Anda di halaman 1dari 20

GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG)

Tugas Mata Kuliah

Etika Bisnis dan Profesi

Oleh : Kelompok 8

Agustin Dwi Saputri (210810301018)

Devi Rizkya (210810301019)

Moh. Aqmal Syahputra (210810301114)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS JEMBER

2022
SURAT PERNYATAAN INTEGRITAS PENYUSUNAN RESUME

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : 1. Agustin Dwi Saputri (210810301018)
2. Devi Rizkiya (210810301019)
3. Moh. Aqmal Syahputra (210810301114)
Progam Studi : S1 Akuntansi

Menyatakan bahwa :
1. Hasil dari resume ini merupakan murni hasil kerja dari kelompok 8 tanpa mengambil
atau mencuri dari pihak ketiga, di mana dapat kami pertanggungjawabkan sesuai
ketentuan yang berlaku.
2. Apabila kami dari kelompok 8 terbukti melanggar peraturan yang sudah berlaku,
maka kami bersedia menerima sanksi atau hukuman yang sudah ditetapkan.
Demikian surat pernyataan ini kami buat dengan sebenar-benarnya untuk dapat
dipergunakan sebagaimana semestinya, dan kepada yang bersangkutan untuk
menjadikan maklum.

Jember, 25 September 2022


Yang Menyatakan,

Agustin Dwi Saputri Devi Rizkiya Moh. Aqmal Syahputra


(210810301018) (210810301019) (210810301114)

PENDAHULUAN

ii
Para pemimpin suatu perusahaan atau para profesi akuntan diharapkan untuk
terjun ke dalam tempat tata kelola program yang memadai pengenalan etis dan
akuntabilitas program yang memenuhi harapan para stake holder. Pengenalan etis tata
kelola dan akuntabilitas program ini berasal dari kemauan sendiri. Mereka para direksi,
eksekutif, dan akuntan profesional yang ingin mengurangi risiko dalam
penyalahgunaan jabatan bisa meminimalisir hal tersebut terjadi.

Direktur, eksekutif, dan akuntan profesional memiliki peran penting dalam


bermain tata kelola dan akuntabilitas. Bagian-bagian dari perusahaan tersebut
melayani sebagian besar tempat yang sama dari harapan, yang memiliki tingkat
berbeda dari tugas dan tanggung jawab. Pada bab kali ini akan membahas
pengelolaan perusahaan yang baik agar tidak terjadi kekacauan yang disebabkan oleh
para orang-orang di balik layar. Maka dari itu diperlukannya hukum-hukum atau aturan-
aturan agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi, dan juga tidak akan merugikan
berbagai pihak.

PEMBAHASAN

iii
1. LATAR BELAKANG MUNCULNYA GCG

Istilah good corporate governance (GCG) tidak dapat dilepaskan dari maraknya
skandal perusahaan yang menimpa perusahaan besar baik yang ada di Indonesia
maupun di Amerika Serikat. Ciri utama sistem ekonomi kapitalis adalah kegiatan bisnis
dan kepemilikan perusahaan dikuasai oleh individu/sektor swasta. Pada intinya,
timbulnya krisis ekonomi di Indonesia disebabkan oleh tata kelola perusahaan yang
buruk (bad corporate governance) dan tata kelola pemerintahan yang buruk pula (bad
government governance)sehingga menjadi peluang timbulnya Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN). Fakta- fakta :

a. Mudahnya para spekulan mata uang untuk memainkan pasar valuta asing
karena tidak adanya alat kendali yang efektif.
b. Mudahnya para konglomerat dalam memperoleh dana pinjaman dari perbankan.
Hal ini karena para konglomerat itu juga menjadi pemilik bank bank swasta
ternama.
c. Banyak direksi BUMN termasuk di bank pemerintah juga tidak independen
d. Para komisaris di BUMN seringkali bukan orang yang profesional, melainkan
oknum birokrasi yang memasuki pensiun.
e. Banyak profesi yang terkait seperti akuntan public, perusahaan penilai,
konsultasi keuangan dll
f. Saat krisis moneter BI mengucurkan dana berupa bantuan likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) yang mencapai triliunan rupiah kepada sektor perbankan
dalam upaya membantu agar tidak ambruk akibat penarikan dana nasabah
secara besar besaran.

2. PENGERTIAN GCG

Istilah “corporate governance” pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Committee,


Inggris di tahun 1992 yang menggunakan istilah tersebut dalam laporannya yang
kemudian dikenal sebagai Cadbury Report (dalam Sukirno Agoes,2006). Definisi dari
beberapa sumber yang dapat dijadikan acuan

a. Cadbury Committee of United Kingdom : “A set of rules that define the


relationship between shareholders, managers, creditors, the goverments,

iv
employees and other internal and external stakeholders in respect to their right
and responsibilities, or the system by which companies are directed and
controlled.” [“Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara
pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan,pihak kreditur,
pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan
eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak hak dan kewajiban mereka; atau
dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan
perusahaan.”]
b. Forum for Corporate Governance in Indonesia-FCGI (2006) mengambil definisi
dari Cadbury Committee of United Kingdom, yang kalau diterjemahkan “…
seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham,
pengurus (pengelola) perusahaan,pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta
para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan
dengan hak hak dan kewajiban mereka; atau dengan kata lain suatu sistem
yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.”
c. Sukirno Agoes (2006) mendefinisikan tata kelola perusahaan yang baik sebagai
suatu sistem yang mengatur hubungan peran Dewan Komisaris, peran Direksi,
pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya. Tata kelola perusahaan
yang baik juga disebut sebagai suatu proses yang transparan atas penentuan
tujuan perusahaan, pencapaiannya, dan penilaian kinerjanya.
d. Organization for Economic Cooperation and Development-OECD (dalam Tjager
dkk,2004)mendefinisikan GCG sebagai “the structure through which
shareholders, directors, managers, set of the board objective of the company,
the means of attaining those objective and monitoring performance.” [“Suatu
struktur yang terdiri atas para pemegang saham, direktur, manajer,
seperangkat tujuan yang ingin dicapai perusahaan, dan alat alat yang
digunakan dalam mencapai tujuan dan memantau kinerja.”]
e. Wahyudi Prakarsa (dalam Sukirno Agoes,2006) mendefinisikan GCG sebagai
“… mekanisme administrative yang mengatur hubungan hubungan antara
manajemen perusahaan, komisaris, direksi, pemegang saham, dan kelompok
kepentingan (stakeholders) yang lain. Hubungan ini dimanifestasikan dalam
bentuk berbagai aturan permainan dan sistem insentif sebagai kerangka kerja
(framework)yang diperlukan untuk mencapai tujuan perusahaan dan cara cara
pencapaian tujuan serta pemantauan kinerja yang dihasilkan.”

v
Gambar 5.1 Corporate Governance dalam Perspektif

Tabel 5.1 Konsep GCG

1. Wadah Organisasi (perusahaan, social, pemerintah)

2. Model Suatu system, proses dan seperangkat peraturan, termasuk prinsip,


serta nilai yang melandasi praktik bisnis yang sehat.

3. Tujuan a. Meningkatkan kinerja organisasi

b. Menciptakan nilai tambah bagi semua pemangku kepentingan

c. Mencegah dan mengurangi manipulasi serta kesalahan yang


signifikan dalam pengelolaan organisasi

d. Meningkatkan upaya agar para pemangku kepentingan tidak


dirugikan

4. Mekanisme Mengatur dan mempertegas kembali hubungan, peran, wewenang, dan


tanggung jawab:

a. Dalam arti sempit: antar pemilik/pemegang saham, dewan komisaris,


dan direksi

b. Dalam arti luas: antar seluruh pemangku kepentingan

vi
3. PRINSIP PRINSIP GCG

Konsep GCG memperjelas dan mempertegas mekanisme hubungan antara


para pemangku kepentingan di dalam suatu organisasi. Prinsip-prinsip Organization for
economic Cooperation and Development (OECD) (dalam Sukirono Agoes,2006)
mencakup lima bidang utama, yaitu : hak hak para pemegang saham (stockholder) dan
perlindungannya; peran para karyawan dan pihak pihak yang berkepentingan
(stakeholders) lainnya; pengungkapan (disclosure) yang akurat dan tepat waktu;
transparansi terkait struktur dan operasi perusahaan; serta tanggung jawab dewan
(Dewan Komisaris dan Direksi) terhadap perusahaan, pemegang saham dan pihak
pihak yang berkepentingan lainnya. Ringkasan prinsip prinsip sebagai berikut:

a. Perlakuan yang setara antara pemangku kepentingan (fairness)


b. Transparansi (transparency)
c. Akuntabilitas (accountability)
d. Responsibilitas (responsibility)

Menteri Negara BUMN mengeluarkan keputusan Nomor Kep-117/M-MBU/2002


tentang penerapan GCG (Tjager dkk,2003) terdapat lima prinsip menurut keputusan
ini, yaitu:

a. Kewajaran (fairness)
b. Transparansi
c. Akuntabilitas
d. Pertanggungjawaban
e. Kemandirian

National Committee on Governance (NCG,2006) mengemukakan lima prinsip


GCG yaitu

a. Transparansi (transparency)
b. Akuntabilitas (accountability)
c. Responsibilitas (responsibility)
d. Independensi (independency)
e. Kesetaraan (fairness)

Penjelasan singkat prinsip prinsip GCG

vii
a. Perlakuan yang setara (fairness) merupakan prinsip agar para pengelola
memperlakukan semua pemangku kepentingan secara adil dan rata, baik
pemangku kepentingan primer (pemasok, pelanggan, karyawan,
pemodal)maupun pemangku kepentingan sekunder (pemerintah, masyarakat
dan lainnya). Hal inilah yang memunculkan konsep stakeholders (seluruh
pemangku kepentingan), bukan hanya kepentingan stakeholders (pemegang
saham saja )
b. Prinsip transparansi (disebut juga prinsip keterbukaan), artinya kewajiban bagi
para pengelola untuk menjalankan prinsip keterbukaan dalam proses
keputusan dan penyampaian informasi. Keterbukaan dalam menyampaikan
informasi juga mengandung arti bahwa informasi yang disampaikan harus
lengkap, benar, dan tepat waktu kepada semua pemangku kepentingan. Tidak
boleh ada hal yang dirahasiakan, disembunyikan, ditutup tutupi, dan ditunda-
tunda pengungkapannya.
c. Prinsip akuntabilitas adalah prinsip dimana para pengelola berkewajiban untuk
membina sistem akuntansi yang efektif untuk menghasilkan laporan keuangan
(financial statements) yang dapat dipercaya. Untuk itu, diperlukan kejelasan
fungsi, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban setiap organ sehingga
pengelolaan berjalan efektif.
d. Prinsip responsibilitas (prinsip tanggung jawab) adalah prinsip dimana para
pengelola wajib memberikan pertanggungjawaban atas semua tindakan dalam
mengelola perusahaan kepada para pemangku kepentingan sebagai wujud
kepercayaan yang diberikan kepadanya. Prinsip tanggungjawab ada sebagai
konsekuensi logis dari kepercayaan dan wewenang yang diberikan oleh para
pemangku kepentingan kepada para pengelola perusahaan. Ada lima dimensi
ekonomi:
1. Dimensi ekonomi, artinya tanggung jawab pengelolaan diwujudkan dalam
bentuk pemberian keuntungan ekonomis bagi para pemangku kepentingan.
2. Dimensi hokum, artinya tanggung jawab pengelolaan diwujudkan dalam
bentuk ketaatan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku, sejauh mana
tindakan manajemen telah sesuai dengan hukum dan peraturan yang
berlaku.
3. Dimensi moral, artinya sejauh mana wujud tanggung jawab tindakan
manajemen tersebut telah dirasakan keadilannya bagi semua pemangku
kepentingan.

viii
4. Dimensi social, artinya sejauh mana manajemen telah menjalankan
corporate social responsibility (CSR) sebagai wujud kepedulian terhadap
kesejahteraan masyarakat dan kelestarian alam dilingkungan perusahaan.
5. Dimensi spiritual, artinya sejauh mana tindakan manajemen telah mampu
mewujudkan aktualisasi diri atau telah dirasakan sebagai bagian dari ibadah
sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya.
e. Kemandirian sebagai tambahan prinsip dalam mengelola BUMN, artinya suatu
keadaan dimana para pengelola dalam mengambil suatu keputusan bersifat
professional, mandiri, bebas dari konflik kepentingan, dan bebas dari
tekanan/pengaruh dari manapun yang bertentangan dengan perundang-
undangan yang berlaku dan prinsip prinsip pengelolaan yang sehat.

Laporan keuangan yang baik adalah laporan keuangan yang menyajikan


kinerja keuangan apa adanya, tidak ada yang disembunyikan, dan disusun
berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Ini berarti bahwa, laporan
keuangan yang disusun harus mengikuti prinsip transparansi. Skandal yang marak
dihadapi oleh dunia usaha terjadi dalam bentuk :

a. Perlakuan tidak adil yang dihadapi oleh satu atau beberapa pemangku
kepentingan. Misal, rekayasa pengajuan pinjaman (credit proposal)yang
dilakukan oleh direksi perusahaan untuk memperoleh kredit bank tentu lebih
menguntungkan kepentingan pemegang saham dan merugikan kepentingan
pemangku kepentingan lainnya dalam hal ini adalah bank.
b. Maraknya rekayasa laporan keuangan dan sering timbulnya insider trading
yang dilakukan oleh para eksekutif puncak baik di Indonesia maupun AS yang
bahan melibatkan beberapa akuntan public ternama, akhirnya, mempertegas
kembali pentingnya penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
c. Munculnya berbagai kejahatan kerah putih (white collar crime) yang sangat
canggih, korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para pemangku bisnis
dan oknum birokrasi pemerintahan sangat merugikan masyarakat dan
perekonomian secara keseluruhan. Timbulnya berbagai kerusakan hutan,
pencemaran udara dan air, pemanasan global, dan sebagainya, semua ini
mencerminkan lemahnya wujud kesadaran dan tanggung jawab dari para
eksekutif puncak dan oknum pejabat pemerintah terkait.

ix
4. MANFAAT GCG

Salah satu akar permasalahan krisis ekonomi di Indonesia dan krisis pasar
modal di AS adalah buruknya kinerja perusahaan-perusahaan besar yang disebabkan
oleh berbagai praktik kecurangan yang dilakukan oleh para eksekutif perusahaan-
perusahaan tersebut. Praktik kecurangan tersebut sangat merugikan para investor
sehingga menimbulkan ketidak percayaan dan para investor melakukan penarikan
modal besar-besaran sehingga menimbulkan tekanan berat pada indeks harga saham
di bursa. Penerapan konsep GCG merupakan salah satu upaya untuk memulihkan
kepercayaan para investor pada institusi terkait pasar modal. Menurut Tjager dkk.
(2003) paling tidak ada lima alasan mengapa penerapan GCG itu bermanfaat, yaitu:

a. Investor institusional lebih menaruh kepercayaan terhadap perusahaan-


perusahaan di Asia yang telah menerapkan GCG.
b. Terdapat indikasi keterkaitan antara terjadinya krisis finansial dan krisis
berkepanjangan di Asia dengan lemahnya tata kelola perusahaan.
c. Internasional pasar-termasuk liberalisasi pasar finansial dan pasar modal-
menuntut perusahaan untuk menerapkan GCG.
d. Sistem GCG dapat menjadi dasar bagi berkembangnya sistem nilai baru yang
lebih sesuai dengan lanskap bisnis yang kini telah banyak berubah.
e. Secara teoritis, praktik GCG dapat meningkatkan nilai perubahan.

Indra Surya dan Ivan Yustiavandana (2007) mengatakan bahwa tujuan dan
manfaat dari penerapan GCG adalah:

a. Memudahkan akses terhadap investasi domestik maupun asing.


b. Mendapatkan biaya modal yang lebih murah.
c. Memberikan keputusan yang lebih baik dalam meningkatkan kinerja ekonomi
perusahaan.
d. Meningkatkan keyakinan dan kepercayaan dari para pemangku kepentingan
terhadap perusahaan.
e. Melindungi direksi dan komisaris dari tuntutan hukum.

Konsep GCG merupakan upaya perbaikan terhadap sistem, proses, dan


seperangkat peraturan dalam pengelolaan suatu organisasi. Namun betapa pun
baiknya suatu sistem dan perangkat hukum yang ada, pada akhirnya yang
menjadi penentu utama adalah kualitas dan tingkat kesadaran moral dan spiritual
dari para pelaku bisnis itu sendiri.

x
5. GCG DAN HUKUM PERSEROAN DI INDONESIA

Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat 1 UU Nomor 40 Tahun 2007, yang


dimaksud dengan perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan
modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal
dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang
diterapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Dalam penjelasan UU Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007, dikatakan


alasan pencabutan UU Nomor 1 Tahun 1995 untuk diganti dengan UU Nomor 40
Tahun 2007 karena adanya perubahan dan perkembangan yang cepat berkaitan
dengan teknologi, ekonomi, harapan masyarakat tentang perlunya peningkatan
pelayanan dan kepastian hukum, kesadaran sosial dan lingkungan, serta tuntutan
pengelola usaha yang sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang
baik.

Ketentuan yang disempurnakan, antara lain:

a. Dimungkinkan mengadakan RUPS dengan memanfaatkan teknologi informasi


yang ada (Pasal 77).
b. kejelasan mengenai tata cara pengajuan dan pemberian pengesahan status
badan hukum dan pengesahan Anggaran Dasar Perseroan (Bab II).
c. Memperjelas dan mempertegas tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan
Komisaris (Bab VII).
d. Kewajiban perseroan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan
lingkungan (Bab V).

Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 tidak mengatur


secara eksplisit tentang GCG. Tetapi Undang-Undang ini mengatur secara garis besar
tentang mekanisme hubungan, peran, wewenang, tugas, prosedur, serta proses
pengambilan keputusan dari organ minimal yang harus ada dalam perseroan, yaitu
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Dewan Komisaris.

Wewenang dari ketiga organ ini diatur dalam Bab 1 pasal 1 sebagai berikut:

Ayat 4 Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), adalah organ perseroan yang
mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan

xi
Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan
anggaran dasar.

Ayat 5 Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab
penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan.

Ayat 6 Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan


pengawasan secara umum dan khusus sesuai dengan anggaran dasar
serta memberi nasehat kepada Direksi.

Dengan demikian, RUPS merupakan organ tertinggi dam memegang


wewenang tertinggi dalam perusahaan yang berbadan hukum PT. Uraian tugas dan
wewenang, hak, dan tanggung jawab masing-masing organ ini selanjutnya dituangkan
dalam Anggaran Dasar Perseroan.

6. ORGAN KHUSUS DALAM PENERAPAN GCG

Meskipun ketentuan mengenai organ perseroan telah diatur dalam Undang-


Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 dan selanjutnya dituangkan
kembali di dalam Anggaran dasar Perseroan, namun dalam praktiknya organ ini belum
mampu menjamin terselenggaranya tata kelola perusahaan yang sehat.

Indra Surya dan Ivan Yustiavananda (2006) menyebutkan paling tidak


diperlukan empat organ tambahan untuk melengkapi penerapan GCG, yaitu:

a) Komisaris Independen
b) Direktur Independen
c) Komite Audit
d) Sekretaris Perusahaan

a. Komisaris dan Direktur Independen


Indra Surya dan Ivan Yustiavandana (2006) mengungkapkan ada dua
pengertian independen terkait dengan konsep komisaris dan direktur independen
tersebut. Pertama, komisaris dan direktur independen merupakan seseorang yang
ditunjuk untuk mewakili pemegang saham independen (pemegang saham
minoritas). Keputusan penetapan dan pemberhentian anggota komisaris dan
direksi akan selalu berasal dari kepentingan pemegang saham mayoritas. Hal

xii
tersebut menyebabkan anggota direksi dan komisaris tersebut tentunya akan
selalu berpihak kepada kepentingan pemegang saham mayoritas. Oleh karena itu,
bila anggota Dewan Direksi dan Dewan Komisaris lebih dari satu, maka
setidaknya ada satu orang yang mewakili kepentingan pemegang saham
minoritas.
Kedua, komisaris dan direktur independen adalah pihak yang ditunjuk tidak
dalam kapasitas mewakili pihak mana pun dan semata-mata ditunjuk berdasarkan
latar belakang pengetahuan, pengalaman, dan keahlian profesional yang
dimilikinya untuk sepenuhnya menjalankan tugas demi kepentingan perusahaan.
Selain kedua pengertian tersebut, sebenarnya masih terdapat pengertian
ketiga, yaitu independent in fact dan independent in appearance. Independent in
fact menekankan sikap mental dalam mengambil keputusan dan tindakan yang
semata mata didasarkan atas pertimbangan profesionalisme dari dalam diri yang
bersangkutan tanpa campur tangan, pengaruh, atau tekanan dari pihak luar.
Sedangkan independent in appearance dilihat dari sudut pandang pihak luar yang
mengharapkan calon yang bersangkutan secara fisik tidak mempunyai hubungan
darah dengan perusahaan dan dengan para pemangku kepentingan lainnya yang
dapat menimbulkan keraguan bagi pihak luar tentang kenetralan yang
bersangkutan.

b. Komite Audit
Munculnya Komite Audit disebabkan oleh kecenderungan makin
meningkatnya berbagai skandal penyelewengan dan kelalaian yang dilakukan oleh
para direktur dan komisaris perusahaan besar yang menandakan kurang
memadainya fungsi pengawasan.
Menurut Hasnati (dalam Indra Surya dan Ivan Yustiavandana, 2006),
tugas, tanggung jawab, dan wewenang Komite Audit adalah membantu Dewan
Komisaris, antara lain:
a) Mendorong terbentuknya struktur pengendalian intern yang memadai (prinsip
tanggung jawab).
b) Meningkatkan kualitas keterbukaan dan laporan keuangan (prinsip
transparansi).
c) Mengkaji ruang lingkup dan ketepatan audit eksternal, kewajaran biaya audit
eksternal, serta kemandirian dan objektivitas audit eksternal (prinsip
akuntabilitas).

xiii
Mempersiapkan surat uraian tugas dan tanggung jawab komite audit selama tahun
buku yang sedang diperiksa eksternal audit (prinsip tanggung jawab).

c. Sekretaris Perusahaan (Corporate Secretary)

Tugas, tanggung jawab, dan kedudukan pejabat sekretaris perusahaan


(corporate secretary) sebagai bagian dari pelaksanaan GCG berbeda sekali
dengan tugas, kedudukan, dan tanggung jawab seorang sekretaris eksekutif yang
selama ini sudah sangat dikenal. Seorang sekretaris eksekutif hanya bertanggung
jawab kepada pejabat eksekutif yang bersangkutan, karena hanya menjalankan
tugas-tugas yang diperintahkan oleh pejabat eksekutif yang bersangkutan.

Sedangkan jabatan sekretaris perusahaan menempati posisi yang sangat


tinggi dan strategis karena orang dalam jabatan ini befungsi sebagai jabatan
penghubung (liason officer) atau semacam public relations/investor relations
antara perusahaan dengan pihak luar perusahaan, khususnya bagi perusahaan-
perusahaan besar yang telah mendaftarkan sahamnya di bursa. Tugas utama
sekretaris perusahaan antara lain menyimpan dokumen perusahaan, Daftar
Pemegang Saham, risalah dapat direksi dan RUPS, serta menyimpan dan
menyediakan informasi penting lainnya bagi kepentingan seluruh pemangku
kepentingan. Namun tugas sekretaris perusahaan tidak terbatas pada tugas-tugas
tersebut saja.

Aturan yang berkaitan dengan sekretaris perusahaan ini dapat dilihat antara
lain pada:

1) Keputusan Ketua Bapepam Nomor 63 Tahun 1996 tentang Pembentukan


Sekretaris Perusahaan bagi Perusahaan Publik
2) Keputusan Direksi BEJ Nomor 339 Tahun 2001 tentang Sekretaris
Perusahaan.
7. GCG DALAM BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN)

Pada awalnya, tujuan dibentuknya BUMN adalah merupakan penjabaran dan


implementasi Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Namun, BUMN yang didirikan
oleh pemerintah telah merambah ke segala sektor dan jenis usaha, termasuk ke
sektor-sektor yang sudah biasa dilakukan oleh sektor swasta. Akhirnya, tujuan utama

xiv
BUMN sama dengan perusahaan swasta, yaitu untuk memperoleh keuntungan.
Berdasarkan peraturan yang ada, dapat dibedakan tiga jenis bentuk hukum BUMN,
yaitu: Persero, Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Jawatan (Perjan).

Menurut Tjager dkk. (2003), sampai dengan tahun 2002 masih ada BUMN
sebanyak 161 perusahaan yang tersebar di sekitar 37 sektor/bidang usaha. Bidang
usaha BUMN ini sangat menyebar mulai dari komoditas-komoditas yang dianggap
vital. Namun, persoalan pokok yang dihadapi oleh BUMN secara keseluruhan adalah
rendahnya keuntungan yang diperoleh dibandingkan dengan total hartanya. Tjager
dkk. (2003) juga mengungkapkan bahwa rendahnya kinerja BUMN ini ada kaitannya
dengan belum efektifnya penerapan tata kelola perusahaan yang baik di BUMN
tersebut.

Menyadari masih rendahnya kinerja BUMN serta mengingat modal yang telah
disetor dan harta yang telah tertanam pada BUMN sangat besar, maka pemerintah
melalui Kementerian Negara BUMN mewajibkan semua BUMN menerapkan tata kelola
perusahaan yang sehat (good corporate governance). Sebagai acuan pelaksanaan,
Menteri Negara BUMN mengeluarkan Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep-23/M-
PM.PBUMN/2000 Tanggal 31 Mei 2000 tentang Pengembangan Praktik Good
Corporate Covernance pada BUMN. Kemudian pedoman praktik GCG ini
disempurnakan melalui Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor
Kep-117/M-MBU/2002 Tanggal 1 Agustus 2002.

Tujuan GCG menurut Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor Kep-117/M-


MBU/2002 Pasal 4, yaitu:

a) Memaksimalkan nilai BUMN dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan,


akuntabilitas, dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan adil agar perusahaan
memiliki daya saing yang kuat, baik secara nasional maupun internasional.
b) Mendorong pengelolaan BUMN secara profesional, transparan, dan efisien,
serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian organ.
c) Mendorong agar organ dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan
dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan yang berlaku, serta kesadaran akan adanya tanggung jawab sosial
BUMN terhadap para pemangku kepentingan maupun kelestarian lingkungan di
sekitar BUMN.
d) Meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional.

xv
e) Menyukseskan program privatisasi.

Prinsip-prinsip GCG diatur dalam Pasal 3, yaitu:

a) Transparansi, yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan


keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan
relevan mengenai perusahaan.
b) Kemandirian, yaitu suatu keadilan di mana perusahaan dikelola secara
profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak
manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.
c) Akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban
organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.
d) Pertanggungjawaban, yaitu kesesuaian dalam pengelolaan perusahaan
terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip
perusahaan yang sehat.
e) Kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak
para pemangku kepentingan yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

8. GCG DAN PENGAWASAN PASAR MODAL DI INDONESIA

Secara formal, pasar modal dapat didefinisikan sebagai pasar di mana


berbagai instrumen keuangan (sekuritas) jangka panjang bisa diperjualbelikan, baik
dalam bentuk utang maupun modal sendiri, baik yang diterbitkan pemerintah, public
authorities, maupun perusahaan swasta (Suad Husnan, 1996). Pasar modal (capital
market) lebih sempit dari pasar keuangan (financial market) karena dalam pasar modal
hanya memperjualbelikan instrumen keuangan (sekuritas) jangka panjang (obligasi,
saham, dan instrumen derivatif), sedangkan pasar keuangan mencakup instrumen
jangka pendek dan jangka panjang.

Keberadaan pasar modal ditentukan oleh lembaga-lembaga dan unsur-unsur


penunjang pasar modal, antara lain: a) Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan (Bapepam LK), b) Bursa Efek, c) Lembaga Kliring, d) Emiten, e)
Underwriter, f) Investor/calon investor, g) Akuntan publik, h) Notaris, i) Konsultan
hukum, j) Konsultan keuangan.

xvi
Fungsi dan peran Bapepam LK dalam aktivitas pasar modal suatu negara
sangat strategis karena lembaga inilah yang diberi wewenang oleh pemerintah untuk
mengawasi semua lembaga terkait dan membuat berbagai peraturan yang harus
dipatuhi oleh semua lembaga terkait agar kegiatan pasar modal di bursa dapat berjalan
secara adil, efektif, dan efisien. Kegiatan pasar modal disebut efektif bila para investor
dan calon investor tertarik untuk melakukan transaksi di bursa. Kegiatan pasar modal
disebut efisien bila semua lembaga terkait termasuk investor merasakan bahwa
penyelenggaraan kegiatan di bursa tersebut dapat terselenggara dengan cepat tanpa
dibebani biaya yang berlebihan. Kegiatan pasar modal dianggap adil bila semua pihak
terkait, termasuk para calon investor tidak merasa dirugikan oleh kegiatan di bursa
tersebut.

9. GCG PERBANKAN DI INDONESIA

Aktivitas bisnis dan sistem perekonomian yang kuat harus didukung oleh sistem
perbankan yang sehat dan kuat. Tata kelola perbankan di Indonesia masih masih
sangat lemah. Menyadari hal ini Bank Indonesia sebagai institusi tertinggi yang
berfungsi melakukan pengawasan terhadap kegiatan dunia perbankan di Indonesia,
dalam upayanya menata kembali manajemen dan kegiatan perbankan di Indonesia
telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 Tanggal 30
Januari 2006 tentang Implementasi GCG oleh Bank-bank Komersial. Secara garis
besar, peraturan ini mengatur tentang:

a) Prosedur pengelolaan melalui penerapan prinsip transparasi, akuntabilitas,


tanggung jawab, independensi, dan kesetaraan (Pasal 1 ayat 6).
b) Tujuan implementasi GCG (Pasal 2).
c) Jumlah, komposisi, kriteria, dan independensi Dewan Komisaris (Bab II Pasal
4-18).
d) Jumlah, komposisi, kriteria, dan independensi Dewan Direksi (Bab III Pasal 19-
52).
e) Komite (Bab IV, Pasal 38-48).
f) Ketaatan, Fungsi Auditor Eksternal dan Internal (Bab V Pasal 49-52).
g) Implementasi Manajemen Risiko (Bab VI Pasal 53).
h) Ketentuan Dana (Bab VII Pasal 54-55).
i) Rencana Strategis Bank (Bab VIII Pasal 56).

xvii
j) Aspek Transparansi Kondisi Bank (Bab IX Pasal 57-58).
k) Konflik Kepentingan dan Pelaporan Internal (Bab X Pasal 59-60).
l) Laporan dan Asesmen Implementasi GCG (Bab XI Pasal 61-66).
m) Implementasi GCG di Cabang Luar Negeri (Bab XII Pasal 67-68).
n) Sanksi-sanksi (Bab XIII Pasal 69-75).
o) Ketentuan Peralihan (Bab XIV Pasal 76-77).
p) Ketentuan Penutup (Bab XV Pasal 78).

KESIMPULAN

Good corporate governance (GCG) merupakan sistem yang mengatur dan


mengendalikan perusahaan guna menciptakan nilai tambah (value added) untuk
semua stakeholder. Konsep ini menekankan pada dua hal yakni, pertama, pentingnya
hak pemegang saham untuk memperolehinformasi dengan benar dan tepat pada
waktunya dan, kedua, kewajiban perusahaan untukmelakukan pengungkapan
(disclosure) secara akurat, tepat waktu, transparan terhadap semuainformasi kinerja
perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder.

xviii
Terdapat empat komponen utama yang diperlukan dalam konsep Good
CorporateGovernance, yaitu fairness, transparency, accountability, dan responsibility.
Keempat komponentersebut penting karena penerapan prinsip Good Corporate
Governance secara konsisten terbuktidapat meningkatkan kualitas laporan keuangan
dan juga dapat menjadi penghambat aktivitasrekayasa kinerja yang mengakibatkan
laporan keuangan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan.dari berbagai
hasil penelitian lembaga independen menunjukkan bahwa pelaksanan Corporate
Governance di Indonesia masih sangat rendah, hal ini terutama disebabkan oleh
kenyataan bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia belum sepenuhnya memiliki
Corporate Culture sebagai inti dari Corporate Governance. Pemahaman tersebut
membuka wawasan bahwa korporat kita belum dikelola secara benar, atau dengan
kata lain, korporat kita belum menjalankan governane.

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, S. dan I. C. Ardana. 2011. Etika Bisnis dan Profesi. Edisi Revisi. Jakarta.
Salemba Empat.

StuDocu. (2016). Ringkasan Pengertian Good Corporate Governance.


https://www.studocu.com/id/document/universitas-tanjungpura/accounting-
theory/ringkasan-pengertian-good-corporate-governance/22915502 [Accessed
22 Sep. 2022].

xix
xx

Anda mungkin juga menyukai