Anda di halaman 1dari 7

Nama : Yana Oktavia

NIM : G1C120032

R-001

Biografi Hans J. Eysenck

Hans Jurgen Eysenck lahir di Berlin, pada 4 maret 1916, sebagai anak tunggal suatu keluarga
yang berkecimpung dalam dunia teater. Ibunya adalah Ruth Werner, seorang bintang pada saat
Eysenck lahir. Ruth Wenner kemudian menjadi bintang film bisu Jerman dengan nama panggung
Helga Molander. Ayahnya Eysenck, Anton Eduard Eysenck adalah seorang comedian, penyanyi,
dan actor.

Setelah perceraian orang tuanya, Eysenck tinggal dengan neneknya dari pihak ibu. Ia tumbuh
dengan sedikit kedisiplinan dan minimnya control yang ketat atas perilakunya. Tidak satupun
orangtuanya yang terlihat tertarik dalam membatasi perilaku Eysenck dan neneknya mempunyai
sikap yang cukup permisif terhadapnya. Penelataran yang halus ini ditunjukkan dengan dua
insiden, yang pertama saat ayahnya membelikan Hans sebuah sepeda dan berjanji akan
mengajarinya menaiki sepeda, namun ayahnya hanya mengatakan agar Hans duduk di sadelnya,
menggenjot pedalnya, dan membuat rodanya berputar kemudian ayahnya pergi meninggalkan
Hans belajar sepeda sendiri. Yang kedu adalah saat Eysenck remaja memberitahu neneknya
bahwa ia akan pergi untuk membeli rokok, berharap agar neneknya tidak memperbolehkannya,
tetapi neneknya hanya berkata “apabila kamu menyukainya lakukan saja”. Menurut Eysenck,
pengalaman dari lingkungan seperti kedua hal tersebut mempunyai sedikit pengaruh terhadap
perkembangan kepribadian. Baginya, faktor genetic mempunyai pengaruh yang lebih besar pada
perilaku selanjutnyadaripada pengalaman masa kecil. Oleh karena itu, pola asuh permisif tidak
menolong ataupun menghalanginya untuk menjadi ilmuwan eksentrik yang terkenal.

Eysenck menderita deprivasi yang dirasakan banyak orang Jerman setelah perang dunia I, yang
dihadapkan pada besarnya inflasi, pengangguran massal, dan mendekati kelaparan. Sebagai
persyaratan untuk tetap mempelajari fisika di Univeristas of Berlin, ia diberitahukan bahwa ia
harus bergabung dengan polisi rahasia Nazi – sebuah gagasan yang memuakkan, sehingga ia
memutuskan untuk meninggalkan Jerman.

Sebagai konsekuensi dari rezim tirani Nazi, pada usia 18 tahun, Eysenck meninggalkan Jerman
dan menetap di Inggris serta mencoba untuk masuk ke University of London dan masuk ke
jurusan psikologi. Eysenck menerima gelar sarjana pada tahun 1938, hampir bersamaan dengan
waktu ia menikahi Margaret Dvies, seorang warga Negara Kanada yang merupakan sarjana
matematika. Pada tahun 1940, ia diberikan gelar Ph.D dari University of London, namun saat itu
Inggris dan kebanyakan Negara Eropa sedang berperang.
Setelah perang, ia menjadi direktur departemen psikologi di Mudsley hospital dan kemudian
menjadi seorang pengakar psikologi di University of London. Pada tahun 1949, ia bepergian ke
Amerika Utara untuk menguji program program psikologi klinis di Amerika Utara dan Kanada,
dengan suatu gagasan untuk membangun profesi psikologi di Inggris. Ia mendapatkan jabatan
professor tamu di University of Pennsylvania selama 1949-1950, namun ia menghabiskan
banyak waktunya untuk bepergian di Amerika Serikat dan Kanada, melihat program program
psikologi klinis yang kemudian dianggapnya sama sekali tidak kuat dan tidak ilmiah.

Hubungan antara Eystenck dan istrinya mulai renggang dan akhirnya bercerai, kemudian
Eysenck menikahi Sybil Rostal dan dari pernikahan mereka membuahkan tiga orang anak laki
laki dan seorang anak perempuan. Putra Eysenck dari pernikahan pertamanya, Michael adalh
seorang penulis artikel dan buku buku psikologi yang telah diterbitkan dalam skala besar.

Setelah kembali dari Amerika Utara, Eysenck mendirikan departemen psikologi klinis di
University of London, dan menjadi profesor psikologi pada tahun 1955. Saat di Amerika Serikat
ia sudah memulai tulisan The Structure of Human Personality, mengenai kemampuan analisis
faktor untuk menjadi metode terbaik yang merepresentsikan fakta fakta yang telah diketahui
tentang kepribadian manusia.

Pada tahun 1983, Eysenck pensiun sebagai professor psikologi di Institute of Pschiatry,
Universitas of London, dan sebagai psikiater semior di Maudsley and Bethelem Royal Hospital.
Ia kemudian meneruskan untuk menjadi professor di University of London sampai kematiannya
karena kanker pada 4 september 1997.

Kepribadian

Eysenck berpendapat, dasar umum sifat sifat kepribadian berasl dari keturuna, dalam bentuk tipe
dan trait. Namun dia juga berpendapat bahwa semua tingkah laku dipelajari dari lingkungan.
Menurutnya, kepribadian adalah keseluruhan pola tingkah laku actual maupun potensial dari
organisme, sebagaimana ditentukan oleh keturunan dan lingkungan. Pola tingkah laku itu berasal
dan dikembangkan melalui interaksi fungsional dari empat sector utama yang mengorganisir
tingkahlaku; sector kognitif (intelligent), sector konatif (character), sector afektif (temperament),
dan sector somatic (constitution).

A. Hirarki Faktor-Faktor Kepribadian

Kepribadian sebagai organisasi tingkahlaku oleh Eysenck dipandang memiliki 4 tingkatan


hirarkis, yaitu:

1. Hirarki tertinggi : Tipe, kumpulan dari trait yang mewadahi kombinasi trait dalam suatu
dimensi yang luas.
2. Hirarki kedua : Trait, kumpulan kecenderungan kegiatan, koleksi respon yang saling
berkaitan dan mempunyai persamaan tertentu. Ini adalah disposisi kepribadian yang
penting dan permanen.
3. Hirarki ketiga : Kebiasaan tingkah laku atau berfikir, kumpulan respon spesifik,
tingkahlaku/ fikiran yang muncul kembali untuk merespon kejadian yang mirip.
4. Hirarki keempat : Respon spesifik, tingkah laku yang secara actual dapat diamati, yang
berfungsi sebagai respon terhadap suatu kejadian.

Eysenck menemukan 3 dimensi tipe yang masing masing tipe merupakan kumpulan 9 trait,
yakni:

1. Ektravensi (E)
Trait dari ektravensi adalah : sosiabel (sociable), lincah (lively), aktif (active), asertif
(assertive), mencari sensasi (sensation seeking), riang (carefree), dominan (dominance),
bersemangat (surgent), berani (venture some).
2. Neurotisisme (N)
Trait dari neurotisisme adalah : cemas (anxious), tertekan (depressed), berdosa (guild
feeling), harga diri rendah (low self esteem), tegang (tension), irasional (irrational), malu
(shy), murung (moody), emosional (emotional).
3. Psikotisme (P)
Trait dari psikotisme adalah : agresif (aggressive), dingin (cold), egosentrik (egocentric),
tak pribadi (impersonal), impulsif (impulsive), antisosial (antisocial), tak empatik, kreatif
(creative), keras hati (tough minded).

B. Tipe
Eysenck menemukan dan mengelaborasi tiga tipe (E,N,P) tanpa menyatakan secara
eksplisit peluang untuk menemukan dimensi yang lain pada masa yang akan datang.
Namun dari pendekatan metodologik yang sangat terbuka, dimana Eysenck menyerap
berbagai konsep dari banyak pakar, terkesan penambahan dan penyempurnaan terhadap
teorinya sebagai sesuatu yang wajar.
1. Ekstravensi
Istilah ekstraversi dan introversi dipakai mula pertama oleh Jung. Menurut Jung,
ekstraversi adalah orang yang pandangannya objektif dan tidak pribadi, sedang
introversi adalah orang yang pandangannya subjektif dan individualis. Konsep
Eysenck mengenai ekstraversi dan introversi lebih dekat dengan pemakaian istilah itu
secara populer. Ekstraversi mempunyai sembilan sifat sebagaimana ditunjukkan oleh
trait-trait dibawahnya, dan introversi adalah kebalikan dari trait ekstraversi, yakni:
tidak sosial, pendiam, pasif, ragu, banyak fikiran, sedih, penurut, pesimis, penakut.
Eysenck yakin bahwa penyebab utama perbedaan antara ekstraversi dengan introversi
adalah tingkat keterangsangan korteks (CAL = Cortical Arousal Level), kondisi
fisiologis yang sebagian besar bersifat keturunan. CAL adalah gambaran bagaimana
korteks mereaksi stimulasi indrawi. CAL tingkat rendah artinya korteks tidak peka,
reaksinya lemah. Sebaliknya CAL tinggi, korteks mudah terangsang untuk bereaksi.
Orang yang ekstravers CAL-nya rendah, sehingga dia banyak membutuhkan
rangsangan indrawi untuk mengaktifkan korteksnya. Sebaliknya introvers CAL-nya
tinggi, dia hanya membutuhkan rangsangan sedikit untuk mengaktifkan korteksnya.
Jadilah orang yang introvers menarik diri, menghindar dari riuh-rendah situasi
disekelilingnya yang dapat membuatnya kelebihan rangsangan.
Orang introvers memilih aktivitas yang miskin rangsangan sosial, seperti membaca,
olahraga soliter (main ski, atletik), organisasi persaudaraan eksklusif. Sebaliknya
orang ekstravers memilih berpartisipasi dalam kegiatan bersama, pesta hura-hura,
olahraga beregu (sepakbola, arung jeram), minum alkohol dan mengisap mariyuana.
Eysenck menghipotesakan ekstravers (dibanding introvers) melakukan hubungan
seksual lebih awal dan lebih sering, dengan lebih banyak pasangan, dan dengan
perilaku seksual yang lebih bervariasi. Ekstravers yang ketagihan alkohol dan
narkotik cenderung mengkonsumsi dalam jumlah yang lebih besar.
2. Neurotisisme
Seperti ektraversi-introversi, neurotisisme-stabiliti mempunyai komponen hereditas
yang kuat. Eysenck melaporkan beberapa penelitian yang menemukan bukti dasar
genetic dari trait neurotic, seperti gangguan kecemasan, hysteria, dan obsesif-
kumpulsif. Juga ada keseragaman antara orang kembar-identik lebih dari kembar-
fraternal dalam hal jumlah tingkahlaku antisosial dan asocial seperti kejahatan orang
dewasa, tingkahlaku menyimpang pada anak anak, homoseksualitas, dan alkoholisme.
Orang yang skor neurotiknya tinggi sering mempunyai kecenderungam reaksi
emosional yang berlebihan dan sulit kembali normal sesudah emosinya meningkat.
Mereka sering mengeluh dengan symptom fiisk, seperti sakit kepala, sakit pinggang
dan permasalahan psikologi yang kabur seperti khawatir dan cemas. Namun
neurotisisme itu bukan neurosis dalam pengertian yang umum. Orang bisa saja
mendapat skor neurotisisme yang tinggi tetapi tetap bebas dari symptom gangguan
delingkulen, atau mengidap gangguan psikis tingkat kedua (disoders of the second
kind).
3. Psikotisme
Orang yang skor psikotisme nya tinggi memiliki trait agresif, dingin, egosentrik, tak
pribadi, impulsive, antososial, takempatik, kreatif, keras hati. Sebaliknya orang yang
skor psikotisismenya rendah memiliki trait merawat/ haik hati, hangat, penuh
perhatian, akrab, tenang, sangat sosial, empatik, kooperatif, dan sabar. Seperti pada
ekstraversi dan neurotisisme, psikotisisme mempunyai unsur genetik yang besar,
Secara keseluruhan tiga dimensi kepribadian itu 75% bersifat herediter, dan hanya
25% yang menjadi fungsI lingkungan. Seperti pada neurotisisme, psikotisisme juga
mengikuti model stres-diatesis (diathesis-stress model). Orang yang variabel
psikotismenya tingg! tidak harus psikotik, tetapi mereka mempunyai predisposisi
untuk mengidap stress dan mengembangkan gangguan psikotik. Pada masa orang
hanya mengalami stress yang rendah, skor P yang tinggi mungkin masih bisa
berfungsi normal, tetapi ketika mengalami stress yang berat, orang menjadi psikotik
yang ketika stress yang berat itu sudah lewat, fungsi normal kepribadian sulit untuk
diraih kembali.
Psikotisme, dapat digabung bersama-sama dengan neurotisisme dan ekstraversi,
menjadi bentuk tiga dimensi. Tiga garis yang saling berpotongan ditengah-tengahdan
saling tegak lurus, menggambarkan hubungan antara ketiga dimensi itu. Setiap
individu dapat digambarkan dalam sebuah titik pada ruangan yang diantarai oleh tiga
garis dimensi itu. Menurut Eysenck dan Gudjonsson, ada korelasi negatif antara
androgen (testoterone) dengan CAL. Androgen dihasilkan oleh kelenjar adrenal
kelamin laki-laki (testis) dan kelenjar adrenal perempuan (ovarium). Semakin tinggi
androgen, anak semakin rendah CAL. Akibatnya muncul sifat-sifat maskulinitas,
seperti tingkahlaku agresif. Secara hipotetis, hormon androgen menjadi mediator
hubungan antara CAL yang rendah dengan kriminalitas.
4. Kecerdasan
Eysenck sesungguhnya ingin memasukkan kecerdasan sebagai dimensi keempat dari
kepribadian. Seperti tiga dimensi yang lain, kecerdasan lebih banyak dipengaruhi oleh
keturunan. Namun penelitian diskitar kecerdasan masih belum dapat mengelaborasi
faktor kecerdasan itu dengan keseluruhan kepribadian manusia. Banyak kontroversi
tentang hubungan antara kecerdasan dengan ras, yang belum terselesaikan.

C. Pembentukan Kepribadian
Teori kepribadian Eysenck menekankan peran herediter sebagai faktor penentu dalam
perolehan trait ekstraversi, neurotisisme, dan psikotisisme (juga kecerdasan). Sebagian
didasarkan pada bukti hubungan korelasional antara aspek biologis, seperti CAL dan
ANS dengan dimensi kepribadian. Namun Eysenck juga berpendapat, bahwa semua
tingkah laku yang tampak tingkah laku pada hirarki kebiasaan dan respon spesifik
semuanya (termasuk tingkah laku neurosis) dipelajari dari lingkungan. Tidak seperti
Freud yang memandang neurosis berkembang dari konflik tak sadar antara kekuatan-
kekuatan instingtif dengan proses pertahanan ego, Eysenck berpendapat inti fenomena
neurotis adalah reaksi takut yang dipelajari (terkondisikan). Hal itu terjadi manakala satu
atau dua stimulus netral diikuti dengan perasaan sakit/nyeri fisik maupun psikologis.
Kalau trauma sangat keras, dan mengenai seseorang yang faktor hereditasnya rena
menjadi neurosis, maka bisa jadi cukup satu peristiwa traumatis unt membuat orang itu
mengembangkan reaksi kecemasan dengan kekuat yang besar dan sukar berubah (diatesis
stress model).
Sekali kondisioning ketakutan atau kecemasan terjadi, pemicunya akan berkembang
bukan hanya terbatas kepada objek atau peristiwa asli, tetapi ketakutan/kecemasan itu
juga dipicu oleh stimulus lain yang mirip dengan stimulus asli atau stimulus yang
dianggap berkaitan dengan stimulus asli. Mekanisme perluasan stimulus ini mengikuti
Prinsip Generalisasi Stimulus yang banyak dibahas dalam paradigma behaviorisme.
Setiap kali orang menghadapi stimulus yang membuatnya merespon dalam bentuk usaha
menghindar atau mengurangi kecemasan, menurut Eysenck, orang itu menjadi terkondisi
perasaan takut/cemasnya dengan stimuli yang baru saja dihadapinya. Jadi, kecenderungan
orang untuk merespon dengan tingkahlaku neurotik semakin lama semakin meluas,
sehingga orang itu menjadi mereaksi dengan ketakutan stimuli yang hanya sedikit mirip
atau bahkan tidak mirip sama sekali dengan objek atau situasi menakutkan yang asli.
Menurut Eysenck, stimulus baru begitu saja dapat diikatkan dengan stimulus asli,
sehingga orang mungkin mengembangkan cara merespon stimuli yang terjadi serta merta
akibat adanya stimulis itu, tanpa tujuan fungsional. Eysenck menolak analisis
psikodinamik yang memandang tingkah laku neurotik dikembangkan untuk tujuan
mengurangi kecemasan. Menurutnya, tingkan laku neurotik sering dikembangkan tanpa
alasan yang jelas, sering menjad kontraproduktif, semakin meningkatkan kecemasan dan
bukannya menguranginya. Jika tingkahlaku itu diperoleh dari belajar, logikanya
tingkahlaku itu juga bisa dihilangkan dengan belajar. Eysenck memilih moder terapi
tingkahlaku, atau metoda menangani tekanan psikologis yang dipusatkan pada
pengubahan tingkahlaku salahsuai alih-alih mengembangkan pemahaman mendalam
terhadap konflik di dalam jiwa. Bisa dibayangkan, Eysenck sangat menentang Freud, dan
memandang terapi psikoanalitik dan psikodinamik biasanya tidak efektif untuk
menangani simptom neurotik.

Kepribadian dan Penyakit


Eysenck menemukan bahwa orang-orang yang memiliki skor neurotis (N) yang rendah
dalam Maudsley Personality Inventory, cenderung akan menekan emosi mereka dan lebih
memungkin untuk menerima diagnosis kanker paru-paru daripada yang memiliki skor N
yang tinggi. Kemudian, Eysenck bekerja sama dengan seorang dokter dar psikolog dari
Yugoslavia, Ronald Grossarth-Maticek, untuk menginvestigasi hubungan antara
kepribadian dan penyakit maupun efektivitas terapi perilaku dalam memperpanjang
kehidupan pasien kanker dan CVD. Grossarth-Maticek menggunakan kuesioner singkat
dan wawancara personal yang panjang untuk menempatkan seseorang dalam satu dari
empat kelompok atau tipe.
Tipe I meliputi orang-orang dengan real non-emosional, tidak berdaya/tanpa harapan
terhadap stres; tipe II adalah orang-orang yang biasanya bereaksi terhadap kondisi yang
membuat frustrasi dengan kemarahan, agresi, dan rangsangan emosional; tipe III adalah
orang-orang yang ambivalen, bergeser dari reaksi tipikal orang-orang tipe I ke reaksi tipe
II dan kembali lagi pada reaksi tipe I. Tipe IV adalah orang-orang yang menilai
otonominya sebagai suatu kondisi yang penting atas kemakmuran dan kebahagiaan
pribadi mereka. Dalam penelitian asli di Yugoslavia orang-orang dengan tipe I lebih
mungkin untuk meninggal karena kanker dibandingkas yang lainnya, dan orang-orang
dengan tipe II lebih mungkin untuk meninggal karena sakit jantung. Orang-orang dengan
tipe III dan tipe IV mempunyai rata-rata kematian akibat kanker atau penyakit jantung
yang rendah. Grossarth-Maticek, Eysenck, dan Vetter membuat replika dari penelitian
tersebut di Heidelberg, Jerman, dan menemukan hasil yang nyaris serupa.
Seperti yang dikemukakan oleh Eysenck, penelitian tersebut dan penelitian lainnya yang
berfokus pada hubungan antara kepribadian dan penyakit, tidak membuktikan bahwa
fakta psikologis menyebabkan kanker atau penyakit jantung. Sebaliknya, penyakit ini
disebabkan oleh interaksi dari berbagai faktor. Faktor-faktor lain yang berpengaruh
terhadap penyakit kardiovaskular meliputi sejarah keluarga, usia, gender, latar belakang
etnis, hipertensi, rasio yang tidak baik antara kadar total kolesterol dengan high-density
lipoprotein (HDL), merokok, diet, gaya hidup yang tidak aktif, dan beberapa faktor
kepribadian.
Di sisi lain, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kanker, antara lain merokok, diet,
alkohol, kegiatan seksual, sejarah keluarga, latar belakang etnis, dan faktor kepribadian.
Eysenck berargumen bahwa merokok tidak mampu menyebabkan kanker atau penyakit
kardiovaskular, tetapi ketika dikombinasikan dengan stres dan faktor kepribadian, maka
akan berkontribusi pada kematian akibat kedua penyakit tersebut. Sebagai contoh,
Eysenck dan rekan-rekannya (Marusic, Gudjonss Eysenck, & Starc, 1999)
mengembangkan model biopsikososial yang kompleks untuk penyakit jantung, yang
meliputi 11 faktor biologis dan 7 faktor psikososial.
Penelitian mereka dengan sampel laki-laki di Republik Slovenia mendukung hipotesis
bahwa faktor kepribadian berinteraksi dengan berbagai faktor biologis yang berkontribusi
pada penyakit jantung. Salah satu bentuk interaksi tersebut antara lain merokok,
neurotisme dan reaksi emosional; yaitu orang dengan skor P tinggi yang merokok dan
bereaksi terhadap stres dengan kemarahan, kekejaman, dan agresi, meningkatkan risiko
mereka terkena penyakit jantung.

Anda mungkin juga menyukai