Anda di halaman 1dari 13

Advokasi Hak Sipil Penghayat Sunda Wiwitan untuk Memperoleh Pengakuan dari

Negara

Heni Puspasari (4815164114), Sekar Sasri Pramesthi (4815162093), Wahyu Linda


(4815162080)

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara merdeka di mana masyarakatnya memiliki hak untuk


memeluk serta menganut agama dan kepercayaan masing-masing. Seperti yang telah
diatur dalam Undang-Undang 1945 Pasal 29 Ayat 2, yang tertulis bahwa negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan. Negara telah meresmikan
dan mengakui enam agama yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Budha,
Hindu, dan Konghucu.1 Indonesia sebagai negara yang multibudaya dan multikultural
membuat bangsa ini memiliki kebudayaan yang beranekaragam, kebudayaannya ini
mencakup unsur-unsur religi yang dipercaya pada masyarakat tertentu salah satunya
yaitu Sunda Wiwitan. Maka, dalam penelitian kali ini kami mengangkat masyarakat
daerah Kampung Pasir, Desa Cinta Karya, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut
sebagai penghayat Sunda Wiwitan.

Sunda Wiwitan adalah sebuah aliran kepercayaan orang-orang Sunda terdahulu.


Mereka meyakini kepercayaan tersebut sebagai kepercayaan Sunda asli atau
kepercayaan masyarakat asli sunda2. Pada masyarakat adat Sunda Wiwitan di
Kampung Pasir, Desa Cinta Karya, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut mereka
meyakini bahwa sunda bukanlah sebagai sebuah etnis melainkan sebuah ajaran.
Mereka mempertahankan kepercayaan asli sunda ini dengan istilah Tri Tangtu yaitu
menjaga hubungan dengan Tuhan, alam, dan juga manusia.

Sunda Wiwitan juga dapat dikatakan sebagai cagar budaya, bukan aliran agama tetapi
bisa diidentifikasikan sebagai penghayat religi-budaya setempat. Semboyan mereka,

1
Rakhmat Hidayat dan Fauzan Marasabessy (ed), Perspektif Relijiusitas dan Gerakan Sosial Komunitas ADS
Cigugur, Kuningan, Jakarta: Labsos UNJ, Januari, 2017, Hal. 1.
2 Roger L. Dixson, Sejarah Suku Sunda dalam Jurnal Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan, Vol. 1 No. 2, 2000, Hal.

203.
yaitu: “Semua umat Tuhan, sepengertian tapi bukan sepengakuan”, artinya sekalipun
tidak sepengakuan tetapi bisa sepengertian, walaupun tidak sama keyakinan namun
dapat saling mengerti. Oleh karena itu masyarakat penghayat Sunda Wiwitan ini tidak
membedakan agama lain seperti Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Budha,
Hindu, Konghucu bahkan non-agama sekalipun, karena masyarakat adat selain
merupakan religi budaya juga lebih mendasarkan diri pada masalah kemanusiaan.3

Walaupun Penghayat Sunda Wiwitan telah muncul sebelum Indonesia merdeka


tepatnya pada tahun 1840, keberadaan mereka masih belum di akui pemerintah hingga
saat ini sebagai suatu komunitas religi yang ada di Indonesia. Dalam hal ini mereka
masih terdiskriminasi, yang artinya bahwa mereka masih mendapatkan perbedaan
perlakuan yang membuat mereka menjadi terpinggirkan. 4 Berbagai upaya advokasi
telah dilakukan untuk mendapat pengakuan dari negara. Seperti mengajukan uji materi
Pasal 61 ayat (1) dan (2), serta Pasal 64 ayat (1) dan (5) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Undang-undang Nomor 24 tahun
2013 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) untuk memperjuangkan kolom agama
dalam Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk agar dapat diakui.5

Fokus penelitian kami kali ini yaitu untuk menggali informasi lebih dalam mengenai
bagaimana proses adminstratif hak sipil penghayat Sunda Wiwitan di Desa Cintakarya,
Kampung Pasir, Kabupaten Garut, dan upaya-upaya yang dilakukan oleh Penghayat
Sunda Wiwitan untuk mendapat pengakuan dari negara khususnya hak-hak
administratif. Hak-hak yang belum terpenuhi tersebut membuat masyarakat komunitas
ADS merasa terdiskriminasi oleh pemerintah. Mereka sebagai warga negara Indonesia
telah melaksanakan kewajibannya sebagai wargan negara Indonesia tetapi belum
memperoleh haknya yang sesuai.

3Kurniawan Kunto, Nunung Prajarto. Hak Asasi Manusia di Indonesia; Menuju Democratic Goverment. Dalam jurnal
Ilmu Sosial Ilmu Politik Vol. 8 No.3 Tahun 2005. Hal. 24

4
Fulthioni. Memahami Diskriminasi; Buku Saku untuk Kebebasan Beragama. Jakarta: The Indonesian Legal
Resource Center (ILRC) 2009. Hal. 27

5International
Law Making. Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia. Dalam jurnal Hukum Internasional Vol.1 No.1 Tahun
2013. Hal.128
Profil Warga Adat Sunda Wiwitan

Warga Adat Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan pada sejumlah masyarakat Sunda
yang tersebar di daerah Jawa Barat, terutama yang ada pada daerah Kampung Pasir,
Desa Cintakarya, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut. Kepercayaan Warga Adat
Sunda Wiwitan ini sebenarnya bukan hanya terdapat pada daerah Garut saja, tetapi
juga tersebar di Kuningan, Jawa Barat.Namun, di sini penulis lebih fokus meneliti
Warga Adat Sunda Wiwitan yang ada pada daerah Kecamatan Samarang karena
daerah ini sebagai salah satu tempat dilestarikannya dan masih terdapat kepercayaan
tersebut.

Desa Cintakarya adalah salah satu desa di Kabupaten Garut tepatnya sebelah timur
Wilayah Kecamatan Samarang, dengan Luas 173,095 Ha secara administratif terbagi
kedalam 2 (Dua) dusun yaitu Dusun I Kp. Ckamiri, Kp. Barujati, Kp. Cimanggah, Kp.
Babakan Palah, Kp. Pasir, Dusun II ,Kp. Pasir Tengah, Kp. Bariluk, Kp. Somong, Kp.
Tunggeureung, Kp. Lamping dan Kp. Saradan. Dari kedua dusun tersebut terbagi
menjadi : 6 (Enam) Rukun Warga (RW) dan 31 (Tiga Puluh Satu) Rukun Tetangga
(RT). Geografisnya berada di wilayah timur Kabupaten Garut, dengan batas-batas
sebagai berikut; sebelah utara Desa Cinta Asih Kecamatan Samarang, Desa
Kersamenak Kecamatan Tarogong Kidul, Desa Banjarsari Kecamatan Boyongbong,
Desa Sinarsari Kecamatan Semarang.

Gambar 1.1

Peta Lokasi Desa CintaKarya

Sumber: Google Maps (2017)


Desa Cintakarya secara umum berupa dataran pada ketinggian 700-900 dpl curah
hujan rata-rata cukup tinggi mencapai 2,242 mm dengan jumah air hujan efektif 98-123
hari dengan suhu 18-25°C. Luas wilayah Desa Cintakarya 172,095 Ha.

Jumlah penduduk Desa Cintakarya sampai dengan akhir bulan Desember tahun 2016
sebanyak 6.121 orang, terdapat pertumbuhan laju penduduk dari tahun 2015 sebesar
2%. Pertumbuhan penduduk dikarenakan adanya pertambahan penduduk yang
disebabkan karena perkawinan, dan pertumbuhan penduduk secara alami (kelahiran).
Hampir 75% penduduk Desa Cintakarya yang sudah menikah dan dalam masa usia
produktif mengikuti program Keluarga Berencana (KB). Dengan meningkatnya laju
pertumbuhan penduduk, keadaan pemukiman di Desa Cintakarya semakin padat. Hal
tersebut dibuktikan dengan banyaknya lahan pertanian menjadi daerah pemukiman.

Dari sisi pemerintahan, laju pertumbuhan penduduk inipun dapat terlihat dari jumlah
kepala keluarga yang terdapat dibeberapa RT. Pada tahun-tahun sebelumnya terdapat
jumlah kepala keluarga rata-rata terdiri dari 1.599 KK, sedangkan pada tahun ini rata-
rata jumlah KK di setiap RT di atas 60 KK yang berada di 2 Dusun, 6 RW dan 31 RT.
Dilihat dari mata pencahariannya, jumlah angkatan kerja penduduk Desa Cintakarya
sebanyak 1.051 orang, terdiri dari :

Tabel 1.1
Jumlah Angkatan Kerja Penduduk Desa Cintakarya

1. Pegawai Negeri Sipil 16


2. TNI dan Polri 1
3. Petani dan Buruh Tani 836
4. Pedagang 177
5. Peternak 78
6. Wiraswasta 60
7. Karyawan swasta 32
8. TKW/TKI 9
Sumber: Data Primer Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Desa (LPPD) (2016)
Mayoritas penduduk beragama islam, namun terdapat agama Katholik serta penganut
kepercayaan Sunda Wiwitan, mereka saling menghormati sesama serta memelihara
kerukunan.6

Dinamika Adminstrasi Kependudukan Sipil Warga Adat Sunda Wiwitan

Setelah membahas profil dari Warga Adat Sunda Wiwitan, pembahasan selanjutnya
ialah terkait dengan dinamika administrasi kependudukan sipil yang meliputi Kartu
Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Akta Kelahiran, Buku Nikah, Ijazah, dan
SKHUN. Seluruh Warga Adat Sunda Wiwitan yang tersebar di Indonesia ialah wujud
kepercayaan yang dianut oleh para penghayat dari leluhur terdahulu. Wujud
kepercayaan ini pun tidak hanya Sunda Wiwitan saja, tetapi juga ada Kejawen,
Parmalim, dsb yang berupaya untuk mendapatkan pengakuan administratif dari negara.

Kejawen merupakan kepercayaan yang telah dianut oleh masyarakat Jawa sejak lama.
Dimana reguitas orang Jawa bersifat vertikal diukur dari pemahaman dan tindakan
konkretnya sebagai hamba Tuhan. Simbol simplifikasi kebahasaan semacam ngawula
(taat kepada Tuhan) dan mung titah sawantah (hanya hamba sahaya), tepa slira
(memahami orang lain) menjadi karakter asli sikap religius orang jawa.7

Sementara Parmalim adalah keyakinan yang dianut oleh sebagian komunitas etnis
Batak. Pemeluk agama Parmalim bersikeras dengan keyakinan yang kukuh bahwa
malim adalah sebuah agama yang yakini sebagai kepercayaan yang turun temurun dari
keturunan pertama darah Batak, menyebut diri sebagai Ugamo Malim yang artinya
agama Malim.8 Walaupun para penghayat merasa bahwa mereka belum mendapat
perlakuan yang wajar atau mendapat tempat sejajar dengan agama yang diakui di
Indonesia, tetapi perkembangan dan eksistensinya tetap ada sampai saat ini.

6
Data Primer Laporan Penyelenggaraaan Pemerintah Desa (LPPD) Tahun anggaran 2016.
7
Mulyana. Spiritual Jawa : Meraba Dimensi dan Pergaulatan Religuitas Orang Jawa. Jurnal
Kebudayaan Jawa Vol. 1 No. 2 2006. Hal 4.
8
Nelita Br Situmorang. Eksistensi Agama Lokal Parmalim: Studi Kasus di Nomonatif Penghayat
Nomor Punguan 35, Desa Air Kulium Mandau Bengkalis. Jom FISIP Vol. 4 No. 1, Februari
2017. Hlm: 3.
Persoalan dalam mendapatkan hak tersebut berbeda-beda di setiap daerahnya, baik
yang terjadi pada penghayat Kejawen, Parmalim maupun Sunda Wiwitan. Seperti yang
dialami oleh Warga Adat Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Desa Cintakarya,
Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut dalam mengupayakan mendapat status
“Kepercayaan” dikolom agama. Warga Adat Sunda Wiwitan tersebut mengakui bahwa
mengalami kesulitan dalam mendapatkan status “Kepercayaan”, walaupun ada
beberapa masyarakat yang telah memiliki KTP dengan status agama Kepercayaan.

Gambar 1.2
Kartu Tanda Penduduk (KTP) Warga Adat Sunda Wiwitan

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2018)

Namun, dalam mendapatkannya pun tidak merata semenjak tahun 2015. Masih
terdapat Warga Adat yang kolom agama di KTP berisi tanda strip (-). ADMINDUK
CAPIL memberikan alasan bahwa “kepercayaan” tidak masuk ke daftar agama yang
diakui di Indonesia.

“Kalo di RT/RW udah ngisi kepercayaan, tapi nanti di kecamatan dikasih tau kalo
kepercayaan nggak masuk ke data yang ada. Jadinya strip atau malah jadi agama lain
misalnya katolik.” (Miming Supartika, 46 tahun, Wawancara, 31 Maret 2018)

Kolom agama yang tertera pada Kartu Keluarga (KK) pun sama halnya dengan KTP.
Warga Adat Sunda Wiwitan belum mendapat pemenuhan hak-hak administratif
tersebut. Berdasarkan sumber yang peneliti temukan, terdapat ketidakmerataan kolom
agama yang berisi kepercayaan dan tanda strip (-).

“Waktu ditanya, bilangnya kolom agama buat kepercayaan nggak muat.”(Miming


Supartika, 46 tahun, Wawancara, 31 Maret 2018)
Tabel 1.2
Data Kartu Keluarga (KK) Warga Adat Sunda Wiwitan

Kartu Keluarga (KK)


Warga Adat
Kp. Pasir Desa Cintakarya Kecamatan Samarang, Garut

Telah terdapat keterangan ‘ kepercayaan’ Belum terdapat keterengan atau tanda ‘ -’


pada kolom Agama sejak 2012. pada kolom Agama dari 2016.

RT/RW 01/04 = 18 RT/RW 01/04 = 08

RT/RW 02/04 = 02 RT/RW 02/04 = 07

RT/RW 04/04 = 10 RT/RW 04/04 = 12

TOTAL KK = 30 TOTAL KK = 27

TOTAL KESELURUHAN KK = 57

Sumber : Hasil Penelitian

Kedua hal tersebut membuktikan sebagai tindakan diskriminasi terhadap Warga Adat
Sunda Wiwitan dengan agama-agama resmi atau yang diakui di Indonesia. Dengan
adanya diskriminasi tersebut maka sulit pula bagi mereka untuk mendapatkan hak-hak
sebagai Warga Negara Indonesia, terutama dari hak sipil.

Adanya diskriminasi dalam kolom agama di KTP membuat Warga Adat Sunda Wiwitan
sulit dalam mengurus pernikahan di kantor sipil. Kelengkapan surat-surat mereka
ditolak oleh kantor sipil dikarenakan tidak tertulisnya agama pada KTP mereka. Namun,
penolakan kantor sipil tidak menyurutkan niat Warga Adat Sunda Wiwitan untuk
menikah, mereka tetap menikah tanpa ada surat keterangan dari kantor sipil. Pada
akhirnya mereka menikah dengan adat Sunda Wiwitan yang sudah ditulis pada berita
acara. Pernikahan mereka tidak dihadiri oleh penghulu, namun salah satu pengurus
kantor sipil, yang juga merangkap sebagai pupuhu adat Sunda Wiwitan turut
menghadiri acara pernikahan mereka. Hingga saat ini, penolakan berkas-berkas
pernikahan oleh Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan masih terus berlanjut.
Oleh sebab itu, Warga Adat Sunda Wiwitan yang sudah menikah tidak memiliki Buku
atau Surat Nikah.

Gambar 1.3
Berita Acara Pernikahan Warga Adat Sunda Wiwitan

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2018)

Advokasi Warga Adat Sunda Wiwitan

Diskriminasi yang dirasakan pada warga adat Sunda Wiwitan yang terletak di daerah
Garut Jawa Barat ini mengenai permasalahan berbagai masalah administratif
kewarganegaraan hal ini menjadi suatu polemik yang meresahkan. Warga adat Sunda
Wiwitan sebagai warga negara Indonesia memiliki hak yang sama untuk mendapatkan
KTP, KK, Surat Nikah. Berdasarkan keresahan yang dirasakan bersama oleh
masyarakat adat Sunda Wiwitan mereka mencoba bergerak untuk berjuang
memperoleh haknya sebagai warga negara. Langkah pengadvokasian yang dilakukan
diantaranya pertama, kepala keluarga dari tiap keluarga adat Sunda Wiwitan menuju
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil wilayah setempat untuk menanyakan perihal
mengapa status dikolom KTP dan KK yang hanya ditulis dengan tanda strip (—).
Masyarakat adat Sunda Wiwitan kemudian meminta Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil tersebut untuk merubah kolom agama mereka berdasarkan status kepercayaan
yang mereka anut. Kedua, langkah yang ditempuh masyarakat adat Sunda Wiwitan
yaitu dengan membawa keresahan bersama ini ke pusat penghayat kepercayaan
Sunda Wiwitan yaitu terletak di Cigugur, Kuningan. Mereka berdiskusi dan
berkonsolidasi mengenai berbagai permasalahan diskriminasi yang terjadi perihal
masalah administratif yang dirasakan. Keempat, Masyarakat adat sunda wiwitan yang
diwakilkan oleh Sri Dewi Kanti yang merupakan adik dari Pangeran Gumirat Barna
Alam melakukan pengadvokasian menuju Mahkamah Konstitusi (MK) untuk
memperjuangkan hak mereka sebagai warga negara agar memperoleh pengakuan dari
negara pada kolom KTP maupun KK. Selain itu, Sri Dewi Kanti juga menjadi juru bicara
atau perwakilan warga Sunda Wiwitan dan bergabung dengan kelompok-kelompok
penghayat kepercayaan.

Perjuangan masyarakat adat Sunda Wiwitan dalam memperjuangkan haknya


memperoleh bantuan pengadvokasian dari organisasi kemasyarakatan salah satunya
seperti Ikatan Mahasiswa Angkatan Muda Siliwangi (IMA-IMS) organisasi ini
merupakan organisasi kepemudaan berbasis kemahasiswaan sebagai organisasi kader
serta perjuangan politik berbasis budaya intelektual. IMA-IMS ini memiliki visi utama
menjaga adat dan masyarakat sunda. Serta salah satu misi IMA-IMS adalah
memperjuangkan masyarakat adat. Termasuk aksi yang dilakukan untuk masyarakat
adat di Cigugur sebagai salah satu misi yang dijalankan oleh organisasi IMA-IMS dan
sebagai bentuk pengadvokasian yang dilakukan oleh IMA-IMS untuk bersama-sama
memperjuangkan hak masyarakat adat Sunda Wiwitan.9

IMA-AMS sebagai organisasi perjuangan berbasis budaya untuk melakukan advokasi


terhadap masyarakat adat Sunda Wiwitan melakukan konsolidasi massa aksi bersama
36 organisasi kemasyarakatan yang tergabung didalam forum IMAH GEDE, dimana
IMAH GEDE merupakan wadah perhimpunan berbagai organisasi kemasyarakatan,
organisasi kepemudaan, lembaga swadaya masyarakat yang merespon permasalahan-
permasalahan di Jawa Barat khususnya yang berkaitan dengan adat dan budaya
sunda. Langkah pertama, yang dilakukan oleh IMA-AMS yang dibantu oleh forum IMAH
GEDE, mereka pemuda mendorong advokasi dengan melakukan audiensi bersama
pemerintah daerah terutama lembaga legislatif DPRD provinsi Jawa Barat. Adapun

9Anonim. Sejarah Angkatan Muda Siliwangi. www.ams.or.id Diakses pada tanggal 03 juni 2018
pemuda-pemudi yang tergabung dalam IMAH GEDE memiliki misi yang sama yakni
memperjuangkan masyarakat adat. Kedua, setelah berusaha mencoba melakukan
audiensi namun tidak ada satupun anggota DPRD Provinsi Jawa Barat yang
menghadiri permohonan dari IMA-IMS dan forum IMAH GEDE mereka kemudian
melakukan demonstrasi massa besar-besaran di pusat pemerintahan provinsi
Bandung.10

Negara kurang konsisten dalam memberikan hak masyarakat sunda di Jawa Barat.
Masyarakat adat semakin termarginalkan bahkan oleh negaranya sendiri yang
seharusnya melindungi hak mereka.Hingga saat ini belum ada keputusan yang jelas
mengenai kejelasan perihal hak sipil, mereka masih menunggu keputusan dari
Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam hal ini, regulasi pemerintah belum merata, masih
banyak Warga Adat Sunda Wiwitan yang belum mendapatkan hak mereka sebagai
Warga Negara Indonesia.

Selain itu, Warga Adat Sunda Wiwitan juga terus memperjuangkan haknya ketika terjadi
kesalahan dalam penulisan pada kolom Agama. Seperti misalnya, mereka sudah
menuliskan ‘kepercayaan’, namun yang diterima bisa beragam Agama lainnya. Di sini,
mereka tetap memperjuangkannya dengan cara terus meminta untuk diperbaiki kembali
perihal kesalahan penulisan kolom agama oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
Dalam hal ini masyarakat adat Sunda Wiwitan melakukan pengadvokasian tidak hanya
bagi penganut kepercayaan Sunda Wiwitan namun bagi para penghayat kepercayaan
lain yang ada di Indonesia

Warga Adat Sunda Wiwitan masih sangat berharap atas kebijakan pemerintah
mengenai hak mereka sebagai warga negara.Dengan segala advokasi yang telah
dilakukan, mereka masih berharap mendapatkan hak sipil dan pengakuan sebagai
sebagai Warga Negara Indonesia.

10Anonim. Perempuan dan Upaya Advokasi Sunda Wiwitan. Bandung 2017bedaitubiasa.comDiakses pada tanggal
03 Juni 2018
Skema 1.1
Advokasi Warga Adat Sunda Wiwitan
Administrasi kependudukan
Warga Adat Sunda Wiwitan Desa Cinta Kp. Pasir

Terdiskriminasi dengan UU Nomor 23 tahun 2006 pasal 61 dan UU Nomor 24 pasal


64 tahun 2013

Revisi ke MK

Penutup

Di Indonesia masih terdapat keberadaan beberapa penghayat kepercayaan kepada


Tuhan Yang Maha Esa. Mereka mengacu pada keyakinan leluhur terdahulu yang
dilestarikan hingga saat ini serta ajaran dan arahan hidup dari para tokoh pendiri
kepercayaan tersebut. Setiap kepercayaan yang dianut oleh penghayat sebenarnya
adalah keberagaman dari setiap daerah yang juga berupaya dan menginginkan
keberhasilan atas pengakuan dari negara khususnya hal administratif. Termasuk juga
Warga Adat Sunda Wiwitan di dalamnya.

Sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945 pasal 28 ayat 1 bahwa semua warga negara
mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Jika mengacu
pada pasal tersebut, seharusnya keberadaan masyarakat Penghayat Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa diperlakukan sama dengan masyarakat lainnya. Tidak
lantas cenderung teralienasi secara kehidupan sosial, terutama diskriminasi yang terjadi
dalam kebijakan-kebijakan pemerintahan. Maka dalam hal ini, pemerintah diharapkan
bisa berlaku lebih arif dan terbuka dalam melihat upaya-upaya mereka dalam
memperjuangkan penyetaraan hak-hak sipilnya. Upaya yang sudah dilakukan oleh
Warga Adat Sunda Wiwitan sampai dengan saat ini belum dapat dikatakan berhasil,
tetapi sudah ada respon yang muncul dari pemerintah. Seperti misalnya, pihak
administratif memberikan satu agama induk yang ada di Indonesia (Islam, Kristen,
Hindu, Budha dan lainnya) agar tetap mendapatkan hak administratif sebagai Warga
Negara Indonesia. Tetapi hal tersebut tidak ditanggapi oleh Warga Adat Sunda Wiwitan.
Mereka justru melakukan protes dan meminta pembenaran dalam kolom agama,
namun yang terjadi setelahnya sama saja. Isi dalam kolom agama tetap salah satu dari
agama yang diakui di Indonesia, bukan sesuai dengan kepercayaan mereka. Menurut
Warga Adat Sunda Wiwitan, keutuhan tradisi jauh lebih penting dari sekedar kebutuhan
administrasi, walaupun sampai saat ini masih terjadi diskriminasi sistemik terhadap
komunitas kaum penghayat. Oleh sebab itu, hingga hari ini Warga Adat Sunda Wiwitan
terus memperjuangkan hak-haknya khususnya hak administratif sebagai warga negara
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Sejarah Angkatan Muda Siliwangi. www.ams.or.id. Diakses pada tanggal 03


Juni 2018 pukul 17.10
Anonim. Perempuan dan Upaya Advokasi Sunda Wiwitan. Bandung 2017
bedaitubiasa.com. Diakses pada tanggal 03 Juni 2018 pukul 15.15
Data Primer Laporan Penyelenggaraaan Pemerintah Desa (LPPD) Tahun Anggaran
2016.
Dixson, Roger L. 2000. Sejarah Suku Sunda dalam Jurnal Veritas: Jurnal Teologi dan
Pelayanan. Vol 1 No.2. Diakses pada tanggal 03 Juni 2018 pukul 11.35

Fulthioni. 2009. Memahami Diskriminasi; Buku Saku untuk Kebebasan Beragama, The
Indonesian Legal Resource Center (ILRC) : Jakarta.
Hidayat, Rakhmat - Fauzan Marasabessy (ed). 2017. Perspektif Relijiusitas dan
Gerakan Sosial Komunitas ADS Cigugur, Kuningan, Lab Sosiologi : Jakarta.
International Law Making. 2013. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dalam
Jurnal Hukum Internasional Vol 1. No. 1.
Kunto, Kurniawan - Nunung Prajarto. 2005. Hak Asasi Manusia di Indonesia (Menuju
Democratic Goverment) dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. 8 No.3.
Mulyana. 2006. Spiritual Jawa : Meraba Dimensi dan Pergaulatan Religuitas Orang
Jawa. Jurnal Kebudayaan Jawa Vol. 1 No. 2.
Situmorang, BR – Nelita. 2017. Eksistensi Agama Lokal Parmalim: Studi Kasus di
Nomonatif Penghayat Nomor 35 Desa Air Kulium Mandau Bengkalis. Jom FISIP
Vol. 4 No.1.

Anda mungkin juga menyukai