Email:nursyamsi002@iainpare.ac.id
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Qs. ar-Ra’du13: 21 di atas sejalan dan masih terkait dengan ayat sebelumnya yakni ayat 19-
20 mengenai deskripsi sifat-sifat Ulul Albab yang memiliki beberapa sifat yaitu, pertama,
memenuhi janji (ketika ia berjanji kepada sesama). Kedua, tidak merusak perjanjian (yang
sudah disepakati). Ketiga, seperti yang disifati pada ayat di atas yaitu orang yang senantiasa
menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan (hubungan
kekerabatan) dan cirri terakhir yaitu keempat, Ulul Albab ialah mereka yang takut kepada
Allah akan hisab (perhitungan amal) yang buruk di hari kiamat),
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu
itu benar sama dengan orang yang buta? hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat
mengambil pelajaran. (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak
perjanjian,” (Qs. ar-Ra’du 13: 19-20).
Beberapa sifat kebaikan yang dimiliki pribadi Ulul Albab tersebut di atas, menurut Ibnu
Katsir menjadi pembeda dengan sifat orang-orang fasiq di surat al-Baqarah 2: 27 yang
berbicara tentang sebaliknya, yaitu mereka yang pertama, melanggar perjanjian Allah
sesudah perjanjian itu teguh. Kedua, memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah untuk
dihubungkan dan ketiga, membuat kerusakan di muka bumi.
Disini kata ماyang menunjukkan makna umum dalam ayat silaturahim mengisyaratkan
luasnya cakupan silaturahim yang tidak dibatasi dengan bentuk tertentu dari upaya
menghubungkan ikatan kekeluargaan dan kekerabatan. Demikian juga larangan memutuskan
silaturahim menggunakan ‘ ’ماyang mengisyaratkan makna semua jenis perbuatan yang dapat
dikategorikan memutuskan silaturahim— apapun bentuknya— seperti yang disebut di surat
al-Baqarah: 27 dan surat ar-Ra’d: 25.
Dalam pandangan Imam Qurthubi, silaturahim dapat dibagi menjadi dua kategori; silaturahim
umum dalam ikatan agama seperti saling menasehati, menunaikan hak-hak yang wajib dan
sunnah antar orang-orang beriman. Kedua, silaturahim khusus antar mereka yang ada ikatan
nasab dan kekerabatan. Namun kedua jenis silaturahim tersebut tetap harus dipenuhi sebagai
ketentuan dan perintah agama. Nah, silaturrahim jenis ketiga, sebagai tambahan juga kepada
sesama makhluk Allah terlepas dari agama yang mereka anut—dalam batas yang wajar.
Nah, diskusi mengenai silaturrahmi di masa pandemi wabah Covid-19 ini, bagaimana
semestinya kita menyambung ikatan kasih sayang ini? Mengingat pertemuan fisik
diupayakan untuk dikurangi atau bahkan tidak sama sekali guna menekan penyebaran virus
yang lebih luas.
Sejatinya, Alqur’an tidak memberikan bentuk yang spesifik terhadap silaturrahim itu sendiri.
Setiap manusia diperbolehkan menyambung tali kasih sayang dengan beragam cara sesuai
dengan kesanggupan dan kemampuannya. Bersyukur, teknologi mutakhir bisa dipilih
menjadi alternatif untuk mendekatkan hubungan yang telah berjarak dan merekatkan kembali
hubungan yang sempat merenggang.
Dengan demikian, silaturrahim via media sosial menjadi pilihan terbaik di masa pandemi ini.
Bentuk lainnya? Kita juga bisa saling mengirim makanan, hadiah-hadiah sederhana dan lain
sebagainya. Namun, jika belum mampu dalam bentuk materil, tentu kita masih bisa
memberikan hadiah terbaik berupa do’a agar saudara, kerabat, teman sejawat yang jauh selalu
dalam kondisi sehat lahir batin serta dalam penjagaan-Nya.
Lantas, bagaimana jika kita sudah menjalin silaturrahim namun orang tersebut justru
memutuskannya? Menghubungkan silaturrahim walaupun orang lain memutuskannya, juga
disabdakan oleh Rasulullah Saw seperti salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah, ra bahwa seorang laki-laki berkata, ‘Ya Rasulullah, saya memiliki kerabat. Saya
menyambungkan hubungan kekeluargaan dengan mereka, tetapi mereka memutuskannya.
Saya berbuat baik kepada mereka, tapi mereka berbuat buruk pada saya. Saya bersikap
santun, tapi mereka bersikap masa bodoh kepada saya. Beliau lalu bersabda, “Jika apa yang
kamu katakan itu benar, mereka seolah-olah kehausan lalu kamu tuangkan air ke mulut
mereka tiada henti. Selama kamu berbuat demikian kepada mereka, pertolongan Allah
senantiasa bersamamu,” (HR. Imam Muslim). masyaAllah.
Allah menjanjikan pertolongan bagi siapa saja hamba-Nya yang sudah berupaya menyatukan
ikatan yang sempat rusak; namun tidak mendapatkan respon baik dari kerabat tersebut.
Sebab, betapa meruginya orang yang enggan menjalin kasih sayang kepada sesama sebab
surga menjauh darinya. Hal ini disampaikan dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Jubair
bin Muth’im ra bahwa Nabi Saw, bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang
memutuskan hubungan kekeluargaan,” (HR. Imam Muslim)
Dalam hubungan sosial kemanusiaan—memang terkadang tidak selalu baik, akan selalu ada
masalah dan kesalahpahaman yang mungkin terjadi. Namun, satu hal yang harus kita yakini;
sikap belas kasih, lemah lembut dan memaafkan jauh lebih mulia dan dianjurkan Allah
maupun Rasulullah agar tidak hanya kita kelak akan menjadi hamba-Nya yang senantiasa
diganjar pahala surga, namun juga ganjaran yang jauh lebih mulia yakni seperti hadits yang
diriwayatkan Abu Hurairah ra bahwa, Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah ta’ala
pada hari kiamat berfirman, “Manakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-
Ku? Pada hari ini Aku naungi mereka di bawah naungan-Ku dan tidak ada naungan kecuali
naungan-Ku,” (HR. Imam Muslim). https://republika.co.id/berita/q8oih2313/silaturahim-di-
masa-pandemi
BAB II
PEMBAHASAN
Kutipan ayat Al Qur'an menjadi bukti bahwa menyambung tali silaturahmi merupakan bentuk
ketaatan kepada Allah SWT. Menjalin silaturahmi juga menjadi salah satu cara untuk
memiliki akhlak yang terpuji. Apalagi jika Kompasianer bisa menerapkan silaturahmi setiap
hari di masa pandemi.
Perlu disadari bahwa sebagai manusia, kita merupakan makhluk sosial. Kita akan
butuh manusia lain untuk saling membantu, mendukung, dan bekerja sama demi memenuhi
kebutuhan hidup. Itulah makna tentang silaturahmi yang begitu penting. Islam merupakan
salah satu agama yang senantiasa menganjurkan umatnya untuk menebar kebaikan.
Silaturahmi bisa menjadi amalan yang setip hari bisa dilakukan. Kegiatan ini akan
mewujudkan ukhuwah Islamiyah jika kita mau mengamalkannya. Namun dimasa pandemi
saat ini silaturahmi yang kita lakukan sangat bebeda dengan sebelumnya Meski raga tak
bertemu, Kompasianer bisa melakukan silaturahmi secara tidak langsung. Jika dijalankan
secara konsisten, insya allah pahala akan terus mengalir. Untuk terus memupuk empati dan
menjauhi sikap egois, aku tergerak untuk melakukan silaturahmi setiap hari dengan 3 cara ini.
1. Melalui radio
Radio tak hanya menjadi media penyiaran untuk hiburan semata seperti
mendengarkan musik dari penyanyi kesayangan. Nyatanya, radio bisa menjadi
pemersatu bangsa bila digunakan sebagai tempat untuk silaturahmi.
Lewat radio, kita bisa kirim pesan ke teman, gebetan, tetangga, atau rekan kerja.
Pesan yang dikirim tentu akan dibacakan oleh penyiar. Biasanya, kita juga bisa memilih
sebuah lagu favorit untuk diputar. Supaya teman kita bisa mendengar, menelepon mereka.
Tanpa sadar, radio dan musik jadi medium silaturahmi yang asyik.
Kanal media sosial memang dikenal untuk mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang
dekat. Tergantung para pengguna bisa bijak dalam bermedia sosial. Saat bersilaturahmi
melalui media sosial, kita harus punya sikap saling memahami perbedaan antara satu
pengguna dengan pengguna media sosial yang lain.
Banyak hal yang bisa dilakukan melalui media sosial. Semua akan indah manakala kita
saling menanyakan kabar, menyematkan komentar positif di konten yang diunggah, dan
saling berkomunikasi untuk sekadar bertukar pikiran. Lebih lanjut, kita bisa asah kepedulian
sosial saat ada rekan-rekan di media sosial yang butuh dukungan dalam menghadapi pandemi
Corona.
Artinya: "Sambunglah orang yang memutuskan hubungan denganmu, berilah kepada orang
yang tidak memberi kepadamu, dan berpalinglah dari orang yang berbuat zalim kepadamu."
(HR Ahmad).
Menurut Ustaz Hanan, hadist tersebut juga menggambarkan silaturahmi yang ideal dalam
Islam. Silaturahmi ternyata tidak perlu terbebani pertemuan fisik yang menjadi anggapan
umum masyarakat terkait silaturahmi.
"Disebut silaturahmi jika ada yang bisa disambung. Artinya ada yang diputuskan. Kalau
ketemu dengan orang yang nyaman jadinya menjaga, sementara perintah silaturahmi adalah
menyambung," kata Ustaz Hanan.
Hadist tidak menetapkan cara tertentu untuk menjalin silaturahmi. Artinya, berbagai cara bisa
dilakukan untuk menyambung hubungan yang terputus. Pandemi corona tak menghalangi
silaturahmi yang tetap terjalin pada Idul Fitri 1441 H.
"Jika silaturahmi cuma bertamu maka nggak bisa karena ada zona merah dan PSBB. Tapi
makna hadist adalah banyak cara misal bisa dengan memberi hadiah, mengirim pulsa, uang
jajan, THR atau barang sehingga bisa tetap silaturahmi," kata Ustaz Hanan.
Ustaz Hanan mengingatkan, silaturahmi berlaku untuk keluarga yang selama ini
hubungannya kurang baik. Mantan tidak masuk dalam kriteria silaturahmi meski
hubungannya sama-sama tidak baik.
"Silaturahmi cari dulu di antara keluarga besar yang selama ini renggang, berjarak, atau
diem-dieman. Jika telpon direject atau bahkan diblock karena masalah waris, anak, atau beda
pendapat. Cari yang renggang," kata Ustaz Hanan.
Allah SWT menjanjikan surga bagi siapa saja yang menyambung silaturahmi. Sebaliknya,
Allah SWT memberi peringatan bagi siapa saja yang memutuskan tali
silaturahmi."Sambungkanlah orang yang memutuskanmu. Nanti Allah SWT yang akan
menyambungkannya dan mendekatkannya di surga," kata Ustaz Hanan.
DAFTAR PUSTAKA
https://republika.co.id/berita/q8oih2313/silaturahim-di-masa-pandemi
https://news.detik.com/berita/d-5023166/tips-silaturahmi-saat-pandemi-sesuai-protokol-
kesehatan-cegah-covid-19
https://thr.kompasiana.com/achmadhumaidy/5eac4d46097f362e691c1c32/silaturahmi-setiap-
hari-di-masa-pandemi