Anda di halaman 1dari 21

PEMILU, DEMOKRASI, DAN KONTESTASI

KEKUASAAN

Editor:

Hajraningsih

Indriani

Pengantar:
Syarifuddin Jurdi

Prolog:
Fauzi Hadi Lukita

Laboratorium Ilmu Politik UIN Alauddin

Kerjasama dengan

POLITIK PROFETIK INSTITUT


PEMILU, DEMOKRASI DAN KONTESTASI KEKUASAAN

Editor : Hajraningsih
Indriani

Pengantar : Syarifuddin Jurdi

Prolog : Fauzi Hadi Lukita

Layout&Sampul: Gramasurya

Penerbit : Laboratorium Ilmu Politik UIN Alauddin


Kampus II UIN, Jl. Sultan Alauddin No. 36 Samata Gowa
Kerjasama dengan
POLITIK PROFETIK INSTITUT

Cetakan Pertama, 2019

Percetakaan : PT. GRAMASURYA Yogyakarta


Jl. Pendidikan No. 88 Yogyakarta 55182
Telp/Fax. 0274-377102
E-mail: Infogramasurya.com

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)


15x23 cm, xxi + 236 hlm.
ISBN: -
Daftar Isi

Kata Pengantar – iii

Prolog: Konsolidasi Demokrasi Prosedural menuju Konsolidasi Demokrasi Substansial

Oleh: Fauzi Hadi Lukita – vii

BAB I

Media Massa dan Demokrasi

Media Massa
Oleh: Ahmad Yani
Peran Pers dalam Pemilu
Oleh: Amrullah
Media dan Depolitisasi
Oleh: Misran
Hubungan Birokrasi dan Demokrasi
Oleh: Muh. Zulfajril
Reformasi Media Massa
Oleh: Nurhaena
Kekuasaan dan Media Massa
Oleh: Nurhaliza
Media Massa dan Politik Indonesia
Oleh: Suryanty

BAB II
Pemilu dan Kontestasi Kekuasaan
Pentingnya Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu
Oleh: Ahmad
Identitas di Tengah Pusaran Demokrasi
Oleh: Asmayanti
Demokrasi dan Partai Politik
Oleh: Azwar Aras
Demokrasi Sebagai “RUH” Partai Politik
Oleh: Fauzi Hadi Lukita
Perspektif Pemilih dalam Pemilu
Oleh: Nur Magfirah
Demokrasi dan Pemilu
Oleh: Lucky Pahlawan
Penguatan Demokrasi bagi Pemilih Pemula dalam Pemilu
Oleh: Abd. Wahid

BAB III
Potret Pemilu dan Dinamikanya
Analisis Tentang Implementasi birokrasi di Indonesia
Oleh: Abd. Rahman Syam
Peran Partai Politik dalam Pesta Demokrasi
Oleh: Aswar
Problema Birokrasi
Oleh: Dwi Hermawan Arrisadi
Isu Sara dalam Pusaran Pemilu
Oleh: Faizar Muahrram
Ideologi PKI di Caci dan di Cari
Oleh: Indriani
Sistem Pemilu
Oleh: Kamaluddin
Parpol sebagai kontrol Pemilu yang Demokratis
Oleh: Rohana

BAB IV
Variatif Kekuatan Politik Indonesia
Strategi dalam Politik
Oleh: Ali
Kita Pemilih Adalah Kekuatan utama Pemilu
Oleh: Hajraningsih Thahir
Mita Sabir
Oleh:Partai Politik dan Ormas Islam di Indonesia
Pengantar

Pemilu, Demokrasi dan Sirkulasi Kekuasaan

Oleh: Dr. Syarifuddin Jurdi


Dosen Ilmu Politik UIN Alauddin Makassar
Komisioner KPU Provinsi Sulawesi Selatan

Pengantar

Demokrasi memberi prasyarat utama untuk bisa menghasilkan sistem


politik yang mencerminkan kehendak umum warga negara yakni kompetisi
yang bebas dan adil antar calon yang bersaing, partisipasi politik yang luas
dengan melibatkan seluruh elemen dasar masyarakat serta kebebasan sipil
dan politik yang harus dijamin oleh konstitusi. Prasyarat demokrasi ini menjadi
instrumen utama untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Demokrasi yang
dianut Indonesia pasca kejatuhan Orde Baru Baru 1998 mengalami
transformasi dan perkembangan, ditandai dengan makin tingginya tingkat
partisipasi sadar warga negara dalam menentukan pilihan politiknya.

Penguatan demokrasi partisipatif dalam kancah suksesi kepemimpinan


melalui sarana penyelenggaraan pemilihan umum yang diselenggarakan
secara langsung, umum, bebas dan rahasisa serta jujur dan adil merupakan
titik sentral dari penguatan sistem demokrasi. Betapapun suatu bangsa maju
dan berkembang, tetapi tidak membuka ruang partisipasi sadar warga, maka
bangsa dan negara itu belumlah menjalankan nilai-nilai dasar kemanusiaan
yang membuka akses dan kesempatan yang luas kepada semua warga
negara untuk ikut menentukan masa depan bangsanya.

Pemilihan umum merupakan sarana efektif untuk menentukan masa


depan, melalui pemilu partisipasi warga negara secara sadar dan kritis suatu
kepemimpinan yang kuat akan terwujud. Pemilihan umum di Indonesia
bukanlah hal baru, pada tahum 1955, pertama kali diselenggarakan pemilu
untuk memilih anggota DPR dan Majelis Konstituante terlaksana dengan
sukses, oleh sebagian pengamat asing menyebut sebagai pemilu yang paling
demokratis dan belum “pernah” terulang sukses pemilu tersebut pada pemilu-
pemilu setelahnya, ukuran keberhasilan pemilu 1955 dapat dilihat dari tingkat
partisipasi yang sangat tinggi mencapai lebih dari 90 persen, berlangsung
aman, lancar, jujur, dan adil dan demokratis, sehingga terpilih anak bangsa
yang memiliki akar kuat pada masyarakat. Elite politik tidak lahir karena
pencitraan, tetapi secara sosiologis mereka berakar kuat dalam masyarakat.
Partai yang terbentuk, bukanlah partai yang tanpa dukungan, meskipun
jumlahnya banyak, tetapi mereka memiliki basis dan memperoleh kursi di
parlemen.

Pemilu yang dilakukan setelah pemilu 1955 tidak lagi “semurni”, jujur
dan adil pada pemilu 1955. Keterlibatan berbagai pihak dalam proses pemilu
sulit dihindari, karena penyelenggara pemilu pada masa Orde Baru adalah
pemerintah, mulai dari verifikasi partai sebelum pembatasan jumlah partai
pada tahun 1973 maupun pelaksana teknis pemilu. Sepanjang Orde Baru,
kekuatan politik dominan tetap berada pada Golkar dan tidak pernah
kekuatan penopang utama rejim ini mengalami kekalahan dalam pemilu,
bahkan kemenangan mencapai lebih dari 70 persen. pada dasarnya, praktek
demokrasi substansi telah dilaksanakan secara bebas oleh masyarakat pada unit
yang paling bawah yakni desa. Pemilihan kepala desa sepanjang sejarah politik
Indonesia berjalan sesuai prinsip demokrasi, para peserta berkontestasi dengan
bebas, melakukan lobi politik, menggalang kekuatan untuk memberikan
dukungan dengan berbagai cara yang secara norma hukum dibenarkan.
Praktek demokrasi ini justru tidak muncul pada proses pemilihan anggota
parlemen (DPR), pemerintah mengintervensi penyelenggaraan pemilu
sehingga prinsip jujur dan adil dalam penyelenggaraan terabaikan.

Untuk melihat dan memahami proses historis pemilu di Indonesia


memerlukan napak tilas agar dapat memotret secara baik penyelenggaraan
pemilu, mulai dari pembentukan kelembagaan pemilu, proses seleksi hingga
penyelenggaraan pemilu penting agar dapat menempatkan bahwa pemilu
sudah dilakukan secara jujur dan adil. Tulisan ini akan merefleksikan proses
pemilu tersebut dengan melihat pada beberapa dimensi yang penting, mulai
dari historisitas, kelembagaan hingga pelaksanaan pemilu, baik pada saat
pemisahan pemilu presiden dengan legislatif maupun setelah dilakukan
penyatuan sistem pemilu Indonesia. Tentu tulisan ini tidak bermaksud
menjelaskan secara keseluruhan dimensi yang terkait dengan pemilu, namun
bagian-bagian penting dari pergeseran regulasi pemilu.

Kedaulatan Rakyat dan Prinsip Negara Demokrasi

Kedaulatan dapat disebut sebagai posisi tertinggi atau posisi superior atau
juga disebut sebagai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara, ini bermakna
bahwa memiliki otoritas untuk membuat peraturan yang menjadi dasar
kehidupan bersama. Ide kedaulatan hadir untuk merespons kemutlakan
kekuasaan Negara, kekuasaan bukan semata-mata ditempatkan sebagai
tuhan di bumi, melainkan usaha untuk membangun kehidupan rakyat yang
beradab, mengingat dalam masyarakat primitive kehidupan sangat kacau,
setiap orang bebas melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya.
Dalam perkembangannya, ide kekuatan mutlak Negara itu mengalami
transformasi, tidak lagi dimaknai sebagai kemutlakan Negara melakukan apa
saja terhadap warga negara, menurut Goritus bahwa kekuasaan tertinggi untuk
memerintah itu dinamakan kedaulatan. Kedaulatan itu dipegang oleh orang
yang tidak tunduk pada kekuasaan orang lain, sehingga ia tidak dapat
diganggu gugat oleh kemauan manusia. Negara adalah berdaulat (Budiman,
1992). Jean Bodin menyebut bahwa kedaulatan adalah kekuasaan yang
mengatasi warga Negara dan anak buah, malahan mengatasi undang-
undang…kedaulatan adalah kekuasaan yang penuh dan langgeng kepunyaan
satu republik (Yamin, 1952). Dengan kata lain, bahwa Negara dan
kepemimpinan tunduk sepenuhnya kepada kehnedak mayoritas warga
Negara, karena pemimpin merupakan bagian dari warga Negara.
Perkembangan pemikiran mengenai kedaulatan mengalami kemajuan
dengan menempatkan bahwa kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi
atas Negara, wilayah dan daerah dalam suatu Negara. Kedaulatan sebagai
manifestasi kekuasaan tertinggi Negara yang secara langsung dipegang oleh
rakyat itu sendiri, kemauan pribadi masing-masing warga Negara diwujudkan
dan ditentukan melalui suara terbanyak.
Kedaulatan rakyat itulah yang menjadi inti dari pemerintahan yang
melibatkan warga Negara. Setiap warga Negara mempunyai hak suara
dalam pelaksanaan kekuasaan dan ikut ambil bagian secara nyata.
Demokrasi meletakkan suara mayoritas masyarakat sebagai dasar legitimasi
politik penguasa. Suara mayoritas warga dan penempatan wakil-wakil rakyat
yang diawasi secara ketat dan efektif dalam suatu pemilihan umum yang
dilakukan secara berkala dengan prinsip kesamaan antar warga.
Ide mengenai kedaulatan rakyat dan demokrasi merupakan ide yang
hadir untuk merepons pertanyaan kritis dari mana sumber kekuasaan
Negara? Siapakah yang memiliki dan memegang kedaulatan rakyat? Sejumlah
sarjana sudah merumuskan mengenai hal ini, bahwa kedaulatan merupakan
esensial setiap kesatuan politik yang disebut Negara. Tanpa kedaulatan, tidak
ada Negara. Jean Bodin menegaskan soal ini bahwa hakikat kedaulatan
bagi sebuah Negara bersifat imperative, kedaulatan wajib ada sebagai
sebuah syarat eksistensi Negara. Kedaulatan sekaligus merupakan syarat
konstitutif berdirinya Negara.
Oleh sebab itu, dapat disebutkan bahwa penempatan posisi rakyat
sebagai sumbu utama dalam memahami makna kedaulatan, dalam arti
bahwa rakyatlah yang harus berdaulat dan memagang kedaulatan tertinggi
dalam suatu Negara, Hatta pernah mengatakan bahwa kedaulatan rakyat
berarti pemerintahan rakyat, pemerintahan yang dilakukan oleh pemimpin-
pemimpin yang dipercayai oleh rakyat (Santoso, 2009). Inilah demokrasi yang
menempatkan kepentingan bersama sebagai basis utamanya, demokrasi
dipilih sebagai konsekuensi logis bagi penguatan kualitas hidup semua orang,
bukan bersifat pribadi. Untuk menggambarkan demokrasi, Alexis de Tocqueville
menyebut bahwa demokrasi memang tidak memberikan kepada rakyatnya
pemerintahan yang paling cakap, meliankan lebih tepatnya
menghasilkan apa yang kerap kali tak dapat diciptakan oleh pemerintahan-
pemerintahan yang paling cakap, yakni kegiatan yang meluas ke mana-
mana dan tiada hentinya. Menurut Tocqueville bahwa demokrasi membuka
ruang partisipasi rakyat secara bebas, dapat mengungkapkan apa yang
menjadi harapan dan keinginan mereka kepada pemimpin yang terpilih.
Prinsip demokrasi menempatkan kedaulatan rakyat sebagai basis
utamanya, demokrasi tanpa partisipasi itu otoriter, karena hakekatnya rakyat
setidaknya sama atau lebih kuat dari pemerintah, sebab kalau pemerintah lebih
kuat dari rakyat, maka itu otoriter. Apabila ada suatu pemerintahan yang lebih
kuat, menurut Arief Budiman apabila masih mempraktekkan demokrasi, maka
demokrasi itu hanyalah pinjaman, sebab bila dia tidak sejalan lagi dengan
prinsip demokrasi, dengan mudah ditinggalkannya. Dengan baik David Held
menyebut bahwa orang harusnya bebas dan setara dalam menentukan kondisi
kehidupannya, yaitu mereka harus memperoleh hak yang sama dengan
individu lainnya. Suatu demokrasi yang kuat akan ditentukan oleh tersedianya
ruang kebebasan dan kesetaraan, dua hal yang menjadi prasyarat otonomi
demokrasi. Selain hak politik yang harus dipenuhi, menurut David Held otonomi
demokrasi juga membutuhkan pernyataan tentang hak-hak sosial dan
ekonomi untuk memastikan bahwa tersedia sumber daya yang cukup bagi
otonomi daerah (Held, 2007).
Untuk mengeaskan instrument yang menopang praktek demokrasi
diperlukan adanya beberapa nilai dasar yang sama seperti partisipasi dalam
proses pengambilan keputusan, menurut Robert Dahl (1998: 37-38) terdapat lima
hal yang menentukan suatu demokrasi;
1. Partisipasi efektif. Sebelum sebuah kebijakan digunakan oleh
asosiasi, seluruh anggota harus mempunyai kesempatan yang sama
dan efektif untuk membuat pandangan mereka diketahui oleh
anggota-anggota lainnya sebagaimana seharusnya kebijakan itu
dibuat.
2. Persamaan suara. Ketika akhirnya tiba saat dibuatnya keputusan
tentang kebijaksanaan itu, setiap anggota harus mempunyai
kesempatan yang sama dan efektif untuk memberikan suara dan
seluruh suara harus dihitung sama.
3. Pemahaman yang cerah. Dalam batas waktu yang rasional setiap
anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif
untuk mempelajari kebijakan-kebijakan alternative yang relevan dan
konsekuensi-konsekuensi yang mungkin.
4. Pengawasan agenda. Setiap anggota harus mempunyai kesempatan
efektif untuk memutuskan bagaimana dan apa permasalahan yang
dibahas dalam agenda. Jadi proses demokrasi yang dibutuhkan oleh
tiga kriteria sebelumnya tidak pernah tertutup. Berbagai kebijakan
asosiasi tersebut selalu terbuka untuk dapat diubah oleh para
anggotanya, jika mereka menginginkannya begitu.
5. Pencakupan orang dewasa. Semua, atau paling tidak sebagian
besar orang dewasa yang menjadi penduduk tetap seharusnya
memiliki hak kewarnegaraan penuh yang ditunjukkan oleh empat
kriteria sebelumnya.

Selain lima kriteria diatas, demokrasi merupakan cara terbaik untuk


memecahkan masalah kolektif melalui suatu partisipasi yang efektif dengan
melibatkan orang-orang dewasa, demokrasi paling tidak menurut Dahl lebih
unggul dalam sepuluh hal;
1. Demokrasi menolong mencegah tumbuhnya pemerintahan oleh
kaum otokrat yang kejam dan licik
2. Edemokrasi menjamin bagi warga negaranya sejumlah hak asasi
yang tidak diberikan, dan tidak dapat diberikan oleh system-sistem
yang tidak demokratis.
3. Demokrasi menjamin kebebasan pribadi yang lebih luas bagi warga
negaranya daripada alternative lain yang memungkinkan.
4. Demokrasi membantu orang-orang untuk melindungi kepentingan
pokok mereka
5. Hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan
kesempatan sebesar-besarnya bagi orang-orang untuk
menggunakan kebebasan menentukan nasibnya sendiri, yaitu untuk
hidup di bawah hukum yang mereka pilih sendiri.
6. Hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan
kesempatan sebasr-besarnya untuk menjalankan tanggungjawab
moral.
7. Demokrasi membantu perkembangan manusia lebih total daripada
alternative lain yang memungkinkan
8. Hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat membantu
perkembangan kadar persamaan politik yang relative tinggi.
9. Negara-negara demokrasi perwakilan modern tidak berperang satu
sama lain
10. Negara-negara dengan pemerintahan yang demokratis cenderung
lebih makmur daripada Negara-negara dengan pemerintahan yang
tidak demokratis.
Dengan kata lain, demokrasi akan memberikan manfaat bagi
tumbuhnya pemerintahan yang memperoleh legitimasi dari rakyat melalui
pemilu, sekaligus menghindarkan kemungkinan tumbuhnya pemerintahan
kaum otokrat yang kejam. Demokrasi pada prinsipnya akan memberi
jaminan kepada warga Negara untuk memperoleh hak-hak dasarnya yang
tidak mungkin diberikan oleh rejim otoritarian. Kebebasan dan ruang ekspresi
warga akan terlindungi oleh adanya kebebasan dan kesetaraan antar warga
secara merata dan kepentingan-kepentingan warga Negara akan terlindungi.
Demokrasi dengan system pemilihan umum merupakan peta jalan
untuk memastikan hak-hak dasar warga Negara dapat terlindungi dan mereka
dapat hidup dalam area kehidupan yang bebas. Indonesia memilih system
demokrasi, dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 sudah menyebutkan dengan jelas
mengenai kedaulatan berada di tangah rakyat. Dalam UUD 1945 pasal
22 E juga dengan tegas menyebutkan adanya lembaga khusus yakni Komisi
Pemilihan Umum (KPU) yang akan menyelenggarakan pemilihan umum
sebagai manifestasi dari kedaulatan rakyat.

Historisitas Pemilu di Indonesia

Pemilu merupakan metode yang secara universal digunakan oleh


hampir semua Negara demokrasi, baik Negara-negara yang baru terlepas
dari rejim otoritarian. Pemilu berfungsi untuk mengisi keanggotaan lembaga
perwakilan, memilih presiden, kepala daerah dan anggota parlemen. Pemilu
menjadi instrumen untuk menata arelasi antara elite dengan rakyat,
meningkatkan kepekaan eliter terhadap aspirasi dan kebutuhan rakyat yang
diwakilinya, melalui pemilu yang jujur dan adil, akan terpilih wakil rakyat
yang memiliki ikatan emosional dengan rakyat yang diwakilinya, demokrasi
juga akan mengalami kemajuan.
Pemilu di Indonesia sudah direncanakan sejak awal kemerdekaan,
ketika Hatta pada tanggal 3 November menyampaikan Maklumat agar elite
politik segera mendirikan partai politik, karena pemilu pertama direncanakan
akan dilaksanakan pada awal tahun 1946 setelah semua partai politik berdiri.
Semangat menyelenggarakan pemilu sudah terbangun sejak awal, namun
dalam perjalanan, pemilu tidak pernah terlaksana hingga sepuluh tahun
kemudian. Mengapa pemilu tidak terlaksana sesuai dengan agenda awal;
pertama, kondisi bangsa Indonesia yang bekum stabil, masih membangun
semangat kebangsaan dalam menghadapi serangan pihak asing, khususnya
NICA yang mau menjajah kembali Indonesia, juga terjadi pergolakan internal
bangsa; kedua, perangkat perundang-undangan pemilu belum dibuat,
karena itu pemerintah belum siap menyelenggarakan pemilu; ketiga,
konsolidasi politik para elite masih berlangsung untuk memperkuat semangat
kebangsaan dalam mengahdapi ancaman dari luar.
Meskipun tahun 1945-1947, dasar hukum penyelenggaraan pemilu dapat
dirumuskan, proses pembentukan pemilu dapat dilakukan dengan
terbentuknya UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu, UU ini belum diterapkan
sudah terjadi perubahan, hal itu tertuang dalam UU No. 12 Tahun 1949
tentang Pemilu. Pembentukan UU merupakan langkah awal untuk
menyelenggarakan pemilu, namun kenyataannya, pemilu belum terlaksana,
karena terjadi perubahan konstitusi menjadi Negara Serikat pada tahun 1949,
usia Negara Serikat tidak melebihi delapan bulan. Semangat
menyelenggarakan pemilu tetap tumbuh, dalam UUD RIS tampak terlihat;
pertama, jaminan setiap warga Negara berhak turut serta dalam
pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil-wakil yang
dipilih dengan bebas neburut cara yang ditentukan oleh undang-undang
(Pasal 22 UUD RIS); kedua, di dalam asas-asas Dasar bernegara memberi
landasan paradigm bahwa kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa;
kemauan itu dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur dan yang
dilakukan menurut hak npilih yang sedapat mungkin bersifat umum dan
berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun
menurut cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara (Pasal 24
UUD RIS).
Merujuk pada konstitusi RIS, pemilu menjadi syarat untuk menentukan
kepemimpinan dan wakil-wakil rakyat. Pada saat yang sama, tuntutan
daerah-daerah bagian seluruh Indonesia yang menghendaki agar kembali ke
bentuk Negara Kesatuan republic Indonesia sebagai yang tertuang dalam
Piagam Persetujuan Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah
Republik Indonesia tanggal 19 Mei 1950, maka dibentuklah UU No. 7 Tahun
1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara RIS menjadi UUDS pada
tanggal 15 Agustus 1950 yang ditanda tangani oleh Presiden Soekarno dan
Perdana Menteri Moh. Hatta. Dalam UUDS 1950 ini terdapat dasar pelaksanaan
pemilu dengan adanya penekanan bahwa warga Negara berhak turut serta
dalam penyelenggaraan secara langsung atau melalui perantaraan wakil-wakil
yang dipilih dengan bebas. Kedaulatan rakyat menjadi dasar kekuasaan
penguasa yang dinyatakan dalam proses pemilihan umum yang berkala
dilakukan secara jujur, umum, berkesamaan, rahasia dan bebas.
Setelah konstitusi UUDS menjadi dasar pelaksanaan kekuasaan, maka
pemilu menjadi salah satu point penting untuk menentukan kepemimpinan,
maka Kabinet Muhammad Natsir dan Kabinet Sukiman Wirjosandjojo mulai
dibicarakan mengenai RUU tentang Pemilu, hingga berakhirnya kepemimpinan
Natsir dan Sukiman, RUU tersebut belum berhasil disahkan, RUU tersebut
diteruskan pada Kabinet Wilopo hingga berhasil memutuskan RUU Pemilu
menjadi UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi dasar
pelaksanaan pemilu pertama tahun 1955, berikut historis pemilu di Indonesia;
Pertama, pemilu pada era kepemimpinan Soekarno-Hata berhasil
diselenggarakan pada tahun 1955, pemilu ini dilaksanakan dua tahap yakni
tahap memilih anggota DPR diselenggarakan pada 29 September 1955 dan
tahap memilih Dewan Konstituante pada 15 Desember 1955. Pemilu 1955
merupakan pemilu yang paling jujur, kompetisi terbuka dengan bebas antar
calon, bahkan Perdana Menteri dan atau Menteri yang bertarung dalam pemilu
tidak memanfaatkan fasilitas Negara. Kesadaran kompetisi antar calon sangat
tinggi, sehingga pejabat public tidak punya maksud “jahat” menggunakan
posisi, status serta fasilitas yang dimilikinya untuk memobilisasi dukungan warga.
Pertarungan antar kandidat berlangsung secara fair, jumlah partai politik
banyak, juga terdapat calon perseorangan. Jumlah daerah pemilihan untuk
memilih anggota DPR dan Konstituante dibagi ke dalam 16 daerah pemilihan.
Hasil pemilu 1955 tidak menempatkan partai tertentu sebagai dominan, namun
terjadi penyebaran suara yang seimbang setidaknya untuk empat partai
politik terbesar yakni Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan memperoleh
57 kursi (suara 8.434.653 atau 22,32 persen); Partai Masyumi 57 kursi (suara
7.903.886 atau 20,92 persen); Nahdatul Ulama (NU)
45 kursi (suara 6.955.141 atau 18.41 persen); dan Partai Komunis Indonesia (PKI)
39 kursi (suara 6.179.914 atau 16,36 persen), sementara partai lainnya hanya
memperoleh kursi tidak mencapai sepuluh kursi, misalnya PSII 8 kursi,
Parkindo 8 kursi, Partai Katolik 6 kursi, PSI 5 kursi, IPKI 4 kursi, Perti 4 kursi,
selebihnya hanya memperoleh 2 dan 1 kursi. Komposisi keterwakilan politik
sangat plural, karena plural itulah kompromi politik sulit terwujud setelah
anggota Konstituante yang diberi tugas untuk merumuskan konstitusi gagal
mencapai kata sepakat, hingga akhirnya DPR dan Konstituante hasil pemilu
yang paling demokratis ini dibubarkan p0aksa oleh presiden melalui Dekrit
Presiden 5 Juli 1959.
Kedua, pemilu pada era kepemimpinan Soeharto berhasil dilaksanakan
sebanyak enam kali pemilu diselenggarakan. Pemilu pada periode ini
berlangsung dalam dua fase penting yakni;
1. Fase pertama yakni Pemilu 1971 yang telah diperintahkan oleh MPRS
sejak tahun 1968, namun baru dapat dilaksanakan pada tahun 1971,
ini pemilu yang didasarkan pada UUD 1945. Dasar pelaksanaan
pemilu ini merujuk pada UUD 1945 pasal 1 ayat yang berbunyi
bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, serta UU No. 15 Tahun
1969 tentang pemilu yang mengatur pemungutan suara secara
langsung, umum, bebas dan rahasia (LUBER) untuk memilih
anggota DPR, DPRD tingkat I dan II, partai politik yang mengikuti
pemilu tahun 1971 sebanyak 9 partai politik, diantaranya PNI, Partai
NU, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), PSII, Partai Persatuan
tarbiyah Indonesia (Perti), Parkindo, Partai Katolik, Partai Murba
dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI),
ditambah satu Golongan Karya (Golkar). Pemilu 1971 dilaksanakan
oleh Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang diketuai Menteri Dalam
Negeri, hasil pemilu sangat mengejutkan, Sembilan partai politik
kalah telak dengan Golkar yang baru terbentuk, hasil pemilu,
Golkar memperoleh 236 kursi (suara 34.348.673 atau 62,82 persen,
Partai NU 58 kursi (suara 10.213.650 atau 18,68 persen), Parmusi 24
kursi (suara 2.930.746 atau 5,36 persen), PNU 20 kursi (suara
3.793.266 atau 6,93 persen), PSII 10 kursi (suara 1.308.237 atau 2,39
persen), Parkindo 7 kursi (suara 733.359 atau 1,34 persen), Katolik 3
kursi (suara 603.740 atau 1,10 persen), Perti 2 kursi (suara 381.309
atau 0,69 persen), IPKI dan Murba tidak memperoleh kursi. Pemilu
1971 sebagai tahap awal Orde baru untuk membangun kekuatan
hegemoniknya, Menteri dalam Negeri Amir Machmud
mengampanyekan deparpolisasi dengan menekankan
monoloyalitas PNS hanya kepada Golkar, mereka wajib memilih
Golkar dalam pemilu. Hasil pemilu menunjukkan bahwa pemerintah
berhasil memobilisasi massa dan kampanye deparpolisasi secara
massif, Golkar memperoleh dukungan mencapai 62, 82 persen suara,
ini pemilu pertama bagi Golkar sementara partai politik yang lama
eksis gagal memperoleh dukungan yang signifikan.
2. Fase kedua yakni pemilu 1977 sampai pemilu 1997. Pada SU MPR
Tahun 1973 dimulai siklus lima tahunan, pemilihan dan
pengangkatan presiden dan wakil presiden, dalam TAP MPR No.
VIII/MPR/1973 Pasal 2 menetapkan bahwa Pemilu dilaksanakan
selambat-lambatnya akhir tahun 1977. Pada pemilu 1977 jumlah
peseta pemilu mengalami penciutan, berdasarkan UU No. 3 Tahun
1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, bahwa terjadi
penyederhanaan partai politik menjadi dua yakni Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari partai Islam (Partai
NU, Parmusi, PSII danPerti0 serta Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
yang merupakan fusi lima partai (PNI, Parkindo, Partai Katolik,
Murba dan IPKI), pemilu 1977 hanya diikuti oleh dua partai politik
(PPP dan PDI) serta satu Golongan karya (Golkar). PNS diberi
kebebasan untuk menjadi anggota partai politik atau Golkar,
kebebasan itu dibatasi dengan adanya ijin resmi dari atasannya.
Hasil pemilu 1977, PPP memperoleh dukungan suara 18.743.491
(29,29 %) dengan total kursi 99, PDI memperoleh dukungan suara
5.504.757 (8,60 %) dengan jumlah kursi 29, sementara Golkar
memperoleh suara 39.750.096 (62.11) dengan jumlah kursi 232. Pada
pemilu 1982, Golkar berhasil menambah peroleh kursinya menjadi
242, sementara PPP (94 kursi) dan PDI (24 kursi) mengalami
penurunan. Sementara pemilu 1987, Golkar meningkat drastic,
jumlah kursinya 299 kursi, PPP turun drastic menjadi 61 kursi dan
PDI mengalami kenaikan signifikan menjadi 40 kursi. Pada pemilu
1992, Golkar mengalami penurunan suara dengan jumlah kursi 282
kursi, PPP 62 kursi, PDI mengalami kenaikan signifikan menjadi 56
kursi. Puncak pemilu Orde Baru pada tahun 1997, Golkar memperoleh
kemenangan mutlak dengan raihan kursi mencapai
325 kursi suatu pencapaian yang sangat signifikan dalam sejarah
Golkar, PPP mengalami peningkatan menjadi 89 kursi, PDI anjlok
tinggal 11 kursi yang diperoleh pada pemilu 1997.
Ketiga, pemilu pada era reformasi, sejak tahun 1999 sampai tahun 2019.
Bila dibandingkan dengan pemilu era Orde Baru, pemilu sejak tahun 1999
mengalami perubahan yang signifikan, mulai dari kelembagaan
penyelenggara pemilu sampai pada peserta pemilu mencapai ratusan partai
politik yang didirikan oleh warga negara, meskipun pada akhirnya yang bias
mengikuti pemilu hanya sebagian kecil. Pemilu pasca Orde Baru dapat
dijelaskan berdasarkan prinsip penyelenggaraannya;
1. Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama pasca rejim otoritarian
Orde Baru, inmi merupakan pemilu transisi, disebut transisi, regulasi
terkait dengan penyelenggara belum terlalu kuat, antara peserta
pemilu dengan penyelenggara pemilu sulit dipisahkan, sebagian
besar penyelenggara pemilu adalah peserta pemilu, hanya lima
orang wakil pemerintah yang masuk dalam kelembagaan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) yang dibentuk untuk menyelenggarakan
pemilu tahun 1999, pada tingkat daerah dibentuk Panitia Pemilihan
Daerah (PPD). Dasar pelaksanaan pemilu 1999 adalah UU No. 3
Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Meskipun penyelenggaranya
dominan dari partai politik, hasil pemilu 1999 memunculkan enam
partai yang melampaui electoral threshold 2 persen yakni PDI
Perjuangan 154 kursi, Golkar 120 kursi, PPP 59 kursi, PKB 51 kursi,
PAN 35 kursi, PBB 13 kursi, Partai Keadilan 6 kursi, PKP 6 kursi dan
beberapa partai keci lainnya yang memperoleh kursi, 3, 2 dan 1 kursi.
2. Pemilu tahun 2004. Pada pemilu ini regulasi pemilu merujuk pada
keputusan MPR yang menetapkan bahwa pemilu 2004 akan
memilih anggota DPR, DPD, DPRD dan memilih presiden dan wakil
presiden. Utusan daerah dalam ditiadakan dan diganti dengan
wakil daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Prinsip
kedaulatan rakyat diletakkan dalam perubahan konstitusi melalui
amandemen UUD 1945 agar pemerintahan yang terbentuk
merupakan pemerintahan yang memiliki akar dan dukungan kuat
dari rakyat. Transformasi kedaulatan rakyat, dari MPR ke rakyat
merupakan manifestasi dari penyelenggaraan pemilu 2004, yang
paling jelas yakni; pertama, pemilihan presiden dan wakil presiden,
dalam pasal 1 ayat 2 menyebutkan bahwa kedaulatan berada di
tangan rakyat dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar.
Dalam pasal 6A UUD 1945 menyebutkan bahwa pasangan calon
presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui
pemilihan umum. Kedua, semua anggota lembaga legislatif pada
semua tingkatan dipilih secara langsung oleh rakyat, tidak ada lagi
anggota legislatif yang diangkat seperti pada pemilu 1999 atau pemilu
selama masa Orde Baru. Ketiga, penyelenggara pemilu sudah
mengalami perubahan dan penguatan, KPU menjadi lembaga
yang bersifat nasional, tetap dan mandiri sesuai bunti Pasal
22 E UUD 1945. KPU bukan lembaga yang berada dalam wilayah
kekuasaan lembaga lain, melainkan lembaga yang mandiri. Pada
pemilu 2004, ambang batas perolehan suara partai politik juga
mengalami kenaikan menjadi 3 persen. Beberapa hal baru muncul
pada pemilu 2004, misalnya terkait dengan penentuan calon terpilih
menggunakan penetapan angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP),
bila sang calon memperoleh angka melampaui BPP maka sang
calon dinyatakan sebagai calon terpilih, namun apabila calon tidak
mencapai angka BPP, maka penentuan calon melaljui nomor urut.
Hasil pemilu 2004 yakni Partai Golkar 128 kursi, PDI Perjuangan 109
kursi, PPP 58 kursi, Partai Demokrat 57 (ini partai baru), PKB 52
kursi, PAN 52 kursi, PKS 45 kursi, PBB 11 kursi, PBR 13 kursi, Partai
damai sejahtera 12 kursi, dan beberapa partai lain yang memperoleh
2 dan 1 kursi.
3. Pemilu 2009 dan 2014 relatif sama dalam rumusan regulasinya,
mengikuti apa yang telah dirumuskan sebelumnya. Perbedaan
muncul pada pemilu 2009 yakni terletak pada perhitungan perolehan
suara, tidak lagi didasarkan pada nomor urut calon, tetapi pada
suara terbanyak dengan system pembagian suara BPP. Banyak calon
yang berlomba-lomba mempengaruhi pemilih dengan asumsi dia
akan memperoleh suara terbanyak, meskipun nomor urutnya di
bawah, faktanya banyak calon yang berhasil terpilih bukan karena
nomor urut 1 atau 2, melainkan nomor urut dibawah, tetapi jumlah
suara yang diperoleh jauh lebih tinggi.
4. Pemilu 2019 merupakan pemilu yang paling rumit di dunia,
setidaknya begitulah pernyataan sebagian pengamat kepemiluan,
karena menggabungkan dua jenis pemilu sekaligus yakni pemilu
legislative dan pemilu presiden. Dalam pengaturan pemilu 2019
didasarkan pada UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang
merupakan gabungan tiga UU sekaligus yakni UU No. 15 tahun
2011 tentang penyelenggara pemilihan, UU No. 4 tahun 2008 tentang
pemilihan presiden, UU No 8 tahun 2012 tentang pemilihan legislatif,
terdiri dari terdiri atas 573 pasal, penjelasan, dan 4 lampiran. Jadi UU
No. 7 tahun 2017 merupakan UU yang cukup tebal dengan jumlah
pasal yang cukup banyak. Ini dari UU ini menempatkan pemilihan
legislatif dan pemilihan presiden secara serentak dalam satu waktu
yang sama. Penghitungan suara pemilih tidak lagi berdasarkan BPP,
melainkan menggunakan sainte lague dengan sistem Bilangan
Pembagi Tetap (BPT) yakni 1,3,5,7,9 dan seterusnya.
Perubahan regulasi dari pemilu ke pemilu berikutnya sangat dinamis,
karena akan menentukan masa depan suatu partai politik. Pada pemilu 2024
kemungkinan aka nada perubahan mendasar lagi dalam format pemilu
Indonesia, ide pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu local atau daerah
sangat kuat, sehingga dimungkinkan tahun 2024 format pemilu berubah.
Pilkada tidak lagi dibuat dalam tiga gelombang, sangat dimungkinkan untuk
disederhanakan menjadi satu kali saja serentak seluruh Indonesia.
Secara umum, pemilu yang diselenggarakan pasca Orde Baru dianggap
memenuhi norma-norma dasar demokrasi, pemerintahan yang terbentuk
merupakan pemerintahan yang dihasilkan dari pemilu yang bebas, jujur dan
adil. Regulasi kepemiluan makin memperkuat legitimasi pemimpin politik
yang terpilih, baik di parlemen dengan system suara terbanyak maupun
legitimasi presiden dan wakil presiden serta kepala daerah. Pertukaran partai
politik peraih suara terbanyak di parlemen merupakan manifestasi dari praktek
demokrasi yang melibatkan warga Negara secara bebas, termasuk terpilihnya
presiden dan wakil presiden pada pemilu 2004, 2009 dan 2014.
Kelembagaan Penyelenggara Pemilu

Reformasi tidak hanya berurusan dengan struktur kekuasaan dan


pengaturan masa jabatan presiden atau penghapusan dwi fungsi ABRI atau TNI,
melainkan reformasi mencakup struktur penyelengaraan pemilu, pada masa
lalu, penyelenggara pemilu berada dalam kendali pemerintah berkuasa, namun
pasca Orde Baru penyelenggara pemilu menjadi satu badan atau komisi khusus
yang diberi tugas untuk menyelenggarakan pemilu yakni Komisi
Pemilihan Umum (KPU). Pada pemilu 1999, 1 keanggotaan KPU merupakan

1
Pada Pemilu 1999, kekuatan politik memiliki orientasi kuat yang
meyakinkan bahwa lembaga penyelenggara pemilu perlu didesain lebih professional
dan mandiri, terlepas dari campur tangan pemerintah eksekutif dalam pelaksanaan
tahapan pemilu, maupun dari keterlibatan unsur partai politik dalam
representasi dari wakil-wakil partai politik dan wakil pemerintah. Pada
pemilu 2004 terjadi perubahan mendasar dan penataan kelembagaan pemilu
yang lebih baik, dimana keanggotaan KPU merupakan hasil dari seleksi yang
dilakukan secara professional oleh tim yang dibentuk oleh pemerintah dan
hasil seleksi tim dilakukan uji kelayakan dan kepatutan oleh DPR RI untuk
memilih anggota KPU yang dipandang cakap untuk menjalankan tugas
penyelengara pemilu.
Seiring dengan perjalanan waktu, reformasi kepemiluan (electoral
reform) terus dilakukan untuk menemukan postur kelembagaan yang tepat
dan ideal, dari pemilu ke pemilu terjadi perubahan dan perbaikan, bahkan
terjadi perubahan fundamental yang terjadi pada hampir semua dimensi, mulai
dari soal sistem yang digunakan, peserta yang berkontestasi, dan tata kelola
teknisnya mengalami perubahan, khususnya antar pemilu 2019 dengan pemilu
sebelumnya. Apabila sebelumnya, posisi dan peran pengawas pemilu tidak
terlalu kuat, pasca perubahan undang-undang Nomor 7 tahun 2017, posisi
dan peran Bawaslu menjadi sangat strategis dan sangat menentukan proses
yang sedang berlangsung.
Dalam konstruksi UU No. 7/2017, penyelenggara pemilu memiliki tugas
dan wewenang untuk menjalankan beberapa fungsi, termasuk menyusun daftar
pemilih, menentukan peserta pemilu yang memenuhi syarat, serta
melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara hingga menetapkan calon
atau pasangan calon terpilih. Dengan melaksanakan fungsi-fungsi tersebut,
lembaga penyelenggara pemilu tidak hanya memastikan bahwa proses pemilu
diselenggarakan secara efisien, tetapi juga secara massif mengampanyekan
nilai-nilai kebaikan kolektif yang termasuk dalam prinsip penyelenggara yakni
kejujuran, keadilan, dan transparansi, sehingga berkontribusi bagi menguatnya
legitimasi demokrasi.
Lembaga penyelenggara pemilu memiliki sifat mandiri, merupakan satu
distribusi kekuasaan eksekutif yang mandiri dan memiliki tangung jawab penuh
dalam menyelenggarakan pemilu dan seringkali pula bertanggung jawab untuk
dalam penyusunan kebijakan maupun pembuatan keputusan yang terkait
dengan proses pemilu. Dalam hal ini, presiden atau pemerintah tidak lagi
diserahi tanggungjawab untuk menyelenggarakan pemilu sebagaimana diatur
dalam TAP MPR tentang pemilu pada era Orde Baru, atau sebagai
penanggungjawab pemilu seperti pada pemilu 1999. Makna mandiri sebagai
bentuk terbebasnya penyelenggara pemilu dari pengaruh kekuasaan manapun,
pemerintah dalam hal pemilu hanya memberi kemudahan dan kelancaran
proses tahapan pemilu yang bersifat administrative seperti halnya dalam soal
pendataan pemilih, pemerintah memberi kemudahan melalui Dinas Catatan
Sipil untuk perekaman data kependudukan.

rekrutmen keanggotaannya. Sebagai tahap awal, keanggotaan belum bias secara


langsung mengikuti kecendrungan ideal suatu lembaga pemilu yang mandiri dan
otonom dari kekuatan politik dan keterlibatan pemerintah.
Kemandirian KPU merupakan keniscayaan dalam system politik
demokratis dan proses pemilihan kepemimpian nasional dan daerah, public
menuntut adanya lembaga penyelenggara yang mandiri, independen dan
professional. Kemandirian KPU tidak boleh dimaknai sebatas tidak menjadi
bagian langsung dari pemerintah eksekutif atau keanggotaannya tidak diisi oleh
wakil-wakil partai politik seperti kasus pemilu 1999, tetapi memberi ruang yang
luas kepada KPU untuk mengeluarkan kebijakan, menyusun regulasi, maupun
menyampaikan pertanggung jawaban. KPU diberi kebebasan yang
proporsional dalam merumuskan regulasi teknis penyelenggaraan yang tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional serta asas-asas
pemilu yang jujur dan adil. Dalam soal ini, Suparman Marzuki menyebut
bahwa kemandirian itu harus dimaknai sebagai kekuatan, paradigma, etika,
dan spirit untuk menjamin suatu proses dan hasil dari Pemilu yang merefleksikan
kepentingan rakyat, bangsa, dan negara, sekarang dan yang akan dating
(Suparman Marzuki, 2008).
Struktur kelembagaan KPU mengalami kemajuan signifikan sejak
penyelenggaraan pemilu tahun 1999, karena itulah pertama kali Indonesia
memperkenalkan lembaga penyelenggara yang otonom dan mandiri. Namun
demikian, kedudukan KPU tidak memiliki kekuatan, sangat rawan dan rapuh
dengan pertentangan dan konflik internal yang tidak berkesudahan.
Penyebab utama mengalami terjadi konflik internal yang alot, karena setiap
anggota KPU yang berasal dari wakil-wakil partai politik lebih terlihat
memperjuangkan kepentingan pribadi dan partainya masing-masing, tidak
memikirkan bagaimana memperjuangkan kepentingan publik dalam arti
luas. Keputusan yang hendak diambil oleh anggota KPU yang terdiri dari
wakil-wakil partai politik dan wakil pemerintah pada pemilu 1999 tidak
kunjung klar, puncaknya berujung pada kegagalan KPU menjalankan
kewenangannya untuk menetapkan hasil pemilu 1999, dan akhirnya
kewenangan itu diserahkan oleh KPU kepada Presiden Habibie (Mulyana W
Kusuma, 1999).
Problema KPU produk reformasi tahun 1999 menjadi dasar untuk menata
ulang kelembagaan KPU, pemerintah dan DPR memiliki cara pandang
yang sama mengenai institusi KPU, maka muncullah sebuah rumusan ideal
mengenai kelembagaan KPU dalam revisi UU No. 3 Tahun 1999 yang kemudian
menjadi UU No. 4 Tahun 2000, pasal 8 ayat 2 menyebutkan bahwa
“Penyelenggaraan Pemilihan Umum dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan
Umum yang independen dan nonpartisan” (Ni’matul Huda dan M. Imam Nasef,
2017). Dalam Penjelasan pasal ini diterangkan bahwa, “Komisi Pemilihan Umum
yang independen dan non-partisan artinya Komisi Pemilihan Umum yang bebas,
mandiri, dan tidak berada di bawah pengaruh serta tidak berpihak kepada
seseorang, kelompok tertentu, partai politik, dan/atau Pemerintah”.
Berdasarkan UU No. 4 Tahun 2000 hasil perubahan atas UU No. 3
Tahun 999 telah menempatkan KPU sebagai satu lembaga otonom yang kuat
dan mandiri, lembaga non partisan dan dilaksanakan secara idenpenden.
Gagasan untuk merumuskan ulang desain kelembagaan KPU yang lebih
independen dan non-partisan ini ternyata bukan hanya muncul di tingkat
revisi UU, namun bahkan diangkat ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Oleh karena
itu, dalam proses Amandemen UUD 1945, tepatnya amandemen ketiga
yang disepakati pada 9 November 2001, lahirlah rumusan
sebagaimana bunyi Pasal 22 E ayat (5), yakni, “Pemilihan Umum
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional,
tetap, dan mandiri.” Posisi KPU sangat kuat bila dibandingkan dengan lembaga
negara lain yang tidak memiliki akar dalam UUD 19945. Legitimasi KPU sebagai
mandiri, indenpenden dan non partisan diatur secara tegas dalam konstitrusi,
bahkan dalam draft awalnya disebut bahwa “KPU keanggotaannya bukan dari
partai politik dan birokrasi” (Zainal Arifin Mohtar,
2016)
Spirit kemandirian KPU secara jelas mengisyaratkan bahwa
keanggotaannya tidak diisi oleh wakil partai politik atau mereka yang
memiliki afiliasi secara langsung dengan partai, bahkan dalam
perkembangannya, syarat tersebut mengalami penguatan agar lembaga
penyelenggara ini tidak diisi oleh kader partai politik. Tampak dalam
komposisi keanggotaan KPU periode pertama yang mengemban tugas
periode 2001-2007 secara keseluruhan adalah non partisan dan tidak satupun
wakil partai politik sebagaimana pada pemilu 1999, umumnya mereka yang
dilantik adalah para akademisi terkemuka yang berasal dari perguruan tinggi
di Indonesia.
Dalam Penjelasan atas UU Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara
Pemilu dinyatakan bahwa pemilu bersifat nasional, tetap dan mandiri. Makna
dari sifat “nasional” mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab
KPU sebagai penyelenggara pemilu mencakup seluruh wilayah NKRI.
Sedangkan sifat “tetap” menunjukkan KPU sebagai lembaga yang
menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa
jabatan tertentu. Sementara itu sifat “mandiri” menegaskan KPU dalam
menyelenggarakan dan melaksanakan pemilu bebas dari pengaruh pihak
mana pun. Prinsip kemandirian dan independensi pernah menjadi ujian dan
tantangan dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Pilkada, misalnya dalam
soal bahwa tata cara persiapan dan pelaksanaan tahapan pilkada diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah, hal ini diatur dalam UU 32 tahun 2004, ini
sebenarnya bertentangan dengan prinsip kemandirian KPU dari campur
tangan pemerintah. Pada bagian lain juga disebutkan bahwa bahwa dalam
penyelenggaraan Pilkada, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota bertanggung
jawab kepada DPRD. Termasuk dalam hal penggunaan anggaran.
Atas klausul ini, sejumlah gerakan sosial dan penggiat demokrasi dan
pemilu mengajukan uji materi pada Mahkamah Konstitusi, atas permohonan
uji materi ini, MK berpendapat bahwa KPUD harus dijamin independensinya
dalam menyelenggarakan Pilkada langsung.Jika tidak, hal itu akan
mengganggu pelaksanaan kedaulatan rakyat, bertentangan dengan jaminan
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum yang dimuat dalam Pasal 28D UUD 1945. Atas dasar
pertimbangan itu, MK berpendapat bahwa pembuat UU sebaiknya pada
masa yang akan datang menetapkan KPU sebagai penyelenggara pilkada
langsung.Mengingat KPU, selain memang merupakan lembaga yang sengaja
dibentuk oleh UUD 1945 sebagai penyelenggara Pemilu, juga telah
membuktikan independensinya dalam penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan
Pemilu Presiden/Wakil Presiden tahun 2004 (Pramono U. Tanthowi, 2018)

Penutup
Studi mengenai kedaulatan rakyat merupakan studi yang secara
spesifik meletakkan peran sentral rakyat dalam proses politik dan penentuan
kepemimpinan. Kedaulatan rakyat sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945
merupakan langkah strategis menempatkan rakyat sebagai sumber
kekuasaan tertinggi. Manifestasi dari kedaulatan rakyat diwujudkan dalam
proses pemilihan pemimpin dengan melibatkan partisipasi warga secara
langsung, umum, bebas dan rahasia. Pemerintahan oleh rakyat itulah yang
menjadi jiwa dan semangat dari demokrasi, kekuasaan bersumber dari rakyat
dan akan terus menerus mereproduksi dirinya dalam konteks perubahan sosial
politik bangsa.
Demokrasi menjadikan suara mayoritas yang menjadi dasarnya,
kehendak umum itu hanya dapat diukur melalui pemberian suara dalam proses
pemilihan umum yang terbuka, bebas, jujur dan adil. Kesamaan dan kesetaraan
politik sebagai prinsip demokraqsi dapat diimplementasikan dengan
menerapkan prinsip “one man one vote”. Dalam hal ini dapat disebut bahwa
suara terbanyak menjadi dasar dan indicator untuk memberi penilaian bahwa
apa yang sesungguhnya menjadi kehendak umum rakyat suatu Negara. System
one man one vote sebenarnya dapat saja dimanifestasikan dalam proses
muyawarah mufakat.
Akhirnya, tulisan yang terangkum dalam buku ini merupakan hasil
kolaborasi mahasiswa semester IV Program Studi Ilmu Politik UIN Alauddin
Makassar yang merupakan hasil refleksi bebas mereka terhadap berbagai
persoalan pemilu, demokrasi dan soal kekuasaan. Sebagai refleksi kritis
mahasiswa, buku ini masih jauh dari kesempurnaan, terdapat banyak
kemungkinan adanya berbagai kesalahan dan kekurangan. Atas segala
kekurangan itu dimohon saran dan masukan para pembaca yang budiman
untuk memperkuat refleksi mahasiswa dalam membaca dan menjelaskan
realitas kehidupan politik bangsa. Terakhir, buku ini kami ingin persembahkan
untuk almarhumah anak didik kami Nur Magfirah (Mahasiswa Ilmu Politik
angkatan 2016, almarhumah juga ikut berkontribusi dalam sebagai penulis
dalam buku ini) yang meninggal dunia di penghujung tahun 2018 dalam
kecelakaan tunggal sepeda motor, semoga almarhumah memperoleh tempat
yang layak disisinya, amin yaa rabbal alamin.
Wallahu a’lam bi shawab

Andi Tonro Makassar 2018


Daftar Pustaka

Budiman, Arif, Teori Negara, Jakarta: Gramedia, 1996


Dahl, Robert, On Democracy, New have & London: Yale University Press, 1998
, Perihal Demokrasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001
Held, David, Models Of Democracy, Jakarta: Akbar Tandjung Institute, 2007
Huda, Ni’matul dan M. Imam Nasef, Penataan Demokrasi & Pemilu di
Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: Fajar Interpratama Mandiri, 2017.
Jurdi, Syarifuddin, “Pemilih dan Kedaulatan Rakyat: Refleksi terhadap Proses
Pemutakhiran Data Pemilih pada Pemilu Serentak 2019”, dalam
Jurnal Pustaka Pemilu, Vol. 1, No. 1, Tahun 2018
, Politik Islam Profetik, Makassar: Lab IPO UINAM
Kusuma, Mulyana W., “Pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 1999,” dalam Juri
Ardiantoro (ed.), Transisi Demokrasi: Evaluasi Kritis Penyelenggaraan
Pemilu 1999, Jakarta: KIPP Jakarta, 1999.
Mochtar, Zainal Arifin, Lembaga Negara Independen, Jakarta: Rajawali Press,
2016
Tanthowi, Pramono Ubaid, “Mempertahankan Kemandirian KPU: Antara
Produk Legislatif dan Mahkamah Konstitusi”, dalam Jurnal Pustaka
Pemilu, Vo. 1, No.1 Tahun 2018
Yamin, Muhammad, Proklamasi dan konstitusi republic Indonesia, Jakarta:
Djambatan, 1952.

Anda mungkin juga menyukai