Anda di halaman 1dari 34

Bab 1

KONTEKS DAN TUJUAN


PAJAK DAERAH DAN
PELAYANAN

1.1. Pajak Daerah untuk Pelayanan yang lebih baik

Pajak daerah adalah salah satu komponen terpenting pendapatan asli


daerah (PAD) di samping pendapatan yang berasal dari retribusi daerah dan
pendapatan lain lain yang tergolong sebagai pendapatan asli daerah. Pajak
daerah adalah salah satu sumber pendapatan daerah yang dikelola dan
diadministrasikan daerah untuk kepentingan pembangunan dan pelayanan
daerah yang bersangkutan. Semakin besar sumber pendapatan yang diperoleh
dari pajak daerah, maka semakin besar pula total pendapatan yang diterima
daerah setiap tahunnya setelah dijumlah dengan pendapatan daerah yang
berasal atau diterima dari pemerintah pusat yang juga sama sama berasal dari
pajak yaitu pajak pusat.

Bab 1—Konteks dan Tujuan Pajak Daerah dan Pelayanan 1  


Berbeda dengan pajak pusat yang dikelola dan diadministrasikan
pemerintah pusat (Ditjen) Pajak untuk kemudian diditribusikan lagi ke daerah
antara lain dalam bentuk dana perimbangan, dana alokasi khusus dan alokasi
dana untuk kepentingan lain dalam konteks pembangunan dan pengelolaan
kepentingan nasional, pajak daerah memiliki lingkup yang lebih kecil yaitu
hanya mencakup daerah yang bersangkutan. Pajak jenis ini diadministrasikan
pengelolaannya oleh pemerintah daerah yang bersangkutan, biasanya oleh
lembaga yang menyebut dirinya sebagai Dispenda atau sebutan lainnya.
Secara organisatoris atau struktur kelembagaan, keberadaan Dispenda bukan
merupakan bawahan atau subordinasi dari lembaga seperti kantor pelayanan
pajak (KPP) yang ada di daerah yang merupakan organ bawahan Dirjen Pajak
(DJP), meskipun peran dan fungsi masing-masing lembaga pajak itu kurang lebih
sama yaitu mengelola dan mengadministrasikan pajak.
Dalam konteks otonomi daerah, keberadaan lembaga pengelola pajak daerah
ini sangat penting, khususnya dalam mengelola (memungut dan mengalokasikan)
pendapatan asli daerah (PAD). Dalam mengelola PAD itu pemerintah daerah
memiliki kewenangan dan keleluasaan yang jauh lebih besar dibandingkan
dengan mengelola dana yang berasal dari pemerintah pusat. Dalam hal alokasi
dan besarannya, pengelolaan pajak daerah yang jauh lebih bebas atau leluasa,
dibandingkan dana perimbangan atau dana alokasi khusus yang berasal dari
pemerintah pusat. Pemerintah DKI Jakarta adalah contoh daerah otonom yang
memiliki PAD cukup tinggi dan terlihat begitu leluasa dalam mengelola dana
yang dimilikinya untuk berbagai kegiatan pembangunan dan pelayanan publik
di wilayahnya.
Lingkup pajak daerah yang terbatas pada daerah yang bersangkutan berarti
juga fokus dan tujuan yang hendak dicapai dari dana pajak tersebut adalah untuk
kepentingan daerah dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya.
Kewenangan daerah yang begitu luas dan nyata yang hampir mencakup semua
jenis kewenangan pemerintahan menjadikan sejumlah besar dana yang diberikan
oleh pemerintah pusat untuk tugas dan fungsi tersebut terasa kurang atau
jauh dari mencukupi. Setiap tahun anggaran seperti terasa demikian, sehingga
berbagai upaya untuk menambah sumber penerimaan daerah selalu diupayakan,
salah satunya adalah dengan menggenjot atau meningkatkan sumber penerimaan
yang berasal dari pajak dan retribusi daerah.
Pajak daerah diperlukan untuk mengakselerasi pembangunan dan
pelayanan publik yang menjadi kewenangan atau kewajiban daerah. Pajak daerah
tidak didesain untuk mengganti atau mensubstitusi pajak pusat, meskipun ada

2    Administrasi Perpajakan Daerah


kemungkinan pajak daerah terus membesar perolehannya. Sejauh ini jumlah
atau komposisi pajak daerah dibandingkan dengan sumber penerimaan yang
berasal dari pusat masih tergolong kecil. Meskipun ‘kecil’, namun peranan
pajak daerah sangat penting dalam upaya meningkatkan pelayanan publik dan
mengakselerasinya. Syaratnya pajak daerah harus dikelola dan diadministrasikan
dengan baik, misalnya dengan tarif pajak yang tidak memberatkan, pemungutan
dan pengadministrasiannya tergolong murah dan mudah serta pengalokasiannya
tepat sehingga sejumlah kegiatan dan program yang dibiayai oleh pajak daerah
bisa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat daerah.
Jangan sampai upaya meningkatkan penerimaan yang berasal dari pajak
daerah justru kontra produktif dengan tujuan yang hendak dicapai, misalnya
menciptakan beban tambahan bagi masyarakat yang sudah berat menjadi
semakin berat, menciptakan ekonomi biaya tinggi, mengganggu perekonomian
daerah lain yang ada di sekitarnya. Fokus utama pajak daerah adalah untuk
meningkatkan pelayanan publik dan pembangunan di daerah. Namun syaratnya
tidak menjadi beban yang memberatkan bagi masyarakat dan menganggu
kepentingan yang sama dari daerah lain yang ada di sekitarnya atau yang ada di
Indonesia pada umumnya.
Keberadaan pajak dan retribusi daerah bisa berdampak negatif atau
kontraproduktif tidak hanya bagi daerah yang bersangkutan tetapi juga daerah
lain dan kepentingan yang lebih luas. Misalnya jika sejumlah pemungutan dan
retribusi atas nama menggenjot pendapatan asli daerah (PAD) dimana yang
utama adalah pajak daerah itu mengganggu kepentingan yang lebih luas yaitu
kepentingan nasional. Misalnya jika pemerintah pusat berusaha meminimalisir
sejumlah pungutan di daerah karena menimbulkan ekonomi biaya tinggi,
tetapi atas nama kewenangan pemerintah daerah justru menerbitkan sejumlah
ketentuan yang berakibat munculnya sejumlah pungutan yang dirasakan tidak
pro pada upaya meningkatkan investasi atau masuknya modal untuk penciptaan
lapangan kerja dan kegiatan usaha lainnya.
Pajak daerah harus dikelola dengan memperhatikan semua unsur dan
kepentingan yang seringkali tidak selaras, agar keberadaannya menjadi produktif
dan bermanfaat, tidak hanya bagi daerah itu sendiri tetapi juga bagi kepentingan
yang lebih luas. Inilah seni dalam mengelola dan mengadministrasikan
pajak daerah yang sesungguhnya tidak mudah. Terkadang mengelola dan
mengadministrasikan pajak daerah jauh lebih sulit dibandingkan mengelola
pajak pusat, karena tipe atau kategori pajak yang diadministrasikan tergolong
‘kurus atau kering’ dan kurang atau tidak potensial. Pajak reklame dan retribusi

Bab 1—Konteks dan Tujuan Pajak Daerah dan Pelayanan 3  


parkir misalnya, tentu potensial bagi wilayah perkotaan dan sama sekali sulit
diadministrasikan bagi wilayah perdesaan atau wilayah yang belum berkembang.
Dalam mengelola dan mengadministrasikan pajak daerah ada banyak
kepentingan yang harus diperhatikan, terutama kepentingan masyarakat daerah.
Jangan sampai pajak daerah justru menciptakan beban tambahan yang tidak
perlu atau kemudian ditolak masyarakat daerah karena mereka merasa sudah
banyak beban pungutan yang harus dipikul, terutama beban pungutan yang
masuk kategori pajak atau penerimaan pemerintah pusat. Pemerintah daerah
harus jeli dan kreatif dalam mensikapi fakta bahwa sudah banyak jenis pajak
yang dipikul masyarakat, sehingga jangan asal mengenakan pajak untuk sejumlah
jenis kegiatan ekonomi atau kegiatan usaha tertentu yang dianggap memberikan
keuntungan karena seringkali secara langsung atau tidak langsung pemerintah
sudah mengenakan pajak terhadap kegiatan atau usaha tersebut.
Penentuan jenis kegiatan yang perlu dikenakan pajak menjadi sangat
penting, meskipun secara normatif sudah ditegaskan mana obyek pajak
yang tergolong pajak daerah. Maksudnya jika ada jenis kegiatan yang sedang
tumbuh atau lebih banyak berperan bagi kehidupan masyarakat menengah-
bawah seperti usaha kecil dan sektor informal, maka pengenaan pajak terhadap
sektor ini harus benar benar selektif karena bisa berakibat kontraproduktif bagi
upaya pemerintah daerah untuk mengatasi kemiskinan dan memberdayakan
masyarakat yang dianggap miskin dan terpinggirkan dalam kehidupan sosial
ekonominya.
Penentuan tarif pajak daerah menjadi penting agar pemungutan pajak
daerah dianggap layak atau adil bagi pembayar pajak. Jika perlu dikenakan pajak
progresif, misalnya yang telah diterapkan untuk pajak kendaraan bermotor bagi
pemilikan motor kedua dan seterusnya. Jika dianggap perlu dikenakan tarif pajak
regresif atau sama sekali dibebaskan dari pengenaan pajak, maka kebijakan
demikian bisa saja diambil dalam konteks dan kondisi tertentu. Sebaliknya jika
dikenakan pajak progresif, sebagaimana yang kini berlaku bagi pajak kendaraan
bermotor, maka hal demikian bisa saja menjadi pilihan kebijakan yang tepat bagi
upaya untuk menggenjot penerimaan pendapatan asli daerah.
Orientasi dan tujuan pengenaan pajak daerah tetap menjadi sesuatu
yang penting, meskipun keberadaannya adalah komplemen dari penerimaan
yang berasal dari pusat. Orientasi dan tujuan pengenaan pajak daerah tidak
harus semata untuk menambah sumber penerimaan daerah, tetapi bisa untuk
kepentingan yang lain, misalnya untuk mengendalikan dampak negatif dari
kegiatan atau kondisi yang ada di masyarakat. Pajak tontotan atau hiburan

4    Administrasi Perpajakan Daerah


misalnya, selain penting untuk menambah pendapatan atau kas daerah juga
harus memiliki orientasi atau tujuan untuk mengendalikan kegiatan keramaian
yang ada di masyarakat. Begitu juga pajak kendaraan bermotor dan pajak pajak
daerah yang lainnya.
Pembangunan dan pelayanan publik harus menjadi tujuan utama pajak
daerah karena kedua aspek tersebut sesungguhnya yang menjadi muara dari
pengenaan pajak sebagaimana slogan yang sering didengungkan bahwa pajak
adalah untuk pembangunan dan pelayanan. Pengenaan pajak yang tidak linier
atau selaras dengan pembangunan dan kualitas pelayanan yang dihasilkan bisa
berakibat pada ketidakpatuhan atau penolakan membayar pajak. Bahkan bisa
menjadi sumber pembangkangan terhadap berbagai kebijakan pemerintahan
karena dianggap tidak berlaku adil kepada masyarakat yang merasa diperas
atau diberikan beban yang berat yang bernama pajak.
Fokus atau dasar pertimbangan utama pajak daerah adalah pelayanan
publik yang lebih baik, sehingga beban yang secara faktual dirasakan atau harus
dipikul masyarakat harus bisa terasa telah terbayar lunas dengan pelayanan yang
lebih baik. Tanpa pajak daerah pun seharusnya demikian, apalagi jika ditambah
dengan adanya pajak daerah, maka pelayanan publik seharusnya menjadi lebih
baik, pembangunan lebih banyak dan lebih merata dan sebagainya. Jika demikian
keadaannya, maka pajak yang dibayarkan oleh masyarakat, baik itu dalam bentuk
pajak pusat atau pajak dan retribusi daerah tidak lagi terasa sebagai beban tetapi
sebagai biaya atau ongkos yang memang harus dibayar atau dikeluarkan untuk
hadirnya sejumlah pembangunan dan pelayanan yang diberikan atau dihasilkan
dalam proses pemerintahan.
Pasti tidak mudah untuk mengelola dan mengadministrasikan pajak
hingga membuahkan hasil yang dirasakan manfaat dan dampak positifnya oleh
masyarakat. Mengelola pajak adalah sebuah seni yang tidak mudah dilakukan
dalam mengelola pemerintahan. Terlepas dari jenis pajak apa yang dikelola
dan diadministrasikan, maka peran pemerintah daerah sangat penting dan
menentukan, khususnya dalam alokasi dan pemanfaatannya. Dana perimbangan
otonomi yang notabene berasal dari dana pajak pusat itu harus dikelola dalam
bentuk pembangunan dan pelayanan publik yang berkualitas dimana peran
pemerintah daerah sangat sentral.
Apapun jenis pajak yang dikelola dan diadministrasikan, harus memiliki
orientasi utama pada pembangunan dan pelayanan publik yang berkualitas. Tidak
terkecuali pajak dan retribusi daerah yang menjadi domain pemerintah daerah
untuk mengelola dan mengadministrasikannya kemudian mengalokasikannya

Bab 1—Konteks dan Tujuan Pajak Daerah dan Pelayanan 5  


dalam bentuk kegiatan dan program pembangunan dan pelayanan di daerah,
harus memiliki orientasi dan tujuan untuk mengakselarasi atau meningkatkan
kualitas pembangunan dan pelayanan publik. Pajak daerah adalah salah satu
alat yang penting untuk mencapai misi daerah dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya melayani publik sehingga keberadaannya jangan sampai semata
menjadi beban bagi masyarakat. Inilah seni mengelola sesuatu yang pada
awalnya adalah sebuah beban untuk kemudian dikonversi menjadi berbagai
produk pembangunan dan pelayanan yang berkualitas.

1.2. Seni Mengelola dan Mengadministrasikan Pajak Daerah

Pajak daerah yang semakin penting keberadaannya tidak terlepas dari


kewenangan pemerintah daerah yang begitu besar, karena hampir semua
kewenangan pemerintahan sekarang ini telah diserahkan kepada daerah otonom
kecuali hanya beberapa kewenangan yang secara limitatif menjadi kewenangan
pemerintah pusat, seperti kewenangan pertahanan dan keamanan dan
kewenangan di bidang fiskal dan moneter. Secara eksplisit disebut sebagai pajak
daerah dan retribusi daerah (PDRD) karena kewenangan untuk mengelola dan
mengadministrasikannya, mengalokasikan dan memanfaatkannya sepenuhnya
diserahkan kepada pemerintah daerah.
Jenis-jenis pajaknya juga sudah ditentukan sedemikian rupa sehingga tidak
tumpang tindih dengan pajak pusat yang menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Sebagaimana jenis kewenangan pemerintahan daerah yang secara normatif
telah disebutkan secara tegas agar tidak tumpang tindih dalam pelaksanaannya.
Sejauh ini tidak ada persoalan mengenai jenis pajak yang menjadi kewenangan
masing-masing lembaga pemerintahan, khususnya antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah. Ada banyak ragam dan jenis pajak daerah, namun
sebagian besar diantaranya tidak efektif dalam pelaksanaannya karena sulit
diadministrasikan, terutama dalam hal pemungutan dan teknis administrasi
pengelolaannya.
Besarnya kewenangan pemerintahan daerah tidak otomatis berarti
memudahkan segala upaya dalam menggali potensi daerah khususnya di bidang
pajak. Jika dulu – sebelum adanya otonomi luas - persoalan kewenangan sering
dijadikan kambing hitam ketika pajak daerah sukar digali dan diadministrasikan,
maka setelah daerah diberikan kewenangan yang begitu besar, luas dan nyata,
maka ternyata pajak daerah tidak menjadi lebih mudah dikelola dan digali

6    Administrasi Perpajakan Daerah


potensinya. Faktanya kewenangan yang besar tidak linier dengan keberhasilan
dalam menggali potensi pajak daerah.
Ada sejumlah faktor yang membuat potensi pajak daerah sulit dioptimalkan
potensinya. Ada sejumlah daerah yang tergolong berhasil dalam meningkatkan
penerimaan pajak daerah, tetapi paralel dengan keberhasilan itu juga diikuti
dengan dampak sosial ekonomi dan lingkungan yang terkadang tidak sebanding
dengan hasil penerimaan yang diperoleh. Keberhasilan dalam mengelola pajak
daerah bukan hanya soal seberapa besar jumlah penerimaan yang diperoleh,
tetapi lebih luas daripada itu. Keberhasilan yang sesungguhnya mencakup juga
keberhasilan dalam mengalokasikan dan memanfaatkannya serta mencegah
dampak ‘eksternalitas’ yang ditimbulkannya.
Sejak dulu memang tidak mudah dalam mengelola pajak, tidak terkecuali
dengan pajak daerah. Diantara sumber persoalannya bukan hanya pada
besar kecilnya kewenangan, tetapi bagaimana kewenangan yang sudah besar
itu dapat dikelola dengan baik sehingga potensi daerah termasuk di bidang
pajak dapat dioptimalkan penerimaannya. Ketika penerimaan pajak daerah
dapat ditingkatkan, maka ada persoalan yang juga penting diperhatikan yaitu
bagaimana alokasi dan manfaatnya, khususnya jika dikaitkan dengan pelayanan
publik dan pembangunan yang dibiayai oleh pajak daerah.
Keberhasilan pengelolaan pajak daerah itu tidak hanya berhenti pada
keberhasilan dari sisi peningkatan penerimaannya, tetapi juga harus dikaitkan
dengan keberhasilan dalam mengalokasikan dan dampak positif yang
ditimbulkannya. Tidak ada jaminan bahwa ada hubungan yang linier antara
peningkatan penerimaan pajak dengan peningkatan kualitas layanan publik dan
pembangunan. Tidak ada jaminan bahwa peningkatan penerimaan pajak daerah
itu tidak menimbulkan dampak ‘eksternalitas’ seperti kerusakan lingkungan
hidup, meningkatkan resiko dari apa yang sering disebut sebagai ekonomi biaya
tinggi dan sebagainya.
Inilah ‘seni’ dalam mengelola pajak daerah yang dalam jenis pajak tertentu
sering dianggap jauh lebih sulit pengadiministrasiannya dibandingkan dengan
mengelola pajak pusat. Ada banyak jenis pajak daerah yang tergolong kurus,
berbeda dengan pajak pusat yang rata rata tergolong pajak gemuk. Banyak
pajak daerah yang pengadministrasiannya sulit dan mahal bahkan memiliki
tingkat resiko sosial politik yang besar jika dipaksanakan dalam pelaksanaannya.
Diperlukan sejumlah kreativitas dan inovasi yang terus menerus dalam mengelola
pajak daerah yang tentunya tidak semua daerah bisa melakukannya dengan baik
dan efektif.

Bab 1—Konteks dan Tujuan Pajak Daerah dan Pelayanan 7  


Mengelola pajak daerah tidak sekedar menetapkan sekian persen tarif pajak
untuk jenis obyek pajak tertentu yang menjadi domain atau kewenangan daerah.
Ada sejumlah persoalan yang jauh lebih serius yaitu bagaimana mengelola yaitu
memungut dan mendistribusikannya secara tepat, secara efektif dan efisien. Ada
banyak pajak daerah yang tergolong potensial secara teori, seperti pajak restoran,
hotel dan reklame khususnya bagi daerah yang memiliki ciri perkotaan atau
sedang berkembang. Bagi daerah yang memiliki sumber daya alam melimpah
juga memiliki sejumlah jenis pajak daerah yang tergolong potensial yaitu jenis
pajak daerah yang berbasis sumber daya alam. Tetapi sayang banyak diantara
jenis pajak tersebut yang dikeluhkan, baik oleh masyarakat dan juga oleh mereka
yang menjadi obyek pajak.
Tidak sedikit yang menilai bahwa sejumlah jenis pajak yang berbasis SDA
itu ujungnya kontraproduktif bagi perkembangan daerah itu sendiri, meskipun
tidak bersifat langsung. Alih alih meningkatkan pelayanan publik yang baik dan
berkualitas dengan asumsi semakin meningkatnya PAD yang berasal dari pajak
daerah, maka yang terjadi seringkali masih jauh panggang dari api. Penerimaan
yang berasal dari pajak daerah mungkin meningkat, tetapi peningkatan tersebut
tidak berbanding lurus dengan apa yang dirasakan masyarakat. Ada sejumlah
persoalan klasik yang tidak mudah tangani atau dikelola dan diadministrasikan
dengan baik, yaitu bagaimana mendistribusikan dan mengelola dana publik yang
bersumber dari pajak daerah itu agar menghasilkan pelayanan yang berkualitas.
Pajak daerah adalah komplemen dari paja pusat, meskipun tidak pernah
dinyatakan demikian, tetapi itulah sejatinya kedudukannya. Namun jangan
dianggap bahwa pajak daerah sebagai jenis pajak yang tidak penting hanya
karena proporsi sumbangannya dalam keseluruhan komposisi APBD masih
relatif kecil. Secara teoritik semua jenis pajak adalah sesuatu yang penting jika
dapat dikelola secara efektif dan efisien. Dalam praktiknya, tidak semua obyek
pajak adalah sesuatu yang penting hanya karena sudah ditetapkan sebagai pajak.
Jika tidak hendak dipungut atau memang sulit pengadministrasiannya karena
faktor biaya dan sumber daya yang mahal dalam mengadministrasikannya atau
karena faktor lain, maka sesuatu kegiatan produktif yang dinyatakan sebagai
obyek pajak daerah bisa saja dihapus, sehingga tidak perlu ada upaya dan juga
aparat yang bertugas untuk mengelola dan mengadministrasikannya setiap
tahun dan membuat laporan kinerja setiap tahun dan sebagainya.
Pajak daerah sebagai komplemen atau pelengkap pajak pusat secara tidak
langsung menempatkan beban yang utama dalam penerimaan daerah yang
berasal dari pemerintah pusat. Artinya melalui penerimaan daerah yang berasal

8    Administrasi Perpajakan Daerah


dari pusat itu diharapkan sejumlah pelayanan minimal yang menjadi kewenangan
dan tanggung jawab daerah otonom dapat tercukupi. Jika pada kenyataannya
masih banyak pelayanan publik di daerah yang tidak terkelola dengan baik, maka
sumber persoalannya tidak berarti dana yang digelontorkan pemerintah pusat
yang kurang. Bisa saja demikian keadaannya karena memang sangat besar dana
yang diperlukan untuk menyelenggarakan berbagai jenis pelayanan publik di
daerah. Namun kualitas pelayanan publik yang kurang baik itu bisa berasal dari
tata kelola atau manajemen keuangan daerah yang tidak efektif dan efisien atau
sebab lain seperti korupsi atau penyelewenangan atau sebab lain seperti kualitas
SDM dan sejumlah sebab yang saling berjalin berkelindan satu sama lainnya.
Jika hamoir semua daerah otonom mengeluhkan persoalan minimnya
dana yang digelontorkan dari pemerintah pusat, sementara pemerintah pusat
merasa bahwa dana perimbangan yang diberikan itu relatif sudah cukup untuk
melaksanakan standar pelayanan minimal, maka klaim keduanya bisa saja benar
adanya. Persoalan keterbatasan dana memang bisa menjadi persoalan dalam
mengelola pelayanan publik yang berkualitas, tetapi jika dana yang terbatas itu
bisa dikelola dengan baik, secara efektif dn efisien, maka kinerja manajemen
keuangan daerah yang bersangkutan bisa dianggap baik, sekalipun kualitas
pelayanan publik yang dihasilkan masih jauh dari apa yang sesungguhnya
diharapkan.
Fakta bahwa masih banyak pelayanan publik di daerah yang belum berjalan
baik itu bukan semata karena persoalan kurangnya dana yang berasal dari
pusat. Jika dana yang terbatas itu – dan selamanya memang dianggap demikian
- bisa dikelola dengan baik, maka kualitas pelayanan minimal mungkin saja
bisa dilaksanakan dengan baik pula. Pajak daerah bisa menjadi salah satu solusi
untuk mengatasi keterbatasan dana tersebut, dengan asumsi ada dana tambahan
yang berasal dari sumber lain yang diperuntukkan untuk meningkatkan kualitas
pelayanan publik. Tetapi tambahan dana dari sumber lain itu otomatis tidak
bisa mengatasi persoalan buruknya tata kelola atau administrasi pemerintahan
daerah, karena letak persoalannya bukan pada besarnya dana yang dikelola
tetapi bagaimana mengelola dana tersebut.
Ibarat tubuh manusia yang memerlukan suplai darah dalam jumlah yang
cukup dan kualitas yang baik, maka pajak daerah adalah salah satu sumber
‘darah’ bagi tubuh pemerintahan daerah. Sumber utama ‘darah’ yang utama
adalah berasal dari pemerintah pusat dimana sumber ‘darah’ yang berasal
dari pajak daerah adalah komplemen, mendukung, membantu, melengkapi
dan bukan sesuatu yang utama, sehingga tanpa kehadiran atau keberadaannya

Bab 1—Konteks dan Tujuan Pajak Daerah dan Pelayanan 9  


diasumsikan proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah bisa berjalan,
meskipun hanya memenuhi standar pelayanan minimal. Sekalipun dana yang
dibutuhkan pemerintahan daerah diasumsikan telah dicukupi oleh pemerintahan
pusat, namun pemerintah daerah tidak boleh berpangku tangan dan hanya
menadahkan tangan menunggu kucuran dana dari pemerintah pusat setiap
tahunnya, karena pemerintah daerah telah diberikan kewenangan yang luas dan
nyata. Diperlukan seni tingkat tinggi dalam mengelola kewenangan yang besar di
satu sisi dan mengelola dana yang berasal dari pemerintah pusat di sisi lainnya.

1.3. Kreativitas dan Inovasi Dalam Mengelola Pajak Daerah

Bukan hanya soal kewenangan besar yang memerlukan seni yang tinggi
dalam mengelolanya, tetapi juga dalam mengelola pajak daerah. Kewenangan
yang besar bukan sebuah jaminan bahwa persoalan pajak daerah menjadi
lebih mudah dikelola. Diperlukan seni yang tinggi dalam mengelola dan
mengadministrasikan pajak daerah, karena sebagian besar jenis pajak
daerah adalah pajak yang tergolong kering dan kurus, dan karenannya sulit
diadministrasikan agar menghasilkan sejumlah penerimaan yang diharapkan.
Bahkan untuk jenis pajak yang tergolong lumayan gemuk atau sering disebut
sebagai pajak potensial, seperti pajak hotel, restoran dan reklame, hiburan
dan sejenisnya juga tidak mudah untuk mengadiministrasikannya. Ada banyak
kendala yang berasal dari kapasitas pemerintahan daerah itu sendiri dan juga
kendala yang berasal dari kebijakan itu sendiri.
Seni ‘tingkat tinggi’ yang diharapkan muncul dalam mengelola pajak daerah
itu bisa diharapkan muncul dari pemimpin daerah yang kreatif dan inovatif.
Diperlukan model atau sifat kepemimpinan yang berani membuat sejumlah
terobosan dalam mengelola pajak daerah. Terobosan adalah sebuah produk dari
kreativitas dan inovasi yang disesuaikan dengan kontek lokalitas suatu daerah,
sehingga sangat mungkin suatu daerah memiliki kebijakan terkait pajak daerah
yang berbeda beda, baik mengenai tarif yang dikenakan, cara memungutnya
dan cara mengalokasikannya. Semua itu sangat dimungkinkan dan memang
diharapkan muncul karena daerah telah diberikan kewenangan yang luas dan
nyata dalam kedudukannya sebagai daerah otonom.
Kreatifitas, inovasi dan prakarsa dalam mengelola pajak daerah adalah
sesuatu yang selaras atau kompatibel dengan alasan diberikannya otonomi
luas dan nyata. Hal demikian nyata tercermin dati sejumlah alasan dasar atau

10    Administrasi Perpajakan Daerah


konsiderans kebijakan otonomi luas. Konsep prakarsa, inovasi dan kemandirian
serta pemberdayaan dan kesejahteraan daerah adalah istilah istilah yang menjadi
salah satu dasar kebijakan pemberian kewenangan luas kepada daerah otonom.
Begitu juga kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah yang melekat kepada
daerah otonom memiliki maksud dan tujuan yang sama agar kewenangan
tersebut dikelola secara kreatif dan inovatif. Asumsinya pihak daerah otonom
atau pemerintah daerah merupakan pihak yang paling tepat dalam mengelola
jenis pajak yang digolongkan sebagai pajak daerah.
Jika semua jenis pajak dianggap lebih efektif dan efisien dikelola pemerintah
pusat dan tidak ada urgensinya untuk menyerahkan pengelolaan jenis pengutan
pajak kepada daerah atau yang sering dikenal dengan istilah pendaerahan pajak,
maka sudah pasti kewenangan tersebut tetap menjadi kewenangan pemerintah
pusat. Sebagaimana undang-undang otonomi luas yang menetapkan secara
limitatif bahwa kewenangan dibidang fiskal (pajak) dan moneter adalah
kewenangan pemerintah pusat. Tetapi karena ada sejumlah alasan yang sifatnya
praktis maka kewenangan dalam hal pajak beberapa diantaranya diberikan
kepada daerah otonom yang disebut dengan istilah pajak daerah karena pihak
yang mengelola dan mengadministrasikannya secara otonom adalah pemerintah
daerah.
Sama halnya dengan kewenangan luas yang tidak mudah untuk
mengelolanya menjadi sebuah produk pemerintahan dalam bentuk pelayanan
publik yang berkualitas, maka kesulitan serupa juga berlaku dalam mengelola
pajak daerah. Diperlukan sejumlah kreativitas dan inovasi dalam mengelolanya.
Diperlukan prakarsa dan model kepemimpinan yang adaptif dengan konteks
dan kondisi dimana pajak daerah itu hendak dipungut agar tidak menjadi
sesuatu yang kontraproduktif atau agar muncul kepatuhan masyarakat
dalam melaksanakannya. Langkah langkah yang sifat dan modelnya lebih
mengedepankan aspek persuasi bisa menjadi kata kunci dibandingkan dengan
langkah yang sifatnya koersi dan ancaman kepada wajib pajak.
Pemerintah daerah harus bisa menunjukkan untuk meyakinkan pembayar
pajak bahwa sejumlah pungutan atas nama pajak daerah itu secara nyata hasilnya
dirasakan masyarakat. Memang secara teoritik balas jasa yang sifatnya langsung
dan segara dapat dirasakan dari dana pajak itu tidak terlihat hubungan yang nyata
sebagaimana balas jasa dari dana yang berasal dari retribusi seperti retribusi
parkir dan hiburan, tetapi melalui kreativitas dan inovasi pemerintah daerah,
maka wajib pajak bisa merasakannya bahwa ada hubungan yang korelatif antara
pajak daerah yang diberikan masyarakat dengan sejumlah perbaikan pelayanan

Bab 1—Konteks dan Tujuan Pajak Daerah dan Pelayanan 11  


yang diberikan atau dihasilkan dari dana pajak daerah. Dalam hal ini secara
khusus pemerintah bisa menginformaiskan kepada publik dengan menyatakan
bahwa diantara jenis pelayanan tertentu adalah berasal dari pajak daerah.
Kreativitas dan inovasi dalam mengelola pajak daerah itu tidak harus
diartikan melalui atau dalam bentuk teknik teknik pemungutan yang rumit
dan apalagi berbiaya mahal, malainkan bisa dilakukan dengan cara cara yang
sangat sederhana dan hanya mendompleng pada pola pola yang sudah ada
yang mengacu pada kearifan lokal masyarakat daerah yang bersangkutan. Pajak
daerah itu bisa diibaratkan sebagai wujud gotong royong atau bahkan semacam
kedermawanan atau altruisme dari mereka yang beruntung dalam melaksanakan
usahanya di daerah, namun dikemas dalam bingkai pajak daerah. Hal demikian
bisa dianggap oleh sebagian masyarakat bukanlah sebagai pajak dalam arti
beban, melainkan sebuah kewajiban biasa yang memang rutin dilakukan
tanpa ada paksaan. Dana dana tersebut oleh pemerintah daerah kemudian
diadministrasikan agar jelas peruntukan dan penggunaannya yang ujungnya
dikembalikan kepada masyarakat.
Ada banyak kemungkinan dalam mengelola pajak daerah agar potensinya
dapat tergali secara optimal. Sejumlah kemungkinan itu memerlukan inovasi dan
kreativitas dalam mengelolanya, sehingga tidak banyak daerah yang tergolong
cukup berhasil dalam melaksanakannya. Secara konsepsional telah dinyatakan
bahwa pajak daerah adalah instrumen tambahan untuk menambah pendapatan
yang diberikan kepada pemerintah daerah memerlukan sebuah inovasi, prakarsa
dan berdampak pada kemandirian dan juga pemberdayaan serta kesejahtaraan
masyarakat. Namun konsep tersebut hanya menjadi konsep jika tidak dapat
dilaksanakan. Sama halnya dengan kewenangan besar yang secara konsepsional
diharapkan melahirkan pelayanan publik yang lebih efektif dan efisien dan
lebih berkualitas tentunya, tetapi faktanya ternyata tidak linier dan bahkan
beberapa diantaranya muncul anomali ketika sejumlah orang merasa pelayanan
publik di masa lalu ketika kewenangan pemerintah daerah sangat terbatas justru
pelayanan publikyang dihasilkan tergolong baik.
Pajak daerah dan retribusi daerah yang merupakan komponen PAD sudah
ada sejak dulu ketika pemerintah daerah lebih banyak melaksanakan tugas dan
fungsi dekonsentrasi. Hasilnya ketika itu dianggap jauh dari harapan karena
proporsinya yang sangat kecil dibandingkan dengan dana yang berasal dari
pemerintah pusat. Salah satu alasannya adalah minimnya kewenangan yang
dimiliki pemerintah daerah sehingga miskin kreativitas, prakarsa dan inovasi
dalam mengelolanya. Ketika kewenangan yang besar telah diberikan dan sudah

12    Administrasi Perpajakan Daerah


berjalan lebih dari dua dasawarsa, ternyata hasilnya masih terlihat setali tiga
uang alias sama saja dalam arti tidak terjadi perubahan yang signifikan dalam
komposisi PAD yang berasal dari pajak daerah.
Kebijakan yang memberikan kewenangan luas kepada daerah dalam
melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan pemerintahan termasuk dalam
mengelola pajak daerah ternyata bukan satu satunya jawaban atas persoalan
yang harus diselesaikan dalam mengelola pajak daerah. Prakarsa, kreativitas
dan inovasi yang diharapkan muncul dengan sendirinya pasca diberikannya
kewenangan yang besar ternyata tidak otomatis bisa dihadirkan dalam arti bisa
dilaksanakan. Banyak kebijakan yang disebut sebagai terobosan yang dilakukan
pemerintah daerah ternyata lebih merupakan daftar keinginan yang tidak bisa
diimplementasikan dengan baik.
Sejumlah inovasi dan terobosan yang dimunculkan atau hanya disebut
demikian ternyata hanya bagus di atas kertas tetapi sulit dilaksanakan. Buktinya
hasilnya penerimaan yang berasal dari pajak daerah masih tergolong kecil atau
bisa dianggap tidak signifikan. Artinya selama ini terlepas dari ada atau tidaknya
kewenangan yang luas ternyata pemerintah daerah memang lebih banyak
menggantungkan dana dari pemerintah pusat. Ketergantungan tersebut tidak ada
masalah sebagai konsekuensi dari sistem negara kesatuan, tetapi jika proporsi
pajak daerah bisa menjadi semakin besar, maka kondisi keuangan daerah tentu
menjadi lebih baik dan banyak kegiatan pembangunan dan pelayanan publik
yang bisa semakin ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya.
Inovasi, prakarsa dan kreativitas adalah sejumlah kata kunci dalam
mengelola pemerintahan yang secara konteks sosial politik telah berubah,
secara struktur dan kelembagaan serta hubungan antar strata pemerintahan
juga berubah derajat dan persebaran kewenangannya. Ada banyak perubahan
konteks dan kondisi yang menuntut perubahan dalam cara mengelola dan
mengadministrasikan tugas dan fungsi pelayanan publik dan pemerintahan.
Jika tidak demikian maka yang terjadi adalah sebuah rutinitas terhadap
sesuatu yang sesungguhnya sudah berubah. Padahal sejumlah perubahan
tersebut jelas menuntut terjadinya perubahan dalam mengelola, mensikapi
dan memperlakukannya.
Inovasi, prakarsa dan kreativitas adalah sebuah kebutuhan dalam menjawab
tantangan zaman. Dalam banyak kasus keberadaannya bukan sebuah pilihan
dimana kita atau siapa saja bisa memilih untuk tidak melakukan apa apa atau
hanya melanjutkan apa yang sudah berlangsung di masa lalu. Ketika konteks
dan kondisi yang melingkupi sebuah organisasi pemerintahan sudah berubah

Bab 1—Konteks dan Tujuan Pajak Daerah dan Pelayanan 13  


sangat mendasar, dimana sebuah lembaga diberikan kewenangan yang besar
dalam mengelola organisasi dalam mencapai tujuannya, maka diperlukan sebuah
kreativitas yang tinggi dan terus menerus, diperlukan inovasi yang bersifat
adaptif dan kontekstual sehingga apa yang menjadi tujuan organisasi bisa lebih
mudah dicapai. Logika demikian juga berlaku dalam mengelola pajak daerah.

1.4. Pajak Daerah Untuk Meningkatkan Kemandirian Daerah

Top of mind atau yang terbersit pertama kali di benak orang ketika memaknai
pajak daerah adalah untuk kemandirian daerah. Seolah daerah selama ini tidak
mandiri atau otonom dalam mengelola keuangan dan mempertanggungjawabkan
penggunaan keuangannya. Betul bahwa ada hubungan antara pajak daerah
dengan kemandirian daerah, khususnya jika pajak daerah itu bisa digali
potensinya menjadi sumber penerimaan yang signifikan bagi daerah. Maksudnya
sebuah daerah semakin mandiri dari kemandirian yang selama ini ada jika
daerah tersebut mampu menggali potensi pajak daerahnya secara efektif.
Bagi daerah yang belum berhasil menggali potensi pajak daerahnya, maka
daerah tersebut juga sudah dirancang agar tetap mandiri, meskipun sebagian
besar dana otonominya berasal dari pemerintah pusat. Kemandirian setiap
daerah otonom itu memang sudah diberikan melalui kewenangan yang melekat
padanya yang demikian luas dan nyata. Tetapi semua itu mensyaratkan adanya
kemampuan dan kapasitas untuk mengelolanya dengan baik. Kemandirian itu
tidak datang dengan sendirinya hanya karena sebuah daerah otonom secara
normatif telah diberikan kewenangan yang luas dan nyata, tetapi kemandirian
itu hanya bisa hadir jika kewenangan itu bisa dikelola secara efektif dan efisien.
Kemandirian ini harus diartikan sebagai kemandirian yang lebih leluasa
dalam mengelola apa yang menjadi kewenangan atau tugas dan fungsinya.
Kemandirian tersebut menjadi semakin besar dan semakin nyata jika dari sisi
keuangan pemerintah daerah mampu menambah porsi penerimaan yang berasal
dari potensi daerahnya sendiri antara lain melalui pajak daerah. Pajak daerah
adalah komponen yang selama ini atau secara tradisional menjadi komponen
penyumbang terbesar dari komponen yang disebut pendapatan asli daerah
(PAD). Asumsinya jika komponen pajak daerah berhasil ditingkatkan atau
dapat dikelola dengan baik, maka komponen komponen lain dalam PAD seperti
retribusi daerah dan yang lainnya juga bisa dikelola dengan baik.

14    Administrasi Perpajakan Daerah


Pajak daerah adalah sumber penerimaan asli yang paling potensial bagi
daerah. Bersama dengan sumber sumber penerimaan lain yang berasal dari
pemerintah pusat, pajak daerah bisa memberi sumbangsih yang signifikan bagi
kas daerah. Sebut saja misalnya pajak restoran, hotel dan tempat hiburan, jika
bisa dioptimalkan pemungutannya bisa menjadi sumber pendapatan daerah
yang cukup signifikan, sebagaimana dicontohkan sejumlah daerah seperti DKI
Jakarta dan daerah lain yang memiliki ciri perkotaan dan berkembang industri
pariwisatanya. Sejauh ini sumbangsih pajak daerah yang berhasil diperoleh dalam
jumlah besar masih berasal dari pajak kendaraan bermotor dan turunannya.
Sampai sejauh ini masih menjadi fakta bahwa sejumlah pajak daerah
belum bisa dioptimalkan potensinya, kecuali beberapa jenis pajak seperti pajak
kendaraan bermotor. Pajak kendaraan bermotor dan pajak lainnya yang terkait
dengan kendaraan bermotor adalah penyumbang terbesar dari komponen
pajak daerah, itupun masih bisa dioptimalkan lebih besar lagi sesuai dengan
potensinya. Sebagai contoh daerah DKI Jakarta dan sejumlah kota besar lainnya
yang berusaha memberi diskon atau pembebasan pinalti terhadap mereka yang
menunggak atau belum membayar pajak kendaraan bermotor. Artinya memang
masih banyak potensi pajak daerah yang berasal dari pajak kendaraan bermotor
yang belum tergali sesuai dengan potensinya.
Bayangkan jika sejumlah pajak daerah yang tergolong potensial itu
bisa dioptimalkan pemungutan dan pengadministrasiannya, maka proporsi
pajak daerah dalam PAD tentu jauh lebih besar daripada apa yang terlihat
hingga sekarang ini. Jika itu bisa diwujudkan, maka apa yang disebut sebagai
kemandirian daerah otonom itu bisa terlihat semakin nyata. Kemandirian
yang terlihat bisa jauh lebih otentik dari apa yang diasumsikan dari kerangka
normatifnya yang hanya mengandalkan kewenangan pemerintah daerah yang
luas dan nyata. Maksudnya kewenangan yang luas dan nyata itu bisa diwujudkan
dalam bentuk penerimaan yang berasal dari pajak daerah dalam jumlah yang
signifikan.
Terlepas dari sejauh mana tingkat keberhasilan pemerintah daerah dalam
menggali potensi pajak daerahnya, maka jangan diasumsikan bahwa semua
daerah otonom tergolong tidak mandiri jika tidak berhasil mengelola pajak
daerahnya. Dengan format yang ada sekarang, semua daerah otonom bisa
digolongkan relatif lebih mandiri jika dibandingkan dengan daerah otonom
dengan format otonomi daerah yang berlaku di masa Orde Baru. Secara faktual
sangat terlihat perbedaannya jika dibandingkan ketika daerah otonom lebih
banyak melakukan tugas dan fungsi dekonsentrasi, meskipun mereka disebut

Bab 1—Konteks dan Tujuan Pajak Daerah dan Pelayanan 15  


sebagai daerah otonom yang sejatinya tidak otonom. Selama berlakunya otonomi
luas dan nyata maka semua daerah otonom sudah cukup mandiri dan tentunya
menjadi semakin mandiri jika berhasil menggali potensi pajak daerah dan
penerimaan asli daerah lainnya.
Dalam perspektif sebuah kemandirian yang lebih otentik dan lebih nyata,
maka diyakini ada pola hubungan yang erat antara besarnya PAD, khususnya
yang berasal dari pajak daerah dengan tingkat kemandirian daerah otonom.
Pertanyaannya adalah kemandirian seperti apa dan bagaimana kemandirian
itu hendak diletakkan dan diwujudkan? Bagaimana kemandirian itu tidak
kontraproduktif pada bangunan sistem pemerintahan dan kebangsaan?
Bagaimana PAD, khususnya melalui pajak daerah yang hendak digenjot tingkat
penerimaannya itu bisa meningkatkan kualitas pelayanan publik agar menjadi
semakin baik dan berkualitas dan bukan sebaliknya justru menciptakan ekonomi
biaya tinggi dan sebagainya.
Dari aspek keuangan, logika hubungan antara kemandirian daerah dari
sisi keuangan dengan meningkatnya PAD sudah sangat jelas keterkaitannya.
Meskipun pengaruh peningkatan PAD tersebut tidak otomatis linier dengan
tingginya kemandirian daerah, tetapi setidaknya hubungan yang terjadi tidak
menegasikan, apalagi berbanding terbalik. Sudah dimahfumi dan dikuatkan oleh
banyak studi bahwa peningkatan PAD suatu daerah paralel dengan sebuah fakta
bahwa daerah tersebut memiliki derajat atau tingkat kemandirian yang lebih
baik. Terlepas dari faktor mana yang lebih dominan atau paling menentukan
terhadap kemandirian sebuah daerah, tetapi sebuah daerah yang meniliki PAD
tergolong besar juga memiliki tingkat kemandirian yang baik, meskipun tidak
otomatis jauh lebih baik dari daerah yang tingkat PAD-nya biasa saja.
Pajak adalah alat kemandirian sebuah bangsa dengan asumsi sejumlah
kebutuhan untuk pembangunan dan pelayanan publik bisa dipenuhi dari pajak
sehingga sebuah bangsa tidak perlu berhutang untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Logika yang sama juga berlaku bagi sebuah entitas organisasi publik
yang lebih kecil, ketika pajak daerah dapat ditingkatkan jumlah penerimaannya
hingga ke tingkat yang dianggap optimal, maka sudah pasti banyak kebutuhan
untuk membangun dan melayani publik dapat terselenggara dengan lebih
baik. Keberadaan dana yang berasal dari pusat yang notabene juga berasal
dari pajak yang disebut pajak pusat adalah memiliki logika yang sama. Semua
jenis penerimaan pajak pusat itu ujungnya adalah untuk pembangunan dan
melayani publik di seluruh penjuru negara, sementara lingkup pajak daerah
hanya dimaksudkan untuk daerah tertentu saja.

16    Administrasi Perpajakan Daerah


Secara konsepsional, logika yang menjadi dasar alasan dan tujuan pajak
daerah dengan pajak yang dikelola pemerintah pusat juga kurang lebih
sama. Barangkali yang menjadi perbedaan utamanya pengelolanya yang
berbeda ruang lingkup dan juga otoritas atau kewenangannya. Pemerintah
daerah memiliki kewenangan yang terbatas dalam mengelola pajak karena
pada dasarnya kewenangan fiskal yang mencakup di dalamnya kewenangan
perpajakan itu menjadi domain pemerintah pusat. Sejatinya pemerintah daerah
hanya menjalankan sebagian kecil kewenangan tersebut karena sejumlah besar
jenis pajak-pajak yang penting dan tergolong ‘basah’ dan menghasilkan jumlah
penerimaan yang besar masih dikelola pemerintah pusat untuk kemudian
didistribusikan menurut model dan pola tertentu ke seluruh pemerintah daerah
otonom.
Memang ada banyak jenis pajak pusat yang digolongkan sebagai pajak
‘basah’ yang diserahkan kepada daerah untuk dikelola dan dimanfaatkan bagi
pemerintah daerah yang bersangkutan. Namun diantara pajak-pajak daerah
tersebut hanya sedikit yang tergolong ‘basah’, setidaknya itu yang menurut
pendapat daerah. Sebagaimana yang terlihat selama ini bahwa sebagian besar
jenis pajak daerah masih tergolong sebagai jenis pajak yang kering dan sulit
pengadministrasiannya, sehingga beberapa diantaranya sengaja dibiarkan
‘terlantar’ atau tidak diurus secara sungguh sungguh karena biaya pengurusan
dan pengadministrasiannya yang mahal (tax buoyancy). Adalah fakta bahwa
sebagian besar jenis pajak daerah itu hingga kini belum bisa dioptimalkan sesuai
potensinya, seperti pajak restoran, retribusi parkir dan pajak hiburan misalnya.
Diantara jenis pajak daerah yang tergolong basah adalah pajak kendaraan
bermotor dan ‘turunannya’, sementara selebihnya dianggap tergolong ‘kering’
meskipun memiliki potensi perpajakan yang besar. Potensi yang besar itu tidak
otomatis mudah dalam hal pemungutan dan murah biaya pengadministrasiannya.
Jika mudah dan murah tentu sudah banyak daerah yang berhasil mengoptimalkan
potensinya. Tetapi buktinya hingga kini belum banyak daerah, termasuk daerah
yang sudah tergolong maju dan berkembang yang bisa mengeruk penerimaan
dari jenis pajak daerah selain pajak kendaraan bermotor yang masih menjadi
andalan utama penerimaan asli daerah.

Bab 1—Konteks dan Tujuan Pajak Daerah dan Pelayanan 17  


1.5. Pajak Daerah Untuk Kesejahteraan Daerah

Membaca sub judul tersebut terdengar klise dan bahkan membosankan


karena telah berulangkali dinyatakan dalam sejumlah literatur setiap kali
membahas persoalan perpajakan. Keberadaan pajak di zaman modern memang
demikian salah satu tujuannya. Kesejahteraan adalah tujuan yang bersifat
umum yang bisa dicerati dari sejumlah indikator yang sifatnya lebih teknis
dan rinci, misalnya soal pendidikan, kesehatan, perumahan, lapangan kerja,
ketertiban, kenyamanan dan sebagainya. Semua indikator yang sifatnya teknis
tersebut sesungguhnya merupakan pekerjaan utama sebuah entitas organisasi
pemerintahan yang ada di daerah dalam hal ini adalah daerah otonom.
Membicarakan kesejahteraan sama halnya dengan membicaraan hasil atau
manfaat dari sebuah kegiatan publik yang bernama pajak daerah. Pajak daerah
adalah sarana yang diperlukan untuk membiayai kegiatan publik yang ujungnya
diharapkan menghasilkan dampak positif atau manfaat berupa peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Hasil dan manfaat dari pajak daerah perlu mendapat
penekanan dalam menilai keberhasilan dalam mengelola pajak daerah. Jadi upaya
yang perlu mendapat penekanan itu bukan hanya bagaimana mengoptimalkan
penerimaan dengan menggencarkan bagaimana upaya pemungutan pajak
daerah, tetapi juga bagaimana mengalokasikan, mendistribusikan dan menilai
hasil dan manfaatnya.
Persoalan hasil dan manfaat dari penggunaan dana pajak daerah memiliki
korelasi terhadap kualitas kepatuhan dan kesadaran masyarakat dalam
membayar pajak. Asumsinya kegiatan pengumpulan atau pemungutan pajak
daerah bisa berjalan secara efektif dan efisien bila hasil dan manfaat dari pajak
daerah itu benar benar dirasakan masyarakat daerah. Meskipun balas jasa pajak
itu tidak bersifat langsung dan tidak berbanding lurus secara langsung dengan
seberapa besar pajak yang dipikul, namun secara umum harus bisa dirasakan
bahwa ada sejumlah perbaikan dan peningkatan dalam bentuk kualitas pelayanan
publik dan juga pembangunan yang dirasakan nyata hasil dan manfaatnya.
Ketika metode self-assessment yang menjadi acuan atau model pendekatan
yang digunakan dalam memungut dan mengadministrasikan pajak, maka
kesadaran dan kepatuhan masyarakat adalah kata kunci keberhasilan dalam
pemungutan pajak. Asumsinya kesadaran dan kepatuhan (tax compliance) itu
bisa muncul jika mereka (wajib pajak) melihat atau merasakan bahwa ada
sejumlah hasil dan manfaat yang nyata dari pajak yang mereka bayarkan,
seperti ketertiban publik yang nyata terlihat, kenyamanan dalan berusaha dan

18    Administrasi Perpajakan Daerah


bermasyarakat yang nyata dirasakan oleh siapa saja, sarana pendidikan yang
berkualitas, layanan kesehatan yang baik dan sebagainya. Semua itu bisa terjadi
tidak lain karena adanya dana yang berasal dari pajak yang mereka bayarkan.
Keberhasilan dalam ‘pemungutan’ pajak karena tingginya kesadaran
masyarakat (self assessment) itu idealnya paralel dengan keberhasilan
menerjemahkannya dalam bentuk hasil dan manfaat yang dirasakan
masyarakat yang dalam kata umum dan sederhana dan sering dikemukakan
adalah kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan dalam meningkatkan jumlah
penerimaan pajak hanyalah keberhasilan dari satu sisi saja karena harus diikuti
dengan keberhasilan selanjutnya yang berujung pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Kesejahteraan adalah kata sederhana yang sering disebut untuk
menyederhanakan sejumlah keberhasilan yang sifatnya teknis dan lebih rinci
seperti keberhasilan dalam pelaksanaan sejumlah program dan kegiatan
pelayanan dan pembangunan yang dibiayai oleh dana pajak masyarakat.
Sebagai salah satu pengantar, buku ini berusaha kembali menegaskan
bahwa pajak esensinya adalah untuk kesejahteraan seluruh bangsa jika itu
merupakan pajak pusat dan kesejahteraan untuk daerah yang tertentu jika itu
merupakan pajak daerah. Beban berupa pungutan dalam jumlah uang tertentu
terhadap kegiatan produktif yang dilakukan wajib pajak harus dimaknai sebagai
alat atau biaya yang diperlukan untuk mencapai tujuan seperti perbaikan hidup
dan kesejahteraan warga dan masyarakat.
Meskipun pajak adalah sebuah beban dan kewajiban bagi wajib pajak
untuk melaksanakannya dimana tidak ada balas jasa yang secara langsung bisa
dilihat, namun muara yang hendak dicapai dari pengenaan pajak adalah untuk
kesejahteraan rakyat, untuk ketertiban dan kenyamanan rakyat dan seterusnya
sebagaimana tujuan yang juga tercantum dalam konstitusi sebuah negara. Cara
pandang yang demikian memberikan makna secara berimbang dan cenderung
positif terkait sejarah perpajakan di masa lalu yang cenderung dimaknai dalam
konotasi negatif dan semata sebagai beban dan penderitaan. Syaratnya dana
publik yang berasal dari pajak itu harus dapat dikelola dengan baik dan kemudian
disalurkan untuk berbagai kegiatan dan program yang memang bertujuan untuk
kenyamanan dan kesejahteraan rakyat.
Tujuan yang sering dianggap klise dan bahkan absurd itu perlu ditanamkan
dalam dalam agar menjadi sebuah doktrin yang senantiasa diingat baik oleh
fiskus atau oleh wajib pajak. Itulah tujuan yang harus dikejar dan tujuan itu
pula yang menjadi acuan untuk menilai kinerja atau keberhasilan dalam
mengelola pajak. Tidak ada alasan bagi wajib pajak untuk tidak mematuhinya

Bab 1—Konteks dan Tujuan Pajak Daerah dan Pelayanan 19  


(tax complaince) jika mereka berharap hadirnya berbagai pelayanan publik yang
baik dan berkualitas kecuali harus membayar sejumlah biaya dalam bentuk pajak.
Sejatinya semua program dan kegiatan pembangunan adalah dibiayai oleh dana
pajak baik yang sifatnya langsung atau pajak tidak langsung. Rumusan normatif
demikian memang terdengar klise, tetapi itulah kenyataannya.
Persoalannya adalah bagaimana dana dana publik itu kemudian dikelola
dan disalurkan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pertanyaan ini
sangat penting untuk melengkapi pertanyaan sebelumnya yaitu bagaimana
mengumpulkan dana publik dari wajib pajak. Kesejahteraan masyarakat adalah
pertanyaan kunci yang harus bisa dijawab setelah sejumlah dana pajak itu
berhasil dikumpulkan dalam jumlah yang besar. Pertanyaan demikian memang
bukan harus dijawab oleh aparatur ‘penagih pajak’ (fiskus) seperti Dispenda,
tetapi harus dijawab oleh pemerintah melalui sejumlah program dan kegiatannya
yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dari sisi organisasi pemerintahan daerah dimana organisasi pengelola
pajak daerah itu berada, keberhasilan pengelolaan pajak itu tidak hanya
dilihat dari sisi pemungutannya yang efektif dan efisien, tetapi juga bagaimana
ia diadminisrasikan bagaimana ia dialokasikan dan yang jauh lebih penting
adalah bagaimana hasil dan manfaat yang bisa dimunculkan. Diantara hasil
dan manfaat tersebut adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat, misalnya
ketika pajak digunakan untuk membiaya pendidikan, kesehatan dan keamaan
dan kenyamanan penduduk dan seterusnya. Jika keberhasilan pengelolaan pajak
itu hanya terfokus pada aspek pemungutannya, maka keberadaan pajak bisa
dianggap sebagai beban semata yang tidak berkorelasi dengan tujuan dasar dari
perpajakan itu sendiri.
Ada istilah demokrasi yang juga berlaku untuk pajak yaitu istilah dari
rakyat untuk rakyat. Maksudnya pajak daerah yag berasal dari rakyat daerah
yang bersangkutan juga untuk rakyat yang bersangkutan. Konsep dasarnya
demikian, tetapi dalam konteks negra kasatuan pajak suatu daerah tidak
boleh merugikan daerah lain apalagi merugikan kepentingan nasional. Sebuah
program atau kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan yang
dibiayai oleh pajak daerah harus diartikan secara luas. Program dan kegiatan
tersebut setidaknya secara tidak langsung bisa bermakna positif bagi daerah
lain yang ada di sekitarnya. Bagaimanapun ada efek eksternalitas yang tidak
boleh diabaikan karena setiap daerah merupakan satu kesatuan sistem yang
saling mempengaruhi, misalnya pajak air, pajak sampah dan sebagainya yang

20    Administrasi Perpajakan Daerah


pengelolaannya harus memperhatikan kepentingan daerah lain khususnya yang
ada di sekitarnya.
Sebagai contoh kasus, sebuah daerah tidak boleh memungut pajak sampah
hanya melihat dari sisi kepentingan penerimaan daerah yang bersangkutan,
sementara daerah lain bisa terkena dampak negatif dari sampah tersebut,
misalnya kenyamanan dan juga bau dan juga dampak negatif lainnya. Begitu juga
pajak air permukaan misalnya, pendekatannya tidak bisa dari sisi penerimaannya
saja karena tata air sebuah daerah itu sangat terkait dengan daerah lain. Bisa
jadi justru yang menjadi sumber air adalah daerah lain yang kebetulan menjadi
sumber mata air atau resapan air sementara daerah lain yang menikmati
pajaknya dan sebagainya. Artinya pendekatannya memang harus memperhatikan
kepentingan daerah lain karena ada faktor yang namanya eksternalitas dan
dampak lingkungan yang tidak hanya terjadi di wilayah tertentu tetapi juga
mencakup wilayah lain yang lebih luas.
Kesejahteraan adalah kata yang absurd, tetapi ada sejumlah indikator
yang bisa digunakan untuk melihat tingkat kesejahteraan sebuah daerah dan
masyarakatnya. Sejumlah indikator tersebut bisa tercermin dari setiap program
pelayanan dan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Artinya
mencermati tingkat kesejahteraan sebuah daerah dapat dilihat dari kualitas
pelayanan dan pembangunan yang dilakukan yang dikaitkan dengan hasil dan
manfaat yang diperoleh masyarakat. Semua kegiatan publik yang merupakan
bentuk dari pelayanan dan pembangunan dibiayai oleh pajak dan semuanya itu
harus memberikan hasil dan manfaat yang ujungnya adalah sebuah kesejahteraan
masyarakat.

1.6. Pajak Daerah adalah Komplemen dari Pajak Pusat


Dalam sistem negara kesatuan, keberadaan pajak daerah adalah komplemen
dari pajak pusat. Pajak daerah adalah pelengkap dari pajak pusat, sehingga
jika penerimaan pajak daerah masih tergolong sangat kecil atau bahkan nihil,
maka hal demikian tidak berarti segala kegiatan dan program pelayanan serta
pembangunan di daerah tidak ada dananya. Dana yang berasal dari pajak daerah
bisa saja sangat kecil, tetapi ada dana yang harus ada yang bersumber dari
pajak pusat yang disalurkan oleh pemerintah pusat melalui atau berdasarkan
mekanisme perhitungan tertentu yang dianggap adil dan sesuai dengan konteks
dan kebutuhan daerah dalam menjalankan pelayanan minimal dan tugas tugas
yang menjadi tanggung jawabnya.

Bab 1—Konteks dan Tujuan Pajak Daerah dan Pelayanan 21  


Asumsinya semua kebutuhan biaya atau dana untuk penyelenggaraan
pemerintahan daerah telah dipenuhi oleh pemerintah pusat, meskipun dalam
skala yang paling minimal. Ada istilah standar pelayanan minimal yang berarti
bahwa sebuah daerah harus mampu menyelenggarakan kualitas pelayanan
dengan standar minimal yang telah ditetapkan pemerintah sebagai konsekuensi
dari sejumlah dana perimbangan dan dana alokasi khusus atau dana dana lain
yang digelontorkan pemerintah pusat demi terselenggaranya otonomi luas
dan nyata di setiap daerah otonom. Adalah kewajiban pemerintah pusat untuk
menyediakan dana otonomi luas sebagai konsekuensi hak dan kewenangan
pemerintah pusat dalam mengelola semua jenis pajak dan penerimaan lainnya
kecuali yang dikecualikan atau diderivasikan kepada daerah atau lembaga lain.
Konsep otonomi luas yang memberikan kewenangan luas dan nyata dalam
mengelola dan mempertanggungjawabkan tugas dan fungsinya bukan berarti
segala biaya dan dana yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi
tersebut harus berasal dari kerja kerja teknis pemerintahan daerah. Kecuali pajak
daerah dan pendapatan asli daerah lainnya yang memang merupakan hasil jerih
payah daerah itu sendiri dalam upayanya mencari sumber pandapatan tambahan
agar dana yang ada yang dikelola daerah secara otonom itu bisa semakin besar
dan diharapkan semakin meningkatkan kualitas dan juga kuantitas program dan
kegiatan pelayanan dan pembangunan di daerah.
Tanpa dana yang bersumber dari hasil atau penerimaan pajak daerah dalam
jumlah yang besar atau bahkan nihil, sebuah daerah otonom dengan konsep
otonomi luas yang berlaku sekarang ini, sebuah daerah otonom tersebut sudah
dirancang sebagai daerah yang tercukupi biayanya. Adalah pemerintah pusat yang
bertugas mencukupi biaya tersebut dengan pola atau model perhitungan tertentu
yang sering disebut sebagai dana perimbangan otonomi daerah atau dana dana
lain yang menjadi kebutuhan obyektif daerah otonom dalam menjalankan tugas
dan fungsinya secara mandiri dan otonom.
Otonomi yang luas dan kemandirian yang besar itu tidak harus diartikan
segala sesuatunya diupayakan dan dihasilkan sendiri tanpa campur tangan
atau tergantung apalagi berasal dari pihak lain. Dalam sistem negara kesatuan
yang menganut otonomi luas yang terjadi sebenarnya hanya soal berbagi tugas
dan kewenangan antar unit organisasi yang ada di dalamnya. Ketika hal dan
kewenangan fiskal dan moneter (termasuk di dalamnya kewenangan dalam
hal pajak) diserahkan kepada pemerintah pusat, maka kewenangan tersebut
memiliki konsekuensi berupa kewajiban bahwa pemerintah pusat harus
menggelontorkan sejumlah dana melalui pola dan mekanisme tertentu kepada

22    Administrasi Perpajakan Daerah


daerah otonom yang tidak memiliki kewenangan di bidang perpajakan kecuali
secara khusus memang diberikan oleh pemerintah pusat atau yang terkadang
disebut dengan istilah pendaerahan pajak.
Adalah tugas pemerintah pusat untuk mengucurkan dana otonomi dalam
jumlah dan besaran tertentu, melalui format dan mekanisme tertentu kepada
daerah otonom. Pola demikian dalam sistem negara kesatuan tidak harus
diartikan membuat daerah tidak mandiri dari sisi fiskal atau keuangan daerah.
Keberadaan pajak daerah dan retribusi daerah serta sumber sumber dana lain
yang diupayakan pemerintah daerah tidak dimaksudkan untuk mengeliminasi
atau mengurangi besaran dana yang berasal dari pemerintah pusat. Justru
yang diharapkan adalah dana yang berasal dari pemerintah pusat itu terus
bertambah dalam jumlah yang semakin besar karena hal demikian sama
sekali tidak mengurangi hak dan kewenangan daerah dalam mengelola dan
mempertanggungjawabkan dana dana publik tersebut terhadap stakeholders-nya
sebagai wujud akuntabilitas publik.
Secara teoritik, dalam konsep negara kesatuan dimana kewenangan pajak
pada dasarnya terletak atau menjadi kewenangan pemerintah pusat, maka
keberadaan pajak daerah bisa ada dan juga bisa tidak. Terserah sepenuhnya
kepada pemerintah pusat untuk mengelola secara terpusat atau sebagian
mendelegasikannya kepada daerah atau memilih opsi lain dengan sepenuhnya
menjadikan kewenangan tersebut sebagai hak daerah untuk dikelola dan
dimanfaatkan bagi kepentingan pembangunan daerah. Dasar pertimbangannya
tentu bermacam macam, baik karena alasan sosial politik atau alasan teknis yang
bersifat ekonomi dan manajerial.
Biasanya dalam sistem negara kesatuan, keberadaan pajak daerah muncul
karena pertimbangan efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaannya, khususnya
dalam hal pemungutan dan pengadministrasiannya. Di sisi lain, paralel dengan
konsep otonomi luas, dalam kenyataannya memang ada sejumlah jenis pajak yang
dianggap lebih efektif dan efisien jika dikelola atau diserahkan kepada daerah
dengan istilah pajak pusat yang didaerahkan. Ada juga jenis pajak tertentu yang
sejak dulu memang telah diserahkan kepada daerah untuk diurus dan dikelola
untuk menambah komponen penerimaan asli daerah. Biasanya pajak pajak
demikian memang pajak yang tergolong kurus dan ‘recehan’.
Bisa dinyatakan bahwa inti atau dasar pertimbangannya adalah efisiensi
dan efektifitas dalam pengelolaannya, khususnya dalam hal pengumpulan dan
pengadministrasiannya. Dasar pertimbangan yang sifatnya politis sekarang ini
tidak lagi dominan karena sebagian besar dana untuk kepentingan pelaksanaan

Bab 1—Konteks dan Tujuan Pajak Daerah dan Pelayanan 23  


otonomi daerah telah dijamin ketersediaannya oleh pemerintah pusat meskipun
selalu dianggap tidak mencukupi atau kurang oleh pemerintah daerah. Ada
daerah yang merasa berhak untuk mendapatkan dana otonomi yang lebih
besar dari apa yang diberikan pemerintah pusat karena daerah tersebut merasa
memiliki potensi penerimaan yang lebih besar terkait sumber sumber alam
dan potensi yang dimiliki yang menghasilkan penerimaan pajak pusat. Ada
daerah yang dianggap lebih beruntung dengan format perimbangan keuangan
yang ada, meskipun daerah tersebut tentu tidak merasa demikian karena juga
merasa memiliki potensi yang besar jika digali secara optimal menjadi sumber
penerimaan pajak. Tetapi terlepas dari klaim tersebut dan rasa ketidakpuasan
atas format yang ada, maka semua itu dilakukan pemerintah pusat dalam
kerangka negara kesatuan, sehingga dalam konteks dan kasus tertentu terlihat
ada subsidi silang yang saling mendukung dan menguatkan.
Apapun dasar pertimbangannya, jika mencermati konteks yang ada
sekarang ketika otonomi luas semakin nyata dimana persoalan efisiensi dan
efektifitas dalam pengelolaan pajak menjadi acuan utama, maka keberadaan
pajak daerah adalah keniscayaan. Jika perlu ada semacam penelitian khusus
terhadap sejumlah pajak pusat untuk dicari kemungkinannya didaerahkan dalam
arti dikelola oleh daerah namun dengan tetap memperhatikan kepentingan
daerah lain. Hanya saja daerah yang diberikan kewenangan untuk mengelola
pajak pusat itu mendapat porsi bagian tertentu yang lebih besar dibandingkan
daerah lain yang hanya mendapatkan bagian dengan format atau pola yang
berbeda besaran dan mekanismenya.
Faktanya ada sejumlah jenis pajak tertentu yang dianggap layak didaerahkan
meskipun ia sejatinya adalah tergolong pajak pusat dan memang sejak dulu
merupakan pajak pusat. Contohnya adalah pajak bumi dan bangunan serta
sejumlah turunannya yang kini sudah menjadi pajak daerah. Artinya tidak
ada persoalan jika sejumlah pajak pusat kemudian didaerahkan asalkan tidak
merugikan daerah lainnya dan sistem bangunan negara kesatuan yang pada
dasarnya harus ada semacam subsidi silang, saling membantu dan saling
menguatkan di berbagai sisi dan sudutnya.
Keberadaan pajak daerah yang berhasil dikelola dengan baik dan
menghasilkan penerimaan daerah yang menambah penerimaan yang sudah ada
yang berasal dari pemerintah pusat sudah pasti menambah derajat dan kualitas
kemandirian daerah dalam arti daerah memiliki ruang yang semakin lebar dan
sangat leluasa dalam menggunkana dana publik yang berasal dari pajak daerah
tersebut. Lihat saja DKI Jakarta yang memiliki porsi PAD cukup besar sehingga

24    Administrasi Perpajakan Daerah


terlihat memiliki sejumlah kelonggaran lebih dibandingkan daerah lain dalam
mengunakan dana publik yang berasal dari PAD yang berhasil dikumpulkannya.
Secara normatif semua daerah tentu melakukan hal serupa jika pajak daerah
yang merupakan komponen terbesar dalam PAD itu bisa ditingkatkan jumlah
penerimaannya, maka kualitas dan kapasitas kemendirian daerah tersebut tentu
menjadi lebih besar lagi, khususnya dalam mengelola dan memanfaatkan dana
yang berasal dari PAD tersebut. Kemandirian sebuah daerah otonom adalah
sesuatu yang sudah inheren atau melekat sedemikian rupa, tetapi kemandirian
tersebut bisa menjadi lebih berkualitas dan benar benar otentik jika didukung
dengan kapasitas dalam pembiayaan yang bersumber dari PAD dimana
komponen terbesarnya biasanya berasal dari pajak dan retribusi daerah.

1.7. Kedudukan Pajak Daerah dalam Sistem Negara Kesatuan

Dalam perspektif sosial politik, kedudukan pajak daerah sering dikaitkan


dengan kemandirian daerah. Asumsinya semakin besar pajak daerah yang
berhasil dikumpulkan, maka secara politis daerah yang bersangkutan relatif lebih
mandiri dibandingkan dengan daerah lain yang hanya mengandalkan kucuran
dana dari pemerintah pusat karena sangat kecil pajak daerah yang berhasil
dikumpulkan. Pandangan demikian tidak salah tetapi harus ditambahkan
bahwa keberadaan pajak daerah juga mengandung makna dan biasana justru
sering dilihat dalam perspektif ekonomi dan manajerial atau administrasi yang
berkaitan dengan persoalan efisiensi dan efektifitas pengelolaannya.
Memang dalam kondisi dan konteks tertentu, diantara sejumlah perspektif
yang ada itu ada yang terlihat lebih dominan dibandingkan dengan perspektif yang
lain. Misalnya ketika hubungan antara pemerintah pusat dan daerah cenderung
tidak harmonis ketika pihak daerah merasa dieksploitasi atau diperlakukan tidak
adil karena mendapat bagian yang kecil dari penerimaan nasional, maka usulan
untuk mendaerahkan sejumlah pajak menjadi isu yang penting. Formatnya bisa
bermacam-macam an tidak harus secara drastis dengan menyerahkan sejumlah
pajak pusat kepada daerah, tetapi bisa dengan mekanisme yang lain, misalnya
dengan melibatkan daerah secara lebih intensif dalam proses pengelolaan pajak
terutama dalam pemungutannya dengan imbalan mendapat bagian yang lebih
besar dan kewenangan penggunaannya yang juga lebih leluasa.
Persoalan pajak memang bukan hanya berkaitan dengan persoalan ekonomi
dan teknis administrasi yaitu bagaimana pengelolaannya kemudian bagaimana

Bab 1—Konteks dan Tujuan Pajak Daerah dan Pelayanan 25  


alokasi dan distribusinya, melainkan juga berkaitan dengan persoalan yang di
dalamnya senantiasa melekat aspek yang sifatnya politis dan bahkan prinsip-
prinsip dasar dalam bernegara. Apa yang disebut pajak daerah itu sangat
beragam dan bisa sangat berbeda secara mendasar antara pajak daerah yang
berlaku di negara dengan sistem federal dengan negara dengan sistem kesatuan
(unitary). Pada prinsipnya kewenangan pajak di negara kesatuan berada di
tangan pemerintah pusat dan sebagian diantaranya bisa didelegasikan atau
sekedar di-‘dekonsentrasi’-kan kepada daerah, dimana semua itu dimaksudkan
untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas dalam pengelolaannya. Berbeda
dengan prinsip kewenangan perpajakan di negara dengan sistem federal dimana
pemerintah daerah (federal state) juga memiliki hak dasar dalam memungut
pajak dari warganya sama seperti pemerintah federal yang memiliki hak serupa.
Barangkali lingkup dan jenis pajaknya yang diatur sedemikian rupa agar tidak
tumpang tindih atau menciptakan pajak ganda atau ahar terjadi harmonisasi
dalam sistem perpajakan nasional.
Pola pengelolaan pajak di negara kesatuan tidak harus terpusat karena
kewenangan perpajakan yang ada di pemerintah pusat itu bisa didelegasikan
kepada daerah otonom dengan model yang memberikan kewenangan besar
kepada daerah dalam mengelola dan memanfaatkanya. Namun pola pengelolaan
pajak di negara federal sudah pasti terdesentralisasi mengikuti sistem negara
yang berlaku dimana ada sejumlah negara bagian (federal state) yang memiliki
sejumlah kewenangan pajak layaknya sebuah negara di dalam negara. Gambaran
singkat terkait sistem negara yang berpengaruh terhadap sistem perpajakan,
khususnya pajak daerah tersebut penting diketahui agar tidak terjadi kerancuan
dalam melihat kedudukan dan posisi pajak daerah di sebuah negara dengan
sistem kesatuan seperti Indonesia.
Dimensi politis dalam melihat kewenangan perpajakan memang terkadang
muncul, tetapi hal demikian hanya terjadi dalam kondisi khusus yaitu ketika
ada gejolak yang sifatnya politis juga khususnya yang berkaitan dengan pola
hubungan antar strata pemerintahan yang dianggap tidak harmonis. Namun
secara umum, terutama dalam kondisi normal dalam arti pola hubungan antara
strata pemerintahan yang relatif stabil dan berjalan harmonis, maka sudut
pandang atau perspektif dalam melihat pajak daerah sebagai persoalan ekonomi
dan keuangan serta manajerial atau administrasi adalah pandangan yang lebih
dominan atau mengemuka. Dalam konteks Indonesia saat ini, maka perspektif
yang disebut terakhir itulah yang lebih dominan dan menjadi dasar pengelolaan
pajak daerah. Buktinya wacana untuk mendaerahkan pajak bumi dan bangunan

26    Administrasi Perpajakan Daerah


yang sudah ada sejak lama diperjuangkan baru terealisir beberapa tahun
terakhir. Hal demikian terjadi karena pertimbangan ekonomi dan manajerial
atau administrasi dalam pengelolaannya dan bukan karena pertimbangan sosial
politik yang melatarbelakanginya.
Sesungguhnya persoalan pajak daerah adalah persoalan yang berakar pada
aspek ekonomi dan keuangan, tetapi bisa menjadi persoalan sosial dan politik
jika ada sejumlah faktor yang memicunya. Artinya persoalan sosial politik itu
sesungguhnya bukan persoalan yang utama karena yang utama adalah persoalan
ekonomi dan keuangan dan bagaimana mengadministrasikannya secara
efektif dan efisien. Dalam mengelola pajak itu ada hal hal yang sifatnya teknis
administrasi yang faktanya tidak mudah dilakukan dengan cara cara terpusat
atau dilakukan oleh pemerintah pusat secara sentralistik. Dalam konteks dan
kondisi tertentu ada sejumlah jenis pajak yang dianggap lebih efektif dan efisien
jika diserahkan kepada daerah, sehingga muncullah jenis pajak daerah, sekalipun
jenis pajak tersebut dianggap kurus dan kering.
Cara pandang yang melihat pajak daerah sebagai persoalan ekonomi dan
administrasi ini lebih cocok dengan pandangan negara kesatuan karena yang
dipentingkan adalah bagaimana mengelola pajak itu secara efektif dan efisien,
sekalipun secara normatif kewenangan mengelola pajak sepenuhnya ada di
tangan pemerintah pusat. Tidak soal andaikan sejumlah besar kewenangan
pemerintahan di bidang pajak diserahkan kepada daerah, namun sudut
pandangnya harus tetap mengacu pada sistem negara kesatuan dan prinsip
prinsip dasarnya. Bahwa dalam negara kesatuan itu kewenangan pajak berada
di tangan pemerintah pusat dimana aspek ekonomi dan administrasi yang
berkaitan dengan efisiensi dan efektifitas dalan pengelolaan pajak itulah yang
utama sehingga tidak masalah jika ada sejumlah kewenangan perpajakan yang
sejatinya adalah kewenangan pemerintah pusat itu kemudian diserahkan kepada
daerah dengan sebutan sebagai pajak daerah untuk kepentingan daerah yang
bersangkutan.
Terlepas dari berapa jenis pajak daerah yang dikelola pemerintah daerah
dan dengan lingkup kewenangan yang bagaimana, maka semua itu harus dilihat
dalam perspektif bingkai negara kesatuan agar tidak menimbulkan sejumlah
komplikasi persoalan yang ujungnya justru menghambat kinerja pajak daerah.
Dalam perspektif demikian keberadaan pajak daerah tidak boleh menjadi faktor
dis-insentif bagi daerah lain yang ada di sekitarnya, apalagi jika dianggap tidak
sejalan dengan politik perpajakan yang dikembangkan oleh pemerintah nasional.
Memang tidak mudah bagi daerah untuk menerapkan politik perpajakan daerah

Bab 1—Konteks dan Tujuan Pajak Daerah dan Pelayanan 27  


yang benar benar pas dalam arti tidak ada pihak pihak yang merasa tergganggu
kepentingannya karena bagaimanapun juga yang namanya pajak adalah sebuah
beban bagi masyarakat. Lebih daripada itu adalah tidak mudah mengelola
pajak secara efektif dan efisien sekalipun pemerintah daerah telah diberikan
kewenangan yang demikian besar dan luas.
Dalam perspektif ekonomi dan keuangan, keberadaan pajak daerah
adalah sesuatu yang sifatnya sangat teknis dan manajerial pemerintahan yaitu
berupa pembagian tugas dan fungsi dalam menggali sumber sumber keuangan
pemerintahan. Semua itu harus diletakkan dalam kerangka negara kesatuan
sehingga pengelolaan pajak daerah tidak bisa bebas begitu saja, khususnya
yang berkaitan dengan tarif dan pengenaannya. Maksudnya campur tangan
pemerintah pusat senantiasa hadir dan memang diperlukan. Tujuannya agar
tercipta harmonisasi perpajakan sehingga tidak sampai menimbulkan beban
yang semakin berat, atau kondisi semacam pajak berganda atau kondisi yang
dianggap berlawanan dengan politik perpajakan nasional.
Intinya pengelolaan pajak daerah itu harus diletakkan dalam kerangka
sistem perpajakan nasional. Dalam konteks negara kesatuan itulah pajak daerah
harus diposisikan. Bagaimana memposisikan itulah seni yang biasanya hanya
daerah daerah tertentu yang tergolong berhasil dalam memposisikan dirinya
secara tepat dan kompatibel dengan apa yang menjadi kebijakan perpajakan
nasional. Banyak kasus bermunculan pasca berlakunya otonomi luas dimana
para investor atau pihak lain yang merasa mendapat beban pajak ganda, karena
di satu sisi telah mendapat beban pajak yang cukup berat dari pemerintah pusat,
namun disi lain juga muncul beberapa pungutan dan retribusi yang berasal dari
pemerintah daerah atas nama upaya untuk meningkatkan PAD.
Dalam kasus yang berbeda ternyata ada daerah lain yang merasa tergganggu
dengan adanya pajak daerah yang diberlakukan pemerintah daerah di sekitarnya.
Mereka merasa ada sejumlah komoditas yang sebelumnya relatif murah sebelum
dikenakan pajak berubah menjadi lebih mahal padahal komoditas tersebut
sangat diperlukan daerah lain. Kondisi demikian dalam jangka pendek memang
menguntungkan daerah yang memungut pajak, namun dalam jangka panjang dan
dalam perspektif yang lebih luas bisa dianggap merugikan karena daerah lain
juga bisa mengambil tindakan retaliasi atau pembalasan sehingga memunculkan
fenomena ekonomi biaya tinggi.
Dalam sistem negara kesatuan itu yang seharusnya terjadi adalah kondisi
yang saling menguatkan dan mendukung. Jika maksudnya adalah untuk
membangun kemandirian daerah dan masyarakatnya, maka kemandirian

28    Administrasi Perpajakan Daerah


tersebut jangan diartikan sebagai kemandirian dalam dimensi politis apalagi jika
dimaksudkan secara perlahan hendak terlepas dari sistem perpajakan nasional.
Kemandirian yang dimaksudkan adalah kemandirian dalam mengelola dan
mempertanggungjawabkan apa saja yang menjadi kewenangan daerah, termasuk
ketika diberikan kewenangan dalam mengelola pajak daerah. Melalui format
kemandirian yang demikian diharapkan pengelolaan pajak daerah menjadi
semakin efektif dan efisien sehingga menghasilkan sumbangsih yang lebih besar
terhadap pendapatan asli daerah.
Apapun bentuk kemandirian yang berhasil dimunculkan dalam pengelolaan
pajak daerah itu harus dilihat sebagai sebuah kemandirian dalam sebuah sistem
dan bingkai negara kesatuan. Kemandirian yang diharapkan adalah kemandirian
yang menguatkan negara kesatuan dan bukan sebaliknya memperlemah. Itulah
cara pandang dari aspek ekonomi dan manajerial atau administrasi perpajakan.
Keberadaan pajak daerah harus dimaknai dalam perspektif yang demikian,
terlepas seberapa banyak dan seberapa besar kewenangan perpajakan yang
diberikan kepada daerah otonom.

1.8. Perspektif Manfaat dan Keadilan Pajak Daerah

Mengelola pajak daerah itu bukan hanya mengelola persoalan teknis dan
administrasi saja, tetapi juga mengelola sejumlah persoalan yang lebih mendasar,
seperti soal keadilan dan bagaimana membuahkan sejumlah hasil serta manfaat
dari pajak. Mengelola pajak daerah itu bukan hanya soal bagaimana menetapkan
tarif pajak yang tepat, bagaimana mengumpulkan sejumlah penerimaan hasil
pungutan atau pembayaran pajak atau mengadministrasikan semuanya itu untuk
kemudian dialokasikan untuk pembiayaan program dan kegiatan tertentu. Lebih
dari itu ada soal yang juga juga penting yaitu bagaimana semua proses tersebut
bisa membuahkan hasil dan manfaat serta menciptakan keadilan.
Hasil dan manfaat serta keadilan yang dimaksudkan bukan hanya yang
bersifat distributif tetapi juga mengacu ada daya pikul wajib pajak dan sejumlah
ukuran keadilan lainnya. Pengelolaan pajak yang baik, yang tertata secara
sistemik dan diadministrasikan secara modern tidak berarti bisa membuahkan
hasil dan manfaat yang optimal yang mampu melahirkan keadilan bagi semua.
Keberhasilan dalam pengelolaan pajak, termasuk di dalamnya pajak daerah
adalah keberhasilan yang harus dinilai sejak dari perumusan kebijakan,
kemudian proses pelaksanaannya dan juga hasil dan manfaatnya. Sementara

Bab 1—Konteks dan Tujuan Pajak Daerah dan Pelayanan 29  


itu keadilan pajak juga harus dinilai dalam perspektif semuanya itu. Sejak hulu
hingga hilirnya harus mencerminkan semua proses yang proper dan pastinya
harus mampu membuahkan hasil dan manfaat yang optimal.
Ketika aspek efisiensi dan efektifitas dalam mengelola pajak daerah yang
dikedepankan, maka hal demikian bukan berarti kegiatan pengelolaan pajak
daerah hanya berurusan dengan hal hal atau kegiatan yang bersifat teknis
dan administratif atau sesuatu yang ‘klerikal’ saja. Paralel dengan urusan
yang sifatnya teknis administratif itu, pemerintah daerah sebagai pelaksana
kebijakan dan pelayanan itulah yang pada akhirnya menentukan bagaimana
dana pajak itu ditransformasikan menjadi hal hal atau sesuatu yang sifatnya
lebih substantif untuk menghasilkan sesuatu yang lebih substantif lagi. Dalam
prosesnya pemerintah daerah berusaha mengalokasikan dana pajak secara
tepat, baik jumlah dan jenis kegiatannya, berupaya melaksanakan kegiatan atau
program secara efektif dan efisien dan seterusnya.
Dimensi pengelolaan pajak daerah harus dimaknai secara lebih luas daripada
sekedar persoalan pelimpahan wewenang atau persoalan teknis administratif
untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas dalam pengumpulannya. Dimensi
yang demikian luas ini tentu berlaku dalam sistem pengelolaan pajak secara
nasional dan juga pajak daerah karena jangan dilupakan bahwa ujung dari semua
itu adalah lahirnya kesadaran dan kepatuhan (compliance) wajib pajak dalam
menjalankan tanggung jawab kenegaraannya dalam membayar pajak. Bukankah
kata kunci keberhasilan sistem self assessment yang menjadi dasar pemungutan
pajak di Indonesia adalah kesadaran dan kepatuhan wajib pajak.
Bisa jadi biang keladi rendahnya tax ratio di Indonesia, yang masih berada
diangka belasan yang tidak sampai pada angka 13 % adalah rendahnya kepatuhan
wajib pajak. Bisa jadi semua orang sudah sadar (aware) akan pentingnya
pajak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bisa jadi mereka juga sudah
mengetahui bahwa semua sarana dan prasarana publik serta pembangunan itu
dibiayai oleh pajak, tetapi kesadaran (awareness) itu tidak otomatis berbuah
pada kepatuhan (complaince) dalam membayar pajak. Asumsi serupa juga
berlaku untuk pajak daerah yang masih sangat rendah tax ratio-nya.
Dalam perspektif ini keberhasilan pengalolaan pajak itu bukan hanya soal
keberhasilan dalam mengumpukan pajak dan mengadministrasikannya dengan
baik dan benar. Ada sejumlah hal yang harus dijadikan pertimbangan dalam
menilai keberhasilan dalam pengelolaan pajak yaitu bagaimana mengalokasikan

30    Administrasi Perpajakan Daerah


atau mendistribusikannya secara tepat, baik jumlah dan jenisnya serta bagaimana
semua itu bisa menghasilkan hasil dan manfaat yang optimal. Keadilan pajak juga
bisa bisa menjadi acuan dalam menilai keberhasilan dalam mengelola pajak
karena aspek ini sangat penting peranannya dalam menentukan kepatuhan
wajib pajak.
Semua indikator yang bisa digunakan dalam menilai keberhasilan dalam
mengelola pajak dalam arti luas tersebut sebangun dengan apa yang menjadi
tugas pemerintah, dalam hal ini tentu pemerintah daerah jika merujuk pada
pajak daerah dan pajak dalam arti umum karena hampir semua sumber
pembiayaan pemerintahan daerah itu berasal dari pajak yang dibayarkan wajib
pajak. Pemerintahan daerah adalah entitas organisasi atau lembaga publik di
tingkat daerah yang melalui sejumlah program dan kegiatan pelayanan dan
pembangunan yang dilakukan berusaha mewujudkan apa yang sebenarnya
menjadi tujuan pengelolaan pajak.
Keberadaan pajak daerah ini harus dilihat dalam konteks yang lebih luas
sebagai bagian dari pajak dalam arti umum yang dipungut oleh pemerintah
pusat yang kemudian didistribusikan lagi ke daerah dengan format dan pola atau
mekanisme pembagian tertentu. Ada yang disebut sebagai dana perimbangan,
ada yang disebut sebagai dana alokasi khusus dan dana dana lain yang berasal
dari pemerintah pusat yang kesemuanya itu merupakan dana yang berasal dari
pajak dan sumber lain yang sifatnya publik. Memang sumbangsih pajak daerah
dalam hal ini mungkin kecil dalam konteks perpajakan secara nasional, tetapi
peranannya sangat penting bagi sebuah daerah dalam mengelola pemerintahan.
Konsep dasar dalam menilai keberhasilan pengelolaan pajak tersebut
berlaku secara umum, tidak hanya untuk menilai pajak pusat tetapi bisa
digunakan untuk menilai pajak daerah. Ukuran keberhasilan pengelolaan pajak
daerah harus senantiasa dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai. Ada
banyak tujuan perpajakan yang sifatnya normatif berikut peran dan fungsinya.
Dengan menggunakan konsep dan rumusan yang bersifat umum, beberapa
tujuan perpajakan telah dikemukakan pada sejumlah bab sebelumnya. Semua
tujuan tersebut harus menjadi pertimbangan dalam mengelola pajak agar dapat
disebut berhasil dalam pelaksanaannya. Pastinya tidak mudah dalam mencapai
tujuan, apalagi jika tujuan tersebut bersifat umum dan sangat kualitatif, namun
semua itu bisa dikenali dengan sejumlah indikator teknis dan sejumlah ciri
cirinya.

Bab 1—Konteks dan Tujuan Pajak Daerah dan Pelayanan 31  


Memang tidak mudah untuk menilai keberhasilan pengelolaan pajak
sampai pada hasil nyata karena memang bukan menjadi tugas lembaga atau
petugas pajak tetapi menjadi tugas pemerintah daerah untuk mewujudkannya.
Maksudnya pajak, termasuk di dalamnya pajak daerah yang menjadi sumber
pembiayaan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
itu merupakan instrumen untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi
masyarakat. Adalah tugas pemerintahan daerah sebagai pengambil kebijakan
dan aparatur pelaksana kebijakan untuk memastikan bahwa setiap sen dana
pajak itu mencapai hasil dan manfaat yang optimal.
Aspek hasil dan manfaat dari setiap sen dana pajak tersebut sangat penting
karena ia berkaitan dengan tingkat kepatuhan dan kesadaran masyarakat.
Asumsinya kepatuhan masyarakat itu sangat menentukan tingkat keberhasilan
dalam meningkatkan penerimaan pajak setiap tahunnya. Kepatuhan itu diyakini
sangat berhubungan dengan tax ratio dan efisiensi serta efektifitas pengelolaan
pajak. Sudah bukan zamannya lagi model official assessment, dimana proses
pemungutan dan pengumpulan pajak itu disandarkan pada petugas pajak yang
secara proaktif melakukan penagihan pajak ke setiap wajib pajak. Sistem yang
berlaku dan dipilih di Indonesia adalah self assessment yang secara tidak langsung
menyandarkan keberhasilannya kepada kesadaran dan kepatuhan wajib pajak.
Dalam konteks ini persoalan hasil dan manfaat setiap program dan kegiatan
pemerintahan yang dibiayai dari dana pajak menjadi sangat penting dan memiliki
pengaruh yang besar dalam meningkatkan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak.
Jika wajib merasa bahwa hasil dari pelaksanaan kegiatan atau program pelayanan
atau pembangunan itu tidak sesuai harapan atau melenceng dari apa yang
seharusnya, maka kepatuhan yang diharapkan tumbuh dan berkembang bisa
berubah layu dan bahkan mati ketika yang muncul di benak masyarakat adalah
perasaan ketidakadilan. Kepatuhan dalam membayar pajak adalah sesuatu yang
kompleks yang tidak hanya berkaitan dengan sejumlah kondisi yang obyektif
seperti apa yang nampak bahwa telah ada sejumlah sarana dan prasarana yang
dibangun, telah ada pelayanan yang semakin cepat dan murah dan sebagainya,
tetapi juga seringkali berkaitan dengan sejumlah hal yang terkadang sangat
subyektif seperti soal rasa dan persepsi.
Aspek hasil dan manfaat dari kegiatan pembangunan dan pelayanan publik
itu tidak semuanya mendasarkan pada sebuah penilaian yang bersifat obyektif,
tetapi terkadang penilaian yang muncul atau mengemuka itu sangat subyektif.
Begitu juga persoalan yang berkaitan dengan rasa keadilan yang seringkali

32    Administrasi Perpajakan Daerah


lebih banyak aspek subyektifnya dibandingkan aspek yang sifatnya obyektif.
Maksudnya kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak itu memiliki dimensi
yang kompleks dan berkaitan dengan sejumlah faktor yang tidak semuanya
bersifat obyektif, tetapi juga berkaitan dengan sejumlah persepsi yang tentunya
sangat subyektif, sehingga keberhasilan dalam pengelolaan pajak harus
senantiasa dicermati dan dikaitkan dengan sejumlah faktor tersebut.

Bab 1—Konteks dan Tujuan Pajak Daerah dan Pelayanan 33  


34    Administrasi Perpajakan Daerah

Anda mungkin juga menyukai