Anda di halaman 1dari 24

Hakikat dan Model Desain Pembelajaran

BAB IV
Hakikat dan Model Desain Pembelajaran
A.    Deskripsi

Pada materi kali ini, mahasiswa akan membahas tentang hakikat model desain pembelajaran.
Definisi hakikat desain pembelajaran dan model-model pembelajaran akan dijabarkan secara mendetail,
dimulai dari definisi desain pembelajaran dan penjelasan mengenai model-model pembelajaran seperti
model Barry Moris, model Kemp, model Banathy, model  Dick and Carrey dan model PPSI (Prosedur
Pengembangan Sistem Instruksional). Setelah selesai mempelajari topik ini, mahasiswa akan diberi
rangkuman. Sebagai langkah akhir sebelum melanjutkan ke materi selanjutnya, akan diberi tes umpan
balik untuk memastikan bahwa mahasiswa telah memahami materi dengan baik. 

B.     Relevansi

Pemahaman konsep dasar desain pembelajaran dan model-model


pembelajaran sangat penting dan sangat berguna untuk melakukan perencanaan pembelajaran yang
sesuai dengan kurikulum di SMA/ SMK/ Sederajat. Pada akhir perkuliahan mata kuliah ini mahasiswa
diharapkan mampu menyusun perencanaan pembelajaran Bahasa Prancis secara sempurna. Pada bab
ini mahasiswa diharapkan mampu mengaplikasikan beberapa model pembelajaran yang telah
dipaparkan dan pada akhirnya mampu mengembangkannya. Mahasiswa dapat menemukan refensi lain
terkait desain model pembelajaran pada buku Perencanaan Pembelajaran karya Hamzah B. Uno dan
juga buku Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran karya Wina Sanjaya.
C. Capaian Pembelajaran Mata Kuliah

Setelah selesai mempelajari topik ini mahasiswa diharapkan mampu untuk: (1) mendeskripsikan
pengertian desain pembelajaran; (2) menguraikan minimal 3 model desain pembelajaran.

             D.     Uraian Materi

             1. Definisi Desain Pembelajaran

Menurut Dick and Carrey dalam Sanjaya (2015:65), desain sebagai proses pemecahan masalah.
Desain bertujuan untuk mencapai solusi terbaik dalam memecahkan masalah dengan memanfaatkan
sejumlah informasi yang tersedia. Dapat dikatakan bahwa suatu desain muncul karena kebutuhan
manusia untuk memecahkan suatu persoalan. Suatu desain pada dasarnya adalah suatu proses yang
bersifat linear yang diawali dari penentuan kebutuhan, kemudian mengembangkan rancangan untuk
merespons kebutuhan tersebut, selanjutnya rancangan tersebut diujicobakan dan akhirnya dilakukan
proses evaluasi untuk menentukan hasil tentang efektivitas rancangan (desain) yang disusun. Desain
sebagai proses rangkaian kegiatan yang bersifat linear tersebut digambarkan oleh Sambaugh (2006)
seperti di bawah ini. 

Menurut Gentry dalam Sanjaya (2015:67), desain pembelajaran berkenaan dengan proses
menentukan tujuan pembelajaran, strategi dan teknik untuk mencapai tujuan serta merancang media
yang dapat digunakan untuk efektivitas pencapaian tujuan. Selanjutnya ia menguraikan, penerapan
suatu desain pembelajaran memerlukan dukungan dari lembaga yang akan menerapkan, pengelolaan
kegiatan, serta pelaksanaan yang insentif berdasarkan analisis kebutuhan.
Dari beberapa pengertian diatas, maka desain instruksional berkenaan dengan proses
pembelajaran yang dapat dilakukan siswa untuk mempelajari suatu materi pelajaran yang di dalamnya
mencakup rumusan tujuan yang harus dicapai atau hasil belajar yang diharapkan, rumusan strategi yang
dapat dilaksanakan untuk mencapai tujuan termasuk metode, teknik dan media yang dapat
dimanfaatkan serta teknik evaluasi untuk mengukur atau menentukan keberhasilan pencapaian tujuan.
Mendesain pembelajaran harus diawali dengan studi kebutuhan (need assessmet), sebab berkenaan
dengan upaya untuk memecahkan persoalan yang berkaitan dengan proses pembelajaran siswa dalam
mempelajari suatu bahan atau materi pembelajaran.

1.      Hubungan Perencanaan dan Desain Pembelajaran

            Dapat dikatakan Perencanaan pembelajaran (Lesson Plans) berbeda dengan Desain Pembelajaran
(Instructional Design), namun keduanya memiliki hubungan yang sangat erat sebagai program
pembelajaran. Perencanaan pembelajaran disusun untuk kebutuhan guru dalam melaksanakan tugas
mengajarnya. Dengan demikian, perencanaan merupakan kegiatan menerjemahkan kurikulum sekolah
kedalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas, (Shambaugh dan Magliaro, 2006). Perencanaan program
pembelajaran dapat berupa perencanaan untuk kegiatan sehari-hari, kegiatan mingguan, bahkan
rancangan untuk kegiatan tahunan sesuai dengan tujuan kurikulum yang hendak dicapai. Dengan
demikian isinya bisa terdiri dari tujuan khusus yang spesifik, produser kegiatan belajar mengajar, materi
pelajaran, waktu yang diperlukan sampai pada bentuk evaluasi yang akan digunakan.

Pertimbangan dalam menyusun dan mengembangkan sebuah perencanaan pembelajaran adalah


kurikulum yang berlaku di suatu lembaga; sedangkan pertimbangan dalam menyusun dan
mengembangkan suatu desain pembelajaran adalah siswa itu sendiri sebagai individu yang akan belajar
dan mempelajari bahan pelajaran. Artinya ketika kita akan menyusun dan mengembangkan suatu desain
perencanaan, maka kita perlu bertanya terlebih dahulu bagaimana desain kurikulum yang ada di
lembaga pendidikan; sedangkan kalau kita akan menyusun dan mengembangkan sebuah desain
pembelajaran kita perlu bertanya bagaimana agar siswa dapat mempelajari suatu bahan pelajaran
dengan mudah.

            3.  Model-model Desain Intruksional

  Pada awal pertemuan telah dijelaskan dan diketahui bahwa desain perencanaan pembelajaran berbeda
dengan perencanaan sistem pembelajaran. Meskipun perencanaan pembelajaran memiliki keterkaitan
dengan desain pembelajaran, namun keduanya tersebut memiliki tingkatan yang berbeda. Perencanaan
lebih ditekankan kepada proses pengembangan suatu kurikulum sekolah, sedangkan desain
menekankan pada proses merancang program pembelajaran untuk membantu proses belajar siswa,
seperti yang dikemukakan Zook dalam (Sanjaya :2008) bahwa desain intruksional adalah a systematic
thinking process to help learning learn.
 Beberapa model desain pembelajaran yang dikembangkan oleh para ahli. Di bawah ini disajikan
beberapa di antaranya:

a.      Model Barry Moris

Menurut Rusman (2011) pembelajaran pada hakikatnya merupakan suatu proses interaksi antara
guru dengan siswa, baik interaksi secara langsung seperti kegiatan tatap muka maupun secara tidak
langsung, yaitu dengan menggunakan berbagai pola pembelajaran. Barry Moris (dalam Rusman,
2011:134) mengklasifikasikan empat pola pembelajaran, antara lain sebagai berikut:

 
1.      Pola pembelajaran guru dengan siswa tanpa menggunakan alat bantu/bahan pembelajaran dalam
bentuk alat peraga. Pola pembelajaran ini tergantung pada kemampuan guru dalam mengingat bahan
pembelajaran dan menyampaikan bahan tersebut secara lisan kepada siswa.
2.      Pola (guru + alat bantu) dengan siswa. Pada pola pembelajaran ini guru sudah dibantu oleh berbagai
bahan pembelajaran yang disebut alat peraga pembelajaran dalam menjelaskan dan meragakan suatu
pesan yang bersifat abstrak.

3.      Pola (guru) + (media) dengan siswa. Pola pembelajaran ini sudah mempertimbangkan keterbatasan
guru yang tidak mungkin menjadi satu – satunya sumber belajar dalam kegiatan pembelajaran, guru
dapat memanfaatkan berbagai media pembelajaran sebagai sumber belajar yang dapat menggantikan
guru dalam pembelajaran, jadi siswa dapat memperoleh informasi dari berbagai media sebagai sumber
belajar, misalnya dari majalah, modul, siaran radio pembelajaran, televisi pembelajaran, media
komputer dan internet. Pola ini merupakan pola pembelajaran bergantian antara guru dan media dalam
berinteraksi dengan siswa.

4.      Pola pembelajaran media dengan siswa atau pola pembelajaran jarak jauh menggunakan media atau
bahan pembelajaran yang disiapkan, dalam pola ini, siswa belajar dengan media, tanpa campur tangan
guru, artinya, guru hanya sebagai fasilitator yang menyiapkan bahan atau materi pembelajaran saja yang
kemudian bahan tersebut diaplikasikan pada media sebagai sumber belajar siswa yang utama.

Jadi, pembelajaran merupakan sebuah proses untuk mencapai perubahan tingkah laku yang
lebih baik seperti perubahan kognitif, perubahan afektif, dan perubahan psikomotorik. Dengan
demikian, perencanaan pembelajaran adalah rencana yang menggambarkan prosedur dan
pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi.

a.      Model Kemp

Model desain  yang dikembangkan Kemp, seperti tampak pada Gambar 4.4 berikut ini:

  

Model desain sistem instruksional yang dikembangkan oleh Kemp merupakan model yang
membentuk siklus. Menurut Kemp dalam (Sanjaya:2008) pengembagan desain sisem pembelajaran
terdiri atas komponen-komponen, yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan, tujuan dan berbagai
kendala yang timbul.

Model sistem instruksional yang dikembangkan Kemp ini tidak ditentukan dari komponen mana
seharusnya guru memulai proses pengembangan. Mengembangkan sistem instruksional, menurut Kemp
dari mana saja bisa, asal saja urutan komponen tidak diubah, dan setiap komponen itu memerlukan
revisi untuk mencapai hasil yang maksimal. Oleh karna itu model Kemp, dilihat dari kerangka sistem.

Komponen-komponen dalam suatu dsain instruksional menurut Kemp adalah :

a.       Hasil yang ingin dicapai


b.      Analisis tes nata pelajaran

c.       Tujuan khusus belajar

d.      Aktivitas belajar

e.       Sumber belajar

f.       Layanan pendukung

g.      Evaluasi belajar

h.      Tes awal

i.        Karakteristik belajar

Kesembilan komponen itu merupakan suatu siklus yang terus-menerus direvisi setelah dievaluasi
baik evaluasi sumatif maupun formatif dan diarahkan untuk menentukan kebutuhan siswa, tujuan yang
ingin dicapai, prioritas, dan berbagai kendala yang muncul.

a.      Model Banathy

Model ini memiliki pandangan bahwa penyusunan sistem instruksional dilakukan melalui tahapan-
tahapan yang jelas. Terdapat enam tahapan dalam mendesain suatu program pembelajaran yakni:

a.    Menganalisis dan merumuskan tujuan, baik tujuan pengembangan sistem maupun tujuan spesifik.
Tujuan merupakan sasaran dan arah yang harus di capai oleh siswa atau peserta didik.

b.    Merumuskan kriteria tes yang sesuai dengan tujuan yan hendak dicapai. Item tes dalam tahap ini
merumuskan untuk menilai perumusan tujuan. Melalui rumusan tes dapat meyakinkan kita bahwa
setiap tujuan ada alat untuk menilai keberhasilannya.

c.    Menganalisis dan merumuskan kegiatan belajar, yakni kegiatan menginvetarisasi seluruh kegiatan
belajar mengajar, menilai kemampuan penerapan nya sesuai dengan kondisi yang ada serta
menentukan kegiatan yang memungkinkan dapat diterapkan.

d.   Meracang sistem, yaitu kegiatan menganalisis setiap komponen sistem mendistribusikan dan mengatur
penjadwalan.

e.    Menginplementasikan dan melakukan control kualitas sistem, yakni melatih sekaligus menilai efektifitas
sistem, melakukan penempatan dan melaksankan evaluasi.

f.     Mengadakan perbaikan dan perubahan berdasarkan hasil evaluasi.


Gambar 4.5 Tahapan dalam mendesain suatu program pembelajaran

a.      Model Dick and Carrey

Seperti desain model Banathy, dalam mendesain pembelajaran model Dick and Carrey harus
dimulai dengan mengidentifikasi tujuan pembelajaran umum. Menurut model ini, sebelum desainer
merumuskan tujuan khusus yakni performance goals, perlu menganalisis pembelajaran serta
menentukan kemampuan awal siswa terlebih dahulu. Rumusan  kemampuan khusus harus berpijak dari
kemampuan dasar atau kemampuan awal. Manakala telah dirumuskan tujuan khusus yang harus dicapai
selanjutnya dirumuskan tes dalam bentuk criterion reference test, artinya tes yang mengukur
kemampuan penguasaan tujuan khusus. Untuk mencapai tujuan khusus selanjutnya dikembangkan
strategi pembelajaran, yakni scenario pelaksaan pembelajaran yang diharapkan dapat mencapai tujuan
secara optimal, setelah itu dikembangkan bahan-bahan pemebelajaran yang sesuai dengan
tujuan.langkah akhir dari desain adalah melakukan evaluasi sumatife. Evaluasi formatife berfungsi untuk
menilai efektivitas program dan evaluasi sumatife berfungsi untuk menentukan kedudukan setiap
siswadalam penguasaan materi pelajaran. Berdasarkan hasil evaluasi inilah selanjutnya dilakukan umpan
balik dalam merevisi program pembelajaran. Model desain pembelajaran yang dikembangkan oleh Dick
and Carrey digambarkan dalam gambar 4.6 pada halaman berikut ini.

Gambar 4.6 Model desain pembelajaran Dick and Carrey

Sebagai seorang tenaga pengajar (guru), aktivitas kegiatannya tidak dapat dilepaskan dengan
proses pengajaran. Sementara proses pengajaran merupakan suatu proses yang sistematis, yang tiap
komponennya sangat menentukan keberhasilan belajar anak didik. Sebagai suatu sistem, proses belajar
itu saling berkaitan dan bekerja sama untuk mencapai tujuan yang ingin dicapainya (Munadir dalam
Uno, 2012:22).

Menurut Modoffir dalam Uno (2012:22), sistem dapat diartikan sebagai suatu kesatuan unsur-
unsur yang saling berintegrasi dan berinteraksi secara fungsional yang memproses masukan menjadi
keluaran. Adapun ciri-cirinya adalah: (a)  ada tujuan yang ingin dicapai; (b) ada fungsi-fungsi untuk
mencapai tujuan; (c) ada komponen yang melaksanakan fungsi-fungsi tersebut;(d) ada interaksi
antarkomponen; (e) ada penggabungan yang menimbulkan jalinan keterpaduan; (f) ada proses
transformasi; (g) ada proses balikan untuk perbaikan; dan (h) ada daerah batasan dan lingkungan. Lebih
jauh Atwi Suparman dalam Uno (2012:22) memberikan makna terhadap sistem yang berarti benda,
peristiwa, kejadian atau cara yang terorganisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang lebih kecil dan
seluruh bagian secara bersama-sama berfungsi untuk mencapai tujuan tertentu.

Demikian pula halnya sistem pengajaran pada mata pelajaran tertentu, di mana tujuan sistem di
sini adalah untuk menimbulkan belajar (learning) yang komponen-komponen belajarnya, yakni anak
didik (siswa), pendidik, instruktur, guru, materi pengajaran, dan lingkungan pengajaran.

Agar proses pengajaran mata pelajaran tertentu dapat terlaksana dengan baik, salah satu yang
perlu dibenahi adalah perbaikan kualitas tenaga pengajarnya. Dengan perbaikan ini, para guru paling
tidak dapat mengorganisir pengajaran dengan jalan menggunakan teori-teori belajar serta desain
pengajaran yang dapat menimbulkan minat dan memotivasi anak didik (siswa) dalam belajar mata
kuliah tersebut.

Berbagai model dapat dikembangkan dalam mengorganisir pengajaran. Satu diantara model itu
adalah model Dick and Carrey (1985) dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1.      Mengidentifikasi tujuan umum pengajaran;

2.      Melaksanakan analisis pengajaran;

3.      Mengidentifikasi tingkah laku masukan dan karakteristik siswa;

4.      Merumuskan tujuan performansi;

5.      Mengembangkan butir-butir tes acuan patokan;

6.      Mengembangkan strategi pengajaran;

7.      Mengembangkan dan memilih material pengajaran;

8.      Mendesain dan melaksanakan evaluasi formatif;

9.      Merevisi bahan pembelajaran;

10.  Mendesain dan melaksanakan evaluasi sumatif;

Visualisasi langkah diatas dapat dilihat pada Gambar.

 
Gambar 4.7 Langkah-langkah Pengajaran Model Dick and Carrey

Tidak ada suatu model rancangan pengajaran yang dapat memberikan resep yang paling ampuh
untuk mengembangkan suatu program pengajaran, karena itu untuk menentukan model rancangan
dalam mengembangkan suatu program pengajaran tergantung pada pertimbangan si perancang
tersebut terhadap model yang akan digunakannya atau dipilihnya. Dari sekian banyak model untuk
mengembangkan program pengajaran yang telah dikenal, misalnya model Kemp (1977), model Dick and
Carrey (1985), model Briggs (1977), model Gagne, dkk. (1988), model IDI (1971), model Degeng (1990),
dan masih banyak lagi model lain yang pada dasarnya mempunyai ciri-ciri yang sama. Perbedaan hanya
terletak pada bagian-bagian tertentu saja, yang dimodifikasi oleh penyusun model tersebut sesuai
dengan keperluan si penyusun model. Demikian juga halnya dengan desain pembelajaran mata
pelajaran tertentu ini, di mana model desain yang digunakan misalnya model Dick and Carrey, tentu
perancang desainnya memiliki alasan tersendiri. Secara umum penggunaan Desain Pengajaran menurut
Dick and Carrey adalah sebagai berikut.

1.    Model Dick and Carrey terdiri atas 10 langkah di mana setiap langkah sangat jelas maksud dan
tujuannya, sehingga bagi perancang pemula sangat cocok sebagai dasar untuk mempelajari model
desain yang lain.

2.    Kesepuluh langkah pada model Dick and Carrey menunjukkan hubungan yang sangat jelas, dan tidak
terputus antara langkah yang satu dengan langkah yang lainnya. Dengan kata lain, sistem yang terdapat
pada Dick and Carrey sangat ringkas, namun isinya padat dan jelas dari satu urutan ke urutan
berikutnya.

3.    Langkah awal pada model Dick and Carrey adalah mengidentifikasi tujuan pengajaran. Langkah ini
sangat sesuai dengan kurikulum perguruan tinggi maupun sekolah menengah dan sekolah dasar,
khususnya dalam mata pelajaran tertentu di mana tujuan pengajaran pada kurikulum agar dapat
melahirkan suatu rancangan pembelajaran.

Penggunaan model Dick and Carrey dalam pengembangan suatu mata pelajaran dimaksudkan
agar (1) pada awal proses pembelajaran anak didik atau siswa dapat mengetahui dan mampu melakukan
hal-hal yang berkaitan dengan materi pada akhir pengajaran, (2) adanya pertautan antara tiap
komponen khususnya antara strategi pengajaran dan hasil pengajaran yang dikehendaki, (3)
menerapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam melakukan perencanaan desain pembelajaran.
Dari 10 langkah model Dick and Carrey, ada delapan kotak yang berhubungan dan suatu garis utama
yang memperlihatkan balikan dari kotak terakhir ke kotak yang terdahulu. Kotak-kotak itu mengacu ke
perangkat-perangkat prosedur dan teknik yang dipakai untuk merancang, memproduksi, menilai, dan
merivisi pengajaran. Berikut ini akan dijelaskan langkah demi langkah yang telah ditetapkan oleh Dick
and Carrey.

1.        Mengidentifikasi Tujuan Umum Pembelajaran


Sebagaimana kita ketahui bahwa sasaran akhir dari suatu program pembelajaran adalah
tercapainya tujuan umum pembelajaran tersebut. Oleh karena itu, setiap perancang harus
mempertimbangkan secara mendalam tentang rumusan tujuan umum pengajaran yang akan
ditentukannya. Mempertimbangkan secara mendalam artinya, untuk merumuskan tujuan umum
pembelajaran harus mempertimbangkan karakteristik bidang studi, karakteristik siswa, dan kondisi
lapangan.

Dick and Carrey (1985) menjelaskan bahwa tujuan pengajaran adalah untuk menentukan apa yang
dapat dilakukan oleh anak didik setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. Di dalam buku Akta Mengajar
V (Depdikbud, 1982) tujuan pemebelajaran sangat penting dalam proses instruksional atau dalam setiap
kegiatan belajar mengajar, sebab tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara spesifik dan jelas, akan
memberikan keuntungan kepada:

a.       Siswa untuk dapat mengatur waktu, dan pemusatan perhatian pada tujuan yang ingin dicapai;

b.      Guru untuk dapat mengatur kegiatan instruksionalnya, metodenya, dan strategi untuk mencapai tujuan
tersebut;

c.       Evaluator untuk dapat menyusun tes sesuai dengan apa yang harus dicapai oleh anak didik.

Rumusan tujuan umum pembelajaran menurut Dick and Carrey (1985) harus jelas dan dapat
diukur, berbentuk tingkah laku. Pandangan lain seperti (Uno Hamzah, 1993, juga Miarso, 1984)
mengemukakan rumusan pembelajaran yang baik adalah (a) menggunakan istilah yang operasional, (b)
berbentuk hasil belajar, (c) berbentuk tingkah laku, (d) jelas hanya mengukur satu tingkah laku.
Pendapat lain dikemukakan Mudhofir (1990) rumusan tujuan pembelajaran yang baik. Pendapat lain
dikemukakan Mudhofir (1990) rumusan tujuan pembelajaran yang baik (a) formulasi dalam bentuk yang
operasional, (b) bentuk produk belajar, (c) dalam tingkah laku si belajar, (d) jelas tingkah laku yang ingin
dicapai, (e) hanya mengandung satu tujuan belajar, (f) tingkat keluasan yang sesuai, (g) rumusan kondisi
pembelajaran jelas dan cantumkan standar tingkah laku yang dapat diterima. Adapun (Degeng, 1989;
juga Uno Hamzah, 1993) mengemukakan ada tiga komponen utama dari suatu rumusan tujuan
pembelajaran, yaitu perilaku, kondisi, dan derajat kriteria keberhasilan. Instruksional Developement
Institute (IDI) menambahkan satu komponen yang perlu lagi dispesifikasi dalam rumusan tujuan, yaitu
sasaran (Audience). Selanjutnya komponen-komponen ini oleh Degeng (1989), Uno Hamzah (1993)
untuk lebih mudah mengingatnya disebut dengan bantuan mnemonik ABCD (Audience, Behavioral,
Conditions, dan Degree).

2.        Melakukan Analisis Pembelajaran

Dengan cara analisis pembelajaran ini akan diidentifkasi keterampilan-keterampilan bawahan


(subordinate skills). Jadi, posisi analisis pembelajaran dalam keseluruhan desain pembelajaran
merupakan perilaku prasyarat, sebagai perilaku yang menurut urutan gerak fisik berlangsung lebih
dahulu, perilaku yang menurut proses psikologis muncul lebih dahulu atau secara kronologis terjadi
lebih awal, sehingga analisis ini merupakan acuan dasar dalam melanjutkan langkah-langkah desain
berikutnya.

Dick and Carrey (1985) mengatakan bahwa tujuan pengajaran yang telah diidentifikasi perlu
dianalisis untuk mengenali keterampilan-keterampilan bawahan (subordinate skills) yang mengharuskan
anak didik belajar menguasainya dan langkah-langkah prosedural bawahan yang ada harus diikuti anak
didik untuk dapat belajar tertentu.

Gagne, Briggs, dan Wager (1988), tujuan analisis pengajaran adalah untuk menentukan
keterampilan-keterampilan yang akan dijangkau oleh tujuan pembelajaran, serta memungkinkan untuk
membuat keputusan yang diperlukan dalam urutan mengajar. Adapun Suparman dalam Uno (2012:26),
analisis instruksional adalah proses menjabarkan perilaku umum menjadi perilaku khusus yang tersusun
secara logik dan sistematik. Dengan melakukan analisis pembelajaran ini, akan tergambar susunan
perilaku khusus yang paling awal sampai yang paling akhir.

Untuk menemukan keterampilan-keterampilan bawahan yang bersumber dari tujuan


pembelajaran, digunakan pendekatan hierarki. Mengapa harus menggunakan pendekatan hierarki,
karena anak didik dituntut harus mampu memecahkan masalah atau melakukan kegiatan informasi yang
tidak dijumpai sebelumnya, seperti mengklasifikasi dengan ciri-cirinya, menerapkan dalil atau prinsip
untuk memecahkan masalah.

Menganalisis subordinate skills  sangatlah diperluka, karena apabila keterampilan bawahan yang


seharusnya dikuasai tidak diajarkan, maka banyak anak didik tidak akan memiliki latar belakang
diperlukan untuk mencapai tujuan dengan demikian pembelajaran menjadi tidak efektif. Sebaliknya,
apabila keterampilan bawahan berlebihan, pembelajaran akan memakan waktu lebih lama dari
semestinya, dan keterampilan yang tidak perlu diajarkan malah mengganggu anak didik dalam belajar
menguasai keterampilan yang diperlukan.

Cara yang digunakan untuk mengidentifikasi subordinate skills  dengan cara memilih keterampilan
bawahan yang berhubungan langsung dengan ranah tujuan pembelajaran. Biasanya untuk mata kuliah
atau mata pelajaran tertentu keseluruhan tujuan merupakan keterampilan intelektual. Teknik analisis
keterampilan bawahannya menggunakan pendekatan hierarki, yaitu dengan memilih apa yang harus
diketahui dan dilakukan oleh anak didik, sehingga dengan usaha pembelajaran sedikit mungkin untuk
dipelajari atau dikuasai melalui belajar.

3.        Mengidentifikasi Tingkah Laku Masukan dan Karakteristik Mahasiswa

Mengidentifikasi tingkah laku masukan dan karakteristik siswa sangat perlu dilakukan untuk
mengetahui kualitas perseorangan untuk dapat dijadikan sebagai petunjuk dalam mendeskripsikan
strategi pengelolaan pembelajaran. Aspek-aspek yang diungkap dalam kegiatan ini bisa berupa bakat,
motivasi belajar, gaya belajar, kemampuan berpikir, minat, atau kemampuan awal. Untuk mengungkap
kemampuan awal mereka dapat dilakukan dengan pemberian tes dari tingkat bawah atau tes yang
berkaitan dengan materi ajar sesuai panduan kurikulum. Adapun minat, motivasi, kemampuan berpikir,
gaya belajar, dan lain-lainnya dapat dilakukan dengan bantuan tes baku yang telah dirancang para ahli.
Misalnya tes gaya belajar bisa menggunakan tes yang dibuat oleh Keffe, (1992), tes berpikir formal bisa
menggunakan tes menurut Piaget (1978) yang sudah pernah dilakukan di Amerika Serikat.

4.        Merumuskan Tujuan Performansi


Menurut Dick and Carrey (1985) menyatakan bahwa tujuan performansi terdiri atas:

(1)     Tujuan harus menguraikan apa yang akan dapat dikerjakan, atau diperbuat oleh anak didik;

(2)     Menyebutkan tujuan, memberikan kondisi atau keadaan yang menjadi syarat, yang hadir pada waktu
anak didik berbuat;

(3)     Menyebutkan kriteria yang digunakan untuk menilai unjuk perbuatan anak didik yang dimaksudkan pada
tujuan.

Gagne, Briggs, dan Mager menjelaskan bahwa fungsi performansi objektif adalah

(a)      Menyediakan suatu sarana dalam kaitannya dengan pembelajaran untuk mencapai tujuan;

(b)     Menyediakan suatu sarana berdasarkan suatu kondisi belajar yang sesuai;

(c)      Memberikan arah dalam mengembangkan pengukuran atau penilaian;

(d)     Membantu anak didik dalam usaha belajarnya.

5.        Mengembangkan Butir-butir Tes Acuan Patokan

Tes acuan patokan terdiri atas soal-soal yang secara langsung mengukur istilah patokan yang
dideskripsikan dalam suatu perangkap tujuan khusus. Istilah patokan (criterion) dipergunakan karena
soal-soal tes merupakan rambu-rambu untuk menentukan kelayakan penampilan siswa dalam tujuan,
keberhasilan siswa dalam tes ini menetukan apakah siswa telah mencapai tujuan khusus yang telah
ditentukan atau belum, tes acuan patokan (criterion-refernced test) disebut juga tes acuan tujuan
(objective-referenced test).

Bagi seorang perancang pembelajaran harus mengembangkan butir tes acuan patokan, karena
hasil tes pengukuran tersebut berguna untuk:

(1)   Mendiagnosis dan menempatkannya dalam kurikulum;

(2)   Menceking hasil belajar dan menemukan kesalahan pengertian, sehingga dapat diberikan pembelajaran
remedial sebelum pembelajaran dilanjutkan;

(3)   Menjadi dokumen kemajuan belajar.

Mengembangkan butir-butir tes acuan patokan, Dick and Carrey (1985), merekomendasikan 4
(empat) macam tes acuan patokan, yaitu (1) Test entry behaviors  merupakan tes acuan patokan untuk
mengukur keterampilan sebagaimana adanya pada permulaan pembelajaran, (2) Pretes  merupakan tes
acuan patokan yang berguna bagi keperluan tujuan yang telah dirancang sehingga diketahui sejauh
mana pengetahuan anak didik terhadap semua keterampilan yang berada di atas batas, yakni
keterampilan prasyarat. Maksud dari pretes  ini bukanlah untuk menentukan nilai akhir (perolehan
belajar) tetapi lebih mengenal profil anak didik berkenaan analisis pembelajaran.

Tes sisipan merupakan tes acuan patokan yang melayani dua fungsi penting, yaitu (1) mengetes
setelah satu atau dua tujuan pembelajaran diajarkan sebelum pascates, (2) untuk mengetes kemajuan
anak didik, sehingga dapat dilakukan perbaikan (remedial)  yang dibutuhkan sebelum pascates yang
lebih formal. Pascates atau proses; merupakan tes acuan patokan yang mencakup seluruh tujuan
pembelajaran yang mencerminkan tingkat perolehan belajar sehingga dengan demikian dapat
diidentifikasi bagian-bagian mana di antara tujuan pembelajaran yang belum tercapai.

Misalnya diterapkan pada mata kuliah perencanaan pembelajaran, maka untuk melaksanakan
tes entry behavioral  dilaksanakan bersama-sama dengan prites, mengapa? Hal ini didasarkan pada dua
alternatif, yaitu (1) kedua tes tersebut sejauh mana keterampilan yang dimiliki si pelajar sebelum
pembelajaran dimulai, sehingg bagi perancang dapat menentukan star awal pembelajarannya; (2) jam
yang tersedia menurut kurikulum sangat terbatas mengingat jumlah sksnya hanya 3, sehingga jika
dilakukan secara terpisah dianggap merugikan jam pembelajaran.

Untuk keperluan pascates atau post test  mata kuliah perencanaan pembelajaran yang dirancang
dilakukan tiga kali pascatest, mengapa? Hal ini disebabkan oleh (1) mata kuliah perencanaan
pembelajaran mempunyai pascates 30 soal. Sebagian besar tes tersebut adalah informasi verbal,
sehingga si pelajar (mahasiswa) harus mengingat sejumlah konsep untuk keperluan pensintesian
jawaban, dalam hal ini apabila pascates dilakukan satu kali diperhitungkan waktu yang tersedia (100
menit) tidak cukup. Mengapa bentuk soal yang dibuat untuk keperluan pascates berbentuk  esay? Hal ini
sesuai dengan mata kuliah perencanaan pembelajaran yang telah ditentukan pada kurikulum, yaitu
menganalisis, sehingga soal yang cocok untuk keperluan menganalisis adalah soal dengan bentuk esay.
Untuk mempelajari masing-masing pokok bahasan mata kuliah Perencanaan Pembelajaran dapat
dilakukan secara terpisah tanpa tergantung pada pokok bahasan yang lain, sehingga pascates dapat
dilakukan 3 (tiga) kali, bahkan lebih baik jika dilakukan tiap satu pokok bahasan selesai diajarkan jika
waktu yang tersedia pada kurikulum memungkinkan.

6.        Mengembangkan Strategi Pembelajaran

Dalam strategi pembelajaran, menjelaskan komponen umum suatu perangkat material


pembelajaran dan mengembangkan materi secara prosedural haruslah berdasarkan karakteristik siswa.
Karena material pembelajaran yang dikembangkan, pada akhirnya dimaksudkan untuk membantu siswa
agar memperoleh kemudahan dalam belajar. Untuk itu sebelum mengembangkan materi perlu dilihat
kembali karakteristik siswa. Dalam tulisan lain dianjurkan melihat pula karakteristik materi. Dick and
Carrey (1985), mengemukakan bahwa dalam merencanakan dalam satu unit pembelajaran ada tiga
tahap, yaitu (1) mengurutkan dan merumpunkan tujuan ke dalam pembelajaran; (2) merencanakan
prapembelajaran, pengetesan, dan kegiatan tindak lanjut; (3) menyusun alokasi waktu berdasarkan
strategi pembelajaran. Mengapa harus mengurutkan dan merumpunkan ke dalam pembelajaran?
Karena strategi pembelajaran merupakan hasil nyata yang digunakan untuk mengembangkan material
pembelajaran, menilai material yang ada, merevisi material, dan merencanakan kegiatan pembelajaran.
Dengan mengurutkan tujuan ke dalam pembelajaran dapat membuat pembelajaran dapat lebih
bermakna bagi si pelajar. Komponen strategi pembelajaran terdiri atas: (a) kegiatan prapembelajaran,
(b) penyajian informasi, (c) peran serta mahasiswa, (d) pengetesan, dan (e) kegiatan tindak lanjut.
a.      Kegiatan Prapembelajaran

Mengapa harus ada kegiatan prapembelajaran? Kegiaran prapembelajaran dianggap penting


karena dapat memotivasi anak didik atau (mahasiswa) untuk mempelajari mata kuliah perencanaan
pembelajaran misalnya.  Di samping dapat memotivasi juga mereka akan mendapat petunjuk-petunjuk
yang sesuai untuk mencapai tujuan pembelajaran, sehingga pada akhir perkuliahan si pelajar
(mahasiswa) mampu menguasainya.

b.      Penyajian Informasi

Mengapa harus ada penyajian informasi? Karena dengan adanya penyajian informasi, anak didik
(siswa atau mahasiswa) akan tahu seberapa jauh material pembelajaran yang harus mereka pelajari,
disajikan sesuai dengan urutannya, keterlibatan mereka dalam setiap urutan pembelajaran.

c.       Peran Serta Mahasiswa

Mengapa peran serta si pelajar (siswa atau mahasiswa) dianggap penting? Anak didik (siswa atau
mahasiswa) harus diberi kesempatan berlatih (terlibat dalam setiap langkah pembelajaran sesuai
dengan tujuan pembelajaran, apakah itu dalam bentuk tanya jawab atau mengerjakan soal-soal latihan
untuk mencapai tujuan pembelajaran. Kertas-kertas kerja, baik perorangan maupun kelompok setelah
diberi komentar atau penilaian oleh dosen dikembalikan sebagai umpan balik untuk mereka terhadap
apa yang telah dikerjakan. Semakin terlibat si pelajar (siswa atau mahasiswa) pada setiap kegiatan
pembelajaran, diharapkan semakin baik perolehan belajar anak didik tersebut. Demikian juga halnya
dengan ketrlibatan pembelajaran dalam hal pemberian umpan balik tugas-tugas anak didik akan
mempengaruhi terhadap perolehan belajar anak didik.

d.      Pengetesan

Untuk keperluan pengetesan ada empat macam tes acuan patokan yang dapat digunakan, yaitu: (1)
tes tingkah laku masukan; (2) prates; (3) tes sisipan; dan (4) pascates. Apakah perlu keempat macam tes
acuan patokan tersebut diberikan? Mengapa? Untuk pengetesan keempat macam tes acuan patokan
tersebut perlu dilakukan, karena sesuai dengan fungsinya akan memberikan umpan balik bagi pengajar
untuk memperbaiki, merevisi, baik material pembelajaran, strategi, maupun strategi pengetesan.

e.       Kegiatan Tindak Lanjut

Kegiatan tindak lanjut harus dilakukan karena rancangan pembelajaran dalam mata kuliah atau mata
pelajaran tertentu dapat dikuasai seluruhnya oleh anak didik diukur pada penguasaan pascates. Dalam
hal ini jika dibawah 80%, kepada mereka diberikan remedial dan tugas, kemudian diuji kembali sampai
dinyatakan lulus. Bagaimana dengan si pelajar yang telah dinyatakan lulus? Bagi mereka yang sudah
lulus, sementara yang lainnya belum, maka kepada mereka akan diberikan bahan pengayaan (remedial).
Penetapan  alokasi waktu dimaksudkan agar menjadi pedoman bagi pengajar dalam pelaksanaan
pembelajaran (tatap muka), sehingga tidak menyimpang dari alokasi waktu yang telah ditetapkan. Setiap
tatap muka terdiri atas 100 menit dengan rincian waktu: (i) pembukaan + penyajian informasi = 45
menit; (ii) tanya jawab atau diskusi = 30 menit; (iii) penyimpulan hasil diskusi oleh guru atau dosen = 25
menit. Jumlah pertemuan  = 16 kali meliputi penyajian, diskusi, pengetesan, dan remedial.

7.    Mengembangkan dan Memilih Material Pembelajaran

Dick and Carrey (1985) menyarankan ada tiga pola yang dapat diikuti oleh pengajar untuk merancang
atau menyampaikan pembelajaran, yaitu sebagai berikut.

(1)   Pengajar merancang bahan pembelajaran individual, semua tahap pembelajaran dimasukkan ke dalam
bahan, kecuali prates dan pascates.

(2)   Pengajar memilih dan mengubah bahan yang ada agar sesuai dengan strategi pembelajaran. Peran
pengajar akan bertambah dalam menyampaikan pembelajaran. Beberapa bahan mungkin saja
disampaikan tanpa bantuan pengajar, jika tidak ada, pengajar harus memberi penjelasan.

(3)   Pengajar tidak memakai bahan, tetapi menyampaikan semua pembelajaran menurut strategi
pembelajarannya yang telah disusunnya. Pengajar menggunakan strategi pembelajarannya sebagai
pedoman termasuk latihan dan kegiatan kelompok.

     Kebaikan dari strategi ini adalah pengajar dapat dengan segera memperbaiki dan memperbarui
pembelajaran bila terjadi perubahan isi. Adapun kerugiannya adalah sebagian besar waktu tersita untuk
menyampaikan informasi, sehingga sedikit sekali waktu untuk membantu anak didik.

     Untuk keperluan program pengembangan mata pelajaran atau mata kuliah, misalnya mata kuliah
perencanaan pembelajaran, khususnya untuk material pembelajarannya dipilih dari beberapa buku yang
sesuai dengan keperluan pembelajaran. Mengapa hal ini dilakukan, karena kurangnya literatur
pendukung baik yang terdapat di perpustakaan maupun di pasaran yang sesuai dengan keperluan
pembelajaran mata kuliah tersebut.

8.    Mendesain dan Melaksanakan Evaluasi Formatif

Evaluasi Formatif perlu dilakukan karena evaluasi ini adalah salah satu langkah dalam
mengembangkan desain pembelajaran yang berfungsi untuk mengumpulkan data untuk perbaikan
pembelajaran. Dengan kata lain karena melalui evaluasi formatif akan ditemukan berbagai kekurangan
yang terdapat pada kegiatan pembelajaran, sehingga kekurangan-kekurangn tersebut dapat diperbaiki.
Menurut Dick and Carrey (1985), ada tiga fase pokok penilaian formatif, yaitu (1) Fase perorangan atau
fase klinis. Pada fase ini perancang bekerja dengan siswa secara perseorangan untuk memperoleh data
guna menyempurnakan bahan pembelajaran. Data yang dimaksud disini biasanya kesalahan-kesalahan.
(2) Fase kelompok kecil, yaitu sekelompok siswa yang terdiri atas delapan sampai sepuluh orang yang
merupakan wakil cerminan populasi sasaran mempelajari bahan secara mandiri, dan kemudian diuji
untuk memperoleh data yang diperlukan. (3) Fase uji lapangan. Boleh diikuti oleh banyak siswa; sering
30 orang sudah mencukupi. Tekanan dalam uji coba lapangan ini adalah pada pengujian prosedur yang
diperlukan untuk mengetahui keefektifan perubahan yang telah dibuat, dan untuk mengetahui masalah-
masalah yang dihadapi anak didik jika menggunakan bahan tersebut. Uji coba di lapangan perlu
dilakukan dimaksudkan untuk mengetahui apakah perubahan-perubahan yang telah dibuat dari hasil
penilaian perseorangan dan penilaian kelompok kecil telah efektif jika digunakan dalam keperluan
pembelajaran.

9.    Merevisi Bahan Pembelajaran 

Merevisi bahan pembelajaran perlu dilakukan untuk menyempurnakan bahan pembelajaran


sehingga lebih menarik, efektif bila digunakan dalam keperluan pemeblajaran, sehingga memudahkan
untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Untuk dapat merevisi pembelajaran
dilakukan sesuai data yang diperoleh dari evaluasi formatif, yaitu penilaian perseorangan, penilaian
kelompok kecil, dan hasil akhir uji coba lapangan. Dick and Carrey (1985) mengemukakan ada dua revisi
yang perlu dipertimbangkan, yaitu (1) revisi terhadap isi atau substansi bahan pembelajaran agar lebih
cermat sebagai alat belajar, (2) revisi terhadap cara-cara yang dipakai dalam menggunakan bahan
pembelajaran. Untuk keperluan bahan pembelajaran ada empat macam keterangan pokok yang menjadi
sumber dalam melakukan revisi, yaitu (1) ciri anak didik dan tingkah laku masukan; (2) tanggapan
langsung terhadap pembelajaran termasuk tes sisipan; (3) hasil pembelajaran pascates; (4) jawaban
terhadap kuesioner.

10.     Mendesain dan Melaksanakan Evaluasi Sumatif

Evaluasi sumatif perlu dilakukan karena melalui evaluasi sumatif dapat ditetapkan atau diberikan
nilai apakah suatu desain pembelajaran, dimana dasar keputusan penilaian didasarkan pada keefektifan
dan efisiensi dalam kegiatan belajar mengajar. Oleh kerana itu, evaluasi sumatif diarahkan pada
keberhasilan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, yang diperlihatkan oleh unjuk kerja siswa.
Apabila semua tujuan sudah dapat dicapai, efektivitas pelaksanaan kegiatan pembelajaran dalam mata
pelajaran tertentu dianggap berhasil dengan baik. Demikian pula jika keberhasilan siswa dicapai dalam
rentangan waktu yang relatif pendek, maka dari segi efisiensi pembelajaran dapat dicapai. Dan terakhir,
jika dengan rancangan pembelajaran ini mungkin dengan memberlakukan strategi yang baik, aktivitas
belajar siswa meningkat, maka dari segi keberhasilan pada daya tarik pengajaran dapat dicapai.  

f.       Model PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional)

Model PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional) adalah model yang dikembangkan di
Indonesia untuk mendukung pelaksanaan kurikulum 1975. PPSI berfungsi untuk mengefektifkan
perencanaan dan pelaksanaan program pengajaran secara sistematis, untuk dijadikan sebagai  pedoman
bagi guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar.

PPSI terdiri dari 5 tahap takni :

a.       Merumuskan tujuan, yakni kemampuan yang harus di capai oleh siswa. Ada 4 syarat dalam perumusan
tujua ini yakni tujuan harus operasinal, artinya tujuan yang dirumuskan harus spesifik atau dapat diukur,
berbentuk hasil belajar bukan prose belajar, berbentuk perubahan tingakah laku dan dalam setiap
rumusan tujuan hanya satu bentuk tingkah laku

b.      Menegmbangkan alat evaluasi, yakni menentukan jenis test dan menyusun item soal untuk masing-
masing tujuan. Alat evaluasi disimpan pada tahap 2 setelah perumusan tujuan untu meyakinkan
ketepatan tujuan sesuai dengan criteria yang telah ditentukan.
c.       Mengembangkan kegiatan belajar mengajar, yakni merumuskan semua kemungkinan kegiatan belajar
dan menyeleksi kegiatan belajar perlu ditempuh

d.      Mengembangkan progam kegiatan pembelajaran yakni merumuskan materi pelajaran, menetapkan


metode dan memilih alat dan sumber pelajaran

e.       Pelaksanaan program, yaitu kegiatan mengadakan pra test, menyampaikan materi pelajaran,
mengadakan psikotest, dan melakukan perbaikan.

Model desain pembelajaran PPSI digambarkan pada gambar dihalaman berikut

Gambar 4.8 Model Desain Pembelajaran PPSI


a.    Model Pembelajaran Problem Based Learning

     Problem Based Learning (PBL) didasarkan pada hasil penelitian Barrow and Tamblyn (1980, Barret,
2005) dan pertama kali diimplementasikan pada sekolah kedokteran di McMaster University Kanada
pada tahun 60-an. PBM sebagai sebuah pendekatan pembelajaran diterapkan dengan alasan bahwa PBL
sangat efektif untuk sekolah kedokteran dimana mahasiswa dihadapkan pada permasalahan kemudian
dituntut untuk memecahkannya. PBL lebih tepat dilaksanakan dibandingkan dengan pendekatan
pembelajaran tradisional. Hal ini dapat dimengerti bahwa para dokter yang nanti bertugas pada
kenyataannya selalu dihadapkan pada masalah pasiennya sehingga harus mampu menyelesaikannya.
Walaupun pertama dikembangkan dalam pembelajaran di sekolah kedokteran tetapi pada
perkembangan selanjutnya diterapkan dalan pembelajaran secara umum.

a.    Karakteristik PBL

Berdasarkan teori yang dikembangkan Barrow, Min Liu (2005) menjelaskan karakteristik dari PBL, yaitu :

1.    Learning is student-centered

Proses pembelajaran dalam PBL lebih menitikberatkan kepada siswa sebagai orang belajar. Oleh karena
itu, PBL didukung juga oleh teori konstruktivisme dimana siswa didorong untuk dapat mengembangkan
pengetahuannya sendiri.

2.    Authentic problems form the organizing focus for learning

Masalah yang disajikan kepada siswa adalah masalah yang otentik sehingga siswa mampu dengan
mudah memahami masalah tersebut serta dapat menerapkannya dalam kehidupan profesionalnya
nanti.

2.    New information is acquired through self-directed learning

Dalam proses pemecahan masalah mungkin saja siswa belum mengetahui dan memahami semua
pengetahuan prasyaratnya, sehingga siswa berusaha untuk mencari sendiri melalui sumbernya, baik dari
buku atau informasi lainnya.

3.    Learning occurs in small groups

Agar terjadi interaksi ilmiah dan tukar pemikiran dalam usaha membangun pengetahuan secara
kolaborative, maka PBL dilaksakan dalam kelompok kecil. Kelompok yang dibuat menuntut pembagian
tugas yang jelas dan penetapan tujuan yang jelas.

4.    Teachers act as facilitators

Pada pelaksanaan PBL, guru hanya berperan sebagai fasilitator. Namun, walaupun begitu guru harus
selalu memantau perkembangan aktivitas siswa dan mendorong siswa agar mencapai target yang
hendak dicapai.
a.    Langkah-langkah PBL

Pelaksanaan PBL memiliki ciri tersendiri berkaitan dengan langkah pembelajarannya. Barret (2005)
menjelaskan langkah-langkah pelaksanaan PBL sebagai berikut :

1. Siswa diberi permasalahan oleh guru (atau permasalahan diungkap dari pengalaman siswa)

2. Siswa melakukan diskusi dalam kelompok kecil dan melakukan hal-hal berikut. ƒ

·         Mengklarifikasi kasus permasalahan yang diberikan ƒ

·         Mendefinisikan masalah ƒ

·         Melakukan tukar pikiran berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki ƒ

·          Menetapkan hal-hal yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah ƒ

·         Menetapkan hal-hal yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah

3. Siswa melakukan kajian secara independen berkaitan dengan masalah yang harus diselesaikan.
Mereka dapat melakukannya dengan cara mencari sumber di perpustakaan, database, internet, sumber
personal atau melakukan observasi

4. Siswa kembali kepada kelompok PBL semula untuk melakukan tukar informasi, pembelajaran teman
sejawat, dan bekerjasaman dalam menyelesaikan masalah.

5. Siswa menyajikan solusi yang mereka temukan

6. Siswa dibantu oleh guru melakukan evaluasi berkaitan dengan seluruh kegiatan pembelajaran. Hal ini
meliputi sejauhmana pengetahuan yang sudah diperoleh oleh siswa serta bagaiman peran masing-
masing siswa dalam kelompok.

Sementara itu Yongwu Miao et.al. membut model Protokol PBL yang disajikan dalam ilustrasi berikut.
  
at December 12, 2018 

Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest

No comments:
Post a Comment
Older PostHome

Subscribe to: Post Comments (Atom)

Hakikat dan Model Desain Pembelajaran

BAB IV Hakikat dan Model Desain Pembelajaran A.     Deskripsi Pada materi kali ini,
mahasiswa akan membahas tentang hakik...
 KARAKTERISTIK PERENCANAAN PEMBELAJARAN
BAB II KARAKTERISTIK PERENCANAAN PEMBELAJARAN A.   Deskripsi Pada bab ini mahasiswa
akan mempelajari karakteristik perencanaan p...


KONSEP DASAR PERENCANAAN PEMBELAJARAN

      A. Deskripsi Pada bab ini mahasiswa akan mempelajari definisi, tujuan dan fungsi
perencanaan pembelajaran. Definisi perencanaan...

 Hakikat dan Model Desain Pembelajaran


BAB IV Hakikat dan Model Desain Pembelajaran A.     Deskripsi Pada materi kali ini, mahasiswa
akan membahas tentang hakik...

Anda mungkin juga menyukai