Anda di halaman 1dari 14

CORPORATE GOVERNANCE

“OVERVIEW CONCEPT OF CORPORATE GOVERNANCE AND

CORPORATE GOVERNANCE PRACTICE IN INDONESIA”


A. Latar Belakang

Banyak isu terkait governance menjadi populer di Indonesia di penghujung abad ke-
20, tepatnya menyusul krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Isu governance secara
global kembali menguat setelah runtuhnya beberapa raksasa bisnis dunia seperti Enron dan
Worldcom di AS, serta tragedi jatuhnya HIH dan One-Tel di Australia pada permulaan abad
ke-21. Dalam perkembangan lebih lanjut isu governance semakin populer setelah lembaga
keuangan multilateral, seperi World Bank dan Asian Development Bank (ADB) mengungkap
bahwa krisis keuangan yang melanda berbagai negara di Asia, antara lain disebabkan oleh
buruknya pelaksanaan CG. Dalam hal ini, diklaim bahwa Indonesia merupakan negara yang
paling menderita dan paling lambat bangkit dari dampak yang disebabkan oleh krisis tersebut
(ADB, 2000).

Di Indonesia, konsep corporate governance diperkenalkan secara resmi pada tahun


1999 ketika Pemerintah membentuk Komite Nasional tentang Corporate Governance.
Sebagaimana halnya di negara-negara lain di dunia, komite ini melahirkan kode corporate
governance, yang kemudian direvisi pada tahun 2006. Kode ini ditasbihkan sebagai referensi
seluruh perusahaan Indonesia, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dalam
menjalankan aktivitas bisnisnya.

Tata kelola perusahaan didefinisikan dari perspektif hukum sebagai langkah-langkah


dalam mengaktifkan dan memastikan kepatuhan terkait hukum, peraturan, regulasi yang
berlaku, dan standar. Dari perspektif teori agensi, tata kelola perusahaan didefinisikan sebagai
proses menyelaraskan kepentingan manajemen dengan kepentingan pemegang saham dalam
menciptakan nilai pemegang saham. Dengan demikian, kinerja tata kelola perusahaan harus
mencerminkan seberapa efektif perusahaan mencapai tujuan dari tata kelola tersebut untuk
menciptakan nilai bersama bagi semua pemangku kepentingan, sambil memastikan
kepatuhan dengan semua hukum, peraturan, regulasi yang berlaku, standar, dan praktik
terbaik. Semua peserta tata kelola perusahaan—dari dewan direksi ke eksekutif, regulator,
internal dan eksternal auditor, penasihat hukum dan penasihat keuangan, dan investor —
berperan penting peran dalam efektivitas tata kelola perusahaan. Tata kelola perusahaan yang
baik berkomitmen untuk transparansi, yang harus mengarah pada peningkatan arus masuk
modal dari investor domestik dan asing.
B. Konsep Corporate Governance

a. Pengertian Corporate Governance

Istilah Corporate Governane pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Committee


tahun 1992 dalam laporannya yang dikenal sebagai Cadbury Report (Tjager dkk., 2003).
Definisi Good Corporate Governance dari Cadbury Committee yang berdasar pada teori
stakeholder adalah sebagai berikut : “A set of rules that define the relationship between
shareholders, managers, creditors, the government, employees and internal and external
stakeholders in respect to their rights and responsibilities”. (Seperangkat aturan yang
mengatur hubungan antara para pemegang saham, manajer, kreditur, pemerintah, karyawan,
dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya baik internal maupun eksternal lainnya yang
berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka).

Definisi corporate governance oleh World Bank (Tunggal dan Widjaja, 2002) yaitu
kumpulan hukum, peraturan dan kaidah yang wajib dipenuhi, yang dapat mendorong kinerja
perusahaan bekerja secara efisien, menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang
berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara
keseluruhan.Corporate governance merupakan seperangkat peraturan yang menetapkan
hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para
pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban
mereka, atau sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.

Pengertian CG mengacu pada beragamnya lingkungan atau CG context di berbagai


negara (Kim dan Hoskisson, 1997). Hal ini terutama disebabkan oleh perbedaan budaya,
aspek legal serta perangkat instusional lainnya yang spesifik, sehingga merupakan paradigma
yang berlawanan dengan pendekatan “universalis’ yang percaya pada konsepsi CG dan dapat
diterapkan lintas negara. Paradigma yang berbeda dengan pandangan universalis ini diadopsi
oleh OECD (1998,1999) dengan argumentasi bahwa konsepsi CG sebagai work in progress
dengan konsekuensi there should be “no-one-siza-fits-all” approach to corporate governance
practice. Uraian tersebut mempertegas posisi CG sebagai konsepsi yang dinamis sesuai
dengan perubahan lingkungan korporasi serta terdapatnya perbedaan praktik CG sesuai
dengan lingkungan (konteks) spesifik tempat perusahaan tersebut berada.
b. Asas Corporate Governance

Asas corporate governance berdasarkan Pedoman Umum Good Corporate


Governance yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance ada lima, yaitu
sebagai berikut ;

1. Transparansi
 Prinsip Dasar
Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus
menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses
dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif
untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan
perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh
pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.
 Pedoman Pokok Pelaksanaan
a. Perusahaan harus menyediakan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas,
akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh pemangku
kepentingan sesuasi dengan haknya.
b. Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi tidak terbatas pada visi,
misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan, koondisi keuangan, susunan, dan
kompensasi pengurus, pemegang saham pengendali, kepemilikan saham oleh
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris beserta anggota keluarganya
dalam perusahaan dan perusahaan lainnya, sistem manajemen risiko, sistem
pengawasan, dan pengendalian internal, sistem dan pelaksanaan GCG serta
tingkat kepatuhannya, dan kejadian penting yang dapat mempengaruhi kondisi
perusahaan.
c. Prinsip keterbukaan yang dianut oleh perusahaan tidak mengurangi kewajiban
untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan perusahaan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi.
d. Kebijakan perusahaan harus tertulis dan secara proporsional dikomunikasikan
kepada pemangku kepentingan.
2. Akuntabilitas
 Prinsip Dasar
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan
wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan
kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang
saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang
diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
 Pedoman Pokok Pelaksanaan
a. Perusahaan harus menetapkan rincian tugas dan tanggung jawab masing-
masing organ perusahaan dan semua karyawan secara jelas dan selaras dengan
visi, misi, nilai-nilai perusahaan (corporate values), dan strategi perusahaan.
b. Perusahaan harus meyakini bahwa semua organ perusahaan dan semua
karyawan mempunyai kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan
perannya dalam pelaksanaan GCG.
c. Perusahaan harus memastikan adanya sistem pengendalian internal yang
efektif dalam pengelolaan perusahaan.
d. Perusahaan harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran perusahaan
yang konsisten dengan sasaran usaha perusahaan, serta memiliki sistem
penghargaan dan sanksi (reward and punishment system).
e. Dalam melaksanakan tugas dan tanggunga jawabnya, setiap organ perusahaan
dan semua karyawan harus berpegang dapa etika bisnis dan pedoman perilaku
(code of conduct) yang telah disepakati.
3. Responsibilitas
 Prinsip Dasar
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan
tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara
kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good
corporate citizen.
 Pedoman Pokok Pelaksanaan
a. Organ perusaan harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan memastikan
kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan
peraturan perusahaan (by-laws).
b. Perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara lain
peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar
perusahaan dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai.
4. Independensi
 Prinsip Dasar
Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara
independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan
tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
 Pedoman Pokok Pelaksanaan
a. Masing-masing organ perusahaan harus menghindari terjadinya dominasi oleh
pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari
benturan kepentingan (conflict of interest) dan dari segala pengaruh atau
tekanan, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara obyektif.
b. Masing-masing organ perusahaan harus melaksanakan fungsi dan tugasnya
sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, tidak saling
mendominasi dan atau melempar tanggung jawab antara satu dengan yang
lain.
5. Kewajaran dan Kesetaraan
 Prinsip Dasar
Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan
kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas
kewajaran dan kesetaraan.
 Pedoman Pokok Pelaksanaan
a. Perusahaan harus memberikan kesempatan kepada pemangku kepentingan
untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan
perusahaan serta membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip
transparansi dalam lingkup kedudukan masing-masing.
b. Perusahaan harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada
pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan
kepada perusahaan.
c. Perusahaan harus memberikan kesempatan yang sama dalam penerimaan
karyawan, berkarir dan melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa
membedakan suku, agama, ras, golongan, gender, dan kondisi fisik.
c. Tujuan dan Manfaat Corporate Governance

Menurut Sutojo dan Aldridge (2005 : 5) good corporate governance mempunyai lima
macam tujuan utama, yaitu sebagai berikut :

1. Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham.


2. Melindungi hak dan kepentingan para anggota stakeholders non pemegang saham.
3. Meningkatkan nilai perusahaan dan para pemegang saham
4. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja dewan pengurus atau Board of Directors
dan manajemen perusahaan.
5. Meningkatkan mutu hubungan Board of Directors dengan manajemen senior
perusahaan.

Sedangkan menurut Daniri (2006 : 15-16), manfaat penerapan good corporate


governance adalah sebagai berikut :

1. Peningkatan kinerja perusahaan melalui supervisi atau pemantauan kinerja manajemen


dan adanya akuntabilitas manajemen terhadap pemangku kepentingan lainnya,
berdasarkan kerangka aturan dan peraturan yang berlaku.
2. Memberikan kerangka acuan yang memungkinkan pengawasan berjalan efektif
sehingga tercipta mekanisme checks and balances di perusahaan.
3. Mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung pemegang saham
sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen.

C. Penerapan Corporate Governance di Indonesia

a. Sejarah Corporate Governance di Indonesia

Good Corporate Governance di Indonesia mulai ramai dikenal pada tahun 1997, saat
krisis ekonomi menerpa Indonesia. Terdapat banyak akibat buruk dari krisis tersebut, salah
satunya ialah banyaknya perusahaan yang berjatuhan karena tidak mampu bertahan,
Corporate governance yang buruk disinyalir sebagai salah satu sebab terjadinya krisis
ekonomi politik Indonesia yang dimulai tahun 1997 yang efeknya masih terasa hingga saat
ini. Indonesia mulai menerapkan prinsip GCG sejak menandatangani letter of intent (LOI)
dengan IMF, yang salah satu bagian pentingnya adalah pencatuman jadwal perbaikan
pengelolaan perusahaan-perusahaan di Indonesia (YPPMI & SC, 2002). Sejalan dengan hal
tersebut, Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) berpendapat bahwa
perusahaan-perusahaan di Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk menerapkan standar
GCG yang telah diterapkan di tingkat internasional.

Dalam penerapan Good Corporate Governance (GCG), tidak terlepas dari budaya
organisasi yang berlaku di dalam organisasi itu sendiri. Budaya menurut Schein (2010:5)
adalah fenomena dinamis dalam kondisi “disini dan saat ini” dan sebuah latar belakang
sturktur paksaan yang berpengaruh pada kelompok melalui beberapa cara. Budaya sendiri
secara terus-menerus diterapkan dan tercipta oleh interaksi yang dilakukan kelompok dengan
terbentuk oleh perilaku kelompok itu sendiri. Greertz (dalam Driskill & Brendton 2010: 8)
berpendapat pada budaya organisasi terdiri dari jaringan yang signifikan yang terus dipintal
oleh organisasi itu sendiri, serta dibangun melalui adanya interaksi.

Setiap organisasi memiliki cara-cara yang unik dari apa yang mereka lakukan. Hal ini
sama halnya dengan budaya nasional maupun masyarakat, yang memiliki hal-hal yang
unik,seperti Bahasa, benda-benda peninggalan sejarah, nilai-nilai, perayaan-perayaan,
pahlawan-pahlawan, sejarah dan norma-norma, dan setiap organisasi juga memiliki hal unik
yang berbeda-beda pula. Indonesia sebagai negara yang terdiri dari beragam jenis suku, ras,
budaya dan etnis yang beragam telah terbentuk menjadi satu dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).

Segala kebudayaan nasional, lokal maupun asing sekalipun telah ada dan terbentuk
bahkan sejak Indonesia belum merdeka pada tahun 1945. Budaya yang telah terbentuk itu
kemudian terefleksikan pada budaya-budaya organisasi yang ada di Indonesia yang bertujuan
untuk mencapai kesinambungan dan ketahanan dalam jangka panjang, meningkatkan kinerja
dan pada akhirnya meningkatkan nilai tambah bagi organisasi untuk kepentingan pihak-pihak
di dalam organisasi itu sendiri.

Dengan dasar itu pula, maka dalam penerapan Good Corporate Governance (GCG)
yang sesuai dengan budaya Indonesia harus pula mencakup 5 pilar dasar dari GCG yang
ditetapkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG).

b. Konteks Struktur Governance


Terdapat perbedaan mengenai konteks CG di antara berbagai negara di dunia dan hal
tersebut dapat berubah sewaktu-waktu. Dengan demikian, tidak ada sistem CG yang spesifik
yang paling suitable untuk setiap perusahaan dan semua negara. Secara umum, setiap sistem
CG dapat diklasifikasikan menjadi sistem yang didominasi pasar atau dominasi bank. Sistem
governance yang berorientasi pasar umunya mengacu pada negara-negara seperti Amerika
dan Inggris, dimana pasar modal mempunyai peranan yang penting dalam perekonomiannya.
Diberbagai negara ini , pasar untuk corporate control mechanism terletak pada jantung sistem
pengendalian, yang dikenal dengan outsider control system.

Di berbagai negara kontinental Eropa dan Jepang telah mengelompokkan dirinya


sebagai negara yang mengaplikasikan sistem governance yang berorientasi bank. Di negara-
negara ini, peranan yang dimainkan oleh pasar untuk pengendalian corporate hampir tidak
signifikan. Istilah insider dominated control sering digunakan untuk mendeskripsikan sistem
ini, yang dicirikan dengan struktur kepemilikan terkonsentarsi dan relatif stabil pada beberapa
pemegang saham. Menurut Kuada dan Gullestrup (1998) aspek budaya dalam masyarakat
tempat governance tumbuh dan berkembang juga merupakan penyebab dari perbedaan kedua
jenis sistem ini.

Pola perkembangan struktur perusahaan di Indonesia dapat dijelaskan melalui teori


path dependence. Teori ini memberikan argumentasi bahwa struktur corporate dalam suatu
perekonomian bergantung (dependence) pada struktur bagaimana ekonomi suatu negara
dimulai. Selanjutnya, berbagai peraturan perusahaan akan bergantung pada dirinya sendiri
berdasarkan struktur tersebut.

Asian Development Bank (2000) menyatakan bahwa kelemahan corporate


governance di negara Asia Timur muncul karena adanya struktur tingkat kepemilikan yang
tinggi, intervensi pemerintah yang excessive, pasar modal yang tidak berkembang dan masih
lemahnya penegakkan hukum yang berlaku terhadap perlindungan investor. Dalam kasus
Indonesia, komposisi mata uang dan struktur dari utang luar negeri perusahaan telah
menyebabkan negara ini jatuh ke dalam krisis (Husnan, 2001). Hal ini ditambahkan lagi
dengan lemahnya struktur peraturan dasar untuk sektor korporasi dan masih kurangnya
peraturan dan kepatuhan akan hukum merupakan masalah utama di negara ini.

c. Penyebab GCG belum Berjalan secara Optimal di Indonesia


Perusahaan-perusahaan di Indonesia belum mampu melaksanakan corporate
governance dengan sungguh-sungguh sehingga perusahaan mampu mewujudkan prinsip-
prinsip good corporate governance dengan baik. Hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah
kendala yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan tersebut pada saat perusahaan berupaya
melaksanakan corporate governance demi terwujudnya prinsip-prinsip good corporate
governance dengan baik. Kendala ini dapat dibagi tiga, yaitu kendala internal, kendala
eksternal, dan kendala yang berasal dari struktur kepemilikan.

Kendala internal meliputi kurangnya komitmen dari pimpinan dan karyawan


perusahaan, rendahnya tingkat pemahaman dari pimpinan dan karyawan perusahaan tentang
prinsip-prinsip good corporate governance, kurangnya panutan atau teladan yang diberikan
oleh pimpinan, belum adanya budaya perusahaan yang mendukung terwujudnya prinsip-
prinsip good corporate governance, serta belum efektifnya sistem pengendalian internal
(Djatmiko, 2004). Kendala eksternal dalam pelaksanaan corporate governance terkait dengan
perangkat hukum, aturan dan penegakan hukum (law-enforcement).

Indonesia tidak kekurangan produk hukum. Secara implisit ketentuan-ketentuan


mengenai GCG telah ada tersebar dalam UUPT, Undang-undang dan Peraturan Perbankan,
Undang-undang Pasar Modal dan lain-lain. Namun penegakannya oleh pemegang otoritas,
seperti Bank Indonesia, Bapepam, BPPN, Kementerian Keuangan, BUMN, bahkan
pengadilan sangat lemah. Oleh karena itu diperlukan test-case atau kasus preseden untuk
membiasakan proses, baik yang yudisial maupun quasi-yudisial dalam menyelesaikan
praktik-praktik pelanggaran hukum perusahaan atau GCG.

Kendala yang ketiga adalah kendala yang berasal dari struktur kepemilikan.
Berdasarkan persentasi kepemilikan dalam saham, kepemilikan terhadap perusahaan dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu kepemilikan yang terkonsentrasi dan kepemilikan yang
menyebar. Kepemilikan yang terkonsentrasi terjadi pada saat suatu perusahaan dimiliki
secara dominan oleh seseorang atau sekelompok orang saja (40,00% atau lebih). Kepemilikan
yang menyebar terjadi pada saat suatu perusahaan dimiliki oleh pemegang saham yang
banyak dengan jumlah saham yang kecil-kecil (satu pemegang saham hanya memiliki saham
sebesar 5% atau kurang). Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan oleh struktur
kepemilikan adalah perusahaan tidak dapat mewujudkan prinsip keadilan dengan baik karena
pemegang saham yang terkonsentrasi pada seseorang atau sekelompok orang dapat
menggunakan sumberdaya perusahaan secara dominan sehingga dapat mengurangi nilai
perusahaan.

Sama seperti halnya kendala eksternal, dampak negatif yang ditimbulkan dari struktur
kepemilikan dapat diatasi jika perusahaan memiliki sistem pengendalian internal yang efektif,
seperti mempunyai sistem yang menjamin pendistribusian hak-hak dan tanggung jawab
secara adil di antara berbagai partisipan dalam organisasi (Dewan Komisaris, Dewan Direksi,
manajer, pemegang saham, serta pemangku kepentingan lainnya), dan dampak negatif ini
juga akan hilang jika dalam stuktur organisasinya, perusahaan mempunyai Komisaris
Independen dengan jumlah tertentu dan memenuhi kualifikasi yang ditentukan (syarat-syarat
yang ditentukan untuk menjadi Komisaris Independen).

Keberadaan Komisaris Independen ini diharapkan mampu mendorong dan


menciptakan iklim yang lebih independen, objektif, dan menempatkan keadilan sebagai
prinsip utama yang memperhatikan kepentingan pemegang saham minoritas dan pemangku
kepentingan lainnya. Peran Komisaris Independen ini diharapkan mampu mendorong
diterapkannya prinsip dan praktik corporate governance pada perusahaan-perusahaan publik
di Indonesia, termasuk BUMN. Upaya perusahaan untuk menghadirkan sistem pengendalian
internal yang efektif tersebut terkait dengan upaya perusahaan untuk mengatasi kendala
internalnya.

d. Isu Praktik Corporate Governance di Indonesia

Berdasarkan berita yang dihimpun oleh www.wartaekonomi.co.id , penerapan praktik


Good Corporate Governance (GCG) di Indonesia relatif semakin membaik. Hal ini dapat
dilihat dari peringkat ASEAN Corporate Governance Scorecard (ACGS) Indonesia pada
2017 mengalami peningkatan menjadi 70,59 dari tahun 2015 yang sebesar 62,88. ACGS
merupakan tolak ukur untuk menilai praktik corporate governance para emiten di negara Asia
Tenggara dan merupakan inisitatif dari ASEAN Capital Market Forum.

Peningkatan ini didorong oleh lima emiten yang mendapat skor tertinggi dari
penilaian terhadap 100 emiten berkapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Kelima emiten yang mendapat skor tertinggi ACGS tertinggi adalah PT Bank Mandiri Tbk
dengan skor 109,61. Kemudian, PT Bank CIMB Niaga Tbk (109,38), PT Bank Tabungan
Negara Tbk (105,63), PT Aneka Tambang Tbk (104,27), dan PT Jasa Marga Tbk (100,29).
Dari lima PLC yang memiliki skor 100 ke atas, empat di antaranya memiliki kapitalisasi
pasar di bawah Rp50 triliun.

Hasil penilaian menunjukkan bahwa tingkat praktik tata kelola yang baik dan
pengungkapan lebih dipengaruhi oleh sikap dari manajemen puncak perusahaan daripada
ukuran perusahaan. Selain itu, ketersediaan peraturan yang lebih ketat juga berperan
signifikan dalam penerapan praktik tata kelola yang baik seperti ditunjukkan oleh pencapaian
lebih tinggi skor yang dibukukan emiten perbankan.

Penilaian ASEAN CG Scorecard berdasarkan prinsip yang dikembangkan oleh


Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang mencakup (1) hak
pemegang saham, (2) perlakuan setara antar pemegang saham, (3) peran pemegang saham,
(4) keterbukaan informasi dan transparansi, serta (5) tanggung jawab dewan
direksi/komisaris.

D. Kesimpulan

Penerapan tata kelola perusahaan kian menjadi faktor penentu yang strategis bagi
perusahaan agar dapat senantiasa meningkatkan nilai serta memelihara proses pertumbuhan
yang berkelanjutan. Oleh karenanya, setiap perusahaan perlu terus meningkatkan kerja
kerasnya agar dapat mengambil manfaat dari penerapan tata kelola perusahaan yang baik.
Percayalah, kita mampu jika kita memang sungguhsungguh mau melakukannya. Jika prinsip
GCG ini dilaksanakan secara sungguh-sungguh, bisa dipastikan perusahaan akan memiliki
landasan yang kokoh dalam menjalankan bisnisnya. Secara eksternal, perusahaan akan lebih
dipercaya investor, yang berarti nilai pasar sahamnya akan terus membubung. Mitra kerja pun
tak ragu mengembangkan hubungan bisnis lebih luas lagi. Para pemasok memiliki pegangan
yang jelas dan terpercaya serta yakin akan diperlakukan secara adil sehingga bisa
memberikan harga yang terbaik, yang berarti menciptakan efisiensi bagi perusahaan. Para
kreditur pun memiliki kepercayaan tinggi untuk mengucurkan kreditnya yang mungkin kita
perlukan buat perluasan usaha.

Secara internal, suasana kerja juga menjadi lebih kondusif. Karena dengan
menerapkan GCG secara benar dan konsisten, berarti perusahaan sudah menerapkan sistem
pengelolaan perusahaan sesuai dengan pembagian peran masing-masing, di tingkatan direksi,
komisaris, komite-komite, dan lain-lain serta aturan main yang baku berdasarkan prinsip
GCG tadi. Tak kalah pentingnya, terciptanya keseimbangan kekuatan di antara struktur
internal perusahaan (direksi, komisaris, komite audit, dan lain sebagainya). Sehingga,
pengambilan keputusan bisa menjadi lebih dipertanggungjawabkan (accountable), juga hati-
hati dan bijaksana (prudent).

Bukan rahasia lagi, hingga saat ini praktik korupsi, penggelembungan biaya, kolusi
serta nepotisme masih tumbuh subur dan terus dipupuk di banyak perusahaan swasta atau
pemerintah. Penerapan GCG ini sebenarnya merupakan antibiotik yang sangat ampuh untuk
memberantas praktik-praktik yang menciptakan radang yang merongrong perusahaan tersebut
yang pada gilirannya merugikan konsumen karena adanya praktik biaya ekonomi tinggi.
Mengingat manfaatnya itu, para otoritas GCG perlu lebih agresif lagi mendorong penerapan
GCG, terutama di perusahaan publik, lembaga keuangan nonpublik dan BUMN.

Tidak bisa diingkari, masih banyak penerapan GCG yang sekadar untuk kosmetik
atau mendongkrak citra perusahaan dan tak konsisten untuk jangka panjang. Karena itu, perlu
komitmen yang lebih tinggi lagi terutama dari pimpinan dan pemilik perusahaan. Begitu pula,
survei seperti ini pun selalu mempunyai kelemahan, karena tak bisa sebebas-bebasnya
menguak apa yang tersembunyi di balik tameng rahasia perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA

Daniri. (2006). Manfaat Good Corporate Governance. Jakarta: Erlangga.

Imam, S. T., & Amin, W. T. (2002). Membangun Good Corporate Governance (GCG).
Jakarta: Harvarindo

Lukviarman, Niki. (2016). Corporate Governance. Era Adicitra Intermedia: Solo

Rezaee, Z. (2018). Corporate Governance in the Aftermath of the Global Financial Crisis,
Volume IV. United States of America.

Siregar, B. P. (2021). Praktik Tata Kelola Perusahaan di Indonesia Membaik.


https://www.wartaekonomi.co.id/read186845/praktik-tata-kelola-perusahaan-di
indonesia-membaik.html. Diakses pada 24 Feb 2021, Pukul 16:06.

Anda mungkin juga menyukai