Anda di halaman 1dari 12

DIDI SURYADI

MODUl
Didactical Design Research
(DDR) Tingkat Dasar III

PUSBANGDDRINDO
Didactical Design Research (DDR)
Tingkat Dasar

3 Desain Didaktis Berbasis Teori Situasi Didaktis (TSD)


Untuk menghasilkan desain didaktis baru, seorang pendidik dapat melakukannya dengan banyak cara
termasuk yang paling sederhana yaitu berbasis pada perspektif Teori Situasi Didaktis (TSD). Untuk itu pada
bagian ini akan dikemukakan langkah-langkah dasar penyusunan desain berdasarkan sudut pandang TSD
yaitu meliputi identifikasi masalah, perancangan, implementasi, dan proses retrospeksi. Adapun tujuan utama
uraian yang dikemukakan adalah agar para pendidik dapat melakukan penelitian sederhana sebagai upaya
reflektif dalam menghasilkan desain didaktis alternatif. Dengan upaya reflektif berkelanjutan, diharapkan
selain terjadi proses continuous professional development bagi para pendidik, sekaligus juga melakukan
peningkatan kualitas pembelajaran secara terus menerus.

Identifikasi Masalah Desain


Untuk melakukan identifikasi masalah yang ada kaitannya dengan desain, salah satu cara yang paling mudah
adalah dengan menganalisis dokumen berisi taught knowledge atau materi acuan untuk pembelajaran yang
tertuang dalam buku siswa dan buku guru yang merupakan satu kesatuan. Untuk memperoleh gambaran
kongkrit, kita ambil contoh materi matematika kelas lima SD tentang volum balok. Sebagaimana sudah
dikemukakan pada kajian materi sebelumnya, bahwa belajar matematika menurut Harel (2008) dapat
diorientasikan pada lima hal yaitu konstruksi konsep, aturan (rumus atau teorema), bukti, masalah matematis,
dan solusi masalah matematis. Berkaitan dengan materi volum balok, maka orientasi utama proses
pembelajaran adalah bagaimana caranya agar peserta didik mampu mengkonstruksi atau menemukan
rumus volum balok, serta menggunakannya dalam pemecahan masalah matematis. Untuk mencapai tujuan
tersebut, menurut teori situasi didaktis yang dikemukakan Brosseau (1997) maka proses pembelajarannya
harus memenuhi alur situasi didaktis mulai dari situasi aksi, formulasi, validasi, dan situasi institusionalisasi.
Situasi aksi adalah suatu proses yang melibatkan potensi perseptual dan memorial misalnya dimulai dari
proses pengamatan terhadap situasi didaktis yang diberikan dan dilanjutkan dengan pengaitan hasil
pengamatan dengan pengalaman belajar atau obyek-obyek mental lain yang sudah dimiliki sebelumnya.
Karena pengalaman belajar serta obyek-obyek mental yang dimiliki dan digunakan siswa berbeda-beda,
maka proses dan hasil formulasi yang terjadi untuk setiap anak juga pasti berbeda-beda. Keragaman
formulasi yang dihasilkan siswa selain perlu diantisipasi juga harus divalidasi melalui suatu proses interaksi
kelas sehingga terjadi dialog produktif antar siswa yang difasilitasi guru sehingga menghasilkan negosiasi
makna yang mengakibatkan adanya proses refining atas formulasi yang dihasilkan masing-masing siswa.
Situasi institusionalisasi dapat terjadi melalui proses fasilitasi penggunaan obyek matematis baru yang
dihasilkan dalam penyelesaian masalah matematis dengan konteks beragam.
Dengan menggunakan sudut pandang tersebut, marilah kita analisis desain didaktis dalam bentuk taught
knowledge yang tertuang dalam dua dokumen yaitu buku siswa dan guru yang disediakan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan dalam bentuk buku elektronik tulisan Purnomosidi, dkk. (2018). Pada bagian
awal desain disajikan penjelasan dan ilustrasi berikut.
(Sumber: Purnomosidi, dkk. (2018) halaman 145)
Ilustrasi ini menggambarkan cara menentukan volum balok dengan memasukkan kubus-kubus satuan ke
dalamnya sampai penuh sehingga bisa diketahui banyaknya kubus satuan yang memenuhi balok tersebut.
Aksi mental yang mungkin dilakukan siswa adalah menghitung banyaknya kubus satuan yang memenuhi
balok. Pada kegiatan berikutnya disajikan beberapa masalah seperti di bawah ini. Dalam penyelesaian
masalah tersebut diperlukan aksi mental yang sama yaitu menghitung banyaknya kubus satuan yang
memenuhi masing-masing balok.

(Sumber: Purnomosidi, dkk. (2018) halaman 146)


Sub desain berikutnya yang dihadapkan kepada siswa adalah sajian soal-soal seperti di bawah ini.

2
(Sumber: Purnomosidi, dkk. (2018) halaman 147)
Jika kita perhatikan dua situasi didaktis sebelumnya, kita bisa menduga bahwa aksi mental yang diharapkan
terjadi untuk menyelesaikan sepuluh soal tersebut adalah menghitung banyaknya kubus satuan yang dapat
memenuhi masing-masing balok. Akan tetapi, apabila kita telaah buku panduan gurunya ternyata disajikan
hal yang sangat berbeda sebagaimana tergambar pada kunci jawaban yang diharapkan oleh penulis yaitu
seperti di bawah ini.

(Sumber: Purnomosidi, dkk. (2018) halaman 138; Buku Gurup


Petunjuk untuk guru dalam melakukan pembelajaran, dengan kunci jawaban yang disediakan tampaknya
tidak ada kesesuaian. Pada petunjuknya, siswa diminta menghitung volum balok dengan memasukkan kubus
satuan, akan tetapi kunci jawaban yang diharapkan penulis adalah perkalian tiga bilangan. Kunci jawaban ini
sebenarnya menggambarkan bentuk formulasi yang diharapkan oleh penyusun desain, walaupun aksi-aksi

3
mental yang difasilitasi melalui situasi didaktis sebelumnya sama sekali tidak mengarah pada formulasi ini.
Dugaan bahwa formulasi yang diharapkan adalah perkalian tiga bilangan yang merepresentasikan perkalian
antara panjang, lebar, dan tinggi balok dapat dibuktikan pada sajian situasi lanjutannya yaitu sebagai berikut.

(Sumber: Purnomosidi, dkk. (2018) halaman 148)


Berdasarkan analisis di atas, desain didaktis yang dikembangkan penulis sama sekali tidak mengikuti alur
belajar sebagaimana yang diharapkan dalam Teori Situasi Didaktis (TSD). Selain itu proses formulasi volum
sebuah balok yang ditentukan melalui perkalian tiga bilangan yang merepresentasikan panjang, lebar, dan
tinggi, sama sekali tidak didesain berdasarkan atas aksi-aksi mental yang didorong oleh rangkaian situasi
didaktis sebelumnya. Proses tersebut lebih cenderung bersifat persuasif-testimonial yang tidak memberikan
kemerdekaan kepada peserta didik untuk menghasilkan idenya sendiri secara kreatif dan mandiri.

Penyusunan Desain Didaktis Alternatif


Sebelum kita membahas penyusunan desain didaktis alternatifnya, terlebih dahulu perlu diingat kembali
bahwa orientasi suatu proses belajar adalah menghasilkan pengetahuan baru bagi peserta didik. Dengan
demikian pembelajaran adalah upaya pendidik membantu peserta didik menghasilkan pengetahuan baru
tersebut. Sebagaimana sudah dikemukakan pada kajian materi sebelumnya, bahwa menghasilkan
pengetahuan adalah menghasilkan true belief yang dapat dijastifikasi. Untuk menghasilkannya diawali
dengan proses perseptual diikuti memorial yang dalam TSD diwujudkan dalam bentuk situasi aksi dan
formulasi, kemudian proses introspektif (dalam TSD diwujudkan sebagai penciptaan situasi validasi), dan
terahir adalah proses a priori yakni proses abstraksi sehingga menghasilkan kesimpulan bersifat umum.
Dalam pembelajaran, hal tersebut diwujudkan dalam bentuk dihasilkannya obyek matematis baru yang

4
bersifat umum. Selain itu, karena belajar secara filsafat dapat dimaknai sebagai upaya untuk menghasilkan
pengetahuan baru serta menerapkannya secara benar, maka dalam TSD hal ini diwujudlan dalam bentuk
penciptaan situasi institusionalisasi misalnya menerapkan pengetahuan baru dalam pemecahan masalah
matematis.
Analisis terhadap desain didaktis yang ada sebagaimana dikemukakan sebelumnya, menemukan
permasalahan mendasar yaitu adanya kerancuan learning trajectory struktural yang tidak menyediakan
fasilitasi untuk terjadinya situasi aksi, formulasi, validasi, dan institusionalisasi dengan baik dan terstruktur.
Dengan demikian, Langkah pertama untuk menyusun desain alternatifnya adalah dengan mengembangkan
alur belajar strukturalnya yang diilustrasikan melalui gambar di bawah ini. Langkah pertama untuk
menghasilkan alur belajar struktural tersebut adalah menentukan tujuan utama proses pembelajaran. Dalam
hal ini yang menjadi tujuan utamanya adalah menemukan rumus volum balok dan menerapkannya dalam
pemecahan masalah. Dengan demikian, dua hal tersebut ditempatkan pada bagian akhir dari diagram.
Langkah berikutnya adalah berpikir mundur, yakni untuk sampai menemukan rumus balok dalam bentuk
umum, kita tentu perlu memfasilitasi proses belajar melalui penemuan rumus balok dalam bentuk khusus.
Sebelum menghasilkan bentuk khusus, siswa difasilitasi untuk bisa menemukan rumus volum balok dalam
bentuk kontekstual atau kongkrit misalnya menggunakan bantuan kubus-kubus satuan. Karena formulasi
yang diharapkan ditemukan siswa merupakan perkalian tiga bilangan, maka sebagai langkah tentatif
mengawali proses pembelajaran bisa dilakukan fasilitasi untuk terjadinya apersepsi pada siswa misalnya
dengan memberikan beberapa soal perkalian tiga bilangan yang menghasilkan bilangan tertentu seperti 16
dapat dihasilkan dari perkalian 2, 4, dan 2; 24 bisa dihasilkan dari perkalian 2, 4, dan 3; dan seterusnya.
Apersepsi tersebut diharapkan dapat membantu siswa cepat menyadari adanya hubungan antara banyaknya
kubus satuan yang dapat memenuhi sebuah balok dengan tiga bilangan yang merepresentasikan panjang,
lebar, dan tinggi balok.

Gambaran Alur Belajar Struktural


Alur belajar di atas selanjutnya akan kita gunakan sebagai acuan untuk mengembangkan setiap sub-desain
dari desain didaktis yang diharapkan. Untuk menentukan sub-desain pertama, kita perlu memikirkan suatu
situasi yang dapat mendorong siswa untuk tidak menggunakan strategi menghitung kubus satuan dalam
menentukan banyaknya kubus satuan yang dapat memenuhi sebuah kubus sebagaimana ditemukan pada
desain yang dianalisis. Menemukan situasi seperti itu sangat penting karena tujuan dari sub-desain ini adalah
agar siswa mampu menentukan banyaknya kubus satuan bukan dengan cara menghitung, melainkan melalui
proses perkalian tiga bilangan. Dengan demikian, sub-desain yang dimaksud tidak perlu melibatkan
penggunaan balok transparan serta sejumlah kubus satuan untuk mengisinya. Sub-desain ini hanya
memerlukan sebuah ilustrasi atau gambar yang dapat membantu siswa, melalui kemampuan perseptual dan
memorialnya, untuk bisa menentukan cara menghitung banyaknya kubus satuan yang membentuk sebuah
balok. Gambar di bawah ini adalah sub-desain pertama yang memuat ilustrasi tumpukan kubus satuan
sebanyak 64 buah dan membentuk sebuah balok (kubus). Pertanyaan yang diajukan sebagai pemantik untuk
terjadinya situasi aksi adalah “Dapatkah kamu menjelaskan cara menghitungnya?”.

5
Sub-Desain Pertama
Pada sub-desain pertama di atas, banyaknya kubus satuan sudah langsung diberitahukan dengan
pertimbangan bahwa yang ingin didorong melalui situasi tersebut bukan aksi mental menghitung banyaknya
kubus satuan dengan cara membilang, melainkan dengan menggunakan perkalian. Dengan media berbentuk
gambar seperti ini, siswa tidak bisa melihat semua kubus satuan yang membentuk bangun ruang tersebut
sehingga untuk menentukan cara menghitungnya siswa diharapkan lebih terdorong menggunakan perkalian
dibanding dengan membilang. Beberapa kemungkinan respon siswa yang bisa diprediksi adalah: menghitung
banyaknya kubus satuan pada lapisan paling atas kemudian dikalikan dengan banyaknya lapisan;
menghitung banyaknya kubus satuan pada kolom paling kanan kemudian dikalikan dengan banyaknya
kolom; menghitung banyaknya kubus satuan yang ada pada lapisan paling depan kemudian dikalikan dengan
banyaknya lapisan ke belakang; melakukan perkalian tiga bilangan yaitu 4 x 4 x 4 yang merepresentasikan
panjang, lebar, dan tinggi; dan mungkin masih ada siswa yang mencoba menghitungnya satu persatu dengan
cara membayangkan sebagian kubus satuan yang tidak terlihat.
Prediksi respon siswa sebagaimana dikemukakan di atas sangatlah penting khususnya dalam memikirkan
dan merancang alternatif antisipasinya. Antisipasi yang disiapkan tentu disesuaikan dengan rentang
keragaman respon siswa serta diorientasikan untuk mengarah pada pencapaian tujuan utama sub-desain
yang disediakan. Dengan demikian antisipasi yang disiapkan untuk memfasilitasi situasi validasi, pada
dasarnya harus mampu memfasilitasi pengkonstruksian jastifikasi yang mengarah pada penemuan cara
dalam bentuk perkalian tiga bilangan. Sebagai contoh, untuk jenis respon yang menghitung lapisan atasnya
kemudian dikalikan dengan banyaknya lapisan, guru dapat mengajukan pertanyaan misalnya “bagaimana
cara menghitung banyaknya kubus satuan pada lapisan atas ini?” Jika anak meresponnya dengan cara
menghitung satu persatu, maka diajukan lagi pertanyaan, misalnya “bisakah kamu menghitungnya dengan
cara lain?” atau dengan mengajukan pertanyaan yang lebih terarah seperti “bisakah kamu menentukan
banyaknya kubus pada lapisan itu dengan menggunakan perkalian dua bilangan?” dan seterusnya. Proses
pengajuan pertanyaan seperti ini selain membantu siswa untuk mengarahkan pada penemuan perkalian tiga
bilangan juga membantu mereka untuk membangun jastifikasi masing-masing karena perbedaan respon
hanya terjadi karena perbedaan cara melihat gambar.
Ketika anak-anak sudah menemukan cara sesuai tujuan utama sub-desain pertama, maka sub-desain kedua
dapat dikembangkan misalnya untuk tujuan memperkuat cara yang sudah ditemukan pada sub-desain
sebelumnya. Gambar berikut adalah contoh sub-desain kedua yang merupakan variasi dari sud-desain
sebelumnya. Pada sub ini, banyaknya kubus satuan yang membentuk masing-masing balok tidak diberi
tahukan terlebih dahulu dengan harapan siswa dapat memperolehnya langsung dari penerapan cara yang

6
sudah ditemukan sebelumnya. Pada penyelesaian sub-desain kedua ini selain ada anak yang sudah bisa
langsung menerapkan cara perhitungan yang sudah ditemukan sebelumnya, yaitu menggunakan perkalian
tiga bilangan yang mewakili ukuran rusuk-rusuknya, mungkin juga masih ada yang melakukan dengan
menghitung banyaknya kubus pada salah satu sisi yang terlihat (depan, atas, kanan) dan mengalikannya
dengan banyaknya lapisan sesuai sisinya. Bagi anak yang menggunakan cara terakhir, bisa digunakan
pendekatan socratic questioning untuk mengarahkan proses berpikir mereka pada perkalian tiga bilangan.

Sub-Desain Kedua

Sesuai alur belajar struktural yang sudah dirancang, selanjutnya disajikan sub-desain ketiga, misalnya seperti
gambar di bawah ini. Ketika dihadapkan pada masalah seperti ini, mungkin ada anak yang bisa
menyelesaikannya dengan menggunakan perkalian tiga bilangan, tapi mungkin juga ada yang masih bingung
karena gambar kubus satuannya tidak ada. Untuk anak yang langsung bisa menggunakan perkalian, bisa
diajukan pertanyaan, misalnya “mengapa bisa dilakukan dengan perkalian?”. Kalau ternyata Sebagian anak
ada yang masih bingung, ajak mereka kembali memperhatikan sub-desain pertama. Anggap setiap rusuk
dari sisi kubus satuannya berukuran 1 cm, sehingga mereka bisa menemukan bahwa rusuk balok berukuran
4 cm. Setelah itu mereka bisa kembali mencoba soal pada sub-desain ketiga.

Sub-Desain Ketiga

7
Ketika proses pembelajaran pada sub-desain ketiga sudah mampu memberikan pengalaman menemukan
volum kubus pada bentuk khusus, maka selanjutnya diajukan masalah yang bersifat umum seperti pada sub-
desain keempat di bawah ini. Dalam upaya merespon situasi ini, mungkin ada anak yang bisa langsung
menyatakannya dalam bentuk perkalian, yakni volum kubus adalah perkalian dari a x b x c dan p x l x t, tetapi
mungkin juga ada yang masih bingung karena perkalian huruf-huruf tidak bisa menghasilkan satu bilangan.
Untuk menyikapi situasi seperti ini, guru tentu harus menjelaskan dalam bentuk kesepakatan bahwa bentuk
perkalian seperti ini disepakati penulisannya, misalnya volum balok adalah a x b x c satuan ruang atau secara
singkat ditulis V = a x b x c satuan ruang.

Sub-Desain Keempat
Sub-Desain kelima di bawah ini diberikan untuk memberikan pengalaman belajar bagaimana menggunakan
rumus volum balok yang sudah ditemukan dalam penyelesaian soal matematis. Ada beberapa kemungkinan
yang dilakukan anak dalam merespon soal ini. Pertama, mungkin anak menyelesaikan soal A dengan cara
membagi menjadi beberapa balok kemudian menyelesaikan soal B dengan cara yang sama. Kedua,
menyelesaikan soal A dengan cara membagi menjadi beberapa balok; menghitung volum keseluruhan; dan
menyelesaikan soal B dengan pengurangan yaitu volum keseluruhan dikurangi volum A. Menyikapi situsai
seperti ini, guru dapat mengajukan pertanyaan misalnya “Mengapa dilakukan seperti itu, apa alasannya?”.
Selain itu, guru juga dapat memberikan penguatan bahwa kedua car aitu tidak ada yang salah.

Sub-Desain Kelima

8
Uraian desain didaktis di atas selanjutnya dapat disajikan secara sederhana dalam bentuk tabel seperti di
bawah ini. Tabel tersebut terdiri atas empat kolom yaitu berisi sub-desain, prediksi respon siswa, antisipasi
didaktis dan pedagogis, serta obyek dan keamampuan matematis yang dikembangkan.

OBYEK & KEMAMPUAN


SUB-DESAIN PREDIKSI RESPON SISWA ANTISIPASI DIDAKTIS- MATEMATIS YANG
PEDAGOGIS DIKEMBANGKAN

Menghitung banyaknya kubus pada Menggunakan strategi socratic Rumus volum balok
salah satu sisi (depan, atas, atau kanan) questioning untuk membantu berdasarkan kubus satuan
kemudian mengalikannya dengan proses berpikir siswa mengarah
banyak lapisan sesuai sisinya pada perkalian tiga bilangan Kemampuan komunikasi
dan argumentasi
Melakukan perkalian tiga bilangan yang Proses validasi dilakukan matematis
mewakili panjang, lebar, tinggi dengan strategi diskusi kelas
atau kelompok sesuai
Menghitung satu persatu termasuk kebutuhan siswa
kubus-kubus yang tidak terlihat dengan
cara membayakangkannya

Menggunakan perkalian tiga bilangan Kembali menggunakan strategi Rumus volum balok
socrstic questioning untuk berdasarkan kubus satuan
Menghitung banyaknya kubus pada membantu proses berpikir siswa
salah satu sisi (depan, atas, atau kanan) mengarah pada perkalian tiga Kemampuan komunikasi
kemudian mengalikannya dengan bilangan dan argumentasi
banyak lapisan sesuai sisinya matematis
Diskusi kelas

Menggunakan perkalian Untuk yang menggunakan Rumus volum balok


perkalian, ditanya mengapa bisa berdasarkan kasus khusus
Bingung karena tidak ada gambar kubus menggunakan perkalian
satuannya Kemampuan komunikasi
Untuk yang masih bingung, dan argumentasi
kembali ke gambar sub-desain matematis
pertama. Anggap setiap rusuk
kubus satuan adalah 1 cm
Diskusi kelas

Menggunakan perkalian Untuk yang menggunakan Rumus volum balok


perkalian, ditanya mengapa bisa berdasarkan dalam bentuk
Menggunakan perkalian tapi bingung menggunakan perkalian umum
cara mengalikannya
Untuk yang masih bingun, Kemampuan komunikasi
Bingung karena tidak ada bilangannya kembali ke gambar sub-desain dan argumentasi
ketiga. Anggap setiap rusuk matematis
yang ada bilangannya diganti
dengan huruf
Disepakati bahwa volum balok
adalah a x b x c dan p x l x t
atau ditulis V = a x b x c satuan
ruang dan V = p x l x t satuan
ruang
Diskusi kelas
Menyelesaikan soal A dengan cara Masing-masing cara ditanyakan Menggunakan rumus
membagi menjadi beberapa balok dan alasannya dan diberi penguatan. volum balok dalam
menyelesaikan soal B dengan cara yang penyelesaian masalah
sama. Diskusi kelas
Kemampuan problem
Menyelesaikan soal A dengan cara solving, komunikasi dan
membagi menjadi beberapa balok; argumentasi matematis
menghitung volum keseluruhan; dan
menyelesaikan soal B dengan
pengurangan volum keseluruhan
dikurangi volum A.
Menghitung satu persatu

9
Implementasi Desain
Dalam kaitan dengan implementasi desain, paling tidak ada dua hal yang perlu menjadi patokan yaitu tetap
konsisten pada alur belajar hipotetis baik struktural maupun fungsional, serta senantiasa menjaga
keseimbangan atara dua situasi yaitu adaptasi dan akulturasi. Alur belajar struktural sebagaimana
diilustrasikan pada gambar di bawah ini adalah rangkaian situasi didaktis yang dibangun berdasarkan
beberapa sub-desain. Karena setiap sub-desain dirancang untuk membantu siswa belajar menghasilkan
suatu obyek matematis dengan sifat tertentu (merentang dari kongkrit sampai abstrak), maka untuk
memfasilitasinya perlu didorong melalui alur belajar fungsional meliputi situasi aksi, formulai, validasi, dan
institusionalisasi. Dalam setiap situasi tersebut tentu selalu ada dua kemungkinan proses yang terjadi yaitu
proses adaptasi dan akulturasi. Adaptasi adalah suatu proses dimana siswa berupaya mengaktualisasikan
kemampuan serta pengalaman belajar sebelumnya untuk merespon masalah yang dihadapi, sampai batas
tertentu sesuai kemampuan mereka (tahap actual develompement). Ketika siswa (menurut pertimbangan
guru) mengalami kesulitan atau berada pada tahap memerlukan bantuan, maka hubungan antara guru dan
siswa memasuki fase akulturasi (tahap potential development). Akulturasi adalah suatu proses intervensi
yang diberikan guru, baik didaktis maupun pedagogis, yang secara langsung atau tidak langsung memuat
kultur perpikir matematis berdasarkan pengalaman belajarnya yang sudah lama, mendalam, dan
komprehensif (menguasai scholarly knowledge materi yang diajarkan). Sementara siswa adalah pihak yang
baru pertama kali mengenal materi yang diajarkan, sehingga proses berpikir mereka dalam merespon situasi
didaktis yang dihadapi masih sangat terbatas. Dengan demikian, guru sebaiknya mampu menjaga
keseimbangan antara kedua proses tersebut yaitu adaptasi dan akulturasi. Dengan cara seperti ini
diharapkan terbentuknya obyek matematis baru yang merupakan tujuan utama pembelajaran dapat dicapai
dengan baik untuk setiap siswa.

Implementasi Rancangan Alur Belajar Struktural dan Fungsional

10
Sebagai sebuah rancangan, alur belajar yang diimplementasikan tentu tidak akan luput dari kekurangan atau
kelemahan. Untuk mengkaji hal ini dalam proses implementasi sebuah desain paling tidak ada tiga aspek
yang harus diperhatikan yaitu aspek kesatuan (unity), fleksibilitas, dan koherensi (Suryadi, 2019). Ketika kita
merancang setiap sub-desain yang masing-masing merupakan bagian integral dari desain didaktis secara
keseluruhan, mungkin ada hal yang tidak terprediksikan sebelumnya. Untuk itu maka apabila dalam
implementasinya ada sub-desain yang kurang menunjang pada aspek kesatuan, misalnya ada bagian yang
berlebih atau ada bagian yang memerlukan penambahan, maka temuan tersebut menjadi dasar untuk
melakukan perbaikan. Prediksi respon siswa yang diajukan, seringkali juga hanya didasarkan atas
pengalaman serta pemikiran diri sendiri, sehingga tidak tertutup kemungkinan ada respon siswa yang sama
sekali belum pernah terpikirkan. Untuk itu, bersifat fleksibel (tidak terlalu kaku) dalam memfasilitasi
keragaman respon siswa khususnya ketika respon mereka di luar yang kita pikirkan, merupakan salah satu
sarana penunjang keberhasilan proses fasilitasi pembelajaran. Jika kita menemukan respon siswa yang tidak
terprediksikan, tetapi dinilai sangat baik, maka hal itu akan menjadi masukan berharga untuk memperbaiki
desain yang kita kembangkan. Aspek koherensi dapat terjadi dalam kedua alur belajar yaitu struktural dan
fungsional. Dalam konteks alur belajar struktural, setiap sub-desain harus selalu diperhatikan keterkaitan
logisnya dengan sub-desain lainnya sehingga mendukung kesinambungan proses berpikir siswa dalam
mencapai tujuan belajarnya. Demikian juga dalam kaitannya dengan alur belajar fungsional, proses-proses
berpikir antar situasi juga harus menjadi fokus perhatian karena proses berpikir pada alur belajar dalam satu
sub-desain akan berdampak langsung pada proses berpikir pada sub-desain lainnya.
Analisis Retrospektif
Bagian akhir dari penelitian desain didaktis adalah melakukan retrospeksi, yaitu membandingkan antara hasil
analisis prospektif dengan hasil analisis implementasi desain. Sebagaimana kita ketahui bahwa hasil analsis
prospektif biasanya diwujudkan dalam bentuk desain didaktis (memuat beberapa sub-desain) serta prediksi
respon siswa dan antisipasi didaktis-pedagogis untuk setiap sub-desain. Ketika desain didaktis yang
dikembangkan diimplementasikan, tentu harapannya semua yang diprediksikan dapat terjadi sesuai yang
kita pikirkan. Akan tetapi, kenyataannya tidaklah demikian. Kita tahu bahwa setiap anak memiliki keunikan
sendiri karena mereka memiliki potensi beragam, pengalaman belajar yang berbeda-beda, serta
pengetahuan yang berbeda-beda pula. Dengan demikian, apabila yang diprediksikan tidak seluruhnya terjadi,
maka sewajarnyalah kita melakukan melakukan proses reflektif atas yang apa yang kita pikirkan sebelumnya
dengan apa yang terjadi dalam implementasinya. Proses retrospektif yang pada hakikatnya merupakan
proses reflektif tersebut pada akhirnya akan menghasilkan sejumlah temuan berharga yang dapat digunakan
untuk melengkapi serta memperbaiki desain didaktis yang dikembangkan.

Daftar Pustaka
Brouseau, G. (1997). Theory of Didactical Situation in Mathematics. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers
Harel, G. (2008). What is Mathematics? A Pedagogical Answer to a Philosophical Question. Dalam B. Gold
& R.A. Simons (Eds.): Proof and other Dilemmas: Mathematics and Philosophy (pp. 265-290). The
Mathematical Assosiation of America.
Purnomosidi, Wiyanto, Safiroh, & Gamtiny,I. (2018). Senang Belajar Matematika Kelas V. Jakarta:
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Purnomosidi, Wiyanto, Safiroh, & Gamtiny,I. (2018). Buku Guru Senang Belajar Matematika Kelas V. Jakarta:
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Suryadi, D. (2019). Penelitian Desain Didaktis (DDR) dan Implementasinya. Bandung: Gapura Press

11

Anda mungkin juga menyukai