Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH MANAJEMEN RISIKO KESELAMATAN DAN KESEHATAN

KERJA DALAM TATANAN LAYANAN KESEHATAN DI UNIT


INSTALASI GAWAT DARURAT
Untuk memenuhi tugas mata kuliah :
Dosen : Ns. M. Idris, S.Kep., M.KKK

Disusun Oleh :
Erni Trisnowati ( 2720200094)
Anggi (2720200076)
Devina (2720200027)

UNIVERSITAS ISLAM AS – SYAFI’YAH


FAKULTAS S1 ILMU KESEHATAN
TAHUN 2022

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Identifikasi Masalah


Kesehatan kerja mutlak dilaksanakan di dunia kerja dan di dunia usaha, oleh semua
orang yang berada di tempat kerja baik pekerja maupun pemberi kerja, jajaran
pelaksana, penyelia (supervisor) maupun manajemen, serta pekerja yang bekerja untuk
diri sendiri (self employeed). Bekerja adalah bagian dari kehidupan, sehingga setiap
orang memerlukan pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan hidup dan/atau untuk
aktualisasi diri, namun dalam melaksanakan pekerjaannya, berbagai potensi bahaya
(hazard atau faktor risiko) dan risiko yang ada di tempat kerja mengancam diri pekerja
sehingga dapat menimbulkan cidera atau gangguan kesehatan. Potensi bahaya dan
risiko di tempat kerja antara lain akibat sistem kerja atau proses kerja, penggunaan
mesin, alat dan bahan, yang bersumber dari keterbatasan pekerjaannya sendiri, perilaku
hidup yang tidak sehat dan perilaku kerja yang tidak aman, buruknya lingkungan kerja,
kondisi pekerjaan yang tidak ergonomik, pengorganisasian pekerjaan dan budaya kerja
yang tidak kondusif bagi keselamatan dan kesehatan kerja (Kurniawidjaja, 2010).
Kesehatan kerja (Occupational Health) merupakan bagian dari keselamatan dan
kesehatan kerja (Occupational Safety and Health) yang bertujuan agar pekerja selamat,
sehat, produktif, sejahtera, dan berdaya saing kuat, dengan demikian produksi dapat
berjalan dan berkembang lancar berkesinambungan (Sustainable Development) tidak
terganggu oleh kejadian kecelakaan maupun pekerja yang sakit atau tidak sehat yang
menjadikannya tidak produktif (Kurniawidjaja, 2010). Hasil pengamatan di lapangan
menunjukkan bahwa tiga alasan pokok suatu organisasi atau perusahaan melaksanakan
kesehatan kerja adalah diwajibkan oleh peraturan perundangan, pemenuhan hak asasi
manusia, efisiensi dari kebutuhan perekonomian.
Pada Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 64 disebutkan
bahwa Kesehatan Kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan
terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh
pekerjaan. Selanjutnya cara pencapaiannya melalui upaya pencegahan, peningkatan,
pengobatan dan pemulihan (Kurniawidjaja, 2010). Di dalam Undang-undang No. 23
tahun 2003 tentang kesehatan pasal 23 dinyatakan bahwa upaya Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3) harus diselenggarakan pada semua tempat kerja, khususnya
tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau
mempunyai karyawan paling sedikit 10 orang. Jika memperhatikan isi dari pasal di
atas maka Rumah Sakit (RS), puskesmas, Poliklinik, Rumah Bersalin, Balai
2
Kesehatan, Laboratorium dan Klinik Perusahaan termasuk dalam kriteria tempat kerja
dengan berbagai ancaman bahaya yang dapat menimbulkan dampak kesehatan, tidak
hanya terhadap para pelaku langsung yang bekerja di RS, tetapi juga terhadap pasien
maupun pengunjung RS. Sudah seharusnya pihak pengelola RS menerapkan upaya-
upaya K3 di RS (Depkes, 2006).
Rumah sakit merupakan salah satu organisasi penyedia layanan kesehatan yang
dituntut untuk terus meningkatkan mutu dengan membangun keselamatan dan layanan
kesehatan yang lebih aman sehingga mendapatkan customer loyality. Keselamatan di
rumah sakit merupakan aspek penting dan prinsip dasar layanan kesehatan serta
komponen kritis dari manajemen mutu dan salah satu indikator dalam penilaian
akreditasi rumah sakit. Rumah sakit dapat menimbulkan bahaya bagi para penderita
dan pekerjanya, baik bagi para dokter, perawat, teknisi, dan semua yang berkaitan
dengan pengelolaan rumah sakit maupun perawatan penderita (Kusnoputranto, 2009).
Menurut Goodman (2004) Rumah sakit dapat menjadi tempat kerja yang bahwa
keselamatan pasien, keselamatan petugas dan keselamatan sistem saling berhubungan
dan saling terkait satu sama lain. Perawat merupakan petugas kesehatan terbanyak
dengan komposisi 60% dari seluruh petugas kesehatan di rumah sakit dan yang
melakukan kontak terlama dengan pasien (Swansburg, 1996). membahayakan bagi
perawat. Menurut Ellis dan Hartley, (2008)., mengemukakan bahwa perawat
mengalami insiden cidera 8,8 kali per 100 karyawan di rumah sakit dan 13,5 per 100
karyawan di rumah perawatan (nursing home)
Bahaya Biologi pada perawat dapat disebabkan oleh infeksi nosokomial. Infeksi
nosokomial dapat ditularkan melalui patogen di udara (airbone) (misal : tuberkulosis
(TBC), severe acute respiratory syndrome (SARS) dan patogen di darah (bloodborne)
atau cairan tubuh manusia yang dapat ditularkan melalui jarum suntik (needle stick
injury) atau luka di mukosa tubuh (misal : hepatitis, HIV infection/AIDS). Cidera
akibat tertusuk jarum merupakan bahaya biologi yang serius pada perawat mengingat
perawat dapat tertular penyakit berbahaya seperti Hepatitis B dan C atau HIV/AIDS.

3
B. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian dari risiko
2. Mengetahui pengertian dari hazard
3. Mengetahui apa saja risiko dan hazard dalam pelayanan di Instalasi Gawat Darurat
C. MANFAAT
1. Makalah ini dapat digunakan sebagai sasaran belajar dan mengaplikasikan ilmu
yang diperoleh selama masa pemebelajaran tentang keselamatan dan kesehatan
kerja.
2. Pengetahuan yang diperoleh dari makalah ini dapat dijadikan pedoman dalam
3. Melaksanakan tugas mengenai keselamatan dan kesehatan kerja.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Rumah Sakit

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan perorangan secara


paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat
darurat. Rumah sakit merupakan pusat pelayanan terpadu dalam sistem
pelayanan secara kuratif dan prefentif, yang juga menyediakan pelayanan rawat
jalan, rawat inap, dan perawatan di ruma sakit. Ruma sakit adalah suatu tempat
yang terorganisir dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien baik
bersifat umum, spesialistik dan sub spesialistik. Rumah sakit adalah institusi
pelayanan kesehatan yang paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap,
rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah sakit merupakan pusat pelayanan
kesehatan terpadu dalam sistem pelayanan secara kuratif dan prefentif dan juga
menyediakan pelayanan seperti rawat jalan, rawat inap serta perawatan.
B. K3 Rumah Sakit

1. Pengertian K3 Rumah Sakit

K3 Rumah sakit adalah usaha terpadu yang dilakukan oleh rumah sakit
secara terintegrasi agar menciptakan lingkungan kerja, tempat kerja yang
sehat, aman dan nyaman baik bagi pekerja rumah sakit, pasien, pengunjung
atau pengantar orang sakit maupun bagi masyarakat dan lingkungan sekitar
rumah sakit.

2. Kebutuhan K3 di Rumah Sakit

Sejalan dengan perkembangan teknologi dan tantangan potensi bahaya


yang sangat beragam di rumah sakit yang timbul akibat buatan manusia
sendiri (man made hazard). Alat dan teknologi buatan manusia seperti jarum
suntik dan benda tajam lainnya yanag ada di rumah sakit di samping
memberi nilai kemanfaatan juga dapat menimbulkan cedera atau kecelakaan
pada manusia di tempat kerja. Oleh karena itu di rumah sakit aspek
keselamatan adalah kebutuhan dasar.

5
C. Kecelakaan Kerja

Kecelakaan kerja adalah insiden yang menimbulkan cidera, penyakit akibat


kerja (PAK) ataupun kefatalan (kematian). Kecelakaan dalam bekerja bisa
terjadi dimana saja.
D. Risiko Kerja

Risiko (Risk) adalah menyatakan kemungkinan terjadinya kecelakaan/


kerugian pada periode waktu tertentu atau siklus operasi tertentu (Tarwaka,
2008). Kombinasi dari kemungkinan terjadinya kejadian berbahaya atau
paparan dengan keparahan dari cedera atau gangguan kesehatan yang
disebabkan oleh kejadian atau paparan tersebut (Ramli, 2010).
E. Manajemen Risiko
1. Identifikasi Risiko
Proses ini meliputi identifikasi risiko yang mungkin terjadi dalam suatu
aktivitas usaha. Identifikasi risiko secara akurat dan komplet sangatlah vital
dalammanajemen risiko. Salah satu aspek penting dalam identifikasi risiko
adalah mendaftar risiko yang mungkin terjadi sebanyak mungkin. Teknik-
teknik yang dapat digunakan dalam identifikasi risiko antara lain:
• Brainstorming
• Survei
• Wawancara
• Informasi historis
• Kelompok kerja, dll.
2. Analisa Risiko
Setelah melakukan identifikasi risiko, maka tahap berikutnya adalah
pengukuran risiko dengan cara melihat potensial terjadinya seberapa besar
severity (kerusakan) dan probabilitas terjadinya risiko tersebut. Penentuan
probabilitas terjadinya suatu event sangatlah subyektif dan lebih berdasarkan
nalar dan pengalaman. Beberapa risiko memang mudah untuk diukur, namun
sangatlah sulit untuk memastikan probabilitas suatu kejadian yang sangat
jarang terjadi. Sehingga, pada tahap ini sangtalah penting untuk menentukan
dugaan yang terbaik supaya nantinya kita dapat memprioritaskan dengan baik
dalam implementasi perencanaan manajemen risiko.

6
3. Pengelolaan risiko
Jenis-jenis cara mengelola risiko:
a. Risk avoidance
Yaitu memutuskan untuk tidak melakukan aktivitas yang
mengandung risiko sama sekali. Dalam memutuskan untuk
melakukannya, maka harus dipertimbangkan potensial keuntungan dan
potensial kerugian yang dihasilkan oleh suatu aktivitas.
b. Risk reduction
Risk reduction atau disebut juga risk mitigation yaitu merupakan
metode yang mengurangi kemungkinan terjadinya suatu risiko ataupun
mengurangi dampak kerusakan yang dihasilkan oleh suatu risiko.
c. Risk transfer
Yaitu memindahkan risiko kepada pihak lain, umumnya melalui suatu
kontrak (asuransi) maupun hedging.
d. Risk deferral
Dampak suatu risiko tidak selalu konstan. Risk deferral meliputi
menunda aspek suatu proyek hingga saat dimana probabilitas terjadinya
risiko tersebut kecil.
e. Risk retention
Walaupun risiko tertentu dapat dihilangkan dengan cara mengurnagi
maupun mentransfernya, namun beberapa risiko harus tetap diterima
sebagai bagian penting dari aktivitas.
Penanganan risiko:
• High probability, high impact : risiko jenis ini umumnya dihindari
ataupun ditransfer.
• Low probability, high impact : respon paling tepat untuk tipe risiko
ini adalah dihindari. Dan jika masih terjadi, maka lakukan mitigasi
risiko serta kembangkan contingency plan.
• High probability, low impact : mitigasi risiko dan kembangkan
contingency plan
• Low probability, low impact : efek dari risiko ini dapat dikurangi,
namun biayanya dapat saja melebihi dampak yang dihasilkan. Dalam
kasus ini mungkin lebih baik untuk menerima efek dari risiko tersebut.

7
• Contingency plan: Untuk risiko yang mungkin terjadi maka perlu
dipersiapkan contingency plan seandainya benar-benar terjadi.
Contingency plan haruslah sesuai dan proporsional terhadap dampak
risiko tersebut. Dalam banyak kasus seringkali lebih efisien untuk
mengalokasikan sejumlah sumber daya untuk mengurangi risiko
dibandingkan mengembangkan contingency plan yang jika
diimplementasikan akan lebih mahal. Namun beberapa scenario
memang membutuhkan full contingency plan, tergantung pada
proyeknya. Namun jangan sampai tertukar antara contingency
planning dengan re-planning normal yang memang dibutuhkan karena
adanya perubahan dalam proyek yang berjalan.
4. Implementasi Manajemen Risiko
Setelah memilih respon yang akan digunakan untuk menangani risiko,
maka saatnya untuk mengimplementasikan metode yang telah direncanakan
tersebut.
5. Monitoring Risiko
Mengidentifikasi, menganalisa dan merencanakan suatu risiko
merupakan bagian penting dalam perencanaan suatu proyek. Namun,
manajemen risiko tidaklah berhenti sampai disana saja. Praktek, pengalaman
dan terjadinya kerugian akan membutuhkan suatu perubahan dalam rencana
dan keputusan mengenai penanganan suatu risiko. Sangatlah penting untuk
selalu memonitor proses dari awal mulai dari identifikasi risiko dan
pengukuran risiko untuk mengetahui keefektifan respon yang telah dipilih
dan untuk mengidentifikasi adanya risiko yang baru maupun berubah.
Sehingga, ketika suatu risiko terjadi maka respon yang dipilih akan sesuai dan
diimplementasikan secara efektif.
F. Hazard
Bahaya atau hazard adalah keadaan atau situasi yang potensial dapat
menyebabkan kerugian seperti luka, sakit, kerusakan harta benda, kerusakan
lingkungan kerja, atau kombinasi seluruhnya (Ramli, 2010).
Sedangkan bahaya atau hazard kesehatan adalah hazard yang berpotensi
menimbulkan gangguan kesehatan. Dari sudut pandang kesehatan kerja, sistem
kerja, mencakup empat komponen kerja, yaitu pekerja, lingkungan kerja,
pekerjaan, pengorganisasian pekerjaan dan budaya kerja.Setiap komponen kerja

8
dapat menjadi sumber atau situasi yang berpotensi menimbulkan kerugian
bagikesehatan pekerja.Kerugian kesehatan dapat berupa cedera atau gangguan
kesehatan baik fisik maupun mental. Sumber atau situasi yang potensial tersebut
dikenal sebagai hazard atau faktor risiko kesehatan. Pada kondisi tertentu hazard
kesehatan dapat menjadi nyata dan menimbulkan cedera atau gangguan
kesehatan. Peluang hazard kesehatan untuk menimbulkan gangguan kesehatan
disebut sebagai risiko kesehatan (Kurniawidjaja, 2010).
Menurut Kurniawidjaja, 2010 Bahaya atau hazard dapat digolongkan
berdasarkan jenisnya yaitu:
1. Hazard tubuh pekerja
Hazard tubuh pekerja (somatic hazard), merupakan hazard yang
berasal dari dalam tubuh pekerja yaitu kapasitas kerja dan status kesehatan
pekerja. Contohnya seorang pekerja yang buta warna bila mengerjakan alat
elektronik yang penuh dengan kabel listrik yang warna-warni, hazard
somatiknya dapat membahayakan dirinya maupun orang lain orang lain
dikelilingnya bila ia salah menyambung warna kabel tertentu karena
tindakan ini berpotensi menimbulkan kebakaran atau ledakan.
2. Hazard perilaku kesehatan
Hazard perilaku kesehatan (behavioral hazard), yaitu hazard yang
terkait dengan perilaku pekerja. Contohnya antara lain model rambut
panjang diruang mesin berputar telah mengakibatkan seorang pekerja di
tambang batubara tertarik dalam mesin dan hancur tubuhnya karena
tergiling mesin penggiling bongkahan batu (crusher).
3. Hazard lingkungan kerja
Hazard lingkungan kerja (environmental hazard) dapat berupa faktor
fisik, kimia, dan biologik.Faktor fisik, kimia dan biologik yang berada
ditempat kerja berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan bila kadarnya
atau intensitas pajanannya tinggi melampaui toleransi kemampuan tubuh
pekerja.Hazard di lingkungan kerja antara lain:
a. Bahaya fisik, berpotensi menimbulkan terjadinya Penyakit Akibat
Kerja (PAK). Jenis-jenis bahaya yang termasuk dalam golongan fisik
serta pekerja berisiko terpajan antara lain adalah sebagai berikut:

9
• Bahaya mekanik, antara lain adalah terbentur, tertusuk, tersayat,
terjepit, tertekan, terjatuh, terpeleset, terkilir, tertabrak, terbakar,
terkena serpihan ledakan, tersiram, dan tertelan.
• Bising, berasal dari bunyi atau suara yang tidak dikehendaki dan
dapat menganggu kesehatan, kenyamanan, serta dapat
menyebabkan gangguan pendengaran (ketulian). Ditempat kerja
bising dapat berasal dari berbagai tempat seperti pada area
produksi, area generator, area kompresor, area dapur, area umum
seperti pasar atau stasiun.
• Getar atau vibrasi dapat menimbulkan gangguan pendengaran,
muskoloskeletal, keseimbangan, white finger dan hematuri
mikroskopik akibat kerusakan saraf tepi dan jarinagn pembuluh
darah. Getaran dapat memajani seluruh tubuh (whole body
vibration) seperti pada pekerja pemotong rumput yang membawa
mesin di punggungnya dan pengemudi.
• Suhu ekstrem panas
Tekanan panas yang melebihi kemampuan adaptasi, dapat
menimbulkan heat cramp, heat exhaustion dan heat stroke, dan
kelainan kulit. contoh peralatan kerja mengeluarkan suhu
ekstrem panas adalah tempat pembakaran (furnace), dapur atau
tempat pemanasan (boiler), mesin pembangkit listrik (generator)
atau mesin lainnya.
• Suhu ekstrem dingin, pajanan suhu ekstrem dingin dilingkungan
kerja dapat menimbulkan frostbite yang ditandai dengan bagian
tubuh mati rasa diujung jari atau daun telinga, serta gejala
hipotermia yaitu suhu tubuh di bawah 35oC dan dapat
mengancam jiwa. Pekerja yang berisiko seperti penyelam,
pekerja di cold storage, di ruang panel yang menggunakan alat
elektronik dalam suhu ekstrem dingin, pemotong dan pengemas
daging atau makanan laut yang dibekukan.
• Cahaya kurang atau terlalu terang dapat merusak mata.Sering
bekerja dibawah cahaya yang redup dapat menimbulkan
ketidaknyamanan pada mata berupa kelelahan mata atau kepala
sakit.Adapun pencahayaan lainnya yang dapat berisiko

10
mengangggu kesehatan pekerja adalah mereka yang bekerja di
pantai ataupun ditengah laut sebagai akibat terkena sinar
matahari yang cukup lama.
• Radiasi Pengion, antara lain berasal dari sinar alfa, sinar beta,
sinar gamma atau sinar-X, pekerja yang berisiko yaitu
radiografer di bagian radiologi di suatu klinik atau rumah sakit,
operator pembangkit tenaga nuklir atau lainnya.
b. Bahaya Kimia, berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan yang
sangat luas dari yang ringan seperti bersin-bersin, kulit gatal sampai
yang berat seperti kelainan organ hati dan saraf, gagal ginjal atau
cacat fungsi paru. Bahaya kimia di tempat kerja dapat berupa:
• Logam berat, seperti merkuri, krom atau kadmium
• Solvent/pelarut organik, misalnya hidrokarbon alifatik,
hidrokarbon aromatik. Pelarut organik yang banyak digunakan di
industri antara lain asam sulfat, asam fosfat benzena, toluena, dll.
• Gas dan Uap, di udara gas dan uap biasanya bersifat asphyxiants,
iritasi lokal pada mukosa mata dan saluran pernafasan, sensitasi
dan yang toksik. Beberapa contoh pemanfaatan dan keberadaan
gas dan uap antara lain adalah amoniak di pabrik pupuk, klorin
dalam pembersih rumah tangga, pemutih binatu atau desinfektan
di kolom renang dan fasilitas kesehatan.
c. Bahaya Biologik, berpotensi menimbulkan penyakit infeksi akibat
kerja (PAK), dari penyakit flu biasa sampai SARS bahkan HIV AIDS
bagi pekerja kesehatan.Jenis mikroorganisme yang termasuk dalam
golongan faktor biologik serta pekerja berisiko terpajan antara lain
virus (Hepatitis B/C, HIV AIDS), bakteri (tuberkulosis,
leptospirosis), Jamur (coccidiomycosis, Aktinomikosis), serta parasit
(malaria).
4. Hazard Ergonomik
Hazard ergonomik yang dimaksud terkait dengan kondisi pekerjaan
dan peralatan kerja yang digunakan oleh pekerja termasuk work station.
Contoh pekerja yang mengalami hazard ergonomik adalah pengemudi.

11
5. Hazard Pengorganisasian Pekerjaan dan Budaya Kerja
Contohnya adalah faktor stress kerja berupa beban kerja berlebih atau
pembagian pekerjaan yang tidak proporsional, budaya kerja sampai larut
malam dan mengabaikan kehidupan sosial pekerja.
G. Risiko dan hazard di instalasi gawat darurat
Seluruh kegiatan yang dilakukan baik perseorangan ataupun organisasi
atau bahkan perusahaan juga mengandung resiko. Semakin besar resiko yang
dihadapi pada umumnya dapat diperhitungkan bahwa pengembalian yang
diterima juga akan lebih besar. Pola pengambilan resiko menunjukkan sikap
yang berbeda terhadap pengambilan resiko. Resiko melekat daritindakan
pelayanan kesehatan dalam hal ini pada saat melakukan pengkajian asuhan
keperawatan adalah bahwa dalam kegiatan ini yang diukur adalah upaya yang
dilakukan.salah satunya resioko cidera jarum suntik dan benda tajam di instalasi
gawat darurat.
1. Pengertian cedera Jarum Suntik dan Benda Tajam
The canadian centre for Occupational Health and Safety (CCOHS)
menyatakan bahwa cidera jarum suntik dan benda tajam sebagai luka
yang menembus kulit karena tertusuk jarum suntik atau benda medis
tajam lainnya secara tidak sengaja dan dapat menularkan penyakit infeksi
terutama virus patogen darah seperti HIV, Hepatitis B, dan Hepatitis C.
The National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH)
mendefinisikan cidera jarum suntik dan benda tajam sebagai luka yang
disebabkan oleh jarum suntik seperti jarum hipodermik, jarum
pengambilan darah, stylet intervena, dan jarum yang digunakan untuk
menghubungkan bagian dari sistem intervena. Cidera jarum suntik dan
benda tajam telah diakui sebagai salah satu bahaya kerja di antara
petugas layanan kesehatan atau petugas kesehatan.
Diperkirakan 600.000 – 800.000 cedera jarum suntik dan benda
tajam dilaporkan setiap tahun diantara petugas kesehatan Amerika,
diperkirakan bahwa 100.000 cidera jarum suntik dan benda tajam terjadi
setiap tahun di inggris dan 500.000 per tahun di Jerman. Paparan umum
untuk cidera jarum suntik dan benda tajam adalah sumber infeksi yang
substansial dengan patogen yang dibawah oleh darah dianatara petugas
layanan kesehatan dan dapat menebabkan konsekuensi kesehatan yang

12
substansial. Tindakan pencegahan jarum suntik yang efektif mencakupi
kontrol praktik administratif dan kontrol kerja seperti mendidik pekerja
tentang bahaya, menerapkan sistem kewaspadaan, menghilangkan jarum
suntik dan menyediakan kontainer khusus untuk benda tajam agar
memudahkan akses yang berada dalam jangkuan penglihatan pekerja.
2. Penyebab Cidera Jarum Suntik dan Benda Tajam
Berikut penyebab cidera jarum dan benda tajam adalah :
a. Terlalu sering menggunakan jarum suntik dan benda tajam yang tidak
perlu.
b. Kurangnya pasokan jarum suntik sekali pakai dan wadah pembuangan
benda tajam lainnya.
c. Kurangnya akses untuk segera melakukan pembungan benda tajam
setelah injeksi.
d. Kurangnya kesadaran bahaya tertusuk jarum suntik dan benda tajam
dan pelatihan.
3. Faktor – faktor yang Berisiko Terjadinya Cidera Jarum Suntik dan Benda
Tajam.
a. Usia
Usia merupakan faktor modifikasi atau modifying factor yang dapat
mempengaruhi persepsi seseorang terhadap bahaya dimana orang
muda tidak menganggap suatu keadaan berbahaya tetapi orang tua
atau yang lebih dewasa akan merasakan hal tersebut berbahaya. Usia
seorang pekerja dapat dikaitkan dengan pengalaman kerja dalam hal
mempergunakan macam-macam alat-alat pekerjaan, dimana semakin
tua usia seseorang maka pengalaman kerja itu sangat penting
peranannya bagi peningkatan pencegahan kecelakaan kerja.
b. Masa kerja

Masa kerja adalah faktor predisposisi yang dapat mempengaruhi motivasi


individu maupun populasi untuk melakukan atau untuk mempraktekan
perilaku sehat. Pekerja baru misalnya, kurang memiliki motivasi untuk
berperilaku sehat.

13
c. Tingkat pendidikan

Pendidikan adalah dimana keadaan seseorang dengan pendidikannya


berpengaruh kepada pola pikir seseorang dalam menghadapi pekerjaan yang
dipercayakan kepadanya, Selain itu tingkat pendidikan juga akan
mempengaruhi tingkat tingkat penyerapan terhadap pelatihan yang diberikan.
Tingkat pendidikan formal maupun non formal dapat mencerminkan tingkat
pendidikan seseorang, tingkat penyerapan terhadap pelatihan yang diberikan
dan tingkat pemahaman terhadap suatu pekerjaan akan semakin rendah
dimana hal ini akan berpengaruh kepada prestasi kerja yang dihasilkan oleh
pekerja yang bersangkutan.
d. Unit Kerja

Unit kerja adalah tiap ruangan atau lapangan baik tertutup maupun terbuka
dimana terdapat tenaga kerja yang bekerja untuk keperluan suatu usaha dan
terdapat sumber-sumber bahaya (fisik, kimia, biologi, ergonomi dan
.

psikologi)
e. Bahaya fisik adalah bahaya yang sering terjadi di unit kerja termasuk kondisi
tidak aman yang dapat menyebabkan cidera dan tertular penyakit akibat
cidera jarum suntik dan benda tajam pada perawat atau petugas kesehatan
lainnya pada unit kerja tertentu yang terdapat di rumah sakit.
f. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi
melalui pancaindra menusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,
pencuiman, rasa, dan raba. Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan
domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt
behaviour). Pengetahuan adalah kejadian yang kognitif, bahkan fisiologis,
yang terjadi dalam pikiran manusia.Pengetahuan yang terekam dalam pikiran
manusia dalam bentuk terdokumentasi disebut pengetahuan tersirat (tacit
knowledge) dan pengetahuan yang telah didokumentasikan disebut
pengetahuan eksplisit (explicit knowledge). Pengetahuan bersifat “melekat”
dan dalam penerapannya tidak bersifat universal, serta tidak mudah
dipindahkan.

14
4. Dampak Cidera Jarum suntik dan Benda Tajam

Petugas pelayanan kesehatan yang mengalami luka tertusuk jarum dan benda
tajam berpotensi mengalami infeksi akibat patogen darah. Petugas pelayan
kesehatan yang paling banyak mengalami luka akibat tertusuk jarum adalah
perawat. Cedera dari jarum dan perangkat tajam lainnya yang digunakan di
fasilitas pelayanan kesehatan dan laboratorium yang berhubungan dengan
penularan kerja lebih dari 20 patogen. HBV, HCV, dan HIV adalah patogen
yang paling sering ditularkan selama perawatan pasien.
5. Pencegahan Cidera Jarum Suntik dan Benda Tajam

Pada November 2008 Amerika mengesahkan Federal Needlestick Safety And


Prevention Act sebagai undang-undang tentang perlindungan pada petugas
pelayan kesehatan dari tertusuk jarum dan benda tajam melalui rekayasa safety
yaitu pemanfaatan jarum dan benda tajam lainnya. Karakteristik jarum suntik
yang aman adalah sebagai berikut;
a. Alat dilengkapi laras atau retraktor atau mekanisme penumpulan jarum
suntik secara manual maupun otomatis.
b. Memanfaatkan sistem menyuntik tanpa jarum aplilasi medis tertentu.

Selain undang-undang perlindungan kepada petugas kesehatan CDC juga


menyatakan sharp container dapat mengurangi kejadian tertusuk jarum dan
benda tajam yaitu dengan cara membuang jarum suntik bekas pakai kedalam
sharp container tersebut. Syarat sharp container yang baik adalah tertutup
rapat, rigid, dan tidak mudah tembus jarum suntik dan benda tajam lainnya.
Selain itu sharp container juga harus diberi lebel biohazard berwarna kuning
dengan tulisan berwarna merah, serta diletakan pada tempat yang mudah
terjangkau. Ketersedian dan kemudahan akses sharp container juga dapat
mengurangi terjadinya cidera akibat tertusuk jarum dan benda tajam lainnya.
Alat Pelindung Diri atau APD juga sangat berpengaruh untuk mengurangi
kejadian luka tertusuk jarum dan benda tajam. Penggunaan sarung tangan latek
tebal, apron (celemek) tahan tusukan jarum suntik dan sepatu dengan fitur safety
yang tidak tembus jarum yang terjatuh. Penggunaan APD sebelum melakukan
tindakan yang berhubungan dengan jarum suntik dan benda tajam sangat
penting untuk mencegah terrjadi luka tertusuk jarum dan benda tajam.
Penerapan hirarki kontrol pada higine industri dan menekan eliminasi dan
15
reduksi penggunaan jarum suntik dan benda tajam lainnya sebagai best practice.
Saat isolasi dan reduksi tidak memungkinkan, APD diperlukan pada saat last
resources.

Selain itu kurangnya kewaspadaan universal juga merupakan faktor yang


menyebabkan terjadinya cidera akibat tertusuk jarum dan benda tajam. Hal ini
dapat dilihat dari masih banyak nya orang yang belum mengamalkan dengan
benar kewaspadaan universal saat melakukan pekerjaan yang berhubungan
dengan jarum suntik, benda tajam, darah dan bahan infeksius lainnya. OSHA
(Occuoational Safety and Health Act) mengharuskan atasan melakukan upaya
keselamatan dan kesehatan bagi karyawan, dilain pihak karyawan diharuskan
menjaga keselamatan dan kesehatan dirinya dan sesama.

Di Indonesia, Kepmenkes No. 1087/Menkes/SKNIII/2010 tantang standar


kesehatan dan keselamatan kerja rumah sakit (K3RS) mengharuskan pengelola
rumah sakit maupun SDM rumah sakit mengupayakan keselamatan dan
kesehatan kerja melalui K3RS agar resiko Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan
Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) di rumah sakit dapat di hindari. Pada dasarnya
upaya pencegahan cidera tertusuk jarum dan benda tajam ada tiga:
a. Pelatihan dan edukasi
b. Penatalaksanaan yang aman
c. Pemanfaatan alat suntik denga safety design

Meskipun sudah dilakukan peningkatan edukasi dan penatalaksanaan kerja


tetap saja belum cukup untuk mengurangi insiden cidera akibat tertusuk jarum
dan benda tajam. Rekayasa safety design diperlukan untuk peningkatan
keselamatan menyuntik guna pencegahan luka tertusuk jarum dan benda tajam
lainnya yang lebih baik.

Adapun strategi rekayasa alat suntik safety pada umumnya meliputi langkah-
langkah sebagai berikut;
a. Eliminasi kebutuhan jarum suntik (subsitusi)

b. Isolasi jarum suntik agar tidak memiliki hazard

c. Menambahkan isolasi jarum suntik sesudah dipakai

16
Engeneering control lainnya adalah pemanfaatan sharp container untuk
penampungan alat suntik bekas pakai dan benda tajam lainnya. Alat
penampungan ini merupakan elemen penting dan elemen inti daru upaya
pencegahan luka tertusuk jarum dan benda tajam lainnya. Menurut OSHA dan
CDC kewaspadaan universal dengan penekanan pentingnya penggunaan APD
dan pengendalian penatalaksanaan kerja, efektif mencegah pajanan luka
terhadap patogen darah

Prosedur baku kewaspadaan universal pada saat bekerja menggunakan


jarum suntik meliputi;
a. Menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) berupa apron, sarung tangan,
dan sepatu tahan tembus.

b. Tidak menyarungkan jarum suntik setelah menyuntik/mengambil darah


(non recapping). Menampung jarum suntik bekas di sharp container.

c. Mencuci tangan sebelum dan sesudah memakai sarung tangan.

d. Mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak klinis dengan pasien.

e. Mencuci tangan sesudah memakai alat suntik.

f. Memeriksakan serologi dasar hepatitis B, hepatitis C, dan HIV.

g. Immunisasi hepatitis B bagi petugas kesehatan.

h. Memeriksakan kadar antibodi hepatitis B petugas pelayanan kesehatan.

i. Memeriksakan serologi berkala hepatitis B, hepatitis C, dan HIV.

j. Pemberian PEP (post exsposure prophylaxes) hepatitis B berupa HBIG


diberikan dalam 72 jam pasca terpajan.
k. Pemberian PEP HIV berupa kombinasi tablet ARV (anti retro virus)
diberikan antara satu sampai dengan dua jam paca terpajan.

17
Pada tahun 2001 American Nurses Association (ANA) memnggunakan hirarki
kontrol untuk mencegah luka tertusuk jarum dan benda tajam lainnya yaitu;
a. Eliminasi hazard

Mengganti suntikan dengan obat oral, perinhalasi atau transdermal, mengganti


jarum suntik dengan jet injector menggunakan sistem intravena tanpa jarum.
b. Kontrol engineering

Policy yang membatasi pajanan terhadap hazard. Alokasi sumber daya terkait
keselamatan petugas pelayanan kesehatan, pembentukan badan pencegahan
luka tertusuk jarum suntik, program pengendalian pajanan, penghapusan alat
medis yang tidak aman, pelatihan pemanfaatan alat medis yang aman.
c. Pengendalian cara kerja

Mengupayakan non recapping sesudah menyuntik/mengambil darah, tidak


melakukan recapping, menempatakan sharp container setinggi mata dan
sejangkauan tangan.
d. APD (Alat Pelindung Diri)

Menyediakan apron (celemek), sarung tangan, dan sepatu, masker, dan goggle.
H. Upaya K3 lainnya yang dijalankan.

Misalnya ada penyuluhan/pelatihan, pengukuran/pemantauan lingkungan


tentang hazard yang pernah dilakukan. Bahaya potensial di RS dapat
mengakibatkan penyakit dan kecelakaan akibat kerja. Yaitu disebabkan oleh
faktor biologi (virus, bakteri dan jamur), faktor kimia (antiseptik, Gas anastesi),
faktor ergonomi (cara kerja yang salah), faktor fisika (suhu,cahaya,bising,
getaran dan radiasi), dan faktor psikososial (kerja bergilir, hubungan sesama
atau atasan).

18
I. Bahaya kesehatan yang berkaitan dengan lokasi dan pekerjaan di rumah sakit:

19
20
21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk


upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari
pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat
meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja

Bahaya yang dihadapi dalam rumah sakit ; Bahaya kebakaran dan


ledakan dari zat/bahan yang mudah terbakar atau meledak (obat–
obatan), Bahan beracun, korosif dan kaustik , Bahaya radiasi , Luka
bakar, Syok akibat aliran listrik, Luka sayat akibat alat gelas yang pecah
dan benda tajam & Bahaya infeksi dari kuman, virus atau parasit.

B. Saran

Kondisi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) khususnya di


Indonesia secara umum diperkirakan termasuk rendah. Pada tahun 2008
Indonesia menempati posisi yang buruk jauh di bawah Singapura,
Malaysia, Filipina dan Thailand. Kondisi tersebut mencerminkan
kesiapan daya saing pelayanan dan kualitas saranan kesehatan Indonesia
di dunia internasional masih sangat rendah. Indonesia akan sulit
menghadapi persaingan global karena mengalami ketidakefisienan
pemanfaatan tenaga kerja (produktivitas kerja yang rendah). Padahal
kemajuan pelayanan tersebut sangat ditentukan peranan mutu tenaga
kerjanya.

Karena itu disamping perhatian instansi itu sendiri, pemerintah juga perlu
memfasilitasi dengan peraturan atau aturan perlindungan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja. Nuansanya harus bersifat manusiawi atau bermartabat.
Keselamatan kerja telah menjadi perhatian di kalangan pemerintah dan bisnis sejak
lama .Faktor keselamatan kerja menjadi penting karena sangat terkait dengan
kinerja karyawan dan pada gilirannya pada kinerja pelayanan kesehatan. Semakin
tersedianya fasilitas keselamatan kerja semakin sedikit kemungkinan terjadinya
kecelakaan kerja.
22
DAFTAR PUSTAKA

Javed S, Yaqoob T. Gender Based Occupational Health Hazards among Paramedical


Staff in Pubic Hospitals of Jhelum. International Journal of Humanities and Social
Science. 2011;1:175.
Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Undang-Undang RI No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 36 Tahun 2005, tentang Peraturan


Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002, tentang Bangunan Gedung.
Supari S.F. Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit.
Jakarta : 2007.
Makary M.A, Al-attar A, Holzmueller C.G, Sexton J.B, Syin D, Gilson M.M, Sulkowski
M.S, Pronovost P.J. Needlestick Injuries among Surgeons in Training. NEJM. 2007.
p. 2693
WHO. Epidemic-prone & pandemic-prone acute respiratory diseases: Infection
prevention & control in health-care facilities. Jenewa : 2007
Staff Dosen Emergency Medicine University of Sumatera Utara. Pertolongan Pertama
Pada Kecelakaan di Tempat Kerja. [Online on 2013] [Cited on September 2013].
Available from:
http://ocw.usu.ac.id/course/detail/pendidikan-dokter-s1/1110000130-emergency-
medicine.html.
Tresnaningsih E. Kesehatan dan Keselamatan Kerja Laboratorium Kesehatan.

Jakarta : 2008

Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Teknis Ruang Operasi Rumah Sakit.

Jakarta : 2012

Anda mungkin juga menyukai