Banyak isu terkait governance menjadi populer di Indonesia di penghujung abad ke-
20, tepatnya menyusul krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Isu governance secara
global kembali menguat setelah runtuhnya beberapa raksasa bisnis dunia seperti Enron dan
Worldcom di AS, serta tragedi jatuhnya HIH dan One-Tel di Australia pada permulaan abad
ke-21. Dalam perkembangan lebih lanjut isu governance semakin populer setelah lembaga
keuangan multilateral, seperi World Bank dan Asian Development Bank (ADB) mengungkap
bahwa krisis keuangan yang melanda berbagai negara di Asia, antara lain disebabkan oleh
buruknya pelaksanaan CG. Dalam hal ini, diklaim bahwa Indonesia merupakan negara yang
paling menderita dan paling lambat bangkit dari dampak yang disebabkan oleh krisis tersebut
(ADB, 2000).
Definisi corporate governance oleh World Bank (Tunggal dan Widjaja, 2002) yaitu
kumpulan hukum, peraturan dan kaidah yang wajib dipenuhi, yang dapat mendorong kinerja
perusahaan bekerja secara efisien, menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang
berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara
keseluruhan.Corporate governance merupakan seperangkat peraturan yang menetapkan
hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para
pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban
mereka, atau sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.
1. Transparansi
Prinsip Dasar
Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus
menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses
dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif
untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan
perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh
pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.
Pedoman Pokok Pelaksanaan
a. Perusahaan harus menyediakan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas,
akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh pemangku
kepentingan sesuasi dengan haknya.
b. Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi tidak terbatas pada visi,
misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan, koondisi keuangan, susunan, dan
kompensasi pengurus, pemegang saham pengendali, kepemilikan saham oleh
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris beserta anggota keluarganya
dalam perusahaan dan perusahaan lainnya, sistem manajemen risiko, sistem
pengawasan, dan pengendalian internal, sistem dan pelaksanaan GCG serta
tingkat kepatuhannya, dan kejadian penting yang dapat mempengaruhi kondisi
perusahaan.
c. Prinsip keterbukaan yang dianut oleh perusahaan tidak mengurangi kewajiban
untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan perusahaan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi.
d. Kebijakan perusahaan harus tertulis dan secara proporsional dikomunikasikan
kepada pemangku kepentingan.
2. Akuntabilitas
Prinsip Dasar
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan
wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan
kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang
saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang
diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
Pedoman Pokok Pelaksanaan
a. Perusahaan harus menetapkan rincian tugas dan tanggung jawab masing-
masing organ perusahaan dan semua karyawan secara jelas dan selaras dengan
visi, misi, nilai-nilai perusahaan (corporate values), dan strategi perusahaan.
b. Perusahaan harus meyakini bahwa semua organ perusahaan dan semua
karyawan mempunyai kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan
perannya dalam pelaksanaan GCG.
c. Perusahaan harus memastikan adanya sistem pengendalian internal yang
efektif dalam pengelolaan perusahaan.
d. Perusahaan harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran perusahaan
yang konsisten dengan sasaran usaha perusahaan, serta memiliki sistem
penghargaan dan sanksi (reward and punishment system).
e. Dalam melaksanakan tugas dan tanggunga jawabnya, setiap organ perusahaan
dan semua karyawan harus berpegang dapa etika bisnis dan pedoman perilaku
(code of conduct) yang telah disepakati.
3. Responsibilitas
Prinsip Dasar
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan
tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara
kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good
corporate citizen.
Pedoman Pokok Pelaksanaan
a. Organ perusaan harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan memastikan
kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan
peraturan perusahaan (by-laws).
b. Perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara lain
peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar
perusahaan dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai.
4. Independensi
Prinsip Dasar
Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara
independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan
tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
Pedoman Pokok Pelaksanaan
a. Masing-masing organ perusahaan harus menghindari terjadinya dominasi oleh
pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari
benturan kepentingan (conflict of interest) dan dari segala pengaruh atau
tekanan, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara obyektif.
b. Masing-masing organ perusahaan harus melaksanakan fungsi dan tugasnya
sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, tidak saling
mendominasi dan atau melempar tanggung jawab antara satu dengan yang
lain.
5. Kewajaran dan Kesetaraan
Prinsip Dasar
Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan
kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas
kewajaran dan kesetaraan.
Pedoman Pokok Pelaksanaan
a. Perusahaan harus memberikan kesempatan kepada pemangku kepentingan
untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan
perusahaan serta membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip
transparansi dalam lingkup kedudukan masing-masing.
b. Perusahaan harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada
pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan
kepada perusahaan.
c. Perusahaan harus memberikan kesempatan yang sama dalam penerimaan
karyawan, berkarir dan melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa
membedakan suku, agama, ras, golongan, gender, dan kondisi fisik.
c. Tujuan dan Manfaat Corporate Governance
Menurut Sutojo dan Aldridge (2005 : 5) good corporate governance mempunyai lima
macam tujuan utama, yaitu sebagai berikut :
Good Corporate Governance di Indonesia mulai ramai dikenal pada tahun 1997, saat
krisis ekonomi menerpa Indonesia. Terdapat banyak akibat buruk dari krisis tersebut, salah
satunya ialah banyaknya perusahaan yang berjatuhan karena tidak mampu bertahan,
Corporate governance yang buruk disinyalir sebagai salah satu sebab terjadinya krisis
ekonomi politik Indonesia yang dimulai tahun 1997 yang efeknya masih terasa hingga saat
ini. Indonesia mulai menerapkan prinsip GCG sejak menandatangani letter of intent (LOI)
dengan IMF, yang salah satu bagian pentingnya adalah pencatuman jadwal perbaikan
pengelolaan perusahaan-perusahaan di Indonesia (YPPMI & SC, 2002). Sejalan dengan hal
tersebut, Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) berpendapat bahwa
perusahaan-perusahaan di Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk menerapkan standar
GCG yang telah diterapkan di tingkat internasional.
Dalam penerapan Good Corporate Governance (GCG), tidak terlepas dari budaya
organisasi yang berlaku di dalam organisasi itu sendiri. Budaya menurut Schein (2010:5)
adalah fenomena dinamis dalam kondisi “disini dan saat ini” dan sebuah latar belakang
sturktur paksaan yang berpengaruh pada kelompok melalui beberapa cara. Budaya sendiri
secara terus-menerus diterapkan dan tercipta oleh interaksi yang dilakukan kelompok dengan
terbentuk oleh perilaku kelompok itu sendiri. Greertz (dalam Driskill & Brendton 2010: 8)
berpendapat pada budaya organisasi terdiri dari jaringan yang signifikan yang terus dipintal
oleh organisasi itu sendiri, serta dibangun melalui adanya interaksi.
Setiap organisasi memiliki cara-cara yang unik dari apa yang mereka lakukan. Hal ini
sama halnya dengan budaya nasional maupun masyarakat, yang memiliki hal-hal yang
unik,seperti Bahasa, benda-benda peninggalan sejarah, nilai-nilai, perayaan-perayaan,
pahlawan-pahlawan, sejarah dan norma-norma, dan setiap organisasi juga memiliki hal unik
yang berbeda-beda pula. Indonesia sebagai negara yang terdiri dari beragam jenis suku, ras,
budaya dan etnis yang beragam telah terbentuk menjadi satu dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Segala kebudayaan nasional, lokal maupun asing sekalipun telah ada dan terbentuk
bahkan sejak Indonesia belum merdeka pada tahun 1945. Budaya yang telah terbentuk itu
kemudian terefleksikan pada budaya-budaya organisasi yang ada di Indonesia yang bertujuan
untuk mencapai kesinambungan dan ketahanan dalam jangka panjang, meningkatkan kinerja
dan pada akhirnya meningkatkan nilai tambah bagi organisasi untuk kepentingan pihak-pihak
di dalam organisasi itu sendiri.
Dengan dasar itu pula, maka dalam penerapan Good Corporate Governance (GCG)
yang sesuai dengan budaya Indonesia harus pula mencakup 5 pilar dasar dari GCG yang
ditetapkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG).
Kendala yang ketiga adalah kendala yang berasal dari struktur kepemilikan.
Berdasarkan persentasi kepemilikan dalam saham, kepemilikan terhadap perusahaan dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu kepemilikan yang terkonsentrasi dan kepemilikan yang
menyebar. Kepemilikan yang terkonsentrasi terjadi pada saat suatu perusahaan dimiliki
secara dominan oleh seseorang atau sekelompok orang saja (40,00% atau lebih). Kepemilikan
yang menyebar terjadi pada saat suatu perusahaan dimiliki oleh pemegang saham yang
banyak dengan jumlah saham yang kecil-kecil (satu pemegang saham hanya memiliki saham
sebesar 5% atau kurang). Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan oleh struktur
kepemilikan adalah perusahaan tidak dapat mewujudkan prinsip keadilan dengan baik karena
pemegang saham yang terkonsentrasi pada seseorang atau sekelompok orang dapat
menggunakan sumberdaya perusahaan secara dominan sehingga dapat mengurangi nilai
perusahaan.
Sama seperti halnya kendala eksternal, dampak negatif yang ditimbulkan dari struktur
kepemilikan dapat diatasi jika perusahaan memiliki sistem pengendalian internal yang efektif,
seperti mempunyai sistem yang menjamin pendistribusian hak-hak dan tanggung jawab
secara adil di antara berbagai partisipan dalam organisasi (Dewan Komisaris, Dewan Direksi,
manajer, pemegang saham, serta pemangku kepentingan lainnya), dan dampak negatif ini
juga akan hilang jika dalam stuktur organisasinya, perusahaan mempunyai Komisaris
Independen dengan jumlah tertentu dan memenuhi kualifikasi yang ditentukan (syarat-syarat
yang ditentukan untuk menjadi Komisaris Independen).
Peningkatan ini didorong oleh lima emiten yang mendapat skor tertinggi dari
penilaian terhadap 100 emiten berkapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Kelima emiten yang mendapat skor tertinggi ACGS tertinggi adalah PT Bank Mandiri Tbk
dengan skor 109,61. Kemudian, PT Bank CIMB Niaga Tbk (109,38), PT Bank Tabungan
Negara Tbk (105,63), PT Aneka Tambang Tbk (104,27), dan PT Jasa Marga Tbk (100,29).
Dari lima PLC yang memiliki skor 100 ke atas, empat di antaranya memiliki kapitalisasi
pasar di bawah Rp50 triliun.
Hasil penilaian menunjukkan bahwa tingkat praktik tata kelola yang baik dan
pengungkapan lebih dipengaruhi oleh sikap dari manajemen puncak perusahaan daripada
ukuran perusahaan. Selain itu, ketersediaan peraturan yang lebih ketat juga berperan
signifikan dalam penerapan praktik tata kelola yang baik seperti ditunjukkan oleh pencapaian
lebih tinggi skor yang dibukukan emiten perbankan.
D. Kesimpulan
Penerapan tata kelola perusahaan kian menjadi faktor penentu yang strategis bagi
perusahaan agar dapat senantiasa meningkatkan nilai serta memelihara proses pertumbuhan
yang berkelanjutan. Oleh karenanya, setiap perusahaan perlu terus meningkatkan kerja
kerasnya agar dapat mengambil manfaat dari penerapan tata kelola perusahaan yang baik.
Percayalah, kita mampu jika kita memang sungguhsungguh mau melakukannya. Jika prinsip
GCG ini dilaksanakan secara sungguh-sungguh, bisa dipastikan perusahaan akan memiliki
landasan yang kokoh dalam menjalankan bisnisnya. Secara eksternal, perusahaan akan lebih
dipercaya investor, yang berarti nilai pasar sahamnya akan terus membubung. Mitra kerja pun
tak ragu mengembangkan hubungan bisnis lebih luas lagi. Para pemasok memiliki pegangan
yang jelas dan terpercaya serta yakin akan diperlakukan secara adil sehingga bisa
memberikan harga yang terbaik, yang berarti menciptakan efisiensi bagi perusahaan. Para
kreditur pun memiliki kepercayaan tinggi untuk mengucurkan kreditnya yang mungkin kita
perlukan buat perluasan usaha.
Secara internal, suasana kerja juga menjadi lebih kondusif. Karena dengan
menerapkan GCG secara benar dan konsisten, berarti perusahaan sudah menerapkan sistem
pengelolaan perusahaan sesuai dengan pembagian peran masing-masing, di tingkatan direksi,
komisaris, komite-komite, dan lain-lain serta aturan main yang baku berdasarkan prinsip
GCG tadi. Tak kalah pentingnya, terciptanya keseimbangan kekuatan di antara struktur
internal perusahaan (direksi, komisaris, komite audit, dan lain sebagainya). Sehingga,
pengambilan keputusan bisa menjadi lebih dipertanggungjawabkan (accountable), juga hati-
hati dan bijaksana (prudent).
Bukan rahasia lagi, hingga saat ini praktik korupsi, penggelembungan biaya, kolusi
serta nepotisme masih tumbuh subur dan terus dipupuk di banyak perusahaan swasta atau
pemerintah. Penerapan GCG ini sebenarnya merupakan antibiotik yang sangat ampuh untuk
memberantas praktik-praktik yang menciptakan radang yang merongrong perusahaan tersebut
yang pada gilirannya merugikan konsumen karena adanya praktik biaya ekonomi tinggi.
Mengingat manfaatnya itu, para otoritas GCG perlu lebih agresif lagi mendorong penerapan
GCG, terutama di perusahaan publik, lembaga keuangan nonpublik dan BUMN.
Tidak bisa diingkari, masih banyak penerapan GCG yang sekadar untuk kosmetik
atau mendongkrak citra perusahaan dan tak konsisten untuk jangka panjang. Karena itu, perlu
komitmen yang lebih tinggi lagi terutama dari pimpinan dan pemilik perusahaan. Begitu pula,
survei seperti ini pun selalu mempunyai kelemahan, karena tak bisa sebebas-bebasnya
menguak apa yang tersembunyi di balik tameng rahasia perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
Imam, S. T., & Amin, W. T. (2002). Membangun Good Corporate Governance (GCG).
Jakarta: Harvarindo
Rezaee, Z. (2018). Corporate Governance in the Aftermath of the Global Financial Crisis,
Volume IV. United States of America.