Anda di halaman 1dari 14

JURNAL CAKRAWARTI, Vol. 01, No.

01, Feb - Jul 2018 ISSN:

TENGGER BRANG KIDUL:


DIALEKTIKA KEHIDUPAN BERAGAMA PADA MASYARAKAT DESA
NGADAS, KECAMATAN PONCOKUSUMO, KABUPATEN MALANG, JAWA
TIMUR
Ni Putu Ayu Amrita Pradnyaswari
Jurusan Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mahendradatta
Jl. Ken Arok No. 12, Peguyangan Denpasar

Abstrak - Isu dekadensi dalam konteks toleransi antaumat beragama saat ini menjadi
salah satu masalah sosial yang dihadapi bangsa Indonesia. Perbedaan agama dalam
masyarakat seringkali memicu konflik dalam masyarakat, tetapi hal tersebut berbeda
dengan kehidupan masyarakat Tengger Brang Kidul di Desa Ngadas, Kecamatan
Poncokusumo, Kabupaten, Malang, Jawa Timur. Masyarakat Tengger di Desa Ngadas
merupakan bagian masyarakat etnik Tengger yang memiliki potret kehidupan penuh
toleransi antarumat beragama. Masyarakat di desa ini memiliki keunikan dari eksistensi
masyarakat Tengger di daerah lain karena masyarakat setempat hidup dalam keragaman
agama, yakni Buddha Jawa Sanyata, Hindu, dan Islam. Tradisi yang menjadin ruh
kehidupan mereka juga memperkuat iman masyarakat dalam beragama, bermasyarakat,
dan bernegara.
Kata kunci: representasi, toleransi, jiwa, (3) menjadi alat untuk
agama membebaskan manusia dari perbudakan
materi, (4) mendidik manusia untuk
senantiasa menegakkan kebenaran dan
takut melakukan kesalahan, (5)
PENDAHULUAN memberikan sugesti kepada manusia agar
Agama menurut Anselm von Feurbach tumbuh jiwa positif di dalam diri mereka,
(dalam Nashir, 1999:xi) merupakan serta (6) mendidik orang untuk
kebutuhan ideal manusia sehingga agama memakmurkan masyarakat dan negara
memiliki peranan yang sangat penting (Hidayatullah, 2011:19).
dalam kehidupan manusia. Peranan Dalam terma yang lebih luas, agama
agama menjadi sangat penting ketika tampak menjadi komponen kebudayaan
agama telah dianut oleh kelompok- publik yang semakin penting daripada
kelompok sosial manusia, yang terkait sekedar kepercayaan dan praktik pribadi
dengan berbagai kegiatan pemenuhan (Turner, 2013:1). Persentuhan agama
kebutuhan hidup manusia yang kompleks dalam struktur sosial bukan saja
dalam masyarakat. Agama adalah melahirkan beragam corak keberagaman
seperangkat keyakinan yang sakral dan dalam berbagai aliran dan corak
mutlak, yang mengatur hubungan pengalaman beragama, tetapi juga
manusia dengan Tuhan, hubungan membuat persentuhan saling berkaitan
manusia dengan manusia, dan hubungan antara kepentingan yang berdimensi
manuisa dengan alam kehidupan pada keagamaan dengan kepentingan-
umumnya di dunia ini (Nashir, 1999:ix). kepentingan aktual seperti kepentingan
Agama juga merupakan suatu pedoman ekonomi dan politik. Kepentingan
hidup yang memiliki manfaat, yakni (1) ekonomi dan politik tersebut seringkali
mendidik manusia agar mempunyai menjadi pemicu konflik dalam
pendirian yang pasti dan terang agar masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari
tercipta manusia yang positif dan tepat, pengakuan negara terhadap 6 agama resmi
(2) mendidik manusia agar mengetahui dan mempertegas dikotomi antara agama
cara mencari dan memiliki ketentraman yang “legal” dan yang “illegal”, bahkan

Ni Putu Ayu Amrita Pradnyaswari


JURNAL CAKRAWARTI, Vol. 01, No. 01, Feb - Jul 2018 ISSN:

dapat dikatakan sebagai agama yang Biro Pakem didirikan di setiap provinsi
“benar” dan yang “sesat”. dan kabupaten melalui Surat Edaran
Negara mulai “dianggap” menghegemoni Departemen Kejaksaan Biro Pakem Pusat
kebebasan beragama masyarakat melalui No. 34/Pakem/S.E./61 tanggal 7 April
dibentuknya badan yang disebut Badan 1961 dengan tugas mengikuti,
Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan memerhatikan, mengawasi, gerak gerik
Masyarakat (Pakem) Kejaksaan Republik serta perkembangan dari semua gerakan
Indonesia dan Undang Undang No. agama, semua aliran
1/PNPS/1965 tentang pencegahan kepercayaan/kebatinan,
penyalahgunaan agama dan atau penodaan memeriksa/mempelajari buku-buku,
agama. Kemunculan paket kebijakan brosur keagamaan/aliran kepercayaan,
tersebut tidak dapat dilepaskan dari situasi baik yang berasal dari dalam maupun luar
sosial-politik pascakemerdekaan. Niels negeri. Tugas Pakem disempurnakan
Mulder dalam Kholiludin (2009:151) dalam Surat Instruksi Jaksa Agung No.1/
menyatakan bahwa Departemen Agama Insr/Secr/1963 tanggal 5 Februari 1963
pada tahun 1953 mencatat bahwa terdapat tentang Penyelesaian Persoalan di Bidang
lebih dari 360 kelompok kebatinan yang Pakem Kejaksaan yang menegaskan pada
terdapat di wilayah Jawa yang memiliki pengawasan yang diarahkan pada gejala-
peran dalam kehidupan masyarakat gejala yang dapat menghalangi jalannya
sehingga parta-partai Islam pada Pemilu pembangunan (Baso, 2005:242-243).
1955 gagal memperoleh suara mayoritas Konstitusi yang mulai
(hanya mendapat 42% suara). mendiskriminasi kepercayaan lokal
Pada tahun 1952 diadakan sidang Dewan terdapat pada dibentuknya Undang
Perwakilan Rakyat yang mengusulkan Undang No. 16 tahun 2004 mengenai
agar Departemen Agama membuat tugas pengawasan aliran kepercayaan
rumusan definisi agama sehingga saat itu tercantum pada Bab III Pasal 30 ayat 3 (d).
muncul rumusan unsur-unsur esensial Peraturan serupa juga terdapat dalam
agama berupa Nabi/Rasul, kitab suci, dan Undang Undang No. 5 tahun 1991 dalam
pengakuan dari luar negeri. Hal tersebut Bab III Pasal 27 ayat 3 (d) dan Undang
membuat kalangan Hindu-Bali tidak Undang No. 15 tahun 1961 dalam Bab I
menyetujui rumusan tersebut sehingga Pasal 2 ayat 3. Pada tanggal 27 Januari
definisi agama tidak pernah muncul dalam 1965 Penetapan Presiden (PP) No. 1
regulasi. Pada tahun 1953 Departemen (selanjutnya ditulis PNPS 1965)
Agama melaporkan adanya 360 agama dikeluarkan oleh Soekarno tentang
baru di Indonesia sehingga muncul Pencegahan Penyalahgunaan dan atau
kebijakan yang menempatkan Pakem Penodaan Agama. Status PP ini kemudian
sebagai salah satu biro di bawah struktur ditingkatkan sebagai Undang Undang
Departemen Agama. Pakem merupakan melalui penetapan Undang Undang No. 5
akronim dari Pengawas Aliran tahun 1969 yang dalam perkembangannya
Kepercayaan Masyarakat, meskipun di menjadi alat untuk membentengi agama
beberapa daerah muncul pemaknaan resmi dari aliran-aliran kepercayaan
berbeda mengenai definisi Pakem. Ada (Kholiludin, 2009:159).
yang memahami sebagai pengawas Penegasan dikotomi agama resmi yang
preventif, ada yang memaknai hanya diakui negara juga dapat dilihat dalam
sebagai Peninjau Aliran Kepercayaan UUDS 1950 pasal 43 ayat 3 dan UUD RIS
Masyarakat, dan ada yang memaknai pasal 41 ayat 1 dan 2. Hal tersebut
sebagai Penelitian dan Pengembangan menguatkan bahwa negara memiliki
Aliran Masyarakat (Kholiludin, wewenang untuk memberikan pengakuan
2009:153). resmi, memberikan perlindungan, dan
Pada tahun 1958 Kejaksaan bantuan hanya kepada agama resmi (Baso,
Agung membentuk Bagian Gerakan 2005:239). Dasar legal formal mengenai
Agama dan Kepercayaan Masyarakat dan diskursus agama resmi tersebut
selanjutnya diresmikan menjadi Biro dikukuhkan oleh konstitusi negara.
Pakem pada tahun 1960. Pada tahun 1961 Perjalanan panjang “kebijakan” negara

Ni Putu Ayu Amrita Pradnyaswari


JURNAL CAKRAWARTI, Vol. 01, No. 01, Feb - Jul 2018 ISSN:

tersebut juga berpengaruh pada kehidupan adat Tengger yang mendiami wilayah
beragama masyarakat Indonesia pada Malang atau selatan atau Brang Kidul.
umumnya dan masyarakat Tengger Brang Tengger Brang Kulon untuk wilayah
Kidul di Desa Ngadas pada khususnya. Pasuruan, Tengger Brang Lor untuk
Aturan negara cenderung memaksa wilayah Probolinggo, dan Tengger Brang
masyarakat untuk memilih salah satu Wetan untuk menyebut masyarakat yang
agama resmi dan hal ini menghasilkan tinggal di wilayah Lumajang. Berbeda
suatu dialektika masyarakat Tengger dengan daerah Tengger lain yang
Brang Kidul di Desa Ngadas dalam menempati wilayah Malang, Desa Ngadas
kehidupan beragama. Di satu sisi, merupakan satu-satunya desa yang masih
masyarakat harus takluk dan mematuhi mempertahankan identitas ketenggeran
peraturan negara, di sisi lain masyarakat mereka, sehingga masyarakat Tengger di
masih memiliki keyakinan yang menjadi daerah lain (selain Brang Kidul) masih
warisan nenek moyang secara turun menyebut mereka dengan sebutan wong
temurun. Tengger Brang Kidul.
Jawa Sanyata merupakan kepercayaan
Gambaran Umum Masyarakat Tengger yang hanya dimiliki oleh masyarakat
Brang Kidul di Desa Ngadas, Tengger Brang Kidul di Desa Ngadas.
Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Jawa Sanyata merupakan sebuah ajaran
yang dibawa oleh Ki Kere atau Ki Sabda
Malang, Jawa Timur Gedibal yang menurut cerita masyarakat
Tengger secara etimologis berasal dari Jogonalan, Klaten. Ia datang
(Widyaprakosa, 1994:26) memiliki arti ke Desa Ngadas sekitar tahun 1970an dan
berdiri tegak atau diam dan tidak bergerak. meninggalkan kitab yang menjadi
Pengertian Tengger jika dikaitkan dengan tuntunan bagi penganut Jawa Sanyata
kepercayaan yang hidup dalam yaitu Kitab Adam Makna. Sebagian besar
masyarakat dapat diartikan tenggering masyarakat Tengger Brang Kidul di desa
budi luhur. Tengger juga memiliki arti setempat merupakan satu-satunya
sebagai tanda atau cirri yang memberikan masyarakat yang meyakini Hyang
sifat khusus pada sesuatu. Pengertian Wenanging Jagat sebagai sebutan khas
Tengger dapat dikatakan sebagai sifat-sifat untuk Tuhan Yang Maha Esa. Ki Kere atau
budi pekerti luhur. Tengger juga memiliki Ki Sabda Gedibal sendiri dianggap
pemaknaaan lain dalam kepercayaan sebagai pembawa wahyu, ia juga dianggap
masyarakat pendukungnya. Sebutan sebagai sosok yang misterius karena ia
Tengger tidak terlepas dari legenda nenek datang secara tiba-tiba dan menghilang
moyang masyarakat Tengger. Legenda secara tiba-tiba, sebagian masyarakat
Rara Anteng dan Jaka Seger merupakan meyakini bahwa ia sudah moksa.
sejarah yang diyakini masyarakat Tengger Dalam konteks geografis, bentang fisik
sebagai awal mula keberadaan mereka. kawasan Tengger ada seluas kurang-lebih
Rara Anteng dan Jaka Seger adalah 40 km dari utara ke selatan, 20 -30 km.
sepasang suami-istri yang memiliki 25 Wilayah Tengger terletak pada bagian dari
anak, namun salah satu diantaranya 4 kabupaten: Probolinggo, Pasuruan,
menjadi tumbal dengan dijerumuskan ke Malang, dan Lumajang. Tipe permukaan
dalam kawah Bromo demi keselamatan tanahnya bergunung-gunung dengan
keluarganya. Dalam kisah ini, Tengger tebing yang curam. Kaldera Tengger
merupaka akronim dari kata “teng” dari merupakan lautan pasir terluas yang
Rara Anteng dan “ger” dari Joko Seger. terletak pada ketinggian 2300 m dengan
Anteng memiliki makna kedamaian dan panjang 5-10 km. Data di Puslit
seger memiliki maka kesuburan. Hal Universitas Jember menunjukkan bahwa
tersebut tercermin pula dalam kehidupan kawah Gunung Bromo dengan ketinggian
masyarakat Tengger yang penuh 2.392 m masih aktif mengeluarkan asap
kedamaian, hidup sederhana, gotong yang menggelombang ke angkasa Sedang
royong, dan toleran. di sebelah selatan menjulang puncak
Tengger Brang Kidul adalah komunitas Gunung Semeru dengan ketinggian 3.676

Ni Putu Ayu Amrita Pradnyaswari


JURNAL CAKRAWARTI, Vol. 01, No. 01, Feb - Jul 2018 ISSN:

m (Adrianto, 2002:21). 2013 sebesar 1.905 jiwa (sekitar 480 KK)


Penelitian ini dilakukan di Desa Ngadas, terdiri dari 905 laki-laki dan 955
Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten perempuan. Mayoritas masyarakat Desa
Malang, Jawa Timur. Desa Ngadas Ngadas memeluk agama Buddha dengan
merupakan desa yang berada di area aliran Buddha Jawa Sanyata sebanyak 906
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru orang, agama Islam sebanyak 817 orang,
yang memiliki akses terdekat dengan agama Hindu dipeluk oleh 109 orang, dan
Gunung Bromo bila ditempuh dari kota agama Kristen adalah agama minoritas
Malang. Jarak yang ditempuh dari ibu kota dengan jumlah pemeluk 4 orang (Potensi
Malang menuju Desa Ngadas adalah 48 Desa Ngadas Tahun 2014). Desa Ngadas
km atau selama 2 jam, sedangkan jarak di Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten
yang ditempuh dari Kota Surabaya adalah Malang, Jawa Timur memiliki beberapa
118 km atau selama 5 jam dengan sarana peribadatan sesuai agama yang
kendaraan bermotor. Desa Ngadas dipeluk masyarakat, yakni masjid,
berbatasan dengan Desa Mororejo, mushola, vihara, dan pura. Sebuah masjid,
Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan di sebuah pura, dan 2 buah mushola berada
sebelah utara. Desa Ngadas berbatasan di wilayah pemukiman warga, sedangkan
pula dengan Desa Ranupani, Kecamatan sebuah vihara berada di dekat area
Senduro, Kabupaten Lumajang di sebelah pemakaman dan pedahnyangan yang
selatan. Desa Ngadas berbatasan dengan dikeramatkan masyarakat. Namun
Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, demikian, Desa Ngadas belum memiliki
Kabupaten Probolinggo di sebelah timur fasilitas gereja bagi pemeluk agama
dan Desa Gubugklakah di Kecamatan Kristen.
Poncokusumo, Kabupaten Malang. Agama Buddha menjadi agama
Luas wilayah pemukiman di Desa resmi yang diakui oleh mayoritas
Ngadas adalah 14 ha dan luas wilayah masyarakat Tengger Brang Kidul di Desa
tegalan adalah 181 ha dengan luas hutan Ngadas karena masyarakat meyakini
lindung adalah sekitar 7.000 ha. Desa bahwa agama Buddha merupakan agama
Ngadas memiliki curah hujan sekitar resmi negara yang relevan dengan
3.000-3.500 Mm dengan tinggi permukaan keyakinan ke-Buda-an mereka. Dominasi
2.100 mdl dan suhu rata-rata harian 17-22° aliran Maitreya kemudian muncul ketika
C. Desa Ngadas memiliki topografi para pemeluk Maitreya dari Kota Malang
wilayah yang berbukit dengan tingkat memberikan “perhatian”. Masyarakat
kemiringan tanah sekitar 20-75°. setempat meyakini bahwa Maitreya
Masyarakat pada umumnya memiliki merupakan aliran yang mengutamakan
lahan pertanian yang ditanami tanaman ajaran cinta kasih sehingga dianggap
kentang atau Solanum tuberosum dan memiliki kesamaan dengan esensi ajaran
kubis atau Brassica oleraceae. Status Jawa Sanyata yang mereka yakini sejak
kepemilikan lahan pertanian sebagai milik dulu.
pribadi adalah 400 keluarga dan 36 Buddha Jawa Sanyata lahir dan berawal
keluarga tidak memiliki kepemilikan lahan dari kemelut politik pada masa orde baru.
pertanian. Masyarakat juga melakukan Pemberontakan PKI yang terjadi pada
ternak, yakni 100 orang beternak sapi, 80 tahun 1965 menggerakkan pemerintah
orang beternak babi, 30 orang beternak untuk memerangi dan menumpas habis
ayam kampung, 5 orang beternak kuda, gerakan komunis tersebut. Setelah
dan 35 orang beternak kambing. pergolakan tersebut pemerintah membuat
kebijakan dengan mewajibkan setiap
Dialektika Kehidupan Beragama warga negara untuk memeluk salah satu
Masyarakat Tengger Brang Kidul di agama resmi Negara (Islam, Katolik,
Desa Ngadas, Kecamatan Hindu, Buddha, Kristen Protestan).
Poncokusumo, Kabupaten Malang, Pemerintah juga menghadirkan stigma
Jawa Timur Data Potensi Desa komunis dan atheis bagi setiap warga
menyebutkan bahwa jumlah penduduk di negara yang tidak mau memeluk salah
Desa Ngadas sampai dengan akhir tahun satu agama resmi tersebut. Stigma tersebut

Ni Putu Ayu Amrita Pradnyaswari


JURNAL CAKRAWARTI, Vol. 01, No. 01, Feb - Jul 2018 ISSN:

juga menghantui masyarakat Tengger yang identik dengan Buddha, dari hal tersebut
membuat mereka was-was karena kemudian muncul istilah Buddha Jawa
keyakinan mereka berbeda dengan agama Sanyata.
yang diakui oleh pemerintah saat itu Pada awal mereka memutuskan untuk
(Hefner, 1985:243). memeluk agama Buddha Jawa
Kondisi tersebut mengakibatkan Sanyata, mereka mejalankan praktik
para tokoh dan Dukun Pandhita1 se- upacara keagamaan yang berbeda dengan
Tengger mengadakan pasamuan pada umat Buddha pada umumnya. Mereka
tahun 1973 yang menentukan agama resmi menjalankan praktik upacara keagamaan
yang hendak dipilih dan dirasa sesuai oleh sesuai dengan tradisi leluhur dan seperti
masyarakat setempat. Pada saat itu para yang diajarkan dalam Kitab Adam Makna.
peserta pasamuan sepakat untuk memilih Mereka melaksanakan upacara keagamaan
Hindu sebagai agama resmi, kecuali Mbah di tempat yang disebut dengan Sanggar
Ngatrulin. Mbah Ngatrulin adalah seorang Pasembahan Jawa Sanyata. Pada awalnya
dukun yang berasal dari Desa Ngadas dan mereka juga sama sekali tidak mengenal
merupakan sesepuh yang dianggap beberapa pusat orientasi dalam agama
memiliki pengetahuan yang mendalam Buddha seperti Sidharta Gautama dan
mengenai sejarah dan kehidupan Kitab Tripitaka maupun jenis upacara
masyarakat Desa Ngadas. Ia menolak keagamaan dalam agama Buddha seperti
keputusan tersebut dan bersikukuh ingin Waisak.
tetap mempertahankan agama Buda (Jawa Namun hal tersebut berubah seiring
Sanyata). Akhirnya masyarakat Desa berjalannya waktu dengan masuknya
Ngadas yang menganggap keyakinan ajaran Buddha Dharma ke Desa Ngadas
mereka dengan sebutan Buda yang sudah sejak tahun 1992. Mulai saat itu gencar
terbalut ajaran Jawa Sanyata memutuskan dilakukan berbagai macam sosialisasi dan
untuk ikut ke dalam agama Buddha pembinaan kepada warga penganut
dengan alasan bahwa ajaran Buda atau Buddha Jawa Sanyata. Secara
Jawa Sanyata sebenarnya lebih mengarah keorganisasian Walubi masuk ke desa
ke ajaran agama Buddha daripada ajaran Ngadas pada tahun 1995. Pada tahun 1992
Hindu. Persamaan tersebut terdapat pada mulai dibagun sebuah tempat peribadatan
ajaran welas asih (kasih sayang) yang Vihara yang sebelumnya merupakan
menjadi pedoman kehidupan bangunan Sanggar Pasembahan yang
bermasyarakat dan beragama mereka. bentuknya terlihat lebih sederhana. Vihara
Dalam sistem keyakinan mereka saat itu, yang terletak di Desa Ngadas disebut
mereka juga mengenal sosok Sri Vihara Paramita yang terletak di dekat
Maharaja Dewa Buda2 . Selain karena Pedahnyangan tidak jauh dari pemakaman
mereka memutuskan untuk masuk ke desa. Vihara dibangun dengan
dalam agama Buddha, kata Buda juga menggunakan dana swadaya umat Buddha
di Desa Ngadas. Mulai saat itu gencar
1 Dukun yang dimaksud adalah sebutan bagi orang dilakukan berbagai macam sosialisasi dan
yang memimpin ritual adat, memiliki pengetahuan pembinaan kepada warga penganut
tentang masyarakat dan kearifan lokal setempat, Buddha Jawa Sanyata. Perubahan tersebut
serta dianggap sebagai orang terhormat atau
sesepuh salah satunya tidak lepas dari peran Pak
2 Kurang jelas apakah yang dimaksud adalah Ngatono, seorang pemeluk keyakinan
Sidharta Gautama atau bukan. Masyarakat Jawa Sanyata dari desa Ngadas yang
setempat mengenalnya sebagai salah satu menjadi agen of change. Beliau pernah
pembawa wahyu dari Tuhan. Nama Sri Maharaja belajar ajaran Buddha Dharma di Malang
Dewa Buda disebutkan dalam naskah Serat
Pustaka Raja Purwa atau Serat Paramayoga pada tahun 1992 hingga tahun 1995. Pak
karangan Ranggawarsita (Darmasubita, 1928). Ngatono pun mulai memperkenalkan
Dalam Serat tersebut Ia disebutkan merupakan ajaran Buddha Dharma dan Sidharta
penjelmaan dari Batara Guru, merupakan raja Gautama kepada masyarakat Ngadas
pertama dari kerajaan Medang Kamulan yang pemeluk Jawa Sanyata. Pada saat itu
merupakan kerajaan pertama di tanah Jawa. Ia
yang mengajarkan kawruh atau ilmu welas asih
ajaran Buddha Dharma kurang mendapat
(kasih sayang) dan tata cara menyembah Tuhan. perhatian dari masyarakat pengikut Jawa

Ni Putu Ayu Amrita Pradnyaswari


JURNAL CAKRAWARTI, Vol. 01, No. 01, Feb - Jul 2018 ISSN:

Sanyata. Akhirnya seiring berjalannya


waktu ajaran tersebut dapat diterima
dengan baik oleh masyarakat karena
secara esensi kedua ajaran tersebut pada
dasarnya sama. Hal tersebut memunculkan
bentuk akulturasi seperti dalam ajaran dan
dogma serta dalam beberapa praktik
upacara keagamaan. Masyarakat
kemudian juga mulai merayakan perayaan
Buddha Dharma seperti Waisak yang
mereka lakukan sejak tahun 1998 atas
bimbingan Walubi. Saat itu perayaan
upacara Waisak digelar bersama dengan
majelis dalam agama Buddha lainnya di
lingkungan Malang dan sekitarnya yang
bertempat di Candi Sumberawan yang
terletak di Kecamatan Singosari Malang.
Pada saat ini mereka juga merayakan
upacara Waisak di Sanggar Pasembahan
yang juga dihadiri oleh beberapa anggota
majelis agama Buddha di lingkungan
Malang. Pada tahun 2002 juga masuk
salah satu aliran dalam agama Buddha,
yaitu Maitreya yang turut membentuk
wajah baru dalam ajaran, praktik upacara
keagamaan dan di beberapa sudut
bangunan ibadah. Masyarakat penganut
Jawa Sanyata tidak serta merta menerima
ajaran yang berasal dari luar, mereka juga
melakukan filterisasi terhadap ajaran yang
masuk. Ajaran Maitreya dapat diterima
dengan alasan bahwa ajaran tersebut pada
dasarnya berlandaskan pada welas asih
atau kasih sayang. Maitreya merupakan
aliran yang diakui oleh kelembagaan
Walubi. Maitreya

Ni Putu Ayu Amrita Pradnyaswari


JURNAL CAKRAWARTI, Vol. 01, No. 01, Feb - Jul 2018 ISSN:

-
saat ini sesungguhnya adalah Bodhisattva lebih kecil daripada sekarang yang di
(calon Buddha) yang akan datang ke dalamnya hanya berisi altar persembahan
bumi pada saat kiamat akan tiba untuk kepada Hyang Wenang ing Jagad. Pada
menyelamatkan umat manusia dengan tahun 2005 bangunan tersebut dipugar dan
ajaran kisah kasih. Maitreya dalam tiap menjadi bangunan yang mempunyai ciri
figurnya digambarkan sebagai sosok yang yang sedikit berbeda dengan bangunan
membawa kedamaian dan kebahagiaan sebelumnya. Setelah pembangunan kem
karena selalu digambarkan tersenyum bali bangunan peribadatan tersebut yang
(Sponberg dan Hardacre, 1988:2-3). mendapat sokongan dari Maitreya terdapat
Masyarakat penganut Jawa Sanyata tidak tampilan yang sedkit berbeda di dalamnya.
serta merta menerima ajaran yang berasal Di altar persembahan terdapat patung
dari luar. Mereka juga melakukan Maitreya dengan background di
filterisasi terhadap ajaran yang masuk. belakangnya sebuah gambar Sang
Ajaran Maitreya dapat diterima dengan Buddha. Pada saat ini terlihat di dalam
alasan bahwa ajaran tersebut pada bangunan pada bagian altar pasembahan
dasarnya berlandaskan pada welas asih terdapat 3 patung berbeda yang
atau kasih saying. merepresentasikan identitas masing-
Kehidupan beragama mereka semakin masing ajaran yang ada di kalangan
lengkap dengan adanya bangunan masyarakat penganut Jawa Sanyata. Yang
monumental sebagai tempat peribadatan pertama adalah patung Ismaya dengan
yaitu Vihara Paramitta yang dibangun background yang terdapat di sisi kiri altar,
pada tahun 2005. Bangunan tersebut yang merepresentasikan ajaran Jawa
dibangun pada lahan milik desa dan Sanyata, kemudian patung Sang Buddha
merupakan bekas tempat bangunan dengan background Gunung Semeru yang
sebelumnya yaitu Sanggar Pasembahan berada di sisi tengah altar yang
yang mempunyai ukuran lebih kecil. merepresentasikan ajaran Dharma, dan
Tempat ibadah yang terdiri dari satu patung Maitreya dengan background stupa
bangunan tersebut mempunyai dua nama yang berada di sisi kanan altar yang
yang berbeda, di satu sisi bernama Vihara merepresentasikan ajaran Maitreya. Pada
Paramitta dan di sisi lain bernama sisi altar lainnya yaitu perlengkapan yang
Sanggar Pasembahan Jawa Sanyata yang digunakan sebagai sarana ibadah juga
ditulis menggunakan huruf Jawa. tampak percampuran ketiga identitas yang
Satu bangunan dua nama adalah berbeda tersebut. Di meja altar
bangunan yang saat ini digunakan oleh persembahan yang tiap sudutnya dihiasi
umat Buddha Jawa Sanyata sebagai janur kuning digunakan beberapa
tempat untuk menjalankan praktik upacara perlengkapan peribadatan seperti bokor
keagamaan. Pada sisi depan bangunan dan dupa serta perabotan seperti guci cina
nama yang menonjol adalah Vihara dan kipas yang terdapat tulisan cina. Di
Paramitta, sedangkan pada sisi samping samping itu juga terdapat persembahan
tertulis nama Sanggar Pasembahan Jawa dalam sebuah wadah persembahan. Pada
Sanyata yang ditulis menggunakan huruf sisi dinding juga dihiasi dengan beberapa
Jawa dalam sebuah papan kayu. Di hiasan seperti gambar Semar yang disusun
kalangan masyarakat bangunan tersebut dari sekumpulan huruf Jawa, foto dari Ki
lebih popular dengan sebutan sanggar Kere atau Ki Sabda Gedibal, dan gambar
ataupun Vihara. Bangunan yang dibangun Sang Buddha.
di atas tanah milik desa tersebut berbentuk Keberadaan 3 patung yang diyakini
bujur sangkar, memperlihatkan kaidah masyarakat Desa Ngadas sebagai pusat
konsep jawa yaitu papat kiblat, yang juga orientasi memperlihatkan terjadinya
terlihat dari bentuk atap bangunan yang kompromi dan negosiasi masyarakat yang
pada masing-masing sisi menghadap ke tetap mempertahankan ideologi Jawa
empat arah. Bangunan sanggar Sanyata sehingga tetap menggunakan
pasembahan atau Vihara pada awalnya figur Ismaya sebagai pratima di altar.

Ni Putu Ayu Amrita Pradnyaswari


JURNAL CAKRAWARTI, Vol. 01, No. 01, Feb - Jul 2018 ISSN:

-
Buddha sebagai pusat orientasi agama Sanyata di Desa Ngadas saat ini (hingga
Buddha Dharma yang diakui pemerintah tulisan ini dibuat) adalah berkaitan dengan
juga menjadi pratima yang diposisikan di Vihara. Hak milik tanah atas Vihara
sentral altar dengan ukuran yang lebih tersebut adalah milik Desa sehingga
besar. Figur Maitreya juga diterima masyarakat harus mencari alternatif
masyarakat sebagai Buddha cinta kasih tempat untuk membangun Vihara mereka
yang dianggap merepresentasikan jiwa yang baru di bawah kepemilikan Lembaga
cinta kasih yang dimiliki masyarakat Keagamaan Buddha Indonesia di Desa
Tengger Brang Kidul di Desa Ngadas Ngadas mengingat tempat ibadah agama
dengan meletakkan pratima Maitreya di lain sudah merupakan hak milik organisasi
altar. Hal tersebut menunjukkan terjadinya keagamaan mereka masing-masing untuk
pemakaian simbolik unsur-unsur budaya menghindari sengketa. Motivasi dan usaha
asing berupa ideologi baru bagi penegasan yang dilakukan masyarakat Desa Ngadas
keberadaan umat Buddha di Desa Ngadas. dalam mempertahankan kepercayaan
Setiap hari Rabu terdapat kegiatan yang mereka mempertegas bahwa masyarakat
disebut dengan Sekolah Minggu, dimana setempat merupakan subjek yang menjadi
kegiatan transformasi pengetahuan dari agen pemertahan ideologi lokal yang
orang tua kepada anak-anak dilakukan. Di merupakan tradisi turun temurun sebagai
dalam kegiatan tersebut diajarkan tentang warisan nenek moyang. Mer eka bertarung
Jawa Sanyata seperti ajaran tata cara dalam sebuah arena yang di dalamnya
beribadah. Selain itu juga diajarkan terdapat kekuatan-kekuatan dan dominasi
bagaimana menulis huruf Jawa dan dari para agen yang membawa ideologi
bernyanyi menggunakan tembang baru. Adaptasi dan negosiasi dilakukan
macapat. Ajaran dharma juga diajarkan agar masyarakat tetap dapat
terutama berkaitan dengan Siddharta mempertahankan dan memperjuangkan
Gautama serta sejarah perkembangan ideologi asli mereka.
agama Buddha sendiri. Tak juga Masyarakat setempat mengidentifikasi
ketinggalan ajaran Maitreya juga ikut keyakinan mereka sebagai Buda sejak
andil dalam kegiatan tersebut terutama sebelum terjadi pergolakan 1965. Setelah
berkaitan dengan ajaran kasih sayang. pergolakan 1965 tangan-tangan
Selain itu anak-anak juga diajarkan lagu- pemerintah sempat mengeluarkan
lagu Maitreya yang kerap digunakan beberapa kebijakan sehubungan dengan
dalam ibadah liturgi. bentuk keyakinan dari masyarakat
Terdapat usaha-usaha untuk memasukkan Tengger. Pada tahun 1968 pemerintah
ajaran Maitreya ke dalam sistem melalui Depertemen Kehakiman
keyakinan mereka. Sasaran utama mereka menetapkan status “Kepercayaan terhadap
adalah generasi muda yang menjadi Tuhan Yang Maha Esa” kepada segala
pewaris ajaran dan adat mereka. Dahulu macam bentuk praktik upacara keagamaan
banyak anak muda yang dikirim ke masyarakat Tengger. Pada saat itu
Surabaya untuk mengikuti pelatihan- masyarakat Tengger merasa tidak puas
pelatihan dan mengikuti pembelajaran dengan kebijakan tersebut karena
ajaran Maitreya. Pemerintah juga keyakinan mereka tidak diakui sebagai
melakukan pendisiplinan terhadap ajaran agama resmi. Hal tersebut dikemukakan
Buddha Jawa Sanyata yang dilakukan oleh Bapak Sutomo:
terhadap anak-anak yang menempuh “kalo ga ada tuntutan politis ya,, dari
pendidikan formal. Anak-anak Desa pemerintah,, mungkin ya tetep Siwa
Ngadas yang kebanyakan menempuh Buddha,, Siwa Buddha terakhir adalah
pendidikan dasar di SD Ngadas 1 tidak Majapahit, kan.. kami ini adalah
mendapatkan pelajaran Jawa Sanyata, penerus Siwa Buddha itu.. karena
tetapi mereka mendapatkan pelajaran sudah menjadi keputusan pemerintah
Agama Buddha Dharma. Permasalahan semua yang ada di NKRI ini harus jelas
yang dihadapi masyarakat Buddha Jawa status keagamaannya, dan yang direstui

Ni Putu Ayu Amrita Pradnyaswari


JURNAL CAKRAWARTI, Vol. 01, No. 01, Feb - Jul 2018 ISSN:

-
pemerintah tidak ada agama Siwa dengan kata Hong dalam agama Buddha.
Buddha, waktu itu hanya 5 agama, Meskipun demikian dalam hal orientasi
hanya itu.” keagamaan maupun dalam praktik upacara
(Wawancara 29 Agustus 2014) keagamaan keduanya sangat berbeda. Tak
lama kemudian masih di tahun 1973,
Setelah kebijakan tersebut keluar, tangan- pemerintah kembali membuat kebijakan
tangan Buddha maupun Hindu mulai baru dengan menetapkan keyakinan
menyusup ke dalam kehidupan masyarakat Tengger sebagai varian dari
masyarakat Tengger. Pada tahun 1968 agama Hindu. Hal tersebut didasarkan
banyak orang yang dimasukkan sebagai pada alasan bahwa upacara adat Tengger
umat agama Buddha dan mengangkat banyak yang bersumber dari kitab Weda
beberapa Dukun Pandhita menjadi dan kesamaan sebagian Dewa yang dipuja
seorang Biksu. Pada tahun 1969 Hindu oleh masyarakat Tengger dengan Dewa
juga membuat counter attack dengan dalam agama Hindu. Kebijakan yang
memasukkan beberapa masyarakat berubah dalam waktu yang tidak lama
Tengger sebagai umat agama Hindhu. tersebut sebenarnya membuat masyarakat
Mereka juga mengangkat Dukun Pandhita Tengger sendiri bingung untuk
menjadi seorang Pemangku sehingga pada mengidentifikasi keyakinan mereka.
tahun 1973 pemerintah membuat Sebagian masyarakat Tengger merasa
kebijakan baru terkait bentuk keyakinan bahwa kebijakan terakhir tersebut
masyarakat Tengger melalui Parisadha membuat seolah masyarakat Tengger telah
Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi dihindukan oleh pemerintah. Akibatnya
Jawa Timur. Pada saat itu digelar istilah Buda yang sebelumnya melekat
pertemuan antara Dukun Pandita seluruh sebagai identitas keyakinan masyarakat
wilayah adat tengger yang meliputi empat Tengger dengan perlahan tergeser oleh
kabupaten (Malang, Probolinggo, istilah Hindu Tengger. Eksistensi Buda
Pasuruan, Lumajang) untuk menentukan yang saat itu menjadi keyakinan
keyakinan mereka. Pertemuan tersebut masyarakat Tengger sebenarnya juga
digelar tahun 1973 yang bertempat di berbeda dengan bentuk praktik upacara
Balai Desa Ngadisari, sebuah wilayah adat keagamaan agama Buddha maupun agama
Tengger yang berada di Kabupaten Hindu yang diakui pemer intah saat itu.
Probolinggo. Pertemuan tersebut digelar Banyak yang mengintepresentasikan
sebagai imbas dari kebijakan pemerintah bahwa Tengger adalah Hindu atau Buddha
yang mengharuskan untuk memeluk salah maupun Hindu-Buddha karena leluhur
satu agama resmi dan menghindarkan mereka adalah pelarian dari Majapahit.
masyarakat dari stigma ateis dan komunis, Namun hal tersebut terbantahkan dengan
serta imbas dari kebijakan pemerintah fakta bahwa di Tengger tidak ada tempat
yang membuat masyarakat bingung ibadah yang bernama Pura maupun Vihara
mengidentifikasi keyakinan mereka maupun adanya Pemangku maupun
sendiri. Selanjutnya pemerintah Bhiksu. Tempat peribadatan mereka
mengkategorikan masyarakat Tengger disebut dengan Sanggar Pamujan,
sebagai pemeluk Buddha Mahayana. sedangkan pemimpin upacara adat
Keputusan tersebut tertuang dalam Surat maupun keagamaan adalah Dukun
Keputusan No. 00/PHB Pandhita. Kenapa demikian? Pada masa
Jatim/Kept/III/1973 tanggal 6 Maret 1973. kerajaan Majapahit berbagai literatur
Pada saat itu antara Buddha dan Buda mengatakan bahwa agama yang dianut
Tengger seperti yang ditunjukkan oleh oleh Majapahit adalah Siwa-Buddha.
hasil penelitian Ayu Sutarto (1997) Perpaduan kedua ajaran yaitu Siwa-
persamaannya hanya terdapat pada kata Buddha tersebut kemudian dikenal dengan
Hong yang biasa digunakan oleh Dukun istilah Buda. Saat banyak pelarian dari
Pandhita Tengger sebagai awalan dalam Majapahit melarikan diri ke kawasan
pembacaan doa dan mantra yang identik Tengger terdapat kemungkinan mereka

Ni Putu Ayu Amrita Pradnyaswari


JURNAL CAKRAWARTI, Vol. 01, No. 01, Feb - Jul 2018 ISSN:

-
membawa ajaran tersebut serta adat yang
kemudian berpadu dengan kepercayaan
lokal masyarakat setempat. Pada masa
kerajaan Majapahit kedua agama tersebut
dapat hidup berdampingan sehingga tidak
ada kompetisi antara keduanya. Bahkan
dalam Kitab Sutasoma disebutkan “Siwa-
Buddha bhinneka tunggal ika tan hana
dharmma mangrwa”, hal tersebut
menyiratkan bahwa pada hakekatnya
kedua ajaran tersebut sama. Bentuk ajaran
Siwa-Buddha tersebut kemudian
mengalami sinkretisme dengan
kepercayaan lokal masyarakat setempat
sehingga memunculkan bentuk keyakinan
baru. Bentuk keyakinan baru tersebut
nampak dari unsur-unsur religi masyarakat
Tengger yang masih terdapat unsur Siwa
maupun Buddha serta bentuk kepercayaan
lokal yang tidak terdapat di dalam kedua
ajaran tersebut. Hal tersebut sejalan
dengan teori yang diungkapkan oleh
Rassers (1992) bahwa sinkretisme Siwa-
Buddha terjadi karena adanya pengaruh
kebudayaan asli Jawa, serta pendapat
Suamba (2007) yang melukiskan
pertemuan Siwaisme dan Buddhisme
sebagai percampuran melalui adopsi dan
kemudian terjadi penataan kembali sesuai
dengan alam pikiran kebudayaan Jawa.
Hal tersebut berarti bahwa peran paling
penting dalam proses mempertemukan
kedua ajaran dan penataan kembali ajaran
tersebut terdapat dalam peran kearifan
lokal masyarakat Jawa. Hal yang berbeda
terjadi pada masa kolonial dimana ajaran
Siwa yang dominan secara

Ni Putu Ayu Amrita Pradnyaswari


JURNAL CAKRAWARTI, Vol. 01, No. 01, Feb - Jul 2018 ISSN:

dogmatis berdiri menjadi agama Hindhu Perkembangan agama Islam di


secara teologis, sedangkan ajaran Buddha Desa Ngadas juga ditunjang melalui
yang dominan secara dogmatis berdiri perkawinan masyarakat setempat dengan
menjadi agama Buddha secara teologis para pendatang. Di Desa Ngadas dahulu
meskipun di dalam kedua agama tersebut banyak pendatang laki-laki yang beragama
terdapat sekte yang berbeda-beda. Islam yang kemudian menikah dengan
Terdapat kemungkinan dahulu di Tengger gadis setempat. Kebanyakan dari gadis-
terdapat penganut dari ajaran Siwa gads yang diperistri pendatang yang
maupun penganut dari ajaran Buddha. beragama Islam tersebut mengikuti agama
Ajaran Siwa yang telah terbalut dari suami. Masyarakat setempat juga
kepercayaan lokal kemudian diidentifikasi penasaran dengan cara yang diajarkan
sebagai Hindu Tengger, sedangkan ajaran secara damai oleh masyarakat lainnya
Buddha yang telah terbalut kepercayaan sehingga membuatnya tertarik untuk
lokal diidentifikasi sebagai Buddha masuk agama Islam. Pengalaman tersebut
Tengger yang kemudian lebih popular juga dialami oleh Mujianto yang masuk
dengan istilah Buda. Keadaan tersebut Islam karena tertarik dengan agama
berubah pada masa kolonial bahwa Hindu tersebut. Pada saat menempuh pendidikan
dan Buddha adalah agama yang terpisah di SMP ia banyak mendapatkan pelajaran
dan berdiri sendiri. agama Islam padahal agamanya saat itu
Masyarakat Hindu di Desa Ngadas berada adalah Hindhu. Setelah cukup lama
di bawah naungan Parisadha Hindu kemudian ia meminta ijin kepada orang
Dharma Indonesia (PHDI) Desa Ngadas. tuanya untuk pindah, keinginannya
Kepengurusan PHDI Desa Ngadas tersebut kemudian diamini oleh orang
didirikan pada tahun 1986, bersamaan tuanya. Pada tahun 1990an saat agama
dengan pembangunan Pura Sapto Argo. Islam mengalami perkembangan di Desa
Ketua PHDI Desa Ngadas untuk pertama Ngadas, masyarakat penganut agama
kali dipimpin oleh Mbah Kadar. Pura Islam belum memiliki tempat peribadatan
tersebut didirikan di tanah milik Mbah sehingga peribadatan banyak dilakukan di
Kadar yang kemudian disumbangkan pada rumah. Pada saat itu penggunaan atribut
umat karena Beliau tidak memiliki seperti pakaian muslim untuk perempuan
keturunan. Masyarakat Hindu di Desa dan jilbab masih sangat terbatas. Para
Ngadas tetap melakukan ritual adat ke- perempuan masih memakai pakaian yang
Tengger-an. Mereka juga meyakini dan biasa dipakai masyarakat lainnya seperti
mengenal ajaran agama Hindu resmi dari penggunaan kethu dan kain sarung.
pemerintah. Mereka meyakini Sang Pakaian muslimah dan jilbab pada saat ini
Hyang Widhi sebagai pencipta dan kitab dipakai sebagai wujud identitas keislaman
suci Weda. Layaknya umat Hindu di Bali, perempuan Desa Ngadas dan juga
umat Hindu di Desa Ngadas juga berfungsi untuk memberi kehangatan pada
merayakan hari suci seperti Galungan, tubuh. Hal tersebut dikarenakan mereka
Kuningan, Nyepi, Pagerwesi, Siwaratri, hidup di daerah yang dingin, terutama
dan Saraswati. Umat Hindu setempat juga pakaian muslimah sebenarnya lebih
melakukan ritual piodalan di Pura banyak menutupi bagian tubuh.
setempat. Ritual keagamaan khas Hindu Perkembangan Islam di Desa Ngadas
dilaksanakan dengan menggunakan semakin pesat seiring dibangunannya
upakara sesuai tradisi Bali yang bangunan peribadatan meskipun masih
menggunakan material berupa janur (daun berwujud Langgar atau Mushala.
kelapa), kelapa, dan sebagainya. Bahkan Bangunan tersebut adalah Mushala
pelaksanaan melasti pun yang pada Hidayatullah yang dibangun pada tahun
awalnya diselenggarakan di sumber air 1996. Mushala tersebut dibangun di atas
Tengger di Widodaren, kini masyarakat tanah wakaf dari seorang warga beragama
lebih memilih untuk melakukan ritual Islam bernama Sutikah. Pada tahun 2000
tersebut di Bale Kambang yang lokasinya mulai dibangun bangunan masjid yang
berada jauh dari Desa Ngadas. selesai dikerjakan dan diresmikan pada

Ni Putu Ayu Amrita Pradnyaswari


JURNAL CAKRAWARTI, Vol. 01, No. 01, Feb - Jul 2018 ISSN:

tahun 2001. Masjid tersebut adalah masjid kupat. Kupat dibuat dari daun janur
Al-Asfiya yang tanahnya merupakan kuning yang dirajut sedemikan rupa
sumbangan dari majelis taklim dan kemudian di dalamnya diisi dengan beras.
dakwah yang berada di Desa Gubukklakah Kupat tersebut kemudian dimasak dengan
yaitu desa yang berada di bawah Desa menggunakan uap air dari air yang
Ngadas. Kehadiran kedua tempat ibadah dimasak di bawahnya.
tersebut semakin memperkokoh eksistensi Masyarakat Islam di Desa Ngadas juga
dan hegemoni Islam di Desa Ngadas. melaksanakan upacara yang sifatnya adat,
Masyarakat Desa Ngadas yang beragama tetapi juga yang bernafaskan Islam seperti
muslim selain melaksanakan upacara yang tasyakuran saat kelahiran bayi. Pada saat
bersifat adat juga melaksanakan upacara tersebut biasanya mereka akan
keagamaan mereka seperti contoh Idhul menyembelih kambing sebanyak 1 buah
Fitri, Idhul Adha, dan Puasa Ramadhan. jika anaknya perempuan dan 2 buah jika
Pada bulan Ramadhan sebagian besar anaknya laki-laki. Mereka juga akan
masyarakat melaksanakan ibadah puasa menyunatkan anaknya mereka seperti
sebagai wujud ketaatan mereka dalam umat Islam pada umumnya, tetapi mereka
beragama. Meskipun demikian terdapat juga melaksanakan sunatan secara adat
juga warga masyarakat yang yang disebut tetesan mrajakani. Saat akad
melaksanakan ibadah puasa pada hari nikah yang digelar di masjid, setelah
pertama atau hari pertama dan pada hari prosesi tersebut mereka juga akan
terakhir sebagai syarat keabsahan mereka melaksanakan upacara perkawinan secara
menjalankan ibadah puasa. Hal tersebut adat yang disebut walagara. Meskipun
dilatarbelakangi oleh pekerjaan mereka mereka beragama Islam namun mereka
yang sebagian besar bertani di ladang tetap melaksanakan upacara yang sifatnya
yang merupakan sumber perekonomian adat sebagai bentuk penghormatan mereka
utama mereka. Setiap pagi mereka harus terhadap adat dan para leluhur. Hal yang
bekerja di ladang, medan yang jauh dan unik adalah saat mereka juga mengikuti
berat harus mereka lalui sehingga upacara Kasada sebagai bentuk wujud
membutuhkan energi yang banyak. identitas mereka sebagai wong tengger.
Sebelum melaksanakan puasa biasanya Umat muslim Ngadas semakin unik
masyarakat melakukan selamatan karena melaksanakan upacara yang
megengan. Megengan sebenarnya sebenarnya tidak ada dalam adat
merupakan kebiasan adat istiadat kebiasaan masyarakat Ngadas maupun
masyarakat setempat sebelum melakukan dalam agama Islam. Upacara tersebut pada
ritual megeng yang digelar pada bulan umumnya dilaksanakan masyarakat jawa
Kapitu. Namun masyarakat yang yang tinggal di dataran rendah. Upacara
beragama Islam juga mengadopsi tradisi yang dilaksanakan tersebut berkaitan
tersebut. Tradisi megengan yang dengan upacara kematian seperti
dilakukan masyarakat Islam sebelum telungdinan (tiga hari) yang dilaksanakan
puasa Ramadhan dilakukan dengan tiga hari setelah orang meninggal,
membagikan makanan ke beberapa pitungdinan (tujuh hari) yang
tetangga di sekitar rumah. Selain tradisi dilaksanakan tujuh hari setelah orang
megengan terdapat juga tradisi selamatan meninggal, patangpuluhan (empat puluh
dan syukuran kupatan. Tradisi kupatan hari) yang dilaksanakan emapt puluh hari
tersebut dilakukan setelah masyarakat setelah orang meninggal, nyatus (seratus
menjalankah ibadah puasa pada bulan hari) yang dilaksanakan seratus hari
Ramadhan yaitu pada hari terakhir saat setelah orang meninggal, dan lain
lebaran. Saat lebaran masyarakat saling sebaginya.
berkunjung ke rumah, hal tersebut juga Kompleksitas masyarakat Muslim
dilakukan oleh beberapa masyarakat di Desa Ngadas dapat dilihat dari
lainnya yang bukan beragama Islam. berkembangnya aliran Wahabi di desa
Kupatan adalah menikmati makanan yang sedikit penduduk, tidak memiliki
sayur-sayuran yang dilengkapi dengan akses dan fasilitas infrastruktur desa yang

Ni Putu Ayu Amrita Pradnyaswari


JURNAL CAKRAWARTI, Vol. 01, No. 01, Feb - Jul 2018 ISSN:

memadai, dan masih menjunjung tinggi tersebut menimbulkan suatu hubungan


adat istiadat. Dari cerita Pak Ponadi, dialogis dan kompromistis antara
komunitas tersebut berawal dari anggota masyarakat di Desa Ngadas dengan para
masyarakat yang bernama Sutomo. kaum eksternalitas yang kemudian turut
Setelah orang tersebut menuaikan ibadah ambil bagian dalam membentuk manusia
haji di Mekkah, dia kemudian tidak Tengger hari ini. Ideologi primordial yang
mengikuti atau melaksanakan upacara dimiliki masyarakat Tengger Brang Kidul
yang bersifat adat. di Desa Ngadas tidak dapat dianggap
Kondisi yang berbanding terbalik terjadi sebagai isapan jempol belaka. Masyarakat
pada saat ini dimana masyarakat meyakini agama yang mereka peluk saat
diperbolehkan untuk memeluk semua ini bukan hanya bermakna sebagai
agama resmi. Masyarakat yang dahulu warisan nenek moyang, tetapi merupakan
kurang permisif terhadap Islam lambat keyakinan mereka terhadap nilai dan
laun begitu toleran terhadap agama ajaran yang mereka miliki. Masyarakat
tersebut. Sikap toleran tersebut dilandasi mampu memahami dan mencintai inti
karena kesadaran masyarakat terhadap ajaran agama mereka sebagai bagian dari
kebebasan untuk memeluk agama, selain diri dan kehidupan mereka. Dialektika
itu karena ajaran Islam yang berkembang kehidupan beragama yang dilakukan
di Desa Ngadas diajarkan secara damai. masyarakat setempat menghasilkan
Hal terpenting dari sikap masyarakat sebuah kehidupan harmonis yang patut
terhadap toleransi beragama. Jumlah untuk dijadikan teladan bagi daerah lain,
pemeluk agama Islam di Desa Ngadas terutama di daerah konflik.
juga semakin hari semakin bertambah
banyak. Pengislaman di Desa Ngadas DAFTAR PUSTAKA
dilakukan melalui proses perkawinan. Adrianto, Ambar. 2002. Komunitas Adat
Tidak ada pemaksaan yang dilakukan para Tengger di Desa Ngadisari, Kecamatan
agen Islam terhadap masyarakat. Unsur- Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa
unsur agama Islam lebih tepat dikatakan Tmur. Jogjakarta: Dinas Kebudayaan DIY
menyusup dalam kehidupan masyarakat
Tengger Brang Kidul di Desa Ngadas. Baso, Ahmad. 2005. Islam Pascakolonial:
Agama dianggap sebagai suatu hal yang Perselingkuhan Agama,
mengatur hubungan transendental yang Kolonialisme, dan Liberalisme.
berbeda dengan adat sehingga keduanya Bandung: Mizan Pustaka.
dapat berjalan beriringan. Peningkatan Hefner, Robert W. 1999. “Geger
jumlah penduduk yang memeluk agama Tengger: Perubahan Sosial dan
Islam menandakan kuatnya arus infiltrasi Perkelahian Politik”. Cetakan I.
yang dilakukan oleh para agen. Para agen Yogyakarta: LKiS.
seolah mengkonstruksi suatu strategi yang Hefner, Robert W. 1985. “Hindu
dengan sadar ataupun tidak mampu Javanese: Tengger Tradition and
menghegemoni masyarakat dengan Islam”. New Jersey: Princeton
memasukkan ideologi dan budaya mereka. Univ.
Islam yang memiliki latar belakang
budaya yang sangat berbeda dengan Hidayattulah, Syarif. 2011. Studi Agama:
Indonesia (seperti bahasa dan tulisan Arab Suatu Pengantar. Yogyakarta: Tiara
dan budaya jilbab) mampu diterima dalam Wacana.
masyarakat tradisional di Desa Ngadas. Kholiludin, Tedi. 2009. Kuasa Negara
Atas Agama: Politik Pengakuan,
PENUTUP Diskursus Agama Resmi, dan
Kehidupan beragama masyarakat Diskriminasi Hak Sipil. Semarang:
Tengger Brang Kidul di Desa Ngadas RaSAIL.
tidak dapat dilepaskan dari peran Nashir, Haedar. 1999. Agama dan Krisis
pemerintah yang berusaha untuk Kemanusiaan Modern. Yogyakarta:
melakukan pendisiplinan agama. Hal Pustaka Pelajar.

Ni Putu Ayu Amrita Pradnyaswari


JURNAL CAKRAWARTI, Vol. 01, No. 01, Feb - Jul 2018 ISSN:

Rassers, W,H, et all. 2002. Ciwa Buddha


Puja di Indonesia. Denpasar :
Yayasan Dharma Sastra.
Sponberg, Alan., Helen Hardacre (ed).
1988. Maitreya: The Future Buddha.
Cambridge: Cambridge University
Press.
Sutarto, Ayu. 1997. Legenda Kasada dan
Karo Orang Tengger Lumajang.
Jakarta: UI.
Suamba, I,B,P. 2007. Siwa-Buddha di
Indonesia : Ajaran dan
Perkembangannya. Denpasar :
Penerbit Widya Dharma.
Turner, Bryan S. 2013. Sosiologi Agama.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Widyaprakosa, S. 1994. Masyarakat
Tengger: Latar Belakang Daerah
Taman Nasioal Bromo. Cetakan I.
Yogyakarta: Kanisius.
Daftar Isian Potensi Desa Ngadas,
Kecamatan Poncokusumo,
Kabupaten Malang tahun 2001.

Ni Putu Ayu Amrita Pradnyaswari

Anda mungkin juga menyukai