DISUSUN OLEH :
MEISY MAULANI PRAMESTI (202201017)
Jalan Tanah Merdeka No. 16, 17, 18 Pasar Rebo, Jakarta Timur 13750
2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan
rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa ada halangan
yang berarti dan sesuai dengan harapan.
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada ibu Ns. Siti Nurhayati, Sp.Kep. An
sebagai Dosen Koordinator Mata Kuliah Bahasa Indonesia yang telah membantu
memberikan arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
1
DAFTAR ISI
BAB I PEMBAHASAN
A. Sejarah Bahasa Indonesia............................................................................... 3
B. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia .................................................. 10
BAB II PENUTUP
Kesimpulan ...................................................................................................... 14
Saran ...................................................................................................................15
2
BAB I
PEMBAHASAN
Para ahli sependapat bahwa cikal bakal bahasa Indonesia adalah bahasa melayu
kuno yang dalam perkembangannya kemudian melahirkan sejumlah dialek regional
dan dialek sosial yang tersebar luas di wilayah Asia Tenggara. Selain itu, bahasa
melayu yang menurut para pakar (Blust 1983,1984, Nothofer 1996, Collins 2005)
berasal dari wilayah Kalimantan Barat telah pula melahirkan dua dialek/ragam
politis, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia, disamping dua ragam politis
lain yaitu bahasa Melayu di Singapura dan bahasa Melayu di Brunei Darussalam.
Bukti bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu kuno adalah adanya
sejumlah prasasti yang di temukan di pulau Sumatera, Pulau Bangka, Semenanjung
Malaya (wilayah Malaysia sekarang) dan di Pulau Jawa. Prasasti-prasasti itu ditulis
dengan menggunakan huruf Pallawa, yakni aksara yang dibawah oleh orang-
orang Hindu ke Indonesia. Ada juga, menurut Teeluw (1961) prasasti yang ditulis
dengan huruf Arab, dan ini tentunya prasasti yang dibuat sesudah masuknya agama
Islam ke Indonesia. Menurut Kridalaksana (1991) sudah ada 18 buah prasasti yang
sudah teridentifikasi dan besar kemungkinan akan bertambah lagi.
Sebagai contoh bentuk bahasa Melayu kuno berikut dikutipkan bagian dari sebuah
prasasti yang telah ditranslitrasi kedalam huruf latin.
Nipahat di welanya yang wala griwijaya kaliwatmanapik yang bhumi jaya tida
bhakti ka griwajaya.
Secara harfiah artinya: Dipahat di waktunya yang tentara sriwijaya telah menyerang
tanah Jawa tidak takluk ke Sriwijaya
Makna sebenarnya: Dipahat pada waktu tentara Sriwijaya telah menyerang tanah
jawa yang tidak takluk pada Sriwijaya.
kutipan tersebut dapat dikenali sejumlah kata yang hingga yang kini masih biasa
digunakan. Kata kata itu adalah pahat, di, yang, wala (bala) bhumi (bumi), tida
3
(tidak), bhakti (bakti), dan ka (ke). Kata wala menjadi bala dimana fonem [w]
berubah menjadi [b] adalah perubahan yang umum dan biasa. Ada contoh lain, yaitu
watu menjadi batu dan wankai menjadi bangkai. Fonem [bh] menjadii [b] pada kata
bhumi dan bhakti adalah juga perubahan yang biasa terjadi begitupun fonem[a]
berubah menjadi [e] pada kata ka juga merupakan peubahan yang biasa ada contoh
lain, yaitu kata tantara menjadi tentara dan kata karena menjadi kerana (dalam
bahasa Melayu kini).
4
Riau, Sumatera, Indonesia). Agaknya terlalu sederhana untuk mengatakan
bahwa Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Riau. Orang-orang lupa
bahwa bahasa Melayu Riau hanyalah merupakan satu dialek dari sekian banyak
dialek Melayu yang lain.Diatas semua ini sudah terkenal di seluruh Nusantara
suatu bahasa perhubungan, suatulingua Franca yang disebut dengan Melayu
Pasar. Melayu Pasar inilah yang merupakan faktor yang paling penting untuk di
terimanya.
a. Masa Prakolonial
Walaupun bukti-bukti tertulis masih kurang, dapat di pastikan bahasa yang di
pakai oleh kerajaan Sriwijaya pada abad VII adalah bahasa Melayu.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak lebih jelas dari
berbagai peninggalan–peninggalan bersejarah misalnya: Tulisan yang
terdapat pada batu Nisan di Minye Tujoh, Aceh pada tahun 1380 M, Prasasti
Kedukan Bukit, di Palembang, pada tahun 683, Prasasti Talang Tuo, di
Palembang, pada tahun 684, Prasasti Kota Kapur, di Bangka Barat, pada
tahun 686, Prasasti Karang Brahi Bangko, Merangi, Jambi, pada tahun 688.
5
Dalam kesusastraan Tiongkok terdapat berita-berita tentang musafir-musafir
Cina yang bertahun-tahun tinggal di kota-kota Indonesia. Mereka
mempergunakan bahasa penduduk asli yang disebut Kwu’un Lun. I Tsing
yang belajar di Sriwijaya pada akhir abad VII juga menggunakan bahasa itu.
b. Masa Kolonial
Ketika orang-orang Barat sampai di Indonesia pada abad ke XVI, mereka
menghadapi suatu kenyataan, yaitu bahasa Melayu merupakan suatu bahasa
resmi dalam pergaulan dan bahasa perantara dalam perdagangan (lingua
franca). Hal ini dapat di buktikan dari beberapa kenyataan berikut. Seorang
Portugis bernama Pigafetta, setelah menjunjung Tidore, menyusun semacam
daftar kata pada tahun 1522; berarti sebelum itu bahasa Melayu sudah
tersebar sampai Kepulauan Maluku.
6
Pada mulanya memang sulit untuk menentukan bahasa mana yang akan
menjadi bahasa persatuan. Tiap perhimpunan pemuda, apakah Jong Java,
Jong Sumatra atau Jong Ambon, lebih suka menggunakan bahasa daerahnya
sendiri. Budi Utomo, misalnya lebih menekankan kebudayaan dan bahasa
Jawa. Hal-hal ini dirasakan sangat menghambat persatuan dan kesatuan yang
hendak dicapai.
Perlu pula dicatat jasa beberapa Surat kabar yang turut menyebarluaskan
bahasa Melayu, seperti Bianglala, Bintang Timoer, Kaum Moeda, dan
Neratja. Disamping pengaruhnya yang sangat besar dalam perkembangan
bahasa Melayu, media tersebut sekaligus menjadi penghubung dan tempat
latihan bagi putra-putri Indonesia untuk mengutarakan berbagai macam
masalah.
7
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 1945, dalam UUD
1945 ditetapkanlah bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara pada pasal 36. Pada
tanggal 19 Maret 1947 ”bahasa Negara adalah bahasa Indonesia”. Penggunaan
Ejaan Republik (Ejaan Soewandi) diresmikan menggantikan Ejaan van Ophuysen
yang berlaku sejak tahun 1901.
Ejaan Van Ophuysen ditetapkan pada tahun 1901 dan diterbitkan dalam sebuah
buku Kitab Logat Melajoe. Sejak ditetapkannya itu, ejaan Van Ophuysen pun
dinyatakan berlaku. Sesuai dengan namanya ejaan itu disusun oleh Ch.A.Van
Ophuysen, yang dibantu oleh Engku Nawawi gelar Soetan Ma’moer dan
Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Sebelum ejaan Van Ophuysen disusun para
penulis pada umumnya mempunyai aturan sendiri-sendiri dalam menuliskan
konsonan, vokal, kata, kalimat, dan tanda baca. Oleh karena itu, sistem ejaan
yang digunakan pada waktu itu sangat beragam. Terbitnya ejaan Van Ophuysen
mengurangi kekacauan ejaan yang terjadi pada masa itu.
Ejaan Republik ialah ejaan baru yang disusun oleh Mr. Soewandi. Penyusunan
ejaan baru dimaksudkan untuk menyempurnakan ejaan yang berlaku sebelumnya
yaitu ejaan Van Ophuysen juga untuk menyederhanakan sistem ejaan bahasa
Indonesia. Pada tanggal 19 Maret 1947, setelah selesai disusun ejaan baru itu
diresmikan dan ditetapkan berdasarkan surat keputusan menteri pendidikan,
pengajaran, dan kebudayaan Republik Indonesia Nomor 264/Bhg.A, tanggal 19
Maret 1947. Ejaan baru itu diresmikan dengan Nama Ejaan Republik.
Ejaan Repubik lazim disebut Ejaan Soewandi karena Nama itu disesuaikan
dengan Nama orang yang memprakarsainya. Seperti kita ketahui, Soewandi
merupakan Nama Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan ketika ejaan
itu disusun oleh karena itu, kiranya wajar jika ejaan yang disusunnya juga dikenal
sebagai Ejaan Soewandi.
Ejaan yang terakhir yang berlaku sampai sekarang adalah Ejaan yang
disempurnakan. Ejaan ini diresmikan pada tahun 1972. Sebelum EYD, Lembaga
8
Bahasa dan Kesusastraan, (sekarang Pusat Bahasa), pada tahun 1967
mengeluarkan Ejaan Baru (Ejaan LBK). Ejaan Baru pada dasarnya merupakan
lanjutan dari usaha yang telah dirintis oleh panitia Ejaan Malindo. Para
pelaksananya pun di samping terdiri dari panitia Ejaan LBK, juga dari panitia
ejaan dari Malaysia. Panitia itu berhasil merumuskan suatu konsep ejaan yang
kemudian diberi nama Ejaan Baru. Panitia itu bekerja atas dasar surat keputusan
menteri pendidikan dan kebudayaan no.062/67, tanggal 19 September 1967.
9
Nomor 0196/U/1975 memberlakukan "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia
yang Disempurnakan" dan "Pedoman Umum Pembentukan Istilah".
10
Kedudukannya berada diatas bahasa-bahasa daerah. Hasil Perumusan Seminar
Politik Bahasa Nasional yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25-28
Februari 1975 menegaskan bahwa dalam kedudukannya sebagai bahasa
nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:
a. Lambang Kebanggaan Nasional.
Sebagai lambang kebanggaan Nasional bahasa Indonesia memancarkan
nilai-nilai sosial budaya luhur bangsa Indonesia. Dengan keluhuran nilai
yang dicerminkan bangsa Indonesia, kita harus bangga, menjunjung dan
mempertahankannya. Sebagai realisasi kebanggaan terhadap bahasa
Indonesia, harus memakainya tanpa ada rasa rendah diri, malu, dan acuh tak
acuh. Kita harus bangga memakainya dengan memelihara dan
mengembangkannya.
b. Lambang Identitas Nasional.
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan lambang
bangsa Indonesia. Berarti bahasa Indonesia akan dapat mengetahui identitas
seseorang, yaitu sifat, tingkah laku, dan watak sebagai bangsa Indonesia.
Kita harus menjaganya jangan sampai ciri kepribadian kita tidak tercermin di
dalamnya. Jangan sampai bahasa Indonesia tidak menunjukkan gambaran
bangsa Indonesia yang sebenarnya.
c. Alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial
budaya dan bahasanya.
Dengan fungsi ini memungkinkan masyarakat Indonesia yang beragam latar
belakang sosial budaya dan berbeda-beda bahasanya dapat menyatu dan
bersatu dalam kebangsaan, cita-cita, dan rasa nasib yang sama. Dengan
bahasa Indonesia, bangsa Indonesia merasa aman dan serasi hidupnya,
karena mereka tidak merasa bersaing dan tidak merasa lagi ‘dijajah’ oleh
masyarakat suku lain. Karena dengan adanya kenyataan bahwa dengan
menggunakan bahasa Indonesia, identitas suku dan nilai-nilai sosial budaya
daerah masih tercermin dalam bahasa daerah masing-masing. Kedudukan
dan fungsi bahasa daerah masih tegar dan tidak bergoyah sedikit pun.
Bahkan, bahasa daerah diharapkan dapat memperkaya khazanah bahasa
Indonesia.
11
d. Alat penghubung antarbudaya antardaerah.
Manfaat bahasa Indonesia dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan bahasa Indonesia seseorang dapat saling berhubungan untuk segala
aspek kehidupan. Bagi pemerintah, segala kebijakan dan strategi yang
berhubungan dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan,
dan kemanan mudah diinformasikan kepada warga. Apabila arus informasi
antarmanusia meningkat berarti akan mempercepat peningkatan pengetahuan
seseorang. Apabila pengetahuan seseorang meningkat berarti tujuan
pembangunan akan cepat tercapai.
12
Bahasa Indonesia dipakai dalam hubungan antarbadan pemerintah dan
penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu
hendaknya diadakan penyeragaman sistem administrasi dan mutu media
komunikasi massa. Tujuan penyeragaman dan peningkatan mutu tersebut
agar isi atau pesan yang disampaikan dapat dengan cepat dan tepat diterima
oleh masyarakat.
13
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia sebagaimana disebutkan
dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36 ”bahasa Negara adalah bahasa
Indonesia”. Sejarah bahasa Indonesia telah tumbuh dan berkembang sekitar abad ke
VII dari bahasa Melayu yang sejak zaman dahulu sudah dipergunakan sebagai
bahasa perhubungan.
Awal penciptaan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari Sumpah
Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, diumumkanlah penggunaan Bahasa
Indonesia sebagai bahasa untuk Negara Indonesia pasca kemerdekaan. Secara
yuridis, baru tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara resmi diakui
keberadaannya dan ditetapkan dalam UUD 1945 pasal 36.
Ada beberapa ejaan yang pernah diguankan di Indonesia, antara lain ejaan Van
Ophuysen, ejaan republik, dan ejaan yang masih digunakan sampai sekarang yaitu
ejaan yang disempurnakan atau biasa disingkat EYD.
14
4. Bahasa resmi kebudayaan dan IPTEK
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, kedepannya
penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas
dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung
jawabkan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
15
DAFTAR PUSTAKA
16