Anda di halaman 1dari 18

IDENTIFIKASI POTENSI TRADISI DAN KEPERCAYAAN

TERHADAP TUHAN YME SERTA STRATEGI PENGELOLAANYA


DALAM RANGKA KETAHANAN BUDAYA*
Oleh : Dr. Idrus Ruslan, M.Ag**

Pendahuluan
Fakta kemajemukan masyarakat Indonesia jika dilihat dari
latar belakang suku bangsa, sosial budaya, bahasa, agama serta
kepercayaan merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah.
Adanya keanekaragaman tersebut merupakan sumber kekayaan
nasional yang tidak dimiliki oleh bangsa atau negara lain,
disamping itu kesemuanya merupakan potensi konflik jika tidak
berjalan secara sinergi. Oleh karena itu pluralitas yang dimiliki
bangsa 1 Indonesia dapat dikatakan sebagai suatu persoalan
strategis. Dikatakan persoalan strategis karena integrasi bangsa
menjadi dasar bagi terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa
yang merupakan prasyarat terciptanya stabilitas nasional dan
ketahanan budaya yang sangat diperlukan bagi kelancaran
pembangunan nasional.
Setelah Indonesia merdeka, musuh dalam arti kekuatan
fisik (penjajah) negara lain sudah tiada, akan tetapi bersamaan
dengan itu munculnya egoisme baik bersifat kesukuan,
keagamaan, kedaerahan dan lain-lain, sehingga melunturkan
ketahanan budaya yang telah dibangun oleh pendiri bangsa ini

*Disampaikan Pada Acara Peningkatan Kompetensi Pengelola di Bidang


Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, Hotel Horison
Bandar Lampung, 6 Maret 2018.
**Dosen Hubungan Antar Agama, Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama
UIN Raden Intan Lampung.
1Menurut Benedict R.O.G. Anderson yang dikutip oleh Lambang Trijono;

Bangsa esensinya merupakan sebuah komunitas terbayangkan, atau imagined


community, hasil imanjinasi atau konstruksi warga bangsa mendiami atau
hidup dalam sebuah wilayah teritori tertentu. Lihat Lambang Trijono,
“Kebangkitan Nasional Memasuki Pertengahan Abad 21”, dalam Agus Wahyudi
(ed.), Seandainya Setiap Orang Indonesia Merdeka (Yogyakarta : PSP UGM,
2008), h. 3.

1
seakan-akan hilang entah kemana. Hal ini dapat dilihat dari
seringnya terjadi konflik yang berlatar belakang agama, suku,
golongan dan lain-lain.2
Pemandangan tersebut tentunya amat merisaukan,
memilukan sekaligus memalukan dan jika tidak di antisipasi
sedini mungkin, maka akan mengakibatkan terjadinya loose
generation dimana suatu bangsa dihuni oleh manusia yang tidak
lagi memiliki rasa percaya diri dan kebanggaan terhadap
bangsanya sendiri karena hilangnya sendi-sendi dari nilai-nilai
mendasar dan universal yang telah diwariskan oleh para leluhur
bangsa ini.
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk
memperbesar permasalahan yang kecil atau juga tidak bermaksud
untuk mengorek luka lama, tetapi lebih pada sebagai bahan
renungan bersama bagi kita semua bahwa pluralitas – terutama
Suku, Agama, Kepercayaan, Ras dan Antargolongan – yang
dimiliki oleh Indonesia haruslah disadari dan dimaknai dengan
sebaik-baiknya dan seluas-luasnya.
Dimensi Historis dan Perjalanan Aliran Kepercayaan
Telah dimaklumi bersama bahwa Eksistensi Kepercayaan
terhadap Tuhan YME telah ada sejak berabad-abad silam, nenek
moyang bangsa Indonesia telah menabur benih budaya yang adi
luhung, yakni budaya spiritual. Kepercayaan terhadap Tuhan
YME, dan masyarakat penghayatnya, mempunyai asal-usul yang
amat tua dalam sejarah kebudayaan bangsa Indonesia, yang pada
kenyataannya telah hidup sejak zaman sebelum agama-agama lain
masuk ke nusantara.

2 Idrus Ruslan, “Membangun Nasionalisme Sebagai Solusi Untuk

Mengatasi Konflik SARA di Indonesia” dalam Jurnal TAPIS, Vol. 10, No. 01
Januari-Juni 2014, h. 86.

2
Dengan begitu dapat dikemukakan bahwa keberadaan aliran
kepercayaan merupakan the Host Religions (agama Tuan Rumah)
atau juga the Indigenous Religions (agama lokal) yang telah ada
dan diyakini serta dihayati oleh masyarakat Nusantara ketika itu.
Hal itu juga menegaskan bahwa keberadaan agama-agama yang
ada saat ini (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Kong Hu
Cu) merupakan the Guest Religions (agama tamu). 3 Karena
disamping, datangnya dari luar (Islam dan dataran Arabia, Kristen
dan Katolik dari Eropa, Hindu dari India, Buddha dan Kong Hu Cu
dari dataran Cina), kesemua agama yang disebut belakangan
melakukan penetrasi terhadap eksistensi agama-agama lokal.
Ketika Indonesia merdeka, kita sering latah menggunakan
terminologi official religions dan non official religions atau dengan
kata lain, penggunaan kedua terminologi tersebut berdasarkan
selera dari pemerintah yang berkuasa. Akibat dari kesalah
kaprahan dalam menggunakan terminologi dimaksud, memaksa
aliran kepercayaan juga agama-agama lokal lainnya untuk
“bersembunyi dan tiarap” atau lari ketempat-tempat yang sepi.
Padahal tidak sedikit dari para penghayat yang turut menderita
pada masa penjajahan serta berjuang dalam merebut
kemerdekaan.
Adapun yang menyebabkan terjadinya dikotomi atau
pemilahan antara agama dan aliran kepercayaan, setidak-tidaknya
berasal dari hal-hal berikut ini:
1. Kitab Suci
2. Hari Suci
3. Rasul/Utusan
4. Tempat Ibadah

3 Lihat Idrus Ruslan, Hubungan Antar Agama (Bandar Lampung: Aura

Publishing, 2014).

3
Harus diakui bahwa mempertentangkan antara agama dan
aliran kepercayaan tidak akan habis-habisnya, artinya tergantung
bagaimana setiap orang bisa menyadari dengan baik bahwa
beragama dan berkeyakinan sesungguhnya merupakan sebuah
pilihan dimana keputusan akhirnya ada pada masing-masing
individu, karena sejatinya agama atau kepercayaan diyakini
mengajarkan nilai-nilai kebaikan bukan sebaliknya.
Jika dilihat dari aspek nomatif (the jure) maka akan nampak
bahwa negara Indonesia memberikan kebebasan kepada rakyatnya
dan melindunginya untuk memeluk agamanya serta beribadah
sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing,
sebagaimana yang dapat dilihat berikut ini:
1. UUD 1945 Pasal 29 ayat 2: Negara Menjamin Kemerdekaan
Tiap tiap Penduduk Untuk Memeluk Agamanya Masing-
masing dan Untuk Beribadat Menurut Agamanya dan
Kepercayaannya itu
2. Universal Declartaion of Human Right
3. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 77
Tahun 2013 Tentang Pedoman Pembinaan Lembaga
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Lembaga
Adat.
4. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor. 27
Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada Satuan Pendidikan
Oleh karena itu semakin jelas bahwa sesungguhnya tidak
perlu ada yang dipertentangkan secara membabi buta yang itu
bisa membuat kita kehabisan energi, karena disamping persoalan
keyakinan merupakan faktor batiniah, selain itu negara Indonesia
dengan konstitusinya melindungi dalam hal kebebasan beragama,

4
berkeyakinan dan berkepercayaan, juga faktor bahwa kita
memiliki nenek moyang yang sama.
Dalam konteks ini, kita dapat mengutip pendapat Ramlan
Surbakti bahwa setidaknya ada dua faktor yang dapat
menyatukan rasa kebersamaan; pertama, adanya faktor sejarah;
yakni persepsi yang sama tentang asal usul nenek moyang dan
atau persepsi yang sama tentang pengalaman masa lalu, seperti
penderitaan yang sama yang disebabkan oleh penjajahan tidak
hanya melahirkan solidaritas (sependeritaan dan sepenanggung-
an), tetapi juga tekad dan tujuan yang sama antar kelompok
masyarakat. Kemudian yang kedua adalah Bhinneka Tunggal Ika,
yakni prinsip bersatu dalam perbedaan (unity in diversity).
Bersatu dalam perbedaan adalah kesetiaan warga masyarakat
pada suatu lembaga yang disebut negara, atau pemerintahan yang
mereka pandang dan yakini mendatangkan kehidupan yang lebih
manusiawi, tanpa menghilangkan keterikatan kepada suku
bangsa, adat istiadat, ras atau agama dan juga kepercayaan.4
Bila ditarik lebih kebelakang lagi, dimana para pejuang
kemerdekaan sebelumnya hanya melakukan penjajahan secara
sendiri-sendiri atau maksimal hanya sebatas daerah tertentu saja,
dan itu sangat sulit untuk mengusir penjajah. Lalu kemudian
timbullah kesadaran mereka bahwa untuk melawan dan mengusir
penjajah, maka diperlukan rasa persatuan secara luas tidak hanya
di daerah masing-masing dan juga rasa cinta akan kebangsaan
yang mendalam supaya cita-cita kemerdekaan yang diidam-
idamkan dapat menjadi kenyataan.
Berikut ini dapat dilihat peta penganut aliran kepercayaan
yang ada di Indonesia:

4 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta : Gramedia


Widiasarana Indonesia, 1992), h. 44.

5
Provinsi Jumlah Aktif Jumlah Tidak Aktif Total
Sumatra Utara 12 1 13
Riau 1 - 1
Lampung 5 - 5
Banten - 1 1
DKI Jakarta 12 2 14
Jawa Barat 5 2 7
Jawa Tengah 47 4 51
DI. Yogyakarta 19 6 25
Jawa Timur 43 7 50
Bali 8 - 8
Nusa Tenggara Barat 4 1 5
Nusa Tenggara Timur 3 1 4
Sulawesi Utara 2 1 3
Jumlah 161 26 187

Berdasarkan pemetaan tersebut dapat dipahami bahwa


ternyata eksistensi penganut aliran kepercayaan sampai saat ini
masih cukup banyak, oleh karena itu hendaknya masyarakat
Indonesia dapat menghargai keberadaan tersebut sebagai suatu
kekayaan spiritual yang dimiliki Indonesia, ketimbang memben-
turkannya dengan nilai-nilai religi lain. Apalagi saat ini adalah era
modern yang menuntut manusia untuk bergerak cepat (time and
space), karenanya jika manusia Indonesia tidak berhenti
mengurusi hal-hal yang bersifat “subjektif” tersebut, maka tentu
tidak akan mampu terlibat dalam era modernitas ini.
Lalu bagaimana potensi aliran kepercayaan itu sendiri?
Pertama, era globalisasi dan reformasi memunculkan suatu
keadaan membaurnya nilai-nilai yang bersumber dari keragaman
budaya dan meningkatnya pergaulan antar bangsa. Globalisasi

6
dan reformasi merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari,
yang bila dipolakan berdasarkan dominasi dan ketergantungan
dalam hubungan antar bangsa, akan memunculkan tirani-tirani
baru. Oleh karena itu, yang terpenting adalah bagaimana kita
menyikapi dan memanfaatkannya sesuai dengan jati diri dan
identitas bangsa kita sendiri. Hal ini disebabkan masyarakat telah
meninggalkan nilai-nilai budayanya sendiri dengan tiadanya atau
tipisnya akhlak dan moralitas yang telah diwariskan oleh para
leluhur dan pendiri bangsa ini.
Kedua, potensi penghayat hingga saat ini masih “belum
jelas”, sehingga perannya dalam pembangunan budaya bangsa
juga kurang maksimal. Banyak faktor yang mempengaruhi
kurangnya potensi dan peran penghayat dalam pembangunan
budaya bangsa itu, antara lain: keadaan organisasi/paguyuban,
sumber daya manusia, dana, maupun hubungan dengan
pemerintah.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dipahami bahwa
segenap eksistensi aliran kepercayaan harus dimanfaatkan untuk
kemajuan bangsa dengan cara menyikapi sesuai dengan jati diri
dan identitas bangsa, lalu kemudian memperlakukan mereka
sebagaimana memperlakukan “diri sendiri”.
Jati diri dan identitas bangsa yang asli yaitu ramah, sopan,
tolong menolong, saling hormatmenghormati, gotong royong dan
lain-lain, sehingga jangan sampai manusia Indonesia mengalami
“penyakit lupa” atau manusia yang mengalami “insomnia”
terhadap karakter budaya asli suatu bangsa yang diakibatkan oleh
kurang memiliki wawasan dan pemahaman terhadap kaidah-
kaidah budaya bangsa.
Ketika manusia sudah dapat menjalankan jati diri dan
identitas yang bersesuaian dengan budaya bangsa secara sadar,

7
maka muncullah karakter manusia yang sesuai dengan aslinya
dan berkehendak untuk menjaga dan melestarikannya kepada
generasi berikutnya.
Harus diakui, bahwa tidak mudah untuk menjaga dan
melestarikan karakter jati diri dan identitas bangsa, hal itu
disebabkan oleh terpaan budaya dari luar atau asing yang secara
kasat mata mengandaikan dengan kemewahan, dan kebebasan
yang tak terkendali. Dua hal ini setidaknya sangat efektif untuk
menjerat manusia baik individu maupun kelompok termasuk di
Indonesia, sehingga mereka mengabaikan norma-norma yang telah
dimiliki sebelumnya, kecuali bagi manusia yang betul-betul
menyadari bahwa budaya baru (kemewahan dan kebebasan)
tersebut sangat tidak bersesuaian dengan karakter mereka dan
dapat menurunkan harkat dan martabat manusia itu sendiri. 5
Komitmen Bersama
Seorang sosiolog kenamaan – Talcott Parsons – menyatakan
jika suatu masyarakat pada suatu bangsa ingin tetap eksis dan
lestari, maka ada empat paradigma fungsi (function paradigm) yang
harus terus menerus dilaksanakan oleh masyarakat yang
bersangkutan : Pertama, kemampuan memelihara sistem nilai
budaya yang dianut, karena budaya adalah endapan dari perilaku
manusia. Budaya masyarakat itu sendiri akan berubah karena
terjadi transformasi nilai dari masyarakat terdahulu ke
masyarakat kemudian, tetapi dengan tetap memelihara nilai-nilai
yang dianggapnya luhur, karena tanpa hal itu akan terbentuk
masyarakat baru yang lain. Kedua, kemampuan masyarakat
beradaptasi dengan dunia yang berubah dengan cepat, artinya
masyarakat yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan

5 Idrus Ruslan, “Penguatan Ketahanan Budaya Dalam Menghadapi

Derasnya Arus Budaya Asing” dalam Jurnal TAPIS, Vol. 11, No. 01 Januari-Juni
2015, h. 7.

8
serta memanfaatkan peluang yang timbul akan menjadi unggul.
Ketiga, adanya fungsi integrasi dari unsur-unsur masyarakat yang
beraneka ragam secara terus menerus sehingga terbentuk
kekuatan sentripetal yang semakin menyatukan masyarakat
tersebut. Keempat, masyarakat perlu memiliki goal attainment
atau tujuan bersama yang dari masa ke masa bertransformasi
karena terus menerus diperbaiki oleh dinamika masyarakatnya
dan oleh para pemimpinnya.6
Teori general yang dikemukakan oleh Parsons tersebut
setidaknya mengingatkan kepada masyarakat Indonesia akan
pentingnya memelihara perilaku budaya yang telah tertanam
secara berurat dan berakar dalam jiwa sanubari rakyat Indonesia.
Perilaku budaya yang dimaksud adalah seperti gotong royong,
musyawarah, tolong menolong, toleransi dan saling menghargai
serta berkepercayaan terhadap sesuatu yang menguasai alam
semesta. Perilaku budaya tersebut tidak boleh bergeser menjadi
perilaku budaya yang tidak sesuai apalagi bertentangan dengan
perilaku budaya semula. Sebab jika terjadi suatu perubahan
dengan perilaku budaya lain yang asing, hal itu berarti disatu sisi,
telah menyebabkan teralienasinya perilaku budaya lama yang
telah diwariskan secara turun menurun. Sedangkan disisi lain,
sangat boleh jadi perilaku budaya lain yang dianggap baru
tersebut tidak sesuai dengan watak dan karakter rakyat Indonesia
bahkan bertentangan – yang menurut teori tersebut jika itu terjadi
– berarti tidak lagi disebut manusia lama, akan tetapi disebut
manusia baru yang lain. Sebutan “manusia baru yang lain” disini

6 Lihat Siswono Yudo Husodo, “Pancasila : Jalan Menuju Negara

Kesejahteraan”, dalam Panitia Simposium dan Sarasehan, Pancasila Sebagai


Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa, (Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada, 2006), h. 18. Teori Parsons ini dapat dilihat juga
dalam Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, terj. Tim Yasogama (Jakarta:
Rajawali Pers. 2010), cet.viii, h. 180-186.

9
mencitrakan manusia yang memiliki watak dan karakter negatif,
karena tidak sesuai lagi dengan citra budaya awalnya. Oleh
karena itu, dengan terus menjaga perilaku budaya yang telah ada,
maka suatu masyarakat atau bangsa akan tetap eksis.
Selain itu, agar masyarakat bangsa tetap eksis maka
diperlukan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan dan
kemajuan dunia yang begitu pesat. Masyarakat saat ini hidup
dalam era globalisasi dan mustahil manusia dapat menghindari
dari himpitan dan desakan dari globalisasi.7 Karena itu menurut
Afif Muhammad, membendung dan menghindari arus globalisasi,
saat dunia sudah kehilangan batas-batas geografisnya, betul-betul
merupakan usaha yang sia-sia.8
Secara fair harus diakui bahwa globalisme berdampak
positif maupun negatif terhadap manusia. Dampak positif dari
globalisasi antara lain dimana manusia dapat mengetahui apa
yang terjadi dibelahan bumi yang lainnya dalam waktu yang
sekejap bahkan dalam waktu yang bersamaan, perjalanan yang
tadinya membutuhkan waktu berhari-hari bahkan berbulan-
bulan, dengan globalisme dalam bidang kemajuan alat
transportasi, waktu tersebut dapat disingkat hanya dalam
beberapa menit atau jam saja. Seseorang dapat menjelajahi

7 Istilah globalisasi menunjukkan pada proses berskala global, yang


melintasi batas-batas kebangsaan, yang mengintegrasikan dan yang
menghubungkan masyarakat-masyarakat dan organisasi-organisasi sedemikian
rupa dalam dimensi ruang dan waktu yang baru. Dalam globalisasi, orang
memahami apa itu “masyarakat” secara baru karena ia tidak lagi menunjuk
pada adanya suatu sistem yang tertutup. Orang kini dapat berbicara mengenai
adanya masyarakat global. Lihat Gerson Tom Therik, “Arus Balik Globalisasi
Dalam Milenium Ketiga” dalam Martin L. Sinaga (ed.), Agama-Agama Memasuki
Milenium Ketiga, (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 44-45. Bandingkan dengan
Nurcholish Madjid, “Kosmopolitanisme Islam dan Terbentuknya Masyarakat
Paguyuban”, dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher (ed.), Agama dan
Dialog Antar Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 37.
8 Afif Muhammad, “Radikalisme Agama-agama Abad 21”, dalam Tim

Editor, Masa Depan Bangsa dan Radikalisme Agama, (Bandung: Gunung Djati
Press, 2006), h. 18.

10
luasnya dunia, walaupun ia hanya berada di dalam ruangan
kamar berkat kemajuan tekhnologi berupa internet.
Saat ini kita hidup laksana pada suatu desa yang luas
(global village). Pada konteks ini, Anthony McGrew sebagaimana
dikutip oleh Gerson mengatakan bahwa karakter yang menonjol
dari globalisasi adalah time-space compression. Kecepatan, atau
lajunya proses global itu, menyebabkan orang merasa dunia
semakin kecil dan jarak-jarak menjadi lebih pendek sehingga
suatu peristiwa yang terjadi pada satu tempat mempengaruhi
orang yang berada ditempat yang relatif cukup jauh. 9 Dalam
istilah lain, globalisasi akan menjebol (implosion) sekat-sekat
pemisah antar manusia. Akan tetapi globalisasi juga berdampak
negatif karena bisa menyebabkan hilangnya identitas diri, dan
menyebabkan pula bergesernya nilai-nilai yang ada pada umat
manusia seperti sekulerisme juga profanisme yang jika di kaji
secara lebih mendetail, sangat tidak kecil pengaruhnya terhadap
alam pikiran, sikap dan moral manusia. Bahkan dengan
globalisasi, banyak manusia yang melupakan agama dan
Tuhannya, hal ini dapat dilihat dari persepsi manusia yang
menganggap bahwa kemajuan yang ada sekarang adalah semata-
mata akibat kemajuan pola pikir manusia dan tidak ada peran
ataupun intervensi Tuhan sama sekali.
Oleh karena itu, dibutuhkan suatu sikap yang tetap
konsisten terhadap perilaku budaya asli yang ada pada suatu
masyarakat. Artinya, arus globalisasi yang datang dari Barat
harus di respon secara aktif dan kreatif agar memberikan dampak
positif bagi masyarakat itu sendiri. Kata “masyarakat harus dapat
menyesuaikan dengan globalisasi”, bukan berarti bahwa
masyarakat terbawa arus globalisasi sehingga kehilangan identitas

9Gerson Tom Therik, “Arus Balik Globalisasi….”, h. 45.

11
utamanya atau mengalami alienasi, tetapi yang dimaksud adalah
masyarakat dapat memilih dan memilah aspek-aspek baik positif
maupun negatif dari pengaruh globalisasi. Aspek positif, tentu
harus diambil sebagai suatu yang bermanfaat bagi kesejahteraan
ataupun kemajuan umat manusia itu sendiri. Sedangkan aspek
negatifnya harus ditinggalkan. Penggunaan cara selektif terhadap
kemajuan dan perkembangan globalisasi ini pula yang akan
membuat bangsa-negara (Indonesia) sebagai bangsa-negara yang
maju, tetapi tetap dengan ciri khasnya yaitu bangsa yang memiliki
suatu karakter yang baik.
Aspek lain yang dapat menjadikan masyarakat tetap eksis
apalagi bagi masyarakat yang plural yaitu adanya suatu integrasi
yang dibangun secara bersama-sama dengan kesadaran yang
tinggi tanpa melihat adanya perbedaan latar belakang masing-
masing. Suatu integrasi yang dibangun bersama-sama tersebut
dalam konteks ke-Indonesia-an merupakan sebuah pandangan
hidup (world view) yang dijadikan rujukan bersama karena nilai-
nilainya bersifat mendasar dan universal serta bersifat egaliter
atau kesederajatan. Rujukan bersama tersebut tidak lain ialah
Pancasila. Pancasila merupakan dasar negara, pandangan hidup
dan kontrak sosial bersama bagi masyarakat Indonesia, karena
kelahirannya adalah merupakan titik temu bagi seluruh
pandangan masyarakat yang plural.
Lalu yang terakhir, agar masyarakat bangsa tetap eksis
maka harus memiliki tujuan bersama. Tujuan bersama ini cukup
penting, sebab jika terjadi ketidak sepakatan terhadap sebuah
tujuan bersama, maka akan terjadi konflik, pertikaian bahkan
pertempuran antar masyarakat dimana hal itu akan sangat
merugikan bagi kelanggengan masyarakat itu sendiri. Dengan
adanya tujuan bersama, masyarakat akan memiliki motivasi yang

12
tinggi dan kuat untuk menjadikan hidup secara damai dan
harmonis serta menjadikan hidup akan lebih baik dari waktu ke
waktu. Dengan pemahaman itu, jika semangat kebangsaan
Indonesia lahir lebih diwarnai oleh kesamaan sejarah masa lalu
kita, maka kedepan semangat kebangsaan itu harus dipupuk oleh
kesamaan cita-cita tentang negara-bangsa yang ingin kita tuju.
Sebab cita-cita bersama yang sifatnya positif merupakan syarat
terpenting terjadinya suatu bangsa.
Selain itu, patut pula dikemukakan disini bahwa aspek
kebudayaan dalam wujud mentifact (ide pemikiran) yang dalam
konteks ini ialah ideologi atau kepercayaan merupakan suatu yang
sangat urgen dalam melanggengkan kehidupan masyarakat dalam
sebuah negara. Sebab menurut Muladi, dalam kehidupan
manusia baik individual maupun kolektif, peranan ideologi sangat
penting, agar individu atau kolektivitas tersebut selalu konsisten
dalam langkah dan pemikirannya serta tidak kehilangan arah.
Sekalipun demikian, harus pula diakui bahwa ideologi yang tidak
bertumpu pada nilai-nilai universal yang dapat menjamin
kehidupan bermartabat (freedom to live in dignity) justru akan
menimbulkan penderitaan kepada manusia.10
Ideologi dapat dipahami sebagai satu kesatuan sistem ide-
ide yang memberikan masyarakatnya rasionalisasi pandangan
hidup (way of life) yang menjadi pedoman benar atau salah dalam
urusan publik dan dorongan untuk bertindak. Ideologi
memberikan justifikasi distribusi nilai-nilai dalam masyarakat.
Semakin jelas bahwa ideologi sebagai bentuk hasil ramuan
pemikiran manusia yang termasuk salah satu dari manifestasi
kebudayaan, memiliki urgensitas bagi penjaringan ideologi-ideologi

10 Muladi, “Kontekstualisasi dan Implementasi Pancasila dalam Bidang

Hukum, Pertahanan dan Keamanan”, dalam Abbas HamamiMintaredja dkk


(ed.), Memaknai Kembali Pancasila, (Yogyakarta: Lima, 2007), h. 68.

13
yang datang dari luar yang tidak bersesuaian dengan kultur
budaya bangsa Indonesia. Hal ini ditegaskan, mengingat saat ini
banyak sekali ideologi-ideologi yang bersifat trans-nasional yang
masuk ke Indonesia, tetapi sangat bertentangan dengan kondisi
Indonesia, baik dari aspek kultur, sosial, maupun psikologis.
Indonesia yang memiliki ideologi Pancasila dan memuat
nilai-nilai etis universal yaitu ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan dan keadilan, sejatinya harus dipahami
dan ditegakkan oleh seluruh elemen bangsa Indonesia secara
sinergi dan massif. Penegakan nilai-nilai tersebut tentu saja harus
dilakukan secara konsisten dan komitmen agar nilai etik yang
dikandung dari sebuah ideologi dapat membekas dalam kehidupan
bermasyarakat.
Menurut penulis, seharusnya tidak ada lagi yang mencoba
membenturkan nilai-nilai etis universal tersebut dengan norma
agama yang kerapkali ditafsirkan oleh sebagian kalangan secara
sempit. Hal itu disebabkan karena lahirnya nilai-nilai yang
dikandung oleh ideologi bangsa Indonesia merupakan hasil
perenungan secara mendalam para pendiri bangsa yang memiliki
tingkat kecerdasan, baik secara inteleqtual maupun spiritual yang
tinggi, disertai faktor kondisi psikologis ketika itu yang memang
ingin mendirikan bangsa Indonesia secara bermartabat dan tentu
saja jauh dari pamrih. Oleh karena itu ideologi merupakan salah
satu filter dalam melakukan mengantisipasi kuatnya budaya asing
dalam menggempur budaya suatu bangsa.
Komitmen Pada Nilai Luhur
Menurut Nurcholish Madjid bahwa komitmen pribadi pada
nilai-nilai hidup yang luhur akan tidak bermakna apa-apa, jika
yang bersangkutan tidak mewujudkannnya secara nyata dalam
tindakan hidup pribadi sehari-hari. Oleh karena itu komitmen

14
pribadi pada nilai-nilai luhur dapat disederhanakan sebagai
ketaatan pribadi itu pada aturan-aturan dan hukum-hukum yang
dinyatakan berlaku untuk setiap orang. Tidak ada suatu bagian
dari aturan dan hukum yang terlalu kecil untuk diatasi, dan tidak
ada seorangpun yang cukup besar untuk dibenarkan melanggar
aturan dan hukum itu, atau untuk mengklaim dispensasi dari
ketentutan yang berlaku. Semua anggota masyarakat harus
tunduk dan patuh pada hukum dengan sikap yang teguh,
konsekuen, berdisiplin, dan penuh kesabaran dan ketabahan.
Sekali suatu ketentuan aturan atau hukum ditawar untuk
dilanggar, maka prinsip rule of law sudah dirusak, betapapun
kecilnya ketentuan aturan yang dilanggar itu, biarpun, misalnya
“sekadar” ketentuan harus berhenti pada lampu merah di jalan! 11
Kutipan tersebut secara gamblang menggambarkan akan
perlunya suatu sikap teguh pendirian atau komitmen dalam setiap
tindakan yang telah ditetapkan di hati. Sebab hanya dengan sikap
komitmenlah maka segala yang sesuatu yang telah direncanakan
akan dapat direalisasikan yang bertanggung jawab.
Dalam hal ini, perihal komitmen terhadap nilai-nilai budaya
yang ada dan berkembang di Indonesia (termasuk adanya aliran
kepercayaan) yang sesuai dengan nilai-nilai dasar negara
Indonesia menjadi sesuatu yang sangat urgent di dalam
membentengi terpaan badai budaya asing yang begitu kuat. Kata
komitmen meskipun bagi sebagian kalangan dianggap sebagai
sesuatu yang kamuflase, tetapi tidak boleh dianggap remeh,
karena hanya dengan memiliki komitmen yang kuat terhadap
nilai-nilai budaya asli bangsa Indonesia, maka manusia Indonesia
akan dapat menangkis serangan budaya asing.

11 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta:

Paramadina, 1999), h. 194.

15
Strategi Pengelolaan dan Motivasi Pelestarian Aliran
Kepercayaan
Setidaknya terdapat beberapa cara dalam mengelola
keberadaan aliran kepercayaan yang ada, antara lain:
1. Memberikan pendidikan dan pengajaran tentang aliran
kepada masyarakat secara objektif.
2. Mengupacayakan adanya dukungan di semua pihak, baik
dari pemerintah maupun swasta terhap eksisten aliran
kepercayaan sebagai kekayaan nasional.
3. Pemahaman dari suatu pengalaman yang panjang dengan
pengamatan secara langsung atau disebut learning by
experience yang dipertahankan dari generasi ke generasi.
Sedangkan motivasi pelestarian aliran kepercayaan, antara lain:
1. Untuk menjaga, mempertahankan dan mewariskan warisan
budaya lokal yang diwariskan oleh generasi sebelumnya;
2. Untuk meningkatkan pengetahuan dan kecintaan generasi
penerus bangsa terhadap nilai-nilai sejarah kepribadian
bangsa dari masa ke masa yang dapat dilihat secara nyata;
3. Untuk menjamin terwujudnya keragaman atau variasi aspek
teologis;
4. Motivasi simbolis yang meyakini bahwa aliran kepercayaan
adalah manifestasi dari jati diri suatu kelompok atau
masyarakat sehingga dapat menumbuhkembangkan rasa
percaya diri yang kuat.
Penutup
Sebagai sebuah negara yang multi etnis serta memiliki
berbagai macam keyakinan juga kepercayaan, maka yang
diperlukan yaitu suatu sikap arif dan bijak yang sesuai dengan
watak dan karakter budaya Indonesia, yakni budaya saling
menghormati, menghargai, toleransi, persaudaraan, gotong royong

16
yang harus melekat pada semua elemen bangsa Indonesia.
Kesadaran semangat ketahanan budaya bahwa kita semua adalah
hidup dalam satu rumah yakni Indonesia, termasuk juga melihat
aspek historis bahwa para pendiri bangsa ini telah berjuang
mencapai kemerdekaan dengan semangat ketahanan budaya yang
tinggi, akan menghantarkan Indonesia menjadi negara yang
bermartabat, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam mengartikan
kesalehan.

Daftar Pustaka
Husodo, Siswono Yudo, “Pancasila : Jalan Menuju Negara
Kesejahteraan”, dalam Panitia Simposium dan Sarasehan,
Pancasila Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan
Pembangunan Bangsa, Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada, 2006.

Madjid, Nurcholish, “Kosmopolitanisme Islam dan Terbentuknya


Masyarakat Paguyuban”, dalam M. Nasir Tamara dan Elza
Peldi Taher (ed.), Agama dan Dialog Antar Peradaban,
Jakarta: Paramadina, 1996.

--------, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta: Paramadina,


1999.

Muhammad, Afif, “Radikalisme Agama-agama Abad 21”, dalam


Tim Editor, Masa Depan Bangsa dan Radikalisme Agama,
Bandung: Gunung Djati Press, 2006.

Muladi, “Kontekstualisasi dan Implementasi Pancasila dalam


Bidang Hukum, Pertahanan dan Keamanan”, dalam Abbas
Hamami Mintaredja dkk (ed.), Memaknai Kembali Pancasila,
Yogyakarta: Lima, 2007.

Poloma, Margaret M., Sosiologi Kontemporer, terj. Tim Yasogama,


Jakarta: Rajawali Pers. 2010.

Ruslan, Idrus, Hubungan Antar Agama, Bandar Lampung: Aura


Publishing, 2014.

17
--------, “Membangun Nasionalisme Sebagai Solusi Untuk
Mengatasi Konflik SARA di Indonesia” dalam Jurnal TAPIS,
Vol. 10, No. 01 Januari-Juni 2014.

--------, “Penguatan Ketahanan Budaya Dalam Menghadapi


Derasnya Arus Budaya Asing” dalam Jurnal TAPIS, Vol. 11,
No. 01 Januari-Juni 2015.

Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia


Widiasarana Indonesia, 1992.

Therik, Gerson Tom, “Arus Balik Globalisasi Dalam Milenium


Ketiga” dalam Martin L. Sinaga (ed.), Agama-Agama
Memasuki Milenium Ketiga, Jakarta: Grasindo, 2000.

Trijono, Lambang, “Kebangkitan Nasional Memasuki Pertengahan


Abad 21”, dalam Agus Wahyudi (ed.), Seandainya Setiap
Orang Indonesia Merdeka, Yogyakarta: PSP UGM, 2008.

18

Anda mungkin juga menyukai