Anda di halaman 1dari 22

BAB XII

Islâm Dan Indonesia

A. Awal Masuk Dan Tersiarnya Islâm Di Indonesia


Menurut Hamka, Islâm masuk ke Indonesia secara berangsur- angsur dan
dimulai pada abad ketujuh Masehi. Agama Islâm datang ke Indonesia dengan dibawa
oleh saudagar-saudagar Islâm. Saudagar-saudagar tersebut bukan hanya dari Arab saja,
melainkan ada yang berasal dari Persia dan Gujarat.1
Muhammad Said membuat kesimpulan, sumber-sumber sejarah Arab
mengatakan bahwa Islâm sudah sampai di Sumatra sejak abad sembilan. Pada abad
tersebut di berbagai bandar sudah banyak pendatang Arab yang beragama Islâm.
Sebaliknya, menurut sumber-sumber orang luar (Arab dan Tionghoa) Islâm masuk ke
Indonesia pada abad pertama Hijriyah yakni sekitar abad tujuh sampai dengan abad
kedelapan.2
Haji Abu Bakar Aceh memberi kesimpulan, Islâm masuk ke Indonesia pertama
kali di Aceh. Penyiar Islâm pertama tidak hanya dari India dan Gujarat, akan tetapi ada
dari bangsa Arab. Mazhab pertama yang dipeluk di Aceh adalah Syiah dan Syafi’i.3
Muljana menyimpulkan bahwa Islâm masuk ke Indonesia pada abad kedua
belas. Hal ini dikarenakan pada akhir abad kedua belas ditemukan kerajaan Islâm yang
bernama Perlak di daerah pantai timur Sumatra. Kerajaan itu diberi nama Peureulak
karena didirikan oleh para pedagang asing dari Maroko, Persi, Gujarat, dan Mesir yang
sejak awal abad kedua belas sudah menetap di sana.4
Selain pendapat-pendapat para sejarawan diatas ada juga beberapa teori lain
yang menyebutkan tentang masuknya Islâm ke Indonesia. Teori-teori tersebut
diantaranya adalah teori Gujarat, teori Makkah, dan teori Persia. Ketiga teori tersebut
tidak membicarakan masuknya Islâm dari setiap pulau tapi hanya menganalisis dari
Sumatra dan Jawa. Sebab dua wilayah itu yang merupakan sampel wilayah Nusantara
lainnya. Dalam teori Gujarat menyatakan bahwa Islâm masuk ke Nusantara dibawa
oleh para pedagang dari Gujarat. Kemudian, Islâm masuk ke Indonesia sekitar abad
ketiga belas. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya batu nisan pertama Sultan
kerajaan Samudra, yakni Malik al-Saleh yang wafat 1297. Teori Makkah merupakan
suatu teori yang dihasilkan dari koreksi dan kritik Hamka. Teori yang ketiga adalah
teori Persia, teori ini lebih memfokuskan pada kebudayaan yang hidup dalam
masyarakat Islâm Indonesia yang dirasakan memiliki persamaan dengan Persia. Dalam
teori Persia dijelaskan bahwa Islâm masuk ke Indonesia pada abad ketiga belas dengan
dibawa oleh saudagar dari Gujarat. Jika kita melihat, teori Gujarat dan Persia itu
mempunyai kesamaan. Perbedaan dalam kedua teori ini terletak pada ajarannya.
Dalam teori Gujarat dijelaskan bahwa Islâm mempunyai kesamaan ajaran dengan
mistik India. Namun, dalam teori Persia memandang bahwa adanya kesamaan ajaran
sufi Indonesia dengan ajaran sufi Persia.5
Dari semua pendapat-pendapat di atas kita dapat menyimpulkan bahwa
menurut pendapat yang paling kuat Islâm masuk ke Indonesia pada awal abad
pertama Hijriyah yakni abad tujuh Masehi. Sebaliknya, ada pendapat lain yang
mengatakan bahwa Islâm masuk ke Indonesia pada abad ketiga belas dan masuknya ke
Indonesia pertama kali dibawa oleh saudagar-saudagar dari Arab.
Rosyidin Wahab mengatakan bahwa Islâm masuk ke Indonesia dengan proses
damai. Islâm berkembang di Indonesia melalui beberapa jalan, diantaranya: (a) Jalur
perdagangan, (b) lembaga pendidikan, dan (c) pondok pesantren.6
Beliau juga menjelaskan bahwa kedatangan Islâm di Indonesia dikembangkan
melalui jalur perdagangan dan daerah yang pertama didatangi oleh Islâm adalah
Sumatra dan Jawa.Hal ini didasarkan adanya perdagangan Arab dan dunia timur yang
berlangsung sejak abad kedua sebelum Masehi. Selain itu, adanya berita dari Cina
bahwa di Sumatra Barat terdapat seorang pembesar Arab yang menjadi kepala Arab
Islâm pada tahun 674 Masehi.7
Selain dikembangkan melalui jalan perdagangan, Islâm juga disebarkan melalui
jalan pendidikan. Ini dibuktikan dengan adanya lembaga pendidikan, lembaga tersebut
sekarang masih ada, seperti: pondok pesantren, masjid, surau, dan sebagainya. Adanya
pondok pesantren membuat agama Islâm melakukan pembaharuan dalam masyarakat,
budaya, dan kehidupan beragama.8 Menurut Anshari, “Kedatangan Islâm ke Indonesia
ini membawa kecerdasan dan peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian
bangsa Indonesia”.9
Selanjutnya, menurut Wahab, kehidupan pondok pesantren zaman sekarang
dengan pondok pesantren zaman dahulu telah mengalami perubahan dalam sistem
pendidikannya atau keadaan lainnya. Dalam pendidikan zaman dahulu para santri
diwajibkan tinggal di asrama pondok, hal inilah yang menyebabkan adanya jalinan
kasih sayang yang kuat diantara para murid dan pendidik.10
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa Islâm dibawa dan disebarkan bukan
dengan kekerasan, melainkan dengan perdamaian dan hal itu pulalah yang membawa
Islâm mudah diterima oleh rakyat Indonesia.
Menurut para pakar sejarah, hal-hal yang terkait dengan perkembangan
masuknya Islâm di Indonesia adalah permulaan abad pertama Masehi yang para
pedagang asing seperti Tiongkok, India, dan Arab mulai berlayar melalui pelayaran
Indonesia. Kemudian setelah Islâm lahir dan berkembang di Arab, akhirnya masuk
juga di negara Indonesia pada abad ketujuh Masehi. Islâm masuk ke Indonesia pertama
di daerah Sumatra dibawa oleh pedagang Persi, India, dan juga utusan dari bangsa
Arab.11
Para ahli yang mengatakan Islâm masuk di Sumatra pada abad ketujuh Masehi
antara lain: Sayid Alwi bin Tahir Al-Haddad Mufsi, H. M. Zaenudin (beliau
mengatakan bahwa pada abad ketujuh saat Rasulullah masih hidup dan singgah
pertama di Sumatra Utara yaitu Kampung Lamuri), dan H. Zaenal Arifin Abbas, (beliau
menerangkan bahwa pada tahun 684 Masehi ada seorang pemimpin Arab Islâm yang
berangkat ke Tiongkok dan beliau sudah punya pengikut di Sumatra Utara).
Menurut para ahli masuknya Islâm di Sumatra adalah pada abad ketujuh
Masehi. Hal ini dapat dibuktikan melalui peninggalan-peninggalan yang ditemukan,
seperti di daerah Minangkabau Timur yang terdapat beberapa batu nisan yang
diperkirakan dibuat pada abad ketujuh Masehi. Selain itu, di daerah Barus dan Riau
terdapat kuburan besar dari ulama penyiar Islâm yang mempunyai tanda batu-batu
besar yang bergambar bulan bintang. Di daerah Riau juga ada nama-nama daerah
yang bersifat ke Arab-araban, seperti: kota Kutib, Iskandariyah, Kuffah, dan
sebagainya. Sedangkan, di daerah Barus Tapanuli ditemukan batu yang bertuliskan
huruf Arab, yang isinya adalah pencarian empat murid terhadap gurunya yang
mengajar Islâm di Barus. Batu itu diperkirakan dibuat pada abad ketujuh Masehi.
Islâm tidak hanya berkembang di Sumatera, akan tetapi juga di Jawa.
Perkembangan Islâm di Jawa disebarkan oleh para wali Sembilan (wali songo) yang
hidup pada masa kesultanan Demak yang terjadi antara tahun 1500 sampai dengan
1550. Para wali tersebut dalam pemerintahan bertugas sebagai penasihat raja. Wali-wali
tersebut antara lain: Wali yang mengembangkan Islâm di Jawa Timur adalah Maulana
Malik Ibrahim, Raden Rahmat (Sunan Ampel), Sunan Giri (Maulana Ainul Yakin).
Selanjutnya, Wali yang mengembangkan Islâm di Jawa Tengah adalah Sunan Kalijaga,
Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Muria, Syaikh Siti Jenar. Selain itu,
Wali yang mengembangkan Islâm di Jawa Barat adalah Sunan Gunung Jati (Fatahillah).

B. Sumbangan Umat Islâm Dalam Meraih Kemerdekaan Indonesia


Perjuangan untuk memperolah “Kemerdekaan Indonesia” tidaklah muncul
begitu saja, namun melalui proses perjuangan panjang yang telah mendahuluinya.
Kedatangan bangsa Eropa yang tidak bersahabat, mereka datang membawa bedil dan
meriam, dengan pendekatan perang.12 Dengan semboyan Gospel-Gold-Glory
(penyebaran Bible/Kristenisasi, mencari kekayaan/eksploitasi, dan mencari daerah
jajahan/kejayaan), mereka dengan politik Devide et Impera memecah belah masyarakat
di Indonesia, sedikit demi sedikit menguasai wilayah Indonesia ini.
Perjuangan umat Islâm melawan penjajahan kolonial Portugis, Belanda, dan
Inggris dimulai dari kerajaan-kerajaan Islâm, dan kemudian diteruskan oleh
perjuangan rakyat semesta yang dipimpin sebagian besar oleh para ulama.Jadi
perjuangan ini dirintis sejak dari perlawanan kerajaan-kerajaan Islâm, kemudian
diteruskan dengan munculnya pergerakan sosial di daerah-daerah, yaitu perlawanan
rakyat terhadap kolonial/penjajahan dan para agen-agennya, sampai dengan
munculnya kesadaran bernegara yang merdeka.
Dalam perjuangan di kawasan Nusantara, khususnya Indonesia yang mayoritas
penduduknya muslimin, maka peranan Ajaran Islâm dan sekaligus Umat Islâmnya
punya arti yang sangat penting dan tidak dapat dihapus dalam panggung sejarah
Indonesia.
Ajaran Islâm yang dipeluk oleh sebagian besar rakyat Indonesia telah
memberikan kontribusi besar, serta dorongan semangat, dan sikap mental dalam
perjuangan kemerdekaan. Tertanamnya “Ruhul Islâm” yang di dalamnya memuat
antara lain: (1) Jihad fi Sabilillah, telah memperkuat semangat rakyat untuk berjuang
melawan penjajah13. Dengan semangat Jihad, umat akan melawan penjajah yang
dzalim, termasuk perang suci, bila wafat syahid, surga imbalannya.(2) Ijin Berperang
Dari Allah SWT. (QS Al-Haj: 39) “Telah diijinkan berperang bagi orang-orang yang
diperangi, sesungguhnya mereka itu dijajah/ditindas, maka Allah akan membela mereka ( yg
diperangi dan ditindas)”. (3) Symbolbegrijpen (Simbol kalimat yang dapat menggerakkan
rakyat), yaitu “Takbir” Allahu Akbar, selalu berkumandang dalam era perjuangan umat
Islâm di Indonesia. (4) Slogan “Hubbul Wathon minal Iman”, cinta tanah air sebagian dari
Iman, menjadikan semangat Partiotik bagi umat Islâm dalam melawan penjajahan.
Pada kesimpulannya Dr. Douwwes Dekker ( Setyabudi Danudirdja) menyatakan
bahwa:“Apabila Tidak ada semangat Islâm di Indonesia, sudah lama kebangsaan yang
sebenarnya lenyap dari Indonesia”.14Dengan demikian ajaran Islâm yang sudah
merakyat di Indonesia ini, punya peranan yang sangat penting, berjasa, dan tidak dapat
diabaikan dalam perjuangan di Indonesia.
Umat Islâm Indonesia punya peranan yang menentukan dalam dinamika
perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan. Dalam perjuangan ini dapat dibagi
menjadi; (a) Perjuangan Kerajaan – Kerajaan Islâm melawan Kolonial, dan (b)
Perjuangan Rakyat dipimpin oleh para ulama.

Pertama: Perjuangan Kerajaan-Kerajaan Islâm melawan Kolonial


Dimulai sejak awal masuknya bangsa barat dengan pendekatan kekuatan yang
represif (bersenjata), maka dilawan oleh karajaan-kerajaan Islâm di kawasan Nusantara
ini. Perjuangan ini antara lain: Malaka melawan serangan Portugis (1511), diteruskan
oleh Ternate di Maluku (Portugis berhasil dihalau sampai Timor Timur), kemudian
Makasar melawan serangan Belanda(VOC), Banten melawan serangan Belanda (VOC),
dan Mataram Islâm juga melawan pusat kekuasaan Belanda(VOC) di Batavia (1628-
1629) dan masih banyak lagi. Mereka gigih, dan Belanda pun kalangkabut, namun
setelah ada politik “Devide Et Impera” (pecah belah), satu persatu kerajaan ini dapat
dikuasai.
Meskipun demikian semangat rakyat tidak pudar melawan penjajahan kolonial,
maka selanjutnya perjuangan melawan penjajahan diteruskan oleh rakyat dipimpin
Ulama.

Kedua: Perjuangan Rakyat Dipimpin oleh Para Ulama


Setelah kaum kolonial berhasil menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia,
namun umat Islâm bersama para ulamanya tidak berhenti melawan penjajahan.
Munculah era Gerakan Sosial merata di seluruh pelosok tanah air. Ulama sebagai Elite
Agama Islâm memimpin umat melawan penindasan kedzaliman penjajah. Sejak dari
Aceh muncul perlawanan rakyat dipimpin oleh Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Cut
Nya’ Dhien; di Sumatera Barat muncul Perang Paderi dipimpin oleh Imam Bonjol;
Perlawanan KH.Hasan dari Luwu; Gerakan R. Gunawan dari Muara Tembesi Jambi;
Gerakan 3 Haji di Dena Lombok; Gerakan H. Aling Kuning di Sambiliung Kal-Tim;
Gerakan Muning di Banjarmasin; Gerakan Rifa’iyah di Pekalongan; Gerakan KH. Wasit
dari Cilegon; Perlawanan KH.Jenal Ngarib dari Kudus; Perlawanan KH.Ahmad Darwis
dari Kedu; Perlawanan Kyai Dermojoyo dari Nganjuk; dan juga perlawanan P.
Diponegoro, masih banyak lagi.
Dari perlawanan itu, sesungguhnya pihak Belanda sudah goyah kekuasaaanya,
sebagai bukti tiga perlawanan: Rakyat Aceh, Sumatera Barat, dan Java Oorlog
(Diponegoro) telah mengorbankan: 8000 tentara Belanda mati dan 20.000.000 Gulden
kas kolonial habis. Oleh karena itu, mereka kemudian mencari jalan lain, yaitu
mengubah politik kolonialnya dengan pendekatan “Welfere Politiek” (Politik
Kemakmuran) untuk menarik simpati rakyat jajahan.Namun, pada kenyataannya
politik itu dijalankan dengan perang kebudayaan dan idiologi, terutama untuk
memecah dan melemahkan potensi umat Islâm Indonesia yang dianggapnya musuh
utama pemerintah kolonial.
Sebelum memasuki era Pergerakan Nasional, pihak kolonial mencoba politik
Etische, yang diperkenalkan oleh Van Deventer; dan Politik Assosiasi,yang diajukan
oleh Christian Snouck Hurgronje; serta Politik De Islâmisasi (Dutch Islâmic Polecy),yang
diperkenalkan oleh Christiaan Snouck Hurgronje. Kelihatannya politik itu humanis
untuk kesejahteraan rakyat, namun karena landasannya tetap kolonialisme, maka
jadinya tetap eksploitatif dan menindas rakyat.
Khusus politik De Islâmisasi sangat merugikan umat Islâm, karena: (a) Memecah
umat Islâm jadi dua dikotomi Abangan dan Putihan, (b) Membenturkan Ulama dengan
Pemuka Adat, (c) Memperbanyak sekolah untuk mendidik anak-anak umat Islâm, agar
terpisah dari kepercayaan pada agama Islâmnya, (d) Menindas segenap gerakan politik
yang berdasar Islâm, (e) Membikin masjid dan memberangkatkan haji gratis untuk
meredam gerakan Islâm.15
Akibat dari politik kolonial di atas, maka perjuangan melawan kolonial menjadi
terpecah. Menurut Thesis Endang Syaifuddin Anshari, MA, perjuangan di Indonesia
terpecah jadi dua kelompok besar yaitu: Nasionalis Islâmi dan Nasionalis Sekuler.
Kondisi inilah sampai sekarang masih tampak dalam dinamika perpolitikan kita.
Sebagai salah satu yang penting pelopor awal Pergerakan Nasional di Indonesia
ialah umat Islâm, yaitu pada tanggal 16 Oktober 1905, lahir Sarekat Dagang Islâm
(SDI)16, yang kemudian th. 1912 jadi Sarekat Islâm (SI), sebagai gerakan Ekonomi dan
politik. Pada Tanggal 18 November 1912, lahir Muhammadiyah sebagai gerakan Sosial
Keagamaan, dari lembaga pendidikannya menghasilkan pimpinan bangsa Indonesia
yang menentang Belanda,kemudian selanjutnya Jami’atul Khoir, Al-Irsyad, Jong Islâmieten
Bond (1922), Persatuan Islâm (Persis) tahun 1920, Nahdhatul Ulama (1926), dan lainnya
adalah dalam kategori nasionalis Islâmi, yang kesemuanya punya andil dalam
melawan Belanda. Di samping itu lahirlah Boedi Oetomo, 20 Mei 1908, dan Indische
Partij (1912), Jong Java, PKI, Perhimpunan Indonesia (PI), PNI (1927) dan sebagainya,
adalah dalam kategori nasionalis sekuler.17
Dalam menghadapi gerakan umat Islâm, Belanda menggunakan “Christening
Politiek”,18namun tidak berhasil. Ketika gencarnya SI menuntut “Boemi Poetera
Zelfbestuur” (Bangsa Indonesia berpemerintahan sendiri), dengan gerakan Rapat Akbar
dan pemogokan yang dilakukan hampir merata di pelosok kepulauan Indonesia, maka
Belanda grogi dan segera bertindak. Untuk menghadapi gelombang gerakan umat
Islâm itu, maka upaya Politik Belanda dengan mendatangkan virus komunis
menggunakan tokoh-tokoh komunis Belanda Snevliet, Barandesteder, Ir. Baars, Brigsma
dan Van Burink, didatangkan ke Indonesia untuk menghadapi Islâm di Indonesia.
Tokoh-tokoh komunis itu kemudian mengkader Semaun, Alimin Dharsono & Tan
Malaka, disusupkan ke SI, terjadilah pembusukan dari dalam, pecahlah SI jadi dua: SI
Putih yang asli, dan SI Merah yang komunis bergabung dengan ISDV (Indische Socialis
Democratische Vereeniging) jadi PKI (23 Mei 1920). Mulai dari sinilah, maka umat Islâm
berhadapan terus dengan komunis.19
Pada tahun 1937 organisasi-organisasi Islâm bersatu membentuk MIAI (Majlisul
Islâm A’la Indonesia), diprakarsai oleh Muhammadiyah, NU, Persis, Al-Washliyah dan
lainnya. Pada zaman Jepang MIAI diubah namanya jadi MASJUMI (Majlis Syuraa
Muslimin Indonesia), dan memiliki pasukan Hizbullah Sabilillah, sebagai modal
perjuangan bersenjata di kemudian hari.
Pada saat mempersiapkan kemerdekaan dalam BPUPKI disidangkan konsep
dasar negara, muncul konsep Moh.Yamin, Soepomo, dan Soekarno yang telah diajukan,
namun sidang belum menerima, kemudian dibentuklah panitia Ad Hock (9 anggota),
yang memutuskan Rumusan Piagam Djakarta 22 Juni 1945 (Djakarta Charter). Rumusan
itu melalui debat yang panjang akhirnya disetujui pada tanggal 16 Juli 1945.20
Namun, pada tanggal 18 Agustus 1845, keputusan itu dianulir atas usul Opsir
Jepang mengatasnamakan utusan dari Indonesia Timur, yang menyatakan bahwa bila
kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syareat Islâm bagi pemeluknya” tidak
diubah, maka Indonesia Timur akan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dengan demikian, Hatta melobi para ulama agar dapat mengubah Piagam
Djakarta demi persatuan Nasional RI. Pada awalnya para ulama tidak setuju, sebab itu
sudah keputusan BPUPKI sebagai konsensus nasional, namun demi toleransi dan
menjaga negara RI dari perpecahan, akhirnya disepakati dengan kalimat: “Ketuhanan
Yang Maha Esa“.21

C. Sumbangan Umat Islâm Dalam Mengisi Kemerdekaan Indonesia


Dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, umat Islâm punya peranan penting, yaitu;Pertama, secara fisik Umat Islâm
dengan Lasykar Hisbullah-Sabilillah, kemudian diteruskan Asykar Perang Sabil (APS)
dan lasykar Islâm lainnya di daerah, gigih berjuang membantu TKR (TNI) untuk
mempertahankan NKRI dengan perang gerilnya melawan Sekutu-NICA (Netherland
Indie Civil Administration, Belanda) yang akan kembali berkuasa di Indonesia.
Secara fisik pula Lasykar Hisbullah-Sabilillah yang kemudian diteruskan oleh
Markas Ulama Asykar Perang Sabil (APS) bersama pasukan TNI dari Siliwangi
melawan Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) 18 September 1948 (dipimpin
oleh Muso dan Amir Syarifuddin), yang akan menghancurkan NKRI dan akan
membentuk Pemerintahan Komunis Indonesia, menjadi bagian atau satelit dari
Commitern Komunis Internasional yang berpusat di Moskow,Rusia. Pemberontakan
PKI 1948 ini berjalan secara biadab, membantai para ulama dan santri, membantai
kaum nasionalis, membantai pamongpraja, dapat digambarkan ada suatu gedung
untuk pembantaian yang darahnya menggenang sampai satu kiloan. Dengan adanya
kerjasama antara kelasykaran umat Islâm, kelasykaran kaum nasionalis, dengan TNI
berhasil menghancurkan kekejaman dan kebiadaban Pemberontakan PKI 1948.
Setelah kemerdekaan dan adanya maklumat Wakil Presiden X/1946, bangsa
Indonesia dipersilahkan mendirikan partai politik. Dalam hal ini pada awalnya aspirasi
politik umat Islâm ditampung dalam satu wadah, meneruskan namanya yaitu Majelis
Syuraa Muslimin Indonesia (Masyumi), dalam ikrar persatuan umat Islâm ”Panca Cita”.
Kedua, dalam proses perjuangan diplomasi ada beberapa perundingan antara
lain Linggajati, Renfille, Roem-Royen, dan KMB. Pada perundingan Renfille wilayah
NKRI menjadi sempit, dan berdirilah negara-negara bagian lain sebagai negara boneka
Belanda, dan lebih parah lagi Yogyakarta sebagai Ibukota NKRI diduduki
Belanda.Secara spontan dan bertanggung jawab Mr.Syafruddin Prawiranegara
(Masyumi) mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) 19 Desember
1948 di Sumatera Barat.22
Adanya perlawanan gerilya bangsa Indonesia yang tiada hentinya ( termasuk
perebutan Jogjakarta dari tangan Belanda tanggal 1 Maret 1948), maka PBB meminta
genjatan senjata dan diadakan perundingan lagi, yaitu Roem – Royen. Dalam
perundingan itu deplomasi Mr.Moh.Roem berhasil menggiring pihak Belanda untuk
antara lain: (a) Mengembalikan Ibukota RI Yogyakarta; (b) Pembebasan Soekarno-Hatta
dan para menteri yang ditawan Belanda; (c) Menyelenggarakan Konfrensi Meja Bundar
(KMB), dan (d) Belanda mengakui keberadaan RI.23
Pada KMB Belanda mengakui eksistensi Republik Indonesia Serikat, yang masih
memiliki negara-negara bagian (boneka) dibawah pengaruh Belanda.Presiden Soekarno
jadi Presiden RIS, sedangkan Mr. Assa’at jadi Presiden Republik Indonesia(RI) kedua,
bagian dari RIS.Dalam rangka menyatukan Indonesia kembali, tokoh umat Islâm
Muhammad Natsir (Masyumi) mempelopori “Mosi Integral Natsir” yang isinya untuk
kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)”. Mosi integral Natsir
ini mendapat dukungan sebagain besar anggota kabinet dan Presiden Soekarno,
meskipun Anak Agung Gede Agung dan Sultan Hamid II tidak mau ikut tanda tangan
mendukung, akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1950, Presiden Soekarno berdasarkan
mosi itu memberanikan diri menyatakan kembali ke Negara Kesatuan Republik
Indonesia.24
Undang-undang Dasar 1945 menggambarkan bahwa NKRI adalah negara
demokrasi, namun formulasi demokrasi yang bagaimana bentuknya masih dalam
pencarian. Apakah Demokrasi Liberal, apakah Demokrasi Sosialis, ataukah Demokrasi
Theokrasi?.Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap (dari Masyumi) Indonesia
mengadakan pemilihan umum pertama di tahun 1955, diikuti hampir + 100 partai,
disaksikann oleh PBB. Dalam pemilu itu muncul 4 kekuatan partai besar yaitu rangking
pertama PNI dan Masyumi suaranya berimbang, disusul NU, kemudian PKI. Hasil dari
Pemilu itu adanya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan kemudian pemilu kedua
menghasilkan Konstituante (pembuat Konstitusi/ UUD).
Dalam Konstituante memang ditawarkan dan untuk menjaring aspirasi rakyat
dalam menentukan UUD baru yang aspiratitf rakyat Indonesia. Berbagai golongan
masyarakat yang diwakili oleh partainya menyampaikan usulannya, sehingga
mengerucut pada UUD pertama 1945 namun pada Preambulenya ada yang mengacu
keputusan Sidang BPUPKI 16 Juli 1945, yaitu Piagam Djakarta, dan mengacu dari
keputusan PPKI 18 Agustus 1945, dengan suara berimbang, namun tidak dapat
memenuhi 75% suara untuk dapat memutuskannya, sehingga selalu tidak dapat
diputuskan. Akhirnya pihak Militer (A.H. Nasution) membuat konsep Dekrit Presiden,
kemudian diterima oleh Bung Karno, maka pada tanggal 5 Juli 1959 Dekrit Presiden itu
dideklarasikan, isinya antara lain: (a) Pembubaran Konstituante; (b) Kembali pada UUD
1945, dan Piagam Djakarta sebagai yang menjiwai UUD 1945; (c) Bentuk Negara
Demokrasi Terpimpin.
Munculnya Dekrit Presiden ini untuk sementara dapat meredam perbedaan
pendapat dalam konstituante, namun juga berdampak menjadi awalnya bentuk
pelaksanaan pemerintahan yang otoriter, kekuasaan tunggal di tangan presiden. Hal ini
terbukti, ketika Presiden Soekarno mengajukan RAPBN ke DPR hasil Pemili 1955, oleh
karena kondisi negara belum mampu, maka ditolak DPR dan diminta untuk diperbaiki,
namun dengan pendekatan kekuasaan Bung Karno membubarkan DPR hasil pemilu,
dan kemudian dengan kekuasaanya pula presiden Soekarno menyusun DPR baru atas
tunjukannya dengan diberi nama DPRGR.
Tokoh-tokoh umat Islâm menentang sikap otoriter ini, namun kemudian
ditangkapi dan dipenjara. Dari beberapa kasus yang menentang otoriter kekuasaan
pada waktu itu, ditangkapilah tokoh-tokoh Islâm antara lain Mr.Prawoto
Mangkusasmito; Mr. Mohammad Roem; KH Muhammad Natsir; KH E.Z. Muttakin;
Mr. Kasman Singodimejo; dan Hamka dan lainnya , mereka disiksa , dan tidak diproses
hukum melalui pengadilan.25
Dari tahun 1960 sampai 1965 situasi negara dalam keadaan tegang, akibat
adanya iklim antagonis dalam masyarakat. Polarisasi NASionalis + Agama + KOMunis
(NASAKOM) yang dicetuskan pemerintah menjadi kekuatan yang saling benturan.
Pendekatan kaum Komunis (PKI) pada pemerintah banyak digunakan untuk
menghantam umat Islâm dan gerakan Islâm. Muncul istilah Ganyang Kontra Revolusi,
Ganyang 7 Setan desa (salah satunya haji). PKI mengadakan Aksi Sepihak, yaitu
menyerobot dan menduduki tanah milik umat Islâm, milik pesantren dsb untuk
dibagikan pada para pendukungnya, sedangkan bila terjadi perlawanan diadakan teror
dan sampai pembunuhan.26
Setelah PKI merasa kuat dan siap untuk mengambil alih kekuasaan, menyiapkan
angkatan ke-5, Buruh Tani dipersenjatai, import senjata jenis Tschung dari RRChina,
banyak mengadakan pelatihan militer di beberapa daerah, dan mengadakan aksi
sepihak menduduki tanah-tanah perusahaan dan tanah masyarakat, serta mengadakan
teror dan pembantaian terhadap lawan politiknya. Menyerang tempat-tempat Ibadah
menginjak-ijai kitab suci Al Qur’an, seperti peristiwa Kanigoro, Bandar Betsy, menteror
dan menangkapi seniman Manikebu lawannya Lekra (PKI), Puncaknya meletuslah
Pemberontakan G.30.S. / PKI. Digerakkan oleh Dewan Revolusi yang berisi tokoh-
tokoh PKI (DN Aidit, Sam Qomaruzaman, Nyoto, Nyono, Istiajid, dan sebagainya)
sebagai pengendali gerakannya (Surat Perintah Comite Central/ CC PKI No. 13/ P1 /
65, tanggal 28 Septembar 1965, isinya Perintah mendirikan Dewan Revolusi Daerah).
Pemberontakan G.30.S. /PKI telah membantai kalangan ABRI, para Santri dan Kyai di
pedesaan, pemuka agama lainnya termasuk di Bali, mereka telah disediakan sumur-
sumur untuk penguburannya.
Ummat Islâm membentuk Kogalam (Komando Kesiapsiagaan Umat Islâm) dan
GEMUIS (Generasi Muda Islâm), Organisasi-organisasi Islâm mendirikan pasukan
Banser, Kokam, Brigade PII, Korba HMI, dan sebagainya, sebagai kekuatan untuk
menghadapi pemberontakan PKI 1965 itu. Gerakan pemberontakan G.30.S./PKI di
pusat maupun daerah-daerah berhasil ditumpas, sehingga selamatlah negara Republik
Indonesia dari usaha dijadikan negara komunis.
Situasi negara mulai ada perubahan, masyarakat menyadari akan bahaya laten
komunis, dan membuka lembaran baru dalam kehidupan negara yang memiliki nuansa
keagamaan atau religiositas yang memang sebagai jati diri Bangsa Indonesia. Dengan
adanya Ketetapan MPRS No.XXV/ 1966, Partai Komunis Indonesia (PKI) dan
orderbow-nya dibubarkan, ajaran Komunisme –Marxistme dilarang untuk seluruh
Indonesia.
Pada awal kebangkitan Orde Baru adalah dalam rangka kembali kepada UUD
1945 dan Pancasila secara murni dan konsekwen, memperbaiki stuktur birokrasi dan
demokrasi bersih dan sehat. Pada awalnya umat Islâm memberikan dukungan,
memang umat Islâm untuk sementara merupakan eksponen dan dijadikan tumpuan.
Namun pada proses perjalanan sejarah selanjutnya eksponen umat Islâm mulai
ditinggal, dan bahkan gerakan umat Islâm mulai dimandulkan, bahkan berusaha untuk
dibersihkan.
Gerakan politik Islâm dilikwidasi sedikit demi sedikit posisinya bahkan
dimandulkan, mulai Pemilu 1971 yang penuh rekayasa dan ”Bolduser”, menekan umat
Islâm dan politisi lain untuk memenangkan Golkar. Maka berhasilah menguatkan
posisi kekuasaan Suaharto, yang selanjutnya akan kembali menjadi penguasa tunggal
yang otoriter sampai tahun 1998.27
Pemerintahan Orde Baru kemudian banyak meninggalkan potensi umat Islâm,
justru merangkul kekuatan minoritas di Indonesia yang ”diridhoi oleh Amerika” serta
sekutunya. Sebagai puncaknya kebijakan terhadap umat Islâm adalah dilarangnya
partai dan organisasi massa memakai asas Islâm. Kebijakan ini sama dengan yang
dilakukan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda atas nasehat Snouck Hurgronje
untuk membatasi gerakan umat Islâm di Indonesia. Kebijakan pemerintah Orde baru
terhadap politik Islâm itu berdampak antara lain:
1. Peranan politik umat Islâm yang mengusung cita-cita Islâm tidak mendapat
tempat yang layak, bahkan dikerdilkan dengan cara rekayasa politik. Dengan
menggunakan berbagai macam skenario politik untuk menyudutkan dan
memberi gambaran citra negatif bagi perjuangan umat Islâm Indonesia. Sebagai
contoh, dimunculkanlah skenario Komando Jihad, Teror Warman, dan
sebagainya, yang kesemuanya itu memancing umat Islâm untuk bertindak
kekerasan, kemudian didzalimi. Dimunculkannya peristiwa-peristiwa penuh
rekayasa seperti, Tanjung Priuk (600 umat Islâm dibantai); Talangsari
(pembantaian kyai dan sastri serta penduduk desa di Lampung); pembajakan
Pesawat Wayola, dan masih banyak lagi peristiwa di daerah-daerah yang
menjadi korbannya umat Islâm. Dalam bidang politik formal kekuatan realitas
umat Islâm terus ditekan, dan dengan penuh rekayasa dikerdilkan, sehingga
partai politik di DPR dan MPR tidak dapat berkutik (dibikin kecil).28
2. Di kalangan umat Islâm mencari jalan lain (tidak melalui politik praktis), yaitu
lebih menggiatkan gerakan Dakwah – Sosial – Pendidikan dan Kebudayaan.
Munculah gerakan Dakwah di berbagai lapisan masyarakat dan pelatihan-
pelatihan secara intens dalam memahami Islâm Penanaman Nilai dasar Islâm
(PNDI), lahirnya Lembaga Dakwah Kampus (LDK) seperti Jama’ah Salman
(ITB), Jamaah Shalahuddin (UGM), dan sebagainya. Gerakan Sosial
meningkatkan kepedulian pada kaum fakir-miskin-yatim piatu dan kaum
mustadh’afin, munculnya lembaga-lembaga sosial dan pendidikan baru di
kalangan umat Islâm. Dalam bidang pendidikan berkembang dengan lahirnya
lembaga-lembaga pendidikan baru termasuk maraknya pertumbuhan perguruan
tinggi Islâm di Indonesia, dan adanya peningkatan penerbitan buku-buku dan
media Islâm lainnya. Lahirnya lembaga-lembaga Seni-Budaya Islâm dengan
karya-karyanya, lebih maraknya pemakaian busana muslim dan muslimah
(pemakian Jilbab diterima olah masyarakat dan banyak diikuti).29
Pemerintah Orde Baru yang selalu phobi pada gerakan Islâm, kemudian
membuat kebijakan antara lain pembatasan gerakan dakwah, dengan mewajibkan izin
dan mubaligh/da’i nya diseleksi oleh pemerintah dengan wajib menggunakan SIM
(kartu Surat Ijin sebagai Mubaligh), dan pengawasan ketat, serta kemudian juga
melarang kegiatan dakwah di kampus-kampus. Pemerintah Orde baru juga melarang
pemakaian Jilbab di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, di lembaga pemerintahan,
dan mencitrakan bahwa pemakaian Jilbab itu adalah kaum Islâm Radikal. Meskipun
peraturan ini dilakukan dengan pengawasan ketat dan represif, namun arus deras dari
masyarakat Islâm yang mendukung lebih kuat, sehingga pemerintah Orde Baru tidak
mampu mengatasinya.
Dalam rangka membendung arus kesadaran ber-Islâm yang lebih intens ini,
pemerintah Orde Baru menggunakan berbagai macam skenario politik untuk menjebak
aktivis-aktivis umat Islâm agar berbuat radikal, sehingga citra Islâm terus negatif di
Indonesia. Meski demikian hanya sebagian kecil yang dapat terjebak, bagi yang sadar
akan adanya skenario ini lebih baik diam dan menekuni gerakan dakwah,
sosial,pendidikan dan kebudayaan.
Adanya pembukaan hubungan dengan luar-negeri ( khususnya Amerika-Eropa-
dan Jepang), Orde Baru banyak menerima ”Bantuan” alias Hutang. Selain itu pula
pemerintah juga mengontrakkan sumber minyak dan tambang lainnya termasuk
Freeport, sehingga pemerintah Orde Baru banyak mengantongi hasilnya. Kelihatannya
dapat meningkatkan kemakmuran dan penghasilan negara, namun ternyata hanya
semu. Pemerintah Orde Baru yang merasa tertolong dengan modal asing itu, kemudian
banyak meninggalkan umat Islâm (sebagai Ekonomi golongan menengah kebawah
yang realistis penyangga perekonomian Indonesia ).
Umat Islâm dalam bidang ekonomi menduduki golongan pengusaha menengah
ke bawah. Sentra-sentra perekonomian umat Islâm memiliki jaringan sampai pada
ekonomi kerakyatan di lapisan bawah (seperti Ekonomi Pertanian; Tekstil; Batik;
Garmen; sampai ke Industri Kerajinan Rakyat/rumah tangga). Pada zaman
pemerintahan Orde Baru yang banyak bergantung pada Modal Asing, lebih berpihak
pada golongan ekonomi Konglomerat, sehingga sebagian pinjaman modal asing itu
dialirkan pada Konglomerat. Akibatnya ialah, pertama Golongan Konglomerat ini
tangan-tangan guritanya sampai pada lapisan ekonomi menengah kebawah, sehingga
sistem kapitalistik-monopoli berakibat mematikan golongan ekonomi menengah ke
bawah yang sebagian besar adalah umat Islâm.30
Pada akhir hayat pemerintahan Orde Baru, ditengarai setelah pihak asing
kepercayaannya mulai pudar, kemudian pembatasan kucuran dana pinjaman asing,
dan masyarakat mulai tidak respek dan mengecam terhadap permainan politik
pemerintah Orde Baru, maka kedudukannya menjadi lemah. Pada kondisi lemah ini,
pemerintah Orde Baru kelihatannya mulai mendekati umat Islâm melalui tokoh-
tokohnya. Namun, cara-cara pendekatan itu sudah tidak populer lagi, akhirnya terjadi
arus deras untuk diadakan Reformasi. Arus deras Reformasi sebagai lokomotif (salah
satunya Amien Rais) dan pendukung terbesarnya adalah umat Islâm, berhasil
memberhentikan Pemerintahan Orde baru, pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto berhenti
jadi presiden, dan masa transisi untuk sementara digantikan oleh BJ Habibie sampai
dengan pemilihan umum Era Reformasi.
Pada era pemerintahan BJ Habibie yang hanya lebih kurang 1 tahun, berhasil
menekan inflasi yang sebelumnya nilai rupiah terpuruk hingga Rp.15.000,- setiap satu
dolarnya, dapat ditekan menjadi Rp. 6.000,- setiap dolar AS. Namun, adanya efouria
politik yang terus bergelora, akhirnya pada sidang MPR pertanggunganjawabnya tidak
diterima, maka BJ.Habibie tidak mencalonkan diri untuk menjadi presiden kembali.
Pada awal Reformasi umat Islâm pun terimbas adanya efouria politik, sehingga
pada ramai-ramai mendirikan partai, antara lain lahirlah Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB); Partai Amanat Nasional (PAN)31, Partai Bulan Bintang (PBB); Partai Keadilan
(PK); Partai MASYUMI BARU; Partai ABULYATAMA; Partai Syarekat Islâm Indonesia
(PSII),32 dan sebagainya ditambah Partai Persatuan Pembagunan (PPP) yang juga masih
eksis dan punya masa.
Pada Pemilu 1999 PDI P berhasil unggul disusul Golkar, dan baru partai-partai
Islâm dan partai yang basis pendukungnya Islâm.33
Meskipun PDI P unggul dalam pemilu, namun dalam pemilihan presiden tidak
berhasil, MPR memilih suara terbanyak Abdurrahman Wahid, sedangkan wakilnya
baru Megawati. Abdurrahman wahid tidak mulus jadi presiden RI, dengan adanya
berbagai persoalan akhirnya diberhentikan oleh MPR, kemudian digantikan oleh
Megawati dengan mengambil wakil Hamzah Haz dari PPP.
Pada Pemilu 2004, partai-partai Islâm dan yang berbasiskan Islâm pun belum
dapat meraih kemenangan. Pada pemilu ini Golkar pewaris Orde Baru berhasil
menang, sedangkan dalam pemilihan presiden pun dimenangkan oleh SBY dan Jusuf
Kalla (dari Partai Demokrat dan Golkar), sedangkan calon-calon lain yang jelas dari
tokoh-tokoh umat Islâm belum berhasil menang (Amien Rais; Hasyim Muzadi; dan
Sholahuddin Wahid). Dengan keadaan seperti inilah sudah semestinya umat Islâm
perlu muhasabah dan menyusun langkah-langlah yang lebih baik untuk masa
depannya.
Selain politik, juga terjadi euporia liberalisme yang semakin menjadi, pornografi
dan pornoaksi, serta banci merajalela dengan bebas melalui mass media, sehingga
menjadi petaka rusaknya moral bangsa. Mereka menggunakan senjata HAM untuk
kebebasannya. RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi tak kunjung diputuskan, karena
terkendala para pendukung gerakan perusak moral itu. Perjuangan melawan KKN
(Korupsi- Kolusi – Nepotisme) berjalan lamban, stagnan, karena tidak ada ketegasan
dari pemerintah, sehingga kasus BLBI yang memakan uang rakyat + 90 Trilyun pun
belum dituntaskan. Komunisme berusaha hidup kembali, melalui berbagai nama
seperti PRD, PAPERNAS, dan lahir Partai Kemerdekaan Indonesia (PKI), mereka juga
menggunakan senjata HAM untuk berlindung. Menghadapi komunisme pun tidak ada
tindakan tegas dari pemerintah.
Di masa pemerintahan Jokowi - Jusuf Kalla saat ini, gerakan menghidupkan
kembali PKI terasa semakin menggeliat. Lambang palu arit dipromosikan menjadi tren
di kalangan anak muda. Bahkan, muncul gerakan keluarga PKI yang ingin menuntut
pemerintah RI meminta maaf atas penganiayaan yang diterima keluarga PKI bertahun
– tahun, khususnya setalah gagalnya G 30 S PKI. Sayangnya, sebagian dari mereka
yang ada di pemerintahan terkesan diam saja, bahkan membiarkan, jika tidak ingin
disebut membela terhadap isu kebangkitan PKI masa kini.
Pekerjaan rumah terberat yang dihadapi umat Islâm di Indonesia saat ini
tingkatan keadaan ekonomi masyarakat masih tidak seimbang, yang kaya semakin
kaya, yang miskin bertambah miskin. Masyarakat lapisan menengah ke bawah
hidupnya semakin sulit, dan perlu diupayakan kesejahteraannya secara serius. Namun,
ada hal yang dapat jadi hiburan, yaitu berkembangnya Perekonomian Syari’ah yang
diharapkan dapat menjadi alternatif untuk dapat mengobati ketimpangan kehidupan
ekonomi masyarakat Indonesia. Sudah waktunya Ekonomi Syari’ah berpihak pada
masyarakat dhuafa’, untuk ikut berusaha mengentaskan kemiskinan di Indonesia.
Kesadaran umat muslim Indonesia tentang pentingnya kembali ke syari’ah
secara kaffah diharapkan dapat menjadikan sistem keuangan Islâm sebagai tuan rumah
di mayoritas masyarakat muslimiin dewasa ini.

D. Islâm, Umat Islâm, Dan Pancasila


Salah satu masalah yang selalu mengemuka dari masa ke masa adalah tentang
relasi antara Islâm dan Pancasila. Di titik ekstrem yang satu, ada sebagian kalangan
dari umat Muslim menganggap bahwa Pancasila adalah thaghut atau berhala, dan
menerimanya sebagai dasar negara adalah sebuah kemusyrikan. Di titik ekstrem
lainnya ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa Pancasila berada pada
posisi yang superior dibandingkan semua agama dan karenanya, Islâm di Indonesia
pun harus tunduk pada Pancasila. Pihak kedua ini berhaluan sekuler-liberal. Di antara
kedua kelompok tersebut, ada golongan yang tidak mempertentangkan antara Islâm
dan Pancasila.34
Pertanyaan pertama yang perlu dijawab dalam mendudukkan posisi Islâm dan
Pancasila adalah; apakah keduanya mesti dipertentangkan? Baik untuk jawaban “ya”
atau “tidak”.Kita memerlukan dasar pemikiran yang kuat.
Pada kenyataannya, gerakan Islâm di Indonesia kerap kali ditekan dengan
menggunakan Pancasila sebagai dalihnya. Para aktivis dan pergerakan Islâm biasa
disebut ‘Islâmis’, sementara posisi seberangan ada golongan ‘nasionalis’ atau ‘pancasilais’.
Buya Hamka, sebagai ulama-penulis yang sangat produktif banyak
mengekspresikan keprihatinannya pada masa Orde Lama dan Orde Baru, ketika
Pancasila selalu dijadikan alasan untuk mengebiri hak-hak umat Muslim. Simaklah,
misalnya, kenjengkelan beliau dengan mengekspresikan dengan penuh amarah
(padahal Hamka dikenal santun dalam bertutur kata) dalam artikel yang berjudul
“Pancasilais Munafik”:“Bertahun-tahun lamanya dasar negara Pancasila itu dipermainkan di
ujung bibir dan telah dimuntahkan dari hati. Menjadi isi dari pidato untuk orang banyak, tetapi
dilanggar dalam tindakan hidup sehari-hari, dipandang khianat orang lain yang dituduh tidak
setia kepada Pancasila, dan orang yang tidak berdaya itu tidak diberi kesempatan membuktikan
bahwa si penuduh itulah sebenarnya yang menjadikan Pancasila itu hanya permainan bibir.”35
Dalam artikelnya, Buya Hamka tengah mengkritik keras Orde Lama, yang
waktu itu baru saja diruntuhkan. Hamka sendiri adalah tokoh yang secara langsung
mengecap pahitnya kezaliman Orde Lama. Sebagai seorang sastrawan Muslim, beliau
merasakan langsung diskriminasi dan permusuhan yang begitu keras dilancarkan oleh
Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra). Sebagai tokoh ulama, beliau bahkan sempat
mendekam di balik jeruji penjara selama dua tahun dan mengikuti serangkaian
interogasi yang panjang tanpa persidangan sama sekali; semua karena tuduhan makar
yang tidak ada buktinya sama sekali.
Pada masa Orde Baru, ironisnya Buya Hamka kembali menjadi ‘tokoh utama’
dalam pergerakan Islâm yang merasakan langsung kezaliman rejim berkuasa. Jika di
awal masa pemerintahannya Soeharto nampak begitu akomodatif dengan aspirasi umat
Muslim – salah satunya dengan mendirikan Majelis Ulama Indonesia dan secara
langsung meminta Hamka untuk menjadi ketua pertamanya – namun keadaan berubah
begitu cepat dengan munculnya seruan di instansi-instansi pemerintah untuk
merayakan Natal dan Idul Fitri secara berbarengan. MUI merespon tegas dengan
mengeluarkan fatwa haramnya perayaan Natal bersama. Akibatnya fatwa tersebut,
Buya Hamka ditekan habis-habisan dan akhirnya memilih untuk mengundurkan diri
dan menarik fatwa tersebut dari peredaran. Hanya saja, menurut Hamka, dengan
ditariknya fatwanya tidak berlaku lagi. Hamka malah menegaskan pendapat
pribadinya bahwa fatwa itu sebenarnya masih sangat ringan. Sebab, mengikuti
perayaan Natal, tapi juga menyebabkan pelakunya menjadi murtad.
Dengan melihat sejarah yang demikian, memang tidak mudah bagi kita untuk
mengatakan bahwa Islâm dan Pancasila bisa hidup berdampingan. Akan tetapi,
sementara Islâm adalah ajaran yang diyakini komprehensif dan dapat dipastikan
kemurnian ajarannya, nampaknya Pancasila justru ‘pasrah’ di tangan para penafsirnya.
Orde Lama dan Orde Baru sama-sama menggunakan Pancasila untuk menekan
pergerakan Islâm, namun keduanya memaknai Pancasila dengan cara yang berbeda.
Debat mengenai dasar negara dalam Sidang Kontituante pada tahun 1957 cukup
menarik untuk disimak. Dalam sidang tersebut, Masyumi kembali mengajak bangsa
Indonesia untuk mempertimbangkan Islâm dan bukan Pancasila – sebagai dasar
negara. Penolakan Masyumi terhadap Pancasila sebagai dasar negara telah
dikemukakan dengan sangat baik oleh Muhammad Natsir. Dalam orasinya, Natsir
menjelaskan bahwa Pancasila tidaklah mengakar dalam jiwa bangsa Indonesia, sebab
jauh sebelum Pancasila itu lahir, agama telah mewarnai isi hati sanubari bangsa. Pada
kesempatan itu Natsir menegaskan:“Pancasila sebagai filsafat negara itu bagi kami adalah
kabur dan tidak bisa berkata apa-apa kepada jiwa umat Islâm yang sudah mempunyai dan
memiliki satu ideologi yang tegas, terang dan lengkap dan hidup dalam rakyat Indonesia sebagai
tuntutan hidup dan sumber kekuatan lahir dan bathin, yakni Islâm”…“Dari ideologi Islâm ke
Pancasila bagi umat Islâm adalah ibarat melompat dari bumi tempat berpijak, ke ruang hampa,
vakum, tak berhawa.”36
Kata-kata di atas diungkapkan oleh Natsir setelah menggambarkan kontrasnya
Pancasila dengan kondisi negara pada saat itu, di mana Pancasila tidak memiliki sikap
yang tegas pada aliran komunisme yang anti-Tuhan, meskipun sila pertamanya
berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pancasila hendak dijadikan ‘netral’, sehingga
akomodatif terhadap agama dan komunisme sekaligus, padahal yang demikian itu
tidaklah mungkin, dan kenyataannya memang tidak pernah terwujud.
Meski demikian, Natsir tidak serta-merta menolak Pancasila. Sebab dalam
lanjutan orasinya, beliau menyatakan pula:“Tidak ada satu pun dari lima sila yang terumus
dalam Pancasila itu yang akan terluput atau gugur, apabila saudara-saudara menerima Islâm
sebagai dasar negara. Dalam Islâm terdapat kaidah-kaidah yang pasti, di mana pure concepts
dari sila yang lima itu mendapat subtansi yang riil, mendapat jiwa dan roh penggerak.”37
Dengan kata lain, Natsir hendak mengatakan bahwa Pancasila pada hakikatnya
adalah sebuah konsep yang kosong belaka, yang bahkan tidak mampu menjelaskan
dirinya sendiri. Makna Pancasila dapat dipermainkan oleh siapa saja, sebab ia memang
tidak memiliki kelengkapan konseptual yang mapan. Tidak seperti Islâm yang
memiliki pandangan yang jelas soal ketuhanan, misalnya, Pancasila justru dapat
dimanfaatkan untuk ideologi anti-Tuhan, sebagaimana terjadi dalam masa Orde Lama
terdahulu.
Dalam beberapa karya tulisnya, Buya Hamka pernah menggarisbawahi masalah
pemaknaan ini. Beliau mengingatkan bahwasannya Soekarno pernah mengatakan
bahwa jika Pancasila itu ‘diperas’, maka akhirnya dia menjadi satu prinsip saja, yakni
‘gotong royong’. Hamka sendiri menentang pendapat yang demikian. Sebagai
balasannya, beliau mengemukakan opini bahwa Pancasila tidak perlu ‘diperas’, namun
jika dicari urat tunggangnya, maka ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ itulah yang akan
ditemukan. Hal ini, menurut Buya Hamka, sejalan dengan logika berpikir umat Muslim
yang memahami segala sesuatunya dengan mengembalikannya pada sumbernya, yaitu
konsep ketuhanan.38
M. Naquib al-Alatas, cendekiawan Muslim asal Malaysia, menyatakan hal yang
sama ketika membicarakan the Worldview of Islâm (pandangan alam Islâm), meskipun ia
tidak sedang membicarakan Pancasila. Bagi seorang Muslim, segala konsep yang
dikenal dalam hidupnya (konsep agama, kenabian, wahyu, manusia, dan kemanusiaan,
keadilan, dan sebagainya) bersumber dari konsep ketuhanan. Oleh karena itu, konsep
kemanusiaan dalam pandangan orang sekuler atau ateis sangat berbeda dengan konsep
kemanusiaan dalam pandangan seorang Muslim yang taat dengan agamanya.
Maka tidaklah mengherankan jika Soekarno merasa mampu ‘memeras’ Pancasila
menjadi ‘gotong royong’, sedangkan Hamka tidak menggunakan istilah yang sama
(yaitu “memeras”) namun memahami sila pertama sebagai ‘akar tunggang’ dari
Pancasila itu sendiri. Semuanya bersumber dari Worldview yang dijadikan pegangan
oleh masing-masing. Fenomena ini menguatkan pendapat Natsir di atas, melainkan
justru dapat ditafsirkan dengan cara berlawanan, tergantung menafsirkan siapa
penafsirnya.
Pancasila adalah kesepakatan antar elemen bangsa, meski demikian, Pancasila
tidaklah mampu menjelaskan kandungan maknanya sendiri, sebab ia hanya terdiri atas
lima sila yang begitu singkat. Islâm, sebaliknya adalah seperangkat konsep dan tata
nilai yang komprehensif. Tidak seperti Pancasila yang sangat terbuka untuk ditafsirkan
oleh siapa saja, Islâm tidak dapat dimaknai semaunya. Meskipun ada ruang untuk
perbedaan pendapat, namun ada hal-hal yang prinsip tidak ada perdebatan. Oleh
karena itu, Islâm memiliki kemampuan untuk menafsirkan Pancasila, dan tidak
sebaliknya. Itulah yang dimaksud Natsir ketika mengatakan bahwa Pancasila justru
akan mendapatkan ruh penggerak dari Islâm. Dengan cara itu, Pancasila akan benar-
benar yang dapat dijabarkan dengan baik dalam tataran praktis.
Dalam sila pertama, yaitu “ketuhanan Yang Maha Esa”, terdapat konsep tauhid
yang dapat dengan mudah dipahami oleh umat Muslim. Menurut Buya Hamka, umat
Muslimlah yang paling siap untuk menerima sila pertama ini, dan mereka tak mungkin
menentangnya. Segala-galanya didasari oleh keyakinan kita kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Kemerdekaan negeri ini pun sebagian besarnya berasal dari kontribusi para
mujahid yang berjuang atas seruan agama; para ulama menyuruh mereka berjuang
mengusir penjajah, semangat jihad dikobarkan, dan yang mereka teriakkan dalam
perjuangan itu tidak lain adalah pekik takbir. Bangsa Indonesia sadar sepenuhnya
bahwa negeri ini berdaulat karenanya, mereka tidak dapat dipaksa-paksa untuk
mengabaikan Tuhannya.39
Sila kedua, yaitu “Kemanusian yang Adil dan Beradab”, sangatlah problematis. Bagi
para penganut Hak Asasi Manusia (HAM) ala Barat, homoseksualitas, aborsi tanpa
syarat, berzina, mengkonsumsi minuman keras, euthanasia, semuanya adalah hak asasi
manusia yang tidak boleh dilarang-larang. Akan tetapi bagi seorang Muslim, hak-hak
manusia adalah sepanjang yang dibolehkan oleh agama. Demikian juga bagi rakyat
Indonesia yang menyakini bahwa Sila kedua ini hanya dapat dipahami dengan
merujuk pada ‘akar tunggangnya’, yaitu Sila pertama. Maka, kemanusiaan yang benar
adalah kemanusiaan yang berketuhanan, bukan yang mengabaikan Tuhan.40
Selanjutnya, sila-sila yang lain pun dapat dimaknai dengan baik jika
menggunakan ‘kacamata Islâm’. Islâm telah memiliki konsep yang jelas tentang
persatuan dan nasionalisme, sehingga terhindar dari fanatisme kebangsaan yang
sempit. Islâm juga mengajarkan caranya bermusyawarah yang baik, juga menjelaskan
hal-hal yang boleh dimusyawarahkan dan hal-hal yang harus dirujuk pada aturan
agama; dengan kata lain, musyawarah yang berketuhanan. Tentu saja, Islâm pun dapat
memberikan gambaran yang jelas tentang keadilan sosial.41

E. Umat Islâm Indonesia Harapan Dunia Islâm


Sutan Takdir Alisjahbana pernah mengatakan; “Siapa tahu, dalam zaman ini,
Indonesia yang memilki pemeluk agama Islâm terbesar di dunia, dapat memimpin umat Islâm
seluruh dunia dalam menghadapai masa yang akan datang”. Harapan beliau bukanlah
mengada-ada. Harapan ini sangat realistis. Selain mendasar harapannya pada jumlah
populasi Muslim Indonesia, dia melihat banyak sekali kekuatan dan kelebihan Islâm
Indonesia, mulai dari banyaknya budaya lokal yang ada, pemeluk agama yang
beragam, wilayah yang luas, hingga tanah yang subur sebagai sumber kehidupan
rakyatnya.
Hal ini juga tidak lepas dari negara-negara Muslim di sekitar kelahiran Islâm
yang mengalami konflik berkepanjangan. Sebut saja Palestina, Irak, Iran dan negara-
negara Timur Tengah yang sedang menguras energi mereka untuk kepentingan
‘pertempuran’. Kondisi inilah yang membuat para pemikir berkaliber internasional
menengok dan menaruh harapan besar pada Indonesia. Negeri Zamrud Khatulistiwa
ini diyakini memiliki potensi yang besar walaupun baru tumbuh dan berkembang
mencapai kemajuan peradaban yang signifikan.42
Hal ini sungguh terbalik dengan keadaan sebelumnya yang mengatakan bahwa
Islâm Indonesia dianggap pinggiran, sinkretis, dan kurang murni keIslâmannya. Begitu
pula anggapan kuno bahwa Indonesia jauh dari pusat peradaban Islâm telah gugur dan
runtuh tak bersisa.
Memang, dalam sejarah tercatat bahwa gerakan pembaharuan Islâm Indonesia
kalah start dari Mesir, India, Arab dan negara Muslim lainnya. Keadaan ini bisa
dimaklumi karena Islâm lebih akhir sampai di Indonesia.
Menyoal tentang pembaharuan, satu hal penting bahwa tradisi dan modernisasi
tidak dipertentangkan oleh Islâm Indonesia.Keduanya dicoba untuk dipadukan.Tradisi
diupayakan untuk mendukung modernisasi, sedangkan modernisasi diarahkan untuk
melestarikan tradisi.43
Melihat masyarakat Indonesia yang sangat terbuka terhadap arus informasi dan
pemikiran dari mana saja, menjadikan mereka semakin toleran dan mandiri dalam
menghadapi perkembangan zaman untuk mencapai kemajuan. Jika umat Islâm adalah
mayoritas di Indonesia, maka kemajuan yang akan dicapai adalah kemajuan Islâm
secara umum.
Dalam kancah internasional, peran Indonesia akan berjalan lancar sebagai
pemimpin dunia Islâm jika benar-benar mampu memanfaatkan momentum era
reformasi ini. Kebebasan berpikir akan memacu aksi pemberdayaan umat untuk
mengeksploitasi gagasan dan ide-ide pembaharuan.
Namun sayang, ada hal-hal penggangu yang bila dibiarkan bukan tidak
mungkin mematahkan harapan para pemikir ini. Hal yang sudah umum adalah
korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ketiganya belum tuntas diberantas dari negeri ini.
Indonesia baru mencari formula untuk menjerat para koruptor serta membuat suatu
formula pencegah timbulnya koruptor baru.44
Memang begitulah hukum alam, di mana ada kelebihan, suatu kekurangan
sudah pasti ada. Salah satu cara efektif untuk mengatasinya adalah memaksimalkan
segala kelebihan dan potensial yang ada serta meminimalisasi setiap kekurangan,
karena memang tidak akan bisa hilang selamanya. Untuk itu ada empat macam strategi
yang diharapkan fajar baru kebangkitan Islâm benar-benar muncul dari Indonesia.
Pertama, membangun pemikiran inovatif-konstruktif. Pemikiran ini berperan
mempercepat gerak dinamika kemajuan Indonesia. Kewajiban ini dibebankan kepada
para pemikir Islâm dan diharapkan kepada kelompok lainnya. Kedua, membudayakan
tindakan kreatif-produktif. Tindakan ini berperan mempercepat pembangunan dan
perkembangan ekonomi masyarakat di samping perkembangan intelektual. Ketiga,
menciptakan kebijakan strategis-informatif. Strategi ini berpeluang menciptakan
peluang baru dan lapangan kerja baru yang menjamin keberlangsungan sumber
perekonomian rakyat untuk dikembangkan pada sektor lainnya. Keempat,
melaksanakan pembangunan secara kolektif-sinergis. Strategi terakhir ini untuk
menggerakkan kemajuan Indonesia secara bersama-sama, serentak, dan massal.45

F. Pertanyaan dan Bahan Diskusi


1. Jelaskan bagaimana Islâm masuk dan tersebar di Indonesia !
2. Jelaskan bagaimana Peranan Islâm dalam mendorong umat Islâm
mempertahankan tanah air dari serangan penjajah !
3. Jelaskan bagaimana peranan Tokoh – Tokoh Pemikir Islâm dalam menggapai
Kemerdekaan Indonesia !
4. Jelaskan bagaimana peranan umat Islâm dalam mengisi kemerdekaan Indonesia
pasca kemerdekaan, baik di Orde lama, Orde baru, maupun Orde reformasi !
Endnotes

1 Ali Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islâm di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm 3
2 Ibid, hlm 4
3 Ibid.
4 Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu- Jawa, (Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara, 2008),

hlm 130
5 Ahmad Mansyur Suryanegara, Menemukan Sejarah. (Bandung: Mizan, 1996), hlm 74-93.
6Rochidin Wahab, Sejarah Pendidikan Islâm di Indonesia. (Bandung: Alfabeta, 2004), hlm 6
7 Ibid, hlm 8
8 Ibid.
9 Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islâm, hlm 196.
10 Rochidin Wahab, Sejarah Pendidikan Islâm di Indonesia, hlm 9
11 Ibid, hlm 10
12 Pidato pengukuhan Guru besar Umar kayam, Transformasi Budaya Kita, 1989
13 Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan perkembangan historiografi Indonesia: suatu alternative, (Jakarta:

Penerbit, Gramedia, 1982), hlm 69.


14 Aboebakar Atjeh,Sedjarah Hidup K. H. M. Wahid Hasjim dan karangan tersiar, (Djakarta: Panitya,

1957), hlm.729
15 Snouck Hurgronje, Islâm in de Nederlansch Indie, (Belanda: BiblioBazaar, July 18, 2009), hlm 13-

14.
16 Lihat:Wawancara Tamardjaja dengan H. Samanhudi, 1955, di majalah Syiyasyah 1974
17 Endang Syaifuddin Anshari, Piagam Jakarta: 22 Juni 1945, Thesis di Mac Gill University, Canada
18 Dalam Pidato Ratu Belanda yang dibacakan oleh: Gub.Jend. Idenburg
19 A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Dian Rakyat, Jakarta, Cet 10, 1984(Cet. 1

1949), hlm 77.Lihat pula: A. Adaby Darban, Peranserta Islâm dalam Perjuangan Indonesia, (Yogyakarta:
Fakultas Hukum Universitas Islâm Indonesia, 1990), hlm 85-87.
20 Komentar Soekarno, bahwa Djakarta Charter merupakan konsesnsus nasional persatuan antara

Kaum Kebangsaan dan Islâm


21Peranan Ki Bagus menempatkan Yang Maha Esa sebagai Taukhid Rakyat Indonesia. Lihat:

Endang Syaifuddin Anshari, Piagam Jakarta, hlm 87.


22 Mulai tahun 2006 dijadikan hari peringatan Bela Negara
23Wan Ahmad D. S., Sejarah Islâm di Indonesia, (Kuala Lumpur: Rahmaniah, 1989), hlm 87.
24Ibid, hlm 88
25H.D. Silahuddin, Politik Islâm di Indonesia: kajian tentang Partai Masyumi, (Jakarta :Universitas

Islâm Negeri Syarif Hidayatullah (UIN), 2003), hlm 35.


26 Rosihan H. Anwar, Sukarno- Tentara- PKI: segitiga kekuasaan sebelum prahara politik, 1961-1965,

(Jakarta : Yayasan Obor, 2007), hlm 77.


27 Muhammad Jamil, Hamka's views on some major religio-political issues in Indonesia (1971-1981),

(Petaling Jaya: International Islâmic University Malaysia, 1998), hlm 86.


28H.D. Silahuddin, Op.Cit, hlm 56.
29Didin Hafidhuddin, Dakwah aktual, (Jakarta :Gema Insani, 1998), hlm 64.
30 Menurut Richard Rabison, The Rise Capitalism in Indonesia (disertasi), bahwa Golongan Ekonomi

Menengah ke Bawah bagi Indonesia adalah pilar ekonomi yang nyata dan perlu diperkuat, sedangkan
Golongan Ekonomi Konglomerat yang mengandalkan Modal Asing pinjaman itu merupakan tiang
penyangga yang semu, suatu saat gampang melarikan modalnya ke luar negri, sehingga akan
menggoyahkan perekonomian Indonesia.
31 PKB dan PAN meskipun tidak berdasarkan Islâm, namun basis pendukungnya Islâm
32 Semuanya berdasarkan Islâm dan basis pendukungnyapun Islâm
33 Bila partai-partai Islâm dan yang berbasis pendukungnya Islâm bersatu, insya Allah akan

menang dalam pemilu. Namun, kanyataannya partai-partai Islâm itu belum dapat bersatu sampai kini
34 Hasanuddin M. Saleh, HMI dan Rekayasa asas tunggal Pancasila, (Yogyakarta: Kelompok Studi

Lingkaran, 1996), hlm 22.


35Noramira bt Adnan, A study of Hamka's concept of virtue based on his selected works, (Kuala

Lumpur:Kulliyyah of Islâmic Revealed Knowledge and Human Sciences, International Islâmic University
Malaysia, 2012), hlm 43.
36 Arif Hizbullah Sulaiman, Muhammad Natsir (1908-1993) : his role in the development of Islâmic

da'wah in Indonesia (Historical study of an Indonesian mujahid da'wah), (Petaling Jaya: International Islâmic
University Malaysia, 1995), hlm 57.
37Ibid, hlm 58
38Noramira bt Adnan, Op.Cit, hlm 45.
39Lihat: Panji Masyarakat, no 542, 11 Juni 1987, hlm 28
40Lihat: Panji Masyarakat, no 542, 11 Juni 1987, hlm 29
41 Lihat ulasan panjang lebar tentang topik ini: Adian Husaini, Pancasila Bukan untuk Menindas

Hak konstitusional Umat Islâm, Jakarta: Gema Insani Press, 2009.


42 Mujamil Qomar, Fajar Baru Islâm Indonesia? Kajian Komprehensif atas Arah Sejarah dan Dinamika

Intelektual Islâm Nusantara, (Bandung: Mizan, 2012), hlm 2.


43Ibid, hlm 102
44Ibid, hlm 189
45Ibid, hlm 251

Anda mungkin juga menyukai