Anda di halaman 1dari 9

PROBLEM PENDIDIKAN VIDEO GAMES

DALAM PERSPEKTIF TEORI SIMULACRA JEAN


BAUDRILLARD

Siti Murtiningsih, Joko Siswanto, M. Mukhtasar Syamsudin


Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Kampus Bulaksumur, Yogyakarta
e-mail: st_murti@yahoo.com.sg

Abstract: EducDWLRQ 3UREOHPV RI 9LGHR *DPHV LQ WKH 3HUVSHFWLYH RI -HDQ %DXGULOODUG¶V 7KHRU\ RI
Simulacra. ,Q WKH HUD RI GLJLWDO DJH ZH DUH ZLWQHVVLQJ KRZ YLGHR JDPHV SHQHWUDWH FKLOGUHQ¶V GDLO\ OLIH DQG
it is believed to have some impacts on their cognitive and affective processes. Referring to hermeneutical
approach, the present library research seeks to answer the question whether video games create a real identity
or simply forge false consciousness in children. In the first step, the data were collected from bibliographi-
cal sources that related to data. In the second step, the data were analyzed to examine the pedagogical-
philosophical properties of the video games. The results indicate that video games change the way children
view the world. Video games present the world as hiper-reality. Bu putting aside the negative values and
maximizing the positive ones, the understanding of hiper-reality allows for the inculcation of children.

Keywords: YLGHR JDPHV HGXFDWLRQDO SUREOHP %DXGULOODUG¶V WKHRU\ RI VLPXODFUD

Abstrak: Problem Pendidikan Video Games dalam Perspectif Teori Simulacra Jean Baudrillard.
Permainan video games diyakini berdampak positif sekaligus negatif pada proses kognitif dan afektif anak.-
anak. Terutama, video games berpengaruh pada proses internalisasi nilai-nilai dan pembentukan identitas
mereka. Teknologi virtual yang disajikan oleh video games, seperti didekati oleh teori simulacra Jean
Baudrillard, menyuguhkan jebakan akan realitas palsu. Melalui riset pustaka dengan metode "filsafat her-
meneutis", dianalisis data untuk membangun refleksi filsafat pendidikan atas permainan video games itu.
Hasil penelitian ini menyatakan video games menyuguhkan sebuah hiper-realitas dari simulasi realitas,
atau simulacra dalam teori Jean Baudrillard. Simulacra adalah dunia yang terbentuk dari salinan realitas,
yang menjadi acuan melebihi realitas asli. Disimpulkan bahwa video games PHQMDGL VHPDFDP ³UXDQJ
NRQVHSWXDO´ \DQJ GLEHQWXN ROHK simulacra. Dengan mengenali hakikat hiper-realitas, video games dapat
menjadi alat transfer pengetahuan dan pengalaman bagi anak-anak secara positif, dengan mengeliminasi
dampaknya yang negatif.

Kata kunci: video games, problem pendidikan, teori simulacra Baudrillard

Perkembangan teknologi digital telah menghadirkan Riset yang pernah dilakukan oleh Murtiningsih
berbagai jenis permainan virtual yang kini tampak mu- (2004) terhadap anak-anak Indonesia pada usia sekolah
lai menjadi bagian dari kehidupan anak-anak. Anak- berkesimpulan bahwa anak-anak sekarang lebih banyak
anak yang lahir pada awal abad 21 sangat mungkin menghabiskan waktunya untuk bermain Play Station
mengenal permainan komputer atau video games, me- dan I-Box, dua jenis permainan video games yang
lebihi apa yang dialami oleh generasi sebelumnya. Pada mampu menghadirkan permainan sebaJDL VXDWX ³GXQLD
tahun 1970-an, permainan komputer ditandai oleh hadir- ODLQ´ PHODOXL WHNQRORJL GLJLWDO \DQJ PHQJolah cerita
nya permainan elektronik Pong atau Pac Man dengan dengan kecanggihan gambar dan suara. Anak-anak
konsep matriks digital sederhana. Kini dengan tekno- berhadapan dengan suatu realitas virtual yang berbeda
logi pencitraan tiga dimensi dan efek khusus gambar dengan realitas asli. Konsep ruang dan waktu men-
yang mampu menyalin realitas asli, permainan video jadi tidak terbatas. Permainan video game ³RQOLQH´
games kian menjadi permainan populer, khususnya melaui internet, misalnya, mampu menghubungkan
bagi jutaan anak-anak di dunia (Cogburn & Silcox, 2009). para anak yang sedang bermain di suatu tempat ke

78
Murtiningsih, dkk., Problem Pendidikan Video Games« 79

tempat lain, melintasi batas-batas daerah, negara dan akan mempertimbangkan fungsi epistemologi dan on-
bangsa. tologi dari suatu permainan. Arti penting epistemolo-
Sementara itu, data lembaga riset pemasaran gis dari permainan dapat dikaji dari hubungan pem-
MARS tahun 2004 memperlihatkan, rata-rata waktu belajaran yang interaktif. Permainan komputer seperti
yang dihabiskan oleh anak-anak Indonesia untuk ber- video games, dalam hal ini, adalah alat berpengaruh
main games berkisar 4 jam sehari. Jumlah ini diper- yang akan mengubah cara pandang anak tentang dunia,
kirakan lebih banyak lagi, mengingat anak-anak pada dan anak menjadi agen di dalamnya.
masyarakat modern meluangkan jauh lebih banyak Dunia yang dihadirkan dalam video games ada-
waktu di depan televisi, play station, internet, atau lah ³VXDWX VXE-UHDOLWDV´ 3DNDU video games, Jesper
online game dibanding bersama dengan orangtuanya Juul, lebih jauh berpendapat bahwa permainan dalam
(Lie, 2004). Gejala ini bahkan terjadi juga secara glo- video games DGDODK ³VHSDUXK Q\DWD´ &RJEXUQ 6Ll-
bal. Di Amerika Serikat, rata-rata anak-anak meng- cox, 2009). Fenomena video games ini tampaknya
habiskan waktu selama 4 jam untuk bermain video dapat dikaji lebih kritis dengan pendekatan melihat
games, seperti Play Station. Waktu 4 jam ini bukanlah hakikat realitas yang dihadirkan oleh teknologi digital
waktu sedikit bila dibandingkan dengan waktu yang itu. Permainan video games agaknya mewakili apa
harus dihabiskan anak untuk sekolah, yakni 6-8 jam, yang disebut oleh Jean Baudrillard sebagai simulasi
tidur 4-6 jam, dan menjalankan fungsi sosial ataupun atas realitas.
individual lainnya (Shulman, 2001). Melalui bukunya, Simulacra and Simulations,
Bermain adalah juga bentuk dari praktik kebuda- Baudrillard (1985) menyebutkan ciri khas masyarakat
yaan. Johan Huizinga dalam bukunya berjudul Homo barat dewasa ini sebagai masyarakat simulasi. Inilah
Ludens (1990) membahas betapa pentingnya elemen masyarakat yang hidup dengan carut marut kode,
permainan dalam budaya dan masyarakat. Permainan, tanda, dan model yang diatur sebagai produksi dan
bagi Huizinga, mengambil tempat penting dalam ruang reproduksi dalam sebuah simulacra (Lechte, 2001).
konseptual yang disebutnya sebagai lingkaran Magis Simulacra adalah ruang tempat mekanisme simulasi
(the magic circle), bahwa berbagai macam aksi di da- berlangsung. Manusia, dalam konteks perkembangan
lam suatu permainan membutuhkan pemaknaan yang teknologi virtual, mengutip Baudrillard, dijebak dalam
diatur khusus. Makna kegiatan itu tidak bisa diterima ruang realitas yang dianggapnya nyata, padahal se-
di luar konteks permainan (Huizinga, 1990). sungguhnya semu dan penuh rekayasa. Dalam dunia
Betapapun, tidaklah mudah menarik garis per- simulasi ini, bukan realitas yang menjadi cermin kenya-
EHGDDQ WHJDV DQWDUD ³OLQJNDUDQ PDJLV´ GDUL VXDWX SHUPD- taan, melainkan model-model (Baudrillard, 1987).
inan (game) virtual dan cara ungkap simbolik lainnya Teknologi, menurut Baudrillard (1987), bukan
VHEDJDL SHUZXMXGDQ GXQLD ³VHEDJDLPDQD VHKDUXsQ\D´ lagi sekadar perpanjangan tubuh atau sistem syaraf
Perbedaan jelas adalah bahwa suatu permainan akan manusia. Prosesor komputer, memory card, DVD, atau
selalu melekat dalam realitas, dan ditafsirkan baik internet, misalnya, telah mampu mereproduksi realitas,
GDUL GDODP PDXSXQ GDUL OXDU ³UXDQJ NRQVHpWXDO´Q\D masa lalu dan nostalgia. Produk teknologi tersebut
Permainan dapat juga dilihat sebagai kegiatan yang telah mampu menciptakan realitas baru dengan citra
meniru kehidupan sebenarnya tapi dalam konteks yang buatan, menyulap fantasi, ilusi bahkan halusinasi men-
lebih aman, misalnya permainan jenis perang-perangan. jadi kenyataan, serta melipat realitas ke dalam disket
Namun bermain bukan hanya kegiatan khas ma- atau memory bank. Realitas yang dihasilkan teknologi
nusia. +HZDQ MXJD PHQJHQDO NHJLDWDQ ³EHUPDLQ´ 3HU- baru ini telah mengalahkan realitas yang sesungguhnya
mainan dalam kasus keduanya digunakan sebagai pola dan menjadi model acuan yang baru bagi masyarakat.
pembelajaran bertingkah laku dan untuk berkomuni- Memahami hakikat permainan sebagai suatu
kasi. Bermain dan permainan tampaknya tidak dapat ³OLQJNDUDQ PDJLV´ NHPXGLDQ PHQHOLVLN HYROXVL SHU-
dipisahkan dari sikap kecerdasan menghadapi hidup. mainan anak kontemporer seperti video games, maka
Relasi paling mendasar dari manusia, seperti cinta, menarik melihat bagaimana video games ini menjadi
kekerabatan, hierarki sosial, seperti atasan dengan alat transfer pengetahuan tentang realitas dalam prak-
bawahan, secara akrab terhubungkan oleh ritual per- tik pendidikan anak. Setidaknya, secara epistemolo-
mainan. Permainan, di sisi lain juga menjadi alat bagi gis akan dilihat bagaimana realitas itu dikonstruksi-
transfer nilai dan pengetahuan. Jadi, permainan juga kan oleh video games sebagai bagian dari apa yang
menjadi bagian dari pendidikan. Lewat permainan, dikatakan Baudrillard sebagai dunia simulacra. Lalu,
anak dihantarkan unWXN PHQJHQDO ³GXQLD´ akan dilihat bagaimana dunia simulacra itu memberi-
Jika dipahami bahwa permainan merupakan kan pemahaman ontologis, epistemologis dan aksiolo-
VXDWX NRQVHSWXDOLVDVL WHQWDQJ ³GXQLD´, maka analisis gis kepada anak-DQDN \DQJ EHUPDLQ GDODP ³UXDQJ NRQ-
tentang peran permainan dalam filsafat pendidikan septual´ video games itu.
80 Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 19, Nomor 1, Juni 2013, hlm. 78-86

Proses transfer pengetahuan dan pengalaman le- Subjek penelitian ini adalah jenis permainan
wat video games ini memunculkan persoalan penting video games Play Station dan Wii Games. Dari per-
dalam filsafat pendidikan, yaitu tentang masalah struk- mainan ini diteliti bagaimana ruang konseptual dalam
tur dasar realitas yang diserap oleh anak, dan bagaima- permainan ini ditransformasikan ke dalam logika video
na anak-anak membangun dan memaKDPL ³GXQLD´ games; dengan demikian, ditelusuri konstruksi realitas
permainan itu dalam video games. Berbeda dengan yang dibangun oleh video games tersebut sehingga
permainan tradisional yang mengandalkan kekuatan akan ditemukan gambaran filsafat pendidikan yang
naratif, permainan video games bertumpu pada satu terbangun di dalam permainan tersebut.
EDQJXQDQ ORJLND \DQJ ³VHSDUXK Q\DWD´ \DQJ GL GDODP- Pustaka primer penelitian ini meliputi karya-
nya konsep ruang dan waktu serta eksistensi subjek karya Jean Baudrillard yang ada kaitannya dengan
\DQJ EHUPDLQ PDPSX PHOHZDWL EDWDV ³UXDQJ NRnsep- teorinya mengenai simulacra. Karya-karya itu meliputi
tual´ GHQJDQ EHUEDJDL NHPXQJNLQDQ ORJLV \DQJ WLGDN The System of Objects (1968), The Consumer Society
terbatas. (1970), The Mirror of Production (1975), For a Cri-
Sangat menarik menelisik lebih jauh mengenai tique of the Political Economy of the Sign (1981), In
struktur realitas bagaimanakah sebenarnya yang terba- the Shadow of the Silent Majorities (1983), Simulations
ngun di dalam permainan video games. Kemudian, (1983), Simulacra and Simulation (1985), The Re-
struktur dasar realitas apa saja kiranya yang berubah venge of the Crystal: Selected Writings on the Modern
GDODP ³UXDQJ NRQVHSWXDO´ SHUPDLQDQ video games Object and Its Destiny 1968-1983 (1990), The Con-
tersebut. Hal lain yang penting untuk dibahas lebih sumer Society, Myths and Structures (1998), The Vital
jauh adalah mengenai bagaimanakah konsekuensi atau Illusion (2000), Passwords (2003), The Conspiracy
implikasi struktur realitas permainan video games itu of Art (2005), The Intelligence of Evil or The Lucidity
terhadap internalisasi nilai pada pendidikan anak. Pact (2005), Utopia, Deferred Writings from Utopie:
Jawaban terhadap persoalan ini akan memperlihatkan 1967-1978 (2006), dan Exiles From Dialogue (2007).
bagaimanakah sebenarnya filsafat pendidikan yang Pustaka sekunder berupa pustaka dan artikel
dikonstruksikan dari modus realitas dalam permainan yang menelaah mengenai video games, baik analisis
anak video games itu. Bagaimanakah realitas tata nilai secara filsafati maupun aspek pedagogis dari perma-
pada filsafat pendidikan yang terbangun dalam per- inan virtual itu, dan karya-karya yang membahas ten-
mainan anak video games tersebut jika diteropong tang Jean Baudillard dalam kaitannya dengan analisis
dari perspektif teori simulacra Jean Baudrillard. konstruksi realitas.
Penelitian ini berusaha untuk menelusuri perma- Keseluruhan prosedur penelitian ini menempuh
salahan yang terjadi, serta mencari jalan keluar yang enam tahap, yang secara garis besar sebagai berikut.
dapat dimanfaatkan bersama guna meningkatkan ki- (1) membuat desain penelitian, (2) pengumpulan data,
nerja pendidikan untuk pemberdayaan dan peningkatan meliputi studi pustaka dan observasi partisipan meng-
kualitas bangsa melalui alternatif perspektif teori simu- identifikasi bagaimana anak mencerap realitas disu-
lacra Jean Baudrillad, suatu perspektif yang diupaya- guhkan oleh permainan video games GDQ ³JDmbaran
kan menjadi agenda pendidikan sehingga memung- GXQLD´ VHSHUWL DSDNDK \DQJ PHUHND WDQJNDS GDUL SHU-
kinkan untuk menyiapkan generasi penerus bangsa mainan aktual itu, (3) kategorisasi data, (3) analisis
menghadapi dunia di era simulakrum yang menjadi data, (5) evaluasi hasil, (6) penyusunan draf hasil pene-
ciri dunia postmodern, suatu dunia hiperrealitas. litian, (7) penulisan laporan hasil penelitian setelah
terlebih dahulu diadakan revisi. Teknik pengumpulan
METODE data yang digunakan adalah observasi partisipan, studi
dokumentasi, dan studi kepustakaan.
Penelitian ini merupakan penelitian kepusta- Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepus-
kaan. Bahan utama penelitian ini meliputi buku ten- takaan dengan model penelitian mengenai masalah
tang permainan anak video games, yaitu (1) Tosca, aktual dan penelitian historis faktual (Bakker & Zubair,
S.P., Egenfeldt-Nielsen, S., & Smith, J.H. 2008. Un- 1990). Data dianalisis dengan metode hermeneutika
derstanding Video Games: The Essential Introduc- filosofis. Berdasarkan metode itu dilakukan langkah
tion. Madison Aye, New York: Routledge Taylor & berikut. Pertama, deskripsi status masalah, yaitu men-
Francis Group; (2) Cogburn, J. and Silcox, M., 2009, sistemastisasikan data yang diperoleh melalui studi
Philosophy through Video Games, New York & Lon- pustaka ataupun yang didapat melalui observasi par-
don: Routledge Taylor & Francis Group; (2) Tavi- tisipan; data yang relevan dicari untuk disusun secara
nor, G., 2009, The Art of Video Games, Malden MA: sintesis induktif. Kedua, mencari filsafat tersembunyi,
Wiley-Blackwell A John Wiley Sons, Ltd., Publica- yaitu diselidiki konsep filsafat tersembunyi dalam ka-
tion. sus perilaku, sikap dan pandangan yang ditemukan
Murtiningsih, dkk., Problem Pendidikan Video Games« 81

dalam permainan anak video games. Pada langkah ruang konseptual, atau yang disebutQ\D ³OLQJNDUDQ
ini belum dilakukan penilaian terhadap sikap dan peri- PDJLV´ the magic circle), bahwa berbagai macam
laku objek penelitian. Filsafat yang muncul dikom- aksi bermain itu membutuhkan pemaknaan yang diatur
parasikan dengan filsafat yang lain. Ketiga, evaluasi khusus; makna kegiatan itu tidak dapat diterima di
kritis atas filsafat tersembunyi dengan melakukan re- luar konteks permainan.
fleksi kritis atas filsafat tersembunyi yang melatarbe- Betapapun, tidaklah mudah menarik garis per-
lakangi data. Penyusunan konsepsi filosofis tandingan EHGDDQ WHJDV DQWDUD ³OLQJNDUDQ PDJLV´ GDUL VXDWX SHr-
adalah langkah keempat, dengan mengajukan konsep mainan (game ³YLUWXDO´ GDQ FDUD XQJNDS VLPEROLN
filosofis peneliti, yang diasumsikan akan memberi ODLQQ\D VHEDJDL SHUZXMXGDQ GXQLD ³VHEDJDLPDQD Ve-
jawaban atas persoalan dengan perspektif lebih tepat KDUXVQ\D´ 3HUEHGDDQ \DQJ MHODV DGDODK EDKZD VXDWX
dan menyeluruh. Kelima, memberikan saran alternatif, permainan melekat dalam realitas dan ditafsirkan baik
dan keenam, penyimpulan hasil penelitian. GDUL GDODP PDXSXQ GDUL OXDU ³UXDQJ NRQVHpWXDO´Q\D
Permainan juga dapat dilihat sebagai kegiatan yang
HASIL DAN PEMBAHASAN
meniru kehidupan sebenarnya tetapi dalam konteks yang
lebih aman, misalnya permainan perang-perangan.
Video Games dan Problem Pendidikan Anak Bermain bukan hanya kegiatan khas manusia.
+HZDQ MXJD PHQJHQDO NHJLDWDQ ³EHUPDLQ´ 8QWXN
Pendidikan adalah alat penting untuk menja- kasus keduanya, permainan digunakan sebagai pola
wab adanya tuntutan perubahan pengetahuan dan nilai pembelajaran bertingkah laku dan untuk berkomuni-
pada masyarakat dewasa ini, utamanya dalam rangka kasi. Bermain dan permainan, permainan berdasarkan
mengimbangi perubahan yang cepat. Pendidikan ber- aturan, tampaknya tidak bisa dipisahkan dari sikap
kaitan pula dengan gambaran dan formasi kehidupan kecerdasan menghadapi hidup. Relasi paling menda-
yang dicita-citakan di masa depan. Proses internali- sar dari manusia, seperti cinta, kekerabatan, hierarki
sasi nilai dan pembentukan identitas terjadi di dalam
sosial seperti atasan atau bawahan secara akrab ter-
pendidikan. Pendidikan bagi generasi baru sangat pen-
hubungkan dengan ritual permainan. Suatu perayaan
ting dalam proses transformasi pengetahuan dan nilai.
seringkali dimeriahkan dengan bermain, dan kadang-
Namun demikian, di era perkembangan tekno-
kala juga menghadirkan permainan; bermain adalah
logi informasi, pendidikan bagi anak juga menghadapi
salah satu ciri dari ritus perkawinan dan berbagai pe-
tantangan penting. Jika permainan dianggap sebagai
rayaan agama.
bagian pendidikan, maka perkembangan teknologi
Permainan juga menjadi alat bagi transfer nilai
digital dewasa ini telah menghadirkan berbagai jenis
permainan virtual, yang kini mulai menjadi bagian dan pengetahuan. Pada titik ini, permainan juga men-
dari kehidupan anak-anak. Mereka yang lahir pada jadi bagian dari pendidikan. Melalui permainan, anak
awal abad 21 ini sangat mungkin mengenal permainan GLDQWDUNDQ XQWXN PHQJHQDO ³GXQLD´ -LND VXDWX SHrma-
komputer khususnya video games, melebihi apa yang inan GLSDKDPL VHEDJDL NRQVHSWXDOLVDVL WHQWDQJ ³GXQLD´
dialami oleh generasi sebelumnya. Kelompok ini di- maka analisis tentang peran permainan dalam filsafat
kenal juga sebagai digital natives. pendidikan akan mempertimbangkan fungsi epistemo-
Riset yang dilakukan Murtiningsih (2004) pada logi dan ontologi dari suatu permainan. Arti penting
anak-anak usia sekolah di Yogyakarta menemukan epistemologis dari permainan dapat dikaji dari hu-
anak-anak usia sekolah kini gemar bermain Play Sta- bungan pembelajaran yang interaktif. Dalam hal ini,
tion dan I-Box, dua jenis permainan video games yang permainan komputer seperti video games adalah alat
mampu menghadirkan dunia permainan sebagai suatu sangat berpengaruh yang akan mengubah cara pandang
³GXQLD ODLQ´ 'XQLD \DQJ GLKDGLUNDQ ROHK WHNQRORJL anak-anak tentang dunia serta peran anak sebagai agen
digital adalah dunia yang mampu mengolah cerita di dalamnya.
dengan kecanggihan gambar dan suara. Anak berha- Dunia yang dihadirkan dalam video games adalah
dapan dengan satu realitas virtual yang berbeda dengan ³VXDWX VXE-UHDOLWDV´ DWDX PHQXUXW -HVSHU -XXO $gger,
realitas asli, yang di dalamnya konsep ruang dan waktu 2003 ) video games DGDODK ³VHSDUXK Q\DWD´ Feno-
menjadi tidak terbatas. Permainan video games online mena video games ini tampaknya bisa dikaji lebih kritis
melaui internet, misalnya, mampu menghubungkan dengan pendekatan melihat hakikat realitas yang di-
para anak yang bermain di suatu tempat ke tempat hadirkan oleh teknologi digital itu. Permainan video
lain, lintas daerah, negara dan bangsa. games agaknya mewakili apa yang disebut oleh Jean
Johan Huizinga (1990) membahas pentingnya Baudrillard sebagai simuasi atas realitas.
elemen permainan dalam budaya dan masyarakat. Bagi Melalui pendekatan teori simulacra Baudrillard
Huizinga, permainan mengambil tempat penting dalam ini, diurai beberapa persoalan pendidikan anak terkait
82 Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 19, Nomor 1, Juni 2013, hlm. 78-86

efek negatif video games pada proses internalisasi nilai sis daripada muatan yakni era post-Marxisme (1968-
pada anak. Diselidiki pula pengaruh video games pada 1971). Kedua, akurasi analisis sosio-linguistik dalam
pembentukan identitas dan persepsi diri anak. Di- pemikirannya (1972-1977). Ketiga, kritisisasi budaya
jawab pula apakah jika ditinjau dari perspektif teori teknologis, pendidikan populer, dan media, sehingga
simulacra Baudrillard, permainan anak video games dalam fase ini dia dikenal dengan the prophet of the
mengantar pada pembentukan identitas nyata ataukah implosion of meaning that attends the postmodern
identitas semu dan kesadaran semu. condition.
Melalui bukunya, Simulacra and Simulations,
Teori Simulacra Jean Baudrillard (1985), Baudrillard menyebut ciri khas masyarakat
Barat dewasa ini sebagai masyarakat simulasi. Inilah
Baudrillard, bernama lengkap Jean Baudrillard, masyarakat yang hidup dengan carut marut kode,
lahir pada 1929 dari pasangan petani kecil dan miskin tanda, dan model yang diatur sebagai produksi dan
dikota kecil Reims, Perancis. Pendidikannya banyak reproduksi dalam suatu simulacra. Simulacra adalah
dipengaruhi oleh kondisi perang Aljazair tahun 1950- ruang tempat mekanisme simulasi berlangsung. Dalam
an, sehingga pemikiran kritis akan kondisi-kondisi so- konteks perkembangan teknologi virtual, mengutip
siologis muncul dari iklim ini. Sebelum selesai kuliah Baudrillard, manusia dijebak dalam ruang realitas yang
dia sudah mengampu Bahasa Jerman di Lycee. Di dianggapnya nyata padahal sesungguhnya semu dan
bawah bimbingan Henri Lefebvre, Baudrillard banyak penuh rekayasa. Dalam dunia simulasi, bukan realitas
menggeluti persoalan filsafat sosial, budaya ataupun yang menjadi cermin kenyataan, melainkan model-
pendidikan popular. Dengan kecerdasan yang dimi- model (Baudrillard, 1987). Teknologi, kata Baudrillard,
likinya, mulai September 1966 dia dipercaya oleh bukan lagi sekadar perpanjangan tubuh atau sistem
Lefebvre untuk mengasisteninya di Universitas Nanterre syaraf manusia. Misalnya, prosesor komputer, memory
Paris X. Di samping itu, dia juga berkolega dengan card, DVD, video games, atau internet, telah mampu
Roland Barthes, seorang perintis semiotik, sehingga mereproduksi realitas, masa lalu dan nostalgia. Bahkan,
karya pertamanya yang menguraikan analisis semiotik semua itu mampu menciptakan realitas baru dengan
terhadap budaya, yakni The System of Object (1968), citra buatan dan menyulap fantasi, ilusi bahkan halusi-
banyak dipengaruhi oleh Barthes. nasi menjadi kenyataan, serta melipat realitas ke dalam
Pemikiran sosiologinya, terutama tentang budaya
sebuah flashdisk atau memory bank. Lebih jauh, reali-
permainan teknologi modern ini, banyak dipengaruhi
tas yang dihasilkan teknologi baru ini telah mengalah-
oleh Marshall McLuhan. Ketika tahun 1968 terjadi
kan realitas yang sesungguhnya dan menjadi model
peristiwa demonstrasi besar oleh mahasiswa di uni-
acuan yang baru bagi masyarakat.
versitasnya, Baudrillard bergabung dengan jurnal
³NLUL´ Utopie, yang dijadikan mediasi untuk menu-
angkan ide-idenya tentang kritik budaya dan kritik Problem Pendidikan Video Games
teknologi dari perspektif Struktural-Marxis dalam teori-
Refleksi berdasar filsafat Baudrillard atas penga-
teori tentang media dan pendidikan populer. Tahun
ruh video games pada internalisasi nilai dan pemben-
1970, Baudrillard menjadi Maitre-assistant di Univer-
tukan identitas anak menjadi penting karena dapat
sitas Nanterre, dan tahun 1987 dia pensiun. Karier aka-
demiknya juga dititinya di European Graduate School memberi sumbangan bagi kritik terhadap problem
(EGS) di Saas-Fee, Swiss, dan di sini pula dia men- pendidikan di Indonesia dewasa ini. Bagaimanapun
jadi profesor dalam filsafat budaya dan kritik media juga, proses transfer pengetahuan dan pengalaman
(Poster, 1988). melalui video games ini akan memunculkan persoalan
Tokoh-tokoh yang memengaruhi analisis kritis- penting dalam filsafat pendidikan, yaitu tentang ma-
nya tentang media, pendidikan popular, dan teknologi, salah struktur dasar realitas yang diserap oleh anak
selain yang telah disebutkan di atas, adalah Marcel dan bagaimana mereka membangun dan memahami
Mauss dalam objektivitas dan analisis sosio-linguistik- ³GXQLD´ SHUPDLQDQ LWX GDODP video games. Berbeda
nya; juga masuk dalam lini ini adalah strukturasi Le- dengan permainan tradisional yang mengandalkan
vi-Staruss dan sosiologi Durkheimian. Dia juga kekuatan naratif, permainan video games bertumpu
terilhami oleh Bataille, Sartre, Dostoyevsky, Nietzsche, SDGD VDWX EDQJXQDQ ORJLND \DQJ ³VHSDUXK Q\DWD´ \DQJ
dan Freud. Sekalipun demikian, pengaruh terbesar di dalamnya konsep ruang dan waktu, serta eksistensi
adalah Marxisme. Butler (1999) membedakan pemi- VXEMHN \DQJ EHUPDLQ PDPSX PHOHZDWL EDWDV ³UXDQJ
kiran Baudrillard dalam tiga fase. Pertama, aktuali- konseptual´ GHQJDQ EHUEDJDL NHPXQJNLQDQ ORJLV \DQJ
sasi paradigma, strategi, tujuan dan penekanan anali- tidak terbatas.
Murtiningsih, dkk., Problem Pendidikan Video Games« 83

Fenomena paling mencolok dari orde digital ini organisasikan pengetahuan itu. Benda berkesesuaian
adalah berkembangnya teknologi permainan video dengan kategori-kategori yang ada dalam pikiran tetapi
games yang menciptakan dunia maya (virtual worlds) tidak sebaliknya seperti yang ada dalam realisme Aris-
bagi anak-anak di seluruh dunia. Huizinga (1990) totelian misalnya. Namun demikian, menurut Kant,
mengatakan bahwa permainan dapat diibaratkan se- konsep tanpa persepsi tiada artinya, sebagaimana
bagai lingkaran magis; di dalamnya ada pergeseran persepsi tanpa konsep adalah buta (Hunnex, 2004).
WHQWDQJ UXDQJ GDUL ³UHDO´ PHQXMX NH ³UXDQJ NRQVHp- Video games telah menjadi fenomena tersendiri
WXDO´ Video games WHODK PHQJKDGLUNDQ ³OLQJNDUDQ dalam proses komunikasi massa dewasa ini, bahkan
PDJLV´ LWX PHODOXL NRQVWUXNVL UHDOLWDV \DQJ EHUEHGD ketergantungan manusia pada media massa sudah
Teknologi itu mampu menghadirkan citra digital sedemikian besar. Media komunikasi massa abad ini
melalui kolaborasi perangkat keras dan lunak, sehingga yang tengah digandrungi anak-anak adalah permainan
anak masuk dalam augmented reality, suatu kenya- video games. Rob Shields dalam bukunya The Virtual
taan virtual yang ditopang oleh perangkat keras dan (Shields, 2003), menyatakan bahwa rata-rata anak-anak
lunak itu. Teknologi virtual telah membuat dunia tidak menghabiskan waktu 2600 jam pertahun dengan ber-
berjarak DQWDUD \DQJ ³UHDO´ GHQJDQ \DQJ WLGDN ³UHDO´ main video games atau menonton televisi. Itu sama
Pakar psikologi perkembangan anak, Jean Piaget dengan 325 hari @ 8 jam. Selain itu, anak-anak juga
(1977), mengatakan bahwa bermain adalah keadaan menghabiskan waktu 900 jam dengan media lain se-
tidak seimbang; dalam bermain, asimilasi lebih domi- perti koran, buku, majalah, musik, film, dan internet.
nan daripada akomodasi. Imitasi juga mencerminkan Itu semua lebih banyak/lama daripada waktu yang
keadaan tidak seimbang karena akomodasi mendo- mereka gunakan untuk kegiatan lain, termasuk ber-
minasi asimilasi. Situasi yang tidak seimbang dengan sekolah dan tidur (Shields, 2003).
sendirinya tidak menunjang proses belajar seorang Di Indonesia, berdasarkan survei AC Nielsen
anak, atau secara intelektual tidak adaptif. Saat ber- di tahun 2009, 61% sampai 91% anak-anak Indonesia
main, menurut Piaget, seorang anak tidak sedang be- suka bermain video games. Hasil ini lebih lanjut di-
lajar sesuatu yang baru, namun mereka belajar mem- jelaskan bahwa hampir 8 dari 10 anak-anak di kota-
praktikkan dan mengkonsolidasikan keterampilan yang kota besar bermain video games setiap hari daripada
baru diperoleh. membaca dan bermain di lapangan. Hal ini menunjuk-
Walaupun bermain bukan penentu utama untuk kan bermain video games DGDODK ³DNWLYLWDV´ XWDPD
perkembangan kognisi anak dalam suatu proses pen- anak-anak Indonesia yang seakan tak dapat ditinggal-
didikan, bermain memberi sumbangan penting. Con- kan, sama halnya dengan aktivitas anak-anak ketika
tohnya, pada episode bermain peran yang dilakukan menonton televisi. Realitas ini menjadi bukti bahwa
seorang anak bersama kawan-kawannya, terjadi bebe- permainan anak video games ataupun kegiatan me-
rapa transformasi simbolik seperti pura-pura menggu- nonton televisi mempunyai kekuatan menghipnotis
nakan balon sebagai telur. Dari permainan itu, seorang berjuta anak Indonesia, sehingga seolah-olah perma-
anak tidak belajar keterampilan baru, namun dia be- inan video games dan juga menonton televisi telah
lajar mempraktikkan keterampilan merepresentasikan mengalienasi anak-anak, bahkan juga orang dewasa,
apa saja yang telah dipelajari sebelumnya, yang telah dalam agenda tersembunyinya (Murtiningsih, 2012).
diperolehnya dalam konteks bukan bermain (Tedja- Perkembangan permainan video games di Indo-
saputra, 2005). nesia dua tahun terakhir ini memang amat menarik.
Dari kacamata Kant, fenomena permainan tek- Di pasar kini tersedia beragam permainan digital
nologi modern video games ini dapat dipahami dari video games, dari jenis Nintendo, I-Box, sampai Play
perspektif fenomenologi realitas, bahwa realitas ini Station dengan beragam versi mutakhirnya. Perma-
selalu menampakkan diri sebagai das ding ansich, inan digital itu pelan-pelan telah menggantikan per-
yang selalu terdiri dari dua distingsi realitas yakni reali- mainan anak tradisional yang mulai tergerus oleh
tas noumenon dan realitas fenomenon (dua distingsi zaman. Namun realitasnya, di sisi lain ada problem
realitas). Jadi, pengetahuan adalah hasil dari buah aksiologis dalam permainan anak modern video games
pikiran (knower) dan fenomena (data inderawi). Feno- tersebut, yaitu ketegangan aksiologis antara tuntutan
mena berasal dari noemena (dunia real tertinggi dari selera pasar dan misi pendidikan. Media Watch men-
³EHQGD GDODP GLULQ\D VHQGLUL´ \DQJ Widak dapat dike- catat selama ini atas nama mekanisme pasar, pilihan
tahui). Hanya fenomena (data inderawi) saja yang format isi permainan video games tidak pernah lepas
dapat diketahui sebagai pengetahuan ilmiah atau fak- GDUL SHUWLPEDQJDQ ´WXQWXWDQ NKDOD\DN´ PHQXUXW SHr-
tual, dan itu hanya karena pikiran (knower) memiliki spektif pembuat. Berbagai program permainan ini
kemampuan yang memungkinkan pengalaman meng- dibuat hanya untuk melayani kelompok budaya ma-
84 Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 19, Nomor 1, Juni 2013, hlm. 78-86

yoritas yang potensial menguntungkan, notabene keba- Situasi yang dibangun sebagai akibat perkem-
nyakan mereka adalah anak-anak, sementara kelompok bangan teknologi mainan video games inilah yang
minoritas tersisihkan dari dunia simbolik video games kemudian dikenal dengan sebutan orde virtual worlds,
(Murtiningsih, 2012). yang jauh-jauh hari telah disinyalir kuat oleh filsuf
Jika dicermati, tampaknya pembuat produk Perancis, Jean Baudrillard, dengan konsepnya tentang
permainan anak modern video games ini mengklaim simulasi dan hiperrealitas. Inti pemikiran Baudrillard
peroduk mereka sebagai produk permainan yang se- adalah teori tentang hyper-reality dan simulation. Kon-
ringkali berorientasi bukan pada efek yang timbul sep ini sepenuhnya mengacu kepada kondisi realitas
dalam masyarakat tetapi produk komersial tersebut budaya yang maya (virtual) ataupun artifisial di da-
apakah mampu terjual dan mempunyai nilai ekonomis lam era komunikasi massa dan konsumsi massa.
atau tidak, sehingga mereka tidak memerhatikan apa Realitas-realitas itu mengungkung anak-anak
manfaatnya bagi pendidikan anak-anak yang adalah dengan berbagai bentuk simulasi (penggambaran de-
pangsa pasar utamanya. ngan peniruan). Simulasi itulah yang mencitrakan suatu
Fenomena ini menandakan adanya persoalan realitas yang pada hakikatnya tidak senyata realitas
QLODL ´ILORVRILV´ SDGD SHUPDLQDQ video games itu. Per- \DQJ VHVXQJJXKQ\D 5HDOLWDV \DQJ ³WLGDN VHVXQgguh-
mainan anak modern, terutama video games, semakin nya´ tetapi dicitrakan sebagai realitas yang mendeter-
hari semakin memperlihatkan kecenderungan men- minasi kesadaran anak-anak itulah yang disebut de-
campuradukkan nilai edukasi dengan nilai ekonomis. ngan realitas semu (hyper-reality). Realitas ini tampil
Keuntungan ekonomis menjadi tujuan utama bagi PHODOXL PHGLD \DQJ PHQMDGL ³NLEODW´ XWDPD PDV\D-
produsen permainan video games ini untuk menge- rakat massa. Melalui media, realitas dikonstruksikan
jarnya. Hal ini tentu saja disebabkan di antaranya dan ditampilkan dengan simulators, dan pada giliran-
oleh tekanan pasar yang semakin meningkat. nya menggugus menjadi-JXJXVDQ LPDML \DQJ ³PHQXQ-
Menurut pandangan objektivisme aksiologis, tun´ PDQXVLD PRGHUQ SDGD kesadaran yang ditam-
penetapan nilai adalah sesuatu yang dianggap objektif pilkan oleh simulator-simulator tersebut. Inilah yang
(Hunnex, 2004). Nilai, norma ideal, dan sebagainya disebut gugusan simulacra.
merupakan unsur atau berada pada realitas objektif.
Penetapan suatu nilai memiliki makna, yakni benar 9LGHR *DPHV 6LPXODFUD ³5XDQJ .RQVHpWXDO´
atau salah, meskipun penilaian itu tidak dapat diveri-
Albert Bandura (1977) melalui teori Social
fikasi, yaitu tidak dapat dijelaskan melalui suatu istilah
Learning yang populer pada dekade 1960-an menyim-
tertentu. Nilai berada dalam suatu objek seperti hal-
pulkan maraknya perkembangan video games, seperti
nya kenikmatan ketika bermain video games. Nilai
Play Station, telah membuat medium itu menjadi al-
terletak dalam realitas. Pandangan objektivisme aksiolo-
ternatif media belajar baru bagi masyarakat, terutama
gis inilah yang sering disebut juga dengan istilah realis-
anak-anak. Kenyataan ini kian menguat ketika ke-
me aksiologis.
hadiran permainan ini kian menyebar secara global
Atas dasar problem aksiologis tersebut di atas,
melalui internet, yang memungkinkan games dila-
dapat dikatakan bahwa manfaat video games lebih kukan secara interaktif, dan menerabas batas-batas
dititikberatkan pada aspek hiburan daripada aspek pe- teritorial.
dagogisnya. Ruang konseptual permainan anak video Di Amerika Serikat, rata-rata anak-anak meng-
games ini akhirnya menarik audiens hanya dengan habiskan waktu selama 4 jam bermain video games,
menyajikan model permainan anak yang hanya ber- semisal Play Station. Empat jam bukan waktu yang
fungsi sebagai permainan yang asyik dilihat sebagai sedikit bila dibandingkan dengan waktu yang harus
suatu strategi bisnis yang sarat muatan ekonomis. Hal dihabiskan anak untuk bersekolah (6-8 jam), tidur
ini tentu akan berdampak pada kejiwaan anak. Padahal, (4-6 jam) dan menjalankan fungsi sosial ataupun indi-
anak adalah pemegang estafet utama kehidupan gene- vidual lainnya (Shulman, 2001). Data lembaga riset
rasi bangsa. Produsen permainan anak video games pemasaran MARS tahun 2004 menyimpulkan bahwa
dalam hal ini tidak lagi mempertimbangkan moral rata-rata waktu dihabiskan anak-anak di dunia, tak
sebagai pengontrol langkah mereka sehingga begitu terkecuali Indonesia untuk bermain games berkisar 4
mengabaikan kepentingan anak-anak generasi penerus jam sehari. Jumlah ini diperkirakan lebih banyak
bangsa. Hal itulah yang terjadi dengan perkembangan lagi, mengingat anak-anak pada masyarakat modern
permainan modern anak video games di Indonesia: meluangkan jauh lebih banyak waktu di depan televi-
beberapa kaidah yang semestinya dijalankan malah si, Play Station, internet, atau online game dibanding
diabaikan demi kepentingan meraup keuntungan. dengan orangtuanya (Shields, 2003).
Murtiningsih, dkk., Problem Pendidikan Video Games« 85

Dari perspektif teori simulacra Jean Baudrillard, realitas, bahkan menjadi realitas itu sendiri atau bah-
fenomena video games ini sepenuhnya mengacu ke- kan lebih nyata dari realitas dalam dunia video games
pada kondisi realitas budaya yang virtual ataupun arti- tersebut.
fisial di dalam era konsumsi massa sekarang ini. Re-
alitas-realitas itu mengungkung anak-anak dengan SIMPULAN
berbagai bentuk simulasi (penggambaran dengan
peniruan). Simulasi itulah yang mencitrakan realitas Pemetaan fenomena video games dapat diguna-
yang pada hakikatnya tidak senyata realitas sesung- kan untuk melihat perjalanan dari masa kini menuju
JXKQ\D 5HDOLWDV \DQJ ³WLGDN VHVXQJJXKQ\D´ WHWDSL masa depan. Permainan video games juga memuat
dicitrakan sebagai realitas yang mendeterminasi kesa- hidden curriculum dengan agenda ekonomi politik
daran anak-anak itulah yang disebut dengan realitas ataupun penguasaan kesadaran, serta tingkat konsumsi
semu (hyper-reality). Realitas ini tampil melalui ber- tinggi. Adalah suatu fakta bahwa video games kini
rDJDP PHGLD \DQJ PHQMDGL ³NLEODW´ XWDPD PDV\DUakat mendominasi ruang dan waktu anak-anak di seluruh
massa. Melalui media, realitas dikonstruksikan dan dunia, tidak terkecuali di Indonesia.
ditampilkan dengan simulators, dan pada gilirannya Dalam konteks era globalisasi sekarang ini, telah
menjadi gugusan-JXJXVDQ LPDML \DQJ ³PHQXQWXQ´ terjadi perubahan dari suatu zaman yang hingar bingar
anak-anak pada kesadaran yang ditampilkan oleh dengan banjirnya kultur besar, mayor dan dominan,
aneka simulator tersebut; inilah yang disebut gugusan ke komunitas berbasis kultur kecil (minor). Dibutuh-
simulacra. Simulator itulah yang kemudian muncul kan suatu pendekatan akademik yang kritis menje-
dalam bentuknya yang paling nyata pada permainan laskan fenomena dunia hiperrealitas pada permainan
anak modern video games ini. anak video games tersebut. Pada video games, misal-
Baudrillard tampaknya mengikuti tradisi berpi- nya, \DQJ WDPSDN DGDODK ³UHDOLWDV´ \DQJ GLSUHVHQWDVi-
kir Claudé Levi-Strauss dalam membuat relasi antara kan oleh permainan itu menjadi jembatan mengalirnya
pendidikan kritis, sosiologi dan semiotika, meskipun arus budaya mayor ke budaya minor, sehingga pen-
Baudrillard jauh melampaui tradisi sosiologi itu sen- citraan atas realitas juga mengikuti irama presentasi
diri. Baudrillard mengonsepkan masyarakat dengan permainan itu.
menggunakan mass (massa) yang merupakan konsep- Fenomena video games yang ditelusuri dengan
tualisasi masyarakat yang telah terdeterminasi oleh pendekatan simulacra gaya Baudrillard menyadarkan
³IDNWRU´ EXGD\D \DQJ EHUDGD GDODP VHOXEXQJ JXJXVDQ RUDQJ WHQWDQJ NHNXDWDQ SHPEHQWXN ³GXQLD DQDN-DQDN´
simulacra. Di sinilah tampak sekali bahwa Baudril- PHODOXL ³GXQLD VLPXODVL´ -LND GLVDGDUL simulacra dan
lard mengadopsi kritik situasionisme dari marxisme. hiperrealitas itu dapat diarahkan dengan baik sehingga
Berkembangnya teknologi informasi seperti sekarang membantu proses peralihan pengetahuan dan bagi ge-
ini, yang diklaim sebagai wujud nyata dari moderni- nerasi bangsa berkualitas di masa depan. Hal itu dapat
tas, telah memposisikan realitas-realitas menjadi se- dicapai dengan cara menyatukannya dalam kurikulum
batas imaji yang dihasilkan oleh proses simulasi. pendidikan, baik melalui pendidikan sekolah maupun
Permainan video games, sekali lagi, telah men- pendidikan keluarga.
ciptakan makna pesan yang dipublikasikan sebagai Meskipun demikian, teori simulacra ala Baudril-
sesuatu yang terputus dari asal-usulnya, sehingga tidak lard mengingatkan semua orang bahwa video games
salah kalau Baudrillard menyatakan bahwa konstruksi menyisakan pertanyaan filosofis tentang hakikat
budaya dewasa ini mengikuti pola-pola simulasi, yak- kenyataan, subjektivitas, dan manusia di dunia yang
ni penciptaan model-model nyata tanpa asal-usul dari serba canggih, dan diprovokasi oleh teknologi. Apa
realitas, dan inilah yang disebutnya hyper-reality. Jean hakikatnya manusia, ketika garis antara manusia dan
Baudrillard, dalam Simulacra and Simulations (1985: teknologi dalam video games mengabur? Apakah iden-
OHELK ODQMXW PHQ\DWDNDQ EDKZD ³we must think titas manusia dapat diprogram? Baudrillard tak men-
of the media as if they were, in outer orbit, a sort of jawab pertanyaan-pertanyaan ini, tapi dia memberi-
genetic code which controls the mutation of the real kan pemetaan tentang proses peralihan pengetahuan
into the hyper-real". Selanjutnya Baudrillard juga dan nilai di era teknologi informasi yang harus men-
PHQHJDVNDQ EDKZD ³The hyper-real represents a jadi bahan pertimbangan dan pemikiran ulang bagi
much more advanced phase in the sense that even para praktisi pendidikan dan pengambil kebijakan.
this contradiction between the real and the imaginary Dalam semangat kritik atas hiperrealitas, Bau-
LV HIIDFHG´ (1994: 142). Dengan demikian, menurut drillard juga menekankan pentingnya pengharapan
Baudrillard, dunia yang dibangun oleh permainan dan impian, bukan sekadar ilusi dan tipu daya. Mimpi
anak video games tidak saja berhenti menjadi cerminan dan harapan memberi energi mewujudkan dunia lebih
86 Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 19, Nomor 1, Juni 2013, hlm. 78-86

baik. Tidak ada perubahan tanpa impian, begitu pula ga kekhawatiran akan efek ekstase dari dunia simu-
tidak ada impian tanpa harapan. Namun harapan dan lasi tidak terjadi dan berlanjut kepada kerusakan nilai-
impian harus ditindaklanjuti dengan aktualisasi, sehing- nilai yang sistemik.

DAFTAR RUJUKAN

Agger, B. 2003. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan Butler, R. 1999. Jean Baudrillard: The Defence of the Re-
dan. Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana. al. London: Sage Publications.
Bakker, A. & Zubair, C. 1990. Metodologi Penelitian Fil- Cogburn, J. & Silcox, M. 2009. Philosophy through Video
safat. Yogyakarta: Kanisius. Games. New York & London: Routledge Taylor
Bandura, A. 1977. Social Learning Theory. Englewood & Francis Group.
Cliffs, New Jersey: Prentice Hall Inc. Huizinga, J. 1990. Homo Ludens. Jakarta: LP3ES.
Baudrillard, J. 1968. The System of Objects. London and Hunnex, M.D. 2004. Peta Filsafat: Pendekatan Kronolo-
New York: Verso Books. gis dan Tekamis. Jakarta: Teraju Penerbit Mizan.
Baudrillard, J. 1970. The Consumer Society (Masyarakat Lechte, J. 2001. 50 Filsuf Kontemporer. Yogyakarta: Kan-
Konsumsi). Diterjemahkan oleh Wahyunto. 2004. isius.
Yogyakarta: Kreasi Wacana. Lie, A. 2004. Media, Sentra ke 4 Pendidikan. (Online),
Baudrillard, J. 1975. The Mirror of Production. St Louis, (http://kompas.com/kompas%2Dcetak/0409/07/
Mo: Telos Press Ltd. opini/1251930.htm}, diakses 21 Juni 2012.
Baudrillard, J. 1981. For a Critique of the Political Econ- Murtiningsih, S. 2004. Ideologi Pendidikan dalam Film
omy of the Sign. St. Louis, Mo: Telos Press Ltd. Kartun Anak Disney. Laporan Penelitian tidak diter-
Baudrillard, J. 1983. In the Shadow of the Silent Majori- bitkan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
ties. New York: Semiotext(e). Murtiningsih, S. 2012. Video Games dan Filsafat Pendidikan:
Baudrillard, J. 1983. Simulations. New York: Semio- Pendekatan Teori Simulacra Jean Braudrillard. Da-
text(e). lam B. Wibawarta (Ed.), Prosiding The 4th Inter-
Baudrillard, J. 1985. Simulacra and Simulation. London: national Conference on Indonesian Studies: Unity,
Sage Publications Ltd., Galilee & University of Diversity and Future, Sanur-Bali, 9-10 Februari
Michigan. 2012 (hlm. 789-799). Jakarta: Fakultas Ilmu Penge-
Baudrillard, J. 1987. Forget Foucault & Forget Baudril- tahuan Budaya Universitas Indonesia.
lard. New York: Penguin Books. Piaget, J. 1977. The Essential Piaget. New York: Basic
Baudrillard, J. 1990. Revenge of the Crystal: Selected Books.
Writings on the Modern Object and Its Destiny, Poster, M. (Ed.). 1988. Jean Baudillard, Selected Writ-
1968-1983. London: Pluto Press. tings. Stanford: Stanford University Press.
Baudrillard, J. 1998. The Consumer Society: Myths and Shields, R. 2003. The Virtual. London and New York:
Structures. London: Sage Publications Ltd. Routledge.
Baudrillard, J. 2000. The Vital Illusion. New York, Chich- Shulman, L.S. 2001. Appreciatting Good Teaching. Edu-
ester, West Sussex: Columbia University Press. cational Leadership, 58 (5): 6-11.
Baudrillard, J. 2003. Passwords. New York: Verso. Tavinor, G. 2009. The Art of Video Games. Malden MA:
Baudrillard, J. 2005. The Intelligence of Evil or the Lucidity Wiley-Blackwell A John Wiley Sons, Ltd., Publi-
Pact. New York: Penguin Books. cation.
Baudrillard, J. 2005. The Conspiracy of Art. New York: Tedjasaputra, M. 2005. Bermain, Mainan, dan Permain-
Semiotext(e). an. Jakarta: Grasindo.
Baudrillard, J. 2006. Utopia, Deferred Writings from Uto- Tosca, S.P., Egenfeldt-Nielsen, S., & Smith, J.H. 2008.
pie: 1967-1978. New York: Semiotext(e). Understanding Video Games: The Essential Intro-
Baudrillard, J. 2007. Exiles From Dialogue. Cambridge: duction. Madison Aye, New York: Routledge
Polity. Taylor & Francis Group.

Anda mungkin juga menyukai