Anda di halaman 1dari 29

PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI TAHFIDZUL QUR’AN

(Studi Deskriptif pada Santri Pondok Pesantren Miftahus Sa’adah)

Mata Kuliah Umum : Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampu ; Dr. Mahfudz Sidiq, M.M

Disusun Oleh ;

Kelompok 4 PAI 12

1. Syahrifa Muhtiawati (221910301019)


2. Balqis Okta Viola (221910301050)
3. Nissa Ariella Pramudhita (221910301055)
4. Denny Satria Ilmansyah (221910301096)
5. Nurul Farah Amira (221910301120)
6. Azzachra Putri Hylda (221910301149)
7. Audy Aulia Putri Komalasari (221910401050)

UNIVERSITAS JEMBER
JEMBER
2022
i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan
rahmat-Nya sampai saat ini penulis dapat menyusun mini research tugas kelompok
yang berjudul “Pendidikan Karakter Melalui Tahfidzul Qur’an (Studi
Deskriptif pada Santri Pondok Pesantren Miftahus Sa’adah)” guna memenuhi
tugas pada mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Penulis juga menyadari bahwa dalam penyajian mini research ini masih
banyak kekurangan, oleh karena itu penulis berharap saran dan kritik untuk
membangun kesempurnaan makalah ini.
Penyelesaian ini berkat bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan
ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Terhormat Bapak Dr. Mahfudz Sidiq, M.M. yang telah memberikan
kesempatan dan kepercayaan kepada kami serta telah membimbing kami
sehingga mini research ini dapat terselesaikan.
2. Anggota kelompok dengan kerja sama yang kompak dan sukses menyusun
mini research ini.
3. Seluruh anggota kelompok yang banyak memberikan saran dan bantuan
hingga mini research ini dapat terselesaikan.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, kami mengharap mini research


ini dapat bermanfaat dan menjadi inspirasi bagi pembaca untuk dapat menerapkan
pendidikan karakter melalui Tahfidzul Qur’an .

Jember, 30 November 2022

Penyusun
ii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah .........................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 2
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................2
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................2
BAB II KAJIAN TEORI .......................................................................................4
2.1 Pondok Pesantren ...................................................................................4
2.1.1 Pengertian Pondok Pesantren ..................................................4
2.1.2 Macam-Macam Pondok Pesantren ..........................................4
2.1.3 Unsur-Unsur Pondok Pesantren ..............................................5
2.1.4 Peran Pondok Pesantren ..........................................................6
2.2 Tahfidzul Qur’an ...................................................................................6
2.2.1 Pengertian Tahfidzul Qur’an ...................................................6
2.2.2 Syarat Tahfidzul Qur’an .........................................................7
2.2.3 Metode-Metode Tahfidzul Qur’an ..........................................8
2.3 Pendidikan Karakter .............................................................................10
2.3.1 Pengertian Karakter ...............................................................10
2.3.2 Nilai-Nilai Karakter Tradisi Pesantren..................................10
2.3.3 Pengertian Pendidikan Karakter ............................................12
2.3.4 Bentuk Pendidikan Karakter .................................................14
2.4 Pendidikan Karakter Tahfidzul Qur’an ................................................14
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................... 17
3.1 Teknik Pengumpulan Data ...................................................................17
3.2 Teknik Penentuan Informan .................................................................18
BAB IV PEMBAHASAN.................................................................................... 19
4.1 Hasil Penelitian ....................................................................................19
iii

4.2 Pembahasan ..........................................................................................20


BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ..........................................................................................22
5.2 Saran........ ............................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................24
LAMPIRAN ............. ............................................................................................25
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri atas pulau besar
dan kecil yang berjumlah sekitar 17.500 pulau. Penduduk Indonesia
berdasarkan pada sensus penduduk tahun 2010 berjumlah lebih dari 237 juta
jiwa. Setiap penduduk memiliki sifat dan karakter yang berbeda-beda. Pusat
Kurikulum Balitbang Kemendiknas (2011) mengungkapkan fenomena
keseharian menunjukkan perilaku masyarakat belum sejalan dengan
karakter bangsa yang dijiwai oleh falsafah Pancasila (religius, humanis,
nasionalis, demokratis, keadilan dan kesejahteraan rakyat). Berbagai
perilaku menyimpang masyarakat terjadi dalam kehidupan sehari-hari
seperti penggunaan obat terlarang, pelecehan seksual, sikap agresif,
tawuran, bullying, kemerosotan toleransi umat beragama dan lain-lain. Oleh
karena itu, Indonesia gencar menggelorakan pembangunan karakter dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Implementasi pendidikan karakter itu seyogianya harus didukung
oleh semua lembaga pendidikan yang ada, termasuk pondok pesantren
karena pesantren selain sebagai lembaga pendidikan, ia juga termasuk
lembaga pembinaan moral dan dakwah (Qomar, 2005: xxiii). Pondok
pesantren adalah lembaga pendidikan Islam untuk memahami, menghayati
dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral
agama sebagai pedoman hidup dalam bermasyarakat sehari-hari (Mastuhu,
1994:6). Kementerian Agama (Kemenag) mencatat, sebanyak 4.452 pondok
pesantren tersebar di Jawa Timur. Jember merupakan Kabupaten di Jawa
Timur dengan jumlah paling banyak, yakni 611 pondok pesantren.
Pondok Pesantren Miftahus Sa'adah yang menjadi objek penelitian
dalam penelitian ini merupakan salah satu lembaga pendidikan yang
menggunakan sistem pondok pesantren yang 24 jam sehari. Pondok
pesantren ini merupakan pondok pesantren yang berlokasi di Durjo,
Karangpring, Kecamatan Sukorambi, Kabupaten Jember. Alasan peneliti
memilih Pondok Pesantren Miftahus Sa'adah karena menurut pendapat
2

masyarakat pondok pesantren ini dapat menciptakan santri yang unggul baik
itu dalam pendidikan karakter maupun program Tahfidzul Qur'an.
Kemudian para santri masih berumur 6-15 tahun yang termasuk kategori
anak-anak dan remaja. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui secara
mendalam bagaimana pendidikan karakter melalui program tahfidzul
qur’an yang ada di Pondok Pesantren Darus Saadah. Penelitian tersebut
pada akhirnya merupakan karya ilmiah yang berbentuk mini research yang
penulis beri judul “Pembentukan Karakter melalui Tahfidzul Qur’an
pada santri Pondok Pesantren Darus Saadah”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di paparkan pada
makalah ini, maka terdapat beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pendidikan karakter yang diterapkan di Pondok
Pesantren Miftahus Sa’adah?
2. Bagaimana proses santri menghafal Al-Qur’an di Pondok
Pesantren Miftahus Sa’adah?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan adalah sesuatu yang akan dicapai. Adapun tujuan penelitian
ini adalah diantaranya:
1. Untuk mendeskripsikan pendidikan karakter yang diterapkan di
Pondok Pesantren Miftahus Sa’adah
2. Untuk menjelaskan proses santri menghafal Al-Qur’an di Pondok
Pesantren Miftahus Sa’adah.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian ini diharapkan dapat mencapai tujuannya secara
praktis terhadap segala aspek diantara lain adalah :
1. Bagi Pesantren
Sebagai upaya peningkatan program-program yang ada di
pesantren terlebih program yang terkhususkan untuk pendidikan
karakter.
3

2. Bagi Peneliti
Belajar melakukan penelitian yang merupakan kewajiban
sebagai mahasiswa untuk menjalankan program Tri Dharma
Perguruan Tinggi
3. Bagi Pembaca
Sebagai referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya
tentang pembentukan karakter. Selain itu juga dapat memberikan
motivasi dan gambaran umum kepada pembaca dalam menentukan
topik penelitian.
4

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Pondok Pesantren


2.1.1 Pengertian Pondok Pesantren
Syahrifa Muhtiawati
(Tim Penyusun Kamus dan Pengembangan Bahasa, 1986:667)
menyatakan pondok pesantren adalah lembaga keagamaan, yang
memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan
menyebarkan agama Islam.
Ada beberapa pendapat tentang asal muasal kata-kata “pesantren”.
(Johns dalam Suharto, 2011:9) berpendapat bahwa, “kata pesantren berasal
dari term santri dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji.” Sedangkan
(C.C. Berg pada Galba, 1991:1-2) berpendapat bahwa, “Kata santri berasal
dari term “smastri” yang berarti orang yang tahu buku-buku suci agama
Hindu, atau sarjana ahli kitab suci agama Hindu.”
Sedangkan (Bawani, 1999:5) menyatakan, “Pesantren adalah
lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, umumnya dengan cara
non klasikal, dimana seorang Kyai mengajarkan ilmu agama Islam kepada
santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam Bahasa Arab oleh
ulama abad pertengahan, dan para santri tinggal dipondok (asrama) dalam
pesantren tersebut.”
2.1.2 Macam-Macam Pondok Pesantren
Syahrifa Muhtiawati
Menurut Ridwan Natsir (dalam Suharto, 2011:19) menyatakan
bahwa pembagian pesantren dibagi menjadi lima klasifikasi, antara lain :
a. Pesantren salaf, yaitu pesantren yang di dalamnya terdapat sistem
pendidikan salaf (wetonan dan sorogan ) dan sistem klasikal.
b. Pesantren semi berkembang, yaitu pesantren yang di dalamnya terdapat
sistem pendidikan salaf (wetonan dan sorogan ) dan sistem madrasah
swasta dengan kurikulum 90% agama dan 10% umum.
c. Pesantren berkembang yaitu pondok pesantren yang seperti semi
berkembang hanya saja sudah lebih variatif yakni 70% agama dan 30%
umum.
5

d. Pesantren modern yaitu pesantren yang seperti pesantren berkembang


hanya saja sudah lebih lengkap dengan lembaga pendidikan yang ada di
dalamnya hingga perguruan tinggi, dan dilengkapi dengan takhassus
bahasa arab dan Inggris.
e. Pesantren ideal yaitu pesantren sebagaimana pesantren modern, hanya
saja lembaga pendidikan yang ada lebih lengkap dilengkapi dengan
pendidikan keterampilan yang meliputi teknik, perikanan, pertanian,
perbankan, dan lainnya yang benar-benar memperhatikan kualitas
dengan yang tidak menggeser ciri khas pesantren.
2.1.3 Unsur-Unsur Pondok Pesantren
Balqis Okta Viola
(Mastuhu, 1994:25) berpendapat adapun unsur-unsur pondok
pesantren yaitu sebagai berikut:
1. Pelaku terdiri dari kyai, ustaz, santri, dan pengurus.
➢ Kyai
(Dhofir, 2011:93) mengemukakan kyai merupakan elemen penting dan
paling esensial dari suatu pesantren dimana kyai seringkali merupakan
pendirinya. Sudah sewajarnya bahwa pertumbuhan suatu pesantren
semata-mata bergantung dengan kemampuan pribadi lainnya. Menurut
asal-usulnya perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling
berbeda yaitu:
1. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap
keramat umpamanya “Kyai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan
kereta mas yang ada di Keraton Yogyakarta.
2. Sebagai gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.
3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang yang ahli agama
Islam yang memiliki atau memimpin pesantren dan pengajaran
kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya. Selain gelar kyai ia
sering disebut juga seorang alim.
➢ Santri
Santri merupakan elemen penting dalam sebuah lembaga pesantren.
Menurut (Dhofir, 2011:87-88) santri terdiri dari dua yaitu:
a. Santri Muqim yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh
6

dan menetap dalam pondok pesantren.


b. Santri Kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di
sekitar pesantren, biasanya tidak menetap dalam pesantren.
2. Sarana perangkat keras misalnya masjid, rumah kyai, rumah ustad,
pondok, gedung, sekolah, gedung-gedung lain untuk pendidikan seperti
perpustakaan, aula, kantor pengurus pesantren, kantor organisasi santri,
keamanan, koperasi, gedung-gedung keterampilan dan lain-lain.
3. Sarana perangkat lunak misalnya kurikulum, buku-buku dan sumber
belajar lainnya, cara belajar mengajar (bandongan, sorongan, halaqoh,
dan menghafal), evaluasi belajar mengajar.
2.1.4 Peran Pondok Pesantren
Balqis Okta Viola
(Qomar, 2006;135) menyatakan pesantren mengemban beberapa
peran, yakni sebagai berikut.
a. Lembaga pendidikan. Pengembangan apapun yang dilakukan dan
dijalani oleh pesantren tidak mengubah ciri pokoknya sebagai lembaga
pendidikan-pendidikan dalam arti luas.
b. Lembaga keilmuan. Modusnya adalah kitab-kitab produk guru
pesantren kemudian dipakai juga di pesantren lainnya.
c. Lembaga pelatihan. Pelatihan awal yang dijalani para santri adalah
pengelolaan barang-barang pribadi, sampai keurusan merancang jadwal
belajar dan mengatur hal-hal yang berpengaruh kepada
pembelajarannya, seperti kunjungan orang tua atau menjenguk
keluarga.
d. Lembaga pemberdayaan masyarakat. Dalam melakukan pemberdayaan
masyarakat itu pesantren pada umumnya benar-benar mandiri dan lebih
selektif pada lembaga penyandang dana dari luar masyarakat sendiri.
e. Lembaga bimbingan keagamaan. Tidak jarang pula pesantren
ditempatkan sebagai bagian dari lembaga bimbingan keagamaan oleh
masyarakat dalam hal keagamaan.
2.2 Tahfidzul Qur’an
2.2.1 Pengertian Tahfidzul Qur’an
Nissa Arriella Pramudhita
7

Tahfidz Qur’an terdiri dari dua suku kata, yaitu Tahfidz dan Qur’an.
Tahfidz yang berarti menghafal. Menurut (Yunus, 1990:105), menghafal
berasal dari kata dasar hafal yang dari bahasa arab hafidza-yahfadzu-
hifdzan, yaitu lawan dari lupa, yaitu selalu ingat dan sedikit lupa.
Sedangkan Al-Qur’an itu ialah kitab suci yang diwahyukan Allah
SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat dan petunjuk bagi
manusia dalam hidup dan kehidupannya. Menurut harfiah, Qur’an itu berarti
bacaan.
Dari pengertian dua kata tersebut yaitu tahfidz dan Al-Qur’an maka
bisa ditarik kesimpulan Tahfidzul Qur’an adalah kegiatan menghafal kitab
suci Allah.
2.2.2 Syarat Tahfidzul Qur’an
Nissa Arriella Pramudhita
Menurut (Sa’dullah, 2008:26-34) menyatakan, seorang penghafal
hendaknya memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Ikhlas
Hal pertama yang harus dilakukan oleh penghafal Al-Qur’an adalah
mereka harus membulatkan niat menghafal Al-Qur’an hanya
mengharap rida Allah. Firman Allah SWT yang artinya : “Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan
yang demikian itulah agama yang lurus. “Karena itu keikhlasan hati
merupakan hal yang harus dimiliki oleh penghafal sebelum memulai
menghafal Al-Qur’an. Ikhlas karena Allah SWT adalah pintu untuk
mendapatkan kemudahan menghafal sekaligus untuk mendapatkan
keridaan-Nya.
2) Mempunyai Kemauan yang Kuat
Menghafal Al-Qur’an sebanyak 30 juz, 114 surah, kurang lebih
memiliki 6.236 ayat dan memerlukan waktu yang relatif lama.
Menghafal Al-Qur’an tidak seperti menghafal bacaan-bacaan yang lain,
apalagi bagi orang non arab yang sehari-harinya tidak menggunakan
8

bahasa arab dalam berkomunikasi, sehingga kemauan yang kuat dalam


menghafal itu harus dimiliki oleh seorang penghafal Al-Qur’an.
3) Disiplin Penggunaan Waktu dan Istiqomah
Seorang penghafal Al-Qur’an harus disiplin dan istikamah. Harus gigih
memanfaatkan waktu senggang, cekatan, dan mengurangi kesibukan-
kesibukan yang kurang bermanfaat (Agil, 2005:26).
4) Talaqi
Seorang penghafal Al-Qur’an hendaknya berguru (talaqqi) kepada
seorang guru yang hafal Al-Qur’an, mantap beragama serta guru yang
mampu menjaga diri. Menghafal Al-Qur’an tidak diperbolehkan tanpa
guru. Karena didalam Al-Qur’an terdapat bacaan-bacaan yang sulit yang
tidak bisa dipelajari teorinya saja.
5) Berakhlak Terpuji
Orang yang menghafal Al-Qur’an hendaknya berakhlak terpuji. Akhlak
terpuji juga harus sesuai dengan ajaran syariat Islam. Selain itu menjaga
diri dari perbuatan maksiat termasuk usaha untuk memiliki akhlak
terpuji. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Imam Syafi’i
dalam kitab i’anatut tholibin bahwasanya:
“Aku pernah mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya
hafalanku. Lalu beliau menunjukiku untuk meninggalkan maksiat.
Beliau memberitahukan padaku bahwa ilmu adalah cahaya dan
cahaya Allah tidak mungkin diberikan pada ahli maksiat.”
Oleh karena itu seorang penghafal juga harus memiliki akhlak yang
terpuji.
2.2.3 Metode-Metode Tahfidzul Qur’an
Denny Satria Ilmansyah
(Masduki, 2018:22-23) mengungkapkan bahwa metode berarti cara
yang dilakukan oleh seseorang untuk mencapai target atau tujuannya yang
diinginkan. Dalam proses menghafal, umumnya penghafal menggunakan
perpaduan antara metode tahfidz (menambah hafalan) dan metode taksir
(mengulang hafalan), karena dengan menyeimbangkan keduanya kualitas
dan kuantitas hafalan akan dapat terjaga dengan baik. (Umar, 2017:8)
mengungkapkan adapun beberapa metode Tahfidzul Qur’an yang ada antara
lain:
9

a) Metode Juz’i
Metode juz’i adalah menghafal secara berangsur-angsur atau sebagian
demi sebagian dan menghubungkan antar bagian ayat satu dengan ayat
yang lain dalam satu kesatuan materi yang dihafal. Berarti pada metode
ini siswa menggabungkan hafalan yang sudah dihafal sebelumnya
dengan hafalan ayat yang baru. Oleh sebab itu harus banyak-banyak di
muraja’ah.
b) Metode Takrir (mengulang)
Metode takrir merupakan metode mengulang hafalan yang telah
diperdengarkan kepada ustaz atau pembimbing tahfidz, yang fungsi
utamanya untuk menjaga agar materi yang sudah dihafal supaya tidak
lupa atau hilang.
c) Metode Setor
Metode setor adalah memperdengarkan hafalan-hafalan baru kepada
pembimbing atau ustaz. Metode ini harus dilaksanakan oleh siswa
supaya hafalan siswa bertambah dan sesuai dengan target yang sudah
ditentukan oleh sekolah. Serta melalui metode ini bacaan sisa akan
menjadi lebih baik. Karena guru akan memperdengarkan bacaan siswa
satu persatu.
d) Metode Tes
Metode tes adalah cara yang digunakan oleh guru untuk menguji
keseluruhan hafalan siswa. Metode ini dengan menekankan pada materi
ketepatan bacaan (makhorijul huruf dan tajwid).
Selain beberapa metode di atas ada metode menghafal Al-Qur’an
dengan bimbingan guru. Dalam metode ini, para penghafal hanya
memerlukan keseriusan untuk mengonsentrasikan pemikirannya dalam
mendengar ayat-ayat yang akan dihafal yang dibacakan oleh guru
pembimbing. Metode ini biasanya dipakai oleh anak-anak dan tuna netra.
(Sa’dullah, 2008:54) mengungkapkan bahwa metode menghafal Al-Qur’an
yang dilakukan oleh bimbingan seorang guru tahfidz yaitu :
1) Talaqi
10

Proses menyetorkan atau memperdengarkan hafalan baru para


penghafal kepada seorang guru tahfidz. Proses talaqi ini dilakukan untuk
mengetahui keadaan hafalan para penghafal dan untuk mendapatkan
bimbingan seperlunya.
2) Taqrir
Proses mengulang yang pernah dihafalkan kepada guru tahfidz. Taqrir
ini bertujuan untuk menjaga hafalan yang sebelumnya sudah dihafal
dengan baik sehingga tidak mudah lupa.
3) Tasma’
Proses mendengarkan hafalan kepada orang lain selain guru tahfidz baik
itu kepada perseorangan atau berjamaah.
2.3 Pendidikan Karakter
2.3.1 Pengertian Karakter
Nurul Farah Amira
(Suyadi, 5) mengemukakan secara bahasa (etimologis) karakter
berasal dari bahasa Yunani charassein yang berarti mengukir, melukis,
memahat atau menggoreskan, sedangkan (Subardi, 2012:12)
mengemukakan dalam bahasa Latin mengistilahkan “kharakter”,
“khorsein”, “khorax” dan bahasa Inggris “Character”, dalam bahasa
Yunani “character” dan “charrasein” yang artinya membuat tajam,
membuat dalam.
Secara istilah (terminologis) karakter diartikan sebagai sifat manusia
pada umumnya yang bergantung pada faktor kehidupannya sendiri(Fitri,
2021:20).
Sedangkan karakter menurut beberapa ahli diantaranya :
a) (Majid, 2011:11) menyatakan bahwa karakter diartikan sebagai tabiat,
watak, sifat-sifat, kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dengan yang lainnya.
b) Menurut pusat bahasa Depdiknas memiliki makna; bawaan hati, jiwa,
kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat,
temperamen watak.
2.3.2 Nilai-Nilai Karakter Tradisi Pesantren
Nurul Farah Amira
11

Menurut Steeman (dalam Adisusilo, 2013:56) nilai adalah sesuatu


yang memberi makna dalam hidup, yang memberi acuan, titik tolak dan
tujuan hidup. Nilai adalah sesuatu yang dijunjung tinggi, yang dapat
mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang.
Hakikat pondok pesantren terletak pada isi atau jiwanya, bukan
pada kulitnya, dalam isi itulah ditemukan jasa pondok pesantren bagi
umat. Makna panca jiwa yang dikonstruksi sebagai jiwa yang melekat
pada pesantren adalah sebagai berikut, pesantren memiliki nilai-nilai luhur
yang dijadikan acuan dalam mendidik dan mengajar siswanya menuju
manusia yang memiliki karakter kemandirian yang baik, nilai-nilai
pendidikan.
(Shoebahar, 2013:42-50) berpendapat bahwa karakter dalam
tradisi pesantren termuat dalam panca jiwa sebagai berikut :
a) Jiwa keikhlasan
Sepi ing pamrih (tidak karna dorongan untuk memperoleh keuntungan-
keuntungan tertentu), semata-mata untuk ibadah. Hal ini meliputi
segenap suasana kehidupan di pesantren, termasuk kyai yang secara
ikhlas memberikan bantuan (asistensi). Segala gerak dalam pesantren
pun berjalan dalam suasana keikhlasan.
b) Jiwa kesederhanaan
Kehidupan di pondok pesantren diliputi suasana kesederhanaan.
Sederhana bukan berarti pasif, melarat, nrimo, atau miskin, melainkan
mengandung unsur kekuatan hati, ketabahan, dan pengendalian diri
dalam menghadapi bermacam rintangan hidup sehingga akan terbit
jiwa yang besar, berani, bergerak maju, dan pantang mundur dalam
segala keadaan. Dengan kata lain, disinilah awal tumbuhnya kekuatan
mental dan karakter yang menjadi syarat bagi suksesnya suatu
perjuangan dalam segala bidang kehidupan.
c) Jiwa kemandirian
Jiwa kemandirian adalah jiwa kesanggupan menolong diri sendiri (self
helf), berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) atau mandiri. Jiwa inilah
yang merupakan senjata hidup yang ampuh. Berdikari atau mandiri
12

bukan saja dalam arti bahwa santri selalu belajar dan mengurus
kepentingan sendiri, tetapi pesantren juga tidak pernah menyandarkan
kehidupan kepada bantuan atau belas kasih orang lain. Namun, tidak
bersifat kaku, sehingga menolak orang atau pihak yang ingin
membantu. Kata mandiri mengandung arti tidak bergantung kepada
orang lain, bebas, dan dapat melakukan sendiri. Kata ini sering kali
diterapkan untuk pengertian dan tingkat kemandirian yang berbeda-
beda.
d) Jiwa ukhuwah Islamiyah
Jiwa ukhuwah Islamiyah adalah jiwa persaudaraan atas dasar nilai-
nilai Islam. Kehidupan pesantren selalu diliputi suasana persaudaraan
yang akrab, segala kesenangan dirasakan secara bersama dengan
jalinan perasaan keagamaan. Persaudaraan ini bukan saja selama
mereka berada di pesantren, tetapi juga mempengaruhi arah persatuan
umat dalam masyarakat sepulang mereka dari pesantren kelak.
Ukhuwah Islamiyah adalah sebuah istilah yang menunjukkan
persaudaraan antara sesama muslim di seluruh dunia tanpa melihat
perbedaan warna kulit, bahasa, suku, bangsa, dan kewarganegaraan.
Yang mengikat persaudaraan itu adalah kesamaan keyakinan atau
iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka sama-sama bersaksi tiada
tuhan melainkan Allah SWT dan Muhammad itu adalah Nabi dan
utusan-Nya. Ikatan keimanan ini jauh lebih kukuh dan abadi
dibandingkan dengan ikatan-ikatan ainnya, bahkan lebih kuat
dibandingkan dengan ikatan darah sekalipun.
e) Jiwa kebebasan
Jiwa kebebasan yaitu bebas dalam berfikir, berbuat, menentukan masa
depan dan memilih jalan hidup dengan jiwa besar serta optimis
menghadapi kehidupan. Kebebasan itu bahkan sampai pada kebebasan
dari pengaruh asing dan barat (kolonial) disinilah sebabnya pesantren
saat masa kolonial dulu bersikap non kooperatif dan memilih
mengisolasi diri dari kehidupan ala Barat yang dibawa para penjajah.
2.3.3 Pendidikan Karakter
Azzachra Putri Hylda
13

Pendidikan karakter berasal dari dua suku kata yaitu “pendidikan”


dan “karakter”. Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan,
keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu
generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan atau
penelitian. Sedangkan (Majid, 2010:11) menyatakan pengertian karakter
adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas
seseorang atau sekelompok orang.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwasanya pendidikan
karakter adalah upaya sadar yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang (pendidik) untuk menginternalisasikan nilai-nilai
karakter pada seseorang yang lain (peserta didik) sebagai pencerahan agar
peserta didik mengetahui, berfikir dan bertindak secara bermoral dalam
menghadapi setiap situasi. Banyak para ahli yang juga mengemukakan
pendapatnya tentang pendidikan karakter, diantaranya adalah :
1) Menurut (Lickona, 2012:22), pengertian pendidikan karakter
adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang
sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan
nilai-nilai etika yang inti.
2) Pendidikan Karakter menurut (Albertus, 2010:5) adalah
diberikannya tempat bagi kebebasan individu dalam menghayati
nilai-nilai yang dianggap sebagai baik, luhur, dan layak
diperjuangkan sebagai pedoman bertingkah laku bagi kehidupan
pribadi berhadapan dengan dirinya, sesama dan Tuhan.
3) Menurut (Khan, 2010:24) menyatakan pendidikan karakter adalah
proses kegiatan yang dilakukan dengan segala daya dan upaya
secara sadar dan terencana untuk mengarahkan anak didik.
Pendidikan karakter adalah proses menanamkan karakter tertentu
sekaligus memberi benih agar peserta didik mampu menumbuhkan karakter
khasnya pada saat menjalankan kehidupan. Dengan kata lain, peserta didik
tidak hanya memahami pendidikan sebagai bentuk pengetahuan, namun
juga menjadikan pendidikan sebagian dari hidup dan secara sadar hidup
berdasarkan pada nilai tersebut.
14

2.3.4 Bentuk Pendidikan Karakter


Audy Aulia Putri Komalasari
Yahya Khan (dalam Mahbubi, 2012:48) tentang bentuk pendidikan
karakter. Pendidikan karakter yang dapat dilaksanakan dalam proses
pendidikan terbagi atas empat bentuk, antara lain:
a. Pendidikan karakter berbasis nilai religius yaitu pendidikan karakter yang
berlandaskan kebenaran wahyu (konversi moral).
b. Pendidikan karakter berbasis nilai kultur yang berupa budi pekerti
Pancasila, apresiasi, sastra, keteladanan tokoh-tokoh sejarah dan para
pemimpin bangsa.
c. Pendidikan karakter berbasis lingkungan (konversi lingkungan).
d. Pendidikan karakter berbasis potensi diri yaitu sikap pribadi, hasil proses
kesadaran pemberdayaan potensi diri yang diarahkan untuk meningkatkan
kualitas pendidikan (konversi humanis). Proses aktivitas ini dilakukan
dengan segala upaya secara sadar dan terencana, untuk mengarahkan murid
agar mereka mampu mengatasi diri melalui kebebasan dan penalaran serta
mampu mengembangkan segala potensi diri.
Berdasarkan pendapat dari Yahya Khan tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pendidikan karakter yang diterapkan di pondok pesantren merupakan
bentuk pendidikan karakter yang berbasis nilai religius (konversi moral)
serta berbasis potensi diri (konversi humanis), dimana para peserta didik
atau santri tidak hanya diajarkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan
karakter dalam Islam tetapi juga meningkatkan kualitas pendidikan karakter
secara lebih luas.
2.4 Pendidikan Karakter melalui Tahfidzul Qur’an
Audy Aulia Putri Komalasari
Pendidikan karakter menekankan penanaman sikap dan perilaku
yang baik pada diri individu, sehingga ia mampu berbuat baik bagi dirinya,
kepada Allah dan masyarakat.
Hubungan antara karakter dan Tahfidzul Qur’an ini sangatlah erat,
bahkan tahfidzul Qur’an dapat berpengaruh terhadap karakter seseorang.
Apalagi jika dikaitkan antara syarat-syarat menghafal Al-Qur’an dengan
nilai-nilai karakter. Seperti yang sudah diketahui bahwasanya ada lima
syarat menghafal Al-Qur’an diantara lain ada ikhlas dan berakhlak terpuji.
15

Hal ini berkaitan dengan nilai-nilai karakter yang dibuat oleh Diknas yaitu
nilai karakter religius.
Nilai-nilai religius adalah nilai-nilai kehidupan yang mencerminkan
tumbuh kembangnya kehidupan beragama yang terdiri dari tiga unsur pokok
yaitu akidah, ibadah dan akhlak yang menjadi pedoman perilaku sesuai
dengan aturan-aturan Illahi untuk mencapai kesejahteraan serta
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.39 Dari penjelasan tersebut sudah
jelas jika syarat menghafal Al-Qur’an ikhlas dan berakhlak terpuji
berhubungan dengan nilai-nilai karakter religius. Karena dengan menghafal
Al-Qur’an maka seseorang akan mempunyai sifat ikhlas dan mempunyai
akhlak terpuji yang relevan dengan nilai karakter religius.
(Rikunto, 2006:49) menyatakan syarat menghafal Al-Qur’an yaitu
disiplin waktu dan istikamah juga berkaitan dengan nilai-nilai karakter yang
dibuat oleh Diknas yaitu disiplin. Disiplin merupakan suatu sikap/perilaku
yang pasti diharapkan oleh setiap pendidik agar kegiatan pembelajaran yang
dilakukan baik di dalam kelas maupun di luar kelas dapat berjalan sesuai
dengan yang diharapkan. Jika dikaitkan dengan nilai-nilai karakter, maka
seseorang yang menjadi penghafal Al-Qur’an juga akan mempunyai
karakter disiplin terhadap waktu yang juga sangat relevan dengan nilai-nilai
karakter.
Sesuai dengan Firman Allah Q.S Al-Ashr 1-3

Terbentuknya nilai-nilai karakter bertanggung jawab dan kerja keras


juga berkaitan dengan salah satu syarat menghafal Al-Qur’an yaitu
mempunyai kemauan yang kuat. Jika seorang penghafal Al-Qur’an sangat
bersungguh-sungguh dan memiliki rasa tanggung jawab dalam
melaksanakan hafalan, maka nilai-nilai karakter tanggung jawab dan kerja
16

keras akan terbentuk. Karena seorang penghafal akan merasa mempunyai


kewajiban yang harus dilaksanakan sehingga nilai-nilai karakter dan
tanggung jawab dan kerja keras juga akan tertanam dalam dirinya.
17

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data merupakan satu hal yang sangat penting
bagi sebuah penelitian sehingga data yang diperoleh benar-benar sesuai
dengan judul yang ditentukan. Seperti yang dikemukakan oleh (Sugiono,
2008:27) bahwa dari segi atau cara teknik pengumpulan data maka teknik
pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan
bacaan literatur yang kemudian ditelaah hingga menghasilkan catatan-
catatan penting yang telah disaring dan dituangkan dalam kerangka teoritis,
kemudian observasi (pengamatan), interview (wawancara), dokumentasi
dan gabungan dari semuanya.
Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Metode wawancara
(Sudjiono, 1986:38) mengemukakan wawancara atau interview
adalah cara pengumpulan bahan-bahan keterangan yang dilaksanakan
dengan melakukan tanya jawab lisan sepihak, berhadapan muka, dan
dengan arah serta tujuan yang telah ditentukan. Menurut pendapat yang
dikemukakan (Hadi, 2002:136) dalam bahwasanya metode interview adalah
metode untuk mengumpulkan data dengan tanya jawab sepihak yang
dikerjakan secara sistematis dan berlandaskan pada penyelidikan pada
umumnya dua orang atau lebih, hadir secara fisik dalam proses tanya jawab.
Penelitian ini menggunakan metode wawancara secara online
melalui aplikasi Zoom yaitu untuk memperoleh data tentang pendidikan
karakter di Pondok Pesantren Miftahus Sa'adah, proses tahfidzul Quran, dan
beberapa hal yang digunakan untuk melengkapi penelitian ini. Dalam
penggunaan metode tersebut penelitian ini berhasil memperoleh data dari
informan lebih banyak dan sesuai dengan kebutuhan penulis untuk
menjamin kelengkapan dan kebenaran data yang diperoleh melalui teknik
ini penulis menggunakan alat perekam dan pencatat maupun dokumentasi.
18

3.2 Teknik Penentuan Informan


Subjek penelitian menjadi informan yang akan memberikan
berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian. Informan
penelitian meliputi tiga macam yaitu (1) Informan kunci yaitu mereka yang
mengetahui dan memiliki informasi pokok yang diperlukan dalam
penelitian, (2) Informasi biasa yaitu mereka yang terlibat secara langsung
dalam interaksi sosial yang diteliti, (3) Informasi tambahan yaitu mereka
yang dapat memberikan informasi walaupun tidak langsung terlibat dalam
interaksi sosial yang sedang diteliti.
Dari penjelasan yang sudah diterangkan di atas maka peneliti
menggunakan teknik purposive sampling dalam menentukan informannya
purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan
tertentu dalam (Sugiono, 2016:85). Yang menjadi informan peneliti adalah:
1. Informan kunci, terdiri dari dua orang santri Pondok Pesantren Miftahus
Sa’adah
19

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan di Pondok Pesantren
Miftahus Sa’adah dengan menggunakan teknik wawancara dan maka dapat
peneliti paparkan beberapa data dari para informan sebagai berikut:
4.1.1 Karakter di Pondok Pesantren Miftahus Sa’adah
Pelaksanaan pendidikan karakter yang diajarkan dipondok pesantren
Miftahus Sa’adah ialah jiwa keikhlasan, jiwa kesederhanaan, jiwa
kemandirian, jiwa kebebasan dan jiwa ukhuwah islamiah. Hal tersebut
diperoleh berdasarkan penuturan salah satu santri yaitu Naurah Arfa, dia
menyampaikan :
“Pendidikan karakter sudah diajarkan kepada para santri sejak kami
baru masuk ke pondok pesantren ini mbak. Menurut kami awalnya
ikhlas itu memang sulit, akan tetapi bisa dilatih dengan
melaksanakan tugas yang ada dipondok misalnya pagi-pagi dengan
menyapu halaman pondok atau menyapu kamar sendiri, Mungkin
bagi santri baru yang tak terbiasa dengan itu merasakan kerepotan
tapi lama kelamaan pasti bisa merasakan oh ini toh yang dinamakan
jiwa keikhlasan. Dulu waktu saya masih baru mbak, sempat
merasakan gak kerasan di sini karna kalau di rumah segala sesuatu
itu pasti gak repot karena segala kebutuhan itu selalu disediakan oleh
orang tua. Kemudian kami juga dilatih untuk mandiri misalnya
mencuci baju sendiri, merapikan baju, dan merapikan tempat tidur
gak boleh meminta bantuan ke yang lain.”
Salah satu santri Aidah Shafiyyah juga menyampaikan :

“Inggih benar mbak, kami juga kadang ikut membantu memasak.


Selain itu, kami dituntut untuk disiplin dalam setiap setor hafalan
yang nantinya akan muncul sikap kemandirian itu mbak. Kemudian
jiwa persaudaraan atau disebut juga jiwa ukhuwah Islamiah
menerapkan jiwa itu karena di sini kita tidak hidup sendirian
melainkan bersama-sama seperti halnya saudara yang saling
membantu, saling menasihati dan saling tegur menegur kalau teman
kita keliru maka kita tegur semua itu kita lakukan bersama-sama
walau sekecil apapun pekerjaan itu pasti dilakukan secara bersama.
Jiwa kebebasan di sini yaitu kami boleh menyampaikan ide,
pendapat dan saran kita terhadap ponpes Miftahus Sa’adah sendiri.”
4.1.2 Proses Menghafal Al-Qur’an di Pondok Pesantren Miftahus Sa’adah
Berdasarkan hasil wawancara dengan Naurah Arfa, ia menyampaikan:
20

“Kami memulai hafalan dari juz 30 mbak, karena mudah terlebih


dahulu dihafal daripada juz lainnya. Kami diberikan waktu
menghafal dari pukul 05.30-07.00 WIB. Untuk berzikir dan
berpuasa saat melakukan hafalan kita tidak dianjurkan mbak. Setiap
hari kami menghafalkan satu halaman Al-Qur’an. Dan dalam 1 juz
kami bisa menghafal selama kurun waktu satu bulan.”
Hal tersebut diperjelas oleh Aida Shafiyyah:
“ Saya juga sama seperti Naura, mbak. Cara kami menghafalkan
yaitu misal 1 ayat Al-Qur’an kami baca dulu selama 10 kali
kemudian kami hafalkan. Kemudian kami melakukan setoran
hafalan di setiap hari Sabtu. Dimana jika ada santri yang tidak
menyetor hafalan akan dikenakan sanksi. Target kelulusan kamu
yaitu harus menghafal 15 juz. Dan sampai saat ini kami masih
menghafal 7 juz mbak.”
4.2 Pembahasan
4.2.1 Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren Miftahus Sa’adah
Pelaksanaan jiwa keikhlasan yang diterapkan di Pondok Pesantren
Miftahus Sa’adah sudah dapat dikatakan baik semisal dalam kegiatan
belajar mengajar, Kyai ikhlas di dalam mengajar santri dan santri pun ikhlas
menerima yang disampaikan Kyai. Bahkan semua tenaga pengajar di
Pondok Pesantren Miftahus Sa'adah pun ikhlas mengajar tanpa adanya
bayaran atau timbal balik dari pesantren. Juga di diadakan pula kegiatan-
kegiatan yang bisa menumbuhkan jiwa keikhlasan seperti menyapu
halaman pondok, membantu memasak dan lain sebagainya. Dilihat dari jiwa
kesederhanaan yang diterapkan di Pondok Pesantren Miftahus Sa’adah juga
dapat dikatakan baik dimana disesuaikan dengan cara hidup sehari-hari,
misalnya dari segi menu makan yang ala kadarnya, tempat tidur yang
sederhana tanpa menggunakan kasur, pakaian yang juga sederhana bukan
yang bermerek. Jadi jika anak-anak tidak bisa sederhana, bagaimana
mungkin mereka bisa makan dengan tahu atau tempe yang hampir setiap
hari, tidur hanya beralaskan babot, pakaian yang hanya biasa. Begitu pula
dengan jiwa kemandirian sudah dikatakan baik dimana para santri bisa
mencuci baju, merapikan tempat tidur, dan merapikan baju sendiri. Di sisi
lain, jiwa ukhuwah islamiah yang dilaksanakan di Pondok Pesantren
Miftahus Sa’adah dikatakan baik pula antara lain berbaur di dalam asrama,
saling menasihati satu sama lain, kerja bakti, saling salam ketika bertemu,
21

Dan tidak membeda-bedakan antara senior dan junior. Jiwa kebebasan yang
dilaksanakan di Pondok Pesantren Miftahus Sa’adah sudah dapat dikatakan
baik antara lain santri dibebaskan untuk mengeluarkan ide, pendapat, dan
saran-saran dikotak yang sudah disediakan.
4.2.2 Proses Menghafal Al-Qur’an di Pondok Pesantren Miftahus Sa’adah
Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan, proses
menghafal Al-Qur’an di Pondok Pesantren Miftahus Sa’adah dengan
memulai hafalan dari juz 30. Para santri diberikan waktu untuk menghafal
Al-Qur’an di setiap hari dari pukul 05.30-07.00 WIB. Setiap hari mereka
menghafal 1 halaman Al-Qur’an dan setiap bulannya sudah menghafal 1
juz. Metode yang mereka gunakan ialah metode Juz’i yaitu membaca
terlebih dahulu setiap ayat Al-Qur’an selama 10 kali dan menghafalnya.
Kemudian metode talaqi yakni setoran hafalan dilakukan setiap hari Sabtu,
dimana para santri yang tidak menyetorkan hafalan akan dikenakan sanksi.
Target Vsantri harus menghafal 15 juz.
22

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Kesimpulannya adalah hasil akhir dari sebuah penelitian dan perbandingan-
perbandingan teori yang sudah didapatkan. Adapun kesimpulan dari
penelitian ini terdapat dua yaitu:
1. Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren Miftahus Sa'adah
Hasil penelitian tentang pendidikan karakter di Pondok Pesantren
Miftahus Sa'adah menunjukkan bahwa terdapat beberapa karakter yang
diterapkan oleh Pondok Pesantren dalam pembentukan watak dan
kepribadian yang menjadi jiwanya tersebut yaitu meliputi jiwa
keikhlasan, jiwa kesederhanaan, jiwa ukhuwah islamiah, dan jiwa
kebebasan. Keberhasilan pendidikan karakter di pesantren sangat
dipengaruhi oleh sikap keteladanan oleh kyai dan asatidz dalam
kehidupan sehari-hari yang dilakukan secara berkelanjutan. Keberadaan
kyai dan asatidz dalam pesantren menjadi sangat penting karena bisa
membentengi jiwa bagi santri. Pendidikan karakter di Pondok Pesantren
merupakan hal yang harus ditanamkan, mengingat bahwa keberadaan
Pondok Pesantren menjadi solusi alternatif dalam memperbaiki karakter
masyarakat, terutama di kalangan anak-anak dan remaja.
2. Proses Menghafal Al-Qur'an di Pondok Pesantren Miftahus Sa'adah
Proses Menghafal Al-Qur'an di Pondok Pesantren Miftahus Sa'adah
sangat bagus dimana para santri menggunakan metode Juz’i yakni
dengan membaca setiap ayat terlebih dahulu sebanyak 10 kali kemudian
dihafalkan. Para santri memulai hafalan dari juz 30. Para santri diberikan
waktu untuk menghafal setiap hari pukul 05.30-07.00 WIB dan
dilanjutkan dengan metode talaqi dengan menyetorkan hafalannya setiap
hari Sabtu, dimana santri yang tidak menyetorkan hafalan akan
dikenakan sanksi. Target kelulusan para santri adalah menghafal 15 juz.

5.2 Saran
23

Dari hasil penelitian yang telah peneliti bandingkan dengan teori-teori yang
relevan dengan fokus permasalahan, maka peneliti memiliki saran-saran
sebagai berikut:
➢ Santri diharapkan dapat memanfaatkan waktu istirahat dengan baik
sehingga tidak menghambat pelaksanaan kegiatan-kegiatan lainnya.
Dengan begitu penanaman nilai-nilai karakter yang diberikan pondok
pesantren melalui kegiatan-kegiatan tersebut dapat diserap secara
maksimal oleh santri. Selain itu, santri juga diharapkan bersungguh-
sungguh dalam mengikuti setiap kegiatan agar penanaman nilai-nilai
karakter yang diterapkan pondok pesantren dapat diserap secara maksimal
sehingga santri dapat memperbaiki perilaku buruk menuju perilaku baik.
➢ Pondok pesantren sebagai wadah dalam pengembangan nilai-nilai
karakter pada santri diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan
baik dari segi kegiatan yang diajarkan kepada santri ataupun dari mutu
tenaga pendidik sehingga dapat tercipta keberhasilan dalam pendidikan.
24

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Yunus, dkk. (1990). Kajian Analisis Hikayat Budhistira. Jakarta:


Depdikbud
Bawani, Imam.1993. Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam, Surabaya: Al-I
khlas
Dhofier, Zamakhsyari, 2011.Tradisi Pesantren, Studi Pandangan Hidup
Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta: LP3ES
Galba, Sindu. 1995. Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi. PT Rineka Cipta :
Jakarta
Mahmud, Yunus. 1990. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta : Hidakarya Agung
Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS XX
Sa’dullah, (2008), 9 Cara Praktis Menghafal Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani
Suharto, Babun. 2011. Dari Pesantren Untuk Umat: Reinventing Eksistensi
Pesantren di Era Globalisasi. Imtiyaz: Surabaya
25

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai