net/publication/346968048
CITATIONS READS
0 565
1 author:
Jumal Ahmad
Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta
40 PUBLICATIONS 228 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Jumal Ahmad on 26 June 2022.
TESIS
Oleh:
Jumal Ahmad
21171200000008
Pembimbing:
Muhammad Zuhdi, M.Ed, Ph.D
i
Kata Pengantar
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Penyayang dan
salawat beserta salam tercurah kepada baginda Nabi Muhammad SAW beserta
Sahabat dan para pengikutnya.
Proses penyelesaian program master dan penulisan karya akhir ini memberikan
pelajaran berharga bahwa magister journey bukan kompetisi siapa yang paling cepat
selesai, bukan siapa yang tulisannya paling berpengaruh (impact) tinggi dan selesai
tanpa ada koreksi. Tesis ini adalah proses perjalanan yang dinikmati, direfleksi dan
dilakukan dengan sebaiknya.
Saya menyadari bahwa tanpa dukungan, bantuan, dan bimbingan dari berbagai
pihak, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Muhammad Zuhdi, M.Ed. PhD. selaku pembimbing tesis yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penyususnan
tesis ini.
2. Dekan FITK UIN Syarif Hidayatullah dan Ketua Prodi PAI, PBA, PBSI,
PMTK dan P. IPA atas izin penelitian dan mahasiswa yang telah membantu
penelitian tesis.
3. Dr. Abdullah Sahin dari Warwick University yang memberikan buku ‗New
Directions in Islamic Education: Pedagogy and Identity Formation‘ dan
menjadi salah satu rujukan utama penelitian.
4. Teman-teman di Aksi Peduli Bangsa dan Islamic Character Development
atas motivasi dan dukungan selama kuliah hingga penyusunan tesis.
5. Ayahanda tersayang Hambali dan ibunda tercinta Sulasni atas dukungan
moril serta doa selalu mengiringi setiap langkah.
6. Orang yang senantiasa setia dan sabar mendampingi tanpa kenal lelah. Tesis
ini tak akan pernah terwujud tanpa dukungan darimu, Tesis ini milikmu
juga. Terima kasih atas semua perhatian yang tercurah.
Semoga Allah SWT berkenan membalas kebaikan semua pihak yang telah
membantu dan semoga karya akhir ini dapat membawa manfaat bagi pengembangan
ilmu.
ii
iii
iv
Abstract
The aim of this study is to examined the religiosity, reflection and religious
subjectivity of students. This is supported by the Pargament of et al and Hill, which
stated that religiosity and spirituality are in one meaning and are different from
Piedmont because it as different constructs. In addition, Charlene Tan and Nyayu
Khodidjah also said that the reflection process is effective in enhancing the
development of spirituality and religiosity.
The study uses mixed research method with population of 142 students of FITK UIN
Jakarta, class of 2019, and, quota sampling method was used to determine the
quantitative samples that represents the characteristics of the selected population.
Meanwhile, Self-selection snowball was used by requesting respondents to become
volunteers for this research. The data collection method uses a religiosity scale with
a Cronbach's alpha value of 0.859 and validity with AMOS gives 14 valid indicators.
Furthermore, the study uses Jack Mezirow thought continuum consisting of habitual
actions, understanding, reflection, and critical thinking to measure the level of
reflective thinking. Qualitative research with semi-structural interviews allows us to
go deeper in the finding by adapting the model of religious subjectivity developed by
Abdullah Sahin in the context of James Marcia framework.
The study was concluded as followed: 1) the degree of religiosity of students was the
highest with an average category of 102 respondents (71.8%), then the high category
was 35 respondents (24.6%), and in low category 5 respondents (3.5%), 2). The
majority of reflection tendencies are in the continuum of Understanding, Reflection,
Critical Reflection and the lowest is Habitual Action, 3). Religious subjectivity
research using a case study of four respondents produced one person in excluded
religiosity, two persons in moratorium religiosity, and one person in achievement
religiosity.
v
Pedoman Transliterasi
vi
vii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………………………..………….……… 1
B. Ruang Lingkup Masalah ……………………………..…...…………..…… 5
1. Identifikasi Masalah …………………………….…………….……… 5
2. Rumusan Masalah …………………..…………………...…..…….… 5
3. Batasan Masalah ………………………….…………...………....…… 5
C. Tujuan Penelitian …………………………………….…………...…..…… 6
D. Manfaat dan Signifikansi Penelitian ……………………………..……...… 6
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan …………………………….…...…..… 7
F. Metode Penelitian ……………………………………………...………… 11
1. Subjek Penelitian ………………………………...………..…....…… 11
2. Pendekatan Penelitian …………………………….……………..……14
3. Teknik Pengumpulan Data ……………...……………..…….……… 15
4. Teknik Analisis Data ………………………..…….………………… 19
G. Sistematika Pembahasan ……………………………...………………..… 23
viii
BAB II KONSEP RELIGIUSITAS, REFLEKSI, DAN SUBJEKTIVITAS
KEAGAMAAN
A. Polarisasi Religiusitas dan Spiritualitas …………………………...……. 25
B. Refleksi dan Internalisasi …………………………….......................….. 37
C. Tipologi Subjektivitas Keagamaan …………………..………………..…. 50
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………..…….………………………….…….... 133
B. Saran ………………………………...………..………………………..... 132
ix
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR DIAGRAM
DAFTAR LAMPIRAN
xi
BAB I PENDAHULUAN
1
hanya menganggap salat sebagai kewajiban, bukan kebutuhan. Afeksi merupakan
bagian penting dalam pembelajaran yang merupakan kemampuan merasakan apa
yang dipelajari di dalam kelas kemudian direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari.
Akibat dari kurangnya refleksi ini, kita melihat murid tidak merasakan apa yang
mereka pelajari di dalam kelas sebagai sesuatu yang bermanfaat untuk
kehidupannya. Contoh kecil, banyak ditemukan anak sekolah di sekolah Islam,
kuliah di universitas Islam dan diajarkan pendidikan agama oleh para gurunya,
namun ketika salat masih disuruh oleh guru dan orang tua di rumah.
Abdullah Sahin menilai pendidikan saat ini, secara umum termasuk pendidikan
Islam telah direduksi menjadi pelatihan, instruksi dan indoktrinasi yang
mengabaikan refleksi kritis dan makna pendidikan. Praktik ini dinilai gagal
mengubah peserta didik dan masyarakat untuk mengembangkan keberanian dan
kompetensi yang diperlukan menghadapi tantangan hari ini.2 Pendidikan saat ini
hanya berkutat pada transfer atau pemberian ilmu pengetahuan agama sebanyak-
banyaknya kepada peserta didik, atau lebih menekankan aspek kognitif seperti
belajar dan pengajaran. Padahal makna pendidikan (tarbiyah) bukan hanya itu,
pendidikan mencakup pemahaman yang menyeluruh (holistik) yang
mengembangkan manusia secara fisik, kognisi, spiritual, moral dan emosional. 3
Pendidikan Islam tidak hanya bertujuan mengenalkan dan mengajarkan ajaran
agama, akan tetapi bagaimana pelajar menghayati nilai-nilai agama dan menjadi
bagian dari kepribadian mereka. Proses penghayatan tersebut membutuhkan
kesadaran diri pelajar sehingga mereka melakukan penghayatan yang mendalam
(deep thinking). Guna menumbuhkan penghayatan yang mendalam tersebut
diperlukan upaya-upaya membangun kesadaran sendiri dan refleksi tentang apa yang
telah, sedang dan akan dilakukan. Maka aspek penting dari pendidikan Islam adalah
mengembangkan, membimbing dan memperhatikan kebutuhan pelajar sehingga
menghasilkan kepribadian yang baik dan berimbang.4
FITK UIN Jakarta merupakan salah satu fakultas di UIN Jakarta yang mencetak
tenaga kependidikan. Calon tenaga pendidik hendaknya dapat menempatkan
kedudukannya sebagai tenaga profesional sesuai tuntutan masyarakat yang terus
berkembang. Tenaga pendidik tidak semata-mata sebagai pengajar yang melakukan
transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai pendidik yang melakukan transfer
nilai-nilai positif bagi peserta didik. Untuk mencapai hal tersebut, mahasiswa perlu
2
Abdullah Sahin, New Directions in Islamic Education: Pedagogy and Identity
Formation (Markfield: Kube Publishing Ltd, 2013). h. 238
3
Abdullah Sahin, ―Critical Issues in Islamic Education Studies : Rethinking Islamic
and Western Liberal Secular,‖ Religions 9, no. 335 (2018),
https://doi.org/10.3390/rel9110335.
4
Abdullah Sahin, New Directions in Islamic Education: Pedagogy and Identity
Formation (Markfield: Kube Publishing Ltd, 2013). h. 25
2
terus meningkatkan religiusitas dan spiritualitas agar kelak dapat menanamkan nilai-
nilai positif dan menjadi suri tauladan bagi peserta didik.
Mahasiswa yang sedang menjalankan pendidikan di jenjang perguruan tinggi
termasuk dalam dewasa awal (early adulthood) yang merupakan periode
penyesuaian terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru,
serta bersikap mandiri.5 Masa dewasa awal dimulai pada awal usia 20-30-an.6 Sesuai
dengan tugas perkembangannya, usia mahasiswa sudah menemukan identitasnya.
Erikson menyampaikan bahwa fase individu mencari identitasnya adalah masa
remaja, ketika individu menginjak masa dewasa awal, maka individu sudah
seharusnya berhasil menemukan identitasnya. Identitas tersebut terdiri dari berbagai
aspek, salah satunya adalah identitas keagamaan (religious identity).7
James E. Marcia, seorang psikolog di bidang klinis dan perkembangan,
mengembangkan dua gagasan Erik Erikson8 mengenai krisis dan komitmen yang
merupakan dua elemen krusial untuk membentuk identitas diri. Krisis merupakan
masa ketika individu secara aktif terlibat dalam penentuan pekerjaan dan
kepercayaannya. Komitmen mengacu pada tingkat investasi individu terhadap
pekerjaan atau keyakinannya.9 Abdullah Sahin menggunakan mode subjektivitas
Marcia untuk mengetahui subjektivitas keagamaan remaja muslim di UK dan
Kuwait.10 Subjektivitas keagamaan dibedakan menjadi empat tipologi yaitu:
diffusion, foreclosure, moratorium dan achievement.
5
Elizabeth B. Hurlock. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan Edisi Kelima (Development Psychology: A life-Span Approach, Fifth
Edition), Edt. Drs. Ridwan Max Sijabat, (Jakarta: Erlangga, 1991, Cet. 13), 246
6
John W. Santrock. Life-span Development : Perkembangan Masa Hidup. Edisi 5
jilid 2, (Jakarta: Erlangga, 2002), 18
7
Galuh Prawitasari. Profil Status Identitas Religius pada Remaja Akhir.
Psikopedagogia Jurnal Bimbingan Dan Konseling. Vol. 6 No. 2 Desember 2017.
8
Erik Erikson mengidentifikasi delapan tahap perkembangan psikososial dalam
siklus kehidupan yang diselingi oleh konflik yang bersifat positif (syntonic) dan negatif
(dystonic) yaitu [1] Basic Trust vs. Mistrust (sejak lahir – 1 tahun), [2] Autonomy vs. Shame
and Doubt (usia 2-3 tahun), [3] Initiative vs. Guilty Feeling (usia 4-5 tahun), [4]
Industry/Productivity vs. Inferiority (usia 6 tahun – masa puberitas), [5] Identity vs. Role
Confusion (masa remaja), [6] Intimacy vs. Isolation (masa kedewasaan awal), [7]
Generativity vs. Stagnation (masa kedewasaan madya), [8] Ego Integrity vs. Despair (masa
dewasa akhir). Mc Leod, S. A. (2018, May 03). Erik Erikson's stages of psychosocial
development. Simply Psychology. https://www.simplypsychology.org/Erik-Erikson.html.
Artikel diakses pada 24 Mei 2019
9
Klimstra, Theo A., and Lotte van Doeselaar. "Identity formation in adolescence
and young adulthood." In Personality development across the lifespan, pp. 293-308.
Academic Press, 2017
10
Abdullah Sahin, New Directions in Islamic Education: Pedagogy and Identity
Formation (Markfield: Kube Publishing Ltd, 2013), 69
3
Subjektivitas keagamaan (religious subjectivity) mahasiswa beragam, seperti
yang terjadi pada mahasiswa tingkat akhir FITK UIN Jakarta. Dalam upaya
mencapai tujuannya, universitas mewajibkan mata kuliah PAI, di samping itu
terdapat kegiatan keagamaan yang difasilitasi oleh organisasi-organisasi keagamaan
baik di tingkat universitas maupun fakultas, serta lingkungan sosial yang religius.
Hal tersebut merupakan kesempatan bagi mahasiswa untuk melakukan eksplorasi
terhadap keagamaan. Harapannya seluruh mahasiswa dapat menghayati dirinya
sebagai generasi muda dengan identitas muslim yang unggul, dimana nilai-nilai
Islam tidak hanya cukup dipelajari saja, tetapi juga tertanam dalam hati dan
diaplikasikan dalam kehidupan. Dengan begitu maka terbentuk komitmen terhadap
keagamaan dalam diri mahasiswa di FITK UIN Jakarta. Namun dalam
kenyataannya, subjektivitas keagamaan yang ditunjukkan mahasiswa tingkat akhir
masih beragam.
Kemajuan suatu bangsa bergantung pada kualitas sumber daya manusianya.
Kualitas sumber daya manusia dihasilkan oleh pendidikan yang berkualitas,
Menghasilkan pendidikan berkualitas, guru menjadi faktor kunci keberhasilan.
Guru merupakan faktor penentu keberhasilan penyelenggaraan pendidikan.
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) mengemban tugas
menyiapkan guru profesional, pendidik generasi bangsa masa depan.11 Jelas
bahwa untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusianya, Indonesia harus fokus
pada membantu guru untuk meningkatkan praktik pedagogis mereka.12
Calon tenaga pendidik dituntut memiliki kemampuan refleksi. Refeksi tidak
hanya diperlukan guru yang sudah mengajar tapi juga calon guru atau mahasiswa
yang masih belajar di kelas.13 Jika kemampuan refleksi ditanamkan kepada calon
guru sejak mereka masih menjadi mahasiswa, ketika mereka menjadi guru akan
lebih mudah menerapkan dan mengajarkan refleksi dan mampu mengajar murid
dalam pembelajaran yang melibatkan eksplorasi kreatif dan analisis kritis.14 Dalam
hal ini, UIN Jakarta telah memasukkan refleksi ke dalam Program Learning
Outcome (PLO) pada semua program studi FITK, pada item Skill for lifelong
Learning (pembelajaran sepanjang hayat) disebutkan ‗Memiliki kemampuan
11
Caraka Putra Bhakti dan Ika Maryani. "Peran LPTK dalam Pengembangan
Kompetensi Pedagogik Calon Guru." JP (Jurnal Pendidikan): Teori dan Praktik 1, no. 2
(2017): 98-106.
12
M. Zuhdi. (2015). Pedagogical Practices in Indonesia. In E. H.-F.Law & U.Miura
(Eds.), Transforming teaching and learning in Asia and the Pacific: Case studies from seven
countries (pp. 142–160). UNESCO Bangkok Office.
13
Hedi Budiman. Pengajaran Reflektif Mahasiswa Calon Guru Pendidikan
Matematika. PRISMA, Vol. VI, No. 2, Desember 2017.
14
Carol Rodgers & LaBoskey, V. K. (2016). Reflective practice. In J. Loughran, &
M. L. Hamilton (Eds.), International handbook of teacher education (pp. 71-104). DOI
10.1007/978-981-10-0369-1_3.
4
merefleksikan kemampuan diri dalam belajar dan prestasi untuk pengembangan
karirnya‘.
Menurut Anu Sööt dan Ele Viskus, Perguruan Tinggi yang menyiapkan para
calon guru, punya tugas mengembangkan refleksi mahasiswa untuk menghadapi
dunia profesional yang cepat berubah.15 Selain itu kemampuan refleksi penting
dikembangkan untuk konteks Perguruan Tinggi, karena keterampilan ini sangat
penting untuk meningkatkan kemampuan belajar mengajar.16 Dengan kemampuan
refleksi, mahasiswa calon guru selalu mempunyai cara untuk merefleksikan
pembelajaran dan mampu memikirkan ulang tentang semua hal yang telah terjadi
ketika proses pembelajaran berlangsung. Berusaha memperbaiki diri dalam
pembelajaran, yang pada gilirannya meningkatkan hasil belajar siswa dan mutu
pendidikan pun akan meningkat.
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa penelitian ini penting. Banyak temuan
baru yang akan didapatkan dalam penelitian ini. Maka dari itu, untuk merealisasikan
hal tersebut peneliti melakukan penelitian berjudul ―Religiusitas, Refleksi dan
Subjektivitas Keagamaan Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Jakarta‖.
Identifikasi Masalah
15
Anu Sööt, Ele Viskus, Reflection on Teaching: A Way to Learn from Practice,
Procedia - Social and Behavioral Sciences, Volume 191, 2015, Pages 1941-1946, ISSN
1877-0428, https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.04.591
16
Sabekti, Ardi Widhia, Fitriah Khoirunnisa, Liliasari Liliasari, and Ahmad
Mudzakir. ―Validating the Indonesian Version of Reflective Thinking Questionnaire and
Investigation of the Relationship Between Pre-Service Teachers‘ Reflective Thinking and
Academic Achievement.‖ In Companion Proceedings of the 7th South East Asia Design
Research International Conference (SEADRIC 2019), edited by Yosep Dwi Kristanto,
Albertus Hariwangsa Panuluh, Beni Utomo, and Patricia Angelina, 138–44. Yogyakarta:
Sanata Dharma University Press, 2020. https://doi.org/10.24071/seadr.2019.19.
5
dan berperilaku secara kongkret-agamis dalam kehidupan praksis sehari
hari.
2. Kebijakan pendidikan saat ini terlalu mengarahkan anak didik untuk semata-
mata terampil menjawab soal-soal ujian. Mata pelajaran lebih banyak
diarahkan untuk latihan kognitif semata, dan pelajaran agama diajarkan
dalam bentuk kewajiban menghafal dan menjejalkan informasi sebanyak
mungkin. Dampak dari hal ini, belajar agama dari tingkat ibtidaiyyah sampai
aliyah bahkan sampai perguruan tinggi, tetapi pelajaran agama tidak
berbekas kepada pemikiran dan perilakunya. Bahkan pada tingkat tertentu
merasa bosan dan tidak tertarik belajar agama.
3. Banyak lembaga pendidikan belum melakukan analisa kritik terhadap apa
yang sudah dilakukan, sehingga tidak merasakan kesalahan atau
kekurangannya padahal dinilai penting dalam perkembangan pendidikan
anak didik. Dalam menyelenggarakan pendidikan bermutu diperlukan
kegiatan evaluasi diri yang dilaksanakan secara konsisten dalam periode-
periode tertentu oleh institusi agar diketahui kelemahan, penyimpangan,
kekuatan, dan peluang yang bisa diperbaiki.
4. UIN Jakarta telah memasukkan refleksi ke dalam Program Learning
Outcome (PLO) pada semua program studi FITK, pada item Skill for
lifelong Learning (pembelajaran sepanjang hayat) disebutkan ‗Memiliki
kemampuan merefleksikan kemampuan diri dalam belajar dan prestasi untuk
pengembangan karirnya‘, namun belum ada penelitian yang
menggambarkan tingkat kemampuan refleksi mahasiswa.
5. Peran perguruan tinggi sangat penting dalam membangkitkan kesadaran
identitas keagamaan. Perguruan tinggi yang telah banyak berkembang dalam
masyarakat Islam turut mendorong munculnya pertanyaan-pertanyaan
mendasar tentang diri dan masyarakat, termasuk di dalamnya pertanyaan
tentang peran agama dalam masyarakat.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah diuraikan, maka
perumusan masalah utama dalam penelitian ini adalah bagaimana religiusitas,
refleksi dan subjektivitas keagamaan pada mahasiswa tingkat akhir FITK UIN
Jakarta? Rumusan masalah tersebut kemudian di buat rumusan kecil yaitu:
1. Bagaimana tingkat religiusitas mahasiswa FITK?
2. Bagaimana refleksi keagamaan dan refleksi pembelajaran mahasiswa
FITK?
3. Apakah subjektivitas keagamaan yang dominan?
6
3. Batasan Masalah
C. Tujuan Penelitian
7
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
17
Imron, ―Peran Spiritualitas Terhadap Kinerja Guru Dilihat dari Komitmen
Organisasi, Modal Psikologis, dan Perilaku Kewargaorganisasian: Studi di SMP
Muhammadiyah Se Kabupaten Magelang‖, Disertasi, (Yogjakarta: Universitas
Muhammadiyah Yogjakarta, 2016). Lihat juga Imron, ―Kinerja Guru Dilihat Dari
Spiritualitas, Komitmen Organisasi, Modal Psikologis , Dan Perilaku Kewargaorganisasian‖
Jurnal Belajea vol. 1, no. 2, 2016, p-ISSN 2548-3390'; e-ISSN 2548-3404.
18
Budiman, ―Kontribusi Spiritualitas , Sikap Inovatif Dan Komitmen Kerja Dosen
Terhadap Perilaku Akademik Mahasiswa‖ Jurnal Edukasia Vol. 12, no. 2 (n.d.): 435–60.
8
stress akademik dan berkesimpulan bahwa spiritualitas dan regulasi diri berpengaruh
positif dalam menekan stress mahasiswa.19
Penelitian Nor Diana Mohd Mahudin, Noraini Mohd Noor, Mariam Adawiah
Dzulkifli, dan Nazariah Shari‘e Janon dari Departemen Psikologi International
Islamic University Malaysia (IIUM) berjudul Religiosity among Muslim: a Scale
Development and Validation Study (2016) meneliti religiusitas muslim
menggunakan dimensi Islam, Iman dan Ihsan. Skala pengukuran ini menggunakan
703 responden dan mendapatkan hasil akhir 10 aitem.20 Penelitian ini memiliki
kesamaan dalam menjadikan Islam, Iman dan Ihsan sebagai dimensi dalam
religiusitas muslim, namun memiliki perbedaan dalam hasil akhir faktornya,
penelitian ini menghasilkan 14 aitem dalam faktor religiusitas.
Studi pemahaman dan aplikasi refleksi guru di Indonesia dilakukan oleh Endah
Yanuarti (2017) dalam disertasinya di Curtin University berjudul ―Developing
Reflective Practice Through Reflective Actions‖. Yanuarti melakukan penelitian untuk
memahami penerapan refleksi guru dalam praktik sehari-hari dengan memeriksa
tindakan reflektif mereka dalam kaitannya dengan Standar Kompetensi Guru.
Penelitian menunjukkan bahwa para guru sudah menerapkan refleksi tetapi tidak
dilakukan secara teratur dan sistematis.
Pemahaman guru tentang refleksi hanya sebatas refleksi sebelum menutup
pelajaran dan guru lebih menekankan refleksi siswa pada pelajaran daripada refleksi
diri pada praktik mengajarnya. Guru merefleksikan praktik mengajar, tetapi
dilakukan secara informal dengan memikirkan kembali metode dan strategi
pengajaran mereka berdasarkan hasil tes siswa. Lebih lanjut, pemahaman guru
tentang Standar Kompetensi Guru masih terbatas, terutama pada dimensi yang
menitikberatkan pada makna refleksi. Pemahaman mereka sebagian besar adalah
bagaimana mempersiapkan, menyampaikan dan mengevaluasi pelajaran tertentu.
Yanuarti menyebutkan bahwa pemahaman guru terhadap refleksi sebatas
pemahaman anak-anak terhadap pelajaran yang sudah diberikan, guru akan
melakukan refleksi ketika ada masalah yang terjadi di kelas, anak yang tidak
mengumpulkan tugas, membuat keonaran, tidak memperhatikan pelajaran dan
sebagainya. Menurut Yanuarti, pembelajaran reflektif bukan itu saja, pembelajaran
reflektif mencakup kesadaran guru untuk memperhatikan karakter tiap anak
didiknya, menjadi figur yang dapat dipercaya siswa, memberikan umpan balik yang
19
Syahidah Rena, "Spiritualitas dan regulasi diri:Studi koping stres pada mahasiswa
Fakultas Kedokteran di DKI Jakarta", Disertasi, (Jakarta: Sekolas Pascasarjana UIN Jakarta,
2018. http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/41731 diunduh 14/09/2018
20
Mohd Mahudin, N. D., Mohd Noor, N., Dzulkifli, M. A., & Janon, N. S. (2016).
Religiosity among muslims: A scale development and validation study. Makara Hubs-Asia,
20 (2): 109–121, DOI: 10.7454/mssh.v20i2.480
9
membangun dan mampu menginterpretasikan kurikulum ke dalam suatu
pembelajaran yang bermakna bagi siswa pada masa kini dan mendatang.21
Penelitian tentang urgensi refleksi dalam meningkatkan spiritualitas dan
religiusitas remaja telah dilakukan oleh Charlene Tan dalam penelitian berjudul
Reflection for Spiritual Development in Adolescents (2009) dan Nyayu Khodidjah
dalam penelitian berjudul ‗Reflective Learning sebagai pendekatan alternatif dalam
meningkatkan kualitas pembelajaran dan profesionalisme guru Pendidikan Agama
Islam‘ (2011). Tan membuktikan bahwa refleksi efektif dalam meningkatkan
perkembangan spiritual pada remaja sehingga mereka dapat memperoleh tujuan dan
arah hidup; mengembangkan identitas diri, pandangan worldview; dan membangun
hubungan dengan orang lain.22 Sementara Khodidjah, membuktikan bahwa
internalisasi nilai-nilai agama melalui proses refleksi mampu meningkatkan
religiusitas, pemahaman dan kesadaran pelajar terhadap nilai-nilai Islam yang
dipelajari.23 Perbedaan penelitian ini dengan penelitian di atas, Tan belum
melakukan penelitian empiris yang mempertimbangkan kontinum refleksi dalam
konteks pengembangan religiusitas dan spiritualitas. Dan penelitian Khodidjah
berfokus pada penerapan pendekatan reflective learning dalam meningkatkan
keberhasilan pembelajaran PAI, namun belum meneliti bagaimana proses refleksi
mempengaruhi pengembangan diri (self growth) yang berdampak dalam pendidikan.
Kajian komprehensif tentang paradigma pendidikan Islam dilakukan oleh
Abdullah Sahin dalam bukunya yang terbit pertama kali tahun 2013 dengan judul
‗New Direction in Islamic Education: Pedagogy and Identity Formation‘ (2013)24,
hasil dari kajian doctoral di Universitas Birmingham (2002). 25 Sahin memulai
bukunya dengan sebuah pertanyaan, what does it mean to be educated Islamically in
21
Endah Yanuarti, Developing Reflective Practice Through Reflective Actions‖,
Disertasi, (Perth: Curtin University, 2017) Diakses dari
https://espace.curtin.edu.au/handle/20.500.11937/59678; Endah Yanuarti and David F.
Treagust, ―Reflective Teaching Practice (Teachers‘ Perspectives in an Indonesia Context),‖
Proceedings of the 1st UPI International Conference on Sociology Education (UPI ICSE
2015) 4, no. 3 (2016): 280–84, https://doi.org/10.2991/icse-15.2016.60.
22
Charlene Tan. (2009). Reflection for Spiritual Development in Adolescents. In M.
De Souza, L. J. Francis, J. O‘Higgins-Norman & D. Scott (Eds.), International Handbook of
Education for Spirituality, Care and Wellbeing (pp. 397-413). The Netherlands: Springer.
23
Nyayu Khodijah. 2011. ―Reflective Learning Sebagai Pendekatan Alternatif
Dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Dan Profesionalisme Guru Pendidikan Agama
Islam‖. ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman 6 (1), 180-89.
24
Abdullah Sahin, New Directions in Islamic Education: Pedagogy and Identity
Formation (Markfield: Kube Publishing Ltd, 2013).
25
Abdullah Sahin, Critical/dialogic Islamic Education: Attitudes Towards Islam and
Modes of Religious Subjectivity among British Muslim Youth, (University of Birmingham,
2002). https://ethos.bl.uk/OrderDetails.do?uin=uk.bl.ethos.497485
10
the modern world? Untuk menjawab pertanyaan ini Sahin mengeskplorasi secara
kritis teologis dan pedagogis praktik pendidikan pada institusi pendidikan pada
mayoritas muslim di Kuwait dan minoritas muslim di Inggris. Menurut Sahin,
Institusi dan lembaga pendidikan saat ini belum mampu menghasilkan pemikiran
kreatif dan keterampilan memecahkan masalah yang diperlukan umat Islam saat ini.
Sahin mengembangkan sebuah framework penelitian yang disebut Muslim
Subjectivity Interview Schedule (MSIS), terdiri dari skala Attitude Toward Islam
untuk mengukur religiusitas secara kuantitatif dan mode Religious Subjectivity
secara kualitatif menggunakan kerangka kerja dari James Marcia.
Penelitian Sahin menjadi masterpiece (karya besar) dalam bidang pendidikan
Islam dan metode empirisnya telah diikuti oleh peneliti lain pada lingkup penelitian
yang berbeda-beda. Tariq Mahmood dalam penelitiannya berjudul An Islamic
Approach to Rehabilitation of Muslim Prisoners: An Empirical Case Study (2013)
meneliti tentang bagaimana pemahaman tentang Islam dan mode religiusitas dapat
digunakan sebagai intervensi berbasis iman dalam masa rehabilitasi tahanan muslim.
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah an attitude
questionnaire yang dikembangkan dari attitude toward Islam dari Abdullah Sahin,
open ended interview dan data-analysis principles and guidelines untuk mengetahui
pemahaman dan mode religiusitas. Penelitian studi kasus pada beberapa tahanan
muslim didapatkan 4 dari 16 responden berada pada mode diffused subjektivitas
keagamaan, ditandai pengetahuan agama yang rendah dan ketertarikan dan
komitmen rendah tentang agama. 8 dari 16 responden berada pada mode foreclosed
subjektivitas keagamaan yang sedang berjuang mengintegrasikan diri dalam
masyarakat sekuler, eksplorasi agama rendah karena pandangan stereotip tahanan
penjara terhadap Islam, propaganda negatif media tentang Islam dll. 4 dari 16
responden berada pada mode moratorium subjektivitas keagamaan, di mana
seseorang mulai mempertanyakan norma-norma yang sebelumnya mereka terima
tanpa kritik.26 Mahmood merekomendasikan pentingnya dialog antar-agama sebagai
sarana untuk mengurangi ekstrimisme.27
Imran Husain Khan Suddahazai dalam disertasinya di University of
Gloucestershire berjudul The Development of Leadership through Islamic
Education: An Empirical Inquiry into „Religiosity‟ and the Styles of „Educational
Leadership‟ Experienced by Contemporary Graduates of Muslim Institutes of
Higher Education in the UK (2015) meneliti hubungan antara religiusitas dan
26
Tariq Mahmood, An Islamic Approach to Rehabilitation of Muslim Prisoners: An
Empirical Case Study (Lahore: Sange Meel Publications, 2013).
27
Tariq Mahmood, Interfaith Dialogue and British Muslim Prisoners, Journal of
Ecumenical Studies, Volume 51, Number 4, Fall 2016, pp. 586-603. DOI:
https://doi.org/10.1353/ecu.2016.0051
11
kepemimpinan pendidikan pada lulusan lembaga Muslim Institutes of Higher
Education (MIHE) di UK. Penelitian empiris subjektivitas keagamaan dilakukan
menggunakan Muslim Subjectivity Interview Schedule (MSIS) dari Abdullah Sahin.
Berdasarkan studi lapangan didapatkan bahwa mayoritas pelajar berada pada mode
foreclosed subjektivitas keagamaan dan gaya kepemimpinan berada pada gaya
‗gatekeeper‘ dan ‗conductor‘. Sebagian yang lain berada pada mode exploratory
subjektivitas keagamaan dan gaya kepemimpinan ‗cultivator‘. Penelitian ini
berkesimpulan bahwa kepemimpinan pendidikan (educational leadership)
mempengaruhi religiusitas dan subjektivitas keagamaan pelajar muslim. Menurut
Suddahazai, pemahaman tentang pendidikan dan kepemimpinan Islam harus dikaji
ulang dan dirumuskan kembali untuk mengembangkan kepribadian muslim secara
holistik.28
Distingsi penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terdapat pada lokus
penelitian. Sahin, Mahmood, dan Suddahazai melakukan penelitian di negara dengan
muslim sebagai minoritas sedangkan penelitian ini dilakukan pada mahasiswa Islam
di negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.29 Distingsi lain terletak pada
pendekatan kuantitatif, penelitian di atas menggunakan skala Attitude Toward Islam
yang dikembangkan dari skala Attitude Toward Christianity30 yang meski memiliki
nilai guna lintas budaya, namun skala tidak memberi gambaran dinamika masyarakat
muslim.31 Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif skala religiusitas
berdasarkan pada dimensi ajaran Islam yaitu Islam, Iman dan Ihsan. Sementara
dalam pendekatan kualitatif, penelitian ini tetap mengadopsi Sahin menggunakan
wawancara semi-terstruktur dengan metode studi kasus untuk mempelajari
fenomena pembentukan religiusitas dan identitas diri sebagai hasil dari pengalaman
menempuh pendidikan.
28
Imran Hussain Khan. 2015. The Development of Leadership through Islamic
Education: An Empirical Inquiry into „Religiosity‟ and the Styles of „Educational
Leadership‟ Experienced by Contemporary Graduates of Muslim Institutes of Higher
Education in the UK. Ph.D. Thesis, University of Gloucestershire, Cheltenham, UK
29
Databok, Indonesia, Negara dengan Penduduk Muslim Terbesar Dunia,
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/25/indonesia-negara-dengan-penduduk-
muslim-terbesar-dunia (diakses 03 Mei 2020)
30
Abdullah Sahin & Leslie J Francis, Assessing Attitude toward Islam Among
Muslim Adolescents: The Psychometric Properties of The Sahin-Francis Scale, Muslim
Education Quarterly, Vol. 19, No. 4, 2002.
31
Beberapa pernyataan kurang sesuai dengan pemahaman dan budaya masyarakat
muslim di Indonesia seperti ‗I think going to mosque is a waste of my time‘ (menurut saya
pergi ke masjid hanya membuang waktu), ‗I think Quran is out of date‘ (menurut saya Al-
Qur‘an sudah ketinggalan zaman) dan ‗I think praying/ du‟a does no good‘ (menurut saya
berdoa itu tidak ada gunanya).
12
F. Metode Penelitian
1. Subjek Penelitian
32
Kabartangsel, 4 Prodi di FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pindah ke
Kampus Bojongsari Kota Depok, https://kabartangsel.com/4-prodi-di-fitk-uin-syarif-
hidayatullah-jakarta-pindah-ke-kampus-bojongsari-kota-depok/ (Diakses pada 15 Juli 2020)
33
Yuen Lie Lim, Lisa-Angelique. "A comparison of students‘ reflective thinking
across different years in a problem-based learning environment." Instructional Science 39.2
(2011): 171-188.
34
Hedi Budiman. Pengajaran Reflektif Mahasiswa Calon Guru Pendidikan
Matematika. PRISMA, Vol. VI, No. 2, Desember 2017.
13
pengujian yang lazim digunakan dalam statistika‖.35 Arikunto, membedakan
berdasarkan banyaknya subyek penelitian, yakni untuk subyek yang kurang dari 100
dengan yang lebih dari 100, yang menyatakan bahwa ―untuk ancer-ancer maka
apabila subyeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya
merupakan penelitian populasi; selanjutnya jika jumlah subyeknya besar dapat
diambil antara 10-15% atau antara 20-25% atau lebih tergantung pada (1)
kemampuan peneliti dilihat dari waktu, tenaga dan dana, (2) sempit luasnya wilayah
pengamatan dari setiap subyek, dan (3) besar kecilnya resiko yang ditanggung oleh
peneliti‖.36 Perlu ditekankan bahwa tidak ada formula yang baku dalam penentuan
besar kecilnya sampel, hal demikian dikemukakan Chadwick, Bahr dan Albrecht
bahwa ―tidak ada aturan mutlak mengenai penentuan besarnya sampel; yang perlu
ditinjau adalah sifat populasi, mempertimbangkan sifat perilaku yang dikaji, dan
waktu serta dana yang tersedia, kemudian membuat keputusan tentang besarnya
sampel‖.37.
Berdasar atas (1) tingkat kemungkinan homogenitas populasi dan (2) uraian
penentuan bersarnya sampel dari berbagai ahli; maka besarnya target sampel dalam
penelitian ini ditetapkan sebesar 100 lebih responden. Di samping itu, jumlah target
sampel tersebut juga ditetapkan dengan berbagai pertimbangan yang terkait dengan
masalah perolehan data, antara lain:
1. Memenuhi asumsi metodologi dalam penerapan SEM, yakni sampel yang
sesuai antara 100-200.
2. Dalam penerapan SEM, besarnya sampel minimum absolutnya adalah 50.
3. Jumlah ukusan sampel yang ditargetkan di atas telah memenuhi batasan
jumlah sampel yang sesuai dan memenuhi persyaratan sampel yang
terdistribusi normal dalam pengujian statistic (jumlah sampel = n lebih dari
atau sama dengan 30).
4. Yang terakhir adalah terbatasnya kemampuan peneliti baik berupa waktu,
tenaga dan dana.
Jumlah target minimal di atas, dicapai dengan terlebih dahulu mendapatkan
surat izin penelitian dari Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta kemudian menyerahkan
surat izin tersebut kepada Dekan FITK UIN Jakarta. Setelah mendapatkan surat izin
penelitian dari Dekan selanjutnya mendatangi ketua prodi atau jurusan di FITK
untuk izin penelitian dan selanjutnya mendatangi langsung objek penelitian ke kelas-
35
Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, (Bandung : PT. Sinar
Baru Algensindo, 1988) h. 72
36
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Edisi Revisi
VI. (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2012), 120
37
Wahidmurni. (2017). Pemaparan metode penelitian kualitatif.
https://core.ac.uk/download/pdf/84785075.pdf (Diakses pada 20 Juli 2020)
14
kelas. Cara tersebut dimaksudkan agar infromasi yang dikumpulkan dapat lebih
banyak dan memastikan semua daftar kuesioner dikembalikan.
Adapun cara pengambilan sampel yang digunakan adalah cara pengambilan
sampel adalah secara purpossive random sampling yaitu memilih sampel
berdasarkan tingkat prodi atau jurusan tertentu kemudian siswa dalam kelas-kelas
tertentu dipilih secara acak. Subjek yang menjadi sampel memiliki kriteria a)
berstatus sebagai mahasiswa/mahasiswi FITK UIN Jakarta Ciputat, b) duduk di
kelas semester akhir dan c) beragama Islam.
Dari delapan prodi di FITK Ciputat, peneliti mendapatkan responden dari lima
program studi dari tiga rumpun keilmuan berbeda yaitu Pendidikan Agama Islam
(PAI), Pendidikan Bahasa Arab (PBA), Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
(PBSI), Pendidikan Matematika dan Pendidikan IPA Biologi. Semua responden
berasal dari semester VII kecuali prodi PAI, peneliti tidak bisa mendapatkan
responden dari semester VII PAI karena mereka sedang PPL di luar kampus.
Perolehan sampel penelitian dari setiap program studi ditampilkan di tabel 1.1
berikut.
Tabel 1.1 Data Jumlah Responden
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kombinasi (mixed methods) yaitu
metode penelitian yang memadukan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. 38 Sebagai
metode, mixed methods berfokus pada pengumpulan dan analisis data serta
memadukan antara kuantitatif dan kualitatif dalam penelitian. Premis dasar mixed
methods adalah menggunakan kombinasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif untuk
menemukan hasil penelitian yang lebih baik dibandingkan jika hanya menggunakan
satu pendekatan saja, misal kuantitatif saja atau kualitatif saja. Premis dasar lain dari
mixed methods adalah bertujuan mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada pada
pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Kelemahan Kuantitatif (1) lemah dalam
38
Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), (Bandung: Alfabeta,
Cet Ke-9, 2017), 397
15
pengendaliannya terhadap konteks atau seting pada saat partisipan berbicara atau
menyampaikan pendapat ketika diwawancara, (2) suara partisipan tidak didengar
langsung, (3) peneliti bertahan sesuai dengan latar belakang masalah yang telah
dirumuskan dan (4) interpretasi jarang didiskusikan. Kelemahan kualitatif (1)
interpretasi personal dibuat sendiri dan pada proses ini bias terjadi, (2) sulit
menggeneralisasikan temuan untuk kelompok sasaran yang banyak karena jumlah
partisipan yang dijadikan subjek penelitian terbatas. Mixed methods menghasilkan
fakta yang lebih komprehensif dalam meneliti masalah penelitian, karena peneliti
memiliki kebebasan untuk menggunakan semua alat pengumpul data sesuai dengan
jenis data yang dibutuhkan. Sedangkan kuantitatif atau kualitatif hanya terbatas pada
satu jenis alat pengumpul data.
Model kombinasi dua pendekatan dilakukan secara sequential explanatory
yaitu kombinasi penelitian kuantitatif dan kualitatif secara sekuansial dimana
pengumpulan data dan analisis data kuantitatif pada tahap pertama, diikuti dengan
pengumpulan data dan analisis data kualitatif pada tahap kedua guna memperkuat
hasil penelitian kuantitatif yang dilakukan pada tahap pertama. 39 Kombinasi
kuantitatif digunakan untuk menyelidiki konteks sosial dan kualitatif digunakan
untuk mempelajari bagaimana konteks itu ditafsirkan oleh responden. 40 Ilustrasi
penggunaan pendekatan eksplanatori berurutan (sequential explanatory) ditunjukkan
pada gambar 1.1 berikut.
Gambar 1.1 Model Kombinasi Sequential Explanatory
39
Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), (Bandung: Alfabeta,
Cet Ke-9, 2017), 415
40
Udo Kelle and Christian Erzberger. "Qualitative and Quantitative Methods: Not
in Opposition." A companion to Qualitative Research, edited by Uwe Flick, Ernst von
Kardoff and Ines Steinke, SAGE Publications (2004): 172-177.
16
3. Teknik Pengumpulan Data
41
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2008),
19
42
Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), (Bandung: Alfabeta,
Cet Ke-9, 2017), 67
43
Bambang Prasetyo dan Lina Miftahul Jannah, Metode Penelitian Kuantitatif,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 65
17
Kuesioner religiusitas digunakan untuk mendiagnosis tingkat religiusitas
mahasiswa. Terdapat tiga sub variabel yang diukur dalam religiusitas, yakni (1)
dimensi Islam, (2) dimensi Iman, dan (3) dimensi Ihsan. Berikut langkah-langkah
yang dilakukan peneliti untuk membuat pengukuran religiusitas:
Pertama, melakukan studi pustaka untuk mendapatkan gambaran dan landasan
teoretis mengenai variable penelitian religiusitas yang terdiri atas tiga dimensi Islam,
Iman dan Ihsan. Peneliti mengacu kepada Al-Qur‘an dan hadis dan penelitian
sebelumnya tentang religiusitas. Studi ini peneliti mendapatkan 64 pernyataan
kuesioner untuk skala religiusitas.
Kedua, melakukan validitas konstrak yaitu sejauh mana suatu tes mengukur
konstrak teoritik yang hendak diukurnya. Validitas konstrak dalam penelitian ini
dilakukan dengan mengkonsultasikan alat ukur kepada para ahli (judgement
experts). Validitas konstrak meliputi pemeriksaan telaah aspek materi, konstruksi
dan bahasa serta dinyatakan layak. Pada tahap ini peneliti mendapatkan 32 kuesioner
yang siap dibagikan kepada responden.
Ketiga, setelah disetujui, alat ukur diuji cobakan dengan menggunakan try out
terpakai yaitu pelaksanaan uji coba dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan
penelitian sesungguhnya. Penggunaan uji coba terpakai berdasarkan pertimbangan
bahwa alat ukur ini sudah dianggap dapat mewakili setiap indikator dalam penelitian
dan untuk menghemat waktu, tenaga dan biaya peneliti.
Terdapat tiga puluh dua pernyataan yang digunakan untuk mengungkap tingkat
religiusitas. Semua pernyataan dirumuskan dalam kalimat positif (favourable) dan
kalimat negatif (unfavourable). Alternatif jawaban yang diberikan untuk
menanggapi pernyataan yang ada meliputi: (1) sangat sesuai (SS) bahwa pernyataan
yang diungkapkan sangat sesuai pada diri responden (2) sesuai (S) bahwa pernyataan
yang diungkapkan sesuai pada diri responden, (3) tidak sesuai (TS) bahwa
pernyataan yang diungkapkan tidak sesuai pada diri responden, dan (4) sangat tidak
sesuai (STS) bahwa pernyataan yang diungkapkan sangat tidak sesuai pada diri
responden. Tabel 2.1 memberikan gambaran blueprint kuesioner religiusitas.
Tabel 3.1 Blueprint Kuesioner Religiusitas
18
Total 32
Tanda * bernilai negatif (unfavourable)
Sumber: data primer diolah, 2019
b. Teknik Wawancara
Wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide
melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik
tertentu.44 Wawancara semi terstruktur individu (semi-structured individual
interviews) digunakan sebagai teknik pengumpulan data untuk mengeksplorasi
44
Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods) (Bandung: Alfabeta,
Cet Ke-9, 2017), 316
19
pikiran, perasaan, dan kepercayaan responden tentang topik tertentu, dan untuk
mempelajari secara mendalam masalah-masalah pribadi dan terkadang sensitif.45
Menurut Saunders et al, wawancara semi-terstruktur sangat efisien untuk
mengumpulkan pandangan responden secara mendalam untuk mengeksplorasi daftar
tema dan pertanyaan yang telah ditentukan sebelum pengumpulan data. Selain itu,
peneliti dapat memperluas dan mengubah pertanyaan yang telah ditentukan secara
fleksibel selama wawancara untuk mengeksplorasi sepenuhnya pandangan
terwawancara.46
Penelitian ini mengadopsi instrumen Muslim Subjectivity Interview Schedule
(MSIS) dari Abdullah Sahin berdasarkan kerangka kerja James Marcia untuk
mendefinisikan empat mode status identitas remaja yakni diffusion, foreclosure,
moratorium dan achievement.47 Responden dianalisis dengan menerapkan
seperangkat kriteria penilaian untuk membedakan proses komitmen dan eksplorasi
psikososial dalam kehidupan keagamaan mereka.48 Instrumen dari Sahin memiliki
relevansi kuat dalam penelitian ini untuk memeriksa secara mendalam
perkembangan psikososial individu dan memperkuat hasil penelitian kuantitatif
sebelumnya.
Responden wawancara adalah mahasiswa FITK UIN yang telah mengisi
kuesioner kuantitatif. Responden diambil dengan metode self selection snowball49
dengan cara mengontak ketua kelas setiap jurusan untuk mendapatkan nomor kontak
mahasiswa yang terpilih sebagai responden wawancara dan meminta kesediaan
responden sebagai volunter penelitian. Responden dipilih dengan melihat jurusan,
pekerjaan orang tua dan pendidikan sebelumnya agar didapatkan responden yang
beragam latar belakang. Dari hasil mengontak ketua kelas, peneliti mendapatkan
kontak 6 mahasiswa terpilih, namun hanya 4 responden yang bersedia menjadi
volunter penelitian.
45
DeJonckheere M, Vaughn LM, Semistructured interviewing in primary care
research: a balance of relationship and rigour, Family Medicine and Community Health 2019;
7:e000057. doi: 10.1136/fmch-2018-000057
46
Mark Saunders, Philip Lewis and Adrian Thornhill. Research Methods for
Business Students. (Harlow: Pearson Education Limited, 2009), 246
47
Abdullah Sahin, New Directions in Islamic Education: Pedagogy and Identity
Formation (Markfield: Kube Publishing Ltd, 2013). 69
48
Kriteria untuk menunjukkan ada tidaknya proses eksplorasi dan ada tidaknya
komitmen dapat dilihat pada h. 97
49
Sigmund Gronmo, Social Research Methods: Qualitative, Quantitative and Mixed
Methods Approaches, (New York, SAGE, 2019), 170
20
Dalam penelitian ini, peneliti terlibat sepenuhnya dalam proses
pengumpulan data tanpa melibatkan orang lain. Adapun pengumpulan data
dilaksanakan pada bulan November 2019.
Terdapat dua jenis analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini, yakni
analisis inferensial dan statistik deskriptif. Analisis inferensial dilakukan dengan
cara menguantifikasikan data yang diperoleh menggunakan bantuan program SPSS
versi 22.0. for Windows yang selanjutnya dianalisis dengan SEM menggunakan
AMOS versi 22.0.
Analisis inferensial yang pertama dilakukan adalah uji validitas dan reliabilitas
menggunakan bantuan program SPSS versi 22.0. for Windows. Instrument yang
valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mengukur itu valid. Uji validitas data
menggambarkan kecocokan tiap indikator terhadap variabelnya. Uji validitas item
menggunakan korelasi product moment atau yang lebih dikenal dengan nama
pearson correlation dengan membandingkan rhitung dengan rtabel (0,159). Jika rhitung
lebih besar dari rtabel (0,159) dan tingkat singnifikansinya dibawah 0,05, maka butir
pernyataan tersebut valid. Hasil korelasi product moment menggunakan program
SPSS menunjukkan dari 32 item pernyataan kuesioner religiusitas, terdapat 1 item
yang tidak signifikan dan tidak diikutkan dalam analisa selanjutnya.51 Uji reliabilitas
data menunjukkan kehandalan data penelitian. Uji reliabilitas dengan 31 item yang
valid menghasilkan nilai cronbach‟s alpha 0,859 yang mensugestikan seluruh item
reliabel dan seluruh tes secara konsisten memiliki realibilitas yang kuat.
Analisis inferensial kedua yang dilakukan adalah analisis Model Persamaan
Struktural (SEM). Dilakukan uji reliabilitas menggunakan SEM AMOS untuk
mengetahui loading factor tiap indikator. Ada beberapa langkah untuk melakukan
analisis model persamaan struktural (SEM) sebagai berikut: Pertama, pengujian
50
Ali Muhson, Teknik Analisis Kuantitatif, [online] sumber:
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132232818/pendidikan/Analisis+Kuantitatif.pdf (diakses 08
Januari 2020)
51
Lihat lampiran 3 untuk mengetahui hasil pengujian validitas butir tiap item.
21
asumsi. Ada beberapa asumsi yang diperhatikan sebelum melakukan pengujian
model dengan SEM yaitu uji kecukupan sampel dan uji normalitas. Jumlah
responden dalam penelitian ini sebanyak 142 mahasiswa. Jumlah sampel tersebut
dinilai mencukupi karena menurut Hair,et al ukuran sampel yang sesuai dalam
penelitian menggunakan statistik SEM berkisar antara 100 – 200 responden.52
Dengan demikian uji sampel pada penelitian adalah cukup. Pengujian selanjutnya
adalah melihat tingkat normalitas data yang digunakan dalam penelitian. Analisis
SEM mewajibkan data berdistribusi normal untuk menghindari bias dalam
interpretasi data yang dapat mempengaruhi data lainnya. Didapatkan nilai c.r
(critical ratio) sebesar -0,228 di antara rentang -2.58 sampai dengan 2.58 sehingga
data berdistribusi normal.
Kedua, mengkonstruksi diagram jalur. Ketiga, melihat estimasi factor loading
(tingkat korelasi antara variabel laten dengan variabel indikator yang
menjelaskannya) dengan menggunakan standar estimasi. Penelitian ini
menggunakan standar estimasi nilai loading factor lebih besar dari 0,3 yaitu 0,45.
Kriteria validitas ini mengacu pada pendapat Hair, Black, Babin, Anderson, &
Tatham yang menyatakan bahwa ―factor loadings ± 0,3 to 0.4 are minimally
acceptable‖.53 Langkah selanjutnya adalah menguji kelayakan atau kesesuaian
model dengan goodness of fit. Berdasarkan hasil analisis Model Persamaan
Struktural (SEM) dengan piranti AMOS didapatkan 14 item valid, item ini kemudian
peneliti ujikan lagi realibilitasnya dengan cronbach‟s alpha dan menghasilkan nilai
realibilitas yang baik yaitu 0,857, hanya turun dua poin dari nilai sebelumnya.
Statistik deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan data perolehan dalam
penelitian seperti nilai rata-rata (mean), nilai terendah data (minimum), dan nilai
tertinggi data (maksimum) dan simpangan baku (standar deviasi) yang nantinya
digunakan untuk mengukur tingkat religiusitas responden.
Dalam menyusun distribusi frekuensi, digunakan langkah-langkah berdasarkan
pada Sugiyono sebagai berikut:54
a. Menentukan Jumlah Kelas Interval
Rumus untuk menentukan jumlah kelas interval menggunakan rumus
Struges yakni jumlah kelas interval = 1 + 3,3 log n, dimana n adalah
jumlah responden.
52
Joseph F. Hair Jr, Willian C. Black, Barry J. Babin and Rolph E. Anderson..
Multivariate Data Analysis (7th ed.). (New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2010), 173
53
Joseph F. Hair Jr, Willian C. Black, Barry J. Babin and Rolph E. Anderson..
Multivariate Data Analysis (7th ed.). (New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2010), 117
54
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung:
Alfabeta, 2012), 36
22
b. Menentukan Rentang data (range)
Rentang Kelas = skor maximum – skor minimum + 1
c. Menentukan Panjang Kelas Interval
Panjang kelas interval = rentang data
Jumlah kelas interval
Data variabel penelitian selanjutnya dikategorikan dengan langkah-langkah
menurut Suharsimi Arikunto sebagai berikut;55
a. Kelompok tinggi, semua responden yang mempunyai skor sebanyak skor
rata-rata plus 1 (+1) standar deviasi (X ≥ Mi + 1 SDi)
b. Kelompok sedang, semua responden yang mempunyai skor antara skor
rata-rata minus standar deviasi dan skor rata-rata plus standar deviasi
(antara Mi = 1 SDi) ≤ X < (Mi + SDi)
c. Kelompok rendah, semua responden yang mempunyai skor lebih rendah
dari skor rata-rata minus 1 standar deviasi (X < Mi – 1 SDi).
Harga Mean ideal (Mi) dan Standar Deviasi ideal (SDi) diperoleh
berdasarkan rumus berikut:
Mean ideal (Mi) = 1/2 (skor tertinggi + skor terendah)
Standar Deviasi ideal (SDi) = 1/6 (skor tertinggi – skor terendah)
b. Analisis Data Kualitatif
55
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Edisi Revisi
VI. (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2012), 299
56
Mudjia Rahardjo, Studi Kasus dalam Penelitian Kualitatif: Konsep dan
Prosedurnya, UIN Malang, Program Pascasarjana, 2017.
https://core.ac.uk/download/pdf/80816930.pdf (diunduh pada 08-01-2020)
57
Robert K. Yin, Studi Kasus: Desain dan Metode, Penerjemah: M Djauzi
Mudzakir, (Depok: Rajawali Pers, 2019), 18
23
tentang seseorang, setting sosial, peristiwa, atau kelompok yang memungkinkan
peneliti untuk mengerti bagaimana proses tersebut berlangsung dan berfungsi. 58
Menurut Yin, salah satu sumber studi kasus yang penting adalah wawancara.59
Keterbatasan penelitian yang tersedia menjadi salah satu faktor penelitian ini
menggunakan studi kasus, hal tersebut berkaitan dengan sifat studi kasus yang
cenderung tidak membutuhkan waktu penelitian yang lama seperti halnya diperlukan
dalam etnografi.
Analisa hasil wawancara menggunakan "two-stage data analysis" dari Saunders
et al yang telah dimodifikasi untuk penelitian ini, dimana pada konsep awal
direkomendasikan summarising kemudian categorization dirubah menjadi
categorization dan summarising.60 Tahap pertama kategorisasi (pengelompokan)
makna dan tahap kedua meringkas makna.
1. Membuat Kategori. Penelitian ini mengidentifikasi tiga tema seputar
pertanyaan wawancara yang dirumuskan secara informal. Selama
wawancara pertanyaan bisa bertambah dari panduan yang sudah dibuat
selama responden merasa nyaman dengan proses wawancara.
Tabel 5.1 Tema Wawancara
Tema Tujuan
Refleksi Religiusitas Mengetahui refleksi responden tentang
perkembangan religiusitasnya
Komitmen dan eksplorasi Mengetahui komitmen dan eksplorasi
keberagamaan keberagamaan responden.
Pembelajaran Reflektif Mendapatkan informasi mengenai
kemampuan refleksi responden.
Sumber: Data primer diolah, 2019
2. Menyatukan Data. Setelah data dikumpulkan melalui proses wawancara,
dibuat ringkasan poin-poin utama. Pada tahap ini, narasi dialogis dirubah
menjadi ringkasan yang bermakna.
3. Membuat Analisis Naratif. Menurut Saunders et al, analisis naratif sebagai
tahap akhir dari fase analisis memungkinkan pembangunan dialog yang
menunjukkan keterlibatan responden, tindakan yang mereka ambil dan
58
Robert K. Yin, Studi Kasus: Desain dan Metode, Penerjemah: M Djauzi
Mudzakir, (Depok: Rajawali Pers, 2019) , 16
59
Robert K. Yin, Studi Kasus: Desain dan Metode, Penerjemah: M Djauzi
Mudzakir, (Depok: Rajawali Pers, 2019), 108
60
Mark Saunders, Philip Lewis and Adrian Thornhill. Research Methods for
Business Students. (Harlow: Pearson Education Limited, 2009), 149
24
konsekuensinya dalam alur narasi responden tanpa kehilangan arti sosial
atau konteks di mana peristiwa ini terjadi.61
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, penelitian studi kasus dengan wawancara
mendalam dilaksanakan pada bulan November 2019, guna mengechek apa yang
dikatakan responden benar adanya, peneliti melakukan rekonfirmasi wawancara
kedua pada bulan Januari 2020 dengan bertemu langsung atau via telepone.
G. Sistematika Pembahasan
Guna mempermudah pembahasan, penelitian tesis ini secara terperinci akan
diterangkan dalam lima bab dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Bab ini diawali dengan penjabaran latar belakang yang mendasari penelitian.
Masalah dan pertanyaan penelitian selanjutnya dirumuskan berdasarkan latar
belakang tersebut. Tujuan, manfaat, signifikansi dan penelitian terdahulu yang
signifikan kemudian ditentukan untuk memberi arah dan batasan.
Bab II Konsep Religiusitas, Refleksi, dan Subjektivitas Keagamaan
Bab ini berisi pembahasan tentang konsep religiusitas, refleksi dan subjektivitas
keagamaan. Pembahasan dibagi menjadi 3 subbab yang mencakup polarisasi
religiusitas dan spiritualitas, refleksi dan internalisasi dan tipologi subjektivitas
keagamaan.
Bab III Religiusitas dan Refleksi Keagamaan
Bab ini diawali dengan memaparkan objek dan subjek penelitian berdasarkan
jenis kelamin, jurusan, pendidikan terakhir yang ditempuh, pekerjaan orang tua,
intensitas ibadah salat dan interaksi dengan Al-Qur‘an. Selanjutnya dijabarkan hasil
dan analisis uji validitas dan realibilitas skala religiusitas menggunakan korelasi
product moment, Cronbach‟s Alpha dan Confirmatory Factor Analysis (CFA)
dengan AMOS. Setelah mendapatkan indikator religiusitas yang sudah valid.
Digunakan untuk menentukan tingkat religiusitas responden dengan tiga tingkatan
tinggi, sedang dan rendah.
Bab ini juga menjabarkan hasil dan analisis penelitian refleksi keagamaan
responden yang dibagi dalam tiga dimensi, yaitu dimensi Islam, Iman, dan Ihsan.
Islam diwakili dengan pertanyaan sejauh mana refleksi dalam ibadah salat dan
ibadah puasa. Iman diwakili dengan pertanyaan sejauh mana refleksi dalam
61
Mark Saunders, Philip Lewis and Adrian Thornhill. Research Methods for
Business Students. (Harlow: Pearson Education Limited, 2009), 497
25
keimanan kepada Allah dan keimanan kepada hari akhir dan Ihsan dengan
pertanyaan menghormati orang lain dan tanggung jawab.
Selanjutnya, Penelitian ini memaparkan salah satu komponen penting dalam
membuat budaya praktik reflektif yaitu interaksi antar anggota komunitas belajar;
guru dan murid. Peneliti mengajukan pertanyaan tentang sejauh mana tingkat
refleksi mahasiswa menggunakan kontinum pembelajaran reflektif dari David
Kember (habitual action, understanding, reflection dan critical reflection) dan
tingkat refleksi dosen menggunakan kontinum refleksi dari Pete Hall dan Alisa
Simeral (unaware stage, conscious stage, action stage dan refinement stage).
Bab IV Subjektivitas Keagamaan Mahasiswa
Bab IV memaparkan analisa kualitatif hasil wawancara semi-terstruktur dari
penelitian yang dilakukan kepada responden yang terpilih. Analisa data berdasarkan
studi kasus mendapatkan tiga mode religiusitas responden yaitu foreclosed,
exploratoty moratorium dan exploratory achievement.
Bab V Penutup
Berdasarkan hasil dan analisis pada bab sebelumnya, bab ini menjabarkan
kesimpulan dan saran yang diperoleh dari penelitian. Subbab kesimpulan menjawab
pertanyaan dan tujuan penelitian berdasarkan hasil yang diperoleh dengan penerapan
kerangka teoretis dan metodologi penelitian. Subbab saran dibagi menjadi dua, yaitu
saran praktis untuk subjek penelitian serta saran teoretis untuk para peneliti lain.
26
BAB II KONSEP RELIGIUSITAS, REFLEKSI DAN
SUBJEKTIVITAS KEAGAMAAN
Agama adalah tanda khas kehidupan manusia dan sebagai satu kekuatan paling
dahsyat dalam mempengaruhi perbuatan manusia. Meskipun agama adalah
parameter penting dalam kehidupan manusia, namun perdebatan pengertian agama
(religiusitas, spiritualitas) masih terus terjadi hingga menimbulkan polarisasi1 antara
religiusitas dan spiritualitas. Religiusitas lebih ke pendekatan seremonial formalistik
yang menunjukkan keterikadan dengan Tuhan dan spiritualitas lebih ke pendekatan
substantifistik, pendekatan dalam berbuat baik. Pendekatan Islam adalah Intgeral
Disinilah terjadi pembagian dua bagian yang berlawanan (polarisasi)..
Religiusitas berasal dari bahasa Latin religio dari akar kata religure yang berarti
mengikat.2 Mengandung makna bahwa agama pada umumnya memiliki aturan dan
kewajiban yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh pemeluknya. Mangunwijaya
membedakan antara istilah religi atau agama dan religiusitas. Religi lebih menunjuk
pada aspek-aspek formal yang berkaitan dengan aturan dan kewajiban, sedangkan
religiusitas menunjuk pada aspek yang senantiasa berhubungan dengan kedalaman
manusia, yaitu penghayatan terhadap aspek-aspek religi yang telah dihayati oleh
seseorang dalam hati.3
Spiritualitas berasal dari kata ‗spirit‘ yang berarti jiwa.4 David Leeming dalam
Encyclopedia of Psychology and Religion mendefinisikan spiritualitas dengan “a
1
Polarisasi menurut KBBI adalah (1) proses, perbuatan, cara menyinari;
penyinaran; (2) magnetisasi; (3) pembagian atas dua bagian (kelompok orang yang
berkepentingan dan sebagainya) yang berlawanan. Arti polarisasi dalam penelitian
ini merujuk pada arti polarisasi nomor 3. KBBI, Polarisasi, diakses dari
https://kbbi.web.id/polarisasi (diakses 13 Mei 2020)
2
Dictionary of Spiritual Terms, Religio
http://www.dictionaryofspiritualterms.com/public/Glossaries/terms.aspx?ID=467, (Diakses
pada 4 Juni 2020)
3
Y.B Mangunwijaya, Sastra dan Religiusitas, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), 25
Lihat juga Web Fakultas Bahasa & Seni UNY, Sastra Menumbuhkan Religiusitas dan
Humanitas, pidato pengukuhan Guru Besar Ilmu Pembelajaran Sastra Indonesia UNY, Prof.
Dr. Suroso, M.Pd. http://fbs.uny.ac.id/berita/sastra-menumbuhkan-religiusitas-dan-humanitas
(diakses pada 25 Juni 2020)
4
KBBI Online, Spiritual, https://kbbi.web.id/spiritual (Diakses pada 5 Juni 2020)
27
philosophical orientation that embraces extrasensory epistemologies, an allknowing
infinite God, and the immortality of the soul” yaitu perbuatan yang berorientasi
filosofis, semua perbuatan disandarkan karena mengenal Allah, dan untuk
kebahagiaan jiwa.5 Spiritualitas juga mengandung pengertian hubungan manusia
dengan Tuhannya.6
Perhatian terhadap proses-proses psikologis yang terlibat dalam perilaku
beragama pada awalnya hampir tidak ada. Sebagian bahkan menganggapnya sebagai
topik yang aneh. Baru sekitar awal abad 20 muncul tokoh-tokoh yang membahas
perilaku beragama, seperti William James pada 1902, Sigmund Freud pada 1927 dan
Raymond Catell pada 1938. William James menaruh perhatian terhadap pengalaman
religius individu, pendekatannya terhadap agama bersifat pragmatis, seperti dengan
pertanyaan, apakah agama bisa membantu manusia?. Sementara, pendekatan Freud
tidak lebih baik dari James tentang agama, Freud menganggap agama sebagai suatu
kekeliruan, dalam arti objek utama agama (yaitu Tuhan) tidak nyata. Freud tertarik
mengapa orang menjadi beragama padahal tidak rasional?. Selanjutnya, Raymond
Catell menyebut agama sebagai fenomena supertisi atau takhayul yang memiliki
pengaruh kuat pada manusia dalam menghindari rasa takut dan memenuhi
kebutuhan dilindungi dan melindungi.7
Beberapa dekade selanjutnya, peran agama dalam kehidupan individu kembali
dikaji dengan seksama dan komprehensif. Sejumlah ilmuan psikologi mengaitkan
agama dengan prasangka, agresi, kemiskinan, dan subordinasi perempuan.
Perkembangan selanjutnya, banyak penelitian yang mengakui nilai agama memiliki
efek yang luas dan mendalam terhadap kesehatan manusia, baik yang bersifat fisik,
emosi, spiritual, maupun sosial. Mytko dan Knight (1999) dari Department of
Psychiatry and Behavioral Sciences, Northwestern University Medical School,
Chicago, USA meneliti tentang "Body, Mind dan Spirit: Towards the Integration of
Religiosity dan Spirituality in Cancer Quality of Life Research" dan menghasilnya
temuan bahwa religiusitas dan spiritualitas mempengaruhi kualitas hidup dan
kesehatan mental bagi penderita kanker; pengaruh itu disebabkan karena religiusitas
dan spiritualitas dapat mengintegrasikan fungsi-fungsi raga, jiwa dan roh, terutama
5
David A. Leeming, Kathryn Madden, Stanton Marlan (Eds), Encyclopedia of
Psychology and Religion (New York: Springer Reference, 2014), 872
6
Imron, Aspek Spiritualitas dalam Kinerja (Magelang: Unimma Press, 2018), 3
7
Ralph W. Hood Jr., Peter C. Hill, and Bernard Spilka, The Psychology of Religion:
An Empirical Approach (5rd Ed.), (New York: Guilford Press, 2018), 28-29.
28
pada penderita kanker. Pengukuran kualitas hidup dalam penelitian ini
multidimensional meliputi aspek fisik, psikologis dan sosial.8
Penelitian yang sama dilakukan oleh Harold G. Koenig, M.D dari Duke
University, membuktikan adanya hubungan mendalam antara keyakinan suatu
agama dan kualitas kesehatan tubuh, pikiran, dan jiwa. Dari penelitiannya mengenai
hubungan antara agama dan spiritualitas dengan kesehatan terhadap 1.200
responden, ternyata 800 orang yang aktif dalam kegiatan agama dan juga
mempunyai keyakinan yang kuat atas kepercayaannya, mempunyai kesehatan
mental yang lebih baik, lebih jarang berobat, lebih sehat secara fisik. Hasil ini
berlaku untuk semua pemeluk agama atau kepercayaan.9
Meski penelitian tentang peran religiusitas dan spiritualitas pada individu sudah
berkembang, ketidaksependapat mengenai konsep religiusitas dan spiritualitas masih
terus terjadi. Menurut Hill, dikotomi seperti ini tidak perlu terjadi karena secara
historis awalnya kedua terminologi ini tidak menjadi persoalan, karena agama yang
menjadi dasar dari religiusitas dianggap sebagai konstruk yang luas, mencakup
aspek individual dan institusional, juga aspek fungsional dan substantif. 10
Pargament et al menyatakan bahwa definisi religiusitas telah ditetapkan sebagai
sistem ideologi, organisasi, dan ritual di mana sebelumnya itu didefinisikan sebagai
semua pemahaman penuh religiusitas seseorang.11
Religiusitas dan spiritualitas sebagai konstruk yang berbeda dapat dilihat dari
pengertian para ahli seperti Piedmont et al. yang menyebutkan religiusitas
berhubungan dengan pengalaman manusia sebagai makhluk transenden yang
diekspresikan melalui komunitas atau organisasi sosial ―is concerned with how
one‟s experience of a transcendent being is shaped by, and expressed through,
a community or social organization‖. Sedangkan spiritualitas berhubungan
dengan hubungan personal dengan Tuhan atau alam semesta ―is most
8
Mytko, J. J., & Knight, S. J. (1999). Body, mind and spirit: Towards the
integration of religiosity and spirituality in cancer quality of life research. Psycho-Oncology,
8(5), 439–450.
9
Harold G. Koenig, ―Research on Religion, Spirituality, and Mental Health: A
Review,‖ The Canadian Journal of Psychiatry 54, no. 5 (2009): 283–91.
10
Yulmaida Amir, Diah Rini Lesmawati. Religiusitas dan Spiritualitas: Konsep
yang sama atau berbeda?. Jurnal Ilmiah Penelitian Psikologi: Kajian Empiris & Non-
Empiris Vol. 2., No. 2., 2016, 67-73.
11
Fridayanti, Religiusitas, Spiritualitas dalam Kajian Psikologi dan Urgensi
Perumusan Religiusitas Islam. Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi Juni 2015, Vol. 2, No. 2,
199 - 208. DOI: https://doi.org/10.15575/psy.v2i2.460
29
concerned with one‟s personal relationship to larger, transcendent realities,
such as God or the Universe.‖ 12
Setidaknya ada tiga hal yang memunculkan polarisasi antara religiusitas dan
spiritualitas yaitu pengaruh sekularisasi pada masyarakat Barat, religiusitas
dimaknai secara beragam berdasarkan sudut pandang disiplin ilmu yang berbeda-
beda, dan berkembangnya konsep spiritualitas.
1. Pengaruh sekularisasi pada masyarakat Barat
Sejak paruh kedua abad ke-20, sekularisme dan kekecewaan terhadap lembaga
keagamaan di masyarakat Barat menyebabkan munculnya polarisasi antara agama
dan spiritualitas. Spiritualitas dilihat oleh ilmuwan sosial sebagai pengalaman
individu berhubungan dengan transendental, sementara agama dipandang terkait
dengan tradisi institusi.13
Pengaruh sekulerisasi juga didapatkan dari pengertian agama dalam masyarakat
Barat hanya berkaitan dengan keyakinan (the faith) dan peribadahan (the worship)
sebagaimana tercantum dalam Oxford Dictionaries Online kata religion diartikan
sebagai ‗the belief in and worship of a superhuman controlling power, especially a
personal God or gods‘.14 Hal yang sama juga ditemukan dalam kamus Cambridge
Dictionary Online yang menerjemahkan kata agama sebagai ‗the belief in a god or
gods, or a particular system of belief in a god or gods‘.15 Hal ini menunjukkan
bahwa masyarakat Barat pada kenyataannya tidak memasukkan spiritualitas sebagai
bagian dari agama dan kedua konsep tersebut lebih banyak diidentifikasi sebagai
dua hal yang berbeda.
2. Religiusitas dimaknai secara beragam berdasarkan sudut pandang disiplin ilmu
yang berbeda-beda.
Menurut Barbara Holdcroft masing-masing disiplin kajian ilmu mendekati
religiusitas sesuai sudut pandang mereka. Teologi akan melihat religiusitas dari
12
Ralph L Piedmont, Joseph W. Ciarrochi, Gabriel S. Dy-Liacco, and Joseph E. G.
Williams. 2009. The empirical and conceptual value of the spiritual transcendence and
religious involvement scales for personality research. Psychology of Religion and Spirituality
1: 162–79. doi:10.1037/a0015883.
13
Brian J Zinnbauer, Kenneth I. Pargament, Brenda Cole, Mark S. Rye, Eric M.
Butter, Timothy G. Belavich, Kathleen M. Hipp, Allie B. Scott, and Jill L. Kadar. "Religion
and Spirituality: Unfuzzying the Fuzzy." Journal for the Scientific Study of Religion 36, no. 4
(1997): 549-64. doi:10.2307/1387689.
14
Lexico. [Online]. Tersedia di https://www.lexico.com/en/definition/religion.
Diakses pada 29 Desember 2019
15
Dictionary Cambridge. [Online]. Tersedia di
https://dictionary.cambridge.org/us/dictionary/learner-english/religion. Diakses pada 29
Desember 2019
30
sudut pandang keyakinan, sementara sosiologi akan menpertimbangkan konsep
religiusitas yang melibatkan keanggotaan dalam jamaah (gereja) atau kehadirannya
di tempat ibadah. Para ahli meneliti religiusitas dengan cara yang beragam,
misalnya Glock & Stark yang mengembangkan konsep komitmen religius untuk
menjelaskan seberapa kuat komitmen seseorang terhadap substansi agama, yaitu
aspek pengetahuan, keyakinan, praktik, perasaan dan konsekuensi.16 Dan Leslie J.
Francis yang mengembangkan The Francis Scale of Attitude berupa respon afektif
terhadap Tuhan, Yesus, Bibel, frekuensi berdoa, keikutsertaan di gereja,
pengalaman beragama dan perasaan dibimbing Tuhan.17
3. Berkembangnya konsep spiritualitas
Konsep spiritualitas dipicu oleh ketertarikan dunia Barat terhadap praktik-
praktik spiritual dari Timur seperti Yoga dan Meditasi. Spiritualitas dianggap
sebagai suatu yang tidak terikat pada institusi gereja atau ritual-ritual agama tertentu
dan aspek yang sifatnya personal dan lebih berkonotasi positif. Sementara
religiusitas diartikan sebagai hal-hal yang terkait praktik-praktik agama institusional
sehingga terjadi penyempitan makna religiusitas yang semestinya menggambarkan
keseluruhan penghayatan keagamaan seseorang menjadi sekedar sistem ideologi,
organisasi, dan ritual bahkan dianggap menghambat potensi kemanusiaan.
Berkembangnya konsep spiritualitas menurut Fridayanti secara eksplisit
menghadirkan kenyataan bahwa religiusitas dipandang sebagai identitas yang
terpisah dari religiusitas.18
Polarisasi religiusitas dan spiritualitas telah ditentang oleh sejumlah tokoh
seperti Pargament, et al dan Hill, et al. Pargament, et al menyatakan bahwa
religiusitas dan spiritualitas berkait erat dan tidak dapat dipisahkan, karena
keduanya sama-sama melibatkan ―the feelings, thoughts, experiences, and
behaviors that arise from a search for the sacred”. Perbedaannya adalah bahwa
agama sebagai institusi yang menjadi dasar dari religiusitas, memberikan cara dan
metode tertentu dalam proses pencarian Yang Maha Suci (the sacred) dalam bentuk
aktivitas ritual ataupun aktivitas-aktivitas keagamaan lainnya. Sepandangan dengan
Hill, et al yang menyatakan dengan religiusitas orang juga dapat memperoleh
16
Barbara B. Holdcroft,. "What is religiosity." Catholic Education: A Journal of
inquiry and practice 10.1 (2006).
17
Lewis, CA., Shevlin, M., Lloyd, NSV., & Adamson, G. (1998). The Francis scale
of attitude towards Christianity (short scale): Exploratory and confirmatory factor analysis
among English students. Journal of Social Behavior and Personality, 13(1), 167-175.
18
Fridayanti, Religiusitas, Spiritualitas dalam Kajian Psikologi dan Urgensi
Perumusan Religiusitas Islam. Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi Juni 2015, Vol. 2, No. 2,
Hal: 199 - 208. DOI: https://doi.org/10.15575/psy.v2i2.460
31
identitas, rasa memiliki, makna, kesehatan ataupun kebahagiaan melalui pelibatan
dirinya dalam komunitas keagamaan, dan hal ini tidak terdapat dalam spiritualitas.
Pargament, et al selanjutnya mengajukan pengertian religiusitas dan spiritualitas
yang lebih baik dengan mengintegrasikannya sebagai motivasi (pencarian) terhadap
Tuhan. Pargament et al mendefinisikan religiusitas dan spiritualitas dalam satu
definisi yaitu: ―the feelings, thoughts, experiences, and behaviors that arise from a
search for the sacred. The term “search”refers to identify, articulate, maintain, or
transform. The term “sacred”referes to divine being, divine object, ultimate reality,
or ultimate truth by the individual”. Definisi ini mencakup dua elemen penting, yang
pertama adalah search (pencarian) dan sacred (Yang Mahasuci). Search (pencarian)
dipahami sebagai cara yang diambil untuk mencapai tujuan yang dimanifestasikan
melalui berbagai dimensi seperti ideologi, perilaku etis, pengalaman emosional, dan
hubungan sosial.19 Istilah ‗sacred‘ atau suci tidak hanya merujuk pada konsep-
konsep tentang Tuhan dan kekuatan yang lebih tinggi, tetapi juga pada aspek-aspek
kehidupan lainnya yang dianggap sebagai manifestasi dari Tuhan seperti
transendensi dan keyakinan.20 Apa yang dilakukan oleh Pargament et al adalah
terobosan penting karena menyatukan religiusitas dan spiritualitas dalam satu fungsi
yang sama yaitu pencarian tentang Tuhan. Fungsi keberadaan manusia dalam
kehidupan di dunia adalah menemukan (mencari) Tuhan dalam kehidupan, dan
bahwa spiritualitas tidak dapat dilepaskan dari keagamaan.
Kajian keberagamaan umat Islam sudah banyak dilakukan para ahli dalam
bidang keilmuan sosiologi dan psikologi agama, namun tampak bias konseptual di
dalam kajian-kajian tersebut. Di antara bias tersebut menurut Hood, Hill dan Spilka
bahwa dalam praktik-praktik sebelumnya, mayoritas definisi religiusitas yang
diterapkan pada komunitas Muslim diadaptasi dari religiusitas konsep peradaban
Barat, khususnya dari Yahudi dan Nasrani,21 dan pengukurannya berkecenderungan
didominasi oleh pengadopsian konsep Glock & Stark serta Leslie Francis mengenai
agama.22
19
Kenneth I. Pargament & Hisham Abu Raiya. A Decade Of Research On The
Psychology Of Religion And Coping:Things we assumed and lessons we learned. Psyke &
Logos, 2007, 28, 742-766
20
Kenneth I. Pargament & Mahoney, A. (2009). Spirituality: The search for the
sacred. In S. J. Lopez & C. R. Snyder (Eds.), Oxford library of psychology. Oxford handbook
of positive psychology (New York, NY, US: Oxford University Press), 611-619.
21
Ralph W. Hood Jr., Peter C. Hill, and Bernard Spilka, The Psychology of
Religion: An Empirical Approach (5rd Ed.), (New York: Guilford Press, 2018), 4.
22
Anita, Anita, Badrun Kartowagiran, and Ayub Ayub. "Peta Religiusitas
berdasarkan Islamic Worldview pada Milenial Muslim di Yogyakarta." TSAQAFAH 15.2
(2019): 247-264.
32
Glock & Stark mengemukakan bahwa agama adalah sistem simbol, sistem
keyakinan, sistem nilai dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya itu
berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi
(ultimate meaning). Selanjutnya, mereka menerangkan tentang lima dimensi
religiusitas yang termaktub dalam agama Kristen. Dimensi tersebut di antaranya:
dimensi keyakinan (belief), peribadatan (practice) mencakup aspek ritual publik dan
ibadah yang bersifat privat; dimensi pengetahuan (knowledge) yang berhubungan
dengan informasi yang diketahui seseorang mengenai kepercayaan, praktik, dan
berbagai hal lain terkait dengan agamanya; dimensi pengalaman (experience)
mengindikasikan perasaan dan persepsi terhadap Tuhan atau suatu yang transenden;
dan dimensi konsekuensi (concequences), merupakan pengaruh yang menyertai
berbagai dimensi yang telah disebutkan kepada hidup individu.23
Dimensi religiusitas Glock & Stark banyak dipakai oleh para peneliti. Meski
demikian, muncul kritik terhadap lima dimensi ini sebagaimana disebutkan Joseph
H. Fichter. Dimensi konsekuensial merupakan dimensi kelima Glock & Starck yang
paling banyak dikritik. Kritik utama adalah karena dimensi ini dianggap merupakan
konsekuensi dari religiusitas dan bukan merupakan religiusitas itu sendiri. Kritik
kedua berkaitan dengan ideologis dan intelektual yang dipandang merupakan satu
dimensi yaitu dimensi kognitif.24 Yasemin El-Menouar mengadaptasi lima dimensi
keberagamaan rumusan Glock & Stark untuk komunitas Muslim dalam
penelitiannya Five Dimensions of Muslim Religiosity Scale.25
Leslie J. Francis dengan skala The Francis Scale of Attitude toward Christianity
berangkat dari pembedaan antara beberapa dimensi religiusitas di antaranya dimensi
afiliasi (affiliation), kebiasaan (behavior), kepercayaan (belief), dan dimensi sikap
(attitude). Kemudian respon afektif terhadap Tuhan, Yesus, Bible, frekuensi berdoa,
keikutsertaan di gereja, pengalaman beragama dan perasaan dibimbing Tuhan
menjadi indikator dalam pengukuran religiusitas Kristen.26 Abdullah Sahin
mengembangkan skala ini untuk mengukur religiusitas berdasarkan perspektif Islam.
Pengembangan ini dinamakan the Sahin-Francis Scale of Attitude toward Islam
dengan indikator yang terkait dengan respon terhadap Al-Qur‘an, doa, salat, praktik
23
Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami, Solusi Islam atas
Problem Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 76
24
Fichter, Joseph H. ―Sociological Measurement of Religiosity.‖ Review of
Religious Research, vol. 10, no. 3, 1969, pp. 169–177. JSTOR,
www.jstor.org/stable/3510744. Diakses pada 6 Feb 2020.
25
Yasemin El-menouar, ―The Five Dimensions of Muslim Religiosity . Results of
an Empirical Study‖ 8, no. 1 (2014): 53–78, https://doi.org/10.12758/mda.2014.003.
26
Lewis, CA., Shevlin, M., Lloyd, NSV., & Adamson, G. (1998). The Francis scale
of attitude towards Christianity (short scale): Exploratory and confirmatory factor analysis
among English students. Journal of Social Behavior and Personality, 13(1), 167-175.
33
keagamaan dan keimanan kepada Allah.27 Namun demikian, instrumen Sahin-
Francis masih belum komprehensif dan masih terikat dengan tradisi Yahudi-Kristen
yang mewarnai instrumen asli dari Francis.28 Pada dimensi religiusitas yang
dikembangkan, tidak ditemukan skala pengukuran yang menggambarkan dimensi
spiritualitas, padahal spiritualitas adalah bagian tidak terpisahkan dari pengalaman
beragama dalam Islam. Tidak dimasukkannya dimensi spiritualitas menjadi
kelemahan skala religiusitas psikologi kontemporer yang merupakan hasil dari
pemikiran Barat yang sering memisahkan religiusitas dari spiritualitas, dimana
spiritualitas dipandang sebagai hal yang subjektif, personal dan membebaskan
sedangkan religiusitas dipandang sebagai suatu yang terkait dengan praktik-praktik
dalam institusi, tidak fleksibel, sempit, rigid dan kaku.
Agama Islam memiliki cara pandang (worldview) yang berbeda dengan agama
lain, karenanya konstruk religiusitasnya juga berbeda. Agama perspektif Islam yaitu
ikatan antara Tuhan sebagai realitas tertinggi dan manusia sebagai salah satu
ciptaan-Nya.29 Agama adalah cara hidup (al-dīn) atau jalan (al-ṭarīqat) menuju
Allah sebagai pusat yang meliputi seluruh pekerjaan, keyakinan, dan keberadaan
seorang Muslim. Maka dalam Islam tidak ada spiritualitas tanpa kepercayaan (faith)
dan praktik agama (worship), karena agama memberikan jalan bagi kehidupan
spiritual yang baik.
Polarisasi religiusitas dan spiritualitas pada dasarnya tidak dikenal dalam ajaran
Islam. Aspek keyakinan dan tindakan praktik tidak dapat dilepaskan dari pencarian
dan hubungan dengan Allah sebagai pencipta. Konstruk beragama (religiusitas)
Islam bukan hanya bersifat keyakinan dan praktik tindakan, namun juga tercakup
didalamnya dimensi spiritualitas yang dikenal sebagai dimensi Ihsan. Dalam dimensi
spiritualitas Islam terkandung penekanan pada upaya untuk membersihkan hati,
menjaga keterhubungan hati dengan Allah serta menemukan makna hidup sebagai
sarana untuk mengenal kehendak Allah.
Menurut Malik Badri, dasar pengukuran religiusitas muslim adalah manifestasi
dari Islam, Iman dan Ihsan.30 Maka dalam mengukur religiusitas Muslim harus
27
Leslie J Francis, Abdullah Sahin, and Fahad Al-Failakawi, ―Psychometric
Properties of Two Islamic Measures among Young Adults in Kuwait: The Sahin-Francis
Scale of Attitude toward Islam and the Sahin Index of Islamic Moral Values,‖ Journal of
Muslim Mental Health 3, no. 1 (2008): 9–24.
28
Mohd Mahudin, N. D., Mohd Noor, N., Dzulkifli, M. A., & Janon, N. S. (2016).
Religiosity among muslims: A scale development and validation study. Makara Hubs-Asia,
20(2): 109–121.
29
Salman, Abdul Matin Bin, and Nur Sahed. "Tuhan dalam Perspektif Filsafat
Pendidikan Islam." El Tarbawi 10, no. 1 (2017).
30
Manap, Jamiah Hj, Azimi Hamzah, Sidek Mohd Noah, Hasnan Kasan, Steven
Eric Krauss, Khairul Anwar Mastor, Turiman Suandi, and Fazilah Idris. "Prinsip Pengukuran
34
terdiri dari item-item yang menggambarkan persepsi, sikap dan amalan seseorang
terhadap tiga dasar agama tersebut. Sumber perspektif Islam, Iman dan Ihsan ini
berdasarkan sebuah ḥadis yang dikenal sebagai ‗Hadis Jibril‘ yang secara substansial
membagi Islam dalam tiga unsur yaitu Islam, Iman, dan Ihsan yang diakui sebagai
perbendaharaan kunci dalam pola keberagamaan Islam.31 Islam sebagai dimensi
perbuatan, Iman sebagai dimensi kepercayaan dan Ihsan sebagai dimensi
kesempurnaan. Tiga konsep dalam level yang sama tetapi berbeda secara metafisik.
Tiga dimensi ini secara lengkap menggambarkan aspek religiusitas dan spiritualitas
Islam.32 Butiran lengkap tentang Islam, Iman dan Ihsan dapat diperhatikan dalam
hadis berikut.
Dari Umar r.a pula di berkata; pada suatu hari ketika kami sedang duduk-duduk
bersama Rasulullah tiba-tiba datang seorang laki-laki berpakaian sangat putih,
dan rambutnya sangat hitam, tidak terlihat padanya tanda-tanda bekas
perjalanan, dan tidak seorang pun dari kami yang mengenalnya, kamudian ia
duduk di hadapan Nabi dan mendekatkan lututnya lalu melekatkkan kedua
tangannya di atas pahanya, seraya berkata: 'Wahai Muhammad jelaskan
kepadaku tentang Islam?'Nabi menjawab: "Islam itu adalah engkau bersaksi
bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali
Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, engkau menegakkan salat,
menunaikan zakat, puasa Ramadan dan haji ke Baitullah Al-Haram jika engkau
mampu mengadakan perjalanan ke sana." Laki-laki tersebut berkata: 'Engkau
benar'. Maka kami pun terheran-heran padanya, dia yang bertanya dan dia
sendiri yang membenarkan jawabannya. Dia berkata lagi: "Jelaskan kepadaku
tentang iman?" Nabi menjawab: "(Iman itu adalah) engkau beriman kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir
serta engkau beriman kepada takdir baik dan buruk." Ia berkata: 'Engkau
benar.'Kemudian laki-laki tersebut bertanya lagi: 'Jelaskan kepadaku tentang
Ihsan?' Beliau bersabda: "(Ihsan adalah) engkau beribadah kepada Allah
seolah-olah engkau melihat-Nya. Kalaupun engkau tidak bisa melihat-Nya,
sungguh Dia melihatmu". (HR. Muslim).33
Religiositi Dan Personaliti Muslim." Jurnal Psikologi dan Pembangunan Manusia 1, no. 1
(2013): 36-43.
31
Muhammad Sholikhin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam, (Yogyakarta:
Penerbit Narasi, Cet. 1, 2008), 222.
32
Sachiko Murata and William C. Chittick. The Vision Of Islam (United States:
Paragon House, 1994), xxxiii. Lihat juga M. A. Muqtedar Khan. Islam and Good
Governance: A Political Philosophy of Ihsan, (USA: Palgrave Macmillan, 2019), 97
33
Terdapat dalam kitab Sahih al-Bukhari, Vol. 6, Buku 60, Nomor 300, 47 hadīth
47 dan Arbain Nawawi hadits ke-2.
35
Menurut Ibnu Taimiyyah, Islam terdiri dari tiga unsur utama: Islam, Iman dan
Ihsan, yang dalam ketiga unsur itu terselip makna tingkatan (darajāt), yaitu orang
mulai dengan Islam (tingkat terendah), kemudian berkembang ke arah Iman (tingkat
sedang), dan akhirnya memuncak dalam Ihsan (tingkat tertinggi) sebagaimana
disebutkan dalam surat al-Fathir ayat 32 berikut,
―Kemudian Kami (Allah) wariskan kitab suci kepada para hamba Kami yang
Kami pilih, maka dari sebagian mereka ada yang masih berlaku zalim terhadap
dirinya, dari mereka ada yang mencapai tingkat pertengahan (muqtashid), dan
sebagian ada yang bergegas dengan berbagi perilaku kebajikan dengan izin
Allah.‖34
Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa orang yang telah menerima warisan kitab
suci (memercayai dan berpegang teguh terhadap ajaran-ajarannya), namun masih
juga berbuat zalim adalah orang yang baru berislam, menjadi seorang muslim, suatu
tingkat intermediated pelibatan diri ke dalam kancah kebenaran. Ia bisa berkembang
menjadi seorang yang beriman, menjadi seorang mukmin untuk mencapai tingkat
lebih tinggi, yakni tingkat pertengahan (muqtashid) jika ia telah terbebas dari
perbuatan zalim, namun perbuatan kebajikannya baru sedang-sedang saja. Ia telah
berusaha mengamalkan apa yang diyakininya sebagai kebenaran agama. Dalam
tingkatan yang lebih tinggi, pelibatan diri ke dalam kebenaran itu membuat ia tidak
saja terbebas dari perbuatan jahat atau zalim dan berbuat baik, tetapi ia bergegas dan
menjadi pelomba atau pemuka (sabiq) dalam berbagai kebaikan, itulah orang yang
berihsan, mencapai tingkat seorang muhsin.
Berdasarkan ayat di atas, menurut Ibnu Taimiyyah, seorang muslim adalah
mereka yang menganiaya dirinya sendiri yaitu dengan cara meninggalkan apa yang
Allah perintahkan dan melaksanakan apa yang Allah larang. Seorang mukmin adalah
mereka yang sudah terkhususkan dengan hal-hal yang diwajibkan padanya, dalam
arti mereka telah mampu berkomitmen dengan apa yang telah Allah wajibkan
atasnya, dan muhsin adalah mereka yang telah berkomitmen betul dengan hal-hal
yang sunnah apalagi terhadap hal-hal yang wajib.35
Menurut Abdul Mujib, penggunaan tiga pola keberagamaan ini (islam, iman,
ihsan) sebagai alat ukur religiusitas sangat baik karena integratif dan tidak
membedakan antara perilaku eksoteris dan esoteris. Dengan pola ini, tidak akan
terjadi split personality, yang mana hatinya beriman pada Allah Swt tetapi
34
Al-Qur‘an, al-Fathir: 32, terj., Departemen Agama RI, ed.5, (Jakarta: Departemen
Agama, 2000)
35
Ibnu Taimiyyah, al-Iman, (Kairo: Dar al-Thiba'at al-Muhammadiyah, t.th), 6-11
36
perilakunya bertentangan dengan apa yang diperintahkan.36 Menurut Nurcholish
Madjid, dalam Islam, Iman, dan Ihsan tidak ada kompartementalisasi (pembagian
yang terpisah), dimana di antara yang satu dengan yang lain berdiri sendiri.
Ketiganya terjalin secara komprehensif, nilai-nilai perwujudannya saling
berkelindan yang terakumulasi dalam konsep dasar amal saleh dan segi
kemaslahatan yakni Islam tidak absah tanpa iman, dan iman tidak sempurna tanpa
ihsan. Sebaliknya, ihsan mustahil tanpa iman, dan iman juga tidak mungkin tanpa
Islam terlebih dahulu. Di samping saling terkait, antara ketiganya juga terjalin secara
tumpang tindih sehingga setiap satu dari ketiganya mengandung makna dua istilah
lainnya. Dalam Iman terdapat Islam dan Ihsan, dalam Islam terdapat Iman dan Ihsan,
dan dalam Ihsan terdapat Iman dan Islam.37
a. Islam
Islam secara bahasa adalah berserah diri. Pelakunya disebut muslim. Orang
yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap patuh pada
ajaran-Nya. Islam merupakan amalan-amalan anggota badan yang tampak (dimensi
praktik) yaitu berupa perkataan dan perbuatan. Mengucapkan dua kalimat syahadat
adalah perbuatan lisan. Salat dan puasa adalah perbuatan badan (tubuh). Zakat harta
adalah amalan pada harta, dan haji adalah amalan pada badan dan harta. Amalan-
amalan itu disebut dengan „ibadah mahḍah (ibadah murni) yang mengikuti syarat
dan rukun yang ditetapkan Allah dan tidak ada tempat manusia untuk berkreasi.
Tingkat ini disebut dengan tingkat syari‘ah yaitu tingkat ibadah yang paling
rendah. Tingkat dimana para hamba menjalankan rukun Islam yang lima sekadar
untuk menggugurkan kewajiban. Pada tingkat ini orang selalu berhitung dosa dan
pahala sehingga Ali bin Abi Thalib menamakan tingkat ibadah ini sebagai „Ibādat
at-Tujjār atau ibadahnya pedagang.38 Kalangan ulama sufi menyebut tingkat ini
sebagai tingkat „Ibād atau ahli ibadah.39
Islam merupakan inisial bagi seseorang yang masuk ke dalam lingkaran ajaran
Allah. Seorang Badui menyatakan diri telah beriman, namun Nabi diperintah Allah
agar menegurnya sebagai orang yang belum beriman, tetapi baru berislam, sebab
iman belum masuk ke dalam hatinya. Iman lebih mendalam dari Islam, dalam
36
Abdul Mujib. "Konsep pendidikan karakter berbasis psikologi Islam." Seminar
Nasional Psikologi Islami, (Surakarta, 21 April, 2012).
37
Nurcholish Madjid. "Iman, Islam, Dan Ihsan Sebagai Trilogi Ajaran Ilahi", dalam
Budhi Munawar Rachman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta:
Paramadina, 1995), 463
38
Hamid Fahmy Zarkasyi, Minhaj: Berislam, dari Ritual hingga Intelektual,
(Jakarta: INSITS, 2020), 165
39
Muhammad Hamidullah, The Emergence of Islam, (Islamabad: International
Islamic University Islamabad, 2004), 165
37
konteks Badui tersebut, mereka baru tunduk dan menyerah kepada Nabi secara
lahiriah.
Orang-orang Arab Badui berkata, ―Kami telah beriman‖. Katakanlah kepada
mereka, ―Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‗Kami telah tunduh (Islam),
karena Iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah
dan Rasul-Nya. Dia tidak akan mengurangi sedikit pun pahala amalmu.
Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.40
b. Iman
Iman secara bahasa berarti kepercayaan, keyakinan, ketetapan hati, atau
keteguhan hati. Pelakunya disebut mukmin. Iman mengandung makna al-tashdiq
yakni pembenaran terhadap suatu hal, yang tidak dapat dipaksakan oleh siapapun
karena iman terletak dalam hati yang hanya dapat dikenali secara pribadi.41 Menurut
syara‘, Iman diartikan sebagai pembenaran terhadap ajaran Nabi Muhammad, yakni
beriman kepada Allah, para malaikat, para nabi dan rasul, hari kiamat, qadha‘ dan
qadar. Meski esensi iman itu al-tashdiq, tapi tidak cukup demikian, Iman menuntut
lebih dari pengucapan lisan, namun juga keyakinan dengan hati dan perilaku konkret
sebagai realisasi. Dengan demikian, Iman berarti keyakinan yang tertanam di dalam
hati, diikrarkan dengan lisan dan diwujudkan dengan amal perbuatan. Iman
merupakan kesatuan dan keselarasan antara hati, lisan, dan tingkah laku terhadap
segala hal yang dibawa oleh Rasulullah Saw.42
Tingkatan ini disebut tingkat akidah yaitu tingkat ibadah yang didasari oleh rasa
keimanan. Menurut Abu Bakar tingkat ini adalah tingkat ibadah yang mengharapkan
keridhaan Allah. Pada tingkat ini seorang mukmin beribadah untuk mencari
kemuliaan dengan mengamalkan perintah dan menghindari larangan. Ali bin Abi
Thalib menyebut tingkat ini sebagai „Ibādat al-Ābid, yaitu ibadahnya seorang hamba
sepenuhnya kepada Allah. Para sufi menyebut tingkat ini dengan al-Murīdīn, yaitu
orang-orang yang memiliki keinginan kuat agar bisa dekat dengan Allah dengan
mengisi kehidupannya dengan amal saleh, sehingga segala kotoran dan tabir yang
menghalangi hatinya terhadap Allah tersingkirkan.43
40
Al-Qur‘an, Hujurat: 14, terj., Departemen Agama RI, ed.5, (Jakarta: Departemen
Agama, 2000)
41
Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam Ringkas (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), 137.
42
Sachico Murata & William C. Chittick, Trilogi Islam, (Jakarta: PT. Rajagarafindo
Persada, , 1997), 2
43
Hamid Fahmy Zarkasyi, Minhaj: Berislam, dari Ritual hingga Intelektual,
(Jakarta: INSITS, 2020), 166
38
c. Ihsan
Ihsan secara harfiah berarti ―berbuat baik‖. Pelakunya disebut muhsin. Ihsan
berhubungan dengan sifat dan perilaku yang mencerminkan seorang yang
melakukan kewajiban ritual dan memiliki keimanan (dimensi aktualisasi
nilai/spiritualitas).
Tingkatan ini adalah tingkat ibadah tertinggi. Pada tingkat ini, menurut Abu
Bakar, ibadah bukan motif pahala dan dosa atau karena mencari kemuliaan, tapi
karena rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Menurut Ali bin Abi Thalib dan ahli
sufi, tingkat ketiga ini disebut „Ibādat al-Ārifīn, yaitu ibadah orang-orang yang telah
atau sedang mencapai ma‟rifatullah, pengenalan pada Allah yang dicintainya. Orang
pada tingkat ini beramal saleh bukan sekadar mencari pahala, tapi karena rasa
syukur, karena ingin mendekat kepada kepada Allah dan mencintai Allah.44
Ihsan berada di atas Iman yaitu ibadah kepada Allah seakan-akan melihat Allah,
jika tidak melihat Allah, maka Allah Maha Melihat. Ihsan menjadi penentu baiknya
islam dan iman seorang individu. Ihsan adalah timbangan keikhlasan hati atas segala
yang dikerjakan dan dilakukan. Bukan karena orang lain namun semata-mata karena
Allah. Sebagaimana hadis Nabi ketika menerangkan arti Ihsan: ―Jika kamu
beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya. Jika itu tidak dapat kamu
rasakan, yakinilah bahwa Dia melihatmu.‖ 45 sebagaimana ditegaskan Ibnu
Taimiyah bahwa ihsan menjadi puncak tertinggi dalam spiritualitas manusia, makna
ihsan lebih meliputi daripada iman dan karena itu, pelakunya adalah lebih khusus
daripada pelaku iman, sebagaimana iman lebih khusus daripada pelaku Islam. Sebab
dalam Ihsan sudah terkandung iman dan islam, sebagaimana dalam iman sudah
terkandung Islam.46
44
Hamid Fahmy Zarkasyi, Minhaj: Berislam, dari Ritual hingga Intelektual,
(Jakarta: INSITS, 2020), 167
45
Terdapat dalam kitab Sahih al-Bukhari, Vol. 6, Buku 60, Nomor 300, 47 hadīth
47 dan Arbain Nawawi hadits ke-2.
46
Tobroni, dkk. Memperbincangkan Pemikiran Pendidikan Islam: Dari Idealisme
Substantif Hingga Konsep Aktual, (Jakarta: Kencana, 2018), 210
47
Lexico. [Online]. Tersedia di https://www.lexico.com/en/definition/reflect.
Diakses 28 November 2019
39
back‖, melihat ke belakang atau cermin merefleksikan cahaya.48 Merefleksikan
berarti bercermin, maksudnya adalah bercermin pada pengalaman yang baru saja
dilakukan baik secara perseorangan atau kelompok.49
John Dewey dikenal sebagai ilmuwan yang pertama kali membahas pentingnya
refleksi, menurutnya proses berpikir (atau belajar) terkait erat dengan pengalaman.
Pendekatannya dirangkum dalam perkataan ‗we do not learn from experience, we
learn from reflecting on experience‘ bahwa kita tidak belajar dari pengalaman, kita
belajar dari merefleksikan pengalaman tersebut. Pada bukunya How We Think,
Dewey menyebut refleksi sebagai “the active, persistent, and careful consideration
of any belief or supposed form of knowledge in the light of the grounds that support
it and the further conclusions to which it tends.” yaitu perilaku yang melibatkan
pertimbangan aktif, terus menerus, gigih dan mempertimbangkan dengan seksama
segala sesuatu yang dipercaya kebenarannya atau format pengetahuan dengan
alasan yang mendukung menuju pada suatu kesimpulan.50
Dalam bidang pendidikan, Jennifer Moon mendefinisikan refleksi sebagai “a
form of mental processing with a purpose and/or anticipated outcome that is
applied to relatively complex or unstructured ideas do which there is not an
obivious solution” yaitu sebuah proses mental yang memiliki tujuan dan/atau hasil
yang diterapkan pada pandangan-pandangan yang relatif kompleks atau tidak
terstruktur di mana tidak terdapat solusi yang jelas.51 David Boud, Rosemary Keogh
dan David Walker memberi batasan refleksi sebagai “a generic term for those
intellectual and affective activities in which individuals engage to explore their
experiences in order to lead to new understandings and appreciation.” yaitu
kegiatan intelektual dan afektif dimana individu-individu terlibat dalam
upaya mengeksplorasi pengalaman mereka dalam rangka mencapai pemahaman
dan apresiasi-apresiasi baru.52 Jadi, refleksi adalah tanggapan secara mendalam dan
kritis seseorang atas pengalamannya sendiri. Melalui proses itu orang berusaha
48
Collins Dictionary. [Online]. Tersedia di
https://www.collinsdictionary.com/dictionary/english-thesaurus/reflect. Diakses 28
November 2019
49
Dasim Budimansyah, Model Pembelajaran dan Penilaian Berbasis Portofolio
(Bandung: PT. Genesindo, 2002), 94.
50
John Dewey, How we think, (Boston, New York, Chicago: D. C. Heath & Co.,
Publishers, [1909, digitized by the internet archive in 2007 with funding from Microsoft
corporation]), 5-6
51
Jennifer Moon, Reflection in Learning and Professional Development Theory and
Practice (USA: Kogan Page Limited, 1999), 152
52
David Boud, David Walker and Rosemary Keogh. Reflection: Turning
Experience into Learning. (London and New York: Routledge Falmer Taylor & Francis
Group, 2005), 19
40
semakin memahami arti (makna) dan konsekuensi dari pengalamannya itu sehingga
mampu memilih tindakan yang cocok untuk pengembangan dirinya.
Menurut Jack Mezirow, pembelajaran terjadi ketika individu membuat makna
yaitu memahami dan membuat interpretasi dari sebuah pengalaman. Ketika
interpretasi tersebut digunakan untuk memandu mengambil keputusan atau
tindakan, maka makna tersebut menjadi sebuah pembelajaran.53 Transformasi
bermula ketika seseorang terlibat dalam aktivitas yang membuatnya berada pada
kebingungan arah (disorienting dilemma), yaitu saat terjadi perbedaan antara
kejadian yang dialami dengan keyakinan yang selama ini dianggap benar, sehingga
menimbulkan semacam krisis personal. Kondisi inilah yang akan memicu
perubahan pada kerangka acuan berpikir seseorang. Ketidakstabilan akibat krisis
diri tersebut pada tahap selanjutnya akan mendorong orang tersebut untuk
melakukan refleksi kritis secara mandiri terhadap kerangka acuan yang membentuk
konsepsi diri.54
Transformasi dalam belajar terjadi ketika seseorang mengalami perubahan
kerangka acuan (frame of reference) yang kongkret. Sepanjang hidup, individu
mengembangkan ragam konsep, nilai, perasaan, tanggapan, dan asosiasi yang
membentuk pengalaman hidup. Kerangka acuan itulah yang membantu untuk
memahami pengalaman di luar dunia ini. Pengalaman hidup sendiri menurut
Mezirow terdiri dari dua dimensi, yakni kebiasaan pikiran (habit of mind) dan sudut
pandang (point of view). Kebiasaan pikiran sangat luas dan merupakan kebiasaan
yang dapat diartikulasikan melalui sudut pandang.55
53
Jack Mezirow mengembangkan pembelajaran transformasional yaitu kegiatan
pembelajaran yang diorientasikan pada perubahan frame of reference seseorang, di mana
frame of reference dipahami sebagai struktur asumsi yang dipakai oleh seseorang untuk
memandang, memahami dan memaknai pengalaman hidupnya. Edward W Taylor (1998)
secara sederhana memahami pembelajaran transformasional sebagai proses pembentukan
makna (meaning making process) terhahap pengalaman seseorang. Taylor, E.W. 1998. ―The
Theory and Practice of Transformative Learning.‖ A Critical Review Information Series No.
374. Columbus, Ohio: ERIC Clearinghouse on Adult, Career, and Vocational Education
Center on Education and Training for Employment; Joe Levine, (2014, 11 Oct) "Jack
Mezirow, Who Transformed the Field of Adult Learning, Dies at 91" dalam Teachers
College Columbia University, diambil dari
https://www.tc.columbia.edu/articles/2014/october/jack-mezirow-who-transformed-the-field-
of-adult-learning-d/ (diakses 24 Januari 2020)
54
Laros A. (2017) Disorienting Dilemmas as a Catalyst for Transformative
Learning. In: Laros A., Fuhr T., Taylor E.W. (eds) Transformative Learning Meets Bildung.
International Issues in adult Education. Sense Publishers, Rotterdam.
https://doi.org/10.1007/978-94-6300-797-9_7
55
Mundzier Suparta. ―Pendidikan Transformatif Menuju Masyarakat
Demokratis‖. ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman 7, no. 2 (March 4, 2013): 406-425.
41
Seseorang yang mengalami perubahan kerangka acuan berpikir berarti
memperoleh kemampuan untuk melakukan refleksi kritis terhadap asumsi-asumsi,
kepercayaan, nilai-nilai, dan perspektif yang melekat pada diri sendiri maupun orang
lain. Proses ini tidak hanya melibatkan operasi kognitif dan rasional, tetapi juga
melibatkan pergerakan emosional.56 Fenomena ini tidak dapat diajarkan tetapi harus
dialami, sehingga peran pendidik terbatas sebagai fasilitator dan pemantik bagi
berlangsungnya proses ini. Akhirnya dalam proses ini, individu bertransformasi
menjadi pembelajar yang bisa mengarahkan diri sendiri, kritis, dan mampu berpikir
secara otonom.
Dalam kerangka acuan ini, konteks makna dibangun atas alternatif-alternatif
yang dihasilkan dan pengalaman-pengalaman sensorik yang dialami seseorang.
Pergeseran atau perubahan kerangka acuan yang dialami seseorang bisa terjadi
dalam dua tataran makna/nilai (meaning), yakni– dalam bahasa Mezirow disebut –
skema nilai (meaning schema) dan perspektif nilai (meaning perspective). Yang
pertama tersusun dari pengukuran sikap, perasaan, dan keyakinan tertentu yang
menyusun interpretasi personal seseorang atau hal-hal yang disadari dibangun dari
kebiasaan yang dialami lewat hukum sederhana seperti benda jatuh dari atas ke
bawah, dengan skema makna ini individu melihat dan mengerti sekelilingnya.
Sedangkan perspektif nilai sifatnya lebih fundamental sebab merupakan akumulasi
asumsi dimana pengalaman-pengalaman terdahulu berasimilasi dan pengalaman
baru bertransformasi. Jika skema makna adalah konten yang dibangun lewat
pengalaman-pengalaman yang sudah terduga, maka perspektif makna lebih
mendasar dari skema makna, bahkan perspektif makna yang memberikan informasi
bagaimana seharusnya pengalaman itu dimaknai.57
Jack Mezirow membagi level refleksi menjadi dua yaitu Reflective action dan
Non reflective action (Gambar 2.2). Termasuk dalam non reflective action adalah
habitual action dan thoughtful action without reflection dan termasuk dalam
reflective action adalah thoughtful with reflection dan critical reflection.58 Tindakan
non-reflektif (Non reflective action) merupakan kondisi dimana seseorang
mengembangkan keterampilan melalui latihan rutin atau mencapai kemampuan
analitik atau kritis melalui pemikiran bawah sadar dan 'buku pelajaran'.
Keterampilan ini dibangun dengan sedikit kesadaran diri tentang bagaimana mereka
56
Jack Mezirow et. al. (Hg.) (2000): Learning as Transformation. Critical
Perspectives on a Theory in Progress. San Francisco: Jossey-Bass, 16-19.
57
Jack Mezirow, Learning to Think Like an Adult; Core Concepts of
Transformation Theory, dalam J. Mezirow & Associates (Eds.), The Handbook of
Transformative Learning: Theory, Research, and Practice (San Francisco Jossey-Bass,
2000), 35-77; F. Sayilan, ―Jack Mezirow and Transformative Learning Theory‖ (Journal of
Faculty of Educational Sciences, vol. 41, Ankara University, 2008), 299-316
58
Jack Mezirow. Transformative dimensions of adult learning. San Francisco, CA:
Jossey Bass. 1991, 107
42
berkembang. Sebaliknya, tindakan reflektif (reflective action) adalah keterampilan
kritis, analisa diri yang mendekonstruksi pengalaman, pembelajaran, dan
perkembangan diri. Terbagi dalam tiga kategori. Pada level paling rendah adalah
refleksi atas konten (content reflection) yaitu analisa terhadap apa yang dipikirkan,
dilakukan, dan dirasakan. Kedua, refleksi pada proses (process reflection) yaitu
refleksi bagaimana suatu tindakan dan perasaan muncul untuk dikembangkan.
Tingkat yang paling adalah refleksi premis (premise reflection/ presuppositions)
yaitu sebuah proses di mana individu mengkritik refleksinya, menafsirkan faktor-
faktor yang memengaruhi dan membentuk pertumbuhan dan perkembangannya.
Hasil dari refleksi premis biasanya berupa perubahan paradigma atau pandangan.
Proses ini adalah yang paling kuat, tetapi relatif jarang dan seringkali tidak tercapai.
59
David Kember, Doris Y. P. Leung, Alice Jones, Alice Yuen Loke, Jan McKay,
Kit Sinclair, Harrison Tse, Celia Webb, Frances Kam Yuet Wong, Marian Wong & Ella
Yeung (2000) Development of a Questionnaire to Measure the Level of Reflective Thinking,
Assessment & Evaluation in Higher Education, 25:4, 381-395; David Kember, McKay, J.,
Sinclair, K. & Wong, F.K.Y. (2008) A four-category scheme for coding and assessing the
level of reflectionin written work, Assessment & Evaluation in Higher Education,33 (4) p
369-379.
43
James W Peltier, Amanda Hay, dan William Drago membuat tingkatan berpikir
reflektif (reflective thinking) dari David Kember dkk dalam sebuah kontinum
pembelajaran reflektif (reflective learning continuum) yang merujuk pada
serangkaian tahapan pembelajaran yang semakin mendalam yang dapat digunakan
oleh individu untuk mengintegrasikan informasi baru, merenungkan makna dan
relevansinya berdasarkan pengetahuan masa lalu, dan mengambil keputusan apakah
akan memodifikasi pengetahuan dan asumsi yang ada.60
Gambar 3.2 Kontinum Pembelajaran Reflektif
Pendekatan belajar surface dan deep dikenalkan oleh Marton and Säljö‘ dalam
penelitiannya terkait bagaimana pelajar memproses sebuah informasi. Berdasarkan
hal tersebut, pendekatan surface hampir tidak diinternalisasi sama sekali, sedangkan
pemrosesan mendalam (deep) berarti informasi tersebut dipelajari dengan cara yang
lebih mendalam.61 Sementara menurut Julian Hermida, Surface learning adalah
pendekatan belajar di mana siswa menggunakan pengetahuan yang mereka peroleh
untuk mengerjakan soal atau membuat makalah dan segera melupakannya. Dan deep
learning adalah pendekatan yang berkomitmen dalam belajar dimana pelajar belajar
seumur hidup dan dapat menerapkan apa yang mereka pelajari ke situasi dan konteks
baru.62
60
James W Peltier, Amanda Hay, and William Drago. ―The Reflective Learning
Continuum: Reflecting on Reflection.‖ Journal of Marketing Education 27, no. 3 (December
2005): 250–63.
61
Marton, F., & Säljö, R. (1976). On qualitative differences in learning: I—
Outcome and process; II—Outcome as a function of the learner‘s conception of the task.
British Journal of Educational Psychology, 46, 4-11, 115-127.
62
Julian Hermida, Facilitating Deep Learning: Pathways to Success for University
and College Teachers, (Canada: Apple Academic Press, 2015), xix
44
Menurut Alison Le Cornu, fokus dan tujuan kedua tingkatan masing-masing
berbeda. Pada tingkat permukaan (surface) berfokus pada informasi eksternal dan
proses refleksi berfungsi sebagai sarana awal internalisasi. Di tingkat kedua, lebih
mendalam (deep) berfokus memahami informasi dan sudah terjadi internalisasi yang
bergerak dari dasar (kognitif hafalan) ke tingkat yang lebih tinggi di mana peserta
didik menghubungkan ide-ide baru dengan pengetahuan sebelumnya, konsep
pengalaman sehari-hari, dan bukti-bukti untuk membuat kesimpulan.63
a. Habitual Action
Habitual action (Tindakan biasa) adalah hasil dari pengulangan. Mengulangi
sesuatu berkali-kali sehingga menciptakan kebiasaan (habit). Mengakses kebiasaan
dengan cepat dan mengulanginya tanpa menggunakan otak sadar. David Kember
dkk mendefinisikan habitual action sebagai ‗a mechanical and automatic activity
that is performed with little conscious thought‘, yaitu kegiatan yang dilakukan
dengan sedikit pemikiran yang disengaja.64 Beberapa karakteristik pada level ini
yaitu peserta didik lebih memilih menghafal daripada refleksi, fokus hanya pada apa
yang diperlukan daripada mengeksplorasi bahan pembelajaran tambahan.
Mezirow menyebut level ini sebagai pembelajaran non-reflektif yang terjadi
tanpa refleksi. Habitual action/ habitual learning biasanya menggunakan
pendekatan surface learning dan melibatkan kemampuan berpikir secara minimal.65
Pendekatan surface learning menekankan upaya belajar dengan mengingat sebanyak
mungkin informasi, tidak mengkaitkan konsep baru dengan pengetahuan yang telah
dimilikinnya atau makna dan implikasi dari sesuatu yang telah dipelajari, sehingga
strategi yang mereka gunakan menghafal, mengingat dan mengerjakan tugas
seminimal mungkin.66 Proses pengajaran (pedagogi) kebanyakan berupa transmisi
63
Alison Le Cornu. ―Meaning, Internalization, and Externalization: Toward a Fuller
Understanding of the Process of Reflection and Its Role in the Construction of the Self.‖
Adult Education Quarterly 59, no. 4 (August 2009): 279–97.
64
David Kember, Doris Y. P. Leung, Alice Jones, Alice Yuen Loke, Jan McKay,
Kit Sinclair, Harrison Tse, Celia Webb, Frances Kam Yuet Wong, Marian Wong & Ella
Yeung (2000) Development of a Questionnaire to Measure the Level of Reflective Thinking,
Assessment & Evaluation in Higher Education, 25:4, 381-395; David Kember, McKay, J.,
Sinclair, K. & Wong, F.K.Y. (2008) A four-category scheme for coding and assessing the
level of reflectionin written work, Assessment & Evaluation in Higher Education,33 (4)p369-
379.
65
James W Peltier, Amanda Hay, and William Drago. ―The Reflective Learning
Continuum: Reflecting on Reflection.‖ Journal of Marketing Education 27, no. 3 (December
2005): 250–63. doi:10.1177/0273475305279657.
66
Julian Hermida, Facilitating Deep Learning: Pathways to Success for University
and College Teachers, (Canada: Apple Academic Press, 2015), xix
45
pengetahuan tentang keyakinan dan praktik Islam dan pembelajaran cenderung
dipandang sebagai akumulasi informasi.67
b. Understanding
Understanding (pemahaman) yaitu siswa belajar memahami situasi yang terjadi
tanpa menghubungkannya dengan situasi yang lain. Seperti halnya habitual
learning, tahap understanding termasuk ke dalam pemikiran non-reflektif tetapi
sudah merupakan bentuk pembelajaran yang lebih dalam.68
Mezirow menyebut level ini dengan ―thoughtful action‖ dan menggarisbawahi
bahwa meskipun understanding membutuhkan keterlibatan yang lebih aktif dalam
pembelajaran daripada habitual action, sebagian besar yang dipelajari tetap dalam
batas-batas perspektif yang sudah ada sebelumnya. Dengan cara ini, seorang siswa
akan mengakses pengetahuan yang ada tanpa menilainya dan memproses informasi
dalam skema yang sudah ada sebelumnya.69 Secara ringkas dapat didefinisikan
understanding sebagai proses pembelajaran non-reflektif di mana pelajar memahami
berdasarkan perspektif yang sudah ada sebelumnya.
Pembelajaran berfokus pada pemahaman tanpa menghubungkan dengan
pengalaman pribadi atau situasi belajar lainnya. Pembelajaran menggunakan buku
berorientasi pada pemahaman (understanding) bahwa pelajar hanya perlu
memahami bahan bacaan. Sebagian besar yang dipelajari tetap dalam batas-batas
perspektif yang sudah ada sebelumnya.70 Mempelajari fakta-fakta, tetapi tidak
diberikan kesempatan untuk menantang atau mendukung pengetahuan dan
67
Ayse Demirel Ucan. Improving the Pedagogy of Islamic Religious Education in
Secondary Schools: The Role of Critical Religious Education and Variation Theory.
Routledge, 2019, 3
68
David Kember, Doris Y. P. Leung, Alice Jones, Alice Yuen Loke, Jan McKay,
Kit Sinclair, Harrison Tse, Celia Webb, Frances Kam Yuet Wong, Marian Wong & Ella
Yeung (2000) Development of a Questionnaire to Measure the Level of Reflective Thinking,
Assessment & Evaluation in Higher Education, 25:4, 381-395; David Kember, McKay, J.,
Sinclair, K. & Wong, F.K.Y. (2008) A four-category scheme for coding and assessing the
level of reflectionin written work, Assessment & Evaluation in Higher Education,33 (4)p369-
379.
69
Jack Mezirow, How Critical Reflection triggers Transformative Learning dalam
Fostering Critical Reflection in Adulthood: A Guide to Transformative and Emancipatory
Learning, oleh J. Mezirow and Associates, 1990, Jossey Bass, 1- 20
70
James W Peltier, Amanda Hay, and William Drago. ―The Reflective Learning
Continuum: Reflecting on Reflection.‖ Journal of Marketing Education 27, no. 3 (December
2005): 250–63. doi:10.1177/0273475305279657.
46
pemahaman sebelumnya tentang mata pelajaran yang dipelajari. Karena itu, mereka
tidak mampu mengembangkan pemahaman iman yang cerdas dan matang.71
c. Reflection
Refleksi adalah bagian pertama dari dua komponen tingkat tinggi pada
kontinum pembelajaran reflektif. Bloom et al dalam Saeeda Shah menyebut refleksi
sebagai ruang untuk berpikir dan menganalisis.72 Menurut Jack Mezirow, selain
memahami materi, pembelajaran reflektif melibatkan secara kritis tentang apa yang
dipelajari.73 Melalui refleksi pelajar lebih memahami diri sendiri dan kemudian
memahami pembelajaran dengan lebih baik.74
Pada level reflection, pembelajaran sudah terkait dengan pengalaman pribadi
dan pengetahuan lain. Melibatkan asumsi yang menantang, mencari alternatif,
mengidentifikasi pembahasan untuk perbaikan, dan ada keterlibatan aktif dari
peserta didik dan biasanya menggunakan pendekatan pembelajaran yang mendalam
(deep learning).75
Reflection memiliki makna yang sama dengan Tafakkur. Asal kata Tafakkur
adalah فكرyang berarti merenung atau berpikir yang mendalam.76 Tafakkur juga
memiliki makna lain seperti berpikir mendalam, meditasi, berpikiran penuh,
kontemplasi, refleksi dan berpikir.77 Menurut Malik Badri, tafakkur adalah aktifitas
spiritual kognitif yang menggabungkan pemikiran rasional, emosi dan spiritual.78
71
Ayse Demirel Ucan. Improving the Pedagogy of Islamic Religious Education in
Secondary Schools: The Role of Critical Religious Education and Variation Theory.
Routledge, 2019, 3
72
Saeeda Shah. "Educational leadership: an Islamic Perspective." British
educational research journal 32.3 (2006): 363-385.
73
Jack Mezirow. 1991. Transformative dimensions of adult learning. (San
Francisco, CA: Jossey Bass), 105
74
Nyayu Khodijah. 2011. ―Reflective Learning Sebagai Pendekatan Alternatif
Dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Dan Profesionalisme Guru Pendidikan Agama
Islam‖. ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman 6 (1), 180-89.
75
James W Peltier, Amanda Hay, and William Drago. ―The Reflective Learning
Continuum: Reflecting on Reflection.‖ Journal of Marketing Education 27, no. 3 (December
2005): 250–63.
76
Jeremy Hanzel-Thomas, Introduction dalam Malik Badri, Contemplation: An
Islamic Psychospiritual Study, (London: IIIT, 2018), xii
77
Mamat I., Mukhtar M. (2017). A Book Review: Contemplation; An Islamic
Psychospiritual Study. International Journal of Education, Psychology and Counseling. 2(6),
258-267.
78
Jumal Ahmad. "Muhasabah Sebagai Upaya Mencapai Kesehatan Mental."
Research Gate (2018).
47
Peserta didik pada tahap refleksi sudah mulai menggunakan pendekatan belajar
mendalam (deep learning). Pendekatan (deep learning) menekankan pada
pemahaman dan mencari pemaknaan, mempelajari suatu konsep baru dan
menghubungkannya dengan pemahaman dan pengetahuan yang telah dimiliki.
Tahap ini merupakan proses pengolahan tingkat tinggi pada pemikiran seseorang
yang memungkinkan materi yang telah diterima diolah lebih mendalam sampai
terbentuk suatu pemahaman dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari, bukan semata-mata untuk dihafalkan saja. Aktivitas yang dilakukan
adalah analogi, menghubungkan dengan pengetahuan sebelumnya, berteori
mengenai apa yang telah dipelajari, mendapatkan keluasan pengetahuan.79
d. Critical Reflection
Refleksi kritis merupakan bentuk refleksi yang lebih intens. Mezirow
menjelaskan refleksi kritis sebagai proses yang membuat seseorang lebih
mengetahui mengapa ia merasakan berbagai hal, memutuskan dan memecahkan
penyelesaian.80 Munculnya transformasi perspektif adalah tujuan tertinggi dari
semua pembelajaran dan membantu mempersiapkan peserta didik dalam
pembelajaran seumur hidup, hal ini terjadi ketika pengalaman belajar individu
merangsang perubahan asumsi atau keyakinan dan akhirnya merubah perilaku.81
Critical reflection bersesuaian dengan Tada ̅ ur. Tada ̅ ur berasal dari kata
da ara yang memiliki arti melihat akibat sesuatu. Tada ̅ ur secara istilah adalah al-
nadharu fi awākhiril asyyā‟ wa al-ta‟a ̅ul fī a‟wāqibihā. Melihat akhir sesuatu dan
merenungkan konsekuensi akibatnya.82 Refleksi menjadi bagian terpenting dalam
praktik agama Islam. Secara eksplisit lebih dari 750 ayat dalam Al-Qur‘an mengajak
manusia untuk berpikir, merenung, merefleksikan dan mengobservasi,83 dan ada 30
redaksi berbeda dalam Al-Qur‘an yang menggunakan redaksi al-tadabbur dan al-
79
James W Peltier, Amanda Hay, and William Drago. ―The Reflective Learning
Continuum: Reflecting on Reflection.‖ Journal of Marketing Education 27, no. 3 (December
2005): 250–63.
80
Jack Mezirow. Transformative dimensions of adult learning. (San Francisco, CA:
Jossey Bass, 1991), 110
81
Peltier, James W., Amanda Hay, and William Drago. ―The Reflective Learning
Continuum: Reflecting on Reflection.‖ Journal of Marketing Education 27, no. 3 (December
2005): 250–63. doi:10.1177/0273475305279657.
82
Abdullah Musa Muhammad Abul Majd, Tadabbur Al-Quranul Kariim; al-
musthalah wal wasail wal ghayah, Al-Mu‘tamar Al-Alami Al-Awwal Li Tadabburil Quran:
2013, 7
83
Elma Berisha, The Qur'anic Semio-Ethics of Nature, Islam and Civilisational
Renewal, 8 (2017), 47-65
48
tafakkur.84 Pemahaman Tadabbur penting dalam proses berpikir kritis karena
berpikir kritis melibatkan refleksi apa yang diketahui dan bagaimana pengetahuan
itu dibenarkan.85
Refleksi adalah sebuah proses internalisasi nilai-nilai yang didapat dari
pengalaman-pengalaman belajar.86 Kaitannya dengan pendidikan Islam,
internalisasi dalam membentuk kultur religius merupakan proses dalam memahami,
menghayati, dan mendalami nilai-nilai pendidikan agama Islam dalam
mengatur kehidupan yang berhubungan dengan Allah (hablun minallah),
hubungan dengan sesama manusia (hablun minan nas), dan hubungan dengan
alam/lingkungan (hablun minal „alm).87 Maka pendidikan agama menyangkut
kehidupan manusia secara komprehensif, tidak hanya melengkapi peserta didik
dengan pemahaman agama dan perkembangan intelektual saja, tetapi menyentuh
kepribadian peserta didik itu sendiri, seperti membuat mereka terbiasa melakukan
perbuatan baik sesuai dengan ajaran agama, memiliki hubungan yang baik secara
vertikal (hubungan dengan Tuhan) maupun secara horizontal (hubungan dengan
ciptaan Tuhan lainnya), dan juga memahami diri mereka sendiri. Menanamkan nilai
religius diperlukan internalisasi yang menggabungkan kognitif dan afektif masuk ke
dalam hati peserta didik sehingga terbiasa untuk melaksanakan nilai-nilai ajaran
Islam. Internalisasi memberikan pemahaman yang mendalam tentang ajaran Islam
sampai pada taraf membentuk peserta didik menjadi manusia berkarakter dan
berperilaku baik.
Al-Qur‘an berulang kali menantang pembacanya untuk berpikir dan
merefleksikan ayat-ayat Allah. Manusia bukan pasif seperti Malaikat tetapi kreatif
karena sudah diberikan sesuatu yang sangat besar yaitu kemampuan berpikir. Ayat-
ayat yang diturunkan oleh Allah tidak hanya dibaca tetapi dipikirkan dan refleksi.
Ilmu pengetahuan dinilai sebagai jalan untuk mendekat kepada Allah karena (1) ilmu
pengetahuan sangat penting untuk perkembangan spiritual muslim dan (2) ilmu
84
Mohammad Hashim Kamali, Reading The Signs: A Quranics Perspective on
Thinking, Islam & Science, Vol. 4, No.2 (2006), 141-164
85
Nordin, Norfadelah, and Ahmad Tijani Surajudeen. "Islamic theoretical model for
critical thinking in teaching and learning of Islamic education." GSE E-Journal of Education
3 (2015): 34-44.
86
Wahyudi, A., & Huda, M. (2019). Internalization of Islamic Values for Students
with Special Needs in Special School Education Institutions (SLB). AL-HAYAT: Journal of
Islamic Education, 3(1), 90-97. doi:10.35723/ajie.v3i1.55
87
Rini Setyaningsih dan Subiyantoro. (2017). Kebijakan Internalisasi Nilai-nilai
Islam dalam Pembentukan Kultur Religius Mahasiswa. Edukasia: Jurnal Penelitian
Pendidikan Islam, 12(1), 66-71
49
pengetahuan dicari dengan proses aktif maka berpikir reflektif menjadi penting
untuk perkembangan spiritual muslim.88
Islam mendorong manusia berpikir kritis dan reflektif dengan bertanya dan
mencari jawaban sehingga merasa yakin dengan apa yang dijalankan. Islam
memiliki warisan yang kaya akan refleksi kritis sebagaimana dialog Ibrahim dengan
Allah tentang kekuasaan-Nya menghidupkan makhluk yang telah mati. Suatu saat
Ibrahim memperhatikan tubuh binatang yang membusuk, yang membuatnya
penasaran tentang kemungkinan kebangkitan manusia di akhirat. Ibrahim segera
mengangkat masalah ini kepada Allah, yang awalnya terkejut dengan pertanyaan itu,
langsung menantang Ibrahim dengan bertanya kepadanya apakah dia tidak memiliki
iman pada kekuatan-Nya. Segera, Ibrahim merespons dengan mengakui kepercayaan
kepada-Nya; Namun, dia menambahkan, 'Saya ingin memuaskan hati saya'. Ibnu
Abbas dalam Tafsir Ibnu Katsir mengatakan, Ibrahim mengambil kepala-kepala
burung itu dengan tangannya, kemudian Allah menyuruhnya untuk memanggil
burung-burung tersebut. Ibrahim segera memanggilnya sesuai perintah Allah. Maka
Ibrahim melihat bulu-bulu beterbangan menuju bulu-bulu lainnya, darah menuju ke
darah yang lain, daging ke daging yang lainnya, serta bagian tubuh masing-masing
burung itu berhubungan satu dengan lainnya dan masing-masing burung menjadi
satu kesatuan yang utuh. Lalu burung-burung itu mendatangi Ibrahim dengan
segera.89 Bukti itu menentramkan hati. Sekuat-kuatnya keimanan seseorang tetap
perlu meminta bukti kebenaran dan kemahakuasaan-Nya. Bukan karena tidak
percaya dan menentang-Nya, melainkan untuk menambah ketentraman hati.
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah
kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati". Allah
berfirman: "Belum yakinkah kamu?" Ibrahim menjawab: "Aku telah
meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)
Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu
cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-
tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah
mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera". Dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.90
Pernyataan Ibrahim sangat signifikan dan menggambarkan bahwa bertanya dan
mencari jawaban adalah sifat manusia dan bagian integral dari iman. Respon Allah
88
Jeremy Henzell-Thomas, Thinking Skills in Islamic Education, Islamica, Issue
15, 2006
89
Abdullah bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, (Bogor: Pustaka Imam Asy-
Syafi‘i, 2004), 266
90
Al-Qur‘an, Al-baqarah: 260, terj., Departemen Agama RI, ed.5, (Jakarta:
Departemen Agama, 2000)
50
terhadap Ibrahim secara eksplisit memberikan legitimasi atas mencari jawaban dan
rasionalitas. Allah tidak menolak permintaan Ibrahim, sebaliknya, Allah
memberikan contoh yang menggambarkan bagaimana Dia mampu membangkitkan
orang mati.91
Berpikir kritis, analitis dan reflektif telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad
ketika mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman. Muhammad bertanya kepadanya; "Apa
yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai Mu'adz?" "Kitabullah,"
jawab Mu'adz. "Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?",
Muhammad. "Saya putuskan dengan Sunnah Rasul." "Jika tidak kamu temui dalam
Sunnah Rasulullah?" "Saya pergunakan pikiranku untuk berijtihad, dan saya takkan
berlaku sia-sia," jawab Muadz. Maka berseri-seri wajah Rasulullah dan mengatakan
"Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai
yang diridhai oleh Rasulullah,".92
Berpikir kritis, analitis juga dicontohkan Nabi dan Sahabat dalam kisah Khabab
bin Munzir pada perang Badar. Suatu ketika sebelum perang Badar, Rasulullah dan
pasukannya hendak membuat base camp sebagai benteng pertahanan dan membuat
dapur umum. Setelah mendekati mata air, Rasulullah berhenti. Khabab bin Munzir
pun bertanya, ―Ya Rasulullah, apa alasan anda berhenti disini? Kalau ini sudah
wahyu dari Allah kita tidak akan maju atau mundur setapakpun dari tempat ini.
Ataukah ini sekedar pendapat anda sendiri sebagai taktik perang?‖. Rasulullah
menjawab, ―yang saya lakukan sekedar pendapat saya dan sebagai taktik perang‖
jawab Rasulullah. Khabab bin Munzir berkata lagi, ―Ya Rasulullah, kalau begitu
tidak tepat kita berhenti di tempat ini‖.93
Pada kisah Khabab tersebut terlihat bagaimana Sahabat mempertanyakan apa
yang dilakukan oleh Muhammad. Khabab menanyakan apakah strategi yang diambil
Muhammad merupakan ketetapan dari Allah, ataukah pendapat pribadi Muhammad.
Jika ketetapan dari Allah maka sebagaimana pernyataan Khabab: takkan maju atau
mundur. Sebaliknya, jika strategi tersebut datangnya dari Muhammad, maka
alangkah baiknya jika strategi tersebut di rubah. Muhammad menjawab bahwa
strategi tersebut adalah idenya. Khabab kemudian memberi tahu Nabi bahwa itu
bukan strategi yang baik. Dia menyarankan sebaiknya mereka menempati sumur
terdekat dengan tentara Quraisy dan memblokirnya. Muhammad setuju dengan saran
itu dan mengubah posisi tentara.
91
Abdullah Sahin. New Directions in Islamic Education: Pedagogy and Identity
Formation. (Markfield: Kube Publishing Ltd, 2013), 188
92
Asep Saepulah Muhtadi. Pribumisasi Islam: Ikhtiar menggagas fiqh kontekstual.
(Bandung: Pustaka Setia, 2005), 41
93
Zulkifli Mohd. Yusoff, Noor Naemah Abd. Rahman. Muhammad bin Abdullah:
Perjalanan Hidup Seorang Nabi, (Selangor: PTS Islamika Sdn. Bhd, Cet 5, 2011), 149
51
Menurut Tariq Ramadan, dalam memberikan ide kepada Muhammad, Khabab
bin Munzir mengikuti tiga prinsip. Pertama, mempertanyakan sumber keputusan
(source), apakah perintah dari Allah atau manusia? Jika perintah dari Allah Swt
maka patuh dan taat, namun jika dalam posisi Nabi sebagai manusia maka bisa
dipertanyakan. Kedua, mencoba memahami dan mengevaluasi keputusan
(intellectual attitude), apakah keputusan tersebut sesuai dengan logika. Ketiga,
mengajukan pertanyaan (questioning) untuk mengklarifikasi keraguannya. Tidak
bisa memahami jika tidak ada ruang untuk bertanya. Khabab dalam hal ini
mengajukan pertanyaan dalam otoritas Nabi sebagai komandan peperangan bukan
sebagai seorang Rasul. 94
Agama adalah domain ideologis penting pada masa remaja.95 Maka memahami
pengalaman keagamaan remaja adalah penting mengingat perkembangan identitas
substansial yang terjadi selama periode ini. Di Indonesia, domain agama memiliki
peran sentral dalam kehidupan warga negara dengan sila pertama Pancasila adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa. Para peneliti pun mengakui spiritualitas / religiusitas
sebagai domain penting pembentukan identitas sebagaimana pemikiran Erikson
tentang perkembangan psikososial manusia. Erikson menganggap bahwa ekspresi
agama dan spiritualitas berkontribusi membentuk identitas yang sehat.96
Menurut Encyclopedia Britannica, agama dapat dikatakan subyektif
setidaknya dalam dua pengertian. (1) praktik agama melibatkan pengalaman batin,
seperti perasaan Tuhan yang membimbing kehidupan penyembah. Di sini agama
melibatkan subjektivitas dalam arti pengalaman individu. (2) Agama juga dapat
dianggap subyektif karena kriteria kebenarannya diputuskan tidak jelas dan sulit
94
Tariq Ramadan, The Importance of Critical Thinking for Muslim Societies both
in the West and East, ISCAT 2015, Sakarya University, Turkey, Dipublikasikan tanggal 24
Mei 2015. https://youtu.be/2pdP8UNmU1Q [Youtube].
95
Galuh Prawitasari & Suwarjo. (2018). Promoting Interventions to Develop
Religous Identity of Secondary School Students. Couns-Edu: International Journal of
Counseling and Education, 3(4): pp. 140-146. DOI: https://doi.org/10.23916/0020180314640
96
Tevni E. Grajales & Brittany Sommers (2016) Identity Styles and Religiosity:
Examining the Role of Identity Commitment, Journal of Research on Christian Education,
25:2, 188-202, DOI: 10.1080/10656219.2016.1191394
52
didapat, sehingga tidak ada tes obyektif yang jelas.97 Penelitian ini menitik beratkan
pada pengertian agama dalam cakupan pengalaman individu.
Griffith & Griggs memaksudkan subjektivitas keagamaan sebagai kerangka
konseptual yang didefinisikan oleh eksplorasi dan komitmen dalam bidang
keagamaan.98 Peneliti lain, Cohen-Malayev et al mendefinisikan sebagai definisi diri
seseorang dan signifikansinya yang berasal dari agama dalam definisi diri
seseorang.99 Dimana pengkategorian James Marcia (diffusion, foreclosure,
moratorium dan achievement) digunakan untuk mendeskripsikan berbagai cara
orang beradaptasi dan menjalani keyakinan mereka.
Eksplorasi adalah periode dimana ada keinginan untuk berusaha mencari tahu,
menyelidiki berbagai pilihan yang ada dan aktif bertanya secara serius untuk
mencapai sebuah keputusan tentang tujuan yang akan dicapai, nilai dan keyakinan.
Komitmen adalah suatu periode dimana ada pembuatan pilihan yang relative tetap
mengenai aspek-aspek identitas seseorang dan terlibat dalam aktivitas yang secara
signifikan mengarah kepada pilihan yang sudah diambil.100 Berdasarkan proses
eksplorasi dengan mencari tahu, menyelidiki dan bertanya secara serius, remaja
membahas informasi keagamaan dan spiritual yang didapatkan dari keluarga dan
budaya, kemudian mencari keyakinan agama dan spiritual sendiri yang menuntun
berkomitmen berdasarkan perspektif mereka.
James E. Marcia, seorang psikolog di bidang klinis dan perkembangan, pada
tahun 1966 mengemukakan teori identity status, yaitu keadaan perkembangan ego
yang ditandai dengan ada atau tidaknya krisis dan komitmen. Teori ini merupakan
perkembangan dari dua gagasan Erik Erikson101 mengenai krisis dan komitmen
97
Encyclopedia Britannica, Study of religion, Encyclopædia Britannica, inc.
October 12, 2018. https://www.britannica.com/topic/study-of-religion. Diakses 21 Mei
2020.
98
Griffith, B. A., & Griggs, J. C. (2001). Religious identity status as a model to
understand, assess, and interact with client spirituality. Counseling and Values, 46(1), 14-24.
99
Cohen-Malayev, Maya, Elli P. Schachter, and Yisrael Rich. "Teachers and the
religious socialization of adolescents: Facilitation of meaningful religious identity formation
processes." Journal of adolescence 37, no. 2 (2014): 205-214.
100
Theo A. Klimstra & Lotte van Doeselaar, Identitif formation in adolsence and
young adulthood (2017), Personality Development Across the Lifespan, 293-308.
101
Erik Erikson mengidentifikasi delapan tahap perkembangan psikososial dalam
siklus kehidupan yang diselingi oleh konflik yang bersifat positif (syntonic) dan negatif
(dystonic) yaitu [1] Basic Trust vs. Mistrust (sejak lahir – 1 tahun), [2] Autonomy vs. Shame
and Doubt (usia 2-3 tahun), [3] Initiative vs. Guilty Feeling (usia 4-5 tahun), [4]
Industry/Productivity vs. Inferiority (usia 6 tahun – masa puberitas), [5] Identity vs. Role
Confusion (masa remaja), [6] Intimacy vs. Isolation (masa kedewasaan awal), [7]
Generativity vs. Stagnation (masa kedewasaan madya), [8] Ego Integrity vs. Despair (masa
dewasa akhir). Mc Leod, S. A. (2018, May 03). Erik Erikson's stages of psychosocial
53
yang merupakan dua elemen krusial untuk membentuk identitas diri. Krisis
merupakan masa ketika individu secara aktif terlibat dalam penentuan pekerjaan dan
kepercayaannya. Komitmen mengacu pada tingkata investasi individu terhadap
pekerjaan atau keyakinannya.102 Abdullah Sahin (2013) menggunakan mode
subjektivitas Marcia untuk mengetahui subjektivitas keagamaan remaja muslim di
UK dan Kuwait.103 Subjektivitas keagamaan dibedakan menjadi empat tipologi104
yaitu: diffusion, foreclosure, moratorium dan achievement.
a. Diffusion
Status identitas yang dikarakteristikkan oleh tidak adanya komitmen dan krisis
(tidak mengeksplor alternatif apapun). Individu hanya mengikuti alur hidupnya saja
dan sama sekali tidak melakukan eksplorasi dan tidak berkomitmen terhadap
apapun.
Diffusion adalah status individu yang tidak menunjukkan adanya eksplorasi,
seperti tidak memiliki ketertarikan pada agama dan kemungkinan mereka
berorientasi ekstrinsik pada agama mereka.105 Individu kurang berminat pada agama
dan tidak pernah benar-benar menjelajahi agama dan sedikit keinginan untuk
melaksanakan agama. Individu tidak berkomitmen pada serangkaian nilai dan tujuan
yang konsisten secara internal.106 Bisa jadi seseorang tidak tertarik identitas sama
sekali dan belum mengalami pencarian secara internal atau telah mencari makna dan
telah menemukan sumber identitas selain agama.107
b. Foreclosure
Status identitas dimana individu belum mengeksplor alternatif-alternatif lain
(belum melewati krisis), namun sudah berkomitmen berdasarkan rencana orang lain
54
untuk hidupnya. Individu hanya mengikuti keinginan orang tuanya saja, padahal
belum mengetahui apa yang sebenarnya ia inginkan.
Foreclosure menggambarkan individu yang sudah dapat membentuk komitmen
keagamaan dan juga dapat mengaplikasikannya. Namun mereka tidak melakukan
eksplorasi terhadap keagamaannya, sehingga komitmen yang dijalani tidak diiringi
dengan landasan yang jelas.108 Komitmen bukan berasal dari pencarian sendiri, tapi
pengaruh orang disekitarnya.109 pada kelompok masyarakat yang sangat religius,
individu memiliki banyak kesempatan mengadopsi identitas agama dengan
mudah.110
c. Moratorium
Status identitas dimana individu sedang melewati masa krisis dan akan
mengambil komitmen. Individu sedang menentukan apa yang akan dia lakukan dan
dia inginkan, setelah itu individu baru akan mengambil komitmen dari
keputusannya.
Karakteristik individu dengan status moratorium tidak menunjukkan adanya
komitmen keagamaan atau komitmennya didefinisikan secara kabur, dan bisa terus
menerus memperhatikan identitasnya.111 Pada level ini tekanan untuk menyesuaikan
diri mulai mereda dan individu mulai memeriksa diri sendiri dan mempertanyakan
siapa mereka dan apa yang mereka yakini. Refleksi diri yang dibimbing oleh
penyelidikan spiritual yang tulus, memberikan keberanian untuk mengakui dan
bergerak melampaui religiusitas yang mementingkan diri sendiri atau konformis.
Pada tahap ini mereka sedang dalam proses merumuskan dan menginternalisasi
kepercayaan spiritual. Menurut Sahin, moratorium bukan benar-benar status, tetapi
suatu proses eksplorasi dan pertanyaan yang diperlukan untuk munculnya identitas
yang dikonstruksi secara pribadi.112
d. Achievement
Status identitas yang dikarakteristikkan oleh komitmen yang diambil setelah
melewati masa krisis, yaitu periode yang dipakai untuk mengeskplor alternatif-
108
Griffith, B. A., & Griggs, J. C. (2001). Religious identity status as a model to
understand, assess, and interact with client spirituality. Counseling and Values, 46(1), 14-24.
109
Abdullah Sahin. New Directions in Islamic Education: Pedagogy and Identity
Formation. (Markfield: Kube Publishing Ltd, 2013), 87.
110
Abby Day (edt), Religion and the Individual: Belief, Practice, Identity, Ashgate
Publishing, Ltd., 2008, 136
111
Griffith, B. A., & Griggs, J. C. (2001). Religious identity status as a model to
understand, assess, and interact with client spirituality. Counseling and Values, 46(1), 14-24.
112
Abdullah Sahin. New Directions in Islamic Education: Pedagogy and Identity
Formation. (Markfield: Kube Publishing Ltd, 2013), 87
55
alternatif lain. Individu sudah menemukan apa tujuan, kemampuan atau
kepercayaannya, dan dapat berkotmitmen pada hal-hal tersebut.
Achievement menggambarkan individu yang telah mengalami krisis dan
membuat komitmen.113 Peneliti lain menggunakan kata integration sebagai
pengganti achievement dari Marcia untuk menghilangkan nilai-nilai implisit dari
berbagai teologi dan tradisi yang membentuk identitas agama.114
Status ini muncul setelah melalui periode bertanya dan mencari, kepercayaan
dan nilai-nilai agama menjadi terinternalisasi. Religiusitas terdorong secara internal
(intrinsik). Hidup diupayakan untuk menggapai sesuatu yang ideal, bukan untuk
menjaga diri, memenuhi kebutuhan, atau persetujuan dari orang lain. Keyakinan dan
pengalaman keagamaan diintegrasikan ke dalam nilai-nilai spiritual dengan
sungguh-sungguh. Agama dan spiritualitas diinternalisasi sepanjang hidup dan
menjadi pusat atau landasan semua pemikiran dan perbuatan. Setiap momen dijalani
sebagai kesempatan untuk mengenal dan berhubungan dengan Tuhan.115
Menurut Abdullah Sahin, status achievement bersifat fleksibel berbeda dengan
foreclosure yang rigid. Identitas yang dibangun sendiri dalam achievement muncul
sebagai superimposisi dari proses pengambilan keputusan pada identitas foreclosure.
Orang-orang dengan identitas foreclosure terjadi sebagai pemenuhan harapan orang
lain. Sementara individu dalam status identitas achievement terjadi sebagai
penciptaan mode yang relevan dengan diri sendiri.
Empat status Subjektivitas Keagamaan di atas, digambarkan dalam tabel
berikut ini.
Tabel 6 Ringkasan Empat Tipologi Subjektivitas Keagamaan
113
Griffith, B. A., & Griggs, J. C. (2001). Religious identity status as a model to
understand, assess, and interact with client spirituality. Counseling and Values, 46(1), 14-24.
114
Abby Day (edt), Religion and the Individual: Belief, Practice, Identity, Ashgate
Publishing, Ltd., 2008, 136
115
Griffith, B. A., & Griggs, J. C. (2001). Religious identity status as a model to
understand, assess, and interact with client spirituality. Counseling and Values, 46(1), 14-24.
56
Abdullah Sahin memperkuat psikososial pembentukan religiusitas dan
subjektivitas di atas dengan hadis Nabi Muhammad tentang tiga jenis tanah dalam
hal bagaimana seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan dan mengidentifikasi
religiusitas.116
Tanah yang menerima air hujan, menyerapnya dan kemudian
menghasilkan tanaman segar, mirip dengan status exploratory dan
achieved religiosity dimana seseorang mengeksplorasi keimanannya dan
mencari pengetahuan secara kritis dan reflektif dan memiliki komitmen.
Tanah yang hanya menyerap air hujan tanpa menghasilkan hasil apa pun,
mirip dengan status foreclosed religiosity dimana seseorang mendapatkan
ilmu pengetahuan tanpa mengkritisi, merefleksi atau merenungkannya.
Memiliki komitmen tetapi tidak ada eksplorasi.
Tanah kering, tidak produktif, dan tandus, mirip dengan status diffusion
dimana komitmen maupun eksplorasi keagamaan tidak ada.
Berikut teks hadis secara lengkap.
―Perumpanaan diriku diutus Allah membawa petunjuk dan ilmu adalah
seperti air hujan deras yang menyiram bumi. Di antara bumi itu ada yang
baik, ia menerima air kemudian menumbuhkan tanaman dan rerumputan.
(Di antara bumi itu) ada yang tidak subur, ia menahan air yang dengannya
Allah memberikan manfaat kepada manusia (untuk) minum, mengairi
(ladang) dan membajak tanah. Air hujan juga mengenai bagian bumi yang
lain, ia hanya sebuah dataran yang tidak menahan air dan tidak (pula)
menumbuhkan tanaman. Yang demikian itu adalah seperti orang yang
memahami agama Allah, dia mengambil manfaat atas apa yang Allah telah
mengutusku, dia mengetahui kemudian mengamalkannya. Dan demikianlah
orang yang tidak mengangkat kepalanya terhadap wahyu, dia tidak mau
menerima petunjuk yang Allah mengutusku untuk membawanya.‖.117
Perjalanan Nabi Ibrahim dalam membangun epistemologi tauhidnya
merupakan contoh bagaimana seseorang mencari identitas diri berkaitan
kepercayaan terhadap Tuhan dan membangun nalar kritis. Al-Qur‘an menjadikan
116
Abdullah Sahin. New Directions in Islamic Education: Pedagogy and Identity
Formation. (Markfield: Kube Publishing Ltd, 2013), 185-186. Imran Hussain Khan. 2015.
The Development of Leadership through Islamic Education: An Empirical Inquiry into
„Religiosity‟ and the Styles of „Educational Leadership‟ Experienced by Contemporary
Graduates of Muslim Institutes of Higher Education in the UK. Ph.D. Thesis, University of
Gloucestershire, Cheltenham, UK, 74
117
Bukhari dalam kitabul ilmi bab: Fadlu man „alima wa „allama, hadis no. 79 dan
Imam Muslim pada al Fadhail bab: Bayan Matsal ma bu‟itsa bihi an Nabiyu shallallahu
„alaihi wasallam min al Hudda wal „ilmi, hadis No. 2254
57
Nabi Ibrahim sebagai inspirasi transformatif dan spiritualistis dengan kemampuan
refleksi yang mendalam.118 Nabi Ibrahim membangun epistemologi tauhidnya
melalui sebuah proses dialektika. Cara Nabi Ibrahim dalam berfilsafat, yang dipotret
oleh Al-Qur‘an, mengantarkannya pada kesimpulan mengenai Tauhid sebagai
identitas. Dan dengan bangunan epistemologi tersebut, Nabi Ibrahim melakukan
kritik sosial dan menjadi pedoman bagi umat setelahnya.
Nabi Ibrahim banyak menemui orang-orang yang tidak memiliki kepercayaan
terhadap Tuhan, atau memiliki kekaburan identitas (identity diffusion) terhadap
kepercayaan ke-Tuhanan, terlihat dari perdebatan yang dilakukannya terhadap
orang-orang tersebut, mereka tidak dapat berdebat tentang konsep Tuhan dengan
Nabi Ibrahim.
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang
Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu
pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah yang
menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan
dan mematikan". Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan
matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat," lalu terdiamlah orang
kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.119
Ibrahim juga bertemu dengan orang yang hanya memiliki identitas pinjaman
(foreclosure), yang meniru apa yang dikatakan dan diperbuat orang lain, tanpa
meninjaunya secara kritis.
(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Patung-
patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?" (52) Mereka
menjawab: "Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya". (53).120
Ibrahim sebelum memiliki keyakinan penuh terhadap Tuhannya, mengalami
perjalanan perdebatan yang panjang berupa penangguhan identitas (moratorium
identity) ketika sedang mencari identitas diri. Pencarian jati diri yang ditempuh
Ibrahim yakni ketika berada di tengah hutan belantara seorang diri. Ia berusaha
mencari Tuhannya karena merasa tidak puas dengan aksi penyembahan berhala yang
dilakukan oleh ayah dan kaumnya. Ia melihat bintang, bulan, dan matahari datang
silih berganti. Ketika melihat bintang di tengah malam pekat, dikiranya itulah
Tuhan. Begitu pula saat melihat bulan purnama di malam hari. Namun, Ibrahim
118
Abdullah Sahin, Critical Faithfulness, Muslim World Book Review, 35:4 (51-56)
(2015).
119
Al-Qur‘an, Al-baqarah: 258, terj., Departemen Agama RI, ed.5, (Jakarta:
Departemen Agama, 2000)
120
Al-Qur‘an, Al-anbiya‘: 52-53, terj., Departemen Agama RI, ed.5, (Jakarta:
Departemen Agama, 2000)
58
tidak puas sebab bintang dan bulan tersebut akhirnya tenggelam ketika siang hari.
Saat melihat matahari memancarkan sinarnya di siang hari, awalnya ia mengira
itulah Tuhan. Namun, dari lubuk hati yang terdalam, Ibrahim menolak sebab
matahari pun tenggelam pada malam hari.
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan
(Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar
dia termasuk orang yang yakin. (75) Ketika malam telah gelap, dia melihat
sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu
tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam". (76)
Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi
setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak
memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat". (77)
Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini
yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai
kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.
(78).121
Setelah melewati konflik dan perdebatan yang panjang. Ibrahim meraih
pencapaian identitas (identity achievement), Ibrahim benar-benar menemukan
Tuhannya di dalam hati, yakni Tuhan pencipta alam. Ibrahim yakin terhadap ke-
Esaan Tuhan dan memilihnya sebagai identitas pribadinya meskipun orang lain
mendebatnya dengan berbagai cara.
Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan
langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku
bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (79) Dan
dia dibantah oleh kaumnya. Dia berkata: "Apakah kamu hendak membantah
tentang Allah, padahal sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk
kepadaku". Dan aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-
sembahan yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali di kala Tuhanku
menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu. Pengetahuan Tuhanku meliputi
segala sesuatu. Maka apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya)?(80).122
Wajar jika Nabi Ibrahim menjadi Bapak para Nabi. Landasan Tauhid diperoleh
tidak secara doktriner, melainkan filosofis dan melalui cara berpikir yang jujur. Nabi
Ibrahim melalukan kritik epistemologi atas cara berpikir masyarakat yang
121
Al-Qur‘an, Al-an‘am: 75-78, terj., Departemen Agama RI, ed.5, (Jakarta:
Departemen Agama, 2000)
122
Al-Qur‘an, Al-an‘am: 79-80, terj., Departemen Agama RI, ed.5, (Jakarta:
Departemen Agama, 2000)
59
memandang tuhan pada basis material. Nabi Ibrahim melakukan penelusuran pada
cara berpikir tersebut dengan melihat keadaan alam.
Pada waktu itu, simbolisasi tuhan melalui apa yang ada di alam menjadi cara
berpikir common sense pada umatnya. Nabi Ibrahim menelusuri Bulan, Bintang, dan
Matahari dan mencoba mengidentifikasinya sebagai tuhan. Akan tetapi, semuanya
terbit dan tenggelam, tidak mencerminkan sifat-sifat ketuhanan yang seharusnya
menjadi pengayom. Pada titik inilah, Nabi Ibrahim bertemu dengan Tauhid
immaterial, tidak bersekutu apapun yang tampak, dan dengan demikian pasrah
padanya.
Proses pencarian identitas diri juga dilakukan Muhammad ketika melakukan
tahanuts atau khalwat yakni mengasingkan diri dari keramaian di Gua Hira. Pada
saat itulah Muhammad mencerminkan kepribadian Ibrahim yang sedang melakukan
pencarian, siapa Tuhan yang sebenarnya. Muhammad melakukan kontemplasi atau
perenungan mendalam, karena masyarakat Arab Jahiliyah semakin gila dalam
kehidupannya sehari-hari. Penyembahan berhala semakin merajalela, kebobrokan
moral semakin melebar, dan sebagainya. Maka guna menghindari dan merenungkan
kejadian atau peristiwa itu, Muhammad mengasingkan diri di Gua Hira. Akhirnya,
setelah melalui proses panjang, Allah mengutus malaikat Jibril untuk memberikan
wahyu kepada Muhammad, sekaligus menjadikan utusan-Nya yang terakhir.123
123
Saeeda Shah. "Educational leadership: an Islamic Perspective." British
educational research journal 32.3 (2006): 363-385.
60
BAB III RELIGIUSITAS DAN REFLEKSI MAHASISWA
Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan (FITK) adalah salah satu fakultas tertua
yang ada di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. FITK bermula dari Jurusan
Pendidikan Agama pada Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) yang berdiri pada 1
Juni 1957. Ketika ADIA di Jakarta dan PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri) di Yogyakarta digabung menjadi IAIN Al-Jami‘ah al-Islamiyah al-
Hukumiyah pada tahun 1960, IAIN Cabang Jakarta diserahi tugas mengelola
Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Adab. Sementara IAIN di Yogyakarta diberi tugas
mengelola Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Syariah.
Pada saat didirikan, Fakultas Tarbiyah memiliki tiga jurusan, yaitu Jurusan
Pendidikan Guru Agama, Jurusan Pendidikan Guru Bahasa Arab, dan Jurusan
Khusus (Imam Tentara). Jurusan terakhir ini yang juga disebut Jurusan Da‘wah wal
Irsyad, bergabung dengan Fakultas Ushuluddin ketika fakultas ini didirikan pada
tahun 1962. Pada perjalanan selanjutnya, Fakultas Tarbiyah mengalami berbagai
perubahan, terutama dalam jumlah dan nomenklatur jurusan. Jurusan Paedagogi
misalnya, dulu sempat hadir dan kemudian ditiadakan. Demikian juga dengan
jurusan-jurusan pendidikan Matematika, IPA, IPA, dan Bahasa Indonesia yang
dikembangkan pada awal tahun 1980-an dengan nama jurusan Tadris, dihentikan
pada tahun 1986 dengan tidak diperbolehkan menerima mahasiswa baru. Akan
tetapi, karena desakan kebutuhan di lapangan, jurusan-jurusan tersebut
dikembangkan lagi pada dekade 1990-an. Perubahan IAIN menjadi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta di Tahun 2002 berimplikasi pada pengembangan jumlah
Jurusan dan Program Studi baru. Bahkan sejak tahun 2009, FITK mendapat mandat
untuk menyelenggarakan program pendidikan S2, seiring dengan tuntutan linieritas
penyelenggaraan Program Pasca Sarjana.
Saat ini, jurusan dan program studi yang dimiliki FITK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta adalah sebagai berikut: Jurusan Pendidikan Agama Islam,
Jurusan Pendidikan Bahasa Arab, Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Jurusan
Pendidikan Matematika, Jurusan Pendidikan IPA, dengan 3 program Studi, Program
Studi Pendidikan Biologi, Program Studi Pendidikan Fisika, dan Program Studi
Pendidikan Kimia, Jurusan Studi Manajemen Pendidikan, Jurusan Pendidikan Guru
61
Madrasah Ibtidaiyyah, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Jurusan Pendidikan Guru Raudhatul Athfal.
Sedangkan program Magister yang ada di FITK meliputi: Magister Manajemen
Pendidikan Islam, Pendidikan Bahasa Inggris, Pendidikan Bahasa Arab, dan
Pendidikan Agama Islam.1
Visi
Abudin Nata menyatakan visi merupakan gambaran keinginan dan cita-cita
masa depan yang mengandung keunggulan dan menantang. Visi harus singkat dan
padat, sehingga mudah diingat.2 Dalam hal ini, visi merupakan sumber motivasi,
inspirasi, mencerahkan, serta mengarahkan sebuah kegiatan kepada keinginan yang
hendak dicapai dalam mendirikan suatu lembaga pendidikan. Visi dari Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan adalah ―Menjadi LPTK yang unggul, kompetitif, profesional
dengan mengintegrasikan keilmuan, keislaman, kemanusiaan dan keindonesiaan‖.
Misi
Misi seperti dinyatakan oleh Abudin Nata merupakan pekerjaan atau tugas
yang harus dilakukan dalam rangka mencapai visi yang telah ditetapkan.3 Dengan
demikian, misi dapat diartikan sebagai langkah-langkah kongkrit yang dilakukan
untuk mencapai visi yang telah ditetapkan.
Misi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan adalah:
1. Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran berwawasan riset.
2. Melaksanakan penelitian dan pengembangan keilmuan untuk menghasilkan
karya inovasi di bidang pendidikan.
3. Mengembangkan pengabdian kepada masyarakat melalui pembinaan
pemberdayaan madrasah/sekolah.
4. Mengembangkan komitmen dan budaya akademik bagi para sivitas
akademika.
5. Mengembangkan layanan berbasis teknologi informatika/ICT
6. Mengembangkan jenjang dan kemitraan dengan berbagai lembaga nasional
maupun internasional.
7. Melaksanakan evaluasi kinerja kelembagaan secara berkelanjutan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki motto knowledge, piety, integrity
yang mencerminkan keislaman dalam kehidupan sehari-hari. Knowledge
1
UIN Jakarta, Tentang Fakultas, https://fitk.uinjkt.ac.id/tentang-fakultas/ (diakses
pada 12 Mei 2020)
2
Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2016), 36
3
Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2016), 38-39
62
mengandung arti bahwa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki komitmen
menciptakan sumber daya insani yang cerdas, kreatif dan inovatif. Piety
mengandung pengertian bahwa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki komitmen
mengembangkan inner quality dalam bentuk kesalehan di kalangan sivitas
akademika. Dan integrity mengandung pengertian bahwa sivitas akademika UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan pribadi yang menjadikan nilai-nilai etis
sebagai basis pengambilan keputusan dan perilaku sehari-hari.4
Peran perguruan tinggi sangat penting dalam membangkitkan kesadaran
identitas keagamaan dan munculnya pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang diri
(self) dan masyarakat, termasuk di dalamnya pertanyaan tentang tempat dan peran
agama dalam masyarakat tersebut.5
4
Muhyar Fanani, Sholihan dan Karnadi, Transformasi Paradigma dan Implikasinya
pada Desain Kurikulum Sains: Studi atas UIN Syarif Hidayatullah, UIN Sunan Kalijaga, dan
UIN Maliki, (Semarang: IAIN Walisongo, 2014), 89-90
5
Muhammad Khalid Masud, ―Religious Identity and Mass Education‖, dalam Johan
H. Meuleman (ed), Islam in the Era Globalization, Muslim Attitudes Towards Modernity and
Identity” (Jakarta: INIS, 2001), h. 233-245
63
Diagram 1.3 Subjek Penelitian berdasarkan jenis kelamin
Laki-laki
22%
Laki-laki
Perempuan
Perempuan
78%
6
Fakta Data, Perguruan Tinggi Negeri Lebih Didominasi Mahasiswi. Sumber
https://faktadata.com/statistik/perguruan-tinggi-negeri-lebih-didominasi-mahasiswi (diunduh
tanggal 13 Desember 2019)
7
P. Krismastono Soediro (2016), ―Mengapa Mahasiswi Lebih Banyak Daripada
Mahasiswa?‖ dalam Majalah Parahyangan Edisi 2016 Kuartal IV/ Oktober-Desember Vol.
III No. 4. H. 8-9
64
dengan kodrat perempuan yang nantinya akan mengasuh anak-anaknya. Selain itu,
profesi guru dianggap mulia dan terhormat di mata masyarakat Indonesia karena
pekerjaan mendidik dianggap membuat anak menjadi pintar.8
Jurusan adalah bagian dari suatu fakultas atau sekolah tinggi yang bertanggung
jawab untuk mengelola dan mengembangkan suatu bidang studi.9 Bidang studi di
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Jakarta yang menjadi responden
dalam penelitian ini ada 5 jurusan yaitu Pendidikan Agama Islam, Pendidikan
Bahasa Arab, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Pendidikan Matematika, dan
Pendidikan IPA Biologi. Masing-masing jurusan mendapatkan responden seperti
terlihat pada diagram berikut.
Diagram 2.3 Subjek penelitian berdasarkan jurusan
Pendidikan IPA
Biologi
15%
Pendidikan Agama
Islam
27%
Pendidikan
Matematika
18%
Dari diagram di atas dapat dilihat bahwa responden mahasiswa yang dijadikan
sampel sebanyak 27% (38 orang) dari jurusan Pendidikan Agama Islam, 20% (28
orang) dari jurusan Pendidikan Bahasa Arab, 20% (29 orang) dari jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, sebanyak atau 18% (26 orang) dan 15%
(21 orang) dari jurusan Pendidikan IPA Biologi. Dari sekian jurusan, PAI
8
Zainal Abidin, Kecenderungan Mahasiswa memilih Prodi Tarbiyah dan Minat
menjadi Guru Periode Akademik 2012-2013, SUHUF, Vol. 26, No. 1, Mei 2014: 67-84
9
KBBI, Jurusan, https://kbbi.kata.web.id/jurusan/ (diakses pada 09 Mei 2020)
65
(Pendidikan Agama Islam) merupakan jurusan tertua dan paling banyak diminati
oleh mahasiswa.10
10
UIN Jakarta, Inilah 5 Prodi Favorit SBMPTN di UIN Jakarta,
https://www.uinjkt.ac.id/id/inilah-5-prodi-favorit-sbmptn-di-uin-jakarta/ diakses pada 09 Mei
2020
11
Babun Suharto, Marketing Pendidikan; Menata Ulang PTKI Menghadapi Pasar
Bebas ASEAN, (Yogyakarta: PT. Lkis Pelangi Aksara, 2016), 20
12
Samsul Nizar, et al.Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di
Nusantara, (Jakarta: Fajar Interpratama Mandiri, 2013), 343
66
Diagram 3.3 Subjek penelitian berdasarkan Pendidikan Sebelumnya
Pesantren
23% Sekolah
Menengah Atas
44%
Madrasah Aliyah
33%
67
Diagram 4.3 Subjek penelitian berdasarkan pekerjaan orang tua
TNI/Polri Petani
Guru 1% 7%
14% Petani
Pedagang Pedagang
16%
PNS
Swasta
PNS
9% Guru
Swasta
TNI/Polri
53%
Mengetahui intensitas ibadah salat rutin (wajib) dan tambahan (sunnah) dan
interaksi dengan Al-Qur‘an menjadi bagian penting dalam penelitian ini untuk
mengetahui gambaran kesalehan responden.
UIN Jakarta memiliki dua buah masjid. Pertama, Masjid Fathullah yang terdiri
dari dua lantai. Kedua, Masjid Al-Jami‘ah yang terintegrasi dengan Student Center,
juga terdiri dari dua lantai. Dengan adanya dua masjid di atas, UIN Jakarta
mengembangkan kultur menunaikan salat berjamaah di masjid kampus yang diikuti
13
Nur Syam, Konversi IAIN ke UIN, http://nursyam.uinsby.ac.id/?p=981 (diakses
14/12/2019)
68
seluruh dosen, karyawan dan mahasiswa. Pada kesempatan setelah salat berjamaah,
diselenggarakan kuliah 7-10 menit (kultum) yang disampaikan oleh seorang dosen
atau bahkan mahasiswa. Khutbah dalam shalat Jum‘at di masjid Al-Jami‘ah
dilaksanakan dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris.14
Sebagai mahasiswa di perguruan tinggi Islam, salat fardhu lima waktu saja
tidak cukup untuk amalan sehari-hari. Islam juga mengajarkan salat sunnah rawatib
yang mengiringi salat wajib. Ketika diajukan pertanyaan kepada responden ‗saat ini,
ketaatan saya terhadap ibadah salat‘ digambarkan dalam diagram berikut.
Diagram 5.3 Ketaatan Ibadah Salat
hanya salat
wajib
16%
salat wajib
teratur salat
sunah sesekali
66%
14
UIN Jakarta, Pedoman Akademik 2015-2016 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 28
69
dan salat sunah sesekali, kemudian 16% mengaku hanya melaksanakan salat wajib
tanpa salat sunnah, 11% mengaku salat wajib dan salat sunnah teratur dan hanya 7%
yang mengaku salat wajib sering terlewatkan.
15
Lajnah Kemenag RI, ―Menakar Kemampuan Baca Tulis Al-Qur‘an Mahasiswa
UIN‖ dari https://lajnah.kemenag.go.id/berita/513-menakar-kemampuan-baca-tulis-al-qur-
an-mahasiswa-uin (diakses 31 Desember 2019)
16
Kementrian Agama RI, ―Indeks Kemampuan Baca Al-Quran Mahasiswa UIN
Malang Tertinggi‖ dari https://kemenag.go.id/berita/read/511960/indeks-kemampuan-baca-
al-quran-mahasiswa-uin-malang-tertinggi- (diakses 14 Desember 2019)
70
Diagram 6.3 Interaksi dengan Al-Qur‘an
Membaca
alquran jarang Membaca
sekali Alquran setiap
11% hari
33%
Membaca
Alquran kadang-
kadang
56%
71
dibawah 0,05, maka butir pertanyaan tersebut dinyatakan valid. Nilai validitas
masing-masing butir pernyataan dapat dilihat pada nilai Corrected Item-Total
Correlation masing-masing butir pernyataan. Hasil korelasi product moment
menunjukkan dari 32 item pernyataan kuesioner religiusitas, terdapat 1 item yang
tidak signifikan yaitu item IMAN8 yang berbunyi ‗pendayagunaan akal dengan
maksimal akan menemukan kebenaran walau tanpa bimbingan wahyu‘. Item ini
tidak valid bisa jadi karena pernyataan yang dibuat kurang jelas sehingga membuat
responden bingung memilih jawaban yang mana. Tabel hasil pengujian validitas
butir menggunakan piranti lunak SPPS versi 22 dapat dilihat pada lampiran 3.
Uji kualitas data selanjutnya yaitu uji reliabilitas. Uji ini dilakukan dengan
melihat besaran koefisien Cronbach‟s Alpha. Skala pengukuran dikatakan reliabel
bila nilai Cronbach‘s Alpha > 0,60. Menurut Basuki dan Hariyanto, jika nilai
Cronbach's Alpha 0,60 dan kurang dari 1, maka instrumen tersebut memiliki korelasi
tinggi atau reliabel, sedangkan jika nilai Cronbach's Alpha di bawah 0,50 ke bawah,
maka instrumen tersebut berkorelasi rendah atau tidak reliabel.17
Tabel 7.3 Hasil Uji Reliabilitas
No Dimensi Item Koefisien Alpha Keterangan
1. Islam 10 0,73 Reliabel
2. Iman 10 0,60 Reliabel
3. Ihsan 11 0,72 Reliabel
4. Islam, Iman, Ihsan 31 0,85 Reliabel
Sumber: Data primer diolah, 2019
Tabel 6.3 menunjukkan hasil uji reliabilitas dengan 31 item yang valid
menghasilkan nilai cronbach‟s alpha yang reliabel. Nilai cronbach‟s alpha dimensi
Islam sebesar 0,73, dimensi Iman sebesar 0,60 dan dimensi Ihsan sebesar 0,72 dan
dimensi religiusitas secara keseluruahan sebesar 0,85. Meskipun mendapatkan nilai
korelasi yang tinggi, masih terdapat kelemahan korelasi product moment untuk
menguji validitas. Pertama, dalam korelasi, yang diperhitungkan adalah varian total.
Koefisien determinan diperoleh dari varian total, sehingga tidak benar-benar
menggambarkan konstruknya. Kedua, skor konstruk diperoleh dengan cara
menjumlahkan skor semua variabel tanpa memedulikan bobot masing-masing
variabel, padahal dalam memperoleh nilai variate suatu konstruk, bobot variabel
anggotanya perlu diperhatikan.18 Guna mengatasi kedua kelemahan ini peneliti
17
Zaenal Arifin, Kriteria Instrumen dalam suatu Penelitian. Jurnal THEOREMS
(The Original Research of Mathematics). Vol. 2 No. 1, Juli 2017, 28-36
18
Bilson Simamora, Analisis Validitas dan Reliabilitas. Sumber:
https://www.bilsonsimamora.com/analisis-validitas-dan-reliabilitas/ (diakses 18 Desember
2019)
72
menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) dengan aplikasi AMOS untuk
mengonfirmasi apakah variabel-variabel yang telah dispesifikasi sebelumnya
tergabung dalam satu faktor atau konstruk.19 Penelitian ini menggunakan bantuan
aplikasi AMOS 22.
Kriteria yang digunakan untuk kecocokan model pengukuran atau evaluasi
validitas konstrak adalah loading factor dan besarnya t-value. Sebuah item
dikategorikan valid apabila memiliki nilai loading factor lebih besar dari 0,3 dengan
kriteria minimum. Kriteria validitas ini mengacu pada pendapat Hair, Black, Babin,
Anderson, & Tatham yang menyatakan bahwa ―factor loadings ± 0,3 to 0.4 are
minimally acceptable‖.20 Hal ini juga diungkapkan oleh Hair berdasarkan jumlah
sampel seperti dalam tabel berikut.
Tabel 8.3 Identifikasi Loading Factor berdasarkan jumlah sampel
19
Minto Waluyo, Mudah Cepat Tepat Penggunaan Tools Amos dalam Apliksi
(SEM), (UPN "Veteran"Jawa Timur), 7
20
Joseph F. Hair Jr, Willian C. Black, Barry J. Babin and Rolph E. Anderson..
Multivariate Data Analysis (7th ed.). (New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2010), 117
21
Donna Harrington. 2009. Confirmatory Factor Analysis, Pocket Guides to Social
Work Research Methods. Oxford University Press, 10
73
Kecocokan Model merupakan tahap dalam menentukan derajat kecocokan diterima
atau tidak diterimanya suatu model.22
Menurut Ghozali dan Fuad, ada beberapa kriteria kecocokan model yang sering
digunakan yaitu: p-value, normed chi-square (X2/df), RMSEA (Root Mean Square
Error of Approximation), GFI (Goodness-of-Fit Index), NFI (Normed Fit Index),
AGFI (Adjusted Goodness Of Fit Index), TLI (The Tucker-Lewis Coefficient) dan
CFI (Comparative Fit Index) yang dibaca dari hasil output AMOS.23
1. Statistik Chi-Square (X2)
Chi Square statistik merupakan alat ukur yang paling penting dalam menguji
model keseluruhan. Uji kecocokan ini mengukur seberapa dekat antara implied
covariance matrix (matriks kovarians hasil prediksi) dan sample covariance
matrix (matriks kovarians dari sampel data). P-value diharapkan bernilai lebih
besar sama dengan 0,05.
22
Wijanto, Setyo Hari. "Structural equation modeling dengan Lisrel 8.8: konsep dan
tutorial." Yogyakarta: Graha Ilmu 3.1 (2008): 40-45.
23
Imam Ghozali, Fuad. Structural equation modeling: Teori, konsep, dan aplikasi
dengan program Lisrel 8.80. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2008, 29 – 34
74
5. AGFI (Adjusted Goodness Of Fit Index)
AGFI merupakan pengembangan dari GFI yang telah disesuaikan dengan
rasio dari derajat bebas. Nilai AGFI berkisar antara 0 sampai 1 dan nilai AGFI ≥
0,90 dapat diakatakan good fit. Sedangkan 0,80 ≤ GFI ≤ 0,90 disebut sebagai
marginal fit.
a. Dimensi Islam
24
Siswoyo Haryono dan Parwoto Wardoyo, Structural Equation Modelling untuk
Penelitian Manajemen Menggunakan AMOS 18.00, (Bekasi: Intermedia Personalia Utama,
2012), 98
25
Minto Waluyo, Mudah Cepat Tepat Penggunaan Tools Amos dalam Apliksi
(SEM), (UPN "Veteran"Jawa Timur), 11
75
Berdasarkan hasil analisis, terdapat indikator yang menujukkan hasil baik
dengan nilai C.R > 1,96 dan nilai Standardized Loading Estimate > 0,45 yaitu
ISLAM 3, ISLAM 5, ISLAM 6, ISLAM 7, ISLAM 9, ISLAM 10. Dan indikator
yang tidak baik karena nilai C.R < 1,96 dan nilai Standardized Loading Estimate <
0,45 yaitu ISLAM1, ISLAM2, ISLAM4, ISLAM8. Koefisien muatan faktor untuk
item pengukuran dimensi Iman disajikan di tabel 9.3.
Tabel 9.3 Uji Validitas Konvergen Dimensi Islam Tahap 1
Standardized
P-
No. Item Estimate Regression S.E. C.R. Ket
Value
Weights
ISLAM 1 1,000 .319
ISLAM 2 2,690 .401 .935 2,878 .004
ISLAM 3 4,725 .632 1,412 3,347 ***
ISLAM 4 2,063 .395 .722 2,857 .004
ISLAM 5 5,070 .762 1,461 3,471 ***
ISLAM 6 2,933 .475 .953 3,077 .002
ISLAM 7 3,552 .650 1,055 3,368 ***
ISLAM 8 .183 .022 .774 .237 .813
ISLAM 9 4,213 .702 1,231 3,422 ***
ISLAM 10 4,261 .544 1,325 3,216 .001
Sumber: data primer diolah, 2019
Indikator yang tidak memenuhi kriteria didrop, artinya bobot nilai pada item
tersebut tidak akan dianalisis dalam penghitungan faktor skor dan menghasilkan
nilai sebagai berikut.
Tabel 10.3 Uji Validitas Konvergen Dimensi Islam Tahap 2
Standardized
P-
No. Item Estimate Regression S.E. C.R. Ket
Value
Weights
ISLAM 3 1,000 .636
ISLAM 5 1,056 .754 .157 6,739 ***
ISLAM 6 .609 .469 .130 4,690 ***
ISLAM 7 .738 .641 .122 6,054 ***
ISLAM 9 .905 .717 .138 6,541 ***
ISLAM 10 .903 .547 .169 5,346 ***
Sumber: data primer diolah, 2019
Tabel 10.3 menunjukkan ada 6 variabel teramati atas variabel laten Islam telah
lolos uji validitas, karena telah memenuhi syarat yaitu nilai loading factor ≥ 0.45.
Sedangkan uji reliabilitas variabel Islam menghasilkan nilai yang baik. Dapat dilihat
dari nilai t-value ≥ 1,96, sehingga variabel Islam memiliki konsistensi yang baik.
Keenam item yang ada bersifat unidimensional artinya benar hanya mengukur
76
dimensi Islam saja, melalui uji CFA diperoleh nilai Chi-Square= 12,594, df=9 dan
RMSEA 0,53.
Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa konstruk yang digunakan untuk
membentuk sebuah model penelitian pada proses analisis faktor konfirmatori sudah
memenuhi goodness of fit yang telah ditetapkan. Hasil uji kecocokan model yang
lain seperti GFI= 0,973, AGFI= 0,936, CFI= 0,983, NFI= 0,944 dan TLI= 0,972
memperlihatkan nilai ≥ 90 sehingga model dinyatakan fit.
b. Dimensi Iman
Standardized
No. Item Estimate Regression S.E. C.R. P-Value Ket
Weights
IMAN 1 1,000 .490 *** *** ***
IMAN 2 .678 .289 .260 2,606 .009
IMAN 3 .774 .354 .254 3,048 .002
IMAN 4 1,264 .663 .293 4,315 ***
IMAN 5 .428 .167 .267 1,606 .108
IMAN 6 .558 .209 .283 1,970 .49
IMAN 7 .780 .390 .239 3,265 .001
IMAN 8 -0,82 -.031 .261 -0,313 .754
IMAN 9 1,172 .505 .305 3,845 ***
IMAN 10 1,127 .573 .275 4,099 ***
Sumber: data primer diolah, 2019
Standardized
No. Item Estimate Regression S.E. C.R. P-Value Ket
Weights
IMAN 1 1,000 .464 *** *** ***
IMAN 4 1,428 .709 .389 3,669 ***
77
Standardized
No. Item Estimate Regression S.E. C.R. P-Value Ket
Weights
IMAN 9 1,195 .487 .305 3,602 ***
IMAN 10 1,102 .530 .306 4,099 ***
Sumber: data primer diolah, 2019
Berdasarkan hasil analisis yang disajikan tabel 12.3, seluruh indikator yang
tersisa sudah memenuhi validitas konvergen, yaitu C.R. > 1,96 dan nilai Loading
Factor atau Standardized Loading Estimate > 0,45. Tabel di atas juga menunjukkan
ada 4 variabel teramati atas variabel laten Iman telah lolos uji validitas, karena telah
memenuhi syarat yaitu nilai loading factor ≥ 0.45. Sedangkan uji reliabilitas
variabel Iman menghasilkan nilai yang baik. Dapat dilihat dari nilai t-value ≥ 1,96,
sehingga variabel Iman memiliki konsistensi yang baik. Keenam item yang ada
bersifat unidimensional artinya benar hanya mengukur dimensi Islam saja, melalui
uji CFA diperoleh nilai Chi-Square= 1,556, df=2 dan RMSEA 0,000
Kriteria absolute fit measures dapat dilihat dari nilai GFI sebesar .995, nilai ini
sudah memenuhi kriteria yaitu di atas 0,90. Adapun kriteria berdasarkan incremental
fit measures, dapat ditinjau dari nilai GFI, AGFI, CFI, TLI, dan NFI. Nilai AGFI
sebesar 0,97, nilai CFI sebesar 0,97, nilai TLI sebesar 1,023 dan nilai NFI sebesar
0,976, secara umum model sudah fit.
c. Dimensi Ihsan
Standardized
No. Item Estimate Regression S.E. C.R. P-Value Ket
Weights
IHSAN 1 1,000 .409
IHSAN 2 1,203 .490 .331 3,639 ***
IHSAN 3 1,487 .579 .394 3,776 ***
IHSAN 4 1,391 .512 .388 3,585 ***
IHSAN 5 .467 .181 .267 1,752 .080
IHSAN 6 1,490 .553 .394 3,782 ***
IHSAN 7 1,052 .466 .308 3,420 ***
IHSAN 8 1,345 .452 .394 3,417 ***
78
Standardized
No. Item Estimate Regression S.E. C.R. P-Value Ket
Weights
IHSAN 9 1,150 .359 .388 2,964 .003
IHSAN 10 .425 .138 .309 1,374 .170
IHSAN 11 1,371 .562 .360 3,806 ***
IHSAN 12 1,939 .535 .528 3,674 ***
Sumber: data primer diolah, 2019
Standardized
No. Item Estimate Regression S.E. C.R. P-Value Ket
Weights
IHSAN 2 1,000 .366
IHSAN 3 1,561 .546 .474 3,293 ***
IHSAN 4 1,685 .557 .622 2,706 .007
IHSAN 6 1,358 .452 .493 2,757 .006
IHSAN 7 1,162 .463 .389 2,985 .003
IHSAN 8 1,441 .531 .430 3,353 ***
IHSAN 11 2,276 .564 .851 2,675 .007
IHSAN 12 1,348 .407 .496 2,720 .007
Standardized
No. Item Estimate Regression S.E. C.R. P-Value Ket
Weights
IHSAN 3 1,000 .648
IHSAN 4 .778 .477 .187 4,163 ***
IHSAN 6 1,008 .622 .202 4,989 ***
IHSAN 7 .659 .486 .156 4,215 ***
IHSAN 8 .592 .405 .164 3,614 ***
IHSAN 11 .796 .445 .210 3,784 ***
Sumber: data primer diolah, 2019
Selanjutnya dilakukan analisis dengan tidak mengikutsertakan indikator yang
tidak baik dan mendapatkan hasil sebagai berikut.
79
Tabel 16.3 Uji Validitas Konvergen Dimensi Ihsan Tahap 4
Standardized
No. Item Estimate Regression S.E. C.R. P-Value Ket
Weights
IHSAN 3 1,000 .688
IHSAN 4 .680 .477 .180 3,771 ***
IHSAN 6 .943 .619 .217 4,343 ***
IHSAN 7 .607 .453 .162 3,747 ***
Sumber: data primer diolah, 2019
Tabel 16.3 menunjukkan ada 4 variabel teramati atas variabel laten Ihsan telah
lolos uji validitas, karena telah memenuhi syarat yaitu nilai loading factor ≥ 0.45.
Sedangkan uji reliabilitas variabel Ihsan menghasilkan nilai yang baik. Dapat dilihat
dari nilai t-value ≥ 1,96, sehingga variabel Ihsan memiliki konsistensi yang baik.
Keempat item yang ada bersifat unidimensional artinya benar hanya mengukur
dimensi Ihsan saja, melalui uji CFA diperoleh nilai Chi-Square= 0,916, df=2 dan
RMSEA 0,000
Kriteria absolute fit measures dapat dilihat dari nilai GFI sebesar 0,997, nilai ini
sudah memenuhi kriteria yaitu di atas 0,90. Adapun kriteria berdasarkan incremental
fit measures, dapat ditinjau dari nilai AGFI, CFI, TLI, dan NFI. Nilai AGFI sebesar
0,954, nilai CFI sebesar 1,000, nilai TLI sebesar 1,052 dan nilai NFI sebesar 0,987,
secara umum model sudah fit. Hasil akhir indikator religiusitas Islam yang sudah
valid dapat dilihat pada tabel 17.3 berikut.
Tabel 17.3 Indikator Valid Religiusitas
80
benar sekalipun pahit
Saya sering hati-hati membicarakan orang lain karena .619
Ihsan
takut jatuh dalam dosa
Semakin banyak pengetahuan semakin saya rendah .453
Ihsan
hati
Sumber: data primer diolah, 2019
D. Tingkat Religiusitas
26
Hamid Fahmy Zarkasyi, Minhaj: Berislam, dari Ritual hingga Intelektual,
(Jakarta: INSITS, 2020), 165
27
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. (Bandung: PT
Alfabet, 2016), 147
81
dilakukan dengan menjumlahkan total skor religiusitas dan selanjutnya disusun tabel
frekuensi untuk mengetahui tingkat perolehan nilai (skor) setiap variabel penelitian
masuk dalam kategori tinggi, sedang dan rendah.
Skala religiusitas diukur melalui angket/kuesioner yaitu terdiri dari 32 butir
pertanyaan yang selanjutnya dilakukan analisis faktor dan menemukan 14 butir
pernyataan valid. Pernyataan dibuat dengan skala Likert, terdiri dari 4 alternatif
jawaban. Dimana skor 4 untuk skor tertinggi dan 1 untuk skor terendah. Dari butir
pernyataan yang ada, diperoleh skor tertinggi 56 dan skor terendah adalah 24.
Setelah dihitung, diperoleh hasil mean sebesar 43,03, median 43,00, modus sebesar
42,00, dan standar deviasi sebesar 4,81.
Menentukan jumlah kelas interval digunakan rumus yaitu jumlah kelas = 1 +
3,3 log n, dimana n adalah jumlah responden. Dari penghitungan diketahui bahwa n
= 142 sehingga diperoleh banyak kelas 1 + 3,3 log 142 = 8,103 dibulatkan menjadi 8
kelas interval. Rentang data dihitung dengan rumus nilai maksimal – nilai minimal +
1, sehingga diperoleh rentang data sebesar 56 – 24 + 1 = 33. Sedangkan panjang
kelas yaitu rentang/jumlah kelas (33/8 = 4,1) dibulatkan menjadi 4. Distribusi
frekuensi variabel religiusitas dapat dilihat pada tabel 18.3 berikut:
Tabel 18.3 Distribusi Frekuensi Religiusitas
82
Diagram 7.3 Histogram Distribusi Frekuensi Religiusitas
70
63
60
50
41
FREKUENSI
40
30
20
12
7 8 9
10
1 1
0
24-27 28-31 32-35 36-39 40-43 44-47 45-51 52-56
INTERVAL
Berdasarkan tabel 17.3 dan histogram 8.3, frekuensi religiusitas paling banyak
terletak pada interval 40 – 43 sebanyak 63 mahasiswa (44,37%) dan paling sedikit
terletak pada interval 24 – 27 dan 28 – 31 sebanyak 2 mahasiswa (0,70%).
Penentuan kecenderungan religiusitas mahasiswa, setelah nilai minimum (x min)
dan nilai maksimim (x mak) diketahui, selanjutnya mencari nilai rata-rata ideal (Mi)
dengan rumus Mi = 1/2 (x mak + x min), mencari standar deviasi ideal (SDi) dengan
rumus SDi = 1/6 (x mak - x min). Berdasarkan acuan tersebut, mean ideal
religiusitas adalah 40, standar deviasi ideal adalah 5,3. Dari perhitungan di atas dapat
dikategorikan dalam 3 kelas sebagai berikut:
Kelompok rendah = X < Mi- SDi
Kelompok sedang = Mi- SDi ≤ X < Mi + SDi
Kelompok tinggi = X≥ Mi+ SDi
Hasil statistik deskriptif kategorisasi religiusitas mahasiswa FITK dapat dilihat
pada tabel 19.3.
Tabel 19.3 Distribusi Kategorisasi Religiusitas
83
Diagram 8.3 Pie Chart Religiusitas
5
35
Rendah
Sedang
Tinggi
102
Berdasarkan tabel 18.3 dan diagram pie chart 8.3, responden mahasiswa FITK
UIN Jakarta memiliki religiusitas kategori rendah sebanyak 5 mahasiswa (3,52%),
religiusitas kategori sedang sebanyak 102 mahasiswa (71,83%) dan mahasiswa yang
memiliki religiusitas kategori tinggi sebanyak 35 mahasiswa (24,65%).
Kecenderungan religiusitas responden mahasiswa berada pada kategori sedang.
Analisa dilanjutkan dengan indikasi perbedaan tingkat religiusitas berdasarkan
perbedaan latar belakang pendidikan mahasiswa dari sekolah umum (SMA) dan dari
sekolah agama (MA dan Pesantren). Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah suatu
bentuk lembaga pendidikan umum dengan kurikulum ilmu pengetahuan umum yang
lebih dominan dibandingkan dengan pengetahuan agama. Madrasah Aliyah (MA)
adalah suatu bentuk lembaga pendidikan yang berciri khas Islam yang terpaku pada
formalitas kelas, dengan pengajaran agama sekurang-kurangnya 30% dari
pengetahuan umum. Pesantren yaitu suatu bentuk lembaga pendidikan sistem
pondok, dimana proses pendidikan berlangsung secara terus menerus dengan
pengetahuan agama yang lebih dominan daripada pengetahuan umum dan tidak
terpaku pada formalitas kelas.
Hasil statistik deskriptif religiusitas mahasiswa FITK berdasarkan latar
belakang pendidikan dapat dilihat pada tabel 20.3.
Tabel 20.3 Tingkat religiusitas berdasarkan latar belakang pendidikan
Pendidikan
Frekuensi Persentase (%) Skor Total Skor Rerata Kategori
Sebelumnya
SMA 62 43,7 2676 43,2 Sedang
Aliyah 47 33,1 2006 42,7 Sedang
Pesantren 33 23,2 1428 43,3 Sedang
84
Total 142 100,0
Sumber: Data primer diolah, 2019
85
Anak SMA ketika masuk UIN langsung disuguhi doktrin Islam yang kental
yang jelas mempengaruhi religiusitas mereka. Sementara anak MA yang sudah
pernah tahu tentang Islam dan sudah pernah belajar tentang itu merasa bosan dan
menyepelekan mata kuliah islami yang akhirnya membuat mereka tidak serius lagi
belajar Islam.
E. Refleksi Keagamaan
28
Abdul Aziz Salim Basyarahil, Shalat: Hikmah Falsafah dan Urgensinya, (Jakarta:
Gema Insani, 1996), h. 9.
86
Salat sebagai kewajiban atau rutinitas saja berada pada tingkat refleksi
yang paling rendah dimana salat dianggap melelahkan, terlalu menguras waktu
dan terkesan membosankan.29 Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, orang yang
mendirikan salat, tetapi hatinya lalai terhadap Tuhan karena disibukkan oleh
hawa nafsu tidak akan membuahkan apa-apa. Orang seperti ini hanya
menggugurkan kewajibannya, tidak lebih.30
Ibnu Qayyim al-Jauziyah menilai kualitas salat seperti ini berada pada
tingkatan muhāsab (dihitung, dihisab) yaitu orang yang menjalankan salatnya
tepat waktu dan syarat-syarat serta rukun salat terpenuhi tapi salatnya masih
diganggu dengan pikiran dan kesadaran yang tidak mengingat Allah.31 Salatnya
dihitung misal salat jamaah mendapatkan 27 pahala sementara salat sendirian 1
pahala. Kalau pun salatnya benar, belum tentu mendapatkan pahala 27 derajat,
sebagaimana dijelaskan Nabi bahwa seseorang menyelesaikan salat tapi tidak
ada pahala yang ditulis untuknya kecuali sepersepuluh dari salatnya tersebut,
ada pula yang hanya sepersembilan, seperdelapan, seperenam, seperlima,
seperempat, sepertiga atau separuh dari pahala salat tersebut.32
29
Arif Rahman, Panduan Sholat Wajib & Sunnah Sepanjang Masa Rasulullah Saw.
(Jakarta: Sahih, 2016), 34
30
Syeikh Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Shalat Empat Mazhab, (Jakarta: PT. Mizan
Publika, 2010), 3.
31
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, al-Wābil al-Ṣayyib min Kalim al-Ṭayyib, diedit oleh:
Abdul Qadir al-Arnauth, (Damaskus: Maktabah Dār al-Bayān, 1973), 34-35
32
Hadis riwayat Abu Dawud dalam bab mājāa fī nuqshāni ash-shalah.
33
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, al-Wābil al-Ṣayyib min Kalim al-Ṭayyib, diedit oleh:
Abdul Qadir al-Arnauth, (Damaskus: Maktabah Dār al-Bayān, 1973), 34-35
87
Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa-dosa yang di antara semua
itu, jika dosa-dosa besar dijauhi.‖ (HR. Muslim)34
Salat adalah realisasi ungkapan syukur kepada Allah atas segala nikmat
dan karunia yang diberikan Allah kepada manusia.37 Diriwayatkan dalam
sebuah hadis bahwa Nabi salat cukup lama, sehingga kedua telapak kakinya
bengkak. Lalu ketika dikatakan kepada beliau tentang hal itu, beliau menjawab,
―Apakah aku tidak boleh menjadi seoramg hamba yang banyak bersyukur?‖.38
Salatnya berada pada tingkat tertinggi yaitu muqarrab min rabbihi (mendekat
Allah) ketika salat merasa benar-benar bertemu dan berhadapan dengan Allah,
meletakkan hatinya di hadapan Allah dan, merasa diawasi Allah dan hatinya
penuh kedekatan dengan Allah.39
34
Hadis riwayat Muslim no. no. 233
35
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, al-Wābil al-Ṣayyib min Kalim al-Ṭayyib, diedit oleh:
Abdul Qadir al-Arnauth, (Damaskus: Maktabah Dār al-Bayān, 1973), h. 34-35
36
Qs. Taha ayat 14
37
Abdul Aziz Salim Basyarahil, Shalat: Hikmah Falsafah dan Urgensinya, (Jakarta:
Gema Insani, 1996), 28.
38
Hadis riwayat Al-Mughirah bin Syu‘bah dari Al-Bukhari dalam Shahih Bukhari
di kitab At-Tahajjud dan Muslim dalam kitab Sifat Al-Munafiqun, bab Iktsar Al-Amal wa Al-
Ijtihad fii Aththa‟ah.
39
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, al-Wābil al-Ṣayyib min Kalim al-Ṭayyib, diedit oleh:
Abdul Qadir al-Arnauth, (Damaskus: Maktabah Dār al-Bayān, 1973), 34-35
88
kebutuhan (reflection). 48 orang menilai salat sebagai bentuk rasa syukur dan masuk
dalam klasifikasi kontinum refleksi paling tinggi yaitu critical reflection.
70
58
60
48
Jumlah Responden
50
40
30 24
20
12
10
0
Kebiasaan sehari-hari Mengagungkan Allah Sebagai kebutuhan Bentuk rasa syukur
(Habitual Action) (Understanding) (Reflection) (Critical Reflection)
Kontinum Refleksi
Wajah religiusitas seorang muslim dapat dilihat dari cara mereka melakukan
ibadah wajib, misalnya salat lima waktu. Di kalangan mahasiswa muslim, salat lima
waktu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan dan merupakan salah satu
indikator religiusitas. Hasil temuan penelitian pada Diagram 9.3 menunjukkan
refleksi mahasiswa terhadap salat sudah bagus dimana mayoritas responden menilai
salat sebagai kebutuhan dan bentuk rasa syukur.
40
Muhammadiyah Ja'far, Tuntunan Ibadat Zakat Puasa dan Haji, (Jakarta: Kalam
Mulia 2005), 86-87
89
B Puasa sebagai mendapatkan kesehatan Understanding
C Puasa sebagai menahan nafsu Reflection
D Puasa sebagai rasa kebersamaan dengan Allah Critical Reflection
41
Shinta Nuriyah, Inkulsi dalam Solidaritas Kemanusiaan: Pengalaman Spiritualitas
Perempuan dalam Kebhinekaan, Sahur Keliling sebagai sarana mencapai Kewatkwaan dan
Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa, Pidato Ilmiah Penganugerahan gelar
Doctor Honoris Causa (H.C) di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 18 Desember 2019, 8-9
42
A. Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama
cet. 2, 2002), 153
43
Randi Fredricks, Fasting: an Exceptional Human Experience, (New York: Author
House, 2012), 87
90
3. Puasa sebagai menahan nafsu
Puasa disyariatkan sebagai media untuk melatih diri agar manusia
memiliki kemampuan mengendalikan hawa nafsu. Menurut Zakiah Daradjat,
peranan puasa dalam menciptakan kesehatan mental cukup besar, baik sebagai
pengobatan terhadap gangguan kejiwaan, sebagai pencegahan agar tidak terjadi
gangguan kejiwaan maupun sebagai alat untuk membina kesehatan mental.44
4. Puasa sebagai rasa kebersamaan dengan Allah
Puasa merupakan ibadah yang sifatnya pribadi atau personal, bahkan
merupakan rahasia antara manusia dengan Tuhannya. Puasa menjadi latihan dan
ujian kesadaran akan adanya Tuhan yang Maha Hadir dan yang mutlak
pengawasan-Nya terhadap tingkah laku hamba-Nya. Kesadaran tersebut
membuat orang yang berpuasa senantiasa mengontrol emosi dan perilaku
sehingga seimbang antara lahir dan batin.
Menurut Hanna Djumhana Bastaman, puasa memiliki banyak hikmah
dan manfaat psikologis. Bagi mereka yang senang berpikir mendalam dan
merenungkan kehidupan, puasa mengandung falsafah hidup yang luhur dan
mantap, dan bagi mereka yang senang mawas diri dan berusaha turut
mengahayati perasaan orang lain, mereka akan menemukan prinsip-prinsip
hidup yang sangat berguna. Disadari atau tidak disadari, puasa akan berpengaruh
positif kepada rasa (emosi), cipta (rasio), karsa (will), karya (performance),
bahkan kepada ruh, jika syarat dan rukunnya dipenuhi dengan sabar dan ikhlas.45
Dari 142 responden, sebanyak 53 orang menilai puasa untuk menjalankan
kewajiban atau rutinitas (habitual action). 15 orang menilai puasa untuk
mendapatkan kesehatan (understanding). Responden menilai puasa sebagai ibadah
yang menahan nafsu sebanyak 47 orang (reflection). Dan terakhir menilai puasa
sebagai rasa kebersamaan dengan Allah sebanyak 27 orang (critical reflection).
44
Sudirman Tebba, Sehat Lahir Batin: Handbook bagi Pendamba Kesehatan
Holistik, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), 95
45
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi psikologi dengan Islam: menuju Psikologi
Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 181
91
Diagram 10.3 Refleksi Responden terhadap Ibadah Puasa
60 53
50 47
Jumlah Responden
40
30 27
20 15
10
0
Menjalankan Mendapatkan Menahan Nafsu Rasa kebersamaan
kewajiban (Habitual kesehatan (Reflection) dengan Allah (Critical
Action) (Understanding) Reflection)
Kontinum Refleksi
Banyak orang sampai pada beriman bukan atas dasar suatu pengalaman
eksistensial, melainkan atas dasar pendidikan saja. Beriman sebab hidup dalam
lingkungan dimana percaya pada Allah merupakan hal biasa. Artinya faktor-
92
faktor lahiriyah menyebabkannya sampai pada beriman, sehingga ada
kemungkinan pemahaman agama yang diterima melalui orang lain kurang
diselami dalam kehidupan pribadi, atau menurut istilah Muhammad Abduh
disebut iman taqlidi yaitu iman tradisionalis yang diterima turun termurun dari
nenek moyang.46 Iman dalam pengertian dasar sekedar tahu tidak ada Tuhan
selain Allah, sehingga tidak menghayati bahwa Tuhan benar ada dan mengawasi
setiap saat.
2. Menjalankan semua perintah dan menjauhi larangan Allah
Orang yang sudah memiliki pemahaman yang baik tentang perintah dan
larangan Allah akan menjalankan semua perintah dan menjauhi larangan Allah
dengan sebaik-baiknya.
3. Merasakan takut untuk berbuat kemaksiatan
46
Muhammad Anwar Firdausy.Kritik atas Iman. El Harakah; Malang Vol. 8, Iss. 1,
(2006): 115-122.
47
Hasanul Rizqa, "Implikasi Iman", Khazanah Republika, 21 Agustus 2019.
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/19/08/21/pwjtzw458-implikasi-iman
93
Nya yang tertuang di dunia ini. Dengan demikian, akan muncul kekaguman dan
kecintaan terhadap Allah.48
Dari 142 responden, 39 responden menjawab saya tahu Allah Maha Melihat
(habitual action), 67 responden memilih menjalankan semua perintah dan menjauhi
larangan Allah (understanding), 21 responden merasakan takut untuk berbuat
kemaksiatan (reflection) dan 15 responden menjawab iman pada Allah sebagai
mengingat Allah dalam keadaan duduk, berdiri dan berbaring (critical reflection).
Diagram 11.3 Refleksi Keimanan kepada Allah
80
70 67
Jumlah Responden
60
50
39
40
30
21
20 15
10
0
Saya tahu Allah Menjalankan semua Merasakan takut Mengingat Allah
Mahamelihat perintah dan untuk berbuat dalam keadaan
(Habitual Action) menjauhi larangan kemansiatan duduk, berdiri dan
Allah (Reflection) berbaring (Critical
(Understanding) Reflection)
Kontinum Refleksi
48
Hasanul Rizqa, "Implikasi Iman", Khazanah Republika, 21 Agustus 2019.
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/19/08/21/pwjtzw458-implikasi-iman
94
b. Keimanan kepada hari Akhir
Beriman kepada hari akhir membuat manusia bersegera dalam meraih amal
kebajikan, meninggalkan kemungkaran, menghias diri dengan keutamaan tinggi
dan akhlak mulia, melepas diri dari akhlak jelek dan menjauhkannya dari
perbuatan haram, kejahatan dan dosa.Thabatha‘i mengatakan, ―Manusia yang
meyakini Hari Akhir senantiasa menyadari bahwa setiap perbuatannya di
bawah pengawasan Tuhan yang Mahamengetahui. Ia mengetahui bahwa suatu
hari akan datang saat di mana seluruh amal perbuatannya diperhitungkan
dengan adil. Keyakinan akan proses pengadilan yang adil ini tidak akan mampu
dilakukan oleh ratusan ribu polisi maupun agen rahasia, kerena mereka ini
95
melakukan pekerjaan dari luar, namun pengawasan Tuhan adalah kontrol
internal di mana tidak ada sesuatu yang tersembunyi dari pengawasannya.‖49
4. Mengingat mati dan menjadikan semua perbuatan sebagai bekal kematian
Iman kepada hari akhir berarti percaya bahwa kehidupan di dunia akan
berakhir, kemudian dilanjutkan dengan kehidupan di akhirat. Kepercayaan
seseorang terhadap hari akhir membuat hidup menjadi teratur, mereka akan
berusaha selalu berperilaku baik dan menjauhi dosa. Sadar dan yakin bahwa
apapun yang di perbuat di dunia akan dipertanggungjawabkan dan mendapat
balasan dari Allah.
70
62
60
Jumlah Responden
50 47
40
30
20
20
13
10
0
Saya tahu seluruh Menjalankan semua Merasakan takut Menginat mati dan
alam semesta akan perintah dan untuk berbuat dosa menjadikan semua
hancur suatu saat menjauhi larangan dan kemaksiatan perbuatan sebagai
nanti (Habitual Allah (Reflection) bekal kematian
Action) (Understanding) (Critical Reflection)
Kontinum Refleksi
Refleksi keimanan responden terhadap hari akhir berada pada tingkatan critical
reflection yaitu mengingat mati dan menjadikan semua perbuatan sebagai bekal
kematian. Jumlah dibawahnya berada pada tingkatan habitual action yaitu
mengetahui seluruh alam semesta akan hancur suatu saat nanti.
49
Ayatollah Hossein Ansarian, Peran Agama dalam Mencegah Timbulnya
Kejahatan, [online] http://www.ansaryan.com/indonesian/83207.html (diakses pada 08-02-
2020)
96
c. Refleksi Nilai-Nilai Ihsan
Dua akhlak atau perilaku yang penting yaitu perilaku menghormati (respect)
dan perilaku bertanggung jawab (responsibility). Ihsan dengan pertanyaan
menghormati orang lain (respect others) dan tanggung jawab (responsibility). Dua
karakter ini menjadi karakter utama seseorang dalam kehidupan.50
50
Thomas Lickona, Educating for Character: Mendidik untuk Membentuk
Karakter, terj. Juma Wadu Wamaungu dan Editor Uyu Wahyuddin dan Suryani, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2012).
51
Al-Qur‘an, Al-Qashash: 77, terj., Departemen Agama RI, ed.5, (Jakarta:
Departemen Agama, 2000).
52
Al-Qur‘an, Isra‘: 17, terj., Departemen Agama RI, ed.5, (Jakarta: Departemen
Agama, 2000).
97
C Mengaplikasikan norma sosial dan adab Reflection
Menghormati orang lain karena semua ciptaan
D Critical Reflection
Allah Swt
Dari 142 responden, memilih posisi yang dihormati lebih tinggi (habitual
action), 5 orang. Ingin dihormati (understanding) 8 orang. mengaplikasikan norma
sosial dan adab (reflection), 80 orang dan menghormati orang lain karena semua
ciptaan Allah (critical reflection)sebanyak 49 orang.
Diagram 13.3 Refleksi Menghormati Orang Lain
90
80
80
70
Jumlah Responden
60
49
50
40
30
20
8
10 5
0
Posisi yang dihormati Saya ingin dihormati Saya mengaplikasikan Kita semua ciptaan
lebih tinggi (Habitual (Understanding) norma sosial dan Allah (Critical
Action) adab (Reflection) Reflection)
Kontinum Refleksi
98
Responden diberikan pertanyaan tentang perilaku bertanggung jawab dengan
pernyataan ―saya berperilaku tanggung jawab karena‖:
Jawaban Pernyataan Refleksi
Menerima konsekuensi dari apa yang telah
A Habitual Action
dilakukan
Mengendalikan pikiran dan tindakan sehingga
B Understanding
bertindak dengan benar
C Mencapai tujuan yang jelas sesuai perencanaan Reflection
Selalu pro aktif bertanggung jawab dalam segala
D Critical Reflection
hal sebagai hamba Allah
perencanaan (Reflection)
Tidak Menjawab 1
0 20 40 60 80 100
Jumlah Responden
99
F. Refleksi Pembelajaran
53
Donald A. Schön. The reflective practitioner: how professionals think in action.
New York: 1983, ..
54
Pete Hall & Alisa Simeral, Creating Culture of Reflective Practice: Capacity-
Building for Schoolwide Success, (Virginia USA: ASCD, Alexandria, 2017), 49
55
Patricia M. Richardson. "Possible influences of Arabic-Islamic culture on the
reflective practices proposed for an education degree at the Higher Colleges of Technology
in the United Arab Emirates." International Journal of Educational Development 24, no. 4
(2004): 429-436.
56
John R. Minnis. ―Is Reflective Practice Compatible with Malay-Islamic Values?
Some Thoughts on Teacher Education in Brunei Darussalam.‖ Australian Journal of
Education 43, no. 2 (August 1999): 172–85. doi:10.1177/000494419904300206.
100
komunitas belajar; guru dan murid.57 Peneliti mengajukan pertanyaan tentang sejauh
mana tingkat refleksi mahasiswa menggunakan kontinum pembelajaran reflektif dari
David Kember (habitual action, understanding, reflection dan critical reflection)
dan tingkat refleksi dosen menggunakan kontinum refleksi dari Pete Hall dan Alisa
Simeral (unaware stage, conscious stage, action stage dan refinement stage).
Peneliti memberikan pertanyaan kepada responden tentang refleksi dalam
belajar dengan pilihan pernyataan berikut.
Jawaban Pernyataan Kontinum Refleksi
A Saya membaca dan menghafal materi kuliah Habitual Learning
Saya merangkum dan menginterpretasikan apa
B Understanding
yang saya pelajari
Saya mencoba menghubungkan materi kulaih
C dengan pengalaman dan analisa untuk Reflection
mendapatkan pemahaman baru
Saya merekonstruksi apa yang saya pelajari
D Critical Reflection
dan mengubah ide atau pemikiran saya
57
James W. Peltier, John A. Schibrowsky & Don E. Schultz (2003) Interactive
integrated marketing communication: combining the power of IMC, the new media and
database marketing, International Journal of Advertising, 22:1, 93-115.
101
didik dan biasanya menggunakan pendekatan pembelajaran yang mendalam (deep
learning).58
Jawaban responden ketika ditanyakan tentang refleksi mereka dalam belajar,
jawaban paling banyak adalah ‗Saya mencoba menghubungkan materi kuliah dengan
pengalaman dan analisa untuk mendapatkan pemahaman baru‘ (reflection), sebanyak
58 responden. ‗Saya merangkum dan menginterpretasikan apa yang saya pelajari‘
(understanding) sebanyak 48 responden ‗Saya membaca dan menghafal materi
kuliah‘ (habitual action) sebanyak 19 responden dan ‗Saya merekonstruksi apa yang
saya pelajari dan mengubah ide atau pemikiran saya‘ (critical reflection) sebanyak
17 responden.
Diagram 15.3 Refleksi Belajar Responden
0 10 20 30 40 50 60 70
Jumlah Responden
Pengajar yang melakukan refleksi merupakan salah satu indikator dari pengajar
yang baik. Robert E. Slavin menyebutkan refleksi merupakan salah satu dari empat
kemampuan pokok yang harus dimiliki oleh pengajar. Tiga kemampuan lainnya
adalah kemampuan mengambil keputusan, penguasaan bahan ajar dan pengaturan
58
James W Peltier, Amanda Hay, and William Drago. ―The Reflective Learning
Continuum: Reflecting on Reflection.‖ Journal of Marketing Education 27, no. 3 (December
2005): 250–63.
102
diri serta kemampuan menerapkan hasil penelitian di bidang pendidikan. 59
Sementara itu Paul R. Burden dan David M. Byrd menyatakan bahwa kunci
keberhasilan professional seorang pengajar adalah kemampuan mengambil
keputusan dan kemampuan refleksi. Pengajar seharusnya seorang praktisi refleksi,
yaitu figur yang selalu merefleksikan dan mengevaluasi hasil keputusan-
keputusannya masa lalu guna membuat keputusan yang lebih baik di masa depan.60
Susan Knights dalam Boud et al menjelaskan refleksi tingkat tinggi akan terjadi
ketika semua individu dalam komunitas belajar termotivasi dan merasa nyaman
dengan guru dan sesama siswa. Sehingga mereka dapat mengekspresikan keraguan,
mengeksplorasi ketidakpastian, dan menjadi sadar akan kontradiksi internal dan
eksternal.61
Arthur L. Costa dan Bena Kallick menyebut guru yang menggunakan refleksi di
ruang kelas telah memastikan siswa sepenuhnya terlibat dalam proses membuat
makna. Mereka mengatur pengajaran sehingga siswa adalah produsen, bukan hanya
konsumen pengetahuan. Guru berperan sebagai fasilitator pembuatan makna.
Sebagai fasilitator, guru bertindak sebagai perantara antara pelajar dan pembelajaran,
membimbing setiap siswa untuk mendekati kegiatan pembelajaran dengan cara yang
strategis. Guru membantu setiap siswa memantau kemajuan individu, membangun
makna dari konten yang dipelajari dan dari proses mempelajarinya, dan menerapkan
pembelajaran tersebut ke konteks lainnya. Belajar menjadi proses transformasi yang
mengubah pikiran.62
Kontinum refleksi dari Pete Hall dan Alisa Simeral terdiri dari unaware stage,
conscious stage, action stage dan refinement stage. Unaware stage adalah kondisi
dimana pengajar belum menggunakan strategi pengajaran tertentu, belum terbiasa
dengan detail tentang kelas dan siswa, dan belum mencerminkan secara mendalam
tanggung jawab sebagai pendidik.63 Belum mengembangkan kemampuan refleksi
untuk mengenal, memahami dan membangun keterampilan mengajar. Pada tahap
59
Slavin, R.E. 1997. Educational Psychology. Theory and Practice. Fifth
Edition. Needham Heights, MA: Allyn & Bacon, 8
60
Burden, P. & Byrd, D.M. 2019. Methods For Effective Teaching: Meeting the
Needs of All Students. Eight Edition; Hoboken: Pearson Education, Inc, 6
61
Susan Knights. Reflection and Learning: the Importance of a Listener, 95 dalam
David Boud et. all (Ed).1989. Reflection: Turning Experience into Learning. London and
New York: Routledge Falmer Taylor & Francis Group.(2005), 95
62
Arthur L. Costa & Bena Kallick, Learning and Leading with Habits of Mind: 16
Essential Characteristics for Success, (USA, ASCD: 2008), 222
63
Pete Hall & Alisa Simeral, Teach, Reflect, Learn: Building Your Capacity for
Success in the Classroom, (Virginia USA: ASCD, Alexandria, 2015),46
103
unaware stage, guru belum mengembangkan keterampilan untuk merefleksikan
realitas pengajaran dengan cara yang mempengaruhi perubahan positif.64
Conscious stage adalah kondisi dimana pengajar telah memiliki basis
pengetahuan dan mengetahui cara-cara yang lebih baik dalam melakukan sesuatu
untuk membawa perubahan positif.65 Seringkali guru dalam tahap conscious stage
menunjukkan beberapa kemampuan refleksi ketika diminta, dan banyak yang bisa
mengekspresikan apa yang seharusnya mereka lakukan secara berbeda. Fokus
mereka memilih strategi dan pendekatan yang lebih nyaman dan akrab, tetapi belum
mampu mengembangkan pemikiran disiplin untuk membimbing mereka menuju
penerapan praktik demi kebaikan siswa.66
Action stage adalah kondisi dimana pengajar telah berkomitmen untuk
melakukan pembelajaran dengan lebih baik. Segera mengambil tindakan ketika
melihat kekurangan dalam pembelajaran dan mencoba berbagai metode untuk
memecahkan masalah yang dihadapi.67 Pada tahap ini guru sudah memusatkan
energi untuk menemukan solusi masalah, mempelajari metode instruksi yang baru
dan menerapkan kurikulum dan materi secara tepat, dan bertindak dengan tujuan
tertentu.68
Dan Refinement Stage adalah kondisi dimana pengajar mampu berpikir secara
kritis, terus-menerus merefleksikan praktik mengajarnya dan memasukkannya ke
dalam pembelajaran yang terjadi di setiap momen setiap hari. Pengajar sangat
termotivasi, memiliki pengetahuan tentang strategi dan praktik mengajar terbaik,
dan mahir mengubah ilmu mengajar menjadi seni yang indah.69 Pada tahap ini guru
memiliki kemampuan untuk memperhatikan siswa ketika sedang berjuang dan
mengapa dan memodifikasi pelajaran, pertanyaan, tugas, diskusi atau pengalaman
belajar saat itu.70
64
Pete Hall & Alisa Simeral, Creating Culture of Reflective Practice: Capacity-
Building for Schoolwide Success, (Virginia USA: ASCD, Alexandria, 2017), 44
65
Pete Hall & Alisa Simeral, Teach, Reflect, Learn: Building Your Capacity for
Success in the Classroom, (Virginia USA: ASCD, Alexandria, 2015),72
66
Pete Hall & Alisa Simeral, Creating Culture of Reflective Practice: Capacity-
Building for Schoolwide Success, (Virginia USA: ASCD, Alexandria, 2017), 44
67
Pete Hall & Alisa Simeral, Teach, Reflect, Learn: Building Your Capacity for
Success in the Classroom, (Virginia USA: ASCD, Alexandria, 2015),101
68
Pete Hall & Alisa Simeral, Creating Culture of Reflective Practice: Capacity-
Building for Schoolwide Success, (Virginia USA: ASCD, Alexandria, 2017), 44
69
Pete Hall & Alisa Simeral, Teach, Reflect, Learn: Building Your Capacity for
Success in the Classroom, (Virginia USA: ASCD, Alexandria, 2015),123
70
Pete Hall & Alisa Simeral, Creating Culture of Reflective Practice: Capacity-
Building for Schoolwide Success, (Virginia USA: ASCD, Alexandria, 2017), 45
104
Kontinum di atas digambarkan dalam gambar berikut.
Gambar 4.3 Kontinum Refleksi Diri dari Pete Hall & Alisa Simerall
105
Diagram 16.3 Pembelajaran Reflekktif Guru dan Mahasiswa
0 20 40 60 80 100
Jumlah Responden
106
BAB IV SUBJEKTIVITAS KEAGAMAAN
MAHASISWA
A. Subjektivitas Keagamaan
1
Abdullah Sahin. New Directions in Islamic Education: Pedagogy and Identity
Formation. (Markfield: Kube Publishing Ltd, 2013), 90-91
107
Kriteria yang menunjukkan ada tidaknya proses eksplorasi ialah:
a. Individu muslim yang memiliki minat aktif dalam meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman tentang Islam dan aktif mencari informasi
tentang pilihan alternatif menjadi seorang Muslim, termasuk kemungkinan
menjadi non-religius karena keraguan dalam hubungannya menjadi muslim
muda dalam konteks multikultural.
b. Menimbang kelebihan dan kekurangan dalam memberikan interpretasi Islam
pada kehidupan seseorang.
c. Kesediaan untuk mencerminkan dan mempertimbangkan komitmen awal
dari orang tua, teman atau orang yang menurutnya penting.
d. Sikap terhadap interpretasi historis dan kontemporer yang berbeda tentang
Islam dan tingkat kesadaran dan pengakuan terhadap keragaman agama,
budaya dan ideologis-politik dalam masyarakat yang lebih luas.
e. Emosi yang mengekspresikan keterikatan pada Islam dan bagaimana
seseorang mengartikulasikan keragua-raguan dalam kehidupan beragama
seseorang.
f. Ada keinginan membuat keputusan awal tentang komitmen atau keterlibatan
dalam praktik keagamaan.
Kriteria yang menunjukkan ada tidaknya komitmen ialah:
a. Komitmen secara pribadi mengenai aspek keagamaan Islam.
b. Adanya kegiatan yang diarahkan untuk mengimplementasikan elemen-
elemen religiusitas Islam yang dipilih dalam kehidupan seseorang atau
upaya aktual mempraktikkan ajaran Islam.
c. Adanya emosi dan ekspresi diri dan keinginan untuk mencapai resolusi
ambiguitas dalam kehidupan keagamaan.
d. Identifikasi dengan nilai-nilai Islam dan mampu memproyeksikan nilai-nilai
ini ke dalam diri di masa depan.
Kriteria di atas tidak semuanya digunakan dalam penelitian ini, disesuaikan
dengan kebutuhan penelitian.
108
bisa bertambah dari panduan yang sudah dibuat selama responden merasa nyaman
dengan proses wawancara. Wawancara dibagi ke dalam tiga tema/kategori yaitu
refleksi religiusitas, komitmen dan eksplorasi keberagamaan dan pembelajaran
reflektif. Data yang didapatkan kemudian dianalisis menggunakan kriteria
komitmen dan eksplorasi dari Abdullah Sahin.
Tabel 21.4 Tema Wawancara Semi-Terstruktur
TEMA TUJUAN
Refleksi Religiusitas Mengetahui refleksi responden tentang
perkembangan religiusitasnya
Komitmen dan eksplorasi Mengetahui komitmen dan eksplorasi
keberagamaan keberagamaan responden.
Pembelajaran Reflektif Mendapatkan informasi mengenai kemampuan
refleksi responden.
Sumber: Data primer diolah, 2019
109
Tabel 23.4 Responden dan Status Subjektivitas Keagamaan
a. Status Foreclosure
Mode foreclosure ditandai dengan seseorang yang memiliki komitmen
beragama yang tinggi tapi tidak menampakkan proses eksplorasi. Mode ini
menyiratkan bahwa individu hanya mewarisi tradisi orang tua (atau guru) mereka
tanpa upaya sadar untuk melakukan refleksi dan kontekstualisasi.3 (lihat Bab 2)
110
bahkan mengaji kitab pun belum pernah, paling saya mengaji kitab kalau
saya sedang pulang ke kampung.
Remaja yang menempuh pendidikan Perguruan Tinggi, mengalami babak
transisi dalam hidupnya yaitu berpindah dari jenjang sekolah menengah menuju
jenjang Perguruan Tinggi. Perpindahan ini melahirkan beberapa dampak bagi
remaja, baik dampak positif maupun dampak negatif. Mahasiswa yang rendah
eksplorasi dan komitmennya rentan terjerumus ke dalam fenomena kebingungan
identitas yang dapat termanifestasi dalam perilaku-perilaku negatif. Meski demikian,
ada pula sebagian mahasiswa lainnya yang mampu lepas dari jebakan kebingungan
identitas tersebut dan melahirkan perilaku-perilaku yang dinilai positif oleh
lingkungan.5
Partisipasi dalam kegiatan keagamaan hampir di bagian bawah daftar
prioritasnya. Alasan ini menguatkan peneliti memasukkan Haris dalam foreclosed
religiosity. Keagamaan yang dibina orang tua atau pendidikan sebelumnya dengan
doktrin hukum nir substansi membuat Haris ketika masuk ke perguruan tinggi sulit
mengatur kegiatan hidupnya antara belajar, tugas kuliah dan ibadah. Dia tidak aktif
menghadiri masjid, aktivitas salatnya menjadi tertunda dan terlewatkan karena sibuk
dengan kuliah dan kecanduan ponsel game. Komitmen agama dipengaruhi keluarga
yang mengajarkan keislaman sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan dan
menjadi doktrin yang sudah terkonstruk dalam pikiran anak yang membentuk satu
keyakinan tentang substansi hukum ibadah bukan makna ibadah itu sendiri sehingga
tidak ada upaya sadar diri pada individu untuk mengeksplorasi.
Dalam pandangan saya, salat itu bukan karena Allah yang butuh, tetapi kita
yang butuh. Jujur ya, beberapa hari ini saya sering salat subuh terlambat
bahkan di qadha karena saya biasa tidur malam jam 3 atau 4 pagi dan
kebanyakan main hp.
Refleksinya terhadap ibadah salat berada pada tahap understanding
(pemahaman) bahwa salat adalah kebutuhan bagi seorang muslim. Namun,
pernyataannya bahwa salat adalah kebutuhan berbeda dengan realisasi nyata,
dibuktikan dengan pengakuannya menjalankan salat, khususnya salat Subuh sering
terlambat bahkan di qadha‘ dengan alasan begadang dan main handphone.
Kecanduan game handphone memilik efek terhadap kedisiplinan salat dikarenakan
rasa ketertarikan yang cukup besar terhadap game tersebut. Rasa ketertarikan ini bisa
dilihat dari durasi main game, perhatian dan rela meninggalkan aktivitas lainnya
5
Galuh Prawitasari. Profil Status Identitas Religius pada Remaja Akhir.
Psikopedagogia Jurnal Bimbingan Dan Konseling. Vol. 6 No. 2 Desember 2017.
111
hanya untuk main game. Semakin tinggi intensitas bermain game, semakin rendah
kedisiplinan salat lima waktu pada siswa.6
Komitmen dan Eksplorasi
Sejak semester 1-4 saya kurang belajar agamanya sampai saya diingatkan oleh
kakak untuk memanfaatkan waktu sebaiknya untuk belajar. Dan sejak saat itu
saya merevolusi diri untuk mulai aktif dalam kegiatan organisasi keagamaan.
Sebagai mahasiswa baru yang mengalami transisi dari SMA ke Perguruan
Tinggi, Haris sempat mengalami krisis identitas pada semester 1-4 sampai akhirnya
diingatkan oleh kakak kandung yang mengingatkan dia sebagai anak yang paling
diharapkan dalam keluarga agar memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk belajar.
Dulu saya pernah mempertanyakan dan meragukan tentang eksistensi Tuhan
karena saya sering menonton debat Islam dan Kristen yang mempengaruhi
saya seperti tentang apakah Yesus itu Tuhan atau manusia?
Haris pernah mengalami keraguan dalam hal keimanan ketika mempertanyakan
tentang Tuhan, apakah Nabi Isa adalah Tuhan atau manusia? Hal ini menunjukkan
keimanan yang dibangunnya tidak kuat dan labil sehingga muncul keraguan. Setelah
melalukan verifikasi kepada guru mengajinya, Haris semakin meyakini bahwa tidak
ada Tuhan selain Allah.
Saya masih berkomunikasi dengan guru saya di kampung untuk menanyakan
masalah-masalah agama yang belum saya pahami.
Meskipun Haris sebagai mahasiswa, tetapi dia lebih nyaman untuk menanyakan
masalah-masalah yang dia hadapi tentang agama kepada guru atau ustadznya di
kampung. Haris melakukan verifikasi masalah keagamaan kepada gurunya di
kampung yang dia percaya keilmuannya. Ini mengkonfirmasi bahwa ada pihak lain
yang mempengaruhi pengembangan identitas keagamaan yaitu guru.
Guru saya selalu berpesan, kalau mengaji bisa ke siapa saja tetapi lihat dulu
apakah dia menyebarkan ujaran kebencian atau tidak atau mengharamkan
maulid. Kalau seperti itu, maka tidak usah diikuti, tinggalkan saja. Maka disini
saya tidak tertarik ikut kajian-kajian atau mendengar ceramah dari ustadz-
ustadz yang viral di youtube. Kecuali kalau ustadz itu direkomendasikan oleh
guru saya baru saya tonton.
6
Barata Sasi Wijaya Hari Insani King dan Purwanto (2017) Hubungan Antara
Intensitas Bermain Game Dengan Kedisiplinan Shalat Lima Waktu Siswa di MTs
Muhammadiyah Tawangsari Kabupaten Sukoharjo Tahun Pelajaran 2017. skripsi thesis,
IAIN Surakarta.
112
Haris hanya memverifikasi pengetahuan keagamaan dari guru yang dia percaya
keilmuannya agar tidak salah dan membelok. Pemahaman agama yang benar hanya
berasal dari guru kampungnya. Gurunya melarang untuk mengaji atau belajar agama
dari orang yang menyebarkan kebencian dan mengharamlan maulid. Ajaran ini
berpengaruh membuat pemikiran yang fix mindset dan tidak terbuka dengan
pandangan yang lain. Menurut Carrol S. Dweck dalam bukunya yang berjudul
―Mindset‖; ‖bahwa guru harus memiliki mindset yang benar dan merumuskan
paradigma baru dalam mengajar pada pesrta didik terutama usia remaja. Guru
bermindset tetap (fixed mindset) akan membatasi pencapaian atau prestasi, proses
berusaha menjadi tidak menyenangkan, dan mindset tetap membuat orang lain
menjadi hakim, bukannya teman. Sedangkan yang diharapkan para guru itu memiliki
karakter Mindset tumbuh (growth mindset) yang membuat para peserta didik meraih
pencapaian-pencapaian penting yang membutuhkan fokus yang jelas, usaha sekuat
tenaga, dan strategi yang tak terbatas".7
Pembelajaran Reflektif
7
Carrol S. Dweck, Mindset (Tangerang Selatan, PT. Bentara Aksara Cahaya, 2017),
256
8
James W. Peltier, Amanda Hay, and William Drago. ―The Reflective Learning
Continuum: Reflecting on Reflection.‖ Journal of Marketing Education 27, no. 3 (December
2005): 250–63.
9
Julian Hermida, Facilitating Deep Learning: Pathways to Success for University
and College Teachers, (Canada: Apple Academic Press, 2015), xix
113
Saya Angkatan 2016, mulai angkatan ini ada program PLP yaitu Program
Pengenalan Persekolahan. Ada PLP 1 dan PLP 2 dan selanjutnya KKN.
PLP 1 selama 2 minggu di sekolah, PLP 2 selama 2 bulan plus laporan.
Menurut saya dengan adanya KKN, saya jadi lebih ingin mengenal
lingkungan kita sesungguhnya ketika nanti menjadi guru. Di KKN kita kan
di tempat orang lain, saya jadi berpikir apakah di desa saya masalah
sekolahnya lebih buruk atau lebih baik? Jadi muncul keinginan untuk ikut
berkecimpung di desa saya. Manfaat lain dari KKN, saya jadi mengenal
teman-teman dari jurusan lain.
Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan Pengenalan Lapangan
Persekolahan (PLP) adalah bagian dari tridharma perguruan tinggi yaitu pendidikan,
penelitian dan pengabdian pada masyarakat yang dilaksanakan secara terpadu. KKN
merupakan bagian dari program pendidikan sedangkan pengabdian pada masyarakat
adalah mahasiswa berada di tengah masyarakat sebagai sasaran tempat berkegiatan.
Waktu SMP belum terlalu berkembang karena masih ada perbedaan antara
pemahaman keluarga dan di sekolah jadi masih agak bingung. Ketika SMA
baru saya bisa berkembang baik dan terbuka keagamaan saya karena
sesuai dengan pandangan keluarga saya.
Lulu menyatakan dirinya menjadi pribadi yang lebih religius setelah masuk
SMA dimana pemahaman agamanya lebih moderat dan tidak eksklusif daripada
sebelumnya ketika Lulu sekolah di SMP yang notabene inklusif.
Awalnya memang dari keluarga, tetapi tidak terlalu berpengaruh karena Islam
keluarga saya biasa saja. Teman di SMA sangat berpengaruh karena rata-rata
dari pesantren sedangkan saya hanya dari sekolah islam terpadu.
114
Sejak kuliah di UIN, karena memang di UIN tidak semuanya anak pondok,
banyak juga yang berasal dari SMA biasa seperti di jurusan saya di Biologi
jadi kurang mendukung dan memberikan semangat untuk perkembangan
keagamaan saya. Jadi ketika kuliah ini keagamaan saya menurun.
Terdapat perbedaan tingkat religiusitas antara mahasiswa fakultas keagamaan
dan fakultas non-keagamaan, hal ini disebabkan komposisi mahasiswa di UIN yang
tidak semuanya berlatas belakang pesantren membuatnya kurang mendukung dan
memberikan semangat untuk perkembangan keagamaannya. Lulu menyebutkan
beberapa hal yang menyebabkan religiusitasnya menurun ketika kuliah: 1) kegiatan
keagamaan di perkuliahan tidak dikontrol dan bebas, 2) Terlalu sibuk dengan tugas
kuliah dan sedikit sekali waktu bagi anak Biologi untuk hadir di acara-acara
keagamaan karena beban laporan, praktikum dan segala macam. Lingkungan
mempengaruhi perkembangan religiusitas seseorang.
Awalnya saya masih menganggap salat sebagai kewajiban kemudian saya
mendapatkan ilmu dari guru di SMA jangan menganggap salat sebagai
kewajiban saja karena memandang seperti itu akan memberatkan kita salat,
jadi coba niatkan salat sebagai sebuah kebutuhan.
Lulu menunjukkan refleksi keagamaan terhadap ibadah salat dengan yang baik,
awalnya Lulu menganggap salat sebagai kewajiban (refleksi religiusitas habitual
action) namun setelah masuk SMA, Lulu merubah mindset-nya dengan menganggap
salat sebagai kebutuhan (refleksi religiusitas tingkat understanding).
Komitmen dan Eksplorasi
Sebenarnya saya ingin masuk pesantren untuk mendalami Islam, tetapi saya
susah beradaptasi dengan lingkungan pesantren. Cuma karena di SMA ada
ushul fiqih dll itu seperti mengobati rasa ingin tahu saya.
Lulu memiliki eksplorasi keagamaan yang baik, ditunjukkan dengan
keinginannya untuk masuk ke pesantren selepas dari SMP. Lulu pernah masuk
pesantren selama satu bulan namun tidak betah karena sulit beradaptasi dengan
lingkungan pesantren. Kemudian Lulu masuk SMA dimana di sekolah ini diajarkan
ilmu-ilmu keagamaan seperti Bahasa Arab dan Ushul Fiqih yang menurutnya cukup
mengobati rasa ingin tahu untuk belajar agama.
Kalau keraguan mungkin di masalah hukum-hukum karena banyak sekali
perbedaan dalam umat Islam, namun ketika kelas 3 SMA saya diberitahu
bahwa perbedaan hukum fiqih itu semuanya benar tinggal kita mau pilih yang
mana. Maka keraguan tersebut sudah ditepis sejak kelas 3 SMA. Keraguan
dalam hal keyakinan atau aqidah tidak pernah.
115
Lulu pernah mengalami keraguan dalam Islam karena banyaknya pendapat
dalam fiqih, namun dengan penjelasan dari gurunya yang mengatakan bahwa
perbedaan ulama semuanya adalah benar dia kemudian menepis keraguan tersebut.
Hal ini terjadi karena pada pendidikan sebelumnya dia tidak diberikan pengetahuan
akan sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat dalam masalah fiqih.
Terjadinya benturan di masyarakat di antaranya karena informasi yang sampai
pada mereka tentang adanya perbedaan semata, tidak tentang sebab terjadinya
perbedaan. Hal ini pada akhirnya menjadikan sebagian besar dari mereka tidak bisa
memahami perbedaan sebagai sebuah perbedaan metode pemahaman atas teks.
Perbedaan dalam fiqih dianggap sebagai perbedaan keyakinan yang menjadikan
sebagian mereka berhak memberikan label ‗sesat‘ pada sebagian yang lain. Pada
kasus di Indonesia misalnya, ada sebagian masyarakat yang melaksanakan tarawih di
bulan Ramadan dengan 8 raka‘at, dan ada sebagian yang melakukannya dengan 20
raka‘at. Perbedaan seperti ini, di masyarakat akar rumput sering menimbulkan
permasalahan. Perbedaan tersebut tidak lagi menjadi perbedaan furu‟ fiqhiyyah,
tetapi dianggap sebagai perbedaan ideologi akidah dan keyakinan yang menjadikan
sebagiannya berhak ‗menyesatkan‘ sebagian yang lain.
Saya lebih suka bertanya ke teman-teman di kampus yang berasal dari latar
belakang pesantren. Namun karena saya masih dekat dengan teman-teman di
SMA saya juga menanyakannya kepada mereka via WAG untuk diskusi
masalah agama.
Verifikasi ilmu agama dilakukan hanya kepada teman di kampus yang berasal
dari latar belakang pesantren dan teman-temannya di SMA yang dinilai lebih paham
dalam masalah agama. Menurut Lulu, diskusi dengan teman lebih nyaman untuk
sharing ilmu, adapun di majlis ilmu dengan banyak orang, pertanyaan kita belum
tentu menarik bagi yang lain, mungkin menurut mereka tidak penting tapi bagi kita
penting. Sedang kalau di perkuliahan, belum tentu topik pembahasan sesuai dengan
pertanyaan yang ingin kita tanyakan, maka Lulu lebih nyaman bertanya kepada
teman yang berinteraksi sehari-hari.
Pembelajaran Reflektif
Saya lebih paham mendengar langsung dan mencatat dan saya tipenya
menghafal kalau dalam pelajaran. Saya mencoba mengkaitkan pelajaran
dengan luar kelas tidak semuanya hanya kalau ada yang relefan saja
misalnya tentang manfaat sayur, buah dll yang dipelajari di Biologi.
Gaya belajar Lulu menunjukkan proses belajar surface learning yang
mendengar langsung atau mencatat berpatokan kepada apa yang dipelajari dalam
buku. Meski demikian, Lulu sudah berusaha melakukan refleksi atas apa yang
116
dipelajari dengan mengakaitkan pelajaran di kelas dengan luar kelas yang masih
relefan misal manfaat sayur, manfaat buah dan pentingnya cuci tangan untuk
kesehatan.
Peneliti perdalam lagi dengan menanyakan aktualisasi reflective thinking
yang kongkrit dalam kehidupannya, kemudian Lulu menjelaskan refleksinya ketika
menjadi guru. Ketika SMP sampai kuliah dia masih berperan sebagai siswa,
awalnya berpikir bahwa pekerjaan seorang guru hanya membuat soal, mengajar dan
menilai. Namun ketika dia terjun langsung dalam dunia persekolahan, dia sadar
bahwa pekerjaan seorang guru bukan seperti yang dia bayangkan sebelumnya, tapi
banyak hal yang perlu dilakukan seperti menyusun RPP. Dia juga sadar bahwa
seorang guru harus berwibawa meskipun saat ini belum berwibawa sebagaiu guru.
Ada PLP yang merupakan program magangnya mahasiswa FITK. PLP
merupakan penerapan secara langsung setelah belajar tiga tahun di kampus
dan terjun langsung di pekerjaannya melalui PLP ini dan menerapkan
secara langsung materi-materi yang didapatkan sebelumnya.
Lulu menyebutkan program FITK yang berguna mengembangkan
kemampuan refleksi mahasiswa adalah PLP atau Pengenalan Lapangan
Persekolahan. Menurut Ristek Dikti, Pengenalan Lapangan Persekolahan yang
selanjutnya disingkat PLP adalah proses pengamatan/observasi dan pemagangan
yang dilakukan mahasiswa Program Sarjana Pendidikan untuk mempelajari aspek
pembelajaran dan pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan.10 PLP berguna
untuk memberikan pengalaman langsung kepada mahasiswa calon guru tentang
situasi dan kondisi di sekolah, serta tugas dan keterampilan yang hendaknya
dimiliki oleh seorang guru profesional.
Manfaat dari PLP bagi mahasiswa, mereka mendapatkan mentoring
langsung dari guru pamong, sebagaimana pengalaman Lulu ketika guru pamongnya
memberikan nasehat dan berbagi pengalaman mengajar, kemudian memberikan
nasehat agar menikmati proses mengajar, tugas guru bukan membuat murid paham,
meskipun masuk kelas dan murid hanya paham satu kalimat saja, maka sudah
mengajar.
10
Ristek Dikti, Panduan Program Pengenalan Lapangan Persekolahan Program
Sarjana Pendidikan. https://lldikti12.ristekdikti.go.id/2017/12/01/panduan-program-
pengenalan-lapangan-persekolahan-program-sarjana-pendidikan.html, diakses pada 06 Juni
2020
117
b. Status Exploratory – Moratorium
Saya punya cara sendiri untuk mengidentifikasi religiusitas saya ketika malam
hari, apakah hari ini saya lebih baik dari kemarin, apakah saya salat tepat
waktu atau tidak, ternyata salat saya tepat waktu tapi dhuha-nya tidak,
kemudian saya berpikir bagaimana caranya agar ke depan lebih baik lagi.
Religiusitas saya dinamis, tidak statis, kadang-kadang rajin ibadah kadang
juga kendor.
Kardita mengidentifikasi religiusitas dengan melakukan muhasabah (autokritik)
atas kegiatan dan perilakunya. Aktivitas Muhasabah membuat seseorang akan
mengetahui kekurangan-kekurangan dan kelebihan-kelebihan yang ada pada
dirinya serta mengetahui hak Allah atas dirinya. 12 Kardita mengakui
religiusitasnya dinamis dan tidak stagnan. Kadang-kadang rajin ibadah dan kadang
malas.
Orang tua sangat berpengaruh dalam perkembangan religiusitas saya karena
motivasi awal saya masuk pesantren adalah dari orang tua. Di Pesantren saya
juga bertemu dengan ustadz yang sudah saya anggap sebagai orang tua
11
Abdullah Sahin. New Directions in Islamic Education: Pedagogy and Identity
Formation. (Markfield: Kube Publishing Ltd, 2013). , 87
12
Jumal Ahmad. "Muhasabah Sebagai Upaya Mencapai Kesehatan Mental."
Research Gate (2018), 3.
118
angkat, beliau sering mengobrol secara personal tentang keseharian saya
termasuk dalam hal ibadah, Al-Qur‟an dan salat saya.
Orang yang berpengaruh menumbuhkan religiusitasnya adalah orang tua di
rumah dan guru di pesantren. Menurut Zakiyah Daradjat, pembentukan sikap,
pembinaan moral dan pribadi pada umumnya terjadi melalui pengalaman sejak kecil.
Pendidik pertama adalah orang tua kemudian guru. Semua pengalaman yang dilalui
oleh anak waktu kecilnya, akan merupakan unsur penting dalam pribadinya.13 Orang
tua atau guru yang sejak dini peduli terhadap kehidupan beragama pada anak
didiknya ditunjukkan dengan kesediaan menanamkan ajaran agama pada anak
didiknya, mendorong atau memotivasi serta mengingatkan anak untuk melaksanakan
kewajiban-kewajiban agama serta berperilaku sosial sesuai dengan agama.14
Kepedulian dan konsistensi guru atau orang yang lebih tua dalam
melaksanakan agama berpengaruh pada kehidupan beragama remaja. Crapps dalam
Tina Afiatin menyatakan, bimbingan agama yang diberikan orang tua sejak dini
akan memberikan fondasi bagi perkembangan religiusitas selanjutnya. Dari
lingkungan yang penuh kasih sayang yang diciptakan oleh orang tua, lahirlah
pengalaman keagamaan yang mendalam selama masa kanak-kanak. Pengalaman
emosional dan sosial awal ini merupakan suatu yang sangat berarti yang merupakan
dasar kehidupan beragama bagi anak itu dalam kehidupan selanjutnya.15
Saya merasakan ada perbedaan religiusitas ketika saya mondok dengan
kedisiplinan yang sedikit banyak membentuk karakter saya dalam beribadah
dan beragama, salat sudah dijadwalkan termasuk salat sunnah Dhuha dan
Tahajud karena lingkungan membentuk itu dan mendorong saya untuk lebih
beribadah. Ketika saya masuk ke UIN, saya katakan dengan jujur religiusitas
saya menurun dari yang sebelumnya puasa senin-kamis jadi lebih jarang,
bahkan seperti tahajud selama saya kuliah hampir tidak pernah. Faktornya
karena lingkungan dan pertemanan.
Lingkungan pesantren terdapat kultur sosial dan pola kehidupan yang tertanam
dalam setiap individu santri dalam menjalani kesehariannya. Pola kehidupan yang
tercipta membentuk kedisiplinan dalam beribadah dan beragama, salat wajib dan
salat sunnah teratur dan terjaga. Pola hidup terkontrol kadang membuat santri tidak
melakukan refleksi. Akibatnya santri mengalami tantangan berat ketika hidup dalam
13
Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa dan Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 62.
14
Alfin Maskur, Hubungan Antara Tingkat Religiusitas Orang Tua dengan
Religiusitas Siswa, Dirasah, Vol. 2, No. 1, Februari 2019
15
Tina Afiatin. "Religiusitas Remaja: Stud1 Tentang Kehidupan Beragama Di
Daerah Istimewa Yogyakarta." Jurnal Psikologi 25.1 (2016): 55-64.
119
dunia luar yang sangat berbeda dengan kehidupan di pesantren.16 Beberapa alumni
pesantren mengalami perubahan perilaku keagamaan dengan tujuan agar diterima di
lingkungan teman kuliah dan sepermainan. Ada juga yang melakukan sebagai
bentuk pelampiasan rasa tertekang selama di pondok pesantren menjadi individu
yang melakukan segala hal yang didasari rasa ingin tahu dan ikut trend yang ada,
mengesampingkan apa yang telah didapatkan selama di pondok pesantren. Kardita
mengalami perubahan perilaku keagamaan ketika ingin diterima di lingkungan
teman kuliahnya sebagaimana pengakuannya bahwa pertemanan dan kebiasaan
begadang sampai malam membuat ibadah yang dulu rajin dikerjakan semasa di
pesantren menjadi susah dilaksanakan, misal salat tahajjud.
Bisa jadi perubahan perilaku keagamaan pada alumni pesantren adalah alasan
mereka memilih pesantren karena paksaan orang tua yang menginginkan anaknya
menjadi santri.17 Rasa terpaksa menjalani kehidupan di pesantren menjadikan santri
merasa terkekang dan dibatasi rasa ingin tahunya terhadap sesuatu. Bentuk
perubahan perilaku keagamaan mahasiswa alumni pesantren sebelum dan sesudah
keluar dari pondok pesantren adalah salat fardhu yang mulai di nomor duakan
bahkan tidak di lakukan lagi, Qiyamul Lail yang sudah tidak pernah di lakukan lagi,
Al-Qur‘an yang sangat jarang tersentuh kecuali saat tertentu seperti bulan
Ramadhan.
Saya masih memandang salat sebagai sebuah kewajiban dan kadang merasa
terbebani, misal dalam keadaan lelah dan belum salat, tapi ketika
melaksanakan salat saya merasakan salat sebagai wadah atau jalan saya
untuk merenung, memberikan ketenangan dan memberikan inspirasi dan
merasa salat sebagai kebutuhan. Puasa saya anggap sebagai kebutuhan dan
tidak terbebani karena secara medis sendiri baik untuk mencukupi kebutuhan
fisik dan spiritual saya.
Refleksi Kardita terhadap ibadah salat berada pada tingkatan salat sebagai
kewajiban atau rutinitas (habitual action). Pada tingkatan ini salat dianggap
melelahkan, terlalu menguras waktu dan terkesan membosankan.18 Bisa jadi
komitmen agamanya dipengaruhi pola kehidupan pesantren yang terkontrol dalam
melaksanakan ibadah sehingga tidak diinformasikan dalam proses eksplorasi. Meski
16
Happy Susanto, Muhammad Muzakki. Perubahan Perilaku Santri (Studi Kasus
Alumni Pondok Pesantren Salafiyah di Desa Langkap Kecamatan Besuki Kabupaten
Situbondo). ISTAWA: Jurnal Pendidikan Islam. Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2016.
17
Laras Sintia Puspa Sari. Perubahan Perilaku Keagamaan Mahasiswa Alumni
Pondok Pesantren (Studi Tentang Terjadinya Perubahan Perilaku Keagamaan Mahasiswa
Alumni Pondok Pesantren Modern di Batu, Malang). Diss. Universitas Airlangga, 2018.
18
Arif Rahman, Panduan Sholat Wajib & Sunnah Sepanjang Masa Rasulullah Saw.
(Jakarta: Sahih, 2016), 34
120
Kardita juga mengakui salat sebagai kebutuhan ketika merasakan manfaat dari salat
yang memberikan ketenangan, merenung dan memberikan inspirasi. Timbul dari
proses kognitif bukan proses refleksi yang mendalam. Puasa dinilai Kardita sebagai
kebutuhan dan dia tidak merasa terbebani karena menilai asas manfaat puasa secara
kognitif dan belum sampai pada aspek afektif.
Komitmen dan Eksplorasi
121
konsultasi dengan ustadz saya di SMA untuk mendapatkan nasehat, motivasi
dalam beragama dan beribadah termasuk ketika ada keraguan.
Cara dia menanamkan keyakinan adalah membaca Al-Qur‘an dan meminta
nasehat dan motivasi kepada guru atau ustadznya di SMA. Dia tidak meminta
nasehat dalam masalah keyakinan kepada dosen di kampus karena menurutnya
beberapa dosen sudah terpapar liberalisme.
Pertama, saya membaca buku. saya senang membaca buku masalah agama
terutama tema-tema kontroversial tentang aqidah dan filsafat. Kedua,
berdiskusi dengan kawan tentang tema-tema keagamaan. Diskusi personal
dan diskusi kelompok. Ketiga, saya verifikasi dengan ustadz saya.
Beberapa hal dilakukan untuk melakukan verifikasi pemahaman agama
yaitu; 1) membaca buku, 2) berdiskusi dengan teman, 3) verifikasi dengan ustadz.
Menurut pedapatnya, diskusi dia gunakan untuk mengemukakan apa yang sudah
dibaca dan menunjukkan mahasiswa aktif dalam kelas, tetapi untuk verifikasi
keagamaan dia tidak mudah percaya kepada sembarang orang, dia percaya kepada
ustadznya di pondok. Dia terkadang melakukan verifikasi ke internet tetapi jarang.
Malah dari internet itu kemudian dia verifikasi ulang kepada ustadznya di pondok.
Pembelajaran Reflektif
Saya lebih suka menghafal daripada mencatat. Saya lebih suka
memfokuskan perhatian saya untuk memahami apa yang dosen saya
sampaikan kemudian ketika itu masih menjadi masalah bagi saya karena
belum jelas, saya lebih banyak membaca dan mencari referensi-referensi
lain. Saya juga lebih aplikatif dalam belajar misalnya mengidentifikasi kata-
kata bahasa Arab dalam kitab. Saya tidak puas mengandalkan apa yang
diajarkan di kelas.
Kardita terbiasa dengan cara belajar non-reflektif yang cenderung kepada
menghafal pelajaran. Mezirow menyebut level ini sebagai Habitual learning
biasanya menggunakan pendekatan surface learning dan melibatkan kemampuan
berpikir secara minimal. Pendekatan belajar permukaan (surface learning),
menekankan upaya belajar siswa untuk melengkapai tugas belajarnya, dengan
mengingat sebanyak mungkin informasi, tidak mengkaitkan konsep baru baru
dengan pengetahuan yang telah dimilikinnya dan memperlakukan tugas sebagai
paksaan atau beban eksternal. Rote learning (belajar menghafal) adalah contoh
pendekatan permukaan.
Dalam ilmu pendidikan ada namanya PTK atau Penelitian Tindakan Kelas.
Salah satu aplikasinya adalah micro teaching yaitu praktik mengajar di
kelas kecil dengan teman-teman sebagai murid. Kita diminta untuk
122
mengidentifikasi bagaimana kondisi murid kita, bagaimana keadaan kelas,
apa masalah di dalam kelas, kemudian kita memikirkan bagaimana solusi
dan penyelesaian dari masalah-masalah di dalam kelas dengan menyusun
RPP, pemilihan metode untuk keadaan seperti ini. Lingkup makro, kita
diterjunkan langsung untuk mengajar di sekolah-sekolah. Pertama kita
observasi, dari observasi ini kita menganalisis dan identifikasi bagaimana
strategi yang digunakan di sekolah tersebut kemudian tuliskan dalam bentuk
laporan dan semua kegiatan ini memerlukan refleksi. Kedua, kita mengajar
langsung, setelah jadi observer kita mengajar disana dengan memberikan
solusi dari masalah yang sudah diidentifikasi sebelumnya.
Kardita menyebutkan program FITK yang berguna membangun kemampuan
refleksi mahasiswa, pada lingkup kecil mahasiswa melaksanakan pengajaran mikro
(micro teaching) yaitu mahasiswa berlatih mempraktikkan beberapa keterampilan
dasar mengajar di depan teman-temannyadalam suasana konstruktif, suportif dan
bersahabat. Sehingga mendukung kesiapan mental, keterampilan dan kemampuan
untuk praktik mengajar sesungguhnya di sekolah. Pada lingkup makro, mahasiswa
diterjunkan ke sekolah-sekolah untuk mengajar beberapa waktu melalui program
PLP dan KKN.
Status achievement adalah individu yang telah mengalami krisis dan membuat
komitmen.19 Status ini muncul setelah melalui periode bertanya dan mencari,
kepercayaan dan nilai-nilai agama menjadi terinternalisasi. Religiusitas terdorong
secara internal (intrinsik). Hidup diupayakan untuk menggapai sesuatu yang ideal,
bukan untuk menjaga diri, memenuhi kebutuhan, atau persetujuan dari orang lain.
Keyakinan dan pengalaman keagamaan diintegrasikan ke dalam nilai-nilai spiritual
dengan sungguh-sungguh. Agama dan spiritualitas diinternalisasi sepanjang hidup
dan menjadi pusat atau landasan semua pemikiran dan perbuatan. Setiap momen
dijalani sebagai kesempatan untuk mengenal dan berhubungan dengan Tuhan.
Menurut Griffith & Griggs, remaja dengan status identitas religius achievement
akan mulai menginternalisasi keyakinan dan nilai-nilai religius yang dimilikinya
setelah remaja mengalami masa pencarian dan masa mempertanyakan. Proses
internalisasi ini biasanya diiringi dengan perubahan pengalaman.20 Allport dalam
Griffith & Griggs menyebutkan bahwa religiusitas bagi remaja dengan status
19
Griffith, B. A., & Griggs, J. C. (2001). Religious identity status as a model to
understand, assess, and interact with client spirituality. Counseling and Values, 46(1), 14-24.
20
Griffith, B. A., & Griggs, J. C. (2001). Religious identity status as a model to
understand, assess, and interact with client spirituality. Counseling and Values, 46(1), 14-24.
123
achievement merupakan motivasi instrinsik dan akan terus diikuti sampai akhir.
Sementara Sanders dalam Griffith & Griggs menyatakan bahwa individu yang
memiliki identitas religius pada tahap achievement memiliki keyakinan yang matang
dan terintegrasi dan didefinisikan sebagai pelayanan akan kemanusiaan dan
pelayanan diri akan relitas transendensi.
Waktu TK ada habib bernama Muzamil bin Muzair yang menjadi tokoh di
masyarakat dan menjadi contoh bagi warga sekitar termasuk keluarga saya.
Dan ketika SMP saya bertemu ibu guru agama saya bernama ibu
Maghfuroh dan ibu Lisa damayanti ketika SMA. Ketika guru masuk ke kelas,
menempatkan guru sebagai ibu maka akan mudah menerima daripada
hanya menempatkan guru sebagai penyampai ilmu saja.
Guru adalah orang tua kedua peserta didik di sekolah.21 Orang tua dan guru
mempunyai nila ideal bagi remaja dan pengaruh yang cukup besar bagi
perkembangan identitas diri, sehingga dirinya sering berperilaku seperti tokoh
idealnya dengan meniru sikap maupun perilakunya bahkan seolah-olah menjadi
seperti mereka.22 Hal ini sesuai dengan pendapat Bandura, sebagaimana dikutip oleh
Surya Subrata bahwa sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara
selektif dan mengingat tingkah laku orang lain.23
Menurut Prayitno dalam buku Dasar Teori dan Praksis Pendidikan, pola
penghormatan dan pengakuan Ari terhadap ibu guru di SMP dan SMA terbentuk
dalam dominasi internalisasi. Tidak ada rasa takut, cemas dan khawatir. Ari
menghormati guru karena orang yang dinamakan guru itu memang patut dihormati.24
21
Amrulloh, Guru sebagai Orang Tua dalam Hadis "Aku bagi Kalian Laksana
Ayah". Dirāsāt: Jurnal Manajemen & Pendidikan Islam Volume 2, Nomor 1, Desember
2016
22
Desmita, Psikologi Perkembangan (Bandung: Rosdakarya, 2005), 217
23
Surya Suryabrata, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 59.
24
Prayitno menyebutkan tiga tipe hubungan pendidik dan peserta didik yaitu 1)
Dominasi kekuasaan. Pada tipe ini, pendidik meminta penghormatan yang penuh dari peserta
didik. Pendidik memakai alat-alat kekuasaan seperti paksaan, ancaman, hukuman, sanksi,
amarah dan sebagainya untuk diberikan penghormatan oleh peserta didik. Peserta didik
memberikan penghormatan secara lahir, tetapi di hati tidak rela, mengomel dan lain
sebagainya.
2) Dominasi Kharisma. Pendidik menikmati penghormatan yang luar biasa dari
peserta didik yang secara sukarela dan penuh kepercayaan mengakui pendidiknya sebagai
orang yang istimewa. Tanpa disuruh, tanpa diminta, peserta didik dengan sendirinya
menghormati dan mengakui pendidiknya pada posisi yang tinggi, bahkan tak tergoyahkan.
124
Lebih dari itu, Ari memposisikan sosok guru sebagai orang tua yang mengayomi dan
memberi petuah sehingga peserta didik merasa nyaman, tidak ada sekat dan mudah
menerima pelajaran.25
Perjalanan keagamaan dari waktu ke waktu yang berpengaruh kepada saya
adalah di waktu jumat. Guru ketika dari SD sampai SMA selalu
mengingatkan agar kita jangan sampai tertinggal shalat Jumat. Demikian
juga khatib saya ibaratkan ayah walaupun bukan ayah kandung yang
memberikan nasihat kepada saya. Jumat itu hari barokah dan setiap waktu
pagi hari di hari Jumat kita selalu membaca doa kebaikan untuk guru-guru
yang sudah tiada atau masyarakat yang sudah tiada.
Ari merefleksikan pelajaran dari guru yang mempengaruhi perjalanan
keagamaannya yaitu salat Jumat. Gurunya selalu mengingatkan agar tidak tertinggal
salat Jumat karena merupakan hari penuh berkah dan diterimanya doa-doa kebaikan
untuk orang-orang yang sudah tiada. Ari mampu merefleksikan lebih mendalam
peran seorang khatib jumat, ajakan kebaikan dan ketakwaan dari khatib dianggap
sebagai nasehat seorang ayah kepada anaknya.
Teman-teman sekelas bukan hanya berasal dari pesantren saja dan mereka
menunjukkan religiusitasnya. Akhirnya saya juga tertarik untuk ikut karena
tujuan kuliah adalah meningkatkan religiusitas juga.
Elizabeth M. Dowling dan W. George Scarlett dalam Encyclopedia of
Religious and Spiritual Development menyebutkan bahwa teman sebaya memiliki
pengaruh positif moderat pada perilaku keberagamaan dengan pemberian model.26
Menurut Ari, teman kuliahnya berasal dari berbagai latar belakang seperti Aliyah
dan SMA, bukan hanya dari pesantren yang mereka semua menunjukkan
religiusitasnya. Hal ini memotivasi dirinya untuk meningkatkan religiusitasnya juga
karena menurut Ari tujuan kuliah bukan hanya mendapatkan ilmu saja tetapi juga
3). Dominasi Internalisasi. Pendidik mengakui bahwa peserta didik pada dasarnya
adalah kuat, memiliki potensi yang luas biasa, bersemangat dan memiliki kemampuan yang
luas biasa. Pendidik memberikan penghormatan yang tinggi kepada peserta didik sebagai
tunas muda. Kelemahan peserta didik justru merupakan arah untuk berkembang meraih
kemajuan.Penghormatan peserta didik kepada pendidik meluncur secara wajar, objektif dan
rasional. Prayitno, Dasar Teori dan Praksis Pendidikan, (Jakarta: Grasindo, 2009), 89-92
25
Menurut teori sosiologi, peran sosial guru di sekolah ada tiga macam antara lain
guru sebagai 1) guru, 2) guru sebagai orang tua, dan 3) guru sebagai teman sejawat di
sekolah khususnya di kelas. Ruminiati, Sosio Antropologi Pendidikan: Suatu Kajian
Multikultural, (Malang: Penerbit Gunung Samudera [Grup Penerbit PT Book Mart
Indonesia], 2014), 45-46
26
Elizabeth M. Dowling, W. George Scarlett. Peer and Friend Influences on
Adolescent Faith Development dalam Encyclopedia of Religious and Spiritual Development.
(New York: SAGE Publications, 2005), 337.
125
meningkatkan ilmu agama dan religiusitas. Beberapa teman dekatnya menjadi rekan
untuk belajar agama di luar kuliah. Selain sisi positif ini, Ari menunjukkan sisi
negatif teman-temanya yaitu lebih suka menonjolkan pemahaman agama yang
dianut tanpa mau dikritik dan tidak berempati.
Komitmen dan Eksplorasi
126
Arraiyyah bahwa salat adalah upaya manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Melalui ibadah, manusia sebagai hamba Allah yang kedudukannya renda menjalin
komunikasi dengan Allah yang Mahakuasa dan tak tampak. Aktivitas ibadah salat
disebut sebagai upaya pendakian spiritual.29 Semakin naik spiritual semakin tajam
keimanan.
Upaya terus menanamkan keyakinan dilakukan oleh Ari dengan beberapa
hal yaitu 1) belajar taklim kepada para habib, 2) melalukan ziarah untuk mengingat
kematian dan 3) peduli dengan sesama saudara baik keluarga, teman atau orang
yang ditemui di jalan tanpa meminta imbalan.
Pembelajaran Reflektif
Saya suka meresume atau mencatat apa yang saya pelajari. Imam Syafi‟i
yang hanya mendengar dan Imam Ahmad menulis dan mendengar, mungkin
kecenderungan saya lebih kepada Iman Ahmad meskipun mazhab tetap
kepada Imam Syafi‟i. Ingatan kita ada yang kuat ada yang tidak. Ada
tukang parkir yang memberikan nasihat, meskipun hanya tukang parkir tapi
dia adalah perantara dari Allah untuk didengar atau seperti orang yang
melarang buang sampah, jangan dilihat orangnya tapi lihat esensi yang dia
sampaikan.
Keterangan Ari menunjukkan proses belajar surface learning yang meresume
atau mencatat apa yang dipelajari. Meski demikian, Ari mampu merefleksikann gaya
belajarnya dengan memfigurkan Imam Ahmad yang menggabungkan antara menulis
dan mendengar daripada Imam Syafi‘i yang lebih mengutamakan metode
mendengarkan ilmu.
Imam Ahmad mulai menulis hadis sejak umur 16 tahun dan melakukan
perjalanan ke Bashrah, Hijaz, Yaman dan lainnya untuk mencari hadis, maka dia
banyak menulis dan mendengar. Sementara Imam Syafi‘i, di usia 7 tahun beliau
telah menghafal Al-Qur‘an. Dan sifat dari Imam Safi‟i adalah, jika beliau melihat
temannya diberi pelajaran oleh gurunya, maka pelajaran yang dipelajari oleh
temannya itu dapat beliau pahami. Demikian pula jika ada orang yang membacakan
buku di hadapan Imam Syafii, lalu beliau mendengarkannya, secara spontan beliau
dapat menghafalnya. Kecerdasarnnya yang luar biasa membuatnya cukup dengan
mendengarkan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.30
29
Hamdar Arraiyyah, Shalat dan Pendakian Spiritual, Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Agama RI, https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/berita/shalat-dan-pendakian-
spiritual (diakses 17 Mei 2020)
30
Mohammad Ridwan, Menilik Rahasia Belajar Imam Madzhab, Misykah, Vol.1
No. 2 Juli-Desember 2016
127
Di Jurusan PAI ada beberapa kegiatan yang diadakan untuk
mengembangkan kemampuan reflective thinking mahasiswa yaitu dengan
mengundang pembicara dari luar kampus yang khusus bertema agama,
untuk tema pendidikan biasanya diadakan seminar PPG yang pernah diisi
oleh rektor dari UIN Bandung, UIN Banten dan Rektor UIN Jakarta,
berdiskusi dan kita sebagai peserta. Porsi yang lebih banyak adalah dari
dosen di kelas, ada yang ketika masuk sudah meminta besok mengumpulkan
resume atau resitasi atau besok dosen akan memberikan pertanyaan bebas.
Apa yang disebutkan dalam pengertian Ari terbatas pada definisi reflective
thinking namun belum sampai pada aktualisasi reflective thinking. Pembicara yang
didatangkan oleh pihak universitas atau dosen di kelas belum menunjukkan
aktualisasi refleksi sehingga berpengaruh pada refleksi mahasiswa yang nantinya
dipraktekkan pada anak didik yang dia ajar. Ari juga menyebutkan ada beberapa
dosen FITK yang penyampaiannya menyentuh hati dan merubah pola pikirnya.
a) Religiusitas
128
dengan rincian; religiusitas kategori rendah sebanyak 5 mahasiswa (3,52%),
religiusitas kategori sedang sebanyak 102 mahasiswa (71,83%) dan mahasiswa yang
memiliki religiusitas kategori tinggi sebanyak 35 mahasiswa (24,65%). Religiusitas
mahasiswa dengan latar belakang pendidikan SMA, Aliyah dan Pesantren berada
pada kategori sedang. SMA dan Pesantren berada dalam skor rerata yang sama
dengan perbedaan 1 poin yaitu rata-rata 43,2 untuk SMA dan rata-rata 43,3 untuk
Pesantren. Sedangkan Aliyah berada pada rerata 42,7 dengan perbandingan cukup
besar yaitu 1,4 poin.
Telah disebutkan pada bab 2 sebelumnya bahwa Islam memiliki cara
pandang (worldview) yang berbeda dengan agama lain, karenanya konstruk
religiusitasnya juga berbeda. Agama perspektif Islam yaitu ikatan antara Tuhan
sebagai realitas tertinggi dan manusia sebagai salah satu ciptaan-Nya. Agama adalah
cara hidup (al-dīn) atau jalan (al-ṭarīqat) menuju Allah sebagai pusat yang meliputi
seluruh pekerjaan, keyakinan, dan keberadaan seorang Muslim. Maka dalam Islam
tidak ada spiritualitas tanpa kepercayaan (faith) dan praktik agama (worship), karena
agama memberikan jalan bagi kehidupan spiritual yang baik.
Memisahkan antara dunia dan akhirat, kehidupan dunia dan agama
merupakan pengaruh sekularisasi masyarakat Barat yang tidak dikenal dalam ajaran
Islam, demikian pula polarisasi religiusitas dan spiritualitas dimana spiritualitas
dilihat sebagai pengalaman individu berhubungan dengan transendental, sementara
agama dipandang terkait dengan tradisi institusi.32 Aspek keyakinan dan tindakan
praktik tidak dapat dilepaskan dari pencarian dan hubungan dengan Allah sebagai
pencipta. Konstruk beragama (religiusitas) Islam bukan hanya bersifat keyakinan
dan praktik tindakan, namun juga tercakup didalamnya dimensi spiritualitas yang
dikenal sebagai dimensi Ihsan. Dalam dimensi spiritualitas Islam terkandung
penekanan pada upaya untuk membersihkan hati, menjaga keterhubungan hati
dengan Allah serta menemukan makna hidup sebagai sarana untuk mengenal
kehendak Allah.
Perlu adanya arah baru pengembangan karakter Islam dari parsial yang
membedakan religiusitas yang formalistik dan spiritualitas yang substantifistik
kepada pembentukan karakter Islam yang integral dan tidak dikomotis sesuai ajaran
Islam.
32
Brian J Zinnbauer, Kenneth I. Pargament, Brenda Cole, Mark S. Rye, Eric M.
Butter, Timothy G. Belavich, Kathleen M. Hipp, Allie B. Scott, and Jill L. Kadar. "Religion
and Spirituality: Unfuzzying the Fuzzy." Journal for the Scientific Study of Religion 36, no. 4
(1997): 549-64. doi:10.2307/1387689.
129
b) Refleksi
Pada bagian ini peneliti membagi refleksi dalam dua kategori yaitu refleksi
keagamaan, bagaimana praktik keagamaan diinternalisasi dalam diri individu
menggunakan kontinum refleksi; habitual action, understanding, reflection dan
critical reflection. Selanjutnya refleksi mahasiswa dan dosen dalam pembelajaran
untuk mengetahui tingkat refleksi mereka menggunakan kontinum refleksi diri yang
terdiri dari unaware stage, conscious stage, action stage dan refinement stage.
Menurut Ahmad Tafsir, pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan
oleh seseorang kepada orang lain agar ia berkembang secara maksimal sesuai
dengan ajaran Islam.33 Berdasarkan hal tersebut, dalam proses mendidik tidak cukup
hanya sampai pada upaya memberikan pemahaman dan melatih peserta didik
terampil mempraktikkan apa yang mereka pelajari, namun sampai pada proses
internalisasi yang melibatkan proses afektif. Disinilah tantangan guru pendidikan
agama, harus mampu mempraktikkan tiga ranah pembelajaran sekaligus dalam satu
materi yaitu ranah kongitif, ranah psikomotorik dan ranah afektif. Dalam
mengajarkan materi salat misalnya, guru perlu membimbing peserta didik agar
terampil mempraktikkan salat, mulai dari bacaan salat sampai dengan gerakan-
gerakan salat. Semuanya perlu dilatih satu persatu sampai peserta didik menjadi
terampil mengucapkan bacaan salat dan mempraktikkan gerakan-gerakannya. Ketika
peserta sudah mampu salat dengan baik, tantangan selanjutnya adalah bagaimana
peserta didik sampai pada titik afeksi dalam salat yaitu merasa salat adalah
kebutuhan dan merasa salat adalah sarana bersama Allah Swt.
Pada tingkat mahasiswa, kesadaran seperti di atas mestinya sudah mereka
dapatkan sejak dari kampus melalui pendidikan keagamaan dan aktivitas keagamaan
yang mereka ikuti, serta lingkungan sosial yang religius. Hal tersebut merupakan
kesempatan bagi mahasiswa untuk melakukan eksplorasi terhadap keagamaan.
Dalam penelitian kuantitatif, peneliti ingin mengetahui sejauh mana refleksi
responden dalam beberapa aspek Islam, Iman dan Ihsan yaitu dalam salat, puasa,
iman pada Allah dan Iman pada hari Akhir kemudian dalam hal menghormati orang
lain dan perilaku bertanggung jawab. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat refleksi
responden berada pada kontinum understanding, reflection, critical reflection dan
yang paling rendah adalah habitual action. Dengan demikian, pertemuan antara
refleksi dan religiusitas adalah hal yang wajar karena keduanya adalah produk dari
pengalaman yang membuat manusia makhluk unik di dunia.34
33
Nadia Jafar Abdat and Lidia Fuji Rahayu. "Konsep Pendidikan Islami Menurut
Ahmad Tafsir." Fikrah 7, no. 1 (2016).
34
Zehavit Gross(2010) 'Reflective Teaching as a Path to Religious Meaning-Making
and Growth', Religious Education, 105: 3, 265 — 282
130
Salah satu hal yang perlu ditanggulangi dengan segera dalam pendidikan
Islam saat ini adalah bagaimana mengubah pengetahuan agama yang bersifat
kognitif menjadi makna dan nilai yang dapat diinternalisasikan dalam diri peserta
didik, untuk selanjutnya menjadi sumber motivasi bagi peserta didik untuk berbuat
dan berperilaku secara kongkret-agamis dalam kehidupan sehari-hari.35
Selanjutnya dalam refleksi pembelajaran, penelitian ini mengkaji
sejauhmana refleksi dalam proses belajar mengajar. Idealnya pembelajaran akan
mampu membangkitkan potensi, memberikan motivasi, menggali minat,
mengembangkat bakat, memupuk keterampilan, mengembangkan kompetensi
melalui pola pembelajaran yang kreatif dan kontekstual. Pola pembelajaran yang
demikian akan menunjang tercapainya sekolah yang unggul dan kualitas lulusan
yang siap bersaing dalam arus perkembangan zaman. Siswa bukanlah manusia yang
tidak memiliki pengalaman. Sebaliknya, berjuta-juta pengalaman yang cukup
beragam sudah dimiliki. Oleh karena itu, dikelas pun siswa harus kritis membaca
kenyataan kelas, dan siap mengkritisinya. Bertolak dari kondisi ideal tersebut, kita
menyadari, hingga sekarang ini siswa masih banyak yang senang diajar dengan
metode yang konservatif, seperti ceramah, didikte, karena lebih sederhana dan tidak
ada tantangan untuk berpikir. Hal ini pada gilirannya menjadikan belajar lebih
banyak bersifat studi tekstual daripada pemahaman pelajaran yang bersangkutan.
Hal ini menimbulkan dorongan untuk belajar dengan surface learning daripada
pembelajaran cara mendalam (deep learning).
Jawaban responden ketika ditanyakan tentang refleksi mereka dalam belajar,
menunjukkan jawaban paling banyak telah berusaha untuk menghubungkan materi
kuliah dengan pengalaman dan analisa untuk mendapatkan pemahaman baru dan
sudah masuh dalam kontinum reflection. Peneliti juga mengajukan pertanyaan
tentang interaksi dosen dan mahasiswa dalam membuat suasana pembelajaran
reflektif. Jawaban responden menunjukkan pengajar memiliki tingkat refleksi yang
baik dengan mmebuat suasana diskusi terbuka, interaktif dan responsif yang
berpengaruh terhadap meningkatnya pembelajaran reflektif.
Pengajaran dan pembelajaran hendaknya memposisikan siswa sebagai
seseorang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman sebagai hasil interaksi
dengan lingkungannya, sehingga siswa dapat mengembangkan pengetahuan tersebut
apabila diberikan kesempatan untuk mengembangkannya. Dengan demikian, siswa
aktif dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan, guru dan dosen bertindak
sebagai fasilitator, memberikan kesempatan kepada para siswa untuk berkembang,
berpendapat, berkreasi sebagai dirinya.
35
Asnah., ―Strategi Reflektif Dan Transinternal Sebagai Upaya Menumbuhkan
Penghayatan Siswa Dalam Pembelajaran PAI‖ Tazkir 2, no. 2 (2016): 2442–7004.
131
c) Subjektivitas Keagamaan
132
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Tesis ini hendak menjawab pertanyaan dari rumusan masalah yang dibuat yaitu
gambaran religiusitas, refleksi dan subjektivitas keagamaan mahasiswa dan
membuktikan bahwa internalisasi nilai dalam religiusitas dan refleksi yang semakin
tinggi, semakin tinggi pula kualitas religiusitas dan refleksi tersebut.
Kesimpulan tersebut diperkuat dengan kesimpulan-kesimpulan berikut ini;
133
kemampuan mengelola kelas.1 Lebih dari itu, kemampuan refleksi guru
bertujuan mengembangkan refleksi kritis, dialog dan pengetahuan yang
berarti2.
B. Saran
Penelitian ini diakhiri dengan menawarkan sejumlah saran kepada lembaga
pendidikan dan akademisi dan peneliti selanjutnya:
1. Perlu adanya arah baru pengembangan karakter Islam yang integral tanpa
dikotomi religiusitas yang formalistik dan spiritualitas yang substantifistik.
2. Mengingat subjektivitas keagamaan (religious subjectivity) yang paling
banyak adalah Foreclosure, yaitu individu yang menjalankan komitmen
terhadap keagamaannya tanpa melakukan eksplorasi terhadap nilai-nilai
agama itu sendiri yang banyak terdapat pada mahasiswa dengan latar
belakang pendidikan SMA. Maka hendaknya universitas dan fakultas lebih
mengaktifkan kegiatan yang dapat menjadi sarana bagi mahasiswa untuk
menggali nilai-nilai Islam lebih dalam lagi pada jurusan non-keagamaan.
3. Penelitian ini perlu dilanjutkan dengan membuktikan validitas pengukuran
religiusitas dan subjektivitas keagamaan (religious subjectivity) pada
fakultas lain di lingkungan kampus UIN Jakarta atau di luar kampus UIN
Jakarta.
1
R. Leith and C. Day, ―Action research and reflective practice: Towards a holisctic
view‖ dalam Jurnal Educational Action Research, Vol. 8 (1), 2000, hlm. 179-193.
2
I.R Comford, ―Reflective teaching: Empirical research finding and some
implications for teacher education‖ dalam Jurnal Vocational Education and Training, Vol.
54 (2), 2000, hlm. 219 – 235.
134
135
DAFTAR PUSTAKA
Buku
136
Ghozali, Imam, and Fuad. Structural equation modeling: Teori, konsep, dan aplikasi
dengan program Lisrel 8.80. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2008.
Hair, J. F., Black, W. C., Babin, B. J., & Anderson, R. E.. Multivariate Data
Analysis (7th ed.). New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2010
Harrington, Donna. Confirmatory Factor Analysis, Pocket Guides to Social Work
Research Methods. Oxford University Press, 2009.
Hermida, Julian. Facilitating Deep Learning: Pathways to Success for University
and College Teachers, Canada: Apple Academic Press, 2015.
Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan Edisi Kelima (Development Psychology: A life-Span
Approach, Fifth Edition), Edt. Drs. Ridwan Max Sijabat, Jakarta: Erlangga,
Cet. 13
Imron, Aspek Spiritualitas dalam Kinerja, Magelang: Unimma Press, 2018.
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Jensen, Erin dan LeAnn Nickelsen, Deeper Learning: 7 Powerful Strategies for In-
Depth and Longer-Lasting Learning (Deeper Learning: 7 Strategi Luar Biasa
untuk Pembelajaran yang Mendalam dan Tak Terlupakan), Jakarta: PT.
Indeks, Cet. I, 2011.
Kadir, Statistika Terapan: Konsep, Contoh dan Analisis Data dengan Program
SPSS/Lisrel dalam penelitian, Jakarta: Cet ke 3, Raja Grafindo Persada, 2016.
Khan, M. A. Muqtedar. Islam and Good Governance: A Political Philosophy of
Ihsan, USA: Palgrave Macmillan, 2019.
Lickona, Thomas. Educating for Character: Mendidik untuk Membentuk Karakter,
terj. Juma Wadu Wamaungu dan Editor Uyu Wahyuddin dan Suryani, Jakarta:
Bumi Aksara, 2012.
Moeleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2002.
Moon, Jennifer. Reflection in Learning and Professional Development Theory and
Practice, USA: Kogan Page Limited, 1999.
Mahmood, Tariq. An Islamic Approach to Rehabilitation of Muslim Prisoners: An
Empirical Case Study. Lahore: Sange Meel Publications, 2013.
Marcia, James. Handbook of Adolescence Psychology. J. Adelson. New York:
Wiley & Sons, 1993.
Masud, Muhammad Khalid. ―Religious Identity and Mass Education‖, dalam Johan
H. Meuleman (ed), Islam in the Era Globalization, Muslim Attitudes Towards
Modernity and Identity”. Jakarta: INIS, 2001.
Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Dalam Abad 21.
Yogyakarta: Safirina Insania Press, 2003
Meuleman, Johan H. (ed), Islam in the Era Globalization, Muslim Attitudes Towards
Modernity and Identity. Jakarta: INIS, 2001.
137
Mezirow, Jack, and Associates, Fostering Critical Reflection in Adulthood: A Guide
to Transformative and Emancipatory Learning, 1990, Jossey Bass.
________ et. al. (Hg.). Learning as Transformation. Critical Perspectives on a
Theory in Progress. San Francisco: Jossey-Bass, 2000.
________ The Handbook of Transformative Learning: Theory, Research, and
Practice, San Francisco Jossey-Bass, 2000
Muhammad, Abdullah bin, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, Bogor: Pustaka Imam Asy-
Syafi‘i, 2004
Muhtadi, Asep Saepulah. Pribumisasi Islam: Ikhtiar menggagas fiqh kontekstual.
Bandung: Pustaka Setia, 2005.
Murata, Sachico & William C. Chittick, Trilogi Islam, Jakarta: PT. Rajagarafindo
Persada, 1997
Nicola Madge, Peter Hemming, and Kevin Stenson. Youth on religion: The
development, negotiation and impact of faith and non-faith identity.
Routledge, 2014
Nizar, Samsul. et al.Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di
Nusantara, Fajar Interpratama Mandiri: Jakarta, 2013.
Prasetyo, Bambang dan Lina Miftahul Jannah, Metode Penelitian Kuantitatif,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Rachman, Budhi Munawar, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta:
Paramadina, 1995
Rahman, Arif, Panduan Sholat Wajib & Sunnah Sepanjang Masa Rasulullah Saw.
Jakarta: Sahih, 2016
Rahardjo, M Dawam (edt). Keluar dari Kemelut Pendidikan Indonesia: Menjawab
Tantangan Kualitas Sumberdaya Manusia Abad 21, Jakarta: PT. Intermasa,
1997, cet 1.
Ramayulis, Psikologi Agama, Jakarta: Radar Jaya Offset, Cetakan Ketujuh, 2004.
Sahin, Abdullah. New Directions in Islamic Education: Pedagogy and Identity
Formation. Kube Publishing Ltd, 2013.
Santrock, John W. Life-span Development : Perkembangan Masa Hidup. Edisi 5
jilid 2, Jakarta: Erlangga, 2002.
Sholikhin, Muhammad. Filsafat dan Metafisika dalam Islam, Yogyakarta: Penerbit
Narasi, Cet. 1, 2008
Saunders, M., Lewis, P. and Thornhill, A. Research Methods for Business Students.
Harlow: Pearson Education Limited, 2009
Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), Bandung: Alfabeta, Cet
Ke-9, 2017.
________, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2008.
Suharto, Babun. Marketing Pendidikan; Menata Ulang PTKI Menghadapi Pasar
Bebas ASEAN, Yogyakarta: PT. Lkis Pelangi Aksara, 2016.
138
Sumarmo, Berpikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana
Dikembangkan pada Peserta Didik, Bandung : FPMIPA UPI, 2010.
Susetya, Wawan. Perdebatan Langit Dan Bumi, Jakarta: Penerbit Republika, 2005.
Slavin, R.E. Educational Psychology. Theory and Practice. Fifth Edition.
Needham Heights, MA: Allyn & Bacon, 1997
Tobroni, dkk. Memperbincangkan Pemikiran Pendidikan Islam: Dari Idealisme
Substantif Hingga Konsep Aktual, Jakarta: Kencana, 2018.
Usman, Hussaini dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial,
Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Uwe Flick, Ernst von Kardoff and Ines Steinke (edt), A companion to Qualitative
Research, SAGE Publications, 2004
Waluyo, Minto. Mudah Cepat Tepat Penggunaan Tools Amos dalam Apliksi (SEM),
UPN "Veteran"Jawa Timur.
Yudhawati, Ratna dan Dany Haryanto, Teori-Teori Dasar Psikologi Pendidikan,
Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2011
Yusoff, Zulkifli Mohd., Noor Naemah Abd. Rahman. Muhammad bin Abdullah:
Perjalanan Hidup Seorang Nabi, Selangor: PTS Islamika Sdn. Bhd, Cet 5,
2011.
Yin, Robert K. Studi Kasus: Desain dan Metode, Penerjemah: M Djauzi Mudzakir,
Depok: Rajawali Pers, 2019, Cet. 16.
Jurnal
Abdat, Nadia Jafar, and Lidia Fuji Rahayu. "Konsep Pendidikan Islami Menurut
Ahmad Tafsir." FIKRAH 7, no. 1 (2016).
Abidin, Zainal. Kecenderungan Mahasiswa memilih Prodi Tarbiyah dan Minat
menjadi Guru Periode Akademik 2012-2013, SUHUF, Vol. 26, No. 1, Mei
2014: 67-84
Afiatin, Tina. "Religiusitas Remaja: Stud1 Tentang Kehidupan Beragama Di Daerah
Istimewa Yogyakarta." Jurnal Psikologi 25.1 (2016): 55-64.
139
Alghorani, M. A. (2008). Knowledge-Practice Measure of Islamic Religiosity
(KPMIR): A case of high school Muslim students in the United States.
Journal of Muslim Mental Health, 3(1), 25–36.
Anu Sööt, Ele Viskus, Reflection on Teaching: A Way to Learn from Practice,
Procedia - Social and Behavioral Sciences, Volume 191, 2015, Pages 1941-
1946, ISSN 1877-0428.
Bhakti, Caraka Putra, and Ika Maryani. "Peran LPTK dalam Pengembangan
Kompetensi Pedagogik Calon Guru." JP (Jurnal Pendidikan): Teori dan
Praktik 1, no. 2 (2017): 98-106.
Bertram-Troost, Gerdien D., de Roos, Simone and Miedema, Siebren (2006)
'Religious identity development of adolescents in religious affiliated schools.
A theoretical foundation for empirical research', Journal of Beliefs & Values,
27: 3, 303 — 314
Berisha, Elma. The Qur'anic Semio-Ethics of Nature, Islam and Civilisational
Renewal, 8 (2017), 47-65
El-menouar, Yasemin. ―The Five Dimensions of Muslim Religiosity . Results of an
Empirical Study‖ 8, no. 1 (2014): 53–78.
F. Sayilan, ―Jack Mezirow and Transformative Learning Theory‖ (Journal of
Faculty of Educational Sciences, vol. 41, Ankara University, 2008), 299-316
Fichter, Joseph H. ―Sociological Measurement of Religiosity.‖ Review of Religious
Research, vol. 10, no. 3, 1969, pp. 169–177. JSTOR,
www.jstor.org/stable/3510744. Accessed 6 Feb. 2020.
Firdausy, Muhammad Anwar.Kritik atas Iman. El Harakah; Malang Vol. 8, Iss. 1,
(2006): 115-122.
Francis, Leslie J, Abdullah Sahin, and Fahad Al-Failakawi. ―Psychometric
Properties of Two Islamic Measures among Young Adults in Kuwait: The
Sahin-Francis Scale of Attitude toward Islam and the Sahin Index of Islamic
Moral Values.‖ Journal of Muslim Mental Health 3, no. 1 (2008): 9–24.
Fred Korthagen & Angelo Vasalos (2005) Levels in reflection: core reflection as a
means to enhance professional growth, Teachers and Teaching, 11:1, 47-71.
Ghorbani, N., Watson, P. J., Ghramaleki, A. F., Morris, R. J., & Hood, R. W., Jr.
(2002). Muslim-Christian Religious Orientation Scales: Distinctions,
correlations, and cross-cultural analysis in Iran and the United States.
International Journal for the Psychology of Religion, 12(2), 69–91.
140
Griffith, B. A., & Griggs, J. C. (2001). Religious identity status as a model to
understand, assess, and interact with client spirituality. Counseling and
Values, 46(1), 14-24.
Gross, Zehavit (2010) 'Reflective Teaching as a Path to Religious Meaning-Making
and Growth', Religious Education, 105: 3, 265 — 282
Hasanah, U., Susanti, H. & Panjaitan, R.U. Family experience in facilitating
adolescents during self-identity development in ex-localization in Indonesia.
BMC Nurs 18, 35 (2019)
Hanizar, Ima Nurmalita dan Susandari, Studi Deskriptif Mengenai Religious Identity
Status pada Mahasiswa Tingkat Akhir Universitas Islam Bandung, Prosiding
Psikologi, Volume 2, No. 2, Tahun 2016
Hill, P.C., Pargament, K.I., Hood, R.W., McCullough, J.M.E., Swyers, J.P., Larson,
D.B. and Zinnbauer, B.J. (2000), Conceptualizing Religion and Spirituality:
Points of Commonality, Points of Departure. Journal for the Theory of Social
Behaviour, 30: 51-77.
Holdcroft, Barbara B. "What is religiosity." Catholic Education: A Journal of
inquiry and practice 10.1 (2006).
Huber, Stefan & Odilo W. Huber. 2012. The centrality of religiosity scale. Religions,
3, 710-724. doi:10.3390/rel3030710
Kamali, Mohammad Hashim. Reading The Signs: A Quranics Perspective on
Thinking, Islam & Science, Vol. 4, No.2 (2006), 141-164
Kember, David, Doris Y. P. Leung, Alice Jones, Alice Yuen Loke, Jan McKay, Kit
Sinclair, Harrison Tse, Celia Webb, Frances Kam Yuet Wong, Marian Wong
& Ella Yeung (2000) Development of a Questionnaire to Measure the Level
of Reflective Thinking, Assessment & Evaluation in Higher Education, 25:4,
381-395.
___________, McKay, J., Sinclair, K. & Wong, F.K.Y. (2008) A four-category
scheme for coding and assessing the level of reflectionin written work,
Assessment & Evaluation in Higher Education,33 (4)p369-379
Klimstra, Theo A. & Lotte van Doeselaar, Identitif formation in adolsence and
young adulthood (2017), Personality Development Across the Lifespan, 293-
308.
Khodijah, Nyayu. 2011. ―Reflective Learning Sebagai Pendekatan Alternatif Dalam
Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Dan Profesionalisme Guru Pendidikan
Agama Islam‖. ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman 6 (1), 180-89.
141
Le Cornu, Alison. ―Meaning, Internalization, and Externalization: Toward a Fuller
Understanding of the Process of Reflection and Its Role in the Construction of
the Self.‖ Adult Education Quarterly 59, no. 4 (August 2009): 279–97.
Lewis, CA., Shevlin, M., Lloyd, NSV., & Adamson, G. (1998). The Francis scale of
attitude towards Christianity (short scale): Exploratory and confirmatory
factor analysis among English students. Journal of Social Behavior and
Personality, 13(1), 167-175.
Lim, Lisa-Angelique Yuen Lie. "A comparison of students‘ reflective thinking
across different years in a problem-based learning environment." Instructional
Science 39.2 (2011): 171-188.
Madjid, Nurcholish. "Iman, Islam, Dan Ihsan Sebagai Trilogi Ajaran Ilahi", dalam
Budhi Munawar Rachman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah,
(Jakarta: Paramadina, 1995), h. 463
Marcia, J. E. (1966). Development and validation of ego identity status. Journal of
Personality and Social Psychology, 5, 551-558.
__________(1967). Ego Identity Status: Relationship to change in self-esteem,
―general maladjustment,‖ and authoritarianism. Journal of Personality, 35,
118-133.
Maskur, Alfin. Hubungan Antara Tingkat Religiusitas Orang Tua dengan
Religiusitas Siswa, Dirasah, Vol. 2, No. 1, Februari 2019
142
Nurfaidah. Sitti, Nenden Sri Lengkanawati dan Didi Sukyadi Levels of Reflection in
EFL Pre-Service Teacher's Teaching Journal. Indonesian Journal of Applied
Linguistics, Vol. 7 No. 1, May 2017, pp. 80-92
Pargament, K. I., & Hisham Abu Raiya. A Decade Of Research On The Psychology
Of Religion And Coping:Things we assumed and lessons we learned. Psyke &
Logos, 2007, 28, 742-766
__________, & Mahoney, A. (2009). Spirituality: The search for the sacred. In S. J.
Lopez & C. R. Snyder (Eds.), Oxford library of psychology. Oxford handbook
of positive psychology (pp. 611-619). New York, NY, US: Oxford University
Press.
Peltier, James W., Amanda Hay, and William Drago. ―The Reflective Learning
Continuum: Reflecting on Reflection.‖ Journal of Marketing Education 27,
no. 3 (December 2005): 250–63.
Prawitasari, G, Profil Status Identitas Religius pada Remaja Akhir, Psikopedagogia:
Jurnal Bimbingan dan Konseling. Vol. 6 No. 2 Desember 2017.
___________., & Suwarjo. (2018). Promoting Interventions to Develop Religous
Identity of Secondary School Students. Couns-Edu: International Journal of
Counseling and Education, 3(4): pp. 140-146. DOI:
https://doi.org/10.23916/0020180314640
___________. (2019). The adolescent religious identity development in the
transition period: do parents still matter? KONSELOR, 8(3), 84-91. DOI:
10.24036/0201983105376-0-00
Richardson, Patricia M. "Possible influences of Arabic-Islamic culture on the
reflective practices proposed for an education degree at the Higher Colleges of
Technology in the United Arab Emirates." International Journal of
Educational Development 24, no. 4 (2004): 429-436.
Ridwan, Mohammad, Menilik Rahasia Belajar Imam Madzhab, Misykah, Vol.1 No.
2 Juli-Desember 2016
Rodgers, Carol. "Defining reflection: Another look at John Dewey and reflective
thinking." Teachers college record 104.4 (2002): 842-866.
Sahin, Abdullah. ―Critical Issues in Islamic Education Studies : Rethinking Islamic
and Western Liberal Secular.‖ Religions 9, no. 335 (2018).
———. ―Islam‘s Heriitage of Critical Education: The Missing Catlayst in
Addressing the Crisis Informing Modern Muslim Presence.‖ Muslim World
Book Review 36, no. 3 (2016): 5–15.
143
______Leslie J Francis and Fahad Al-Failakawi, ―Psychometric Properties of Two
Islamic Measures among Young Adults in Kuwait: The Sahin-Francis Scale
of Attitude toward Islam and the Sahin Index of Islamic Moral Values,‖
Journal of Muslim Mental Health 3, no. 1 (2008): 9–24.
_______ & Leslie J Francis, Assessing Attitude toward Islam Among Muslim
Adolescents: The Psychometric Properties of The Sahin-Francis Scale,
Muslim Education Quarterly, Vol. 19, No. 4, 2002.
Salman, Abdul Matin Bin, and Nur Sahed. "Tuhan dalam Perspektif Filsafat
Pendidikan Islam." El Tarbawi 10, no. 1 (2017).
Setyaningsih, Rini dan Subiyantoro. (2017). Kebijakan Internalisasi Nilai-nilai
Islam dalam Pembentukan Kultur Religius Mahasiswa. Edukasia: Jurnal
Penelitian Pendidikan Islam, 12(1), 66-71
Susanto,Happy, Muhammad Muzakki. Perubahan Perilaku Santri (Studi Kasus
Alumni Pondok Pesantren Salafiyah di Desa Langkap Kecamatan Besuki
Kabupaten Situbondo). ISTAWA: Jurnal Pendidikan Islam. Volume 2, Nomor
1, Juli-Desember 2016
Shamsiah MD Nasir & Nil Farakh Sulaiman Pemikiran Reflektif: Meneroka Amalan
Pemikiran Siswa Pendidik (Reflective Thinking: Exploring Thinking Practices
in Student Teachers) Jurnal Personalia Pelajar 18 (2) (2015): 61-68
Schouborg, Gary (2001). Paths to Spirituality: A Review Article of Beyond
Religion, by David N. Elkins". The Humanistic Psychologist, 27 n.3, 369-373.
Tamney, Joseph B. ―Functional Religiosity and Modernization in Indonesia‖, in
Sociological Analysis, Vol. 41, No. 1, (2007), 55.
Tan, C. (2009). Reflection for Spiritual Development in Adolescents. In M. De
Souza, L. J. Francis, J. O‘Higgins-Norman & D. Scott (Eds.), International
Handbook of Education for Spirituality, Care and Wellbeing (pp. 397-413).
The Netherlands: Springer.
Thomas, Jeremy Henzell-, Thinking Skills in Islamic Education, Islamica, Issue 15,
2006
__________________Introduction dalam Malik Badri, Contemplation: An Islamic
Psychospiritual Study, London: IIIT, 2018), xii
Vasile, Cristian. Homo Religiosus - Culture, Cognition, Emotion, Procedia - Social
and Behavioral Sciences, Volume 78,2013, Pages 658-661, ISSN 1877-0428,
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.04.370.
Yanuarti. Endah, and David F. Treagust. ―Reflective Teaching Practice (Teachers‘
Perspectives in an Indonesia Context).‖ Proceedings of the 1st UPI
144
International Conference on Sociology Education (UPI ICSE 2015) 4, no. 3
(2016): 280–84.
Zuhdi, M. (2015). Pedagogical Practices in Indonesia. In E. H.-F.Law & U.Miura
(Eds.), Transforming teaching and learning in Asia and the Pacific: Case
studies from seven countries (pp. 142–160). UNESCO Bangkok Office.
Zinnbauer, Brian J., Kenneth I. Pargament, Brenda Cole, Mark S. Rye, Eric M.
Butter, Timothy G. Belavich, Kathleen M. Hipp, Allie B. Scott, and Jill L.
Kadar. "Religion and Spirituality: Unfuzzying the Fuzzy." Journal for the
Scientific Study of Religion 36, no. 4 (1997): 549-64.
Internet
Arraiyyah, Hamdar, Shalat dan Pendakian Spiritual, Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Agama RI, https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/berita/shalat-
dan-pendakian-spiritual (diakses 17 Mei 2020)
145
Databok, Indonesia, Negara dengan Penduduk Muslim Terbesar Dunia,
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/25/indonesia-negara-
dengan-penduduk-muslim-terbesar-dunia (diakses 03 Mei 2020)
David L, "Identity Status Theory (Marcia)," in Learning Theories, July 23, 2014,
https://www.learning-theories.com/identity-status-theory-marcia.html. Artikel
diakses pada 28 Juni 2019.
Dictionary Cambridge. Tersedia di
https://dictionary.cambridge.org/us/dictionary/learner-english/religion.
Diakses pada 29 Desember 2019
Fakta Data, Perguruan Tinggi Negeri Lebih Didominasi Mahasiswi. Sumber
https://faktadata.com/statistik/perguruan-tinggi-negeri-lebih-didominasi-
mahasiswi (diunduh tanggal 13 Desember 2019)
KBBI Online, Jurusan, https://kbbi.kata.web.id/jurusan/ (Diakses pada 09 Mei 2020)
KBBI Online, Spiritual, https://kbbi.web.id/spiritual (Diakses pada 5 Juni 2020)
KBBI Online, Polarisasi, https://kbbi.web.id/polarisasi (diakses 13 Mei 2020)
KBBI Online, Tipologi, https://kbbi.web.id/tipologi. (Diakses 4 Agustus 2020
Kementrian Agama RI, ―Indeks Kemampuan Baca Al-Quran Mahasiswa UIN
Malang Tertinggi‖ dari https://kemenag.go.id/berita/read/511960/indeks-
kemampuan-baca-al-quran-mahasiswa-uin-malang-tertinggi-- (diakses
14/12/2019)
Lajnah Kemenag RI, ―Menakar Kemampuan Baca Tulis Al-Qur‘an Mahasiswa
UIN‖ dari https://lajnah.kemenag.go.id/berita/513-menakar-kemampuan-
baca-tulis-al-qur-an-mahasiswa-uin (diakses 31/12/2019)
Lexico. Tersedia di https://www.lexico.com/en/definition/religion. Diakses pada 29
Desember 2019
Levine, Joe. (2014, 11 Oct) "Jack Mezirow, Who Transformed the Field of Adult
Learning, Dies at 91" dalam Teachers College Columbia University, diambil
dari https://www.tc.columbia.edu/articles/2014/october/jack-mezirow-who-
transformed-the-field-of-adult-learning-d/ (diakses 24 Januari 2020)
Muhson, Ali, Teknik Analisis Kuantitatif, sumber:
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132232818/pendidikan/Analisis+Kuantitatif.p
df (diakses 08-01-2020)
McLeod, S. A. (2018, May 03). Erik Erikson's stages of psychosocial development.
Simply Psychology. https://www.simplypsychology.org/Erik-Erikson.html.
Artikel diakses pada 24 Mei 2019
Nur Syam, Konversi IAIN ke UIN, http://nursyam.uinsby.ac.id/?p=981 (diakses
14/12/2019)
Rahardjo, Mudjia, Studi Kasus dalam Penelitian Kualitatif: Konsep dan
Prosedurnya, UIN Malang, Program Pascasarjana, 2017.
https://core.ac.uk/download/pdf/80816930.pdf (diunduh pada 08-01-2020)
146
Ramadan, Thariq. The Importance of Critical Thinking for Muslim Societies both in
the West and East, ISCAT 2015, Sakarya University, Turkey,
Dipublikasikan tanggal 24 Mei 2015. https://youtu.be/2pdP8UNmU1Q
Simamora, Bilson, Analisis Validitas dan Reliabilitas. Sumber:
https://www.bilsonsimamora.com/analisis-validitas-dan-reliabilitas/ (diakses
18/12/19)
Soediro, P. Krismastono (2016), ―Mengapa Mahasiswi Lebih Banyak Daripada
Mahasiswa?‖ dalam Majalah Parahyangan Edisi 2016 Kuartal IV/
Oktober-Desember Vol. III No. 4. H. 8-9
Web Fakultas Bahasa & Seni UNY, Sastra Menumbuhkan Religiusitas dan
Humanitas, pidato pengukuhan Guru Besar Ilmu Pembelajaran Sastra
Indonesia UNY, Prof. Dr. Suroso, M.Pd. http://fbs.uny.ac.id/berita/sastra-
menumbuhkan-religiusitas-dan-humanitas (diakses pada 25 Juni 2020)
147
LAMPIRAN 1
Kuesioner
Partisipasi dalam penelitian ini akan menghabiskan waktu sekitar 20 menit. Dalam
penelitian ini, Anda akan diminta untuk mengisi dua buah kuesioner yang berjumlah
40 pernyataan. Terima kasih telah bersedia mengisi kuesioner ini. Tidak ada resiko
dan tidak ada manfaat lain dalam mengikuti penelitian ini, tetapi data dari Anda akan
berguna untuk menguji validitas dan reliabilitas alat ukur. Terdapat kemungkinan
bahwa hasil akhir dari penelitian ini akan dipublikasikan, namun data individual
Anda akan tetap bersifat anonim.
Ketentuan:
1. Saya paham bahwa partisipasi saya adalah sukarela dan saya dapat
mengundurkan diri sewaktu-waktu tanpa memberikan alasan.
2. Saya setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian.
3. Saya setuju pada penggunaan data yang saya berikan dalam penelitian.
4. Saya setuju untuk menggunakan data saya secara anonim untuk publikasi.
Identitas Partisipan
Nama :
Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan
Jurusan : Semester: Kelas:
148
Kuesioner 1
Petunjuk Pengisian
Berilah tanda silang (X) pada salah satu alternatif jawaban. Semua jawaban pilihan
(a, b, c, d) adalah BENAR, Anda hanya diminta memberikan jawaban SESUAI
KEADAAN ANDA SAAT INI.
Refleksi Keberagamaan
149
d. Saya selalu proaktif bertanggung jawab dalam segala hal sebagai
hamba Allah
Pembelajaran Reflektif
1. Dalam mempelajari materi perkuliahan:
a. Saya membaca dan menghafal materi kuliah
b. Saya merangkum dan menginterpretasikan apa yang saya pelajari
c. Saya mencoba menghubungkan materi kuliah dengan pengalaman dan
Analisa untuk mendapatkan pemahaman baru
d. Saya merekonstruksi apa yang saya pelajari dan mengubah pemikiran
saya.
2. Dalam proses belajar mengajar di dalam kelas yang lebih dominan:
a. Pengajar lebih banyak bentuk ceramah
b. Pengajar mendengarkan pendapat yang disampaikan
c. Suasana diskusi terbuka, interaktif dan responsif
d. Pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan mengasah daya nalar dan
pandangan jauh ke depan.
Kuesioner 2
Bacalah setiap pernyataan di bawah ini dengan seksama kemudian berikan pendapat
Anda pada lembar jawaban bagi setiap pernyataan tersebut dengan cara menyilang
pada kolom yang sudah tersedia.
Skala
No Pernyataan
SS S TS STS
1 Saya bangga menjadi seorang muslim
Saya terbiasa membaca basmalah sebelum
2
melakukan sesuatu
Saya berusaha menjadi contoh teladan bagi orang
3
lain
4 Shalat itu membebankan
Saya mengajak orang lain untuk selalu mengingat
5
Allah
6 Saya ingin mematuhi hukum dan syariat Allah
150
Skala
No Pernyataan
SS S TS STS
dalam hidup
7 Saya mengajarkan orang lain kebesaran Allah
8 Puasa hanya menahan lapar dan haus
9 Tindakan saya sesuai dengan aturan Islam
Saya selalu aktif jika ada seminar atau bedah buku
10
keislaman
Saya menghindari perilaku yang membuat saya
11
dihukum di akhirat
12 Saya terbiasa berbohong kepada teman saya
13 Saya mendahulukan akal daripada nafsu
Saya berusaha mengikuti kehidupan dan sunnah
14
Nabi
15 Al-Qur‘an membutuhkan pembaruan
16 Saya menemukan ide ketika membaca Al Quran
Saya terbiasa mengucapkan shalawat kepada Nabi
17
Muhammad Saw
Pendayagunaan akal dengan maksimal akan
18 menemukan kebenaran walau tanpa bimbingan
wahyu
19 Saya berzikir kepada Allah setiap saat
Saya selalu berbuat baik dan menghindari berbuat
20
buruk karena ada balasan setelah kematian
Di setiap ibadah yang saya lakukan, saya
21
merasakan kehadiran Allah
Saya selalu optimis untuk melakukan kebaikan
22
dengan usaha semaksimal mungkin
Saya merasa berdosa melakukan sesuatu yang
23 dilarang bahkan jika saya tahu orang lain juga
melakukannya
Karena takut kepada Allah saya selalu
24
mengatakan yang benar sekalipun pahit
Saya senang mengikuti kegiatan sosial yang
25
bertujuan meringankan kesusahan orang lain
Saya sering hati-hati membicarakan orang lain
26
karena takut jatuh dalam dosa
Semakin banyak pengetahuan, semakin saya
27
rendah hati
28 Saya tidak berusaha curang dalam ujian
29 Saya mengucapkan salam bila bertemu teman
30 Saya tidak merokok
31 Saya menerima apa yang saya miliki saat ini
Saya menghindari berjabat tangan dengan lawan
32
jenis
151
LAMPIRAN 2
Rekapitulasi Jawaban Responden Kuesioner Religiusitas
Dimensi Islam
Jawaban Responden
No Pernyataan
1 2 3 4 Σ
ISLAM 1 Saya bangga menjadi muslim 0 0 11 131 142
ISLAM 2 Saya terbiasa membaca basmalah 0 6 71 65 142
ISLAM 3 Saya berusaha menjadi teladan 2 17 89 34 142
ISLAM 4 Shalat itu membebankan* 103 39 0 0 142
ISLAM 5 Saya mengajak orang lain selalu
2 11 101 28 142
mengingat Allah
ISLAM 6 Saya ingin mematuhi hukum dan
0 2 65 75 142
syariat Allah
ISLAM 7 Saya mengajarkan orang lain
1 14 114 13 142
kebesaran Allah
ISLAM 8 Puasa hanya menahan lapar dan haus* 74 57 7 4 142
ISLAM 9 Tindakan saya sesuai syariat Islam 1 20 119 11 142
ISLAM 10 Saya selalu aktif jika ada seminar dan
11 84 41 6 142
bedah buku keislaman
Dimensi Iman
Jawaban Responden
No Pernyataan
1 2 3 4 Σ
Saya menghindari perilaku yang
IMAN1 2 11 105 24 142
membuat saya dihukum di akhirat
IMAN2 Saya terbiasa berbohong kepada teman* 47 84 9 2 142
IMAN3 Saya mendahulukan akal daripada nafsu 1 15 95 31 142
Saya berusaha mengikuti kehidupan dan
IMAN4 0 11 103 28 142
sunah Nabi
IMAN5 Alquran membutuhkan pembaruan 101 31 7 3 142
Saya mendapatkan inspirasi ketika
IMAN6 2 16 64 60 142
membaca Alquran
Saya terbiasa mengucapkan salawat
IMAN7 0 6 90 46 142
kepada Nabi
IMAN8 Pendayagunaan akal dengan maksimal 22 78 39 3 142
152
Jawaban Responden
No Pernyataan
1 2 3 4 Σ
akan menemukan kebenaran walau tanpa
bimbingan wahyu*
IMAN9 Saya berzikir kepada Allah setiap saat 2 19 93 28 142
Saya selalu berbuat baik dan mengindari
IMAN10 berbuat buruk karena ada Allah dan 0 6 93 43 142
balasan setelah kematian
Dimensi Ihsan
Jawaban Responden
No Pernyataan
1 2 3 4 Σ
Di setiap ibadah yang saya lakukan,
IHSAN1 0 8 92 42 142
saya merasakan kehadiran Allah
Saya selalu optimis untuk melakukan
IHSAN2 kebaikan dengan usaha semaksimal 1 4 74 63 142
mungkin
Saya merasa berdosa melakukan
sesuatu yang dilarang bahkan jika
IHSAN3 1 8 78 55 142
saya tahu orang lain juga
melakukannya
Karena takut pada Allah saya selalu
IHSAN4 mengatakan yang benar sekalipun 0 29 86 27 142
pahit
Saya senang mengikuti kegiatan
IHSAN5 sosial yang bertujuan meringankan 0 9 58 75 142
kesusahan orang lain
Saya sering hati-hati membicarakan
IHSAN6 orang lain karena takut jatuh dalam 2 23 90 27 142
dosa
Semakin banyak pengetahuan
IHSAN7 0 10 97 35 142
semakin saya rendah hati
Saya tidak berusaha curang dalam
IHSAN8 2 20 74 46 142
ujian
Saya mengucapkan salam bila
IHSAN9 2 27 64 49 142
bertemu teman
IHSAN10 Saya tidak merokok 6 6 8 122 142
Saya menerima apa yang saya miliki
IHSAN11 1 3 65 73 142
saat ini
Saya menghindari berjabat tangan
IHSAN12 10 58 48 26 142
dengan lawan jenis
153
LAMPIRAN 3
Hasil Pengujian Validitas Butir Cronbach’s Alpha
Corrected Cronbach‟s
Dimensi Item Item-Total r tabel Alpha if item Validitas butir
Correlation deleted
Islam ISLAM1 0,285 0,159 0,858
ISLAM2 0,366 0,159 0,856
ISLAM3 0,463 0,159 0,853
ISLAM4 0,414 0,159 0,855
ISLAM5 0,575 0,159 0,851
ISLAM6 0,462 0,159 0,854
ISLAM7 0,478 0,159 0,854
ISLAM8 0,207 0,159 0,861
ISLAM9 0,511 0,159 0,853
ISLAM10 0,415 0,159 0,854
Iman IMAN1 0,438 0,159 0,854
IMAN2 0,291 0,159 0,858
IMAN3 0,252 0,159 0,859
IMAN4 0,566 0,159 0,851
IMAN5 0,176 0,159 0,861
IMAN6 0,270 0,159 0,859
IMAN7 0,295 0,159 0,857
IMAN8 0,293 0,124 0,851
IMAN9 0,495 0,159 0,852
IMAN10 0,531 0,159 0,852
Ihsan IHSAN1 0,401 0,159 0,855
IHSAN2 0,444 0,159 0,854
IHSAN3 0,431 0,159 0,854
IHSAN4 0,432 0,159 0,854
IHSAN5 0,110 0,159 0,862
IHSAN6 0,547 0,159 0,851
IHSAN7 0,437 0,159 0,854
IHSAN8 0,342 0,159 0,857
IHSAN9 0,355 0,159 0,856
IHSAN10 0,103 0,159 0,864
IHSAN11 0,470 0,159 0,853
IHSAN12 0,474 0,159 0,853
154
LAMPIRAN 4
Rekapitulasi Data Penelitian Valid Item
Pendidikan No Dimensi Islam Dimensi Iman Dimensi Ihsan Persen Skor Rata-
Sebelumnya Resp No.1 No.2 No.3 No.4 No.5 No.6 No.7 No.8 No.9 No.10 No.11 No.12 No.13 No.14
Σ (%) total rata
1 1 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 4 3 3 3 42 75,00
1 8 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 41 73,21
1 12 4 3 4 3 2 2 2 2 2 3 3 3 4 3 40 71,43
1 18 3 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 3 2 3 42 75,00
1 19 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 2 3 4 41 73,21
1 20 4 4 4 3 3 3 4 4 4 4 3 3 4 4 51 91,07
1 21 4 4 4 3 4 3 4 4 3 4 4 4 4 4 53 94,64
1 23 3 3 4 3 3 2 3 4 4 3 4 3 4 3 46 82,14
1 27 4 3 4 3 3 2 4 3 3 4 4 4 3 4 48 85,71
1 28 3 4 4 3 3 2 3 3 4 4 4 3 3 4 47 83,93
1 34 3 3 4 3 3 2 3 4 3 3 3 3 2 3 42 75,00
1 35 4 3 4 4 3 2 3 4 2 3 3 3 4 3 45 80,36
1 36 4 4 4 4 4 3 4 4 3 4 4 4 4 4 54 96,43
1 38 2 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 43 76,79
1 40 3 3 3 3 3 2 3 3 2 3 3 3 3 3 40 71,43
1 43 4 4 4 3 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 54 96,43
1 44 4 4 4 3 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 54 96,43
1 46 3 3 3 3 2 2 3 2 2 3 3 2 2 3 36 64,29
1 47 3 3 3 3 2 1 3 2 3 3 3 2 3 3 37 66,07
1 48 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 4 3 42 75,00
1 51 3 4 4 3 3 2 3 3 3 3 4 4 3 3 45 80,36
1 53 3 3 4 3 2 2 3 4 3 3 4 3 3 3 43 76,79
1 54 2 2 3 2 2 2 2 2 3 3 3 2 3 3 34 60,71
1 55 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 40 71,43
1 57 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 4 47 83,93
1 80 3 3 3 3 3 1 3 3 4 3 3 3 3 3 41 73,21
1 81 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 41 73,21
1 84 3 3 4 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 42 75,00
1 85 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 2 3 3 3 40 71,43 2676 43,2
1 88 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 42 75,00
1 89 3 3 4 3 3 2 3 3 2 3 3 2 3 3 40 71,43
1 92 4 3 4 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 43 76,79
1 93 3 3 3 3 3 2 3 3 2 3 3 4 3 2 40 71,43
1 95 2 1 3 1 2 1 3 2 1 3 3 2 2 4 30 53,57
1 98 3 2 3 3 3 2 3 2 2 4 4 2 3 3 39 69,64
1 99 4 3 3 3 3 2 3 3 3 4 4 3 3 3 44 78,57
1 100 1 2 3 2 2 1 3 3 3 3 3 3 3 3 35 62,50
1 106 3 4 3 3 3 2 3 3 4 3 3 2 3 3 42 75,00
1 107 2 3 3 3 3 2 3 3 3 4 4 2 3 3 41 73,21
1 108 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4 3 4 47 83,93
1 109 3 3 3 3 3 2 3 3 3 4 3 3 3 3 42 75,00
1 111 3 3 4 3 3 2 3 4 3 4 3 3 2 3 43 76,79
1 114 3 3 3 2 3 2 3 2 3 3 3 3 3 3 39 69,64
1 119 2 2 4 2 2 1 4 4 4 4 4 2 2 2 39 69,64
1 120 4 3 4 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 52 92,86
1 121 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 41 73,21
1 122 3 3 4 3 4 3 4 3 3 4 4 3 4 4 49 87,50
1 123 4 3 4 3 4 3 4 3 3 4 4 3 4 3 49 87,50
1 125 2 2 3 3 3 2 3 2 3 3 3 4 2 2 37 66,07
1 127 2 3 4 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 3 43 76,79
1 128 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 41 73,21
1 129 3 3 4 3 3 2 3 3 2 4 4 4 4 3 45 80,36
1 130 4 4 3 3 3 2 3 4 3 4 4 3 3 4 47 83,93
1 131 3 3 4 3 3 2 3 4 3 4 4 4 4 4 48 85,71
1 132 2 3 3 3 2 2 3 3 3 3 4 3 3 4 41 73,21
1 133 3 3 3 3 3 2 3 3 3 4 4 3 3 3 43 76,79
1 135 4 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 2 3 3 41 73,21
155
Pendidikan No Dimensi Islam Dimensi Iman Dimensi Ihsan Persen Skor Rata-
Sebelumnya Resp No.1 No.2 No.3 No.4 No.5 No.6 No.7 No.8 No.9 No.10 No.11 No.12 No.13 No.14
Σ (%) total rata
1 136 2 3 4 2 3 3 4 4 2 3 3 3 3 3 42 75,00
1 137 4 4 3 4 3 2 3 4 4 4 1 3 2 4 45 80,36
1 139 4 4 4 3 3 3 4 3 3 3 4 4 3 3 48 85,71
1 140 4 3 3 3 3 2 3 3 3 3 4 3 3 3 43 76,79
1 141 3 3 4 3 3 2 4 3 4 3 3 3 3 3 44 78,57
2 4 4 4 4 3 3 2 3 3 3 4 4 3 3 3 46 82,14
2 9 4 3 3 3 3 3 3 4 2 4 4 3 3 3 45 80,36
2 14 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4 46 82,14
2 15 3 3 3 2 3 2 3 2 2 2 3 2 3 3 36 64,29
2 16 3 4 3 3 3 3 4 4 3 3 2 4 3 3 45 80,36
2 17 3 2 3 2 3 2 2 3 3 3 3 3 3 3 38 67,86
2 22 3 3 3 3 2 2 3 3 3 4 3 4 3 3 42 75,00
2 29 3 2 4 2 3 2 3 3 2 3 2 3 1 2 35 62,50
2 30 2 1 2 2 2 1 2 2 1 2 2 2 1 2 24 42,86
2 31 3 3 3 3 3 2 4 3 4 3 3 3 3 3 43 76,79
2 32 4 3 4 4 3 2 3 3 3 4 4 3 4 3 47 83,93
2 33 4 3 3 3 3 2 4 3 4 4 4 3 3 3 46 82,14
2 39 2 3 4 4 3 2 2 3 3 3 4 4 2 4 43 76,79
2 41 3 4 4 4 3 2 4 4 4 4 4 2 4 3 49 87,50
2 42 4 4 4 3 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 54 96,43
2 45 3 4 4 3 3 2 3 4 3 4 3 3 3 3 45 80,36
2 50 3 3 4 3 3 2 3 3 4 3 4 3 4 3 45 80,36
2 52 3 3 3 2 2 2 3 3 2 3 3 3 3 3 38 67,86
2 56 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 2 4 4 44 78,57
2 58 3 3 4 3 3 3 3 3 3 4 3 3 3 3 44 78,57
2 59 4 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 42 75,00
2 65 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 4 45 80,36
2 68 3 3 4 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 42 75,00
2 69 1 3 3 3 1 2 2 3 4 3 4 1 2 3 35 62,50 2006 42,7
2 70 3 3 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 44 78,57
2 77 3 3 3 3 2 1 3 3 3 4 4 3 2 4 41 73,21
2 78 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 43 76,79
2 79 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 43 76,79
2 86 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 41 73,21
2 87 4 3 4 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 43 76,79
2 90 3 2 3 2 2 2 2 3 2 3 3 3 2 2 34 60,71
2 91 3 3 4 3 3 2 3 4 3 4 3 2 3 3 43 76,79
2 94 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 56 100,00
2 96 4 4 4 4 1 3 4 3 4 3 3 2 3 3 45 80,36
2 102 3 3 4 3 3 3 4 3 3 3 4 3 4 2 45 80,36
2 103 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 56 100,00
2 104 3 3 4 3 3 2 3 3 3 4 4 4 4 4 47 83,93
2 105 3 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 44 78,57
2 110 2 2 3 3 2 2 2 3 2 3 3 2 3 3 35 62,50
2 113 3 3 4 2 3 2 3 3 2 4 4 2 3 2 40 71,43
2 115 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 42 75,00
2 116 2 3 2 2 2 2 3 2 3 3 3 2 2 3 34 60,71
2 117 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 2 3 40 71,43
2 124 3 4 4 3 4 2 3 3 4 3 3 3 3 4 46 82,14
2 126 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 4 3 3 42 75,00
2 134 3 3 4 3 3 2 3 3 3 2 3 2 2 3 39 69,64
2 138 3 3 4 3 3 2 3 3 3 4 3 4 3 3 44 78,57
3 2 2 3 4 3 3 3 3 4 3 2 3 3 2 4 42 75,00 1428 43,3
156
Pendidikan No Dimensi Islam Dimensi Iman Dimensi Ihsan Persen Skor Rata-
Sebelumnya Resp No.1 No.2 No.3 No.4 No.5 No.6 No.7 No.8 No.9 No.10 No.11 No.12 No.13 No.14
Σ (%) total rata
3 3 3 4 4 4 4 2 4 3 3 3 3 3 4 3 47 83,93
3 5 4 3 3 3 3 2 3 3 4 3 4 3 3 4 45 80,36
3 6 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 42 75,00
3 7 4 4 4 4 3 3 1 4 4 4 4 4 4 4 51 91,07
3 10 3 3 3 3 2 1 3 3 3 2 3 4 2 2 37 66,07
3 11 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 2 3 3 40 71,43
3 13 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 43 76,79
3 24 3 4 3 4 3 4 1 3 4 3 3 3 2 4 44 78,57
3 25 4 4 4 3 4 3 3 4 4 3 2 2 3 3 46 82,14
3 26 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 47 83,93
3 37 3 3 4 3 3 2 3 3 3 3 2 3 2 3 40 71,43
3 49 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 41 73,21
3 60 3 3 4 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 42 75,00
3 61 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 4 4 3 3 43 76,79
3 62 4 4 4 3 3 4 4 4 4 4 4 4 3 4 53 94,64
3 63 3 3 4 3 3 2 4 3 3 4 3 3 3 3 44 78,57
3 64 3 3 3 3 3 2 3 3 3 4 3 3 3 3 42 75,00
3 66 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 44 78,57
3 67 3 4 4 3 3 3 4 3 4 3 4 3 3 3 47 83,93
3 71 3 3 4 3 3 3 3 3 4 4 4 3 3 3 46 82,14
3 72 3 3 3 3 2 3 3 3 2 3 3 3 3 3 40 71,43
3 73 4 3 4 3 4 2 3 4 4 3 3 2 2 3 44 78,57
3 74 3 3 4 3 3 2 3 4 3 4 4 3 4 3 46 82,14
3 75 3 3 3 3 3 2 3 3 3 2 4 3 4 3 42 75,00
3 76 3 2 4 3 3 1 3 3 3 3 3 3 3 3 40 71,43
3 82 4 4 4 2 3 1 3 3 3 3 3 2 2 3 40 71,43
3 83 4 3 4 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 4 46 82,14
3 97 2 3 4 3 3 2 2 3 3 3 3 3 3 2 39 69,64
3 101 3 3 4 3 3 2 3 3 3 3 4 3 3 3 43 76,79
3 112 3 3 3 3 3 2 3 3 2 4 3 3 3 3 41 73,21
3 118 3 3 3 3 3 2 2 3 3 3 4 3 2 3 40 71,43
3 142 2 3 3 3 2 2 3 3 3 3 4 3 3 4 41 73,21
JUMLAH 441 442 499 423 416 330 438 445 432 465 472 426 429 452 6110
RATA-RATA 3,11 3,11 3,51 2,98 2,93 2,32 3,08 3,13 3,04 3,27 3,32 3,00 3,02 3,18 43,03
MEDIAN 3,00 3,00 4,00 3,00 3,00 2,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 43,00
MODUS 3,00 3,00 4,00 3,00 3,00 2,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 42,00
MAKSIMUM 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 56
MINIMUM 1 1 2 1 1 1 1 2 1 2 1 1 1 2 24
ST DEVIASI 0,65 0,57 0,53 0,47 0,53 0,69 0,55 0,52 0,62 0,53 0,60 0,65 0,65 0,54 4,81
TINJAUAN DIMENSI
JUMLAH 2551 1780 1779
RATA-RATA 425,17 445,00 444,75
Keterangan:
1 = SMA, 2 = Aliyah, 3 = Pesantren
157
LAMPIRAN 5
Path Diagram
158
Path Diagram Dimensi Iman
159
Path Diagram Dimensi Ihsan
160
Path Diagram Dimensi Islam, Iman, Ihsan
161
LAMPIRAN 6
Pertanyaan Wawancara Semi-Terstruktur
162
LAMPIRAN 7
Rekap Hasil Wawancara Semi-Struktural
1. Haris
Religiusitas saya berkembang ketika kecil karena pengaruh kakak kandung. Kakak
kandung saya rajin salat dan mengaji sementara saya lebih suka main-main. Pernah
sampai saya ditarik-tarik oleh Emak agar mau mengaji. Sampai saya naik kelas 6
atau awal SMP mulai senang mengaji, awalnya mengaji waktu maghrib dan
selanjutnya ada kajian kitab habis Isya yang saya diminta oleh kakak untuk ikut
meskipun kajian untuk orang dewasa.
Setelah masuk UIN ini saya jarang sekali mengaji, mungkin karena tidak ada
gurunya, bahkan mengaji kitab pun belum pernah, paling saya mengaji kitab kalau
saya sedang pulang ke kampung.
Yang paling berpengaruh adalah kakak saya, bapak dan keluarga juga berpengaruh,
mereka selalu mengingatkan saya untuk salat dan mengaji.
Apakah Anda orang yang sama religius satu tahun yang lalu? Empat tahun
yang lalu? Apa yang mendorong perubahan tersebut?
Kalua lagi rajin saya suka salat awal waktu ke masjid. Semakin kesini saya semakin
susah untuk beribadah, padahal kalau saya salat awal waktu ke masjid, hidup jadi
tenang dan banyak tugas menjadi plong. Sebab menurunnya religiusitas saya adalah
karena pengaruh lingkungan dan game online, saya sering kelewatan kalau lagi
main game di hp. Selain itu karena saya belum bisa memanage waktu antara belajar,
tugas dan ibadah.
Apa yang Anda rasakan sebagai seorang muslim saat Anda melaksanakan
aktivitas keagamaan seperti shalat dan puasa?
Dalam pandangan saya, salat itu bukan karena Allah yang butuh tetapi kita yang
butuh. Jujur ya, beberapa hari ini saya sering salat subuh terlambat bahkan di qadha
karena saya biasa tidur malam jam 3 atau 4 pagi dan kebanyakan main HP, saya
paling kuat kalau sudah sama HP.
163
Sejauh mana ketertarikan Anda dalam mendalami dan memahami agama
Islam?
Sejak semester 1-6 saya kurang belajar agamanya sampai saya diingatkan oleh
kakak untuk memanfaatkan waktu sebaiknya untuk belajar. Dan sejak saat itu saya
merevolusi diri untuk mulai aktif dalam kegiatan organisasi keagamaan.
Dulu saya pernah mempertanyakan dan meragukan tentang eksistensi Tuhan karena
dulu saya sering menonton debat Islam dan Kristen yang mempengaruhi saya
seperti tentang apakah Yesus itu Tuhan atau manusia? Semakin kesini-sini saya
menjadi yakin bahwa di dunia tidak ada Tuhan selain Allah Swt. Meskipun Isa bisa
bagaimana-bagaimana dia juga tetap manusia.
Allah itu Tuhan semesta alam, baik alam dunia, alam akhirat dan alam barzah.
Meskipun kita tidak tahu bentuknya, tetapi kita yakin bahwa ada kekuatan di luar
nalar kita yang perlu kita yakini bahwa dunia ini sedikit bagian kecil dari Dia yang
Mahabesar.
Jika saya dapat mengeksplorasi masalah ini sedikit lebih jauh: Bagaimana
Anda mempertajam atau menamamkan keyakinan Anda?
Dalam verifikasi pengetahuan saya juga memilih ustadz yang sama dengan saya.
Sekarang banyak ormas yang menyudutkan ormas lain atau ustadz yang merasa
paling benar, daripada melenceng saya lebih memilih dari guru saya meskipun
hanya via chat tetapi dia masih guru saya.
164
Guru saya selalu berpesan, kalau mengaji bisa ke siapa saja tetapi lihat dulu apakah
dia menyebarkan ujaran kebencian atau tidak atau mengharamkan maulid. Kalau
seperti itu, maka tidak usah diikuti, tinggalkan saja. Maka disini saya tidak tertarik
ikut kajian-kajian atau mendengar ceramah dari ustadz-ustadz yang viral di
youtube. Kecuali kalau ustadz itu direkomendasikan oleh guru saya baru saya
tonton.
Saya di kelas jarang mencatat, paling mengingat-ingat saja atau memfoto atau kalau
kurang jelas saya cari infonya ke teman atau tanyakan ke kakak tingkat.
Saya Angkatan 2016, mulai angkatan ini ada program PLP yaitu Program
Pengenalan Persekolahan. Ada PLP 1 dan PLP 2 dan selanjutnya KKN. PLP 1
selama 2 minggu di sekolah, PLP 2 selama 2 bulan plus laporan. Menurut saya
dengan adanya KKN, saya jadi lebih ingin mengenal lingkungan kita sesungguhnya
ketika nanti menjadi guru. Di KKN kita kan di tempat orang lain, saya jadi berpikir
apakah di desa saya masalah sekolahnya lebih buruk atau lebih baik? Jadi muncul
keinginan untuk ikut berkecimpung di desa saya. Manfaat lain dari KKN, saya jadi
mengenal teman-teman dari jurusan lain.
2. Kardita
Saya punya cara sendiri untuk mengidentifikasi religiusitas saya ketika malam hari,
apakah hari ini saya lebih baik dari kemarin, apakah saya salat tepat waktu atau
tidak, ternyata salat saya tepat waktu tapi dhuha-nya tidak, kemudian saya berpikir
bagaimana caranya agar ke depan lebih baik lagi. Religiusitas saya dinamis, tidak
statis, kadang-kadang rajin ibadah kadang juga kendor.
165
Apakah Anda orang yang sama religius satu tahun yang lalu? Empat tahun
yang lalu? Apa yang mendorong perubahan tersebut?
Saya merasakan ada perbedaan religiusitas ketika saya mondok dengan kedisiplinan
yang sedikit banyak membentuk karakter saya dalam beribadah dan beragama, salat
sudah dijadwalkan termasuk salat sunnah dhuha dan tahajud karena lingkungan
membentuk itu dan mendorong saya untuk lebih beribadah. Ketika saya masuk ke
UIN, saya katakan dengan jujur religiusitas saya menurun dari yang sebelumnya
puasa senin-kamis jadi lebih jarang, bahkan seperti tahajud selama saya kuliah
hampir tidak pernah. Faktornya karena lingkungan dan pertemanan, saya biasa
ngopi sampai malam dan untuk melaksanakan tahajud sulit.
Saya pun muncul rasa takut dianggap agamis dengan melakukan salat sunnah ketika
bersama teman-teman dan saya lebih menyesuaikan dan kalaupun saya
melaksanakan salat sunat saya lakukan dalam ruang privat.
Apa yang Anda rasakan sebagai seorang muslim saat Anda melaksanakan
aktivitas keagamaan seperti shalat dan puasa?
Saya masih memandang salat sebagai sebuah kewajiban dan kadang merasa
terbebani, misal dalam keadaan lelah dan belum salat, tapi ketika melaksanakan
salat saya merasakan salat sebagai wadah atau jalan saya untuk merenung,
memberikan ketenangan dan memberikan inspirasi dan merasa salat sebagai
kebutuhan. Puasa saya anggap sebagai kebutuhan dan tidak terbebani karena secara
medis sendiri baik untuk mencukupi kebutuhan fisik dan spiritual saya.
Sejak awal masuk pesantren saya sudah tertarik untuk mempelajari Islam. Tujuan
saya mondok untuk memperbaiki keagamaan saya yang sebelumnya tidak tahu
tentang salat dan puasa. Dan saya takut dosa karena orang tua saya mengatakan
waktu kecil jika saya tidak salat dan puasa saya akan mendapatkan dosa.
Ketika SMA saya lebih terdorong lagi untuk mempelajari agama, banyak dari
cabang ilmu Islam yang belum saya pelajari seperti ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqih.
Maka ketika masuk UIN, saya tidak masuk jurusan umum tapi jurusan bahasa Arab
padahal nilai saya lebih condong ke eksakta, menurut saya jalan untuk memahami
agama adalah dengan bahasa Arab, kitab-kitab banyak sekali dalam bahasa Arab.
Saya memperdalam khazanah Islam dengan mempelajari bahasa Arab. Saya pun
masih terus mentoring dengan guru saya di pondok untuk mendapatkan pencerahan
166
ketika mendapatkan masalah dengan diri saya atau masalah di kampus untuk
mendapatkan pencerahan.
Ketika masuk UIN saya mendapatkan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan tetapi saya
rem diri saya untuk tidak lebih jauh mempertanyakan karena ada dosen saya yang
mengingatkan jangan sampai kita terjebak dalam alam pemikiran yang membuat kita
sampai pada kemurtadan, karena itu saya jadi takut.
Seperti yang kemarin pernah heboh tentang Milkul Yamin, saya sampai
mempertanyakan kok Islam seperti ini, masa sama wanita tahanan perang boleh
digauli, saya pikir tidak seperti itu. Kenapa Islam tidak membawa misi emansipasi,
kenapa Islam tidak adil kepada perempuan dan saya mempertanyakan misi
emansipatoris yang katanya dibawa oleh Alquran, buktinya banyak ayat Alquran
yang isinya mendiskreditkan hak-hak wanita. Saya galau ketika membaca disertasi
itu dan menyiapkan berbagai pertanyaan untuk guru saya.
Jika ditanyakan sebab kenapa keraguan itu muncul karena saya banyak membaca
dan ketika saya membaca saya banyak berpikir. Saya membaca buku apapun. Ketika
ada satu masalah, saya sulit untuk tidak memikirkan masalah tersebut, termasuk
ketika saya mendapatkan keraguan-keraguan dari apa yang saya baca. Kenapa setiap
saya membaca yang saya dapatkan bukan jawaban tetapi keraguan lagi dan keraguan
lagi.
Jika saya dapat mengeksplorasi masalah ini sedikit lebih jauh: Bagaimana
Anda mempertajam atau menamamkan keyakinan Anda?
167
Pertama, saya kalau sedang berada di titik nadir keagamaan dan spiritualitas, saya
membaca Alquran. Jujur saya jarang membaca Alquran di kampus, tetapi ketika jiwa
saya lagi kosong dan malas beribadah saya sempatkan membaca Alquran, dan
karena saya anak bahasa Arab sedikit-sedikit saya mengerti maknanya, terutama
adalah surat Maryam, itu surat yang memotivasi saya, cerita-cerita dalam surat
tersebut membuat saya merenung yang kemudian membuat saya semangat lagi.
Kedua, Saya masih sering konsultasi dengan ustadz saya di SMA untuk
mendapatkan nasehat, motivasi dalam beragama dan beribadah termasuk ketika ada
keraguan. Saya tidak memferifikasi ilmu agama ke dosen disini karena labelnya kan
liberal, meskipun saya tidak men-generalisir semuanya. Tetapi karena memang dari
awal saya sudah klop dengan beliau jadi saya sering konsultasi ke beliau.
Pertama, saya membaca buku. Saya senang membaca buku masalah agama terutama
tema-tema kontroversial tentang aqidah dan filsafat. Kedua, berdiskusi dengan
kawan tentang tema-tema keagamaan. Diskusi personal dan diskusi kelompok.
Ketiga, saya verifikasi dengan ustadz saya. Diskusi saya gunakan untuk
mengemukakan apa yang sudah saya baca, tetapi untuk verifikasi keagamaan tidak
mudah saya percaya, saya percaya kepada ustadz di pondok. Saya kadang-kadang
verifikasi ke internet tetapi jarang. Malah dari internet itu kemudian saya verifikasi
lagi ke ustadz saya di pondok. Tetapi tidak saya jadikan acuan.
Saya lebih suka menghafal daripada mencatat. Saya lebih suka memfokuskan
perhatian saya untuk memahami apa yang dosen saya sampaikan kemudian ketika
itu masih menjadi masalah bagi saya karena belum jelas, saya lebih banyak
membaca dan mencari referensi-referensi lain.
Saya juga lebih aplikatif dalam belajar misalnya mengidentifikasi kata-kata bahasa
Arab dalam kitab. Saya tidak puas mengandalkan apa yang diajarkan di kelas. Saya
verifikasi ulang apa yang disampaikan di kelas. Jika dosen menjelaskan A, saya bisa
menemukan B,C sampai D.
Dalam ilmu pendidikan ada namanya PTK atau Penelitian Tindakan Kelas. Salah
satu aplikasinya adalah micro teaching yaitu praktik mengajar di kelas kecil dengan
168
teman-teman sebagai murid. Kita diminta untuk mengidentifikasi bagaimana kondisi
murid kita, bagaimana keadaan kelas, apa masalah di dalam kelas, kemudian kita
memikirkan bagaimana solusi dan penyelesaian dari masalah-masalah di dalam kelas
dengan menyusun RPP, pemilihan metode untuk keadaan seperti ini. Lingkup
makro, kita diterjunkan langsung untuk mengajar di sekolah-sekolah. Pertama kita
observasi, dari observasi ini kita menganalisis dan identifikasi bagaimana strategi
yang digunakan di sekolah tersebut kemudian tuliskan dalam bentuk laporan dan
semua kegiatan ini memerlukan refleksi. Kedua, kita mengajar langsung, setelah jadi
observer kita mengajar disana dengan memberikan solusi dari masalah yang sudah
diidentifikasi sebelumnya.
Jurusan bahasa Arab yang saya pelajari banyak pelajaran yang membutuhkan
refleksi mendalam seperti ilmu balaghah, kita diminta menemukan jawaban. Kenapa
di surat Maryam ya‘ semua, dari sisi bahasa kenapa hal tersebut ada.
3. Lulu
SMP saya sekolah di SMP IT yang lingkungannya Islami sekali, semenjak SMP ini
saya baru lebih mengenal tentang agama. Menginjak SMA saya sempat masuk
pondok tapi cuma satu bulan lalu saya pindah ke SMA Swasta Islam. Di SMA ini
tidak seketat di SMP dulu dan wawasan Islam saya lebih berkembang dan terbuka.
Waktu SMP belum terlalu berkembang karena masih ada perbedaan antara
pemahaman keluarga dan di sekolah jadi masih agak bingung. Ketika SMA baru
saya bisa berkembang baik dan terbuka keagamaan saya karena sesuai dengan
pandangan keluarga saya.
Awalnya memang dari keluarga, tetapi tidak terlalu berpengaruh karena Islam
keluarga saya biasa saja. Teman di SMA sangat berpengaruh karena rata-rata dari
pesantren sedangkan saya hanya dari sekolah islam terpadu.
Ketika SMP saya rajin sekali beribadah karena mungkin masih tahap belajar dan
baru mengenal Islam. Ketika awal SMA mulai down karena masa peralihan dari
SMP ke SMA dan ketika kelas 2 SMA mulai semangat lagi belajar agama. Sejak
kuliah di UIN, karena memang di UIN tidak semuanya anak pondok, banyak juga
yang berasal dari SMA biasa seperti di jurusan saya di Biologi jadi kurang
mendukung dan memberikan semangat untuk perkembangan keagamaan saya. Jadi
ketika kuliah ini keagamaan saya menurun.
169
Apakah Anda orang yang sama religius satu tahun yang lalu? Empat tahun
yang lalu? Apa yang mendorong perubahan tersebut?
Ada perbedaan religiusitas saya ketika SMA dan kuliah. Ketika kuliah ini mulai
menurun karena (1) kegiatan keagamaan di perkuliahan tidak dikontrol, dibebasin
saja, (2) saya terlalu sibuk dengan tugas kuliah. Sedikit sekali waktu bagi anak
biologi untuk hadir di acara-acara keagamaan karena beban kita ada laporan, ada
praktikum dan segala macam.
Apa yang Anda rasakan sebagai seorang muslim saat Anda melaksanakan
aktivitas keagamaan seperti salat dan puasa?
Sebenarnya saya ingin masuk pesantren untuk mendalami Islam, tetapi saya susah
beradaptasi dengan lingkungan pesantren. Cuma karena di SMA ada ushul fiqih dll
itu seperti mengobati rasa ingin tahu saya. Setelah di UIN keinginan mendalami
agama itu ada tapi tidak tahu harus kemana. Di Jurusan Biologi memang ada
kegiatan yang mendatangkan pembicara dari luar tapi pembahasannya islam yang
modern sementara saya masih butuh belajar agama islam yang mendasar.
Jika saya dapat mengeksplorasi masalah ini sedikit lebih jauh: Bagaimana
Anda mempertajam atau menamamkan keyakinan Anda?
170
Untuk mempertajam keyakinan saya sering ikut kajian-kajian keislaman, di kampus
cuma dua kali yaitu tiap tiga bulan sekali kalau di rumah sudah sering seminggu dua
kali.
Saya lebih suka bertanya ke teman-teman di kampus yang berasal dari latar
belakang pesantren. Namun karena saya masih dekat dengan teman-teman di SMA
saya juga menanyakannya kepada mereka via WAG untuk diskusi masalah agama.
Menurut saya, diskusi dengan teman lebih nyaman sharing ilmu, adapun di majlis
ilmu dengan banyak orang, pertanyaan kita belum tentu menarik bagi yang lain,
mungkin menurut mereka tidak penting tapi bagi kita penting. Sedang kalau di
perkuliahan, belum tentu topik pembahasan sesuai dengan pertanyaan yang ingin
kita tanyakan. maka lebih enak bertanya ke teman yang berinteraksi sehari-hari dan
lebih nyaman.
Saya lebih paham mendengar langsung dan mencatat dan saya tipenya menghafal
kalau dalam pelajaran. Saya mencoba mengkaitkan pelajaran dengan luar kelas
tidak semuanya hanya kalau ada yang relefan saja misalnya tentang manfaat sayur,
buah dll yang dipelajari di Biologi.
Ketika SMP, SMA sampai kuliah saya masih berperan sebagai siswa, awalnya saya
berpikir bahwa pekerjaan seorang guru hanya membuat soal, mengajar dan menilai.
Namun ketika saya terjun langsung dalam dunia persekolahan, saya menyadari
bahwa pekerjaan seorang guru bukan seperti yang saya bayangkan tadi, tapi banyak
hal yang perlu dilakukan seperti menyusun RPP dan saya juga menyadari bahwa
seorang guru harus berwibawa meskipun saat ini saya belum berwibawa sebagai
guru.
Ada PLP yang merupakan program magangnya mahasiswa FITK. PLP merupakan
penerapan secara langsung setelah belajar tiga tahun di kampus dan terjun langsung
171
di pekerjaannya melalui PLP ini dan menerapkan secara langsung materi-materi
yang didapatkan sebelumnya.
Saat saya PLP kemarin, punya pengalaman menarik yang reflektif dengan guru
pamong saya. Dia sharing bagaimana mengajar dan pengalaman mengajar, beliau
menyampaikan tidak apa-apa mengajar, nikmati saja, tugas kamu bukan membuat
murid paham, meskipun kamu masuk kelas dan murid hanya paham satu kalimat
saja, maka kamu sudah mengajar.
4.ARI
Waktu TK ada habib bernama Muzamil bin Muzair yang menjadi tokoh di
masyarakat dan menjadi contoh bagi warga sekitar termasuk keluarga saya. Dan
ketika SMP saya bertemu ibu guru agama saya bernama ibu Maghfuroh dan ibu Lisa
Damayanti ketika SMA. Ketika guru masuk ke kelas, menempatkan guru sebagai ibu
maka akan mudah menerima daripada hanya menempatkan guru sebagai penyampai
ilmu saja.
Perjalanan keagamaan dari waktu ke waktu yang berpengaruh kepada saya adalah di
waktu jumat. Guru ketika dari SD sampai SMA selalu mengingatkan agar kita
jangan sampai tertinggal shalat Jumat. Demikian juga khatib saya ibaratkan ayah
walaupun bukan ayah kandung yang memberikan nasihat kepada saya. Jumat itu hari
barokah dan setiap waktu pagi hari di hari Jumat kita selalu membaca doa kebaikan
untuk guru-guru yang sudah tiada atau masyarakat yang sudah tiada.
Dari keluarga, berasal dari keluarga dengan pemahaman agama yang biasa saja.
Guru yang berpengaruh adalah guru di SMP dan SMA
Apakah Anda orang yang sama religius satu tahun yang lalu? Empat tahun
yang lalu? Apa yang mendorong perubahan tersebut?
Dalam perkuliahan ada seorang teman yang sama religius tapi dia lebih tinggi
religiutasnya. Teman-teman sekelas bukan hanya berasal dari pesantren saja dan
mereka menunjukkan religiutasnya. Akhirnya saya juga tertarik untuk ikut karena
tujuan kuliah adalah meningkatkan religiutas juga. Ada juga satu atau dua orang
teman yang menjadi rekan saya untuk pergi taklim. Alhamdulillah ini positif, namun
kadang ada juga keegoisannya, misalnya dia lebih suka menonjolkan pemahaman
agama yang dia anut tanpa mau dikritik dan tidak berempati.
172
Apa yang Anda rasakan sebagai seorang muslim saat Anda melaksanakan
aktivitas keagamaan seperti shalat dan puasa?
Alhamdulillah bisa melaksanakan shalat wajib tertatur dan shalat sunnah yang
belum saya laksanakan adalah shalat istisqa‘. Shalat sunnah rawatib saya
laksananakan menyesuaikan waktu, jika ada waktu saya laksanakan jika tidak ya
tidak saya laksanakan, dan saya baru tahu kalau ada shalat sunnah yang bisa
diqadha, misalnya ketika kita terlambat shalat subuh berjamaah dan tertinggal shalat
sunnah fajar, maka bisa kita laksanakan shalat fajarnya dengan meng-qadha‘. Saya
baru mendapatkan ilmu ini secara omongan tapi ingin membacanya secara teks agar
lebih temotivasi.
Puasa sunnah yang sudah saya laksanakan di antaranya puasa ayyamul bidh, puasa
muharam, rajab.
Saya mendapatkan motivasi dari membaca kisah-kisah para Sahabat Nabi terutama
Umar bin Khatab, beliau meskipun pemimpin dalam konteks khalifah saya
menempatkan sebagai pemimpin bagi diri saya sendiri. Ketika kita sudah menjadi
keluarga maka menjadi pemimpin bagi keluarga, ketika masih kecil, maka ayah
sebagai pemimpin untuk memberikan kebenaran. Ayah saya yang memiliki
pemahaman agama yang sedikit, saya persilakan dulu Ayah memberikan arahan
dalam agama, ketika beliau tidak tahu baru saya masuk dengan argumentasi saya
berdasarkan apa yang sudah saya pelajari, itu yang dimaksud dengan pemimpin
dalam keluarga.
Jika saya dapat mengeksplorasi masalah ini sedikit lebih jauh: Bagaimana
Anda mempertajam atau menamamkan keyakinan Anda?
173
Saya menanamkan keyakinan dengan melaksanakan shalat lima waktu dan untuk
mempertajam keyakinan saya belajar taklim dengan para habib dan saya juga
mengikuti ziarah untuk mengingat kematian dan peduli dengan saudara-saudara
yang lain, dengan teman atau dengan orang yang kita temui di jalan. Pernah ada
teman di dekat rumah yang meminta uang kepada saya dan saya beri tanpa saya
meminta untuk dikembalikan dan sering ketika keluar kota, ada orang yang
membutuhkan uang dan saya kasih tanpa meminta imbalan. Hal ini saya lakukan
untuk menanamkan keyakinan bahwa apa yang diberikan oleh Allah ada sebagian
hak untuk orang lain. Pengetahuan kita pun sama, ada untuk diri sendiri dan ada
untuk orang lain, jadi jangan sepenuhnya kita pendam, kalau dipendam dia akan
menjadi sesuatu yang pribadi. Seperti darah yang selalu mengalir, ketika tidak mau
berbagi dia akan semakin rapat dan mampat. Budaya ini akan hilang jika semenjak
kecil yaitu TK, SD, SMP sampai SMA sudah menanamkan pentingnya nasihat ibu,
seperti nasehat ibu agar rajin shalat, maka akan teringat ketika perjalanan hidup kita
membelok karena tidak semua manusia jalannya lurus, ada masanya berbelok namun
ketika berbelok tidak terus berbelok pasti akan kembali ke jalannya.
Saya selalu mencari ilmu dari para habaib seperti habib Mustafa, Habib Jindan,
Habib Jakfar dan guru-guru lainnya. Ada rasa keinginan besar untuk mempelajari
agama Islam namun ketika tidak bisa jalankan saja tasawuf seperti puasa, zikir,
kalau di jawa ada puasa mutih itu baik karena untuk mensucikan jiwa. Saya pernah
mencoba hal ini tinggal sedikit lagi tapi tidak tuntas.
Saya orangnya suka menolong, misalnya ketika ada teman diberi tugas dari atasan
untuk menyelesaikan program penyuluhan di Surabaya, dia sendiri saja maka saya
bantu kegiatannya sampai membuat laporan. Yang saya terapkan dalam pengetahuan
agama adalah jika kita tidak menolong dia siapa lagi yang akan menolong kita di
akhirat? Walaupun bentuknya duniawi tapi kita niatkan secara agama, selama
perjalanan itu selalu ada bisikan untuk zikir. Ada kisah seorang Nasrani yang
memberikan minum untuk seekor Anjing yang kelaparan akhirnya dia masuk surga,
karena dia merasa makhluk hidup bukan hanya manusia, hewan dan tumbuhan juga
butuh perhatian. Maka kadang-kadang Islam rahmatan lil aalamin itu hanya
kontekstual saja pada aplikasinya masih banyak yang buang sampah sembarangan.
Saya suka meresume atau mencatat apa yang saya pelajari. Imam Syafi‘i yang
hanya menulis dan Imam Ahmad menulis dan mendengar, mungkin kecenderungan
174
saya lebih kepada Iman Ahmad meskipun mazhab tetap kepada Imam Syafi‘i.
Ingatan kita ada yang kuat ada yang tidak. Ada tukang parkir yang memberikan
nasihat, meskipun hanya tukang parkit tapi dia adalah perantara dari Allah untuk
didengar atau seperti orang yang melarang buang sampah, jangan dilihat orangnya
tapi lihat esensi yang dia sampaikan.
Ada beberapa dosen yang penyampaiannya menyentuh hati dan pola pikir pun
berubah. Hasil pola pikir ini adalah kombinasi dari apa yang telah saya pelajari di
SMP, SMA, di Perguruan Tinggi dan di lingkungan masyarakat, dimanapun saya
berada saya kombinasikan dengan keinginan saya dan visi misi hidup saya.
175
GLOSARIUM
Achievement Berprestasi
Agama Ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang
Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan
pergaulan manusia dan manusia serta manusia dan
lingkungannya
Akidah Kepercayaan dasar; keyakinan pokok
Critical Reflection Proses penalaran untuk membuat makna dari suatu
pengalaman. Proses ini menambah kedalaman dan luas
suatu pengalaman dan membangun koneksi antara konten
dan pengalaman.
Deep Learning Pemelajaran yang mengeksplorasi makna di balik topik,
dan berusaha menghubungkannya dengan pengetahuan
lain untuk membantu pemahaman mereka.
Deep Thinking Berpikir secara mendalam; intelektual
Difusi Penyebaran
Dikotomi Pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan
Eksoterik Selalu melihat kulit, serba wadah dan terikat aspek fisik,
cenderung tidak melihat hakikat dibalik segala sesuatu.
Esoterik Bagian dalam (eso) dalam kaitannya dengan lapisan
kesadaran yang lebih dalam, dari sudut pandang yang
kontemplatif, mistikal atau kondisi meditatif yang
personal.
Eksplorasi Periode dimana ada keinginan untuk berusaha tahu,
menyelidiki berbagai pilihan yang ada dan aktif bertanya
secara serius untuk mencapai sebuah keputusan tentang
tujuan yang akan dicapai, nilai dan keyakinan
FITK Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Foreclosure Penutupan, Penyitaan
Fungsional Dilihat dari segi fungsi
Habitual Action Tindakan biasa; hasil dari pengulangan
Human flourishing Upaya untuk mencapai aktualisasi dan pemenuhan diri
dalam konteks komunitas individu yang lebih besar,
masing-masing individu dengan hak untuk mengejar
usahanya sendiri.
IAIN Institut Agama Islan Negeri
Ibadah Ghairu Semua bentuk amal kegiatan yang tujuannya untuk
Madhdhah mendekat kepada Allah. Namun, tempat dan waktunya
tidak diatur secara perinci oleh Allah. Di antara ibadah
yang termasuk ibadah ghairu mahdhah, yaitu seperti
sedekah, infak, belajar, mengajar, berzikir, dakwah,
tolong-menolong, dan gotong royong.
176
Ibadah Madhdhah Ibadah dalam arti sempit yaitu aktivitas atau perbuatan
yang sudah ditentukan syarat dan rukunnya. Syarat itu hal-
hal yang perlu dipenuhi sebelum suatu kegiatan ibadah itu
dilakukan. Sedangkan rukun itu hal-hal, cara, tahapan atau
urutan yang harus dilakukan dalam melaksanakan ibadah
itu. Contoh Ibadah Mahdhah: Salat, Puasa, Haji.
Ideologi Kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat
(kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk
kelangsungan hidup; cara berpikir seseorang atau suatu
golongan
Identity status Keadaan perkembangan ego yang ditandai dengan ada
atau tidaknya krisis dan komitmen.
Ihsan Baik; derma dan sebagainya yang tidak diwajibkan
Iman Keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, nabi, kitab, dan
sebagainya; ketetapan hati; keteguhan batin;
keseimbangan batin
Iman Taqlidi Iman tradisionalis yang diterima turun termurun dari
nenek moyang
Individual Mengenai atau berhubungan dengan manusia secara
pribadi; bersifat perseorangan
Institusional Mengenai lembaga atau bersifat kelembagaan
Intellectual Tanggung jawab intelektual
responsibility
Islam Agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. yang
berpedoman pada kitab suci Al-Qur'an yang diturunkan ke
dunia melalui wahyu Allah Swt.
Jurusan Bagian dari suatu fakultas atau sekolah tinggi yang
bertanggung jawab untuk mengelola dan mengembangkan
suatu bidang studi.
KKN Kuliah Kerja Nyata
Komitmen Tingkatan investasi individu terhadap pekerjaan atau
keyakinannya
Kompartementalisasi Pembagian, penggolongan, atau pengkategorian
Komprehensif Luas dan lengkap (tentang ruang lingkup atau isi)
Konformitas Suatu jenis pengaruh sosial ketika seseorang mengubah
sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma
sosial yang ada
Kontinum Rangkaian
Krisis Masa ketika individu secara aktif terlibat dalam penentuan
pekerjaan dan kepercayaannya.
LPTK Lembaga Pendidikan dan Tarbiyah Keguruan
177
Moratorium Periode waktu di mana aktivitas tertentu dihentikan
MSIS Muslim Subjectivity Interview Schedule
Open minded Keterbukaan untuk mempertimbangkan gagasan dan
pendapat yang baru atau berbeda dengan miliknya
PLP Pengenalan Lapangan Persekolahan
Polarisasi Pembagian atas dua bagian (kelompok orang yang
berkepentingan dan sebagainya) yang berlawanan.
Psychological Well- Kondisi sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain
Being
Reflection Berpikir secara mendalam dan hati-hati
Religiusitas Pengabdian terhadap agama; kesalehan.
Sekularisasi Hal-hal yang membawa ke arah kehidupan yang tidak
didasarkan pada ajaran agama
Spiritualitas Sumber motivasi dan emosi pencarian individu yang
berkenaan dengan hubungan seseorang dengan Tuhan
Subjektivitas Penafsiran yang didasarkan pada pendapat, pemahaman,
atau perasaan pribadi, bukan pada fakta
Substantif Nyata; penting
Surface Learning Pembelajaran yang berkonsentrasi pada keterampilan
kognitif tingkat rendah, seperti mengingat fakta; daripada
keterampilan tingkat tinggi, seperti analisis, sintesis dan
evaluasi
Tarbiah Pendidikan
Tadabbur Melihat akhir sesuatu dan merenungkan konsekuensi
akibatnya
Tafakkur Merenung atau berpikir yang mendalam
Teologi Pengetahuan ketuhanan (mengenai sifat Allah, dasar
kepercayaan kepada Allah dan agama, terutama berdasar
pada kitab suci)
Tipologi (1) proses, perbuatan, cara menyinari; penyinaran; (2)
magnetisasi; (3) pembagian atas dua bagian (kelompok
orang yang berkepentingan dan sebagainya) yang
berlawanan.
Transenden Di luar segala kesanggupan manusia; luar biasa
Understanding Proses psikologis terkait dengan objek abstrak atau fisik,
seperti seseorang, situasi, atau pesan di mana seseorang
dapat berpikir tentang hal itu dan menggunakan konsep
untuk menangani secara memadai dengan objek itu.
Wholeheartedness Kerendahan hati
Wordlview Filosofi kehidupan atau konsepsi tentang dunia
178
INDEKS
Abdul Mujib ................................... 50 habitual action20, 32, 57, 59, 60, 100,
Abdullah Sahiniii, vii, viii, ix, 17, 21, 102, 105, 108, 110, 112, 113, 127,
24, 25, 26, 34, 47, 64, 67, 68, 69, 129
70, 71, 121, 123, 124, 132, 153 Habitual Actionviii, 33, 59, 100, 103,
achievement .................................... 73 106, 109, 111, 113, 115, 189
Achievement ........ xiii, 19, 69, 70, 137 hablun minan nas .......................... 63
Agama24, 29, 41, 48, 50, 51, 61, 64, hablun minallah .............................. 63
66, 70, 72, 73, 75, 79, 84, 110, 111, hari akhir ................. 39, 100, 109, 110
123, 133, 137, 141, 149, 150, 151, Hill, et al.......................................... 45
154, 158, 159, 186, 189, 190 Human flourishing ........................ 189
Al-Quran ........... 62, 84, 149, 159, 195 IAIN75, 77, 80, 82, 126, 149, 159,
Attitude toward Islam ..................... 47 189
Barbara Holdcroft ........................... 44 Ibnu Taimiyyah ......................... 49, 50
berpikir kritis ................ 27, 63, 64, 65 Ibrahim .............. 63, 64, 71, 72, 73, 74
case study ....................................... 37 Identity status ................................ 190
Chi-Square .................... 88, 91, 92, 94 Ideologi ......................................... 190
Confirmatory Factor Analysis .. 39, 87 Ihsanvii, viii, xiv, 20, 23, 26, 31, 32,
critical reflection20, 32, 57, 100, 103, 39, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 86, 89,
105, 108, 112, 113 92, 93, 94, 95, 100, 111, 121, 123,
Critical reflection ............................ 62 150, 155, 166, 167, 173, 174, 190
cronbach‟s alpha ................ 35, 36, 86 Imanvii, viii, xiv, 20, 23, 26, 31, 32,
Cronbach‟s Alpha................... 86, 167 39, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 86, 89,
David Boud............................. 54, 117 90, 91, 92, 94, 95, 100, 106, 107,
David Kember ............ 57, 59, 60, 100 108, 110, 121, 123, 141, 153, 155,
deep learning ............................ 58, 61 165, 167, 172, 174, 188, 190
deep thinking .................................. 17 Iman Taqlidi .................................. 190
Dewey ....................................... 53, 54 Islami, vii, viii, xiv, 17, 20, 23, 24,
diffusion .................................... 68, 72 25, 26, 27, 29, 31, 32, 39, 43, 45,
Diffusion ................................... 68, 70 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 59,
distribusi frekuensi ......................... 36 61, 62, 63, 71, 75, 76, 77, 79, 80,
Eksoterik....................................... 189 82, 83, 86, 89, 90, 92, 94, 95, 100,
Eksplorasi 67, 126, 129, 135, 139, 189 105, 111, 112, 121, 122, 123, 125,
Erikson.................................... 67, 159 126, 128, 129, 130, 133, 135, 140,
Esoterik......................................... 189 149, 150, 151, 152, 153, 154, 155,
FITKiii, vii, viii, ix, xiii, 17, 19, 21, 156, 157, 158, 164, 165, 167, 171,
26, 27, 28, 34, 39, 75, 76, 78, 79, 174, 175, 177, 179, 180, 182, 183,
80, 98, 123, 127, 131, 137, 142, 186, 187, 190, 195
147, 184, 189 Jack Mezirowviii, ix, 20, 32, 60, 61,
foreclosure .......................... 68, 70, 72 62, 100, 159
Foreclosure ................ xiii, 68, 70, 124 James Marciavii, viii, ix, 21, 24, 34,
Glock & Stark ..................... 44, 46, 47 67
Goodness of Fit Index ..................... 87 John Dewey ....................... 53, 54, 156
judgement experts ........................... 32
Kelas Interval .................................. 36
179
Komitmen38, 67, 68, 70, 122, 123, respect others .................. 39, 100, 111
125, 126, 129, 135, 139, 190 Robert K. Yin .................................. 37
Kontinum ......... xiv, 58, 115, 119, 190 Sahin ........................... 47, 69, 70, 132
Kontinum Refleksi100, 103, 106, 109, salat39, 100, 102, 103, 124, 125, 129,
111, 113 132, 133, 134
Krisis ...................................... 67, 190 Salatxv, 51, 82, 83, 100, 101, 102,
loading factor ... 35, 36, 87, 90, 92, 94 103, 162, 189
LPTK ...................................... 76, 190 Saunders et al ............................ 33, 38
Mean ideal ...................................... 37 semi-structured individual interviews
Meuleman ................................. 77, 80 ..................................................... 33
Mezirow................ 57, 59, 60, 62, 136 sequential explanatory .................... 30
mixed methods ................................ 29 single measurement model .............. 89
moratorium ............... 69, 72, 123, 132 spiritualitas44, 45, 48, 52, 53, 70,
Moratorium xiii, 69, 70, 124, 131, 190 135, 137
Muhammad Khalid Masu‘d ............ 77 Spiritualitasxiii, 41, 43, 44, 45, 104,
Nurcholish Madjid .................... 50, 51 152, 191
Nyayu Khodidjah............................ 23 split personality ............................... 50
Pargamentvii, viii, ix, 44, 45, 154, Standar Deviasi ideal ...................... 37
156, 158 Standardized Loading Estimate89, 90,
Pargament, et al .............................. 45 91, 92
Polarisasi ............. xiii, 41, 45, 48, 191 studi kasus ................................. 26, 37
product moment ............ 35, 39, 85, 86 Subjektivitas Keagamaani, vi, xiii,
puasa39, 51, 100, 103, 104, 105, 133, xiv, 20, 39, 70, 122, 124
134 Surface learning .............................. 58
Puasaxv, 103, 104, 105, 106, 134, Tadabbur ......................... 62, 149, 191
162, 164, 165, 179, 186, 189 Tafakkur .................................. 61, 191
reflect .............................................. 53 tarbiyah ........................................... 17
reflection20, 32, 57, 61, 62, 100, 103, Tarbiyahi, vi, 20, 21, 27, 75, 76, 78,
105, 108, 110, 112, 113 79, 148, 152, 189, 190, 195
Reflectionviii, 19, 23, 24, 33, 54, 58, Tariq Ramadan .......................... 65, 66
59, 60, 61, 62, 100, 104, 106, 109, Teologi .................................... 44, 191
112, 113, 115, 116, 117, 127, 149, two-stage data analysis ........... 38, 122
151, 153, 156, 157, 189, 191 understanding20, 32, 57, 60, 100,
reflective thinking ........... 27, 131, 142 102, 105, 108, 112, 113, 125, 129
Religiusitasi, vi, xiii, xiv, xv, 20, 32, Understandingviii, 33, 60, 100, 104,
38, 39, 41, 43, 44, 45, 46, 70, 85, 106, 109, 111, 113, 115, 191
94, 95, 96, 97, 98, 123, 124, 128, Wholeheartedness ......................... 191
132, 133, 137, 138, 152, 160, 165, worldview ........................................ 48
176, 178, 191 Worldview....................................... 46
Rentang data ............................. 36, 96
180