ada
Catatan * bila diperlukan
** untuk ikan predator
*** untuk ikan scombridae (scombroid), clupeidae, pomatomidae,
coryphaenedae
Sumber : SNI 2729:2013

Setelah diolah menjadi ikan tuna kaleng maka produk akhir harus
memenuhi syarat sesuai SNI 2712:2013 adalah sebagai berikut :

14
Tabel 3. Spesifikasi Persyaratan Mutu Tuna Kaleng
Parameter uji Satuan Persyaratan
a. Sensori Min 7 (skor 1-9)
b. Kimia***
- Histamin Mg/kg Maks 100
c. Cemaran Mikroba*
- ALT anaerob koloni/g <1 101
- ALT aerob (themofilik) koloni/g <1 101
- Clostridium perfringens - <1 101
d. Cemaran logam*
- Arsen (As) mg/kg Maks. 1, 0
- Kadmium (Cd) mg/kg Maks. 0,1
mg/kg Maks. 0,5**
- Merkuri (Hg) mg/kg Maks. 0,5
mg/kg Maks. 1, 0**
- Timah (Sn) mg/kg Maks. 40, 0
- Timbal (Pb) mg/kg Maks. 0,3
Maks. 0,4**
e. Cemaran fisika*
- Filth 0
f. Fisika
- Bobot tuntas
- Pelagis kecil % Min. 50
- Pelagis besar % Min. 60
Catatan * bila diperlukan
** untuk ikan predator
*** untuk ikan scombridae (scombroid), clupeidae, pomatomidae,
coryphaenedae
Sumber : SNI 2712:2013

2.2.4 Persyaratan Mutu Bahan Pembantu

15
1. Air
Secara garis besar, menurut sumber atau letaknya, air dapat dibedakan
menjadi 2, yaitu air tanah dan air permukaan. Air tanah adalah jenis air terletak di
bawah tanah, dan biasanya memerlukan cara tertentu untuk menaikkannya ke
permukaan misalnya dengan membuat sumur atau dengan menggunakan pompa.
Air permukaan tanah seperti air sungai, kolam, danau, ataupun air hujan.
Air tanah umumnya lebih bersih dari pada air permukaan, namun tidak
dapat dijamin bahwa semua jenis air tanah aman untuk dikonsumsi atau
digunakan dalam pengolahan makanan. Air permukaan, karena letaknya pada
tempat relatif terbuka, cenderung lebih mudah terkontaminasi/ tercemar, baik
secara fisik, kimiawi, mikrobiologis, maupun radiologis. Air permukaan
memerlukan tindakan sanitasi spesifik sebelum digunakan sebagai air minum
ataupun air untuk keperluan pengolahan makanan (Purnawijayanti, 2012).
Menurut pengamatan Putra (2005) air untuk penanganan dan pengolahan
harus cukup aman dan saniter, berasal dari sumber yang diizinkan dengan angka
Coliform (angka paling memungkinkan-APM) maksimal 2 (dua) untuk 100 ml air.
Air tersebut bertekanan minimal 145,26 gram/cm2 (20 pound per square inchi).
Air untuk pencucian tuna disalurkan terpisah dan tidak berhubungan silang
dengan sistem saluran air kotor. Air untuk tujuan pencucian dan pengolahan,
sebelum dipakai harus disaring atau dengan perlakuan lain sehingga air tersebut
bersih. Air hendaknya meenuhi persyaratan air minum dan diperiksa secara
kontinyu ke laboratorium yang telah terakreditasi.
2. Es
Es harus dibuat dari air yang bersih, yang memenuhi persyaratan air
minum. Penggunaan es harus ditangani dan disimpan ditempat yang bersih agar
terhindar dari penularan dan kontaminasi dari luar.
Menurut Imesh (2012), ikan yang dijual dalam keadaan segar selalu
membutuhkan suhu yang rendah sehingga mutu ikan yang dijual dapat
dipertahankan. Es merupakan cara yang paling umum digunakan, karena selain
murah, es juga mudah didapatkan. Es yang dipergunakan harus berasal dari air
yang bersih dan kualitasnya terjamin. Untuk hasil yang lebih baik, es yang
digunakan harus berasal dari air yang siap minum. Es merupakan bahan yang

16
berhubungan langsung dengan bahan makanan, sehingga apabila tidak
diperhatikan dengan baik, maka es kemamanan bahan makanan yang diproduksi.
Sebaiknya es yang digunakan untuk menjaga suu ikan sebelumnya telah
dihancurkan terlebih dahulu, sehingga proses perpindahan suhu terjadi secara
lebih efektif.
3. Garam/Saus
Garam/saus yaitu berfungsi sebagai bahan tambahan yang digunakan
sebagai media pada pengalengan ikan tuna. Garam/saus sebelum dimasukkan
dalam kaleng harus dimasak terlebih dahulu (Moeljanto, 1985).
Penggunaan saus atau medium dalam pengalengan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan. Sedangkan penambahan air garam, minyak, saus tomat
dan bumbu-bumbu lain tidak saja memberikan rasa tertentu pada produk yang
dikalengkan tetapi juga menonjolkan rasa sedap alami yang terdapa dalam daging
ikan (Moeljanto, 1992). Selain itu saus atau medium mempunyai fungsi :
1. Memperpendek waktu proses (sterilisasi) karena saus merupakan pengantar
panas
2. Merendahkan konsentrasi (kadar) ion zat air (hydrogen ion) atau pH (misalnya
pemakaian saus tomat pada pengalengan jenis kerang tertentu (Moeljanto,
1992).

2.2.5 Persyaratan Mutu Bahan Pembungkus


1. Kaleng
Kaleng yang dipakai untuk mengawetkan ikan dibuat dengan bahan dan
kontruksi khusus. Kaleng terbuat dari tin-plate yaitu lembaran-lembaran besi (Fe)
yang dilapisi timah (Pb) dengan cara pencelupan atau secara elektrolit. Cara
pencelupan dalam cairan timah ternyata lebih baik daripada cara elektrolit sebab
menghasilkan tin-plate dengan jumlah pori-pori yang kecil (Murniyati dan
Sunarman, 2000).
Spesifikasi kaleng kaleng ditentukan oleh dua buah kebutuhan, yaitu :
kebutuhan akan kekuatan yang dimiliki oleh wadah dan daya simpan yang
dimiliki oleh produk dalam kaleng. Kebutuhan akan kekuatan kaleng perlu
disesuaikan dengan beberapa hal, yaitu : kecepatan jalur pengolahan, keadaan dan
kondisi alat penutup kaleng (atmosfer, aliran uap air, kevakuman) yang banyak

17
mempengaruhi pendinginan dengan tekanan (pressure cooling), serta cara
penanganan pasca proses. Sedangkan kebutuhan terhadap daya simpan isi kaleng
ditentukan oleh daya korosif produk, lapisan timah putih (tin free steel), sifat-sifat
basic steel-nya, place surface treatment, dan jenis organic coating
(Winarno, 2004).
Pengolahan tuna kaleng memiliki beberapa ukuran jenis kaleng
diantaranya 307 112 dan 603 408. Kaleng 307 112 adalah jenis kaleng two
piece can bodies dimana kaleng hanya terdiri dari badan kaleng dan sebuah tutup
kaleng. Sedangkan kaleng ukuran 603 408 adalah jenis kaleng three piece can
bodies yang terdiri dari tiga bagian yaitu badan kaleng dan dua tutup kaleng
bagian bawah dan atas. Untuk tutup bagian bawah biasanya sudah ditutup oleh
perusahaan kaleng sedangkan bagian atasnya ditutup setelah proses pengisian.
Pada bagian atas terdapat kode yang menunjukkan jenis produk dan tanggal
kadaluarsa produk. Standar vacum untuk kaleng ukuran 603 408 adalah 27-28
cm Hg dan untuk ukuran kaleng 307 112 adalah 35 cm Hg. Kaleng yang telah
ditutup dinyatakan bagus dan baik apabila kevakuman kaleng sesuai dengan
standarnya (Putra, 2005).
Kemasan untuk pengalengan harus memenuhi persyaratan antara lain :
dapat ditutup secara hermitis, tahan dalam pemanasan suhu tinggi dan aman
terhadap produk serta mampu melewatkan panas kedalam produk secara efektif
(Winarno, 2004).
Menghindari kemungkinan terjadinya proses karat atau perubahan warna
(discoloration) produk, pada lapisan terluar dari lapisan kaleng bagian dalam
diberi lapisan “lacquer” atau “coating”. Dari berbagai jenis coating, khusus untuk
olahan ikan digunakan jenis SR (Sulphur resistant) atau juga disebut dengan
C-enamel yang khusus ditujukan untuk mencegah terjadinya black sulfide, yaitu
noda hitam hasil reaksi besi dengan sulfide menjadi FeS (Winarno, 2004). Hal ini
disebabkan, daging ikan pada umumnya banyak mengandung gugusan sulfhydril
(-SH) yang dapat bereaksi dengan unsure besi (Fe) dari tin plate dan membentuk
endapan hitam (FeS) yang menempel pada daging ikan pada waktu kaleng dibuka.
Metode penutupan kaleng yaitu penutupan sambungan ganda yang terdiri
dari dua langkah. Pertama, pinggir tutup kaleng dilipat sehingga membentuk kait

18
tutup (cover hook) disekeliling bibir badan. Kedua, kait tutup dan bibir atas badan
kaleng dilipat kebawah kearah dinding kaleng sehingga membentuk kait badan
(body hook) yang rapat (Suprayitno, 2011).
Makanan kaleng mungkin mengalami kerusakan atau kebusukan selama
transpor atau penyimpanan. Kerusakan makanan kaleng dapat dibedakan menjadi
tiga yaitu kerusakan fisik, kerusakan kimia dan kerusakan mikrobiologi.
Jenis-jenis kerusakan makanan kaleng :
1. Kerusakan fisik
Umumnya tidak membahayakan konsumen. Misalnya penyok karena
benturan.
2. Kerusakan kimia
Dapat disebabkan penggunaan jenis kaleng yang tidak sesuai sehingga
terjadi reaksi kimia antara kaleng dan makanan yang dikalengkan. Kerusakan
kimia dapat juga berupa kerusakan zat gizi atau nutrien makanan. Kerusakan
kimia yang dapat terjadi yaitu kembung hydrogen, pembentukan warna hitam,
pemudaran warna, korosi.
Kembung hydrogen adalah suatu keadaan penggembungan kaleng yang
disebabkan terbentuknya gas hydrogen. Gas hydrogen terbentuk akibat reaksi
asam dari produk dan logam pada kaleng. Kembung hydrogen dapat terjadi jika
makanan bersifat asam dan kaleng tergores lapisan timahnya atau penggunaan
jenis kaleng yang tidak sesuai sifat produk.
Pembentukan warna hitam sering terjadi pada pengalengan jagung, udang,
kepiting, ikan dan daging. Terjadi karena waktu proses sterilisasi terjadi
pemecahan senyawa sulfide dari protein yang bereaksi dengan besi dari kaleng.
3. Kerusakan mikrobiologi
Pada kerusakan jenis ini kaleng terlihat normal (tidak menggembung) tapi
produk berubah asam. Penyebabnya Bacillus stearothermophilus pada makanan
berasam rendah dan Bacillus coagulans (Bacillus thermoacidurans) pada
makanan asam.
Pembentukan warna hitam yaitu tumbuhnya bakteri pembentuk spora yang
bersifat termofilik, misalnya Clostridium nigrificans (anaerobic), Bacilus
betanigrificans (anaerobic fakultatif), keduanya bersifat proteoilitik dan

19
memproduksi H2S sehingga makanan menjadi busuk dan berwarna hitam karena
reaksi sulfide dengan besi.
2. Kerusakan dengan pembentukan gas
Kerusakan ini mengakibatkan terjadinya penggembungan kaleng karena
terbentuk gas oleh mikroba (CO2 dan H2). Penampakan kaleng yang kembung ada
4 jenis :
1. Flipper : kaleng terlihat normal, tapi bila salah satu tutup ditekan dengan jari,
tutup lainnya akan menggembung.
2. Springer : salah satu tutup normal (tidak kembung), sedang tutup lainnya
kembung, jika bagian kembung ditekan maka bagian ini akan masuk ke dalam
dan tutup lainnya akan menjadi kembung.
3. Soft well (kembung lunak) : kedua tutup kembung tapi tidak keras dan masih
dapat ditekan dengan ibu jari.
4. Hard well (kembung keras) : kedua tutup kembung dan keras sehingga tidak
dapat ditekan dengan ibu jari.
Kerusakan makanan kaleng berasam tinggi dengan pH < 4 biasanya
diusebabkan mikroba jenis mikrokoki, bakteri batang tidak berspora, kapang dan
khamir. Mikroba tersebut biasanya tidak tahan panas, kontaminasi biasanya
disebabkan kebocoran kaleng (Anonymous, 2012).
2. Karton
Karton adalah suatu bahan pengepak untuk membungkus ikan yang telah
dikalengkan atau suatu barang hasil industri lainnya. Sesuai dengan fungsinya
maka karton yang digunakan untuk pengemas ikan kaleng harus memenuhi
persyaratan-persyaratan yaitu : ringan dan kuat, ringkas dan praktis indah dan
rapi, diberi motif tertentu untuk menghindari pemalsuan.

2.3 Kemunduran Mutu


Proses perubahan pada ikan setelah mati terjadi karena aktivitas enzim,
mikroorganisme dan kimiawi. Ketiga hal tersebut menyebabkan tingkat kesegaran
ikan menurun. Penurunan tingkat kesegaran ikan ini terlihat dengan adanya
perubahan fisik, kimia dan organoleptik pada ikan. Kesegaran ikan tidak dapat
ditingkatkan, tetapi hanya dapat dipertahankan. Oleh karenanya sangat penting

20
untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi setelah ikan mati (Junianto,
2003).
Sejak ikan diangkat dari air, serangkaian kemunduran mutu terjadi dan
membuat rupa, bau dan rasa ikan berubah menjadi semakin buruk sehingga
menurunkan nilai ekonomisnya. Perubahan ini terjadi sangat cepat, tergantung
jenis, ukuran dan bentuk ikan, suhu dan kondisi lingkungan ikan (Poernomo dan
Dharmayanti, 2004).
1. Penurunan Mutu Secara Autolisis
Autolisis adalah proses penguraian organ-organ tubuh ikan oleh enzim-
enzim yang terdapat di dalam tubuh ikan sendiri. Proses ini biasanya terjadi
setelah ikan mati melewati fase rigormortis (Afrianto dan Liviawaty, 1989).
Proses autolisis biasanya akan diikuti dengan meningkatnya jumlah bakteri,
sebab semua hasil penguraian enzim selama proses autolisis merupakan media
yang cocok untuk pertumbuhan bakteri dan mikroorganisme lain. Penurunan
secara autolisis ini berlangsung sebagai aksi dari kegiatan enzim yang menguasai
senyawa kimiawi pada jaringan tubuh ikan. Enzim bertindak sebagai katalisator
yang menjadi pendorong dan motor segala perubahan senyawa biologis yang
terdapat pada ikan, baik perubahan yang sifatnya membangun sel dan jaringan
tubuh maupun yang merombaknya (Sumandiarsa, 2013).
2. Penurunan Mutu Secara Kimiawi
Reaksi kimiawi yang terjadi selama proses kemunduran kesegaran ikan
adalah penguraian lemak oleh aktivitas enzim jaringan tubuh dan enzim yang
dihasilkan oleh bakteri serta berlangsung oksidasi adanya oksigen manjadi asam
lemak. Akibat dari reaksi ini adalah terjadinya ketengikan, perubahan warna
daging menjadi pucat yang mengarah pada rasa, bau, dan perubahan lain yang
tidak dikehendaki (Irianto dan Giyatmi, 2009).
3. Penurunan Mutu Secara Bakteriologis
Mikroorganisme dominan yang berperan penting di dalam proses penurunan
kesegaran ikan adalah bakteri. Bakteri akan tumbuh pada suhu selang suhu yang
lebar yaitu, antara 0-45ºC. Di dalam air, kehidupannya meningkat antara 25-35ºC.
Enzim yang berperan pada proses autolisis akan bekerja dengan baik pada suhu

21
40-45ºC untuk ikan laut dan 23-27ºC. Pada suhu di bawah 10ºC pertumbuhan
bakteri secara nyata (Irianto dan Giyatmi, 2009).
Menurut Sumandiarsa (2013), fase pembusukan berikutnya yang terjadi
setelah ikan mati adalah perubahan yang disebabkan oleh aktivitas
mikroorganisme, terutama bakteri. Bakteri merupakan anggota mikroorganisme
terbanyak pada tubuh ikan, dapat dibagi menjadi tiga golongan berdasarkan
temperatur hidupnya, yaitu:
1. Bakteri Termofilik
Bakteri ini merupakan golongan bakteri yang hidup dengan baik pada
temperatur tinggi (55 – 80oC), kemampuan hidup optimal pada temperatur
60oC.
2. Bakteri Mesofilik
Bakteri ini merupakan golongan bakteri yang dapat hidup dengan baik
pada temperatur 20 – 55 oC, kemampuan hidup optimal pada temperatur
37oC.
3. Bakteri Psikofilik
Bakteri ini dapat hidup dengan baik pada temperatur 7 – 20oC,
kemampuan hidup optimal pada temperatur 10oC. Adapun jenis bakteri
yang umum ditemukan pada tubuh ikan adalah Achromobacter,
Pseudomonas, Flavobacter, Micrococcus dan Bacillus.
4. Histamin

22
Senyawa histamin terbentuk karena dekarboksilase dari amino histidin
oleh bakteri atau mikroorganisme. Hal ini dapat terjadi pada produk ikan basah

COOH H

H2N C H Enzim Histidin H2N C H


Dekarboksilase
CH2 CH2
Morganella morganii
C NH C NH
CH CH
HC N HC N
Histidin Histamin

karena keterlambatan dalam penjagaan mutunya. Bakteri pembusuk histamin


selalu terdapat pada permukaan kulit ikan segar. Dalam hal ini, ikan yang
berdaging gelap menghasilkan lebih banyak histidin daripada ikan berdaging
putih. Dari ratusan jenis bakteri yang telah diteliti ada 3 jenis bakteri yang mampu
memproduksi histamin dari histidin dalam jumlah tinggi yaitu : Proteus morganii
(big eye, skipjack), Enterobacteri aerogenes (skipjack), dan Clostridium pefringes
(skipjack) (Tampubolon, 1983 dalam Halleb, 2007). Adapun Mekanisme
Perubahan senyawa Histidin menjadi senyawa Histamin dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gambar 2. Mekanisme pembentukan Histamin (Winarno, 1997).

2.4 Penerapan Sistem Rantai Dingin


Rantai dingin yaitu pengusahaan suhu rendah sekitar 0oC atau beberapa
derajat diatas 0ºC selama proses produksi dan distribusi ikan basah. Perlakuan
pendinginan harus dilakukan pada setiap tahapan proses dan menjaga suhunya
tetap konstan. Perlakuan pendinginan tersebut dapat dilakukan dengan mesin
refrigasi atau dengan cara yang paling sederhana yaitu penggunaan es (Ilyas,
1993).
Prinsip dari penerapan rantai dingin yaitu menekan proses terjadinya
kenaikan suhu ikan sejak ikan ditangkap harus segera diturunkan suhu pusatnya
menjadi 0ºC dan perlu dipertahankan suhunya selama penanganan dan
pengolahannya (Moeljanto,1992). Menurut Murniyati dan Sunarman, (2000) Suhu
dingin cukup efektif untuk mencegah proses penurunan mutu secara bakteriologis,
autolisisi dan kimiawi. Penerapan rantai dingin dalam usaha penanganan dan

23
pengolahan dilakukan pada setiap tahap proses, dimana setiap tahapan proses
mampu menghambat pertumbuhan bakteri.
Pendinginan ikan pada dasarnya merupakan penghilangan panas dari ikan
seharusnya dilakukan seawal mungkin setelah ikan diangkat dari air tanpa
memperhatikan bagaimana ikan akan diolah. Prinsipnya pendinginan adalah
mendinginkan ikan secepat mungkin ke suhu serendah mungkin, tetapi tidak
dalam keadaan beku (Irianto dan Giyatmi, 2009)
Adawyah (2007), menjelaskan bahwa kelebihan pengawetan ikan dengan
pendinginan adalah sifat-sifat asli ikan tidak mengalami perubahan tekstur, rasa,
dan bau. Efisiensi pengawetan dengan pendinginan sangat tergantung pada tingkat
kesegaran ikan sebelum didinginkan. Pendinginan dilakukan sebelum rigormortis
berlalu merupakan cara yang paling efektif jika disertai dengan teknik yang
benar. Pendinginan setelah proses autolisis berlangsung tidak akan banyak
membantu. Pendinginan dapat dilakukan dengan teknik seperti di bawah ini atau
dengan pengkombinasian:
1. Pendinginan dengan es.
2. Pendinginan dengan es kering.
3. Pendinginan dengan udara dingin.
Tujuan pendinginan adalah untuk mencegah terjadinya kerusakan
(kemunduran mutu) ikan yang disebabkan oleh aktivitas enzim dan pertumbuhan
bakteri. Sebagaimana diketahui < 4ºC aktivitas enzim dapat dihambat, demikian
juga pertumbuhan bakteri (Nurjanah dan Abdullah, 2010).
Metode dalam mendinginkan ikan dinamakan pendinginan (chilling), yang
suhunya hanya mendekati suhu es yang meleleh (0oC) dan mempertahankannya
sampai pada penanganan selanjutnya. Faktor suhu sangat menentukan, begitu ikan
tertangkap secepat mungkin didinginkan dengan es.Kondisi dingin ini tetap
dipertahankan hingga sampai pada unit pengolahan.Suhu medium es jangan
sampai melebihi 4oC.Penurunan suhu tubuh ikan dilakukan dengan media
pendingin yang berfungsi untuk menarik panas dari dalam tubuh ikan sehingga
suhu tubuh ikan menjadi lebih rendah, semakin besar panas ikan yang diserap
oleh media pendingin maka suhu ikan akan semakin rendah (Junianto, 2003).

2.5 Persyaratan Kelayakan Dasar Unit Pengolahan

24
2.5.1 Persyaratan Fisik
1. Lokasi dan Lingkungan
Berdasarkan KEP. 01/MEN/2007, unit pengolahan harus dibangun di
lokasi yang tidak tercemar dan yang menjamin tersedianya ikan yang bermutu
baik.
Perusahaan harus berlokasi di daerah yang bebas dari kotoran yang
bersifat bakteriologis, biologis, fisis dan kimia (seperti daerah rawa, pembuangan
sampah, perkampungan yang padat penduduk dan kotor, daerah kering dan
berdebu, dekat industri yang menyebabkan pencemaran udara dan air, dekat
gudang pelabuhan dan sumber pengotor lainnya), sehingga tidak menimbulkan
penularan dan kontaminasi produk dan bahaya bagi masyarakat (Winarno dan
Surono, 2004).
2. Bangunan
Berdasarkan KEP. 01/MEN/2007 bahwa bangunan dan peralatan harus
mampu menghindari kontaminasi terhadap produk dan terpisah antara bagian
bersih dan yang terkontaminasi. Bangunan unit pengolahan dan sekitarnya harus
dirancang dan ditata dengan konstruksi sedemikian rupa sehingga memenuhi
persyaratan sanitasi. Peralatan dan perlengkapan unit pengolahan harus ditata
sedemikian rupa sehingga terlihat jelas tahap-tahap proses yang menjamin
kelancaran pengolahan, mencegah kontaminasi silang dan mudah dibersihkan.
Permukaan dinding bagian dalam dari ruangan yang sifatnya untuk
pekerjaan basah harus kedap air, permukaannya halus dan rata serta berwarna
terang. Bagian dinding sampai ketinggian 2 meter dari lantai harus dapat dicuci
dan tahan terhadap bahan kimia, sampai batas ketinggian tersebut jangan
menempatkan sesuatu yang mengganggu operasi pembersihan. Sudut antar
dinding, antara dinding dan lantai dan antara dinding dengan langit-langit harus
tertutup rapat dan mudah dibersihkan. Ruang pengolahan harus mempunyai
langit-langit yang tidak retak, tidak bercelah, tidak terdapat tonjolan dan
sambungan yang terbuka, kedap air dan berwarna terang. Harus dirancang untuk
mencegah akumulasi kotoran dan menimbulkan kondensasi serta mudah
dibersihkan. Tidak ada pipa yang terlihat. Tinggi langit-langit minimal 3 meter
(Winarno dan Surono, 2004).

25
Ventilasi harus cukup untuk mencegah panas yang berlebih, kondensasi
uap dan debu serta untuk membuang udara terkontaminasi. Arah aliran udara
harus diatur dari daerah berudara bersih ke daerah berudara kotor, jangan terbalik.
Ventilasi harus dilengkapi dengan tabir atau alat pelindung lain yang korosif.
Tabir harus mudah diangkat dan dibersihkan.Penerangan yang baik berasal dari
cahaya matahari maupun dari lampu harus cukup menerangi semua ruangan
pabrik. Intensitas harus tidak kurang dari:
1. 540 lux (50-foot [15m] Candle) pada semua ruang inspeksi
2. 220 lux (20-foot [6m] Candle) pada ruang proses
3. 110 lux (10-foot [3m] Candle) pada ruang-ruang lainnya.
Berdasarkan KEP. 01/MEN/2007 bahwa pada setiap pintu masuk ruang
pengolahan dan tempat-tempat tertentu harus disediakan perlengkapan pencuci-
hama. Permukaan pintu harus tahan karat, halus dan rata serta tahan air dan
mudah dibersihkan. Jendela harus tahan air, halus dan rata, mudah dibersihkan
dan apabila dibuka harus dapat menahan debu, kotoran atau serangga (dilengkapi
dengan tabir yang mudah dibersihkan). Jendela harus sekecil mungkin dan
tingginya dari lantai 1,5 meter (Winarno dan Surono, 2004).
Berdasarkan KEP. 01/MEN/2007 bahwa pembuangan kotoran atau limbah
(padat, cair atau gas) dari lingkungan kerja harus dilakukan dengan sempurna dan
memenuhi ketentuan yang berlaku. Selokan harus berukuran cukup, dapat
mengalirkan air dan kotoran dengan lancar, harus kedap air dan tahan lama,
permukaannya halus dan rata. Bagian-bagian selokan yang keluar melalui dinding
ruangan pengolahan harus dilengkapi dengan alat pelindung, misalnya jeruji besi
yang dapat diangkat sehingga mempermudah pembersihan dan mencegah
masuknya tikus dan binatang lainnya masuk ke dalam ruangan. Tutup selokan
harus terbuat dari atau alat lain yang bukan kayu. Bila selokan ini dihubungkan
dengan saluran induk pembuangan air, harus dilengkapi dengan saringan penahan.
3. Fasilitas
Berdasarkan PER.011/DJ-P2HP/2007 bahwa Pest Control di UPI tersedia
dengan jumlah yang cukup fasilitas pencegah binatang pengerat. Tersedia peta
penempatan perangkap dan umpan.

26
Harus disediakan ruang istirahat yang dilengkapi dengan tempat cuci
tangan (dengan kapasitas air yang memadai) dan tempat ganti pakaian. Ruangan
ini harus terpisah letaknya dari ruang pengolahan serta cukup luas untuk pekerja,
yaitu minimal 2m2 per orang pekerja. Harus tersedia ruang makan yang bersih dan
cukup luas untuk semua karyawan, yaitu minimal 1 m2 per orang. Letak ruangan
ini harus terpisah dari ruang pengolahan (Winarno dan Surono, 2004).
Tersedia ruang ganti dengan jumlah yang cukup. Dinding dan lantai ruang
ganti halus, kedap air dan mudah dibersihkan. Tersedia tempat cuci tangan dengan
jumlah yang cukup dan dilengkapi dengan sabun dan desinfektan dan pengering
sekali pakai. Tersedia toilet dengan jumlah yang cukup dan dilengkapi dengan
sabun dan desinfektan dan pengering sekali pakai. Pintu toilet tidak berhubungan
langsung dengan ruang penanganan dan pengolahan ikan. Toilet dilengkapi
dengan sistem menyiram air (water flushing system) dan masih berfungsi. Kran
pada tempat cuci tangan tidak dioperasikan dengan tangan. Tersedia sarana bak
cuci tangan dan penyuci hama (Dirjen P2HP, 2007).
Pabrik harus dilengkapi dengan toilet yang cukup, jumlah toilet yang
diharuskan adalah:
Untuk 1 – 24 karyawan : 1 toilet dan 1 peturasan (urinoir)
Untuk 25 - 50 karyawan : 2 toilet dan 2 peturasan (urinoir)
Untuk 50 – 100 karyawan : 3 toilet dan 3 peturasan (urinoir)
Di atas 100 karyawan, harus disediakan tambahan satu toilet dan satu
peturasan untuk setiap tambahan 50 karyawan.
Area pembuangan limbah terpisah. Tempat limbah tahan karat dan
dilengkapi dengan tutup. Tempat limbah dibersihkan secara benar. Limbah di
pindahkan minimal sekali dalam sehari. Wadah dan tempat penyimpanan limbah
segera dibersihkan setelah digunakan (Dirjen P2HP, 2007).
Berdasarkan KEP. 01/MEN/2007 bahwa, peralatan dan perlengkapan yang
berhubungan langsung dengan ikan yang diolah harus terbuat dari bahan tahan
karat, tidak menyerap air, mudah dibersihkan dan tidak menyebabkan kontaminasi
sesuatu apapun terhadap bahan baku yang sedang diolah maupun produk akhir
serta dirancang sesuai persyaratan sanitasi. Peralatan dan perlengkapan yang
dipakai untuk menangani bahan bukan makanan atau bahan yang dapat

27
menyebabkan kontaminasi baik secara langsung maupun tidak langsung, harus
diberi tanda dan dipisahkan dengan jelas supaya tidak dipergunakan untuk
menangani ikan, bahan penolong, bahan tambahan makanan serta produk akhir.
Berdasarkan KEP. 01/MEN/2007 menyatakan bahwa setiap unit
pengolahan harus memiliki laboraturium yang dapat digunakan untuk menunjang
pengendalian mutu secara mandiri.
Laboraturium perusahaan seharusnya menerapkan Cara Berlaboraturium
yang Baik (Good Laboratory Practices) dan alat ukur yang dikalibrasi secara
reguler untuk menjamin ketelitiannya.

2.5.2 Persyaratan Operasional


1. Cara Berproduksi yang Baik (GMP)
Good Manufacturing Practices (GMP) adalah pedoman persyaratan dan
tata cara berproduksi yang baik bagi suatu unit pengolahan ikan (Menteri
Kelautan dan Perikanan, 2007) yang meliputi tentang :
1. Seleksi bahan baku
Bahan baku berupa ikan mackerel segar atau beku yang belum mengalami
penyiangan dengan jenis mackerel (Scomberjaponicus) dan berasal dari perairan
yang tidak tercemar.
Bahan baku bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan,
bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain
yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan. Bahan baku
secara organoleptik mempunyai karakteristik kesegaran sekurang-kurangnya
sebagai berikut :
1. Kenampakan utuh, sedikit cacat, mata cerah, cemerlang
2. Bau segar spesifik jenis
3. Tekstur elastis, padat dan kompak
Bahan baku yang menunggu proses lebih lanjut, disimpan dalam wadah
yang baik dan diberi es atau dengan metode pendinginan yang sesuai sehingga
mencapai suhu pusat produk maksimal 5°C (BSN, 2006).
2. Penanganan dan pengolahan

28
Penanganan dan pengolahan produk perikanan perlu diperhatikan berbagai
aspek yaitu waktu atau lamanya proses, suhu selama pelaksanaan proses,
teknologi yang digunakan (apakah segar, beku, kaleng, kering, dan lain-lain),
peralatan yang digunakan serta personil yang dipakai.
Penanganan bahan baku hasil perikanan seharusnya menggunakan wadah
yang bersih, dapat dijaga suhunya tetap dingin selama proses, perlakuan secara
cepat disetiap tahapan proses, menggunakan air bersih untuk mencuci bahan dan
menjauhkan bahan baku dari faktor-faktor yang dapat menaikkan suhunya. Ikan
yang tidak langsung diolah hendaknya disimpan dalam kamar dingin dan dijaga
suhunya sekitar 0oC. Bahan baku hendaknya tidak diterima jika diketahui terdapat
yang busuk, mengandung racun atau ditemukan benda-benda asing yang dapat
membahayakan produk.
3. Pengemasan
Pengemasan harus dilakukan pada kondisi yang higienis untuk
menghindari kontaminasi pada hasil perikanan. Bahan pengepak dan bahan lain
yang kontak langsung dengan hasil perikanan harus memenuhi persyaratan
higienis dan khususnya.
1. Tidak boleh mempengaruhi karakteristik organoleptik dari hasil perikanan
2. Tidak boleh menularkan bahan-bahan yang membahayakan kesehatan
manusia
3. Harus cukup kuat melindungi hasil perikanan
Pengecualian terhadap wadah tertentu yang terbuat dari bahan yang kedap
air, halus dan tahan karat yang mudah dibersihkan dan disanitasi, yang mungkin
digunakan kembali setelah pencucian dan sanitasi, bahan pengepakan tidak boleh
digunakan kembali. Bahan pengepakan yang digunakan untuk produk segar yang
di es harus dilengkapi dengan saluran pembuangan untuk lelehan air. Bahan
pengepak yang tidak digunakan harus disimpan dalam bangunan yang jauh dari
tempat produksi dan terlindung dari debu dan kontaminasi. Penggunaan label
(untuk produk yang dikemas) atau dokumen yang menyertai (untuk produk yang
tidak dikemas) dapat digunakan untuk tujuan ketertelusuran.
4. Bahan pembantu dan bahan kimia

29
Penggunaan bahan pembantu perlu diperhatikan jenis dari bahan tersebut,
tujuan penggunaannya, kualitas bahan tersebut, metode dan cara penggunaanya
serta prosedur pengawasannya. Suatu bahan pembantu dalam proses pengolahan
hasil perikanan harus secara langsung ikut menjaga kualitas dari produk itu
sendiri, tidak menyebabkan kontaminasi dan bukan sebagai suatu kontaminan.
Penggunaan zat kimia yang cukup dosis yang dianggap dan sangat penting
untuk mengikuti petunjuk penggunaan dari pabrik pembuatnya. Efektifitas dari
desinfektan tergantung pada jenis dan konsentrasinya, lama kontak, suhu dan
pH.Desinfeksi terhadap suatu permukaan alat yang kotor dapat kurang efektif
karena desinfektannya akan bereaksi dengan kotoran, sehingga detergennya
sendiri menjadi tidak efektif. Desinfektan yang lazim digunakan adalah klorin, iod
dan ammonium quartener. Desinfektan tersebut biasanya dilarutkan dalam air.
Khlorin yang digunakan sebagai desinfektan akan membentuk asam
hipoklorat (HOCl) pada larutan. HOCl ini akan membasmi mikroba.
Pembentukan HOCl tergantung pada pH, yaitu pH antara 4-5 pembentukan HOCl
akan terjadi secara optimal, jika pH bervariasi maka efektivitas khlorin sebagai
desinfektan tidak mencapai optimum. Larutan khlorin dapat bersifat korosif pada
pH kurang dari 5. Pabrik biasanya akan selalu berusaha mempertahankan pH
larutan pada 6-7,5 sehingga larutan tidak bersifat korosif tetapi masih mempunyai
kadar HOCl yang cukup tinggi untuk membasmi kuman.
Sabun merupakan detergent-sanitizer sehingga pembersihan dan
pencucian dapat dilakukan sekaligus. Detergent-sanitizer merupakan campuran
dari deterjen dan desinfektan sehingga pembersihan/pencucian dan desinfeksi
dapat dilakukan sekaligus.
5. Penyimpanan
Penyimpanan bahan baku maupun produk akhir harus terpisah dengan
bahan lain dan tempat penyimpanan dijaga saniternya. Wadah dan atau bahan
pengemas harus disimpan ditempat yang bersih dan tidak bercampur dengan
bahan yang dapat menyebabkan kontaminasi. Menurut Ilyas (1983), produk beku
selama penyimpanan perlu diusahakan pemeliharaan suhu beku konstan sekitar
produk (antara -20ºC atau lebih rendah) dengan fluktuasi yang kecil.
6. Distribusi

30
Kendaraan pengangkut hasil perikanan digunakan dengan kontruksi dan
dilengkapi peralatan sedemikian rupa sehingga suhu dapat dijaga selama
pengangkutan. Pendinginan yang menggunakan es harus ada saluran pembuangan
untuk menjamin lelehan es tidak menggenangi produk. Permukaan bagian dalam
dari alat transportasi harus didesain sedemikian rupa sehingga tidak merusak
produk, permukaannya harus rata, mudah dibersihkan dan disanitasi. Alat
pengangkut yang digunakan tidak boleh mengkontaminasi produk hasil perikanan.
Kendaraan atau wadah yang yang digunakan harus bersih dengan disanitasi
terlebih dahulu. Persyaratan pengangkutan hasil perikanan yang dipasarkan dalam
keadaan hidup harus tidak berpengaruh buruk terhadap hasil perikanan tersebut.
2. Sanitation Standard Operating Procedur (SSOP)
Proses sanitasi diperlukan, suatu prosedur standar yang dapat mencakup
seluruh area dalam memproduksi suatu produk pangan mulai dari kebijakan
perusahaan, tahapan kegiatan sanitasi, petugas yang bertanggung jawab
melakukan sanitasi, cara pemantauan, sampai cara pendokumentasiannya prosedur
standar yang digunakan adalahprosedur operasi standaruntuk sanitasi (Sanitation
Standard Operating Procedures / SSOP). Prosedur ini dibuat sesuai untuk
membantu industri pangan dalam mengembangkan dan menerapkan prosedur
pengawasan sanitasi, melakukan monitoring sanitasi, serta memelihara kondisi
dan praktik sanitasi (Thaheer, 2005). Delapan fungsi kondisi sanitasi yang
ditetapkan adalah sebagai berikut:
1. Pasokan Air Dan Es
1. Air
Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) untuk keamanan air
mencakup petugas dan prosedur standar yang digunakan untuk menjamin
keamanan air. Prosedur standar memuat tahapan-tahapan perlakuan untuk air agar
diperoleh air dengan kualitas standar air minum (potable) untuk air yang kontak
langsung dengan makanan dan untuk pembuatan es. Pemurnian air secara umum
meliputi penyaringan air, penghilangan padatan tersuspensi dengan filter,
desinfeksi air menggunakan bahan kimia (klorin) atau fisik (ozon, ultraviolet ),
dan pelunakan air menggunakan lime soda atau resin penukar ion (Thaheer,
2005).

31
2. Es
Es yang digunakan sebagai media dingin sebaiknya dibuat dari air bersih
sebagaimana persyaratan untuk air minum. Es yang tua (matang),yaitu yang
mempunyai suhu lebih rendah daripada es biasa yang baru saja diangkat dari
tempat pembuatnya dapat digunakan. Es yang matang mempunyai suhu antara-
120ºC sampai -180ºC.Es yang matang dapat diperoleh dengan cara es yang baru
diangkat dari tempat pembuatannya disimpan terlebih dahulu dengan kamar
dingin bersuhu rendah untuk beberapa waktu lamanya dan jangan langsung
digunakan (Junianto, 2003).
Menurut Junianto (2003), es yang matang mempunyai sifat-sifat sebagai
berikut :
1. Butiran-butiran es lebih kecil dan bersih bila dihancurkan
2. Waktu peleburan lebih lama
3. Tidak mudah membentuk massa padat seperti es biasa
2. Peralatan Dan Pakaian Kerja
Peralatan dan perlengkapan unit pengolahan harus ditata sedemikian rupa
sehingga terlihat jelas tahap-tahap proses yang menjamin kelancaran pengolahan,
mencegah kontaminasi silang dan mudah dibersihkan. Peralatan dan perlengkapan
yang berhubungan langsung dengan ikan yang diolah harus terbuat dari bahan
tahan karat, tidak menyerap air, mudah dibersihkan dan tidak menyebabkan
kontaminasi sesuatu apapun terhadap bahan baku yang sedang diolah maupun
produk akhir serta dirancang sesuai persyaratan sanitasi. Peralatan dan
perlengkapan yang dipakai untuk menangani bahan makanan atau bahan yang
dapat menyebabkan kontaminasi baik secara langsung maupun tidak langsung,
harus diberi tanda dan dipisahkan dengan jelas supaya tidak dipergunakan untuk
menangani ikan, bahan penolong, bahan tambahan makanan serta produk akhir.
Permukaan peralatan yang berhubungan langsung dengan bahan dan
produk akhir harus bebas dari lubang-lubang dan celah-celah tidak dapat
menyerap air, tidak berkarat dan tidak beracun. Peralatan yang dipakai untuk
barang yang bukan makanan atau barang yang mungkin menulari harus ditandai
dan tidak boleh digunakan untuk menangani bahan dan produk akhir (Winarno
dan Surono, 2004).

32
3. Pencegahan Kontaminasi Silang
Kontaminasi silang adalah bagian yang sering terjadi pada industri
makanan akibat kurang dipahaminya masalah ini. Beberapa hal yang dapat
dilakukan untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang antara lain : tindakan
karyawan, pemisahan bahan dengan produk siap konsumsi, dan rancangan sarana
prasarana untuk mencegah kontaminasi silang (Winarno, 2011).
Prosedur-prosedur untuk menghindarkan produk dari kontaminasi silang
dari pekerja, bahan mentah, pengemas, dan permukaan yang kontak langsung
dengan makanan harus disusun sedemikian rupa. SSOP ini dapat mencakup
tindakan-tindakan yang menyangkut pembersihan bahan baku untuk mengurangi
kontaminasi silang, ketentuan mengenai boleh tidaknya pemindahan pekerja atau
mengunjungi bagian lain, atau melengkapi setiap ruangan pengolahan dengan
fasilitas pembersih dan sanitasi (Thaheer, 2005).
4. Toilet Dan Tempat Cuci Tangan
Pabrik harus dilengkapi dengan toilet yang cukup dimana jumlah toilet
yang diharuskan adalah:
1. Untuk 1 – 24 karyawan adalah satu toilet
2. Untuk 25 – 50 karyawan adalah dua toilet
3. Untuk 51 – 100 karyawan adalah tiga toilet
Penambahan 50 karyawan maka ditambah dengan satu toilet, selain itu
harus juga terdapat gayung, sabun dan ventilasi serta pintu yang tidak menyerap
air yang dijaga agar tetap selalu bersih yang tidak berhubungan langsung dengan
ruangan pengolahan. Konstruksi toilet harus bertipe leher angsa.
Ruangan pengolahan harus mempunyai sejumlah tempat cuci tangan yang
cukup sekurang-kurangnya satu tempat cuci tangan untuk karyawan yang
dilengkapi dengan air hangat 43ºC dan bahan sanitizer dan pengering yang
diletakkan ditempat strategis, mudah dijangkau, dekat toilet dan pintu masuk
cukup jumlah (Winarno dan Surono, 2004).
5. Bahan Kimia Dan Pembersih
Prosedur pembersihan dalam program hygiene tidak akan berhasil jika
desain, kontruksi, tata letak dan material dari bangunan dan peralatan, tidak
memenuhi persaratan dan ketentuan sanitasi dan hygiene. Permukaan lantai yang

33
retak-retak, pecah-pecah dan tidak kedap air mustahil dapat dibersihkan secara
saniter, demikian pula meja sortasi dan penyiangan ikan yang terbuat dari material
kayu. Program dan prosedur kebersihan akan sukses jika persyaratan dan
ketentuan sanitasi dan hygiene (Ilyas, 1983).
6. Syarat Label Dan Penyimpanan
Label makanan harus dibuat dengan ukuran, kombinasi warna danatau
bentuk yang berbeda untuk tiap jenis makanan, agar mudah dibeda-bedakan.
Bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong serta produk akhir harus
disimpan terpisah masing-masing ruangan yang bersih, bebas serangga binatang
pengerat dan binatang lain, cukup penerangan terjamin peredaran udara dan pada
suhu yang sesuai (Winarno dan Surono, 2004).
7. Kesehatan Karyawan
Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) mencakup kesehatan
karyawan agar tidak tidak menjadi sumber kontaminasi bagi produk, bahan
pengemas, atau pemukaan yang kontak dengan makanan. Sanitation Standard
Operating Procedures (SSOP) mencakup ketentuan mengenai cara pelaporan
karyawan yang sakit atau mendapatkan perawatan karena sakit. Jadwal harus bagi
pemeriksaan rutin kesehatan karyawan, imunisasi, dan pengujian untuk penyakit-
penyakit tertentu.
Kebersihan personil yang harus senantiasa diperhatikan, yaitu
membersihkan rambut, mandi, cuci tangan dan membersihkan kuku. Rambut
kotor dan berminyak sangat menarik bagi bakteri, ketombe dapat masuk ke dalam
makanan. Kebersihan badan dapat tercium dari bau. Penyelia perlu mengetahui
apakah karyawan tersebut mandi atau tidak (Thaheer, 2005).
8. Pengendalian pest
Pengendalian hama bukanlah masalah pengendaliannya saja melainkan
juga bagaimana cara pencegahan yang dilakukan agar tidak timbul hama di sekitar
industri pangan terutama di area produksi. Pencegahan hama ini dilakukan untuk
menjamin tidak ada hama di fasilitas pengolahan pangan, mencakup prosedur
pencegahan, pemusnahan, sampai dengan pengggunaan jenis bahan kimia untuk
mengendalikan hama (Thaheer, 2005).

34
Hama harus diberantas dengan cara yang tidak mempengaruhi mutu dan
keamanan pangan. Pemberantasan hama dapat dilakukan secara fisik seperti
dengan perangkap tikus atau secara kimia seperti dengan racun tikus. Perlakuan
dengan bahan kimia harus dilakukan dengan pertimbangan tidak mencemari
pangan.

III METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Penulisan tugas akhir ini berdasarkan Pengalaman Kerja Praktek
mahasiswa (PKPM) dilaksanakan di PT. Delta Fasific indotuna pada tanggal 02
Februari 2016 sampai dengan tanggal 02 Mei 2016 yang bertempat di Kecamatan
Girian Bawah, Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara PT. Delta Fasific indotuna.

3.2 Metode Pengambilan Data


Pengambilan data terbagi menjadi dua yaitu data primer dan data
sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan secara aktif mengikuti
berbagai kegiatan secara langsung di unit pengolahan.
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung yang
dikumpulkan dari beberapa pihak, diantaranya pengumpulan data informasi dari
perusahaan berupa data pengujian mikrobiologi, kimia dan biodata perusahaan.

3.3 Metode Kerja


3.3.1 Pengamatan Alur Proses Pengalengan Tuna
Proses pengalengan ikan tuna meliputi penerimaan bahan baku sampai
dengan produk akhir sesuai dengan SNI.

3.3.2 Pengamatan Mutu Bahan Baku dan Produk Akhir


Prosedur kerja yang dilakukan untuk melakukan pengamatan mutu bahan
baku adalah dengan melakukan penilaian mutu ikan tuna segar dengan pengisian
scoresheet organoleptik. Serta melakukan pengambilan data mengenai pengujian
mutu bahan baku secara mikrobiologi (ALT) dan kimia (histamin) Sedangkan
prosedur kerja yang dilakukan untuk pengamatan mutu produk akhir adalah

35
dengan melakukan penilaian mutu tuna kaleng secara sensoris dengan pengisian
scoresheet, melakukan uji mutu mikrobiologi (ALT), mutu kimia (histamin),
dilabolatorium yang ada di perusahaan dan labolatorium yang diluar perusahaan
(LPPMHP).

3.3.4 Pengamatan Kelayakan Dasar


Mengamati penerapan Good Manufacturing Practices (GMP) dan
Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) pada perusahaan dengan
menyesuaikan keadaan dan prinsip kerja di perusahaan dengan 6 prinsip Good
Manufacturing Practices (GMP) dan 8 prinsip Sanitation Standard Operating
Procedures (SSOP). Pengamatan dimaksudkan untuk mengetahui apakah
perusahaan telah menerapkan prinsip tersebut untuk menjamin produk yang akan
di ekspor aman untuk dikonsumsi.

3.4 Metode Pengujian


3.4.1 Pengujian Histamin
Pengujian kimia meliputi pengujian histamin.Penulis melakukan pengujian
langsung pada pengujian histamin sehingga data yang diperoleh adalah data
primer. Pengujian histamin dilakukan pada bahan baku dan pada produk akhir.

3.4.2 Pengujian ALT


Pengujian mikrobiologi yang dilakukan adalah ALT. Pengujian ALT
dilakukan pada setiap datangnya bahan baku dan. Pengujian dilakukan pada bahan
baku dan produk akhir.

3.5 Alat dan Bahan


3.5.1 Alat
Alat-alat yang digunakan yaitu timbangan digital, stopwatch, pisau,
termometer, scoresheet organoleptik, scoresheet sensori, meja potong, mesin
penutup kaleng, kaleng, keranjang, bak/bin, tray, trolley, plate tray, chamber
(mesin pemasak untuk percooking), metal detector, retort, dan lain-lain.

36
3.5.2 Bahan
Bahan utama yang digunakan untuk proses pengalengan adalah tuna segar.
Bahan pembantu adalah es, air, brine dan oil untuk memberi cita rasa dan
memperbaiki tekstur daging. Bahan pengemas yang digunakan yaitu kaleng dan
karton.

3.6 Prosedur kerja

C
Penerimaan Ikan Beku C Penerimaan Ikan Segar
P

1
Penimbangan I Penimbangan I
Penimbangan I Penimbangan I
Pencucian I

Pembekuan

Penyimpanan Dingin(Chilling)

Pelelehan (Thawing) Pemberian Es

Penyiangan(Buthering)

Penimbangan II

Pencucian II

Precooking

Pendinginan

C Pembersihan Kepala & Kulit


C
P
Pembentukan Loin
2
Pembersihan Daging Merah & Tulang

37
C Pendeteksi Logam
C
P
Pencucian Uap Panas Penyortian kualitas
3 Tutup Kaleng
Penyortiran Kualitas Pengisian Daging
Kaleng Kosong Pencucian penutup

Penimbangan
Pengeceka
n kualitas &
Pemasakan Pengisian Medium
medium
(Brine,Oil,S Penutupan kaleng
aos)
Pencucian Kaleng

C Sterilisasi
C
P
Pendinginan Kaleng
4
Inkubasi Kaleng

Pengkodean

Pelabelan

Pengartonan

Penyimpanan

Stuffing
EKSPORT

38
Gambar 3. Flow Chart Pengolahan Ikan Tuna kaleng PT.DELPI

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Proses Pengalengan Ikan Tuna


Proses pengalengan ikan tuna di PT. Delta Pasific Indotuna diawali
dengan penerimaan bahan baku (receiving), penimbangan (weighting), pelelehan
(thawing), pengeluaran isi perut (butchering), pencucian dan pengaturan ikan
(washing and filling), pemasakan pendahuluan (precooking), pendinginan
(cooling), pembersihan kulit dan kepala (skinning and beheading), pembuangan
daging cokelat (loining), pengecekan dengan metal detector, pengisian ikan dalam
kaleng dan penambahan medium (packing), penutupan kaleng (seaming),
pencucian kaleng (can washing), sterilisasi (retorting), pendinginan dan
pembersihan kaleng (case up), pelabelan dan pengepakan (finishing), distribusi
(stuffing).

4.1.1 Penerimaan Bahan Baku (Receiving)


Receiving merupakan tahapan pertama dari proses produksi yang
merupakan critical control point (CCP I), untuk itu pada tahapan ini memerlukan
pengawasan yang sangat ketat agar proses produksi selanjutnya berjalan lancar.
Ikan yang digunakan adalah ikan fresh (Fresh Fish) dan ikan beku (frozen fish)
baik skipjack dan yellowfin dengan standar BBT (Backbone Temperarure) untuk
ikan fresh yaitu < 4 0C sedangkan frozen –18 0C.
Bahan baku harus melewati pengujian awal terlebih dahulu yaitu
pengujian organoleptik dan histamin yang dilaksanakan oleh bagian Quality
Assurance/Quality Control (QA/QC) di Laboratorium milik PT. Delta Pasific
Indotuna. Uji Organoleptik berpatokan pada kenampakan, bau, warna, tekstur,
insang, daging dan mata.Ikan yang baru masuk langsung dilakukan penyortiran

39
berdasarkan ukuran (size) dan tingkat kesegarannya. Adapun penyebab yang
ditimbulkan pada area receiving yang mengakibatkan produk akhir ditolak yaitu:

Bahan baku Lingkungan

High BBT Tekstur ikan lembut Tempat tidak bersih

Mata ikan merah Kulit terkelupas parasit

Ikan bau Insang pudar Produ


k
Long chilling Ikan tidak disortir Tenaga kerja tidak terampil
rusak

Pembongkaran ikan

tidak hati – hati


Metode Tenaga kerja
Gambar 4. Diagram tulang ikan pada tahapan receiving
. Setelah dinyatakan lolos dan boleh digunakan sebagai bahan baku. Ikan
langsung dilakukan penyortiran berdasarkan ukuran (size) dan tingkat
kesegarannya.
Tabel 4. Ukuran Ikan yang Diterima di PT. Delta Pasific Indotuna

Yellow Fin Fise Zise Skip Jack Fise Zise


YF AAA (USA) 300 gr – 499,9 gr SK AAA (USA) 300 gr – 499,9 gr
YF AA (Under) 500 gr – 999,9 gr SK AA (Under) 500 gr – 999,9 gr
YF A (1 up) 1 kg – 1,79 kg SK A (1 up) 1 kg – 1,79 kg
YF B (2 up) 1,8 kg – 3,4 kg SK B (2 up) 1,8 kg – 3,4 kg
YF C (3 up) 3,5 kg – 9,9 kg SK C (3 up) 3,5 kg – dst
YF D (10 up) 10 kg – dst
Sumber : PT. Delta Pasific Indotuna, (2016)

40
Tabel 5. Tingkat Kesegaran Ikan di PT. Delta Pasific Indotuna

Spesifikasi C1 (sangat baik) C2 (baik) C3 (cukup baik)


C4 (NPNP) C5 (reject)
Bau (odor) Segar, bau ikan spesifik
Netral/tidak ada
Netral sampai Asam
bau dan agak bau
Bau apapun yang
rumput laut bau agak asam amoniak terdeteksi terkait
dengan noda
busuk atau
kebusukan seperti
amoniak, kotor
dan asam
Kerusakan fisikTidak ada potongan Agak terpotong
Agak terbelah Belahan yang sudah
Rusak
(physical atau kerusakan atau rusak atau
damage) yang jelas berubah hancur
bentuk

Tekstur (texture)
Kokoh dan elastik Kokoh dan agak
Kokoh dan agak
Lembek Sudah lembek sekali
lembek lembek dan seperti bubur
Mata (eyes) Bening, cerah dan Cekung seputih
Cekung, pudarMata bagian tengah
Tidak ditetapkan
menonjol awan atau atau merah sudah hancur
agak dan mencair
kemerahan
Kulit (skin) Mengkilap, warna Warna pudar Ciri-ciri warnaKulit sudah mulai
Perubahan nyata warna
normal, bening dan rusak kulit, kulit
dan cerah kecemerlan membusuk, rusak
gan sudah dengan tampak
tidak ada otot membusuk
Insang (gills) Cerah, merah darah Merah pucat keCoklat tua ke Kekuningan danWarna kuning
merah coklat memutih keputihan dan
coklat kekuningan nampak
berlumpur
Sumber : PT. Delta Pasific Indotuna, (2016)

41
Menurut Wahyuni (2006) bila tidak ditangani dengan baik selama proses
penangkapan dan penanganan ikan tuna khususnya bila suhu ikan melebihi 4,4ºC
maka asam amino histidin akan terkonversi menjadi senyawa beracun yaitu
histamin, oleh bakteri Proteus Morganii sehingga pengujian histamin sangat
dibutuhkan untuk mengantisipasi adanya senyawa beracun tersebut dalam tubuh
ikan yang dapat mengakibatkan keracunan pada konsumen.
Bahan baku yang datang sebagian langsung dimasukkan kedalam ruang
produksi untuk segera diolah/diproduksi dan sebagian lagi ditampung dalam bin
yang sudah diisi dengan es ataupun disimpan di ruang cold storage untuk proses
produksi berikutnya. Bahan mentah (ikan) sebaiknya disimpan dalam keadaan
beku sambil menunggu waktu proses untuk mempertahankan kualitasnya
(Moeljanto, 1992). Es yang digunakan dalam proses produksi adalah es balok
yang dibuat oleh perusahaan dan es yang digunakan adalah yang telah memenuhi
syarat es sebagai bahan pembantu. Hal ini pun sesuai dengan pendapat
Purwanigsih (1995) yang menyatakan bahwa es yang digunakan juga haruslah
berstandar air minum apabila menggunakan air yang tercemar atau air yang keruh
maka bakteri akan menyebar terhadap bahan baku yang akan diolah.
Ikan kemudian di cuci dengan air dingin guna menghilangkan kotoran –
kotoran yang terdapat pada ikan lalu diberi label size yang berisikan kode
supplier, tanggal penerimaan dan jenis ikan. Proses pencucian ikan yaitu dengan
menyemprotkan air dari kran menggunakan selang yang panjang. Menurut
Hariadi (1994), bahwa pencucian bertujuan untuk membersihkan sisa-sisa kotoran
yang masih ada sekaligus mengurangi jumlah bakteri dan patogen.

4.1.2 Penimbangan (Weighting)


Ikan yang sudah dicuci kemudian disortir dan ditampung dalam box-box
kecil kemudian dilakukan proses penimbangan oleh weigher. Penimbangan ini
dilakukan bertujuan untuk mengetahui berat ikan serta untuk menentukan harga
yang akan dibayarkan kepada supplier sesuai dengan banyaknya ikan yang masih
dalam kondisi bagus.

42
4.1.3 Pelelehan (Thawing)
Ikan yang akan digunakan dalam proses produksi apabila dalam keadaan
frozen (beku) harus dilelehkan terlebih dahulu sebelum melakukan proses
selanjutnya. Ikan-ikan ini kemudian diangkut menuju ke ruang thawing lalu di
letakkan dalam bin yang berukuran masing–masing 120 cm x 120 cm x 60 cm
sesuai dengan supplier dan nomor kedatangan dan juga akan dicatat waktu proses
thawingnya. Thawing dilakukan dengan cara mengalirkan air kedalam bin secara
kontinyu menggunakan air bersih hingga suhu naik. Tiap bin mampu menampung
ikan sebanyak + 800 kg. Proses thawing untuk ikan ukuran sedang air dalam
keadaan diam sedangkan untuk ikan yang berukuran besar air dalam keadaan
mengalir.
Tabel 6.Waktu Selama Proses Thawing

No Ukuran ikan Waktu (menit)


1. 300 - 500 gr 30
2. 1 kg 55
3. 1,5 - 1,8 kg 90
4. 2,5 kg 105
5. 3,5 kg 120
6. 5 kg 140
7. 10 kg 300

Sumber : PT. Delta Pasific Indotuna, (2016)


Pelelahan (thawing) bertujuan untuk mendapatkan daging ikan yang segar
dengan tekstur dan temperatur yang standar serta untuk mempermudah proses
penyiangan dan pemotongan ikan. Menurut Wahyuni (2006) yang menyatakan
bahwa proses thawing dilakukan dengan melakukan perendaman ikan dalam air
dingin mengalir sesuai ukuran ikan (untuk ikan kecil 2 jam, sedangkan ikan
ukuran besar 6 – 10 jam).

4.1.4 Pengeluaran Isi Perut (Butchering)


Pengeluaran isi perut atau butchering dilakukan baik terhadap
ikanfresh(segar) maupun terhadap ikanfrozen(beku) yang telah dilelehkan. Setelah
di thawing maka ikan akan dikeluarkan dari dalam bak pelelehan dan diletakkan

43
diatas meja untuk kemudian dilakukan penyiangan. Ikan dengan ukuran diatas 1
kg akan di butchering dengan cara menyayat bagian perut dan membuang isi
perutnya kemudian dibelah sedangkan ikan dibawah 1 kg langsung dilakukan
pemasakan tanpa di butchering. Ini dilakukan karena pusat kosentrasi mikroba
terdapat pada insang dan isi perut.
Pada saat tuna sudah mati, enzim pencernaan yang ada dalam perut dan
usus masih aktif. Jika usus dan alat pencernaan yang banyak mengandung enzim
tidak dibuang maka enzim ini akan memecah jaringan saluran pencernaan dan
menghancurkan dinding perut (Junianto, 2003). Menurut Moeljanto (1992) yang
menyatakan bahwa isi perut dan bagian-bagian yang tidak dikalengkan pada jenis
ikan seperti tuna harus dipisahkan setelah atau sebelum pengukusan pendahuluan.
Isi dari perut ikan (visera) oleh perusahaan tidak akan langsung dibuang namun
akan diolah menjadi bahan baku pembuatan fish meal (makanan ternak). Loss
untuk visera sendiri yaitu 5-6 %.

4.1.5 Pencucian dan Pengaturan Ikan (Washing and Filling)


Ikan setelah di butchering dilakukan pencucian dengan cara ikan disiram
atau disemprot air. Pencucian ini dilakukan untuk membersihkan darah dan
benda-benda kontaminan lain pada ikan. Suhu ikan harus diusahakan pada kisaran
2ºC untuk ikan fresh(segar) dan -2ºC untuk ikan frozen(beku) sebelum proses
pemasakan.
Ikan sesudah dicuci lalu diatur/disusun diatas tray sebelum dilakukan
proses pemasakan atau pre-cooking. Ukuran ikan harus diatur sesuai size dan
species (seragam). Cara pengaturan ikan di tray pre-cooking di PT. Delta Pasific
Indotuna sebagai berikut.

4.1.6 Pemasakan Awal (Pre-Cooking)


Ruangan pre-cooking yaitu mesin pemasak yang terbuat dari baja
berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang 643 cm, lebar 140 cm dan
tinggi 170 cm dengan kapasitas masing-masing sekitar 2 ton.
Pemasakan awal atau pre-cooking pada dasarnya bertujuan untuk
mengurangi kadar air pada daging ikan, mengurangi bau amis, menambah daya
awet selama proses dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk.

44
Proses pemasakan ini dilakukan dengan waktu yang berbeda sesuai dengan jenis
dan ukuran ikan.
Tabel 7. Suhu dan Waktu Pemasakan Ikan

No Ukuran Waktu ( menit ) Suhu ( ºC )

1. SJ/YF USA 15 100


2. SJ/YF AA 25 100
3. SJ/YF A 30 100
4. SJ/YF B 45 100
5. SJ/YF C 60 100
6. YF D 120 100

Sumber : PT. Delta Pasific Indotuna, (2016)


Lama pemasakan yang dilakukan oleh karyawan dan operator mesin
sendiri lebih banyak bergantung dari BBT after cook. Artinya apabila ikan pada
saat dicek dan diukur menggunakan termometer digital BBT nya telah
menunjukkan suhu antara 65oC - 70oC, maka ikan dapat dikatakan sudah masak
walapun waktu pemasakannya lebih cepat atau lebih lambat dari waktu yang telah
ditentukan. Pada saat precooking ini yang dibuang/dikeluarkan adalah kadar air
pada ikan dan loss yang akan didapat pada proses ini yaitu 19%. Air yang
dikeluarkan pada saat proses tidak langsung dibuang namun oleh perusahaan
ditampung yang kemudian akan diolah kembali dan dijadikan bahan baku
pembuatan fish juice.Waktu pemasakan pendahuluan (precooking) sesuai dengan
SNI 01-2712.2-1992 yang menyatakan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk
pemasakan pendahuluan tergantung pada ukuran ikan, namun umumnya berkisar
1 – 4 jam (mampu mereduksi 17,5 % kadar air dari daging ikan) dengan suhu
pemasakan 100oC - 105o C.
Lama pemasakan (precooking) dan ketinggian suhu juga tidak boleh
berlebihan. Suhu yang terlalu tinggi akan mempengaruhi rupa dan tekstur daging
dan terlalu banyak air yang keluar. Hal ini akan menurunkan mutu. Keseimbangan
antara lama pemasakan, tinggi suhu, mutu daging serta biaya produksi hendaknya
selalu dijaga (Moeljanto, 1992).

45
4.1.7 Pendinginan (Cooling)
Setelah ikan dimasak, ikan harus segera didinginkan untuk dapat
dilakukan proses selanjutnya. Tujuan pendinginan adalah untuk menurunkan suhu
ikan 340C. Selain itu pendinginan dapat mencegah kegosongan karena sisa
panas yang masih ada pada ikan yang sudah dimasak. Pada PT. Delta Pasific
Indotuna pendinginan dilakukan dengan cara membiarkan ikan terkena udara.
Waktu dari pendinginan sampai di loining tidak boleh lebih dari 6 jam. Untuk
mengetahui ikan sudah mencapai suhu petugas QC mengukur suhu dengan
menggunakanthermometer digital. Thermometer ini ditusukkan ujungnya pada
tubuh ikan sehingga akan muncul angka yang menunjukkan suhu ikan tersebut.

4.1.8 Pengeluaran Kulit dan Kepala (Skinning dan Beheading)


Ikan kemudian dilakukan proses skinning (pengeluaran kulit). Kulit ikan
dikeluarkan dengan cara dikerik menggunakan pisau kecil stanless steel dari arah
kepala menuju ke ekor sedangkan pada bagian perut ikan, kulit dikeluarkan dari
arah ekor menuju ke kepala mengikuti alur /serat daging ikan tersebut. Pada tahap
ini juga dilakukan pemotongan kepala dan ekor. Pemotongan kepala dan ekor
dilakukan dengan mencabut dari bagian tubuh ikan karena sudah lembek akibat
pemasakan. Kulit, ekor dan kepala atau disebut scrab ini ditampung ditempat
tersendiri yang kemudian akan ditimbang oleh petugas yang selanjutnya scrab-
scrab tersebut akan dikeluarkan dari ruang produksi melalui jalur khusus dan
diangkut/dibawa ke tempat pembuatan fish meal (makanan ternak). Loss untuk
proses skinning ini yaitu 17%.

4.1.9 Pengeluaran Tulang dan Daging Cokelat (Loining)

Loining adalah proses pemisahan tulang dan daging merah dari daging
putih dan merupakan merupakan critical control point (CCP II). Dengan model
ikan yang dibuat berbentuk (solid, chuck dan flakes). Resiko yang dapat terjadi
pada area loining dapat dilihat dari diagram berikut:

46
Bahan Baku Lingkungan

Tulang Sisik Tempat tidak bersih

Kulit Banyak bakteri/parasit

Benda logam
Produ
k
Ikan tidak disortir Tenaga kerja tidak terampil
rusak

Metode Tenaga kerja

Gambar 5. Diagram tulang ikan pada area Loining


Adapun cara penanggulangan agar tidak terjadi kerusakan pada produk akhir
yaitu karyawan harus memperhatikan HACCP, GMP dan SSOP. Sebelum masuk
pada area packing ataupun ke area vacum untuk frozen precooked tuna loins, ikan
harus melewati metal detector yang berfungsi untuk mengetahui apakah di dalam
ikan terdapat bahan logam sehingga bisa diketahui.
Pembersihan daging merah dan daging putih dilakukan dengan dua tahap.
Tahap pertama yaitu membelah ikan menjadi dua bagian dan mengeluarkan tulang
belakang ikan, sedangkan tahap kedua daging ikan dibelah lagi menjadi dua
bagian sehingga semuanya menghasilkan empat bagian setelah itu setiap bagian
ikan diambil daging merahnya dengan cara disayat memanjang. Proses ini harus
dilakukan secara cepat, cermat dan hati-hati supaya daging putih tidak ikut
terambil pada saat pengerikan daging merah. Tahapan proses ini akan diperoleh
bentuk berupa loin, chunk dan filler. Loin adalah bagian daging ikan yang paling
besar yang diperoleh dari pembelahan ikan secara vertikal mengikuti arah tulang
belakang ikan. Chunk merupakan bagian ikan yang berukuran medium yang
diperoleh dari lembaran-lembaran loin yang terlepas. Sedangkan filler yaitu
bagian daging ikan yang paling kecil yang diperoleh dari serpihan-sepihan loin,
pembersihan kulit dan daging merah.Loss untuk proses ini sekitar 11%

4.1.10 Pengecekan Metal Detector


Ikan dari bagian pembersihan akhir kemudian akan dilewatkan pada mesin
Metal Detector untuk memastikan bahwa daging ikan tersebut bebas dari
fragment metal yang dapat mempengaruhi kualitas produk.

47
Pengecekan logam dilakukan dengan cara melewatkan bagian ikan seperti
loin, chunk dan filler di metal detector yang bertujuan untuk mengetahui ada
tidaknya logam, batu, rambut atau benda-benda asing lainnya. Alat ini akan
berbunyi alarm jika terdapat benda asing pada produk. Alat kalibrasi metal
detector yaitu Sus 4,8, Sus 4,0, Fe 3,0 dan Fe 2,5. Pengecekan akan dilakukan
jika produk berhenti dan akan berbunyi alarm maka produk tersebut akan
dipisahkan. Pengecekan logam ini diawasi oleh staff dan QC yang bertugas untuk
hari itu.

4.1.11 Pengisian Kaleng (Packing)


Packing adalah tahapan untuk pengisian daging putih kedalam kaleng, dan
area ini merupakan merupakan critical control point (CCP III). Tahapan diarea ini
meliputi:
1. Pack Shaper yang merupakan pengisian ikan daging putih kedalam kaleng.
Dengan model ikan yang dimasukkan kedalam kaleng yaitu solid, chuck dan
flakes. Kaleng yang akan digunakan diperiksa oleh QA untuk memastikan bahwa
baik untuk digunakan kaleng kosong dari unit pabrik can making diantar dengan
mesin can feder melewati steam untuk dicuci sebelum digunakan.
2. Weighing yaitu area yang memiliki identifikasi CCP karena harus memperhatikan
berat ikan yang masuk dalam kaleng baik Flake dan Chuck. Fill weight Skipjack
120 gr dan yellowfin 122 gr. Pada area ini penyusunan (insert) ikan harus rapi
agar pada saat masuknya medium filling yaitu larutan minyak/oil (minyak canola
dan minyak biji bunga matahari) dan brine (garam), tidak mengalami kelebihan
berat ataupun kekurangan berat sehingga mengakibatkan LDW (Low Drained
Weight). Bagian QA harus memeriksa setiap 1 jam untuk memastikan berat yang
diminta oleh buyer tercapai.
Tabel 8. Standar Pengisian Kaleng
Produk Kaleng Besar (307 x 111) Kaleng Kecil (211 x 109)
Filling Weight Net Weight Filling Weight Net Weight
Skipjack 119 g 185 g 64 g 102 g
Yellow Fin 122 g 185 g 66 g 102 g
Sumber : PT. Delta Pasific Indotuna (2016)

48
3. Double seaming merupakan dua lipatan yang saling mengikat dengan sempurna
antara body flange dan end (penutup) kaleng yang dilakukan oleh mesin seamer.
Double seaming dilakukan dengan dua cara yaitu: . 1. First operation yaitu
pembentukan lipatan, 2. Second operation yaitu penyempurnaan lipatan. Apabila
kedapatan ada kelainan pada double seaming, pertama-tama mekanik dan QA
teknisi mengadakan pemeriksaan secara seksama terhadap kondisi baku yaitu:
1. Tutup kaleng (rusak atau tidak)
2. Badan kaleng (rusak atau tidak)
Apabila tidak ada kerusakan pada badan dan tutup kaleng tersebut diatas,
maka mekanik harus mengecek dan menyetel komponen yang ada pada mesin
seamer, Adapun resiko-resiko yang terjadi pada double seaming yaitu:
1. Cut Over contohnya terangka, yang mengakibatkan kembung sehingga bisa
saja pecah.
2. Chuck Wall yaitu goresan didalam dinding kaleng.
3. False Seam yaitu bagian luar body yang melebar atau tidak saling terkait
sehingga bocor.
4. Wrinkle yaitu bergelombang didalam bagian penutup kaleng.
5. Dead Head or Skidder yaitu tidak tertutup dengan baik dan terangkat sehingga
mengakibatkan bocor dan kelihatan tidak baik.
Mencegah terjadinya resiko diatas, Mekanik dan QA memeriksa mesin
seamer satu jam sebelum produksi Canning, dan mematuhi standar-standar yang
telah ditetapkan, dengan melihat double seaming inspector report untuk kaleng
dan 307 x 111 ( isi open ). Setelah keluar dari mesin seamer, kaleng langsung
dicuci. Ini bertujuan untuk menghilangkan minyak pada lapisan kaleng sebelum
masuk pada retorting.
Bahan pembuatan kaleng yang digunakan pada perusahaan ini didatangkan
dari luar dengan spesifikasi yang telah ditentukan. Kaleng yang digunakan adalah
kaleng yang telah dilapisi dengan enamel sesuai dengan United can company
(1990), yang menyatakan bahwa untuk menghindari kemungkinan terjadinya
proses karat atau perubahan warna (discolorisation) produk, maka pada lapisan
luar dari permukaan kaleng bagian dalam diberi lacquer atau coating. Dari
berbagai jenis coating, khusus untuk olahan ikan digunakan jenis SR (Sulphur
Resistant) atau yang disebut C-enamel.

49
Spesifikasi kaleng yang digunakan pada PT. Delta Pasific Indotuna yaitu seperti
pada Tabel berikut :
Tabel 9. Spesifikasi Kaleng
Description Can body Top end
Type & Set 307 x 107 307
Plate Material TFS 0,2 mm -
Inside Enamel Aluminized Aluminized
Outside Enamel Gold / Aluminized Gold / Aluminized
Temper 2 -

Sumber : PT. Delta Pasific Indotuna, (2016)


Kaleng yang digunakan dalam produksi Tuna adalah kaleng dengan jenis
Two Can Piece. Hal ini sesuai dengan United can company (1990), two piece cans
yang tidak mempunyai sambungan sisi sehingga terhindar dari sisi kaleng,
mempunyai daya tahan terhadap tumpukan yang tinggi, tidak terdapat hasil
pematrian, dapat disablon sehingga dapat mengurangi biaya pelabelan dan
mempunyai kekuatan yang lebih dibandingkan dengan three piece cans. Saat
penerimaan, kaleng akan di uji terlebih dahulu dengan metode sampling. Dalam
setiap kaleng yang datang akan diambil secara acak untuk dijadikan sampel,
kemudian akan diuji spesifikasinya.
Kaleng yang akan digunakan dibuat di ruangan can making dan kemudian
didistribusikan ke ruang produksi dengan cara meluncurkannya dari atas melewati
jalur yang terbuat dari rangkaian besi menuju meja packsheper dalam ruang
produksi. Sebelum sampai pada meja packsheper dalam ruang produksi, kaleng
tersebut akan melewati sebuah kotak besi yang didalamnya terdapat sprayer yang
akan mencuci kaleng secara otomatis dengan menggunakan air bersih kemudian
uap panas sehingga kaleng benar-benar tidak tersentuh tangan pada saat
memasukkan ikan pada packsheper. Hal ini sesuai dengan pendapat Said (2007)
yang menyatakan bahwa permukaan peralatan yang berkontak langsung dengan
produk harus dibersihkan atau dicuci terlebih dahulu minimal dengan air bersih.

4.1.12 Pencucian Kaleng (Can Washing)


Kaleng harusdicuci terlebih dahulu sebelum disusun dalam basket untuk di
sterilisasi. Kaleng-kaleng dari proses seaming akan berjalan menuju tempat

50
pencucian otomatis melalui jalur yang dirancang khusus seperti jalur kereta
apihingga melewati terowongan yang dilengkapi dengan pipa-pipa yang
menyemprotkan air panas bertekanan secara horisontal. Kaleng dicuci dengan air
panas yang dicampur dengan sabun yang ditampung pada bak kecil yang terbuat
dari staless steel.Hal ini bertujuan untuk membersihkankaleng dari sisa-sisa
minyak setelah pengisian medium ataupun kotoran-kotoran lain yang menempel
pada bagian badan dan penutup kaleng.

4.1.13 Sterilisasi (Retorting)


Retort merupakan critical control point (CCP IV) terakhir yang
memerlukan pengawasan. Retort bertujuan untuk membunuh kuman dan bakteri
sehingga ikan kaleng dapat bertahan selama kurang lebih 3 tahun. Ikan kaleng
disusun dan dimasukkan ke dalam basket sebelum masuk kedalam mesin retort.
Satu mesin retort memuat empat keranjang dan dimasak secara bersamaan.
Operator harus memerhatikan suhu dan waktu pemasakan, waktu pemasakan yaitu
75 menit dengan 15 menit pertama dengan suhu 106 0C untuk venting time yaitu
proses membuang semua udara didalam retort, kemudian suhu naik sampai
dengan 116 0C.
Retort dilengkapi dengan peralatan yang mendukung untuk proses
sterilisasi antara lain adalah :
1. Mercury in glass thermometer; digunakan sebagai tolak ukur atau pedoman
bagi indikator suhu dalam retort,
2. Recorder suhu; berupa chart untuk pencatatan suhu secara automatis.
Recorder suhu biasanya digabung dengan steam controller sehingga
membentuk suatu instrumen recording,
3. Steam inlet; adalah saluran uap air yang mensuplai uap air ke dalam retort,
terletak pada bagian atas atau dasar retort. Steam inlet harus dijaga selalu
tertutup pada saat proses sterilisasi panas berlangsung,
4. Steam spreader; terbentang sepanjang retort pada retort horizontal dan pada
retort vertikal membentuk pola huruf X di dasar retort atau berbentuk
lingkaran, berfungsi untuk menyebarkan uap di dalam retort
5. Pressure gauges (manometer); mempunyai skala 2 psi atau kurang, dengan
kisaran 0 – 30 psi, berfungsi untuk mengukur tekanan di dalam retort.

51
Pressure gauge harus dipasang pada steam loop atau pigtail untuk mengurangi
shock dan vibrasi yang mungkin terjadi pada dinding retort.
6. Bleeders; merupakan lubang dalam retort yang berfungsi sebagai sarana
untuk mengamati adanya aliran uap air di dalam retort, dan menyebabkan
terjadinya sirkulasi uap di dalam retort, serta mengeluarkan sedikit air dan
udara dari retort.
7. Vent; berfungsi untuk mengeluarkan udara yang tedapat di dalam retort
sebelum processing dimulai.
Pengamatan dan pencatatan dilakukan terhadap waiting time yaitu waktu
menunggu sejak basket pertama sampai basket terakhir masuk kedalam retort
15 menit. Setelah basket-basket retort masuk dan retort telah ditutup rapat
kemudian kran uap dibuka. Kran pada pipa-pipa untuk pemasukan air tertutup
rapat sedangkan kran pipa untuk pembuangan air (draining valve) dan
pembuangan uap (venting valve) dalam keadaan terbuka hal ini dilakukan untuk
mengeluarkan sisa air dan udara yang masih terkurung dalam retort.
Setelah itu dilakukan penutupan draining valve yaitu saat sisa air yang ikut
terbawa uap air didalam retort telah keluar kemudian diikuti dengan penutupan
venting valve selama 5 menit sampai suhu mencapai 100˚C. Kemudian
dilanjutkan dengan proses come up time / CUT yaitu waktu yang dibutuhkan
untuk menaikkan suhu mencapai suhu sterilisasi yaitu 116˚C dan tekanan yang
diinginkan 0,7 kg/cm2. Setelah suhu sterilisasi dan tekanan tercapai maka waktu
proses sterilisasi dimulai, selama proses ini berlangsung usahakan keadaan suhu
dan tekanan dipertahankan konstan sesuai dengan waktu proses yang telah
ditentukan.
Waktu proses dihitung sejak suhu dan tekanan yang diinginkan dicapai.
Setelah waktu proses sterilisasi selesai, suhu dan tekanan retort diturunkan
perlahan-lahan agar kaleng tidak rusak, penyok atau kembung. Tujuan utama
proses sterilisasi adalah Untuk mensterilkan dan membunuh bakteri yang masih
hidup dalam kaleng dengan memanfaatkan suhu tinggi. Pemasakan ikan kaleng
tidak boleh terlalu lama karena akan terjadi over cooking yang disebabkan karena
lamanya pemasakan dan suhu sterilisasi yang terlalu tinggi, atau kurang masak
(under cooking) sehingga dapat menyebabkan pembusukan karena kurangnya

52
suhu sterilisasi yang dapat mematikan bakteri pembusuk. Tekstur daging harus
kokoh, padat, tidak hancur atau pecah-pecah (Moelyanto, 1992).
Kemudian dilakukan proses pendinginan dengan cara menutup kran
pemasukan uap dan membuka kran pemasukan air dan angin secara perlahan-
lahan. Air yang digunakan dalam pencucian ini adalah air yang sudah dicampur
klorin. Tingkatan dari residu air klorin harus 2 – 2,5 ppm sebelum digunakan
untuk mengantisipasi konsentrasi dari khlor yang cukup aktif untuk proses
chlorinating selama masa pendinginan kaleng agar pada proses akhir pendinginan
residu klor akan dapat terdeteksi (0,5 – 1 ppm). Suhu pendinginan berkisar antara
45 - 50˚C, untuk mempertahankan suhu tetap pada kisaran tersebut dilakukan
pembukaan kran secara maksimal. Tekanan pada saat cooling sendiri yaitu 0,5
kg/cm2. Standar sterilisasi yang diberlakukan pada PT. Delta Pasific Indotuna
dapat dilihat pada Tabel berikut
Tabel 10. Standar Sterilisasi Ikan kaleng

Venting / Come up
Pack style Can size Sterilisasi (116oC) Cooling time
time (CUT)

YSO5D 307 x 112 15 menit 75 menit 30 menit

YCO5D 307 x 111 15 menit 75 menit 30 menit

SCO3D 307 x 111 15 menit 75 menit 30 menit

SSO3D 307 x 111 15 menit 75 menit 30 menit

YCB3D 307 x 111 15 menit 60 menit 30 menit

SCB3D 307 x 111 15 menit 60 menit 30 menit

SCB2D 307 x 109 15 menit 60 menit 30 menit

YCB2D 307 x 109 15 menit 60 menit 30 menit

YCO6D 211 x 109 15 menit 65 menit 30 menit

SCO6D 211 x 109 15 menit 65 menit 30 menit

Sumber : PT. Delta Pasific Indotuna, (2016)


Pendinginan dilakukan secepat mungkin setelah proses sterilisasi selesai,
tujuannya untuk menghindarkan produk dari over cooking. Tujuan lain
pendinginan dilakukan dengan cepat adalah untuk memberikan thermal shock
kepada bakteri yang kemungkinan masih bertahan hidup. Mikroba mesophiles dan

53
thermophiles mempunyai suhu optimum untuk hidup dan masing-masing suhu
kritis. Perbedaan suhu yang terjadi secara tiba-tiba tidak dapat diterima oleh
mikroba, sehingga apabila masih ada mkroba yang hidup setelah proses sterilisasi
tidak akan dapat bertahan(Winarno, 1994).

4.1.15 Pendinginan dan Pembersihan Kaleng (Case Up)


Setelah kaleng dikeluarkan dari mesin retort maka kaleng – kaleng dalam
basket tersebut diangkut menuju tempat yang kering dan bersih. Kaleng – kaleng
tersebut dibiarkan dalam basket selama minimal 2 hingga 4 jam. Perlakuan ini
bertujuan untuk mengisolasi atau membebaskan kaleng dari bakteri dan
kontaminan setelah di sterilisasi.
Kemudian kaleng-kaleng yang sudah dingin selanjutnya dibersihkan dari
sisa-sisa air dengan menggunakan kain lap (majun)yang bersih dan disusun secara
rapi pada pallet. Setiap satu pallet berisi 24 layer, untuk ukuran kaleng besar
terdapat 176 kaleng dan untuk ukuran kaleng kecil terdapat 289 kaleng.
Tujuan dari case up untuk membersihkan ikan kaleng dari kotoran maupun
sisa-sisa air pada saat pendinginan dan juga menyusun kembali kaleng kedalam
pallet. Selain itu juga case up bertujuan untuk memeriksa dan memastikan tidak
ada kaleng yang bocor atau rusak pada saat proses sterilisasi. Setelah disusun pada
pallet kaleng-kaleng ditutup dengan karton dan produk tersebut akan diangkut
menuju ruang pelabelan dan pengepakan dengan menggunakan forklift, diruangan
tersebut produk harus ditempatkan di area terbatas (restricted area) untuk
menghindari tersentuh tangan selama 10 hari.

4.1.16 Pelabelan dan Pengepakan (Finishing)


Proses akhir sebelum produk didistribusikan atau dipasarkan akan
dilakukan pelabelan dan pengepakan. Ikan kaleng yang telah diinkubasi selama 10
hari diruang pelabelan diangkut dan diletakkan pada meja berputar yang ada
diruangan tersebut kemudian secara otomatis akan melalui jalur khusus ke tempat
pemberian kode, pemberian label sampai dengan pengartonan. Pemberian kode
yang dilakukan dengan menggunakan mesin printer otomatis. Prinsip kerja dari
mesin ini yaitu menyemprotkan tinta melalui noozle yang telah diatur
menggunakan sensor logam yang terpasang pada jalur aliran kaleng. Kode terletak

54
pada bagian bawah kaleng, pada bagian tersebut tercantum nama / kode
perusahaan yang memproduksi, jenis ikan, nama supplier, bulan, tanggal
kedatangan ikan, nomor kedatangan ikan, kondisi ikan, nomor retort dan urutan
pemasakan.
Kaleng kemudian diteruskan untuk pemberian label, proses ini juga
dilakukan secara otomatis oleh mesin. Prinsip kerja mesin labelling ini yaitu
lembaran-lembaran label diletakkan pada mesin sehingga pada saat kaleng
menggelinding melalui jalur aliran kaleng secara otomatis label akan ikut
tertempel. Kecepatan mesin pelabelan untuk kaleng ukuran kecil yaitu 252 kaleng
/ menit sedangkan untuk kaleng ukuran besar yaitu 189 kaleng / menit. Mesin ini
menggunakan damar, lilin dan lem fox untuk membantu labelnya agar tertempel
dengan kuat pada kaleng. PT. Delta Pasific Indotuna menggunakan bahan tersebut
sebanyak 8 kg damar, 4 pack lilin dan 1 fail lem fox dalam proses pelabelan untuk
pemuatan satu konteiner. Hal ini sesuai dengan pendapat Moeljanto (1992) yang
menyatakan bahwa dalam pemasangan label harus diperhatikan pula perekatnya,
lebih baik menggunakan lem yang lebih mahal tetapi hasilnya memuaskan dari
pada menggunakan lem yang harganya murah namun hasil rekatannya tidak
maksimal.
Ukuran label yang digunakan disesuaikan dengan ukuran kaleng produk,
spesifikasi ukuran kaleng dapat dilihat pada tabel berikut
Tabel 11. Spesifikasi Ukuran Label
Spesifikasi Kaleng 307 Kaleng 211

Lebar 3,4 cm 3,2 cm

Panjang seluruh 27,1 – 27,7 cm 2,2 cm

Panjang warna akhir 26,4 – 26,8 cm 21,4 cm

Tebal - -

Berat dasar 0,4 – 0,7 gram 0,66 gram

Arah lipatan Kanan Kanan

Sumber : PT. Delta Pasific Indotuna, (2016)


Pada label harus dicantumkan keterangan seperti jenis produk, jenis ikan,
berat bersih, label halal, komposisi dan lain-lain. Label yang digunakan dalam

55
produk ikan kaleng ini seperti “Al-Sayad, Al-Sayed, Food Island, Arabian Sea,
Aloha, Darin, Green Hill, Sailor, Classic, Fy Lake, Menara, Bona, Al-Amid, Al-
Gemah, Al-Mohet” dan masih banyak lagi. Label / kemasan harus dinyatakan
keterangan-keterangan seperti nama perusahaan, jenis ikan, jenis saus, dan berat
isinya. Keterangan yang tertera pada label harus sesuai dengan isi kaleng serta cap
dan gambar sebaiknya jangan terlalu panjang dan rumit, supaya pembeli mudah
mengingatnya (Moelyanto, 1982).
Proses selanjutnya pengartonan yaitu memasukkan ikan kaleng yang telah
dilabel serta telah memiliki kode kedalam karton yang dilakukan secara manual
oleh karyawan. Dalam karton diberi sekat berupa lapisan kardus atau layer antara
lapisan kaleng satu dengan lapisan kaleng lainnya. Layer merupakan lembaran
karton dengan bentuk bergelombang yang digunakan sebagai penahan getaran
selama proses pendistribusian sehingga produk terhindar dari kerusakan akibat
guncangan dan getaran. Tujuan dari pengartonan ini untuk mencegah terjadinya
kerusakan selama penyimpanan, pengangkutan dan pemasaran serta memudahkan
dalam perhitungan dan pengambilan produk.
Tabel 12. Spesifikasi Ukuran Karton
Kaleng 307 Kaleng 307 Kaleng 211
Spesifikasi
(isi 48 kaleng) (isi 24 kaleng) (isi 48 kaleng)
Lebar 24 – 27 cm 42 cm 21 cm
Panjang keseluruhan 34 – 35 cm 35 cm 28 cm
Tinggi 8 – 18 cm 9,6 cm 16,8 cm
Berat dasar 230 – 315 gr 236 gr 195 gram
Sumber : PT. Delta Pasific Indotuna, (2016)
Kemasan karton yang telah berisi ikan kaleng dilewatkan melalui
conveyor berjalan untuk ditutup dengan mesin strapping band supaya lebih kuat,
setelah itu karton disusun dalam pallet untuk disimpan menunggu dipasarkan
atau didistribusikan. Penggunaan pallet sebagai alas untuk mencegah terjadinya
kontak langsung antara karton dengan lantai yang dapat menyebabkan
kelembapan dan kerusakan karton.

4.1.17 Distribusi (Stuffing)

56
Produk yang telah dilabel dan disusun diatas pallet sementara menunggu
waktu pengiriman/ekspor disimpan digudang yang bersebelahan dengan ruang
pelabelan. Proses ini dilakukan apabila produk-produk tidak langsung dipasarkan
atau didistribusikan. Produk yang siap diekspor diangkut menggunakan forklift
menuju konteiner kemudian disusun secara rapi didalamnya sehingga tidak
bergoncang dalam perjalanan dan terhindar dari kerusakan fisik. Penyusunan
karton dalam satu konteiner sendiri untuk kaleng 307 berjumlah 1700 karton yang
apabila dijabarkan sesuai dengan panjang x lebar konteiner yaitu 1152 x 546 + 2.
Produk ikan kaleng PT. Delta Pasific Indotuna saat ini dipasarkan ke
negara-negara di bagian Timur Tengah antara lain ke Saudi Arabia, Yaman, Syria,
Yordania, Kuwait, Afrika Selatan dan Amerika. Dalam proses ini perusahaan
menerapkan sistem FIFO (First In First Out), setiap produk dicatat tanggal
masuknya per hari dan kemudian dikondisikan supaya pada saat ada permintaan
atau ketika produk akan didistribusi maka yang awal di produksi dikeluarkan
terlebih dahulu. Namun proses pengeluaran ini pun tidak selamanya dapat
diberlakukan dengan sistem FIFO karena disesuaikan dengan permintaan buyer,
akan tetapi tetap diusahakan supaya produk yang pertama datang atau di produksi
itupun yang pertama dikeluarkan/distribusikan.

4.2 Pengujian Mutu


4.2.1 Pengujian Organoleptik Dan Sensori
Pengujian organoleptik dilakukan pada saat bahan baku diterima berupa
ikan segar dan pengujian sensori setelah menjadi produk akhir berupa ikan kaleng,
hal ini bertujuan untuk mengetahui mutu ikan yang akan diproduksi dan yang
akan dihasilkan. Pengujian organoleptik pada bahan baku dilakukan dengan
menggunakan scoresheet organoleptik ikan segar yang meliputi kenampakan
(mata, insang dan lendir permukaan badan), daging, bau dan konsistensi.
Pengujian ini dilakukan oleh QA dengan dua kali pengulangan. Hasil dari
penilaian terhadap nilai organoleptik pada bahan baku dapat dilihat pada tabel
berikut:

Tabel 13. Penilaian Organoleptik Bahan Baku Ikan Segar

57
Organoleptik ikan segar
Pengamatan
Kenampakan Daging Bau
I 7,7 7,9 7,9

II 7,5 7,6 7,5

III 7,7 7,6 7,6

IV 7,8 7,5 7,6

V 7,6 7,7 7,9

VI 7,6 7,8 7,8

Rata-rata 7,65 7,68 7,71

Sumber : PT. Delta Pasific Indotuna, (2016)

Tabel diatas menunjukkan bahwa mutu organoleptik untuk bahan baku


yang diterima oleh perusahaan berkisar dengan nilai antara 7,58 - 7,71. Nilai
tersebut masih memenuhi persyaratan untuk bahan baku ikan segar sesuai dengan
SNI 2729:2013 yaitu nilai minimal 7. Hal ini membuktikan bahwa bahan baku
yang diterima oleh unit pengolahan masih dalam keadaan baik dan juga
menunjukkan bahwa penanganan yang dilakukan terhadap bahan baku sudah
diterapkan dengan baik, cepat dan hati-hati serta memperhatikan rantai dingin dari
ikan tersebut agar tidak terjadi kenaikan suhu yang signifikan. Dengan
penanganan yang baik inilah sehingga dihasilkan nilai organoleptik yang baik dan
sesuai standar dan layak untuk dilakukan proses pengolahan lanjutan. Tingkat
kesegaran ikan ini sangat terkait dengan cara penanganan ikan, apabila
penanganan ikan baik maka mutu dan kualitasnya akan baik pula (Junianto,
2003).
Pengujian sensori dilakukan pada saat produk akhir telah jadi berupa ikan
kaleng, hal ini bertujuan untuk mengetahui kenampakan serta citarasa dari ikan
kaleng yang dihasilkan. Pengujian sensori pada produk akhir dilakukan dengan
menggunakan scoresheet ikan kaleng yang meliputi kenampakan (ikan dan
medium), bau, rasa dan tekstur. Pengujian ini dilakukan oleh QA dengan dua kali
pengulangan. Hasil dari penilaian terhadap nilai organoleptik pada bahan baku
dapat dilihat pada tabel berikut

58
Tabel 14. Penilaian Sensori Ikan Kaleng
Sensori ikan kaleng
Pengamatan
Kenampakan Bau Rasa Tekstur
I 8,1 7,6 7,8 7,5

II 7,1 7,3 7,3 6,3

III 7,8 8,5 9,0


8,0
IV 7,8 9,0 9,0 7,6

V 7,8 8,6 8,6 8,3

VI 7,6 8,5 8,8 8,3

Rata-rata 7,7 8,2 8,4 7,6

Sumber : PT. Delta Pasific Indotuna, (2016)


Tabel hasil penilaian terhadap nilai sensori ikan kaleng berkisar antara 7,6
– 8,4. Hal ini menunjukkan bahwa produk ikan kaleng yang dihasilkan bagus dan
memenuhi standar nilai SNI yang telah ditentukan sehingga produk akhir ini layak
dan aman dikonsumsi maupun dipasarkan. Mutu dari produk akhir ini sangat
dipengaruhi oleh mutu dan kualitas bahan baku, penerapan rantai dingin dan juga
sanitasi higiene pada saat proses produksi. Masalah sanitasi dan higiene karyawan
pada saat proses produksi merupakan hal pokok yang harus diperhatikan karena
walaupun bahan baku yang digunakan mutunya bagus akan tetapi pada saat proses
produksi tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan oleh perusahaan
maka produk yang dihasilkan akan mengalami penurunan mutu. Selain itu,
peranan suhu juga tidak kalah penting karena pemanfaatan suhu yang baik dapat
menghasilkan produk yang baik pula. Bahan baku yang mempunyai mutu dan
kesegaran tinggi akan menghasilkan produk akhir yang tinggi mutunya (Hariadi,
1994).

4.2.2 Pengujian Mutu Mikrobiologi

59
Pengujian mikrobiologi pada bahan baku dan produk akhir tidak dilakukan
di labolatorium perusahaan melainkan di labolatorium LPPMHP Manado,
dikarenakan perusahaan ini beranggapan bahwa produk ikan kaleng telah
mengalami proses pemanasan suhu tinggi sehingga menyebabkan produk telah
aman dari adanya mikroorganisme. Pengujian sampel produk tidak dilakukan
secara kontinyu melainkan sewaktu-waktu bila dikehendaki pihak konsumen.
Pengujian mikrobiologi dari sampel yang dikirim perusahaan ke labolatorium
LPPMHP meliputi pengujian ALT, E.coli, Salmonella, Vibrio cholera dan
Staphilococus aureus pada bahan baku dan pengujian ALT aerob dan anaerob,
Coliform serta Staphilococus aureus pada produk akhir. Pengujian mikrobiologi
ini bertujuan untuk mengetahui jumlah bakteri yang terkandung dalam produk
serta untuk mengetahui ada atau tidaknya bakteri patogen yang dapat
menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia apabila produk ini dikonsumsi.
Hasil pengujian mikrobiologi bahan baku dan produk akhir dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 15. Hasil Pengujian Mutu Mikrobiologi Bahan Baku Ikan Segar

E.coli Staphilococus
Pengamatan ALT (Koloni/gram) Salmonella Vibrio cholera
(APM/gram) aureus

I 1,9 x 104 <3 Negative Negative <3


II 2,6 x 104 <3 Negative Negative <3
III 1,7 x 104 <3 Negative Negative <3
IV 1,5 x 104 <3 Negative Negative <3
Sumber : PT. Delta Pasific Indotuna, (2016)
Hasil pengujian mikrobiologi bahan baku telah sesuai dan memenuhi
persyaratan dimana nilai ALT untuk bahan baku berkisar antara 1,5 x 104 - 2,6 x
104 koloni/gram, hal ini dikarenakan selama pengangkutan sampai penerimaan
bahan baku di perusahaan telah menerapkan rantai dingin secara baik.
Menghambat atau menghentikan kegiatan bakteri adalah dengan pemberian es.
Menurut Moeljanto (1992), pemberian es sangat penting untuk menjaga mutu ikan
agar tetap dalam kondisi baik pada saat tiba di perusahaan.
Pengujian E.coli menggunakan metode sesuai dengan prosedur yang
terdapat pada SNI 01-2332.1-2006. Hasil pengujian untuk E.coli pada bahan baku

60
yaitu < 3. Pengujian E.coli bahan baku memenuhi persyaratan mikrobiologi
karena perusahaan telah menstandarkan air yang digunakan untuk pencucian dan
pengolahan produk harus standar air minum. Menurut Harsojo (2008) kontaminasi
E.coli berasal dari kontaminasi air yang digunakan pada saat proses produksi yang
biasanya sering lupa diganti oleh karyawan.
Kontaminasi bakteri Salmonella sering terjadi di perusahaan melalui
peralatan yang digunakan maupun kontaminasi dari tangan manusia. Pengujian
Salmonella pada bahan baku adalah negatif. Pengujian Salmonella pada bahan
baku memenuhi persyaratan mikrobiologi karena perusahaan menggunakan
desinfektan untuk menginaktifkan bakteri dan menggunakan klorin yang bersifat
sanitizer. Menurut Hadiwiyoto (1993), perlakuan pencucian dengan air bersih dan
air yang telah mengalami klorinasi atau mengandung antibiotik tertentu dapat
menghilangkan kotoran dan mengurangi jumlah bakteri yang ada, banyak bakteri
yang mati bahkan bakteri-bakteri berbahaya seperti Salmonella ikut terbunuh.
Pengujian V.cholera pada bahan baku yaitu negatif hal ini dikarenakan air
yang digunakan pada saat pengolahan produk telah disterilkan/treatment oleh
perusahaan sehingga tidak tercemar dan tidak mengkontaminasi produk. Menurut
Oktaviani (2013), vibrio merupakan jenis bakteri yang hidup saprofit di air, air
laut, dan tanah. Terdapatnya bakteri patogen ini menandakan adanya kontak air
dengan limbah industri dan rumah tangga.
Tabel 16. Hasil Pengujian Mutu Mikrobiologi Produk Akhir Ikan Kaleng

ALT Aerob ALT Anaerob Staphilococus


Pengamatan Coliform
(Koloni/gram) (Koloni/gram) aureus

I 0 0 <3 Negative
II 0 0 <3 Negative
III 0 0 <3 Negative
IV 0 0 <3 Negative
Sumber : PT. Delta Pasific Indotuna, (2016)
Hasil dari pengujian mikrobiologi pada produk akhir diatas menunjukkan
bahwa produk akhir memiliki nilai ALT 0 koloni/gram, sedangkan jumlah koloni
bakteri produk kaleng yang diperbolehkan memiliki batas maksimum 10
koloni/gram sesuai dengan syarat SNI 2712:2013 dengan begitu produk ikan

61
kaleng tersebut layak diekspor atau dikonsumsi. Hal ini dikarenakan adanya
proses sterilisasi dan pendinginan pada akhir proses. Menurut Muchtadi dan
Ayustaningwarno (2010) sterilisasi komersial berarti produk telah mengalami
proses sterilisasi dimana tidak ada lagi mikroorganisme hidup, akan tetapi
mungkin masih terdapat spora bakteri yang setelah proses sterilisasi bersifat
dorman. Setelah itu kaleng-kaleng didinginkan secara cepat. Bila pendinginan
berlangsung lambat akan memberikan waktu bagi spora bergeriminasi dan
kemudian tumbuh dan berkembang biak.

4.2.3 Pengujian Kimia


Pengujian kimia yang dilakukan oleh PT. Delta Pasific Indotuna meliputi
pengujian histamin. Pengujian histamin ini dilakukan di labolatorium perusahaan
oleh para petugas QA yang prosedur pengujiannya menggunakan metode
ridascreen. Penanganan yang kurang cepat dan suhu lebih dari 4,4˚C akan
meningkatkan kadar histamin pada ikan apalagi pada ikan jenis Scombridae
seperti tuna merupakan salah satu tingkat kesegaran ikan.
Tabel 17. Hasil Pengujian Histamin
Pengamatan Jenis produk Konsentrasi histamin
Bahan baku 7,45 mg
1 Setelah precooking 7,69 mg
Produk akhir 8,79 mg
Bahan baku 7,61 mg
2 Setelah precooking 7,76 mg
Produk akhir 8,11 mg
Sumber : PT. Delta Pasific Indotuna (2016)
Pada tabel diatas terjadi peningkatan kadar histamin dari saat bahan baku
diterima sampai tahap setelah menjadi produk akhir. Kenaikan tersebut terjadi
dikarenakan adanya tahapan proses yang memerlukan waktu menunggu yang
lebih dalam proses selanjutnya, akan tetapi hasil dari histamin diatas masih
memenuhi standar yang ditentukan yaitu 100 ppm. Menurut SNI 2712:2013 untuk
level histamin (yang ditentukan sebagai histamin) > 15 ppm dapat diperhitungkan
sebagai gejala awal terbentuknya kerusakan. Level > 50 ppm sudah sangat

62
membahayakan kesehatan dan untuk level > 100 ppm bagi yang keracunan sudah
harus mendapat perawatan khusus.

4.3 Persyaratan Kelayakan Dasar Unit Pengolahan


4.3.1 Persyaratan Fisik
1. Lokasi Dan Lingkungan
PT. Delta Pasific Indotuna terletak di kawasan yang jauh dari pencemaran
baik udara maupun air. Lingkungannya cukup bersih sehingga terhindar dari
kotoran yang bersifat bakteriologis, fisik dan kimia sehingga sudah sesuai dengan
standar KEP.01/MEN/2007 yang menjelaskan bahwa unit pengolahan harus
dibangun dilokasi yang tidak tercemar dan yang menjamin tersedianya ikan yang
bermutu baik.
Lokasi PT. Delta Pasific Indotuna terletak di Jalan Veteran Girian Bawah
Lingkungan IV Bitung, Sulawesi Utara. Lokasi perusahaan bagian utara
berbatasan dengan gedung kopra, bagian timur merupakan tanah kosong/kebun,
kemudian lokasi bagian selatan berbatasan langsung dengan laut sedangkan
bagian barat perusahaan berbatasan dengan sekolah Madrasah Ibtida’iyah Negeri
dan Kampung Buton.
Letak perusahaan ini cukup strategis dikarenakan terletak didaerah industri
dan tidak terlalu jauh dengan pelabuhan perikanan daerah Bitung yaitu ± 25 menit
perjalanan. Lokasi tersebut memberikan kemudahan bagi perusahaan dalam
mendistribusikan produk-produk.
Perusahaan harus berlokasi di daerah yang bebas dari kotoran yang
bersifat bakteriologis, biologis, fisis dan kimia (seperti daerah rawa, pembuangan
sampah, perkampungan yang padat penduduk dan kotor, daerah kering dan
berdebu, dekat industri yang menyebabkan pencemaran udara dan air, dekat
gudang pelabuhan dan sumber pengotor lainnya), sehingga tidak menimbulkan
penularan dan kontaminasi produk dan bahaya bagi masyarakat (Winarno dan
Surono, 2004).
2. Bangunan
Ruang pengolahan yang ada telah dirancang dan dibangun secara khusus
untuk meminimalkan terjadinya kontaminasi dan tidak menghambat proses
produksi. Sanitasi unit pengolahan telah memenuhi persyaratan dan memiliki

63
pembagian ruang kantor, ruang penerimaan bahan baku, ruang proses, ruang
pengemasan, labolatorium, toilet, ruang istirahat serta sarana ibadah.
Lantai di ruang produksi terbuat dari keramik berwarna putih, permukaan
lantai rata dan halus. Pertemuan lantai dan dinding tidak membentuk sudut
sehingga tidak terjadi pengendapan kotoran dan mudah dibersihkan, lantai dibuat
agak miring dengan kemiringan 3–5oC kearah saluran pembuangan sehingga tidak
ada air yang tergenang. Menurut Ditjen P2HP (2009), lantai ditempat yang
sifatnya untuk pekerjaan basah, dimana bahan baku diterima, diolah atau dikemas
dijaga kemiringan, terbuat dari bahan kedap air, tahan lama dan mudah
dibersihkan.
Permukaan dinding rata dan berwarna putih. Tinggi dinding 4 meter dari
lantai, dan dilapisi keramik setinggi 1,5 m. Dinding dilapisi dengan bahan
keramik ini dibuat dengan tujuan untuk memudahkan pembersihan dan mencegah
kontaminasi. Dinding terbuat dari bahan kedap air, pertemuan lantai dengan
dinding maupun sudut-sudut ruangan dibuat melengkung. Menurut Ditjen P2HP
(2009) permukaan dinding bagian dalam dari ruangan yang sifatnya untuk
pekerjaan basah harus kedap air, permukaan halus, rata, serta berwarna terang.
Sampai ketinggian dua meter dari lantai harus dapat dicuci dan tahan terhadap
bahan kimia dan tidak boleh ditempatkan sesuatu yang mengganggu operasi
pembersihan.
Kondisi langit-langit tidak berupa plafon melainkan langsung berupa
langit-langit putih polos yang dilapisi melamin dan terang tetapi tidak
menyilaukan, sehingga memudahkan dalam mengidentifikasi kotoran yang
menempel pada langit-langit, permukaan langit-langit rata dan tidak retak. Karena
tidak adanya langit-langit berupa plafon dan jaraknya yang sangat tinggi dari
lantai, hal ini cukup menyulitkan petugas dalam membersihkan atap atau langit-
langit.
Sirkulasi udara menggunakan kipas (blower) yang dilengkapi dengan
exhaust fan, ventilasi dirancang untuk mencegah masuknya debu dan
pengembunan karena uap air, menghilangkan bau yang tidak diinginkan serta
menghindari panas yang berlebihan, kontaminasi debu dan gas. (Dirjen P2HP,

64
2007). Kipas tersebut dilengkapi dengan penutup dari besi untuk mencegah
apabila kipas tersebut jatuh dan tidak mengenai langsung di ruang produksi.
Penerangan di dalam unit pengolahan menggunakan lampu neon panjang
yang dilengkapi dengan pelindung dari bahan mika yang tembus pandang serta
tidak menyilaukan dan tidak merubah warna produk. Jumlahnya pun sudah cukup
memadai yang dapat menerangi seluruh bagian ruangan produksi. Penggunaan
mika dimaksudkan untuk menampung apabila ada lampu rusak atau pecah
sehingga tidak langsung mengenai produk. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa penerangan di unit pengolahan PT. Delta Pasific Indotuna telah cukup baik
dan memenuhi syarat.
Pintu terbuat dari bahan yang tahan karat dengan permukaan yang halus
dan rata, tahan terhadap air serta mudah dibersihkan. (Dirjen P2HP, 2007).
Beberapa pintu masuk ruang produksi dilengkapi dengan plastic certain untuk
mencegah masuknya serangga dan debu dari luar ke dalam ruangan pengolahan.
Selain itu, di depan pintu masuk ruang penerimaan dan ruang produksi dilengkapi
dengan insert killer yang bertujuan untuk mencegah masuknya lalat dan serangga
di ruang pengolahan.
Pada proses produksinya menghasilkan hasil buangan (limbah) dari
produk yaitu limbah cair dan limbah padat. Limbah cair ini dihasilkan dari
kotoran-kotoran yang bersifat cair atau lunak seperti saluran pencernaan,
kemudian juga dari bahan-bahan pembantu lain yaitu bahan pencucian (klorin dan
air) dan bahan tambahan lain seperti garam, larutan-larutan yang digunakan
selama proses yang sudah tidak terpakai lagi. Sedangkan untuk limbah padat ini
dihasilkan dari kepala, tulang, kulit dan ekor ikan untuk kemudian diolah menjadi
tepung ikan.
Penanganan limbah cair dilakukan dengan mengalirkan limbah tersebut ke
pipa penyalur untuk dilakukan treatment atau penyaringan secara berulang-ulang
agar didapatkan air yang tidak berbau dan lebih jernih. Limbah cair tersebut
kemudian dibuang ke laut yang bersebelahan langsung dengan PT. Delta Pasific
Indotuna ini.

65
3. Fasilitas Unit Pengolahan
Ruang penanganan dan pengolahan dilengkapi dengan peralatan pencegah
masuknya binatang ke ruang proses sehingga tidak terjadi kontaminasi terhadap
produk.
Ruang istirahat dipergunakan juga sebagai ruang makan dimana ruang ini
terletak terpisah dari bangunan unit produksi. Ruangan ini dilengkapi dengan
kursi meja, wastafel dan dispenser air, Sebelum dan sesudah istirahat ruangan ini
selalu dibersihkan oleh karyawan piket. Membuang sampah pada tempat sampah,
tidak mengotori lantai, setiap karyawan harus sama-sama menjaga kebersihannya.
Ruang laboratorium terletak di bagian samping ruang produksi. Laboratorium ini
dilengkapi dengan peralatan-peralatan pengujian yang sudah cukup baik
diantaranya adalah lemari pendingin, incubator, timbangan analytic, pH meter,
meja pengujian, hot plate stearer, blender, rak-rak penyimpan arsip, vortex mixer
dan juga centrifuge. Laboratorium diperusahaan ini melakukan pengujian seperti
histamin.
Ruang ini dipergunakan sebagai mushola tempat ibadah umat muslim yang
letaknya bersebelahan dengan ruang istirahat. Setiap jam istirahat siang karyawan
muslim beribadah di moshola. Setiap karyawan muslim wajib menjaga kebersihan
tempat ibadah/musholla.

4.3.2 Persyaratan operasional


1. Cara Berproduksi Yang Baik Dan Benar (Good Manufacturing Practices /
GMP)
1. Bahan Baku
Bahan baku produk untuk ikan kaleng berasal dari perairan yang ada di
daerah sekitar Bitung dan Manado serta daerah lain seperti Gorontalo, Ambon dan
kendari. Bahan baku yang digunakan untuk produk ikan kaleng adalah ikan segar
maupun ikan beku dengan mutu terbaik. Saat penerimaan bahan baku dilakukan
pengujian suhu dan organoleptik. Jika mutu ikan dibawah standar maka ikan
tersebut ditolak dan dikembalikan ke pihak supplier. Pembongkaran ikan di
bagian penerimaan bahan baku dilakukan dengan menerapkan prinsip bersih,
dingin dan cepat. Menurut Ilyas (1993), tindakan penanganan pada produk

66
perikanan harus cepat, cermat dan selalu memperhatikan rantai dingin agar mutu
dapat dipertahankan.
2. Penanganan Dan Pengolahan
Penanganan dan pengolahan dilakukan dengan hati-hati dan cepat untuk
menghindari kemunduran mutu pada ikan. Peralatan yang dipakai dalam proses
pengolahan dibersihkan dan disanitasikan sebelum dan sesudah proses
pengolahan. Proses penanganan dan pengolahan dilakukan sangat cepat dan hati-
hati untuk menghindari kenaikan suhu yang akan mengakibatkan timbulnya
bakteri. Suhu penerimaan bahan baku ikan segar berkisar antara 2-4,40C, setelah
bahan baku diterima dilakukan penanganan dan pengolahan lebih lanjut dengan
tetap menjaga suhu rendah selama proses penanganan. Disiplin karyawan dalam
pemahaman dan penerapan GMP dan SSOP lebih ditingkatkan. Higiene dan
kesehatan karyawan sangat penting bagi semua kegiatan produksi. Karyawan
selain berhubungan langsung dengan produk sehingga menjadi sumber
kontaminasi yang utama terhadap produk. Apabila higiene dan kesehatan
karyawan tidak terjaga dengan benar. Beberapa aspek higiene dan kesehatan
karyawan adalah kesehatan pekerja, pelatihan dan praktek higienis serta peralatan
(Perdana, 2008).
Penanganan dan pengolahan merupakan suatu usaha untuk
mempertahankan mutu produk yang ada dan bukan merupakan suatu tindakan
atau usaha untuk meningkatkan mutu produk olahan. Mutu bahan baku sangat
menentukan hasil akhir pengolahan, jika mutu bahan baku rendah maka produk
yang dihasilkan dalam pengolahan juga mempunyai mutu yang kurang baik maka
produk yang dihasilkan akan bermutu rendah (Hadiwiyoto, 1993).
3. Persyaratan Bahan Pembantu Dan Bahan Kimia
Bahan pembantu yang digunakan di PT. Delta Pasific Indotuna adalah air
dan es. Air dan es digunakan pada saat proses pengolahan, selain itu air juga
digunakan untuk toilet dan kegiatan lainnya yang membutuhkan air. Air yang
dipakai mutunya sudah memenuhi standar air minum.
Bahan kimia yang dipakai di PT. Delta Pasific Indotuna adalah khlorin
yang terdiri yang digunakan untuk perendaman kaki, pencucian peralatan dan
perlengkapan kerja. Detergen digunakan untuk membersihkan alat yang kotor dan

67
yang susah dibersihkan dan juga kaleng yang akan digunakan. Sabun cuci tangan
menggunakan sabun yang berbentuk cairan.
4. Pengemasan
Bahan pengemas yang dipakai adalah kaleng dan master carton. Ikan
kaleng setelah dari ruang produksi dilakukan proses pengkodean dan pelabelan,
kemudian dikemas dalam master carton. Master carton kemudian di solasi
dengan isolasi secara otomatis menggunakan strapping band machine agar lebih
tahan lama dan kuat. Proses ini dilakukan di ruang pelabelan dalam keadaan
bersih dan saniter.
Menurut Purwaningsih (1995), pengemasan bertujuan untuk mengawetkan
produk yang dikemas, mempermudah transportasi, mempermudah distribusi, dan
juga untuk memperindah penampilan produk serta merupakan faktor penting
dalam persaingan produk di pasar.
5. Penyimpanan
Produk akhir yang telah mengalami proses pengemasan dalam master
carton kemudian disimpan dalam gudang apabila belum diekspor/didistribusikan
pada hari itu. Penyimpanan diletakkan diatas pallet kayu agar katon tidak rusak
ataupun lembab.
6. Distribusi
Produk yang akan diekspor didistribusikan dengan menggunakan
konteiner. Produk-produk yang akan diekspor sebelumnya dilakukan pencatatan
oleh petugas mengenai berapa jumlah karton kaleng yang akan didistribusikan.

2. Prosedur Operasional Standar Sanitasi (Sanitation Standard Operating


Procedure / SSOP)
1. Pasokan Air Dan Es
Air yang digunakan untuk proses pengolahan berasal dari PDAM dan juga
berasal dari sumber air tanah atau sumur bor yang kemudian di treatment oleh
perusahaan sehingga mutunya sesuai dengan standar air minum. Pengujian air
rutin dilakukan oleh pihak labolatorium yaitu dua kali seminggu untuk
mengetahui apakah ada bakteri coliform yang dapat membahayakan kesehatan.
Apabila ditemukan penyimpangan maka akan segera dilakukan tindakan koreksi.
Bahan baku air digunakan untuk membuat es balok. Menurut Hadiwiyoto, 1993

68
persyaratan air tesebut adalah tidak berwarna dan tidak berbau tidak mengandung
zat besi (Fe) dan mangan (Mn), steril atau kandungan bakterinya rendah sehingga
tidak akan mengganggu kesehatan dan tidak menyebabkan kebusukan pada ikan.
Es di unit pengolahan tersebut menggunakan es balok yang diolah sendiri
oleh perusahaan dengan menggunakan air berstandar air minum. Selain itu juga es
balok dibeli dari luar perusahaan sebagai tambahan. Menurut Ditjenkan (1997), es
yang digunakan harus dibuat dari air yang memenuhi persyaratan air minum.
2. Peralatan Dan Pakaian Kerja
Peralatan yang kontak langsung dengan produk adalah bahan yang terbuat
dari plastik, stainless steel yang tahan karat, halus dan rata. Peralatan-peralatan ini
harus dicuci sebelum digunakan dalam proses pengolahan.
Setiap karyawan diwajibkan memakai perlengkapan seperti masker,
celemek, sepatu boat, topi atau penutup kepala yang sempurna. Beberapa hal yang
harus dimonitor terhadap kondisi kebersihan permukaan alat yang kontak
langsung dengan bahan yang meliputi: kondisi permukaan yang kontak dengan
pangan, kebersihan dan sanitasi, tipe dan konsentrasi bahan sanitasi.
3. Pencegahan Kontaminasi Silang
Kegiatan proses dibatasi oleh ruangan-ruangan yang memisahkan antar
alur proses dari mulai penerimaan hingga penyimpanan produk, sedangkan ruang
sanitasi peralatan, gudang, istirahat karyawan terpisah dari ruang pengolahan
produk. Setiap ruangan dipisahkan oleh dinding dan plastic certain sebagai batas
ruangan, dengan pemisahan ini proses produksi berjalan dengan efektif karena
karyawan tidak pindah ketempat lain sehingga dapat mencegah kontaminasi
silang antara bahan baku dan produk akhir.
Pada saat karyawan akan memasuki ruang proses dilakukan pemeriksaan
perlengkapan pakaian seragam oleh petugas. Tata letak diatur agar tidak terjadi
kontaminasi silang, tempat masuk bahan baku berbeda dengan produk akhir.
Peralatan yang digunakan untuk bahan baku, produk, dan limbah harus terpisah
sesuai dengan warna basket yang telah ditentukan.
4. Kebersihan Karyawan
Karyawan yang bekerja menggunakan perlengkapan kerja, tidak
mengidap penyakit menular dan mempunyai luka terbuka. Kuku tangan tidak

69
panjang dan dicat dan pada saat bekerja karyawan dilarang meludah di lantai,
merokok serta banyak bicara. Karyawan yang hendak bersin maka membelakangi
dan menjauhi produk agar produk tidak terkontaminasi. Karyawan yang sakit
seperti diare, sakit kuning, cacar tidak diijinkan untuk menangani produk dan
diberi ijin istirahat selama sakit. Karyawan tidak boleh memakai obat-obatan yang
mengandung kloramfenikol dan tidak boleh memakai kosmetik seperti bedak,
lipstik, handbody, dan lain-lain karena dapat menyebabkan kontaminasi silang
terhadap produk yang akan dihasilkan (Sulastri, 2011).
5. Toilet Dan Tempat Cuci Tangan
Toilet terdapat diluar ruangan proses dimana untuk pria dan wanita
mempunyai toilet yang tersendiri. Apabila karyawan selesai dari toilet maka
diwajibkan mencuci tangan dengan menggunakan sabun hingga bersih agar tidak
mengontaminasi produk saat melakukan proses pengolahan.
Tabel 18. Jumlah Penggunaan Toilet PT.Delta Pasifik Indotuna
AREA JUMLAH
Produksi 9
Can Making 2
Pengolahan Limbah 2
Sumber : PT. Delta Pasific Indotuna (2016)

6. Bahan Kimia Dan Saniter


Semua bahan kebersihan dan bahan kimia dikumpulkan dalam lemari
khusus yang terpisah dari ruang pengolahan. Bahan tersebut diberi label dan
dilengkapi dengan cara penggunaanya. Bahan kimia yang dianggap berbahaya,
pemakaiannya diawasi oleh pengawas mutu serta diberi label dan prosedur
pemakaian.
7. Syarat Label Dan Penyimpanan
Setiap produk akhir yang dihasilkan diberi label yang mencantumkan jenis
produk, ukuran, tipe, mutu produk, berat bersih produk akhir, tanda halal dan lain-
lain. Pada bagian atas kaleng tercantum nama/kode perusahaan yang
memproduksi, jenis ikan, supplier kaleng, tanggal pembuatan, tanggal kadaluarsa
dan urutan pemasakan. Kaleng yang sudah dikemas kemudian disimpan di dalam
gudang penyimpanan produk jadi. Bahan pengemas disimpan pada suhu ruang

70
penyimpanan bahan pengemas agar terhindar dari panas, debu, kotoran dan bahan
kontaminan lainnya. Penyimpanan produk akhir diletakkan di atas pallet agar
tidak merusak produk.
8. Pengendalian Pest
Pengawasan serangga di cegah dengan menggunakan lampu insect killer.
Pencegahan serangga yang mungkin masuk dari saluran air maka setiap saluran
air di beri saringan sehingga serangga dari luar tidak dapat masuk ke ruang
produksi. Pengecekan terhadap serangga ini dilakukan oleh petugas. Jumlah
serangga atau hewan lain yang tertangkap dihitung dan dicatat.
Menurut Purwaningsih (1995), bagian penanganan dan pengolahan yang
berhubungan langsung dengan luar harus dilengkapi dengan alat untuk mencegah
masuknya serangga, burung, tikus dan binatang lainnya.

71
V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penulisan tugas ini berdasarkan pengamatan di PT.
Delta Pasific Indotuna Bitung-Sulawesi Utara, perusahaan telah memenuhi
persyaratan kelayakan mutu produksi ikan tuna kaleng baik dalam mutu
penggunaan bahan baku, kelayakan unit dalam pengolahan ikan tuna kaleng,
sampai mutu produk akhir yang di hasilkan telah memenuhi persyaratan sesuai
aturan dan SNI. Dapat dilihat dari hasil pengamatan sebagai berikut:
1. Nilai mutu pengamatan penggunaan bahan baku antara 7,58 - 7,71. Nilai
tersebut masih memenuhi persyaratan untuk bahan baku ikan segar sesuai
dengan SNI 2729:2013 yaitu nilai minimal 7.
2. Kelayakan dasar unit pengolahan secara fisik (Lingkungan, bangunan, dan
fasilitas) sudah layak sesuai aturan KEP. 01/MEN/2007 dan PER.011/DJ-
P2HP/2007.
3. Nilai Mutu sensori produk akhir ikan kaleng berkisar antara 7,6 – 8,4. Nilai ini
menunjukkan bahwa produk ikan kaleng yang dihasilkan bagus dan
memenuhi standar nilai SNI.
4. Efisiensi penerapan GMP dan SSOP pada setiap alur proses produksi untuk
mencegah kontaminasi pada produk akhir yang dihasilkan juga sudah di
terapkan dengan baik.
Secara umum, proses pengalengan ikan di PT. Delta Pasific Indotuna
mulai dari penerimaan bahan baku hingga menjadi produk akhir sudah layak
produksi dan eksport.

5.2 Saran
Perusahaan tetap konsisten dan berkomitment mempertahankan
pengawasan pada setiap proses terutama pada bagian penerimaan ikan sebagai
bahan baku pengalengan, dan titik critical control point (CCP) pada proses
pengalengan. Pengawasan terhadap kinerja dan tingkah laku karyawan saat proses
produksi perlu ditingkatkan agar penerapan GMP dan SSOP dapat tetap berjalan
dengan baik sehingga produk yang diperoleh berada dalam kualitas terbaik.

72
DAFTAR PUSTAKA

Adawyah, Rabiatul. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara.


Jakarta

Anonymus, 2012. Jadikan Kota Bitung Sebagai Pusat Perikanan Dunia


http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/7962/JADIKAN-KOTA-
BITUNG-SEBAGAI-PUSAT-PERIKANAN-TUNA-WORLD-TUNA-
CENTER/. Sulawesi Utara. (9 januari 2014)

_________.2013.Kkp-Diversifikasi-Pasar-Ekspor-Ke-Timur-Tengah-Dan-Afrika.
Kementrian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. (9 januari 2014)

Astawan Made, 2006. Kandungan Gizi Aneka Bahan Makanan. PT Gramedia.


Jakarta

Badan Standardisasi Nasional. 2013. Ikan dalam Kemasan Kaleng Hasil


Sterilisasi. SNI 2712:2013. BSN. Jakarta.

_________.2013. Ikan Segar. SNI 2729:2013. BSN. Jakarta.

Effendi Supli. 2008. Teknologi Pengolahan dan Pengawetan Pangan. Alfabeta.


Bandung

Irianto, H, E dan Giyatmi, Sri. 2009. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan.


Universitas Terbuka. Jakarta

Junianto. 2003. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Kanisius. Jakarta

Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2007. KEP.


01/MEN/2007Persyaratan Jaminan Mutu dan Kemananan Hasil
Perikanan Pada Proses Produksi, Pengolahan dan Distribusi.
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Jakarta.
Swadaya. Jakarta

Murniyati dan Sunarman. 2000. Kanisius. Pendinginan Pembekuan dan


Pengawetan Ikan. Yogyakarta
Nagara, S, P. 2007. Perilaku Konsumen Dalam Proses Keputusan Pemberian
Produk Ikan Kaleng. Jurnal penelitian. Bogor. (3 februari 2014)

Poernomo Soen’an dan Dharmayanti Niken. 2004. Teknologi Pengolahan Ikan.


Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta

73
Saidah Zumi. 2010. Analisis Ekuitas merek ikan kaleng di kota bogor. Laporan
Penelitian. Bogor. (3 februari 2014)

Sumandiarsa, Ketut, I. 2013. Pendinginan dan Pembekuan Hasil Perikanan.


Sekolah Tinggi Perikanan. Jakarta

Suprayitno, E, dkk. 2011Materi Kuliah Teknik Pengemasan. Fakultas Perikanan


dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya. Malang

Suwetja, I,K. 2012. Biokimia Hasil Perikanan. Media Prima Aksara. Jakarta.
Thaheer, Hermawan. 2005. Sistem Manajemen HACCP (Hazard Analysis Critical
Control Point). Bumi Aksara.

Widarmasto Bayu. 2005. Pengamatan Penerapan Teknik Sanitasi Dan Hygiene


Pada Unit Pengolahan Tuna Sirip Kuning Loin Beku Di PT. Inti Mas
Surya, Benoa,Bali. Jakarta

Winarno, F.G. 2007. Teknobiologi Pangan. M-BRIO PRESS. Bogor

Winarno, F.G dan Surono. 2004. GMP Cara Pengolahan Pangan Yang Baik.
MBRIO PRESS. Bogor

74
,

75
Lampiran 1: Proses Produksi Ikan Tuna Kaleng

1.PENERIMAAN BAHAN 2.PENYO


BAKU RTIRAN

4.PENYIMPANA 3.PEMBEKUAN
N DINGIN IKAN FRESH

5.PELEHAN 6. PENDINGINAN
SEMENTARA IKAN
IKAN BEKU
FRESH (CHILING)
(THAWING)

76
7. PENYIANGAN 8. PENYUSUNAN DI 9.PENYUSUSUN
(BUTCHERING) ATAS TRAY TROLLY

12.RUANG 11.PENDINGINAN 10.PRE


SKINNING COOKING COOKING
&DEHEADING

13.SKINNING & 14.HASIL PROSES 15.PEMINDAHAN TAHAP


DEHEADING SKINNING LOINNING

77
16. RUANG 17.PROSES 18.HASIL
LOINING LOINNG LOINING

21.PE 20.PROSES 19.METAL


NGISI PENGISIAN DETEKTOR
AN KALENG

22.PENGISIAN 23.PROSES 24.HASIL


MEDIUM PENUTUPAN PENUTUPAN
KALENG KALENG

78
25.PENCUCIAN 26.STERILISASI
KALENG (RETORTING)

28.PENGKO 27.INKUBASI
DEAN PRODUK

29.PROSES 30. PROSES


PELABELAN PENGARTONAN

79
RIWAYAT HIDUP
Andi Ihsan Fachri. Dilahirkan di kabupaten Soppeng,
Sulawesi Selatan pada tanggal 06 november 1993, Anak
ke dua dari empat Saudara, pasangan dari Andi fachri lolo
haddade dan sriwana. Penulis mengali masa
pendidikannya di SDN 91 pacongkang Lulus pada tahun
2007. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah
pertama di SMPN 2 Liliriaja pada tahun 2010 dan pada
tahun 2013 penulis menyelesaikan pendidikan sekolah
menengah kejuruan SMKN 1 liliriaja Watang Soppeng.

Pada tahun 2013, penulis melanjutkan pendidikan di Politeknik Pertanian


Negeri Pangkajene kepulauan, mengambil jurusan Teknologi Pengolahan Hasil
Perikanan (TPHP). Penulis Aktif dalam kegiatan organisasi internal kampus yakni:
Himpunan Mahasiswa Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan (HIMATERIN),
UKM Tae Kwon Do, Badan Eksekutif Mahasiwa dan kegiatan Eksternal kampus
Yakni : Ikatan Mahasiswa Pelajar Soppeng, Himpunan Mahasiswa Islam
Cab.pangkep, Pengurus Pusat Ikatan Mahasiswa Pelajar Soppeng dan kegiatan
Eksternal lainnya.

Pada tahun 2016 penulis mengikuti Pengalaman kerja Praktek Mahasiswa


(PKPM) selama tiga bulan di PT. Delta Fasific Indotuna. Pada penyusuna tugas
akhir penulis mengambil judul “Studi Control Mesin Retort Pada Tahap Sterilisasi
Pengolahan Ikan Tuna (Thunnus Albacore) Kaleng” di bawah bimbingan Bapak Ir.
Imran Mukhtar, M.Si dan Nurleli Fattah, M.Si.

80

Anda mungkin juga menyukai