2 Fakta Lapangan gangguan ekosistem DAS yang terjadi
1. Pencemaran sungai akibat penggunaan pupuk yang berlebih Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa perkembangan teknologi dan usaha pertanian, baik dalam program intensifikasi maupun ekstensifikasi, diikuti oleh perkembangan hama dan penyakit, baik jenis maupun intensitas serangan. Hal ini telah mendorong peningkatan penggunaan pestisida untuk pengendaliannya. Dalam implementasi program intensifikasi dan ekstensifikasi tanaman semusim berbasis teknologi Revolusi Hijau, penggunaan pupuk kimia meningkat hampir enam kali lipat, dari 635 ribu ton pada tahun 1970 menjadi 4,42 juta ton pada tahun 2003. Saat ini kebutuhan pupuk kimia untuk pertanaman semusim mencapai 4,50 juta ton/tahun. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk oleh petani cenderung berlebihan, terutama pada tanaman semusim. Kisaran penggunaan pupuk urea (N) dewasa ini adalah 100800 kg/ha, serta pupuk P dan K masing-masing 0300 kg dan 0250 kg/ha (Las et al., 2006). Selain pemborosan, penggunaan pupuk secara berlebihan juga tidak menguntungkan bagi kelestarian lahan dan lingkungan. Residu pupuk N berupa nitrat (NO3) telah mencemari sebagian sumber daya air, baik air irigasi maupun air tanah (sumur), bahkan produk pertanian. Batas maksimum kandungan nitrat dalam air hanya 4,50 ppm. Sekitar 85% air yang mengairi sebagian besar lahan di Jawa mengandung nitrat rata-rata 5,40 ppm atau 20% lebih tinggi dari batas toleransi. Penggunaan pupuk N, P, dan K secara terus-menerus dengan takaran tinggi tanpa pengembalian sisa panen akan mempercepat pengurasan hara lain seperti S, Ca, Mg serta unsur mikro Zn dan Cu. Di sisi lain, penambahan secara khusus unsur-unsur mikro tersebut sangat jarang bahkan tidak pernah dilakukan oleh petani. Padahal untuk mendukung produksi tanaman yang efisien dan lestari diperlukan keseimbangan ketersediaan hara makro maupun mikro di dalam tanah.
2. Ketidaksesuaian data dan realita dilapangan
Pola penggunaan lahan yang ada di suatu tempat dapat memberikan gambaran bagaimana aktivitas masyarakat yang sebe-lumnya sehingga dapat digunakan menjadi indikator cara masyarakat memperlakukan sumberdaya alam. Perubahan penggunaan lahan yang ada dapat digunakan untuk men-gevaluasi perkembangan daerah aliran sun-gai karena penggunaan lahan merupakan hasil interaksi dari manusia, tanah, tumbu-han yang ada di lahan. Penggunaan lahan di suatu wilayah sangat dinamis mengikuti jumlah dan profesi penduduk serta waktu (Sihite, 2001; Sun et al., 2017; Gashaw et al., 2018). Beberapa jenis aktivitas utama peng-gunaan lahan yang dapat menimbulkan pencemaran sungai antara lain penggundu-lan hutan, pengalihan hutan menjadi lahan pertanian, pengalihan hutan menjadi lahan perkebunan serta pengalihan hutan men-jadi daera terbangun. Penurunan kualitas air sungai yang disebabkan oleh pengalihan hutan menjadi lahan pertanian dapat terjadi akibat erosi (Satriawan, 2010; Dai et al., 2017; Roberts et al., 2017; Wang et al., 2017). Selain akan meningkatkan kandungan zat padat tersuspensi dalam air sungai sebagai akibat sedimentasi, juga akan diikuti oleh mening-katknya kesuburan air dengan meningkatnya kandungan hara dalam air sungai. Keban-yakan kawasan hutan yang diubah menjadi lahan pertanian mempunyai kemiringan dia-tas 25%, sehingga bila tidak memperhatikan faktor konservasi tanah, seperti pengaturan pola tanam, pembuatan teras dan lainnya, maka akan berakibat masuknya pupuk dan pestisida ke dalam air sungai karena terbawa oleh air limpasan (run off).
3. Ketidakpahaman petani dalam pengelolaan lahan
Degradasi lahan sebagai akibat dari masih rendahnya adopsi teknologi konservasi tanah dan air merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang sampai saat ini masih memerlukan penyelesaian, terutama dalam upaya pelestarian daerah aliran sungai (DAS). Teknologi konservasi air dan tanah sebagai salah satu cara yang digunakan untuk melestarikan kesuburan produktivitas lahan sebenarnya telah banyak diketahui oleh petani. Namun demikian, upaya mempromosikan teknologi konservasi agar diadopsi secara luas oleh masyarakat petani masih belum memberikan hasil yang memuaskan. Rendahnya keberhasilan upaya perluasan praktik konservasi pada masyarakat petani menurut Shiferaw et al. (2009), Agrawal dan Perrin (2008) salah satunya disebabkan oleh lemahnya lembaga (institusi) sosial yang terkait dengan pelestarian sumberdaya alam. Shifferaw et al. (2009) menjelaskan bahwa institusi mampu mengkondisikan petani untuk melakukan inovasi, adopsi dan adaptasi teknologi konservasi air dan tanah yang dipilihnya. Oleh karena itu, Bromley (2008) berpendapat bahwa pada masyarakat petani yang tidak memiliki institusi yang baik, hampir dapat dipastikan investasi di bidang konservasi cenderung sangat rendah atau bahkan tidak dilakukan. Institusi memegang peranan penting dalam proses perluasan adopsi teknik konservasi, sehingga keberadaan institusi menentukan diadopsinya suatu teknologi. Institusi terbukti sangat produktif untuk digunakan sebagai sarana diseminasi teknologi. Pada masyarakat yang memiliki disfungsi institusi proses adopsi teknik konservasi tanah dan air menjadi terkendala. Hal ini karena institusi yang ada tidak bisa menjadi sumber informasi mengenai pentingnya melakukan konservasi tanah dan air pada lahan pertaniannya, serta tidak mampu memberikan perlindungan kepada petani pada saat petani mengalami kesulitan akibat penerapan teknik konservasi tersebut. Disfungsi institusi juga mengakibatkan petani tidak bisa memanfaatkan secara efisien sumber daya yang dimilikinya baik secara individu maupun berkelompok seperti pengetahuan, ketrampilan, jejaring kerja infrastruktur, sifat kegotongroyongan masyarakat, dan sebagainya.
Dapus dibawah yea beb
Agrawal, A. & Perrin, N. (2008). Climate adaptation, local Institutions, and rural livelihoods. IFRI Working Paper # W08I-6. International Forestry Resources and Institutions Program. http://www.umich.edu/~ifri/. Diakses: 15/09/2022. Bromley, D. 2008. Resource Degradation in the African commons: accounting for institutional decay. Environment and Development Economics, 13, 539-563. Dai, X, Zhou, Y, Ma, W, Zhou, L. 2017. In-fluence of spatial variation in land-use patterns and topography on water quality of the rivers inflowing to Fux-ian Lake, a large deep lake in the pla-teau of southwestern China. Ecological Engineering. 99:417-428. Gashaw, T, Tulu, T, Argaw, M, Worqlul, A, W. 2018. Modeling the hydrological impacts of land use/land cover chang-es in the Andassa watershed, Blue Nile Basin, Ethiopia. Science of The Total En-vironment. 619:1394-1408. Las, I., D. Setyorini, dan D. Santoso. 2006. Kebutuhan pupuk nasional: Keragaan teknologi dan efisiensi. Makalah Seminar Pupuk untuk Perkebunan. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. Roberts, W, M, Fealy, R, M, Doody, D, G, Jor-dan, P, Daly, K. 2016. Estimating the effects of land use at different scales on high ecological status in Irish riv-ers. Science of The Total Environment. 572:618-625. Satriawan, H. 2010. Alih fungsi lahan ka-wasan hulu dan dampaknya terhadap kualitas air di kawasan hilir daerah aliran sungai. Jurnal Ilmiah Sains dan Teknologi Lentera. 10(2):54-58. Shiferaw, B.A., Okello, J. & Reddy, R.V. (2009). Adoption and adaptation of natural resource management innovations in smallholder agriculture: reflections on key lessons and best practices. Environ Dev Sustain, 11, 601-619. Sihite, J. 2001. Evaluasi Dampak Erosi Tanah Model Pendekatan Ekonomi Lingkun-gan dalam Perlindungan DAS: Kasus Sub-DAS Besai DAS Tulang Bawang Lampung. Disertasi. IPB, Bogor. Sun, Z, Lotz, T, Chang, N, B. 2017. Assess-ing the long-term effects of land use changes on runoff patterns and food production in a large lake watershed with policy implications. Journal of En-vironmental Management. 204:92-101. Wang, X, Dong, X, Liu, H, Wei, H, Fan, W, Lu, N, Xu, Z, Ren, J, Xing, K. 2017. Linking land use change, ecosystem services and human well-being: a case study of the manas river basin of xinjiang, chi-na. Ecosystem Services. 27:113-123.