BAHASA INDONESIA
“Sejarah, Kedudukan, dan Fungsi Bahasa Indonesia”
Oleh:
Kelompok 1
1. Ira Amelia
2. Riska Adika Febryanti Rahmad
3. Nurfadilah Jamal
4. Muhammad Farid Saputra Edwin
Jurusan Manajemen
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Negeri Makassar
Tahun 2021
DAFTAR ISI
Kata pengantar……………………………………………………………………………….......i
Daftar
Isi………………………………………………………………………………………….......ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………………...1
A. Latar Belakang…………………………………………………………………………..1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………….2
C. Tujuan Penulisan……………………………………………………………………….2
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………….....3
A. Sejarah Bahasa Indonesia………………………………………………………..3
B. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia……………………………..8
BAB III
PENUTUP……………………………………………………………………………......16
A. Kesimpulan……………………………………………………………………………....16
B. Saran…………………………………………………………………………………….......
16
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat membuat sebuah makalah tentang “Sejarah, Kedudukan, dan Fungsi
Bahasa Indonesia”.
Dalam makalah ini, penulis mencoba menyampaikan materi-materi yang bersangkutan
dengan sejarah bahasa Indonesia sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan serta
kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
Makalah ini disusun berdasarkan apa yang diperoleh dari berbagai sumber. Penulis
menyadari sepemuhnya bahwa makalah ini masih belum sempurna dan untuk menjadi sempurna.
Untuk itu diharapkan kepada semua pihak yang akan dating, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa sarana yang membangun.
Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah
yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya.
Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan
penulis memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Akhir kata diucapkan banyak terima kasih.
Penulis
MAKALAH SEJARAH, KEDUDUKAN, DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara yang beraneka ragam suku, budaya, dan bahasa. Membahas
tentang bahasa, Bahasa Indonesia adalah alat komunikasi umum yang paling penting dalam
mempersatukan seluruh rakyat bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan bahasa Melayu
yang dijadikan sebagai bahasa resmi dan bahasa persatuan Republik Indonesia. Melalui
perjalanan sejarah yang panjang, bahasa Indonesia telah mencapai perkembangan yang luar biasa,
baik dari segi jumlah pemakainya, maknanya maupun dari segi kosa kata dan segi tata bahasanya.
Diera modern ini, bahasa Indonesia telah berkembang secara luas bukan hanya di
Indonesia tetapi juga di luar Indonesia, dan menjadi salah satu kebanggaan Indonesia atas prestasi
tersebut. Sehingga Bahasa Indonesia masuk dalam kelompok mata kuliah di setiap Perguruan
Tinggi.
Mahasiswa peserta Mata Kuliah Bahasa Indonesia perlu disadarkan akan kenyataan
keberhasilan ini dan ditimbulkan kebanggaannya terhadap bahasa Nasional kita yaitu Bahasa
Indonesia. Karena kemahiran berbahasa Indonesia bagi para mahasiswa merupakan cerminan
dalam tata pikir, tata laku, tata ucap dan tata tulis berbahasa Indonesia dalam konteks akademis
maupun konteks ilmiah. Sehingga Mahasiswa kelak akan menjadi insan terpelajar bangsa
Indonesia yang akan terjun ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai pemimpin
dalam daerahnya masing-masing. Sehingga mahasiswa diharapkan kelak dapat mengajarkan
warga Indonesia yang masih belum mengetahui banyak tentang bahasa Indonesia tentang arti
penting bahasa yang sebenarnya sehingga nantinya akan menjadi warga Negara yang dapat
memenuhi kewajibannya di mana pun mereka berada dan dengan siapa pun mereka bergaul di
wilayah Negara kesatuan republik Indonesia tercinta ini. Kemudian mahasiswa hendaknya dapat
menyadari akan pentingnya sejarah, fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa
negara dan bahasa nasional.
BAB II
PEMBAHASAN
a. Masa Prakolonial
Walaupun bukti-bukti tertulis masih kurang, dapat di pastikan bahasa yang di pakai oleh
kerajaan Sriwijaya pada abad VII adalah bahasa Melayu. Perkembangan dan pertumbuhan bahasa
Melayu tampak lebih jelas dari berbagai peninggalan–peninggalan bersejarah misalnya: Tulisan
yang terdapat pada batu Nisan di Minye Tujoh, Aceh pada tahun 1380 M, Prasasti Kedukan
Bukit, di Palembang, pada tahun 683, Prasasti Talang Tuo, di Palembang, pada tahun 684,
Prasasti Kota Kapur, di Bangka Barat, pada tahun 686, Prasasti Karang Brahi Bangko, Merangi,
Jambi, pada tahun 688.
Walaupun bukti tertulis hampir tidak ada, dengan adanya bermacam-macam dialek
Melayu yang tersebar di seluruh Nusantara seperti dialek Melayu Ambon, Larantuka, Kupang
Betawi, dan Manado, dapatlah dipastikan bahwa bahasa Melayu sudah mengalami penyebaran
seluas itu.
Dalam kesusastraan Tiongkok terdapat berita-berita tentang musafir-musafir Cina yang
bertahun-tahun tinggal di kota-kota Indonesia. Mereka mempergunakan bahasa penduduk asli
yang disebut Kwu’un Lun. I Tsing yang belajar di Sriwijaya pada akhir abad VII juga
menggunakan bahasa itu.
b. Masa Kolonial
Ketika orang-orang Barat sampai di Indonesia pada abad ke XVI, mereka menghadapi
suatu kenyataan, yaitu bahasa Melayu merupakan suatu bahasa resmi dalam pergaulan dan bahasa
perantara dalam perdagangan (lingua franca). Hal ini dapat di buktikan dari beberapa kenyataan
berikut. Seorang Portugis bernama Pigafetta, setelah menjunjung Tidore, menyusun semacam
daftar kata pada tahun 1522; berarti sebelum itu bahasa Melayu sudah tersebar sampai Kepulauan
Maluku.
Baik bangsa Portugis maupun bangsa Belanda yang datang ke Indonesia mendirikan
sekolah-sekolah. Mereka terbentur pada soal bahasa pengantar. Usaha-usaha untuk memakai
bahasa Portugis atau bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar selalu mengalami kegagalan.
Demikianlah pengakuan seorang Belanda yang bernama Danckaerts dalam tahun 1631. Ia
menyatakan bahwa kebanyakan sekolah di Maluku itu kebanyakan memakai bahasa Melayu
sebagai bahasa pengantar. Kegagalan di dalam memakai bahasa-bahasa Barat itu memuncak
dengan keluarnya suatu keputusan pemerintah kolonial, KB 1871 No. 104, yang menyatakan
bahwa pengajaran di sekolah-sekolah Bumi Putra, kalau tidak digunakan bahasa Melayu, di
berikan dalam bahasa daerah.
c. Masa Pergerakan Kemerdekaan
Dengan lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908 sebagai penggerakan kemerdekaan, terasa
sangat diperlukan suatu bahasa untuk mengikat bermacam-macam suku bangsa di Indonesia.
Pergerakan yang besar dan hebat hanya dapat berhasil kalau semua rakyat diikutsertakan. Untuk
itu mereka mencari suatu bahasa yang dapat dipahami dan dipakai semua orang.
Pada mulanya memang sulit untuk menentukan bahasa mana yang akan menjadi bahasa
persatuan. Tiap perhimpunan pemuda, apakah Jong Java, Jong Sumatra atau Jong Ambon, lebih
suka menggunakan bahasa daerahnya sendiri. Budi Utomo, misalnya lebih menekankan
kebudayaan dan bahasa Jawa. Hal-hal ini dirasakan sangat menghambat persatuan dan kesatuan
yang hendak dicapai.
Mengingat kesulitan-kesulitan untuk mempersatukan berbagai suku bangsa di Indonesia,
pada tahun 1926 Jong Java merasa perlu mengakui suatu bahasa daerah sebagai media
penghubung pemuda-pemudi Indonesia. Bahasa melayu dipilih sebagai bahasa
pengantar. Pemuda-pemudi di Sumatra sudah lebih dulu menyatakan dengan tegas hasrat mereka
agar bahasa Melayu Riau, yang juga disebut Melayu Tinggi, diakui sebagai bahasa persatuan.
Walaupun dengan adanya hasrat yang tegas ini, sebagai majalah Jong Java dan Jong Sumatranen
Bond masih ditulis dalam bahasa Belanda.
Perlu pula dicatat jasa beberapa Surat kabar yang turut menyebarluaskan bahasa Melayu,
seperti Bianglala, Bintang Timoer, Kaum Moeda, dan Neratja. Disamping pengaruhnya yang
sangat besar dalam perkembangan bahasa Melayu, media tersebut sekaligus menjadi penghubung
dan tempat latihan bagi putra-putri Indonesia untuk mengutarakan berbagai macam masalah.
Dengan adanya bermacam-macam faktor seperti disebutkan diatas, akhirnya tibalah saat
diadakan Kongres Pemuda Indonesia di Jakarta, yaitu pada tanggal 28 Oktober 1928. Sebagai
hasil yang paling gemilang dari kongres itu, diadakan ikrar bersama yang terkenal dengan nama
Sumpah Pemuda, yang berbunyi:
Beberapa hal yang cukup menonjol dalam Ejaan Van Ophuysen antara lain sebagai berikut
:
Ejaan Republik ialah ejaan baru yang disusun oleh Mr. Soewandi. Penyusunan ejaan baru
dimaksudkan untuk menyempurnakan ejaan yang berlaku sebelumnya yaitu ejaan Van Ophuysen
juga untuk menyederhanakan sistem ejaan bahasa Indonesia. Pada tanggal 19 Maret 1947, setelah
selesai disusun ejaan baru itu diresmikan dan ditetapkan berdasarkan surat keputusan menteri
pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan Republik Indonesia Nomor 264/Bhg.A, tanggal 19
Maret 1947. Ejaan baru itu diresmikan dengan Nama Ejaan Republik.
Ejaan Repubik lazim disebut Ejaan Soewandi karena Nama itu disesuaikan dengan Nama
orang yang memprakarsainya. Seperti kita ketahui, Soewandi merupakan Nama Menteri
Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan ketika ejaan itu disusun oleh karena itu, kiranya wajar
jika ejaan yang disusunnya juga dikenal sebagai Ejaan Soewandi.
Ejaan yang terakhir yang berlaku sampai sekarang adalah Ejaan yang disempurnakan.
Ejaan ini diresmikan pada tahun 1972.
Sebelum EYD, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, (sekarang Pusat Bahasa), pada tahun 1967
mengeluarkan Ejaan Baru (Ejaan LBK). Ejaan Baru pada dasarnya merupakan lanjutan dari usaha
yang telah dirintis oleh panitia Ejaan Malindo. Para pelaksananya pun di samping terdiri dari
panitia Ejaan LBK, juga dari panitia ejaan dari Malaysia. Panitia itu berhasil merumuskan suatu
konsep ejaan yang kemudian diberi nama Ejaan Baru. Panitia itu bekerja atas dasar surat
keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan no.062/67, tanggal 19 September 1967.
Pada 23 Mei 1972, sebuah pernyataan bersama ditandatangani oleh Menteri Pelajaran
Malaysia Tun Hussein Onn dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Mashuri.
Pernyataan bersama tersebut mengandung persetujuan untuk melaksanakan asas yang telah
disepakati oleh para ahli dari kedua negara tentang Ejaan Baru dan Ejaan Yang Disempurnakan.
Pada tanggal 16 Agustus 1972, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1972,
berlakulah sistem ejaan Latin bagi bahasa Melayu ("Rumi" dalam istilah bahasa Melayu
Malaysia) dan bahasa Indonesia. Di Malaysia, ejaan baru bersama ini dirujuk sebagai Ejaan Rumi
Bersama (ERB). Pada waktu pidato kenegaraan untuk memperingati Hari Ulang Tahun
Kemerdakan Republik Indonesia yang ke XXVII, tanggal 17 Agustus 1972 diresmikanlah
pemakaikan ejaan baru untuk bahasa Indonesia oleh Presiden Republik Indonesia. Dengan
Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972, ejaan tersebut dikenal dengan nama Ejaan Bahasa
Indonesia Yang Disempurnakan (EYD). Ejaan tersebut merupakan hasil yang dicapai oleh kerja
panitia ejaan bahasa Indonesia yang telah dibentuk pada tahun 1966. Ejaan Bahasa Indonesia
Yang Disempurnakan ini merupakan penyederhanaan serta penyempurnaan dari pada Ejaan
Suwandi atau ejaan Republik yang dipakai sejak bulan Maret 1947.
Selanjutnya pada tanggal 12 Oktober 1972, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan buku "Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan" dengan penjelasan kaidah penggunaan yang lebih luas. Setelah
itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
tanggal 27 Agustus 1975 Nomor 0196/U/1975 memberlakukan "Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan" dan "Pedoman Umum Pembentukan Istilah".
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, kedepannya penulis
akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber
yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
DAFTAR PUSTAKA