TINJAUAN PUSTAKA
Oleh :
22041018320013
FAKULTAS KEDOKTERAN
2022
i
LEMBAR PENGESAHAN TINJAUAN PUSTAKA
Disusun Oleh
22041018320013
Telah Disetujui
ii
DAFTAR ISI
JUDUL …………………………………………………………………… i
LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………………. ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………… iii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………1
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………… 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………….……….... 3
2.1 Operasi Jantung Ultra Fast-track ……………………………….……. 3
2.2 Protokol Anestesi ………….…………………………………………. 6
2.3 Penyakit Jantung Bawaan Ultra fast-track………………………….… 10
2.4 Protokol PACU ………….………………………………………………12
2.5 Perbandingan Teknik Konvensional, Fast-track dan Ultra Fast-track.. 14
BAB III PENUTUP ….……………………………………………… 18
3.1. Ringkasan …………………………………………………………….. 17
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………... 18
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
(2) Efek yang menguntungkan dari dosis rendah narkotika yaitu kemampuan
untuk ekstubasi pasien lebih awal dibandingkan sebelumnya.
Teknik anestesi ultra fast-track (UFTA) merupakan teknik anestesi bedah
jantung yang dikembangkan setelah teknik anestesi fast-track (FTA) dengan
tujuan lebih mengoptimalkan penggunaan sumber daya medis. Dengan UFTA,
ekstubasi dilakukan segera atau dalam waktu 1 jam setelah operasi. Manfaat
UFTA termasuk angka insiden komplikasi pasca operasi yang lebih rendah,
kondisi hemodinamik yang lebih baik, dan masa rawat di intensif care unit (ICU)
yang lebih singkat. FTA adalah prosedur yang memungkinkan ekstubasi di ICU
dalam waktu 6 jam setelah operasi untuk memfasilitasi pemulihan kesadaran dan
pernapasan otonom pasien. Teknik ini telah diterapkan dengan aman untuk
operasi jantung sejak tahun 1990-an. FTA dikategorikan sebagai teknik yang
layak dan aman. Penggunaannya juga mengurangi terjadinya komplikasi yang
diinduksi oleh ventilator, sehingga mengurangi masa rawat di ICU dan
meningkatkan efektivitas penggunaan sumber daya dan biaya.3
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
digunakan dengan aman pada pasien jantung dan metode – metode tersebut juga
banyak disebutkan dalam literatur :
1) Penggunaan dosis besar dari fentanyl dan midazolam sebagai pengganti
fentanyl dan diazepam, tetapi memberikan waktu yang lebih lama untuk
ekstubasi pada periode pasca operasinya;
2) Penggunaan fentanyl intravena yang dilengkapi dengan inhalasi isofluran,
dan pemberian isofluran dosis maintenance pada alat bypass jantung paru
3) Substitusi isofluran menjadi sevofluran;
4) Penggunaan opioid kerja pendek dan agen hipnotik, seperti sufentanil dan
propofol
5) Penggunaan agen hipnotik lain, seperti thionembutal dan etomidate, sebagai
pengganti propofol;
6) Kombinasi epidural tunggal dengan anestesi umum atau kombinasi anestesi
epidural kontinyu dengan anestesi umum, pemasangan kateter pada malam
sebelum operasi;
7) Kombinasi anestesi intratekal tunggal dengan anestesi umum.
4
Gambar 1 Proses perawatan ICU, unit perawatan intensif; CRA, area pemulihan jantung;
PCSU, unit pasca bedah jantung; PACU, unit perawatan pasca anestesi
5
meningkatkan potensi untuk mengurangi masa rawat di unit perawatan intensif
menjadi lebih mungkin. Hal ini sering berarti bahwa digunakannya unit perawatan
pasca anestesi (PACU). Penggunaan PACU ini mencakup proses pemindahan
pasien ke bangsal umum jika pasien memenuhi kriteria pemulangan, atau
dipindahkan ke ICU jika tidak memenuhi kriteria. Jalur ini menjadi lebih umum
dan lebih layak karena jumlah pasien jantung yang menerima sedasi atau operasi
ultra fast-track meningkat. Keterbatasan utama dari hal ini adalah
mempertahankan volume yang cukup untuk mempertahankan keterampilan dari
manajemen keperawatan yang ada di ruang pemulihan.2
Model alternatif lainnya adalah memanfaatkan unit perawatan koroner ICU
daripada area pemulihan pasca operasi dengan tujuan memulangkan pasien ke
bangsal 2-3 jam setelah operasi. Jalur perawatan ini sering digunakan dalam kasus
transfemoral transcatheter aortic valve implant (TAVI).2
6
sensorik diuji untuk menilai diskriminasi suhu segmental. Analgesia epidural
dipertahankan dengan bupivakain 0,125% pada kecepatan 0 sampai 10 mL/jam,
disesuaikan dengan respon hemodinamik. Manajemen pengelolaan suhu secara
aktif dilakukan pada kelompok UFTA yang terdiri atas penggunaan penghangat
cairan intravena, kulit yang telah dihangatkan sebelumnya, penggunaan gas yang
telah dilembabkan, selimut penghangat dan penghangat udara, bersama dengan
menjaga suhu ruang operasi pada 24°C. Teknik anestesi standar termasuk
fentanyl, 5 sampai 8 ug/kg; thiopental, 1 sampai 2 mg/kg; ankuronium, 0,1 mg/kg;
dan isofluran, 0,5% hingga 1,5%. Cairan intravena dihangatkan, tetapi pasien
tetap terpapar suhu ruang operasi sekitar (20°C). Semua pasien menerima heparin,
5000 sampai 10.000 IU sebelum oklusi arteri desendens anterior kiri.5
Kriteria ekstubasi berikut diadopsi untuk semua pasien operasi CABG off-
pump, yaitu: pasien responsif dan kooperatif, saturasi oksigen 94% dengan fraksi
oksigen inspirasi < 60%, reversal komplit dari blokade neuromuskular, PaCO2
35-55 mmHg, hemodinamik stabil, tidak adanya aritmia yang tidak terkontrol, dan
suhu nasofaring 36°C. Jika kriteria ekstubasi tidak terpenuhi dalam waktu 30
menit setelah pembedahan selesai, pasien dibius dengan propofol, 40 hingga 100
mg/jam, dan dipindahkan ke ICU. Analgesia pascaoperasi adalah dengan infus
kontinu bupivakain 0,125% melalui kateter epidural pada kelompok UFTA dan
analgesia yang dikontrol perawat dengan penggunaan morfin pada kelompok
kontrol. Kedua kelompok kemudian menerima analgesik tambahan, termasuk
asetaminofen dan diklofenak.5
Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik <90 mmHg dan
awalnya ditangani dengan menyesuaikan kedalaman anestesi dan pemberian fluid
challenge intravena (pentastarch [Pentaspan], 10 mL/kg). Jika hipotensi berlanjut,
bolus fenilefrin, 40 hingga 80 μg diberikan atau pemberian inotropik (dopamin, 2
sampai 8 μg/kg/menit) dimulai untuk mencapai hemodinamik yang memadai
kontrol. Hipertensi (tekanan darah sistolik 160 mmHg) ditatalaksana dengan
meningkatkan konsentrasi anestesi volatil dan infus sodium nitroprusside sesuai
kebutuhan. Bradikardia didefinisikan sebagai kecepatan jantung 60 denyut/menit.
Setiap perubahan segmen ST baru (deviasi segmen ST 2 mm selama 2 menit)
7
ditatalaksana dengan infus nitrogliserin sesuai dengan praktik anestesi standar.
Pemantauan rutin termasuk tekanan darah arteri langsung terus menerus, tekanan
vena sentral, kateter arteri pulmonalis, elektrokardiografi (sadapan II dan V5)
dengan analisis segmen ST berkelanjutan, oksimetri nadi, kapnografi, dan
pengukuran suhu nasofaring.5
Regimen anestesi dalam metode ini memberikan stabilitas kardiovaskular;
namun, insiden bradikardia lebih tinggi pada kelompok yang menggunakan
metode UFTA. Blokade saraf akselerator jantung oleh analgesia epidural toraks
dalam hubungannya dengan infus remifentanil menjadi penyebab bradikardia
yang paling mungkin. Jika analgesia epidural toraks dimulai sebelum operasi
maka akan menumpulkan respons hormonal dan metabolik yang muncul saat
operasi jantung. Hal ini akan mendukung penurunan tekanan arteri sistemik dan
pulmonal tanpa secara signifikan mempengaruhi tekanan perfusi koroner, CO,
atau volume sekuncup. Adanya bradikardia selama prosedur CABG off-pump
mungkin bermanfaat dalam memfasilitasi penempatan graft dan dapat
menurunkan konsumsi oksigen miokard sehingga melemahkan risiko iskemia
intraoperatif.5
Sebuah studi oleh Ahonen et al, menjelaskan manfaat dari penggunaan
anestesi remifentanil atau propofol dalam prosedur ekstubasi trakea dini setelah
operasi CABG off-pump. Namun, informasi mengenai penggunaan kombinasi
analgesia epidural toraks dan anestesi remifentanil/propofol pada pasien yang
menjalani operasi CABG off-pump belum banyak diteliti. Efek onset dan offset
analgesik dari remifentanil cepat. Ketika digunakan sebagai komponen dalam
prosedur anestesi, remifentanil dapat dititrasi dengan cepat hingga kedalaman
anestesi dan analgesia yang diinginkan dengan mengubah laju infus kontinyu atau
dengan memberikan bolus injeksi, menjadikannya opioid yang menarik untuk
operasi jantung yang sifatnya fast-track. Propofol sendiri telah menjadi pilihan
utama dalam teknik anestesi jantung fast-track sejak pertengahan 1990-an. Obat
ini banyak digunakan sebagai agen induksi dan maintenance anestesi selama
prosedur operasi jantung juga untuk sedasi di ruang ICU.5
8
Admisi ICU rutin tidak diperlukan pada pasien bedah jantung yang telah
dipilih sebelumnya. Hal ini menjadi lebih jelas bahwa banyak pasien pasca bedah
jantung dapat dirawat dan aman di unit yang lebih rendah tingkatannya / step-
down sehingga menghindari biaya ICU yang tinggi. Sherry et al melaporkan
bahwa pasien yang menerima propofol diekstubasi lebih awal daripada pasien
yang menerima midazolam. Masing-masing kelompok hanya membutuhkan 2,95
shift perawat jika dibandingkan dengan 3,68 shift perawat yang biasa dibutuhkan
setelah operasi jantung. Nilai ini menggambarkan hasil penghematan yang
signifikan per pasien. Tidak mengejutkan jika dilihat bahwa ekstubasi di ruang
operasi tidak mengubah lama rawat di ICU pada kelompok populasi penelitian ini.
Institusi tempat penelitian ini mendapat manfaat dari unit pasca operasi jantung.
Unit ini memungkinkan perawatan pasien yang progresif secara berkelanjutan dan
fleksibilitas yang maksimum dalam penggunaan sumber daya pegawai untuk
meningkatkan efektivitas biaya perawatan. Manfaat ekonomi utama muncul dari
ketergantungan keperawatan yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang
bernapas secara spontan. Rasio perawat-pasien 1:1 dikurangi menjadi 1:2 saat
pasien dirawat dengan perawatan tingkat menengah. Sekitar setengah dari total
pengeluaran ICU berasal dari berbagai variabel komponen keperawatan. Sehingga
penghematan biaya yang signifikan dapat dicapai jika rasio perawat-pasien dan
rotasi keperawatan dapat dioptimalkan tanpa mengorbankan perawatan terhadap
pasien. Manfaat tambahan diperoleh dengan menghindari penggunaan ventilator
sekali pakai dan pengurangan kebutuhan sedasi pasca operasi. Meskipun sangat
menarik untuk berspekulasi bahwa ekstubasi dini pasca operasi menggunakan
teknik UFTA menghasilkan penghematan biaya secara keseluruhan, analisis biaya
formal antara 2 kelompok akan diperlukan untuk mendukung atau membantah
pernyataan ini lebih lanjut. Biaya-biaya seperti penggunaan alat penghangat,
anestesi epidural, dan potensi menunggu tambahan 30 menit di ruang operasi
perlu diseimbangkan dengan penghematan biaya dari penyesuaian rasio perawat,
penggunaan ventilator sekali pakai, dan kemungkinan dari pemulangan dini
pasien.5,6
9
Gambar 2 Protokol Anestesi
10
observasional prospektif menunjukkan bahwa prosedur ekstubasi di ruang operasi
berhasil pada 87,1% pasien tanpa menyebabkan peningkatan mortalitas dan
morbiditas. Hasil ini juga diikuti dengan penurunan lama rawat di ICU dan
penggunaan sumber daya rumah sakit yang lebih sedikit.8
Teknik UFTA dalam prosedur pembedahan PJB mencakup manajemen
anestesi perioperatif, seperti metode anestesi, pemilihan anestesi, kontrol suhu
tubuh perioperatif dan pemilihan analgesia pascaoperasi. Remifentanil dan
propofol umumnya diadministrasikan melalui pembuluh darah setelah rewarm
pada periode pascaoperasi. Agen untuk memberikan efek sedative - analgesik dan
meminimalkan stres akibat stimulasi bedah serta kesadaran intraoperatif adalah
agen anestesi yang bersifat ultra short acting. Dalam teknik UFTA juga dilakukan
pengurangan dosis sufentanil selama operasi untuk ekstubasi dini, mendepresi
pernapasan pasca operasi dan menghasilkan durasi waktu ventilasi yang lebih
baik. Dengan UFTA, mengurangi penggunaan narkotik dan analgesik juga
membantu pemulihan fungsi paru dan fungsi gastrointestinal. Suhu tubuh
perioperatif merupakan faktor utama yang mempengaruhi ekstraksi setelah
operasi jantung. Suhu tubuh dijaga di atas 36,0°C. Penjagaan suhu ini akan
mempercepat proses metabolisme anestesi dan relaksan otot untuk homeostasis
lingkungan internal yang lebih baik. Analgesia pasca operasi dapat mempengaruhi
ekstubasi dan prognosis setelah operasi jantung. Pada kelompok UFTA, analgesia
yang digunakan adalah ropivacaine dan dexmedetomidine dikombinasikan dengan
morfin. Hasilnya memuaskan dan tidak ada efek samping seperti agitasi pasca
operasi yang diamati selama penelitian. Hal ini penting untuk pemulihan fungsi
paru dini yang lebih baik.8,9
Protokol anestesi selama operasi jantung kongenital menjadi berubah sejak
digunakannya ekstubasi UFT pada pasien non-UFT dan pasien UFT. Protokol
induksi tidak diubah, masih menggunakan atropin (0,02 mg/kg), natrium
thiopental (5 mg/kg), midazolam (0,1 mg/kg), rocuronium (1,2 mg/kg) dan
fentanil (1–2 μg/kg) pada kedua kelompok. Obat maintenance diubah dari
midazolam (0,1–0,2 mg/kg/jam), sufentanil (2,5–5,0 μg/kg/jam), dan vecuronium
(0,1–0,2 mg/kg/jam) menjadi remifentanil (0,02 μg/kg/ menit), rocuronium (0,2
11
mg/kg/jam), dan sevofluran (konsentrasinya disesuaikan menurut sistem
pemantauan bispektral [BIS, A-3000; Covidien, Singapura]) baik dalam
kelompok UFT maupun kelompok non-UFT. Ketika CPB dimulai, tambahan
midazolam (0,1 mg/kg) dan rocuronium (0,6 mg/kg) diberikan pada kedua
kelompok. Ketika CPB dikeluarkan, obat maintenance dilanjutkan pada kelompok
non-UFT. Pada kelompok UFT rocuronium dihentikan dan remifentanil
diturunkan menjadi setengah dosis. Pada akhir operasi kelompok non-UFT,
sevoflurane dihentikan, remifentanil dan rocuronium dipertahankan. Pada
kelompok UFT, remifentanil dihentikan dan sugammadex (2 mg/kg) diberikan,
diikuti dengan ekstubasi di atas meja operasi atau transfer ke ICU. Pada kelompok
UFT, stimulator saraf juga diberikan untuk memeriksa status sedasi pasien di
akhir operasi. Beberapa pasien diekstubasi di ICU dibandingkan di ruang operasi.3
12
Kriteria inklusi untuk protokol PACU:
1) Pasien yang dijadwalkan untuk menjalani CABG, bypass arteri koroner off-
pump (OPCAB), penggantian katup aorta terisolasi (AVR) atau kombinasi
AVR dengan satu CABG.
2) Prosedur bedah jantung terisolasi yang tidak kompleks seperti penutupan
defek septum atrium atau pengangkatan miksoma atrium.
Pasien dipindahkan ke bangsal biasa pada hari yang sama dengan operasi
ketika kondisi berikut terpenuhi:1
1) Parameter hemodinamik stabil tanpa dukungan farmakologis atau mekanik
jantung. Tekanan darah sistolik >100 mmHg, tekanan darah diastolik <90
mmHg.
2) Pasien sadar dan waspada. Pasien menjawab pertanyaan dan mengikuti
perintah.
3) Irama sinus yang stabil pada elektrokardiogram tanpa tanda-tanda iskemia.
Denyut jantung <100/menit. Tidak ada fibrilasi atrium.
13
4) Fungsi pernapasan normal dengan saturasi O2 >90% dengan oksigen
tambahan maksimum 5 liter melalui nasal kanul, dan tingkat pCO 2 arteri
<50 mmHg pada analisis gas darah arteri.
5) Kehilangan darah <50 ml/h melalui selang dada.
6) Keluaran urin >0,5 ml kg/jam.
7) Perbedaan suhu antara suhu rektal dan perifer (ΔT) <5°C (kecuali saturasi
O2 dari sampel darah vena >70%).
14
meski saat ini juga masih banyak diteliti. Penilaian risiko diukur dengan
Euroscore, kelas ASA, kelas NYHA, lamanya operasi. Menanggapi kegagalan
FTCA ini, diperlukan perhatian lebih terhadap penanganan nyeri pascaoperasi dan
pengelolaan penentuan “step-down” jenis kamar rawat pasien yang lebih baik.10,11
Pada kasus pediatri dengan penyakit jantung bawaan defek septum ventrikel
(VSD) tidak ditemukan perbedaan yang signifikan mengenai komplikasi
pascaoperasi antara teknik FTCA dan teknik konvensional. Kemudian, teknik
FTCA pada kasus pediatri ini menghasilkan lama rawat inap dan biaya
hospitalisasi yang lebih rendah dibanding teknik konvensional.14
Teknik ultra-fast-track anesthetic (UFTA) adalah teknik anestesi dengan
metode ekstubasi yang lebih dini lagi dibandingkan FTCA dan dapat dilakukan di
ruang operasi, rerata segera setelah operasi sampai 2 jam pascaoperasi. Hal yang
diperhatikan dengan penggunaan UFTA ini di antaranya adalah pemilihan pasien,
pengurangan penggunaan inotrop dan produk darah dan penatalaksanaan nyeri
yang efisien. Modifikasi yang digunakan dalam teknik ini di antaranya adalah
titrasi obat anestesi kerja pendek, memertahankan normotermi pada pasien,
ekstubasi dini dengan analgesia efektif.6,15 Jika membandingkan tingkat mortalitas,
kejadian iskemia miokardium, komplikasi pascaoperasi, hospital-associated
pneumonia, sepsis, kematian pascaoperasi jantung pada FTCA dan UFTA dengan
teknik konvensional tidak dijumpai perbedaan yang signifikan.11,12 Namun, pada
aspek reintubasi didapati bahwa tingkat reintubasi lebih tinggi ditemukan pada
kelompok yang mendapat teknik FTCA dan UFTA dibanding teknik konvensional
yang terjadi akibat kegagalan ekstubasi atau depresi napas. Risiko reintubasi
meningkat apabila hemodinamik pasien tidak stabil, pasien hipotermi atau
membutuhkan medikasi opioid yang signifikan.12,13 Pada pasien pediatri, teknik
UFTA dinilai memberikan manfaat lebih baik yaitu berkaitan dengan angka
morbiditas yang lebih rendah dan lama rawat inap yang lebih singkat. 15 Pada
pasien pediatri, faktor keberhasilan ekstubasi dini mencakup usia yang lebih tua,
berat badan yang lebih besar, waktu CPB yang lebih pendek dan tidak adanya
hipertensi pulmonal. Teknik UFTA ini juga diutamakan pada kasus PJB yang
ringan karena semakin kompleks PJB akan meningkatkan kemungkinan gagal dan
15
reintubasi.3 Pada kasus OPCAB, teknik UFTA juga didapati lebih bermanfaat
dibanding teknik konvensional terkait lama rawat dan munculnya komplikasi. 6
Pada pasien yang menjalani pembedahan jantung dengan kondisi baik (fungsi
ventrikular baik, fraksi ejeksi <45%, usia <75 tahun dan tidak ada penyakit paru
yang menyertai) teknik UFTA didapati juga memiliki insidensi komplikasi yang
lebih rendah dan masa rawat inap ICU lebih pendek dibanding teknik
konvensional.16
16
BAB III
RINGKASAN
17
DAFTAR PUSTAKA
18
al. Fast-track recovery program after cardiac surgery in a teaching hospital:
a quality improvement initiative. BMC Res Notes [Internet]. 2021;14(1).
Available from: https://doi.org/10.1186/s13104-021-05620-w
11. Nath Pokharel J, Sharma A, Upreti R, Koirala R, Sharma J, Pradhan S.
Fast-Track at a Tertiary Care Cardiac Centre in Nepal. Nepal Hear J Orig
Artic Fast-Track Card Anaesth. 2013;10(1):6–11.
12. Lima CA, Ritchrmoc MK, Leite WS, Silva DARG, Lima WA, Campos SL,
et al. Impact of fast-track management on adult cardiac surgery: clinical
and hospital outcomes. Rev Bras Ter intensiva. 2019;31(3):361–7.
13. Ranjan R V., Ramachandran TR. Comparison of fast-Track anesthesia and
conventional cardiac anesthesia for valve replacement cardiac surgery.
Anaesthesia, Pain Intensive Care. 2016;20(October):S27–31.
14. Yu LS, Chen Q, Wang ZC, Cao H, Chen LW, Zhang GC. Comparison of
fast-track and conventional anesthesia for transthoracic closure of
ventricular septal defects in pediatric patients. Ann Thorac Cardiovasc
Surg. 2019;25(4):205–10.
15. Taware M, Manish S, Deshpande R. Ultra-fast-tracking in Cardiac
Anesthesia “Our Experience” in a Rural Setup. J Datta Meghe Inst Med Sci
Univ. 2017;
16. Guerrero Gómez A, González Jaramillo N, Castro Pérez JA. Ultra-fast-
track extubation vs. conventional extubation after cardiac surgery in a
cardiovascular reference centre in Colombia. A longitudinal study. Rev
Española Anestesiol y Reanim (English Ed [Internet]. 2019;66(1):10–7.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.redare.2018.06.007
19