BAHASA INDONESIA
HAKIKAT SEJARAH BAHASA INDONESIA DAN KEDUDUKAN
SERTA FUNGSI BAHASA INDONESIA
DOSEN PENGAMPUH : ABDUL MUTTALIB
Di
S
U
S
U
N
OLEH :
SUNARJO A0222506
KEHUTANAN I 2022
UNIVERSITAS SULAWESI BARAT
FAKULTAS PERTANIAN DAN KEHUTANAN
2022/2023
DAFTAR ISI
HALAMANSAMPUL.............................................................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. KESIMPULAN...................................................................................................................................9
B. SARAN................................................................................................................................................9
C. DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................10
KATA
PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi maha penyayang.Puji Syukur penyusun
panjatkan atas kehadirat Allah SWT karna dengan Ridha-nya,Makalah yang berjudul “Hakikat Sejarah
Bahasa Indonesia dan Kedudukan Serta Fungsi Bahasa Indonesia”ini dapat di selesaikan tepat waktu.
Penyusunan makalah ini dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah untuk hakikat sejarah bahasa
indonesia dan kedudukan serta fungsi bahasa Indonesia. Semoga dengan menyelesaikan makalah ini dapat
menjadi manfaat bagi penyusun khusus dan bagi pembaca pada umumnya.
Selama penyusunan makalah ini,penyusun mendapatkan bantuan dari berbagai sumber sehingga
dapat melancarkan proses penyelesaiannya.Untuk itu penyusun menyampaikan terima kasih kepada pihak
yang telah berkontribusi dalam penyusunan makalah ini
Terlepas dari semua itu,penyusun menyadari bahwa penyusun makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu,penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna menyempurnakan makalah
ini di masa depan yang akan datang
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
c. Bahasa Melayu bersifat demokratis, tidak memperlihatkan adanya perbedaan tingkatan bahasa berdasarkan
perbedaan status sosial pemakainya, sehingga tidak menimbulkan perasaan sentimen dan perpecahan.
d. Adanya semangat kebangsaan yang besar dari pemakai bahasa daerah lain untuk menerima bahasa Melayu
sebagai bahasa persatuan.
e. Adanya semangat rela berkorban dari masyarakat Jawa demi tujuan yang mulia.
Bahasa Melayu adalah bahasa kebangsaan Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Bahasa Indonesia
yang berkedudukan sebagai bahasa kebangsaan dan bahasa resmi Negara Republik Indonesia merupakan
sebuah dialek bahasa Melayu, yang pokoknya dari bahasa Melayu Riau (bahasa Melayu dari provinsi Riau,
Sumatera, Indonesia). Agaknya terlalu sederhana untuk mengatakan bahwa Bahasa Indonesia berasal dari
bahasa Melayu Riau. Orang-orang lupa bahwa bahasa Melayu Riau hanyalah merupakan satu dialek dari
sekian banyak dialek Melayu yang lain.Diatas semua ini sudah terkenal di seluruh Nusantara suatu bahasa
perhubungan, suatulingua Franca yang disebut dengan Melayu Pasar. Melayu Pasar inilah yang merupakan
faktor yang paling penting untuk di terimanya.
Nama Melayu mula-mula digunakan sebagai nama kerajaan tua di daerah Jambi di tepi sungai Batanghari,
yang pada pertengahan abad ke-7 ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya. Selama empat abad, kerajaan ini
berkuasa di daerah Sumatera Selatan bagian Timur dan di bawah pemerintahan raja-raja Syailendra bukan
saja menjadi pusat politik di Asia Tenggara, melainkan juga menjadi pusat ilmu pengetahuan.
Untuk mengikuti pertumbuhan bahasa Indonesia dari awal mula terdapatnya faktor-faktor historis hingga
sekarang, baiklah kita mengikuti beberapa perkembangan berikut.
a. Masa Prakolonial
Walaupun bukti-bukti tertulis masih kurang, dapat di pastikan bahasa yang di pakai oleh kerajaan
Sriwijaya pada abad VII adalah bahasa Melayu. Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak
lebih jelas dari berbagai peninggalan–peninggalan bersejarah misalnya: Tulisan yang terdapat pada batu
Nisan di Minye Tujoh, Aceh pada tahun 1380 M, Prasasti Kedukan Bukit, di Palembang, pada tahun 683,
Prasasti Talang Tuo, di Palembang, pada tahun 684, Prasasti Kota Kapur, di Bangka Barat, pada tahun 686,
Prasasti Karang Brahi Bangko, Merangi, Jambi, pada tahun 688.
Walaupun bukti tertulis hampir tidak ada, dengan adanya bermacam-macam dialek Melayu yang tersebar
di seluruh Nusantara seperti dialek Melayu Ambon, Larantuka, Kupang Betawi, dan Manado, dapatlah
dipastikan bahwa bahasa Melayu sudah mengalami penyebaran seluas itu.
Dalam kesusastraan Tiongkok terdapat berita-berita tentang musafir-musafir Cina yang bertahun-tahun
tinggal di kota-kota Indonesia. Mereka mempergunakan bahasa penduduk asli yang disebut Kwu’un Lun. I
Tsing yang belajar di Sriwijaya pada akhir abad VII juga menggunakan bahasa itu.
b. Masa Kolonial
Ketika orang-orang Barat sampai di Indonesia pada abad ke XVI, mereka menghadapi suatu kenyataan,
yaitu bahasa Melayu merupakan suatu bahasa resmi dalam pergaulan dan bahasa perantara dalam
perdagangan (lingua franca). Hal ini dapat di buktikan dari beberapa kenyataan berikut. Seorang Portugis
bernama Pigafetta, setelah menjunjung Tidore, menyusun semacam daftar kata pada tahun 1522; berarti
sebelum itu bahasa Melayu sudah tersebar sampai Kepulauan Maluku.
3
Baik bangsa Portugis maupun bangsa Belanda yang datang ke Indonesia mendirikan sekolah-sekolah.
Mereka terbentur pada soal bahasa pengantar. Usaha-usaha untuk memakai bahasa Portugis atau bahasa
Belanda sebagai bahasa pengantar selalu mengalami kegagalan. Demikianlah pengakuan seorang Belanda
yang bernama Danckaerts dalam tahun 1631. Ia menyatakan bahwa kebanyakan sekolah di Maluku itu
kebanyakan memakai bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Kegagalan di dalam memakai bahasa-
bahasa Barat itu memuncak dengan keluarnya suatu keputusan pemerintah kolonial, KB 1871 No. 104, yang
menyatakan bahwa pengajaran di sekolah-sekolah Bumi Putra, kalau tidak digunakan bahasa Melayu, di
berikan dalam bahasa daerah.
Pada mulanya memang sulit untuk menentukan bahasa mana yang akan menjadi bahasa persatuan. Tiap
perhimpunan pemuda, apakah Jong Java, Jong Sumatra atau Jong Ambon, lebih suka menggunakan bahasa
daerahnya sendiri. Budi Utomo, misalnya lebih menekankan kebudayaan dan bahasa Jawa. Hal-hal ini
dirasakan sangat menghambat persatuan dan kesatuan yang hendak dicapai.
Mengingat kesulitan-kesulitan untuk mempersatukan berbagai suku bangsa di Indonesia, pada tahun 1926
Jong Java merasa perlu mengakui suatu bahasa daerah sebagai media penghubung pemuda-pemudi
Indonesia. Bahasa melayu dipilih sebagai bahasa pengantar. Pemuda-pemudi di Sumatra sudah lebih dulu
menyatakan dengan tegas hasrat mereka agar bahasa Melayu Riau, yang juga disebut Melayu Tinggi, diakui
sebagai bahasa persatuan. Walaupun dengan adanya hasrat yang tegas ini, sebagai majalah Jong Java dan
Jong Sumatranen Bond masih ditulis dalam bahasa Belanda.
Perlu pula dicatat jasa beberapa Surat kabar yang turut menyebarluaskan bahasa Melayu, seperti
Bianglala, Bintang Timoer, Kaum Moeda, dan Neratja. Disamping pengaruhnya yang sangat besar dalam
perkembangan bahasa Melayu, media tersebut sekaligus menjadi penghubung dan tempat latihan bagi putra-
putri Indonesia untuk mengutarakan berbagai macam masalah.
Dengan adanya bermacam-macam faktor seperti disebutkan diatas, akhirnya tibalah saat diadakan Kongres
Pemuda Indonesia di Jakarta, yaitu pada tanggal 28 Oktober 1928. Sebagai hasil yang paling gemilang dari
kongres itu, diadakan ikrar bersama yang terkenal dengan nama Sumpah Pemuda, yang berbunyi:
4
2.2. Bahasa Indonesia Setelah Kemerdekaan
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 1945, dalam UUD 1945 ditetapkanlah
bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara pada pasal 36. Pada tanggal 19 Maret 1947”bahasa Negara adalah
bahasa Indonesia”. Penggunaan Ejaan Republik (Ejaan Soewandi) diresmikan menggantikan Ejaan van
Ophuysen yang berlaku sejak tahun 1901.
Ejaan Van Ophuysen ditetapkan pada tahun 1901 dan diterbitkan dalam sebuah buku Kitab Logat
Melajoe. Sejak ditetapkannya itu, ejaan Van Ophuysen pun dinyatakan berlaku. Sesuai dengan namanya
ejaan itu disusun oleh Ch.A.Van Ophuysen, yang dibantu oleh Engku Nawawi gelar Soetan Ma’moer dan
Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Sebelum ejaan Van Ophuysen disusun para penulis pada umumnya
mempunyai aturan sendiri-sendiri dalam menuliskan konsonan, vokal, kata, kalimat, dan tanda baca. Oleh
karena itu, sistem ejaan yang digunakan pada waktu itu sangat beragam. Terbitnya ejaan Van Ophuysen
mengurangi kekacauan ejaan yang terjadi pada masa itu.
Beberapa hal yang cukup menonjol dalam Ejaan Van Ophuysen antara lain sebagai berikut :
1. Huruf y ditulis dengan j, misalnya:
Sayang → Sajang
Yakin →Jakin
Saya →Saja
2. Huruf u ditulis dengan oe, misalnya::
Umum →Oemoem
Sempurna →Sempoerna
3. Huruf k pada akhir kata atau suku kata ditulis dengan tanda koma diatas, misalnya:
Rakyat → Ra’yat
Bapak → Bapa’
Rusak → Rusa’
4. Huruf j ditulis dengan dj, misalnya :
Jakarta→ Djakarta
Raja → Radja
Jalan → Djalan
5. Huruf c ditulis dengan tj, misalnya :
Pacar → Patjar
Cara → Tjara
Ejaan Republik ialah ejaan baru yang disusun oleh Mr. Soewandi. Penyusunan ejaan baru dimaksudkan
untuk menyempurnakan ejaan yang berlaku sebelumnya yaitu ejaan Van Ophuysen juga untuk
menyederhanakan sistem ejaan bahasa Indonesia. Pada tanggal 19 Maret 1947, setelah selesai disusun ejaan
baru itu diresmikan dan ditetapkan berdasarkan surat keputusan menteri pendidikan, pengajaran, dan
kebudayaan Republik Indonesia Nomor 264/Bhg.A, tanggal 19 Maret 1947. Ejaan baru itu diresmikan
dengan Nama Ejaan Republik.
Ejaan Repubik lazim disebut Ejaan Soewandi karena Nama itu disesuaikan dengan Nama orang yang
memprakarsainya. Seperti kita ketahui, Soewandi merupakan Nama Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan
Kebudayaan ketika ejaan itu disusun oleh karena itu, kiranya wajar jika ejaan yang disusunnya juga dikenal
sebagai Ejaan Soewandi.
5
Ejaan yang terakhir yang berlaku sampai sekarang adalah Ejaan yang disempurnakan. Ejaan ini
diresmikan pada tahun 1972.
Sebelum EYD, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, (sekarang Pusat Bahasa), pada tahun 1967
mengeluarkan Ejaan Baru (Ejaan LBK). Ejaan Baru pada dasarnya merupakan lanjutan dari usaha yang
telah dirintis oleh panitia Ejaan Malindo. Para pelaksananya pun di samping terdiri dari panitia Ejaan LBK,
juga dari panitia ejaan dari Malaysia. Panitia itu berhasil merumuskan suatu konsep ejaan yang kemudian
diberi nama Ejaan Baru. Panitia itu bekerja atas dasar surat keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan
no.062/67, tanggal 19 September 1967.
Pada 23 Mei 1972, sebuah pernyataan bersama ditandatangani oleh Menteri Pelajaran Malaysia Tun
Hussein Onn dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Mashuri. Pernyataan bersama tersebut
mengandung persetujuan untuk melaksanakan asas yang telah disepakati oleh para ahli dari kedua negara
tentang Ejaan Baru dan Ejaan Yang Disempurnakan. Pada tanggal 16 Agustus 1972, berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 57 Tahun 1972, berlakulah sistem ejaan Latin bagi bahasa Melayu ("Rumi" dalam istilah
bahasa Melayu Malaysia) dan bahasa Indonesia. Di Malaysia, ejaan baru bersama ini dirujuk sebagai Ejaan
Rumi Bersama (ERB). Pada waktu pidato kenegaraan untuk memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdakan
Republik Indonesia yang ke XXVII, tanggal 17 Agustus 1972 diresmikanlah pemakaikan ejaan baru untuk
bahasa Indonesia oleh Presiden Republik Indonesia. Dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972, ejaan
tersebut dikenal dengan nama Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD). Ejaan tersebut
merupakan hasil yang dicapai oleh kerja panitia ejaan bahasa Indonesia yang telah dibentuk pada tahun
1966. Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan ini merupakan penyederhanaan serta penyempurnaan
dari pada Ejaan Suwandi atau ejaan Republik yang dipakai sejak bulan Maret 1947.
Selanjutnya pada tanggal 12 Oktober 1972, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan buku "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan" dengan penjelasan kaidah penggunaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 27 Agustus 1975 Nomor
0196/U/1975 memberlakukan "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan" dan
"Pedoman Umum Pembentukan Istilah".
c. Alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya.
Dengan fungsi ini memungkinkan masyarakat Indonesia yang beragam latar belakang sosial budaya dan
berbeda-beda bahasanya dapat menyatu dan bersatu dalam kebangsaan, cita-cita, dan rasa nasib yang sama.
Dengan bahasa Indonesia, bangsa Indonesia merasa aman dan serasi hidupnya, karena mereka tidak merasa
bersaing dan tidak merasa lagi ‘dijajah’ oleh masyarakat suku lain. Karena dengan adanya kenyataan bahwa
dengan menggunakan bahasa Indonesia, identitas suku dan nilai-nilai sosial budaya daerah masih tercermin
dalam bahasa daerah masing-masing. Kedudukan dan fungsi bahasa daerah masih tegar dan tidak bergoyah
sedikit pun. Bahkan, bahasa daerah diharapkan dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia.
A. Kesimpulan
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Undang-
Undang Dasar RI 1945, Pasal 36”bahasa Negara adalah bahasa Indonesia”. Sejarah bahasa Indonesia telah
tumbuh dan berkembang sekitar abad ke VII dari bahasa Melayu yang sejak zaman dahulu sudah
dipergunakan sebagai bahasa perhubungan. Bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga di
seluruh Asia Tenggara.
Awal penciptaan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari Sumpah Pemuda pada tanggal
28 Oktober 1928, diumumkanlah penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk Negara Indonesia
pascakemerdekaan. Secara yuridis, baru tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara resmi diakui
keberadaannya dan ditetapkan dalam UUD 1945 pasal 36.
Ada beberapa ejaan yang pernah diguankan di Indonesia, antara lain ejaan Van Ophuysen, ejaan republik,
dan ejaan yang masih digunakan sampai sekarang yaitu ejaan yang disempurnakan atau biasa disingkat
EYD.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, kedepannya penulis akan lebih fokus
dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang
tentunya dapat di pertanggung jawabkan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca.
9
DAFTAR PUSTAKA