Anda di halaman 1dari 6

JALAN PILIHAN

Rifki Kurniasari

“Toloooong … tas saya dijambret. Tolong …. siapa pun tolong ….”


Pekerja bangunan di seberang jalan serentak menoleh. Salah satu dari mereka
memanggil yang lain untuk ambil langkah seribu mengejar tukang copet. Beberapa dari
mereka menghampiri korban, seorang ibu paruh baya yang sekarang tertunduk lemas
dengan sepeda butut roboh di sampingnya.
“Dua laki – laki dengan masker, mereka mengambil paksa tas yang berisi uang
kiriman anakku. Aku sempat menahannya, tetapi justru goresan ini yang aku dapat,” isak
tangis mengiringi tutur ceritanya siang itu.
Dalam waktu singkat, semakin warga banyak warga berdatangan ke tempat kejadian.
Sebagian besar menyatakan simpati pada Minah, beberapa orang memanfaatkan
kesempatan untuk mengambil video, dan seorang gadis sibuk membebat luka sayat. Tak
lama kemudian lima orang pekerja bangunan datang. Dengan napas terengah – engah,
kelimanya melapor bahwa hasilnya nihil. Pencopet itu sudah lari tunggang langgang. Tangis
Minah semakin menjadi – jadi.
Sirine mobil polisi mengagetkan kerumunan itu. Dua orang berseragam cokelat
dengan tampang ramah keluar dari sedan, menyibak kerumunan manusia. Seperti yang
dilakukan warga sebelumnya, salah seorang dari mereka menghampiri Minah dengan
beberapa pertanyaan sedangkan polisi satunya sibuk berkutat dengan warga. Interogasi
dadakan Pak Polisi membuat Minah gugup. Aneh juga, padahal ia sendiri yang tahu persis
kronologinya. Mungkin karena warga desa jarang berurusan dengan polisi. Minah sebagai
korban dan salah seorang pekerja bangunan akhirnya diboyong polisi sebagai saksi dengan
membawa rekaman CCTV.

***
Telepon genggam di tangan Minah terus bergetar sejak masuk ke ruang tunggu. Ia
melihat layar sekilas, suaminya ternyata. Lalu ditekannya tombol “tolak panggilan”. Mata
Minah yang cekung seperti tak sanggup membendung air mata. Wajahnya pucat karena
belum makan sejak pagi. Pikirannya sudah melalang buana menunggu giliran pemeriksaan.
Sudah dua jam Panjul, nama pekerja bangunan itu, tak kunjung keluar dari ruang
pemeriksaan. Apa saja yang mereka tanyakan? Jangan – jangan Panjul mengada – ada.
Berbagai pertanyaan menyeruak di kepala Minah.
Matahari mulai tergelincir ke arah barat ketika polisi memanggil Minah ke ruang
pemeriksaan. Ia memantapkan hati meskipun kakinya terus menerus bergetar. Bibirnya
yang kering dipaksakan untuk tersenyum pada lima polisi dan seorang polwan di sana.
Ruangan 5x6 meter itu sangat rapi dan bersih. Di dalamnya terdapat satu meja dengan
tumpukan kertas tinggi menjulang, empat kursi kayu, dan sebuah jam dinding kuno yang
bunyinya seakan terdengar lebih keras.
Atmosfer ruangan itu terasa sangat berbeda. Tak tersisa keramahan di raut muka
polisi – polisi itu, juga pada kedua polisi yang menjemputnya siang tadi. Minah membatin,
apakah mereka sudah tahu kebenarannya? Satu jam pertama Minah dibombardir dengan
pertanyaan apa, siapa, di mana, kapan, dan mengapa peristiwa itu terjadi. Ibu berkepala
lima itu bersyukur mampu menjawab tuntas meskipun tidak selancar yang ia harapkan.
Kemudian seorang polisi berbisik – bisik dengan polwan di ruangan itu. Perubahan
sikap polisi membuat kakinya kembali bergetar tak karuan. Polwan tinggi semampai yang
tadi berdiri di samping Minah bergerak ke arah komputer, jari – jarinya sibuk mengetik
sesuatu, dan beberapa detik kemudian video CCTV mulai diputar.
“Stop!” Polisi berkumis yang garang beranjak dari posisinya menuju ke arah
komputer. Minah baru sadar bahwa wajah polisi itu terlihat familiar. Tetapi itu tidak penting
mengingat tangannya kini ikut bergetar saking gugupnya. Video berhenti pada gambar
Minah yang sedang menyayat tangan kirinya. Minah kini bisa mendengar jantungnya
berdegup dua kali lebih cepat. Polisi di hadapan Minah memintanya menjelaskan potongan
video itu. “Saya…. berusaha menghentikan darah yang keluar.” Bu Polwan buru - buru
mencatat jawaban Minah.
Polisi berbadan tambun dengan muka paling ramah melanjutkan sesi interogasi.
“Mohon maaf sebelumnya, Bu. Dari video ini kami tidak melihat pencopet, tas belanja, atau
orang yang menyayat tangan Anda. Bahkan hanya satu dua kendaraan yang lalu lalang. Itu
pun tidak ada yang menggunakan motor. Bisakah Anda menjelaskan ini?”
Minah menelan saliva dalam – dalam. Keringat dingin mulai membasahi kaosnya. Ia
diam sejenak, tampak sedang berpikir keras. Satu menit, dua menit. Minah tak kunjung
memberi jawaban. Polisi mulai hilang kesabaran. “Panggil Pak Panjul kemari,” polisi
berkumis berkata kepada polisi muda dengan seragam paling baru di antara yang lain.
Minah duduk gelisah di kursinya sementara Panjul masuk ke ruang pemeriksaan. Raut muka
pekerja bangunan itu kini menampakkan kejengkelan.
“Apakah Anda, saudara Panjul, melihat secara langsung pencopet mengambil tas Ibu
Minah?” polisi tambun memulai kembali.
Panjul menggeleng sambil berkata, “Tidak.” Polisi berkumis menjabat tangan Panjul
dan mempersilakannya keluar ruangan. Ia mengatakan pemeriksaan telah selesai. Minah
yang sedari tadi tidak fokus justru ikut beranjak, menganggap instruksi itu ditujukan
untukknya. Segera saja polwan di depan meja komputer berlari dan menahan Minah. Bu
Polwan menjelaskan bahwa pemeriksaan Minah belum selesai.
Kemudian pertanyaan bertubi – tubi diberikan kepada Minah setelah Panjul
menghilang dari pandangan. Kali ini Minah lebih berhati – hati agar tidak memancing
kemarahan para polisi. Namun mereka justru semakin bingung mendengar keterangan si
korban. Tidak ada benang merah yang menghubungkan penuturan Minah dengan rekaman
CCTV maupun keterangan Panjul. Aparat keamanan itu mulai curiga. Beberapa polisi
menegakkan duduknya agar bisa menyimak lebih fokus.
Polisi berkumis terus mendesak. Namun setiap pernyataan Minah selalu ditentang
polisi. Merasa kasihan, Bu Polwan menyodorkan segelas air putih yang langsung diteguk
habis oleh Minah. “Saya salah, Pak, Bu. Semua ini tidak benar. Tidak ada pencurian. Luka
sayat ini saya yang buat. Saya bingung, saya putus asa. Setiap siang petugas bank datang ke
rumah untuk menagih hutang. Uang saya sudah habis untuk biaya kebutuhan rumah tangga.
Lalu muncul di pikiran saya untuk berpura – pura kehilangan uang.”
Polisi itu melongo mendengar pengakuan Minah. Kini benang kusut mulai terurai. Bu
Polwan masih menatap layar komputer sementara si polisi berkumis melanjutkan interogasi.
Nada bicaranya tidak berubah, seakan pengakuan Minah adalah hal yang biasa. Ia
mempersilakan Minah melanjutkan ceritanya.
“Suami saya harus cuci darah setiap dua minggu. Si sulung bekerja merantau di
Batam. Gajinya tidak seberapa untuk menopang kehidupan kami. Keuntungan dari warung
angkringan juga tidak seberapa. Apalagi restoran baru bermunculan di sana sini, membuat
pelanggan enggan mampir. Kemudian saya berpikir bahwa kehilangan uang adalah alasan
yang tepat bagi saya untuk meminjam uang pada warga.”
Brak! Seorang polisi tiba – tiba menggebrak meja, tepat setelah Minah mengusap
peluh di dahinya. “Meminjam uang tidak harus dengan berpura – pura kehilangan harta,
Bu.”
“Saya seperti tidak punya muka di hadapan warga. Hampir semuanya sudah pernah
saya pinjami uang. Tentu saya malu jika meminjam lagi.” Jawaban Minah membuat para
polisi tertegun. Sekitar sepuluh menit ruangan itu sangat hening. Tiga polisi kembali berbisik
di belakang Minah seperti merundingkan sesuatu. Polisi berkumis membuka buku tebal di
mejanya dan berhenti di suatu halaman. Minah memilih diam. Ia menuduk, bibirnya
merapal doa.
“Saudari Minah, silakan kembali untuk sidang minggu depan pukul sepuluh.
Pemberitahuan tentang surat dakwaan akan diinformasikan segera.”
Minah keluar dari ruang pemeriksaan dengan air mata mengalir di pipinya.
***
Kantor polisi ramai sekali pagi itu. Tidak hanya warga yang antusias, beberapa
wartawan lokal sudah nongkrong sejak pagi memperebutkan spot yang strategis untuk
menyerbu narasumber. Para pekerja bangunan rupanya sengaja membolos demi
menyaksikan secara langsung sidang fenomenal ini. Perlu diketahui bahwa kasus Minah
sudah viral sejak hari pertama. Warga tukang gosip pastilah penyebar berita ini.
Menjelang pukul sepuluh Minah masuk ke ruang sidang didampingi keluarganya.
Wajahnya lebih tegar dibandingkan sebelumnya. Dian, anak bungsu Minah, menggenggam
erat tangan ibunya. Sesekali ia mendelik pada para wartawan seakan ingin mengusir mereka
agar ibunya bisa lebih tenang.
Pada pukul sepuluh lebih seperempat, sidang dibuka secara resmi. Ada sekitar
sepuluh aparat kepolisian di ruangan itu. Semua polisi yang dulu menginterogasi Minah juga
ada di sana. Serangkaian proses tanya jawab dilalui Minah dengan lancar.
Ruangan terasa semakin padat ketika hakim bersiap – siap membacakan tuntutan.
Wartawan siaga menyiapkan kamera sementara para warga berdesakan ingin meraih posisi
terdepan. Minah menarik napas dalam – dalam. Ia menyapukan pandangan ke deretan
penonton, lalu berhenti pada suaminya dan Dian. Ketua hakim melirik sinis kepada Minah
sebelum mulai membacakan tuntutan hukuman.
“Terdakwa dituntut hukuman penjara dua belas bulan atau denda lima belas juta
rupiah.” Omongan para penonton terdengar semakin keras sehingga beberapa polisi harus
dikerahkan untuk menenangkan massa. Proses sidang terus berjalan. Pada akhirnya
keputusan hakim sama persis dengan tuntutan. Palu diketokkan tiga kali dan satu per satu
dewan hakim beranjak meninggalkan ruangan.
Minah termenung. Ia merasa tidak ada yang lebih baik dari kedua pilihan itu. Namun
jika mempertimbangkan kondisi ekonomi keluarganya, pilihan pertama tentu saja sedikit
lebih baik. Kendati begitu, masih banyak hal berkecamuk di pikirannya. Logikanya
mengatakan untuk langsung mengambil pilihan pertama sedangkan hatinya menahan untuk
menimbang baik – baik kedua pilihan.
Keluarga Minah berhamburan memeluknya setelah ruangan mulai sepi. Mereka
menggandeng tangan Minah keluar ruangan ketika salah seorang polisi menghentikan
langkah mereka. Deg! Jantung Minah rasanya mau copot. Ia menoleh dan mendapati polisi
berkumis berada di belakangnya. Mau apa lagi dia?
“Senang rasanya kita dapat berjumpa lagi, Bu.” Intonasinya berbalik sangat ramah,
membuat Minah curiga.
“Ah …. rupanya Ibu lupa dengan saya, bocah miskin dan nakal yang setiap hari
mengharapkan kebaikan hati Ibu memberi makan angkringan gratis.” Polisi berkumis itu kini
menjulurkan tangannya ke Minah, mengajaknya bersalaman.
Minah mengernyitkan dahi, sibuk mengingat siapa gerangan polisi di hadapannya
itu. “Bobi? Ya Allah gusti, ini kamu le 1?”
Polisi yang dipanggil “Bobi” mengangguk mantap dengan senyum lebar menghiasi
wajahnya. “Maafkan saya, Bu. Pemeriksaan minggu lalu benar – benar menegangkan sampai
- sampai Bobi tidak mengenali Ibu.” Kali ini matanya berkaca – kaca. Minah hanya balas
tersenyum. “Bertahun – tahun Bobi mencari Bu Minah, berharap bertemu dan bisa
membalas jasa Ibu. Bahagia tak terkira rasanya bisa bertemu Ibu. Sayangnya saya dan Ibu
harus bertemu dalam kondisi ini. Tetapi keterlaluan rasanya jika Bobi tidak membantu Ibu.”
Minah terperanjat. “Apa maksudmu, le?”
Bobi tertawa kecil. “Tak usah risau, Bu. Saya bukan Bobi lagi yang nakal. Masa kerja
tujuh tahun tidaklah sebentar. Tabungan Bobi masih sisa kiranya apabila digunakan untuk
menebus hukuman denda Ibu.”
“Bobiiii…..” Haru biru dirasakan Minah. Dipeluknya polisi itu kuat – kuat seperti
memeluk anaknya sendiri.
1. Le = kependekan dari “thole” (Jawa), panggilan untuk anak laki – laki

Anda mungkin juga menyukai