Anda di halaman 1dari 12

GOOD CORPORATE GOVERNANCE

Tugas Mata Kuliah


Etika Bisnis dan Profesi

Oleh :

Nadiya Az Zahra
180810301239

Program Studi Akuntansi


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Jember
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Mulai populernya istilah “tata kelola perusahaan yang baik” atau yang lebih
dikenal dengan istilah asing Good Corporate Governance (GCG) tidak dapat
dilepaskan dari maraknya skandal perusahaan yang menimpa perusahaan-perusahaan
besar , baik yang ada di Indonesia maupun yang ada di Amerika Serikat (AS). Amerika
serikat kembali digoncang oleh krisis ekonomi gelombang kedua pada pertengahan
tahun2008. Kali ini kirisis menimpa industri keuangan AS, masyarakat dunia dikejutkan
oleh kebangkrutan Lehman Brothers yaitu salah satu bank investasi raksasa sebagai
akibat macetnya pengembalian kredit yang disalurkan secara tidak terkendali pada
sektor perumahan/real estat. Kebangkrutan Lehman Brothers diikuti pengakuisisian
Bear Steams, Merril Lynch, serta perubahan status Goldman Sach dan Morgan Stanley
dari bank investasi menjadi holding bank.
Beberapa lembaga keuangan besar lainnya yang juga terancam bangkrut, antara
lain: AIG, Fannie Mae, dan Freddie Mac (Cyrillus Harinowo,
http://economic.keyzone.com/, 2008). Krisis keuangan ini memicu krisis kepercayaan
yang akhirnya memicu rush pada beberapa bank komersial, seperti Bank Indy Mac dan
Washington Mutual, yang akhirnya memaksa pemerintah dan Bank Sentral AS
menyediakan dana penyelamat sekitar US$700 miliar. Banyak pihak yang mengatakan
bahwa krisis keuangan AS ini berdampak besar bagi perekonomian dunia yang pada
gilirannya memunculkan resesi ekonomi dunia.
Akibat berbagai praktik tata kelola perusahaan yang buruk oleh perusahaan-
perusahaan besar ini bukan saja telah menimbulkan krisis ekonomi di Indonesia tetapi
juga memengaruhi perekonomian AS dan dunia. Untuk mengatasi krisis gelombang
pertama pada awal tahun 2008, pemerintah AS bertindak cepat untuk meredam
kepanikan para investor dengan mengeluarkan undang-undang yang terkenal dengan
nama Sarbanes-Oxley Act of 2002. Undang –undang ini berisi penataan kembali
Akuntansi Perusahaan Publik, tata kelola perusaan, dan perlindungan terhadap
investor. Oleh karena itu, Undang-undang ini menjadi acuan awal dalam menjabarkan
dan menegakkan GCG, baik di AS maupun di Indonesia.

BAB II

1
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian GCG


Berikut beberapa difinisi dari beberapa sumber yang dapat dijadikan acuan:
1. Cadbury Committee of United Kingdom
Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham,
pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditor, pemerintah, karyawan, serta
para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan
hak dan kewajiban mereka. Dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan.
2. Forum for Corporate Governance in Indonesia-FCGI (2006)
Tidak membuat definisi tersendiri tetapi mengambil definisi dari Cadbury
Committee of United Kingdom.
3. Sukrisno Agoes (2006) mendefinisikan tata kelola perusahaan yang baik sebagai
suatu sistem yang mengatur hubungan peran dewan komisaris, peran direksi,
pemegang saham, dan pemangku kepentingan lainnya. Tata kelola yang baik juga
disebut sebagai suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan,
pencapaiannya, dan penilaian kinerjanya.

Setelah mengutip berbagai definisi sebagaimana diungkapkan sebelumnya, dapat


disimpulkan bahwa konsep good corporate governance pada intinya mengandung
pengertian sebagaimana dijelaskan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1.1
Konsep GCG

1. Wadah Organisasi (perusahaan, sosial, pemerintah)


2. Model Suatu sistem, proses, dan seperangkat peraturan, termasuk
prinsip-prinsip, serta nilai-nilai yang melandasi praktik bisnis yang
sehat.
3. Tujuan  Meningkatkan kinerja organisasi
 Menciptakan nilai tambah bagi semua pemangku
kepentingan
 Mencegah dan mengurangi manipulasi serta kesalahan
yang signifikan dalam pengelolaan organisasi
 Meningkatkan upaya agar para pemangku kepentingan
tidak dirugikan.

2
4. Mekanisme Mengatur dan mempertegas kembali hubungan, peran, wewenang,
dan tanggung jawab:
 Dalam arti sempit: antar pemilik / pemegang saham, dewan
komisaris, dan dewan direksi
 Dalam arti luas: antar seluruh pemangku kepentingan .

2.2 Prinsip-prinsip GCG


Organization for economic cooperation and development (OECD) mencoba untuk
mengembangkan beberapa prinsip yang dapat dijadikan acuan baik oleh pemerintah
maupun para pelaku bisnis dalam mengatur mekanisme hubungan antar pemangku
kepentingan tersebut. Secara ringkas, prinsip-prinsip tersebut dapat dirangkum
sebagai berikut:
a. Perlakuann yang setara antar pemangku kepentingan (fairness)
b. Transparansi (transparency)
c. Akuntabilitas (accountability)
d. Responsibilitas (responsibility)

Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Menteri Negara BUMN juga mengeluarkan
Keputusan Nomor Kep-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan GCG (Tjager dkk,2003).
Ada lima prinsip menurut keputusan ini, yaitu:
a. Kewajaran (fairness)
b. Transparansi
c. Akuntabilitas
d. Pertanggungjawaban
e. Kemandirian

National Committee on Governance (NCG,2006) memuplikasikan “Kode Indonesia


tentang Tata Kelola Perusahaan yang baik” pada tanggal 17 Oktober 2006. Dalam
kode GCG ini, NCG mengemukakan lima prinsip GCG, yaitu:
a. Transparansi (transparency)
b. Akuntabilitas (accountability)
c. Responsibilitas (responsibility)
d. Kesetaraan (fairness)

2.3 Manfaat GCG


Penerapan konsep GCG merupakan salah satu upaya untuk memulihkan kepercayaan
para investor dan institusi terkait di pasar modal. Sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya, tujuan penerapan GCG adalah untuk meningkatkan kinerja organisasi
serta mencegah atau memperkecil peluang praktik manipulasi dan kesalahan signifikan

3
dalam pengelolaan kegiatan organisasi. Tjager dkk. (2003) mengatakan bahwa paling
tidak ada lima alasan mengapa penerapan GCG itu bermanfaat, yaitu:
1. Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh McKinsey & Company menunjukkan
bahwa investor institusional lebih menaruh kepercayaan terhadap perusahaan di
Asia yang telah menerapkan GCG.
2. Berdasarkan berbagai analisis, ternyata ada indikasi keterkaitan antara terjadinya
krisis financial dan krisis berkepanjangan di Asia dengan lemahnya tata kelola
perusahaan.
3. Internasionalisasi pasar termasuk liberalisasi pasar financial dan pasar modal-
menuntut perusahaan untuk menerapkan GCG.
4. Kalaupun GCG bukan obat mujarab untuk keluar dari krisis, sistem ini dapat
menjadi dasar bagi berkembangnya sistem nilai baru yang lebih susuai dengan
lanskap bisnis yang kini telah banyak berubah.
5. Secara teoritis, praktik GCG dapat meningkatkan nilai perusahaan.

Indra Surya dan Ivan Yustiavandana (2007) mengatakan bahwa tujuan dan manfaat
dari penerapan GCG adalah:
1. Memudahkan akses terhadap investasi domestic maupun asing.
2. Mendapatkan biaya modal (cost of capital) yang lebih murah.
3. Memberikan keputusan yang lebih baik dalam meningkatkan kinerja ekonomi
perusahaan.
4. Meningkatkan keyakinan dan kepercayaan dari para pemangku kepentingan
terhadap perusaaan.
5. Melindungi direksi dan komisaris dari tuntutan hukum.

2.4 GCG Dan Hukum Perseroan Di Indonesia


Dalam Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1995 terdapat ketentuan baru yang
ditambahkan, ketentuan tersebut merupakan penyempurnaan rambu-rambu secara
garis besar yang berkaitan dengan tata kelola perusahaan (corporate governance).
Ketentuan yang disempurnakan ini, antara lain:
1. Dimungkinkan mengadakan RUPS dengan memanfaatkan teknologi informasi
yang ada, seperti: telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik
lainnya (Pasal 77).
2. Kejelasan mengenai tata cara pengajuan dan pemberian pengesahan status badan
hukum dan pengesahan Anggaran Dasar Perseroan (Bab II).

4
3. Memperjelas dan mempertegas tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan
Komisaris, termasuk mengatur mengenai komisaris independen dan komisaris
utusan (Bab VII).
4. Kewajiban perseroan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan
(Bab V).

Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomer 40 Tahun 2007 tidak mengatur secara


eksplisit tentang GCG. Undang-Undang ini mengatur secara garis besar tentang
mekanisme hubungan, peran, wewenang, tugas dan tanggung jawab, prosedur dan
tata cara rapat, serta proses pengambilan keputusan dari organ minimal yang harus
ada dalam perseroan, yaitu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan
Dewan Komisaris. Disamping itu juga diatur mengenai persyaratan dan tata cara
pengangkatan serta pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris.

2.5 Organ Khusus Dalam Penerapan GCG


Ketentuan mengenai organ perseroan telah diatur dalam Undang-Undang
Perseroan Terbatas Nomer 40 Tahun 2007, dalam peraktiknya organ ini belum mampu
menjamin terselenggaranya tata kelola perusahaan yang sehat. Hal ini karena sifat
undang-undang hanya mengatur ketentuan-ketentuan secara garis besar saja
sehingga pasti ada ketentuan-ketentuan dalam undang-undang yang memerlukan
petunjuk pelaksanaan (juklak) atau petunjuk teknis (juknis) lebih lanjut dalam bentuk
peraturan atau pedoman yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah yang berwenang
serta instansi atau organisasi profesi terkait.
Indra Surya dan Ivan Yustiavananda (2006) menyebutkan paling tidak diperlukan
empat organ tambahan untuk melengkapi penerapan GCG, yaitu:
1. Komisaris Independen
2. Direktur Independen
3. Komite Audit
4. Sekretaris Perusahaan (Corporate Secretary)

2.5.1 Komisaris Dan Direktur Independen


Komisaris dan direktor dan direktur independen adalah pihak yang ditunjuk tidak
dalam kapasitas mewakili pihak mana pun dan semata-mata ditunjuk berdasarkan latar
belakang pengetahuan, pengalaman, dan keahlian professional yang dimilikinya untuk
sepenuhnya menjalankan tugas demi kepentingan perusahaan. Selain itu terdapat
juga pengertian yang biasa dipakai dalam kode etik akuntan publik, yaitu dikenal
dengan istilah independen in fact dan independent in appearance. Independent in fact

5
menekankan sikap mental dalam mengambil keputusan dan tindakan yang semata-
mata didasarkan atas pertimbangan profesionalisme dari dalam diri yang bersangkutan
tanpa csmpur tangan, pengaruh, atau tekanan dari pihak luar. Sedangkan independent
in appearance dilihat dari sudut pandang pihak luar yang mengharapkan calon yang
bersangkutan (calon auditor, komisaris, atau direktur) secara fisik tidak mempunyai
hubungan darah (kepentingan langsung) dengan perusahaan atau dengan pemangku
kepentingan lainnya yang dapat menimbulkan keraguan bagi pihak luar tentang
kenetralan yang bersangkutan.

Bila mencermati aturan dari PT Bursa Efek Jakarta Nomer Kep-305/BEJ/07-2004


pasal III.16., dijumpai syarat menjadi direktur independen adalah sebagai berikut:
a. Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan Pemegang Saham Pengendali
Perusahaan tercatat yang bersangkutan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan
sebelum penunjukkan sebagai direktur tidak terafiliasi.
b. Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan Komisaris dan Direktur lainnya dari
Perusahaan Tercatat.
c. Tidak bekerja rangkap sebagai Direksipada perusahaan lain.
d. Tidak menjadi orang dalam pada lembaga atau profesi penunjang pasar modal
yang jasanya digunakan oleh Perusahaan Tercatat selama 6 (enam) bulan
sebelum penunjukkan sebagai Direktur.

2.5.2 Komite Audit


Undang –Undang Perseroan Terbatas Pasal 121 memungkinkan Dewan Komisaris
untuk membentuk komite tertentu yang dianggap perlu untuk membantu tugas
pengawasan yang diperlukan. Salah satu komite tambahan yang kini banyak muncul
untuk membantu fungsi Dewan Komisaris adalah Komite Audit. Sebagaimana
dinyatakan oleh Hasnati (dalam Indra Surya dan Ivan Yustiavandana, 2006), tugas
tanggung jawab, dan wewenang Komite Audit adalah membantu Dewan Komisaris,
antara lain:
1. Mendorong terbentuknya struktur pengendalian intern yang memadai (prinsip
tanggung jawab).
2. Meningkatkan kualitas keterbukaan dan laporan keuangan (prinsip transparansi).
3. Mengkaji ruang lingkup dan ketepatan audit eksternal, kewajaran biaya audit
eksternal, serta kemandirian dan objektivitas audit eksternal (prinsip akuntabilitas).
4. Mempersiapkan surat uraian tugas dan tanggung jawab komite audit selama tahun
buku yang sedang diperiksa ekternal audit (prinsip tanggung jawab).

6
Aturan mengenai Komite Audit ini, antara lain dapat dilihat pada:
1. SE Ketua Bapepam Nomor SE-03/PM/2000 tetang Komite Audit untuk Perusahaan
Publik.
2. Keputusan Direksi PT BEJ Nomor Kep-305/BEJ/07-2004 tentang Pencatatan
Saham dan Efek.
3. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Badan Usaha Milik Negara Nomor
Kep-133/M-BUMN/1999 tentang Pembentukan Komite Audit bagi BUMN.

2.5.3 Sekretaris Perusahaan (Corporate Secretary)


Jabatan sekretaris perusahaan menempati posisi yang sangat tinggi dan
strategis karena orang dalam jabatan ini berfungsi sebagai pejabat penghubung
(liason cfficer) atau semacam public relations/ investor relations antara perusahaan
dengan pihak di luar perusahaan, khususnya bagi perusahaan-perusahaan besar yang
telah mendaftarkan sahamnya dibursa. Tugas utama sekretaris perusahaan antara lain
menyimpan dokumen perusahaan, Daftar Pemegang Saham, risalah rapat direksi dan
RUPS, serta menyimpan dan menyediakan informasi penting lainnya bagi kepentingan
seluruh pemangku kepentingan. Namun tugas sekretaris perusahaan tidak terbatas
pada tugas-tugas tersebut saja.

Atauran yang berkaitan dengan sekretaris perusahaan ini dapat dilihat antara lain
pada:
1. Keputusan Ketua Bapepam Nomor 63 Tahun 1996 tentang Pembentukan
Sekretaris Perusahaan bagi Perusahaan Publik.
2. Keputusan Direksi BEJ Nomor 339 Tahun 2001 tentang Sekretaris Perusahaan.

2.6 GCG Dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN)


Menteri Negara BUMN mengeluarkan keputusan Menteri BUMN Nomor Kep-23/M-
PM.PBUMN/2000 Tanggal 31 Mei 2000 tentang pengembangan praktik
Good Corporate Governance pada BUMN. Kemudian pedoman praktik GCG ini
disempurnakan melalui Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor Kep-117/M-
MBU/2002 Tanggal 1 Agustus 2002. Adapun tujuan dan prinsip-prinsip GCG menurut
Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor Kep-117/M-MBU/2002 adalah sebaga
berikut:
1. Tujuan GCG diatur dalam Pasal 4, yaitu:

7
a. Memaksimalkan nilai BUMN dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan,
akuntabilitas, dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan adil agar perusahaan
memiliki daya saing yang kuat, baik secara nasional maupun internasional.
b. Mendorong pengelolaan BUMN secara professional, transparan, dan efisien,
serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian organ.
c. Mendorong agar organ dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan
dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturann
perundang-undangan yang berlaku serta kesadaran akan adanya tanggung
jawab sosial BUMN terhadap pemangku kepentingan maupun kelestarian
lingkungan disekitar BUMN.
d. Meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional.
e. Menyukseskan program privatisasi.
2. Prinsip-prinsip GCG diatur dalam Pasal 3, yaitu:
a. Tranparansi
b. Kemandirian
c. Akuntabilitas
d. Pertanggungjawaban
e. Kewajaran

Beberapa contoh kasus pengelolaan BUMN sebelum dan sesudah diterapkannya


prinsip-prinsip GCG, antara lain:
1. Sebelum diterapkannya prinsip-prinsip GCG:
a. Penunjukkan anggota komisaris dan anggota direksi BUMN lebih
mempertimbangkan aspek politis (KKN, like and dislike) dari pada aspek
kompetensi dan profesionalitas.
b. Kurang berfungsinya organ Satuan Pengawas Intern (SPI).
c. Tidak adanya Komite Audit.
d. Kurang memperhatikan penerapan prinsip akuntabilitas, terutama kurangnya
perhatian direksi dalam penyusunan laporan keuangan yang berkualitas.
2. Setelah diterapkannya prinsip-prinsip GCG:
a. Penunjukkan anggota komisaris dan direksi mulai memperhatikan aspek
kompetensi dan profesionalisme, khususnya dengan adanya ketentuan
anggota komisaris dan direksi independen yang betul-betul memperhatikan
aspek independensi dan profesionalitas.
b. Diberdayakannya organ SPI, khususnya yang menyangkut kualitas pejabat
yang menduduki organ SPI tersebut.
c. Dibentuknya Komite Audit.
d. Penegasan pentingnya penyusunan laporan keuangan yang berkualitas dan
bahwa hal itu merupakan salah satu wujud tanggung jawab direksi.

8
2.7 GCG dan pengawasan Pasar Modal Di Indonesia
Pasar modal dapat didefinisikan sebagai pasar dimana berbagai instrument
keuangan (atau sekuritas) jangka panjang bisa diperjualbelikan, baik dalam bentuk
utang maupun modal sendiri, baik yang diterbitkan pemerintah, public authorities,
maupun perusahaan swasta (Suad Husnan, 1996). Keberadaan pasar modal
ditentukan oleh lembaga-lembaga dan unsure-unsur penunjang pasar modal, antara
lain:
1. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK)
2. Bursa Efek
3. Lembaga Kliring
4. Emiten
5. Underwriter
6. Investor/calon investor
7. Akuntan Publik
8. Notaris
9. Konsultan Hukum
10. Konsultan Keuangan

Fungsi dan peran Bapepam LK dalam aktivitas pasar modal suatu negara sangat
strategis karena lembaga inilah yang diberi wewenang oleh pemerintah untuk
mengawasi semua lembaga terkait dan membuat berbagai peraturan yang harus
dipatuhi oleh semua lembaga terkait agar kegiatan pasar modal di bursa dapat
berjalan secara adil, efektif, dan efisien. Peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah
Indonesia, termasuk aturan main yang dikeluarkan oleh Bapepam LK, terutama agar
terbina tata kelola yang sehat pada semua lembaga penunjang pasar modal tersebut.
Beberapa peraturan yang berhubungan dengan tata kelola yang sehat yang ditujukan
pada lembaga-lembaga penunjang, antara lain:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, terutama yang
berkaitan dengan prinsip transparansi pengungkapan informasi penting.
2. Peraturan Bapepam Nomor IX.D.1 tentang Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu,
terutama menyangkut prinsip keadilan antar investor.
3. Peraturan Bapepam Nomor VIII.G.2 tentang Laporan Keuangan,
terutama berhubungan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan tanggung
jawab dalam penyusunan laporan keuangan.
4. Peraturan Bapepam Nomor IX.E.1 tentang Benturan Kepentingan Transaksi
Tertentu untuk menjamin dijalankan secara independen, jujur, dan tidak merugikan
pihak lain untuk kepentingan pihak tertentu.

9
5. Peraturan Bapepam Nomor IX.E.2 tentang Transaksi Material dan Perubahan
Kegiatan Usaha yang dilakukan perusahaan terbuka.
6. Peraturan Bapepam Nomor IX.G.1 tentang Penggabungan Usaha dan Peleburan
Perusahaan Publik dan Emiten.

BAB III
KESIMPULAN

1. Tata kelola perusahaan yang baik” atau yang lebih dikenal dengan istilah asing
Good Corporate Governance (GCG) tidak dapat dilepaskan dari maraknya
skandal perusahaan yang menimpa perusahaan-perusahaan besar , baik yang
ada di Indonesia maupun yang ada di Amerika Serikat (AS).
2. Tujuan GCG adalah untuk meningkatkan kinerja organisasi menciptakan nilai
tambah bagi semua pemangku kepentingan mencegah dan mengurangi
manipulasi serta kesalahan yang signifikan dalam pengelolaan organisasi
meningkatkan upaya agar para pemangku kepentingan tidak dirugikan.
3. Manfaat GCG adalah memudahkan akses terhadap investasi domestic maupun
asing, mendapatkan biaya modal (cost of capital) yang lebih murah,
memberikan keputusan yang lebih baik dalam meningkatkan kinerja ekonomi
perusahaan, meningkatkan keyakinan dan kepercayaan dari para pemangku
kepentingan terhadap perusaaan, melindungi direksi dan komisaris dari
tuntutan hukum.

10
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Sukrisno. 2014. Etika Bisnis dan Profesi Tantangan Membangun Manusia
Seutuhnya Edisi Revisi. Jakarta Salemba Empat.

11

Anda mungkin juga menyukai