Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH CORPORATE GOVERNANCE

“OVERVIEW CONCEPT OF CORPORATE GOVERNANCE AND

CORPORATE GOVERNANCE PRACTICE IN INDONESIA”

ANGGOTA KELOMPOK:

1. SAKINA SUMBARI (1810246936)

2. TIARA OKTAVIA (1810246911)

3. YOLLA MARESTI (1810246909)

PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS RIAU

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berbagai isu yang berhubungan dengan governance (khususnya CG) menjadi


populer di Indonesia di penghujung abad ke-20, tepatnya menyusul krisis ekonomi pada
pertengahan tahun 1997. Isu governance secara global kembali menguat setelah runtuhnya
beberapa raksasa bisnis dunia seperti Enron dan Worldcom di AS, serta tragedi jatuhnya
HIH dan One-Tel di Australia pada permulaan abad ke-21. Dalam perkembangan lebih
lanjut isu governance semakin populer setelah lembaga keuangan multilateral, seperi
World Bank dan Asian Development Bank (ADB) mengungkap bahwa krisis keuangan
yang melanda berbagai negara di Asia, antara lain disebabkan oleh buruknya pelaksanaan
CG. Dalam hal ini, diklaim bahwa Indonesia merupakan negara yang paling menderita dan
paling lambat bangkit dari dampak yang disebabkan oleh krisis tersebut (ADB, 2000).

Tata kelola perusahaan telah berkembang sebagai isu sentral dalam regulator dan
perusahaan publik setelah krisis keuangan global 2007-2009. Tata kelola perusahaan
didefinisikan dari perspektif hukum sebagai langkah-langkah dalam mengaktifkan dan
memastikan kepatuhan terkait hukum, peraturan, regulasi yang berlaku, dan standar. Dari
perspektif teori agensi, tata kelola perusahaan didefinisikan sebagai proses menyelaraskan
kepentingan manajemen dengan kepentingan pemegang saham dalam menciptakan nilai
pemegang saham. Dengan demikian, kinerja tata kelola perusahaan harus mencerminkan
seberapa efektif perusahaan mencapai tujuan dari tata kelola tersebut untuk menciptakan
nilai bersama bagi semua pemangku kepentingan, sambil memastikan kepatuhan dengan
semua hukum, peraturan, regulasi yang berlaku, standar, dan praktik terbaik. Semua
peserta tata kelola perusahaan—dari dewan direksi ke eksekutif, regulator, internal dan
eksternal auditor, penasihat hukum dan penasihat keuangan, dan investor — berperan
penting peran dalam efektivitas tata kelola perusahaan. Tata kelola perusahaan yang baik
berkomitmen untuk transparansi, yang harus mengarah pada peningkatan arus masuk
modal dari investor domestik dan asing.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep Corporate Governance ?
2. Bagaimana penerapan Corporate Governance di Indonesia ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep Corporate Governance
2. Untuk mengetahui penerapan Corporate Governance di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Corporate Governance

2.1.1 Pengertian Corporate Governance

Istilah Corporate Governane pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury


Committee tahun 1992 dalam laporannya yang dikenal sebagai Cadbury Report (Tjager
dkk., 2003). Definisi Good Corporate Governance dari Cadbury Committee yang berdasar
pada teori stakeholder adalah sebagai berikut : “A set of rules that define the relationship
between shareholders, managers, creditors, the government, employees and internal and
external stakeholders in respect to their rights and responsibilities”. (Seperangkat aturan
yang mengatur hubungan antara para pemegang saham, manajer, kreditur, pemerintah,
karyawan, dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya baik internal maupun eksternal
lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka).

Definisi corporate governance oleh World Bank (Tunggal dan Widjaja, 2002) yaitu
kumpulan hukum, peraturan dan kaidah yang wajib dipenuhi, yang dapat mendorong
kinerja perusahaan bekerja secara efisien, menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang
yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara
keseluruhan.

Corporate governance merupakan seperangkat peraturan yang menetapkan


hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta
para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan
kewajiban mereka, atau sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.

Pengertian CG mengacu pada beragamnya lingkungan atau CG context di berbagai


negara (Kim dan Hoskisson, 1997). Hal ini terutama disebabkan oleh perbedaan budaya,
aspek legal serta perangkat instusional lainnya yang spesifik, sehingga merupakan
paradigma yang berlawanan dengan pendekatan “universalis’ yang percaya pada konsepsi
CG dan dapat diterapkan lintas negara. Paradigma yang berbeda dengan pandangan
universalis ini diadopsi oleh OECD (1998,1999) dengan argumentasi bahwa konsepsi CG
sebagai work in progress dengan konsekuensi there should be “no-one-siza-fits-all”
approach to corporate governance practice. Uraian tersebut mempertegas posisi CG
sebagai konsepsi yang dinamis sesuai dengan perubahan lingkungan korporasi serta
terdapatnya perbedaan praktik CG sesuai dengan lingkungan (konteks) spesifik tempat
perusahaan tersebut berada.

2.1.2 Asas Corporate Governance

Asas corporate governance berdasarkan Pedoman Umum Good Corporate


Governance yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance ada lima,
yaitu sebagai berikut ;

1. Transparansi
Prinsip Dasar
Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus
menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses
dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif
untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan
perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan
oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.

Pedoman Pokok Pelaksanaan


a. Perusahaan harus menyediakan informasi secara tepat waktu, memadai,
jelas, akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh pemangku
kepentingan sesuasi dengan haknya.
b. Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi tidak terbatas pada visi,
misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan, koondisi keuangan, susunan,
dan kompensasi pengurus, pemegang saham pengendali, kepemilikan
saham oleh anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris beserta anggota
keluarganya dalam perusahaan dan perusahaan lainnya, sistem manajemen
risiko, sistem pengawasan, dan pengendalian internal, sistem dan
pelaksanaan GCG serta tingkat kepatuhannya, dan kejadian penting yang
dapat mempengaruhi kondisi perusahaan.
c. Prinsip keterbukaan yang dianut oleh perusahaan tidak mengurangi
kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan perusahaan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, rahasia jabatan, dan hak-hak
pribadi.
d. Kebijakan perusahaan harus tertulis dan secara proporsional
dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan.

2. Akuntabilitas
Prinsip Dasar
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan
dan
wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan
kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang
saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang
diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.

Pedoman Pokok Pelaksanaan


a. Perusahaan harus menetapkan rincian tugas dan tanggung jawab masing-
masing organ perusahaan dan semua karyawan secara jelas dan selaras
dengan visi, misi, nilai-nilai perusahaan (corporate values), dan strategi
perusahaan.
b. Perusahaan harus meyakini bahwa semua organ perusahaan dan semua
karyawan mempunyai kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung jawab,
dan perannya dalam pelaksanaan GCG.
c. Perusahaan harus memastikan adanya sistem pengendalian internal yang
efektif dalam pengelolaan perusahaan.
d. Perusahaan harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran perusahaan
yang konsisten dengan sasaran usaha perusahaan, serta memiliki sistem
penghargaan dan sanksi (reward and punishment system).
e. Dalam melaksanakan tugas dan tanggunga jawabnya, setiap organ
perusahaan dan semua karyawan harus berpegang dapa etika bisnis dan
pedoman perilaku (code of conduct) yang telah disepakati.

3. Responsibilitas
Prinsip Dasar
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan
tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara
kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai
good corporate citizen.

Pedoman Pokok Pelaksanaan


a. Organ perusaan harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan memastikan
kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan
peraturan perusahaan (by-laws).
b. Perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara lain
peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar
perusahaan dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai.

4. Independensi
Prinsip Dasar
Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara
independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi
dan
tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.

Pedoman Pokok Pelaksanaan


a. Masing-masing organ perusahaan harus menghindari terjadinya dominasi
oleh
pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari
benturan kepentingan (conflict of interest) dan dari segala pengaruh atau
tekanan, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara obyektif.
b. Masing-masing organ perusahaan harus melaksanakan fungsi dan tugasnya
sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, tidak
saling mendominasi dan atau melempar tanggung jawab antara satu dengan
yang lain.

5. Kewajaran dan Kesetaraan


Prinsip Dasar
Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan
kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan
asas kewajaran dan kesetaraan.
Pedoman Pokok Pelaksanaan
a. Perusahaan harus memberikan kesempatan kepada pemangku kepentingan
untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan
perusahaan serta membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip
transparansi dalam lingkup kedudukan masing-masing.
b. Perusahaan harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada
pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang
diberikan
kepada perusahaan.
c. Perusahaan harus memberikan kesempatan yang sama dalam penerimaan
karyawan, berkarir dan melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa
membedakan suku, agama, ras, golongan, gender, dan kondisi fisik.

2.1.3 Tujuan dan Manfaat Corporate Governance

Menurut Sutojo dan Aldridge (2005 : 5) good corporate governance mempunyai


lima macam tujuan utama, yaitu sebagai berikut :

1. Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham.


2. Melindungi hak dan kepentingan para anggota stakeholders non pemegang saham.
3. Meningkatkan nilai perusahaan dan para pemegang saham
4. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja dewan pengurus atau Board of
Directors dan manajemen perusahaan.
5. Meningkatkan mutu hubungan Board of Directors dengan manajemen senior
perusahaan.

Sedangkan menurut Daniri (2006 : 15-16), manfaat penerapan good corporate


governance adalah sebagai berikut :
1. Peningkatan kinerja perusahaan melalui supervisi atau pemantauan kinerja
manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen terhadap pemangku kepentingan
lainnya, berdasarkan kerangka aturan dan peraturan yang berlaku.
2. Memberikan kerangka acuan yang memungkinkan pengawasan berjalan efektif
sehingga tercipta mekanisme checks and balances di perusahaan.
3. Mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung pemegang
saham sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen.

2.2 Penerapan Corporate Governance di Indonesia

2.2.1 Sejarah Corporate Governance di Indonesia


Good Corporate Governance di Indonesia mulai ramai dikenal pada tahun 1997,
saat krisis ekonomi menerpa Indonesia. Terdapat banyak akibat buruk dari krisis tersebut,
salah satunya ialah banyaknya perusahaan yang berjatuhan karena tidak mampu bertahan,
Corporate governance yang buruk disinyalir sebagai salah satu sebab terjadinya krisis
ekonomi politik Indonesia yang dimulai tahun 1997 yang efeknya masih terasa hingga saat
ini. Indonesia mulai menerapkan prinsip GCG sejak menandatangani letter of intent (LOI)
dengan IMF, yang salah satu bagian pentingnya adalah pencatuman jadwal perbaikan
pengelolaan perusahaan-perusahaan di Indonesia (YPPMI & SC, 2002). Sejalan dengan hal
tersebut, Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) berpendapat
bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk menerapkan
standar GCG yang telah diterapkan di tingkat internasional.
Dalam penerapan Good Corporate Governance (GCG), tidak terlepas dari budaya
organisasi yang berlaku di dalam organisasi itu sendiri. Budaya menurut Schein (2010:5)
adalah fenomena dinamis dalam kondisi “disini dan saat ini” dan sebuah latar belakang
sturktur paksaan yang berpengaruh pada kelompok melalui beberapa cara. Budaya sendiri
secara terus-menerus diterapkan dan tercipta oleh interaksi yang dilakukan kelompok
dengan terbentuk oleh perilaku kelompok itu sendiri. Greertz (dalam Driskill & Brendton
2010: 8) berpendapat pada budaya organisasi terdiri dari jaringan yang signifikan yang terus
dipintal oleh organisasi itu sendiri, serta dibangun melalui adanya interaksi.
Setiap organisasi memiliki cara-cara yang unik dari apa yang mereka lakukan. Hal
ini sama halnya dengan budaya nasional maupun masyarakat, yang memiliki hal-hal yang
unik,seperti Bahasa, benda-benda peninggalan sejarah, nilai-nilai, perayaan-perayaan,
pahlawan-pahlawan, sejarah dan norma-norma, dan setiap organisasi juga memiliki hal unik
yang berbeda-beda pula. Indonesia sebagai negara yang terdiri dari beragam jenis suku, ras,
budaya dan etnis yang beragam telah terbentuk menjadi satu dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Segala kebudayaan nasional, lokal maupun asing sekalipun
telah ada dan terbentuk bahkan sejak Indonesia belum merdeka pada tahun 1945. Budaya
yang telah terbentuk itu kemudian terefleksikan pada budaya-budaya organisasi yang ada di
Indonesia yang bertujuan untuk mencapai kesinambungan dan ketahanan dalam jangka
panjang, meningkatkan kinerja dan pada akhirnya meningkatkan nilai tambah bagi
organisasi untuk kepentingan pihak-pihak di dalam organisasi itu sendiri.
Dengan dasar itu pula, maka dalam penerapan Good Corporate Governance (GCG)
yang sesuai dengan budaya Indonesia harus pula mencakup 5 pilar dasar dari GCG yang
ditetapkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG).

2.2.2 Konteks Struktur Governance


Terdapat perbedaan mengenai konteks CG di antara berbagai negara di dunia dan
hal tersebut dapat berubah sewaktu-waktu. Dengan demikian, tidak ada sistem CG yang
spesifik yang paling suitable untuk setiap perusahaan dan semua negara. Secara umum,
setiap sistem CG dapat diklasifikasikan menjadi sistem yang didominasi pasar atau
dominasi bank. Sistem governance yang berorientasi pasar umunya mengacu pada negara-
negara seperti Amerika dan Inggris, dimana pasar modal mempunyai peranan yang penting
dalam perekonomiannya. Diberbagai negara ini , pasar untuk corporate control mechanism
terletak pada jantung sistem pengendalian, yang dikenal dengan outsider control system.
Di berbagai negara kontinental Eropa dan Jepang telah mengelompokkan dirinya
sebagai negara yang mengaplikasikan sistem governance yang berorientasi bank. Di
negara-negara ini, peranan yang dimainkan oleh pasar untuk pengendalian corporate
hampir tidak signifikan. Istilah insider dominated control sering digunakan untuk
mendeskripsikan sistem ini, yang dicirikan dengan struktur kepemilikan terkonsentarsi dan
relatif stabil pada beberapa pemegang saham. Menurut Kuada dan Gullestrup (1998) aspek
budaya dalam masyarakat tempat governance tumbuh dan berkembang juga merupakan
penyebab dari perbedaan kedua jenis sistem ini.
Pola perkembangan struktur perusahaan di Indonesia dapat dijelaskan melalui teori
path dependence. Teori ini memberikan argumentasi bahwa struktur corporate dalam
suatu perekonomian bergantung (dependence) pada struktur bagaimana ekonomi suatu
negara dimulai. Selanjutnya, berbagai peraturan perusahaan akan bergantung pada dirinya
sendiri berdasarkan struktur tersebut.
Asian Development Bank (2000) menyatakan bahwa kelemahan corporate
governance di negara Asia Timur muncul karena adanya struktur tingkat kepemilikan yang
tinggi, intervensi pemerintah yang excessive, pasar modal yang tidak berkembang dan
masih lemahnya penegakkan hukum yang berlaku terhadap perlindungan investor. Dalam
kasus Indonesia, komposisi mata uang dan struktur dari utang luar negeri perusahaan telah
menyebabkan negara ini jatuh ke dalam krisis (Husnan, 2001). Hal ini ditambahkan lagi
dengan lemahnya struktur peraturan dasar untuk sektor korporasi dan masih kurangnya
peraturan dan kepatuhan akan hukum merupakan masalah utama di negara ini.

2.2.3 Penyebab GCG belum Berjalan secara Optimal di Indonesia


Perusahaan-perusahaan di Indonesia belum mampu melaksanakan corporate
governance dengan sungguh-sungguh sehingga perusahaan mampu mewujudkan prinsip-
prinsip good corporate governance dengan baik. Hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah
kendala yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan tersebut pada saat perusahaan berupaya
melaksanakan corporate governance demi terwujudnya prinsip-prinsip good corporate
governance dengan baik. Kendala ini dapat dibagi tiga, yaitu kendala internal, kendala
eksternal, dan kendala yang berasal dari struktur kepemilikan.
Kendala internal meliputi kurangnya komitmen dari pimpinan dan karyawan
perusahaan, rendahnya tingkat pemahaman dari pimpinan dan karyawan perusahaan
tentang prinsip-prinsip good corporate governance, kurangnya panutan atau teladan yang
diberikan oleh pimpinan, belum adanya budaya perusahaan yang mendukung terwujudnya
prinsip-prinsip good corporate governance, serta belum efektifnya sistem pengendalian
internal (Djatmiko, 2004). Kendala eksternal dalam pelaksanaan corporate governance
terkait dengan perangkat hukum, aturan dan penegakan hukum (law-enforcement).
Indonesia tidak kekurangan produk hukum. Secara implisit ketentuan-ketentuan mengenai
GCG telah ada tersebar dalam UUPT, Undang-undang dan Peraturan Perbankan, Undang-
undang Pasar Modal dan lain-lain. Namun penegakannya oleh pemegang otoritas, seperti
Bank Indonesia, Bapepam, BPPN, Kementerian Keuangan, BUMN, bahkan pengadilan
sangat lemah. Oleh karena itu diperlukan test-case atau kasus preseden untuk
membiasakan proses, baik yang yudisial maupun quasi-yudisial dalam menyelesaikan
praktik-praktik pelanggaran hukum perusahaan atau GCG.
Kendala yang ketiga adalah kendala yang berasal dari struktur kepemilikan.
Berdasarkan persentasi kepemilikan dalam saham, kepemilikan terhadap perusahaan dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu kepemilikan yang terkonsentrasi dan kepemilikan yang
menyebar. Kepemilikan yang terkonsentrasi terjadi pada saat suatu perusahaan dimiliki
secara dominan oleh seseorang atau sekelompok orang saja (40,00% atau lebih).
Kepemilikan yang menyebar terjadi pada saat suatu perusahaan dimiliki oleh pemegang
saham yang banyak dengan jumlah saham yang kecil-kecil (satu pemegang saham hanya
memiliki saham sebesar 5% atau kurang). Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan
oleh struktur kepemilikan adalah perusahaan tidak dapat mewujudkan prinsip keadilan
dengan baik karena pemegang saham yang terkonsentrasi pada seseorang atau sekelompok
orang dapat menggunakan sumberdaya perusahaan secara dominan sehingga dapat
mengurangi nilai perusahaan.
Sama seperti halnya kendala eksternal, dampak negatif yang ditimbulkan dari
struktur kepemilikan dapat diatasi jika perusahaan memiliki sistem pengendalian internal
yang efektif, seperti mempunyai sistem yang menjamin pendistribusian hak-hak dan
tanggung jawab secara adil di antara berbagai partisipan dalam organisasi (Dewan
Komisaris, Dewan Direksi, manajer, pemegang saham, serta pemangku kepentingan
lainnya), dan dampak negatif ini juga akan hilang jika dalam stuktur organisasinya,
perusahaan mempunyai Komisaris Independen dengan jumlah tertentu dan memenuhi
kualifikasi yang ditentukan (syarat-syarat yang ditentukan untuk menjadi Komisaris
Independen). Keberadaan Komisaris Independen ini diharapkan mampu mendorong dan
menciptakan iklim yang lebih independen, objektif, dan menempatkan keadilan sebagai
prinsip utama yang memperhatikan kepentingan pemegang saham minoritas dan pemangku
kepentingan lainnya. Peran Komisaris Independen ini diharapkan mampu mendorong
diterapkannya prinsip dan praktik corporate governance pada perusahaan-perusahaan
publik di Indonesia, termasuk BUMN. Upaya perusahaan untuk menghadirkan sistem
pengendalian internal yang efektif tersebut terkait dengan upaya perusahaan untuk
mengatasi kendala internalnya.

2.2.4 Isu Praktik Corporate Governance di Indonesia


Berdasarkan berita yang dihimpun oleh www.wartaekonomi.co.id , penerapan
praktik Good Corporate Governance (GCG) di Indonesia relatif semakin membaik.
Hal ini dapat dilihat dari peringkat ASEAN Corporate Governance Scorecard (ACGS)
Indonesia pada 2017 mengalami peningkatan menjadi 70,59 dari tahun 2015 yang
sebesar 62,88. ACGS merupakan tolak ukur untuk menilai praktik corporate
governance para emiten di negara Asia Tenggara dan merupakan inisitatif dari
ASEAN Capital Market Forum.

Peningkatan ini didorong oleh lima emiten yang mendapat skor tertinggi dari
penilaian terhadap 100 emiten berkapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia
(BEI). Kelima emiten yang mendapat skor tertinggi ACGS tertinggi adalah PT Bank
Mandiri Tbk dengan skor 109,61. Kemudian, PT Bank CIMB Niaga Tbk (109,38), PT
Bank Tabungan Negara Tbk (105,63), PT Aneka Tambang Tbk (104,27), dan PT Jasa
Marga Tbk (100,29). Dari lima PLC yang memiliki skor 100 ke atas, empat di
antaranya memiliki kapitalisasi pasar di bawah Rp50 triliun.

Hasil penilaian menunjukkan bahwa tingkat praktik tata kelola yang baik dan
pengungkapan lebih dipengaruhi oleh sikap dari manajemen puncak perusahaan
daripada ukuran perusahaan. Selain itu, ketersediaan peraturan yang lebih ketat juga
berperan signifikan dalam penerapan praktik tata kelola yang baik seperti ditunjukkan
oleh pencapaian lebih tinggi skor yang dibukukan emiten perbankan.

Penilaian ASEAN CG Scorecard berdasarkan prinsip yang dikembangkan oleh


Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang mencakup
(1) hak pemegang saham, (2) perlakuan setara antar pemegang saham, (3) peran
pemegang saham, (4) keterbukaan informasi dan transparansi, serta (5) tanggung
jawab dewan direksi/komisaris.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Penerapan tata kelola perusahaan kian menjadi faktor penentu yang strategis bagi
perusahaan agar dapat senantiasa meningkatkan nilai serta memelihara proses
pertumbuhan yang berkelanjutan. Oleh karenanya, setiap perusahaan perlu terus
meningkatkan kerja kerasnya agar dapat mengambil manfaat dari penerapan tata kelola
perusahaan yang baik. Percayalah, kita mampu jika kita memang sungguhsungguh mau
melakukannya. Jika prinsip GCG ini dilaksanakan secara sungguh-sungguh, bisa
dipastikan perusahaan akan memiliki landasan yang kokoh dalam menjalankan bisnisnya.
Secara eksternal, perusahaan akan lebih dipercaya investor, yang berarti nilai pasar
sahamnya akan terus membubung. Mitra kerja pun tak ragu mengembangkan hubungan
bisnis lebih luas lagi. Para pemasok memiliki pegangan yang jelas dan terpercaya serta
yakin akan diperlakukan secara adil sehingga bisa memberikan harga yang terbaik, yang
berarti menciptakan efisiensi bagi perusahaan. Para kreditur pun memiliki kepercayaan
tinggi untuk mengucurkan kreditnya yang mungkin kita perlukan buat perluasan usaha.

Secara internal, suasana kerja juga menjadi lebih kondusif. Karena dengan
menerapkan GCG secara benar dan konsisten, berarti perusahaan sudah menerapkan sistem
pengelolaan perusahaan sesuai dengan pembagian peran masing-masing, di tingkatan
direksi, komisaris, komite-komite, dan lain-lain serta aturan main yang baku berdasarkan
prinsip GCG tadi. Tak kalah pentingnya, terciptanya keseimbangan kekuatan di antara
struktur internal perusahaan (direksi, komisaris, komite audit, dan lain sebagainya).
Sehingga, pengambilan keputusan bisa menjadi lebih dipertanggungjawabkan
(accountable), juga hati-hati dan bijaksana (prudent).

Bukan rahasia lagi, hingga saat ini praktik korupsi, penggelembungan biaya, kolusi
serta nepotisme masih tumbuh subur dan terus dipupuk di banyak perusahaan swasta atau
pemerintah. Penerapan GCG ini sebenarnya merupakan antibiotik yang sangat ampuh
untuk memberantas praktik-praktik yang menciptakan radang yang merongrong
perusahaan tersebut yang pada gilirannya merugikan konsumen karena adanya praktik
biaya ekonomi tinggi. Mengingat manfaatnya itu, para otoritas GCG perlu lebih agresif
lagi mendorong penerapan GCG, terutama di perusahaan publik, lembaga keuangan
nonpublik dan BUMN.

Tidak bisa diingkari, masih banyak penerapan GCG yang sekadar untuk kosmetik
atau mendongkrak citra perusahaan dan tak konsisten untuk jangka panjang. Karena itu,
perlu komitmen yang lebih tinggi lagi terutama dari pimpinan dan pemilik perusahaan.
Begitu pula, survei seperti ini pun selalu mempunyai kelemahan, karena tak bisa sebebas-
bebasnya menguak apa yang tersembunyi di balik tameng rahasia perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA

Daniri, “Manfaat Good Corporate Governance” (Jakarta : Erlangga, 2006)

Daniri, 2008, ”Saatnya Berubah Dengan GCG”, Bisnis Indonesia, Edisi: 30-MAR2008

Djatmiko, H.E. 2004, ”Ada Kemajuan, Banyak Keprihatinan”, SWA, XX, 4.

Imam Sjahputra Tunggal dan Amin Widjaja Tunggal, “Membangun Good Corporate
Governance (GCG)”, cet. I (Jakarta: Harvarindo, 2002)

Lukviarman, Niki.2016. “Corporate Governance”. Era Adicitra Intermedia : Solo

Rezaee, Zabihollah, “Corporate Governance in the Aftermath of the Global Financial


Crisis, Volume IV (United States of America : 2018)

http://www.knkg-indonesia.org/download

https://www.wartaekonomi.co.id/read186845/praktik-tata-kelola-perusahaan-di-indonesia-
membaik.html

Anda mungkin juga menyukai