Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pendidikan merupakan salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk menyiapkan
siswa menghadapi masa yang akan datang. Pendidikan berperan penting dalam
mempersiapkan siswa menghadapi berbagai tantangan hidup di masa yang akan datang. Saat
ini dunia pendidikan telah mengalami kemajuan yang sangat pesat, jika pendidikan di
Indonesia tidak ditingkatkan mutu dan kualitasnya maka pendidikan diIndonesia akan
tertinggal dengan pendidikan di Negara lain.
Upaya pembaharuan dunia pendidikan bukan hanya menjadi tanggung jawab
pemerintah saja, guru sebagai pelaksana pembelajaran juga memegang peran besar dalam
memajukan pendidikan. Seorang guru perlu merancang dan melaksanakan pembelajaran yang
memungkinkan siswanya untuk mengkonstruksi pemikirannya sendiri untuk menemukan
konsep pembelajaran, serta mengetahui untuk apa konsep itu dipelajari. Guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi pemikirannya sendiri agar lebih aktif,
kreatif, menumbuhkan kesan bermakna dan menarik bagi siswa, sehingga kualitas belajar
yang diharapkan dalam pembelajaran dapat tercapai.
Pendekatan konstruktivisme akan menciptakan siswa menjadi lebih aktif dalam
memahami materi yang diberikan, sehingga pengalaman belajar siswa akan bertambah sesuai
dengan apa yang mereka lakukan dalam proses belajarnya. Proses pembelajaran melibatkan
berbagai kegiatan dan tindakan yang perlu dilakukan siswa untuk memperoleh kualitas belajar
yang lebih baik.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana belajar menurut paham konstruktivisme?


2. Bagaimana pembelajaran konstruktivisme dalam matematika?
3. Bagaimana implementasi pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran?
4. Bagaiamana evaluasi pembelajaran matematika menurut konstruktivime?
5. Bagaimana posisi dan contoh pendekatan konstruktivisme.

C. TUJUAN

Pembuatan makalah ini beertujuan agar kita mengetahui tentang pendekatan


konstruktivisme dalam pembelajaran matematika serta mengetahui manfaat dan cara
mengimplementasikannya pada pembelajaran.
1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Belajar Matematika Menurut Paham Konstruktivisme


Para ahli konstruktivisme mengatakan bahwa ketika siswa mencoba menyelesaikan
tugas-tugas dikelas, maka pengetahuan matematika dikonstruksi secara aktif(Wood,1990;
Jobb,1992). Para ahli konstruktivis lainnya mengatakan bahwa dari perspektifnya
konstruktivis, belajar matematika bukanlah suatu proses ‘pengepakan’ pengetahuan secara
hati-hati, melainkan tentang mengorganisir aktivitas, dimana kegiatan ini diinterpretasikan
secara luas termasuk aktivitas dan berpikir konseptual (Cobb, 1991). Didefinisikan oleh
Cobb(1992) bahwa belajar matematika merupakan proses dimana siswa secara aktif
mengkonstruksi pengetahuan matematika.
Dalam kaitannya dengan belajar, Cobb dkk. (1992) menguraikan bahwa ‘belajar’
dipandang sebagai proses aktif dan konstruktif dimana siswa mencoba untuk menyelesaikan
masalah yang muncul sebagai mana mereka berpartisipasi secara aktif dalam latihan
matematika dikelas.
Confrey yang juga banyak bicara dalam konstruktivisme menawarkan suatu powerful
construction dalam matematika. Dalam mengkonstruksi pengertian matematika dalam
pengalaman, ia mengidentifikasikan 10 karakteristik dari powerful constructions berpikir
siswa. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ‘powerful contruction’ ditandai oleh :
1. Sebuah struktur dengan ukuran kekonsistenan internal;
2. Suatu keterpaduan antar bermacam-macam konsep
3. Suatu kekonvergenan di antara aneka bentuk dan konteks;
4. Kemampuan untuk merefleksi dan menjelaskan;
5. Sebuah kesinambungan sejarah;
6. Terikat kepada bermacam-macam sistem simbol;
7. Suatu yang cocok dengan pendapat experts(ahli)
8. Suatu yang potensial untuk bertindak sebagai alat untuk konstruksi lebih lanjut;
9. Sebagai petunjuk untuk tindakan berikutnya;
10. Suatu kemampuan untuk menjustifikasi dan mempertahankan

Salah satu yang mendasar dalam pembelajaran matematika menurut konstruktivis


adalah suatu pendekatan dengan jawab tak terduga sebelumnya dengan suatu ketertarikan
yang cerdik dalam mempelajari karakter, keaslian, cerita dan implikasinya. Lagi menurut

2
konstruktivis bahwa secara substansi, belajar matematika adalah proses pemecahan masalah.
Konstruktivisme telah memfokuskan secara eksklusif pada proses dimana siswa secara
individual aktif mengkonstuksi realitas matematika mereka sendiri.

B. Pembelajaran Konstruktivisme Dalam Matematika


Beberapa ahli kontruktivis telah menguraikan indikator belajar mengajar berdasarkan
kontruktivisme. Confrey mengatakan :

...sebagai seorang kontruktivis ketika saya mengajarkan matematika, saya tidak


mengajarkan siswa tentang struktur matematika yang objeknya ada didunia ini. Saya
mengajar mereka, bagaimana mengembangkan kognisi mereka. Bagaimana melihat dunia
melalui sekumpilan lensa kuantitatif yang saya percaya akan menyediakan suatu cara yang
powerful untuk memahami dunia, bagaimana merefleksikan lensa-lensa itu untuk
menciptakan lensa-lensa yang kuat, dan bagaimana mengapresiasi peranan dari lensa
dalam memainkan pengembangan kultur mereka. Saya mencoba untuk merngembangkan
satu alat intelektual yang mematikan.

Hal ini mencerminkan bahwa matematika hanyalah sebagai alat untuk berfikir, fokus
utama belajar matematika adalah memberdayakan siswa untuk berfikir mengkonstruksi
pengetahuan matematika yang pernah ditemukan oleh ahli-ahli sebelumnya.

C. Implementasi dalam Pembelejaran Konstruktivisme


Dari sudut pandang konstruktivis, Koehler and Grouws (1992) menyatakan bahwa
pembelajaran telah dipandang sebagai suatu garis kontinum antara negosiasi dan imposition
pada ujung-ujungnya. Seseorang memandang bahwa belajar adalah suatu transmisi, maka
proses mengetahui, akan mengikuti model imposition (pembebanan). Sedangkan yang
berpandangan bahwa mengajar adalah suatu proses yang memfasilitasi suatu konstruksi, maka
ia akan mengikuti model negosiasi.
Berkenaan dengan perbedaan individu, Board of Studies (1995) menyatakan bahwa
“siswa akan mencapai prestasi belajar dalam kecepatan yang berbeda dan secara kualitatif
dalam cara-cara yang berbeda-beda. Lovitt and Clarke juga menambahkan bahwa kualitas
pembelajaran ditandai dengan berapa luas dalam lingkungan belajar :
1. Mulai dari mana siswa ini berada
2. Mengenali bahwa siswa belajar dengan kecepatan yang berbeda dan cara yang berbeda
3. Melibatkan siswa secara fisik dalam proses belajar.
4. Meminta siswa untuk memvisualkan yang imajiner
3
Didalam konstruktivisme peranan guru bukan pemberi jawaban akhir atas pertanyaan
sisa, melainkan mengarahkan mereka untuk membentuk (mengkonstruksi) pengetahuan
matematika sehingga diperoleh struktur matematika. Sedangkan dalam paradigma tradisional,
guru mendominasi pembelajaran dan senantiasa menjawab dengan segera terhadap
pertanyaan-pertanyaan siswa.
Implikasi dari perbedaan-perbedaan diatas menjadika posisi guru dalam
pembelajaran matematika untuk bernegosiasi dengan siswa, bukan memberikan jawaban akhir
yang telah jadi. Negosiasi yang dimaksud disini adalah berupa pengajuan pertanyaan-
pertanyaan yang menantang siswa untuk berpikir lebih lanjut yang dapat mendorong mereka
sehingga penguasaan konsepnya semakin kuat.
Langkah-langkah penerapan pendekatan konstruktivisme:
1. Fase start, dalam fase ini guru memungkinkan ingin mulai dengan mengukur
pengetahuan siswa sebelumnya dan menetapkan sebagai kegiatan. Guru dapat memulai
dengan pertanyaan terbuka, lalu mendorong siswa untuk memberikan jawaban-jawaban
terbuka. Sebagai alternatif adalah mulai dengan sebuah masalah yang relevan dengan
kehidupan sehari-hari, sebagai contoh pertanyaan seputar benda yang berupa bangun
ruang yang sering dijumpai siswa.
2. Fase eksplorasi, dalam fase ini siswa mengerjakan kegiatan yang ditetapkan guru di fase
1. Kegiatan ini biasanya bersifat eksploratik, melibatkan situasi atau bahan riil, dan
memberikan kesempatan untuk kerja kelompok, sebagai contoh siswa bereksplorasi
mencari tahu pengertian bangun ruang menggunakan bahan riil bangun ruang
3. Fase refleksi, dalam fase ini mungkin diminta untuk menengok kembali kegiatan itu dan
menganalisis serta mendiskusikan apa yang telah mereka kerjakan, baik dengan
kelompok lain atau dengan guru. Sebagai contoh siswa mendiskusikan pengertian bangun
ruang dari hasil eksplorasi yang telah mereka lakukan secara berkelompok
4. Fase aplikasi dan diskusi, dalam fase ini guru meminta seluruh siswa
untukmendiskusikan berbagai temuan dan menarik kesimpulan. Sebagai contoh siswa
mendiskusikan pengertian bangun ruang dan menarik kesimpulan pengertian bangun
ruang.

D. Evaluasi Pembelajaran Matematika menurut Konstruktivisme

4
Menurut Webb(1992) evaluasi dalam pendidikan adalah suatu investigasi sistematis
tentang nilai atau merit tentang suatu tujuan. Termasuk dalam evaluais ini adalah kumpulan
bukti-bukti secara sistematis untuk membantu membuat keputusan tentang
1. Siswa belajar
2. Pengembangan materi
3. program

Wood dikutip dalam Webb, memberi defenisi umum tentang assemen sebagai
berikut :

Assemen dianggap sebagai penyediaan suatu pertimbangan menyeluruh dari suatu


fungsi individu didalam melukiskan rasa paling luas dalam berbagai bukti baik kualitatif
maupun kuantitatif dan karenanya sampai kepada pengujian keterampilan kognitif
dengan teknik paper-pencil untuk sejumlah orang.

Webb dan Briars menambahkan bahwa:

Assemen dalam matematika adalah proses penentuan apakah siswa tahu merupakan
suatu bagian dari aktivitas pengajaran matematika, yaitu pengecekan apakah siswa
memahami, mendapatkan umpan balik dari siswa, kemudian menggunakan informasi
ini untuk membimbing pengembangan pengalaman belajarnya.

Evaluasi dalam pembelajaran matematika menggunakan pendekatan konstruktivis


terjadi sepanjang proses pembelajaran berlangsung (on going assessment). Dari awal sampai
akhir guru memantau perkembangan siswa, pemahaman siswa terhadap suatu konsep
matematika, ikut membentuk dan mengawasi proses konstruksi pengetahuan (matematika)
yang dibuat oleh siswa.

E. Posisi Pengajaran Konstruktivis di antara Pendekatan Lain.

Brady (1985) menawarkan 5 model dan metode pembelajaran

1. Model eksposisi
2. Model Behavioristik
3. Model kognitif
4. Model internasional
5. Model transaksional

5
Apabila kelima model-model diatas diletakkan pada garis kontinum, dari pendekatan
yang berpusat kepada guru disatu sisi, dan pendekatan yang berpusat pada siswa disisi lain,
maka kelimanya berada diantara titik-titik ekstrim ujung-ujungnya.
Menurut Burton pandangan tradisional memandang metematika sebagai pengetahuan
dan keterampilan yang terdefenisi secara ketat yaitu :
1. Belajar melalui transmisi
2. Belajar dengan sikap yang compliant (selalu mengalah)
3. Menilai siswa melalui tes menggunakan kertas dan pensil tanpa perlu terlihat

Sebaliknya pandangan konstruktivisme menolak pembelajaran yang dilakukan oleh


pandangan tradisional dan meletakkan tanggung jawab belajar dari guru kepada siswa.
Tanggung jawab guru dalam proses belajar adalah untuk :

1. Menstimulasi dan memotivasi siswa


2. Menyediakan pengalaman untuk menumbuhkan pemahaman
3. Mendiagnosa dan mengatasi kesulitan siswa
4. Mengevaluasi

Kamil menambhakan bahwa “kenyataan anak mengkostruksi pengetahuan logika


matematikanya sendiri tidak lantas meyebabkan bahwa peranan guru hanya duduk dan tidak
mengerjakan apa-apa., sebaliknya peranan guru menjadi tidak langsung dan lebih sulit
dibandingkan dengan kelas tradisional”. Dengan uraian tersebut, maka pembelajaran
matematika dengan menggunakan pendekatan konstruktivis tujuannya dapat dirumuskan :
seorang guru matematika hendaknya mempromosikan dan mendorong pengembangan setiap
individu di dalam kelas untuk menguatkan konstruksi matematika, untuk pengajuan
pertanyaan (posing), pengkonstruksian, pengeksplorasian, pemecahan, dan pembenaran
masalah-masalah matematika serta konsep-konsep matematika. Guru diharapkan juga
mencoba berusaha mengembangkan kemampuan siswa untuk merefleksikan dan
mengevaluasi kualitas konstruksi mereka (para siswa).

F. Contoh Setting Pembelajaran

Anne Hendry seorang guru berpengalaman didaerah pedalaman sebelah barat


Massachusetts, USA menjelaskan cara ia mengajarkan konsep “pengukuran” dengan
menggunakan pendekatan konstruktivisme saat sebelum musim Thnksgiving tiba 1990.

Sebelum kelas dimulaisaya pindah-pindahkan kursi dan dengan menggunakan pita,


saya membuat outlet berbentuk kapal laut dilantai kelas berukuran 16 kaki x 6 kaki,
6
merupakab kapal yang akan digunakan untuk berlayar ke rumah raja. Saya juga
menyiapkan gulungan surat untuk dibaca olh para siswa serta menempelkannya
dipapan buletin dengan topik pembicaraan tentang pengukuran. Saya memilih seorang
siswa dan menginstruksikan kepadanya bahwa dalam pembelajaran matematika ia
harus menjadi utusan raja membawa mahlumat (Edict) dan meminta
mengumumkannya “kapal psiar ini tak akan berangkat berlsysr ke rumah sang raja,
sampai kamu dapat menceritakan seberapa besar kapal itu”. Kemudian para siswa
berteka-teki. Baiklah, apa yang harus kita kerjakan? Siap yang punya ide? Saya
mengatakannya kepada para siswa. Denga demikian diskusi tentang pengukura
dimulai, atau saya pikir ini akan bermula. Namun ternyata ada saat diam, cukup lama
periode waktu diam. Bagaimana seorang anak kecil (anak muda belia) akan
mengetahui tentang pengukuran? Apakah telah ada yang hadir dalam pengalaman
hidup mereka yang dapat mereka hubungkan dengan masalah ini? Saya lihat mereka
saling berpandangan satu dengan yang lainnya, saya dapat saksikan bahwa mereka
tidak punya ide dari mana harus dimulai?

Tentu saya pikir harus ada sesuatu yang mereka dapat gunakan sebagai titik pangkal,
rujukan unutk memperluasnya. Seseorang selalu memiliki ide. Namun perioda diam
terlalu lama menjadikan pelajaran terlalu vakum.”Mereka saling berpandangan,
kadang memandang zeb, kadang pandangan kearah saya” Kata Anne Hendry.

Untuk kebanyakan pendidik, tindakan Hendry menghubungkan rencana pelajarannya


dikelas dengan masa liburan mendatang merupakan hal yang tak dapat dikecualikan. Namun
mereka benar-benar heran pada pilihan seorang guru yang suda sangat berpengalaman
ternyata kelasnya diam begitu lama., serta heningnya kelompok siswa yang kebingungan
dikelas.

Berikut ini kita kembali ke Hendry lagi :

Saya memiliki pikiran yang kedua tentang luasnya masalah untuk kelas I, manakala
dengan malu-malu Cyndi acungkan tangan dan berkomentar “saya kira kapal itu
panjangnya 3 kaki “mengapa?”tanyaku. “sebab surat dari Raja mengatakan
demikian” Ia menjawab. “saya tak mengerti”kataku.

Dapatka kamu ceritakan kenapa kapal itu panjangnya 3 kaki? Sebab surat dari Raja
mengatakan demikian. lihat! Kata cyndi, “saya akan tunjukkan padamu. Ketika surat

7
itu diangkat, diterawang menembus cahaya, memuat huruf E yang telah ditulis untuk
kata Edict, tampak seperti angka 3, juga oleh beberapa siswa lain”.

Saya mengklarifikasi jawaban Cyndi, untuk Cyndi dan kawan-kawannya yang setuju
bahwa yang dilihat dikertas Raja adalah 3. Kalau begitu raja telah mengikuti
jawabnya.

Kemudian kelas kembali ke periode diam.

Penjelasan bahwa yang mereka pikirkan sebagai angka 3 adalah benar-benar huruf E dalam
kata ‘Edict’ yanng artinya mahlumat. Ia berlanjut mengikuti interaksi dengan para siswa:

Kemudian Tom mengangkat tangannya dan berkata. Ibu Hendry, saya tahu bahwa
ukuran kapal ini tidak mungkin 3 kaki. Sebab seorang perawat baru saja mengukur
tinggi badanku minggu yang lalu dan mengatakan bahwa tinggiku adalah 4 kaki, dan
kapal itu jauh lebih besar dari pada badanku.

Dari awal pengamatan Tom, diskusi ini tentang pengukuran sebenarnya telah berlangsung.
Sekarang para siswa menyadari bahwa merak mengetahui sedikit tentang pengukuran , sewcra
khusus dalam kaitannya tentang ukuran dirinya dan seberapa tinggi badan mereka masing-
masing.

Mari kita lihat berapa kali panhjang Tom-kah kapalkita ini? Seseorang menyarankan ,
kemudian Tom mengukur menggunakan nadan sendiri. Dia berbaring dan berdiri
umtuk membandingkan berapa panjang kapal itu.
Akhirnya siswa-siswa samapai kepada suatu kesimpulan bahwa panjangn kapal adalah
4 kali panjang Tom.
Anne bertanya “bagaimana kita akan menceritakan keada Sanng Raja, padalah raja
tidak mengetahui tingginya Tom. Mengirim Tom kerumah Raja adalah suatu
penyelesaian yang mudah sementara anak-anak yang lain protes bahwa mereka
menghendaki agar Tom harus bersama-sama mereka diatas kapal untuk mengikuti
wisata.
Diskusi ini terus saja berlangsung dan dengan menggunakan tangan,badan atau kaki
mereka sebagai tolak ukur sampai siswa dapat menginternalisasikan dan memverbalkan suatu
keperluan atau kepentingan untuk setiap orang dalam mengukur dalam menggunakan
instrumen yang sama. Hendry melanjutkan dalam menjelaskan bagaimana ia sampai kepada
sebuah eksplorasi memakai penggaris dengan mengadopsi satuan-satuan pengkuran yang
konvensional. Hal penting dari pandangan ini bahwa : matematika adalah suatu temuan
8
manuasia dalam koridor sejarah yang panjang, secar budaya terpanjang disekolah-sekolah
dalam lomba “berpikir” perubahan pola-pola dan beberapa pertanyaan mungkin tak
terpecahkan.

9
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pendekatan pembelajaran konstruktivisme menekankan pentingnya siswa


membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses
pembelajaran. Penggunaan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran matematikadapat
meningkatkan hasil belajar siswa karena memfokuskan secara eksklusif pada proses dimana
siswa secar individualis aktif mengkonstruksi realitas matematika mereka sendiri.

B. SARAN
sekiranya dapat memberikan motivasi tersendiri bagi kita untuk dapat menerapkan
pendekatan konstruktivisme pada saat proses belajar mengajar dengan efektif sehingga hasil
belajar siswa dan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran semakin meningkat.

10
DAFTAR PUSTAKA

Suherman, Erman,dkk.2003:_______Strategi Pembelajaran Matematika


Kontemporer:Bandung : Univesitas Pendidikan Indonesia.

Sih Dewanti, Sintha.2010 : diktat psikologi belajar matematika. Yogyakarata : UIN SUNAN
KALIJAGA

Otoni Harefa, Amin. 2014 . Dasar-dasar dan Proses Pembelajaran Matematika.


Gunungsitoli : IKIP GUNUNGSITOLI

11

Anda mungkin juga menyukai