PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
9) Evaluasi formatif
Evaluasi ini untuk memperoleh data dalam rangka revisi dan perbaikan
materi bahan belajar.
10) Evaluasi sumatif
evaluasi ini untuk menilai sistem penyampaian secara keseluruhan pada
akhir kegiatan.[2]
2. Model Gerlach dan Ely
Model pengebangan intruksional yang di kembangan Gerlach dan Ely ini
maksudkan untuk pedoman perencanaan mengajar. Menurutnya
langkah0langkah dalam pengembangan intruksional terdiri dari:
1) Merumuskan tujuan intruksional
2) Menentukan isi materi pelajaran
3) Menetukan kemampuan awal peserta didik
4) Menentukan teknik dan strategi
Strategi merupakan pendekatan yang dipakai guru dalam memanipulasi
informasi, memilih sumber-sumber, dan menentukan tugas/ peran peserta
didik dalam kegiatan belajar mengajar. Jadi tahap ini guru harus menetkan
untuk dapat mencapai tujuan intruksional secara baik.
5) Pengelompokan belajar
Pada tahap ini guru harus menentukan bagaimana kelompok belajar akan
di atur.
6) Menentukan pembagian waktu
Dalam langkah ini guru harus menentukan alokasi waktu penyajian sesuatu
strategi dan teknik yang digunakan.
7) Menentukan ruang
Dalam menentukan ruang perlu memperhatikan jumlah peserta didik dan
strategi yang di gunakan.
8) Memilih media intruksional yang sesuai
Pemilihan media ini harus menunjang pencapaian tujuan intruksional dan
sesuai dengan strategi dan teknik yang digunakan
9) Mengevaluasi hasil belajar
Untuk menilai sejauh mana tujuan intruksioanal tercapai, maka evaluasi di
kembangkan berdasarkan tujuan intruksional
10) Menganalisis umpan balik
Yang dilakukan dalam rangka untuk menyempurnakan/ perbaikan
itruksional.[3]
3. Model kemp
Model desain system interuksional yang dikembangkan oleh Kemp
merupakan model yang membentuk siklus. Menurut Kemp pengembangan
desain sistem pembelajaran terdiri atas komponen-komponen, yang
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan, tujuan dan berbagai kendala
yang timbul.komponen-komponen itu digambarkan oleh Kemp seperti
yang digambarkan pada gambar di bawah ini.
Model system intruksional yang dikembangkan Kemp ini tidak ditentukan
dari komponen mana seharusnya guru memulai proses pengembangan.
Mengembangkan sistem instruksional, menurut Kemp dari mana saja bisa,
asal saja urutan komponen tidak diubah, dan setiap komponen itu
memerlukan revisi untuk mencapai hasil yang maksimal. Oleh karena itu
model Kemp, dilihat dari kerangka sistem merupakan model yang sangat
luwes.
Komponen-komponen dalam suatu desain instruksional menurut Kemp
adalah:
1. Hasil yang ingin dicapai
2. Analisi tes mata pelajaran
3. Tujuan khusus belajar
4. Aktivitas belajar
5. Sumber belajar
6. Layanan pendukung
7. Evaluasi belajar
8. Tes awal
9. Karakteristik belajar
Kesembilan komponen itu merupakan suatu siklus yang terus-menerus
direvisi setelah dievaluasi baik evaluasi sumatife maupun formatife dan
diarahkan untuk menentukan kebutuhan siswa, tujuan yang ingin dicapai,
prioritas, dan berbagai kendala yang muncul.[4]
4. Model Banathy
Model desain sistem pembelajaran dari Banathy berbeda dengan model
Kemp. Model ini memandang bahwa penyusunan sisten instruksional
dilakukan melalui tahapan-tahapan yang jelas. Terdapat 6 tahap dalam
mendesain suatu program pembelajaran yakni:
A. Kesimpulan
Model pembelajaran merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari
awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain,
model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan
suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.
Macam-macam Model Desain Pembelajaran
1. Model Briggs
2. Model Gerlach dan Ely
3. Model kemp
4. Model Banathy
5. Model Dick and Cery
6. Model PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional)
B. Saran
Kami sadar, sebagai seorang pelajar yang masih dalam proses
pembelajaran, serta masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna
penulisan karya ilmiah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Harapan kami, makalah yang sederhana ini, dapat memberikan manfaat
khususnya bagi penulis dan umumnya pagi para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
________________________________________
[1] Drs. Harjanto, Perecanaan pengajaran, (Jakarta: PT. Rineka Cpta,
1997), 51
[2]Ibi., 79-83.
[3] Drs. Harjanto, Perecanaan pengajaran, (Jakarta: PT. Rineka Cpta,
1997), 83-85.
[4] Prof. Dr. H. Wina sanjaya, Mpd, Perencanaan dan Desain Sistem
Pembelajaran, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 71-72.
[5] Ibid., 73-75
[6] Ibid., 75.
[7] Ibid., 76-77.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
PEMBAHASAN
Sistem pembelajaran adalah upaya yang sistematik dan disengaja untuk menciptakan
kondisi agar pembelajaran dapat berjalan secara efektif dan efesien untuk mencapai tujuan yang
telah direncanakan khususnya dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
Di dalam kurikulum disebut Tujuan Instruksional Umum dan dikembangkan menjadi Tujuan
Instruksional Khusus. Tujuan ini terdapat dua dasar, yaitu:
Tujuan pembentukan yang pada umumnya berpeedoman pada taksonomi tujuan pelajaran Bloom
dan kawan-kawanya.
Sebagai alat kontrol mengenai tujuan yang baik ialah evaluasi, tujuan pelajaran yang baik ialah
apabila dapat dievaluasi.
Bahan pelajaran ini bersumber dari pokok-pokok bahasan yang tercantum di dalam kurikulum.
Dalam metode mengajar terdapat faktor guru, murid, alat pelajaran atau media yang
dipergunakan.
Setelah kegiatan belajar-mengajar selesai pada satu-satuan pelajaran maka diadakan evaluasi,
yang berguna untuk menguji pencapaian siswa atau satu-satuan pelajaran.[1]
1. Menentukan hasil belajar dalam arti prestasi siswa yang bisa diamati dan diukur (learning
outcomes).
2. Identifikasi karakteristik siswa yang akan belajar.
3. Menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar bagi para siswa.
4. Menentukan media untuk kegiatan tersebut.
5. Menentukan situasi dan kondisi, dalam mana responsi siswa akan diamati dan dipandang
sebagai salah satu contoh dari tingkah laku yang diharapkan.
6. Menentukan kriteria, seberapa prestasi siswa telah dianggap cukup.
7. Memilih metode yang tepat untuk menilai kemampuan siswa untuk mendemonstrasikan
tingkah laku.
8. Menentukan metode untuk memonitor responsi siswa- sewaktu berada dalam proses
pengajaran dan sewaktu dievaluasi.
9. Mengadakan perbaikan yang diperlukan dalam kegiatan belajar mengajar bila ternyata
responsi siswa tidak sesuai dengan hasil yang telah ditentukan.
Prosedur atau proses yang ditempuh oleh para pengembang sistem instruksional bisa meliputi dua
cara:
Proses ini dilaksanakan tanpa menggunakan dasar-dasar teori secara sistematis. Di sini bahan
pengajaran disusun berdasar pengalaman si pengembang, siswa disuruh mempelajari lalu hasilnya
diamati. Bila hasilnya tak sesuai dengan apa yang diharapkan, materi pengajaran tersebut direvisi
dan pekerjaan penyusunan paket (materi) pengajaran diulang.
1. Program Tahunan
Program tahunan merupakan program umum untuk mata pelajaran yang berlaku untuk setiap
kelas dan merupaka pedoman bagi pengembangan program-program berikutnya yaitu program
semester, program mingguan dan program harian.
a. Standar kompetensi
b. Materi pembelajaran.
2. Program semesteran
Program semesteran merupakan program yang akan dilaksanakan dan dicapai dalam satu
semester. Pada umunya program ini berisikan tentang bulan, pokok bahasan yang hendak diajarkan,
waktu yang direncanakann, dan kegiatan-kegiatan yang diperlukan.
Program mingguan dan harian adalah penjabaran dari program semesteran, program ini
dicantum kompetensi-kompotensi yang akan dikuasai dan yang perlu diulang peserta didik,
identifikasi kemajuan belajar setiap peserta didik, untuk mengetahui peserta didik yang mendapat
kesulitan dalam belajar dan peserta didik yang memiliki kecepatan dalam belajar.[3]
Dewasa ini, pembelajaran yang berpusat pada siswa (student center) lebih dikenal dengan istilah
PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan) yang dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1) Pembelajaran Aktif
Pembelajaran aktif merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang lebih banyak melibatkan
aktivitas peserta didik dalam mengakses berbagai informasi dan pengetahuan untuk dibahas dan
dikaji dalam pembelajaran di kelas, sehingga mereka mendapatkan berbagai pengalaman yang dapat
meningkatkan pemahaman dan kompetensinya.
Dalam pembelajaran aktif guru dapat memposisikan dirinya sebagai fasilisator yang bertugas
memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik. Peserta didik terlibat secara aktif dan banyak
berperan dalam proses pembelajaran, sedangkan guru lebih banyak memberikan arahan, bimbingan,
serta mengatur sirkulasi proses pembelajaran.
2) Pembelajaran Kreatif
Pembelajaran kreatif menuntut guru untuk mampu merangsang kreativitas peserta didik, baik
dalam mengembangkan kecakapan dalam berefikir maupun dalam melakukan suatu tindakan.
Berfikir kreatif selalu dimulai dengan berfikir kritis, yakni menemukan dan melahirkan sesuatu yang
sebelumnya tidak ada atau memperbaiki sesuatu. Berfikir kreatif harus dikembangkan dalam proses
pembelajaran, agar peserta didik terbiasa dalam mengembangkan kreativitasnya.
3) Pembelajaran Efektif
Pembelajaran dapat dikatakan efektif jika mampu memberikan pengalaman baru, membentuk
kompetensi peserta didik, serta mengantarkan mereka ketujuan yang ingin dicapai secara optimal.
Hal ini dapat dicapai dengan melibatkan peserta didik dalam perencanaan, pelaksanaan, dan
penilaian pembelajaran, peserta didik harus melibatkan secara penuh agar bergairah dalam
pembelajaran, sehingga pembelajaran benar-benar kondusif dan terarah pada tujuan dan
pembentukan kompetensi peserta didik.
Pembelajaran efektif menuntut keterlibatan peserta didik secara aktif, karena mereka
merupakan pusat kegiatan pembelajaran dan pembentukan kompetensi. Peserta didik harus
didorong untuk menafsirkan informasi yang disajikan oleh guru sampai informasi tersebut dapat
diterima oleh akal sehat. Dalam pelaksanaannya, memelukan proses pertukaran pikiran, diskusi dan
perdebatan dalam rangka pencapaian pemahaman yang sama terhadap materi standar.
4) Pembelajaran Menyenangkan
Semua stretegi tersebut dirancang agar tujuan pendidikan khususnya pendidikan agama
dapat dicapai secara optimal. Di saat pembelajaran PAI di sekolah umum dihadapkan pada berbagai
problem seperti terbatasnya alokasi waktu, heterogennya pemahaman siswa tentang agama sampai
pada image yang miring tentang pelajaran agama, maka model pembelajaran PAKEM akan menjadi
salah satu solusi efektif.
Lebih dari itu, menurut Muhaimin, pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius di
sekolah dapat dilakukan melalui dua strategi, yaitu: bersifat vertikal dan horisontal.
Penciptaan budaya religius yang bersifat vertikal dapat diwujudkan dalam bentuk meningkatkan
hubungan dengan Allah SWT melalui peningkatan secara kuantitas maupun kualitas kegiatan-
kegiatan keagamaan di sekolah yang bersifat ubudiyah, seperti: sholat berjamaah, puasa Senin
Kamis, khotmul Qur’an, do’a bersama dan lain-lain.
penciptaan budaya religius yang bersifat horizontal yaitu lebih mendudukkan sekolah sebagai institusi
sosial religius, yang jika dilihat dari struktur hubungan antar manusianya, dapat diklasifikasikan ke
dalam tiga hubungan yaitu:
a. Hubungan atasan-bawahan
b. Hubungan professional
c. Hubungan sederajat atau sukarela yang didasarkan pada nilai-nilai religius, seperti: persaudaraan,
kedermawanan, kejujuran, saling menghormati dan sebagainya.
Pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius sekolah yang bersifat horizontal
tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan pembiasaan, keteladanan dan pendekatan persuasif
atau mengajak kepada warga sekolah dengan cara yang halus, dengan memberikan alasan dan
prospek baik yang bisa meyakinkan mereka. Sikap kegiatannya berupa proaksi, yakni membuat aksi
atas inisiatif sendiri, jenis dan arah ditentukan sendiri, tetapi membaca munculnya aksi-aksi agar
dapat ikut memberi warna dan arah pada perkembangan nilai-nilai religiusitas di sekolah. Bisa pula
berupa antisipasi, yakni tindakan aktif menciptakan situasi dan kondisi ideal agar tercapai tujuan
idealnya.
Dengan demikian secara umum ada empat komponen yang sangat mendukung terhadap
keberhasilan strategi pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius sekolah, yaitu:
Keberhasilan kegiatan belajar mengajar PAI di kelas yang dilakukan oleh guru agama.
Semakin semaraknya kegiatan ekstrakurikuler bidang agama yang dilakukan oleh pengurus OSIS
khususnya Seksi Agama.
BAB III
KESIMPULAN
PPSI meliputi:
a) Program tahunan
b) Program semesteran
DAFTAR PUSTAKA
www.pengembangan-sistem-dan-disain.Mr. Zuh.html
www.pengembangan-strategi-pembelajaran-yang.html.
Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, cet ke- 4 Jakarta: Kalam Mulia, 2005.
Zakiah Daradjat, Metodik Kusus Pembelajaran Agama Islam, Jakarta : Bumi Aksara: 2011.
[1] Zakiah Daradjat, Metodik Kusus Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta : Bumi Aksara:
2011), hal315-316.
[2] www.pengembangan-sistem-dan-disain.Mr. Zuh.html
[3] Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), cet ke-4, hal 149-
150
[4] www.pengembangan-strategi-pembelajaran-yang.html
Model PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional) adalah model yang dikembangkan di
Indonesia untuk mendukung pelaksanaan kurikulum 1975. PPSI berfungsi untuk mengefektifkan
perencanaan dan pelaksanaan program pengajaran secara sistemis, untuk dijadikan sebagai
pedoman bagi guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar. PPSI terdiri dari 5 tahap yakni:
1) Merumuskan tujuan, yakni kemampuan yang harus dicapai oleh sisiwa, ada 4 syarat dalam
perumusan tujuan ini yakni tujuan harus operasional, artinya tujuan yang dirumuskan harus spesifik
atau dapat diukur, berbentuk hasil belajar bukan proses belajar, berbentuk perubahan tingkah laku
dan dalam setiap rumusan tujuan hanya satu bentuk tingkah laku.
2) Mengembangkan alat evaluasi, yakni menentukan jenis tes dan menyusun item soal untuk masing-
masing tujuan. Alat evaluasi disimpan pada tahap 2setelah perumusan tujuan untuk meyakinkan
ketepatan tujuan sesuai dengan kriteria yang telah di tentukan.
5) Pelaksanaan program, yaitu kegiatan mengadakan pra tes, menyampaikan materi pelajaran,
mengadakan psikotes, dan melakukan perbaikan.[[8]]
[[5]] Prof. Dr. H. Wina sanjaya, Mpd, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2010), hal.71-72.
[[6]] Ibid., hal.73-75.
[[7]] Ibid., hal.75.
[[8]] Ibid., hal.76-77.